TAFSIR JUZ 'AMMA

TAFSIR JUZ 'AMMA0%

TAFSIR JUZ 'AMMA pengarang:
Kategori: Tafsir
Halaman: 38

TAFSIR JUZ 'AMMA

pengarang: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori:

Halaman: 38
Pengunjung: 4491
Download: 731

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 38 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 4491 / Download: 731
Ukuran Ukuran Ukuran
TAFSIR JUZ 'AMMA

TAFSIR JUZ 'AMMA

pengarang:
Indonesia
TAFSIR JUZ 'AMMA TAFSIR JUZ 'AMMA

1
SURAH AL-NAS SURAH AL-NAS

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Bagian awal Alquran berkenaan dengan pemahaman bahwa satu-satunya jalan menuju kesuksesan adalah melalui pengagungan, doa dan puji, sedangkan bagian terakhir Alquran berkenaan dengan permintaan perlindungan kepada Sumber dari segala manifestasi.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

1. Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,

Nas berarti 'orang, manusia'. Kata akamya adalah anisa, yang berarti 'dikenal, peramah, akrab', jadi menunjukkan sifat dasar manusia yang suka berteman. Tentu saja kita semua akan mencari persahabatan.

Sifat manusia mencakup dan merefleksikan suatu spektrum luas dari watak dan perilaku yang potensial. Jika ia ingin sekali mengenal Allah, maka penlakunya akan mencerminkan kemuliaan. Jika ia mengabaikan naluri untuk mencari Penciptanya, atau Sumber, maka ia jatuh serendah rendahnya (sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Tin). Yang pasti, perilakunya akan merefleksikan sifat-sifat yang lebih dasar, seperti ketamakan atau keegoisan, yang dapat membawa kepada pengkhianatan. Meskipun kapasitasnya untuk melakukan pengkhianatan sama tak terbatasnya dengan nafsunya, Tuhan semua manusia selalu mengetahui keadaan dan niat-niat kita. Apa pun yang kita lakukan, kita tetap berada di bawah Ketuhanan Aliah. Tempat berlindung atau perlindungan terakhir dari orang lain ada'ah Allah, Yang lebih dekat kepada kita dibanding urat leher kita, sebagaimana dikemukakan-Nya kepada kita dalam sebuah hadis kudsi. Akar dari kata a’udzu (aku minta perlindungan) merefleksikan kedekatan ini, karena ia berasal dari 'adza yang asalnya berarti 'berada dekat tulang atau daging'.

مَلِكِ النَّاسِ

2. Rajanya manusia,

إِلَهِ النَّاسِ

3. Tuhannya manusia,

Kita berlindung kepada Tuhan, kepada Sang Pencipta entitas yang disebut 'manusia', yang mengandung di dalam dirinya sifat tinggi maupun rendah. Kita berlindung kepada Allah dari sifat rendah, dari sifat yang menyebabkan kita rugi.

مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاس ِ

4. Dari kejahatan bisikan setan yang sukar dipahami,

Terdapat banyak sekali tulisan tentang kata waswas, yakni bisikan halus pada hati kita yang paling dalam yang menghasut kita untuk berbuat jahat. Dalam satu keterangan, ada sepuluh makna diberikan untuk al-waswasah, yang menunjukkan sepuluh sifat berbeda dari si pembisik. Jika kita mengalahkan mereka kita akan memahami syirk-nya (menyekutukan Tuhan) waswas, sehingga kita akan benar-benar dapat berlindung dari itu.

Waswas adalah bentuk kata yang meniru sesuatu bunyi seperti suara bisikan. Berbisik adalah salah satu perbuatan yang, menurut din serta adab kita, sangat ditolak karena sesuatu yang baik untuk dikatakan hendaklah disebarkan dengan mengatakannya secara keras.

Khannas adalah julukan setan, dan berarti 'menyelinap keluar', terutama ketika nama Allah disebut.

Ada beberapa sumber atau sungai yang menyuburkan waswas. Sebagaimana surga memiliki sungai-sungai di bawah tanah yang menyuburkannya, begitu pula waswas. Salah satu sungai ini adalah hirsh (ketamakan atau keiri-hatian). Arus sungai itu bisa dilawan, diblokir, dan dibendung dengan tawakkul wa qana’ah (percaya dengan sepenuh hati [kepada Allah] dan merasa puas).

Sungai lainnya adalah amal, yang berarti 'pengharapan'. Sungai ini, pun, dapat dibendung dengan zikir yang terus-menerus. Harapan kita untuk mendapatkan berbagai hal dari dunia ini dapat dihentikan dengan ingat (zikir) bahwa setiap hembusan napas mungkin saja merupakan napas terakhir kita. Keingatan ini akan memotong aliran sungai, yang menyuburkan si pembisik yang menuangkan berbagai sugesti yang merusak ke dalam telinga kita.

Sungai ketiga adalah syabawat al-dunya, atau 'nafsu duniawi'. Nafsu-nafsu ini dapat dibunuh dengan ingat bahwa segala nikmat akhirnya akan meninggalkan kita, dan bahwa akan diadakan hisab (perhitungan). Kita akan harus bertanggung jawab terhadap cara kita menghabiskan nikmat dan kebaikan yang diberikan kepada kita. Perhitungan-nya akan panjang—kita diberitahu 50.000 tahun—di mana setiap hal kecil akan ditinjau ulang dan diperiksa, dan, sekecil apa pun, dapat menjadi saksi yang menguntungkan atau merugikan kita.

Sungai keempat, atau sumber, dari waswas adalah tahshil, yang berarti 'pendapatan'. Arus sungai ini dapat dihentikan dengan mengusahakan keadilan dari keadaan setiap orang. Apa yang didapat seseorang muncul dari keadilan keadaannya sendiri. Kita tidak dapat mengubahnya.

Sungai kelima adalah bala', 'kesusahan'. Arus sungai ini dapat di alirkan dengan tidak melihat kesusahan dalam suatu keadaan, tapi malah dengan melihat kebaikan di dalamnya.

Sungai keenam adalah kibr atau 'rasa bangga', yang dapat dilawan dengan kerendahan hati. Bilamana kibr timbul pada kita, kita harus segera mendatangi kerendahan hati yang terdapat di dalam diri kita, sehingga kita mematahkan pengaruh kibr pada kita.

Sungai ketujuh adalah tahqir, yang membujuk kita untuk meremehkan posisi terhormat kaum beriman, dan juga apa saja yang dimiliki orang beriman, apa saja yang ada dalam kekuasaannya, dan yang halal baginya dan haram bagi orang lain. Arus sungai ini dapat dihentikan dengan menganggap kehormatan mereka sebagai kemuliaan dan dengan menghormatinya.

Sumber kedelapan dari waswas adalah cinta dunia, termasuk hasrat untuk diakui dan dipuji oleh orang lain. Cinta dan hasrat ini dapat dilucuti dengan membawa diri seseorang ke dalam kerendahan diri.

Sumber kesembilan dari waswas yang mendorong setan adalah pemisahan dan kekikiran (bukhl). Ini dapat diperangi dengan kedermawanan. Sakha’ berarti 'memberi sesuai dengan tuntutan kejadian'; jud berarti 'memberi tanpa diminta'; dan karam adalah 'memberi apa saja yang diminta'. Ini adalah tiga Sifat Allah. Jenis keempat adalah itsar, 'memberikan apa yang ia sendiri butuhkan', dan ini adalah sifat yang hanya dapat dimiliki manusia. Sifat ini tidak bisa dianggap berasal dari Allah, karena Allah tidak membutuhkan apa pun. Maka kita dapat menyandang sifat terakhir ini, yakni suatu pertolongan besar bagi gerak naik batin kita menuju kemuliaan yang pas untuk kita sebagai khalifah Allah.

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاس ِ

5. Yang membisikkan dalam hati manusia,

Shadr (jamak: shudur) adalah 'dada', bagian dari kita yang berhadapan dengan apa yang ada di hadapan kita. Itulah tempat berlangsungnya pertempuran dan drama. Harus diingat bahwa setiap drama tercipta sendiri. Setiap peran yang berganti-ganti dalam dada manusia: sebagai raja, raja lalim, orang menderita, pencemburu, orang kuat, peragu, dan pengeluh. Kita harus berlindung dari semua ini, berlindung kepada Allah Yang kerahimannya membawa kita ke pengakuan bahwa segala sesuatu yang terjadi, nampak dan tidak nampak, terjadi sesuai dengan sistem yang adil, sesuai dengan hukum yang sempurna yang mengatur perjalanan ini, perjalanan melalui penciptaan. Hukum dalam eksistensi ini berjalan sendiri, tidak perlu pengawas.

مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

6. Dari jin dan manusia.

Jinnah adalah sinonim dengan jinn (jin), artinya 'kekuatan tersembunyi dan tak terlihat'. Jannah (taman) berasal dari akar yang sama dan menunjuk kepada tempat yang paling diidamkan, taman, yang dalam budaya bangsa Arab gurun pasir di mana temperatur rata-ratanya 100 derajat Fahrenheit, adalah sebuah tempat istirahat dan melepas lelah dari kerasnya kehidupan gurun pasir. Sebaliknya, lebat dan teduhnya taman begitu subur sehingga tanahnya tidak terlihat karena tertutup daun-daun pepohonan yang tebal. Serupa dengan tanah yang 'ditutupi' oleh tetumbuhan yang lebat, sehingga menunjuk kepada suatu keadaan tersembunyi, jin juga tertutupi, terbatas keadaannya sebagaimana manusia.

Oleh karena itu, kita meminta perlindungan, perlindungan dari setiap energi yang alamnya tidak kita mengerti, dan yang penciptaannya tidak nampak atau tidak terlihat oleh kita.


2
SURAH AL-FAlAQ SURAH AL-FAlAQ

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Susunan surah-surah dalam Alquran adalah suatu susunan sempurna yang ditetapkan oleh Manusia Sempuma, Nabi Muhammad. Fakta bahwa beliau yang menyusunnya menjadi bukti akan kesatuan dan kelengkapan Alquran. Wahyu membawakan kepada umat manusia berbagai aspek dari Kitab Realitas, pada hari-hari yang berbeda, di bulan-bulan yang berbeda, dan dalam kondisi-kondisi yang berbeda. Namun aspek-aspek yang bermacarn-macam ini semuanya merefleksikan Cahaya tunggal, dan hanya Nabi yang mengetahui bagaimana surah-surah itu harus disusun. Maka dua langkah terakhir dari wahyu Allah mendorong manusia untuk mencari perlindungan kepada Allah, Tuhan dan Pemelihara semua ciptaan-Nya.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

1. Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa fajar,

Falaqa berarti 'memisahkan, menyobek sampai luluh, menghalau bayang-bayang malam'. A'udzu berarti 'Aku berlindung'. Kita berlindung dari kesombongan kita, dari gelapnya nafs kita, dan dari segala keraguan kita. Kita berlindung dari berbagai ketidakpastian dan ketidakamanan kepada Tuhan Yang senantiasa menjamin pengetahuan, cahaya dan penerangan. Kita berlindung kepada Dia Yang mendatangkan fajar setelah gelapnya malam.

مِن شَرِّ مَا خَلَقَ

2. Dari kejahatan apa yang telah Dia ciptakan,

Di sini kita bermohon kepada Allah, al-Rahim (Yang Maha Pengasih), karena kita harus membuat penilaian yang subyektif. Kita mengakui bahwa di alam dualitas ini ada aspek yang menyenangkan dan menenangkan kita, dan aspek lain yang tidak menyenangkan kita dan mendatangkan penderitaan. Ada aspek-aspek yang menurut kita kondusif bagi kesejahteraan kita dan aspek-aspek yang menurut kita merusak kita, karena itu kita berlindung kepada Tuhan semua ciptaan dari sebagian ciptaan-Nya yang menurut kita membahayakan.

وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

3. Dan dari kejahatan gelap gulita tatkala ia datang,

Kita berlindung dari malam, dari kesuraman dan kegelapan, dari hal yang tidak kita ketahui. Kita juga berlindung dari keraguan diri. Maksudnya di sini adalah terhadap hal yang dikenal maupun tidak dikenal, terhadap hal yang ada hubungannya dengan kita maupun yang tidak.

وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

4. Dan dari kejahatan orang-orang yang menhip pada buhul-buhul,

Kita berlindung dari segala kekuatan yang tidak kita mengerti fungsinya. Kita beriindung dari tukang-tukang sihir, dari perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul, biasanya semacam guna-guna, dan yang memanggil kekuatan-kekuatan dalam eksistensi ini yang sama sekali tidak kita mengerti dan yang tidak terlihat oleh kita, seperti jin.

Kita berlindung kepada Allah, Dia Yang membukakan pada kita cahaya fajar pembebasan dan pengetahuan, dari hal-hal yang menimpa kita dalam kehidupan ini. Kita tahu bahwa kekuatan gaib benar-benar ada dan bahwa ilmu hitam dan bentuk ilmu sihir lainnya dipraktikkan di banyak tempat. Ada banyak kekuatan yang dapat dipanggil dan digunakan, tapi orang yang ingin menuju Sumber segala Kekuatan berlindung pada Tuhan Waktu Fajar.

Dua surah, Ikhlas dan Falaq mengingatkan kita agar berusaha keras untuk mencapai keadaan batin yang beriman, untuk berjalan lurus ke depan menuju tujuan kita, menuju wabid al-ahad (Yang Mahatunggal dan Unik), untuk hanya melantunkan nyanyian Yang Mahaesa.

Andaikan kita mengamalkan itu, kita tidak akan tertarik untuk iseng ikut-ikutan dalam fenomena lain ini, karena fenomena yang kasar tidak akan dipandang oleh kita sebagai hal yang memiliki realitas hakiki. Harus diingat bahwa, betapa pun hebatnya seorang tukang sihir, selalu akan ada tukang sihir lain yang dapat mengalahkannya. Dalam kasus Musa, semua orang tahu bahwa dia, sebagai orang yang bertauhid, mengalahkan semua tukang sihir Firaun dengan kekuatan lain yang tidak ada hubungannya dengan permainan sihir.

وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

5. Dan dari kejahatan orang yang dengki tatkala ia mendengki.

Hasad berarti 'dengki', yang dianggap sebagai salah satu penyakit nafs yang paling buruk dan salah satu kesulitan paling buruk bagi manusia akibat perbuatannya sendiri, karena sifat ini bisa merajalela. Api dengki akan terus mengisi bahan bakamya sendiri dan takkan pernah bisa dipadamkan, karena akan selalu ada seseorang lain yang memiliki sesuatu yang tidak bisa kita miliki.

Ali ibn Abi Thalib, ditanya tentang hasud, orang yang sifat dengkinya menyebabkan kerusakan. 'Apa yang harus kita lakukan padanya?' tanya mereka. 'Ia harus dihukum.' Ali menjawab, Ma fihi yakfihi (apa yang ada padanya adalah cukup [menjadi hukuman] baginya).

Hasid (pendengki) tidak akan pernah menang juga tidak akan pernah beruntung. Selamatkanlah kami, Ya Tuhan, dari kejahatan perilaku ini yang benihnya ada di setiap hati! Seandainya sekarang tidak ada dalam hati kita, kita tidak akan dapat memahaminya. Kita semua sudah merasakan percikannya dalam kehidupan kita, tapi seandainya kita beruntung, ia tetap menjadi percikan yang dapat ditahan dan ditutupi dengan kedermawanan dan sifat-sifat positif lainnya. Kalau kita tidak senantiasa memerangi sifat dengki, maka ia kan terus meradang dan menguasai kita sepenuhnya.


3
SURAH AL-IKHLASH SURAH AL-IKHLASH

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Ali ibn Abi Thalib mengatakan bahwa tidak ada penafsiran untuk surah ini karena maknanya jelas dan tidak terselubung. Imam Hasan dan Imam Husein diminta untuk mengomentari surah ini, dan masing-masing memberikan penafsiran yang berbeda terhadap beberapa kata. Sedikit sekali yang bisa kita katakan tentang surah ini, meskipun sudah banyak komentar dan tulisan tentangnya.

Pada salah satu pertempuran banyak sekali rintangan yang dihadapi Ali ibn Abi Thalib, namun begitu segala sesuatu berjalan lancar untuk kemenangannya. Ketika orang-orang yang pemah bertempur dekat beliau ditanya tentang apa yang telah terjadi, mereka menjawab bahwa yang dilakukan beliau hanyalah membaca Qul huwa-Allah ahad (Katakanlah: Dia, Allah, adalah Esa).

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

1. Katakanlah: Dia, Allah, adalah Esa.

Ini merupakan suatu perintah atas kita untuk mengatakannya, apakah kita tahu kebenarannya atau tidak. Bagaimana pun tingkat pengetahuan yang kita miliki, Dia, Allah, adalah Esa.

اللَّهُ الصَّمَدُ

2. Allah, Tempat Perlindungan Yang Abadi untuk semua.

Nama Tuhan al-Shamad berarti 'abadi, selamanya', meskipun maknanya lebih dari itu. Shamada artinya 'tinggi, atau diangkat'. Nama al-shamad juga berarti 'berdiri sendiri, memelihara sendiri, mencukupi sendiri'.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

3. Dia tidak beranak, dan juga tidak diperanakkan.

Makna ayat ini sangat jelas. Allah bebas dari keterlibatan. Dia tidak berasal dari sesuatu ataupun sesuatu berasal dari Dia, dan tidak ada yang dapat disekutukan dengan Dia. Dia jauh dari semua yang dapat kita lihat yang memiliki sifat. Dia adalah Sebab yang paling dekat dan menopang yang kita lihat, karena itu Dia tidak termasuk ciptaan dalam arti sebagai 'makhluk'.

وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

4. Dan tidak ada satu pun yang menyerupai Dia.

Kufuwan, berarti 'sama, seperti', berasal dari kafa, 'cukup, memenuhi'. Allah cukup untuk Dirinya Sendiri. Tidak ada mitsal (persamaan) Allah. Allah adalah nama yang ditunjukkan oleh semua Sifat dan Nama.

Tak ada lagi yang bisa dikatakan tentang surah ini. Kita harus membaca dan membacanya lagi, dan semakin kita membacanya semakin dalamlah pemahaman kita.


4
SURAH AL-LAHAB SURAH AL-LAHAB

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

1. Semoga kedua tangan Abu Lahab binasa, dan semoga dia pun binasa!

Tabba berarti 'hilang, rugi', dan 'binasa, atau rusak'. Abu Lahab adalah paman Nabi. Ia orang yang energik, berapi-api, ganteng dan berbahaya, laksana seekor singa. Ia menjunjung tinggi tradisi-tradisi lama, dan membelanya dengan cara yang dogmatis dan fanatis. Tapi apa pun yang diusahan 'tangannya', bagaimana pun perbuatannya, ia tetap merugi.

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

2. Harta dan apa yang ia peroleh tak akan ada gunanya!

Apa pun yang ia peroleh, apa pun kekuasaan yang ia miliki, tidak ada manfaatnya.

سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

3. Ia akan dijebloskan ke dalam api yang menyala,

Ia ditakdirkan untuk api abadi, sebagaimana dalam kehidupan ini ia membakar dirinya dengan agitasinya, kebenciannya yang berkobar-kobar dan segala ketidak-puasan serta rasa frustrasinya.

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

4. Dan istrinya, si pembawa kayu bakar.

Istri Abu Lahab adalah adiknya Abu Sufyan. Hathab berarti 'kayu bakar', pengertiannya adalah, menurut ungkapan 'pembawa kayu bakar', bahwa ia mengadu domba orang-orang satu sama lain dengan kesana-kemari ngerumpi menceritakan kebohongan dan menghembuskan gosip serta menghasut. Ia selalu melernparkan semak-semak berduri kecil sepanjang jalan yang biasa dilewati Nabi untuk sampai ke Ka'bah, agar dalam kegelapan waktu subuh beliau menginjaknya. Kejadian ini menunjukkan bahwa ketidaksenangan batinnya memperlihatkan diri dalam apa saja yang dilakukannya secara lahiriah, dan duri-duri batinnya dibawa secara lahiriah di atas punggungnya.

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

5. Di lehernya ada jerat tali dari sabut pohon palem yang dipintal dengan kuat!

Jid menggambarkan bagian leher tempat kalung biasa bertengger. Masad biasanya berarti daun palem yang dipintal. Ini berarti bahwa apa yang diseretnya—yang melingkari lehernya—adalah rantai yang dipintal kuat buatannya sendiri.

Meskipun surah ini secara historis berkenaan dengan seorang paman Nabi dan mitranya dalam penyiksaan, yakni istrinya, tapi dimana pun dan kapan pun kebenaran muncul, penolakan dan perlawanan dari seorang Abu Lahab selalu dekat menyertai.

5
SURAH AL-NASHR SURAH AL-NASHR

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Barangkali inilah surah lengkap terakhir yang diturunkan dua bulan sebelum wafat Nabi, ketika kaum muslim memasuki Mekah pada waktu yang dikenal sebagai 'Haji Perpisahan'. Pada tahap akhir ibadah haji ini, para pemimpin Quraisy yang telah berperang melawan Islam sampai akhir itu juga, mencari perlindungan ke dalam Ka'bah, dan Nabi, bersama dengan pengikutnya, mengepung mereka. Namun akhirnya orang Quraisy ditangguhkan hukumannya, dan para pemimpin mereka keluar dari Ka'bah seakan mereka baru dibangkitkan dari kubur mereka, maka kematian mereka sudah dekat.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

1. Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan!

Nashr, dari kata nashara, berarti 'kemenangan, bantuan, pertolongan'. Berbagai peristiwa penting melingkupi pewahyuan surah ini. Peristiwa-peristiwa tersebut memberikan banyak kemungkinan untuk terjadinya konfrontasi hebat, yang selalu dimenangkan oleh kaum muslim. Umat bertanya-tanya kepada Nabi, terutama pada saat-saat lemah dan sulit, dengan bertanya, 'Kapan pertolongan Allah datang? Bilamana berbagai kemenangan lahir tercapai dan cocok dengan apa yang kita ketahui dalam batin, maka kemenangan batin juga tercapai.

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

2. Dan engkau lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,

Semua anggota dari berbagai suku memeluk Islam tak lama setelah ini, dan bergabung dengan kaum muslim.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

3. Maka agungkanlah pujian kepada Tuhanmu dan mohonlah ampunannya. Sesungguhnya Ia Maha Penerima tobat [dengan belas kasih].

Tidak perduli apa pun bentuk kemenangan ini, apakah batiniah atau lahiriah, manusia harus memohon ampunan, perlindungan, keselamatan dan ketenangan melalui tobat; dan ia harus menerima bahwa Allah adalah Dia Yang berpaling berulang-kali dengan kasih sayang kepada manusia, sehingga manusia bisa kembali kepada sumber ilahiahnya. Bilamana ada pembukaan batin, kita dapat memahami makna surah ini, dan bilamana ada pencerahan batin bagi kita, berapa pun skala, besar atau jenisnya, pembukaan tersebut menunjukkan suatu kemenangan bagi kita atas nafs, atas berbagai kendala yang telah kita bayangkan untuk diri kita sendiri. Kewajiban kita adalah mengatasi diri kita sendiri, menang atas diri kita dengan mengingat Allah (zikrullah) dan dengan pengetahuan yang benar akan sifat nafs.

Ini adalah surah yang sangat penting, terutama bagi mereka yang berada di garis depan pertempuran batin. Sebagai manusia, kita semua menginginkan pembukaan dan tanda-tanda yang memberi kita keberanian dalam perjuangan. Semoga Allah memperbesar pembukaan kita! Semoga Allah hanya memberi kita pembukaan atas pembukaan semata, agar kita mengetahui bahwa pada kenyataannya tidak ada pintu dan tidak ada gerbang yang merintangi jalan kita menuju Wajah Allah!

6
SURAH AL-KAFIRUN SURAH AL-KAFIRUN

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah ini mengenai sebuah peristiwa ketika beberapa orang kafir berusaha mengadakan dialog dengan Nabi dalam rangka menjatuhkan beliau agar kaum muslim kembali ke kebiasaan lamanya menyembah berhala. Mereka mengusulkan untuk menyembah Allah selama satu tahun, mengikuti ajaran Nabi, dan tahun berikutnya mereka semua, termasuk Nabi dan kaum muslim, menyembah berhala-berhala tradisional mereka. Dengan demikian mereka akan berganti-ganti praktik ibadat sampai salah satu cara terbukti benar pada salah satu pihak. Maka, menurut jalan pikiran kaum kafir, jika ajaran Nabi benar, mereka akan memperoleh keuntungan dari mengikuti ajaran Nabi; tapi, jika praktik kaum kafir benar, maka mereka dan kaum muslim akan mendapat keuntungan dari menyembah berhala-berhala. Surah ini mempakan jawaban dari mereka yang percaya dan beriman kepada mereka yang tidak beriman.

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

1. Katakanlah: Wahai orang-orang yang menyangkal kebenaran (kafir)!

لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

2. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah,

Ini adalah ungkapan penegasan dari orang beriman, yang percaya bahwa ia akan menerima dan merasakan rahmat dari Pencipta Yang Mahaesa. Oleh karena itu ia memberitahu orang kafir, 'Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.' Orang yang beriman, malahan, menyembah langsung sumber makanan batinnya, yang menjaga agar selamat dari kegelapan yang melingkupi orang lain dan yang memberinya cahaya dan pencerahan. Sumber tersebut menambah keimanannya melalui ' ubudiyah (ibadah)nya dan melindunginya dari segala bahaya. Ibadah menjadikan perjalanannya mu'abbad (mudah, lancar, tidak ada perlawanan). Dengan kerendahan hatinya ia diangkat semakin lama semakin dekat kepada sumber mata air.

وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

3. Dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah.

Dengan kata lain: Engkau tidak punya jalan menuju sumber yang aku sembah, karena engkau tidak menyembah energi halus yang memancarkan semua Sifat.

وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ

4. Dan aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,

Tidak pernah akan, dan tidak pernah bisa, setelah tercerahkan, setelah dibukakan, setelah mengetahui Allah, menghormati atau memuja apa yang engkau sembah.

وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

5. Dan kamu pun tidak akan menyembah apa yang akn sembah.

Di masa akan datang, engkau pun tidak akan pernah menyembah kebenaran yang aku sembah. Ini merupakan ramalan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang dalam kekufuran akan tetap dalam kekufuran. Ada orang yang telah diciptakan sebagai bahan bakar neraka, sebagaimana berulang kali dikatakan dalam Alquran, dan fakta ini tidak dapat diubah. Mereka akan tetap begitu meskipun kita meminta agar mereka tidak melakukan itu, meskipun segala upaya dilakukan untuk menarik mereka ke dalam cahaya din.

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

6. Untukmu agamamu dan untukku agamaku!

Orang yang beriman berada dalam ketenangan hati yang sempuma dan orang yang tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah menyimpulkan, 'Engkau mempunyai jalan sendiri, jalan yang kau pilih untuk melengkapi lagi dirimu dan berinteraksi dengan orang lain, dengan wujud apa pun yang kau anggap mutlak, dan aku punya jalan sendiri!' Kemudian orang-orang yang beriman dan berkeyakinan teguh bergandengan tangan mengikuti metoda yang telah disempumakan dari model Muhammad. Mereka tidak diterangi dari luar; penerangan mereka ber-asal dari dalam. Mereka berjalan sepanjang pantai lautan cahaya, dan pantai ini ada batas-batasnya. Inilah jalan orang mukmin, j'alan keyakinan yang sempurna.

7
SURAH AL-KAWTSAR SURAH AL-KAWTSAR

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

1. Sesunggubnya Kami telah memberikan engkau mata air surga yang berlimpah.

Kawtsar berasal dari akar katsara, yang berarti 'melebihi dalam jumlah, banyak', dan juga 'bertambah, berlipat atau berkembang'. Secara tradisional dijelaskan bahwa al-Kawtsar adalah sebuah mata air di surga, mata air yang dialiri oleh sungai-sungai cinta antara Allah dan cahaya Muhammad, mata air yang dapat kita minum kalau kita melangkah ke sana.

Ibaratnya, al-Kawtsar adalah keadaan di mana tidak bisa lagi ditambah lebih dari itu. Pada keadaan itu kita akan merasakan nikmat yang tak terpisahkan dari mengetahui Wujud Yang Mahatunggal. Kita akan benar-benar terliputi oleh pengetahuan itu dan tak ada yang lebih mulia dari itu di alam eksistensi ini. Al-Kawtsar juga mengandung arti samudera rahmat yang tak bertepi, dan tentu saja tidak ada yang melampaui hal yang tak terukur. Kemuliaan yang terakhir ini adalah al-Kawtsar.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

2. Maka salatlah untuk Tuhan dan Pemeliharamu, dan berkorbanlah.

Wa anhar (dan berkorbanlah) tidak bisa dipahami pada nilai permukaan saja. Definisi yang biasanya diberikan untuk anhar—penyembelihan atau pengorbanan— berasal dari kata nahara, yang berarti 'memotong tenggorokan, menyembelih'.

Yawm al-Nahr adalah Hari Korban (10 Zulhijah), dan pada hari itu kita melakukan pengorbanan dengan memotong tenggorokan hewan korban pada urat merih, melepaskan rohnya sebagai penghargaan kepada Tuhan Pemilik Roh dan Tuhan Alam Roh. Kalau kita melihatnya sekaitan dengan perbuatan ini, nahr bisa juga berarti mengorbankan cinta kita untuk memperoleh nama baik atau mengorbankan keinginan untuk mendapat penghargaan, pendek kata, mengorbankan apa pun yang sangat berharga bagi kita tapi berhubungan dengan nafs.

Nahr juga lebih berkaitan dengan aspek lahir dan batin dari doa dalam salat, dan sifat halus dari salat yang berasal dari pengorbanan ini, ketimbang pengorbanan nyata itu sendiri.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

3. Sesungguhnya musuhmu adalah orang yang akan terputus dari keturunan.

Ayat ini berkenaan dengan individu yang, menurut tradisi kita, diketahui telah memfitnah Nabi saw. dengan mengatakan bahwa beliau tidak mempunyai ahli waris atau anak laki-laki. Dikemukakan kepada Nabi bahwa anak laki-laki yang diakui musuh ini sebagai anak beliau, sebenarnya tidak dibapaki oleh beliau.

Maksudnya di sini adalah bahwa barangsiapa meninggalkan Cahaya Ilahiah berarti memutuskan diri dari cahaya itu. Orang yang menyangkal kebenaran bahwa tidak ada cara untuk hidup dan bertahan selain melalui ketundukkan kepada Sang Maha Pemelihara Yang Tunggal maka ia terputus dari sungai itu, dari mata air yang menopang kehi-dupan. Untuk alasan itulah maka kita berdoa, 'Semoga Allah mengumpulkan kita di telaga al-Kawtsar'. Telaga al-Kawtsar dapat dirasakan di sini dan saat ini, karena ia sebenamya adalah keadaan yang didnggikan dan suci yang hidup di dalam hati. Telaga itu diterangi oleh cahaya dari manusia yang paling diberkahi, Sayidina Muhammad, melalui kecintaan yang kuat kepadanya dan melalui upaya keras dan tulus untuk meniru sunahnya.[]

8
SURAH AL-MA'UN SURAH AL-MA'UN

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah ini dan sebagian besar surah berikutnya dianggap sebagai surah Makkiyah, tapi sebagian di antaranya seperti Surah al-Nashr, yang tempat asalnya jelas sekali, konon diturunkan di Madinah.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

1. Apakah engkau melihat orang yang mendustakan catatan kehidupan [agama]?

فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ

2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

Allah bertanya, 'Tidakkah kau lihat, tidakkah kau saksikan orang yang menyangkal din yang benar, jalan hidup yang benar, cara ibadah yang benar, cara perilaku yang benar? Secara historis, banyak orang yang secara khusus teridentifikasi sekaitan dengan turunnya surah ini, termasuk Abu Sufyan. Mereka adalah orang-orang yang telah dimintai tolong oleh orang yang tersingkir dari masyarakat, atau anak yatim. Mereka adalah orang-orang kaya, yang sanggup memberikan pertolongan. Ayat ini berlaku bagi kita semua sekarang apabila kita menyangkal pengetahuan yang bersifat pribadi dan langsung, pengetahuan bahwa yang ada hanyalah Realitas Tunggal. Dalam hal ini kita semua bisa mengalami ketersingkiran juga.

Anak yatim tidak mempunyai penjaga manusia yang memiliki hubungan biologis dan emosional dengannya. Barangsiapa sudi menerima peran penjagaan tersebut berarti ia sedang menjalankan kerahman-rahiman sang Pencipta. Dengan demikian ia melaksanakan perbuatan yang paling mulia. Barangsiapa mengabaikan anak yatim berarti sedang meniadakan kasih sayang dan cinta sang Pencipta bagi dirinya sendiri. Karena, meskipun kita bukan anak yatim dalam arti garis keturunan manusia yang terputus, kita masing-masing teryatimkan dari akar kita, dari Pencipta sejati kita.

وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

3. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.

Orang-orang ini tidak menolong, juga tidak mendorong orang lain untuk melakukan pertolongan. Miskin menggambarkan seseorang yang telah menyerah karena fakir (melarat), orang yang faqr-nya, kemelaratannya, telah menyebabkannya tidak bisa istirahat dan senang. Ia telah hidup dalam kemelaratan sampai benar-benar pasrah dan tidak ada lagi cita-cita.

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ

4. Maka celakalah orang-orang yang salat!

Ini adalah keadaan sesungguhnya dari kita semua. Jika kita menganggap keadaan nyata kita sebagai kemiskinan spiritual, jika kita melihat pada ketakberdayaan kita dalam segala hal, dan jika kita benar-benar tunduk secara batinah, maka kita harus mengakui bahwa kita semua adalah miskin. Dengan mengakui kenyataan ini, kita harus menolong orang-orang yang terbenam dalam kemelaratan total.

الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

5. Mereka yang lalai dalam salat mereka.

الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُون

6. Mereka yang ingin dilihat,

Saha berarti 'melupakan, melalaikan, tidak memperdulikan'. Sahin berarti 'pelupa atau tidak hati-hati'. Sajdah al-sahw (sujud sahwi) adalah praktik kaum muslim apabila terluput satu rakaat salat; mereka harus menyempumakannya dengan melakukan sujud tambahan.

Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang tidak sadar akan realitas di ba!ik salat dan yang kehilangan makna salat. Secara lahiriah, maksudnya adalah orang yang melaksanakan salat secara munafik, untuk dilihat orang lain, dan sekadar melaksanakan gerakan-gerakan lahir untuk menyenangkan penonton. Ihsan (kebaikan) yang paling tinggi adalah 'ubudiyah (ibadah, pengabdian) yang nyata, dan 'ubudiyah seperti itu terwujud dalam penegakkan secara lahiriah lima salat yang tulus. Namun, orang-orang yang dimaksud di sini adalah mereka yang telah kehilangan makna salat; mereka kehilangan lautan cahaya yang memancar dari perbuatan yang berulang-ulang itu.

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

7. Dan tidak mau memberikan kebutuhan sehari-hari [kepada sesamanya].

Paling tidak, yang dapat dilakukan seseorang secara lahiriah adalah bersedekah dari kekayaannya, meiTiberikan sebagian harta bendanya kepada orang lain untuk membantu mereka. Pada waktu itu ayat ini merupakan perintah kepada setiap orang untuk berbagi. Ma'un dalam penggunaan bahasa Arab sehari-hari berarti 'piring untuk menyajikan makanan', dan dengan perluasan makna menjadi berarti setiap barang yang berguna.

Makna surah ini adalah bahwa kita harus menggunakan segala alat yang ada untuk membantu orang lain mengurangi beban penderitaan lahiriah mereka sampai mereka mengakui kebenaran din yang merupakan kewajiban mereka.[]

9
SURAH QURAISY SURAH QURAISY

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah Quraisy ini dihubungkan dengan surah sebelumnya, dan itulah sebabnya menurut kebiasaan kedua surah ini dibaca bersama-sama sebagai satu.

Surah ini berkenaan dengan keadaan kaum Quraisy seakan-akan proteksi yang diberikan kepada mereka disebabkan oleh penyatuan dan kebersamaan hati mereka, dengan tujuan agar kaum Quraisy merasa puas dan terjadi rekonsiliasi di antara mereka.

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ

1. Untuk perlindungan kaum Quraisy.

Ilaf adalah kata benda verbal yang berarti 'menjaga, melindungi'. Alifa, akar kata kerja, berarti 'kenal dengan, mengetahui tentang, membiasakan diri dengan', dan juga 'gemar akan'. Ia mempunyai konotasi tambahan 'menyatukan'. Allafa bayna qulubihim, berarti 'ia menyatukan hati mereka', karena keakraban, kepuasan satu sama lain, dan persahabatan itu muncul dari pengetahuan.

إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاء وَالصَّيْفِ

2. Perlindungan mereka selama perjalanan dagang mereka pada musim dingin dan musim panas.

Ayat ini berkenaan dengan kenyataan bahwa kaum Quraisy akan berkumpul setiap musim dingin dan musim panas untuk memperlengkapi kafilah-kafilah musiman mereka. Secara lahiriah mereka melakukan gerakan tiada henti, mengadakan perjalanan seiama musim dingin dan musim panas. Pada musim dingin mereka menuju selatan ke negeri Yaman, dan di musim panas mereka menuju utara ke Syria. Musim dingin dan panas menunjukkan dua aspek kehidupan. Pada tingkat harian, siang dan malam diciptakan bagi kita agar kita bisa tidur dengan tenang pada malam hari dan bekerja selama siang hari; maka sebagai manusia kita dapat berfungsi, berfluktuasi secara terus-menerus di antara dua tingkat, di antara dua ha3 yang berlawanan.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ

3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan rumah ini,

Peristiwa gajah menyebabkan hancurnya balatentara Abrahah dan memungkinkan orang Quraisy yang beriman, yang merupakan pemelihara Ka'bah—dikenal sebagai ka-um Banu Hasyim—terus menyembah Tuhan Rumah ini, Tuhan Ka'bah.

الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ

4. Yang memberi makan kepada mereka melawan kelaparan dan memberi mereka keamanan dari rasa takut.

Ini berkenaan dengan orang-orang yang sudah terpenuhi kebutuhan lahirnya yang nyata, sehingga kelaparan fisik mereka dan juga kelaparan mereka akan pengetahuan dan Sumber kepastian dapat terpuaskan. Dengan demikian rasa takut mereka pun diangkat. Mereka dibawa ke dalam kedamaian iman, ke dalam keyakinan terhadap kesempurnaan dari semua yang menimpa mereka, sehingga mereka dapat terus membuka pintu ibadah demi kepentingan anggota masyarakat mereka lainnya. Terdapat banyak hadis yang mengatakan bahwa selama ada orang-orang yang ibadahnya benar, maka kaum mereka akan selamat, dan perlindungan Allah terhadap mereka akan sesuai dengan luasnya tawakkul (ketergantungan pada Allah) mereka.[]



10
SURAH AL-FIL SURAH AL-FIL

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah ini berkenaan dengan peristiwa yang terjadi, sejauh pengetahuan kita, pada tahun kelahiran Nabi. Walaupun kisah ini terkenal dan banyak disebut-sebut pada waktu itu, namun sedikit sekali penjelasan aktual yang ada tentang peristiwa tersebut. Kita tahu bahwa orang lain sangat iri kepada penduduk Mekah dan kaum Quraisy, yang, sebagai penjaga Rumah Tuhan, memegang posisi sangat terhormat di kalangan bangsa Arab. Salah satu rival mereka adalah Kaisar Habasyah (sekarang Ethiopia). Melalui raja muda mereka Abrahah di Yaman, ia membangun apa yang diyakininya sebagai Ka'bah lain, kali ini di San'a, untuk menyaingi Ka'bah di Mekah. Ka'bah kedua ini tidak menarik para peziarah dalam jumlah seperti yang diharapkan sang Kaisar, maka ia mengirim pasukan besar, yang didahului oleh gajah-gajah, untuk menghancurkan Ka'bah di Mekah. Ia yakin bahwa San'a akan menjadi pusat ziarah yang paling penting di belahan dunia itu.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ

1. Apakah engkau tidak melihat bagaimana Tuhanmu berurusan dengan para pemilik gajah?

Relevansinya di sini adalah konfrontasi antara kekuatan dan kekuasaan yang sangat besar, dan pertentangannya yang langsung. Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa kekuatan nyata tidak dapat diukur dengan cara biasa. Penghancuran bala tentara yang telah dikirim untuk menghancurkan Ka'bah bukanlah suatu kekuatan gaib tapi, ma-lah, merupakan fenomena alamiah yang mengumandangkan kelahiran Nabi—menunjukkan pancaran Sinar yang agung di tengah kegelapan.

Untuk memahami makna gajah ini kita harus menyadari bahwa apa pun senjata yang dimiliki manusia pada waktu itu adalah lemah dan jarang. Pada sebuah negeri di mana para pejuangnya memiliki paling banyak hanya beberapa buah tombak dan pedang tumpul saja, maka dengan memiliki seekor gajah menunjukkan bahwa pemiliknya nyaris dianggap sebagai seorang kaisar.

أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ

2. Bukankah Ia menyebabkan strategi mereka berakhir dengan kacan-balau?

Kayd berarti 'komplotan yang licik', atau 'rencana yang licik'. Bukankah Allah membuat komplotan mereka yang sudah direncanakan dengan baik berjalan serba salah?

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ

3. Dan mengirimkan sekawanan makhluk terbang untuk melawan mereka,

Ababil berarti 'kawanan'. la tidak mesti hanya menunjuk kepada kawanan burung, tapi juga kepada jumlah besar yang membanjiri.

تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ

4. Melempari mereka dengan bebatuan dari tanah liat yang dibakar.

Sijjil berarti 'batu seperti bongkahan tanah liat kering'. Kata ini dikaitkan dengan kata keija sajala yang berarti 'mencatat, menuliskan' atau 'mendokurnentasikan'. Terdapat banyak penafsiran mengenai ayat ini. Kita tidak tahu fenomena macam apa ini, apakah itu benar-benar badai yang membawa sekawanan makhluk yang berukuran kecil sekali, seperti burung-burung, yang menimpuki pasukan besar ini dengan batu (sijjil) yang dapat menembus daging mereka, ataukah itu suatu penyakit yang tiba-tiba menjalari mereka (banyak penyakit seperti campak dan cacar tidak teridentifikasi pada masa itu), yang mungkin dibawa oleh burung-burung atau serangga. Meskipun terdapat fakta bahwa kejadian ini diketahui dan dibicarakan di mana-mana, kita masih tidak tahu sifat sebenarnya dari serangan tersebut karena pada masa itu pemahaman manusia mengenai fenomena alam tidak seterang pemahaman kita zaman sekarang. Kita hanya tahu bahwa pasukan besar ini tiba-tiba hancur sama sekali begitu ia mendekati Ka'bah.

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ

5. Maka Ia menjadikan mereka seperti jerami yang dilahap.

Akibat serangan itu adalah bahwa bala tentara yang jumlahnya banyak sekali ini menjadi bagaikan tunggul jerami padi atau rerumputan yang tersisa setelah dipangkas. Pada sebagian penjelasan dikatakan bahwa setelah penghancuran ini, tanah terlihat bagaikan alas datar yang terbuat dari ribuan tentara musuh dan gajah-gajah mereka tergeletak di atasnya.[]

11
SURAH AL-HUMAZAH SURAH AL-HUMAZAH

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

Beberapa ayat tertentu dalam surah ini khusus ditujukan kepada orang-orang yang secara aktif menentang Nabi, dan sebagian di antara mereka narnanya telah disebutkan. Mereka semua sangat kaya, dan menurut dugaan memiliki kekuatan besar serta tak henti-hentinya menyombongkan kekuatan dan kekayaannya seraya menghina kaum muslim.

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ

1. Celakalah bagi setiap pengumpat dan pemfitnab!

Wayl berarti 'kemalangan atau kesukaran yang besar', dan diterjemahkan sebagai seruan 'Celakalah!' Wayl menyebabkan timbulnya salah satu sungai di neraka. Dalam sifat manusia ada tuntutan untuk mengusahakan dukungan dari orang lain, sehingga kita hanya mencari sahabat yang dapat memperkuat keabsahan segala perbuatan kita.

Humazah adalah 'pengumpat' atau 'pemfitnah'. Dalam bahasa Arab, huruf hamzah adalah penghentian suara dalam celah suara, dan hamazat al-syayathin adalah bisikan jahat setan, bisikan halus yang kita dengar dalam diri kita.

Lumazah berarti 'pencari kesalahan', dan berasal dari kata kerja lamaza, yang berarti 'mengedipkan mata pada seseorang, menjelekkan seseorang, mengkritik, mencela, memfitnah, mencemarkan nama baik'. Barangsiapa memfitnah orang lain berarti mengungkapkan kelemahannya sendiri dan memberitahukan kegelisahannya, sebagaimana keangkuhan menunjukkan ketidakpastian yang besar tentang diri seseorang. Jika seseorang benar-benar yakin bahwa ia berada di jalan yang benar, jika ia mengakui ketergantungannya pada Allah dan menyadari bahwa setiap orang akan mengetahui kebenaran secara utuh dan mutlak, maka ia tidak akan menyerah kepada ajakan untuk mengumpat orang lain. Sebenarnya, umpatan dan kesombongannya itu hanya mengungkapkan penyakit dan keadaan sakitnya, sehingga datang peringatan bahwa kecelakaan akan menimpanya, dan ia akan hancur.

الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ

2. Yang menumpuk-numpuk harta dan menghitungnya [sebagai persediaan],

Ayat ini berkenaan dengan orang yang mengumpulkan harta dan mencari perlindungan serta penguatan dengan menghitungnya terus-menerus. Penumpukan terus-menerus dan memeriksa apa yang dimiliki seseorang adalah bentuk lain dari mencari keamanan. Orang-orang saleh berkata, 'Orang yang mencintai harta adalah seorang munafik, dan orang yang menimbun harta adalah orang jahil.' Bukti kemunafikan (nifaq) dan kejahilan terdapat pada pengumpulan dan penimbunan harta (mal).

يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ

3. Ia mengira bahwa hartanya akan mengekalkan dia.

Hasaba berarti 'menghitung, menggabungkan'. Ia mengira bahwa ia bergerak mendekati khuld (keabadian) dengan menghitung dan melindungi apa yang secara keliru dikiranya akan memberinya umur panjang dan kekekalan. Ibadahnya sesat. Kekal adalah sifat Allah lainnya: al-Khalid. Kita semua ingin mengetahui yang Mahakekal karena hanya dengan begitu kita akan selamat, kita mengetahui bahwa yang ada hanyalah keabadian. Tapi barangsiapa percaya bahwa apa yang telah ditimbunnya akan memberi dia keamanan maka ia benar-benar telah tergelincir dari jalan yang benar.

كَلَّا لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

4. Tidak! Dia pasti akan dilemparkan ke dalam neraka yang mengbancurkan.

Nabadza berarti 'melemparkan, membuang, mengafkir, mengusir, melepaskan'. Dengan membuang hal yang tak berguna atau berbahaya berarti kita diproteksi dari kejahatan di dalamnya.

Huthamah, sebutan untuk neraka, artinya 'bencana yang menghancurkan', dan berasal dari hathama, 'memecahkan, menghancurkan, merusak'. Sangat pasti, barangsiapa mencari perlindungan pada hartanya, atau pada apa saja dari dunia nyata, berarti tidak percaya bahwa tangan Yang Mahagaib berada di balik yang nyata. Dia akan dilempar ke tempat yang hanya akan menyebabkannya hancur.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ

5. Dan apa yang membuat engkau tahu apakah neraka yang menghancurkan itu?

Lagi-lagi kita ditanya, seakan menekankan pentingnya huthamah: 'Dan apa yang engkau tahu tentang itu? Makna lain dari huthamah berasal dari kata kerja bentuk keduanya—yang artinya 'memecahkan'—yang menunjukkan bahwa agar pecah atau rusak, maka obyek yang dilibatkan harus cukup solid untuk mulai menghancurkan. Penekanan ganda pada huthamah ini dimaksudkan untuk memberitahukan, dengan cara yang senyata mungkin, tentang konsekuensi-konsekuensi yang menyakitkan akibat dari melihat kepada selain Allah.

نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ

6. Api yang dinyalakan oleh Allah,

Bencana yang menghancurkan adalah Api Allah yang menyala selamanya.

الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ

7. Yang menjilat-jilat ke hati.

إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ

8. Sesungguhnya itu akan tertutup rapat mengelilingi mereka.

Api Allah ini terkunci di dalam hati manusia. Itulah api yang menyebabkan manusia berada dalam kerugian, dan berusaha mencari perlindungan dalam keamanan materi, harta dan kekuasaan. Kita menyaksikan hal ini dalam kultur kita sekarang, karena kita telah benar-benar mencari perlindungan dengan mengikuti berbagai perkiraan dan kalkulasi kita. Kita mengira bahwa yang memiliki kepentingan paling besar adalah yang dapat dilihat atau nyata, tapi yang nyata itu bukanlah keseluruhan dari apa yang ada dalam dunia ini; itu hanyalah satu aspek daripada yang ada di dunia ini, satu manifestasi dari realitas. Tegasnya, ada daya atau kekuatan lain di belakang layar.
فِي عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ

9. Pada tiang-tiang yang terulur.

Api akan rapat mengelilingi hati pada tiang-tiang yang memanjang, dan membentuk dinding yang panas yang diciptakan oleh hati itu sendiri karena kejahilannya. Beberapa orang saleh berbicara tentang dua macam api: api kejahilan yang hanya menyebabkan kehancuran, dan cahaya ilmu. Namun, surah ini biasanya ditafsirkan sebagai ditujukan kepada orang-orang yang merugi. Hati mereka terkunci dalam api pengetahuan terakhir yang dinampakkan.

Karena surah ini berbicara tentang orang-orang yang berlindung dalam dunia materi yang bersifat nyata serta yakin bahwa tidak ada apa-apa di luar dunia materi, maka surah berikutnya menjelaskan melalui contoh tentang sesatnya keyakinan mereka.[]

12
SURAH AL-ASHR SURAH AL-ASHR

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

وَالْعَصْرِ

1. Demi waktu,

'Ashr berarti 'waktu, zaman', atau 'sore, mundurnya hari'. Ini merupakan pertanda dari awal kemunduran yang dimulai setelah segala sesuatu mencapai zenitnya dan telah sampai pada pencahayaan penuhnya.

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

2. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.

Berdasarkan kenyataan bahwa kita menjalani waktu, ternyata manusia selalu dalam keadaan rugi. Dan berdasarkan kenyataan hidupnya, ternyata sifat rendah manusia itu merugikan. Khusr berarti 'kerugian, pengurangan'. Manusia memiliki sifat bingung, ia berayun dari satu situasi ke situasi lainnya, dari satu ketidakpuasan ke ketidakpuasan lainnya, dari satu ilusi ke ilusi lainnya. Kehidupannya tidak memuaskan karena ia tidak bisa beristirahat, atau memperoleh kedamaian dan ketenangan di dalamnya. Itulah keadaan normal dari kehidupan dunia ini, dengan fluktuasi-fluktuasinya yang meletihkan manusia. Baru saja satu situasi terkendali, situasi kacau baru yang tidak memberi harapan terjadi.

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

3. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.

Orang-orang ini dikecualikan karena mereka akan berusaha melebihi keadaan alamiahnya. Secara inheren, tidak ada yang salah apabila terjadi kemunduran pada kondisi manusia, sebagaimana digambarkan tadi. Karena, kemunduran itu mengikuti busur alamiah dari penciptaan. Kita harus ingat bahwa Allah mengatakan dalam sebuah hadis kudsi, 'Apa yang salah pada hamba-hamba-Ku? Mereka berdoa kepada-Ku, meminta kemudahan dan kesenangan di dunia ini, dan Aku tidak menciptakannya untuk itu!'

Begitu kita menyadari keadaan rugi ini maka kita dapat membebaskan diri dari situasi tersebut melalui ketaatan, tidak melalui serangan langsung terhadap kehidupan atau mencoba mengendalikan kehidupan. Hanya melalui ketaatan—bukan berarti melarikan diri dari masalah melainkan keyakinan bahwa yang ada di balik penciptaan benar-benar aman—akan diperoleh keuntungan yang mutlak. Jalan menuju kepercayaan itu adalah melalui keyakinan yang didasarkan pada ilmu (iman), dan amal saleh.

Termasuk dalam panggilan salat adalah ungkapan hayya 'ala al-falah (mari menuju keberhasilan). Panggilan ini mengajak kita untuk meraih keberhasilan yang timbul dari ketundukkan kepada dilema keadaan manusia yang merugi. Dari keadaan bingung dan rugi yang biasa, keberhasilan bisa terwujud pertama-tama melalui keyakinan batin bahwa kita bisa berhasil—bahwa kita dapat mengatasi keadaan—tidak melalui materi atau dengan menguasai, tapi dengan mengubah sikap kita. Kita tidak dapat mengubah sifat dunia, sebesar apa pun upaya kita. Kekuatan semata tidaklah dapat mengatasi keadaan kecuali dengan mengubah arah batin, yaitu mewujudkan iman ke dalam amal saleh.

Washa berarti 'memperingatkan, melarang, memerintahkan, menasihati'. Kata benda turunan, washiyah berarti 'kemauan', yakni perintah yang terakhir dan terpenting yang ditinggalkan seseorang. Kata kerja di sini diungkapkan dalam bentuk jamak karena berkenaan dengan manusia. Implikasinya adalah bahwa guna mengatasi keadaan normal keduniawian maka kita harus melibatkan orang lain; masalah keduniawian tidak dapat diselesaikan melalui pengasingan diri. Juga berarti bahwa di antara orang lain dalam kesatuan sosial ada ukuran yang dapat kita jadikan sebagai patokan untuk mengukur diri. Jika kita hidup bersama sekelompok orang yang berorientasi pada kebenaran dan saling memikirkan, maka kedustaan dan kemunafikan kita akan terungkap.

Fondasi dari semua ini adalah shabr, 'kesabaran', karena Allah adalah Yang Mahasabar, al-Shabur. Allah berada di luar waktu. Kesabaran berarti menyusutkan waktu. Umpamanya, jika kita ingin memakan buah mentah sebelum waktunya dan kita tahu harus menunggu tujuh hari sebelunn buah itu siap dimakan, maka kita siap untuk menunggu. Yang harus kita lakukan adalah membekukan waktu seminggu menjadi 'waktu nol'. (Kita menunggu sampai waktu yang seminggu itu habis dijalani—peny.).

Surah ini dimulai dengan 'ashr dan diakhiri dengan shabr dan menunjukkan kepada kita bahwa waktu berasal dari Allah, dari Yang Tak Berwaktu. Surah ini mulai dengan apa yang kita alami, berbagai peristiwa yang berubah-ubah dan bersifat siklis, dan berakhir dengan fondasi, yang tak tergoyahkan dan tak berubah: shabr (kesabaran). Ketika Sembilan Puluh Sembilan Nama dituliskan atau dibacakan, maka Nama al-Shabur selalu yang terakhir, karena Sifat itu merupakan fondasi untuk penciptaan.[]


13
SURAH AL-TAKATSUR SURAH AL-TAKATSUR

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

Manusia selalu berharap mendapatkan karunia atau pertambahan—dan segala sesuatu di dunia ini senantiasa bertambah—sehingga, karena memang sifatnya, ia mencari tambahan dalam setiap aspek kehidupan meskipun mungkin saja hal itu berarti pengurangan dalam aspek lain. Umpamanya, pertambahan dalam kesombongan atau pengharapan seseorang pada hakikatnya merupakan pengurangan sifat luhurnya.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

1. Penimbunan melalaikan kamu,

حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

2. Sampai kamu mendatangi kubur,

Penjelasan khusus mengenai ayat ini berkenaan dengan suatu peristiwa ketika jumlah pengikut Nabi sedang dihitung oleh musuh-musuhnya di Mekah, yakni kaum Quraisy. Mereka bangga dan menyanjung diri mereka sendiri karena jumlah mereka melampaui kaum muslim. Tapi, dalam penghitungannya temyata jumlah yang mereka peroleh itu termasuk mayat-mayat dari anggota mereka yang mati. Setiap keluarga ingin kelihatan lebih kuat dibanding yang lain, dan untuk itu para anggota keluarga mereka pergi ke pemakaman lalu menghitung mayat mereka agar dapat mengklaim bahwa mereka lebih kuat.

Cara lain mengkaji ayat-ayat ini adalah dengan memahami bahwa kuburan mewakili tubuh. Jika kita melihat pada tubuh kita sebagai sumber kekuatan, berarti kita tidak sedang melihat ke arah yang benar.

Penjelasan mengenai dua ayat ini adalah, 'Harta, keluarga, dan sukumu serta jumlah mereka membuat kamu bangga, dan itu kebalikan dari takut, padahal tujuan dari kehidupan kita adalah berada dalam kesadaran yang terus-menerus, dalam keadaan ingat akan Allah (zikir). Dalam keadaan demikian kita tahu bahwa apa pun yang memalingkan kita akan membawa kita pada kelalaian'. Namun, sebenarnya apa pun selain Allah adalah tidak ada. Jika kita mencoba melihat pada apa saja selain yang sudah dan akan terjadi, berarti kita sedang memperturutkan pemikiran yang keliru.

Pertambahan secara duniawi merupakan salah satu bentuk kesulitan kita yang pertama karena ia akan membawa dampaknya sendiri. Jika kita memiliki harta, maka orang lain berusaha mengambilnya; jika kita mempunyai keluarga, maka kita harus menjamin nafkahnya terus-menerus, dan sebagainya. Keberlimpahan akan mendatangkan kelalaian kalau kita tidak sungguh-sungguh di jalan yang benar. Jika fi sabilillah (di jalan Allah), maka pertambahan tersebut akan menjadi urusan Allah.

كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

3. Tidak! Engkau akan segera mengetahui.

ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

4. Sekali lagi tidak! Engkau akan segera mengetahui.

كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ

5. Tidak! Sekiranya engkau mengetahui dengan ilmu yang pasti,

Kita akan mengetahui hanya jika kita mencari ilmu yang pasti (ilm al-yaqin). Dengan secara cermat mengamati berbagai peristiwa kita akan mengetahui konsekuensinya masing-masing, sehingga paling tidak kita akan mempunyai kepastian tentang kapan semua peristiwa itu akan berakhir. Namun, dalam kehidupan ini ada perintah kepada semua orang baik laki-laki maupun perempuan untuk mencari ilmu. Nabi berkata, 'Carilah ilmu, sekalipun ke negeri Cina,' dan dari sejak lahir kita pun selalu ingin mengetahui ilmu. Ilmu di sini berarti ilmu batin, dan ilmu batin yang sejati adalah kepastian.

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ

6. Engkau pasti akan melihat api neraka;

Jika manusia mencari ilmu, ia akan melihat api neraka di sini dan saat ini. Meskipun api besar akan datang kelak, namun akarnya sudah ada di sini dan akan seutuhnya menjelma di kehidupan mendatang. Kita akan dapat memahami makna api di sini dan saat ini jika kita melihat ke dalam hati yang paling dalam, jika kita ingin memiliki ilmu batin itu.

ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ

7. Lalu engkau pasti akan melihatnya dengan penglihatan yang pasti;

Pertama-tama neraka dikenal melalui 'ilm al-yaqin (ilmu yakin/pasti). Kemudian, jika ada hal yang luput dari kita setelah melalui ilmu yakin, maka kita akan melihatnya melalui 'ayn al-yaqin (penglihatan yang pasti). Kemudian setelah itu kita akan sampai pada proses mengetahui kebenaran melalui haqq al-yaqin (kebenaran yang pasti). Jika tidak ada yang luput dari kita setelah itu, dan kita sudah menjadi kesadaran yang sejati, maka kita menjadi baqq al-haqq (kebenaran dari kebenaran). Keadaan neraka sudah jelas dan merupakan bentuk keadilan yang besar di mana ketidakjelasan atau ambiguitas akan berakhir.

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

8. Lalu pada bari itu engkau akan ditanya tentang keuntungan dan kenikmatan.

Lalu pada hari akhir itu, pada Hari Pengadilan, dalam kemutlakkan, kita akan ditanya tentang nikmat dan kesenangan hidup yang diberikan kepada kita. Tiba-tiba kita akan melihat apa yang telah kita hambur-hamburkan, dan bagaimana kita menyalahgunakan dan mengingkari nikmat Allah dan potensi yang diberikan kepada kita untuk mencari dan memperoleh ilmu. Apa yang halal bagi kita akan diperhitungkan dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas cara kita menghabiskan waktu kita, apakah digunakan untuk tidur, atau menunggu makanan berikutnya, dan sebagainya. Lalu kita akan bertanya kepada diri kita sendiri mengapa kita tidak menyadari terhadap kepastian hari ini, dan kita akan mengetahui bahwa kita tidak sadar karena kita terlena oleh penimbunan dan penambahan harta kita dalam segala bentuknya.[]


14
SURAH AL-QARI’AH SURAH AL-QARI’AH

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

الْقَارِعَةُ

1. Malapetaka yang tiba-tiba!

مَا الْقَارِعَةُ

2. Apakah malalpetaka yang tiba-tiba itu?

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ

3. Dan apa yang akan membuat engkau mengerti apa malapetaka yang tiba-tiba itu?

Qara'a berarti 'mengetuk, memukul, mencaci-maki, mengomeli, menguasai seseorang, berkelahi atau bertengkar'. Al-qari’ah adalah sebutan untuk panggilan kedua yang akan mengumandangkan awal Kebangkitan. Panggilan pertama dan kedua akan berbunyi dengan tujuan membangkitkan rasa terpesona dan pengagungan. Panggilan terakhir—'Dan apa yang akan membuat engkau mengerti apa malapetaka yang tiba-tiba itu?'—akan membentangkan imajinasi dan rasa terpesona kita, yang memungkinkan kita untuk menggemakan dalam diri kita pemahaman tentang finalitas itu.

يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ

4. Pada hari di mana manusia akan seperti ngengat yang penuh bertebaran,

Peristiwa kehancuran ini disampaikan dengan cara yang mudah kita pahami. Farasy berarti 'ngengat atau kupu-kupu'; akar dari farasya yang berani 'menebarkan'. Kata mabtsuts berasal dari batstsa, yang berarti 'membuka gulungan, membuka yang sifatnya membubarkan'. Dalam bahasa Arab modem kata tersebut juga berarti 'menyampaikan melalui radio', yang berarti penyebaran atau penyaluran riak gelombang energi yang tidak hanya secara fisik. Manusia akan seperti ngengat yang bertebaran, tapi tentu saja tidak dalam keadaan kacau-balau atau kalang-kabut. Mereka bisa saja kelihatan kacau-balau, tapi keadaan mereka yang bertebaran itu akan menyerupai transmisi gelombang radio yang mempunyai arah.

وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ

5. Dan gunung-gunung akan (berterbangan) seperti bulu domba yang disisir.

Napasya berarti 'membengkak' dan 'mengembang atau menggelepai-gelepai'. Gunung-gunung, yang sekarang begitu kokoh dan keras, akan kembali ke wujud asal mereka dan menjadi seperti bulu domba yang tidak dipintal karena mereka tidak dibuat dari apa pun selain perintah: 'Jadilah!', (kun).

فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ

6. Adapun orang yang timbangan amal baiknya berat,

فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ

7. Ia akan menjalani kehidupan yang menyenangkan.

Orang yang perbuatan, niat, kesadaran dan keingatannya terhadap Tuhan (zikir) dalam kehidupan ini berat dalam arti substansial—maksudnya konstan, teratur dan tetap—adalah orang yang akan berada dalam kesenangan yang sempurna.

وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ

8. Adapun orang yang timbangan amal baiknya ringan,

فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ

9. Tempat tinggalnya adalah jurang yang paling dalam.

Orang yang timbangannya ringan, orang yang perbuatannya dalam kehidupan ini tidak berarti, maka kerugiannya di kehidupan nanti akan sebanyak di kehidupan sekarang. Umm berarti 'sumber, asal, fondasi, esensi atau ibu', dari kata kerja amma, yang berarti 'berusaha, berkeinginan untuk memimpin'. Bagi orang yang perbuatan salahnya lebih berat daripada perbuatan baiknya, maka tempat tujuannya adalah lubang yang tak berujung, hawiyah, dari kata hawa, yang berarti 'jatuh, ambruk'. Ini menggambarkan kejatuhan terakhir yang tidak akan ada ujungnya di wilayah yang tak berbatas waktu.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ

10. Dan apa yang membuat engkau tahu apa itu?

نَارٌ حَامِيَةٌ

11. (Itu adalah) api panas yang berkobar.

Apa yang kita tahu tentang itu? Kita hanya dapat mencicipi rasanya saja di sini: merasakan panasnya api kecil. Hamiyah berasal dari hama, yang berarti 'menjadi sangat panas, panas hati, berpijar, dan menjadi sangat marah'. Ini adalah gambaran tentang keadaan yang sangat berapi-api. Jika kita mengetahui tentang pergolakan yang terjadi akibat dari perbuatan yang salah, berarti kita telah mendapat rasa pendahuluan dari api neraka.[]

15
SURAH AL-‘ADIYAT SURAH AL-‘ADIYAT

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allab, MaHa Pengasih, Maha Penyayang.

Kultur masyarakat tempat Alquran diturunkan adalah kultur gumn pasir di mana peran unta dan kuda sangat menonjol. Oleh karena itu, banyak penjelasan diberikan dalam Alquran mengenai ibil (unta) dan khayl (kuda). Kata untuk kuda adalah kata benda kolektif dan juga dihubungkan oleh kata akarnya dengan khala, yang berarti 'mengkhayal, berpikir, mengira', dan khayl, yang berarti 'khayalan, fantasi, bayangan', atau kemampuan batin untuk membentuk kesan atau konsep dari berbagai obyek yang tidak ada atau tidak hadir. Kemampuan batin ini merupakan salah satu fenomena eksistensi yang paling, yang sebenarnya menjadi dasar bagi pengalaman eksistensi. Lima ayat pertama ini adalah tentang kuda dalam arti harfiah.

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا

1. Demi [kuda] yang berlari kencang dengan terengah-engah,

Al-'Adiyat berasal dari kata kerja 'ada yang berarti 'berlari, berderap, lari cepat-cepat atau berlomba cepat'. Dhabhan berarti 'dengusan, suara terengah-engah atau megap-megap karena berlari terlalu cepat'. Kuda-kuda berlari kencang seolah-olah menyerbu musuh. Hal ini bisa juga berkenaan dengan serbuan kekuatan musuh terhadap kaum muslim atau, kalau tidak, serbuan kekuatan iman. Sebagian orang saleh menganggap ayat ini berkenaan dengan serangan nafs pada saat berada di alam zikir yang tinggi.

فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا

2. Dan yang memercikkan bunga api,

Ini gambaran lain tentang serbuan. Sambaran percikan api bisa jadi merupakan rabuk nafs yang mengering ketika percikan 'irfan (pengetahuan langsung) menyalakannya. Lagi-lagi hal itu menunjukkan daya, kekuatan dan petunjuk. Kita dapat merasakan dalam ayat ini suatu situasi perjuangan dan pertempuran, bentrokan antara dua kekuatan yang berlawanan, konfrontasi antara iman (kepercayaan, keyakinan) dan kufur (penyangkalan realitas).

فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا

3. Dan yang menyerang tiba-tiba di waktu pagi,

Kata shubh, yang berarti 'fajar, pagi', di sini berarti membuka wilayah musuh, membuka kegelapan dengan cahaya pagi, membuka kegelapan batin kita dengan cahaya Allah.

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا

4. Lalu menerbangkan debu,

Para penyerang—yang menimbulkan percikan-percikan—mengaduk-aduk debu yang sudah ada, karena debu adalah adim (lapisan kerak bumi) yang pertama, yang paling rendah, dan asal penciptaan Adam. Penyucian jiwa mirip dengan peluruhan debu dari tubuh, yakni, transendensi tubuh di dunia ini dan di dunia akan datang.

فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا

5. Lalu kuda-kuda itu menyerbu ke tengah kerumunan musuh:

Tiba-tiba para penyerang ini mendapati dirinya di tengah-tengah musuh, di tengah kerumunan. Seseorang bisa tiba-tiba berada di tengah wahm (ilusi)-nya sendiri, bisikan hati dan nafs-nya. Ia bisa tiba-tiba mendapati dirinya berada di tengah kerumunan orang-orang yang dianggapnya kufur. Tiba-tiba dunia subyektifnya runtuh tanpa ada peringatan lebih dahulu.

Dinamisme dari apa yang digambarkan dalam ayat-ayat pertama ini merupakan sesuatu yang dapat kita semua saksikan. Gambaran tersebut melukiskan serangan bersemangat yang memiliki suatu tujuan, suatu misi, di mana unsur-unsur pokok muncul, yakni percikan api dan debu, kemudian pergerakan ke tengah-tengah, dan pelepasan napas yang penghabisan, karena terengah-engah dan sesak napas, yang diakibatkan oleh semangat. Tiba-tiba kita diberikan suatu pandangan kaleidoskopis (yang berubah-ubah dengan cepat) tentang apa yang dapat kita saksikan dari berbagai peristiwa luar di dalam hati kita. Panorama dari berbagai peristiwa dan perbuatan di dunia lahir merupakan cermin dari apa yang berlangsung dalam batin..

Lalu tiba-tiba kita sampai pada alam manusia, sifat dasamya yang dapat dilihat dan tidak dapat dilihat yang dapat kita selidiki, perhatikan, dan renungkan agar kita dapat melampaui apa yang terdekat kepada kita, yakni, di luar kecenderungan-kecenderungan kita yang alamiah dan rendah.

إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

6. Sesungguhnya manusia tidak bersyukur kepada Tuhannya!

Kecenderungan yang paling lazim pada manusia adalah kunud, yang berarti 'tidak ada rasa syukur'. Manusia mengingkari rahmat, kasih sayang, dan nikmat Allah. Itu memang sifatnya karena dalam dirinya ada benih ketidak-bergantungan yang menggemakan sifat Allah, Yang Sama Sekali Tidak Bergantung. Dalam kesombongannya manusia menganggap dirinya independen, suatu pemikiran yang sesat mengenai aspek Ilahiah.

وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ

7. Dan sesungguhnya ia menjadi saksi langsung atas hal itu.

Namun, pada manusia ada sesuatu yang lebih dalam dari rasa tak bersyukur, yakni kesadaran akan kesadaran, dan hal ini menjadikan dia sebagai saksi atas dirinya sendiri dalam situasi tersebut. Manusia sendiri adalah saksi untuk dirinya sendiri ketika dalam keadaan tidak bersyukur. Penyaksian ini tidak bisa terjadi kalau tidak ada sesuatu yang sudah ada dalam dirinya yang bahkan lebih tinggi dari nafs, atau dengan kata lain, kalau nafs yang tinggi tidak menerangi nafs yang rendah. Nafs yang rendah menyangkal, meragukan, bermuka dua, dan berubah warna sesuai dengan keadaan, sedangkan kesadaran yang tinggi menerangi kesadaran yang rendah. Cahaya ilmu pengetahuan sudah ada dalam diri manusia, tapi ia harus membiarkannya memantul dalam mata batinnya, agar ia dapat melihat dengan jelas. Yang dilihat manusia tergantung pada mata yang digunakannya untuk melihat, apakah menggunakan mata nafs yang rendah atau menggunakan mata batinnya yang tinggi.

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

8. Dan sesungguhnya ia sangat teguh dalam kecintaannya terhadap harta.

Sifat manusia memang ingin 'terikat' pada hal yang baik—syadid (kokoh, kuat) berasal dari syadda, yang berarti 'mengetatkan, mengikat'. Ia mencintai hal yang dianggapnya baik, walaupun yang kelihatan baik bagi dia saat ini mungkin tidak baik bagi dia di saat Sain.

أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ

9. Apakah ia tidak mengetahui, tatkala apa yang ada dalam kubur dibangkitkan,

Manusia selalu mencari perlindungan dan kesenangan, dan juga ingin dibiarkan sendiri dengan nilai-nilainya. Ayat ini bertanya kepada kita, 'Apakah manusia tidak menyadari bahwa apa yang tersembunyi dalam hati, apa yang tersembunyi dalam kubur, akhirnya akan keluar?' Akhirnya kita semua akan dikeluarkan dari kubur-kubur kita, dan yang sekarang tersembunyi dalam hati akan diungkapkan dalam kehidupan mendatang. Apa pun yang dikubur atau disembunyikan akhirnya akan terungkap.

وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ

10. Dan apa yang ada dalam dada akan ditampakkan,

Hashala berarti 'disamping, jelas'. Apa yang tersembunyi dalam dada akan ditampakkan dan menjadi jelas. Penampakkan ini dapat terjadi sekarang jika kita sungguh-sungguh ingin mengetahui apa yang ada dalam hati kita. Tujuan eksistensi ini adalah mencapai kesatuan, menyatukan yang ada dalam hati kita dengan perbuatan kita, melalui kejelasan dan kesadaran.

إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ

11. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itn akan benar-benar mengetahui mereka.

Hari ketika penyatuan atau pembukaan itu terjadi akan menjadi hari kebijakan Tuhan kita. Ketuhanan adalah hal yang menggiring kila kepada tauhid, kepada keesaan. Untuk mendapatkan hikmah dari pengalaman kita dalam kehidupan ini kita harus yakin bahwa apa pun yang ditakdirkan juga akan terungkap dan terang dalam pengetahuan sempurna Tuhan kita.[]

16
SURAH AL-ZILZAL SURAH AL-ZILZAL

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah ini melukiskan aspek permulaan dari akhir zaman. Alquran memberikan gambaran tentang bagaimana penciptaan dimulai, bagaimana ia akan berakhir, dan bagaimana penciptaan berikutnya akan terjadi. Di sini kita diberi sebuah model tentang kapan penciptaan mencapai kesempumaannya dan berhenti, yang menandai permulaan dari siklus berikutnya di mana alam semesta akan runtuh. Model ini dapat kita pahami melalui bahasa yang menarik bagi kejasmaniahan dan humanitas dasar kita.

إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا

1. Tatkala bumi berguncang dengan guncangan yang dahsyat,

Di sini kita diberikan suatu gambaran yang gamblang tentang guncangan bumi, tentang gonjang-ganjingnya. Ini akan menjadi akhir dari kerasnya bumi dan kekokohannya yang nyata, seperti kembali ke saat ketika bumi berupa zat cair, sebelum gunung-gunung muncul di atas logam cair dari inti bumi. Proses awal akan membalik.

'Tatkala bumi berguncang' menunjukkan bahwa peristiwa ini akan terjadi. Jika dulu kita dapat membayangkan Lembaran yang memuat keseluruhan rentang waktu penciptaan dalam diri kita, kita akan melihat peristiwa yang termuat di dalamnya dan akan dapat menghentikan jalannya waktu di dalam diri kita. Inilah yang terjadi pada Nabi pada Laylat al-Qadr tatkala Alquran ditumnkan kepadanya dan seluruh pengetahuan dibukakan kepadanya. Beliau ingin sekali membawakan seluruh pesan sekaligus, tapi turun ayat yang mengatakan, 'Jangan tergesa-gesa, semuanya akan terbentang.' Beliau ingin menanamkan pengetahuan bahwa yang kita anggap padat dan kokoh, yakni, semua eksistensi material, adalah bersifat terbatas.

وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا

2. Dan bumi mengeluarkan bebannya,

Atsqal (jamak dari tsiql) berarti 'beban, berat'. Kita menganggap bumi itu padat dan berat, tapi ayat ini memberitahu kita bahwa akan terjadi peristiwa di mana bumi akan mulai pecah berantakan. Kata atsqalaha dapat juga berlaku pada orang yang memikul beban berat. Secara khusus, ayat ini berkenaan dengan akhir penciptaan fisik dan pecahnya dunia. Tubuh manusia juga merupakan sebuah kiasan dunia: beban berat batin kita juga akan dibongkar dan dikeluarkan setelah kematian.

وَقَالَ الْإِنسَانُ مَا لَهَا

3. Dan manusia berkata: 'Apa yang telah terjadi padanya (dunia')?

Dan kemudian manusia, insan, yang karena sifatnya selalu ingin mencari tahu, bertanya-tanya sendiri. Tiba-tiba keadaan terhenti itu diaktifkan dan dibangkitkan kembali, yang menyebabkannya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

4. Pada hari itu bumi akan menyampaikan beritanya,

Segala sesuatu akan diungkapkan sebagaimana adanya. Tidak akan ada lagi persembunyian, tidak ada lagi rahasia dan perbuatan yang tersembunyi dalam diri kita. Wilayah amal akan dihilangkan dan tidak akan ada lagi kemungkinan apa pun untuk kita berpegang teguh pada lapisan-lapisan nafs kita yang sebelumnya dapat menyembunyikan banyak sekali rahasia.

بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا

5. Karena Tuhanmu akan mewahyukan kepadanya.

'Tuhanmu mewahyukan kepada bumi' berarti bahwa kemacetan kosmis ini sudah ditentukan dan bahwa hal itu akan terjadi pada saat yang tepat. Gempa bumi terakhir akan datang atas perintah sang Pemelihara, sang Pencipta. Hal tersebut telah ditentukan sebelumnya, karena segala sesuatu dalam realitas ini memiliki takdirnya sendiri dan semua takdir saling berhubungan, dan mereka dihubungkan oleh Kekuatan Halus yang tak kentara.

يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِّيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ

6. Pada hari itu manusia akan keluar dalam kelompok-kelompok untuk diperlihatkan segala amal perbuatannya.

Yashduru, dari shadara, yang berarti 'keluar, kedepan, berasal', dan 'membawa kembali'. Shadr berarti 'depan, dada', dan masbdar berarti 'sumber'.

'Amal berarti 'perbuatan', yang menunjukkan penjelmaan lahiriah dari niat-niat seseorang. Namun, saat yang dimaksud dalam ayat ini akan terjadi dalam wilayah amal. Menurut Alquran, dalam alam eksistensi ini di mana persoalan lahir (syariat) mempengaruhi persoalan batin (hakikat), pertama-tama kita memahami padatnya segala hal dan kemudian menyelidiki kehalusan realitas gaib mereka. Oleh karena itu, dalam alam ini yang padat meliputi yang halus.

Dalam pengalaman berikutnya akan terjadi kebalikannya: hal pertama yang akan kita lihat adalah unsur-unsur halus. Kita akan melihat segala niat kita dengan jelas dan siapa kita sesungguhnya. Ini tidak berarti bahwa seorang pematung secara tiba-tiba akan melihat semua patungnya berdiri di hadapan dia. Kita tidak akan melihat pekerjaan kita menurut pengertian itu, tapi yang kita lihat adalah hakikatnya. Nabi berkata, 'Amal hanya sesuai dengan niatnya.' Niat kita akan menjelma di dunia akan datang; kita akan melihat hati kita, yang pada saat sekarang kita takut sekali untuk memeriksanya. Kita akan melihat apa yang telah kita lakukan, apa niat paling dalam kita, dan motivasi sejati untuk semua perbuatan kita. Pada saat itu kita akan berhadap-hadapan dengan kebenaran mengenai apakah kita beramal dalam rangka mengenal Allah, atau sekadar untuk memenuhi tuntutan realitas dan menyenangkan orang lain.

وَمَن يَعمَل مِثقَالَ ذَرَّةِ خَيْرّاً يَرَهُ

7. Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atom, ia akan melihatnya,

Barangsiapa melakukan kebaikan sekalipun seberat atom dan berbuat dengan niat yang murni—fi sabil illah (di jalan Allah), karena Allah—akan melihat semua perbuatan baiknya di hadapan dia.

وَمَن يَعمَل مِثقَالَ ذَرَّةِ شَرّاً يَرَهُ

8. Dan orang yang mengerjakan kebumkan seberat atom, ia akan melihatnya.

Segala sesuatu akan dibentangkan seutuhnya. Dalam Alquran kita diberitahu bahwa yawm al-Qiyamah (Hari Pengadilan) setara dengan 50.000 tahun kita. Pada hari itu kita akan melihat segala sesuatu seakan-akan dalam gerak lambat. Bayangkan bahwa dalam keadaan marah seseorang memukul seorang anak kecil, dan seseorang lain secara diam-diam merekam kejadian itu. Bayangkan penderitaan yang akan dirasakan orang itu ketika melihat dan mendengar rekamannya ditayangkan lagi. Ini contoh tentang apa yang akan terjadi di kehidupan mendatang.[]

17
SURAH AL-BAYYINAH SURAH AL-BAYYINAH

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

1. Orang-orang yang menyangkal [kebenaran] dari golongan Ahli Kitab, dan para penyembah berhala, tidak bisa terlepas [dari orang-orang beriman] sampai bukti yang terang datang kepada mereka:

Bila ada petunjuk historis mengenai berbagai peristiwa khusus dalam Alquran, kita selalu bisa menerimanya sebagai berlaku juga bagi kita di zaman modern ini. Di antara orang-orang yang menganggap dirinya sebagai 'ahli kitab', tapi mengingkari dan menutupi kebenaran, akan terus dalam kesangsian dan penyangkalan sampai bukti yang terang datang kepada mereka. Namun ketika bukti itu benar-benar datang pun, mereka akan tetap dalam pengingkarannya. Orang-orang yang ingin ingkar akan terus berbuat begitu, demikian juga mereka yang ingin menyangsikan.

رَسُولٌ مِّنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُّطَهَّرَةً

2. Seorang rasul Allah yang membacakan halaman-halaman yang suci,

Pengertiannya di sini adalah bahwa sebagian dari kitab-kitab tercatat yang telah diturunkan sebelum Nabi Muhammad sudah tidak utuh lagi, sudah berubah atau, kalau tidak, bentuknya menjadi tidak lengkap lagi. Ini adalah salah satu dari makna muthahharah (suci). Nabi Muhammad menegaskan semua nabi sebelum beliau; ia tidak membawa hal-hal baru selain syariat yang disempumakan. Alquran berulang kali menceritakan kejadian yang menimpa para nabi sebelumnya seperti Musa, Isa, dan lain-lainnya. Beberapa kejadian yang sama senantiasa terulang kembali, dengan beberapa perbedaan hanya pada lingkungan dan warna masyarakatnya. Pada pokoknya, sifat rendah dan tinggi manusia adalah sama sepanjang masa.

فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ

3. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang jelas dan benar.

وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُالْبَيِّنَةُ

4. Dan orang-orang yang diberi Kitab tidak terpecah-belah hingga setelah datang kepada mereka bukti yang terang.

Al-bayyinah (dari bana, jelas, terang) adalah bukti dari Nabi yang terakhir, yakni kitabnya. Tafarraqa, dari faraqa, berarti 'menjadi terpisah, terpencar-pencar, terbelah dan dibeda-bedakan'. Dalam hal ini berkenaan dengan kaum yang terpecah ketika menerima pesan Nabi Muhammad. Ketika datang bukti kepada mereka, yang mempertegas apa yang ada di tangan mereka dan menyucikannya dari interpretasi yang salah, sebagian menerimanya dan sebagian menolaknya.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

5. Dan mereka tidak disuruh [melakukan] apa pun selain menghamba kepada Allah, ikhlas mematuhi-Nya, jujur, tulus, dan mendirikan salat, [menyucikan diri dengan] membayar zakat, dan itulah agama yang benar.

Perintah Allah, perintah Realitas, tak lain hanyalah ikhlas dalam menyembah Allah, Sang Pencipta. Hunafa’ adalah orang yang mendirikan salat secara lengkap, menegakkan din, dan melaksanakan penyucian serta berderma. Perintah sang Pencipta hanyalah menyembah dan beribadat kepada-Nya.

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِجَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

6. Sesungguhnya orang-orang yang menutup (kafir) dari golongan Ahli Kitab dan penyembah berhala, akan berada dalam api neraka, menetap di sana; mereka adalah makhluk yang paling buruk.

Jika kita mengingkari satu-satunya pesan yang berulangkali disampaikan yang memberitahu kita bagaimana agar selamat, bagaimana berperilaku dan bagaimana mencapai potensi kita yang paling maksimal dalam eksistensi ini melalui salat dan zakat (untuk membersihkan diri), maka kita akan mengalami kemgian dan melakukan perbuatan syirk (menyekutukan Allah). Orang-orang yang mengingkari pesan dan kemurnian turunnya, yang muncul dalam bentuk nyata, yakni kitab-kitab wahyu, maka mereka sudah berada dalam suasana neraka, dalam suasana jahanam yang bergolak. Ini adalah lubang tak berujung yang di dalamnya tidak ada stabilitas maupun kedamaian, tak ada kehidupan maupun kematian. Sebaliknya, yang ada adalah pergolakan dan kekacauan yang tiada henti. Manusia senantiasa mencari kestabilan, karena memang itulah sifatnya. Salat ritual harus dilaksanakan di atas dasar yang kokoh karena dalam salat-salat tersebut kita mencari pengetahuan tentang Allah, Yang Kekal dan Tak Berakhir, Yang tidak stabil bukanlah kebenaran, karena kebenaran hanya sekadar informasi.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan kebaikan, merekalah makhluk yang paling baik.

جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُخَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْخَشِيَ رَبَّهُ

8. Ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka adalah taman keabadian, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, tinggal di sana selama-lamanya; Allah ridha pada mereka, dan mereka ridha pada-Nya. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.

Di lain pihak, mereka yang percaya pada Realitas (amanu, dari amana, mempercayai, menerima), yang ada kedamaian dan keamanan dalam dirinya, yang percaya bahwa mereka akan mengetahui, yang telah percaya bahwa yang terkandung dalam kitab-kitab wahyu adalah kebenaran mutlak yang memancar dari Wujud Mutlak, dan yang mewujudkan kepercayaan itu ke dalam berbagai perbuatan yang benar, mereka adalah sebaik-baiknya ciptaan. Keadaan batin yang percaya pada rahmat Allah yang meliputi segala hal harus diwujudkan ke dalam tindakan, kalau tidak maka akan tetap menjadi hal yang abstrak.

Jaza'uhum berarti 'ganjaran mereka', dan ganjaran dari sang Pemberi ini muncul dalam bentuk taman-taman yang diairi oleh mata air-mata air dan sungai-sungai yang airnya mengalir dari bawah. Ini menunjukkan bahwa mereka disuburkan oleh energi-energi yang tidak nampak. Sungai-sungai atau energi-energi ini berupa sifat manusia yang luhur, seperti suka memaafkan, dermawan dan bermarta-bat. Kaum beriman selamanya dalam keadaan itu, karena, begitu seseorang mengalami keadaan tersebut, atau sekalipun melihatnya sekilas saja, ia akan semakin membelok ke arah tersebut.

Alquran berulang kali mengingatkan kita bahwa dasar dari Jalan ini adalah kesabaran. Kesabaran adalah akal sekat. Ini adalah keadaan seseorang yang percaya bahwa akalnya akan lebih tajam. Ia akan sampai pada pengetahuan dengan cara yang akan membuat kehidupan, perilaku dan lingkungannya lebih baik. Ini adalah iman positif yang diwujudkan ke dalam tindakan. Orang-orang yang mencapai kepercayaan sempurna lalu mempraktikkannya di dunia ini dengan segala kendala dan batasannya, mereka dijanjikan taman-taman abadi. Mereka akan berada dalam keadaan yang menurut anggapan orang lain sudah memiliki unsur-unsur surga. Namun, mereka tidak akan dikucilkan dari yang lain, tidak juga pura-pura dilindungi. Tidak ada perlindungan dan juga pemisahan.

'Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya'. Mereka dalam keadaan ridha (puas), keadaan yang muncul dari pengetahuan dan bukan optimisme pura-pura atau sekadar berpikir positif. Kepuasan yang datang melalui pengetahuan merupakan aspek kesempurnaan. Apa pun yang terjadi selalu sempuma, dan jika kita tidak memberikan penilaian tentang berbagai peristiwa maka kita akan melihat kesempurnaan di dalamnya. Namun, jika kita sudah berprasangka terhadap suatu keadaan dan sudah sepenuhnya berseberangan, maka kita akan melihatnya hanya dari perspektif dangkal kita.

Umpamanya, ambil saja contoh komedi. Penonton menyaksikan apa yang terjadi pada si pelawak dan tertawa, tapi si pelawak tidak tahu bahwa ember yang ditelungkupkannya penuh dengan cat. Dari sudut pandang si pelawak ini adalah sebuah tragedi. Tapi jika kita mengambil sudut pandang syahid (yang menyaksikan), maka kita akhirnya akan mencapai keadaan yang positif yakni rasa puas terhadap pengetahuan. Bila kita melihat sebuah gelas yang separuh kosong, tentu saja kita tidak memperhatikan separuh penuh dan berkata, 'Bagus sekali! Separuhnya adalah penuh!' Manusia sudah sifatnya tidak menyukai hal yang setengah-setengah; kita menginginkan semuanya penuh. Bagaimana pun, separuh geias adalah kosong karena separuh isinya telah diminum. Oleh karena itu, kita harus menerima keadaan dalam kesempurnaannya. Bagaimana pun keadaan itu menampakkan diri pada kita, kita harus menerimanya dengan ilmu pengetahuan, dengan hati dan kepala. Bila pemerimaan itu terjadi, 'Allah puas pada mereka dan mereka puas pada-Nya.' Realitas puas pada kita, dan kita puas pada Realitas; dengan demikian, segala sesuatu dalam eksistensi akan puas pada kita karena kita benar-benar seirama.

'Yakni bagi orang yang takut kepada Tuhannya'; pintu menuju ridha, pintu menuju kepuasan adalah khasyyah, yang berarti 'perasaan takut yang positif. Perasaan takut tersebut adalah rasa takut melanggar, takut mengemban tugas yang secara lahiriah kita tidak dapat melangkah dengan benar, apalagi secara batiniah, suatu tugas yang ketika mengembannya kita tidak mempunyai tujuan yang jelas. Sebelum kita melangkah lagi, hendaknya kita bertanya mengapa. Ketika kita mengatakan Bismtllah, maka kita melaksanakan perbuatan kita dengan Nama Allah, dan dengan cara demikian kita memohon rahmat-Nya. Mereka akan berhasil atau gagal dan apa pun hasilnya kita mengatakan, al-hamdu lillah, 'Puji bagi Allah'. Kita beramal karena Allah, dan jika kita tidak berhasil maka itu karena Allah tidak menghendakinya, meskipun kita sudah berusaha sebaik-baiknya.

Khasyyah adalah tahap pertama sebelum takwa. Orang yang memiliki rasa takut akan memperhitungkan akibat yang mungkin dari mengikuti jalan tertentu yang bersifat merusak dan karena itu ia tidak mau menempuhnya. Khasyyah berarti waspada jangan sampai melanggar, takut pelanggaran itu akan menimpa kita. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan astaghfirullah, dan dengan ungkapan ini kita memohon ghufran Allah, tidak hanya berarti 'ampunan'. Tidak bisa begitu saja. Hanya ada satu Realitas tunggal, maka siapa dapat memaafkan siapa? Ghufran berarti terlindung baik dari segala perbuatan yang diakibatkan oleh kita tanpa niat yang benar atau pengetahuan yang benar, dan dari apa yang pemah kita lakukan di waktu lampau yang tidak dilakukan atas nama Allah, yang efeknya akan kembali pada kita. Inilah pengampunan yang dimaksud itu. Pengampunan bukanlah dialog antara dua orang, karena hal itu adalah syirk, yakni dualitas. Yang kita kehendaki adalah realisasi penuh dari ketauhidan kita; kita menghendaki kemanunggalan, tanpa pemisahan.[]

18
SURAH AL-QADR SURAH AL-QADR

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Kekuasaan yang menciptakan semua sistem penciptaan telah membuat sistem-sistem itu sesuai dengan ukurannya, yakni, qadr yang membawa semua manifestasi penciptaan kepada qadha'-nya, dan keputusan akhir. Dalam surah ini kita diperlihatkan sekilas pada aspek makna qadha' wa qadr (kada dan kadar).

Qada' berarti 'nasib, takdir, keputusan, keadilan, ketetapan', dan 'yang telah disahkan'. Meskipun qadar berarti 'ukuran, ketetapan', namun ia juga berarti 'takdir' karena berbagai hal membentang dan berkembang sesuai dengan ukurannya. Keputusan atau ketetapan akhir dari setiap hal yang diciptakan mengikuti ukuran (qadr) yang diberikan padanya, karena kalau tidak maka akan kacau-balau. Ukuran-ukuran ini bisa berfluktuasi dan berjalinan di dalam batas-batas tertentu, tapi mesti ada suatu ukuran agar manusia dapat mengenal batas-batas dan mendapatkan pengetahuan tentang dunia.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

1. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada Malam Lailatul Qadr.

Laylat al-Qadr adalah Malam Kekuasaan, atau Malam Ketetapan. Pengetahuan tentang apa yang tertulis diturunkan pada Malam Kekuasaan dan diberitahukan kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian malam itu adalah malam ketika Nabi diberi pengetahuan, malam ketika lembaran tersembunyi dibukakan kepadanya.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ

2. Dan apakah yang membuat engkau tahu apa itu malam Lailatul Qadr?

Bila pertanyaan seperti ini muncul dalam Alquran, maka tujuannya adalah mengagungkan apa yang sedang dijelaskan. Dalam hal ini, pertanyaan tersebut mengangungkan malam saat terjadinya peristiwa Laylat al-Qadr. Setiap orang berpeluang untuk menjumpai Laylat al-Qadr. Kesadaran terhadap potensi kita yang paling utuh terjadi pada malam qadr kita. Terjadi pada saat kita melihat Kekuasaan di balik kekuasaan dalam penciptaan, atau kekuasaan dari Yang Kuasa, yakni Allah, dan kita mengalami kekuasaan pengetahuan batin. Malam Qadr terjadi sesuai dengan kapasitas masing-masing orang.

'Malam Ketetapan' adalah malam penyingkapan pada saat hati terbuka, pada saat lembaran di dalam hati manusia dibukakan, pada saat pengakuan langsung bahwa yang ada hanyalah Allah, dan bahwa segala sesuatu menerima penciptaan ini dari kekuasaan tunggal tersebut, semuanya dialami. Lembaran ini tidak memuat informasi yang lengkap-sempurna: ia berisi pengetahuan langsung.

Alkisah, Imam Ghazali mengadakan perjalanan jauh dengan membawa semua kitabnya. Tiba-tiba seorang perampok menghadangnya, lalu sang Imam menyuruh si perampok untuk mengambil apa yang disukainya tapi memohon agar tidak mengambil bagal yang memuat kitab-kitabnya. Namun dengan amat-sangat menyesal si perampok berkata, "Tapi itulah sesungguhnya yang aku inginkan', lalu ia mencuri semua kitabnya. Sembilan atau sepuiuh tahun kemudian, Imam Ghazali bertemu lagi dengan orang itu dan bertanya kepada Imam, 'Anda ingat saya?' Imam menggeleng tidak ingat. Lalu orang itu berkata, 'Aku adalah orang yang menolong Anda dengan mengambil semua kitabmu. Akulah yang menyebabkan Anda mendapat pengetahuan sejati. Ketika semua informasi yang sedang Anda bawa diambil dari Anda, Anda mencapai pengetahuan!'

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ

3. Malam Ketetapan itu lebih baik dari seribu bulan.

Orang Arab sering menggunakan angka tujuh, tujuh puluh atau seribu, atau kelipatan dari angka-angka itu, untuk menunjukkan suatu jumlah yang besar. Di sini alf (seribu) berarti 'suatu jumlah yang sangat banyak'. Jika kita tiba-tiba memahami sesuatu, kita menyadari bahwa satu hari pada saat mana kita tersadarkan adalah lebih baik dari beberapa tahun kebodohan. Dalam tenggang waktu sepuluh tahun kita bisa mengingat dua atau tiga hari yang sifatnya genting, yang mengandung saat-saat yang mengubah keseluruhan jalan hidup kita dan cara kita melihat berbagai hal. Hari-hari itu lebih berarti bagi kita dibanding seribu bulan.

Hadis menceritakan bahwa Nabi pernah melihat sebuah bayangan, sosok menyerupai kera yang berkhotbah dari mimbar beliau di Madinah, dan konon melalui tanda ini beliau meramalkan bahwa tak lebih dari satu generasi sepeninggalnya, selama seribu bulan, para pemimpin yang tak layak akan menyesatkan ummah (komunitas muslim).

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

4. Para malaikat dan roh turun di dalamnya atas izin Tuhan mereka, untuk menjalankan semua perintah.

Ruhh artinya 'roh, jiwa'. la berhubungan dengan rih, yang berarti 'angin'. Rahab, yang berarti 'kesenangan, kesentosaan atau kemudahan' juga berasal dari akar yang sama, sebagaimana kata ra’ihah, yang berarti 'parfum' dan mirwahah, yang berarti 'kipas'. Pengertiannya di sini adalah bahwa roh itu seperti angin, sehalus angin sepoi-sepoi. Roh ditiupkan ke dalam tubuh dan kemudian didup keluar tubuh. Laksana angin, kehalusannya diimbangi oleh kekuatannya. Dikatakan dalam Alquran, "Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: 'roh adalah salah satu dari perintah Tuhanku'" (Q.S. 17:85).

Pada Malam Kekuasaan itu, Yang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahakuat menebarkan rahmat ilmu pengetahuan-Nya dan membukakan pintu-pintu langit, dan daya serta kekuatan malaikat memenuhi kewajiban mereka untuk dengan murah hati membawakan pesan dan pengetahuan tauhid serta perintah dan pengawasan Tuhan.

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

5. Damai! Sampai terbitnya fajar.

Dari pengetahuan bahwa semua penciptaan terjadi sesuai dengan ukurannya dan sedang bergerak ke arah takdir sesuai dengan ukuran itu, muncullah kepastian damai. Kepastian batin ini, yang menerangi semua kemungkinan manifestasi lahiriah, mendatangkan keseimbangan dan kesesuaian yang memberikan kesadaran yang penuh harmoni dan kesatuan. Makna damai tersebut, yakni buah dari pengetahuan, karena sudah menjadi sifatnya maka bersemayam dalam setiap hati. Untuk menggali benih maka hati harus disucikan dan dibuka. Pencari pengetahuan tentang Allah menghabiskan hari-hari gelap malamnya dengan berjaga menantikan datangnya pembukaan, dan bila hal itu terjadi maka bagaikan pecahnya fajar.

Fajr berarti 'subuh, cahaya pertama pagi hari'. Fajara, akar dari fajr, berarti 'merobek, membuka, meletus'. Keadaan hati orang yang berpengetahuan tersembunyi dalam gelapnya malam tapi secara batiniah bersinar. Secara lahiriah berada dalam kegelapan tapi diterangi oleh cahaya batin, secara lahiriah diam tapi secara batiniah aktif dan dinamis di lautan pengetahuan. Sebagian besar kerja rohani dilakukan dari larut malam hingga fajar, saat paling minimal dalam aktivitas fisik atau lahir dan karena itu kemungkinan untuk aktivitas batinnya maksimum. Akar dari segala sesuatu terletak dalam kebalikannya. Akar dari bunga bakung yang paling indah, lembut, putih, dan sangat menarik terletak di dalam lumpur, begitu pula akar dari aktivitas batin yang maksimal terletak pada keberdiaman batin.[]

19
SURAH AL-'ALAQ SURAH AL-'ALAQ

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Lima ayat pertama surah ini umumnya dianggap sebagai ayat yang pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Surah ini berkenaan dengan upaya pembangkitan kecerdasan dan pengetahuan yang sudah ada dalam diri si pembaca, dan menyangkut pengetahuan diri serta pembacaan catatan batin.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

1. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan.

Iqra' (dari qara'a, membaca) berarti 'Bacalah!' Ini adalah perintah yang datang kepada Nabi, yang disebut sebagai ummi (tidak belajar secara formal). Tapi penerjemahan kata ummi sebagai 'buta aksara' atau 'tidak berpendidikan' adalah bentuk penyalahartian yang umum. Kalau sekadar tidak berpendidikan maka tidaklah ada artinya, dan jika Nabi buta aksara maka akan ada sesuatu yang keliru. Nabi sendiri mendorong agar kaumnya melek aksara dan selalu terus didampingi oleh para ahli baca-tulis. Namun beliau tidak mendapat pendidikan atau pengajaran formal, karena pengetahuannya berasal dari sumber 'batin'.

Ummi juga berarti 'keibuan atau seperti ibu'. Umm berarti 'ibu' atau 'sumber'. Pengetahuan beliau adalah dari Satu Sumber. Kalau kita mengatakan ummi maksudnya adalah bahwa diri beliau sendiri sudah merupakan catatan, dan berarti beliau membaca catatan dirinya sendiri.

Rabb (Tuhan) adalah entitas yang membesarkan kita, sebagai energi atau atribut Allah yang fungsinya adalah mendidik dan membesarkan setiap orang hingga mencapai potensi penuhnya. Itulah tujuan dari Penciptaan. Isi perintah adalah membaca dengan izin untuk mengenal tujuan penciptaan, memahami penciptaan secara keseluruhan, dan memahami realitas tunggal yang menjelma sebagai Rabb. Meskipun Rabb diterjemahkan sebagai 'Tuhan', na-mun memiliki makna yang banyak sekali. la berarti 'Pemelihara', dengan kerahman-rahiman-Nya manusia diberikan kesadaran dan ditopang dengan suplai udara.

Pada saat ayat-ayat ini diwahyukan kepadanya, Nabi sudah biasa menghabiskan berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan bermeditasi dalam sebuah gua untuk menembus selubung eksistensi, dengan cara demikian beliau mengikuti jalan orang-orang sebelumnya yang mengikuti diktum, 'Orang yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya'. Jalan menuju pengetahuan tentang ketuhanan, tentang kepemeliharaan, adalah dengan cara mengenal apa yang paling dekat kepada kita, yakni semua aspek yang berbeda dari diri kita.

Sebagaimana para pencari dari masa sebelum dan sesudah beliau, beliau pergi ke tempat-tempat terpencil menjalani masa-masa perenungannya. Bagi pencari sejati, ini bukanlah pelarian diri, melainkan suatu upaya langsung dan positif untuk mengungkapkan jatidirinya. Hal ini dilakukan dengan merenungkan dirinya. Akhirnya, beliau bisa mencapai suatu titik netralitas di mana hampir tidak ada lagi dari diri itu yang tertinggal karena ia sudah dikenal dalam segala aspeknya oleh si pencari. Ia akan melihat setiap sudut dari apa yang disebut persona (topeng, dalam bahasa Latin).

Bila ini sudah dipahami, si pencari dengan tulus-ikhlas terus berjalan menuju peniadaan, dilambangkan dengan Batu Hitam Ka'bah. Ia bergerak menuju keadaan tanpa sifat. Kalau kata kaum sufi, 'mencapai kedekatan pada pancaran cahaya hakikat, pergi dari bintang-bintang sifat'. Pertama-tama, ia menenangkan tindakan-tindakannya, selanjutnya, ia memasuki alam sifat yang lebih halus, kemudian ia melintasi perbatasan hakikat. Setelah itu, kemudian ia menjelajahi alain lain. Proses penjelajahan ini tidak dapat dilihat atau digambarkan secara langsung, dan di alam ini berlaku perangkat aturan lain. Itulah negeri tak berpenghuni di mana tak ada yang dapat menolong orang lain, selain membicarakan batas-batas lahiriahnya. Masing-masing orang menafsirkan pengalaman ini secara berbeda. Ia bagaikan sebuah peristiwa yang menyebabkan goncangan dahsyat dan yang berusaha digambarkan oleh setiap orang dengan bahasa yang berbeda. Ia adalah citarasa, citarasa yang lebih tinggi; ia adalah pembukaan yang hebat. Ia merupakan pengecambahan hati yang meledak.

Pembukaan ini, tentu saja, menghancurkan, sebagaimana kita saksikan pada kejadian yang menimpa Musa. Kejadian tersebut merupakan pengalaman yang menghancurkan; ia bukan sekadar pengalaman lain dari kehidupan ini, tapi malah merupakan pengalaman lain dari alam lain. Kita hanya dapat berjalan sejauh memahami pengetahuan dan informasi mengenai alam kesadaran kita, dan ini sebenarnya merupakan aspek kesadaran yang lebih tinggi. Bagaikan kisah seseorang yang hidup di bawah air. Ia sangat mengetahui apa yang ada di bawah air dan ia mengerti apa yang terjadi di sana. Ia mungkin juga sudah sering melihat sepintas apa yang ada di atas air. Tapi berada di atas air memang sebuah pengalaman yang berbeda. Tidak peduli berapa banyak ia dipersiapkan untuk berada di atas air, tetap saja berada di atas air merupakan goncangan. Nabi berada dalam keadaan terguncang sehingga sebagian orang bahkan mengatakan beliau menjadi gila.

خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ

2. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.

Pembacaan itu—melalui 'ilm al-laduni (intuisi, pengetahuan batin)—mengungkapkan kepada Nabi tentang mengapa dan bagaimana terjadinya realitas penciptaan. Dengan kata ‘alaq yang berarti 'gumpalan darah', kita diberitahu keseluruhan kisah tentang manusia di alam ini. Kata ‘alaq juga berarti 'lintah', dari kata 'aliqa yang berarti 'menggantungkan, menempel, dilekatkan, menjadi hamil'. Kata ini menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung, dari benda kecil sekali yang mengancing—sperma menyatu dengan ovum—dan kemudian stabil menjadi 'alaq. Perkembangan hanya bisa terjadi jika 'alaq itu menempel pada rahim. Jadi penciptaan dihasilkan hanya oleh sesuatu yang menggantung, bahkan seperti bumi yang tergantung pada orbitnya di dalam bintik alam semesta.

Secara biologis, penciptaan seperti yang kita pahami sekarang digambarkan secara sempurna dalam Alquran. Kita hanya perlu keberanian untuk memperhatikan kata-kata ini secara cermat dan memahami makna batinnya, tanpa menyembunyikannya.

Kita harus membaca, melihat, dan memahami situasi manusia secara intuitif, melalui alam batin kita sendiri. Kita tidak terpisah dari alam ini. Manusia dan semua yang terjadi di dalam dan di luar alam ini berasal dari satu Realitas. Kita harus membaca berdasarkan sifat murah hati yang diberikan oleh Pemelihara dan Tuhan yang paling murah hati.

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ

3. Bacalah karena Tuhanmu adalah yang paling murah hati,

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ

4. Yang mengajarkan dengan [menggunakan] pena,

Qalama berarti 'memotong', dan qalam berarti 'pena atau pensil'. Itu adalah alat yang digunakan orang untuk meninggalkan tanda; ia menuliskan sesuatu dan tercatat selamanya.

Qalam juga adalah pena yang telah mencatat tentang bagaimana penciptaan ini akan dipertahankan, dipelihara dan dikembalikan. Hukum yang berlaku di dalam penciptaan bekerja melalui energi halus yang ada di dalamnya dan yang mempedomaninya, yakni malaikat sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Meskipun disebut malaikat, yang pada kebanyakan orang menimbulkan imajinasi tentang makhluk bersayap, namun lebih tepat kalau mereka disebut sebagai kekuatan, tenaga, atau bentuk-bentuk energi. Mereka yakin bahwa apa yang telah tertulis, yakni, hukum yang mengatur segala aspek, nyata maupun tidak nyata, di alam semesta ini, adalah terintegrasi, termuat dan terpelihara, dan berada di jalannya.

Dikatakan dalam Alquran bahwa jika semua pohon di dunia dijadikan pena dan semua lautan dijadikan tinta, maka semua ini pun tidak akan cukup untuk mencatat ciptaan, perintah atau kekuasaan Allah. Maknanya adalah bahwa setiap kemungkinan, setiap permutasi dan kombinasi dari berbagai kemungkinan ini selalu ada, baik dalam makna ataupun bentuk. Jumlah kemungkinannya tidak terhingga. Begitulah makna pena. Penalah yang menulisi lembaran penciptaan, qadha wa qadar, ketentuan dan takdir. Ia memiliki tujuan, arah, akhir dan hasil, semuanya berada dalam satu komando penciptaan. Maka, inilah pena yang menulis.

Ketika hal ini terjadi pada Nabi, seakan-akan beliau dengan serta merta menyaksikan tulisan pena itu secara keseluruhan. Beliau mengalami kebenaran yang berlimpah dan ketika itu beliau melihat pencantuman kode sub-genetiknya. Apa pun yang dapat kita pahami dari kebenaran tersebut, semuanya sudah tertulis dalam diri kita.

عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

5. Mengajarkan kepada manusia apa yang ia tidak tahu.

Dia mengajari manusia apa yang ia tidak tahu, karena manusia tidak menyadari akan potensi pengetahuannya. Dia mengajari manusia, yang hanya melihat apa yang ada di hadapannya, bahwa sebenarnya ia tidak mengetahui apa yang ada sebelumnya dan di belakangnya. Dia mengajari manusia keesaan (tauhid), Dia mengajarinya keterkaitan dengan masa lampau dan masa akan datang, karena tidak ada masa lampau maupun masa akan datang, Keduanya hanya ada dalam dimensi waktu kita yang menyesatkan, dan dari sudut pandang realitas, dimensi non-duniawi, masa lampau dan masa datang hanyalah aspek atau produk dari dimensi waktu. Ayat ini berkaitan dengan pengetahuan yang tidak bisa ditularkan dari satu orang ke orang lain, tapi hanya antara manusia dan sang Pencipta, di mana tidak ada pemisahan. Ketika manusia sepenuhnya menjadi sebuah non-entitas, maka sang Entitas Tunggal melakukan kehendaknya. Ini adalah 'ilm al-laduni.

كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَى

6. Tidak! Sesungguhnya manusia itu adalah pelanggar (melampaui batas),

Upaya untuk mendapatkan pengetahuan diri dimulai dengan melihat pada apa yang terdekat kepada kita, yakni sifat rendah manusia: rasa takut, nafsu syahwat, amarah, keputus-asaan dan kekurang percayaannya. Sifat rendah dan kesombongan manusia sedemikian rupa sehingga selalu menyebabkannya melampaui batas, yathgha. Ia menyandang salah satu Sifat Allah, sehingga ia menjadi arogan. Namun arogansi memang sifatnya karena secara otomatis dan spontan ia bergerak menuju Allah.

Hanya ada satu realitas dalam penciptaan, dan karenanya kita harus menerima Alquran secara keseluruhan. Dalam Alquran dikatakan bahwa sebagian ahli kitab—dari kitab-kitab wahyu lainnya, yang merupakan versi-versi dari Kitab yang satu—hanya menerima beberapa bagian Kitab saja. Mereka hanya mengambil bagian yang ingin mereka gunakan untuk kepentingan kekuasaan atau untuk tujuan lain, tapi hal ini tidak bisa dilakukan.

Dengan demikian, kita akan selalu menemukan permulaan pada apa yang terdekat kepada manusia sendiri, dan itulah yang berada di jalan kemudahan (yusr). Mengambil jalan mudah adalah mengikuti diri (nafs) kita. Maka, yang paling dekat kepada manusia adalah sifat rendahnya yang muncul dan menimpanya, yakni, kecemasan, rasa takut, amarah dan seterusnya yang muncul terutama karena arogansinya. Arogansi manusia mencuat dari pikiran yang keliru bahwa karena ia berada di sini di bumi ini maka ia harus menempatkannya dengan benar.

Tujuan sebenarnya dari keberadaan kita di sini adalah agar kita sepenuhnya mengetahui mengapa kita di sini. Begitu kita mengetahuinya, maka segala sesuatu lainnya akan mengikuti. Namun kita telah melupakan prioritas kita sehingga tidak ingin membicarakan persoalan sulit seperti itu. Persis seperti dongeng Mulla Nasruddin yang mencari cincinnya yang hilang di bawah lampu jalan. Saat sedang mencari, datanglah orang lain untuk membantunya. Akhirnya, karena tak kunjung ketemu, orang itu bertanya kepada Mulla Nasruddin apakah ia yakin telah menjatuhkannya di tempat itu. Ia menjawab bahwa hilangnya di tempat lain. Dengan ragu orang itu bertanya lagi, 'Lantas mengapa engkau mencarinya di sini?' 'Karena di tempat saya kehilangan cincin keadaannya gelap, sedangkan di sini terang.'

Kecenderungan kita adalah ingin memusatkan perhatian hanya pada persoalan-persoalan sederhana yang sudah lazim. Kita tidak ingin bertanya kepada diri kita sendiri mengapa kita ada di sini. Itu adalah pertanyaan sulit yang memerlukan waktu, upaya dan perenungan untuk menjawabnya. Sifat manusia juga cenderung arogan dalam lebih dari satu pengertian, tidak hanya dalam pengertian membesar-besarkan diri saja. Arogansi itu akan dengan mudah dipelihara karena usia tua. Kita sedang membicarakan arogansi dalam pengertian sikap manusia yang tidak mempertanyakan keadaan, posisi dan tujuannya, tidak mempertanyakan ketidak ada apa-apaannya atau kenyataan bahwa paling banter ia hanya tergantung pada udara. Ketika dalam keadaan sangat sehat, manusia laksana sebuah balon yang mengembang dan mengempis sendiri, tidak mempertanyakan dirinya, lupa akan kenyataan bahwa napas adalah satu-satunya modal dia dan segala sesuatu lainnya hanya sepintas lalu saja. Tidak mempertanyakan: inilah tbughyan (pelanggaran), thughyan batin. Pada suatu saat ia bisa jatuh mati. Akankah ia pergi dengan tenang? Akankah ia meninggalkan stasiun kereta api dengan hati yang terbuka untuk melakukan perjalanannya?
أَن رَّآهُ اسْتَغْنَى

7. Karena ia melihat dirinya sudah bebas dari keinginan (serba cukup).

Salah satu penyebab arogansi kita adalah karena kita merasa sanggup mencukupi keperluan diri kita sendiri. Istaghna di sini berarti menganggap diri tidak bergantung, kaya, mandiri. Keyakinan yang keliru bahwa kita bebas ciari tuntutan kebutuhan akan membuat kita terputus, keluar dari tauhid dan lepas.
إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى

8. Sesungguhnya kepada Tuhanmulah [kamu] kembali.

Kepada Tuhanmu, kepada Pemeliharamu, kepada Realitas itulah kamu akan kembali. Segala sesuatu dipelihara oleh sang Maha Pemelihara.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى

9. Apakah engkau melihat orang yang melarang

عَبْدًا إِذَا صَلَّى

10. Seorang hamba [Allah] dari melakukan salat?

Contoh yang diberikan di sini merujuk kepada situasi historis yang nyata, tapi berlaku sepanjang masa. Kita menyaksikan bagaimana orang yang melarang orang lain yang ingin beribadat dan mengerjakan salat—seperti terjadi pada Nabi, yang senantiasa menjadi target upaya Abu Jahal untuk melarangnya melakukan salat dekat Ka'bah—benar-benar menderita rugi.

أَرَأَيْتَ إِن كَانَ عَلَى الْهُدَى

11. Sudahkah kau perhatikan kalau-kalau ia di jalan yang benar,

أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى

12. Atau menyuruh supaya bertakwa [kepada Allah]?

Ini berarti mereka benar-benar dalam keadaan berlawanan; mereka tidak berada di jalan yang benar dan tidak juga bertakwa. Karena tidak memiliki pengetahuan yang dalam maka mereka menyangkal dan berdusta. Berdusta adalah menutupi kebenaran. Kebenaran ada pada mereka tapi mereka tidak ingin terbuka kepada kebenaran itu karena bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.

أَرَأَيْتَ إِن كَذَّبَ وَتَوَلَّى

13. Apakah engkau memperhatikan kalau mereka mendustakan kebenaran dan berpaling?

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى

14. Apakah ia tidak tahu bahwa Allah melihat?

Di sinilah jawabannya. Dia mengetahui kebenaran dalam hati, tapi tidak bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Dia tidak menyadari bahwa apa pun yang dilakukannya, apa pun yang diniatkannya, di mana pun dan bagaimana pun ia bergerak, maka Realitas, yang menyerap dan menahan serta mengendalikan semua, mengetahuinya. Realitas adalah yang mengetahui segalanya. Hanya orang yang menderita rugi yang tidak mengetahui hal ini.

كَلَّا لَئِن لَّمْ يَنتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ

15. Tidak! Jika ia tidak berhenti, Kami akan merenggutnya di ubun-ubunnya.

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ

16. Ubun-ubun yang berdusta, yang berdosa.

Nashiyah adalah ubun-ubun. Dicengkeram dan diseret di bagian jambul berarti benar-benar dipermalukan. Siapa pun yang merugi, siapa pun yang mengingkari kebenaran di dalam dirinya, akan berakhir dalam keadaan dicengkeram seperti itu. Bagaikan gilingan azab kehidupan, merugi di sini dan saat ini, dan juga di hari akhirat.

فَلْيَدْعُ نَادِيَه

17. Lalu biarlah ia memanggil kawan-kawan segolongannya;

Biarlah dia memanggil orang yang telah menjadi gantungan dan andalannya. Maka ia akan mengetahui bahwa tidak ada bantuan selain dari Allah, dan dengan penyaksian itu ia akan menyadari bahwa ia telah bersandar pada kedustaan.

سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ

18. Kami akan memanggil mereka yang memasukkan [ke dalam neraka].

Ini berkenaan dengan kekuatan dan kekuasaan yang bermain dalam eksistensi ini. Zabaniyah di sini adalah kekuatan malaikat dan kelaziman mereka sebagai tenaga yang sepenuhnya dan secara langsung memberlakukan diktum takdir. Yakni, menerapkan, dalam pengertian yang disebutkan sebelumnya, apa yang telah ditulis oleh pena.

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

19. Tidak! Janganlah engkau taat kepadanya, tetapi bersujudlah dan mendekatlah [kepada Allah].

Jalan keluarnya adalah mendekat kepada Allah. Kedekatan kepada Allah adalah melalui sajdah (sujud), yakni bukti lahiriah dari keberserahan batin. Gerak sujud lahir adalah manifestasi dari keadaan batin, kalau tidak maka gerakan itu akan menjadi sekadar ritus hampa belaka. Sajada, akar dari sajdah, juga berarti 'menaati', maksudnya menaati tujuan eksistensi. Tujuan eksistensi adalah mengetahui sumber dari seluruh penciptaan, Allah Yang Mahakuasa.

Makna lain dari sajada adalah 'tunduk' dan melalui ketundukkan itu muncullah kebebasan. Kebebasan satu-satunya adalah pengakuan akan tiadanya kebebasan. Kebebasan satu-satunya adalah pengakuan batin langsung bahwa benar-benar tidak ada kemungkinan untuk kebebasan. Dari pengakuan tersebut muncullah kebebasan dan kelepasan yang pokok, yakni kebebasan yang nyata dan tak terbatas, kebebasan yang melampaui penciptaan kita dan setelah kematian kita. Tujuan kita adalah berada dalam kemabukan batin dan ketidakmabukan lahir, keterbebasan batin dan kesopanan serta kebaikan lahir. Dalam keadaan ini kita tidak menjadi sadar terhadap sesuatu, tapi menjadi kesadaran itu sendiri. Maka inilah manifestasi lahir dari sajdah, dari sujud, yang bersifat spontan. Itulah satu-satunya posisi manusia dan merupakan posisi yang terakhir dan juga yang pertama.

Setelah itu barulah kita dapat berbicara tentang pertanggungjawaban, karena dengan demikian kita memulai dari fondasi yang selalu tersedia. Dengan kata lain, jika kita ingin mengetahui apa yang benar atau salah, kita harus selalu sadar bahwa kita mati. Jika kita tidak berada dalam keterlepasan total, maka yang akan kita lakukan tak lebih dari membuat berbagai pertimbangan nilai dan membawa masa lalu kita ke masa sekarang.

Keterlepasan adalah kebebasan, dan dari kebebasan itu muncullah aksi yang bersih, yang jauh lebih dari sekadar reaksi. Namun pencarian kebebasan biasanya merupakan reaksi terhadap belenggu yang dipasang pada diri sendiri. Marilah terlebih dahulu kita berusaha membebaskan diri kita dari belenggu-belenggu individu ini sebelum mulai mencari kebebasan yang sejati.[]

20