• Mulai
  • Sebelumnya
  • 21 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 21572 / Download: 466
Ukuran Ukuran Ukuran
NEO-TEOLOGI 2

NEO-TEOLOGI 2

pengarang:
Indonesia
NEO-TEOLOGI 2 NEO-TEOLOGI 2



Oleh: Team Wisdoms4all

1
NEO-TEOLOGI I

DAFTAR ISI
Duta Tuhan Kepada Manusia

Tuhan dan Pengalaman Keagamaan

Wahyu dan Pengalaman Keagamaan

Pengalaman Keagamaan dan Ragam Interpretasinya

Hakikat Wahyu; Pengalaman Keagamaan atau Pengalaman Mistik

Pengalaman Mistik dan Teraju Kebenarannya

Telaah Kritis Perbedaan Wahyu dan Pengalaman Keagamaan

Tauhid dalam Perspektif Psikologi

Tauhid dalam Perspektif Sosiologi

Menyusuri Belantara Hermeunetik

Tugas Syar’i; Beban atau Rahmat?

Burhan Shiddiqien dan Burhan Ontology; Sebuah Komparasi

Al-Qur'an dan Teori Evolusi

2
NEO-TEOLOGI I

Duta Tuhan Kepada Manusia
Salah satu perdebatan hangat diantara para teolog pra dan pasca Islam, seputar tujuan diutusnya para nabi sebagai duta-duta Tuhan ke atas manusia. Bahkan, para pemuka agama Budha serta Brahmana pun turut angkat bicara dengan menegasikannya. Padahal, hampir seluruh teolog yang meyakini agama langit, memandang bahwa diutusnya para nabi merupakan sebuah kemestian, mereka juga menyebutkan tujuan pengutusannya.

Kini, perbincangan akan difokuskan pada tujuan diutusnya para Nabi dalam perspektif Islam. Seruan dasar para nabi, mengajak manusia menuju tauhid. Secara jelas al-Qur'an mengumandangkannya:

Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada setiap ummat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah berhala”[1].

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab marilah (berpegang) kepada suatu kalimat yang diantara kami dan kalian tidak ada perselisihan, bahwa kita tidak menyembah selain Tuhan dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”[2]

Pada ayat pertama berbicara tentang tauhid dalam ibadah. Sedangkan ayat kedua, selain menjelaskan tauhid ibadah, juga menyebutkan tauhid rububiyyah. Hal ini menegaskan penyembahan hanya satu Tuhan dan menegasikan tuhan-tuhan lainnya

Kedua ayat di atas menjadi sentral. Karena masyarakat saat itu, mengalami penyelewengan pada dua area tauhid tersebut, dibanding tingkatan tauhid lainnya. Masyarakat Arab waktu itu, menyembah 360 berhala. Demikian pula dengan Ahli Kitab. Selain mereka menyembah al-Masih, juga mengagungkan para ulama serta pemikirnya .

Meskipun pada berbagai ayat lainnya, dijelaskan secara luas tingkatan-tingkatan tauhid. Tetapi yang menjadi poros adalah tauhid dalam beribadah dan rububiyyah. Menerima tauhid rububiyyah memiliki konsekuensi pada penerimaan berbagai tingkatan tauhid lainnya. Karena, ketika meyakini tauhid rububiyyah, yaitu hanya mengenal satu Tuhan yang patut disembah dan hanya ada satu pengatur di alam ini, tentu saja kita harus selalu mengabdi pada-Nya.

Konsekuensi tauhid rububiyyah antara lain:

1. Hanya kepada Allah kita menyembah;

2. Legitimasi kekuasaan hanya milik-Nya;

3. Ketaatan hanya pada-Nya;

4. Hanya Tuhan yang berhak menetapkan undang-undang bagi kehidupan masyarakat.

Dalam al-Qur’an, dijelaskan berbagai argumentasi keempat konsekuensi tauhid tersebut yang sebagian menyebutnya dengan tauhid perbuatan, tauhid af’ali. Nampaknya di sini, tidak ada ruang untuk membahasnya lebih lanjut.[3]

Al-Qur’an secara jelas menekankan bahwa hanya Allah pemilik serta pengatur alam semesta ini. Sebagaimana firmannya:

Katakanlah, “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah. Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu”[4]

Karena Dia adalah pengatur dan kita yang diatur, Dia pemilik dan kita yang dimiliki, Dia pengawas dan kita yang diawasi, maka sudah selayaknya kita berserah diri hanya pada-Nya. Tidak ada seorang pun yang kita terima selain-Nya serta ketaatan hanya pada-Nya. Inilah totalitas penyerahan kepada Allah Swt yang menjadi seruan seluruh para Nabi. Sebagaimana penjelasan al-Qur’an:

Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Allah adalah Islam. Tidak berselisih orang-orang yang telah diberikan al-kitab, kecuali datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka[5].

Barang siapa yang memilih agama selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima[6].

Pengikut agama Yahudi mengklaim bahwa Nabi Ibrahim As adalah dari kalangan mereka. Demikian halnya dengan penganut agama Kristen. Tetapi, al-Quran menentang kedua pandangan tersebut:

Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani. Tetapi, dia adalah seorang yang hanif dan berserah diri. Dan sekali-kali dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik[7].

Dengan demikian, seluruh ajaran para nabi termanifestasi dalam tauhid ibadah dan rububiyyah. Keduanya, dapat disimpulkan dalam terma “Islam” yang artinya berserah diri secara total di hadapan Tuhan. Sebagian kalangan, mengartikan terma “Islam” dalam ayat di atas, sebagai syariat yang dibawa nabi terakhir. Padahal, jelas sekali maksudnya adalah berserah diri kepada Tuhan serta menegasikan penghambaan kepada selain-Nya. Keyakinan tersebut merupakan kanal yang dapat menghubungkan seluruh syariat para nabi, meskipun terdapat perbedaan dalam perincian hukum. Dari sinilah, Allah Swt memerintahkan kepada seluruh penganut ajaran langit untuk mengikuti Nabi Ibrahim As, sebagaimana firman-Nya:

Ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan dia bukan termasuk orang-orang yang musyrik[8].


Konsekuensi Tauhid Rububiyyah
Penciptaan manusia dilandasi oleh sebuah tujuan luhur. Maka, tentu saja keberadaannya disertai dengan berbagai tanggung jawab. Sebagaimana al-Quran menuturkan:

Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?[9]

Pada ayat lainnya, Allah Swt berfirman:

Apakah kalian mengira bahwa Kami ciptakan kalian sia-sia (tanpa tujuan)?[10]

Berbagai ayat di atas menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mengemban tanggung jawab. Di antara berbagai makhluk Tuhan lainnya, hanya manusialah yang mampu memikul amanat tersebut, sebagimana Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi serta gunung-gunung. Mereka seluruhnya enggan mengemban amanat tersebut dan takut mengkhianatinya. Maka manusialah yang mengemban amanat tersebut. Sesungguhnya mereka amat zhalim lagi bodoh.[11]

Konsekuensi kepasrahan manusia kepada Allah Swt, dibuktikan dengan menerima seluruh tanggung jawab (akuntabilitas) yang datang dari-Nya serta melangkah sesuai dengan aturan-Nya. Berbagai tanggung jawab ini, membentuk suatu relasi tanggung jawab yang terjadi antara Tuhan, manusia dan alam. Hal tersebut meliputi antara lain: tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, tanggung jawab manusia terhadap sesama, tanggung jawab manusia terhadap alam semesta serta tanggung jawab manusia terhadap dirinya sendiri.


1. Tanggung Jawab Manusia terhadap Tuhan
Tanggung jawab manusia terhadap Tuhan meliputi dua aspek pokok. Pertama, mengenal Tuhan. Kedua, menyembah dan beribadah kepada-Nya.


a. Mengenal Tuhan
Nampaknya tidak ada metode yang lebih efektif dalam mengenal Tuhan untuk kebanyakan orang awam, kecuali melalui jalan wahyu. Benar, setiap manusia memang dibekali fitrah yang dapat menghantarkan kepada Tuhan. Tetapi, pengetahuan yang diperoleh lewat fitrah lebih bersifat umum, tidak dapat menjelaskan kedudukan Tuhan.

Fitrah hanya menyebutkan ketergantungan manusia pada satu wujud. Tetapi, ia tidak dapat menjelaskan apakah Tuhan berupa substansi ataukah aksiden, materi atau non materi, adilkah atau zhalim, bebas ataukah terpaksa, penciptaan makhuk-Nya memiliki tujuan ataukah tidak. Berbagai pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan fitrah saja. Kesempurnaan manusia dalam mengenal Tuhan, dari sisi nama serta sifat-Nya, akan lebih efektif melalui jalan wahyu.

Jika sebagian cerdik pandai serta para arif dari Yunani dan Persia atau pada masa awal Islam mengetahui sifat-sifat Tuhan tersebut bukan melalui jalan wahyu, mereka memiliki kekhususan yang tidak dapat dijadikan sebagai acuan umum.

Dengan demikian, salah satu di antara tujuan para Nabi adalah menmperkenalkan nama serta sifat Tuhan. Meskipun para Nabi sepanjang sejarah, telah berusaha menjelaskan sifat-sifat Tuhan, namun sampai saat ini, lebih dari satu milyar manusia masih mencari Tuhan dalam rumah-rumah berhala. Bahkan, sebagian mereka masih mengagungkan seekor sapi yang bisu.

Manusia hanya mampu menerima tanggung jawab untuk mengenal Tuhan, jika ia mendapat tuntunan wahyu. Inilah jalan yang mampu membawa manusia menempuh jalan sulit. Nampaknya, tanpa wahyu manusia tidak akan pernah mengenal-Nya lebih jauh.

Kini, jutaan orang di India tengah menderita kelaparan yang dasyat. Namun di sisi lain, lebih dari seratus lima puluh juta sapi berkeliaran bebas. Padahal, daging sapi ini bisa digunakan untuk mengatasi kelaparan. Namun, tidak seorangpun yang berani bersuara lantang menentang keyakinan keliru tersebut. Keyakinan yang menganggap sapi sebagai binatang suci. Akal dan pemikiran mereka sedemikian keliru hingga ribuan orang dalam setahun mati akibat kelaparan di negeri itu. Tetapi, tidak seorangpun berani memakan daging dari binatang yang dianggap suci.

Suatu hari, pemerintah India pernah mengumumkan diperbolehkannya memakan sedikit daging sapi untuk mengurangi tingkat kematian. Kebijakan tersebut, mendatangkan protes keras dari seluruh penjuru India. Bahkan hal ini hampir saja menjatuhkan kabinet pemerintahan yang tengah berkuasa. Maka, terpaksa pemerintah kembali mencabut pernyataannya.

Sampai detik ini, ratusan juta orang di tanah India yang merupakan pusat berbagai agama, masih menyembah sapi dan bintang di angkasa. Kekeliruan mereka begitu jauh, bahkan jika ada sapi yang tidur di atas rel, tidak ada seorangpun yang berhak untuk melecehkan sapi suci itu dengan membangunkannya dari tidur. Kereta dan para penghuninya harus sabar menunggu, sampai sapi yang disucikan oleh para penumpang itu bangkit sendiri dari atas rel.[12]

Saat ini pun di negeri industri maju seperti Jepang, masih meyakini adanya tuhan-tuhan yang beragam pada setiap fenomena. Mereka membuat berhala tertentu sebagai jelmaan tuhan, untuk kepentingan tertentu pula. Misalnya, seorang gadis yang tengah mencari pendamping hidup, membuat berhala khusus yang disembah sebagai jelmaan tuhan yang menentukan jodohnya.

Demikianlah, kondisi keyakinan ketuhanan di era antariksa dan kurun atom, itupun setelah diutusnya ribuan Nabi. Jika saja para Nabi tidak diutus dan mereka tidak berjuang memberantas berhala, bisa dibayangkan bagaimana kondisi masyarakat dalam menyembah Tuhan? Hanya Tuhan yang tahu. Jika saja para pejuang tauhid tidak memperkenalkan Tuhan kepada masyarakat, lentera tauhid tidak akan pernah menyala di berbagai penjuru dunia.

Kini coba anda bandingkan, keyakinan yang berkembang di India atau negara maju seperti Jepang dengan apa yang dijelaskan al-Qur’an dalam memperkenalkan konsep ketuhanan. Anda akan sampai pada kesimpulan bahwa salah satu tujuan diutusnya para Nabi adalah untuk memperkenalkan Tuhan kepada masyarakat. Meskipun, hal ini belum sepenuhnya berhasil.

Al-Qur’an dalam surat Hasyr, memperkenalkan berbagai sifat Tuhan:

“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, Yang Mengetahui yang ghaib dan nyata. Dialah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang[13].

Dialah Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, Raja, Maha Suci, Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Pemilik Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan[14].

Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Memiliki Nama-nama paling baik. Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[15].


b. Kualitas Ibadah
Setelah mengenal Tuhan dangan segala kebesaran-Nya, manusia merdeka beribadah karena keagungan-Nya. Sebagian kalangan, menyerukan untuk menyembah Tuhan karena mengharapkan karunia nikmat serta menjauhi siksa. Salah satu tujuan wahyu adalah mengajarkan kualitas beribadah kepada-Nya, sehingga dapat terhindar dari segala bentuk penyembahan yang tidak menyentuh dimensi rububiyyah. Oleh karena itu, pada seluruh syariat para Nabi terdapat ajaran berupa shalat, puasa, i’tikaf, haji dan jihad. Seluruh para Nabi menyerukan ajaran yang sama tersebut, dengan perbedaan dalam beberapa bagian serta situasi maupun kondisinya masing-masing.


2. Tanggung Jawab Manusia terhadap Sesama
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tujuan diutusnya para Nabi adalah tauhid. Hal ini tidak mengindikasikan bahwa agama hanya seperangkat keyakinan serta pemikiran saja yang sama sekali tidak memiliki peran dalam bidang sosial, ekonomi, politik, pendidikan serta akhlak. Tetapi, maksud dari semua itu adalah seluruh undang-undang yang ada, harus bersumber dari wahyu. Setiap kali masyarakat akan merancang sebuah undang-undang, harus merujuk pada wahyu serta mendapat legitimasi dari-Nya.

Oleh karena itu, institusi agama terutama Islam memuat berbagai kajian kemasyarakatan. Islam tidak berbicara global dalam persoalan yang menyangkut individu, doa serta ibadah. Saat kita mengamati studi fiqih Islam, akan diketahui betapa dalam dan luasnya kandungan hukum-hukum tersebut. Kiranya, tidak tepat pandangan yang menyebutkan bahwa agama hanya terbatas pada kebahagiaan akhirat semata. Kebahagiaan dunia dan akhirat merekah dalam naungan agama.

Bukti paling nyata kehadiran Islam di segala bidang adalah hadirnya berbagai ayat dan riwayat yang kebanyakan berbicara tentang tema-tema kemasyarakatan. Islam juga menetapkan berbagai aturan untuk kepentingan masyarakat.

Berikut ini akan disebutkan secara ringkas beberapa tema fiqih Islam yang masing-masing memiliki pasal-pasal terperinci. Mereka yang terlibat dalam kajian fiqih Islam, lebih memahaminya. Pembahasan tersebut antara lain:

1 · Aturan jual beli;

2 · Persyaratan transaksi;

3 · Persyaratan substitusi;

4 · Berbagai transaksi dua arah dan satu arah;

5 · Pembagian riba serta hukum-hukumnya;

6 · Jual beli mata uang;

7 · Hukum yang terkait dengan berbagai kontrak, seperti: hak jual pertama (syuf’ah) perdamaian, sewa menyewa, perdagangan (ju’âlah), â’riyah, mudhârabah (bagi hasil), muzâra’ah (kontrak pertanian), masaqâh, syirkah, qismah, hutang, qardh (pinjaman), rahn (hipotik), hajr, dhaman (jaminan), kifâlah (perwakilan), wakaf, habs dan wasiat;

8 · Hukum yang terkait dengan keluarga, seperti: mushaharah (mahramnya seseorang lantaran ikatan perkawinan), ‘iddah, ‘uyub (hal-hal yang perlu diketahui oleh kedua mempelai [pria dan wanita] perihal aib dan cacat yang masing-masing dimiliki), mujawwiz faskh (hal-hal yang membolehkan dibatalkannya pernikahan), nafkah, talak dan hukum waris;

9 · Persoalan politik serta peradilan, misalnya: qadhawah (kehakiman), syahadah (kesaksian), hudud (pidana), diyât, hisbiyah dan berbagai aturan lainnya;

10 · Pembahasan tentang pemanfaatan sumber daya alam, berbagai jenis makanan serta minuman yang halal dan haram.


Dalam sejumlah ayat serta hadis, Islam tampil sebagai agama yang komprehensif dan universal mencakup berbagai aspek sosial, tidak hanya sebatas sudut-sudut mesjid dan seputar rumah. Lebih khusus lagi, bila dikaitkan dengan pembahasan jihad dan pertahanan dalam fiqih Islam.

Berbagai hukum fiqih yang terkait dengan tema-tema sosial kemasyarakatan mencapai lima puluh ribuan riwayat. Dengan jumlah sedemikian, bagaimana mungkin Islam hanya membatasi pada kebahagiaan akhirat semata?


3. Tanggung Jawab Manusia terhadap Alam Semesta
Manusia memiliki tanggung jawab khusus terhadap alam semesta yang meliputi tumbuhan dan hewan. Sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, manusia hendaknya mampu menghidupkan tanah dan memakmurkan alam raya ini. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

Dia yang menciptakan kalian dari tanah serta menjadikan kalian pemakmurnya[16].

Maka, manusia yang mampu menghidupkan sebagian tanah dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil yang ia peroleh, harus bertanggungjawab atas prilakunya. Berkaitan dengan hal ini, Imam Ali As memberikan nasehat:

Bertakwalah kepada Allah dalam beribadah karena sesungguhnya kalian memiliki tanggung jawab meskipun pada tanah dan binatang.[17]

Manusia memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan tanah, bukan malah merusaknya. Eksploitasi hutan, laut dan sumber daya lainnya, tidak boleh menimbulkan pencemaran pada sistem ekologi alam ini baik pada manusia, hewan dan binatang sekalipun. Jika terjadi kerusakan, berarti manusia telah melalaikan tugasnya dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Para ahli hukum Islam dalam berbagai buku yang berkaitan dengan pembahasan “Asyrat” dan “At’amah" wa "Asyrabah” menjelaskan secara panjang lebar tentang tanggung jawab manusia terhadap tumbuhan dan hewan.

Di sini, hanya akan disinggung sebagian kecil tanggung jawab manusia terhadap binatang. Persoalan yang nampak di depan mata hari ini, sikap berlebihan mengunggulkan Barat. Ada semacam anggapan bahwa prilaku menyayangi binatang hanya berkembang di arena pemikiran Barat saja. Padahal melampaui semua itu, literatur klasik Islam secara detail menekankan tindakan tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

Tuhan mencintai kelembutan. Maka, jika kalian menunggangi binatang yang kurus lagi lemah. Turunkanlah bawaan kalian di setiap tempat pemberhentian. Janganlah berhenti di gurun yang kering. Tetapi, pilihlah padang-padang rumput yang hijau[18].

Seorang faqih besar Syekh Muhammad Hasan Najafi, penulis buku al-Jawâhir pada bagian akhir pembahasan nikah, menyebutkan sebagian hak-hak binatang, mengikuti pandangan penulis buku Syaray’i Islam[19].


4. Tanggung Jawab Manusia terhadap Dirinya Sendiri
Dalam perspektif syariat Islam, manusia memiliki tanggung jawab khusus terhadap dirinya. Lebih jauh, pembahasan ini menukik pada kajian tentang taklif. Imam Zainal Abidin As dalam risalahnya yang berharga “Risalah Huquq” menjelaskan tanggung jawab manusia terhadap diri serta anggota badannya. Dengan indah Imam Zainal Abidin As menyampaikan sabdanya:

Ketahuilah bahwa Allah Swt memiliki berbagai hak atasmu. Setiap gerakan yang kau lakukan, ketenangan yang kau pilih, tempat yang kau lihat, anggota badan yang kau gerakkan atau fasilitas lainnya yang kau pergunakan. Sebagian dari hak-hak tersebut, lebih utama dibandingkan yang lainnya.

Dalam penglihatanmu, pendengaranmu dan lidahmu telah ditetapkan hak atasmu. Inilah tujuh anggota badan yang biasanya digunakan untuk bekerja[20].

Selanjutnya, Imam Sajjad As mengisyaratkan sebagian tanggung jawab manusia terhadap bagian dalam tubuh. Tetapi di sini, hanya akan dijelaskan tanggung jawab manusia terhadap lidah, telinga serta mata saja.


a. Pertanggungjawaban Lisan
Imam Sajjad As, menyampaikan sabdanya:

Hak lidah adalah tidak membiasakannya berkata jelek, namun berbicaralah dengan baik. Lisan dijaga untuk diam, kecuali pada situasi yang dibutuhkan untuk kepentingan agama serta dunia. Hindarilah pembicaraan sia-sia yang mendatangkan kerugian. Lidah (bahasa) merupakan cerminan dari pikiran seseorang. Keindahan orang yang berakal dihiasi oleh kejernihan akal dan keindahan bahasanya. Tiada penolong selain dari Tuhan yang Maha Agung[21].


b. Pertanggungjawaban Telinga
Al-Qur'an menjelaskan bagaimana manusia bertanggung jawab terhadap telinga, mata serta hatinya.

Katakanlah: “Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan serta hati” (Namun) sangat sedikit kamu bersyukur[22].

Syukur nikmat berarti manusia mempergunakan anugerah Tuhan tersebut sesuai pada tempatnya. Simaklah pesan Imam Zainal Abidin As tentang tanggung jawab terhadap pendengaran:

Hak pendengaran adalah mensucikannya, karena ia jalan menuju hati. Kecuali, untuk kabar gembira yang terdapat pada hati-hati suci atau akhlak terpuji yang kalian kerjakan. Sebab pendengaran merupakan bahasa hati yang memiliki arti indah, kebaikan dan kejelekan sampai melaluinya. Tiada kekuatan melainkan dari sisi-Nya[23].


c. Pertanggungjawaban Mata
Imam Sajjad As dalam hal ini bersabda:

Hak kamu terhadap penglihatan adalah menjaganya dari segala sesuatu yang dilarang. Kecuali, untuk mengambil pelajaran atau memperoleh pengetahuan. Karena, penglihatan merupakan perantara menuju pengetahuan[24].

Dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan Islam tentang tanggung jawab manusia terhadap diri dan selainnya. Meskipun pembahasan di atas hanya dijelaskan selintas saja, namun hal ini sudah menampilkan wajah Islam yang telah mempersembahkan berbagai perannya dalam kehidupan manusia.

Dengan melihat luasnya cakupan pembahasan di atas, tujuan para Nabi tidak hanya sebatas kebahagiaan akhirat saja, meskipun itulah tujuan sebenarnya. Tetapi, kebahagiaan akhirat hanya dapat diperoleh dengan menempuh jalan keselamatan di dunia. Pada hakikatnya, kehidupan di dunia ini mengantarkan manusia menuju kebahagiaan akhirat melalui tuntunan wahyu Tuhan.



Catatan Kaki:
[1] QS. an-Nahl (16): 36.

[2] QS. al-Imran (3): 64.

[3] Lebih jauh lihat Mansyur Javid jilid 2 hal 320-490.

[4] QS. al-Anam (6): 164.

[5] QS. al-Imran (3): 19.

[6] QS. al-Imran (3): 85.

[7] QS. al-Imran (3): 67.

[8] QS. al-Imran (3): 95.

[9] QS. al-Qiyamah (75): 36.

[10] QS. al-Mu’minun (23): 115.

[11] QS. al-Ahzab (33): 72.

[12] Sebuah surat kabar terkemuka di Iran menyebutkan bahwa jalur penerbangan domestik dan internasional di airport internasional New Delhi India, dalam beberapa hari sempat terganggu. Hal itu disebabkan karena “sapi suci” tengah berkeliaran di area tersebut. Tidak ada seorangpun yang berani mengusir sapi suci tersebut keluar dari airport.

[13] QS. al-Hasyr (59): 22.

[14] QS. al-Hasyr (59): 23.

[15] QS. al-Hasyr (59): 24.

[16] QS. al-Hud (11):61.

[17] Nahjul Balaghah, Khutbah ke 167.

[18] Man lâ Yahdhur al- Faqih hal 228.

[19] Jawâhir Kalam, 31: 396-398.

[20] Tuhâf al-‘U^qul hal 184-185.

[21] Tuhâf al-‘U^qul hal 184-185.

[22] QS, al-Mulk (67): 23.

[23] Tuhâf al-‘U^qul hal 185.

[24] Ibid.

3
NEO-TEOLOGI I

Tuhan dan Pengalaman Keagamaan

Pendahuluan
Neal Donald Walsh, dalam bukunya "Conversation with God" menceritakan apa yang dialaminya dan apa yang dikatakan Tuhan kepadanya. Menurutnya Tuhan telah bertajalli dalam dirinya dan mengajak berdialog dengannya. Bagi Walsh, pengalaman yang dialaminya merupakan sebuah pengalaman yang sangat indah, yang harus disebarkan pada seluruh manusia, karena itu Walsh menganggap bukunya sebagai pemberian wahyu.

Sebelum kami menjelaskan sejarah singkat munculnya pengalaman keagamaan sebagai sebuah wacana, kami ingin mengetengahkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan wacana tersebut. Sebagaimana yang anda ketahui bahwa wacana ini berkaitan erat dengan wacana lain, misalnya wacana tentang wahyu, maka apakah pengalaman keagamaan ini mirip dengan pengalaman keagamaan yang dialami oleh para Nabi? Apakah pengalaman keagamaan ini bisa menjustifikasi keabsahan sebuah agama? Apakah pengalaman keagamaan ini bisa membuktikan keberadaan Tuhan? Makalah ini berkenaan dengan persoalan terakhir, kami mencoba menganalisa persoalan tersebut, bahwa apakah pengalaman keagamaan bisa membuktikan keberadaan Tuhan?

Sebelum kita menganalisa persoalan tersebut, kita harus bisa membedakan berbagai pengalaman-pengalaman spiritual yang ada, bahwa yang manakah yang dimaksud dengan pengalaman keagamaan, apakah ketika seorang membaca doa, dan menemukan makna tersirat dalam doa tersebut, sehingga membuat air mata ia mengalir bisa disebut sebagai pengalaman keagamaan? Ataukah pengalaman keagamaan seperti yang dialami Walsh, ketika ia berdialog dengan Tuhannya? Atau seperti pengalaman yang dialami oleh Ibn Arabi yang bertemu dengan Rasulullah dan mendapatkan darinya buku Fushus Al-Hikam? Yang manakah di antaranya disebut dengan pengalaman keagamaan? Apa tolok ukurnya sehingga pengalaman spiritual seseorang bisa disebut sebagai pengalaman keagamaan?


Sejarah Singkat Wacana Pengalaman Keagamaan
Sebagaimana yang kami ungkapkan sebelumnya, walaupun pengalaman keagamaan ini telah hadir sejak agama itu sendiri hadir ditengah masyarakat, namun ia baru saja hadir sebagai sebuah wacana oleh para filosof agama dan teolog. Wacana ini dipilih sebagai alternatif dalam memecahkan beberapa problema keagamaan.

Wacana ini hadir diakhir-akhir abad ke 17, yang dikemukakan untuk pertama kalinya oleh filosof Jerman Schleiermacher (1768-1834). Wacana pengalaman keagamaan pada saat itu dianggap sebagai substansi agama. Perhatian para filosof agama pada wacana tersebut, merupakan perubahan pemikiran di era modernite. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa era modernite dimulai di abad ke 17 yang memiliki ciri sebagai berikut[1] :

1. Humanisme, dalam artian bahwa ukuran segalanya adalah manusia.

2. Sangat bertumpu pada kekuatan rasionalisme, manusia modern sangat meyakini bahwa akal dapat mengeluarkan dia dari keterbatasan-keterbatasan budaya, bahasa, dan menyaksikan segala eksistensi secara netral.

Masing-masing dari karakteristik era modern di atas menjadi faktor munculnya wacana pengalaman keagamaan dan memberikan pengaruh secara langsung pada agama. Tentunya, dengan dua efek yang berbeda, efek positif dan lainnya negatif.

Penjelasannya bahwa kebanyakan para pemikir setelah Descartes menafikan pandangan rasionalisme radikal. Di antara filosof yang ada, Hume termasuk salah satu tokoh yang memiliki peranan besar. Hume menganggap bahwa argumen dalam membuktikan Tuhan tidaklah sempurna. Trinitas dianggap sebagai sebuah perkara yang tidak memiliki argumen sama sekali. Ilmu pengetahuan dan doktrin-doktrin gereja adalah dua hal yang tidak pernah ketemu. Apalagi dengan penemuan Galileo yang sangat bertentangan dengan doktrin resmi gereja saat itu.

Kant juga memahami bahwa agama tidak sejalan dengan Rasionalisme radikal, Kant menerima pandangan Hume yang meyakini bahwa doktrin-doktrin agama tidak bisa dibuktikan dengan akal, bahkan Kant lebih lihai dari pada Hume dalam menjelaskan hal tersebut.

Alternatif yang diberikan Kant bahwa agama harus dikeluarkan dari wilayah akal teoritis, dan memasukkan kepada wilayah akal praktis, yaitu akhlak. Kant meyakini Tuhan hanya bisa dibuktikan dengan akal praktis, yaitu dalam wilayah akhlak, tidak dengan argumen yang dibangun oleh akal teoritis dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Pandangan ini menyebabkan Kant meyakini bahwa hakikat agama adalah akhlak. Bahwa akhlak dan agama adalah satu.

Kondisi Rasionalisme radikal yang begitu kering, menjadi faktor munculnya mazhab Romantisme yang banyak bertumpu pada sentiment-sentimen dan emosional. Schleiermacher yang hidup dalam lingkungan Romantisme menganggap hakikat agama berada pada sentimen-sentimen dan emosional, dan substansi agama adalah perasaan pada ketakterhinggaan dan perasaan akan ketergantungan secara mutlak.

Kesimpulannya bahwa kegagalan Rasionalisme radikal, dan juga kebuntuan alternatif yang ditawarkan oleh Kant yang merubah agama menjadi akhlak semata, menjadi pemicu usaha keras para tokoh gerejawan dalam mencari wilayah agama yang bebas dari argumentasi-argumentasi teologi. Dominasi wacana Humanisme pada saat itu yang merupakan inti pemikiran modernite, mempengaruhi para tokoh gerejawan dalam mencari alternetif, dan menganggap bahwa harapan pertolongan satu-satunya berada dalam diri jiwa manusia itu sendiri, dan hal tersebut adalah pengalaman keagamaan itu sendiri.


Apa itu pengalaman keagamaan?
Pengalaman adalah sebuah kejadian yang dialami seseorang (baik ia sebagai pelaku atau sebagai saksi), dimana seseorang tersebut sadar atau mengetahui akan kejadian tersebut. Pengalaman keagamaan berbeda dengan pengalaman lainnya. Pengalaman keagamaan berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya non-materi atau eksistensi non-materi; misalnya pengalaman keagamaan dalam merasakan hadirnya Tuhan, nirwana, atau merasakan manefestasi Tuhan pada sesuatu atau seseorang, seperti jika seseorang merasakan manifestasi hadhrat Isa yang hadir dalam diri seseorang, melihat malaikat atau berbicara dengannya. Pengalaman-pengalaman seperti ini biasanya disebut juga dengan pengalaman mistis atau pengalaman sufistik.

Penamaan pengalaman di atas dengan pengalaman mistis atau sufistik tidak begitu memberikan banyak masalah, namun dengan memperhatikan bahwa dalam era modern, terdapat juga mistisisme diluar ruang lingkup agama tertentu, maka kita harus memilah-milah, yang manakah yang bisa kita katagorikan sebagai pengalaman keagamaan. Oleh karena itu, kami menganggap bahwa pengalaman keagamaan tidak terbatas hanya pada pengalaman irfani.

Pengalaman keagamaan adalah sebuah pengalaman yang dianggap oleh pelaku pengalaman tersebut sebagai pengalaman keagamaan, artinya bahwa pelaku pengalaman tersebut meyakini bahwa dalam menjelaskan pengalaman tersebut, tidak cukup dengan penjelasan-penjelasan seperti pada umumya, tapi harus dijelaskan dengan doktrin-doktrin agama. Pelaku pengalaman tersebut tidak menerima jika pengalaman yang dialaminya disebabkan oleh faktor-faktor physiology atau lingkungan yang ada disekitarnya. Dia menganggap pengalaman yang dialaminya adalah hasil dari dialog Tuhan atau pertemuan Tuhan dengannya, dan pengalamannya dia tafsirkan berdasarkan doktrin-doktrin agama. Namun hal ini bukan berarti bahwa apa yang dialaminya betul-betul memiliki realitas, karena mungkin saja apa yang dialaminya telah bercampur dengan imajinasi-imajinasi dia sendiri, atau boleh jadi disesatkan oleh syaitan. Namun walaupun demikian halnya, pengalamannya masih bisa disebut dengan pengalaman keagamaan.


Pengalaman Keagamaan dan Pengalaman Mistis (Irfan)
Sebagian besar pengalaman-pengalaman mistis terjadi dalam tradisi agama, oleh sebab itu, pengalaman tersebut mendapatkan konotasi agama, seluruh pengalaman mistis disebut dengan pengalaman keagamaan. Dalam pembahasan filsafat agama dan filsafat mistis, kita banyak menemukan objek pembahasan yang sama, yang menunjukkan bahwa kedua pengalaman tersebut, pada hakikatnya dari satu jenis pengalaman. Pengalaman melihat malaikat dan berbicara dengannya, pengalaman iluminasi cahaya dalam jiwa seorang sufi, pengalaman dalam menyaksikan tasbih seluruh keberadaan, pengalaman dalam menyaksikan kondisi surga dan neraka, mendapatkan ilham dalam mimpi, pengalaman dalam menemukan rahasia eksistensi, fana fillah dan wusul ilallah, menemukan tajalli Tuhan dalam diri seseorang, bersatu dengan nirwana dan…, dengan seluruh perbedaan yang dimilikinya, semuanya disebut pengalaman keagamaan sekaligus disebut dengan pengalaman mistis.


Pengalaman Keagamaan dan Bashirah Agama
Yang ingin kita tekankan dalam kesempatan ini bahwa pengalaman keagamaan berbeda dengan bashirah agama. Pengalaman keagamaan adalah menyaksikan Tuhan atau realitas hakiki atau sesuatu yang berhubungan dengannya, serta merasakan kehadirannya, pengalaman keagamaan bersifat "intuitif" . Akan tetapi bashirah agama bersifat "pemahaman" atau "pengingatan".

Dalam bashirah agama tidak diharuskan adanya unsur "kehadiran", misalnya; ketika nenek tua melepaskan putaran pemintal benang, dengan seketika putaran itu pun berhenti, dari sini nenek tua memahami dan menganalogikakan bahwa Tuhan pun demikian halnya terhadap seluruh eksistensi, artinya seluruh eksistensi bergantung penuh pada kekuasaan Tuhan, jika Tuhan melepaskan kekuasaannya pada makhluk, maka makhluk sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang dialami nenek tua dengan analogi seperti ini disebut dengan bashirah agama, bukan pengalaman agama.

Sebagian kejadian yang dialami oleh masyarakat biasa, atau ketika kita berkontemplasi mengenai keberadaan alam, biasanya menyebabkan kita menemukan bashirah-bashirah agama, misalnya memahami akan adanya alam metafisik, memahami hubungan antara alam ini dengan alam metafisik, atau memahami hubungan antara eksistensi dengan Pencipta. Tapi yang harus digaris bawahi bahwa pemahaman-pemahaman di atas tidak dibarengi dengan pengalaman. Namun boleh saja terdapat hubungan di antara keduanya, dalam arti bahwa pengalaman keagamaan sumber bagi bashirah agama[2].


Pengalaman Keagamaan dan Perkara-Perkara Supra Natural
Pengalaman keagamaan tidak semuanya meliputi perkara-perkara supra natural. Pengalaman keagamaan berbeda dengan sihir, hipnotis, telepati, pemain sulap, pemelihara jin, menghadirkan ruh dan lain-lain. Walaupun memungkinkan sebagian yang kami sebutkan di atas dengan pengalaman keagamaan memiliki titik kesamaan. Namun terdapat sesuatu dalam pengalaman keagamaan yang memisahkan dia dari hal-hal yang kami sebukan di atas. Dalam pengalaman keagamaan terdapat penyingkapan dan kasyf terhadap realitas hakiki, dan tidak disyaratkan adanya perkara-perkara supra natural. Dalam pengalaman keagamaan seorang arif - baik dia muslim, masehi atau yahudi - diharuskan mengalami sebuah pengalaman dalam bentuk berdialog dengan-Nya atau sampai kepada asma-Nya, namun dalam sihir dan penguasaan jin tidak disyaratkan hal-hal seperti ini. Perkara-perkara supra natural pada hakikatnya hanyalah sebuah teknik khusus, yang jarang dimiliki oleh orang awam, namun jika orang awam mengamalkan teknik khusus tersebut, maka ia akan mendapatkan kekuatan tertentu. Namun pengalaman keagamaan merupakan inayah tertentu dari Tuhan, artinya tidak semua orang bisa sampai pada pengalaman tersebut.

Salah satu ciri pengalaman keagamaan pada umumnya adalah pemberian dari Tuhan, artinya untuk mendapatkan pengalaman ini tidak cukup dengan usaha dan pengajaran, tapi pengalaman ini adalah pemberian dari alam metafisik, iluminasi secara tiba-tiba yang memberikan cahaya pada jiwa dan psikis seseorang dan terjadi begitu cepat. Jika kita perhatikan kondisi seorang arif, terkadang kita melihat sang arif menunggu begitu lama pengalaman yang baru, dan larut dalam kesedihan karena telah berpisah dengan pengalaman sebelumnya.

Sekarang kita harus menjelaskan apakah hakikat dari pengalaman keagamaan? Sejenis apakah pengalaman keagamaan? Apakah pengalaman keagamaan bisa dianggap sebagai pengalaman-pengalaman indrawi? Ataukah pengalaman keagamaan tak lebih dari sentimen dan perasaan semata? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kami jawab dalam pembahasan selanjutnya.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di atas, jika disesuaikan dengan beberapa pandangan yang ada, kita dapat membagi pertanyaan tersebut menjadi empat katagori; pertama, sebagian para filosof meyakini bahwa pengalaman keagamaan adalah sejenis sentimen atau perasaan. Kedua, pengalaman keagamaan temasuk katagori pengalaman-pengalaman indrawi. Ketiga, pengalaman keagamaan dalam pandangan pelaku pengalaman tersebut, dalam menjelaskannya membutuhkan penjelasan metafisik, namun bisa juga dijelaskan dengan penjelasan natural (non-metafisik). Keempat, pengalaman keagamaan secara hakiki betul-betul memiliki penjelasan metafisik, baik menurut pelaku pengalaman, ataupun dalam pandangan filosof agama[3].


1. Kesentimentalan Pengalaman Keagamaan
Schleiermacher meyakini bahwa pengalaman keagamaan bukan sejenis pengalaman pengetahuan dan rasionalitas, namun perasaan ketergantungan secara mutlak dan perasaan mendalam pada mabda atau merasakan kekuatan yang berbeda dari alam. Pengalaman ini adalah sebuah pengalaman syuhudi yang mana pengiktibarannya tidak diambil dari tempat lain, pengiktibarannya bersandar pada substansinya sendiri.

Tidak ada sama sekali landasan pengetahuan yang dijadikan landasan bagi pengalaman keagamaan, dan karena pengalaman keagamaan ini sejenis perasaan atau sentimen, maka pengalaman ini melampaui wilayah pengetahuan, dan tidak dapat dideskripsikan.[4] Schleiermacher dalam pendekatan analisanya, sangat dipengaruhi oleh pendekatan internal agama, dan memisahkan sisi deskripsi agama dan sisi penjelasannya. Apa yang dilakukan Schleiermacher adalah menciptakan sebuah strategi dalam menjaga agama, yaitu menjauhkan campur tangan ilmu modern kedalam agama, khususnya agama Kristen yang dalam pandangan ilmuan modern memiliki banyak ambiguitas atau kontradiksi.

Schleiermacher terkadang menganggap agama sebagai momen agama dalam kesadaran. Dia meyakini bahwa momen agama ini adalah sebuah prinsip, dalam arti bahwa pertama; hal tersebut bisa dianggap sebagai perasaan kebergantungan secara mutlak, kedua; hal tersebut membedakan momen-momen lain kesadaran diri yang tanpa perantara, ketiga; hal tersebut bukan kreasi dari pikiran, budaya dan pemahaman-pemahaman manusia. Bahasa agama diambil dari moment agama ini, bukan sebaliknya; artinya tidak semestinya pengalaman agama tersebut dijelaskan dengan pemahaman-pemahaman yang ada dalam bahasa, bahkan bahasa dan pemahaman-pemahaman tersebut harus dijelaskan dengan merujuk pada pengalaman.[5]

Ketika pengalaman keagamaan ini terjadi, dimana pengalaman tersebut terkatagorikan perasaan-perasaan, pengalaman tersebut menampakkan dirinya dalam bentuk tanda-tanda, sandi-sandi sakral, syair-syair dan ritual-ritual agama. Dalam tahapan ini belum terdapat kontemplasi dan refleksi pemikiran, yang ada hanyalah efek alamiah terhadap sebuah perasaan. Dengan berkembangnya individu dan budaya-budaya, perlahan-lahan mereka menampakkannya dalam bahasa dan doktrin-doktrin agama.

Bahasa agama memiliki dua tahapan; tahapan pertama, primer dan prinsipil. Tahapan kedua, sekunder dan derivasi. Dalam tahapan pertama terdapat dua jenis bahasa; pertama bahasa syair, dan kedua bahasa sastra dan orasi. Bahasa syair produk sebuah kondisi kejiwaan, yang disebabkan oleh faktor internal, bahasa sastra disebabkan oleh faktor eksternal. Bahasa primer meliputi kedua jenis bahasa tersebut.

Bahasa sekunder menciptakan jenis ketiga dari bahasa, yang merupakan bahasa akademis.

Bahasa akademis ini merupakan hasil usaha dalam memahami sesuatu, dimana sesuatu tersebut masih disajikan dalam bentuk syair atau sastra. Jika dalam bahasa primer terdapat sebuah kontradiksi, maka bahasa sekunder mencoba untuk menjelaskan pemahaman-pemahaman dan menyelesaikan kontradiksi. Bahasa sekunder ini bebas dari faktor-faktor yang menyebabkan munculnya bahasa primer. Ketika kontradiksi-kontradiksi muncul, maka kita merasakan sebuah kebutuhan pada bahasa primer. Pada saat inilah kita membutuhkan bahasa yang jelas, terdefenisi dan jauh dari hal-hal yang sifatnya kontradiktif. Bahasa ini hanya memiliki kejelasan dan keteraturan logika, dan bukan produk para analisis rasional. Bahkan secara umum bahasa ini berbeda dengan premis-premis teoritis dan dogmatis.

Pandangan Schleiermacher ini selanjutnya diikuti oleh banyak pemikir, yaitu mereka yang memiliki pandangan bahwa bahasa agama adalah sentimen dan rahasia, yang tidak membutuhkan justifikasi, dan aman dari segala kritikan dan pencarian argumentasi rasional. Ernest Cassirer, Jachim Wach dan Rudolf Otto adalah mereka yang mengikuti jalan pemikiran Schleiermacher.

Ludwig Wittgenstein (1889–1951) menyertai pandangan Schleiermacher dalam bentuk yang lain. Dia memaparkan analisa permainan bahasa, dimana dalam setiap permainan memiliki aturan tersendiri, kemudian mengatakan; anda jangan berbual dalam kehidupan ahli bahasa, karena anda tidak akan mampu mempersepsi pemahaman-pemahaman bahasa tersebut, atau dalam kata lain, bahasa agama tidak akan diketahui dengan bahasa lain. Pertama kita harus beriman dan kemudian memasuki kehidupan orang-orang yang beriman, barulah kemudian secara perlahan-lahan kita bisa mengerti makna-makna bahasa agama. Tanpa masuk ke dalam sebuah permainan dan memperhatikan aturan-aturan permainan tersebut, kita tidak akan mampu menganalisa dan mengkritik bahasa agama.

Menurut Otto, perkara nominous dapat dieksperimentasikan dalam tiga jenis perasaan; 1. Merasakan kebergantungan mutlak, 2. Merasakan takut, 3. Merasakan syauq (kecintaan) dan kehanyutan. Sakralitas Tuhan dapat dipersepsi melalui perasaan-perasaan tersebut, bukan melalui perantara akal, walaupun akal mampu menjelaskan sifat-sifat Tuhan dan memiliki pemahaman-pemahaman yang mampu mengisyaratkan pada-NYA, namun tak satu pun dari penjelasan akal yang mampu membawa kita pada substansi Tuhan, kecuali melalui perantara perasaan.


2. Kesamaan Pengalaman Keagamaan dengan Pengalaman Indrawi
Pandangan lain dalam wacana pengalaman keagamaan, adalah mereka yang meyakini bahwa pengalaman keagamaan sejenis pengalaman indrawi, karakteristik yang ada dalam pengalaman indrawi terdapat juga dalam pengalaman keagamaan dengan sedikit perbedaan. Ikbal Lahore[6] salah satu pengikut pandangan ini. William Alston mengatakan; pengalaman atau mempersepsi Tuhan dalam hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama adalah memainkan peranan pengetahuan, sebagaimana persepsi indrawi dalam hubungannya dengan keyakinan-keyakinan terhadap alam materi memainkan peranan pengetahuan. Begitu juga persepsi indrawi adalah dasar utama dalam pengetahuan kita terhadap alam materi, pengalaman keagamaan pun adalah dasar utama pengetahuan kita terhadap Tuhan. Kepercayaan-kepercayaan dasar secara langsung merefleksikan pengalaman kita. Kepercayaan yang paling mendasar dalam wilayah pengalaman indrawi adalah kepercayaan kepada realitas alam materi, bersamaan dengan itu pula, kepercayaan yang paling mendasar dalam wilayah pengalaman keagamaan adalah kepercayaan kepada realitas transendental. Begitu juga, kepercayaan-kepercayaan partikular indrawi seperti; "saya melihat pohon yang besar yang ada didepanku", terdapat juga dalam pengalaman keagamaan, yaitu kepercayaan-kepercayaan partikular pengalaman keagamaan seperti; "saya merasakan kehadiran Tuhan di sini". Untuk lebih jelasnya, kita akan menjelaskan lebih jauh hal-hal yang mirip di antara kedua pengalaman tersebut, dan juga perbedaan di antara keduanya.


2.1. Dimensi-dimensi persamaan
a) Kedua pengalaman tersebut, merupakan sebagian dari kepercayaan-kepercayaan dasar yang secara langsung membantu menjustifikasi pengalaman yang dimaksud, dan kemudian sebagian kepercayaan-kepercayaan lainnya terjustifikasi berdasarkan hal tersebut dan dengan bantuan argumentasi-argumentasi. Alston menyebut kepercayaan-kepercayaan dasar yang bersandar pada pengalaman agama dengan "manifestation beliefs".

b) Kedua pengalaman tersebut memiliki satu struktur, bahwa sebagaimana dalam pengalaman indrawi terdapat tiga unsur; persepsi, yang dipersepsi dan fenomena, dalam pengalaman keagamaan pun demikian halnya; orang yang mengalami pengalaman, Tuhan dan menefestasi Tuhan terhadap orang tersebut.

c) Baik kepercayaan-kepercayaan yang bersandar pada pengalaman indrawi, maupun pengalaman-pengalaman yang bersandar pada pengalaman keagamaan, kedua-duanya memiliki justifikasi, dan mampu melegalisasi kepercayaan tersebut, terkecuali jika ada dalil tertentu yang kita temukan yang menunjukkan ketidakvaliditasan kepercayaan tersebut, misalnya Tuhan memerintahkan saya untuk membunuh orang yang tak berdosa, namun kepercayaan dan keyakinan agama saya tidak mengijinkan untuk melakukan hal tersebut.


2.2. Dimensi-dimensi perbedaan
a) Pengalaman indrawi bersifat umum, dan bisa berlaku untuk semua orang. Namun pengalaman keagamaan bersifat individu, dan tidak berlaku untuk semua orang.

b) Pengalaman indrawi dalam segala kondisi bersifat umum, seseorang bisa saja mengalami beberapa kondisi yang berbeda – beda, berbeda dengan pengalaman keagamaan, kondisi – kondisi tersebut sangat jarang diraih.

c) Pengalaman indrawi bersifat iktisabi (pencapaian), untuk memperolehnya bergantung pada usaha seseorang, akan tetapi pengalaman keagamaan umumnya bersifat "kedatangan", dan pelaku pengalaman bukan faktor utama dalam meraih sebuah pengalaman. Terkadang seorang Arif menunggu sekian lama untuk mendapatkan sebuah pengalaman.

d) Pengalaman keagamaan bersifat sementara, akan tetapi pengalaman keagamaan bersifat tetap.

e) Pengalaman indrawi memberikan informasi yang rinci mengenai alam, namun pengalaman kegamaan biasanya disertai dengan keambiguitasan, dan hanya memberikan sedikit informasi mengenai Tuhan.

f) Pengalaman indrawi bergantung pada kualitas-kualitas indrawi, berbeda dengan pengalaman keagamaan. Perkara-perkara yang dihasilkan oleh pengalamn indrawi seperti warna, bau, rasa, ukuran, berat, lembut, tipis dan lain-lain, sedangkan perkara-perkara yang dihasilkan oleh pengalaman keagamaan seperti kehadiran, spiritual, cinta, potensi, keindahan Ilahi.

g) Pengalaman indrawi setiap orang, satu sama lain bisa saling membenarkan, namun pengalaman-pengalaman keagamaan seseorang tidak demikian. Lagi pula, dalam pengalaman indrawi memiliki persamaan persepsi dalam mempersepsi sesuatu, misalnya ketika berhadapan dengan sebuah meja, pada umumnya mereka memiliki kesamaan dalam menggambarkan meja tersebut. Akan tetapi dalam pengalaman keagamaan, manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda mengenai realitas hakiki atau kehadiran Tuhan, oleh sebab itu, mereka juga berbeda-beda dalam menggambarkan pengalamannya.


3. Menganggap Metafisika Pengalaman Keagamaan
Proudfoot meyakini bahwa pengalaman keagamaan memiliki banyak keragaman, kita tidak mampu mendamaikan di antara pengalaman-pengalaman keagamaan yang beragam, apalagi menemukan substansi universal di antaranya. Dia sepakat dengan Katz yang mengatakan bahwa pengalaman keagamaan memiliki simpul budaya, dimana pengalaman keagamaan terjadi dalam budaya tersebut, dalam kata lain, tak ada satupun pengalaman keagamaan tanpa melalui perantara pemahaman-pemahaman dan kepercayaan-kepercayaan, dan struktur sebelum pengalaman memberikan pengaruh dalam pengalaman, bahkan struktur tersebut bagian dari pengalaman.

Proudfoot mengatakan: jika pengalaman keagamaan kita anggap sejenis pengalaman indrawi, maka akan memestikan; baik pijakan pengalaman tersebut berada diluar, maupun pijakan tersebut sebagai sebab munculnya pengalaman (sebagaimana berlaku dalam pengalaman indrawi), dan jika bentuknya seperti ini, maka di antara pengalaman keagamaan yang ada, hanya satu jenis saja yang bisa dianggap sebagai pengalaman hakiki, karena tidak mungkin; baik Tuhannya agama monoteis memiliki realitas hakiki, juga Tuhannya politeisme, dan jika memang demikian halnya, kita tidak bisa lagi menganggap bahwa para pengikut agama memiliki pengalaman keagamaan. Jalan keluar yang diberikan Proudfoot dalam menjawab kritikan tersebut, dengan mendeskripsikan pengalaman agama sedemikian rupa sampai bersifat universal, sehingga agama yang lainpun memiliki pengalaman keagamaan.

Berdasarkan hal di atas, Proudfoot mencoba memaparkan definisi mengenai pengalaman keagamaan. Menurutnya: "pengalaman keagamaan adalah sebuah pengalaman yang mana pelaku pengalaman tersebut, menganggap pengalamannya sebagai pengalaman keagamaan", artinya pelaku pengalaman meyakini bahwa apa yang dialaminya tidak bisa dijelaskan dengan bersandar pada variable-variabel tabiat, namun harus dijelaskan dengan variabel metafisika, kendatipun anggapan tersebut semata-mata klaim individu pelaku pengalaman dan sama sekali tidak memiliki realitas hakiki di luar. Dengan kata lain, pengalaman keagamaan bukan landasan bukti terhadap pijakannya sendiri, tapi hanya menunjukkan bahwa pelaku pengalaman keagamaan menganggap pijakan pengalamannya memiliki realitas, baik itu pada hakikatnya benar ataupun salah. Proudfoot dalam hal ini memisahkan antara sisi deskripsi dengan sisi penjelasan. Dalam sisi deskripsi, kita tidak bisa mendeskripsikan pengalaman keagamaan tanpa memperhatikan pandangan-pandangan pribadi pelaku pengalaman. Pendeskripsian pengalaman keagamaan mengandung sebuah jenis tafsir, dan tafsir ini telah mengasumsikan akan adanya keberadaan metafisik. Dalam sisi deskripsi, pengalaman keagamaan tidak akan mengubah pengalaman-pengalaman lain manusia, seperti pengalaman indrawi. Akan tetapi dalam sisi penjelasan pengalaman keagamaan, bisa muncul dari sistem-sistem kepercayaan dan kecendrungan-kecendrungan pribadi pelaku pengalaman. Dan sama sekali tidak memiliki kemestian bahwa faktor yang memunculkan pengalaman keagamaan adalah betul-betul apa yang diklaim oleh pelaku pengalaman.


4. Pengalaman Keagamaan Sebagai Hal Metafisikal
Mungkin pengalaman keagamaan bisa kita definisikan sebagai berikut: "Pengalaman keagamaan adalah sebuah pengalaman yang mana pelaku pengalaman tersebut menganggapnya sebagai pengalaman keagamaan, yang mana pengalaman tersebut tidak bisa dijelaskan dengan berdasarkan perkara-perkara tabiat (non-metafisik), dan untuk menjelaskan hal tersebut, membutuhkan keberadaan metafisik". Dengan kata lain, baik dalam sisi mendeskripsikan pengalaman keagamaan butuh pada keberadaan metafisik yang telah diasumsikan, begitu juga dalam sisi menjelaskan hal tersebut.

Proudfoot dalam setengah perjalan pertama telah melewatinya dengan benar, namun dalam setengah perjalanan selanjutnya melangkah dengan salah, karena - sebagaimana yang dikatakan Proudfoot - dalam sisi penjelasan pengalaman keagamaan pun, harus muncul dari sistem-sistem kepercayaan dan kecendrungan-kecendrungan pribadi pelaku pengalaman, kita tidak dapat menganggap sebab munculnya pengalaman-pengalaman ini semata-mata dari perkara-perkara tabiat. Hingga saat ini, tidak ada satupun penjelasan tabiat (rasional) yang memuaskan sepanjang sejarah, dalam menjelaskan kejadian-kejadian yang dialami oleh para arif. Lagi pula, pendeskripsian para arif mengenai pengalaman-pengalaman yang dialaminya, secara umum tidak bisa dielakkan begitu saja. Pada umumnya, orang-orang arif pada zamannya sendiri adalah orang-orang yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, paling jujur dan paling teliti. Oleh karena itu, tanpa memiliki data yang jelas, kita tidak bisa menganggap pengalaman mereka sejenis fantasi atau imajinasi semata.

Hal lain yang tidak bisa kita ingkari juga bahwa sebagian besar dari para arif adalah orang-orang reformis, yaitu orang-orang yang bangkit dalam melawan nilai-nilai dan budaya yang mendominasi pada zamannya, bahkan mereka melakukan perlawanan. Sebagian dari mereka mengajak masyarakatnya ke arah ide-ide dan nilai-nilai yang tinggi. Oleh karena itu kita tidak dapat menklaim bahwa seluruh pengalaman para arif, sebelumnya telah dibingkai oleh sistem pemikiran, nilai dan budaya mereka.


Pengalaman Keagamaan dan Pembuktian Keberadaan Tuhan
Apakah kita dapat membangun argumentasi dalam membuktikan Tuhan dengan bersandar pada pengalaman-pengalaman keagamaan? Untuk menjawab persoalan ini, pertama-tama kita harus menggeledah substansi pengalaman keagamaan itu sendiri. Hal ini telah kita lakukan secara ringkas di atas. Kita akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menyesuaikan masing-masing pandangan pemikiran yang dipaparkan di atas.


1. Kesentimentalan Pengalaman Keagamaan dan Pembuktian Tuhan
Bagi mereka yang menganggap bahwa pengalaman keagamaan adalah perkara sentimen atau perasaan, maka mereka tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan dengan menggunakan hal tersebut, dikarenakan; dengan bersandar pada perkara sentimen dan perasaan semata, maka kita tidak dapat memperolah pengetahuan terhadap sebuah realitas. Perasaan-perasaan bersifat ineffability (tidak dapat dijelaskan), tidak memiliki jaminan dan pemahaman-pemahaman akal serta pengetahuan yang cukup untuk membangun sebuah argumen. Setiap dalil dan argumen menggunakan mukaddimah yang memiliki pemahaman-pemahaman yang jelas. Sentimen semata, ambigu dan ineffability, tidak bisa sama sekali digunakan dalam mukaddimah rasional dan eksperimen dalam menyajikan sebuah argumentasi.


2. Keindrawian Pengalaman Keagamaan dan Pembuktian Tuhan
Berdasarkan dasar pemikiran "kesamaan pengalaman keagamaan dengan pengalaman indrawi", dapat membangun sebuah argumentasi dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Sebagaimana kita menggunakan persepsi-persepsi indrawi dalam membuktikan hal-hal yang bersifat materi, kita juga dapat membuktikan Tuhan dengan menggunakan persepsi-persepsi kita yang bersandar pada pengalaman keagamaan. Kedua-duanya memiliki kemungkinan mengalami kesalahan, namun hal ini tidak menyebabkan bahwa kita kehilangan kepercayaan terhadap persepsi-persepsi kita. Namun kita tidak harus melupakan bahwa walaupun kita menyamakan antara pengalaman keagamaan dan pengalaman indrawi, tetapi tetap saja berhadapan dengan beberapa masalah, misalnya terdapat perbedaan di antara persepsi-persepsi keagamaan yang berbeda. Dalam pengalaman-pengalaman indrawi, pengalaman-pengalaman individu yang berbeda-beda satu sama lain saling membenarkan, dan hal ini menyebabkan kepercayaan yang lebih terhadap pengalaman indrawi. Berbeda dengan pengalaman-pengalaman keagamaan yang satu sama lain saling tidak membenarkan dan terdapat perbedaan yang banyak di antaranya (perbedaan yang ketujuh atau "g" antara pengalaman keagamaan dan pengalaman indrawi). Jika Alston mampu keluar dari masalah ini, mungkin dia dapat menemukan jalan dalam membuktikan Tuhan melalui pengalaman keagamaan.


4. Menganggap metafisika Pengalaman Keagamaan dan Pembuktian Tuhan
Teori Proudfoot tidak menklaim dalam membuktikan sesuatu melalui pengalaman keagamaan, artinya teori Proudfoot berseberangan dengan teori yang meyakini bahwa kita dapat membuktikan Tuhan melalui pengalaman keagamaan.


5. Pengalaman Keagamaan Sebagai Hal Metafisikal dan Pembuktian Tuhan
Pandangan keempat meyakini bahwa kita dapat membangun sebuah argumen dalam membuktikan Tuhan melalui pengalaman keagamaan, karena pengalaman keagamaan adalah sebuah pengalaman yang mana pelaku pengalaman tersebut menganggapnya sebagai pengalaman keagamaan, yang mana tidak dapat dijelaskan dengan perkara tabiat (non-metafisik) dan untuk menjelaskannya butuh pada keberadaan metafisik. Dalam kesempatan ini, kami tidak ingin membuktikan misdak sesuatu berdasarkan sebuah definisi, akan tetapi dalam menjelaskan sebab pengalaman keagamaan, kita akan sampai pada keberadaan metafisik. Jenis pengalaman keagamaan tidaklah demikian halnya secara sederhana memancar dari sebab tabiat (non-metafisik). Jenis pengalaman-pengalaman para arif dan para Nabi, tidak bisa kita menganggapnya begitu saja bahwa pengalaman mereka adalah akibat dari faktor-faktor seperti; lingkungan, budaya, badan, makanan dan semacamnya. Sebuah pengalaman terhadap keagungan wahyu, berdialog dengan Tuhan, sebuah pengalaman seperti mendapatkan beberapa pengetahuan melalui alam gaib, yang mana tanpa bantuan Tuhan kemungkinan untuk sampai pada pengetahuan tersebut terhitung mustahil, pengalaman menyaksikan kehidupan benda mati, pengalaman menyaksikan tasbih seluruh eksistensi, dan ratusan pengalaman lain semacamnya, yang mana seluruh pengalaman tersebut tidak bisa kita abaikan pengaruh alam gaib, dan semata-mata menganggapnya sebagai fenomena kejiwaan. Pengalaman-pengalaman ini dikarenakan keragamannya, memberikan perubahan pada individu dan masyarakat, memberikan pengetahuan tentang alam dan manusia serta memiliki keobjektivitasan dan faktor eksternal (di luar dari jiwa seorang arif atau Nabi).

Sebab perolehan pengalaman-pengalaman seperti ini memiliki karekteristik yang melampaui karekteristik yang dimiliki oleh materi, maka ciri-ciri pengalaman keagamaan itu sendiri melampaui perkara-perkara materi dan tabiat. Dengan menggunakan pengalaman-pengalaman keagamaan, kita dapat membuktikan keberadaan metafisik, yang suci, yang agung, penuh rahasia dan menakjubkan. Akan tetapi tidak membuktikan Tuhan dari salah satu agama tertentu. Dengan kata lain, apa yang ada di antara pengalaman-pengalaman keagamaan yang beragam, memiliki kesamaan, bahwa pengalaman tersebut tidak mampu membuktikan selain yang disebutkan di atas, bahwa apakah keberadaan tersebut, Tuhan personal atau universal, satu atau banyak, tetap atau berubah, dan sifat-sifat lainnya, melalui pengalaman-pengalaman keagamaan ini tidak dapat dibuktikan, untuk hal tersebut harus menggunakan dalil-dalil yang lain.




Catatan Kaki:
[1] . Justarhae kalame jadid, hal 156.

[2]. Aqle wa I'tiqade Diini, Michael Peterson, terjemahan Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sulthani, hal 37.

[3]. Dar Amadi bar Kalame Jadid, Hadi Shadiqi, hal 133.

[4] . Aqle wa I'tiqade Dini, Michael Peterson, Penerjemah: Ahmad Naraqi, Hal. 41.

[5] . Aqle wa I'tiqade Diin, Michael Peterson, Penerjemah: Ahmad Naraqi, Hal. 41.

[6] . Muhammad Iqbal, menghidupkan pemikiran agama dalam islam, terjemahan Ahmad Aram, Tehran

4
NEO-TEOLOGI I

Wahyu dan Pengalaman Keagamaan

Prolog
Pada dekade terakhir, para orientalis dan beberapa pemikir muslim meyakini bahwa nabi merupakan orang yang memperoleh pengalaman keagamaan atau pengalaman religi. Wahyu yang diterima seorang nabi sama dengan apa yang dialami oleh seorang sufi. Keduanya sama-sama memperoleh pengetahuan intuitif melalui mukasyafah yang tidak dapat diraih oleh manusia biasa.

Berdasarkan pandangan ini, perkataan nabi yang didapatkan ketika menerima kalam Tuhan, merupakan pengalaman spiritual dan sosial nabi sendiri. Disini, wahyu mengikuti situasi dan kondisi nabi. Sehingga, kematangan wahyu mengikuti kematangan nabi. Secara gradual, nabi semakin matang menjadi nabi, maka wahyu semakin kaya. Sosok nabi adalah media bagi pertumbuhan dan perkembangan wahyu. Dengan pandangan tersebut, jika Rasulullah Saw hidup lebih lama lagi, maka al-Qur'an bisa saja melebihi dari yang ada saat ini. Dengan demikian agama pun secara gradual mengalami penyempurnaan. Hal ini menegaskan adanya kehidupan gradual selanjutnya bahwa setelah Rasulullah Saw, pengalaman religi seorang sufi memperkaya agama. Di sini agama sendiri mengalami perluasan, bukan hanya pengetahuan agamanya saja.

Berangkat dari klaim besar yang masih perlu diuji kebenarannya tersebut, muncul pertanyaan pokok apakah wahyu merupakan pengalaman religi seperti yang juga dialami oleh kalangan sufi, ataukah sebaliknya wahyu dan pengalaman religi memiliki sejumlah perbedaan yang mendasar. Tulisan ini berupaya mengangkat perbedaan mendasar antara wahyu dan pengalaman religi.


Antara Wahyu dan Pengalaman Religi
Secara etimologis, wahyu memiliki beberapa pengertian antara lain: isyarat, pesan, dan perkataan tersembunyi yang cepat. Hal ini seperti dijelaskan Raghib Isfahani yang mendefinisikan wahyu sebagai pesan tersembunyi yang disampaikan dengan isyarat yang sedemikian cepat.[1] Namun terkadang terma ini juga berkaitan dengan ketentuan ciptaan alam semesta seperti petunjuk insting dan fitrah manusia. Sebagaimana al-Qur'an memberikan penjelasan pada ketiga maknanya yaitu: pesan tersembunyi,[2] petunjuk insting[3] dan fitrah manusia[4]. Selain ketiga makna tersebut, dalam al-Qur'an wahyu bermakna risalah illahi[5] yang disebutkan lebih dari tujuh puluh kali.[6] Makna terakhir inilah yang menjadi pokok pembahasan kita kali ini.

Wahyu secara terminologis didefinisikan sebagai pesan tersembunyi yang disampaikan oleh Allah Swt kepada para Nabi-Nya. Maka, wahyu berperan menghidupkan dan menciptakan sebuah agama baru. Dengan kata lain, wahyu kadangkala mendirikan syariat maupun agama baru dan kadang pula berperan menghidupkan kembali agama yang sudah dilupakan masyarakat dan telah mengalami berbagai distorsi.

Dalam al-Qur'an, wahyu merupakan kalam Tuhan yang disampaikan kepada para utusannya melalui tiga cara, baik secara langsung, melalui suara tertentu sebagai perantara atau melalui malaikat.

Pengalaman religi merupakan terjemahan bebas dari religious experience yang mencuat kepermukaan adalah diperkenalkan dan diangkat oleh William James. Sebelumnya, gagasan ini telah dikemukakan oleh teolog Kristen bernama Friedrich Schleiermacher.

Pengalaman merupakan pengetahuan yang diperoleh dari realitas yang dialami seseorang. Salah satu dari pengalaman tersebut adalah pengalaman religi. Pengalaman ini berbeda dengan pengalaman lainnya. Pengalaman ini berkaitan dengan eksistensi metafisika seperti merasakan manifestasi Tuhan dalam sesuatu atau seseorang.

Orang yang mengalami pengalaman religi meyakini pengalaman yang dirasakannya tersebut tidak bisa diungkapkan berdasarkan prinsip-prinsip natural. Maka, harus dijelaskan menggunakan bahasa agama. Karena, pengalaman ini merupakan pengaruh dari pandangan kegamaan seseorang. Menurut Schleiermacher, pengalaman religi merupakan pengetahuan non rasional berupa perasaaan menyatu dengan sumber kekuatan metafisika.

Rudolf Otto, meyakini bahwa pengalaman religi merupakan sekumpulan perasaan yang sulit diungkapkan. Ia menyebutnya sebagai the idea of the holy. Menurut Otto, idea suci ini terdiri dari tiga perasaan pada manusia yang mengalami pengalaman religi antara lain: rasa ketergantungan mutlak, rasa takut dan rasa kagum yang mendalam.


Antara wahyu dan pengalaman religi, terdapat perbedaan mendasar. Dalam kesempatan ini, akan dikemukakan delapan perbedaan di antara keduanya antara lain :

1. Wahyu Bukan Anak Budaya Jamannya
Pengalaman religi, lahir dari struktur budaya masyarakat jamannya. Pengalaman religi seorang Sufi Hindu India, dipengaruhi oleh budaya agama Hindu yang tumbuh dalam situasi dan kondisi sosial India. Pengalaman religi seorang muslim Arab, lahir dari budaya agama Islam yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial bangsa Arab ketika itu. Artinya, seluruh pangalaman tersebut, lahir dari dinamika sosial yang membentuk kebudayaan agama jamannya.

Tidak demikian dengan wahyu. Pengajaran para nabi berupa wahyu yang disampaikan kepada masyarakat, berseberangan dengan budaya jamannya. Para Nabi memerangi tradisi masyarakat yang pada umumnya merupakan khurafat, kemudian menawarkan tradisi baru untuk mengisinya. Oleh karena itu, tidak tepat kiranya menyetarakan pengalaman religi dan wahyu.


2. Wahyu Jelas dan Terperinci
Wahyu Tuhan terutama dalam al-Qur'an, disampaikan dengan bahasa yang jelas dan menerangi. Al-Qur'an menjelaskan maksudnya dengan jelas dan secara terperinci mengupas berbagai bagian mendasar dari permasalahan awal hingga akhir kehidupan. Namun, tidak demikian dengan pengalaman religi yang pada umumnya cepat berlalu dan mengalami kesulitan untuk dideskripsikan. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah kebenaran mimpi yang dialami seseorang. Karena mimpi seringkali samar dan begitu cepat berlalu, sehingga sangat memerlukan penafsiran dan penakwilan. Tetapi wahyu, menyampaikan maksudnya dengan jelas dan menerangkan berbagai bagian dari pengetahuan Illahi.


3. Wahyu Meyakinkan
Dalam wahyu, tidak ada ruang bagi keraguan dan penolakan terhadap kebenarannya. Tetapi, tidak demikian dengan pengalaman religi. Pengalaman religi seorang sufi, dihantui kekhawatiran apakah penyaksian spiritual yang dialaminya merupakan ilham Ilahi atau inspirasi setan. Untuk membuktikannya memerlukan berbagai metode yang harus ditempuh. Hal ini menunjukan bahwa pengalaman religi merupakan sesuatu yang labil dan untuk menimbang kebenarannya memerlukan bukti.


4. Wahyu Melahirkan Syariat
Beberapa wahyu yang diturunkan Allah Swt melahirkan syariat berupa tatanan praktis dari Allah untuk kehidupan manusia baik individu maupun sosial. Hal ini tidak akan ditemukan pada seluruh pengalaman religi seperti yang dialami seorang sufi. Karena, setiap sekte tasawuf memiliki aturan dan metode sendiri-sendiri untuk meraih hakikat. Berbagai aturan tersebut berasal dari pengalaman para pemimpin masing-masing yang kemudian secara skriptural disistematikan sebagai tradisi sufi.


5. Tidak Ada Campur Tangan Manusia Terhadap Wahyu
Al-Qur'an yang merupakan wahyu tertinggi, memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang diturunkan dari Tuhan kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana dijelaskannya sendiri dalam surah Yunus ayat 37-38,

“Tidaklah mungkin al-Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkanya, tidak ada keraguan di dalamnya, (Diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah (kalau benar yang kamu katakan itu), maka datangkanlah sebuah surah seumpamanya dan panggillah siapa saja (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Dalam kedua ayat di atas menunjukan dengan jelas bahwa al-Qur'an wahyu Tuhan, bukan buatan manusia.

Barangkali ada yang menolak kedua ayat tersebut karena terjadi daur (circular reasoning), ketika berargumentasi tentang wahyu Ilahi dari wahyu itu sendiri. Menjawab klaim tersebut, dalam catatan sejarah sejak turunnya al-Qur'an hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang sanggup membuat surah seperti halnya al-Qur'an membuktikannya. Bahkan para penyair Arab yang sangat terkenal pada jaman Rasulullah sendiri, mengakui keunggulan sastra al-Qur'an yang tidak tertandingi. Jika al-Qur'an ini adalah hasil dari pengalaman religi Nabi, maka harus ada seorang sufi yang mampu menyamainya. Kenyataan sampai saat ini, tidak ada yang mampu melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa pengalaman religi berbeda dengan wahyu.


6. Berbeda dengan Perkataan Manusia
Wahyu yang diterima oleh Rasulullah Saw, berbeda dengan perkataan Rasulullah sendiri baik dari susunan kalimat maupun maknanya. Bahkan Rasulullah sendiri dalam berbagai hadis menerangkan perbedaan tersebut. Hal ini menegaskan bahwa wahyu merupakan kalam Allah yang berbeda dengan perkataan Rasulullah Saw. Maka, pendapat yang menyamakan pengalaman religi dengan wahyu bahwa “kalam Tuhan adalah perkataan Nabi”, tertolak dengan sendirinya.


7. Mengabarkan Keadaan Para Pendahulu dan yang Akan Datang
Dalam al-Qur'an dipaparkan keadaan orang-orang terdahulu hingga periode turunnnya al-Qur'an. Walaupun al-Qur'an bukan buku sejarah yang menceritakan secara mendetail kronologis berbagai peristiwa, namun menjelaskan kehidupan orang-orang terdahulu sebagai petuah dan peringatan sehingga umat manusia mampu memetik dan mengambil pelajaran darinya. Selain itu, al-Qur'an juga menyampaikan informasi tentang masa depan. Sebagai misal, al-Qur'an mengabarkan kemenangan Romawi terhadap Persia dan kemenangan yang diperoleh kaum muslimin pada saat penaklukan Mekkah yang terdapat dalam surah al-Fath.

Pengalaman religi seperti dalam pencapaian intuitif yang dilakukan para sufi, tidak memiliki jangkauan sebagaimana al-Qur'an menjelaskan berbagai keadaan terdahulu dan masa yang akan datang.


8. Tidak Ada Kontradiksi Dalam Wahyu
Salah satu mukjizat al-Qur'an adalah tidak adanya kontradiksi di dalamnya. Hal tersebut bukan berarti penampakan ayat-ayat al-Qur'an tidak ada perbedaan. Tetapi, makna dari ayat-ayat al-Qur'an tidak mengalami kontradiksi.

Hal ini berbeda dengan berbagai karya yang ditulis oleh manusia, terdapat kontradiksi di dalamnya. Sejarah mencatat berbagai karya besar manusia yang sempat mendunia, tidak luput dari berbagai kontradiksi yang melambarinya.

Al-Qur'an memberikan isyarat dalam surah an-Nisa ayat 82, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an ? Kalau sekiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya”.


Epilog
Wahyu merupakan relasi khusus yang terjadi antara Tuhan dengan para nabi-Nya. Wahyu diterima Nabi melalui tiga jalan, diantaranya diterima oleh Nabi tanpa perantara, melalui perantaraan suara tertentu dan melalui malaikat. Namun, tidak demikian dengan pengalaman religi yang dialami sufi.

Walaupun Pengalaman religi seorang sufi dan wahyu memiliki kedekatan, namun tidak bisa dikatakan bahwa wahyu merupakan pengalaman religi. Karena diantara keduanya terdapat beberapa perbedaan mendasar.

Salah satu perbedaan tersebut, wahyu bukan anak budaya jamannya. Pada umumnya pengajaran para Nabi yang bersumber dari wahyu berseberangan dengan tradisi pada jamannya. Padahal, pengalaman religi merupakan anak yang lahir dan dibesarkan oleh budaya jamannya.

Perbedaan lainnya antara pengalaman religi dan wahyu adalah kejelasan wahyu yang berbeda dengan pengalaman religi yang masih kabur. Selain itu wahyu juga diiringi dengan keyakinan yang dalam pada diri nabi. Namun tidak demikian dengan pengalaman religi. Karena pengalaman religi seorang sufi masing dibayangi berbagai kekhawatiran apakah penyaksian yang didapatkan berasal dari Tuhan atau setan.

Pada beberapa kategori wahyu, ia melahirkan syariat. Tetapi pengalaman religi tidak pernah melahirkan syariat. Tidak hanya itu, wahyu juga memiliki kekhususan lainnya seperti menyampaikan informasi tentang masa lalu dan masa mendatang serta tidak adanya kontradiksi didalam wahyu itu sendiri. Berbagai hal tersebut semakin memperkokoh perbedaan yang menonjol antara pengalaman religi dan wahyu.



Catatan Kaki:
[1] Al-Ragib Isfahani, Mufradat al-Fadh al-Quran hal 515.

[2] Qs. Maryam:11

[3] Qs. An-Nahl:68-69

[4] Qs. Thaha:37-40

[5] Qs. An-An’am:121

[6] Ma’rifat, Muhamad Hadi, Amozesh Ulum Qurani hal. 15.

5
NEO-TEOLOGI I

Pengalaman Keagamaan dan Ragam Interpretasinya
Mendengar kata pengalaman (eksperimen) keagamaan bagi kita orang-orang Timur tidak menimbulkan rasa heran; karena kita menggunakan kata ini dalam perubahan permasalahan-permasalahan material dan fenomena-fenomena alam. Contohnya ketika kita ingin memperoleh data mengenai tipologi “logam” dalam panas dan atau tentang efek obat terhadap sebuah penyakit tertentu, kita mengatakan: Eksperimen membuktikan bahwa “logam dalam panas akan mengembang” dan atau “tumbuhan tertentu ini mengandung khasiat penenang” dan atau “antibiotik membunuh kuman”.

Akan tetapi mengenai kajian tentang “agama” yang bermakna “Tuhan”, kita tidak pernah menggunakan kata eksperimen; karena tidak ada artinya jika keberadaan yang superior dari materi diletakkan dalam area eksperimen.

Namun semenjak sarana kajian di Barat mulai berubah, dan pengalaman atau eksperimen mengambil alih kedudukan argumen, serta para ilmuan Barat meyakini hal itu sebagai obat dari setiap penyakit, maka sekelompok dari mereka berusaha juga membuka tali-temali problem permasalahan-permasalahan supranatural dari jalur ini, dan melontarkan pandangan yang menafikan atau menetapkan dengan berbagai eksperimen dalam hal ini, serta pada akhirnya melalui metode ini mereka juga membuktikan kemampuan eksperimen hingga dalam permasalahan-permasalahan di luar materi.

Sebab lain dari tendensi ini adalah karena “Hume” dan setelahnya “Kant” mengklaim bahwa keberadaan pencipta tidak memiliki argumen logis dan rasional, dan dalil-dalil “imkan dan wujud” dan “keteraturan” tertolak dan tidak dapat diterima. Ketika gelombang kritikan mereka sampai di kancah teologis dan filosofis, sebagian orang terpengaruh oleh ucapan-ucapan mereka. Mereka membayangkan bahwa permasalahan beragama tidak memiliki dimensi rasionalitas dan akhirnya mereka masuk melalui jalur pengalaman religius dan melalui jalan ini pula mereka keluar dari kondisi ateis.

Di dalam pengalaman religius disodorkan berbagai interpretasi yang dalam makalah singkat ini akan kita jelaskan sebagiannya kemudian akan kita analisa.


Interpretasi Pertama Terhadap Pengalaman Religius
1. Para dokter yang memiliki keahlian dalam operasi pembedahan dan kemahiran luar biasa dalam bidang spesialisasinya, terkadang putus asa dari kondisi pasien dan mereka melihat kondisi buruk pasien sedemikian rupa sehingga tidak berharap satu persen pun akan membaik, akan tetapi tiba-tiba kondisi pasien semakin pulih dan sehat dan perlahan-lahan penyakitnya hilang; di sinilah mayoritas dokter mengatakan telah muncul uluran tangan gaib yang memberikan kesembuhan kepadanya. Banyak sekali para dokter memiliki pengalaman-pengalaman semacam ini dan melalui jalan ini terbuka di hadapan mereka sebuah jendela ke arah alam gaib.

2. Terkadang para inventor dan penemu berhasil menyingkap sebuah hukum tanpa penelitian sebelumnya dan mereka tidak melihat faktornya selain kekuatan gaib.

Urgensi dan pengaruh ilham atau inspirasi dalam penemuan-penemuan ilmiah telah dikonfirmasikan oleh para ilmuan.

Pada tahun 1931 M dua orang kimiawan Amerika bernama Blatt dan Piker menyebarkan sebuah daftar pertanyaan di kalangan sekelompok ilmuan kimia untuk kajian mengenai urgensi inspirasi (ilham) dalam penemuan dan penyelesaian problema-problema ilmiah yang hasil-hasilnya dicetak dengan bentuk berharga. Salah seorang ilmuan menjawab pertanyaan tersebut demikian: Karena kesulitan-kesulitan dan berbagai macam kesamaran, saya memutuskan untuk menyingkirkan riset dan seluruh pikiran-pikiran yang berhubungan dengannya secara total. Keesokan harinya ketika saya sedang sibuk berat mengerjakan pekerjaan lain, seketika itu sebuah ide tiba-tiba bagaikan aliran listrik terlintas di benakku, dan itulah penyelesaian permasalahan laluku yang membuatku berputus asa secara total.

Laporan yang sama dinukil dari Henri Poincare (1854-1912 M) mate-matikawan ternama Perancis dan masih banyak lagi ilmuan-ilmuan ilmu pengetahuan alam, matematika, dan fisika.

Yang menarik perhatian adalah banyak dari inspirasi ilmiah yang menjadi sebab ditemukannya sebuah realita sangat berharga, bukan hanya tidak berhubungan dengan pekerjaan dan konsentrasi berpikir para ilmuan pada waktu aktifitas mereka, namun bahkan sedikit pun juga tidak berhubungan dengan bidang spesialisasi mereka. Manifestasi inspirasi dan penemuan semacam ini adalah penemuan Louis Pasteur (1842-1895 M) ilmuan kimia Perancis yang berhasil mendeteksi kuman.

3. Sekelompok orang menerima mimpi-mimpi yang menjelaskan dan menampakkan kenyataan sebagai satu macam pengalaman religius, mimpi-mimpi yang memberikan reportasi kejadiannya sebelum terjadi; contohnya melihat kematian ayah atau ibu atau keluarga dekat di alam mimpi dan beberapa bulan kemudian hal itu terjadi. Flammarion dalam buku rahasia-rahasia kematian berkenaan dengan hal ini menukil berbagai macam mimpi dan banyak orang juga mengalami mimpi-mimpi seperti ini dalam kehidupan mereka.

Pada dasarnya sesuatu yang belum terjadi di alam materi, bagaimana dapat menjelma di alam mimpi bagi manusia dan tidak meleset seujung jarum pun?! Mimpi-mimpi semacam ini tidak dapat dijustifikasi dengan faktor-faktor material.

4. Orang-orang yang tersesat di padang sahara panas menyaksikan kematian di depan kedua kaki mereka, dengan bertawassul kepada Tuhan terbukalah jalan bagi mereka, jalan yang tidak dapat diaplikasikan dengan pertimbangan-pertimbangan material.

Ringkasnya beberapa orang memiliki pengalaman-pengalaman dalam kehidupan mereka seperti terkabulnya doa, sembuhnya penyakit yang tidak terobati yang tidak dapat dijelaskan dengan dasar teori-teori alami dan seluruhnya mengisahkan adanya sebuah keberadaan supranatural yang menjadi sumber hal-hal semacam ini.

Apa yang kita paparkan di atas adalah contoh-contoh pengalaman religius dengan makna pertama yang menjadi keyakinan sekelompok orang akan alam supranatural.


Analisa Interpretasi Pertama
Kita perlu ingatkan bahwa pengalaman religius dengan artian ini secara langsung tidak dapat membuktikan keberadaan wâjibul wujûd dengan nama Tuhan. Pengalaman-pengalaman ini hanya dapat menumbangkan tembok prinsip materi dan membuktikan bahwa "keberadaan" tidak sama dengan materi, akan tetapi terdapat alam lain di balik tirai materi yang dihiasi dengan keistimewaan-keistimewaannya; karena kejadian-kejadian yang telah disebutkan dan yang semisalnya membuktikan bahwa hukum-hukum material tidak mampu menjelaskannya. Tentunya alam yang di atas itu memiliki penjelasannya, adapun yang kita katakan faktor kejadian-kejadian ini adalah Tuhan, tidak akan pernah dapat disimpulkan semacam itu dari hal yang demikian; karena bisa saja malaikat, dewi fortuna atau ruh dari ruh-ruh yang ada yang berpengaruh dalam kejadian-kejadian ini. Dari sinilah dalil ini memiliki sebuah efisiensi berupa meruntuhkan tembok demarkasi “keberadaan” dengan “materi”. Apabila kita ingin membuktikan keberadaan Tuhan dari pengalaman-pengalaman religius ini, setelah mendeklamasikannya kita harus membawakan dalil-dalil logis dan argumentatif yang berakhir pada jalur dalil imkan dan wujub.


Interpretasi Kedua Terhadap Pengalaman Religius
Para psikolog dengan berbagai eksperimen menemukan indera keempat manusia dan membuktikan bahwa setiap orang merasakan dari dalam batinnya bahwa dia dependen dengan derajat lebih tinggi dan seluruh perbuatannya bersumber dari sebuah keberadaan yang mahatinggi.

Kelompok psikolog ini dengan menemukan indera religius telah menghancurkan keterbatasan ketiga dimensi ruh dan membuktikan bahwa ruh dan jiwa manusia disamping tiga naluri yang terkenal juga memiliki indera lain bernama indera religius yang dari sisi prinsipnya tidak memiliki kekurangan dari tiga naluri yang telah disebutkan.

Tiga naluri yang disepakati berupa:

a. Naluri ingin tahu; yang menjadi sumber ilmu-ilmu pengetahuan manusia.

b. Naluri kebaikan; yang memunculkan akhlak dan menjadi tempat bersandarnya manusia dalam perbuatan-perbuatan baik.

c. Naluri estetika; yang menciptakan seni dan menjadi sebab manifestasi berbagai bakat.

Di samping ketiga naluri yang diterima oleh para psikolog, terdapat naluri keempat yang disebut dengan “naluri religius”. Naluri ini mengantar manusia merasakan semacam kecenderungan terhadap alam yang tinggi di dalam dirinya dan menyadarinya ketika dalam kondisi-kondisi sulit.

Menurut sebagian psikolog masa perkembangan naluri ini ketika usia seseorang sekitar 16 tahun. Berdasarkan pandangan Stanley “naluri religius” tampak dalam umur-umur seperti itu. Permasalahan ini dapat diyakini sebagai sebuah gambaran proses perkembangan kepribadian masa remaja, perasaan ini memberikan kesempatan kepada pemuda yang berada di bawah pengaruh berbagai potensi untuk menemukan sebab final (kausa prima) dirinya dalam keberadaan Tuhan.[1]

William James (1842-1910 M) termasuk perintis permasalahan naluri religius dan mengokohkan naluri ini sebelum yang lain-lain dalam penemuan-penemuannya. Dia memberikan urgensitas kepada naluri religius sedemikian rupa sehingga berkeyakinan bahwa mayoritas harapan kita berakar di dalam alam supranatural, dia mengatakan:

“Meskipun motifasi dan penggerak kecenderungan-kecenderungan kita bersumber dari alam natural, mayoritas kecenderungan dan harapan kita berasal dari alam supranatural; karena sebagian besarnya tidak sesuai dengan perhitungan-perhitungan material”.[2]

Dalam menjelaskan ucapan William James kita katakan:

Manusia menginginkan kekekalan dan kelanggengan hidup, dan jiwa berpikir tentang ke depannya memaksanya untuk mempersiapkan sarana-sarana kelanggengannya di dalam dunia ini, akan tetapi manusia ini pula menjadi sumber dari perbuatan-perbuatan yang tampaknya bertentangan sangat jauh dengan naluri ini. Misalnya para ibu yang sangat mencintai anak-anak mereka, terkadang rela mengorbankan keberadaan mereka demi anak-anak mereka; para pencinta ilmu pengetahuan melangkahkan kaki sampai kepada ujung tanduk kematian dalam rangka mendapatkan ilmu dan menyingkap rahasia-rahasia dunia sehingga banyak yang syahid di jalan ilmu pengetahuan; para pejuang di jalan kebenaran dan keadilan menaruh jiwa mereka di telapak tangan dan memerangi musuh-musuh untuk membela agama mereka.

Perbuatan-perbutan semacam ini tidak dapat diinterpretasikan dengan perhitungan-perhitungan material akan tetapi adalah sebuah tingkatan lebih tinggi yang menariknya kepada perbuatan-perbutan tersebut dan melihat kekekalan dan kelanggengan keberadaannya di dalam tujuan ini.

Ucapan ini ditafsirkan oleh ilmuan terkenal dunia Barat Einstein dengan bentuk demikian:

Aku tegaskan bahwa agama adalah motifasi terkuat dan tertinggi berbagai investigasi dan studi ilmiah, dan hanya mereka yang mengenal arti usaha keras di luar batas kebiasaan dan dugaan dari para ilmuan dan yang lebih penting dari itu pengorbanan dan usaha keras orang-orang yang berada di barisan depan dan para penjaga ilmu pengetahuan, yakni perbuatan yang tak diduga para pembuat teori, yang mampu memberikan kekuatan agung dan menjadi sumber seluruh ciptaan menakjubkan dan penemuan nyata studi-studi kehidupan.

Keharusan dan kepercayaan terhadap keteraturan alam semesta dan kecintaan aneh apakah yang memberikan kekuatan dan kemampuan kepada “Kepler”[3] dan “Newton” sehingga bertahun-tahun mereka terganggu dalam kesendirian dan ketenangan mutlak untuk menjelaskan dan keluar dari kerumitan kekuatan daya tarik (grafitasi) dan teori astronomi.

Akan tetapi hanya seorang yang memiliki sebuah gambaran terang dari sesuatu yang diilhamkan oleh para guide hakiki manusia dan mereka yang diberikan kekuatan saja yang dapat melangkahkan kaki ke jalan ini dan meluangkan bertahun-tahun umurnya di dalamnya.

Benar, yang memberikan kemampuan untuk bangkit kedua kalinya dan berjuang kepada orang-orang yang mau berkorban dan berjuang sepanjang abad, walaupun mengalami berbagai kekalahan dan kegagalan adalah naluri religius spesial ini. Salah seorang ilmuan kontemporer mengatakan bahwa di zaman penyembahan materi ini, orang-orang yang serius dan benar-benar berkhidmat kepada ilmu pengetahuan hanya mereka yang memiliki naluri-naluri religius mendalam.

Einstein pernah berkata: “Di antara otak-otak pemikir dunia sangat sulit ditemukan seorang yang tidak memiliki semacam naluri religius khusus dalam dirinya. Keyakinan (agama) ini berbeda dengan keyakinan orang biasa dan seorang ilmuan bersenjatakan keyakinan hukum sebab akibat alam wujud, dan keyakinannya membentuk riset menyenangkan tentang sistem-sistem menakjubkan dan kecermatannya terhadap alam semesta kadang-kadang menyingkap tirai dari rahasia-rahasianya, yang dalam tingkatan perbandingan dengannya, seluruh usaha keras dan pemikiran teratur manusia tidak lebih dari pantulan lemah dan tidak ada apa-apanya. Naluri (religius) ini adalah pelita jalan berbagai investigasi kehidupannya”.[4]

Mengenai naluri religius, dia memiliki ucapan lain:

“Terdapat sebuah akidah dan agama ketiga di tengah-tengah semua orang tanpa terkecuali, walaupun belum ditemukan pada seorangpun dengan formasi murni komplit, aku meyakininya sebagai naluri religius yang tercipta bersama wujud, sangat sulit aku jelaskan naluri ini kepada orang yang sama sekali tidak memilikinya, khususnya di sini tidak ada lagi kajian tentang Tuhan yang ditampakkan dengan berbagai bentuk. Dalam agama orang biasa dapat dirasakan harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia dan keagungan dan kemuliaan yang tampak di belakang hal-hal dan fenomena-fenomena di alam dan pemikiran-pemikiran, dia membayangkan keberadaan Tuhan sebagai penjara sebagaimana dia ingin terbang di dalam sangkar badan dan memperoleh seluruh keberadaan seketika sebagai hakikat tunggal”.[5]

Seputar pengalaman religius pada abad terakhir ini banyak sekali ucapan yang terlontarkan dan setiap ilmuan membuktikan prinsip naluri ini dengan sebuah penjelasan.

Salah seorang psikolog bernama Ronan berbicara sangat banyak mengenai prinsip religius, kini kita menukil sebagian ucapannya:

“Apakah naluri tendensi terhadap Tuhan di sisi manusia adalah sebuah naluri nyata dan hakiki, atau sebuah khayalan dan nonsense?!” Selanjutnya dia menjawab: Aku menerima dengan baik bahwa sumber kehidupan religius adalah hati dan formula-formula serta hukum-hukum filosofis dan makrifatullah, adalah seperti tema-tema terjemahan yang naskah aslinya dari bahasa lain”.

Dia mengingatkan dua efek mengenai naluri religius:

1- Jika manusia dapat melupakan segala sesuatu, akan tetapi ketertarikan kepada agama tidak akan pernah dapat terhapuskan.

2- Naluri religius memunculkan martabat dan beban pada manusia, sebagai kebalikan dari ateis yang memiliki dua efek saling bertentangan.

Kini kita menukil ucapannya tentang keistimewaan pertama:

“Mungkin pada suatu hari siapapun yang aku cintai akan tiada dan saling terpisah, apa saja yang lebih enak dan kenikmatan-kenikmatan kehidupan terbaik menurutku akan lenyap dan juga mungkin saja kebebasan menggunakan rasio dan ilmu serta seni menjadi sia-sia, akan tetapi sangat mustahil ketertarikan kepada agama akan sirna atau terhapus bahkan senantiasa akan selalu ada dan di dalam tatanan keberadaanku akan menjadi bukti yang benar dan saksi hidup terhadap kebatilan material”.[6]

Will Durant (1885-1981) mengatakan: “Agamawan tidak menciptakan agama akan tetapi sebagaimana seorang politikus menggunakan tendensi-tendensi fitrah manusia, dia juga menggunakannya untuk kepentingan-kepentingannya, akidah terhadap agama bukan penemuan tempat-tempat peribadatan akan tetapi penciptanya adalah fitrah manusia”.[7]


Analisa Interpretasi Kedua
Pembuktian naluri religius tidak menetapkan lebih dari hal ini bahwa keberadaan manusia bergantung kepada sebuah keberadaan mahatinggi dan superioritas dan senantiasa ingin melangkah ke arahnya serta mengagungkan dan tunduk di hadapannya. Dan adapun keberadaan superioritas tersebut tunggal atau berbilang, simpel atau tersusun, mungkin atau wajib, dan menurut istilah lengkapnya adalah Tuhan para filsuf dan teolog, tidak akan pernah dapat dibuktikan dan seharusnya mereka tidak mengklaim lebih dari itu.

Namun usaha-usaha ilmiah ini harus dihargai karena pada akhirnya ilmu dan pengetahuan manusia dapat menyingkap tirai dari fitrah makrifatullah seseorang yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an pada 14 abad sebelumnya dan menganggap kecenderungan beragama sebagai bagian dari penciptaan manusia.[8] Dan jika suatu hari nanti tabir kelalaian menutupi fitrah ini karena tenggelam di dalam kehidupan, maka pasang surutnya kehidupan akan membersihkan debu kelalaian dari atas fitrah dan pada kondisi tertentu akan berwasilah kepada zat yang mulia dan mahatinggi.


Interpretasi Ketiga Terhadap Pengalaman Religius
Maksud dari pengalaman religius adalah pengalaman irfani atau penyingkapan tabir atau kesaksian intuisi urafa terhadap keberadaan Tuhan. Urafa mengklaim bahwa mereka menyaksikan Tuhan secara intuitif sekali atau beberapa kali dalam sepanjang umur. Oleh karena klaim semacam ini terjadi pada berbagai masa dan di banyak tempat dan para pengklaim juga memiliki kejujuran moral maka kesaksian-kesaksian intuisi semacam ini dapat diambil sebagai bukti keberadaan Tuhan.

William Alston ( -1912) seorang epistemolog dan filosof agama kontemporer pengarang kitab “Idrak-e Khudâ” (Mengenal Tuhan) menafsirkan pengalaman religius dengan artian ini dengan tiga macam:

1- Pengalaman religius adalah naluri kepercayaan secara absolut kepada keberadaan mahatinggi yang independen dari berbagai imajinasi, keyakinan-keyakinan dan perbuatan-perbuatan pemilik pengalaman. Penafsiran ini adalah milik Frederich Schliemarcher (1768-1834).

2- Pengalaman religius memiliki sejenis persepsi dan perbuatan serupa dengan persepsi inderawi, sebagaimana persepsi atau pemahaman inderawi terformat dari tiga pilar: 1) Pemilik persepsi; 2) Yang menjadi bahan persepsi; 3) Manifestasi. (Manifestasi buku di dalam benak) demikian juga pengalaman religius atau istilah lebih khususnya pengalaman ketuhanan juga tersusun dari tiga pilar: 1- Pemilik eksperimen; 2- Tuhan; 3- Cara manifestasi Tuhan atas seorang pemilik eksperimen. Sebagaimana kita di dalam pengalaman-pengalaman inderawi memahami manifestasi segala sesuatu, pemilik pengalaman agama juga memahami sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya dengan penjelmaan Tuhan kepadanya. William Alston sendiri lebih memilih teori ini.

3- Pengalaman religius adalah sebuah pengalaman yang diterima oleh pelakunya sebagai pengalaman religius karena pengalaman ini tidak dapat dijelaskan atas dasar hal-hal alami. Wayne Prudfoot (1939- ) adalah pengusung dari tafsiran pengalaman religius ini, menurutnya pengalaman religius harus dideskripsikan atas dasar sistem keyakinan pelakunya, oleh karena itu dari pengalaman religius tidak dapat diperoleh sebuah deskripsi.[9]

Di kalangan pemikir-pemikir Barat, orang yang mendukung dan meyakini pengalaman religius adalah psikolog besar Amerika William James; di dalam buku “Anwâ-e Hâlât” (Macam-macam Kondisi) pada sebuah pasal bernama irfan mengatakan: Pengalaman religius memiliki empat keistimewaan [dia lebih banyak menekankan keistimewaan pertama dan kedua, bukan ketiga dan keempat]:

1- Tidak dapat dideskripsikan; Arif ketika kembali kepada kondisi normal, karena tidak dapat menjelaskan apa-apa yang disaksikannya akan merintih sebagaimana seorang pakar musik yang tidak dapat mentransfer keindahan musik kepada orang lain, dan menurut istilah kita sama seperti pesona dan daya tarik seseorang yang dapat dipahami akan tetapi tidak dapat disifati.

2- Menampilkan kenyataan; Pengalaman religius meskipun serupa dengan kondisi-kondisi psikologi seperti marah, senang, lapar dan dahaga akan tetapi dengan perbedaan bahwa kondisi-kondisi psikologi tidak memberikan sebuah pengetahuan dari luar kepada kita dan apapun yang ada berada di dalam diri manusia, sementara mengenai pengetahuan religius memberikan sebuah pengetahuan kepada kita dari luar.

3- Cepat berlalu; Kita dapat melihat sesuatu selama berjam-jam akan tetapi penglihatan arif cepat berlalu dan tidak dapat bertahan lama.

4- Bereaksi: Urafa mengucapkan serangkaian amalan dan wiridan atau zikir.

Setelah itu dia mengambil tiga buah konklusi dari pengalaman religius:

a- "Keberadaan" tidak sama dengan materi, dan alam supranatural merupakan alam lain.

b- Setiap arif akan sampai pada semacam kemanunggalan (wahdat) wujud, dan memandang dunia dengan kuantitasnya memiliki semacam kesatuan dengan Tuhan.

c- Dia melihat kumpulan dunia sebagai kebaikan dan keburukan.

Pengalaman-pengalaman irfani menjadi dalil bagi arif dan sebatas afirmasi bagi selainnya. Arif dengan sebuah kesaksian intuisi seperti ini, yang di luar dari kemampuan ilmu hushulinya, tidak memiliki keraguan terhadap keberadaan Tuhan, akan tetapi dibandingkan dengan selain arif, dalam hal pembuktian Tuhan adalah sebagai afirmasi dan dalam hal meruntuhkan keterbatasan "keberadaan" pada materi adalah sebagai dalil dan bukti.[10]


Analisa Interpretasi Ketiga
1- Arif dengan keyakinan finalnya akan keberadaan Tuhan, sedang melangkahkan kakinya pada jalan usaha keras dan latihan, dengan demikian kesaksian intuisi Tuhan bukan dalil baginya akan tetapi sebagai penguat keyakinan sebelumnya, dan apa yang telah diketahui dengan perantara ilmu hushuli sekarang ini dia saksikan dengan ilmu hudhuri.

2- Apa yang terlontarkan di dalam kesaksian intuisi urafa adalah kesaksian intuisi dependen diri dan alam akan keberadaan superioritas dan mahatinggi, dan jika mereka mengungkapkannya dengan kemanunggalan wujud maksudnya adalah diri dan alam dipahami secara artian literal dan dependen mutlak dan Tuhan diterima dengan artian nominal yang memiliki kesempurnaan independen, dan karena arti literal tenggelam di dalam arti nominal, maka tentu saja dia tidak akan menyaksikan sesuatu selain Tuhan.


Kritik John Hospers Terhadap Pengalaman Religius
Pemikir Amerika John Hospers mengkritik interpretasi ini yang kita sebutkan sebagiannya:

a- Dari mana kita mengetahui bahwa mereka tidak memiliki kesalahan dalam kesaksian intuisi ini; karena itu kita memberikan kemungkinan bahwa hal itu sebagai khayalan bukan realita atau hakikat, dan kita tidak memiliki sebuah parameter untuk mendiagnosa kesahihan dan ketidaksahihan klaim tersebut.

Seseorang yang mengklaim melihat ruh, kita tidak memiliki sautu macam parameterpun untuk memilah hakikat dari angan-angan; kita tidak dapat mengatakan khayalan atau hakikat. Dari sisi inilah pengalaman-pengalaman religius tidak memiliki tolok ukur mengetahui hakikat dari khayalan.[11]

John Hospers membayangkan bahwa kesaksian intuisi arif juga dalil bagi orang lain, oleh karena itu dia mengatakan dari mana dapat diketahui bahwa kesaksian intuisi mereka tidak lebih dari sekedar khayalan sedangkan tidak ada parameter di tangan kita yang dapat mendiagnosa hakikat dari fatamorgana, sementara itu kesaksian intuisi bagi dirinya adalah hujjah bagi keyakinan sebelumnya dan adapun di hadapan orang lain menurut ucapan James adalah dalam batas afirmasi. Memang benar jika ratusan arif berhati bersih memberikan kesaksian dengan intuisi tentang Tuhan maka kemungkinan hal ini dapat menjadi modal keyakinan bagi sekelompok orang, meskipun menurut para peneliti, syarat-syarat laporan mutawatir dalam hal ini minim.

Dalam hal ini tidak hanya John Hospers saja yang menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan tetapi “Paul Edwardes” juga menujukan pertanyaan-pertanyaan serupa terhadap pengalaman moral dan berkata:

“Apabila seseorang mengklaim telah menemukan atau memahami atau mengetahui sebuah hal yang biasa, dengan jelas kita akan mempelajari klaim tersebut; bila seseorang mengatakan kepada kita terdapat seekor ikan di dalam kolam taman, kita mengetahui bagaimana membuktikan kebenaran atau tidaknya klaimnya itu. Kita mengetahui bagaimana meneliti apakah sesuatu yang kita lihat dalam cuaca gelap adalah Smith atau bukan dan kita mengetahui bagaimana mempelajari apakah sebuah jawaban sahih yang kita berikan kepada sebuah tindakan kolektif benar atau tidak? Atau ketika kita menyingkap sesuatu, kita akan berteriak “aku berhasil menemukannya”. Akan tetapi ketika seseorang mengklaim memiliki kesadaran atau pengetahuan tentang Tuhan dengan tanpa sebuah perantara, atau menemui dan menyaksikannya dengan intuisi, maka kita tidak mampu memperlihatkan eksperimen dari hal yang serupa, walaupun dengan keserupaan yang sangat. Setiap kali konsepsi ketuhanan lebih sempurna dan dari sisi teologi semakin tinggi maka akan lebih banyak terhindar di hadapan setiap kajian dan menunjukkan keteguhannya”.[12]

Jawaban pertanyaan ini adalah seperti yang telah dikatakan; karena memang benar pengalaman arif berada di atas jangkauan kajian kita akan tetapi dia tidak pernah mengklaim bahwa anda juga harus mengimani ucapannya; maksimal yang dapat dikatakan adalah: sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya, yang memberikan laporan tentang kesaksian irfan (keberadaan) Tuhan ini yang sangat tidak mungkin seluruhnya lahir dari khayalan mereka dan muncul dari peran angan-angan. Dari sisi ini kesaksian intuisi mereka dapat menjadi afirmasi indera religius dan insting pencarian Tuhan bagi orang biasa yang belum sampai pada landasan makrifat tersebut.

b- Apabila pengalaman religius seorang Kristiani membuktikan keberadaan Tuhan Kristiani, pengalaman religius seorang Muslim membuktikan Tuhan kaum Muslimin, maka para pengikut setiap agama akan menggunakan argumen pengalaman religius untuk kepentingan pengalaman beragama mereka masing-masing dan kemungkinan secara tidak sadar argumen tersebut akan digunakan untuk pengalaman-pengalaman religius orang-orang yang memiliki keyakinan-keyakinan religius berbeda. Apabila kita menerima salah satunya maka seluruhnya akan kita terima sementara kita tidak dapat menerima semuanya; karena mereka masing-masing memiliki hubungan kontradiksi.[13]

Pada saat itulah John Hospers menukil jawaban atas kritikan ini dari sebagian orang:

“Pengalaman-pengalaman religius dari sebuah keberadaan mengisahkan bahwa Tuhan yang terbukti dalam setiap kondisi pengalaman adalah sama dan hanya sisi-sisi aksidental dan historisnya saja yang berbeda. Apabila kita menghapus sisi-sisi historis agama-agama yang misalnya Kristen dan Islam bertentangan di dalamnya dan kita menengok persamaan prinsipal dan esensialnya maka mereka tidak memiliki pertentangan satu dengan yang lain, akan tetapi mereka adalah satu”.[14]

Jawaban singkatnya adalah kejadian-kejadian ini menceritakan keberadaan superior, bukan keistimewaan-keistimewaannya; tentu saja spesifikasi-spesifikasi Tuhan yang ada di dalam agama Kristiani berbeda dengan spesifikasi-speifikasi yang ada di dalam Islam akan tetapi argumen bertugas membuktikan sisi persamaan bukan dalam rangka membuktikan spesifikasi-spesifikasi. Namun jawaban ini tidak terasa manis di dalam citarasa John Hospers, dan dalam mengkritiknya dia menyinggung dua hal:

1- Dalam proses ini kalian menyingkirkan Tuhan setiap agama tertentu, sebagai contoh agama Kristen memproklamasikan bahwa di dalam kitab suci Tuhan telah muncul dan menjelma di dalam diri Isa dan setiap keyakinan yang mengingkari permasalahn-permasalahan ini adalah salah, jika kita mengambil keyakinan-keyakinan ini dari Kristen maka sebenarnya kita telah mengambil dasar dan pondasi Kristen. Kalian telah menyisakan sesuatu sehingga dengan susah payah hal itu dapat dinamakan Kristen.

2- Marilah kita membayangkan sebuah substansi sebagai Tuhan yang seharusnya hanya memiliki kriteria-kriteria yang disepakati oleh semua agama dan terlepas dari seluruh kriteria tertentu setiap agama. Tuhan seperti ini tidak dapat berkriteria “Rahîm” (Mahapengasih dan penyayang); karena Tuhan-Tuhan sebagian agama tidak demikian, atau Dia tidak bisa berkriteria “Qahhâr” (Mahaperkasa); karena Tuhan dalam sebagian agama tidak “Qahhâr”. Tuhan seperti ini sulit sekali dapat menyandang kriteria; karena kriteria-kriteria sangat minim sekali, sehingga Tuhan-Tuhan seluruh agama atau bahkan sebagian kecil agama dunia memiliki persamaan di dalamnya. Seluruhnya memiliki sisi kesamaan di dalam kepemilikan kekuasaan Tuhan, akan tetapi pada saat yang sama dia tidak boleh berbilang, sementara sebagian agama tidak mengesakan Tuhan.

Mengenai kedua kritik tersebut kita ingatkan:

Di sini John Hosper melakukan sebuah kesalahan yang sebelumnya telah dialami oleh Hume dalam mengkritik argumen keteraturan. Bila kita ingat kembali salah satu kritikan argumentasi keteraturan adalah anggaplah argumen ini membuktikan keberadaan Sang Pencipta yang mahamengetahui dan kuasa, akan tetapi tidak mungkin mampu membuktikan sifat-sifat kesempurnaan yang mereka nisbatkan kepada-Nya.

Filosof Inggris ini membayangkan bahwa argumen keteraturan menurut para teolog adalah dalil untuk membuktikan seluruh klaim, sementara argumen keteraturan tidak lebih dari sebuah pesan yaitu keteraturan menunjukkan campur tangan rasio dan akal, program dan perhitungan di dalam alam. Adapun penciptanya disamping memiliki rasion dan akal, sifat apakah yang disandang lainnya; tunggal atau berbilang, wajib atau mungkin, adil atau zalim tidak ditanggung penjelasannya oleh argumen keteraturan.

Menurut pandangan kelompok ini, pengalaman religius membuktikan koneksi manusia dengan keberadaan superior, adapun apakah keberadaan superior itu Tuhan kaum Kristiani atau Tuhan kaum Muslimin tidak berhubungan dengan permasalahan-permasalahan ini.

Pengalaman religius tidak dalam rangka membuktikan agama gereja, sebagaimana juga tidak dalam rangka menetapkan tauhid kaum Muslimin. Adapun ucapan: “Apabila pesan argumen membuktikan sisi persamaan di antara agama-agama, dengan demikian tidak akan tersisa sesuatupun dari Kristiani”, tidak dapat mencederai pengalaman religius, apabila seseorang berkeyakinan teguh terhadap trinitas Kristiani, untuk membuktikan ornamen-ornamennya harus berpikir lain dan bukan menolak argumen tersebut.

Belum pernah ada sebuah argumen, dikarenakan tidak mampu membuktikan seluruh klaimnya maka argumen tersebut ditolak dan tidak diterima, akan tetapi hal itu harus diterima sesuai dengan cakupan kekuatan pembuktiannya dan untuk bagian lain dari klaim harus diberikan argumen lain.

Dalam mengkritik ucapan kedua kita cukup mengingatkan poin ini bahwa argumen ini tidak dalam rangka membuktikan sifat-sifat Tuhan seperti “Rahîm” dan “Qahhâr”, sehingga karena tidak dapat membuktikan satu atau keduanya kita tidak menerimanya.

Sampai di sini berakhirlah analisa kritik-kritik John Hospers, hanya tersisa sebuah hal yang sebagiannya telah disebutkan dan hal itu adalah: Urafa meyakini keberadaan Tuhan akan tetapi apakah relasi antara keyakinan akan keberadaan Tuhan dengan keberadaan Tuhan, sama seperti keyakinan akan keberadaan alif dengan keberadaan alif. Dengan kata lain: Keyakinan terhadap sesuatu tidak sama dengan kebenarannya, jika keyakinan secara absolut berkonsekuensi akan kebenarannya, maka kejahilan murakkab di dunia seharusnya tidak ada; dan dengan ungkapan lain: Urafa meyakini keberadaan Tuhan, akan tetapi keyakinan terhadap sesuatu, seperti keyakinan arif terhadap keberadaan Tuhan, tidak menyebabkan kebenaran premis “Tuhan ada”; karena bisa saja arif mengklaim akan tetapi premis tersebut tidak benar, oleh karena itu arif berhak mengatakan aku telah menyaksikan Tuhan pada jam sekian akan tetapi tidak dapat mengatakan Tuhan ada.

Kita ingatkan kembali, bahwa ucapan mereka: Apakah relasi antara keyakinan arif dengan keberadaan Tuhan dapat dijelaskan. Bila maksudnya adalah menafikan relasi dari sudut pandang arif tentu saja ini tidak benar; karena kesaksian intuisi dependen keberdaan diri dan dunia dengan arti nominal adalah kesaksian intuisi keberadaan Tuhan, dengan demikian tentu saja dia dapat berkata: Tuhan ada, dan jika maksudnya adalah menafikan relasi dari sudut pandang orang lain, maka tentu saja benar, akan tetapi sebagaimana yang telah kita ingatkan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Hospers, kesaksian intuisi arif adalah sebagai afirmasi buat yang lain bukan dalil.


Interpretasi Keempat Pengalaman Religius
Interpretasi keempat berhubungan dengan filosof Inggris bernama “Broad” (1887-1971 M) dan di sini kita bawakan ringkasannya.

Dia berkata: Arif, setelah menjalani pengalaman irfannya memberikan reportasi mengenai beberapa kejadian, dan orang yang tidak memiliki cita rasa irfan tidak berhak menghakiminya; karena posisinya sama seperti anak kecil berumur lima tahun yang ingin menghakimi kecenderungan seksual orang-orang dewasa. Hak menghakimi adalah milik urafa, walaupun arif yang bercita rasa irfan dan memiliki kekuatan analisa berjumlah sedikit. Di kalangan urafa terdapat unsur yang sama, perbedaan mereka akibat keyakinan-keyakinan tradisional mereka yang memberikan efek dalam interpretasi pengalaman irfan.

Dia memberikan reportasi kejadian-kejadian yang tidak kita rasakan, sekarang harus ditinjau reportasi dia menyerupai salah satu dari tiga reportasi manakah yang akan dijelaskan berikut ini:

a- Seorang ahli biologi yang penglihatan dan pengamatannya dilengkapi dengan mikroskop; memberikan laporan akan keberadaan bakteri dan sel-sel yang tidak dapat kita lihat dengan pandangan mata biasa.

b- Seorang yang menggunakan narkotik menceritakan akan keberadaan binatang-binatang buas di sekitarnya yang tidak kita rasakan.

c- Di antara orang-orang buta keturunan, salah seorang dapat melihat dan memberikan gambaran kepada mereka akan keberdaan warna segala sesuatu yang tidak mereka indera, bila mereka tidak dapat membenarkannya, maka mereka juga tidak berhak mengingkarinya.

Pada kesempatan seperti itulah diingatkan kembali bahwa laporan urafa tidak memiliki kekuatan sama dengan laporan para ahli biologi; karena mereka memberikan laporan tentang keberadaan-keberadaan yang ada di alam ini. Apabila mata kita juga dilengkapi dengan alat seperti mereka, maka kita akan dapat merasakan hal itu; sementara arif melaporkan tentang alam lain di luar alam ini. Seorang ahli biologi dapat mengatakan jika anda memiliki keraguan dan kebimbangan dalam laporanku, maka silahkan anda melengkapi diri dengan alat penglihat keberadaan-keberadaan kecil, sehingga anda juga dapat melihat, sementara arif tidak dapat mengatakan ucapan ini; karena tidak semua orang memiliki citarasa irfani.

Akan tetapi reportasi arif tidak sama dengan laporan pengguna narkotik akan keberadaan binatang-binatang buas di sekelilingnya; karena perasaannya tidak berbeda dengan perasaan kita dan tidak memiliki superioritas sekecil apapun atas kita.

Reportasi arif sama seperti laporan orang buta keturunan yang memperoleh penglihatannya kembali dan memberikan laporan akan warna-warna kepada teman-teman sebelumnya (anda mengatakan arif memperoleh penglihatan spesial yang tidak dimiliki orang lain, dari sisi ini bila mereka tidak membenarkannya maka mereka tidak berhak mendustakannya).

Di saat itulah Broad melangkah lebih jauh dan mengatakan: Kita memiliki dalil dan bukti atas kebenaran reportasi urafa, dan dia menjelaskannya dengan sebuah misal.

Para insinyur memiliki pelajaran-pelajaran pada universitas-universitas yang kita tidak mengetahui kebenaran atau tidaknya hal itu, akan tetapi bila para insinyur itu sendiri dalam bayang-bayang ilmu-ilmu ini membuat bendungan atau jembatan atau kapal atau pesawat dan mewujudkan sebuah tujuan dari tujuan-tujuan kehidupan, maka kita akan mengambil hal itu sebagai bukti kebenaran ucapan mereka.

Pembahasan mengenai para nabipun juga sama seperti itu, mereka menjelaskan sebuah kumpulan pandangan dan akidah yang sangat berefek di dalam kehidupan, misalnya semua orang mencari ketenangan mental dan ruh dan tujuan ini akan didapatkan dalam bayang-bayang keimanan dan keyakinan kepada Tuhan, dari sinilah jelas bahwa ucapan-ucapan mereka tidak lain dari realita.

Ketika itulah Broad, setelah menyebutkan dua hal dengan bentuk pertanyaan dan jawaban yang tidak perlu disebutkan di sini mengambil konklusi: Pembenaran para nabi dan urafa adalah sebuah hal yang rasional dan klaim-klaim mereka dapat diterima.


Analisa Interpretasi “Broad”
Dalam menjelaskan posisi arif di hadapan orang lain, dia sangat berhasil dan arif, karena memiliki mata batin terbuka dan dapat melihat sesuatu yang tidak dapat disaksikan oleh orang-orang biasa, akan tetapi argumentasi dia atas kebenaran ucapan arif sangat lemah dan tidak berasas.

Pertama: Kesahihan konklusi tidak dapat menjadi bukti kesahihan hipotesa, mungkin saja tersusun sebuah konklusi atas kedua macam hipotesa, dari sinilah kita tidak dapat menyimpulkan kesahihan hipotesa dari kesahihan konklusi, misalnya hingga beberapa waktu yang lalu astronom-astronom Timur menentukan terbit dan tenggelamnya matahari, gerhana bulan dan gerhana matahari, dan awal dan akhir bulan melalui gerakan astronomi Batlimus dan mereka mengambil konklusi darinya, begitu juga sekarang ini astronom-astronom Barat mengambil konklusi dari gerakan astronomi baru.

Dengan memperhatikan dasar ini, pengambilan hasil dari ucapan para nabi dan urafa, seperti ketenangan jiwa, tidak dapat menjadi bukti kebenaran ucapan mereka, karena mungkin saja efek adalah hasil sugesti dari keyakinan dan akidah kepada Tuhan semesta alam, akan tetapi akidah yang benar itu sendiri tatap ada, dan tidak pernah dapat diabsahkan atasnya.

Kedua: Sebuah konklusi yang kita ambil dari ucapan arif memiliki perbedaan sangat jauh dengan menyaksikan efek-efek pelajaran-pelajaran universitas seperti kapal dan pesawat terbang. Di dalam bentuk kedua, efek-efek praktis adalah hasil jelmaan pengetahuan-pengetahuan dan pelajaran-pelajaran yang dibaca oleh para mahasiswa di universitas. Dengan kata lain, pengetahuan subyektiv mereka akan tampak secara nyata, sementara realita di dalam efek-efek kayakinan kepada Tuhan (seperti ketenangan dan ketenteraman) tidak demikian, dan “ketenangan dan ketenteraman jiwa” bukan bentuk manifestasi dari keberadaan Tuhan.


Interpretasi Terakhir
Sesuatu yang hanya dapat dikatakan berkenaan dengan pengalaman religius adalah:

Di dalam sepanjang sejarah kehidupan, terdapat orang-orang besar - yang dikenal dengan kejujuran, kesucian, keikhlasan dan kebersihan - yang memberikan laporan tentang keberadaan Tuhan yang Esa dan alam supranatural, dan jumlah mereka mencapai bilangan yang menafikan kemungkinan setiap kesepakatan untuk berbohong dan terpengaruhi oleh khayalan. Manusia-manusia yang suci ini meyakini diri mereka sebagai utusan Tuhan dan mengklaim sebagai guide manusia, setelah mereka terdapat hukama (orang-orang bijak atau filosof) dan urafa besar yang mengafirmasikan jalan para nabi dan membenarkannya. Luapan gelombang laporan ini di dalam sepanjang sejarah bila tidak dianggap membawa kepercayaan dan keyakinan dengan bentuk laporan, maka tidak ada satu laporan pun yang akan bermanfaat.[]



Catatan Kaki:
[1]. Bulugh, Az Sirri Ceh MiDonid (Puberitas, Apa yang anda ketahui mengenai rahasianya?), hal 118.

[2]. Din Wa Rawon (Agama dan Jiwa), terjemahan Mahdi Qainy.

[3]. Johannes Kepler (27 Desember 1571 – 15 November 1630), seorang tokoh penting dalam revolusi ilmiah, adalah seorang astronom Jerman, matematikawan dan astrolog. Dia paling dikenal melalui hukum gerakan planetnya.

[4]. Dunyâ-i Keh Man MiBinam (Sebuah Dunia Yang Aku Lihat), Albert Einstein, hal 59-61.

[5]. Ibid, hal 53.

[6]. Farid Wajdi, Inseklopedia.

[7]. Tarikh-e Tamaddun (Sejarah Peradaban): 1/109.

[8]. {فاقم وجهک للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها ...}

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Ar-Ruum: 30)

{واذا غشيهم موج کالظلل دعوا الله مخلصين له الدين ... }

“Dan apabila mereka diterpa ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya”. (Luqman: 32)

[9]. Majalle-ye Kiyan: No 5, hal 14.

[10]. Ringkasan teori William James diambil dari diktat pelajaran Ustad Malikayan pada Yayasan Imam Shadiq as meskipun buku William James dengan judul Din Wa Rawan (Agama Dan Jiwa) telah diterjemahkan dan diterbitkan akan tetapi menurut Ustad Malikiyan memiliki kekurangan dan kesalahan.

[11]. John Hospers, Falsafe-ye Din (Filsafat Agama), hal 72.

[12]. Barâhin-e Isbat-e Wujud-e Khuda (Argumen-argumen Pembuktian Keberadaan Tuhan), Paul Edwardes, terjemah Ali Reza Jamali Nasab, Muhammad Muhammad Rezai, hal 162.

[13] John Hospers, Falsafe-ye Din, hal 69-70.

[14] Ibid.

6
NEO-TEOLOGI I

Hakikat Wahyu; Pengalaman Keagamaan atau Pengalaman Mistik

Abstraksi
Dalam makalah ini, kami mencoba untuk menganalisa hakikat wahyu menurut perspektif pengalaman keagamaan dan mistik (irfan). Pada bagian pertama -sebagai pendahuluan- kami akan mengetengahkan empat pandangan mengenai hakikat wahyu: 1. Psikologi, 2. Sosiologi, 3. Filsafat dan 4. Teologi. Kemudian, kami pun akan mengkaji dan mengkritisi pandangan yang mempresentasikan wahyu sebagai pengalaman keagamaan.

Dalam menyanggah pandangan ini, kami akan memaparkan beberapa teori yang tidak dapat dibenarkan yang merupakan konsekuensi dari pandangan tersebut. Bagian kedua dari makalah ini, akan menyoroti pandangan para urafa’ akan hakikat wahyu, dimana menurut mereka wahyu adalah sebuah pengalaman, namun bukan pengalaman keagaman akan tetapi pengalaman uluhi yang istimewa yang berakar dari alam ‘uqul, maqam wâhidiyat dan shâdir awwal. Untuk lebih jelasnya silahkan menyimak uraian dibawah ini!


Pendahuluan
Manusia beserta seluruh inderanya yang senantiasa bersentuhan dengan alam materi akan merasa kesulitan dalam menalar dan mengenal alam non materi (metafisik), oleh karena itu, ia cenderung menolak perkara-perkara gaib yang dibawa oleh para nabi, dan selalu saja menuntut bukti dan saksi akan hubungan mereka dengan alam gaib yang menjadi dakwa para Nabi.

Masalah “Wahyu”[1] dan bagaimana hubungan seorang nabi dengan alam gaib hingga ia dapat menerima wahyu, merupakan perkara metafisikal yang hakikatnya sulit diketahui manusia. Menurut ucapan Muhammad Hasan Qadardan[2] : Para urafa’ yang telah berhasil mencapai Wâdy Gaib dalam perjalanan Sair Suluk-nya, menyatakan kelemahan mereka dalam mengenal hakikat wahyu. Allamah Thabathaba’i menyebut wahyu dengan “Syu’ur Marmuz” (logika misterius) yang dijadikan sebagai judul buku tulisannya. Imam Khomaini mengatakan: Mengenal hakikat wahyu bagi manusia merupakan sesuatu yang mustahil.[3] Faktor ketidakmampuan ini sangatlah jelas, karena memang manusia akan selalu kewalahan dalam mendeteksi perkara yang tidak pernah dijamahnya. Namun walaupun demikian, akal manusia yang selalu aktif bekerja terus mendorongnya untuk mengkaji dan mengenal hakikat wahyu, dan dengan modal premis dan basis pengetahuannya ia pun akan berupaya menafsirkan hakikat wahyu. Di sini secara ringkas kami mencoba mengkaji beberapa analisa yang ada, kemudian secara lebih terpirinci kami akan menyoroti dan membandingkan antara pengalaman keagamaan (religius) dan wahyu.


Beberapa Perspektif Mengenai Hakikat Wahyu

1. Perspektif Psikologis
Sebagian Orientalis mengatakan bahwa wahyu adalah buah dari keyakinan-keyakinan yang terkandung dalam jiwa dan batin para Nabi. Para nabi yang memiliki pribadi yang luhur dan hati yang bersih sangat berkeinginan membimbing dan memberi petunjuk kepada umat manusia, benak mereka senantiasa terobsesi untuk mencari solusi yang tepat guna menyelamatkan manusia dari penyembahan berhala dan segala kecenderungan hawa nafsu dan duniawi. Dengan berlalunya masa, kondisi tersebut semakin menguat dan pada akhirnya para nabi berimajinasi bahwa ada pesan atau perintah suci yang turun kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk memberi petunjuk kepada umat manusia.

Akar sejarah pandangan di atas kembali ke masa keemasan ilmu Psikologi dan metafisik yang mencuat di Barat.

Farid Wajdi memaparkan dalam Dâiratul Ma’ârif-nya bahwa hingga abad enam belas para ilmuan Barat percaya akan wahyu serta kemetafisikannya, namun dengan maraknya empirisme dan filsafat materialis, mereka mulai mengingkari segala sesuatu yang metafisik seperti hipnotis, meramal (tenung), wahyu dan lainnya, akan tetapi dengan maraknya ilmu-ilmu yang berbau metafisis -seperti ilmu yang berkenaan dengan ruh, ilmu tenung, dan lainnya- yang mencuat pada tahun 1848 M, telah memaksa mereka untuk merevisi kembali pandangannya tentang wahyu, namun meskipun demikian mereka tetap saja menafsirkannya sesuai dengan doktrin empirisme dan psikologi.[4]


2. Perspektif Sosiologis
Kelompok ini menggangap bahwa wahyu bukanlah hasil bisikan (ilham) dan kondisi kejiwaan serta ego manusia, akan tetapi ia merupakan hasil karya dan intuisi sebagian orang-orang jenius.

Perjalanan sejarah dan kondisi sosial banyak menelurkan orang-orang jenius dalam barbagai aspek, para nabi tidak lain adalah bagian dari para jenius tersebut yang dengan kecerdasan yang tinggi dan penguasaan terhadap kondisi sosial, mereka mampu merumuskan serentet undang-undang sosial dan individu demi memberi petunjuk kepada umat manusia, undang-undang inilah yang kemudian disebut dengan “agama”.

Kebanyakan sosiolog Barat menginterpretasikan agama dan wahyu secara materialistis. Emile Durkheim megatakan: Pemikiran Lahut (keagamaan) yang ada dalam benak masyarakat berakar dari masyarakat itu sendiri.[5]


3. Perspektif Filosofis
Para filosof meyakini bahwa selain alam materi terdapat alam lainnya yang disebut dengan alam Aql dan alam Mitsâl (berdasarkan teori filsafat Iluminasi) dimana seluruh fenomena yang ada di dunia ini terlukiskan secara abstak di alam tersebut, dikarenakan substansinya yang berbeda dengan alam duniawi ia sangat jauh dari jangkauan manusia, namun dengan kedudukan yang tinggi, seorang nabi dapat mancapainya. Jiwa manusia dengan melepaskan belenggu materi dan melakukan penyucian diri, ia akan mampu berinteraksi dengan alam Aql dan alam Mitsal dan menagkap perkara dan berita gaib yang tersimpan di dalamnya, menyaksikan Malaikat dan mendengar ucapannya dapat terjalin dengan kekuatan nalar dan imajinasi seorang nabi. Dengan menyaksikan wujud Aqli dan Mitsâli Malaikat, seorang nabi dengan kekuatan imajinasinya dapat melihat jelmaan Malaikat serta mendengar ucapannya.[6]


4. Perspektif Teologis
Pandangan yang tersohor dalam teologi Islam dan teologi Nasrani menyatakan bahwa wahyu adalah lafaz (kata-kata), pesan dan wejangan yang diturunkan dari Tuhan -baik secara langsung maupun melalui Malaikat- kepada seorang nabi. Diyakini pula bahwa seorang nabi diharuskan untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahi tersebut. Selain itu menurut pandangan ini (khususnya teologi Islam) wahyu yang diturunkan kepada Nabi Saw (al-Qur'an) seratus persen lafaz-lafaznya sesuai dengan apa yang telah dituturkan dan Nabi Saw sama sekali tidak menambahkan atau mengurangi satu kata atau kalimat pun darinya, berbeda dengan apa yang diyakini sebagian orang bahwa al-Qur'an turun kepada Rasul Saw hanya berupa pemahaman dan makna, Rasul sendirilah yang telah meletakkan lafaz-lafaz dan kalimat-kalimat yang ada.


Wahyu dan Pengalaman Keagamaan
Pandangan kelima -yang akhir-akhir ini tersebar dan banyak dibicarakan- menganggap bahwa wahyu merupakan pengalaman keagamaan dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan alam gaib. Sebelum menelusuri pandangan ini lebih dalam lagi, di sini kami akan memaparkan definisi pengalaman keagamaan serta dua pembagian intinya.


Definisi Pengalaman Keagamaan dan Pembagiannya
Pengalaman (experience) merupakan sebuah daya nalar dan perasaan, dimana dengan pengalaman -keagamaan- yang dijalaninya, manusia dapat berinteraksi dan menyaksikan sesuatu yang metafsikal. Contoh yang jelas ialah sesuatu yang dialami manusia didalam dirinya dan segala apa yang berkaitan dengan jiwa manusia, seperti perasaan gembira dan sedih, haus dan lapar dan lainnya. Perasaan-perasaan semacam ini adalah pengalaman yang masih berbau meteri, ada model pengalaman lain yang dialami manusia saat ia telah keluar melewati batas alam materi, jiwanya akan merasakan sesuatu yang metafisikal sehingga ia memiliki keterikatan yang erat dengannya. Model pengalaman semacam ini disebut dengan “pengalaman keagamaan”[7] yang memiliki subtansi yang sama antara agama-agama di dunia ini, yang di dalam agama-agama langit disebut dengan “Tuhan”, di dalam agama Budha “Nirwana” dan di dalam agama Hindu disebut “Brahmana”.

Contoh yang jelas dari pengalaman keagamaan ialah kondisi Kasf wa Syuhud (penyingkapan dan penyaksian) yang dialami oleh para urafa’ yang ada di setiap agama, pada kondisi ini para urafa dapat menyaksikan ghayah (tujuan) dan mutiara agamanya bahkan mereka pun dapat berinteraksi dengannya, dan setelah ia keluar dari kondisi yang dialaminya, ia akan mengabarkan apa-apa yang ia alami dan saksikan.

Michael Peterson saat mendefinisikan pengalaman keagamaan menuliskan: Pengalaman keagamaan tidak seperti pengalaman atau eksperimen lainnya, ia bersifat pribadi dan obyeknya adalah kehadiran sesuatu yang metafisikal (yaitu wujud Tuhan dan manifestasi-Nya pada suatu tindakan) atau memandang suatu keberadaan yang memiliki keterikatan dengan Tuhan (seperti manifestasi Tuhan atau pribadi seperti Maryam 'Udzarâ), atau menyangka itu sebagai puncak hakikat yang tidak dapat disifati, seperti perkara absolut dan tidak ada duanya, Brahma atau Nirwana.[8]

Pengalaman keagamaan tidak memiliki definisi yang akurat, karena selain tidak ada konsensus akan definisi agama itu sendiri, pengalaman keagamaan pun tidak dapat dialami dan dirasakan semua orang, oleh kerena itu mendefinisikannya pun sangatlah sulit bahkan mustahil, menurut istilah Wayne ProudFoot “pencarian tanpa hasil” .[9]

Pengalaman keagamaan memiliki definisi yang bergama seperti “sejenis perasaan”, “perasaan yang berbasiskan persepsi sensasi” dan “penjelasan akan sesuatu yang metafisik” dan lainnya dimana pembahasannya memerlukan ruang tersendiri.[10] Di sini kami akan menyoroti dua analisa penting atas penafsiran pengalaman keagamaan yang merupakan jawaban dari pertanyaan ini: Apakah pengalaman religius yang beragam memiliki kesatuan esensi?


1. Konsep esensialis[11]:
Menurut pandangan ini, seluruh pengalaman keagamaan yang dimiliki oleh para urafa’, Nabi dan pribadi lainya, secara esensial adalah satu, dan sebagaimana yang tampak dalam sebutannya, kelompok ini meyakini adanya kesatuan esensi dan substansi yang sama bagi seluruh pengalaman keagamaan yang disebut menemui perkara uluhi (the numinous) atau menuju “dzat mutlak”. Para pendukung pendapat ini meyakini bahwa pengalaman mistik (irfani) adalah murni, tidak terpengaruh dan terefek oleh bahasa, budaya, dan pra konsepsi sang pemilik pengalaman; akan tetapi ia mirip seperti pengalaman indera lainnya yang senantiasa memberikan pengetahuan dan informasi. Mereka menganggap bahwa fondasi dan subtansi agama adalah pengalaman agama pribadi seseorang muta'alih (mentransendental) dan mereka tidak memandang pesan-pesan wahyu yang terkandung dalam agama-agama langit, prinsip-prinsip rasional dalam ketuhanan rasionalis serta teori akhlak Kant dalam mengenal Tuhan. Para pendukung pandangan ini antara lain Schleiermacher[12], Rudolf Otto, William James[13] dan Stace[14].

Sehubungan dengan ini Barboure menuliskan: Inovasi yang muncul pada awal-awal abad kesembilan belas ini, berakar pada pemikiran Schleiermacher, dimana menurut pandangannya fondasi agama bukanlah prinsip-prinsip wahyu, juga bukan rasio yang membuahkan makrifat dan juga bukan norma dan akhlak akan tetapi ia (fondasi agama) adalah kesadaran keagamaan (religious awareness) yang berbeda dengan apa yang telah disebutkan di atas. Agama adalah pengalaman yang selalu hidup, bukan keyakinan-keyakinan resmi yang mati. [15]


2. Konsep konstruktif[16]:
Pandangan kelompok ini berseberangan dengan pandangan di atas, selain mengingkari adanya kesatuan esensi bagi beragam pengalaman keagamaan, kelompok ini pun meyakini bahwa pengalaman keagamaan merupakan pengaruh dari basis pengetahuan, keyakinan, budaya dan sosial. Dapat dikatakan bahwa pengusung pandangan ini atara lain ialah Wittgenstein, John Hick, Ninian Smart, Winn Rite dan Steven Katz.[17]

Kelompok pertama meyakini bahwa wahyu merupakan suatu bentuk pengalaman keagamaan yang subtansinya dapat ditemukan pada diri para urafa, sufi dan para pertapa. Dalam pengalaman ini, sebagai ganti dari turunnya malaikat pembawa wahyu dan kitab suci, dengan sendirinya seorang yang memiliki pengalaman keagamaan mampu menyaksikan Tuhan atau manifestasi keberadaan-Nya. Dengan kata lain, Tuhan memanifestasikan dan menampakkan atas nabi jelmaan (mazhar) dan manifestasi-Nya dalam pengalaman keagamaan; kemudian nabi setelah pengalaman ini dan telah sadar serta kembali kepada kondisi biasa, akan mengabarkan dan menafsirkan penyingkapan (kasyf) serta pengalaman yang dialaminya. Singkatnya, hakikat wahyu tidak lain adalah pengalaman keagamaan dan interpretasi para nabi atas mukasyafah yang dialaminya. Manusia dikarenakan pengaruh keagungan jiwa dan ruhnya dalam mukasyafah (pengalaman keagamaan), ia akan mencapai suatu maqam dimana manifestasi dari Haq Ta’ala akan tampak pada dirinya. Namun apakah peyingkapan, penafsiran dan penjelmaan ini benar-benar berasal dari sisi Tuhan? Pada saatnya kami akan menjawab pertanyaan ini.


Wahyu Dalam Teologi Kristiani
Dalam teologi Kristiani banyak terdapat indikasi yang menyatakan bahwa wahyu berakar dari pengalaman keagamaan. Para pendeta Nasrani meyakini bahwa Tuhan tidak menurunkan pesan-pesan dan wahyu kepada Nabi Isa As, akan tetapi ruh suci Ilahi telah menjelma pada diri al-Masih, dan diri al-Masih sendiri adalah wahyu yang diturunkan. Peryataan ini sesuai dengan lahiriah sebagian ayat perjanjian baru yang mengatakan: “Tuhan dalam diri al-Masih”.

Para teolog liberal Nasrani mengatakan bahwa wahyu adalah kehadiran dan manifestasi Tuhan dalam kehidupan al-Masih dan seluruh Nabi Bani Israil, dengan ini mereka telah mengingkari wahyu yang berbentuk lafaz dan kata-kata (pengiriman kitab samawi). Berkaitan dengan ini Barboure mengatakan: Para teolog liberal menyatakan: tidak dapat dipungkiri bahwa kitab suci (Injil) bukanlah wahyu yang diturunkan secara langsung namun ia telah ditulis oleh manusia dan dengan antusias mereka membacanya. Sebagai ganti dari pengingkaran terhadap wahyu, sebagian dari mereka (teolog liberal) mengungkapkan persepsi baru mengenai wahyu: Tuhan telah menurunkan wahyu, namun bukan dengan mendikte sebuah kitab suci, akan tetapi dengan kehadiran-Nya dalam kehidupan al-Masih dan Nabi-Nabi Bani Israil, oleh karenanya kitab suci bukanlah wahyu secara langsung, namun ia merupakan bukti atas refleksi wahyu dalam pengalaman keagamaan manusia.[18] Bart menyatakan bahwa wahyu yang sebenarnya adalah pribadi al-Masih itu sendiri, kalimat dalam bentuk manusia. Kitab suci adalah hasil tulisan manusia yang memberi kesaksian akan keyataan wahyu ini.[19]

Pandangan ini merebak luas dalam teologi Protestan pada abad kedua puluh, dimana mereka mendakwa bahwa pembaharu agama Nasrani abad keenam belas seperti Luther dan Calhoun, bahkan lebih dari itu dalam perjanjian baru dan gereja pertama telah dinyatakan bahwa kredibilitas wahyu terdapat pada diri Masih sendiri bukan pada kitab suci.[20]


Pandangan Sebagian Pemikir Muslim Kontemporer
Sebagian Pemikir Muslim menerima interpretasi di atas, Syaikh Muhammad Abduh setelah menukil definisi wahyu yang umum dikenal dengan “Pesan Tuhan”, ia mengemukakan pendapatnya seraya mengatakan: Adapun pendapat kami -tentang wahyu- kami katakan bahwa ia adalah pengetahuan ('irfân) yang didapati seseorang dalam jiwanya dengan dibarengi keyakinan bahwa ia datang dari sisi Tuhan, baik dengan perantara ataupun tidak, adapun yang pertama (yang dengan perantara) dengan perantara suara yang sampai ke pendengarannya atau dengan lainnya.[21]

Muhammad Iqbal adalah salah satu pemikir kontemporer Muslimin yang selain menerima pendekatan empiris terhadap permasalahan makrifat [22], penafsiran hakikat agama, dan memprkenalkan filsafat (filsafat Yunani dan akal murni), menyambut penafsiran pengalaman keagamaan dalam bentuk berseberangan dengan al-Qur'an.[23] Ia mengistilahkan wahyu dengan “kondisi batin” dan “kesadaran batin” yang memiliki kesatuan esensi dengan pengalaman agama dan pengalaman batin lainnya. Selanjutnya ia menuturkan: Dapat dikatakan bahwa seorang Nabi memiliki kesadaran dan pemahaman batin semacam ini dimana pada kondisi ini "pengalaman kesatuan" mempunyai kecenderungan padanya melewati batasannya.[24] Dari sisi kualitas pengalaman batin tidak berbeda dengan pengalaman kenabian. [25]

Iqbal menganggap bahwa basis wahyu dan pengalaman keagamaan berasal dari kekuatan insting yang juga dapat ditemukan -dengan berbeda- pada tumbuhan dan binatang.

Keterkaitan dengan sumber keberadaan ini sama sekali tidak hanya terbatas untuk manusia. Penggunaan kata wahyu dalam al-Qur'an melaporkan bahwa kitab ini menganggap wahyu sebagai tahap kehidupan tertentu dan sudah barang tentu kriteria dan polanya adalah berbeda berdasarkan tingkatan keragaman kesempurnaan kehidupan. [26]

Menurutnya (Iqbal) landasan dan basis wahyu adalah dorongan insting dan kekuatan jiwa di masa kanak-kanak yang tetap kokoh saat berhadapan dengan beragam hambatan seperti akal dan kehidupan duniawi.

Pada masa kanak-kanak, kekuatan jiwa dapat mencuatkan sesuatu yang kami sebut dengan “Kesadaran Kenabian” yang dengan mediasinya pandangan dunia seseorang dan jalan kehidupan dapat terpelihara dengan cara mengikuti perintah-perintah, prinsip-prinsip serta memilih petunjuk dan hidayah yang telah ada dan tersedia. [27]

Sourush mengatakan: Kenabian adalah sejenis pengalaman dan kasyf dan seterusnya, Nabi juga adalah manusia, agama adalah konklusi pengalaman-pengalaman individul dan sosialnya, sekarang ini pada masa kegaiban (ketiadaan) Nabi, pengalaman-pengalaman dalam (batin) dan di luar dirinya pun harus terus berlanjut. [28]

Mujtahid Syubastary mengatakan: Wahyu adalah semacam pengalaman keagamaan. [29]

Sebagian lainnya menuliskan: Wahyu adalah bagian dari pengalaman keagamaan dan seterusnya menurut prinsip agama-agama Tauhid, wahyu memiliki satu arti yaitu “Pengalaman Ketuhanan”, oleh karena itu minimal ia dapat dikatakan sebagai salah satu misdak dari pengalaman keagamaan. [30]


Justifikasi Ayat-Ayat al-Qur'an
Para pendukung pandangan di atas dengan beragam cara berupaya menjustifikasi ayat-ayat al-Qur'an yang secara gamblang berbicara akan turunnya lafaz-lafaz al-Qur'an dan dengan jelas memposisikan Nabi Saw sebagai lawan bicara. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa pada dasarnya saat manjadi lawan bicara ayat-ayat tersebut, Nabi Saw berada di alam mimpi, beliau merasakan kondisi sedemikian rupa seakan-akan ada seseorang yang sedang mengajaknya bicara dan dialog, setelah terbangun, beliau pun menuturkannya sebagai bentuk wahyu.

Sehubungan dengan ini Sourush menuliskan: Bahwa ayat-ayat al-Qur'an telah diwahyukan kepada nabi atau nabi hanya merasakan ada seseorang yang mengajaknya bicara, hal ini tidak perlu lagi dibahas. Nabi-nabi, bahkan pribadi-pribadi biasa (bukan nabi) juga dapat mengalami perasaan semacam ini, dimana mereka merasakan ada seseorang yang berbicara kepadanya, berdialog, memerintah dan melarang, hal ini bukanlah suatu yang aneh, ini biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita hanya berkenaan nabi mempunyai pandangan lain dalam masalah ini dikarenakan kita memandang dia sebagai nabi. Seandainya kita tidak memandang dia sebagai seorang Nabi maka kita akan katakan: Bahwa wahyu yang didakwanya tidak lebih hanya khayalan biasa yang dilakukan oleh semua orang, namun dikarenakan kita memandangnya sebagai seorang Nabi maka kita berkeyakinan bahwa ia telah mengalami kondisi tertentu yang berada di bawah pangawasan, bimbingan dan petunjuk Ilahi. [31]


Analisa Pandangan di Atas
Pandangan di atas memiliki beberapa poin yang urgen dipikirkan secara mendalam:

1. Mendegradasi wahyu sebanding dengan pengalaman biasa: Interpretasi di atas telah merendahkan wahyu dan syuhud para nabi hingga setara dengan pengalaman religius yang biasa dialami oleh seseorang, dimana para nabi dengan orang-orang lain adalah setara dalam prinsip dan tipe pengalaman, padahal pengalaman wahyu para Nabi sangatlah berbeda dengan pengalaman keagamaan yang dialami manusia, karena maqam wahyu yang mereka dapatkan bukanlah semata hasil penyucian jiwa (tahdzib an-Nafs), akan tetapi iapun ditopang oleh karunia Ilahi yang hanya diberikan kepada sebagian manusia, seperti maqam kenabian yang dikaruniakan kepada Nabi Isa As disaat ia masih bayi sama sekali bukan hasil penyucian diri dan pengalaman keagamaan.

2. Campur tangan nabi dalam wahyu: Pandangan di atas menganggap wahyu adalah hasil penafsiran seorang nabi yang dipahami dari pengalaman keagamaan yang dialaminya, dengan demikian interpretasi seorang nabi tidak lebih seperti interpretasi lainnya dan hukum-hukum yang terdapat didalamnya pun tidak akan memiliki keistimewaan. Akhirnya kebenaran atas apa yang disaksikan dan ditafsirkan seorang nabi pun dapat diragukan, dan lebih dari itu, dengan campur tangan pribadi nabi, wahyu yang disampaikannya pun akan tersisipi oleh perkara lainnya. Kemestian dari pandangan di atas selain akan menganggap prinsip-prinsip agama sebagai karya manusia, iapun akan menjadikan esensi agama (wahyu) sebagai ciptaan manusia yang tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan.

3. Pengingkaran terhadap wahyu: Dengan pandangan di atas, kebenaran wahyu, pengalaman keagamaan, mukasyafah dan penjelmaan (tajalli) Tuhan akan kembali dipertanyakan, karena ada kemungkinan pesan yang ditarik dari pengalaman keagamaan tidak memiliki fakta di luar, akan tetapi ia hanya sebuah konklusi dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya atau hasil pengaruh faktor eksternal lainnya. Jika demikian halnya, pendapat yang menyatakan bahwa wahyu adalah hasil pengalaman keagamaan sangat dekat dengan perspektif psikologi -yang penjelasannya telah berlalu-. Minimal para pendukung pandangan di atas tidak akan mampu membuktikan eksistensi wahyu dan tajally Tuhan.

4. Mengingkari al-Qur'an sebagai kitab samawi: Salah satu konsekuensi pandangan di atas ialah menganggap kitab-kitab suci bukan merupakan kitab-kitab samawi. Mungkin bagi umat Yahudi dan Nasrani, anggapan ini bukan sesuatu yang aneh dan mustahil, karena sejarah mambuktikan bahwa Injil dan Taurat adalah hasil tulisan tangan seseorang dan juga sudah mengalami perubahan (distorsi). Namun bagi umat Islam anggapan ini sama sekali tidak dapat diterima, mereka sepakat mensifati al-Qur'an (wahyu) sebagai kitab Samawi dan Kalam Ilahi.

5. Banyak bermunculan agama: Dengan mengatakan bahwa wahyu yang dibawa oleh para Nabi adalah hasil pengalaman keagamaan mereka pribadi (bukan dari sisi Tuhan), maka semua orang pun juga dapat mengalami hal demikian dimana mereka dapat mencapai tingkatan pengalaman keagamaan yang dimiliki para Nabi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian mereka bahwa esensi agama adalah pengalaman kegamaan yang dimiliki seseorang, maka konsekuensinya adalah jumlah agama bahkan esensi agama akan menjadi banyak sesuai dengan jumlah orang-orang yang memiliki pengalaman keagamaan.

6. Meluasnya maqam kenabian, konsekuensi lainnya dari pandangan di atas ialah meluasnya cakupan kenabian hingga dapat dimiliki oleh manusia biasa. Sebagaimana yang mereka yakini bahwa wahyu ialah hasil pengalaman keagamaan dimana pengalaman ini juga dapat dialami semua atau kebanyakan orang, maka dengan memiliki pengalaman keagamaan, seseorang dapat memperoleh wahyu, ini berarti ia telah mendapatkan maqam kenabian, tidak peduli apakah itu sebelum kenabian Muhammad Saw atau setelahnya. Jelas keyakinan seperti ini bertentangan dengan prinsip agama Islam yang menegaskan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir umat manusia -yang akan kami bahas selanjutnya-. Selain itu maqam kenabian hanya dapat dicapai dengan dua syarat, pertama adalah kelayakan seorang nabi dan yang kedua adalah pilihan dari sisi Allah, para penggagas pandangan di atas telah melupakan syarat yang kedua.

Berkaitan dengan maqam kenabian, Doktor Sourush mengatakan: Harus diakui mungkin saja seseorang dapat menjadi nabi bagi dirinya sendiri dimana ia dapat merasakan perasaan tertentu dan memiliki insting yang kuat, namun jika ada seseorang yang mempublikasikan hal ini maka dunia Islam akan menyikapinya dengan keras. [32] Selanjutnya saat menjustifikasi hadis Nabi Saw yang berbunyi “Tidak ada Nabi setelahku”, Sourush berkata: Dalam hadis ini Nabi memerintahkan kepada umatnya agar menutup pintu kenabian dan jangan lagi percaya ucapan seseorang yang mengaku nabi dan kepada orang-orang yang juga merasakan hal demikian, beliau bersabda “janganlah kalian mengumumkan apa yang kalian alami”.[33]

Seharusnya Doktor Sourush konsisten dengan apa yang dijelaskanya dan membuktikan keabsahan kenabian setelah Rasul Saw dengan tinjauan luaran agama, bukan malah bersandar dengan bukti teks agama, selain itu ia juga tidak menyebutkan referensi hadis yang dinisbahkan kepada Nabi Saw yang berbunyi “janganlah kalian mengumumkan kenabian yang kalian rasakan” sehingga dapat dianalisa sanad dan dilâlah-nya. Setelah mencari -melalui komputer- dari kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syi’ah, penulis tidak menemukan hadis tersebut, malah yang didapati adalah hadis-hadis yang bertolak belakang dengan apa yang diucapkan, contohnya, dalam beberapa tempat terdapat nukilan hadis dari Nabi Saw yang menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku nabi sepeningal beliau, maka ia telah menciptakan bid’ah dalam agama, dan tempat baginya dan juga pengikutnya adalah neraka, di dunia ia harus dihukum mati, seperti sabda beliau “Wahai manusia tidak ada nabi setelah aku dan tidak ada sunnah selain sunnahku, barang siapa yang mengaku sebagai nabi, maka ajarannya dan bid’ahnya adalah neraka, perangilah ia! Barang siapa yang mengikutinya, maka ia pun di neraka”. [34] lebih dari itu, bahkan Rasul Saw menyebut orang-orang yang mengaku nabi setelah beliau sebagai “pendusta” (Kadzzâb), sabda beliau: “Akan datang setelahku para pendusta, mereka mengaku sebagai nabi dan aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku”.[35] Yang menarik untuk diperhatikan, dari sekitar delapan ratus riwayat hadis yang mengatakan “La nabiyya ba’di” (tidak ada nabi setelahku), terlihat ada upaya dari para pemalsu hadis untuk menambahkan teks hadis tersebut menjadi “La nabiyya ba’di illa an yasyâ’ “ (Tidak ada nabi setelah kecuali jika Ia menghendaki), pemalsuan hadist ini dapat dilihat dengan jelas oleh para Ahli hadist.[36] Adapun justifikasi yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “La nabiyya ba’di” adalah menampakkan atau mempublikasikan kenabian yang dimiliki, bertentangan dengan zahir dan teks hadis. Hadis di atas dengan jelas meniscayakan inti dan hakikat keberadaan Nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), bukannya berarti boleh ada nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), hanya saja tidak memiliki hak untuk mempublikasikannya. Jika yang dimaksud dengan Nabi dalam justifikasi di atas adalah makna irfannya yang biasa di sebut “wali Kâmil” (wali sempurna) oleh para urafa, maka kita katakan: Pertama, seharusnya penulis mengungkapkan apa yang dimaksudnya dengan gamblang dan jelas. Kedua, para urafa tidak menggunakan istilah kenabian dan wahyu bagi semacam itu (untuk wali Kamil), akan tetapi yang mereka gunakan adalah istilah “ilham” dan “Nubuwwa at-ta’rify” -lawan dari “Nubuwwa at-tasyri’i” yang dimilik oleh seorang Nabi-.

7. Wahyu dapat digapai dengan pengalaman keagamaan: Jika kita menilai secara obyektif dan mengatakan bahwa maksud dari pengalaman keagamaan adalah bahwa dengan kesucian jiwa mereka, para nabi akan sampai satu fase irfani dimana Haq Ta’ala akan hadir dan bertajalli pada diri mereka, dengan demikian wahyu dan pesan Tuhan akan turun dan sampai kepada mereka. Dari sisi ini, pengalaman keagamaan dan tingkatan syuhud para Nabi juga dapat dimiliki manusia biasa, walaupun secara gradual terdapat perbedaan diantaranya. Untuk menganalisa hal ini, kita harus akui bahwa memang apa yang diucapkan di atas secara global memiliki kesamaan dengan pandangan para urafa dan filosof, namun penyucian hati adalah salah satu syarat untuk mendapatkan wahyu, bukan syarat tunggal sehingga dapat kita katakan bahwa seseorang cukup dengan pengalaman keagamaan, ia akan mencapai maqam kenabian, karena turunnya wahyu dan syariat juga memiliki syarat lain yaitu pilihan atau karunia dari Allah Swt, dan malaikat akan turun membawa wahyu hanya kepada para Nabi yang dipilih oleh Allah Swt. Namun jika maksud dari ucapan mereka -wahyu adalah pengalaman keagamaan- adalah bahwa sebenarnya seseorang yang memiliki pengalaman, tidak berinteraksi dengan hakikat Ilahi, akan tetapi apa yang disampaikannya hanya semata hasil khayalan, maka kita katakan bahwa anggapan ini bukan saja telah merendahkan wahyu hingga pada batas terendah dari pengalaman keagamaan bahkan iapun telah memposisikan wahyu sejajar dengan khalayan.

8. Meruntuhkan norma dan prinsip sosial: Tujuan inti agama adalah memberi petunjuk kepada umat manusia dan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, berdasarkan pandangan di atas, wahyu dan agama diturunkan sesuai perasaan dan selera pribadi. Dengan perasaan dan pengalaman yang dimilikinya, setiap orang dapat menafsirkan pengalaman keagamaan yang dianggap sebagai agama itu sendiri. Dengan demikian, mereka dapat menghapus atau merubah doktrin-doktrin sosial bahkan seluruh ajaran-ajaran yang ada didalamnya. Padahal inti misi wahyu dan agama yang dibawa oleh Nabi adalah memberi hidayah kapada umat manusia serta membawa mereka kepada kebahagian yang abadi. Jika wahyu adalah hasil karya seseorang, maka ia sama sekali tidak akan memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan manusia, karena setiap orang akan membawa prinsip dan aturan sosial yang berbeda yang akan menimbulkan kekacauan dalam tubuh masyarakat, dengan kata lain konsekuensi pandangan di atas ialah munculnya sekularisme dalam Islam dan ini jelas bertentangan dengan prinsip agama Islam.[37]

Sampai di sini tampak jelas bahwa wahyu tidak dapat ditafsirkan sebagai pengalaman keagamaan, dimana pandangan seperti ini mengakibatkan pengingkaran terhadap wahyu atau paling tidak mengkhususkannya pada perasaan-perasaan tertentu yang sama sekali tidak sesuai dengan wahyu yang dimaksud oleh al-Qur'an dan hadis.


Hakikat Wahyu Menurut Para Urafa’
Para urafa’ juga memandang hakikat wahyu sebagai pengalaman keagamaan, namun pangalaman keagamaan yang mereka utarakan memiliki beberapa perbedaan dengan apa yang dikatakan para ilmuan Barat. Untuk mengenal lebih jeluk , kita akan menyoroti poin-poin berikut:

1. Para urafa’ membatasi wujud hakiki hanya pada Dzat Ilahi dan segala keberadaan selain-Nya hanya merupakan manifestasi dari keberadaan-Nya yang hakiki.[38] Mereka menyebut Dzat Allah Ta’ala yang murni dari asma dan sifat dengan “Maqam Ahadiyat”, “Gaib Maghib” dan “Maqam ‘Ama’”.

Setelah "Maqam Ahadiyat" adalah “Maqam Wâhidiyat” dimana pada tingkatan ini asma’ dan sifat Ilahi menjadi sorotan dan perhatian, alam ini disebut dengan “A’yân Tsâbitah”, “Hadhrat Ilmiah” dan “Syahadah Mutlaqah”. Dalam alam ini -secara abstrak- terdapat inti keberadaan alam lainnya yang sebenarnya alam ini merupakan pemberi dan penganugerah keberadaan bagi alam imkân, oleh karena itulah ia disebut dengan “Faidh Aqdas”, namun sesuai dengan kaidah “Al-wâhidu la yashduru ‘anhu illa al-wâhid” (Sesuatu yang satu tidak akan muncul darinya kecuali yang satu pula) maka ia adalah makhluk tanpa perantara yang disebut “Aql Awwal” menurut para filosof atau “Wujud Munbasit wa ‘Aam” menurut istilah urafa’.[39] Wujud mumkin pertama ini juga merupakan penganugrah keberadaan bagi wujud lainnya, dimana antara satu dengan alam lainnya memiliki hubungan sebab dan akibat.

2. Menurut keyakinan para urafa’ dan kebanyakan filosof, Shâdir Awwal dan Wujud Munbasith adalah Ruh Muhammadi Saw yang mendapat pengagungan sebagai manifestasi pertama dan makhluk tanpa perantara Allah Swt.[40] Setelah ruh Nabi Islam, diciptakanlah ruh para Imam suci dan Nabi sebagai Uqul Mujarradah. Aql dan ruh malaikat termaksud Jibril diciptakan setelah ruh Nabi dan Imam yang sebenarnya adalah makhluk dan anugrah ruh suci Rasulullah Saw. [41]

Dalam alam Aql, utusan dan pembawa pesan pertama adalah ruh Rasulullah Saw yang merupakan Shâdir Awwal yang dengan menempuh perjalanan (Sair) di alam Hadhrat Ilmiah dan Maqam Wâhidiyat dapat mentransfer hakikat-hakikat asma dan sifat Ilahi kepada Aql lainnya termasuk Aql para Nabi dan Malaikat, dari sini jelaslah makna dan maksud dari hadis Nabi Saw yang berbunyi “Aku telah menjadi seorang Nabi (pembawa pesan) di saat Adam As berada di antara air dan tanah"[42], "Adam As dan siapa saja selainku berada di bawah benderaku”.[43]

3. Wahyu dan pesan-pesan gaib diturunkan kepada para nabi melaui para malaikat dari alam Aql dan di batas akhir Aql Awwal yang tidak lain adalah ruh Muhammadi Saw yang dengan perantaraannya Allah akan menurunkan wahyu-Nya, dengan demikian jelaslah keagungan dan keistimewaan ruh Rasulullah Saw dan para Imam Maksum dibanding para nabi lainnya serta seluruh kitab suci yang diturunkan kepada mereka, bahkan mereka (Rasul dan Imam suci) lebih mulia dibanding al-Qur'an itu sendiri karena wujud suci mereka merupakan sumber dan perantara turunnya wahyu dan al-Qur'an.[44]

4. Alam dunia dan manusia merupakan alam mumkin yang paling rendah, dimana sumber keberadaannya pun berasal dari alam Aql. Ruh manusia juga telah ada di alam Aql dengan berbentuk wujud yang simpel dan tunggal yang kemudian turun di alam dunia yang berada di bawahnya. Yang patut disoroti di sini adalah perpindahan ruh dari alam Aql ke alam dunia bukan berarti meniscayakan kekosongannya di alam Aql, namun keberadaan ruh manusia tetap terjaga di sana, demikian pula halnya dengan Nafs Nabawi.[45] Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia memiliki dua sisi dan wujud. Wujud pertama manusia adalah keberadaannya sebelum di dunia yang berupa Aql dan abstrak yang berada di alam ‘Uqul dan merupakan A’yan Tsâbitah. Wujud kedua manusia adalah keberadaan materinya yang saat ini berada di alam materi dan terdiri dari ruh dan badan. Nafs manusia karena ketergantungannya dengan materi -atau menurut istilah Hikmah Muta’aliyah, penemuan Nafs (non-materi) yang tadinya dari materi dikarenakan Harakah Jauhariah (gerakan substansial)-, tidak memiliki kesempurnaan metafisikal, namun ia tetap memiliki potensi untuk menggapai dan menyerap kesempurnaan-kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu, dengan melalui fase-fase dan empat perjalanan (Asfar Arba’ah), setiap manusia akan mampu mencapai kesempurnaannya dan tersambung dengan Ain Tsâbit-nya dan seluruh Aql lainnya.

5. Berdasarkan uraian sebelumnya jelaslah bahwa manusia membutuhkan petunjuk dan pertolongan Ilahi dengan perantara para Malaikat, namun Nafs para nabi khususnya Nabi Islam hanya butuh kepada pertolongan Ilahi (tanpa perantara Malaikat). Dengan Tahdzibu an-Nafs yang dijalani di dunia ini, Rasulullah Saw menyiapkan dirinya untuk Mi’raj dan berinteraksi dengan 'Ain Tsâbitah dan Wujud Bashit-nya, dan setelah melalui serangkaian fase, beliau akan mencapai Maqam Nubuwwah yang berada di alam ‘Uqul dan menurunkannya di alam materi. Jadi pada hakikatnya, wahyu yang di sampaikan oleh Rasul Saw berasal dari “Hakikat Muhammadiah” dan “Wujud Munbasith”. Dengan kata lain, wujud materi Rasulullah Saw telah tersambung dengan wujud mujarrad-nya, dan wahyu yang beliau sampaikan kepada umat adalah hakikat mujarrad yang telah menjelma menjadi uraian wahyu yang rinci dan berdimensi materi. Kalaupun para malaikat seperti malaikat Jibril memiliki andil dalam merealisasikan tugas Nabi tersebut (menyampaikan wahyu), tidak lebih ia hanya sebagai pendamping Nafs Nabawi atau penyampai pesan dari Hakikat Muhammadiah kepada Nafs Nabawi.[46]


7
NEO-TEOLOGI I

Hakikat Wahyu Para Nabi[47]
Mendifinisikan dan mengenal wahyu sangat berkaitan dengan masalah kenabian, karena wahyu adalah salah satu produk inti kenabian. Pada poin sebelumnya telah diuraikan pandangan para urafa’ mengenai hakikat kenabian yang konklusinya adalah sebagai berikut: Kenabian -secara global- bercabang menjadi dua bagian “Ta’rifi” dan “Tasyri’i” . Kenabian Ta’rifi adalah pesan dan pemberitaan yang berasal dari maqam dan makrifat -Aqli dan Maknawi- yang berada di alam Aql. Adapun kenabian Tasyri’i adalah pemberitaan akan ajaran-ajaran dan hukum-hukum Ilahi yang disampikan kepada umat manusia di alam materi. Dalam kenabian ini, seorang Nabi dengan menjalani Tahdzib an-Nafs akan dapat mengangkat potensi ruhnya hingga sampai kepada tingkatan dimana ia dapat berinteraksi dengan alam Aql dan menyerap berbagai hakikat yang berada di sana dalam bentuk wahyu. Apapun perbedaan tingkatan dan maqam yang telah dicapai oleh para Nabi, kembali kepada tingkatan dan posisi masing-masing Nabi itu sendiri. Bisa jadi dikarenakan seorang Nabi tidak berada dalam tingkatan yang tinggi, dalam mimpinya ia berinteraksi dengan salah satu Aql yang berada di tingkatan lebih rendah dan ini mempresentasikan akan kejauhannya dengan Hakikat Muhammadiah, dan juga bisa jadi Nabi lainnya telah mencapai penjelmaan pertama dari Shâdir Awwal sehingga ia dapat menyaksikan dan mendengar segala hakikat gaib dengan kekuatan khayalan (Quwwah Mukhayyalah) atau kekuatan akalnya (Quwwah ‘Aqilah), seperti yang dialami oleh Nabi Isa dan Nabi Musa As. Berdasarkan perbedaan tingkatan dan keutamaan para Nabi, kriteria wahyu dan cara interaksi mereka dengan alam Aql -di antaranya malaikat- juga akan berbeda.

Bagi para nabi yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, malaikat yang turun kepada mereka -baik dalam alam sadar atau mimpi- akan bersemanyam di daya khayal mereka dan hakikat gaib (wahyu) yang turun dari Hadhrat ‘Ilmiah akan sampai ke hati mereka.[48] Namun bagi para Nabi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari ‘uqul dan malaikat, penyampaian wahyu dan turun naiknya malaikat akan terealisasi dengan seizin Nafs Nabawi. Mereka dapat menyaksikan dan berdialog langsung dengan para malaikat khususnya dengan malaikat Jibril yang disaksikan di alam ‘uqul dengan bentuk “Tamatsul Aqli”, di alam mitsâl dengan bentuk “Tamatsul Mitsâli” dan di alam materi dengan bentuk “Tamatsul Nâsuti” dan dengan cara inilah mereka mengambil wahyu dari malaikat. Para urafa’ meyakini hal ini dan menafsirkannya sebagai mabda wahyu. Sehubungan dengan ini Muhyiddin Arabi mengatakan: Nabi-nabi pembawa syariat yang menerima wahyu melalui Ruh al-Amin (malaikat Jibril) dari ‘Ain al-Malak ...maka harus dengan turunnya ruh-ruh ke hati mereka.[49] Yang dimaksud dengan hati dan tempat turun dan bersemayamnya malaikat adalah kekuatan khayal muthashil para Nabi yang di dalamnya terdengar suara malaikat pembawa wahyu dimana dengan proses pembentangannya, seorang Nabi akan sampai pada kahayal munfashil (alam mitsâl).

Selanjutnya Ibnu Arabi menuturkan: Hadhrat Khayal adalah merupakan pilar utama wahyu Ilahi bagi para ahli inayah...dan demikian pula jika malaikat menjelma seorang lelaki bagi seorang Nabi, maka itu merupakan bagian dari Hadhrat Khayal.[50]

Dalam mensarahinya, Qaisari menuliskan: Sesungguhnya wahyu tidak akan ada kecuali dengan turunnya malaikat dan pertama turunnya pada Hadhrat Khayal kemudian pada Hadhrat Hissiah, oleh karenanya pribadi yang menyaksikannya harus memiliki kekuatan khayal yang becahaya, agar ia dapat menyaksikannya di dalam Hadhrat Khayal dan juga di dalam Mitsal Mutlaq karena ia adalah penghubung antara alam materi dengan Mitsali Mutlaq dan turun naiknya Malaikat harus melaluinya.[51]

Sa’duddin Faraghani dengan membagi wahyu menjadi beberapa bagian, ia meyakini bahwa mendengar kalam Ilahi tanpa melaui perantara, merupakan tingkatan wahyu yang tinggi. Ia mengatakan: Tingkatan wahyu yang paling tinggi adalah mendengar kalam Ilahi tanpa melalui perantara seperti yang dialami Nabi Musa As, tingkatan selanjutnya adalah mendengarnya dengan perantara malaikat dengan bentuk tertentu atau lainnya.[52]

Dalam kesempatan lain Faraghani mengingatkan bahwa turunnya wahyu dengan perantara Malaikat adalah bentuk zahir dari proses penurunan wahyu. Namun bisa jadi dikarenakan kekuatan ruhnya, seorang Nabi dengan jalan Syuhud dan tanpa perantara dapat mengetahui muatan wahyu sebelum wahyu tersebut diturunkan melalui malaikat Jibril, hal seperti inilah yang dialami oleh Rasulullah Saw.[53]

Imam Khomaini juga menegaskan akan kapabilitas para Nabi dalam menurunkan malaikat, beliau berkata: Sesungguhnya manusia-manusia sempurna seperti para Nabi, mereka mampu menjelmakan hakikat-hakikat dalam alam mitsâl sesuai ikhtiar mereka dan dari alam mitsâl mereka turunkan hakikat-hakikat tersebut kepada malaikat guna membebaskan orang-orang yang terbelenggu di alam materi, maka turunlah malaikat di alam mitsâli dan malaki sesuai dengan kesempurnaan kekuatan ruhani mereka (para Nabi), sesungguhnya kekuatan ruhani seorang Nabi adalah yang menurunkan malaikat di alam mitsâl dan alam malak.[54] Dengan kata lain, ilmu para Nabi tidak dapat dibandingan dengan ilmu manusia biasa, karena ilmu mereka berasal dari ilmu Tuhan atau Lauh al-Mahfudz (Ilmu ruh suci Muhamadi) yang mereka dapatkan sesuai tingkatan dan keutamaan yang mereka miliki. Hukum-hukum yang dibawa para Nabi bukanlah hasil ijtihad mereka, sesungguhnya mereka menyingkap hakikat-hakikat yang mereka ketahui dari ilmu al-Haq (Allah Swt) atau Lauh al-Mahfudz sesuai tingkatan kesempurnaan yang mereka miliki.[55]

Adapun titik persamaan dari wahyu yang dimiliki para Nabi adalah sumber wahyu mereka yang kembali kepada Hakikat Muhammadiah. Berdasarkan uraian sebelumnya, Hakikat Muhammadiah adalah Shâdir Awwal dan wasilah mengalirnya anugrah Ilahi ke berbagai Wujud Imkan lainnya. Para urafa’ mengumpamakan Hadhrat (Hakikat Muhammadiah) seperti sebuah cermin atau cahaya dimana gambar dan cahaya lainnya berasal dari keberadaannya, artinya keberadaan para Nabi dan juga kenabian yang mereka miliki, adalah jelmaan dan manifestasi dari keberadaan dan kenabian Hakikat Muhammadiah.

Berdasarkan hal ini, kenabian Rasulullah Saw adalah Azali dan kenabian Nabi-nabi lainnya muncul setelahnya (mutaakhir). Muhyiddin Arabi menuturkan: Sesungguhnya Nabi kita adalah Nabi yang Azali dengan kenabian Tasyri’i dan adapun kenabian Nabi-nabi lainnya terealisasi saat Bi’tsah (dilantik menjadi Nabi).[56] Seluruh Nabi dari Nabi Adam As hingga Nabi akhir, tidak ada satupun dari mereka kecuali telah mengambil cahaya dari Nabi penutup meskipun wujud materinya adalah yang terakhir diutus, sesungguhnya ia ada dengan hakikatnya.[57]


Hakikat Wahyu Nabi Islam
Pada analisa pertama yang menyoroti hakikat wahyu para Nabi, terlihat seakan-akan tidak ada perbedaan di antara wahyu yang dimiliki para Nabi. Namun dengan merenungi kajian di atas, menjadi jelas titik perbedaan antara wahyu Nabi Islam dengan wahyu para Nabi lainnya, dimana perbedaan tersebut kembali pada Hakikat Muhammadiah dan Shâdir Awwal Rasulullah Saw. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Hakikat Muhammadiah adalah Nabi Ilahi yang sesungguhnya dan tanpa perantara dan seluruh Nabi-nabi lainnya merupakan Mazhar dan manifestasi dari kenabian Nabi Islam, wahyu Nabi Islam langsung dari Allah adapun wahyu Nabi lainnya bersumber dari Hakikat Muhammadiah.

Untuk lebih mengenal hakikat wahyu Nabi Islam, perlu diperhatikan poin-poin berikut ini:

1. Nabi Muhammad Saw adalah Shâdir dan Nabi pertama: Dalam pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa Shâdir Awwal dan Wujud Munbasit adalah cahaya Rasulullah Saw (Hakikat Muhamadiah) yang secara langsung telah menyerap sumber keberadaan, segala ilmu dan makrifat gaib dan maqam Wâhidiat Ilahi. Kemudian dengan perantaraanya, keberadaan dan makrifat mengalir ke segenap ‘Uqul dan Wujud Imkan lainnya. Di sisi lain segala wujud materi bahkan wujud al-Qur'an dan para Nabi memiliki hakikat di alam Aql dengan wujud yang mujarrad dan metafisikal. Dengan kata lain, pada hakikatnya segala wujud materi yang ada adalah manifestasi dan penjelmaan dari wujud mujarrad dan Aqli mereka yang berakar dari Hakikat Muhammadiah dan kemudian menyambung dan berujung ke Hadhrat Haq Ta’alâ (Allah swt).

Mengenai keunggulan dan keutamaan 'Ain Tsâbitah Rasulullah Saw atas 'Ain Tsâbitah lainnya, Imam Khomaini menuturkan: Sesungguhnya 'Ain Tsâbitah-nya (Rasulullah Saw) mencakup A’yân segala keberadaan, termasuk para pembawa syariat, A’yân mereka (para Nabi) adalah Mazhar dari 'Ain Tsâbitah-nya (Rasulullah Saw) di Hadhrat ‘Ilmiah dan A’yân Khâriji mereka adalah Mazhar esensinya yang merupakan Faidh Muqaddas dan Nafas ar-Rahman, seluruh syariat adalah Mazhar dari syariatnya, dialah khalifah yang azali dan abadi.[58]

Dalam ungkapan ini Imam menyatakan bahwa 'Ain Tsâbitah Rasulullah Saw adalah satu-satunya perantara emanasi Ilahi (Faidh Ilahi) kepada seluruh Wujud Mumkin, beliau menyanggah ucapan Qaisari yang mengatakan bahwa ruh Nabi Isa As merupakan emanasi Ilahi tanpa perantara, beliau mengatakan: Sesungguhnya emanasi Ilahi tidak akan tercurahkan dari Hadhrat Ilahiah tanpa perantara Ism, sesungguhnya Dzat dengan sendirinya dan dengan Maqam Ahadi-nya tidak akan terkait dengan penciptaan dan tidak akan menjadi sumber segala keberadaan dan emanasi.[59]

Imam Khomaini meyakini bahwa alam Imkan merupakan Mazhar dan menifestasi dari Hakikat Muhammadiah dan seluruh alam merupakan interpretasi wujud mujarradnya, beliau menuliskan: Hakikat Muhammadiah yang bertajalli di seluruh alam...dan segala manifestasi alam dan setiap tingkatan wujud merupakan interpretasi dari hakikat ini.[60]

Menurut pandangan irfan Imam Khomaini seluruh Nabi adalah wakil-wakil Rasulullah Saw yang inti dakwahnya adalah mengajak kepada kenabiannya. Beliau mengucapkan: Dan dia (Rasulullah Saw) adalah khalifah Allah yang paling agung dan Nabi-nabi lainnya adalah khalifah selain khalifah Allah yang paling agung dari Asma’ Allah yang universal, bahkan seluruh Nabi adalah khalifahnya, pada hakikatnya dakwah mereka adalah mengajak umat kepadanya dan kepada kenabiannya. [61]

2. Turunnya ‘Ain Tsâbitah Rasul Saw ke dunia: Ruh suci Rasulullah Saw di dunia ini tampak dan menjelma pada diri Muhammad Saw, dimana untuk kembali ke Mashdar dan ‘Ain Tsâbitah-nya dan tersambung ke Hakikat Muhammadiah harus menempuh empat perjalanan (Asfar ‘Arba’ah).

Kesempurnaan ruh duniawi Rasul Saw akan dicapai dengan proses Tahdzibu an-Nafs dan Inayah dari 'Ain Tsâbitah beliau. Lebih jelasnya, dengan lahirnya ruh suci Nabi, segala fasilitas dan faktor internal maupun eksternal guna mencapai ‘Ain Tsabit-nya akan terealisasi. Walaupun malaikat memiliki andil dalam proses perjalanan ini, itupun dibawah Inayah dan perintah Hakikat Muhammadiah.

Dalam penafsiran irfannya atas ayat “sesungguhnya kami telah menurunkannya pada malam Lailatu al-Qadr”, Imam menyatakan bahwa sesuatu yang diturunkan itu adalah ruh suci Rasulullah Saw,[62] dan dengan menafsirkan kalimat “Lail” dan “Nahar” (siang dan malam) menurut pandangan irfan adalah untuk setiap manusia dan mengaplikasikan Lail sebagai “Sair Nuzuli” dan Nahar sebagai “Sair Shu’udi”.[63] Beliau pun meyakini bahwa turunnya 'Ain Tsâbitah Rasulullah ke alam dunia dengan tujuan memberi hidayah kepada Umat manusia.[64]

3-4: Naik (Shu’ud) dan tersambungnya Nasf Nabawi kepada 'Ain Tsâbitah: Setelah Nabi memperoleh Faidh Ilahi guna tersambungnya ruh duniawinya dengan ‘Ain Tsâbit-nya, beliau menyerap makrifat gaib dan hukum-hukum Ilahi, dan peran malaikat hanya sebagai perantara antara 'Ain Tsâbitah dan ‘Ain Dunyawi.[65] Naik turunnya malaikat semata atas perintah Nafs Nabawi dimana ia dapat menyaksikan malaikat, di antaranya malaikat Jibril di berbagai alam dengan beragam bentuk dan penjelmaan. Dengan kata lain, pada hakikatnya wahyu adalah makrifat-makrifat Bashit yang terkandung dalam Hakikat Muhammadiah dimana dengan diturunkannya ke hati Rasul oleh malaikat atau terambungnya Nafs Nabawi dengan 'Ain Tsâbitah-nya, beliau dapat menyerapnya dan menyampaikannya kepada umat manusia.

Shadrul Mutaallihin mengatakan: Dia mendengar suara-suara dan lafadh-lafadh yang teratur yang hanya terdengar olehnya, karena suara-suara tersebut turun dari Gaib ke Syahadah dan muncul dari batinnya tanpa sebab dari luar.[66]

Sehubungan dengan ini Ustadz Hasan Zadeh Amuli juga menuliskan: Turunnya malaikat, penyingkapan dan mimpi tidak berkaitan dengan sesuatu yang di luar kita “kemudian ia menampakkan kepadanya (Sayyidah Maryam) sebagai seorang laki-laki yang baik bentuknya”[67] penampakan dan penjelmaan ini terjadi di dalam diri anda. Turunnya wahyu adalah sesuatu yang internal. Mereka yang dapat berinteraksi dengan alam Arwah dapat mengetahui bahwa hal tersebut adalah dari batin manusia.[68]

Imam Khomaini meyakini bahwa setelah kekuatan maknawi Rasul menguat, beliau sendiri yang akan memerintahkan malaikat untuk turun ke alam mitsal atau ke alam materi.[69] Beliau mengucapkan: Dengan kekuatannya malaikat akan diturunkan, dengan kekuatan Wali al-A’dzam, al-Qur'an serta para malaikat akan diturunkan.[70] Beliau menyebut orang-orang yang memandang turunnya Jibril adalah perintah langsung dari Allah tanpa peran dari pribadi Rasul sebagai Ahli Dzahir.[71]

Imam Khomaini, tentang turunnya malaikat Jibril dan pejelmaannya bagi Rasulullah dalam berbagai alam di antaranya dalam hati suci beliau dan bagaimana beliau membawa wahyu dari Hakikat Muhammadiah ke Nafs Dunyawi Rasul Saw, mengatakan: Terkadang hakikat gaib dan rahasia suci yang disaksikan di Hadhrat ‘Ilmiah dan lauh al-‘Aliyah dengan melalui Nafs dan rahasia ruh mereka yang mulia diturunkan ke hati mereka dengan perantara malaikat Jibril pembawa wahyu, tekadang malaikat Jibril menjelma dengan bentuk mitsâli untuk para Nabi di Hadhrat Mitsâl dan terkadang pula dengan penjelmaan malaki; dan dengan perantara hakikat tersebut maka ia mendapatkan penampakan dari makman gaib hingga ke Masyhad Alam Syahâdah serta turunlah Latifah Ilahiah tersebut.[72]

Dengan kata lain, al-Qur'an zuhur sekali kepada Rasulullah Saw melalui malaikat Jibril, kali lainnya (zuhur lainnya) dimana ia dari sisi zaman dan tingkatan adalah lebih dahulu dari turunnya malaikat Jibril, berkaitan dengan turunnya al-Qur'an pada Hakikat Muhammadiah dimana dalam hal ini Rasul Saw mengetahui kandungan wahyu sebelum diturunkan melalui Jibril, oleh karena itu turunnya Jibril pada dasarnya hanya sebagai pengingat. Berkaitan dengan ini Muhyiddin mengatakan: sesungguhnya ia (malaikat Jibril) adalah sebagai pengingat atas apa yang telah disaksikannya, ketika Kami menariknya dan menyembunyikannya darinya, dan Kami menghadirkannya dengan Kami di sisi Kami, kemudian Kami utus baginya seorang pengingat yang mengingatkannya atas apa yang telah disaksikannya maka ia adalah merupakan pengingat baginya... .[73]

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Faraghani meyakini bahwa wahyu yang dibawa Jibril untuk Nabi Islam adalah wahyu zahir dan muta’akhir, menurut keyakinannya, Rasul Saw dengan penyingkapan (Kasyf) dan tanpa perantara, telah menyerap wahyu dari Allah Swt sebelum diturunkan melalui malaikat Jibril, inilah yang menyebabkan Rasul lebih dahulu membacakan ayat al-Qur'an sebelum selesai dibacakan dan diturunkan melalui Jibril.

Faraghani menyebutkan: Saat wahyu turun kepada Mustafa Saw melalui Jibril, beliau telah menyingkapnya tanpa melaui perantara, dimana muatan wahyu yang dibawa oleh Jibril telah disaksikannya secara langsung.[74]

Alamah Thabathaba’i membagi wahyu yang turun kepada Nabi menjadi tiga tingkatan: 1. Wahyu diturunkan langsung dari Allah dengan tanpa perantara. 2. Diturunkan melalui malaikat Jibril. 3. Dengan perantara penolong-penolong Jibril.

Setelah menyebutkan beberapa ayat, Allamah memaparkan pandangannya: Setelah kami merenungkan dengan mendalam dan menggabungkan ayat-ayat al-Qur'an guna mengetahui hakikat wahyu, akhirnya kami sampai kepada satu kesimpulan, kami tidak tahu apakah ini memadai atau tidak memadai. Kesimpulan tersebut demikian: Metode turunnya wahyu memiliki tiga tingkatan. Tingkatan pertama, turunnya wahyu langsung dari Allah tanpa perantara. Tingkatan kedua, tingkatan yang lebih rendah dari sebelumnya, yaitu diturunkannya wahyu dari Allah dengan tidak secara langsung, namun melalui malaikat Jibril, yakni disaat Allah menurunkan wahyu, malaikat Jibril juga ada, dan Dia (Allah) menurunkan wahyu dengan perantaranya. Tingkatan ketiga, tingkatan yang lebih rendah dari sebelumnya, wahyu tidak langsung diterima dari Jibril namun melaui penolong-penolongnya.[75]

Yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa masing-masing dari tiga tingkatan wahyu tidak memiliki posisi yang sama, akan tetapi masing-masing memiliki pebedaan yang kembali kepada kondisi dan opini seorang Nabi.

Allamah menyebutkan bahwa basis makrifat yang terkandung dalam wahyu adalah “Ruh”, “Khalq al-A’zham” atau yang disebut para Filosof dengan “’Aql Awwal”, dan beliau mengitepretasikannya sebagai cahaya Nabi yang terealisasi dengan tersambungnya ruh Nabi dengan “Khalq al-A’dzam”. Setelah membawakan ayat al-Qur'an: “Dan demikian Kami wahyukan kepadamu suatu kitab yang membangkitkan ruh dengan perintah Kami”,[76] belaiu mengatakan: Dari sini dapat diketahui bahwa keagungan iman dan kitab terdapat pada diri Rasul Saw dengan melalui wahyu yang datang dari sisi Allah Swt, dimana hal ini terjadi karena tersambungnya ruh beliau dengan Khalq al-A’dzam yang juga merupakan ruh.[77]

Ustadz Jawadi amuli meyakini bahwa wahyu yang sempurna terdapat pada satu fase dimana Nabi telah melalui beberapa mukaddimah seperti berjumpa dengan malaikat Jibril, bukan dari luar akan tetapi beliau melaluinya dari dalam batin beliau sendiri, lantas secara langsung beliau akan menerima wahyu dari sisi Allah Swt. Manusia sempurna (Insan Kamil) dapat menjalani tingkatan pertengahan ini dalam batinnya hingga ia dapat mencapai sumber asli yang merupakan Dzat Aqdas Ilahi dan mengambil makrifat dari-Nya.[78]

Ustadz pun menekankan akan turunnya lafadh al-Qur'an melalui Jibril,[79] namun Nafs Nabawi dengan mencapai alam gaib telah mengetahuai hakikat yang terkandung di dalamnya sebelumnya. Beliau menuliskan: Batin dan Ta’wil al-Qur'an tidak mungkin disampaikan kepada Nabi melalui malaikat pembawa wahyu, karena segala yang diwahyukan secara lafdzi dan ilmu hushuli masuk kategori zahir al-Qur'an bukan batinnya, dan jika seandainya ruh suci Nabi menyerap ayat-ayat Ilahi hanya melalui malaikat pembawa wahyu tanpa pencapaian alam gaib, maka konsekuensinya adalah beliau tidak mengetahui batin dan takwil al-Qur'an, padahal berdasarkan penggabungan ayat-ayat al-Qur'an dapat diketahui bahwa Rasul menguasai takwil al-Qur'an dan menyerap Ummul Kitab dari maqam Ladun dengan kenaikan ruh.[80] Nabi suci Saw dengan mencapai maqam Ladun dan Aql murni, telah menyerap hakikat al-Qur'an dan Ummul Kitab dari sisi Allah swt.


Kesimpulan
1. Definisi dan interpretasi mengenai pengalaman keagamaan selalu menjadi perselisihan antara para Oriontalis dan Teolog, namun dikarenakan tidak ada kejelasan maka hakikat wahyu tidak dapat diartikan dengan definisi yang mereka ajukan.

2. Sebelum pengalaman keagamaan ditafsirkan sebagai sebuah perasaan dan sesuatu yang berada di hati, teori ini pun memiliki banyak pengertian dimana menurut peneliti agama menemukan definisi pengalaman keagamaan yang benar dan akurat merupakan suatu hal yang sulit bahkan mustahil. Berdasarkan ini, apa yang telah diartikan sebagian pemikir muslim bahwa wahyu adalah pengalaman keagaman seorang Nabi dan penjelmaan Ilahi pada diri mereka, merupakan pandangan yang kontrofersial yang terbantahkan dengan adanya pribadi-pribadi yang menjalani pengalaman keagamaan namun mereka mengingkari keberadaan Tuhan atau kenabian Rasulullah Saw. Sebagian pemikir Muslim tersebut tidak memiliki argumen yang kokoh untuk membuktikan kebenaran dakwaan mereka serta menjawab sanggahan yang dilontarkan kepada mereka ini.

3. Jika yang dimaksud dengan pengalaman keagamaan yang dikatakan oleh sebagian pemikir Muslim tersebut adalah kesaksian hati akan kehadiran Tuhan atau sesuatu yang berkaitan dengannya seperti malaikat pembawa wahyu, maka seperti analisa di atas penafsiran ini memiliki kesamaan dengan Syuhud yang diyakni oleh para Urafa’ dan ini dapat diterima, namun hal tersebut bukanlah hakikat wahyu, tetapi ia adalah salah satu syarat dan sebab guna menggapai wahyu. Oleh karenanya dengan hanya berbekal syarat ini (pengalaman keagamaan-red), para Imam dan Urafa’ tidak akan dapat menggapai tingkatan wahyu dan kenabian, karena selain syarat di atas, kenabian dan wahyu membutuhkan syarat lainnya yaitu pilihan dan kehendak Ilahi yang hanya diberikan kepada sekelompok pribadi suci yang memiliki pengalaman keagamaan. Berdasarkan ini hakkikat wahyu tidak dapat diartikan dengan pengalaman keagamaan. Jika kita ingin minisbahkan antara pengalaman keagamaan dan wahyu, maka nisbah yang tepat bagi kedanya adalah ‘Umum wa Khusus Mutlaq, dimana seluruh pemilik wahyu juga memiliki pengalaman keagamaan, namun tidak semua pemilik pengalaman keagamaan yang dapat memilliki wahyu.

4. Wahyu dan kenabian merupakan bagian pengalaman irfan dimana perbedaannya dengan sebagian pengalan irfan lainnya terletak pada kesempurnaannya. Kesempurnaan inilah yang menyebabkan ilmu dan hubungan pengalaman agama seorang Nabi dengan maqam Uluhi memiliki keistimewaan tersendiri, sehingga dengan ini ia menjadi pribadi yang terpilih sebagai Nabi dan pembawa syariat dari sisi Ilahi serta mengapai derajat Ismah yang merupakan anugrah khusus Ilahi. Keistimewaan semacam ini tidak dimiliki oleh seluruh pengalaman irfan lainnya. Dengan kata lain, walaupun pengalaman keagamaan seorang Nabi sebelum Bi’tsah, sama seperti pengalaman irfani namun setelah Bi’tsah, ia memiliki perbedaan yang mencolok dengan segala pengalaman yang ada.

5. Perbedaan pengalaman irfan dengan pengalaman wahyu terletak pada dua poin. Pertama adalah universalitas yang dimiliki oleh pengalaman wahyu yang didapatkan kenabian serta Inayah Ilahi, dari sini tampaklah perbedaan kedua antara dua pengalaman ini yaitu “Ishmah” yang berarti bersihnya pengalaman wahyu dari kesalahan. Dari sini kita dapat meyimpulkan bahwa hakikat wahyu dan kenabian adalah salah satu bentuk dari pengalaman irfan, bedanya ia memiliki kesempurnaan yang lebih dari pengalam irfan.

6. Masing-masing pengalaman para nabi memiliki kesempurnaan yang bebeda. Dalam pembahasan irfan hakikat wahyu ditafsirkan sebagai kondisi penyaksian dan penyingkapan (Kasyf wa Syuhud) seorang Nabi, dimana pada kondisi ini seorang nabi telah berinteraksi dengan Hakikat Muhammadiah, dengan cara ini mereka -baik dengan perantara malikat atau tidak- mereka dapat menyerap wahyu. Namun wahyu Nabi Islam berbeda dengan wahyu nabi lainnya, wahyu Rasulullah Saw pada dasarnya berasal dari 'Ain Tsâbitah beliau yang menjelma ke alam dunia, wahyu semacam ini sama sekali tidak membutuhkan perantara, sekalipun ada perantara sebagaimana yang diperankan oleh malaikt Jibril, itupun dibawah perintah dan kekuasaan ruh suci Nabawi dan Hakikat Muhammadiah. Ini merupakan poin inti yang dapat dicapai oleh para urafa’ dalam interpretasi irfannya, dimana orang-orang yang menafsirkan hakikat wahyu sebagai pengalaman keagamaan lupa dan tidak dapat menjangkaunya.

7. Membuktikan penafsiran irfani atas hakikat wahyu mebutuhkan pembahasan tersendiri, dalam tulisan ini kami hanya bertujuan memaparkan pandangan urafa’ akan hakikat wahyu, begitu pula perbedaan antara pandangan urafa’ dan para filosof dan kesesuaiannya dengan lahir ayat dan riwayat akan dibahas pada tulisan tersendiri.



Catatan Kaki:
[1]. Revelation.

[2]. Anggota Lembaga Kajian Ilmiah, Budaya dan Pemikiran Islam Iran.

[3]. Shahifah Imâm, Jld 19, Hal. 48 dan Jld 17, Hal. 489.

[4]. Dairatul Ma’arif, jld 10, hal 712-719.

[5]. Din Pazuhi, terjemahan Bahauddin Khuramsyahi, Jld 1, Hal. 109-121.

[6]. Ara’ Ahlu Madinah Fadilah, Farabi, Hal. 115, Ilahiyyât Syifâ, Ibnu Sina, Hal. 235, Asfar, Sadrul Muta'allihin, Jld 7, Hal. 24.

[7]. Religious Experience.

[8]. Aql wa I’tiqâd Dini, hal 37, tertemahan Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sulthani.

[9]. Tarjume Dini, hal 414 dan 244, terjemahan Abas Yazdani.

[10]. Aql wa I’tiqâd Dini, hal 41-52.

[11]. Essentialist thesis.

[12]. Aql wa I’tiqad Dini, Hal. 41. Tajrube Dini, William Horde, Hal. 17.

[13]. Din wa Rawân, William James, Hal. 115, terjemahan Mahdi Faini.

[14]. Irfan wa Falsafe, Hal. 23 dan 31.

[15]. Ilm wa deen, Hal. 173.

[16]. Constructive thesis.

[17]. Aql wa I’tiqad Dini, Hal. 243. Tarjume Dini, Hal. 173.

[18] ‘Ilm wa deen, hal 131. RahnamaiIlahiyat Protestan, hal:63-93.

[19] Ibid, hal 145.

[20] Ibid, hal 35. Falsafe deen, John hick, hal 133, terjemahan Bahram Rad.

[21] Al-Wahyu al-Muhammadi, hal 35.

[22] Andisye Iqbal, terjemahan Ahmad Aram, hal 146.

[23] Ibid, hal 148.

[24]. Ibid, Hal. 144.

[25]. Ibid, Hal. 146.

[26]. Ibid, Hal. 144-145.

[27]. Ibid, Hal. 145.

[28]. Bast Tajrube Nabawi, Hal. 10, 21 dan 25. Muassese Farhanggi Shirat-Tehran.

[29]. Iman wa Azâdi, Ahmad Naraqi, Hal. 57.

[30]. Resale Deen Syenâkh, Ahmad Naraqi, Hal. 49 dan 86.

[31] Majalah A^ftab, seri 15, Hal. 6.

[32] Ibid, seri 15. Baztab Andisye, seri 27, hal 60.

[33] Ibid, seri 15, hal 73.

[34] Wasail as-Syiah, jld 18, hal 555. Bihar, jld 79, hal 206.

[35] Al-‘Umdah li Ibni al-Nithriq, hal 432.

[36] Dirâsat fi ‘Ilmi ad-Dirâyah, hal 76, Ali Akbar Ghifari.

[37]. Silahkan rujuk kitab Negârande Skularizm dar Masihiyat wa Islam, bagian kedua, cetakan Daftar Tablighat.

[38]. Fusus al-Hikam, Hal. 104. Kalimat Maknunah, Hal. 11. Mishbah al-Hidayah, Hal. 66, 86 dan 109.

[39]. Fusus, Hal. 93.

[40]. Risalah an-Nushus, Sadruddin Qunawi, Hal. 118. Misbah al-Hidayah, Imam Khomeni Hal. 64. Istilâhât as-Shufiyyah, Abdur Razak Kasyani, Hal. 118.

[41]. Nahjul Balaghah surat ke 28. Jami’ al-Asrar, Hal. 460.

[42]. Yanabi’u al-Mawaddah, Jld. 1, Hal. 9.

[43]. Bihar al-Anwar, Jld. 16, Hal. 402.

[44]. Masyaribu Anwaru al-Yaqin, Hal. 156. Jami’ al-Asrar, Hal. 401.

[45]. Mukaddimah Misbah al-Hidayah, Sayyid Jalaluddin Astiyani, Hal. 152.

[46]. Ibid, hal 152.

[47]. Dalam pembahasan ini kami lebih terpengaruh oleh kajian Irfan Imam Khomaini.

[48]. Lihat Ta’liqat ‘Ala Syarhi al-Fushus, Hal. 36, cetakan Yayasan Yasdar Islam, Qom.

[49]. Al-Futuhat al-Makkiyyah, Jil. 2, Hal. 78-79.

[50]. Fushus al-Hikam, Hal. 99-100.

[51]. Syarhe Qaisari bar Fushus al-Hikam, Hal. 684.

[52]. Masyariq ad-Darari, Hal. 479.

[53]. Ibid, Hal. 537.

[54]. Ta’liqat ‘ala Syarhi Fushus al-Hikam, Hal. 36-37.

[55]. Misbah al-Hidayah, Hal. 76.

[56]. Fushus, Fash ‘Isawi.

[57]. Ibid, Fash Syisi, Hal. 63-64.

[58]. Ta’liqat ‘ala Syarhi Fushus al-Hikam, Hal. 41 dan 180. Syarh Du’a as-Sahr, Hal. 66 dan 77, cetakan Muassese Tandzim Atsar Imam, Tehran.

[59]. Ibid, Hal. 68. Misbah al-Hidayah, Hal. 30.

[60]. Syarh Du’a as-Sahr, Hal. 77-78.

[61] Misbah al-Hidayah, Hal. 83.

[62] Ta’liqat al-Fushus, Hal. 83-84.

[63] Ibid, Hal. 62.

[64] Syarh Du’a as-Sahr, hal 78.

[65] Ta’liqat al-Fushus, hal 36.

[66]. Asfar Arba’ah, Jld. 7, Hal. 26.

[67]. Q.S. Maryam, ayat 17.

[68]. Mumiddu al-Muhim dar syarhe Fushus al-Hikam, Hal. 7, cetakan Wizarat Farhang wa Irsyad Islami, Tehran.

[69]. Ta’liqat al-Fushus, hal 36.

[70]. Shahife Nur, Jld. 19, Hal. 171.

[71] Ibid, Jld. 19, Hal 278-279.

[72]. Adab as-Shalah, Hal. 321.

[73]. Al-Futuhat, Jld. 1, Hal. 402.

[74]. Masyariq ad-Darari, Hal. 537.

[75]. Mehre Taban, Hal. 308-309.

[76]. Q.S. ss-Syura, ayat 52.

[77]. Ibid, Hal. 311.

[78]. Ibid, Hal. 350.

[79]. Tafsir Maudhu’i Qur'an, Hal. 48, cetakan Markaze Farhangi Raja', Tehran.

[80]. Ibid, Hal. 44.

8
NEO-TEOLOGI I

Pengalaman Mistik dan Teraju Kebenarannya
Makalah ini akan menjelaskan pengalaman mistik (irfani), perbedaannya dengan pengalaman keagamaan (religius) dan pengalaman kebatinan (esoterik). Dan selanjutnya mengkaji kriteria kebenaran pengalaman mistik dari dua aspek:

1. Subjek yang merasakan langsung pengalaman mistik;

2. Orang lain yang tidak terkait dengan pengalaman itu.

Pertama-tama mengkaji kriteria dan tolok ukur kebenaran pengalaman mistik bagi yang mengalaminya secara langsung dan kemudian menelaah kebenaran pengalaman itu bagi orang lain serta menjawab sebagian kritikan dan keraguan dalam permasalahan ini.

Walaupun tema "Pengalaman Mistik" baru mencuat pada akhir abad kesembilan belas pada ranah neo-teologi Barat dan telah dilakukan penelitian mengenai karakteristik, keragaman, dan hukum-hukumnya, dan pengalaman mistik ini yang tidak lain adalah penyingkapan intuitif (asy-syuhud al-'irfani) telah dikaji mulai dari sekian abad yang lalu hingga sekarang ini oleh para sufi dan arif dalam berbagai mazhab Islam.


Jenis-jenis Pengalaman
Kata pengalaman dapat diartikan secara khusus sebagai hal yang dirasakan, diketahui, dan dihayati secara langsung atau suatu kehadiran yang disertai dengan perasaan. Pengertian kata ini tentunya sesuai dengan berbagai penggunaan, di antaranya:

a. Pengalaman duniawi (empirisme) yang memiliki beberapa bagian, di antaranya:

1. Pengalaman keseharian adalah pengalaman sehari-hari yang tidak teratur yang dialami oleh setiap individu dalam kejadian-kejadian sekitar lingkungannya.
2. Pengalaman kemahiran atau skill adalah hasil yang berulang-ulang dari sebuah teori ilmiah atau praktis yang mempermudah seseorang yang memiliki pengalaman itu untuk melakukan pekerjaan tertentu.
3. Pengalaman ilmiah adalah pengalaman yang muncul dari kondisi-kondisi tidak teratur yang kemudian tersusun dalam suatu bidang ilmu dan pengetahuan atau definisi-definisi dan hukum-hukum yang tersusun secara sistimatik.

b. Pengalaman estetis yang merupakan sebuah pengalaman hidup yang dibangkitkan oleh emosi atau perasaan (buka merupakan kemestian pengetahuan dan makrifat) dan bercampur dengan luapan keheranan penuh kebahagiaan, namun bukan suatu perasaan kesucian, penyembahan, dan pemujaan sebagaimana yang ada dalam pengalaman keagamaan.

c. Pengalaman etis yaitu sebuah ungkapan perasaan akan ketinggian spiritual yang disertai dengan ketenangan jiwa karena melakukan suatu perbuatan moral dan akhlak atau munculnya sebuah karakter atau sifat yang bermoral dan baik di dalam diri seseorang. Perasaan ini bisa saja bersifat permanen atau non-permanen yang diperoleh dengan mudah atau sulit. Namun, perasaan ini tidak mesti memberikan pengetahuan dan juga tidak harus mencakup unsur kesucian, penyembahan, dan ketaatan.

Dua pengalaman terakhir yang meskipun memiliki kemiripan dengan pengalaman religius dan pengalaman mistik, namun memiliki perbedaan-perbedaan mencolok ketika kita memperhatikan konsepsi, spesifikasi, definisi, dan karakteristik-karakteristiknya yang akan kita sebutkan nantinya pada pengalaman esoterik, pengalaman religius, dan pengalaman mistik; walaupun mungkin terdapat kesatuan perolehan dan hasil dari beberapa macam pengalaman terhadap sebuah fenomena tertentu.


1. Pengalaman Kebatinan (Esoterik)
Pengalaman esoterik dan kebatinan adalah setiap macam emosi, kondisi internal, konsepsi, dan kehadiran langsung seseorang yang menjalani pengalaman yang tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu dan juga tidak bersifat reaktif (walaupun dengan pengantar-pengantar yang konsepsional) dalam suatu pencarian suatu makrifat.

Definisi tersebut meliputi pengalaman religius, mistik, mimpi-mimpi yang benar, atau apa-apa yang disaksikan dalam tidur biasa yang meskipun dihasilkan oleh khayal dan imaginasi, segala pengalaman internal seseorang dalam tidur yang dihipnotis, sebuah fenomena yang berada di bawah kontrol jarak jauh (telepati), dan sebagian fenomena psikologis atau suprapsikologis yang dihasilkan oleh konsentrasi, serta ilham-ilham kejiwaan atau setan.

Poin 1. Kata "langsung" dan "tanpa perantara" yang diletakkan sebagai keterangan terhadap suatu pengetahuan dan pemahaman yang dihasilkan dari pengalaman itu adalah bermakna bahwa pengetahuan yang diperoleh seseorang tidak ada kaitannya dengan pengetahuan dia sebelumnya (baik pengetahuan itu bersifat hudhuri [immediate] seperti penyingkapan-penyingkapan intuitif [mukasyafah] dan ilham-ilham atau hushuli [pengetahuan dengan konsepsional dan rasional] seperti asumsi-asumsi dan hipotesa-hipotesa).

Poin 2. Memberikan efek di alam eksternal melalui pengamatan dan kehendak internal. Pengelompokan "hal-hal yang luar biasa (seperi karamah)" yang berada dalam kontrol jiwa ke dalam pengalaman esoterik haruslah mengandung karakteristik-karakteristik yang telah disebutkan pada definisi di atas.


2. Pengalaman Keagamaan (Religius)
Setiap pemahaman langsung dan tanpa perantara atau munculnya kesadaran internal dari seseorang yang disertai dengan makrifat terhadap hal-hal yang transenden (Tuhan) atau manifestasi metafisik-Nya (semisal malaikat, para nabi dan wali dan sebagainya) dan ketaatan penuh terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman, serta mengandung makrifat-makrifat religius adalah sebuah pengalaman religius yang pada umumnya memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut ini:

- Dia merasakan sesuatu yang hakiki dan nyata yang berujung pada penguatan keagamaan dan keyakinannya, perasaan itu memberikan suatu pengetahuan dan keyakinan atas hal-hal yang telah diketahui;

- Pengalaman itu memberikan suatu komitmen dan keterikatan yang kuat yang disertai dengan pemahaman suci dan memberikan perasaan khusuk dan tenang;

Pengalaman ini yang pada umumnya teraktualisasi di luar batas ruang dan waktu dalam pikiran sang pelaku, dan ketika dijelaskan secara konsepsional akan menggunakan ungkapan-ungkapan agama.


Beberapa Poin
1. Definisi ini disamping mencakup wahyu para nabi dan pengalaman-pengalaman mistik, juga meliputi kehadiran kondisi-kondisi dan kebiasaan-kebiasaan permanen seperti munculnya motivasi kuat untuk terus berdoa dan bertawakkal kepada Tuhan, ketakwaan, keadilan, mimpi benar, ilham, dan perasaan spiritual, dinamika kejiwaan atau perubahan jasmani yang disertai dengan perubahan jiwa, serta keseluruhan hal-hal yang berhubungan keagamaan seperti memperoleh kesembuhan atau taubat dan mendapatkan hidayah.

2. Haruslah dibedakan antara pengalaman religius dan pengetahuan intuitif (bashirah) religius. Pengetahuan intuitif (bashirah) religius adalah perspektif yang diperoleh seseorang dari fenomena-fenomena biasa atau luar biasa dalam rangka pengokohan keimanan religius. Pengetahuan ini juga memiliki kesamaanan dengan pengalaman religius yakni menguatkan komitmen dan memberikan ketenangan pada seseorang. Akan tetapi, dari sisi bahwa tidak berhubungan langsung dengan Tuhan atau utusan-utusan-Nya, bahkan hanya berupa asumsi pikiran, ilham, konklusi etikal dari sebuah fenomena, maka tidak dapat digolongkan ke dalam pengalaman-pengalaman religius. Pengetahuan intuitif (bashirah) religius kemungkinan berdimensi fisikal yang disertai dengan interpretasi religius atau aspek-aspek yang bersifat metafisikal.

3. Terminologi pengalaman religius pertama kali dilontarkan oleh Schleiermacher (teolog berkebangsaan Jerman) pada tahun 1832 sebagai esensi dan pondasi agama, dan menurut aggapan sebagian orang adalah penyikapan defensif atas problem-problem rasional yang dialamatkan pada agama Kristen. Ia meyakini bahwa esensi agama adalah aspek-aspek batin yang tak terbatas dan secara fundamental agama berada di dalam kategori emosi, perhatian, dan antusias terhadap eksistensi yang tidak terbatas (Tuhan) serta perilaku, akidah-akidah, dan amalan-amalan religius hanya memiliki sisi yang sekunder. Menurutnya, doktrin-doktrin keagamaan adalah sebuah reportasi tentang emosi-emosi keagamaan dan pengalaman religius yang dipahami oleh semua orang dan menjelma dalam bentuk teks. Setelahnya, hadirlah berbagai kajian dan tulisan mengenai sifat-sifat pengalaman religius, validitas, dan hukum-hukumnya serta hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman mistik.

4. Terkadang sebuah pengalaman religius menghadirkan pengalaman religius yang lain atau pengalaman mistik; sebagaimana juga taubat dan kondisi taubat seseorang akan mengantarkannya kepada sebuah derajat keimanan yang lebih kuat dan merasakan kelezatan iman.


3. Pengalaman Mistik
Pengalaman mistik dapat dikaji dari sudut pandang irfan komparatif (tathbiqi) dan irfan Islami. Dari sudut pandang irfan komparatif, para arif menyebutkan karakteristik-karakteristik pengalaman mistik sebagai berikut:

Perspektif kemanunggalan, merasakan sesuatu yang nyata dan hakiki, merasa gembira dan bahagia, perasaan suci dan kehadiran Ilahi, penampakan kontradiksi, tidak dapat dideskripsikan, dan memberikan efek pada kehidupan seseorang.[1]

William James meyakini bahwa dua keistimewaan mendasar tersebut yakni tidak dapat dideskripsikan dan nilai pengetahuan sebagai pengalaman-pengalaman mistik, sementara sifat keberaksian dan cepatnya berlalu sebagai keistimewaan pengalaman kejiwaan pada umumnya.[2] Menurut ungkapan Stace, irfan yang berangkat dari penjelajahan internal manusia (anfusi) disamping kriteria-kriteria yang telah disebutkan sebelumnya juga memiliki keistimewaan-keistimewaan seperti kesatuan individual dan puncak kemanunggalan.[3]

Menurut Rudolf Otto terdapat tiga macam relasi: saya dan dia (hubungan kegaiban), saya dan kamu (relasi disertai dengan kehadiran akan tetapi tanpa kesatuan), saya dan saya (sebuah relasi kehadiran dan disertai dengan kesatuan). Dua pengalaman terakhir memiliki kesamaan dengan dengan pengalaman-pengalaman mistik para arif. Jenis pengalaman kedua (saya dan kamu) itu memiliki tiga kekhususan seperti perasaan bergantung kepada Yang Mutlak, perasaan takut, dan tunduk tersebut disebut oleh Otto sebagai pengalaman-pengalaman surgawi.[1] Dia meyakini bahwa relasi "saya dan saya" sebagai sebuah relasi yang dikategorikan ke dalam pengalaman-pengalaman mistik. Menurut pandangannya, kedua macam pengalaman tersebut dapat dianggap sebagai jenis pengalaman religius.

Dari sudut pandang mayoritas urafa Islam, pengalaman mistik sejenis pengalaman-pengalaman religius dengan artian bahwa mereka beranggapan tarikat (jalan menuju kepada hakikat) itu sejalan dengan syariat agama dan juga merupakan bagian dari esensi agama,[4] atas dasar ini, mereka meyakini bahwa kondisi-kondisi mistik yang hakiki itu (lawan dari aktualisasi jiwa, potensi tersembunyi, atau inspirasi-inspirasi hawa nafsu dan setan yang tidak berkonsekwensi pada kesempurnaan jiwa) sangat bergantung kepada jalan-jalan yang sesuai dengan syariat.[5]

Banyak sekali pengalaman mistik dan tingkatan-tingkatan ahli makrifat adalah hasil pendalaman dari sifat-sifat dan keutamaan-keutamaan yang terlontarkan di dalam agama, di antaranya tingkatan ridha, tawakkal, sabar dan… yang juga tergolong ke dalam tingkatan-tingkatan mistik dan rukun-rukun mendasar dari etika agama. Oleh karena itu, pengalaman mistik (menurut urafa muslim) adalah pengalaman-pengalaman esetorik dan religius dalam bentuk hal, maqam, dan makrifat langsung, pada waktu yang sama rahasia keberbaurannya dengan seluruh keistimewaan pengalaman religius (seperti berhadapan dengan hal-hal transenden atau tajalli-tajallinya, perasaan suci, memberikan komitmen dan…) dan juga perasaan merealita, perasaan Ilahi yang hadir dalam diri salik, kehadiran makrifat yang melahirkan dinamika (lambat atau cepat berlalu) di dalam kehidupan seseorang, berakhlak dengan akhlak Ilahi, dan pada akhirnya akan sampai kepada fana (menyatu dengan sifat-Nya) dan baqa (kekal bersama-Nya), serta memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:

1. Diperoleh melalui jalan wilayah, kecintaan, penyucian diri dan makrifat nafs (pengenalan diri) yang disertai dengan metode semisal muraqabah (pengawasan diri) dan zikir, renungan, penafian keinginan-keinginan, takhalli (menghilangkan sifat-sifat tercela) dan menghiasi batin (dengan sifat-sifat terpuji) di dalam suluk atau berawal dari jalan keterpesonaan;

2. Memberikan pengetahuan hudhuri dan kebahagiaan;Meraih manifestasi zat, asma, dan perbuatan-perbuatan Tuhan dalam bentuk melihat cahaya-cahaya dan gambaran-gambaran malakuti serta mukasyafah-mukasyafah;

3. Pada puncaknya meraih fana, baqa, kedekatan kepada-Nya yang dicapai dari melakukan nawafil (hal-hal yang sunnah), kedekatan kepdan-Nya yang diraih dari melakukan faraidh (hal-hal yang wajib), dan penjelmaan seseorang dalam bentuk asma dan sifat-sifat ilahi.


Sifat-sifatnya yang umum juga sebagaimana di bawah ini:

1. Memberi kelezatan, ketenangan, kebahagiaan, dan keaktifan;

2. Tak dapat dikatakan, diungkapkan, dan disifatkan, kecuali dengan simbol-simbol;

3. "Menyatu" dengan realitas tunggal dan penyirnaan sifat-sifat individual serta menyadai akan realitas mutlak;

4. Nampak kontradiksi dan bercampur dengan keheranan (seperti secara bersamaan menafikan dan menerima keberadaan alam).


Pengalaman-pengalaman ini mencakup berbagai sifat dan kriteria beragam, di antaranya:

1. Terkadang bersama dengan "ketidaksadaran", kedekatan dan keheranan luar biasa, dan terkadang disertai dengan kesadaran seseorang;

2. Terkadang cepat berlalu dan terkadang lambat;

3. Terkadang bertemu dengan Tuhan, terkadang berpisah, dan sadar bersama-Nya;

4. Terkadang bersama dengan harapan dan kekaguman;

5. Terkadang disertai dengan kelapangan, tak sadar, dan ceriah, dan terkadang bersama dengan kesempitan dan kesedihan;

6. Terkadang menggapai suatu maqam (posisi spiritual yang tetap) dan terkadang hanya meraih hal (yakni keadaan spiritual yang tidak stabil).


Dengan memperhatikan definisi ini, tidak setiap pengalaman esoterik (sebagaimana pengalaman batin yang dipreoleh tidak lewat jalur agama) adalah pengalaman religius dan tidak setiap pengalaman religius (seperti munculnya motivasi berdoa pada seseorang) adalah pengalaman mistik, dan sebagian pengalaman esoterik adalah juga religius dan mistik (seperti mencapai maqam tawakkal atau ikhlas dalam ibadah).

Pengalaman-pengalaman wahyu para nabi menurut urafa adalah pengalaman mistik tertinggi dan merupakan ilmu hudhuri yang tidak memiliki kesalahan dimana tidak hanya pengetahuan hudhuri ini dan para nabi terjaga dari kesalahan, bahkan memindahkannya kepada ilmu hushuli, konsepsi-konsepsi rasional dan ke dalam bahasa manusia serta menyampaikannya kepada orang lain adalah juga terjaga dari segala bentuk kekeliruan.[6]


Poin: Seputar perbedaan pengalaman religius dan mistik dilontarkan beberapa hal sebagai berikut:[7]

1. Setiap pengalaman religius bersyarat dengan rasa menyatu dengan objek pengetahuan mistik.

2. Pengalaman religius adalah pengalaman sesuatu yang tunggal, adapun pengalaman mistik adalah penyatuan beberapa hal.

3. Pengalaman religius dapat menjadi multi pandangan, sementara pengalaman mistik satu perspektif, kecuali dalam irfan teoritis. Sifat-sifat tersebut muncul pada maqam-maqam urafa Islam di dalam kondisi fana, melupakan selain Tuhan, mengingat-Nya dan tak melupakan selain-Nya, namun pada maqam-maqam sebelum fana (meskipun termasuk ke dalam pengalaman mistik) tidaklah bersifat umum.


Validitas Pengalaman Mistik
Dalam bagian ini kita akan membahas kemungkinan kebenaran pengalaman mistik bagi para sufi pada tahap pertama dan untuk orang lain pada tahap berikutnya, dan setelah itu dengan menegaskan tolok ukur kebenaran dalam pengalaman mistik dan juga mengkaji kemungkinan adanya perbedaan atau kesalahan dalam pengalaman esoterik. Apakah keyakinan yang muncul dari pengalaman mistik memiliki kevalidan ataukah tidak? Apakah pengetahuan yang hadir dari pengalaman mistik memiliki landasan epistemologis? Di antara teori-teori yang berhubungan dengan esensi pengalaman mistik dan efisiensi pengalaman mistik dalam menjustifikasi irfan teoritis yaitu adanya pembenaran logikal (sesuai dengan realitas) dan bukan pembenaran etikal (keselarasan ucapan dengan keyakinan). Ada yang menyatakan bahwa keyakinan yang dihasilkan dari pengalaman mistik dikategorikan sebagai ilmu hudhuri atau minimal setingkat dengan konsepsi-konsepsi inderawi yang memberikan keyakinan umum[8] (keyakinan masyarakat umum). Oleh karena itu, pembahasan ini dapat dilontarkan dalam dua dimensi:

1. Kebenaran pengalaman mistik bagi yang meraihnya, bagi yang meyakini bahwa pengalaman-pengalaman ini melahirkan suatu keyakinan dan pengetahuan hudhuri, maka keyakinan ini baginya adalah hujjah dan memiliki kebenaran rasional;

2. Kebenaran pengalaman-pengalaman mistik bagi orang lain: dalam hal ini pertama, umumnya pengalaman mistik itu sama dengan pengalaman-pengalaman indrawi yang diperoleh orang-orang awam, oleh karena itu bersifat mutawatir di mana tidak mungkin ada kesepakatan berdusta di dalamnya, dengan demikian, kebenaran pengalaman mistik juga hujjah bagi orang lain; kedua, menurut Syekh Isyraq, derajat suatu pengetahuan yang dilontarkan oleh para urafa yang kehidupannya berlandaskan kebenarannya tidak lebih rendah dari pengetahuan indrawi orang awam dan pengetahuan empirik kalangan ilmiah.[9]

Menurut William James, kondisi-kondisi mistikal seperti penyaksian langsung terhadap hakikat dan sebagaimana persepsi-persepsi inderawi memiliki validitas bagi kita.[10]

Dengan menambahkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa perbedaan "saya" dan "dia" dalam ilmu hudhuri tidaklah setajam sebagaimana dalam ilmu hushuli. Dalam ilmu hushuli adalah mungkin seseorang yang melakukan kesalahan, akan tetapi, tidak dapat dikatakan bahwa pengalaman mistik yang langsung mencerap objek itu sendiri mengalami kesalahan;[11] Dalam pengalaman indrawi juga terdapat kesalahan terutama dalam interpretasi atas objeknya.

Dengan memperhatikan munculnya perbedaan di dalam ilmu-ilmu hudhuri itu sendiri yakni terkadang ada kontradiksi di antara dua ucapan dari para sufi, maka apakah kriteria kebenaran pengalaman-pengalaman mistik seperti ini?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut harus dikatakan bahwa perbedaan dalam pengalaman-pengalaman mistik bersumber dari perbedaan di dalam intensitas pengalaman mistik itu sendiri, perbedaan tingkatan orang yang menyaksikan langsung, atau perbedaan dari sudut pandang maqam dan manzilah tertentu. Menurut Syabastary, "Oleh karena makna-makna itu berada di atas tingkatan maka terdapat perbedaan dalam pemahaman-pemahaman manusia."[12] Dan perbedaan itu, terkadang para sufi salah dalam mengekspresikan setiap mukasyafah yang dicapainya, dari sisi bahwa terdapat derajat orang-orang ber-mukasyafah. Tentu saja kemungkinan kesalahan itu tidak mengurangi validitas persepsi intuisi, sebagaimana kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam persepsi indrawi tidak membuatnya kehilangan validitas sebagai sumber pengetahuan.[2]


Kriteria Kebenaran Pengalaman Mistik

a. Dari sudut orang yang merasakan pengalaman mistik
Dalam hal ini, urafa mengemukakan beberapa kriteria untuk kehakikian suatu pengalaman dan juga pemisahkan pengalaman yang rabbani dan malakuti dari pengalaman setani, di antaranya:

1. Guru dan pembimbing. Penentuan pengalaman-pengalaman mistik dari pengalaman-pengalaman hayalan dan setani bisa dilakukan dengan seorang guru yang telah mencapai pengalaman itu, melewati tingkatan-tingkatan dan maqam-maqam spiritual, menguasai karakteristik khayalan, memahami makna-makna supranatural yang dibungkus dengan kata-kata dan bentuk-bentuk, dan meliputi sifat-sifat kejiwaan seorang pesuluk, serta memiliki kemampuan menegaskan hakikat atau kesalahan dalam mukasyafah yang dialami seorang salik;
2. Kriteria-kriteria universal. Di antaranya tenggelam dalam zikir dan lepas dari keterikatan tubuh, dan kosong dari pengaruh orang lain.

Begitu pula dalam perbedaan antara mukasyafah malakuti dan setani dikatakan bahwa mukasyafah setani mengandung seruan kepada manusia untuk meninggalkan perintah-perintah Tuhan, adapun mukasyafah malakuti memotivasi para salik untuk semakin gencar dan cinta beribadah dan mencela manusia yang melaksanakan hal-hal yang dilarang dan diharamkan oleh agama. Dan mengenai perbedaan antara mukasyafah kejiwaan (yang bersumber dari hawa nafsu) dan setani disebutkan bahwa meskipun keduanya adalah salah dan batil, namun yang pertama menyeru manusia kepada hal-hal yang disukai (oleh syahwat dalam segala hal) dan selama dia belum mencapai keinginan syahwatnya maka tidak akan merasa tenang. Adapun yang kedua bahwa disamping mendorong ke arah hal hal-hal yang disukai oleh syahwat juga memalingkan hati dari mengingat Tuhan.

Berkaitan dengan perbedaan antara ilham Ilahi dan rabbani dengan ilham-ilham lainnya adalah bahwa ilham Ilahi, dari sisi keluasan dan kodratnya, memiliki hegemoni atas ilham-ilham lainnya.[13]


b. Dari sudut pandang orang yang tidak mengalaminya
Validitas pengalaman-pengalaman mistik dari sudut pandang yang lain bergantung kepada beberapa hal, di antaranya:

1. Kesepakatan umum. Sebagaimana pengalaman-pengalaman inderawi diterima berdasarka kesepakatan umum, maka pengalaman-pengalaman religius dan mistik juga dapat dinilai dan diakui validitasnya melalui cara itu, yakni dengan kaidah mutawatir (kesepakatan yang tidak terdapat kemungkinan kebohongan). Kriteria ini menimbulkan pertanyaan bahwa kesepakatan umum tidak cukup untuk validitas pengalaman mistik, sebagaimana dalam pengalaman inderawi juga terjadi bahwa semua orang yang menderita penyakit tertentu melihat segala sesuatu itu berwarna kuning atau semua orang yang menekan kolopak matanya akan melihat segala sesuatu menjadi dua, akan tetapi secara pasti terdapat argumen atas ketidakriilan perkara-perkara ini. Kritik ini bisa dijawab bahwa kesepakatan umum merupakan salah satu tolok ukur kebenaran pengalaman mistik, dan tidak mesti selalu ditegaskan dengan argumen akal, yang pasti bahwa realitas pengalaman misitk ini juga tidak bertentangan dengan akal dan logika. Walaupun sebagian pengalaman mistik berada di antara irrasional dan rasional, namun dengan menentukan tolok ukur kebohongan dan sesuatu yang irrasional dalam pengalaman-pengalaman mistik, maka hal inicukup sebagai tanda ketidakvalidannya. Dengan dasar ini, mayoritas urafa mendorong para salik untuk mendalami ilmu-ilmu akal seperti logika dan filsafat.[14]

2. Tak bertentangan dengan teks-teks suci yang valid. Ini juga termasuk kriteria-kriteria untuk ketidakbenaran pengalaman mistik. Tidak bertentangan dengan makrifat dan akidah agama serta hukum-hukum agama. Ini adalah tolok ukur yang pasti dalam kevalidannya.[15] Oleh karena itulah, menurut urafa, pertentangannya dengan perkara-perkara keagamaan merupakan tanda dan ciri bahwa pengalaman itu bersifat hawa nafsu dan setani. Namun pertentangannya dengan teks yang masih diragukan bukan merupakan pertanda kebohongan suatu mukasyafah dan semisalnya, karena dengan adanya konteks yang pasti, maka teks lahir ditakwilkan.

Dua hal terakhir di atas dapat menjadi sebuah kriteria universal bagi kebenaran pengalaman esoterik dan mistik.


Solusi atas Keraguan-keraguan
Mengenai validitas pengalaman-pengalaman para urafa dan kemungkinan dukungan agama serta kriteria-kriterianya telah terlontarkan beberapa pertanyaan yang mendasar dan kasuistik, di antaranya:

1. Tidak dapat menerima repetisi (pengulangan). Dikarenakan pengalaman-pengalaman mistik para urafa bersifat individual, maka tidak dapat dikaji dan diuji oleh orang lain. Oleh karena itu, dari sisi validitas tidak akan mencapai derajat validitas pengalaman empirik. Bergson dalam menjawab pertanyaan ini berkata: Pertama, penemuan-penemuan saintis terkadang juga bersifat individual yang hanya didukung oleh seorang penemunya. Kedua, dapat dikatakan bahwa pengalaman esoterik juga dari satu sisi dapat dikaji ulang, yakni apabila dikatakan bahwa penelitian pada kejadian-kejadian empirik yang meskipun tidak mungkin secara aktual, akan tetapi secara potensial memiliki kemungkinan dan orang lain juga dapat melakukannya, dalam menjawab pertanyaan tersebut akan dikatakan bahwa perjalanan spiritual yang dilakukan oleh seorang sufi dan arif juga secara potensial dapat ditempuh oleh orang lain, dan terdapat jiwa-jiwa yang mampu menapaki jalan para urafa hingga mencapai puncaknya.[16]

2. Khayalan semata. Di antara kritikan yang dilontarkan atas kebenaran pengalaman-pengalaman mistik yang berpijak pada kesepakatan umum adalah dengan memperhatikan efek yang ditimbulkan oleh obat-obat penenang atau menggunakan narkotika. Para pengguna narkotika atau obet penenang itu secara umum akan melihat gambar-gambar dan benda-benda yang tidak nyata, maka adanya kesepakatan umum di dalam pengalaman-pengalaman semacam ini tidak dapat dianggap cukup dan anggaplah permasalahan ini tidak cukup menjadi buktik kebenarannya, jadi tetap ada kemungkinan ketidakbenarannya, sebagaimana bisa disaksikan bahwa dalam pengalaman-pengalaman empirik juga terdapat kemungkinan kesalahan penginderaan. Solusi atas keraguan ini: Pertama, sebagaimana yang telah lalu bahwa metode pembuktian kebenaran pengalaman-pengalaman semacam ini adalah merubah kondisi dan menghapus faktor-faktor yang berpengaruh atau kemungkinan berpengaruh dalam pengalaman – sebagaimana yang juga dilakukan dalam pengalaman-pengalaman empiris - dan pada contoh-contoh yang telah disebutkan, seperti dalam penggunaan bahan narkotika terdapat juga kesepakatan umum bahwa gambar atau benda yang disaksikan oleh pengguna dalam keadaan tak sadar itu merupakan gambar atau benda yang tidak hakiki. Kedua, antara pengalaman-pengalaman mistik dan khayalan-khayalan kosong dihasilkan dari obat-obat tersebut terdapat perbedaan-perbedaan mendasar,[17] di antaranya:

1. Asas metode mistik adalah menafikan pikiran-pikiran dan khayalan-khayalan, dan bahkan hadirnya pikiran dan imajinasi sebagai penghambat dan penghalang tujuan jalan spiritual.[18] Dengan kata lain, jalan irfan adalah penyempurnaan bukan menghiasi atau mengotori, dan termasuk dalam hal ini menghilangkan segala penghalang, bukan menggunakan bahan-bahan narkotika

2. Gaya hidup para urafa dan kebebasan jalan mereka dapat menjadi indikasi perbedaan pengalaman mereka dengan pengalaman yang lain.

3. Dari sisi pencapaian, pengalaman-pengalaman mistik para urafa senantiasa memberikan ketenangan dan keutamaan sedemikian rupa hingga setelah berakhirnya pengalaman mereka berharap merasakannya kembali, adapun mengenai mereka yang menggunakan obat-obat penenang dan narkotika tak ada pengaruh seperti itu.



Catatan Kaki:
[1] . Silahkan rujuk: William James, Din Wa Rawon, pasal ketiga; W.T. Stis: Irfan Wa Falsafeh, pasal kedua.

[2] . Din Wa Rawon, hal 62-64.

[3] . Irfan Wa Falsafeh, hal 111.

[4] . Mafhum-e Amr-e Qudsi, hal 49-53.

[5]. Al-Insan al-Kamil, Nasafy, hal 3 dan 4, juga Asrar asy-Syari’ah wa Athwar Ath-Thariqah wa Anwar Al-Haqiqah.

[6] . Dengan demikian setiap pengalaman esoterik tidak mesti berkonsekuensi pada kesempurnaan dan kedekatan kepada Tuhan. (Sayid Haedar Amuli, hal 8-9).

[7] . Perbedaan lain dua kategori pengalaman ini berada pada hal yang berhubungan dengan pengetahuan, yakni semacam rahasia yang menjelma kepada seorang nabi atau rasul. Majalah: Naqd Wa Nadhar, no 23 dan 24.

[8] . Dengan demikian orang-orang yang mengatakan bahwa kehadiran pengalaman-pengalaman mistik dari keyakinan-keyakinan sebelumnya atau mereka yang mengatakan keorisinilan indra dan keorisinilan fisik yang pada dasarnya mengingkari konsepsi hudhuri dan validitasinya, tidak dapat meyakini nilai filosofis irfan (menurut ungkapan Bergson). Bergson di dalam jawabannya terhadap mereka yang meyakini pengalaman-pengalaman sebagai satu bentuk irfan Kristen yang terlahir dari agama mereka, mengatakan bahwa kesepakatan para urafa lain dari agama-agama lain dengan urafa Kristen juga harus diperhatikan yang mana kesepakatan ini sendiri adalah sebuah pertanda kesatuan dan kemanunggalan kesaksian intuisi yang mengisahkan eksistensi nyata. Bergson pada akhirnya menambahkan: Walaupun pengalaman mistik dengan sendirinya tidak dapat menghadiahkan keyakinan final kepada filosof dan akan memberikan keyakinan apabila filosof itu sendiri menghadapi realita transenden tersebut di dalam pengalamannya, hal ini dapat menjadi indikasi kebenaran permasalahan-permasalahan metafisik. Dia meyakini kesatuan jalan menuju alam metafisik adalah berpegang teguh kepada irfan dan pengalaman-pengalaman mistik secara langsung. (Silahkan rujuk: Sarcesyme-ye Akhlak Wa Din, hal 274 dan 278).

[9] . Hikmah Al-Isyraq, hal 156.

[10]. Din Wa Rawon, hal 96.

[11]. Dalam hal ini, silahkan merujuk kepada, Tajrube-ye Diny, penejemah Yazdani Mukhereh, hal 318, 325 dan 327.

[12] . Golsyan-e Roz, bait 30

[13] . Dalam hal ini, Richard Swinburne berkeyakinan bahwa dalam pengalaman-pengalaman religius dan mistik pada prinsipnya adalah valid, kecuali terbukti kabalikannya dengan berbagai indikasi dan bukti. Silahkan merujuk kepada, Aql Wa I’tiqad-e Diny, hal 63.

[14] . Silahkan merujuk kepada, Tamhid Al-Qawa’id, hal 7 dan 11. Iqbal Lahuri, Ihya-e Fikr-e Diny Dar Islam, hal 23 dan 34.

[15] . Di antaranya, Ibnu Arabi berkata bahwa setiap pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman mistik yang tidak bertentangan dengan syariat adalah benar, dan jika tidak demikian maka tidaklah menjadi valid. Al-Thariq Ila Allah, hal 129.

[16] . Du Sarcesyme-ye Akhlak Wa Din, hal 276 dan 268.

[17]. Yang menarik adalah seperti sebagian agama Barat pengklaim irfan yang dasarnya adalah menggunakan obat-obat pemberi imajinasi, pada masa dahulu juga hal ini sempat ramai di kalangan sebagian kelompok sufi dengan bentuk bid’ah.

Dalil perihal ini adalah mereka dan para murid yang tidak mampu menggapai pengalaman-pengalaman mistik hakiki, segera menuju metode-metode buatan atau palsu; sebagaimana ketika di hadapan setiap realitas akan ditemukan sebuah hal palsu dan tidak original dan dengan alasan kemiripan di dalam zhahirnya mereka menampakkan diri di dalam wacana hakekat dan irfanpun tidak terkecualikan dari fenomena ini.

[18]. Tajrube-ye Diny, Penerjemah: Yazdani Mukhereh, hal 375.

9
NEO-TEOLOGI I

Telaah Kritis Perbedaan Wahyu dan Pengalaman Keagamaan
Pengalaman keagamaan (religious experience) adalah sebuah komprehensi yang muncul di dunia Barat pada abad kedua puluh, dan pada zaman kemunculannya itu juga ia menghadapi dilema serius dalam pendefinisian yang tepat; sebab perbedaan dalam definisi dan tafsir yang tidak dapat dihindari dalam dua kosa kata, pengalaman dan agama. Sebagian memandang pengalaman keagamaan itu sebagai suatu kejadian dimana pribadi yang mengalaminya dinisbahkan terhadap kejadian tersebut mempunyai pengetahuan tentangnya. Pribadi pelaku, memandang pengalaman ini bergantung pada suatu maujud atau suatu kehadiran yang metafisis, seperti Tuhan atau manifestasi-Nya dalam suatu perbuatan atau ia menyangka suatu maujud dengan suatu bentuk yang berhubungan dengan Tuhan, seperti tajalli Tuhan atau seorang pribadi semisal Maryam 'Udzara As.

Pengalaman, memiliki pengertian yang luas dan dimutlakkan atas fenomena yang sangat beragam; sedemikian hingga, dari pengalaman panca indera biasa sampai mimpi, imajinasi, dan kondisi-kondisi luar biasa (supranatural) -yang tanpa ikhtiar (kemauan sendiri) atau dengan ikhtiar dan hasil pengaturan sempurna- semuanya terhitung sebagai pengalaman. Akan tetapi, kemestian pengalaman keagamaan itu sendiri harus disifatkan dengan suatu sifat dari sudut tinjauan pelakunya; yakni suatu pengalaman dimana pelaku memandang dan memahaminya sebagai suatu agama atau dengan kata lain, pelaku memandang atas kandungan dari pengalaman tersebut berada dalam koridor agama.

Pengalaman keagamaan berbeda dengan bashirah (insight) keagamaan; sebab pengalaman keagamaan (sesuai dengan aplikasi kita dalam tulisan ini) memestikan berhadapan dengan Tuhan atau hakikat paling akhir (hakikat paling tinggi, the ultimate reality), sedangkan bashirah keagamaan tidak mengharuskan seperti itu. Namun, pengalaman keagamaan dapat saja menjadi pangkal bashirah keagamaan; sebab syarat pengalaman keagamaan tidak lain adalah Tuhan dan hakikat paling akhir, yang menjadi subyek dari pengalaman tersebut.

Adapun ragam dan macam pengalaman keagamaan antara lain:

1. Pengalaman ketuhanan dengan perantara sesuatu yang terasakan (terinderai) dan muta'araf (ordinary); seperti menyaksikan seorang pribadi muqaddas (kudus);

2. Pengalaman ketuhanan dengan perantara sesuatu yang terasakan dan tidak muta'âraf; seperti menyaksikan-Nya dengan perantara pohon yang menyala dan tidak terbakar;

3. Pengalaman ketuhanan dalam domain bahasa indera muta'âraf; seperti menyaksikan-Nya dalam mimpi atau mukasyafah;

4. Pengalaman ketuhanan dalam domain bahasa tidak muta'âraf dan tidak menerima pensifatan;

5. Pengalaman ketuhanan dengan tanpa perantara setiap bentuk penginderaan atau perasaan, dimana dalam kondisi ini pribadi (pelaku) mendapatkan informasi kehadiran Tuhan dalam bentuk syuhudi.


Pandangan Tentang Pengalaman Keagamaan
Pertama: Pengalaman keagamaan adalah suatu pengalaman yang tidak bersifat akal dan makrifat, tetapi semacam perasaan (sensibility) yang tidak bisa dituangkan dalam batas perbedaan komprehensi dan pemahaman, dan juga semacam penjelasan metafisis; kendatipun kelaziman darinya kita memandang bahwa perenungan filosofis dan teologis (dalil dan argumen serta konklusinya) merupakan natijah dan perkara kedua dari pengalaman keagamaan.

Kedua: Pengalaman keagamaan adalah suatu pengalaman yang berlandaskan atas persepsi perasaan dan merupakan ciptaan persepsi perasaan; yakni bukan merupakan hasil dari istidlal akal dan tidak memiliki perenungan filosofis dan teologis serta berada di luar kerangka dalil dan silogisme. Oleh karena itu, dia adalah suatu pengalaman imani (belief).

Kebanyakan filosof peneliti agama di Barat, menegaskan dan menguatkan pandangan pertama dan menyatakan bahwa pengalaman keagamaan mengandung pemahaman, kaidah dan aturan bahasa, dan metodelogi argumentasi.


Kesatuan Esensi Pengalaman Keagamaan
Sebagian berkeyakinan bahwa pengalaman-pengalaman keagamaan seluruhnya memiliki unsur-unsur yang sama, masalah ini, khususnya dalam pengalaman irfani dan sufistik nampak lebih jelas; yakni dalam pengalaman keagamaan yang mengandung makrifat dari realitas paling akhir (paling tinggi), arif sampai pada derajat kesatuan denga realitas paling akhir; baik dari dimensi makrifat (gnostikal) maupun dari dimensi eksistensial. Ini adalah suatu esensi dan hakikat yang melampaui dinding-dinding dan batas-batas agama, firkah, mazhab, dan kebudayaan yang beragam.

Dalam berhadapan dengan pandangan di atas, suatu kelompok lain yang berkeyakinan bahwa tidak satupun pengalaman tanpa perantara komprehensi-komprehensi dan keyakinan-keyakinan; bahkan ilmu terhadap nafs yang dihasilkan dari deduksi yang merupakan paling baiknya contoh pengalaman syuhudi. Oleh karena itu, kepercayaan, budaya, dan agama membatasi pengalaman keagamaan dan setiap tradisi serta agama mempuyai pengalaman khusus bagi dirinya. Jadi, keyakinan-keyakinan yang ada memberi bentuk kepada pengalaman-pengalaman keagamaan.[1]

Berasaskan hal ini, sebagian cendekiawan kontemporer memasukkan wahyu dalam koridor pengalaman keagamaan dan memandangnya sebagai pilar kepribadian dan kenabian para nabi. Dalam pengalaman ini, nabi melihat seakan-akan seseorang datang padanya dan membacakan di telinga dan kalbunya pesan-pesan dan perintah-perintah serta memberi tanggung jawab padanya untuk menyampaikan pesan-pesan itu kepada orang-orang, dan sebagai efek dari hasil pengalaman ini ia merasakan adanya tugas dan tanggung jawab baru. Ghazali juga dalam kitab "al-munqidzu min ad-dhalâl" menyinggung poin ini -pengalaman keagamaan- dengan ungkapannya: Dengarkanlah ucapan-ucapan para nabi, sungguh mereka telah mengalami dan menyaksikan Hak pada seluruh apa yang datang padanya dari syariat dan berjalanlah pada jalan mereka niscaya kamu akan mengalami penyaksian sebagian dari itu.[2]


Beberapa Ambigu Dalam Pengalaman Keagamaan
Masalah pengalaman keagamaan dari sudut pandangan cendekiawan Barat dan lainnya, telah menjadi bahan pertanyaan dan diskursus serius dan tidak menampakkan secara jelas dan terang wajahnya serta tidak kosong dari konplik dan pertentangan; misalnya dapat ditujukan beberapa pertanyaan berikut ini:

1. Dengan parameter apa dapat diketahui dan dibedakan pengalaman keagamaan dari pengalaman akhlak, pengetahuan seni, perasaan gembira, perasaan bersalah, dan perasaan takjub? Pengalaman, dalam contoh biasa, seperti seseorang melihat sesuatu sebagai beruang atau macan dan merasa takut, tetapi lainnya berkata tidak ada beruang atau macan; tetapi yang ada adalah batang pohon.

2. Apakah suatu pengalaman dapat diberi nama pengalaman keagamaan; padahal kita tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentangnya? Apakah mendapatkan kandungan keagamaan dari jalan pengalaman tidak mengindikasikan "kedahuluan sesuatu atas dirinya" (taqaddum syai 'ala nafsihi)?

3. Mengapa harus agama Budha, Hindu, Kristen, dan agama lainnya dipandang sebagai tradisi keagamaan, tetapi Marxisme tidak dipandang sebagai tradisi keagamaan atau terdapat keraguan terhadap maktab (school of thought) Humanisme?

4. Apakah jika seseorang memandang suatu pengalaman sebagai pengalaman keagamaan, yang melihat dan yang mendengar juga harus memandang pengalamannya sebagai pengalaman keagamaan?

5. Apakah dapat diadakan tolok ukur dan parameter kebenaran pengalaman keagamaan dan tercipta kesepakatan pandangan, sebagaimana segolongan dari urafa berkeyakinan atas ini? [3]


Kedudukan Logikal Pengalaman
Pengalaman -sebagaimana yang dibahas dalam ilmu Logika- adalah suatu peristiwa yang dihukumi manusia dikarenakan penyaksiannya yang berulang kali. Ketika seseorang menyaksikan suatu peristiwa secara berkali-kali dan mengujinya, maka jiwanya menjadi yakin dengannya serta menghukuminya secara pasti; seperti hukum pasti bahwa setiap api niscaya membakar; ini dikarenakan dia menyaksikan peritiwa itu berulang-ulang kali dan melakukan pengujian terhadapnya dan seperti hukum terhadap hubungan derajat panas tertentu dengan memuainya besi serta hukum terhadap kemendidihan air dalam 100 derajat Celcius. Kebanyakan masalah-masalah ilmu Fisika, Kimia, Biologi, Kedokteran, dan ilmu Eksprimen diperoleh dari jalan pengujian dan pengalaman ini.

Konklusi yang dihasilkan ini dalam analisa dan pengujian yang kurang sempurna, pada dasarnya bertumpu atas landasan penemuan sebab, dan penemuan-penemuan sebab ini dikarenakan keberadaan dua qiyâs (silogisme) tersembunyi dalam kedalaman jiwa manusia: yaitu qiyâs istitsnâî (suatu bentuk silogisme dimana konklusi itu sendiri atau kontranya secara aktual disebutkan dalam mukadimah-mukadimah) dan qiyâs iqtirânî (suatu bentuk silogisme dimana natijah itu sendiri atau kontranya tidak disebutkan secara aktual dalam mukadimah-mukadimah); dan jika tidak ada demikian maka tidak seorangpun akan mengklaim bahwa semua air akan mendidih dalam 100 derajat Celcius atau semua besi akan memuai dalam derajat panas tertentu dan klaim-klaim lain seperti ini dalam ilmu Fisika, Kimia, Biologi, dan ilmu Alam lainnya.

Qiyâs istitsnâî yang disebutkan di atas dalam masalah mendidihnya air adalah: Sekiranya hasil efek ini (mendidihnya air pada 100 derajat Celcius) kebetulan dan terjadi tanpa sebab, maka tidak harus terjadi selamanya, tetapi kita menyaksikannya demikian dalam seluruh zaman. Maka dari itu, hasil efek ini bukanlah kebetulan; akan tetapi terdapat suatu penyebab yang menyebabkannya sehingga demikian.

Qiyâs iqtirânî juga dalam masalah ini berbentuk seperti ini: natijah silogisme sebelumnya dijadikan sebagai premis minor dan kita mengatakan: hasil efek ini adalah akibat dari suatu sebab, dan dalam premis mayor qiyâs kita mengatakan: dan tidak satupun akibat melanggar (menyalahi) sebabnya. Oleh karena itu, efek ini (mendidihnya air pada 100 derajat Celcius) selamanya tidak terpisahkan dari sebabnya (yakni dari 100 derajat Celcius). Jadi, selamanya sebab ini menyertai akibatnya. Ketika kita menemukan sebab maka kita menghukuminya secara pasti, yakni dalam kasus ini setiap air akan mendidih dalam panas 100 derajat Celcius.

Dengan keadaan ini, tidak seorang pun yang nekat dan gegabah mengklaim bahwa setiap eksperimen dan pengalaman niscaya pasti sesuai dengan kenyataan; sebab sangat banyak dari pengalaman dan eksperimen mengalami kesalahan dikarenakan si pelaku tidak menemukan "sebab"nya secara akurat atau ia menempatkan "sebab nâqish" (kurang, tidak sempurna) pada kedudukan "sebab sempurna" atau ia menyangka sesuatu yang aksiden sebagai yang esensial; misalnya jika seseorang lahir dalam area orang-orang yang berkulit putih dan menyaksikan bahwa setiap anak yang lahir adalah berkulit putih, jika ia berkata: seluruh manusia adalah berkulit putih, maka penghukuman dia dalam masalah ini tentulah salah; yakni ia telah menempatkan sifat aksiden pada sifat esensial.[4]

Berdasarkan ini, mungkin saja seseorang memandang suatu pengalaman sebagai pengalaman keagamaan dan dia merasakan dari internal dirinya itu adalah dîny (keagamaan), tetapi pada hakikatnya pengalaman ini sendiri berhadapan dengan suatu keraguan besar; sebab pengalaman ini merupakan pengalaman dan penyaksian batin pribadi sipelaku sendiri dan pengalaman seperti ini tidak terlepas dari keberadaan faktor-faktor dan penyebab-penyebab yang beragam yang bukan keagamaan; yakni pengalaman ini, bukanlah suatu jenis pengalaman dan eksperiman yang berada dalam kerangka ilmu dan sains lainnya yang dapat disaksikan dan diuji di laboratorium -seperti Pharmacology, Fisika, Kimia, Kedokteran, Biologi, dan lainnya- serta pengalaman ini tidak didukung oleh kebadihian dan sense universal dan tidak disertai dengan silogisme tersembunyi (seperti yang kita sebutkan dalam masalah mendidihnya air dalam 100 derajat Celcius).

Oleh karena itu, dari sudut tinjauan logikal, pengalaman keagamaan pribadi bermasalah (isykal).


Definisi Agama
Mungkin saja terdapat definisi yang beragam untuk agama, tapi di sini kami cukup menyebutkan dua definisi saja, yang satu khusus dan lainnya umum.

1. Agama, adalah sekumpulan dari akidah, akhlak, hukum dan fiqih Ilahi yang membentuk proses teoritis dan praktis orang yang beragama. Dalam bentuk ini, apabila seseorang mempersepsi suatu realitas dengan penyaksian batin, maka ia akan menganggapnya sebagai pengalaman keagamaan; tentu saja penyaksian dia terkadang berhubungan dengan "harus" dan "tidak boleh" dan terkadang berhubungan dengan "ada" dan "tidak ada" dan juga secara minimal berhubungan dengan "ada" dan "manifestasi". Pengalaman-pengalaman ini, semuanya tidak dalam satu tingkatan; sebab para pelakunya tidak dalam satu tingkatan; sebab sebagian adalah ahli sair suluk (tarekat) dan sebagian lainnya tidak menapakkan kakinya dalam jalan ini, dan terkadang mereka mengalami suatu pengalaman batin secara kebetulan dan mungkin saja mereka ini tidak memilih agama yang benar.

2. Agama, adalah sekumpulan ajaran yang lebih luas dari akidah, akhlak, hukum, fiqih Ilahi dan non-Ilahi. Dalam bentuk ini, maka Marxisme dan Humanisme juga termasuk sebagai agama dan suatu maktab; sebagaimana al-Qur'an juga menggunakan kata agama dengan makna umum dan mutlak, misalnya al-Qur'an menukil perkataan Fir'aun: "Sesungguhnya aku khawatir dia (Musa As) mengganti agama kamu atau melakukan kerusakan di bumi".[5] Agama para Fir'aun adalah penyembahan berhala; bukan agama tauhid yang menerima wahyu, ma'âd, kenabian, dan mukjizat. Mereka dalam istilah adalah orang yang beragama; yakni sekumpulan dari undang-undang yang dengan berbagai kecenderungan dan faktor, tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat, diterima dan disebut oleh mereka sebagai agama. Dari sisi ini, Fir'aun berkata: Saya khawatir Musa As akan menimpakan bahaya dengan menukar sekumpulan dari keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi yamg kamu terima dan sebut sebagai agama.

Oleh karena itu, jika kita memandang agama adalah suatu hakikat yang diafirmasikan dengan media para nabi As dan rasul Ilahi serta musyahadah mereka, sebagaimana al-Qur'an menyebutkan: "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam…"[6] maka yang lain yang tidak dari jalan ini tidak bisa disebut sebagai agama; apakah sesuatu itu didapatkan dari alam mitsâl muttashil, seperti adhghaâtsu ahlâmin (mimpi yang bercampur aduk) atau mimpi shâdiq (benar), dan ataukah dari alam mitsâl munfashil, sebagaimana yang terkadang diklaim oleh kaum yoga Hindu dan kaum pertapa Budha, ataukah sesuatu yang Marxisme, Humanisme dan penyembah berhala utarakan dan slogankan tentangnya.

Fir'aun adalah penyembah berhala. Dari sisi ini, pembesar-pembesar kaumnya dalam mengkritisi dia berkata: Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) lalu meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?[7] Fir'aun, kendatipun dia adalah penyembah berhala, namun dia memandang dirinya sebagai pengelola, pengatur, dan penguasa tanah Mesir dan berkata: selain saya tidak seorang pun yang berkuasa atas kalian, pandangan saya yang berkuasa dan harus undang-undang yang diberlakukan berdasarkan kehendak saya, Fir'aun berkata: "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi"[8]; "…tidak aku ketahui Tuhan bagimu selainku…"[9]; tapi tentu saja Fir'aun tidak akan berkata: saya adalah wajib al-wujud dan aku yang menciptakan alam serta kamu.

Oleh karena itu, penamaan dan penyebutan agama adalah berhubungan dengan istilah. Jika agama kita pandang sebagai suatu perkara Ilahi yang berasaskan musyahadah-musyahadah gaib dan alam mitsâl munfashil serta akal munfashil -dimana hak adalah ini- maka sangat banyak apa yang disebut agama dan masyhur sebagai agama, bukanlah agama; adapun jika kita tidak mensyaratkan syuhud ghaibi atau perkara Ilahi dalam penamaan suatu agama atau maktab -sebagaimana al-Qur'an juga terkadang memutlakkan penamaan agama terhadap maktab batil- maka makna agama dalam hal ini adalah sangat luas.

Perlu kita ingat bahwa sesuatu yang diperoleh lewat pengalaman keagamaan, tidak mesti sebelumnya diafirmasikan keagamaannya; akan tetapi cukup jika ia itu adalah tipe makna-makna keagamaan dan tidak menyalahi prinsip-prinsip akidah, akhlak, hukum, dan fiqih.

Mungkin bisa dikatakan bahwa semua masyarakat memiliki semacam penyembahan kepada Tuhan, bahkan para penyembah berhala; sebab mereka yang menyembah berhala itu, berasaskan persangkaan dan keyakinan mereka bahwa dalam berhala terdapat uluhiyyat (divinity). Jadi, mereka ini menyembah sesuatu yang menurut konsepsi mereka, dia itu adalah Tuhan yang Hak atas seluruh alam; tetapi dikarenakan dalam maqam penegasan (tashdiq) mereka itu menyangka sesuatu sebagai Tuhan yang realitasnya bukan Tuhan dan itu juga yang mereka hukumi benar maka mereka itu dikategorikan kafir (yakni kafir secara tashdiq atas Tuhan Hak). Oleh karena itu, mereka pada dasarnya sampai kepada konsepsi terhadap realitas, tetapi mereka dalam maqam tashdiq adalah keliru dan salah. Berasaskan tinjauan ini, mereka dari dimensi ini tidak berbeda dengan kebanyakan orang-orang muslim.[10]


Musyahadah Wahyu
Terkadang manusia dalam proses musyahadah batin, ia menyaksikan matlab dan kandungan makrifat yang sangat dalam untuk pertama kalinya dan ia tidak mempunyai sedikit pun perasaan ragu tentangnya, sebagaimana ia meyakini secara jelas dan terang bahwa 2 + 2 = 4. Penyaksiannya ini tidak butuh pengulangan, tidak butuh dukungan burhan akal, dan tidak juga butuh pada sandaran muktabar nakli. Kendatipun boleh jadi bahwa bentuk kejelasan dan kepastian ini merupakan tipologi dari keyakinan psikologis, bukan keyakinan logikal. Dan selama ia tidak diobservasi dengan suatu mizan akal dan parameter burhan akal maka untuk menentukan keyakinan logikal dari keyakinan psikologis adalah tidak mudah; meskipun pribadi yang mempunyai keyakinan mendapatkan dirinya tidak butuh terhadap parameter argumentasi akal.

Musyahadah internal (batin) para nabi dan wahyu Tuhan -sebagai suatu tasybih (pendekatan dengan penyerupaan) yang rasional dengan yang terinderai (tasybih ma'qûl dengan mahsûs)- adalah seperti kejernihan dan kejelasan hissi (sense) yang gamblang (badihi) bagi manusia. Musyahadah hissi manusia terdiri dari dua bentuk: musyahadah tanpa keraguan dan dengan keraguan. Ketika kita membuka mata dan kita menyaksikan cahaya matahari serta melihat udara terang, kita tidak mempunyai keraguan terhadap "terang" ini dan manusia yang menyaksikan untuk pertama kalinya udara terang, akan memahami kandungan ini -yakni terangnya dia-; kendatipun ia tidak dapat menyebutkan namanya atau hal itu sama sekali tidak mempunyai nama.

Demikian pula seseorang yang membawa tangannya di atas api, tidak diragukan bahwa ia akan merasakan tangannya pedih terbakar, dan seseorang yang dalam kondisi lapar niscaya ia tidak mempunyai keraguan dalam kelaparan dirinya; sebab semua ini merupakan perkara hissi yang tidak menerima keraguan. Sebaliknya, jika seseorang berkehendak mengobservasi dan melakukan eksperiman terhadap khasiat suatu tumbuhan obatan, hanya dengan syarat tertentu dan pengulangan yang berkali-kali ia akan berkesimpulan tentang khasiatnya; sebab dalam pengalaman dan eksperimen ini ia berhadapan dengan berbagai keraguan.

Apa yang para nabi konsepsi dengan nama wahyu, niscaya tidak butuh pada pengulangan, topangan burhan akal, atau sanad standar naqli; mereka menyaksikan dengan terang, jernih, dan jelas paling dalam dan paling beratnya masalah-masalah metafisika dan paling sulit serta rumitnya masalah-masalah fisika (alam materi), dan jika orang menyebut dan menamakan itu pengalaman keagamaan maka tidak ada komentar dalam masalah penamaan, dan bentuk penamaan ini bukanlah hal yang tauqîfy (terbatasi, tidak bisa dinalar).

Di sini ada beberapa poin yang urgen disebutkan:

1. Eksistensi mempunyai dua dimensi; dimensi gaib dan dimensi syahadah;

2. Dimensi gaib dan metafisik adalah hak, benar, murni, dan sempurna, sementara dimensi syahadah adalah bercampur hak dan batil, benar dan bohong, murni dan tidak murni, serta sempurna dan kurang;

3. Dalam inti dan pusat hak tidak ada jalan bagi kebatilan, dan para nabi menjumpai dan sampai pada istana ini, sementara yang lain -meskipun mereka telah dekat dengan istana mani' (tercegah dilewati) itu- akan tetapi mereka tidak terjaga dan terpelihara dari sistem kerja khiyâl (khayalan) dan wahm (fantasi);

4. Oleh karena itu, garis demarkasi antara wahyu para nabi dengan setiap bentuk musyahadah irfani dan pengalaman keagamaan tetaplah terjaga.


Di samping poin-poin di atas, juga kami membawakan suatu hadits dari Imam Shadiq As yang perlu ditelaah; Zurarah bertanya pada Imam Shadiq As: Bagaimana Rasulullah Saw ketika suatu pesan datang padanya dari sisi Tuhan, ia tidak khawatir bahwa jangan-jangan pesan ini datang dari Iblis dan ini adalah setan yang melakukan campur tangan pada kalbunya? Imam Shadiq berkata: Tuhan, ketika Dia mengangkat seorang hamba sebagai rasul-Nya, maka Dia menurunkan padanya sukûnat (occupancy) dan waqâr (serenity), dan sebagai natijahnya, pembawa pesan Tuhan datang padanya dan Rasulullah melihatnya dengan mata; seperti dia melihat orang-orang lain dengan mata.[11]

Para nabi dan rasul Tuhan, dikarenakan tajarrud nafs, kejernihan ruh, dan kesucian batin yang mereka miliki, mereka sampai pada tahap eksistensial tertentu dimana tidak terdapat padanya kabatilan, kebohongan, ketaksesuaian dengan kenyataan, dan skeptis serta keraguan. Mereka, dikarenakan sampai pada suatu maqam dimana di situ tidak ada sama sekali kebatilan, mereka layak mendapatkan dan menyaksikan hak definite (nyata) secara jelas, jernih, dan terang; sebab dalam istana Haq Ta'alâ tidak ada selain Hak dan di situ tidak ada tempat parade bagi kebatilan, kebohongan, dan kekhilafan, serta was-was setan tidak mempunyai jalan pada maqam tersebut. Oleh karena itu, wahm dan tipuan setan tidak berfungsi pada maqam itu; sebab plafon dan batas ketinggian tajarrud (keabstarakan, kenonmaterian) setan dan tempat paradenya hanya sampai pada tajarrud wahmi dan dia (setan) tidak dapat sampai pada maqam hak dan ikhlas -dimana maqam ini adalah tajarrud murni, dan bersih dari setiap bentuk percampuran-, karena itu, hak dari sisi ini jauh dari jaring-jaring jeratan setan.

Apa yang insan kamil dan mukhlashîn dapatkan dalam maqam tajarrud sempurna, sama sekali tidak mungkin tercampuri, terkotori, dan tersamarkan, sehingga setan tidak dapat membuat gantinya dan menyiapkan yang serupa dengannya serta melakukan tipu daya atasnya. Oleh karena itu, nabi dalam mitsâl mutthashil -seperti sebagian dari mimpi-mimpi- dan dalam mitsâl munfashil -seperti melihat malaikat wahyu dalam kondisi tidak tidur- hanya menyaksikan dan mendengarkan hak, dan syuhud (penyaksian) serta kasyfnya (penyingkapan) semuanya adalah hak murni.

Jalan pengamalan ini, telah menyebabkan Amirul Mukminin Ali As berkata: Sejak zaman diperlihatkan padaku hak dan aku mendapatkannya, sejak itu aku tidak punya syak dan keraguan[12] (saya selalu kukuh dalam kebenaran dan selamanya kebatilan tidak pernah mendapatkan jalan padaku), dan pada kesempatan lain dia berkata: Tidak pernah sama sekali aku berkata dusta dan tidak pernah aku didustai (aku tidak pernah dengar dusta dari nabi; sebab nabi dan imam adalah bersih dan suci dari dusta) dan aku tidak pernah sesat dan tak seorang pun sesat karena aku.[13]

Kendatipun Imam Ali As bukan seorang nabi, rasul, dan penyampai wahyu tasyri'î, tetapi dia mendengar thanîn (dering, bunyi) wahyu dan melihat malaikat wahyu; sebagaimana sabda nabi Saw kepadanya: Sesungguhnya engkau mendengar apa yang aku dengar dan engkau melihat apa yang aku lihat kecuali bahwa engkau bukanlah seorang nabi.[14] Setan dalam atmosfir seperti ini tidak punya jalan untuk masuk dan di sini bukanlah wilayah sayap wahm untuk terbentangkan; yakni juga suluk syuhud mereka adalah hak dan juga masyhud mereka, dan tidak butuh sama sekali pada pengulangan pengalaman, dukungan burhan dan silogisme akal, atau sanad muktabar nakli; bahkan dia sendiri adalah penopang argumen akal dan dalil muktabar nakli itu sendiri.

Amirul Mukminin Ali As, pesâlik (peniti) jalan ini dan ârif billah, mengungkapkan realitas itu dalam bentuk ini: arif pada hak, pada hakikatnya adalah orang yang menghidupkan akalnya (dengan ketaqwaan dan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya) dan mematikan nafsnya (dengan riyâdah dan penghambaan di jalan Tuhan); sedemikian hingga sampai lebarnya (badannya) kurus dan ucapannya (hatinya) menjadi lembut dan baginya pancaran terang penuh cahaya (dia mendapatkan jalan pada makrifat tinggi ketuhanan). Lantas cahaya benderang itu menunjuki dia jalan hidayah dan kebahagiaan dan dengan cahaya itu juga dia melewati jalan hak, dan pintu-pintu kesalehan, ketakwaan, dan ibadah mengangkat dia sampai pintu keselamatan dan mengantar dia pada rumah (tempat) kediaman dan kaki-kakinya dengan ketenangan badannya tegak pada tempat yang aman dan sentosa; dikarenakan itu maka hatinya menjadi bekerja (merenung, berpikir) dan dia membuat Tuhan-Nya ridha dan senang.[15]


Pengalaman Manusia Non Maksum
Pengalaman orang-orang yang bukan nabi dan pemimpin (imam) maksum, apakah itu kasyf dan syuhud, mimpi, atau merasakan perkara mutthashil dan munfashil dari nafs dan badan (tidak seperti kondisi tidur dan kondisi manâmiyyah), semuanya itu butuh dipresentasikan dengan mizan sehingga jelas kesahihan dan ketaksahihan mereka dan menjadi terang nilai dan validitas mereka; sebagaimana riwayat-riwayat harus dipresentasikan dengan al-Qur'an, sunnah qat'î, dan khabar mutawatir.

Yakni sebagaimana al-Qur'an dan sunnah qat'î serta khabar mutawatir adalah mizan khabar-khabar dan hadits-hadits masykuk (diragukan) dan dengan mereka dipisahkan hadits buatan dan palsu dari hadits sahih dan muwatssaq, demikian juga hasil kasyf dan syuhud serta pengalaman keagamaan harus memiliki mizan dan parameter yang menjadi tolok ukurnya, sehingga syuhud orang yang musyahadah dan pengalaman para ârif dipresentasikan dengannya.

Kesimpulannya, secara umum apa saja yang dapat menerima kesalahan maka mesti dihadapkan pada mizan yang tidak menerima kesalahan; sebab secara pasti pengalaman-pengalaman yang lainnya tidak seperti pengalaman para nabi yang maksum dan dalam landasan konsepsi dan tasdiknya, dapat dimasuki dan menerima cacat, kekurangan, dan kesalahan, maka niscaya mereka itu membutuhkan mizan.

Pengalaman-pengalaman natural dan material, eksperimen kedokteran, pengalaman politik, sistem pemerintahan, budaya, sistem ekonomi, dan lainnya, semua mereka itu keluar dari bahasan ini; sebab dalam alam tabiat dan natural, obyek-obyek persepsi yang menjadi bahan analisa dan penelitian adalah obyek-obyek yang mesti terjadi perlawanan dan pertentangan di antara mereka. Sebagai asumsi, mungkin saja pengaruh pengobatan suatu tumbuhan tertentu hanya terkhususkan pada suatu wilayah tertentu dan pada wilayah lainnya tidak memberikan natijah pengobatan. Atau mungkin saja tejadi kesalahan dalam menentukan kedzatian (keesensilan) atau keaksidenan, dimana yang menempati kedudukan dzati adalah aksiden atau kesalahan dalam menentukan sebab, karena sebab sempurnanya tidak diketahui. Demikian pula, sistem persepsi juga terkadang mesti salah; seperti ahwal (orang yang matanya juling) melihat satu benda adalah dua benda. Atau seorang yang melakukan eksperimen mendapatkan suatu pengalaman yang menyalahi pengalaman pelaku eksperimen lainnya dalam satu obyek yang sama, dan terkadang keduanya (yang mempersepsi dan obyek dipersepsi) ditimpa penyakit atau cacat sehingga kesalahan tidak bisa terhindari.

Akan tetapi, dalam pengalaman supra natural dan metafisis, hanya para nabi maksum As dan mereka yang berada pada mahram rahasia wahyu serta mereka yang menyaksikan apa yang para nabi saksikan, yang terjaga dan terpelihara dari setiap bentuk kekeliruan dan kesalahan. Nabi Saw, tidak akan berkata-kata selain dari jalan wahyu dan pembicaraannya senantiasa terjaga dari hawa nafsu dan kesalahan-kesalahan psikologis, serta indera, khayal, wahm, syuhud, dan akalnya, semuanya selalu terpelihara dari kesalahan dan kekeliruan. Dia, pertama menyaksikan matlab-matlab transendental ('âly) dengan syuhud kalbu dan kemudian menganalisanya dengan rasionalisasi argumentasi, dan yang terakhir baru kemudian mengungkapkannya dengan penalaran rasional dan logikal.

Pembicaraan dia adalah irfani dan sufistik atau hikmah dan filosofis atau teologis atau akhlak dan hukum (fiqih), dan tidak satupun dari tahapan-tahapan persepsinya -indera, khayal, wahm, akal, dan syuhud- dapat dimasuki kesalahan, fallacy, dan tadlîs: "Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya".[16]

Insan kamil ini, jika dia adalah seorang nabi -di samping mendapatkan ilham-ilham inbâîy- maka dia mempunyai wahyu tasyriî; dan jika bukan (seorang nabi) maka dalam wujudnya terdapat suatu substansi yang membuatnya lebih utama dan sempurna dari lainnya, dan dalam sisi ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita; seperti para imam maksum As dan juga seperti hadhrat Fatimah Zahra As, ibunda Musa, dan hadhrat Maryam As.

Perlu kita ketahui bahwa sebagian dari pengalaman-pengalaman keagamaan, mungkin disertai dengan kondisi dan sifat khusus, seperti:

1. Sesuatu yang diperoleh dari mitsâl mutthashil, seperti mimpi dan kondisi-kondisi manâmiyyah (yang berkenaan dengan mimpi);

2. Pengalaman-pengalaman yang tidak diketahui dari mitsâl mutthashil atau dari mitsâl munfashil dan jalan keraguan serta zhan (persangkaan) pada mereka adalah terbuka;

3. Sesuatu yang diperoleh dari mitsâl munfashil, seperti: "…maka dia menampakkan diri dihadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna"[17]; malaikat Jibril As dalam bentuk manusia yang sempurna zahir dan menampak atas hadhrat Maryam As;

4. Seluruh musyahadah-musyahadah sahih dan pengalaman-pengalaman keagamaan benar, di bawah naungan wilayah Ilahi para Nabi As, yang menjadi bagian dari para pengikut benar mereka, dan pengujian benar dan salahnya musyahadah dan pengalaman keagamaan berada dalam kerangka komparatif dengan apa yang diperoleh oleh Para nabi As.


Evaluasi Jalan-Jalan Mendapatkan pengalaman Keagamaan
Pengalaman-pengalaman yang didapatkan manusia dari mitsâl mutthashil dan juga pengalaman-pengalaman yang tidak diketahui apakah ia dari mitsâl mutthashil ataukah dari mitsâl munfashil, semuanya itu dalam wilayah kemungkinan ditimpa kesalahan. Kendatipun alam mitsâl mutthashil dan alam yang lebih tinggi darinya adalah alam metafisika dan tidak mempunyai dimensi gerak serta tidak punya persentuhan dengan kondisi materi, akan tetapi dari dimensi pengalaman (persepsi), pelaku pengalaman (yang mempersepsi), dan obyek pengalaman (yang dipersepsi), kemungkinan ditimpa kekeliruan dan kesalahan; sebab apa yang disaksikan pelaku pengalaman dalam mimpi dan alam tidurnya, meskipun ia yakin akan kebenarannya, tetapi itu dari hasil potensi khayal dia dan dalam potensi ini, terdapat ihtimal ketidakterjagaan dari gangguan dan tipu daya setan.

Demikian pula pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari jalan mitsâl munfashil, walaupun dalam mitsâl munfashil tidak ada jalan bagi kebatilan dan kecacatan dan apa saja yang diperoleh dari alam ini semuanya adalah pengalaman rabbani, tetapi pengalaman-pengalaman ini dari aspek pelaku pengalaman (yang mempersepsi) adalah maujud yang tidak tercegah dari terpaan kekeliruan; seperti manusia bermata juling (squint-eyed) yang menyangka setiap hakikat benda di luar mempunyai dua hakikat (dikarenakan kekurangan pada alat penyaksian).

Meskipun ahwal (squint-eyed) dapat melihat obyek di luar dirinya dan memberitakan tentangnya, akan tetapi dikarenakan kecacatan alat penglihatan maka persepsi dia tidak terjaga dari kekeliruan, dan dalam masalah yang kita bahas ini juga, apa yang diperoleh dari mitsâl munfashil dengan perpindahannya pada potensi khayal maka menjadi bahan yang akan dicampuri dan ditangani oleh potensi ini dan wajah kenyataannya (aslinya) akan menjadi berubah. Dari sisi ini maka ia (sesuatu yang didapatkan dari mitsâl munfashil) berbeda dengan yang sebenarnya (hakikatnya); sebagaimana bisa saja dikarenakan pengaruh syuhud illah nâqish (penyaksian sebab tidak sempurna) kemudian menyangka bahwa illah itu sempurna atau dikarenakan kelalaian dari sebagian penghalang-penghalang atau ketidaktahuan terhadap sebagian dari syarat-syarat, dengan perhitungan sebab sudah tâm (sempurna), dia menjadi yakin; padahal hakikatnya tidaklah demikian.

Adapun sâlik dan 'ârif, memperoleh pengalaman dalam maqam akal dan kalbu dan mengetahui perkara-perkara yang tidak mempunyai bentuk, dan mereka mendapatkan itu dengan ruh dan kalbu; seperti persepsi syuhudi tentang masalah khilafah, wilayah, tauhid hakiki, dan sumber risalah dan wilayah. Dalam tataran ini, seluruh ingatan, memori, dan pengalaman adalah rabbani, namun, ketika ingatan, memori, dan pengalaman ini mendapat jalan pada tingkatan yang lebih rendah dan potensi yang lebih di bawah (seperti sampai pada potensi khayal), maka di sinilah terjadi campur tangan dari potensi tersebut. Misalnya, apa yang arif lihat (dalam bentuk pengalaman dan mukasyafah kalbu), itu adalah penglihatan benar dan pendengaran benar, dan mungkin saja dia ('ârif) menyaksikan hadhrat Amirul Mukminin Ali As berada di samping Rasulullah Saw, tapi, dalam perjalanan kembalinya, apa yang disaksikannya itu dicampuri dan dirubah oleh potensi khayalnya sehingga memperlihatkan salah seorang wajah lain dari sahabat menggantikan wajah hadhrat Amirul Mukminin As; sebab muthâlaah (studi dan pembelajaran) dan file memori si pelaku pengalaman, sebelumnya mengambil bentuk seperti ini bahwa sifulan sahabat harus berada di sisi Rasulullah Saw, bukan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As.

Matlab ini juga dikaji dan dijelaskan dalam ilmu irfan teoritis dan para urafa dalam masalah ini adalah satu pandangan; misalnya Qaishari dengan mengikuti Ibnu Arabi, dalam tafsir ayat: "Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, dan siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kehancuran"[18], menuliskan: Kalbu dan ruh adalah bersih dan suci dari kekotoran-kekotoran badani dan dari kegelapan-kegelapan jasmani dan apa yang masuk atas mereka (dari kasyf dan syuhud) semuanya sesuai dengan realitas dan hakikat. Oleh karena itu, semuanya adalah rabbani dan tidak satupun yang menyalahi realitas. Dari sisi ini, telah dikatakan bahwa ingatan-ingatan pertama (kasyf dan syuhud), semuanya dalam hakikat rabbani; kecuali apabila campur tangan dan serangan nafsâni mendapat jalan pada harîm ingatan-ingatan murni pertama dan dia menyimpangkan mereka dari jalan sahih dan mengganti mereka dengan kebohongan, kepalsuan, jeratan-jeratan nafsâni, dan was-was setan.[19]

Oleh karena itu, dalam tahapan dan tingkatan khayal dan wahm, jalan bagi setan adalah terbuka dan setan senantiasa sibuk melancarkan serangan-serangannya: "…Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya… ."[20] Maka dari itu, selama potensi khayal, tidak dalam pengaruh potensi akal murni dan tidak di bawah kekuasaan akal, maka potensi ini selalu melakukan upaya pembelokan dan membuat penyerupaan dan penggantian terhadap mitsal munfashil dan mutthashil.

Berdasarkan ini, ahli sair suluk senantiasa berhati-hati dan menjaga apa yang didapatkan oleh kalbunya supaya jangan dikotori oleh potensi khayalnya; sebagaimana ahli irfan katakan: hasil-hasil yang didapatkan setiap orang dalam potensi khayal dan mitsâl mutthashilnya -seperti mimpi-mimpi benar- adalah seukuran jernih dan terangnya hatinya, tidak seukuran kemampuan potensi khayalnya; sebab potensi khayal mempunyai kemampuan menukar dan melakukan tipuan.[21]

Berasaskan ini, kita mendapati dalam banyak hadits-hadits bahwa mimpi-mimpi shâdiq dan benar merupakan bagian dari bagian-bagian kenabian, Rasulullah Saw bersabda: …dan sesungguhnya mimpi shâdiqah adalah bagian dari tujuh puluh bagian dari kenabian.[22]

Mimpi, bergantung dengan kondisi dan keadaan seorang mukmin; apabila iman dia lebih kuat maka cermin hatinya akan lebih bening, lebih jernih, lebih terang, dan lebih bercahaya. Nabi Saw bersabda: Yang paling benar di antara mereka (mukminin) mimipi-mimpinya adalah yang paling benar (paling jujur) dari mereka ucapannya.[23]

Imam Ridha As berkata: Nabi Saw setiap pagi mempertanyakan apa yang dilalui sahabat-sahabatnya pada malam hari, yakni apa yang mereka dapatkan: Sesungguhnya Rasulullah Saw, ketika pagi, berkata pada sahabat-sahabatnya, apakah ada berita menggembirakan? Yakni berkenaan mimpi-mimpi.[24]

Nabi Saw mengevaluasi mimpi sahabat-sahabatnya, tapi mimpi-mimpi Rasulullah Saw sendiri -seperti nabi-nabi lainnya- semuanya adalah wahyu; sebab setan tidak punya jalan dalam harimnya dan dia tidak dapat menjelma serupa dengannya; sebagaimana setan juga tidak dapat menjelma menyerupai wajah Nabi Saw, Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa yang melihatku dalam tidurnya maka sungguh dia telah melihatku, karena sesungguhnya setan tidak akan menjelma menyerupai wajahku dan wajah salah seorang dari wasiku. Pada kondisi dan tempat dimana setan tidak dapat menyerupai bentuk rupa Rasulullah Saw dan para wasinya maka lebih-lebih lagi setan niscaya tidak mampu mendapat jalan dalam harim wujud mereka dan melakukan tipu dayanya.


10
NEO-TEOLOGI I

Mizan Kasyf dan Pengalaman keagamaan
Segala sesuatu mempunyai mizan dan tolok ukur, dan mizan mimpi dan kondisi manâmiyyah adalah mimpi dan kondisi manâmiyyah para nabi As. Amirul Mukmin Ali As berkata: Mimpi para nabi merupakan wahyu (atas mereka).[25] Jika kita meyakini wahyu adalah suatu pengalaman syuhudi, maka kita harus eksposisikan pengalaman-pengalaman syuhudi, kasyf, dan mimpi-mimpi lainnya terhadapnya -menjadikan mizan atas mereka-. Apa yang para nabi dapatkan dari alam gaib, semuanya adalah hak dan setan tidak mempunyai jalan dalam harîm (sanctum) itu; sebagaimana Rasulullah Saw ungkapkan dalam sabdanya yang lalu bahwa setan tidak akan mampu menampak dalam bentuk diriku dan wasi-wasiku.

Oleh karena itu, jika seseorang memimpikan Rasulullah Saw atau salah seorang dari wasinya, -dalam bentuk terungkapkan bahwa yang datang dalam mimpinya itu adalah Nabi Saw sendiri atau salah seorang dari imam maksum As- maka ibaratnya ia telah menyaksikan diri Nabi Saw sendiri dalam keadaan sadarnya (bangunnya). Atas dasar ini, ucapan Nabi Saw -sebagaimana al-Qur'an dan sunnat qat'î- adalah mizan sahih bagi kasyf dan syuhud .

Para ilmuan (ulama) mempresentasikan sunnat (hadits) yang tidak qat'î dan akhbâr (jamak khabar) yang maghsyusy (confused) dengan al-Qur'an dan akhbar qat'î serta mutawatir, dan apabila mereka itu tidak sejalan dan cocok dengan al-Qur'an dan hadits mutawatir dan qat'î serta tidak mungkin menerima penakwilan, maka mereka itu harus dibuang jauh-jauh atau dengan kata lain dilemparkan ke dinding. Para ilmuan juga terhadap al-Qur'an, merujukkan ayat-ayat mutasyâbihâtnya kepada ayat-ayat muhkamâtnya dan mengaplikasikan kandungan ayat-ayat mutasyâbihât dalam pancaran ayat-ayat muhkamât.

Oleh karena itu, kesahihan kasyf dan syuhud manusia yang tidak maksum, mizannya juga adalah kasyf dan syuhud para nabi As dan para imam maksum As; sebab ucapan mereka niscaya pasti dan perbuatan mereka berasaskan yakin, kasyf, dan syuhud sempurna. Sebab mereka, dari dimensi persepsi, yang dipersepsi, dan yang mempersepsi adalah sempurna, dan pada hakikatnya mereka itu adalah mizan qisth (keadilan) dan mereka adalah teks syuhud serta kasyf. Sebab mereka adalah penyaksi dan pembicara hak serta mukhlas, dan setan menyerah pada mereka yang mukhlas.

Ibnu Arabi tentang hal ini mempunyai penuturan yang indah tentang Nabi Saw, dia meyakini bahwa Nabi Saw adalah pemilik kasyf sempurna (mizan kasyf). Dia berkata: Bagi beliau Saw adalah kasyf tâm dan sempurna, beliau Saw menyaksikan apa yang kita tidak saksikan, dan dia memberitahukan suatu perkara dimana ahlullah mengamalkan dastûr dan perkara tersebut dan mereka mendapatkan bahwasanya itu adalah benar. Ucapan beliau Saw itu adalah: Sekiranya kamu tidak berlebih-lebihan dan menambah-nambahkan dalam ucapan dan perkataan kamu (yakni kamu menjauhi lahwun dan laghwun kalâm) dan sekiranya tidak ada kegaduhan dan huru-hara dalam hati-hati kamu (kamu berpikiran sehat) maka niscaya kamu akan menyaksikan apa yang aku saksikan dan kamu akan mendengarkan apa yang aku dengarkan (wahyu dan kalam Tuhan).[26]

Nabi Saw dalam hadits lain menyatakan bahwa Tidur dan mimpi manusia yang terjadi pada khayal (muthashil), semuanya turun dari perbendaharaan Tuhan dalam bentuk nyata dan jelas, tapi ketika kembali dari sisi Tuhan maka terjadilah penyelewengan dan proses campur aduk (mimpi menjadi bercampur aduk) pada langit-langit pertengahan; Rasulullah Saw bersabda: Wahai Ali! Seorang hamba yang tidur dan ruhnya naik ke Tuhan alam semesta, maka apa yang ia saksikan di sisi Tuhan alam semesta pada dasarnya itu adalah hak, kemudian Allah yang Maha Aziz dan maha Jabbar memerintahkan ruhnya kembali kepada jasadnya, maka apa yang disaksikan ruh (ketika) berada di antara langit dan bumi (dalam perjalanan kembali kejasadnya) adalah adhghâtsu ahlâmin (mimpi yang bercampur aduk).

Oleh karena itu, di masa ruh manusia berada di sisi Tuhan, apa saja yang ia saksikan, semuanya adalah nyata, jelas, dan jernih dari sumbernya, tapi ketika kembali ke badan, terkadang ia menyimpang dari jalan semestinya (kesahihannya). Menurut Qaisari: Pada dasarnya ingatan dan memori awal (ketika kasyf) semuanya adalah rabbâniyyah haqqiyyah (rabbani dan hak) dan perkara serta campur tangan nafslah yang menyimpangkan dan mengeluarkannya dari jalan sahih, maka jadilah ia cerita dan buatan nafsâniyyah serta was-was syaithâniyyah.[27]

Oleh karena itu, pengalaman para ârif butuh presentasi kepada mizan dan setiap pengalaman keagamaan tidak bisa begitu saja dipandang sahih sebelum dieksposisikan terhadap mizan. Suatu pengalaman dipandang mizan apabila pelakunya mengenal malaikat wahyu dan mendengar suara wahyu serta nâtiq teks al-Qur'an dan kalam Tuhan; sebagaimana Rasulullah Saw ucapkan kepada Ali As: Engkau melihat dan mendengar apa yang aku lihat dan dengarkan[28], dan sebagaimana Amirul Mukminin katakan: Al-Qur'an adalah bersamaku dan sejak saya bersama dengannya tidak sedetikpun saya berpisah darinya.[29]

Perlu kita ingat bahwa perbedaan secara mendasar wahyu dan apa yang di zaman sekarang ini disebut dengan pengalaman keagamaan, adalah tetap pada proporsinya dan tetap terjaga, dan pada sela-sela pembahasan telah diisyaratkan pebedaan di antara keduanya secara gamblang serta ditunjukkan keutamaan wahyu mushtalah al-Qur'an atas pengalaman keagamaan.


Jalan Kasyf dan Pengalaman Keagamaan Sahih
1. Harus mengontrol panca indera zahir yang lima; yakni seseorang jangan menengok apa saja dan melihat ke setiap tempat, jangan mendengarkan suara percakapan apa saja, makanlah makanan yang halal dan suci, dan gunakanlah tangan dan kaki serta anggota-anggota badan lainnya di jalan yang benar. Singkatnya, masuknya apa saja dari luar lewat kanal-kanal panca indera yang lima ke dalam diri seseorang, dan keluarnya apa saja dari dalam lewat kanal-kanal tersebut, haruslah diperhitungkan secara sempurna, diatur dengan baik, dan dipikirkan dimensi kehalalan dan kesuciannya.

2. Kalbu dan hati mesti dibebaskan dari selain Tuhan dan hanya menempatkannya pada perkara dan hal yang berkaitan dengan Tuhan. Yakni manusia harus menjadikan hatinya sebagai haram (tempat suci) Tuhan.

3. Harus berkhalwat dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan kadar yang dibutuhkan dan melepaskan diri dari kejamakan; seseorang mengkhususkan malam-malam untuk dirinya sambil berdoa dan bermunajat, tidak berpikir pekerjaan duniawi hari-hari, dengan kata lain, mendekatkan diri kepada Tuhan dari jalan nawâfil (ibadah-ibadah mustahab), dimana ini adalah paling baiknya jalan taqarrub.

Penapak jalan ini adalah banyak; seperti Haritsah ibnu Malik, ia dengan jalan ini berhasil sampai pada suatu maqam dimana terkadang ia menyaksikan surga dan neraka dan penghuni keduanya serta nikmat dan azab mereka. Dia mengutarakan kepada nabi Saw syuhudnya; yakni ia mempresentasikan kasyf dan syuhudnya kepada mizan -yang mana dalam hal ini kasyf sempurna maksum (Rasulullah Saw)- dan Nabi Saw memandang kasyf dan syuhudnya adalah sahih dan berkata: Ini adalah seorang hamba yang Tuhan telah terangi hatinya dengan cahaya iman. Wahai Haritsah! Kamu sudah melihat (alam gaib) dan penglihatan bashirahmu telah terbuka, karena itu berhati-hatilah dengan keadaannya dan tetaplah kukuh di jalan ini. Kemudian Haritsah ibnu Malik memohon agar Nabi Saw mendoakannya mendapatkan syahadah bersamanya, beliau Saw berdoa: Ya Tuhan karunialah Haritsah syahadah!.[30] Berdasarkan ini maka Haritsah merupakan orang kesepuluh di antara mayat-mayat muslimin yang bersama Jakfar bin Abi Thalib mencapai derajat tinggi syahadah.

Perlu dipahami bahwa penegasan dan pembenaran kasyf dan syuhud Haritsah oleh Rasulullah Saw, tidaklah bermakna bahwa Haritsah memiliki ishmah; akan tetapi bermakna pengutaraan syuhudnya kepada mizan sahih dan pengesahan kebenaran syuhud khusus ini dari sisi mizan; dengan artian mungkin saja Haritsah ini juga dalam syuhud lainnya yang mengalami kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, dalam seluruh kondisi, kasyf dan syuhud butuh dieksposisikan pada mizan wahyu.

Amirul Mukminin Ali As juga menguatkan poin ini, bahwa orang-orang mukmin dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang yakin tentang surga, dan keyakinan mereka itu seperti keyakinan seseorang yang melihatnya dimana penghuni-penghuni surga mendapatkan kenikmatan di dalamnya, dan juga keimanan mereka terhadap neraka seperti keimanan seseorang yang melihatnya dimana penghuninya mengalami penderitaan siksaan di dalamnya.[31]

4. Harus sinkron dengan burhan akal. Iman pada Tuhan dan kenabian yang tidak didasari dengan burhan dan keyakinan yang tidak dilandasi dengan dalil dan argumen, adalah bentuk iman dan keyakinan yang tidak aplikatif serta sangat rapuh. Sahabat-sahabat zahir hadhrat Musa As, dengan menyaksikan mukjizat beliau, mereka beriman kepadanya, dan dengan mendengarkan suara sapi Sâmiri, mereka menjadi penyembah sapi; sebab dalam pemilihan dan pemihakan mereka tidak dilandasi dengan pandangan teoritis dan burhan; kebalikan dengan apa yang terjadi pada ahli tenun dan ahli sihir Firaun, dimana al-Qur'an mengabadikan dengan agung dan semarak keimanan mereka dan dengan ungkapan penuh bijaksana mengatakan: "…Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini."[32]

Berasaskan ini, Amirul Mukminin Ali As berkata: Kenalilah Tuhan lewat Tuhan sendiri (asma dan sifat-Nya), Nabi dengan risalah dan kenabian, dan ulil amr dengan perintah kepada kebaikan, keadilan, serta ihsan.[33]

Dirayah dan pandangan sahih serta istidlal kuat ini dapat dilihat pada ucapan Mansur Ibnu Hâzim. Dia berkata: Saya utarakan kepada imam Shadiq As bahwa saya berdialog dengan suatu kelompok dan saya berkata kepada mereka bahwa Tuhan lebih mulia dan agung untuk dikenal dengan perantara makhluk-makhluk-Nya, bahkan hamba-hamba-Nya diketahui dengan perantara Tuhan. Baliau As -sebagai pembenaran- berkata: Tuhan merahmatimu.[34]

Para ilmuan memandang bentuk istidlal ini burhan hakiki; yakni manusia mengenal Tuhan lewat Tuhan sendiri, kemudian dengan perantara Dia -sebagai illah keberadaan makhluk-makhluk dan mumkinât- menjadi bukti atas keberadaan makhluk dan maujud-maujud lainnya; bukan dengan perantara makhluk dan ciptaan sebagai dalil atas eksistensi Tuhan.

Berdasarkan ini, sebagian berkeyakinan bahwa kata "burhan" hanya bermakna hakikat bagi burhan limmî (pengenalan pada sebab mengantarkan pengenalan pada akibat) dan istidlal dari jalan lain dipandang mereka sebagai dalil innî (salah satu di antaranya adalah pengenalan pada akibat membawa pengenalan pada sebab); akan tetapi innî juga terbagi dua, dimana pembahasan detail dan perbedaan di antara keduanya serta keunggulan satu atas lainnya dibahas dalam ilmu mantiq.

Singkatnya, pandangan yang diutarakan Mansur Ibnu Hâzim dalam masalah "pengenalan" dan "makrifat", merupakan paling baiknya jalan istidlal, dan orang seperti dia ini adalah misdak dari ucapan imam Ali As: Ketika akal manusia hidup maka kilatan cahaya menunjuki dia jalan, dan sedemikian rupa menjalankan dia sehingga menyampaikannya kepada puncak keabadian.[35]


Al-Qur'an dan Pengalaman Keagamaan
Jika kita ingin menelusuri jalan pengalaman kapada malakut langit dan bumi, maka untuk sampai ke sana harus mengambil paedah dari petunjuk dan hidayah al-Qur'an. Allamah Thabathabai tentang tema ini menuliskan: Terdapat suatu hakikat Qur'ani bahwa dengan masuknya manusia pada taman wilayah Ilahi dan kedekatannya pada maqam suci Tuhan, maka terbukalah baginya pintu malakut langit dan bumi dimana dari pintu tersebut dia menyaksikan ayat-ayat agung Ilahi dan cahaya-cahaya jabarut-Nya yang tak pernah padam -dimana bagi yang lain adalah tersembunyi-. Nabi mulia Saw bersabda: Jika setan-setan tidak mengitari sekeliling kalbu-kalbu bani Adam maka niscaya mereka akan menyaksikan malakut langit dan bumi.

Ahli Sunnah juga meriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda: Jika tidak berlebih-lebihan pembicaraanmu dan kusut hatimu niscaya engkau akan menyaksikan apa yang aku saksikan dan akan mendengarkan apa yang aku dengarkan.

Allah Swt berfirman: "Orang-orang yang berjihad di jalan Kami (mencari keridaan Kami), Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik."[36] Juga zahir ayat ini menunjukkan atas matlab ini: "Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin datang padamu"[37]; yakni sedemikian hingga berupayalah beribadah kepada Tuhanmu sampai engkau mendapatkan maqam yakin; sebab pencapaian pada maqam yakin merupakan derivasi atas ibadah dan penghambaan.

Demikian pula Hak Swt dalam ayat lain berfirman: "Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim malakut langit dan bumi, supaya dia termasuk orang-orang yang yakin."[38] Malakut langit dan bumi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan maqam yakin dan Tuhan dalam kedudukan menjelaskan tafsir dampak dari yakin berfirman: "Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan ilmu yakin, niscaya kamu benar-banar akan melihat neraka jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihat dengan 'ainul yakin."[39] Demikian pula Tuhan berfirman: "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kitab abrar (orang-orang yang bebakti) benar-benar tersimpan dalam 'illiyyin. Dan tahukah engkau apakah 'illiyyin itu? Adalah suatu kitab yang tertutulis (berisi catatan amal) yang disaksikan oleh muqarrabun."[40]

Al-Qur'an, mengungkapkan jalan kerja pengalaman keagamaan yang sahih dan Ilahi dengan menegaskan tentang urgensi memperhatikan kognisi diri dan berkata: "Wahai orang-orang yang beriman! Berhati-hati dan jagalah nafsmu (dirimu); (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."[41]

Allamah Thabathabai Rh, dalam komentarnya terhadap ayat ini menuliskan: Ayat ini menekankan suatu tujuan bagi manusia bahwa berjalanlah ke arah-Nya dan dalam menapaki jalan jangan sampai tersesat. Dan tujuan itu, ujung dan akhirnya adalah kebahagiaan dan kebaikan.

Manusia, apakah ia tersesat atau bahagia, melangkah menuju Tuhan. Ia mencari sesuatu yang hilang bernama kebahagiaan dan ia mencari ke seluruh tempat sampai ia dapat menggapainya. Dan sesuatu yang hilang ini, yang menjadi puncak pencarian manusia, ada pada sisi Tuhan; namun terdapat jalan istiqamah (jalan lurus) dan juga jalan tergelincir yang beragam; Dia menunjuki seseorang kepada tujuan akhir dan kebahagiaan serta Dia memberitahukan bahwa yang lainnya berada pada kerugian. Sebagaimana al-Qur'an membahasakan dengan ungkapannya: "Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya".[42] Suatu golongan (yakni Hizbullah) akan mencapai kebahagiaan: "…Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung"[43] dan satu golongan lainnya akan sampai pada kehancuran: "Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?!"[44]

Oleh karena itu, terdapat dua jalan; satunya adalah hidayah dan lainnya adalah kesesatan, dan terhadap orang-orang yang beriman hendaklah memperhatikan dirinya: ""Wahai orang-orang yang beriman! Berhati-hati dan jagalah dirimu…"[45] dan tidak usah hiraukan orang lain yang ahli sesat, ketahuilah bahwa perhitungan mereka (orang-orang sesat) adalah dengan Tuhan mereka: "Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan (yakni jika mereka taat atau maksiat, itu untuk mereka sendiri) dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan."[46]

Jadi, orang-orang mukmin menjaga dirinya dengan kesibukan pada pekerjaan hidayah yang didapatkannya, dan apa yang mereka saksikan dalam bentuk kesesatan serta maksiat yang dilakukan masyarakat tidak akan menggelincirkan mereka dan masyarakat tidak menyibukkan mereka dan mereka juga tidak telibat dengan kerja masyarakat; kecuali dalam batas ta'lim, tazkiyah, irsyad, memerintahkan pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, serta perintah-perintah lainnya yang wajib dari agama, dan mereka mengetahui bahwa hak adalah hak; kendatipun masyarakat mengingkari dan meninggalkan itu, dan batil adalah batil; kendatipun masyarakat cenderung dan berpihak terhadap itu, firman Tuhan: "Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal, agar kamu beruntung."[47]

Perlu dipahami bahwa jalan yang al-Qur'an dakwahkan untuk disuluki dan dilalui, tidak lain adalah nafs mukmin: 'alaikum anfusakum', sebab ketika dikatakan: Maaf! Jangan sampai kehilangan jalan, maksudnya jagalah jalan dan jangan berpisah dengannya. Jadi, makna ungkapan kalimat ini: Maaf! Jangan sampai kehilangan nafs (diri) kamu, dapat dipahami bahwa nafs di sini adalah jalan itu sendiri, bukan penapak jalan; serupa dengan ini firman Tuhan dalam ayat 153 surah al-An'am: "Dan sungguh, inilah jalanku (Nabi Saw) yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa."[48]

Oleh karena itu, nafs, adalah jalan hidayah; bukan dirinya adalah salah satu dari penapak jalan hidayah; yakni nafs mukmin, adalah jalan itu sendiri yang harus dijalani dan ia adalah suatu garis dan jalan yang sampai kepada Tuhan dan berakhir pada kebahagiaannya (nafs).

Berlawanan dengan itu, jika kita melupakan nafs kita sendiri, kita telah melupakan Tuhan; yakni jika kita melupakan jalan maka kita tidak akan sampai pada tujuan (kebahagiaan), firman Tuhan: "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik."[49]

Ayat dengan jelas menyatakan bahwa jagalah nafs kamu, sehingga pekerjaan yang dilakukannya akan menjadi modal dan bekal di hari esok (akhirat); sebab ia hari ini adalah yang esok (malakah nafsâniyyah; yakni apa yang diusahakan dan dikerjakan nafs di dunia ini dan menjadi rupa nafs di dunia ini, itu jugalah ia di akhirat).

Nafs manusia, setiap waktu bergerak dan melewati jarak perjalanan, dan tujuan dia adalah sampai kepada Tuhan dan nikmat-nikmat-Nya (kebahagiaan). Berdasarkan ini pesuluk yang berakal tidak akan pernah melupakan tujuan. Nabi Islam Saw dalam sebuah hadits yang dinukil baik Syi'ah maupun Sunni, bersabda: Barang siapa mengenal nafsnya maka niscaya mengenal Tuhan-Nya.[50] Jika kita menyerahkan dan mengarahkan nafs pada pekerjaan dan perbuatan baik atau kita tenggelamkan dan ceburkan ia pada jalan kesesatan dan keburukan, maka keberuntungan dan kerugiannya juga akan kembali pada nafs, firman Tuhan: "Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri."[51]

Nafs manusia, melewati dan menjalani tahapan-tahapan janin, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan usia tua serta akan memasuki alam barzakh, selanjutnya akan memasuki masa kiyamat dan pada akhirnya akan masuk surga atau neraka, dan nafs setiap waktu berproses dan berangkat menuju ke sisi Tuhan, firman Tuhan: "Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu)."[52] Berasaskan ini, satu-satunya yang bisa mengarahkan dan menyelamatkan nafs adalah makrifat ilmu dan prilaku amalinya sendiri; sebab ilmu dan amal akan menyelaraskan dan mensimetrikan nafs manusia itu sendiri dan memberikan hasil baginya. Jika makrifat dan amal seseorang selaras dengan tujuan pengadaan dan penciptaannya, maka niscaya ia akan beruntung dan bahagia, dan natijah dari makrifat dan amal salehnya pasti akan didapatkannya secara sempurna; tanpa sedikitpun kerusakan dan kerugian padanya.

Nafs dalam batasan dan esensi dirinya, adalah dzatan diciptakan baik, ia sendiri yang akan menentukan baik dan buruk dirinya, dan ia mempunyai kecenderungan serta kecondongan dzati terhadapnya, oleh karena itu nisab perhitungan buruk dan baik telah tersedia dan sempurna untuknya. Dengan kata lain, Allah Swt telah mempertimbangkan bagi penciptaan nafs paling tingginya tingkatan kesadaran, kognisi, kesempurnaan, dan parameter serta tolok ukur pemberi kebahagiaan, Dia dengan penuh ketegasan bersumpah lewat firman-Nya: "Demi nafs (jiwa) serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya".[53]

Hasil dan natijah dari ayat-ayat tersebut, kaifiyyah (kualitas) dan kebagaimanaan penciptaan nafs dijelaskan dengan baik, dan juga dijelaskan bahwa ia (nafs) adalah suatu maujud yang simetri dan seimbang. Ia adalah suatu maujud yang dapat menerima kesucian dan kekotoran, dimana dalam hal ini ia akan terkotori dengan keburukan dan kejahatan dan ia akan tersucikan dengan ketakwaan, sehingga dengan demikian ia nantinya akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan atau kerugian dan kemalangan. Ini bermakna bahwa manusia sesuai dengan kemestian-kemestian takwiniahnya, manusia bebas dalam memilih salah satu di antara keduanya, dan ini adalah kenyataan yang tidak akan terpisahkan dari manusia dan ia niscaya salik pada salah satu dari dua jalan ini; jalan kehidupan maknawi, cahaya, dan hidayah, atau jalan kematian maknawi, kegelapan, dan kesesatan, firman Tuhan: "Dan apakah orang yang tadinya hatinya mati dan kafir dan Kami menghidupkannya (dan mereka memiliki iman) dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan."[54]

Oleh karena itu, setiap individu dan juga masyarakat, apabila mereka berserah diri pada hidayah Ilahi, makrifat rabbani, sunnah dan undang-undang sahih Tuhan, dan prilaku saleh serta syiar-syiar Islami; niscaya mereka akan mendapatkan kebahagiaan. Dalam kondisi ini, mereka tidak akan termakan dan termangsa oleh kesesatan orang-orang sesat dan kegelapan yang mereka pilih: "Tidak menyesatkan kamu orang sesat, ketika kamu mendapat petunjuk"[55]; tentu saja kondisi ini berlaku jika mereka telah melakukan kewajibannya kepada orang lain dalam bentuk memerintahkan pada kebaikan dan mencegah dari kejahatan dan keburukan; sebab meninggalkan kewajiban Ilahi ini sama halnya bahwa dia tidak melaksanakan tugas utamanya dan belum menerima hidayah. Karena itu, ia akan mudah terpengaruh dan tergelincir pada kesesatan.

Kunci pengalaman keagamaan adalah kognisi diri dan makrifat nafs, dan seseorang dalam medan ini akan meraih piala yang sangat berharga dengan memiliki shibgah (warna) Ilahi dan dalam tataran makrifat nafs serta makrifat Tuhan akan meraih keutamaan dan kelebihan; sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa "Paling berilmunya kamu pada nafsnya, paling berilmunya kamu pada Tuhannya". Sudah sangat jelas bahwa orang yang mendapatkan kondisi ini akan lebih dekat pada Tuhannya dan akan lebih banyak meraih kenikmatan (kebahagiaan) dari-Nya.[56]

Oleh karena itu, jalan pengalaman keagamaan yang dapat memberikan kemantapan dan keyakinan hanya jalan yang ditunjukkan oleh al-Qur'an dan natijah kenabian yang dinampakkannya di dalam diri manusia. Sebagaimana Rasulullah Saw sabdakan: Barang siapa yang memberikan tempat al-Qur'an pada jiwanya maka seakan-akan ia telah memasukkan kenabian di dalam jiwanya; kecuali bahwa tidak diwahyukan (al-Qur'an) kepadanya dan ia bukan nabi tasyri'.[57]


Contoh dan Sampel Pengalaman Keagamaan dalam Al-Qur'an
"(Ingatlah, wahai Muhammad!) ketika Allah memperlihatkan mereka di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka (berjumlah) banyak tentu kamu menjadi gentar dan tentu kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Dan ketika Allah memperlihatkan mereka kepadamu, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit menurut penglihatan matamu dan kamu diperlihatkan-Nya berjumlah sedikit menurut penglihatan mereka, itu karena Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan. Hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan."[58]

Dalam perang Badar, dua pasukan yang tidak seimbang (dalam jumlah dan perlengkapan perang) saling berhadap-hadapan, dan Tuhan, supaya perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Islam, memperlihatkan suatu pengalaman dan peristiwa (mimpi) kepada Nabi Saw dimana sekelompok kecil orang-orang kafir Makkah menyerang kepada kaum muslimin. Nabi Saw, ketika menceritakan itu kepada kaum muslimin, mereka semua bersedia untuk berperang; sebab pengetahuan terhadap kualitas dan kuantitas kekuatan pasukan musuh mempunyai dampak dan pengaruh terhadap ruh pasukan muslimin dan akan menyelesaikan saling berbantah-bantahan di antara mereka (maka Allah memperlihatkan pasukan musuh dalam jumlah kecil kepada Nabi-Nya). Sementara di sisi lain, Nabi Saw adalah maksum dan setan tidak mempunyai jalan pada batasan wujud dan rasionalitas beliau Saw. Oleh karena itu, kuantitas pasukan musuh yang disaksikan beliau Saw dalam musyahadah mimpi itu adalah benar dan Tuhan adalah kuasa mengerdilkan yang banyak dan sebaliknya.

Dari dimensi pasukan kafir, mereka tidak mempunyai tujuan selain dunia dan keinginan mareka hanyalah harta dan kesenangan dunia, dimana ini semua menurut tinjauan al-Qur'an adalah sedikit: "…Katakanlah, "Kesenangan di dunia ini hanya sedikit…".[59] Oleh karena itu, seluruh modal dan bekal mereka adalah kesenangan dan harta yang sedikit dan setiap orang akan ditimbang dan dinilai sesuai dengan tujuan eksistensialnya, dan hakikat ini yang disaksikan Nabi Saw dalam bentuk mimpi yang hak.

Dari dimensi orang-orang Mukmin, bagi mereka juga terjadi suatu pengalaman dimana mereka menyaksikan pasukan kafir berjumlah sedikit: "…ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit menurut penglihatan matamu…"[60]. Dari sisi ini, ketika mereka memasuki perang maka mereka mampu menanggung jumlah pasukan musuh, bahkan mereka dapat mendesak dan membuat pasukan musuh lari meninggalkan peperangan. Jadi, ini adalah suatu bentuk pengalaman keagamaan dan dikarenakan berkah wahyu dan kenabian maka kemenangan berada di pihak orang-orang mukmin, dimana dalam peperangan itu mereka telah menyaksikan dengan mata mereka kekerdilan dan kekecilan batin dan tujuan musuh (dalam bentuk jumlah musuh yang sedikit); yakni kejadian yang disaksikan Nabi Saw dalam bentuk mimpi benar, sampai mencapai batasan penglihatan bagi masyarakat.

Dari sisi Tuhan, Dia menghendaki kemenangan agama-Nya dan memerintahkan kepada mereka suatu perkara: "…itu karena Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan, hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan"[61]. Dalam hal ini, Allah juga menampakkan pada penglihatan orang-orang kafir bahwa kaum muslimin berjumlah sedikit: "…dan kamu diperlihatkan-Nya berjumlah sedikit menurut penglihatan mereka…"[62]. Dari dimensi ini, kaum musyrikin Makkah dengan angkuh dan gegabah masuk dalam peperangan; sampai Abu Jahal berkata: Mereka ini tidak cukup sampai dalam hitungan suatu hidangan kita dan kita tidak perlu menggunakan pedang dan panah kita untuk (menghadapi) mereka; tapi kita cukup mengirim budak-budak kita saja dengan tangan kosong untuk menangkapi mereka.[63]

Pengalaman ini bagi kaum musyrikin, adalah suatu pengalaman negatif dan kontra agama; sebab peperangan itu dilakukan mereka karena didasari keyakinan kepada agama khusus mereka, karena itu mereka membela sasaran dan maslak mereka sendiri dan mereka mengenal Tuhan mereka dalam bentuk yang lain -sebagaimana kita temukan ungkapan maksum dalam hadits bahwa "Tuhan itu dikenal (ma'ruf) di sisi semua orang jahil"[64]- ataukah mereka menghalangi supaya usaha dan upaya dakwah Nabi Saw yang beberapa tahun tidak memberi natijah dalam memberi hidayah kepada kaum musyrikin lainnya: "…dan Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan kalaupun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya…"[65]. Oleh karena itu, pengalaman kaum musyrikin dengan memandang kecil kaum mukminin dan menutup mata pada realitas adalah suatu pengalaman yang akhirnya sangat buruk.

Perlu kami ingatkan, bahwa predikasi asli peristiwa atas pengalaman keagamaan, bersandar atas makna "lahir ayat" bahwa yang dimaksudkan bukanlah penyaksian indera (penglihatan mata lahiriah) ketika dua pasukan itu berhadapan; jika tidak, maka ini keluar dari pembahasan pengalaman keagamaan yang merupakan suatu perasaan internal dan capaian nafsâni.

Isykal: Ungkapan ayat "dan kamu diperlihatkan-Nya berjumlah sedikit menurut penglihatan mereka" (Q.s. al-Anfal ayat 44), menunjukkan pengalaman kaum musyrikin yang melihat kaum mukmin dalam jumlah sedikit. Berdasarkan ini, mereka tidak memandang cukup jumlah kaum mukminin sebagai suatu santapan bagi mereka sehingga mereka menyatakan untuk mengirim budak-budak mereka saja dalam keadaan tangan kosong untuk menangkapi kaum mukminin. Sementara itu al-Qur'an dalam ayat lain menyatakan bahwa musyrikin dalam perang Badar ini melihat jumlah mukminin dua kali lipat dari jumlah mereka: "Sungguh, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat bahwa mereka (golongan muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata batin)."[66]

Sebagaimana yang dapat dilihat, di antara ayat-ayat al-Qur'an yang turun tentang perang Badar -sebagian dalam surah Ali Imran dan sebagian lainnya dalam surah al-Anfal- terasa ada saling penafian satu dengan lainnya.

Jawab: Allamah Thabathabai dalam menjawab isykal tersebut menuliskan: Diawal peperangan, kedua pasukan itu memandang sedikit jumlah lawannya sehingga masing-masing mereka berambisi untuk memenangkan peperangan (karena itu mereka mulai peperangan); tetapi ketika perang sedang berlangsung, golongan kaum mukmin menjelma dua kali lipat dalam pandangan golongan kafir. Berdasarkan ini maka mereka menjadi takut dan melarikan diri, sehingga pada akhirnya kemenangan berada di pihak kaum muslimin.

Oleh karena itu, ayat awal (ayat 44 dalam surah al-Anfal) menjelaskan tema tentang masing-masing kedua pasukan itu melihat lawannya dalam jumlah sedikit dalam awal peperangan dan ayat kedua (ayat 13 dalam surah Ali Imran), menjelaskan jumlah pasukan muslimin dua kali lipat dalam pandangan kaum kafir di tengah-tengah peperangan; khususnya dengan memperhatikan ayat sebelumnya dari ayat ini dimana Tuhan memberitahukan secara umum kepada kaum kafir bahwa jika kamu mempunyai penglihatan batin maka untuk mengerti kemenangan hak (atas batil) dan bahwa Tuhan, setiap orang yang Dia inginkan menang, Dia berikan kemenangan dan selamanya ia tidak akan terkalahkan oleh harta dan keturunan seseorang, mesti kamu cukupkan dengan apa yang kamu saksikan pada hari peperangan Badar; sebab pada hari itu, pasukan Islam hanya terdiri dari beberapa orang dan jumlah mereka tidak mencapai 1/3 dari jumlah kaum musyrikin dan dari sisi peralatan perang juga tidak bisa dibandingkan dengan peralatan perang kaum musyrikin.

Sebab jumlah kaum mukminin ketika itu tidak lebih dari 313 orang dan hanya memiliki enam baju baja, delapan pedang, dan dua kuda; sedangkan pasukan musuh jumlahnya mendekati seribu orang ahli perang dengan perlengkapan yang sempurna di zaman itu. Dengan kondisi ini, Tuhan memperlihatkan jumlah pasukan kaum muslimin yang sedikit itu menjadi dua kali lipat, sehingga kaum musyrikin menjadi gentar dan takut serta melarikan diri, dan akhirnya kemenangan berada di pihak kaum muslimin. Di samping itu, Tuhan juga mengirimkan malaikat untuk membantu kaum mukminin dan menjelmakan pasukan musyrikin dalam jumlah sedikit dalam pandangan mereka supaya hati mereka menjadi kukuh dan mantap, sehingga janji kemenangan dan pengalaman keagamaan Nabi Saw dalam mimpi, terealisasi dengan sempurna dan agama Tuhan menampak secara nyata: ''…itu karena Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan. Hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan."[67] [68]



Catatan Kaki:
[1] . Merujuk pada kitab Akl wa I'tiqâd-e Dinî, Hal. 35-59.

[2] . Al-Munqidzu min ad-dhalâl, Hal. 64.

[3] . Merujuk pada kitab Akl wa I'tiqâd-e Dinî, Hal. 35-59.

[4] . Al-Mantiq, Bab 6, Shana'ât Khamsah, Tajribiyât, Hal. 318.

[5] . Q.S. al-Mu'min [40] : 26.

[6] . Q.S. Ali Imran [3] : 19.

[7] . Q.S. al-A'raf [7] : 127.

[8] . Q.S. an-Nâzi'ât [79] : 24.

[9] . Q.S. al-Qasas [28] : 38.

[10] . Syawâhid ar-Rububiyyah, Hal. 144.

[11] . Bihârul Anwâr, Jld. 18, Hal. 270.

[12] . Nahjul Balâgah, Khutbah 4.

[13] . Ibid, Hikmah 185.

[14] . Bihârul Anwâr, Jld. 14, Hal. 476.

[15] . Nahjul Balâgah, Khutbah 220.

[16] . Q.S. an-Najm [53] : 11.

[17] . Q.S. Maryam [19] : 17.

[18] . Q.S. Nuh [71] : 28.

[19] . Syarh Fushus al-Hikam, Fashun Nuhi, Hal. 537.

[20] . Q.S. al-An'am [6] : 121.

[21] . Syarh Fushus Qaishari, Fashun Ishâqi, Hal. 629.

[22] . Bihârul Anwâr, Jld. 61, Hal. 176.

[23] . Ibid, Hal. 181.

[24] . Ibid, Hal. 177.

[25] . Bihârul Anwâr, Jld. 11, Hal. 64 dan Jld. 61, Hal. 181.

[26] . Futuhat Makkiyyah, Jld. 1. Hal. 147.

[27] . Syarh Fusus Qaisari, Fassun Nuhi, Hal. 537.

[28] . Bihârul Anwâr, Jld. 14, Hal. 476.

[29] . Nahjul Balagah, Khutbah 122.

[30] . Ushul Kâfi, Jld. 2, Hal. 54.

[31] . Nahjul Balagah, Khutbah 193.

[32] . Q.S. Taha [20] : 72.

[33] . Ushul kâfi, Jld. 2, Hal. 85.

[34] . Ibid, Hal.86.

[35] . Nahjul Balagah, terjemahan makna bebas Khutbah 220.

[36] . Q.S. al-Ankabût [29] : 69.

[37] . Q.S. al-Hijr [15] : 99.

[38] . Q.S. al-An'am [6] : 75.

[39] . Q.S, at-Takâtsur [102] : 5-7.

[40] . Q.S. al-Mutaffifin [83] : 18-21, Tafsir al-Mizan, Jld. 5, Hal. 276.

[41] . Q.S. al-Maidah [5] : 105.

[42] . Q.S. al-Insyiqâq [84] : 6.

[43] . Q.S. al-Mujâdilah [58] : 22.

[44] . Q.S. Ibrahim [14] : 28.

[45] . Q.S. al-Maidah [5] : 105.

[46] . Q.S. al-Baqarah [2] : 134.

[47] . Q.S. al-Maidah [5] : 100.

[48] . Q.S. al-An'am [6] : 153.

[49] . Q.S. al-Hasyr [59] : 19.

[50] . Bihârul Anwâr, Jld.2, Hal. 32.

[51] . Q.S. al-Isra [17] : 7.

[52] . Q.S. an-Najm [53] : 42.

[53] . Q.S. asy-Syams [91] : 7-10.

[54] . Q.S. al-An'am [6] : 122.

[55] . Q.S. al-Maidah [5] : 5.

[56] . Merujuk pada: Tafsir al-Mizan, Jld. 6, hal. 170.

[57] . Ushul Kâfi, Jld. 2, Hal. 604.

[58] . Q.S. al-Anfal [8] : 43-44.

[59] . Q.S. an-Nisa [4] : 77.

[60] . Q.S. al-Anfal [8] : 44.

[61] . Ibid.

[62] . Ibid.

[63] . Tafsir Nur ats-Tsaqalain, Jld. 2, Hal. 128.

[64] . Ushul Kâfi, Jld. 1, Hal. 91.

[65] . Q.S. al-An'am [6] : 25.

[66] . Q.S. Ali Imran [3] : 13.

[67] . Q.S. al-Anfal [8] : 44.

[68] . Tafsir al-Mizan, Jld. 3, Hal. 107.

11
NEO-TEOLOGI I

Tauhid dalam Perspektif Psikologi

Metode Mengenal Tuhan
Sepanjang sejarah kehudupannya, manusia memiliki beragam metode untuk mengenal Tuhan Sang Pencipta alam semesta, setiap individu akan menempuh metode yang ada sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga bagaimana pun kualitas pemikiran seseorang, tetap ia akan mampu mencapai tujuannya (mengenal Tuhan).

Ada dua metode yang biasa ditempuh manusia dalam mencari Tuhannya:

1. Metode hati atau fitrah.

2. Metode rasional dan argumentatif

Yang dimaksud dengan metode fitrah ialah kecenderungan dalam diri manusia yang dapat mengantarkannya kepada Tuhan tanpa melalui proses berfikir dan argumen yang njelimet, dengan sendirinya dan tanpa disadari seseorang akan menghendaki dan mencari Tuhannya. Perasaan semacam ini merupakan naluri yang telah dianugrahkan kepada setiap individu manusia dimana cukup dengan mengikuti ajakannya, seseorang akan dapat mencapai tujuannya dan menemukan Tuhannya..

Adapun yang dimaksud dengan metode rasional ialah membuktikan keberadaan Tuhan dengan melalui proses berfikir, dan sebagaimana permasalahan rasional lainnya, dalam metode ini keberadaan-Nya pun akan dibuktikan dengan hukum akal..

Yang menjadi pijakan metode pertama adalah naluri dan perasaan yang terdapat dalam diri manusia, lain halnya dengan metode kedua yang berbasis akal pikiran dan argumentasi. Di saat manusia mencari Tuhan melalui hati nuraninya, maka ia tidak lagi membutuhkan segala macam bentuk argumen dan dalil, cukup dengan menuruti kecendrungan yang ada dalam jiwanya –yang menalar akan keberadaan Tuhan- ia akan mampu menemukan Tuhannya, kecendrungan ini diistilahkan oleh para agamawan dengan “Fitrah”.

Adapun metode kedua, berdalil, berargumen dan berfikir secara benar merupakan pengantar seseorang untuk mencapai Tuhannya, oleh karenanya segala bentuk pembuktian keberadaan Tuhan yang dihasilkan dari analisa dan argumentasi tertentu -baik melalui proses eksperimen maupun berdasarkan kaedah-kaedah rasional dan filosofis- disebut dengan tauhid istidlâli (tauhid argumentatif). Dan segala bentuk pembuktian akan eksisitensi Tuhan yang berasal dari batin jiwa manusia yang bersih dari berbagai argumen dan dalil disebut dengan Tauhid Fitri atau kecenderungan beragama.[1]

Di bawah ini, kita akan membahas mengenai ‘kecenderungan beragama’ yang menurut para psikolog merupakan dimensi keempat ruh manusia.


Kecenderungan Beragama: Dimensi ke Empat Jiwa Manusia
Teori relativitas yang digagas para ilmuan barat telah meruntuhkan hipotesa tiga dimensi materi dan menegaskan bahwa selain memiliki tiga dimensi (panjang, lebar dan dalam) materi pun memiliki dimensi keempat yaitu zaman atau masa[2]. Sebagaimana dimensi lainnya, dimensi keempat ini pun melebur dengan esensi materi, dimana tidak ada sepotong jisim (materi) pun di alam ini yang terbebas dari masa yang merupakan sumber pergerakan dan perubahan baginya.

Demikian pula halnya, dengan tersingkapnya “kecenderungan religius” yang terkandung dalam jiwa manusia -yang menyatakan bahwa “kecenderungan beragama” merupakan elemen asli dan tabiat ruh manusia-, maka runtuhlah hipotesa tiga dimensi ruh manusia yang menyatakan bahwa manusia hanya memiliki tiga kecenderungan (rasa ingi tahu, cenderung kepada kebaikan dan keindahan) dan terbuktilah bahwa ruh dan jiwa manusia selain memiliki tiga naluri lainnya, juga memiliki naluri ke empat yang tidak kalah pentingnya yang disebut dengan “kecenderungan beragama”.

Berikut ini penjelasan secara global akan empat naluri dan kecenderungan jiwa manusia.


1. Kecendrungan untuk mengkaji (rasa ingin tahu);
Atau menurut istilah sebagian penulis “kecendrungan akan kebenaran” akan tetapi istilah ini tidak sesuai dengan alur pembahasan mereka, oleh karenanya sebagai ganti dari “kebenaran” kami menggunakan istilah “rasa ingin tahu” (kuriositas).

Kecendrungan inilah yang semenjak pertama telah mendorong manusia untuk berfikir, menganalisa dan meninjau setiap permasalahan yang trasparan dan tidak diketahuinya, sehingga muncullah berbagai macam bidang ilmu dan industri, ialah yang telah memberikan kekuatan kepada para penyingkap, penemu dan penggagas ilmu tertentu sehingga mereka mampu menyingkap rahasia-rahasia dan memecahkan teka-teki yang dihadapinya.


2. Kecenderungan kepada kebaikan;
Kecenderungan inilah yang melahirkan akhlak terpuji dan sifat-sifat mulia pada diri manusia, ialah yang telah menjadikan manusia merindukan pesahabatan, keadilan, mencintai prilaku dan etika yang baik serta benci akan prilaku dan sifat yang tercela.


3. Kecendrungan kepada keindahan;
Kecenderungan ini telah melahirkan beragam kesenian dan merealisasikan berbagai keahlian dan bakat yang terpendam pada diri manusia.


4. Kecenderungan beragama;
Kecenderungan inilah yang selalu mengingatkan seseorang kepada Tuhannya. Secara naluriah setiap individu manusia mengakui akan keberadaan Tuhan, dan cenderung menyakini sesuatu yang metafisik sebagai Pencipta dan Pengatur alam -yang menjadi tempat kehidupannya- yang mampu menyelamatkannya dari segala bencana dan mara bahaya, secara naluriah setiap orang mengakui bahwa keberadaannya merupakan bagian dari eksistensi-Nya.

Tersingkapnya naluri keempat ini telah memberikan banyak kontribusi dan perubahan pada wacana-wacana ilmu, penyingkapan ini telah memadamkan kesombongan para materialis abad ke dua puluh, jika pada masa lalu (sebelum penyingkapan) pengingkaran terhadap sesuatu yang metafisik merupakan simbul ilmu dan kecerdasan akan tetapi saat ini ia menjadi simbul kejumudan dan fanatisme, jika pada saat itu ungkapan Lenin mengenai agama dianggap sebagai satu gagasan istimewa yang tidak tergoyahkan bahkan sebagian orang mennganggap bahwa Lenin telah berhasil mengungkap rahasia yang terpendam, namun setelah tersingkapnya “kecenderungan agama” dalam jiwa manusia, pandangannya dianggap sebagai dongeng dan hasil khayalan.

Dorongan religius yang ada pada diri manusia selalu tetap dan tidak akan mengalami perubahan, sepanjang sejarah manusia dimana pun mereka berada bahkan pada masa manusia tinggal di gunung-gunung dan di hutan-hutan dan di daerah-daerah yang terbelakang dan terpencil sekalipun, kecenderungan beragama tetap memiliki daya tarik khusus yang mendorong manusia ke arah Tuhannya dan ke segala hal yang metafisikal.

Merasakan kehadiran Tuhan dan segala yang metafisik merupakan bisikan gaib yang berasal dari naluri manusia, dan ia akan lebih tampak dan menguat saat seseorang memasuki usia baligh.


Masa Gemilang Kecenderungan Beragama
Meskipun kecenderungan beragama selalu bersemayam dalam diri manusia sepanjang hidupnya, namun pada masa tertentu dorongannya akan bertambah kuat.

Para pakar psikologi bersepakat bahwa ada keterkaitan khusus antara masa baligh seseorang dengan dorongan religius yang dimilikinya, dimana pada masa ini akan muncul revolusi spiritual dalam jiwanya. Tidak terkecuali siapa orangnya, bahkan orang-orang yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki ikatan dengan urusan agama pun akan mengalami kondisi kejiwaan semacam ini.

Menurut pandangan Stanly kematangan dorongan religius ini akan tampak ketika seseorang memasuki usia 16 tahun, hal ini akan menjadi salah satu unsur yang dapat membentuk kepribadian seorang pemuda. Meskipun hati dan pemikiran seseorang telah dipengaruhi berbagai macam ideologi yang keliru, namun dorongan ini tetap akan menuntunnya untuk menemukan asal usul dan penyebab inti keberadaannya yang tidak lain kecuali Tuhan Penciptanya.

Singkatnya, jika seseorang ingin memandang dan menilai secara obyektif, maka ia akan mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan berakar dari kecenderungan beragama yang berada dalam batin manusia dan telah melebur dengan eksistensinya.


Pengaruh Kecenderungan Beragama Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Sastra
Trungkapnya dimensi keempat manusia (kecenderungan beragama) yang meruntuhkan batasan tiga dimensi jiwa manusia, bukan saja telah mematahkan teori Lenin dan Freud tentang kemunculan agama dalam masyarakat, akan tetapi ia pun telah menimbulkan berbagai penelitian yang menyimpulkan bahwa kecenderungan beragama merupakan sebuah kekuatan yang dapat melahirkan bermacam ilmu pengetahuan, norma yang mulia serta kesenian dalam tubuh masyarakat. Kecenderungan beragamalah yang telah mengilhami manusia untuk terus mengkaji dan menggali ilmu pengetahuan, menyuburkan akar-akar norma dan akhlak mulia, mendorong pertumbuhan sifat terpuji serta menetralisasi insting dan hawa nafsu yang dimilikinya. Selain itu, dorongan beragama pun telah memberikan motifasi kepada para seniman untuk terus merancang dan memproduksi berbagai kesenian, sehingga lingkungan hidup manusia menjadi menarik terhiasi dengan berbagai hasil rancangan dan kesenian yang indah.

Mnurut pendapat Einstein “Paling indahnya kecenderungan yang kita miliki adalah kecenderungan beragama, dimana ia telah menelurkan berbagai pengetahuan yang nyata (realistis) pada diri kita. Barang siapa yang tidak mengetahui peran serta pengaruh kecenderungan ini, atau tidak dapat memanfaatkannya secara maksimal, maka ia bagaikan orang yang telah mati”.[3]

Akan tetapi hal ini bukan berati tiga kecederungan lainnya tidak memiliki andil dalam pertumbuhan ilmu, akhlak dan kesenian, namun yang dimaksud di atas ialah, bahwa kecenderungan beragamalah yang telah membangun dan menyiapkan fondamen demi pertumbuhan ketiga kecenderungan lainnya.

Sudah menjadi kesepakatan bahwa keyakinan kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui -yang telah menciptakan alam berdasarkan aturan serta rancangan yang penuh dengan keserasian-, telah memberikan motifasi kepada seseorang untuk terus mengkaji dan mencari kebenaran, namun sebaliknya pola pikir materialis tidak akan dapat memberikan motifasi semacam ini kepada siapa pun.

Seorang yang beragama dengan bimbingan kecenderungan dan fitrah suci yang dimilikinya, ia mampu menyimpulkan bahwa keberadaan alam ini mengharuskan adanya Sang Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui yang telah merancangnya berdasarkan aturan yang sangat serasi dan kokoh. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu pun yang mampu menciptakan alam semesta ini kecuali Tuhan yang Maha Agung dan Maha Kuasa yang telah mewujudkannya dengan sangat mengagumkan, dan seandainya orang itu selalu mengikuti dorongan fitrahnya dengan terus mengkaji dan meneliti lebih dalam lagi maka ia akan banyak menyingkap rahasia-rahasia alam lainnya.

Rasa ingin tahu hanya akan mendorong seseorang untuk mengkaji fenomena alam semesta disaat hati nuraninya menyakini bahwa alam semesta ini telah diciptakan berdasarkan hukum kausalitas dan aturan yang selaras, keyakinan seperti ini tidak akan muncul kecuali dari keimanan terhadap Tuhan, dan ia tidak akan dimiliki oleh seorang materialis sejati. Oleh karenanya seorang materialis yang menghabisi usianya di dalam lab-lab dan pusat-pusat kajian guna mengkaji dan meneliti rahasia dan fenomena alam semesta, pada dasarnya hati nuraninya menyakini akan keberadaan Tuhan, walaupun secara zahir ia menampakkan dirinya sebagai seorang materialis.

Dari analisa di atas, dengan jelas dapat dibuktikan bahwa kecenderungan beragama memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap kemajuan ilmu teknologi dan perkembangan riset serta penelitian rahasia penciptaan, dan hal ini bukan hanya sebatas wacana pemikiran semata, akan tetapi sejarah perjalanan ilmu teknologi pun turut menjadi saksi akan kebenarannya. Berikut ini ungkapan para pakar sejarah kontemporer akan kebenaran analisa di atas:

Will Durant mengatakan “ menurut keyakinan Herbert Spencer –seorang ilmuan yang memiliki reputasi besar dalam mengumpulkan beragam argumen guna mencapai satu kesimpulan- para pemuka agama dan sastrawan terdahulu juga merupakan ilmuan pertama, dimana mereka telah membuka ilmu pengetahun dengan mengamati bintang-bintang dengan tujuan menentukan saat yang tetap diadakannya upacara keagamaan, pahaman dan tradisi seperti ini tetap terjaga dalam tempat-tempat peribadatan mereka sebagai warisan agama yang berpindah dari generasi ke generasi selanjutnya”.[4]

Pada kesempatan yang sama ia juga mengatakan "Para pemuka agama yang hidup di antara dua sungai[5] dengan aktivitas dan peranan yang mereka jalani seperti memberikan putusan dan mengatur perkasa sosial, ekonomi, pertanian, industri, membawa berita ghaib, meneliti bintang-bintang dan anat binatang, tanpa disadari mereka telah menebarkan bibit ilmu pengetahuan. Di kemudian hari orang-orang Yunanilah yang telah mengeluarkan agama dari lingkaran politik dan sosial.[6]

Kecenderungan beragama bukan hanya berpengaruh pada kemajuan ilmu, teknologi dan industri akan tetapi ia juga telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan sastra dan kematangan bakat kesusastraan manusia. Menurut kenyakinan Will Durant akar pertama kesusastraan adalah nyanyia-nyanyian agamis dan mantra-mantra yang biasa dibaca oleh pemuka agama yang selalu berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain, penduduk Yunani kuno menyebut syair dengan istilah “karmina” yang juga berarti sihir dan kalimat “uud” yang mereka artikan dengan lagu atau nyanyian pada dasarnya artinya adalah mantera sihir.

Setelah memberikan sejumlah kesaksian Will Durant kembali berkata: Orang-orang Yunani mengatakan bahwa bait-bait syair yang pertama kali dilantunkan adalah milik kuil “Delf” , dimana istilah penyair, khatib dan ahli sejarah pada awalnya memiliki arti yang sama, namun lama-kelamaan kata-kata ini memiliki makna yang berbeda.[7]

Peninggalan sastra Mesir terkuno seperti tulisan-tulisan yang terdapat di dinding-dinding piramid penuh berisikan muatan-muatan agama, bagian penting sastra mesir kuno adalah sastra yang bermuatan agama, dan nyanyian-nyanyian Mesir kuno pun merupakan nyanyian-nyanyian agama yang disebut dengan “ayat-ayat piramid”, syair-syair ini merupakan model terkuno yang pernah ditemukan, dimana satu arti dilukiskan dengan bermacam istilah, dan penyair-penyair Yahudi mengadopsi metode ini dari orang-orang Mesir dan Babilion lantas menulisnya dalam mazmur-mazmur (kitab zabur) mereka.[8]


Peranan Kecenderungan Beragama Dalam Pertumbuhan Kecenderungan lainnya
Naluri manusia cenderung mencintai sifat-sifat yang mulia, oleh karenanya, tanpa disadari seseorang akan terdorong untuk menyandang sifat-sifat tersebut. Membela keadilan, menuntut hak, menyanyangi sesama, menolong yang lemah, menjalani tugas dan seterusnya, merupakan penjelmaan dari sifat-sifat yang mulia.

Kecenderungan akan kebaikan hanya dapat menjadi landasan bagi akhlak mulia -yang mampu menetralisasi dorongan dan hawa nafsu manusia serta dapat menumbuhkan sifat-sifat terpuji- disaat kecenderungan tersebut berada di bawah pengaruh kecenderungan beragama dan keyakinan kepada Tuhan, hal ini tidak lain dikarenakan rasa takut akan siksa Ilahi memiliki pengaruh yang signifikan dalam menetralisir berbagai dorongan hawa nafsu seseorang, agar ia tidak memenuhinya secara berlebihan.

Begitu pula mengharap pahala besar Ilahi sangat membantu seseorang yang sedang berusaha menumbuhkan sifat-sifat mulia pada dirinya untuk merealisasikan sifat-sifat tersebut dalam prilakunya. Maka dari itu, layak kita katakan bahwa kecenderungan beragama telah memberikan kita motivasi yang besar dalam menumbuhkan sifat-sifat mulia dan meredam dorongan hawa nafsu kita yang berlebihan.

Mungkin anda akan merasa keheranan jika kami katakan bahwa keyakinan beragama juga memiliki andil besar dalam pertumbuhan kecenderungan manusia akan keindahan, dimana kecenderungan inilah yang akan melahirkan beragam kesenian. Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita menyaksikan bahwa keterampilan dan kesenian merupakan sarana yang paling efktif guna melukiskan pemikiran dan ajaran satu agama. Para seniman di penjuru dunia dari perancang kuil-kuil Cina hingga pemahat patung-patung di Meksiko telah menciptakan model-model kesenian yang terbaik dan terindah guna mengagungkan Tuhan-Tuhan mereka[9], dan betapa banyak arsitektur serta interior bangunan di asia timur yang merefleksikan keyakinan masyarakat saat itu, yang tumbuh di bawah bimbingan ajaran agama Islam.

Demikian halnya dengan pembangunan piramid Mesir yang merupakan karya besar manusia zaman kuno, ia pun terinspirasikan dari kecenderungan beragama. Menyangkut hal ini Will Durant mengatakan: “tidak diragukan lagi masyarakat pada masa itu tidak bermaksud mendirikan peninggalan arsitektur yang megah, akan tetapi masyarakat dan raja saat itu berkeyakinan bahwa setiap tubuh orang yang hidup memiliki pendamping yang disebut dengan “Ka”, saat orang tersebut mengalami kematian pendampingnya akan tetap hidup selama tubuh mayit masih tetap utuh, semangkin lama tubuh mayat utuh semangkin lama pula pendampingnya “Ka” akan bertahan hidup, oleh karenanya bangunan piramid dirancang sedemikina rupa hingga dapat mengawetkan tubuh mayat [10].


12
NEO-TEOLOGI I

Tauhid dalam Perspektif Sosiologi
Menurut pandangan sosiolog menyembah kepada satu atau beberapa sesembahan dengan menganggapnya sebagai Pencipta alam semesta, merupakan keyakinan manusia yang paling mendasar dan kuno, akar kenyakinan ini berasal dari dalam diri manusia yang paling dasar yang tidak akan pernah mengalami perubahan. Kecenderungan terhadap suatu yang maha sempurna yang dianggap sebagai Penguasa manusia dan alam semesta, telah melebur dengan jiwa manusia dan mengakar dengan sangat kokoh. Kecenderungan seperti ini akan tetap langgeng selama dunia tetap ada dan manusia masih tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat disamakan dengan adat istiadat masyarakat yang selalu saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, adat dan pola kehidupan masyarakat tidak mengakar pada jiwa manusia dan bukan bagian dari eksistensinya, karena itulah ia akan selalu mengalami perubahan.

Sosiolog kontemporer Will Durant mengatakan: “Para pemuka agama sama sekali tidak menciptakan sebuah ideologi, akan tetapi seperti halnya seorang politikus yang memanfaatkan dorongan naluriah manusia untuk memenuhi kehendaknya, para agamawan pun juga demikian, mereka memanfaatkan nurani manusia demi tujuan-tujuan yang hendak mereka capai,.keyakinan beragama bukan ciptaan kuil-kuil dan tempat-tempat ibadah akan tetapi fitrah manusialah yang telah melahirkannya”[11].

Setelah menukil ucapan seorang Eskimo yang mengatakan “saya tidak mengetahui perkara ini” saat ditanya “siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi?”, Will Durant menuliskan: “Bagimana pun, apa yang kami sebutkan ini merupakan kasus yang jarang terjadi, sudah menjadi fakta bahwa keyakinan beragama sejak dahulu telah dimiliki mayoritas manusia, bahkan menurut para filsuf perkara ini termaksud salah satu inti permasalahan sejarah dan psikologi.

Setelah itu Will Durant melanjutkan pembahasannya yang panjang mengenai faktor kelekatan keyakinan beragama pada jiwa manusia yang dengan bagaimana pun ia tidak akan sirna dalam hati nurani manusia. Pada pembahasan berikutnya kami akan menyebutkan sebagian faktor yang disebutkan olehnya.

Hasil kajian di atas menyatakan bahwa agama berakar dari fitrah yang merupakan bagian dari jiwa manusia yang posisinya tidak dapat disamakan dengan perkara lainnya. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya kita kaji terlebih dahulu perkara yang fitri dan sehingga kita dapat membedakannya dengan perkara biasa lainnya.


Perbedaan Perkara Fitri Dan Non-Fitri
Salah satu barometer yang dapat kita gunakan untuk membedakan antara suatu yang fitrah atau yang bukan fitri ialah; bahwa segala bentuk pemikiran dan tindakan yang muncul dari diri manusia dikarenakan faktor tertentu seperti faktor geografi, ekonomi atau politik, merupakan perkara biasa (bukan fitri) yang bersumber dari kondisi tertentu bukan dari fitrah manusia.

Sebagai contoh, penduduk yang tinggal di kawasan kutub dikarenakan kondisi geografis, mereka terpaksa menggunakan pakaian yang hangat dan tebal, lain halnya dengan masyarakat yang tinggal di kawasan katulistiwa, mereka diharuskan memakai pakain yang tipis dan ringan. Apa yang mereka lakukan ini, merupakan tuntutan kondisi lingkungan hidup mereka dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan fitrah.

Demikian pula dengan pola dan model berpakaian, adat istiadat, upacara, ritual dan lain sebagainya, muncul dikarenakan faktor tertentu dan sama sekali tidak berakar dari fitrah. Karena jika cara berpakaian dan model upacara merupakan perkara yang fitri, maka di seluruh daerah ia akan memiliki pola yang sama, perbedaan ras dan iklim tidak akan menjadikannya beragam, sehingga tidak akan ada lagi designer barat yang merancang bermacam model pakaian dan berbagai jenis boneka dan masyarakat asia pun tidak akan lagi tergila-gila menggandrungi mode-mode terbaru.

Sebaliknya, segala bentuk pemikiran dan tindakan yang muncul dari nurani manusia dan bukan dikarenakan faktor geografi, ekonomi dan politik, maka pemikiran dan tindakan seperti ini merupakan tabiat manusia yang disebut dengan “fitrah” –pada manusia- atau “insting” –pada binatang-.

Oleh karenanya segala aktifitas yang dilakukan lebah seperti mengisap cairan bunga, membuat sarang-sarang yang berbentuk persegi enam, bertelur dan menjaga anak-anaknya, seluruhnya muncul dari insting yang dimilikinya dan sama sekali tidak dipengaruri foktor-faktor luar seperti yang disebutkan di atas, karena kebiasaan ini dimiliki oleh seluruh lebah kapan pun dan di mana pun ia berada. Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa pekerjaan yang dilakukan lebah bersumber dari insting yang merupakan bagian dari keberadannya, dan demikian juga dengan aktifias yang biasa dilakukan oleh hewan lainnya. [12]

Pada diri manusia juga terdapat kecenderungan-kecenderungan mendalam yang keberadaannya tidak dipengaruhi faktor-faktor luar dan dimiliki oleh setiap orang di mana dan kapan pun ia berada. Sebagai contoh, setiap individu manusia pada usia tertentu memiliki kecenderungan khusus kepada permasalahan seksual, keindahan, kekayaan, kedudukan, keturunan, keadilan, serta ketidaksenangan akan penindasan, kekejaman dan segala bentuk diskriminasi, dan tanpa disadari mereka pun terdorong untuk melukiskan perasaan yang dialaminya itu dalam bentuk prilaku dan tindakan.

Dapat dikatakan bahwa kejujuran, amanat dan kemuliaan yang dimiliki orang-orang pedalaman melebihi orang-orang yang tinggal di perkotaan, seperti yang dikatakan Kolbe’s mengenai suku “Hottentot”: “Mereka menganggap sumpah yang mereka ucapkan sebagai suatu yang sakral, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang-orang Eropa dengan cara khianat dan merusak sama sekali tidak dapat ditemukan pada diri mereka”. Sangat disayangkan melalui media-media informasi dan telekomunikasi canggih ciptaan Barat, keahlian menipu dan berkhianat telah diajarkan kepada masyarakat suku “Hottentot” sehingga terkikislah kejujuran yang pernah menjadi pujaan mereka [13]

Dengan mengkaji contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa perkara-perkara fitri memiliki kriteria yang berbeda dengan perkara biasa lainnya, diantara kriteria tersebut:

1. Setiap pemikiran dan tindakan yang berakar dari fitrah manusia selalu bersifat universal dan tidak seorang pun yang tidak memilikinya.

2. Perkara-perkara fitri muncul berkat bimbingan naluri manusia dan sama sekali tidak membutuhkan latihan dan pengajaran.

3. Segala model pemikiran dan tindakan yang berakar dari fitrah, kemunculannya tidak dipengaruhi faktor-faktor dari luar seperti faktor geografis, ekonomi dan politik.

4. Praktek-praktek yang dilakukan guna meredam dorongan fitrah, selamanya tidak akan dapat melenyapkannya, maksimal ia hanya mampu membendung pertumbuhannya.

Adapun perkara-perkara yang bukan fitri memiliki kriteria yang berlawanan dengan empat kriteria di atas.

Sekarang mari kita lihat apakah kecenderungan beragama dan keyakinan kepada Tuhan memiliki kriteria-kriteria tersebut atau tidak? Dengan sedikit menganalisa, kita akan dapat membuktikan bahwa kecenderungan ini memiliki empat kriteria diatas.


selebihnya kita akan mengkaji poin-poin berikut ini:

1. Dorongan Menyembah Tuhan yang Universal
Usaha mengenal Tuhan serta melangkah kepada suatu yang metafisik tidak hanya dilakukan oleh masyarakat belahan dunia tertentu, akan tetapi berdasarkan bukti sejarah -yang berhasil dikumpulkan dari berbagai golongan masyarakat baik yang hidup di perdalaman maupun di perkotaan-, menyatakan bahwa keyakinan kepada Tuhan sebagai Pencipta alam semesta merupakan ideologi yang di anut oleh berbagai kaum dan bangsa. Penggalian dan penyelidikan yang di lakukan para arkeolog guna menyingkap pola kehidupan, budaya, model pemikiran masyarakat terdahulu, selalu saja terpusat pada kuil-kuil besar, patung-patung dan berhala-berhala yang berhasil mereka temukan, semua ini menjadi bukti bahwa masyarakat saat itu menjadikan berhala–berhala sebagai sesembahan mereka, atau paling tidak mereka menganggap berhala-berhala tersebut merupakan penjelmaan yang indah dari sesuatu yang mereka sembah..

Seorang ilmuan terkenal Mesir Farid Wajdi menuliskan: “Hasil penelitian dan penggalian di berbagai kawasan, menceritakan akan keyakinan dan tradisi masyarakat masa lalu yang menyembah berhala, hal ini menandakan bahwa keyakinan akan Sang Pencipta muncul bersamaan dengan keberadaan manusia” [14].

Sebagian ilmuan barat seperti Schopenhauer memandang kecenderungan beragama merupakan suatu yang sangat mendasar dalam diri menusia sehingga ia menjadikannya sebagai batas pemisah antara manusia dan makhluk lainnya dan mengatakan “manusia adalah hewan yang metafisik” [15].

Memang benar, sepanjang sejarah manusia, tidak pernah ditemukan satu masa dan satu wilayah pun yang masyarakatnya tidak menyakini sesuatu yang metafisik. Hal ini tidak lain dikarenakan kecenderungan beragama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia dan akan selalu tetap bersamanya. John.R.Ears rektor Universitas Kolombia mengenai keyakinan beragama mengatakan: “Kita tidak akan pernah menemukan tradisi dan budaya satu bangsa mana pun, kecuali di dalamnya terdapat unsur keagamaan. Keyakinan beragama selalu mewarnai setiap lembaran sejarah peradaban manusia dan akarnya terus menjulur hingga pada kehidupan yang tidak tercatat di dalam kitab-kitab sejarah” [16].

Saat ini, kecenderungan serta keyakian beragama di mata masyarakat modern merupakan fenomena yang alami, dimana pada setiap belahan dunia memiliki manifestasi yang berbeda. Saat ini permukaan bumi dipenuhi oleh kuil-kuil, gereja-gereja, masjid-masjid dan wihara-wihara. Suara teriakan Allahu Akbar setiap harinya terdengar dari pucuk-pucuk menara masjid dan lonceng gereja selalu berdentang di setiap Minggu. Seandainya kita menaiki pesawat dan memperhatikan permukaan berbagai belahan benua dari atas, maka kita akan menyaksikan berbagai macam arsitektur dan bangunan yang menjadi menafestasi dari kecederungan beragama ini, tidak terkecuali baik di kawasan negeri yang terkaya di muka bumi ini maupun yang termiskin.

Apakah kecenderungan dan keyakinan yang universal ini yang dimiliki oleh seluruh bangsa di seluruh masa, tidak menunjukan akan kefitrahannya?

Terlepas dari itu, setiap individu manusia meskipun ia tidak pernah mengenal pandangan orang-orang beragama maupun ucapan orang-orang materealis, namun disaat ia terjebak dalam masalah yang serius, secara tidak disadari hati nuraninya yang mendalam akan merasakan satu keberadaan yang abadi dan kuasa yang mampu memenuhi kebutuhannya dan mengeluarkannya dari problema yang menghimpitnya, dengan sendirinya ia akan mengingat-Nya dan memohon pertolongan dari-Nya.

Perasaan yang muncul tanpa ikhtiar ini (merasakan kehadiran Tuhan), tidak dihasilkan dari proses berfikir, argumen serta filsafat ketuhanan yang rasional dan ilmiah, dan ia pun bukan sebuah konklusi dari satu kajian, analisa atau dialog, akan tetapi perasaan ini merupakan refleksi dari fitrah manusia yang merupakan anugrah Ilahi. Semenjak pertama manusia diciptakan Dia telah menitiskannya (fitrah) dalam ruh dan jiwa manusia dengan sedemikian rupa sehingga disaat ia mengalami kesulitan, secara spontan ia akan merasakan kehadiran-Nya dan tanpa disadari ia pun akan meminta pertolongan dari-Nya, meskipun ia tidak mengetahui bagaimana Dia akan menolongnya dan menenangkan hatinya, namun ia akan terus memohon kepada-Nya, mirip seperti seorang bayi yang mencari ibunya meskipun ia tidak mengetahui siapa ibunya.


2. Fitrah Mengantarkan Seseorang Kepada Tuhannya
Sebagaimana perasaan manusia lainnya, merasakan kehadiran tuhan juga akan muncul dalam diri seseorang tanpa melalui proses belajar dan mengkaji. Setiap individu manusia disaat mengijak usia tertentu, dengan sedirinya ia akan memiliki sederet kecenderungan seperti mencintai kedudukan, jabatan, kekayaan, keindahan dan masalah seksual, dimana kecenderungan-kecenderungan ini muncul dalam diri mereka tanpa melalui proses belajar terlebih dahulu, demikian pula halnya dengan kehadiran Tuhan yang dirasakan seseorang, ia akan merasupi hati semua orang di setiap lembaran hidupnya namun ia akan lebih tampak dan matang saat seseorang memasuki usia baligh.

Kesadaran beragama yang muncul secara spontan dan tanpa proses study ini, selain mengindikasikan akan kefitrahannya ia pun membuktikan bahwa pada kondisi tertentu -sebagaimana kenderungan lainnya- kecenderungan ini akan bereaksi dan bangkit secara spontan. Namun patut diinggat, jika kecenderungan ini tidak diarahkan dengan benar maka ia dapat menimbulkan beragam penyimpangan.

Contohnya, kecenderungan beragama yang kita miliki, seandainya tidak ada arahan yang benar dari para Nabi, Agamawan dan Filsuf Rabbani maka ia dapat membawa kita untuk menyembah berhala, malaikat, ruh-ruh dan berbagai praktek syirik lainnya.

Maksud ungkapan diatas -bahwa kecenderungan naluriah tidak butuh proses belajar-, ialah dalam pertumbuhan dan kemunculannya, namun ia tetap memerlukan seorang pembimbing yang dapat mengarahkannya agar terhindar dari segala macam penyimpangan dan kesesatan.

Penyembahan terhadap berhala dan segala parktek kemusyrikan merupakan akibat dari kecenderungan beragama yang tidak terarahkan, seandainya kecenderungan ini dibarengi dengan pikiran dan akal yang jernih dan mendapat bimbingan para Nabi, maka ia tidak akan pernah memposisikan sesuatu yang tidak berdaya sebagai Tuhan yang Maha Kuasa.


3. Kecenderungan Beragama adalah Panggillan Batin Manusia
Setelah dikaji bahwa kecenderungan beragama selalu ada dalam diri manusia di setiap ruang dan masa, maka dapat kita katakan bahwa kecenderungan ini merupakan panggilan batin yang dimotori oleh fitrah manusia. Seandainya kecenderungan ini dilahirkan lantaran faktor geograsif, ekonomi, dan politik maka ia hanya akan muncul pada komponen masyarakat yang hidup di daerah atau masa tertentu yang memiliki kondisi geografi ekonomi dan politik yang sama, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Namun jangan disalah fahami, kefitrahan sebuah kecenderungan tidak mengindikasikan bahwa ia akan selalu berekspresi di setiap kondisi dan selalu menjadi idola seseorang, justru betapa banyak kecenderungan akan kedudukan dan kekayaan yang telah meneggelamkan sejumlah sifat-sifat mulia seseorang yang juga merupakan fitrah manusia. Fitrah manusia sama sakali tidak terbatas pada kecenderungan bergama saja, akan tetapi selain kecenderungan tersebut, manusia pun memiliki sederet kecenderungan lainnya, saat seseorang hanya memfokuskan perhatian kepada satu kecenderungan saja, maka ia akan melupakan kecenderungan lainnya.

Silahkan Anda perhatikan! Mengkaji dan menganalisa satu permasalahan, merupakan bagian dari tabiat dan naluri manusia. Setiap individu secara naluriah menyukai pembahasan dan kajian ilmiah di berbagai bidang. Akan tetapi sudah merupakan konsensus bahwa kecenderungan batin ini tidak akan tumbuh subur dan bereaksi pada setiap kondisi dan situasi. Kecenderungan mengkaji dan menganalisa yang dimiliki seseorang akan berkembang pesat dalam pusat-pusat pendidikan dan pengkajian serta di tengah-tengah rekan terpelajar, namun sebaliknya di dalam lingkungan yang tidak kondusif pertumbuhannya akan lamban dan melemah, dan jika kondisi ini terus berlanjut maka keberadannya pun dapat terlupakan. Sama halnya dengan dorongan untuk beristeri dan menikah atau kecenderungan akan harta dan jabatan juga bersumber dari fitrah manusia, namun pada setiap kondisi kadar pertumbuhannya tidak akan sama, di saat kondisi yang ada lebih mendorong seorang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, bisa jadi kecenderungan menikahnya akan terlupakan, dan demikian pula sebaliknya.

Kecenderungan beragama pun juga demikian, menyembah dunia serta tenggelam dalam kemaksiatan dan kesenangan akan menjadikan seseorang melupakan kecenderungan spiritualnya, mirip seperti seorang yang melupakan kecenderungan seksualnya saat ia sangat merasakan lapar dan haus, namun ketika ia telah memuaskan dahaga serta laparnya dan faktor yang membuatnya lupa pun telah terangkat, dengan sendirinya kecenderungan seksualnya pun akan kembali bereaksi.

Di antara kecenderungan-kecenderungan spiritual dan dorongan-dorongan hawa nafsu manusia selalu saja terjadi perseteruan, disaat dorongan hawa nafsu telah menguasai jiwa dan ruh seseorang maka tidak ada lagi ruang tersisa untuk kecenderungan spiritualnya.

Musibah dan kesulitan yang dialami manusia merupakan ledakan yang dapat menyadarkan seseorang dari kehidupan materi yang melelapkan, ia mampu membersihkan setiap bercak hitam yang mengotori hati seseorang serta dapat membentuk kondisi yang kondusif guna pertumbuhan fitrah dan kecenderungan spiritual yang dimiliknya. Oleh karenanya seorang yang lalai, secara tidak disadari ia akan mengingat Tuhan dan memohon kepada-Nya saat ia menghadapi problema dan masalah yang serius.

Tidak dapat dipungkiri, memang kebanyakan manusia hanya akan mengingat Tuhan saat jiwa mereka terancam dan tertekan, namun hal ini tidak menafikan bahwa selain mereka pun ada sejumlah orang-orang tertentu yang selalu mengingat Tuhan walaupun mereka berada dalam kemudahan, hati-hati mereka telah bergantung dan memiliki ikatan dengan alam abadi (akherat). Hal ini sangat sulit difahami oleh orang-orang biasa yang tidak memiliki jiwa spiritual yang tinggi, menurut ucapan Albert Einstein: “Saya sulit menerangkan kondisi spiritual yang ada dalam jiwa seseorang kepada pribadi yang sama sekali tidak pernah merasakannya. Dalam kondisi seperti ini, seseorang dengan mudah dapat mengetahui impian dan cita-cita orang lain dan merasakan kebesaran sesuatu yang hanya tampak di alam metafisik”.[17]

Seorang yang tenggelam dalam kesenangan dan melupakan Tuhannya, mirip seperti anak kecil yang sedang asyik bermain yang lupa terhadap orang tuanya yang sejak pertama selalu mengawasinya, namun ketika sang anak mengalami kesulitan atau merasakan ketakutan, secara spontan ia akan mencari orang tuannya dan meminta pertolongan darinya.

Saat manusia hidup dalam kemewahan, segala kesibukan akan mencegahnya untuk mengingat perkara agama, namun jika terjadi sesuatu yang meluluhkan kehidupannya yang tidak mampu dihindarinya, di dalam jiwanya akan tarjadi pergolakan yang akan mengantarkannya pada satu Penguasa mutlak yang sempurna.
Oleh karenanya disaat seseorang merasa akan mengalami musibah, bahteranya akan tenggelam atau pesawat yang dinaikinya akan terjatuh, maka baik yang mukmin atau yang atheis sekalipun secara spontan akan mengingat Tuhan dan memohon pertolongan dari-Nya. Sungguh rasa takut dan pedih yang mencekam akan menyingkap tabir-tabir hitam dari nurani kita dan membangkitkan naluri religius kita yang sudah lama terkubur.


4. Kecenderungan Beragama Mustahil Dilenyapkan
Di antara kaum dan umat tertentu selalu terdapat orang-orang yang dengan menjalani latihan dan meditasi yang sulit, mereka mampu membendung sejumlah dorongan fitrah yang dimilikinya. Contohnya, para pendeta Nasrani dan petapa India, dengan menjalani ritual dan pelatihan mereka mampu mengurangi dorongan seksual mereka sehingga nyaris tidak memililiki gairah ke arahnya, namun jika orang-orang semacam ini berada dalam kondisi dan situasi tertentu, dorongan seksual yang mereka miliki pun akan kembali bangkit dan mulai bereaksi.

Berdasarkan ini, kefitrahan sesuatu tidak mengharuskannya untuk selalu bereaksi pada setiap kondisi, namun ia akan bereaksi jika tidak ada penghalang yang menghadang ruang geraknya.

Mencari dan merasakan kehadiran Tuhan memang merupakan naluri dan fitrah manusia, namun bukan berarti pertumbuhannya tidak dapat terpengaruhi oleh faktor luar, justru pertumbuhan kecenderungan semacam ini –sebagaimana kecenderungan yang lainnya- memerlukan kondisi dan situasi yang kondusif sehingga dapat membantu perkembangannya.

Tidak diragukan lagi bahwa beragam propaganda dapat berpengaruh melemahkan dorongan batin seseorang, namun walau bagaimana pun ia tidak akan dapat melenyapkan akarnya. Meskipun dewasa ini orang-orang barisan kiri (komunis) telah menguasai sepertiga penduduk dunia dan para pembesar materialis dengan berbagai sarana dan tipu muslihat selalu berusaha untuk melenyapkan kecenderungan spiritual dari hati masyarakat yang berada dibawah jajahan mereka, namun hingga sekarang mereka belum mencapai suatu yang berarti dan belum berhasil mengosongkan hati mereka dari kecenderungan tersebut.

Walaupun kekuasaan Komunis semenjak Revolusi telah menguasai penduduk Rusia selama lima puluh empat tahun, namun sampai saat ini kecenderungan beragama dan dorongan religius masih tetap bersemayam dalam hati mereka, oleh karenanya akhir-akhir ini pemerintah Rusia memberikan kebebasan bersyarat kepada umat Kristiani dan umat Islam untuk mengadakan ritual-ritual dan upacara-upacara keagamaan.


Tauhid Fitri Menurut Pandangan Ayat dan Riwayat
Rahasia besar fitrah manusia yang baru berhasil di ungkap para ilmuan besar dewasa ini pada dasarnya telah disinggung dalam al-Quran yang diturunkan kepada Nabi umat Islam semanjak empat belas abad lalu, dimana dalam sebuah ayat Allah Swt berfirman:

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama secara lurus, fitrah Allah dimana Ia menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang benar, tetapi kebanykan manusia tidak mengetahuinya” (ar-Rum: 30)

Yang dimaksud dengan “agama yang lurus” dalam ayat ini -yang berdasarkannya manusia diciptakan- adalah agama tauhid, dengan demikian ayat ini menyatakan secara gamblang bahwa segala penyelewengan dan pengingkaran terhadap tauhid merupakan suatu yang bertentangan dengan fitrah manusia dan praktek tersebut tidak akan memiliki basis yang kuat dalam diri manusia.

Saat menafsirkan ayat ini Imam Shadiq As bersabda: “mereka diciptakan berdasarkan Tauhid” [18]. Seorang pemuda yang telah lelah dan dibingungkan dengan segala argumen filsafat dan rasional datang ke hadapan Imam Shadiq as dan memohon kepada beliau untuk menuntunnya menemukan Tuhannya. Imam Shadiq as dengan membawa contoh yang berakar dari ayat[19] berkehendak membangkitkan fitrah pemuda itu, seraya bersabda: Apakah engkau pernah berpergian menyebrangi lautan dan menaiki bahtera?

Pemuda tersebut menjawab: Ya saya pernah melakukannya.

Imam kembali bertanya: Apakah perahumu pernah mengalami kerusakan dimana saat itu tidak ada perahu lain yang dapat menyelamatkanmu dan kamu pun tidak dapat berenang?.

Pemuda menjawab: Ya wahai putera Rasulullah sunguh kejadian ini telah aku alami.

Imam melanjutkan: apakah pada saat itu terlintas di benakmu bahwa ada sesuatu yang mampu menyelamatkanmu dari kematian?

Ya, jawabnya.

Imam bersabda: Sungguh yang kamu rasakan Dialah Tuhan yang Maha Kuasa yang dapat menyelamatkanmu dan memenuhi kebutuhanmu saat tidak ada sarana lainnya yang mampu menolongmu.

Dalam kesempatan ini ada baiknya kalau kita mengutip ucapan sebagian ilmuan besar.

John Jacque Rousseau mengatakan: “Jalan mengenal Tuhan tidak hanya terbatas pada metode rasional, atau rasa ragu dan khayalan, akan tetapi kecenderungan fitrah merupakan jalan terbaik untuk membuktikan masalah ini”[20].

Kecenderungan beragama merupakan elemen asli yang permanen dan merupakan tabiat ruh manusia, meskipun dengan diterpa berbagai propaganda, bagian intinya tidak akan mengalami perubahan. Kecenderugan fitri secara tidak disadari muncul dari batin seseorang yang paling mendalam, dan ia merupakan dimensi keempat ruh manusia yang memiliki indepedensi sebagaimana tiga dimensi lainnya”.[21]

Pascal mengatakan: “Masyarakat umum tidak dapat memahami bahwa yang menyadari keberadaan Tuhan adalah hati bukan akal”.

Alexis Carrel mengatakan: “Dorongan religius merupakan getaran yang muncul dari kedalaman fitrah kita, sudah merupakan tabiat manusia sebagaiman ia butuh makan dan minum, ia pun butuh kepada Tuhan”.

Pascal mengatakan: “Hati memberikan kesaksian akan keberadaan Tuhan bukan akal dan iman, dengan jalan inilah Dia dapat digapai”.[22]

Will Durant mengatakan: “Keimanan merupakan perkara yang alami dan dapat menumbuhkan sejumlah kecenderungan dan dorongan yang kita miliki”.[23]

Paul Colorants Abrasively mengatakan: “Kemampuan manusia dalam merasakan kehadiran Sang Pencipta yang berada di luar pemahaman dan kesadarnnya, merupakan bukti yang kongkret akan keberadaan Tuhan”.[24]

Dari sejumlah ucapan di atas jelaslah bahwa ruh manusia memiliki dimensi yang disebut dengan kecenderungan beragama, dorongan religius atau dorongan mencari Tuhan.dan seluruh individu manusia -menghendaki atau tidak- dengan sendirinya ia akan tergiring ke arahnya sesuai kadar kekuatan fitrah yang dimilikinya. Dorongan ini tidak akan muncul kecuali dari diri dan tabiat manusia itu sendiri dan segala konklusi yang dihasilkannya sama sekali tidak berpijak pada kaedah ilmiah, argumentasi dan rasio bahkan pada hukum kausalitas -yang biasa difahami kalangan umum- sekalipun. Oleh karena itu kita harus membedakan antara Tauhid Fitri dan Tauhid Istidlali yang berpijak pada argumen-argumen rasional dan ilmiah, meskipun banyak ahli teolog yang menyamaratakan dan tidak membedakan kedua macam Tauhid ini.


Motivasi Manusia Dalam Mencari Tuhan
Apakah yang memotivasi manusia dalam mencari Tuhan, agama dan segala yang metafisikal? Pertanyaan inilah yang biasanya dilontarkan oleh orang-orang materialis. Para pakar psikologi dan sosiologi mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan menyebutkan sejumlah faktor yang ada, yang akan menjadi obyek kajian kita saat ini.

Setelah mengkaji akan kecenderungan beragama secara luas, jawaban dari pertanyaan di atas akan terasa sangat jelas, karena kesadaran manusia untuk mencari dan mengkaji permasalahan religius semacam ini, -tidak lain- dibangkitkan oleh dorongan fitrahnya yang bersumber dari batinnya yang paling mendalam.

Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan kita “Mengapa manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat?” atau “Sejak kapan manusia memiliki kecintaan terhadap dirinya, jabatan, kekayaan dan lainnya?”, pertanyaan-pertanyaan ini memiliki jawaban yang sama yaitu, kecenderungan terhadap hal tersebut merupakan naluri dan fitrah manusia yang telah menjadi bagian dari penciptaannya. Oleh karenanya selama manusia tetap ada, dengan segala macam pola, kesadaran terhadap hal-hal seperti ini akan selalu ada dalam dirinya.

Selain itu, ada faktor lain yang tidak kalah besar pengaruhnya dalam memotivasi manusia untuk mencari Tuhannya, faktor tersebut adalah “rasio dan akal” dimana dengan berpikir secara sederhana, seseorang dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Contoh kongkritnya adalah kaidah rasional yang mengatakan “segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa sebab” dari kaedah sederhana ini manusia dapat membuktikan bahwa keberadaan dirinya, alam semesta beserta isinya, mengharuskan adanya penyebab yang memiliki pengetahuan dan kekuasaan mutlak, Dia tidak lain adalah Tuhan yang Maha Kuasa.

Dengan kata lain, selain kecenderungan bergama ada kecenderungan lain yang mendorong manusia untuk menemukan Tuhannnya, ia adalah rasa ingin tahu yang dimiliki manusia yang telah mendorongnya untuk mengkaji dan menganalisa segala fenomena alam dan kehidupan, dan yang telah menjadikan sejumlah ilmuan meninggalkan kehidupannya yang mengasyikkan untuk mengahabiskan umurnya di dalam lab-lab dan pusat-pusat penelitian guna menyingkap sejumlah rahasia alam semesta.

Seseorang biasa menyaksikan pepohonan yang tumbang atau tercabut akarnya dikarenakan hembusan angin yang kencang, disaat ia menyaksikan hal semacam ini berkali-kali, maka akan muncul di benaknya sebuah kaedah rasional yang sederhana “Bahwa tumbangnya pepohonan tidak akan terjadi begitu saja tanpa sebab”. Dengan menyakini kaedah ini, ia akan berfikir sesuatu yang lebih luas lagi, apakah mungkin keberadaan alam semesta ini tidak ada Penyebab yang Maha Kuasa -sebagai sumber kehidupan dan seluruh keberadaan- yang telah menciptakan alam ini beserta isinya?.

Benak seorang anak kecil selalu dipenuhi oleh berbagai soalan dan pertanyaan, dan rasa ingin tahunya ini tidak akan terpuaskan kecuali setelah ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang biasa dilontarkan kepada kedua orang tuanya. Dari segi pemahaman, pemikiran dan kecerdasan, masyarkat primitif pun tidak kalah dengan anak kecil zaman sekarang yang berusia enam tahun. Dapat dipastikan bahwa dalam benak mereka pun terlintas pertanyaan-pertanyaan seputar keberadaan dirinya dan alam semesta, dimana pada akhirnya mereka akan memuaskan rasa keingintahuannya dengan menyakini keberadaan Sang Pencipta.

Sepanjang sejarah perjalan ilmu pengetahuan berbagai teori yang keliru bermunculan silih berganti, jika kesalahan teori yang ada telah terungkap, maka teori baru pun akan segera mencuat. Tidak ada yang memungkiri bahwa kecenderungan manusia untuk mengkaji wacana-wacana ilmiah seperti ini –baik yang keliru atau benar- didorong oleh rasa keingintahuan yang dimilikinya, dan tidak ada seorang ilmuan pun yang mengatakan bahwa kecenderungan ini disebabkan faktor lain selain pikiran dan akal manusia.

Jika bermunculannya teori-teori ilmiah kita katakan sebagai akibat dari rasa keingintahuan manusia, dan tidak menganggapnya sebagai akibat dari kondisi psikologis atau sosiologis, lantas mengapa berkenaan dengan kajian akan asal-usul penciptaan dan awal keberadaan, kita tidak mengatakan seperti itu?

Orang-orang yang mengingkari akal dan pikiran sebagai faktor munculnya keyakinan manusia terhadap Tuhan, agama dan segala yang metafisik, selalu berusaha menafsirkan faktor kemunculannya sesuai dengan pandangan sebagian sosiolog dan psikolog, dan mengatakan bahwa kemunculan keyakinan diatas sama sekali bukan dikarenakan faktor akal, pikiran dan fitrah manusia, akan tetapi ia merupakan akibat dari kondisi psikologis dan sosiologis seseorang.

Pandangan di atas sama sekali tidak dapat dibenarkan kecuali jika memang yang menjadi obyeknya adalah sejumlah keyakinan dan pemikiran yang tidak rasional yang muncul akibat kondisi psikologis atau sosiologis penganutnya yang sama sekali tidak berakar pada akal dan fitrahnya.

Contohnya, kenyakinan akan suatu yang dapat membawa keberuntungan, hari-hari sial, ramalan keburukan yang disimpulkan dari hewan atau satu kejadian dan berbagai takhayul lainnya. Keyakinan-keyakinan seperti ini sama sekali tidak bersandarkan pada akal, pikiran dan fitrah manusia, jika para psikolog dan sosiolog ingin mengkaji sebuah pemikiran umat atau masyarakat tertentu, maka hanya ruang-ruang inilah yang dapat dijamahnya. Masalah-masalah ini merupakan lahan bagi para psikolog dan sosiolog untuk mengutarakan gagasannya dan menelusuri penyebab kemunculannya, dan dengan menganalisa dengan teliti niscaya faktor kemunculannya pun akan segera terungkap.

Adapun keyakinan-keyakinan yang sesuai dengan hati nurani dan menyatu dengan hakikat dan ruh manusia yang berbasis logika dan rasional, sama sekali tidak ada kaitannya dengan ilmu sosiologi dan psikologi, oleh karena itu para pakar di bidang ini tidak memiliki ruang untuk mengutarakan pandangannya. [25]

13
NEO-TEOLOGI I

Menyusuri Belantara Hermeunetik
Hermeneutik ialah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran, interpretasi, dan pemahaman teks. Permasalahan pertama yang berhubungan pemahaman adalah esensi dan hakikat pemahaman: apa pemahaman itu? Pertanyaan kedua berhubungan dengan subjek dan ranah pemahaman: Apa yang bisa dipahami? Persoalan ketiga menitikberatkan pada proses terbentuknya suatu pemahaman atau fenomenologi pemahaman: Bagaimana pemahaman itu bisa terwujud? Namun, persoalan ketiga ini merupakan perkara yang paling urgen dan penting dalam pembahasan yang terkait dengan hermeneutik.

Ilmu hermeneutik telah melalui proses sejarah yang panjang di dunia Barat, pandangan dan gagasan yang muncul tentangnya bermacam-macam dan terkadang saling bertolak belakang. Di Barat, hermeneutik berproses dalam tiga jenjang historis, yaitu: hermeneutik pra-klasik, hermeneutik klasik, dan hermeneutik kontemporer. Pada jenjang pertamanya terhitung sejak hadirnya gerakan reformasi agama hingga abad kesembilanbelas Masehi dan munculnya pemikir Friedrich D. E. Schleiermacher. Masa kedua dari Schleiermacher hingga Martin Heidegger, dan zaman ketiga adalah pasca Heidegger yang dikenal dengan nama hermeneutik filosofis.

Hingga pada zaman Schleiermacher, hermeneutik hanya difungsikan sebagai media untuk interpretasi teks-teks Kitab Suci agama. Ia kemudian meluaskan subjeknya dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menafsirkan teks-teks selain agama seperti kesusastraan dan hukum. Setelahnya, di tangan Wilhelm Dilthey, ranah hermeneutik semakin melebar mengkaji segala teks dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan humaniora (human sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan Heidegger, domain hermeneutik menjadi sangat universal yang membahas teks dan non-teks, fenomena-fenomena yang berkaitan dengan prilaku manusia, alam materi, dan metafisika.

Pembahasan-pembahasan hermeneutikal ini, pada awalnya, merupakan bagian dari teologi dan dikategorikan sebagai kaidah-kaidah dan basis-basis teori penafsiran Kitab Suci, yang dengan berlandaskan padanya, para penafsir dan mufassir menafsirkan teks-teks Kitab Suci. Akan tetapi, pada era-era selanjutnya, kaidah-kaidah dan metode-metode penafsiran Kitab Suci itu kemudian melebar dan meluas meliputi penafsiran kitab-kitab lain. Dan akhirnya, yang dimaksud dengan istilah ini adalah metodologi umum yang sama digunakan di semua bidang ilmu dalam koridor pembahasan linguistik dan teks-teks.

Dengan perubahan ini, metode-metode penafsiran Kitab Suci kemudian didasarkan dengan teori-teori bukan agama, dan Kitab Injil yang merupakan salah satu dari kitab-kitab yang tak terhitung jumlahnya itu ditafsirkan dengan berpijak pada kaidah-kaidah dan aturan-aturan tersebut. Perubahan ini yang sesungguhnya dipengaruh oleh Rasionalisme, menyebabkan penafsiran yang pada awalnya bersifat keagamaan lantas berubah menjadi suatu penafsiran yang bersifat menyeluruh dan meluas, sehingga menurut filosof Schleiermacher dan Dilthey, hermeneutik itu adalah pengetahuan yang berhubungan dengan pemahaman linguistik secara umum. Dilthey menganggap hermeneutik itu bertugas untuk membentuk dasar-dasar metodologi bagi ilmu humaniora.

Berlawanan dengan kecenderungan tersebut, Martin Heidegger memaknakan kembali hermeneutik itu secara religius dan spiritual. Dan dengan mengubah tujuannya, diperoleh makna-makna yang berbeda dari hermeneutik. Dengan perspektif ini, para penafsir akan menafsirkan realitas berdasarkan karakter-karakter spiritualnya masing-masing dan posisi hermeneutik berubah menafsirkan hakikat eksistensi manusia. Begitu pula Hans-Georg Gadamer menegaskan hermeneutik itu sebagai penjelas substansi pemahaman manusia dan semata-mata tidak lagi memandang hermeneutik itu sebagai dasar-dasar metodologi bagi humaniora dan bukan bagi ilmu-ilmu empirik. Hermeneutik, menurutnya, harus diposisikan secara umum sebagai penjelas dan penentu hakikat pemahaman dan penafsiran manusia.

Pada beberapa kurun terakhir ini, pembahasan hermeneutik semakin meluas dan telah menghadirkan beberapa cabang baru pengkajian dalam lautan pemikiran manusia serta menjadi wacana tersendiri yang istimewa. Era ini, banyak para pemikir besar yang berkecimpung dan menganalisa wacana ini secara mendetail dalam setiap satu pokok permasalahan hermeneutik, dalam setiap tahunnya beragam risalah dan karya-karya baru yang membahas khusus tentang persoalan-persoalan ini dicuatkan ke pasaran ilmiah. Selain itu, pada dekade ke duapuluh, pembahasan tentang hermeneutik ini telah mendapatkan perhatian dan sambutan tersendiri, hasil-hasil kajian dalam bidang ini telah mempengaruhi dan memberikan imbas yang tak sedikit pada disiplin-disiplin pengetahuan lain dan telah meletakkan para cendekiawan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya berada di bawah pengaruhnya serta memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan kajian-kajian baru. Munculnya beragam disiplin pemikiran sebagaimana filsafat, teologi, neo-teologi, ilmu sosial, filsafat ilmu, dan bidang ilmu lainnya telah menjadi bukti akan semakin berkembangnya ilmu hermeneutik dan pengkajian-pengkajian mengenainya.

Istilah hermeneutik, dalam sejarah penggunaannya, muncul dalam bentuk sebuah cabang dari pengetahuan dan menunjuk pada volume pemikiran tertentu dimana karena keluasan dan keragaman kajiannya berakibat pada adanya pergeseran dari batasan-batasan kedisiplinan subjeknya. Katalog topik-topik yang dianalisa dalam pembahasan hermeneutik ini sangat luas dan bervariasi, hingga pada wilayah-wilayah kajian kritik historis, budaya, sosial, dan pemikiran-pemikiran teoritis lainnya.

Salah satu pembahasan-pembahasan prinsipil dalam hermeneutik adalah menjelaskan posisi masing-masing dari penulis, teks, dan penafsir dalam pemahaman dan interpretasi teks-teks. Dalam masalah ini, terdapat ide dan gagasan yang beragam. Sebagian menempatkan peran yang sangat penting bagi penulis dan penafsiran teks tersebut dibandingkan dengan tujuan dan kedudukan penulis. Yang lain memandang teks sebagai yang prinsipil dan tidak berhubungan dengan penulis. Dan gagasan lain beranggapan bahwa pemahaman teks itu sepenuhnya bergantung pada penafsir dan audience. Perspektif yang terakhir ini ialah konsep hermeneutik filosofis yang sangat menekankan bahwa pemahaman makna teks itu berkaitan erat dengan asumsi-asumsi, budaya-budaya, dan pikiran-pikiran yang berpengaruh pada seorang mufassir. Hal ini merupakan salah satu faktor fundamental dari relativisme dalam interpretasi teks dimana bertolak belakang dengan keyakinan hakiki dan kepercayaan tetap keagamaan.

Dialektika ini semakin menguat ketika sebagian dari pemikir agama menerima gagasan hermeneutik filosofis tersebut dan mengaplikasikannya dalam interpretasi teks dan penafsiran wacana-wacana keagamaan. Oleh sebab itu, penelitian terhadap aliran-aliran dan konsep-konsep hermeneutikal bagi para pemikir dan pengkaji agama menjadi suatu hal yang sangat urgen dan prinsipil.

Dalam ranah budaya dan pemikiran Islam, cabang ilmu tertentu belum diwujudkan untuk membahas dan mengkaji secara komprehensif persoalan-persoalan dan perspektif-perspektif hermeneutikal. Masalah-masalah penting hermeneutikal itu masih dibahas secara terpisah dalam cabang-cabang ilmu Islam seperti ilmu tafsir, ushul fiqih, teologi, dan gnosis (irfan). Semua pembahasan semantik (nahwu) dalam ushul fiqih berkaitan dengan hermeneutik. Kajian dasar-dasar dan kaidah-kaidah tafsir al-Quran dan kalam Ilahi berhubungan erat dengan persoalan hermeneutikal. Begitu pula, analisa teolog dan filosof tentang sifat-sifat Tuhan dan persoalan-persoalan di seputarnya adalah juga tergolong ke dalam kajian hermeneutik. Pembahasan-pembahasan hermeneutikal yang terdapat dalam ilmu-ilmu keislaman bisa menjadi wacana-wacana komparatif terhadap kajian-kajian hermeneutikal Barat.

Penggambaran universal tentang hermeneutik, sejarahnya, dan persoalan-persoalannya merupakan tujuan utama penulisan makalah ini, akan tetapi pada poin pertama dari makalah ini akan diupayakan untuk menyajikan pembahasan mengenai substansi hermeneutik dan batasan-batasan kajiannya. Oleh karena itu, sangatlah urgen membahas mengenai latar belakang sejarah penggunaan istilah ini, definisi istilah, demikian juga analisis terhadap posisi dan hubungannya dengan cabang-cabang pengetahuan lainnya, serta pengenalan terhadap arah dan tujuan pokok-pokok pembahasannya. Hermeneutik kontemporer dan pengaruh-pengaruh yang dimunculkannya dalam ruang lingkup pemikiran-pemikiran agama juga merupakan dimensi lain yang akan dianalisa dan dikaji dalam poin ini. Pembahasan ini, selain akan mengantarkan kita pada penggungkapan esensi hermeneutik, juga akan menguak tabir urgensi khusus dari hermeneutik kontemporer yang nantinya akan diaplikasikan dalam penafsiran, perenungan, dan pengembangan pemikiran agama.


1. Terminologi Hermeneutik
Kata "Hermeneutik" telah dikenal secara umum dan meluas di kalangan bangsa Yunani kuno. Aristoteles telah menggunakan kata ini untuk menamai salah satu bagian dari kitabnya yang bernama Arganon yang membahas tentang "Logika Proposisi", dan ia menamai bagian tersebut dengan Peri Hermeneias yang berarti "Bagian Tafsir". Dalam kitabnya ini, Aristoteles menganalisa tentang struktur gramatikal percakapan manusia. Dikatakan bahwa dalam percakapan manusia yang biasanya diungkapkan dalam bentuk proposisi dimana untuk menjelaskan tentang kekhususan sebuah benda maka mesti terjadi penyatuan antara subjek dan predikat. Meskipun demikian, hingga masa Renaisans yaitu hingga dekade ke enambelas Masehi, hermeneutik belum dikokohkan sebagai salah satu disiplin ilmu.[1]

Hingga kurun ke tujuhbelas Masehi, kami belum menemukan satupun bukti ontentik tentang lahirnya suatu disiplin baru ilmu yang dinamakan hermeneutik. Dann Hauer dikenal secara umum sebagai orang pertama yang menggunakan kata ini untuk memperkenalkan variasi dari sebuah cabang ilmu. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1654 Masehi, Dann Hauer menggunakan kata ini untuk judul salah satu dari karyanya.[2]

Menurut Dann Hauer, basis dari seluruh ilmu adalah metode penafsiran atau interpretasi, dan setiap cabang dari pengetahuan dan makrifat senantiasa harus meliputi jenis ilmu ini yaitu ilmu tafsir. Rahasia dari munculnya perspektif ini adalah karena mayoritas persangkaan dan anggapan yang muncul pada masa itu adalah bahwa seluruh perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi pada cabang-cabang ilmu dan pengetahuan seperti ilmu hukum, teologi, dan kedokteran senantiasa membutuhkan suatu bantuan penafsiran atas teks-teks yang berkaitan dengan cabang-cabang ilmu tersebut, dan konsekuensi dari hal ini adalah kemestian keberadaan suatu ilmu yang bertanggung jawab terhadap penetapan tolok ukur dan penegasan metode yang berhubungan dengan interpretasi dan penafsiran pengetahuan-pengetahuan tersebut.[3]

Oleh karena itu, ilmu hermeneutik dalam posisinya sebagai salah satu disiplin pengetahuan merupakan sebuah fenomena baru yang berhubungan dengan zaman modern. Kata hermeneutik telah digunakan sejak zaman Plato, akan tetapi sinonimnya dalam bahasa Latin yaitu hermeneutice yang baru memasyarakat pada dekade ke tujuhbelas dan setelahnya, diletakkan sebagai sebuah istilah bagi salah satu cabang dari pengetahuan manusia. Dengan alasan inilah, analisis tentang latar belakang sejarah hermeneutik tersebut baru dimulai dari kurun ke tujuhbelas, sedangkan masa-masa sebelum itu disebut dengan masa pra historis hermeneutik.

Tujuan dan maksud kami dalam makalah ini adalah membahas dan menganalisa tentang pengertian dan defenisi gramatikal hermeneutik, akan tetapi, di samping itu, kami juga akan menyinggung secara ringkas tentang pengertian-pengertian leksikalnya.

Biasanya dalam pembahasan etimologi hermeneutik terdapat hubungan yang erat dan jelas antara kata ini dengan Hermes, salah satu Tuhan yang dimiliki oleh bangsa Yunani yang bertugas sebagai Penyampai Berita. Kata hermeneutic sendiri diambil dari kata kerja Yunani, hermeneuin, yang berarti "menginterpretasikan atau menafsirkan (to interpret)" dan kata bendanya adalah hermeneia yang berarti "tafsir". Dilema beragam yang kemudian muncul dari kata ini mengandung pemahaman terhadap sesuatu atau kondisi yang tak jelas. Bangsa Yunani menisbatkan penemuan bahasa dan tulisan kepada Hermes, yakni bahasa dan tulisan ini merupakan dua elemen yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami makna dan menafsirkan berbagai realitas. Tugas Hermes adalah "memahami" dan "menafsirkan sesuatu", dimana dalam persoalan ini, unsur bahasa memegang peran yang sangat asasi dan penting.[4]

Hermes adalah seorang perantara yang bertugas menafsirkan dan menjelaskan berita-berita dan pesan-pesan suci Tuhan yang kandungannya lebih tinggi dari pemahaman manusia sedemikian sehingga bisa dipahami oleh mereka. Sebagian dari para peneliti beranggapan bahwa tiga unsur mendasar yang terdapat di dalam setiap penafsiran itu merupakan bukti yang jelas bagi adanya keterkaitan yang erat antara kata hermeneutik dengan Hermes. Setiap tafsiran dan interpretasi senantiasa memiliki tiga unsur di bawah ini:

a. Pesan dan teks yang dibutuhkan untuk lahirnya suatu pemahaman dan interpretasi,

b. Penafsir (Hermes) yang menginterpretasikan dan menafsirkan pesan dan teks,

c. Penyampaian pesan dan teks kepada lawan bicara.

Ketiga unsur yang pokok di atas merupakan inti-inti pembahasan dan pengkajian hermeneutik, masalah-masalah seperti esensi teks, pengertian pemahaman teks, dan pengaruh dari asumsi-asumsi dan kepercayaan-kepercayaan terhadap lahirnya suatu pemahaman.[5]

Sebagian besar menerima analisis etimologi yang menempatkan Hermes sebagai perantara dan penafsir antara teks dan Tuhan. Analisis ini dipandang lebih tepat dari analisis-analisis lainnya. Akan tetapi, sebagian yang lain meragukan dan menolak perspektif semacam ini. Bagaimanapun juga, tetap terbuka secara luas untuk hadirnya perspektif-perspektif baru dalam masalah ini.[6]

Ketika kita ingin menempatkan hermeneutik sebagai salah satu cabang pengetahuan dan majemuk dari teori-teori dan pemikiran-pemikiran, maka kita harus meletakkan huruf "s" di akhir kata hermeneutic, sehingga menjadi "hermeneutics", meskipun sebagian teori seperti teori yang dikemukakan oleh James McConkey Robinson yang mengatakan bahwa penyebutan huruf "s" di akhir kata ini adalah tidak diperlukan.[7]

Dengan mengesampingkan penggunaan kata ini sebagai cabang dari ilmu dan pengetahuan yang diiringi dengan huruf "s", hermeneutic (yang tanpa diikuti dengan huruf "s") juga digunakan dalam kata benda dan sifat. Dalam pemanfaatan dari kata benda ini kadangkala huruf "s" diletakkan di akhir kata tersebut dan kadangkala pula tidak digunakan. Dalam penggunaan ini, hermeneutic diposisikan sebagai nama dari berbagai kecenderungan-kecenderungan, cabang-cabang, dan aliran-aliran yang beragam yang terdapat dalam ruang lingkup disiplin pemikiran hermeneutik, atau diletakkan sebagai cabang-cabang, kecenderungan-kecenderungan, dan maktab-maktab beragam yang ada dalam koridor pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan dan pengkajian pembahasan hermeneutik. Sebagai contoh kita bisa lihat pada penggabungan semacam "Hermeneutik kitab Suci", "Hermeneutik Linguistik", "Hermeneutik Metodologi ", dan "Hermeneutik Heidegger".

Penggunaan kata sifatnya muncul dalam bentuk "hermeneutic" dan "hermeneutical", misalnya dikatakan "Hermeneutical Theory", "Hermeneutic Theology", "Hermenutic Event"[8], dan "Hermeneutical Situation".[9]

Perlu diketahui bahwa kecermatan dan ketajaman dalam mencari akar kata leksikal dari kata hermeneutik ini tidak akan membantu pengenalan esensi dan keluasan pembahasan hermeneutik kontemporer. Keluasan ranah dan pembahasan hermeneutik serta perubahan internal yang ada padanya tidak memiliki korelasi yang logis dengan makna leksikal dan akar katanya sehingga mampu digunakan untuk menemukan dan mencari solusi dalam naungan kajian linguistik ke arah pemahaman yang lebih mendalam terhadap apa yang sekarang dinamakan dengan hermeneutik. Dari sini, tidak ditemukan adanya manfaat yang terlalu penting dalam mengenal akar kata leksikal dan analisis historis penggunaan kata hermeneutik ini dalam karya-karya para pemikir Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles, dengan alasan inilah kami menghindarkan pembahasan yang lebih panjang dalam pengkajian linguistik terhadap masalah ini.


2. Definisi Hermeneutik
Dalam sepanjang sejarah yang tidak berapa jauh terlewatkan, hermeneutik disajikan dalam definisi yang bervariasi dimana masing-masingnya menunjuk pada satu perspektif khusus yang berkaitan dengan arah, tujuan, subjek, dan aplikasi-aplikasi dari disiplin pengetahuan ini. Sebelum memberikan keputusan akhir dalam masalah kemungkinan penyajian definisi global hermeneutik yang nampak pada upaya-upaya pemikiran masa lalu tentangnya, ada baiknya apabila kami menyinggung pula sepintas definisi-definisi hermeneutik yang ada. Pemahaman yang benar terhadap masing-masing definisi ini membutuhkan penjelasan singkat tentang proses pembentukannya. Persoalan yang senantiasa hangat ini merupakan ungkapan para pemilik definisi-definisi ini yang berangkat dari tujuan dan aplikasi hermeneutik.

Johannes Martin Chladenius (1710-1759 M) yang menganggap ilmu humaniora berpijak pada "keahlian interpretasi"[10] dan hermeneutik merupakan nama lain dari keahlian ini. Dalam proses memahami ungkapan percakapan dan teks penulisan, kadangkala muncul ketidakjelasan yang akan menghambat proses pencapaian pemahaman sempurna atasnya. Dan di sini hermeneutik, merupakan sebuah keahlian yang bisa digunakan untuk mendapatkan pemahaman komplit dan sempurna serta menyeluruh dalam ungkapan-ungkapan percakapan dan teks-teks penulisan tersebut. Keahlian ini meliputi majemuk dari kaidah-kaidah, yaitu suatu disiplin yang posisinya mirip dengan ilmu logika yang digunakan membantu menyibak ketakjelasan yang ada dalam teks.[11]

Friedrich August Wolf dalam ceramahnya pada sekitar tahun 1785 hingga 1807 Masehi mendefiniskan hermeneutik sebagai berikut, "Hermeneutik adalah ilmu tentang kaidah dan aturan dimana dengan bantuannya akan bisa dipahami makna dari suatu pesan dan teks". Tujuan dari ilmu ini adalah memahami pemikiran-pemikiran dari percakapan seorang pembicara dan tulisan seorang penulis persis sebagaimana hal-hal yang dipikirkan oleh mereka tersebut. Gagasan dan fungsi hermeneutik ini, menegaskan bahwa pemahaman itu tidak hanya membutuhkan pengetahuan bahasa teks, melainkan juga membutuhkan pengetahuan historis. Dan yang dimaksud dengan pengetahuan histori di sini adalah pengenalan kehidupan penulis dan kondisi-kondisi historis geografi tempat tinggalnya. Karena penafsir yang ideal harus mengetahui apa yang diketahui oleh penulis.[12]

Friedrich Daniel Ernest Schleiermacher (1768-1834) memandang hermeneutik sebagai "keahlian memahami". Dia memberikan perhatian khusus pada pemahaman yang keliru, dan karena itulah dia mengatakan bahwa interpretasi teks senantiasa mengandung bahaya kesalahpahaman. Dengan demikian, hermeneutik harus diletakkan sebagai sebuah metodologi yang memberikan penjelasan dan pengajaran untuk menghilangkan bahaya kesalahpahaman di atas. Tanpa adanya keahlian seperti ini, maka tidak akan pernah ditemukan solusi untuk menuju ke sebuah pemahaman yang benar.[13]

Perbedaan yang ada pada definisi di atas dibanding dengan definisi pertama adalah, pada definisi pertama Chladenius menganggap kebutuhan kepada hermeneutik itu hanya pada tempat dimana terdapat ketidakjelasan dalam proses pemahaman sebuah teks, sementara Daniel menganggap bahwa penafsir atau mufassir senantiasa membutuhkan kehadiran hermeneutik dalam setiap proses pemahamannya terhadap teks-teks, karena dalam pandangannya, hermeneutik tidaklah ditentukan untuk menyibak ketakjelasan tertentu pada teks melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang senantiasa menuntun para penafsir untuk menghindari adanya kesalahpahaman dan kehadiran pemahaman yang buruk. Dengan ibarat lain, dalam pandangan Chladenius lebih menekankan pada prinsip adanya kemungkinan kebenaran pemahaman dan interpretasi pada setiap teks, kecuali apabila terjadi problem atau ketidakjelasan pada teks, maka hermeneutik yang merupakan sebuah pengetahuan pembantu (auxiliary science) bisa digunakan untuk menyibak ketakjelasan dan kerumitan pada teks tersebut. Sementara dalam pandangan Daniel, ia lebih menegaskan prinsip kemungkinan kesalahan pada setiap pemahaman teks, dengan demikian, urgensi kehadiran hermeneutik adalah pasti demi menghindarkan para mufassir dari keburukan dan kesalahan pemahaman. Jadi dalam kedua pandangan di atas, hermeneutik disepakati sebagai sebuah keahlian yang meliputi kumpulan aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan metodologi. Akan tetapi, kandungan yang terdapat dalam aturan-aturan tersebut dan tujuan dasar penyusunan metodologinya, dalam pandangan keduanya, memiliki perbedaan.

Wilhelm Dilthey (1833-1911) beranggapan bahwa hermeneutik sebagai sebuah pengetahuan yang bertanggung jawab terhadap penyajian metodologi humaniora. Tujuan inti dari segala upaya hermeneutiknya adalah menaikkan validitas dan nilai humaniora serta menyejajarkannya dengan ilmu-ilmu empirik.

Menurut pendapatnya, rahasia kebenaran proposisi-proposisi ilmu empirik terdapat pada kejelasan kaidah dan metodologinya. Karena itulah, supaya humaniora juga setara dengan sains, maka metodologinya harus jelas dan harus memiliki dasar-dasar serta prinsip-prinsip yang sama, jelas, dan pasti dimana merupakan tolok ukur bagi seluruh pembenaran dan proposisi humaniora.[14]

Rudiger Bubner adalah salah satu dari penulis kontemporer berkebangsaan Jerman, dalam makalahnya yang berjudul "The Hermeneutics Reader" yang ditulis pada tahun 1975, mendefinisikan hermeneutik sebagai "Ilmu Pengajaran Pemahaman".[15]

Definisi ini memiliki kesesuaian dengan hermeneutik Filosofis yang dikemukakan oleh Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, karena menurut mereka tujuan dari hermeneutik filosofis adalah mendeskripsikan substansi pemahaman. Hermeneutik filsafat, berlawanan dengan hermeneutik-hermeneutik yang lampau, tidak saja terbatas pada kategori pemahaman teks dan koridor pemahaman humaniora (human sciences), melainkan menekankan kesesuaian pemahaman manusia dengan objek eksternal dan analisis hakikat pemahaman serta menentukan syarat-syarat eksistensial untuk suatu kehadiran pemahaman dan penafsiran.

Apa yang telah kami sebutkan di atas, hanyalah merupakan sebagian dari definisi-definisi yang ada. Dengan adanya hal ini, cukup untuk menjelaskan poin bahwa pembahasan hermeneutik memiliki keluasan dan pendapat yang sangat bervariasi. Definisi-definisi ini dengan baik menunjukkan ranah pembahasan-pembahasan hermeneutik yang semakin beragam dan semakin meluas dari batasan pengenalan hermeneutik yang ditetapkan untuk penafsiran teks-teks suci agama dan hukum-hukum hingga pada batasan pengenalan hermeneutik yang diaplikasikan pada analisis-analisis filosofis terhadap hakikat pemahaman dan syarat-syarat eksistensial bagi kehadiran suatu pemahaman.

Dengan perkembangan yang luas ini dengan jelas menunjukkan bahwa tidak satupun dari definisi yang telah disebutkan di atas mampu memperkenalkan seluruh upaya-upaya teoritis yang dinamakan hermeneutik. Ketidakmampuan ini tidak dibatasi oleh definisi-definisi di atas, melainkan secara praktis tidak mungkin untuk menyajikan definisi secara global dan menyeluruh yang mampu mewakili seluruh kecenderungan hermeneutik, karena terdapat perbedaan pandangan mengenai tujuan dan fungsi hermeneutik, kadangkala persepsi yang ada tentang hermeneutik memiliki perbedaan yang sangat ekstrim sehingga mustahil untuk bisa dirujukkan dan disatukan. Sebagai contoh, Wilhelm Dilthey tidak menganggap hermeneutik itu sebagai suatu pengetahuan yang digunakan untuk pemahaman dan penafsiran teks, melainkan hermeneutik itu identik dengan epistemologi dan metodologi yang secara umum dimanfaatkan untuk humaniora. Pada sisi lain, hermeneutik filosofis yang dimulai oleh Heidegger, dalam perspektifnya kadangkala terlihat sangat berbeda, menurutnya, hermeneutik itu tidak dianggap sebagai sebuah metode, tujuan hermeneutik bukan pada dimensi metodologi, melainkan dianggap sebagai kontemplasi filosofis terhadap basis-basis ontologi pemahaman dan penentuan syarat-syarat eksistensial bagi kehadiran suatu pemahaman. Hermeneutik bukanlah epistemologi dan metodolgi, namun merupakan ontologi. Dengan keluasan wilayah pembahasan yang sedemikian ini dan perubahan yang sangat radikal dan mendalam dalam tujuan, fungsi, dan aplikasi hermeneutik, lantas bagaimana bisa diharapkan akan adanya kesatuan dan kemanunggalan definisi yang bersifat komprehensif dan global yang bisa memayungi seluruh upaya pemikiran dan teoritis ini?

Dengan tidak mengharapkan penyajian definisi yang mendetail dan global, terdapat kemungkinan untuk memberikan gambaran luas untuk memperjelas lahan pemikiran dan ruang lingkup pengkajian hermeneutik. Sebagai contoh, Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutik sebagai berikut, "Hermeneutik merupakan teori tentang pemahaman dalam kaitannya dengan penafsiran teks-teks".[16]

Dengan tujuan yang sama, Richard E. Palmer mendefinisikan hermeneutik sebagai berikut, "Hermeneutik, saat ini merupakan metode kontemplasi filosofis bagi orang Jerman dan belakangan ini merupakan pengkajian tentang esensi pemahaman bagi orang Perancis yang berkembang melalui perantara Daniel dan Dilthey serta Martin Heidegger, dan saat ini disajikan oleh Gadamer dan Paul Ricoeur.[17]


3. Ranah Hermeneutik
Apa ranah dan subjek hermeneutik? Sebagian memberi jawaban sederhana: "Hermeneutik merupakan tradisi berfikir dan kontemplasi filosofis yang mengupayakan penjelasan tentang konsepsi dan ide "pemahaman" (fahm, verstehen, understanding) dan memberikan solusi terhadap persoalan tentang faktor-faktor yang mengakibatkan hadirnya makna bagi segala sesuatu ". Segala sesuatu ini bisa berupa syair, teks-teks hukum, perbuatan manusia, bahasa, atau kebudayaan dan peradaban asing.[18]

Pengenalan masalah "pemahaman" sebagai sebuah ranah, subjek, dan batasan pengkajian hermeneutik akan menghadapkan pada dua dilemma asasi, pertama adalah bahwa pemahaman dan persepsi itu dibahas dalam berbagai disiplin yang berbeda dan memiliki fungsi pada banyak cabang-cabang pengetahuan. Epistemologi (theory of knowledge), filsafat analisis, dan filsafat klasik (metafisika) adalah bidang-bidang ilmu yang juga mengkaji masalah-masalah pemahaman dan persepsi ini dalam sudut pandang tertentu. Dengan demikian, pertama-tama harus diketahui dengan jelas bahwa dari sudut pandang mana disiplin hermeneutik memandang permasalahan pemahaman dan persepsi itu yang membedakannya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya.

Kedua, aliran-aliran berbeda yang terdapat dalam disiplin hermeneutik sendiri memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap persoalan pemahaman dan persepsi itu. Akan tetapi, adanya kesamaan konsepsi yang sedikit terhadap persoalan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan patokan terhadap subjek dan penjelas batasan pembahasan bagi hermeneutik, karena masing-masing aliran pemikiran itu mengkaji tujuan-tujuan khusus dimana tujuan khusus inilah yang lantas menyebabkan perbedaan subjek dan ranah pembahasannya. Sebagai contoh, seseorang yang memandang pemahaman itu dari sudut pandang fenomenologikal, maka dalam hermeneutiknya mustahil ia berupaya menemukan dan menegaskan suatu metode untuk memisahkan antara pemahaman yang benar dan yang keliru.

Yang jelas seorang seperti Wilhelm Dilthey mengarahkan tujuan itu demi menggapai humaniora yang valid dan benar. Dengan memandang hermeneutik sebagai metodologi, diharapkan refleksi-refleksinya, pada puncaknya, akan menghadirkan suatu metode umum untuk keseluruhan humaniora. Yang pasti, aliran-aliran hermeneutik mengkaji subjek pemahaman itu, yang satu membahas kemutlakan pemahaman dari aspek fenomenologikal, yang lain menjelaskan hakikat dan syarat-syarat wujud kehadiran pemahaman, aliran dari mengkajinya dari sisi ruang-waktu dan sejarah, dan yang lainnya meneliti pemahaman dunia internal individu dan pikiran-pikiran setiap manusia lewat peninggalan-peninggalan seni dan literatur-literatur, dan berupaya mencipta suatu metode yang valid dan akurat untuk memahami pikiran-pikiran individu dan kehidupan internal setiap manusia. Dua perspektif dalam masalah pemahaman ini, dengan tidak memandang perbedaan dalam ruang lingkup kajian pemahaman, yang satu menunjuk pada pemahaman secara mutlak dan yang lainnya menyibak pemahaman kehidupan internal manusia. Dua subjek pembahasan ini tidak bisa dipungkiri memiliki perbedaan dan tidak bisa dikatakan bahwa aliran-aliran hermeneutik membahas semua persoalan tersebut secara merata dan komprehensif.

Lahirnya kajian hermeneutik filosofis yang dipelopori oleh Martin Heidegger di abad keduapuluh Masehi dan pengembangan ranah pembahasannya ditangan Hans-Georg Gadamer melahirkan pengaruh yang cukup besar pada cabang-cabang ilmu, seperti kritik literatur, metodologi, teologi, dan ilmu-ilmu sosial. Sebagian menyangka bahwa domain pembahasan hermeneutik adalah sama dengan subjek hermeneutik filosofis, yakni refleksi filosofis dan fenomenologikal dalam substansi pemahaman dan syarat-syarat eksistensial kehadirannya. Yang paling keliru adalah orang yang menyangka bahwa satu-satunya ranah pengkajian yang mungkin bagi hermeneutik adalah sebagaimana pandangan-pandangan para filosof Jerman terhadap hermeneutik dan tradisi-tradisi hermeneutik di Jerman pada abad keduapuluh.

Pada dasarnya, hermeneutik filosofis terkait secara horizontal dengan pembahasan-pembahasan universal hermeneutik yang senantiasa kita butuhkan dan tidak ada jalan lain kecuali harus membahasnya. Kita menerima semua pemikiran penafsiran tentang pemahaman teks atau setiap kecenderungan dalam kritik literatur atau memilih pembahasan tentang filsafat humaniora yang ada pada setiap maktab. Kita tidak mungkin menolak dan memungkiri keberadaan pengkajian tentang substansi pemahaman manusia dan analisis hakikat wujudnya.

Akan tetapi, makna dari ungkapan di atas tidaklah membatasi ruang lingkup pembahasan hermeneutik pada garis horizontal itu. Sebagai contoh, kita bisa memperluas subjek itu pada kategori penafsiran dan pemahaman teks serta terus mengajukan teori-teori penafsiran baru dalam kategori pemahaman teks. Pengajuan teori-teori baru ini tidak masuk dalam wilayah dan koridor pengkajian hermeneutik filosofis, akan tetapi tergolong dalam subjek perumusan dan pengkajian hermeneutik.

Tidak terdapat alasan yang tepat bagi kita untuk membatasi hermeneutik hanya pada subjek pengkajian hermeneutik filosofis yang meliputi maktab Jerman dan Perancis, atau hanya pada maktab Jerman saja yakni perspektif Heidegger dan Gadamer.

Tentang ranah hermeneutik dan ketidaklogisan pembatasan domainnya hanya pada hermeneutik filosofis, Richard E. Palmer menyatakan bahwa kita bisa menunjuk tiga kategori yang berbeda secara ekstrim dalam wilayah hermeneutik, ketiga kategori tersebut antara lain:

1. Hermeneutik regional (khusus) merupakan bentuk hermeneutik yang pertama kali ditetapkan sebagai suatu disiplin ilmu. Pada kategori ini, dengan maksud merumuskan kualitas penafsiran teks-teks, dibentuk kumpulan dari kaidah-kaidah dan metode-metode untuk setiap cabang-cabang ilmu dan pengetahuan, seperti ilmu hukum, linguistik, kitab-kita suci, dan filsafat. Dan setiap ilmu itu memiliki kumpulan kaidah dan dasar penafsiran yang khusus untuknya. Berdasarkan hal ini, setiap ilmu memiliki hermeneutik tersendiri yang khusus berhubungan dengan ilmu tersebut. Dengan dalil ini, masing-masing hermeneutik ini berkaitan erat dengan suatu tradisi pemikiran dan ilmiah tertentu. Seperti dari setiap hermeneutik yang mengajarkan metode tafsir teks-teks suci tak akan digunakan dalam penafsiran teks-teks literatur klasik.[19]

2. Hermeneutik umum yang berfungsi menetapkan metode pemahaman dan penafsiran. Hermeneutik ini tidak dikhususkan untuk ilmu tertentu, melainkan diterapkan untuk semua cabang ilmu-ilmu tafsir. Kehadiran jenis hermeneutik ini dimulai pada abad kedepanbelas dan orang pertama yang menyusun secara sistimatik adalah teolog Jerman bernama Schleiermacher (1768-1834 M). Kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum hermeneutik ini menjadi tolok atas pemahaman teks, dengan tidak memandang latar belakang teks itu. Para ahli hermeneutik mesti berusaha menyusun dan menetapkan kaidah-kaidah umum tersebut. Upaya Wilhelm Dilthey semestinya berada pada wilayah ini, karena ia menekankan ilmu manusia secara mutlak, namun, asumsinya sangat sesuai dengan asumsi para pengkritik hermeneutik umum. Dilthey mempunyai perspektif bahwa segala prilaku, perkataan, dan karya-karya tulis manusia mewakili kehidupan pikiran dan internal mereka. Dan semua ilmu manusia seharusnya diarahkan dalam pencarian dan penyingkapan kehidupan internal manusia sebagai pemiliki perbuatan dan karya-karya tulis, dan masalah bisa menjadi suatu kaidah, aturan, metode umum dan universal. Dan tujuan utama keberadaan hermeneutik adalah menyusun dan menetapkan kaidah dan metode ini, yakni menghadirkan secara pasti dan benar suatu metodologi yang menjadi mizan bagi ilmu manusia.

3. Hermeneutik filosofis yang berupaya menganalisa secara filosofis fenomena pemahaman itu. Oleh sebab itu, tidak terdapat kecenderungan dalam hermeneutik ini untuk berusaha menghadirkan suatu metode, dasar, dan kaidah yang bisa menjadi tolok ukur atas pemahaman dan penafsiran, baik itu metode yang terkait dengan pemahaman teks atau dalam humaniora secara umum. Namun, apabila kita mencermatinya, jenis hermeneutik ini bukan hanya peduli terhadap adanya ketetapan satu metode, bahkan senantiasa menggugat metodologi dan menyanggah suatu pernyataan yang berbunyi, "Lewat penetapan metode bisa mencapai hakikat".[20]

Dengan memperhatikan tiga kategori berbeda yang tersebut di atas, kita tak mungkin mengkhususkan subjek hermeneutik itu kepada salah satu dari ketiga kategori itu. Ketidakmungkinan ini karena ketiga kategori tersebut di bawah cakupan hermeneutik, dengan demikian, tak logis jika subjek hermeneutik hanya berkaitan dengan salah satu dari ketiga kategori atau perspektif itu, misalnya hanya menekankan pada hermeneutik filosofis. Dengan realitas seperti ini, arus hermeneutik dalam semua aspek dan bidang ilmu akan senantiasa berlanjut.[21]

14
NEO-TEOLOGI I

4. Hermeneutik Umum
Dalam pengkajian tentang subjek hermeneutik telah disinggung bahwa hermeneutik khusus diperhadapkan dengan hermeneutik umum. Hermenenutik filosofis adalah bersifat umum dan aliran-aliran hermeneutik lainnya ialah dipandang bersifat khusus dan terbatas. Persoalannya adalah apakah hermeneutik merupakan suatu ilmu yang bersifat umum dan mencakup ilmu-ilmu lainnya ataukah hanya terbatas pada cabang ilmu tertentu?

Dikatakan bahwa hermeneutik, di awal kehadirannya pada abad ketujuhbelas, hanya berhubungan dengan ilmu dan seni penafsiran, dan hingga abad kesembilanbelas masih dalam bentuk konsep yang mentah dan diharapkan mampu merumuskan secara jelas kaidah dan aturan ilmu tafsir. Dalam rentangan abad tersebut, hermeneutik ini hanya diletakkan sebagai metodologi untuk ilmu-ilmu tafsir dengan tujuan utamanya menghentikan penafsiran-penafsiran yang tak berkaidah dan tak beraturan. Peran hermeneutik, pada abad itu dan untuk waktu yang cukup lama, adalah pendukung sekunder bagi ilmu-ilmu lainnya yang dikaitkan dengan penafsiran teks dan simbol-simbol.

Pada zaman itu terbentuklah apa yang dinamakan dengan hermeneutik sakral (hermeneutica sacra) yang memiliki kaidah-kaidah yang sistimatik dan begitu pula hermeneutik filosofis yang dikenal dengan hermeneutica profana serta hermeneutik hukum disebut dengan nama hermeneutica juris.[22]Setiap hermeneutik tersebut memiliki fungsi, posisi, dan peran yang signifikan untuk membantu setiap ilmu dan pengetahuan demi meraih pemahaman yang lebih akurat, valid, dan benar serta penyelesaian berbagai persoalan mengenai kekaburan teks-teks.

Para penulis mencermati teks-teks hermeneutik pertama dan merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasar penafsiran untuk cabang-cabang dan disiplin ilmu-ilmu tertentu, seperti teologi, hukum, filsafat, dan philology, kemudian menetapkannya sebagai hermeneutik khusus. Sebagian dari kaidah dan dasar penafsiran tersebut bisa diaplikasikan secara umum, namun maksud para penulis tersebut tidak merumuskannya untuk hermeneutik umum dalam semua ilmu dan pengetahuan yang berpijak pada penafsiran, melainkan menetapkan hermeneutik sakral misalnya untuk teks-teks kitab suci dan hermeneutik filosofis bagi teks-teks filsafat. Para penulis sejarah pada umumnya sepakat memandang Schleiermacher sebagai orang pertama yang berupaya merumuskan hermeneutik umum dan semua sepaham atas perspektifnya yang berbunyi, "Pada masa kini hermeneutik hanya berbentuk hermeneutik-hermeneutik yang berkaitan khusus dengan cabang-cabang ilmu dan belum dirumuskan suatu konsep umum yang meliputi seluruh ilmu." Tetapi kenyataan yang sesungguhnya adalah D. Howard pada abad ketujuhbelas yang memunculkan untuk pertama kali kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum tentang penafsiran dan interpretasi.[23]

Alasan utama Schleiermacher menghadirkan kaidah-kaidah umum dalam penafsiran teks-teks adalah dengan perantaraannya para mufassir bisa terhindar dari belbagai kekeliruan pemahaman dan meraih pengetahuan yang benar dan valid. Hermeneutik Dilthey juga bersifat umum, karena ia pun berupaya merumuskan metodologi umum untuk semua ilmu humaniora supaya dengan aturan itu ilmu humaniora bisa setara dengan ilmu-ilmu alam dan empiris, begitu pula pemahaman-pemahaman ilmu humaniora bisa mencapai derajat validitas sebagaimana hasil-hasil eksperimen dalam disiplin ilmu-ilmu alam.

Namun perlu diperhatikan bahwa keumuman kaidah hermeneutik hingga akhir abad kesembilanbelas adalah bersifat nisbi dan tidak mencakup segala cabang ilmu dan pengetahuan manusia, karena keumuman yang bisa disaksikan dalam karya-karya Schleiermacher dan Chladenius itu hanya terbatas pada penafsiran teks-teks, oleh sebab itulah, kaidah-kaidah dan basis-basis tafisr dalam pandangan mereka ini hanya mencakup ilmu dan pengetahuan manusia yang berkaitan dengan penafsiran teks-teks saja. Begitu pula metodologi yang digagas oleh Dilthey hanya diperuntukkan bagi ilmu-ilmu humaniora.

Di abad keduapuluh ini kita menjadi saksi belbagai upaya dan usaha perumusan hermeneutik dalam setiap cabang dan disiplin ilmu seperti dalam bidang linguistik, teologi, dan ilmu-ilmu sosial. Sementara hermeneutik filosofis yang dirumuskan oleh Heidegger dan pemikir-pemikir setelahnya, seperti Gadamer, ialah dengan suatu tujuan umum dan berupaya supaya keumuman yang terdapat dalam hermeneutik filosofis abad keduapuluh ini meliputi semua pengetahuan manusia dan terpisah dari keumuman hermeneutik yang ada sebelumnya.

Secara terperinci akan dibahas hermeneutik filosofis Heidegger dan Gadamer, akan tetapi untuk memahami maksud mereka ini tentang 'keumuman', perlu dicermati poin ini bahwa hermeneutik filosofis Heidegger tidak menekankan penafsiran teks dan juga tidak membatasi penelitiannya kepada pembentukan metodologi humaniora, melainkan subjek hermeneutik filosofis adalah realitas eksistensial dan syarat-syarat fundamental yang melandasi hadirnya fenomena-fenomena pemahaman dalam segala variannya.[24] Walhasil, subjek dan ranah hermeneutik filosofis ialah pemahaman secara umum dan bukan perumusan metodologi pemahaman secara khusus.

Alasan yang sangat mungkin mengapa hermeneutik filosofis yang dipandang oleh para pendukungnya sebagai prima philosophia (filsafat pertama) dan mencakup seluruh aspek keilmuan ialah kehadirannya secara mutlak dalam segala bentuk pemahaman dan fenomena penafsiran. Sebelum Heidegger, Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) beranggapan bahwa semua pengalaman dan pemahaman manusia hanyalah bersifat penafsiran semata dan meyakini bahwa apa-apa yang kita pahami hanyalah sebuah penafsiran yang tidak mewakili fakta dan kenyataan hakiki. Penafsiran ini mencakup semua realitas penafsiran dan ilmu-ilmu teoritis serta pemikiran.

Sifat penafsiran itu yang terkait dengan ilmu-ilmu dan pemahaman secara mutlak adalah problem umum dan filosofis. Dari sinilah, hermeneutik filosofis kemudian meletakkan pemahaman secara mutlak itu sebagai subjek kajiannya.[25] Perlu diketahui bahwa pengakuan keumuman dan keuniversalan subjek hermeneutik filosofis itu, tidak menjadi penghalang bagi perkembangan pemikiran-pemikiran hermeneutik yang khusus dalam cabang-cabang pengetahuan manusia. Dari hal ini, pembahasan-pembahasan tentang hermeneutik terus berlanjut dalam bidang linguistik, teologi, hukum, dan ilmu-ilmu sosial.


5. Tujuan Hermeneutik
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sangat sulit meramu dan merumuskan satu definisi tentang hermeneutik yang bisa mencakup seluruh aspek-aspeknya, hali ini karena faktor keluasan dan keragaman pembahasan hermeneutik serta keberadaan aliran-aliran yang berbeda. Begitu pula tidak terdapat kesepakatan tentang ranah pengkajian hermeneutik. Pada kesempatan ini kita akan mencermati bahwa apakah bisa ditetapkan tujuan-tujuan yang sama dan bersifat menyeluruh untuk hermeneutik yang dapat diterima oleh semua aliran dan kecenderungan yang terdapat dalam hermeneutik?.

Pertama-tama akan ditegaskan bahwa sesungguhnya tak terdapat tujuan-tujuan yang sama dan bisa disepakati dalam hermeneutik ini. Hal ini bisa dilihat di sepanjang sejarahnya bagaimana munculnya aliran, pemikiran, dan kecenderungan fundamental yang berbeda satu sama lain dalam perumusan aplikasi dan penentuan fungsionalnya. Dengan memandang realitas ini, lantas bagaimana bisa ditetapkan suatu arah dan tujuan yang sama di antara keragaman pemikiran tentang hermeneutik dalam upaya pemahaman teks, penghapusan segala keraguan terhadap pemahaman-pemahaman itu, penentuan metodologi bagi humaniora, dan perumusan dasar-dasar yang menjadi tolok ukur pemahaman terhadap sejarah, karya-karya seni dan tulis, prilaku, dan peradaban manusia?.

Pusaran yang dilahirkan oleh hermeneutik filosofis di awal abad keduapuluh dalam penentuan arah kontemplasi hermeneutik berkonsekuensi pada tajamnya perbedaan di antara hermeneutik abad keduapuluh ini dan hermeneutik abad sebelumnya sedemikian sehingga sangat sulit (kalau bisa dikatakan mustahil) kita menentukan tujuan-tujuan sama yang terdapat dalam hermeneutik filosofis dan yang terdapat dalam aliran-aliran hermeneutik lainnya.

Bahkan penegasan arah dan tujuan yang sama di antara cabang-cabang hermeneutik filosofis sendiri sangat sulit dilakukan. Apa yang hari ini dikenal dengan nama hermeneutik filosofis tidak lain ialah aliran yang didirikan oleh Martin Heidegger dan muridnya, Hans-Georg Gadamer, serta dipopulerkan oleh dua filosof Perancis, Jacques Derrida dan Paul Ricoeur. Namun, keempat tokoh tersebut yang sama-sama penganut hermeneutik filosofis memiliki pandangan yang berbeda dalam penentuan arah dan tujuan hermeneutik. Di bawah ini akan diungkapkan beberapa perspektif mereka supaya kita bisa mengetahui seberapa mendalam perbedaan yang ada berhubungan dengan tujuan hermenutik filosofis tersebut:

a. Martin Heidegger dalam kitabnya, Being and Time, menyatakan bahwa filosof Yunani Kuno mengungkapkan persoalan eksistensi secara filosofis dan berupaya mengetahui hakikatnya secara apa adanya. Namun, sejak zaman Aristoteles hingga filsafat masa kini, persoalan mengenai hakikat eksistensi itu menjadi terlupakan dan pembahasan beralih pada pemahaman tentang fenomena-fenomena wujud partikular. Para filosof pasca Plato memandang bahwa eksistensi itu merupakan konsep yang paling umum dan universal yang tidak bisa didefinisikan (aksioma) serta bersifat sangat gamblang (badihi). Berpijak pada hal ini, mereka tidak memandang masalah hakikat eksistensi itu sebagai persoalan filsafat.

Heidegger beranggapan bahwa eksistensi yang bersifat aksioma dan konsep yang paling universal itu tidak menjadi halangan untuk melakukan pencarian hakikat eksistensi itu. Ia menetapkan bahwa tujuan filsafat yang benar adalah menemukan jawaban dan solusi universal atas persoalan hakikat eksistensi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa filsafat itu mesti menemukan dan merumuskan persoalan ini menjadi suatu kaidah dan metode dalam pencarian hakikat eksistensi tersebut.

Dalam pandangannya, setiap maujud memiliki hakikat eksistensi yang berbeda, bahkan di mana saja suatu maujud tertentu berada, maka di situ pula hadir hakikat eksistensi. Kita tidak bisa mengetahui hakikat eksistensi itu dengan cara mengamati dan melihat secara langsung, karena hakikat eksistensi itu merupakan dimensi lain dari maujud-maujud yang tercipta, dengan demikian, hakikat tersebut mesti diungkap dan dihadirkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan analisis. Di antara maujud-maujud, maujud manusia, oleh Heidegger disebut sebagai dasein, memiliki satu jalan pengenalan terhadap hakikat eksistensi, karena dasein itu adalah suatu maujud yang bisa melahirkan beri-ribu pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat eksistensi dibanding maujud-maujud lain dan penelitian terhadap hakikat eksistensi itu merupakan salah satu dari kemampuan-kemampuan wujudnya yang luar biasa. Namun, menurutnya, ini tidak berarti bahwa dari dimensi wujud, dasein itu mendahului hakikat eksistensi. Oleh karena itu, dalam pengenalan dan pengungkapan hakikat itu tidak ada cara lain kecuali mengenal secara hakiki eksistensi manusia (dasein).[26]

Heidegger menegaskan bahwa bentuk pengenalan fenomenologikal dasein yang dimaksudkan untuk memahami hakikat wujud itu tidak lain adalah tujuan utama filsafat dan fenomenologikal ini disebut dengan hermeneutik, karena arti hermeneuin itu ialah "membuat sesuatu itu bisa dipahami" dan feneomenologikal dasein dirumuskan untuk memahami hakikat eksistensi. Maka dari itu, analisis terhadap esensi wujud dasein itu dan fenomenologikalnya merupakan aktivitas hermeneutik.[27]

Inti tujuan kontemplasi filsafat Heidegger adalah pengenalan hakikat keberadaan, yakni memiliki tujuan ontological. Berbeda dengan tokoh-tokoh hermeneutik sebelumnya, ia tidak berusaha mencari rumusan untuk suatu pemahaman dan metode baru yang akurat dalam memahami teks atau ilmu humaniora. Ia mengangkat hermeneutik itu dari tingkat epistemologi dan metodologi ke derajat filsafat serta memandang hermeneutik itu sejenis fenomenologikal dan filsafat.

Perlu dikatakan di sini bahwa tujuan utama filsafat Heidegger tidak bermaksud menganalisa substansi pemahaman manusia dan syarat-syarat eksistensial kehadiran pemahaman itu, karena tujuan pertamanya adalah menjawab pertanyaan tentang hakikat eksistensi dan analisis kerangka wujud dasein merupakan tujuan menengah. Sementara pengungkapan pertanyaan itu dan analisis hakikat pemahaman serta penjelasan terhadap karakteristik-karakteristik fenomenologikalnya ialah suatu perkara yang akan dituju oleh Heidegger dalam analisis kerangka wujud dasein, dan hal ini bukanlah merupakan tujuan utama hermeneutiknya.

b. Hans-Georg Gadamer, murid utama Heidegger, dalam hermeneutik filosofisnya sangat berpegang teguh pada gagasan-gagasan yang dihembuskan gurunya tentang analisis dasein, terutama dalam bagian esensi pemahaman manusia. Ia memandang hermeneutik filosofisnya sebagai basis ontologi dan membedakannya dengan metodologi. Dari sisi ini, ia searah dengan Heidegger. Ia pun tidak ingin merumuskan secara umum suatu metodologi baru dalam pemahaman teks dan ilmu humaniora. Namun, perlu diperhatikan poin ini bahwa tujuan utama dalam hermeneutik Gadamer sama sekali tidak seirama dengan tujuan filsafat Heidegger. Heidegger melangkah untuk menciptakan ontologi baru dan pengetahuan atas hakikat eksistensi yang walaupun ia gagal dalam tujuan ini, dan sementara Gadamer tidak menelusuri jejak itu dan tidak pula berupaya mengetahui hakikat wujud. Ontologi, dalam pandangannya, adalah ontologi pemahaman dari dimensi bahwa pemahaman tersebut senantiasa merupakan suatu penafsiran dan interpretasi. Ia menganalisa hakikat suatu penafsiran dan interpretasi. Ia tidak merumuskan metode penafsiran, namun mengobservasi penafsiran itu sendiri dan syarat-syarat eksistensial atas kehadiran interpretasi.

Analisis atas hakikat pemahaman dan interpretasi, bagi Heidegger, adalah tujuan menengah dimana tangga mencapai tujuan-tujuan lain yang utama, sementara bagi Gadamer analisis terhadap perkara itu dan basis-basis eksistensialnya merupakan tujuan utama serta tidak dalam upaya mengejar tujuan-tujuan yang lain.[28]

Perbedaan lain yang ada pada kedua hermeneutik ini adalah bahwa Heidegger, yang berbeda dengan Dilthey, tidak memperhatikan problematika bagi basis-basis ilmu manusia, yakni masalah obyektivitas. Sementara dalam hermeneutik Gadamer, masalah ini ialah hal yang utama, yakni Gadamer menempatkan ontologi pemahaman itu sebagai jembatan menuju epistemologi dan kedua hal ini saling terkait. Begitu pula ia memandang bahwa analisis terhadap hakikat pemahaman dan syarat-syarat bagi perwujudannya niscaya akan memberikan hasil yang sangat bermanfaat dalam pengembangan humaniora, dan ia juga menunjukkan, yang berlawanan dengan Dilthey, bahwa metode itu tidak bisa mengungkap suatu hakikat, dan secara mendasar, hakikat itu mesti dipandang secara berbeda dengan apa-apa yang telah dikonsepsi mengenai hakikat dalam tradisi filsafat dan ilmu. Menurutnya, penekanan kepada metodologi dan penetapan tolok ukur bukan hanya tidak mampu mengantarkan kita kepada pencapaian hakikat, bahkan menyebabkan kita menjadi terasing dan teralienasi dengan subjek yang dibahas.

Dalam magnum opusnya, Truth and Method, ia juga membagi pembahasan menjadi tiga bagian dan masing-masing unsur ini (seperti estetika, sejarah, bahasa, interpretasi teks) ia bahas berdasarkan pandangan-pandangan filosofisnya yang berkaitan dengan pengkajian pemahaman dan interpretasi serta juga menunjukkan bahwa objektivitas – yang sebagaimana dipandang oleh penganut aliran Objektivisme dalam humaniora (human sciences) - dalam unsur-unsur itu adalah mustahil.

c. Paul Ricoeur adalah pemikir kontemporer asal Perancis yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Heidegger. Namun, ia berbeda pandangan dengan Heidegger dalam penggabungan antara hermeneutik dan fenomenologi. Heidegger menggali hakikat eksistensi dengan analisis suatu fenomena khusus yang bernama dasein itu. Dengan demikian, hermeneutiknya adalah ontologi fundamental yang lebih tinggi dari epistemologi, metodologi, dan basis ontologi pemahaman. Sementara ontologi Ricoeur tidak secara langsung menganalisa eksistensi dasein, melainkan ia ingin menyelami persoalan eksistensi lewat pendekatan semantik dan penjelasan linguistik atas seluruh dimensi interpretasi ontologis. Menurut Ricoeur, segala bagian fenomenologi yang bertujuan untuk memahami hakikat eksistensi tidak dihubungkan dengan persoalan semantik. Oleh karena itu, seluruh ranah hermeneutik mesti dirujukkan kembali kepada perkara-perkara semantik.

Mitologi dalam kesastraan dan keagamaan adalah salah satu bentuk fenomenologi yang menafsirkan simbol-simbol alam, dunia, dan zaman supaya dapat disingkap dan diketahui makna-maknanya yang tersembunyi.

Dalam pandangan Ricoeur, kita tak bisa memahami secara langsung dan mandiri hakikat eksistensi itu yang sebagaimana dikonstruksi oleh Heidegger, dan pada sisi lain, segala ontologi itu bersifat penafsiran dan takwil atas simbol-simbol. Dengan demikian, untuk mengenal wujud tidak ada metode selain dari pengkajian semantik. Kita mesti mengkaji realitas keberadaan dengan fenomenologi dan pengungkapan secara mendalam berbagai simbol-simbol serta berupaya melangkah ke tingkatan berpikir yang lebih tinggi dari derajat pemikiran yang lahiriah.[29]

Paul Ricoeur tidak seperti Heidegger yang menggali ontologi dan pemahaman hakikat eksistensi melalui suatu ontologi dasein, dan juga tidak sebagaimana Gadamer yang merumuskan ontologi pemahaman. Filsafatnya tidak dalam rangka menegaskan suatu ontologi hermeneutical. Kalaupun hermeneutik Ricoeur menguraikan persoalan ontologi interpretasi, hal itu tidak dimaksudkan mengkaji dan menganalisa secara langsung substansi pemahaman, akan tetapi, dalam hubungannya dengan korespondensi simbol-simbol dan linguistik. Dari hal ini, ia kemudian menggagas teori umum tentang ontologi pemahaman.[30]


6. Urgensi Hermeneutik
Hal ini telah sebagian disinggung dalam pembahasan ranah hermeneutik. Dengan memandang keuniversalan kajiannya dan keragaman aliran-aliran hermeneutik, bisa dikatakan bahwa hermeneutik memayungi begitu banyak aktivitas-aktivitas berpikir. Keluasan wilayah ini membuat hermeneutik banyak bersinggungan dengan dengan ilmu-ilmu lain dan membuka peluang pengaruh hermeneutik terhadap pemikiran-pemikiran yang ada.

Hubungan luas hermeneutik dengan berbagai cabang ilmu dan pengaruhnya yang sangat melebar itu adalah karena penekanan hermeneutik pada kajian linguistik dan teks. Pada sisi lain, pembahasan tentang bahasa dan interpretasi teks juga menjadi perhatian berbagai cabang-cabang pengetahuan manusia sedemikian sehingga Paul Ricoeur menamakannya sebagai cross roads pemikiran-pemikiran kontemporer.

Karena perhatiannya terhadap kategori bahasa dan penafsiran teks, hermeneutik kemudian berubah menjadi disiplin utama bagi pemikiran-pemikiran kontemporer. Ilmu-ilmu seperti kritik literatur, semiotik, filsafat bahasa, filsafat analisis, dan teologi memiliki kaitan yang sangat erat dengan kategori bahasa dan pemahaman teks, dan hermeneutik, khususnya hermeneutik filosofis, dengan wacana-wacananya yang radikal melahirkan perubahan dan pengaruh signifikan pada bidang-bidang ilmu itu.

Hermeneutik filosofis Jerman, yang dicetuskan oleh Heidegger dan Gadamer, dalam pasal esensi pemahaman manusia memunculkan ide dan gagasan yang tidak hanya dikaji dan dikritis oleh para filosof, epistemolog, teolog, dan pengkaji literatur, bahkan melibatkan para ilmuwan empirik. Perspektif-perspektif hermeneutik ini membantu percepatan observasi para pengkaji sejarah dan pengamat seni serta juga mempengaruhi para teolog dan peneliti ilmu-ilmu agama, karena ia mendobrak sebagian asumsi yang terdapat dalam wilayah probabilitas pencapaian pemahaman yang objektif, mutlak, dan tidak relatif.

Perluasan yang dilakukan oleh Paul Ricouer terhadap konsepsi teks dimana menggolongkan semua simbol dan mitos-mitos agama sebagai teks, menyebabkan secara praktis ranah hermeneutik meluas, karena menurutnya, segala bentuk kajian semantik dan interpretasi simbol-simbol niscaya akan berujung pada bentuk pembahasan hermeneutik. Yang pasti, apabila hermeneutik umum ingin terwujud, maka mesti mengupayakan perumusan tolok-tolok ukur yang bersifat umum yang menjadi landasan pijak bagi fenomenologi hermeneutik. Oleh sebab itu, hermeneutik umum bisa mencakup pembahasan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok yang sama yang menjadi pondasi dan pilar utama bagi jenis-jenis fenomenologi.

Keluasan ranah dan domain ini, seperti ontologi pemahaman Gadamer, menyebabkan hermeneutik itu bersinggungan dengan berbagai pembahasan dan ilmu-ilmu lainnya, dan keluasannya ini akan menambah nilai urgensi hermeneutik, karena disiplin ilmu-ilmu lain mesti membutuhkan informasi atas perolehan hermeneutik dan mesti menyampaikan gagasan-gagasannya terhadap apa yang dicapai dan diraih dalam pembahasan hermeneutik.

Pada masa kini, hermeneutik mendapatkan posisi penting dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta merupakan basis utama dalam filsafat ilmu-ilmu sosial. Urgensi ini pertama-tama dirasakan ketika Dilthey telah mengungkapkan bahwa sifat dan karakteristik manusia akan terjewantahkan dalam bentuk prilaku, seni, teks, dan peristiwa-peristiwa sejarah yang kesemuanya ini memiliki makna dimana hanya bisa dipahami dengan media subjek dan mufassir. Pada sisi lain, perhatian para pemikir hermeneutik pada poin ini bahwa para penafsir berupaya mengharmonisasikan kategori-kategori (teks, seni, prilaku manusia, peristiwa-peristiwa sejarah) yang bermakna bagi manusia dengan kumpulan makna-makna lainnya, nilai-nilai, dan perspektif-perspektif, karena sangat mungkin terjadi bahwa makna suatu fenomena yang dikaji telah mengalami perubahan. Ia kemudian melontarkan pertanyaan penting tentang hermeneutik: apakah dengan keberadaan subjektivitas para penafsir, kemudian objektivitas akan fenomena-fenomena manusia bisa menjadi berarti dan bermakna?

Berkaitan dengan pertanyaan di atas, hermeneutik filosofis dan perspektif-perspektif hermeneutik lainnya menawarkan dua soluai berbeda dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu humaniora. Dilthey, yang mewakili perspektif lain itu, berusaha merumuskan ide umum dan metodologi akurat untuk memungkinkan pencapaian objektivitas humaniora, sementara hermeneutik filosofis, karena sangat menekankan kemestian kesamaan ufuk dan horizon antara mufassir dan subjek yang dikaji, menolak objektivitas fenomena-fenomena tersebut.


7. Hermeneutik Tanpa Nama
Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya bahwa hermeneutik dikenal secara resmi sebagai disiplin ilmu mulai abad ketujuhbelas Masehi. Namun, sebelum abad ini dan setelahnya, senantiasa bermunculan gagasan dan konsep yang dilontarkan tidak dengan nama hermeneutik, sementara hal itu secara substansial terkait dengan kajian hermeneutik. Bentuk perspektif dan pemikiran seperti ini biasa disebut dengan "hermeneutik tanpa nama".

Yang dimaksud dengan suatu pemikiran dan konsep yang secara esensial merupakan hermeneutik ialah bahwa gagasan ini senada dan seirama dengan sebagian aliran-aliran hermeneutik. Sebagai contoh, jika seorang pemikir percaya pada keberadaan interpretasi dan pemahaman manusia, maka realitas ini sesuai dengan hermeneutik filosofis Heidegger dan Gadamer, dan dari sisi ini, ia telah mengemukakan suatu konsep hermeneutikal, walaupun ia tidak mengatasnamakan gagasan dan pemikirannya itu sebagai bagian dari konsep hermeneutikal.

Di bawah ini akan diungkapkan beberapa gagasan para pemikir yang melontarkan beberapa konsep di sela-sela karyanya yang mereka tidak namakan hermeneutik:

a. Santo Augustine (AD 430-454) ialah seorang filosof dan teolog yang banyak mempengaruhi hermeneutik modern. Heidegger dan Gadamer, terilhami dari pikiran-pikiranya. Heidegger sering menyebut Augustine dalam karya-karya dan orasinya. Makalah Augustine, On Christian Doctrine, yang menurut Jean Grondin, dari sisi historis, merupakan karya yang sangat berpengaruh dalam hermeneutik.[31] Ia menitikberatkan penelitian hermenutik itu pada dimensi-dimensi yang kabur dari Kitab Suci dan beranggapan bahwa Kitab Suci itu bisa dipahami. Kebutuhan terhadap hermeneutik hanya pada wilayah-wilayah yang tak jelas dimana memerlukan penafsiran dan pemahaman. Idenya ini melandasi perumusan kaidah-kaidah hermeneutik.

Augustine tidak mencukupkan pemahaman Kitab Suci hanya pada kaidah-kaidah tafsir, sesungguhya harus "datang" dari sisi Tuhan suatu "cahaya" yang dengannya segala bentuk kekaburan dan ketakjelasan yang ada pada Kitab Suci menjadi sirna, dengan demikian, segala sesuatunya berpijak pada kondisi jiwa seorang mufassir.

Poin terakhir ini menjadi perhatian dan sumber ilham bagi kehadiran hermeneutik filosofis, yakni untuk sampai pada pemahaman itu, selain konsentrasi pada teks, juga sangat dipengaruhi oleh kondisi jiwa dan pikiran penafsir.

Menurutnya, ketiadaan pemisahan yang jelas antara makna hakiki dengan majasi adalah penyebab utama kekaburan Kitab Suci, pemilahan ini bisa tercapai dengan pencerahan Ilahi dan penjelasan makna yang kabur dengan berpijak pada makna-makna yang sudah jelas dan gamblang. Para mufassir mesti sedemikian rupa berupaya mengenal Kitab Suci sehingga bisa memahami dengan benar aspek-aspek yang kabur dengan bantuan dimensi-dimensi yang nyata dan jelas. Konsepnya ini juga sebagai poin mendasar dalam wilayah penafsiran teks.[32]

Disamping itu, ia juga menekankan bahwa ketika kita mendengar sebuah kalimat, kita tak lagi mencermati kata-kata itu sendiri yang ada pada kalimat, melainkan berupaya memahami "sesuatu" yang tidak dapat didengar oleh telinga dan lebih tinggi dari bahasa lahiriah. Ia menamai "sesuatu" itu sebagai "kata internal (verbum)" atau "reason" yang berada tersembunyi dibalik kalimat dan bahasa lahiriah. Reason (akal-pikiran) ini tidak bisa diungkapkan secara nyata sehingga mampu ditangkap dengan indera lahiriah. Bahasa kita bukanlah terjemahan akurat atas pemikiran-pemikiran internal kita, dan bahasa lahiriah tidak dapat memanifestasikan secara sempurna dan komprehensif makna-makna internal atau verbum itu, sebagaimana Isa Almasih yang merupakan manifestasi Tuhan di alam natural, walaupun tajalli itu sendiri bersifat sempurna dan kamil, akan tetapi, secara hakiki tidak bisa dipandang mewakili hakikat wujud Tuhan yang azali.

Makna-makna internal kita bersumber dari makrifat jiwa yang bersifat batin, dengan alasan ini, bahasa kita - yang merupakan manifestasi batin – tidak menjadi jelas dan menjelma dalam bentuk yang beragam.[33] Gagasan Augustine ini sangat menarik perhatian Gadamer dan sekaligus mengilhami perluasan teori-teori tafsirnya.[34]

b. Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), filosof Jerman, yang dalam karya-karyanya juga ditemukan sisi pemikiran hermeneutik. Salah satu pemikirannya yang terpenting adalah beranggapan bahwa semua pengetahuan manusia bersifat interpretatif. Nietzsche memandang bahwa segala hakikat dan realitas murni tidak bisa dipahami, namun apa-apa yang kita sebut sebagai "pemahaman" itu tidak lain ialah mitos dan fiksi yang bersumber dari penafsiran-penafsiran dan takwil-takwil kita. Penafsiran dan takwil ini berasal dari perspektif-perspektif, dan segala perspektif sangat dipengaruhi oleh kecenderungan alami manusia. Begitu pula kategori-kategori akal yang terbentuk dari kekuatan imajinasi juga tidak lepas dari kenyataan tersebut, yakni juga bersifat mitologikal dan semata-mata merupakan perspektif logikal yang kemudian menjelma sebagai hakikat-hakikat yang niscaya dan pasti.[35]

Gagasan tentang keinterpretasian pengetahuan dan pemahaman merupakan hal yang sangat ditekankan oleh hermeneutik filsafat, dan Heidegger, dalam salah satu karyanya, menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap diri sendiri, senantiasa bersifat hermeneutikal. Pengertian dia atas "pemahaman hermeneutikal" adalah berpijak pada latar belakang penginderaan dan kerangka berpikir, dimana realitas ini banyak semakna dengan gagasan Nietzsche tentang efek perspektif terhadap pengetahuan dan pemahaman.

Pemikiran lain Nietzsche yang bersifat hermeneutikal adalah seputar masalah "hakikat". Konklusi dari pemikiran yang menyatakan bahwa "segala pemahaman itu bersifat interpretatif" adalah kemustahilan kita menjangkau hakikat (yang bermakna pengetahuan objektif) itu, melainkan pemahaman kita itu tidak lain adalah fiksi dan mitos yang bersumber dari perspektif dimana sebagian dari fiksi itu lebih bermanfaat dari yang lain. Manfaat fiksi ini, kalau bersifat tetap dan konstan, maka kita menyebutnya dengan "hakikat" yang mesti diterima dengan tanpa alasan dan sebab.

Begitu banyak manusia menginginkan suatu ilmu dan pengetahuan yang bersumber dari proposisi-proposisi yang tetap dan konstan. Dengan dasar ini, mereka tidak lagi memperhatikan bahwa sesungguhnya realitas-realitas itu senantiasa berubah. Rahasia kecenderungan kepada ilmu ini merupakan fitrah manusia. Iradah manusia yang seiring dengan kodratnya dan kecenderungannya kepada sesuatu yang bersifat konstan dan tetap kemudian memaksanya untuk mencipta suatu ilmu alat demi menjelmakan kodratnya itu dan tidak memandang realitas eksternal dan hakikat manusia sebagaimana adanya serta menetapkan segala konsep dan perspektifnya sebagai suatu "hakikat" yang tetap dan diterima tanpa alasan.[36]

Dalam hermeneutik filosofis kontemporer, "hakikat" atau kebenaran (truth) juga dimakna sama sebagaimana umumnya, karena di sini ditekankan bahwa para mufassir tidak mungkin bersifat netral dalam pemahamannya. Baik dalam penafsirannya tentang teks, kesusastraan, dan analisis fenomena sejarah pengaruh latar belakang pikiran dan makna-makna horizontal serta asumsi-asumsi para mufassir tidak bisa dipungkiri. Adalah suatu asa yang sis-sia kalau mengharap adanya objektivitas fenomena atau teks tanpa keterlibatan subjektivitas pikiran mufassir.

c. Dalam karya-karya seperti Ludwig Josef Johann Wittgenstein (1889-1951 M) dan Edmund Husserl (1859-1938 M) juga terdapat pembahasan yang berrhubungan dengan hermeneutikal. Heidegger mencerap fenomenologi sebagai suatu metode itu dari gurunya, Edmund Husserl.

Heidegger beranggapan bahwa penyingkapan makna dan hakikat eksistensi itu hanya melalui fenomenologi dasein dan analisis wujud manusia. Metode analisis ini, bukan bersifat argumentatif dan demonstratif silogisme, karena demonstratif silogisme itu berupaya menarik konklusi dari perkara yang lain, sementara tidak ada sesuatu yang lain selain wujud dan eksistensi itu sendiri. Dengan demikian, jalan pengenalan satu-satunya adalah analisis wujud manusia dan fenomenologi eksistensial. Hakikat wujud itu tidak bisa ternampakkan, oleh karena itu, dengan kita memahami konsep wujud dan melihat penampakan maujud tak seketika mengetahui hakikatnya.

Namun, penerimaan yang sama atas fenomenologi yang nampak pada kedua pemikir tersebut, Husserl dan Heidegger, tidak berujung pada kesamaan pandangan. Dengan metode itu, Husserl berupaya supaya filsafat itu berdiri tegak di atas keyakinan-keyakinan – seperti Descartes – dan filsafat itu diupayakan setara dengan ilmu. Sementara Heidegger mengejar tujuan lain, yakni mencari jawaban atas makna dan hakikat eksistensi. Dengan dasar ini, Heidegger tetap pada tingkatan kajian prinsipalitas eksistensi manusia dan tidak bisa disetarakan dengan derajat pembahasan metafisika.

Dengan penguraian ini, jelaslah bahwa pengkajian hermeneutik tidaklah terbatas pada karya-karya resmi tentang hermeneutik dan begitu banyak pembahasan yang menunjukkan kesesuaiannya dengan hermeneutikal. Dengan berpijak pada realitas ini, tertegaslah keberadaan "hermeneutik tanpa nama" tersebut.

15
NEO-TEOLOGI I

8. Refleksi Hermeneutik dalam Pemikiran Religius
Pemikiran keagamaan kontemporer ialah kenyataan atas bentuk pengkajian baru yang mempunyai akar dalam hermeneutik. Probabilitas pelontaran interpretasi yang beragam dan tak berhingga terhadap teks-teks agama, penafsiran yang bersifat historikal, perubahan interpretasi yang terus menerus, adanya keabsahan intervensi pikiran para mufassir dalam penafsiran teks-teks, dan pengaruh ilmu-ilmu lain terhadap pemahaman keagamaan adalah dimensi-dimensi baru yang hadir dalam wilayah dan ranah pembahasan keagamaan yang mempunyai akar mendalam pada teori-teori pemikiran hermeneutikal.

Hermeneutik kontemporer dari dua sisi memberikan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan:

a. Sebagian dari pembahasan hermeneutikal sangat berhubungan erat dengan pemikiran filosofis tentang pemahaman dan pengetahuan secara umum. Pemikiran tentang substansi pemahaman dan syarat-syarat eksistensial kehadirannya serta karakteristik-karakteristiknya yang prinsipil, akan berkonsekuensi pada kehadiran suatu hukum dan kaidah umum tentang pemahaman dimana juga meliputi makrifat keagamaan, pemahaman, dan penafsiran teks-teks suci keagamaan, dengan demikian, akan mewujudkan suatu pertalian yang sangat erat dan mendalam antara kajian-kajian hermeneutikal dan segala pengetahuan keagamaan.

b. Islam, Kristen, dan Yahudi adalah agama-agama yang berpijak pada wahyu dan kalam Ilahi. Realitas ini akan menyebabkan agama-agama tersebut akan menerima pengaruh dalam aspek-aspek beragam dari teks-teks keagamaan, interpretasi, dan pemahaman-pemahamannya. Pertalian mendalam ini antara tradisi keagamaan dan kategori interpretasi teks-teks religius menyebabkan perumusan teori-teori baru dalam bidang penafsiran dan pemahaman teks-teks, merekontruksi metode-metode penafsiran teks yang umum digunakan, serta pencarian solusi baru atas persoalan-persoalan kontemporer, yang kesemuanya ini akan berefek secara radikal pada segala pemikiran keagamaan.

Hermeneutik senantiasa bersinggungan dengan masalah-masalah interpretasi teks, yang walaupun terjadi banyak perubahan dalam ranah dan tujuannya, akan tetapi tetap memberikan penekanan khusus pada kategori pemahaman teks. Dari sisi ini, pelontaran konsep-konsep baru dalam wilayah hermeneutik tekstual akan berefek pada kedalaman pemikiran dan penafsiran keagamaan.

Hermeneutik pra Heidegger, pra abad keduapuluh, dengan berbagai horizon-horizon baru dalam interpretasi teks, tidak melahirkan benturan dalam domain perspektif keagamaan, karena seluruh aliran hermeneutik pada saat itu, sejalan dan mendukung tradisi metodologi dalam pemahaman dan penafsiran teks, dan masing-masingnya berupaya menegaskan dan merumuskan tolok ukur pada berbagai dimensi dalam metodologi umum yang diterima itu. Namun, hermeneutik filosofis dan segala kajian yang berada dalam wilayah pengaruhnya lantas bangkit untuk melakukan kritik dan rekonstruksi terhadap kesusastraan dan semiotik serta melakukan perubahan radikal terhadap metode umum pemahaman dan panafsiran teks. Walhasil, objektivitas pengetahuan keagamaan menjadi diragukan.

Sebelum kita menyinggung perubahan penting yang dihembuskan oleh hermeneutik kontemporer dalam ranah pemahaman teks adalah urgen mengupas secara umum pencapaian universal dari pemahaman terhadap teks.

Tradisi interpretasi teks keagamaan yang lazim dan umum berkembang di kalangan para pemikir kontemporer berpijak pada gagasan-gagasan di bawah ini:

a. Upaya mufassir dalam menggali makna-makna teks. Makna-makna setiap teks adalah sesuatu yang diinginkan oleh subjek pembicara dan penulis teks dimana untuk mengungkapkannya mereka menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat. Oleh sebab itu, setiap teks mempunyai makna-makna tertentu dan terbatas yang diinginkan dan dituju oleh pemilik teks dan pembicara secara serius. Tujuan serius dan makna-makna khusus itu ialah hal yang objektif dan riil yang senantiasa diupayakan oleh para mufassir untuk diungkapkan dan dijelaskan. Maksud dari objektivitas dan realitas tersebut adalah bahwa terkadang mufassir salah menafsirkannya dan tak berhasil mengungkap realitas hakikinya. Bagaimanapun, makna-makna tersebut merupakan perkara yang konstan dan tak berubah serta pikiran mufassir sama sekali tidak berperan dalam perubahan makna tersebut. Berdasarkan perspektif ini, teks-teks keagamaan berisi pesan-pesan Ilahi yang ditujukan untuk umat manusia dan tujuan para mufassir teks-teks ini adalah menggali, menganalisa, dan mengungkap pesan-pesan serius dari pemilik teks-teks itu.

b. Untuk sampai pada tujuan dan maksud tersebut, dapat menggunakan metode yang diterima secara umum oleh orang-orang yang berakal dalam aspek pemahaman atas teks. Dalam metode itu, kata-kata lahiriah teks merupakan jembatan penghubung untuk menemukan tujuan inti dan makna yang dimaksud, karena pembicara dan pemilik teks menggunakan kata-kata untuk menyampaikan maksud yang sesungguhnya. Implikasi kata-kata terhadap makna-makna mengikuti kaidah-kaidah bahasa dan aturan-aturan logis dalam setiap dialog, pembicaraan, dan proses belajar mengajar. Kaidah dan aturan tersebut bersifat umum dan logis yang digunakan secara disiplin oleh para pembicara dan lawan bicara, dan tidak mengikuti aturan ini membuat kesalahan dalam pemahaman dan interpretasi teks. Berdasarkan pandangan yang absah dalam tradisi keilmuan, aturan dan hukum tersebut bisa disusun dan dirumuskan, sebagaimana perumusan dan penyusunan secara sistimatik kaidah-kaidah berpikir dan berargumentasi yang dapat disaksikan pada disiplin ilmu logika (mantik).

c. Kondisi ideal untuk mufassir adalah pencapaian suatu pemahaman yang benar-benar diyakini sebagai tujuan inti dari pembicara dan pemilik teks. Namun, keyakinan dan kepercayaan ini tidak senantiasa hadir dalam semua teks. Kejelasan implikasi teks terhadap makna yang dituju (sebagaimana kehendak utama sang pemilik teks), dalam tradisi keagamaan, disebut dengan "nash". Dalam nash keagamaan, para mufassir meraih pemahaman objektif yang sesuai dengan realitas hakikinya. Dalam selain nash, yang secara istilah disebut dengan "makna lahiriah", para mufassir tidak dapat menyatakan secara jelas, yakin, dan tegas terhadap objektivitas pemahaman dan interpretasinya, akan tetapi, perolehan makna-makna tersebut tidak dikatakan telah keluar dari domain validitas penafsiran. Ketiadaan kejelasan ini dan kesulitan pencapaian maksud utama pembicara dan pemilik teks, tidaklah lantas menggambarkan ketiadaan tolok ukur untuk memilah dan memilih mana interpretasi yang benar dan yang tidak benar. Dalam kategori-kategori penafsiran teks, khususnya interpretasi terhadap teks-teks keagamaan, sangat diupayakan menemukan pemahaman valid yang dapat dipertanggung jawabkan dalam koridor metodologi dan kaidah-kaidah umum dan logis yang secara disiplin diaplikasikan oleh kaum intelektual dan cendekiawan dalam menafsirkan setiap teks.

d. Perbedaan dan kesenjangan zaman yang terdapat antara penafsir dan kehadiran teks adalah bukanlah penghalang bagi tercapainya makna-makna yang dimaksud dan objektivitas dalam teks-teks religius, karena perubahan-perubahan bahasa dalam rentang perjalanan waktu tidaklah membuat pemahaman atas teks menjadi sangat sulit dan tidak akan terjadi kontradiksi antara makna lahiriah dan makna-makna yang diinginkan oleh pembicara dan penulis.

e. Segala upaya interpretator mesti diarahkan untuk menggali pesan-pesan utama teks dan maksud asli penulis lewat implikasi-implikasi teks. Atas dasar ini, menolak segala bentuk pikiran-pikiran penafsir dalam penentuan pesan dan maksud teks. Tafsir birra'yi secara tegas ditolak karena akan berujung pada kehadiran warna pemikiran mufassir dan bertolak belakang dengan metode umum dalam penafsiran teks. Berdasarkan cara ini, mufassir akan dipengaruhi oleh pesan-pesan teks dan terposisikan sebagai penerima pesan-pesan teks, ia tidak berhak merumuskan sendiri bentuk pesan-pesan teks itu. Dan jika ia menginginkan aktif dalam penentuan pesan-pesan uatama teks secara sepihak, maka ia telah keluar dari metode interpretasi yang sah.

f. Tradisi penafsiran yang benar atas teks sangat bertentangan dengan aliran relativisme pemahaman dimana beranggapan tentang ketiadaan tolok ukur yang pasti dan jelas dalam penentuan pemahaman yang benar dan keliru, tidak mungkin memisahkan dan menentukan pemahaman hakiki dan objektif dari pemahaman yang salah, menerima berbagai bentuk keragaman pemahaman teks, dan menolak adanya ketunggalan pemahaman dan objektivitas.

Kehadiran aliran hermeneutik filosofis pada abad keduapuluh yang melontarkan berbagai kritikan-kritikan terhadap kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan tradisi-tradisi umum interpretasi teks yang diterima sebagai landasan bagi perumusan pemikiran keagamaan, pada akhirnya mengerucut kepada keraguan atas realitas penafsiran teks keagamaan dan berbagai pikiran-pikiran religius.

Di bawah ini akan diungkapkan secara ringkas ide dan gagasan utama hermeneutik filosofis yang kemudian melahirkan kondisi-kondisi pertentangan dengan metode umum interpretasi yang diterima oleh penafsir muslim:

a. Pemahaman-pemahaman atas teks merupakan hasil dari penggabungan antara horizon dan perspektif mufassir dan makna-makna teks. Oleh karena itu, pengaruh pemikiran-pemikiran para penafsir dalam pemahaman bukanlah hal yang negatif, melainkan juga syarat eksistensial kehadiran pemahaman dan merupakan hal yang tak bisa ditolak dan dipungkiri.

b. Memperoleh pemahaman objektif teks yang berarti kemungkinan mencapai suatu pemahaman yang sesuai dengan kenyataan hakiki adalah hal yang mustahil, karena unsur-unsur itu (seperti pikiran dan asumsi mufassir) merupakan syarat perwujudan pemahaman, dan dalam setiap perolehan tidak lepas dari pengaruh pengetahuan-pengetaguan penafsir.

c. Pemahaman teks secara praktis tidak berakhir dan kemungkinan adanya penafsiran dan interpretasi lain yang beragam dengan ranah tak terbatas, karena penafsiran teks itu adalah gabungan antara horizon mufassir dan makna-makna teks, dan dengan adanya perubahan sosok penafsir dan perspektif-perspektifnya, akan melahirkan interpretasi yang tak terbatas dari probabilitas penggabungan tersebut. jadi kemungkinan munculnya komposisi-komposisi tak berhingga. Walhasil, kemungkinan perwujudan pemahaman dan penafsiran terhadap teks yang beragam pun menjadi realitas yang tak terbatas.

d. Tak ada suatu pemahaman dan interpretasi pun yang konstan dan tak berubah dimana merupakan suatu pemahaman puncak yang bersifat tetap.

e. Tujuan dari penafsiran teks adalah bukan berupaya memahami maksud dan keinginan pemilik teks. Kita berhadapan dengan teks dan bukan pencipta teks itu. Bahkan, penulis teks juga diposisikan sebagai penafsir teks yang tidak berbeda dengan mufassir-mufassir lainnya. Teks adalah realitas mandiri yang "berdialog" dengan interpretator dan pemahaman itu lahir dari hasil "percakapan" dan "dialog" tersebut. Seorang penafsir sama sekali tak berurusan dengan pesan-pesan inti dan maksud-maksud utama yang dikehendaki oleh para penulis dan pemiliki teks.

f. Tak ada satu pun tolok ukur yang bisa digunakan untuk membandingkan antara interpretasi yang benar dan yang keliru, karena secara mendasar tak ada satu penafsiran yang dianggap paling absah.

g. Hermeneutik filosofis memiliki kesamaan dengan ide relativitas interpretasi dan membuka secara luas penafsiran-penafsiran teks yang radikal.

Sangat perlu dikatakan bahwa hermeneutik filosofis mempengaruhi pemikiran-pemikiran keagamaan secara tidak langsung dan juga ia tak mengajukan metode baru dalam pemahaman teks. Ketidaklangsungan pengaruh-pengaruhnya itu telah disinggung di awal pembahasan ini dan telah kami tunjukkan bahwa hermeneutik filosofis tidak memiliki kecenderungan religius dengan segala konsep dan gagasan khususnya itu. Pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dalam ranah pemikiran keagamaan itu melewati kritikan-kritikan yang diajukannya kepada cara dan metode umum interpretasi teks yang diterima itu.

Poin penting yang ditekankan di sini adalah bahwa kritikan hermeneutik filosofis terhadap metodologi umum itu tidak dalam rangka mengajukan rumusan metode baru sebagai pengganti metode umum tersebut. Hermeneutik filosofis tidak memandang posisinya itu sebagai ungkapan metodologi baru untuk pemahaman dan interpretasi teks, termasuk teks-teks keagamaan, melainkan ia mengajukan analisis substansi pemahaman teks, syarat perwujudan pemahaman, dan tujuan-tujuan penafsiran serta sangat kontra dengan tradisi analisis interpretasi teks. Gagasan ini, merupakan serangan dan kritikan serius terhadap metodologi umum penafsiran teks. Dan kelanggengan metode umum dan keabadian pemikiran formal religius tersebut sangat bergantung kepada solusi komprehensif dan universal terhadap berbagai kritikan-kritikan itu.


9. Hermeneutik dan Epistemologi
Hubungan dekat di antara kedua ilmu ini karena keduanya sama-sama mengkaji subjek pemahaman dan makrifat manusia. Walaupun demikian, kita tidak dapat menyamakan kedua ilmu tersebut dan menyatakan bahwa hermeneutik itu tidak lain adalah epistemologi itu sendiri atau sebaliknya. Hermeneutik, sebagaimana yang telah dijelaskan, menguraikan metode pencapaian pemahaman, syarat-syarat dan kaidah perwujudanya. Sementara pada epistemologi membahas persoalan-persoalan seperti, apakah makrifat manusia bersifat fitri, inderawi, empirik, atau gabungan dari semua itu? Apakah konsepsi pikiran manusia berakar pada fitrah atau indera? Apakah makrifat manusia bersifat terbatas dan bagaimana terwujudnya konsepsi-konsepsi yang tak terbatas itu dalam pikiran? Tolok ukur kebenaran dan kesalahan? Hubungan antara pikiran (subjek) dan alam eksternal (objek)? Media-media dan sumber-sumber pengetahuan manusia? Tak satupun dari masalah-masalah tersebut ini dibahas dalam ranah-ranah hermeneutik. Terkadang dalam epistemologi dikaji tentang syarat-syarat dan penghalang-penghalang ilmu dan makrifat. Kajian-kajian seperti ini bisa dikategorikan sebagai pembahasan-pembahasan hermeneutikal.


10. Hermeneutik dan Ilmu Logika
Keduanya memiliki kesamaan karena masing-masing membahas metode pemikiran dan pemahaman. Namun, peran ilmu logika adalah merumuskan kerangka-kerangka yang dijadikan landasan dan metode bagi seluruh pengetahuan dan pemikiran manusia, termasuk juga metode-metode umum dalam hermeneutik, karena dalam tingkat argumentasi dan demonstrasi tidak mungkin lepas dari penggunaan salah satu dari metode logikal, apakah para penafsir hermeneutik berpijak mutlak pada penulis teks, teks sentris, atau mufassir sentris.

Dengan ungkapan lain, dalam ilmu hermeneutik akan dikatakan bahwa apa syarat-syarat dan kaidah-kaidah pemahaman dan interpretasi atas suatu teks, karya-karya kesusastraan, atau bahkan fenomena-fenomena natural. Sebagai contoh, apakah pandangan dunia penulis dan pemilik teks, atau syarat-syarat alami dan sosial sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam kemunculan karya-karya manusia dan fenomena-fenomena natural, atau kondisi-kondisi ruhani, pikiran dan budaya mufassir, yang memiliki peran positif atau negatif dalam penafsiran dan pemahaman manusia? Akan tetapi, bagaimana konsepsi-konsepsi dan pengetahuan-pengetahuan manusia tersebut disusun secara sistimatik dan bagaimana memperoleh suatu konklusi yang diinginkan dari premis-premis yang ada, hanya dipaparkan dan diulas oleh ilmu logika dan tidak dijelaskan dan diuraikan oleh ilmu hermeneutik.


11. Hermeneutik dan Linguistik
Linguistik adalah salah satu disiplin ilmu manusia yang tertua. Hal ini karena bahasa itu merupakan rukun-rukun penting dan urgen dalam kehadiran konsepsi dan transaksi pemikiran serta komunikasi sosial. Berdasarkan realitas ini, bahasa senantiasa menjadi subjek dan ranah pembahasan teoritis para pemikir. Pilologi, aturan-aturan bahasa, makna-makna, dan estetika bahasa merupakan kajian-kajian klasik bahasa. Dalam era modern, terdapat kecenderungan-kecenderungan baru di wilayah penelitian bahasa yang berpuncak pada kehadiran filsafat analisis bahasa yang memandang segala pengkajian filosofis itu mesti berangkat dari observasi linguistik dan fungsinya.

Pada sisi lain, hermeneutik juga berurusan dengan teks-teks, sementara bahasa merupakan pembentuk teks. Dengan demikian, hermeneutik juga memandang penting masalah-masalah linguistik. Gagasan ini, juga terlontar dalam hermeneutik klasik dan hermeneutik modern, yang terkhusus sangat ditekankan pada hermeneutik Gadamer. Menurut Gadamer, bahasa itu bukan hanya sebagai media penyaluran pemahaman, melainkan pembentuk suatu pemahaman. Dengan ibarat lain, hakikat dan substansi pemahaman itu adalah bahasa. Berdasarkan gagasan ini, ilmu hermeneutik mempunyai hubungan erat dengan linguistik beserta cabang-cabang dan metode-metodenya yang beragam. Namun masing-masing ilmu tersebut merupakan disiplin-disiplin ilmu tertentu yang mempunyai subjek, ranah, metode, dan tujuan-tujuan khusus. Pada hakikatnya, bisa dikatakan bahwa ilmu hermeneutik itu mengambil manfaat dari pembahasan linguistik. Begitu pula linguistik, khususnya pengkajian yang merumuskan fungsi, kaidah, dan kerangka bahasa, sangatlah terkait dengan ilmu hermeneutik, khususnya penerapan hukum dan kaidah bahasa. Kenyataan ini sebagaimana hubungan hermeneutik dengan ilmu logika, yakni hermeneutik tidak mungkin melepaskan dan memisahkan dirinya dari penggunaan metode-metode umum logika dan berpikir.




Catatan Kaki:
[1] . The Hermeneutics Reader Ed by Kort Muller volmer, Basil Black well, PP 1, 2.

[2] . Nama kitab Dann Hauer adalah sebagai berikut: "Hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrum litterarum", yang bermakna "Hermeneutik Suci atau Metode Penafsiran Teks-teks Suci Injil".

[3] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical hermeneutics, yale university press, 1994, p, 48.

[4] . Palmer, Ricard E, Hermeneutics, North western university press, 1969, PP 12, 13; Routlege Encyclopedia of Philosophy, Edward craig, volume 4, 1998, P 385.

[5] . The Encyclopedia df Religion, mircea Eliade, volume 5, P 179.

[6] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, P 22.

[7] . Palmer, Tichard, Hermeneutics, P xii.

Argumen Robinson adalah sebagai berikut bahwa keumuman dari kata ini dalam bahasa yang lain kosong dari huruf "s" , di Jerman, ilmu ini disebut dengan "Hermeneutik", di Perancis "Hermeneutique", dan di Latin disebut dengan "Hermeneutica" dimana keseluruhannya diucapkan tanpa adanya huruf "s".

[8] . Dalam hermeneutik filosofis, biasanya pemisahan Immanuel Kant antara fenomena dan hakikat sesuatu disebutkan sebagai realitas hermeneutical. Karena pemisahan dan pembedaan ini memiliki peran penting dalam perubahan filsafat Barat dari Metafisika menjadi Hermeneutik. Grondin, Jean, Sources of Hermeneutics, Stute University of New York press, 1995, P 3.

[9] . Hans-Georg Gadamer dalam analisisnya terhadap esensi pemahaman dan interpretasi teks menganggapnya sebagai konklusi dari penggabungan dan fusi horizontal antara makna penafsir dan makna teks (fusion of horizons). Jadi, penafsir mengamati dan memahami teks dengan pengetahuan-pengetahuan dan asumsi-asumsi yang dimiliki sebelumnya, yaitu ia menafsirkan dengan dimensi hermeneutik khusus yang dimilikinya. Berdasarkan analisis ini, interpretasi teks merupakan hasil diskursus hermeneutik (hermeneutical discourse) antara penafsir dan teks.

[10] . Auslegekunst.

[11] . The Hermeneutics Reader, P 5.

[12] . Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol 4, P 385.

[13] . Sources of Hermeneutics, P 6.

[14] . Introduction to Philosophical Hermeneutics, PP 86, 88, 89.

[15] . The Hermeneutics Reader, P 27.

[16] . Makalah ini telah dicetak di berbagai tempat, antara lain pada awal terjemahan Murad Farhadpuur dari kitab Halqeye Intiqadi, yang disusun oleh David Guznazhawey.

[17] . Contemporary Philosophy, Edited by G. Floisad, Volume 2, Martinus Nijohoff oublisher, 1982, P 457.

[18] . Bruns, Gerald L, Hermeneutics Ancient and Modern, P 1.

[19] . Richard E. Palmer, Contemporary Philosophy, P 461.

[20] . Menurut Hans-Georg Gadamer, hakikat-hakikat yang ada dalam fenomena-fenomena sejarah seperti teks, peninggalan seni, tradisi, dan sejarah itu tidak bisa dicapai lewat bantuan suatu metode.

[21] . Richard E. Palmer, Contemporary Philosophy, PP 461, 464.

[22] . Contemporary Philosophy, PP 461, 464.

[23] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, P 50.

[24] . Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, P 50.

[25] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, P 14.

[26] . Martin Heidegger, Being and Time, PP 21, 28.

[27] . Ibid, PP 61, 62.

[28] . Brice R. Wachterhausey. Hermeneutics and Modern Philoshophy.

[29] . Paul Ricoeur, Hermeneutics, P 14.

[30] . Jeanrond G. Werner, Text and Interpretation as categories of theological thinking trans by Thomas J. Wilson, P 40.

[31] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, PP 32, 33.

[32] . Ibid, PP 34, 35.

[33] . Ibid, PP 36, 37.

[34] . Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, PP 421, 435.

[35] . Frederick Copleston, Tarikh-e Falsafe, jilid tujuh, hal. 400.

[36] . Ibid, hal, 398 dan 399.

16
NEO-TEOLOGI I

Tugas Syar’i; Beban atau Rahmat?
Sebagian orang berpendapat bahwa jika Tuhan adalah pengasih dan penyayang lalu mengapa Tuhan membebani hamba-hambanya dengan setumpuk kewajiban dan taklif yang telah membuat mereka bersusah paya dan mengalami berbagai bentuk kesulitan hidup di dunia ini,dan disebabkan kelalaian dan pelanggaran mereka atas sebagian taklif atau kewajiban-kewajiban yang ada mereka harus disiksa, sesungguhnya apa pentingnya sebuah taklif? dan mengapa mesti ada siksaan?

Manusia di zaman modern senantiasa ingin bebas dan melepaskan diri dari segala bentuk batasan,belenggu dan berbagai ikatan.Agama dan syariat dipandang sebagai aturan dan batasan-batasan yang mengikat kaki dan tangan manusia, jika di zaman ini kepercayaan terhadap Tuhan masih harus berlanjut dan dipertahankan maka hanya Tuhan cintalah yang layak untuk diperkenalkan,yaitu Tuhan yang selalu mengasihi dan menyayangi hamba-hambanya dan tidak menghendaki mereka untuk bersusah paya dan juga tidak akan pernah melarang atau memberi perintah,Tuhan yang senantiasa memberi kebebasan kepada manusia dan membiarkan mereka untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan dan pada akhirnya mereka akan ditempatkan atau dimasukkan kedalam surga kenikmatan-Nya dan tidak ada lagi berita tentang siksaan dan hari perhitungan.Tuhan seperti inilah yang dapat diterima di zaman modern.

Dalam pandangan kaum modernis Tuhan di zaman sebelumnya adalah Tuhan yang bermuka masam,pemarah,kejam,berbahaya,selalu melarang dan memberi perintah,dogmatis,kasar,diktator serta egois.


Tuhan kaum modernis
Manusia di zaman modern senantiasa ingin bebas dan melepaskan diri dari segala bentuk batasan,belenggu dan berbagai ikatan.Agama dan syariat dipandang sebagai aturan dan batasan-batasan yang mengikat kaki dan tangan manusia, jika di zaman ini kepercayaan terhadap Tuhan masih harus berlanjut dan dipertahankan maka hanya Tuhan cintalah yang layak untuk diperkenalkan,yaitu Tuhan yang selalu mengasihi dan menyayangi hamba-hambanya dan tidak menghendaki mereka untuk bersusah paya dan juga tidak akan pernah melarang atau memberi perintah,Tuhan yang senantiasa memberi kebebasan kepada manusia dan membiarkan mereka untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan dan pada akhirnya mereka akan ditempatkan atau dimasukkan kedalam surga kenikmatan-Nya dan tidak ada lagi berita tentang siksaan dan hari perhitungan.Tuhan seperti inilah yang dapat diterima di zaman modern.

Dalam pandangan kaum modernis Tuhan di zaman sebelumnya adalah Tuhan yang bermuka masam,pemarah,kejam,berbahaya,selalu melarang dan memberi perintah,dogmatis,kasar,diktator serta egois.

Mereka berkeyakinan bahwa Tuhan yang semestinya ada dan menggantikan Tuhan yang mempunyai sifat-sifat tersebut adalah Tuhan yang pengasih,penyayang dan memiliki kekuatan atau kekuasaan terbatas(sebab ketidak terbatasan kekuasaan Tuhan adalah sangat menakutkan),tanpa larangan dan perintah,menyenangi semua manusia,menyiapkan segala bentuk kebutuhan dan kenikmatan hidup serta kesejahteraan mereka,memberi kebebasan kepada manusia dst…,Tuhan seperti ini menemukan relevansi dan keselarasan dengan peradaban modern dunia barat,olehnya itu sangat memikat hati kaum modernis.


Konsepsi-konsepsi murni tentang tuhan
Dalam membahas atau mengkaji masalah-masalah taklif,pahala dan siksaan dibutuhkan adanya gambaran atau konsepsi-konsepsi benar terhadap Tuhan,syariat,surga dan neraka.Konsepsi atau penggambaran yang terdapat dalam pandangan-pandangan orisinil tentang Tuhan dibagi kedalam tiga kelompok,ketiga jenis konsepsi ketuhanan ini melahirkan tiga bentuk religiusitas(ketaatan dalam beragama),yaitu religiusitas orang awam,intelektual dan para pecinta.


Religiusitas Orang Awam
Bentuk religiusitas seperti ini biasanya ditemui dalam kelompok masyarakat awam yang tidak terpelajar,mereka mengkonsepsikan wujud Tuhan sebagai penguasa yang kejam dan tidak mengenal belas kasih serta mewajibkan berbagai aturan dan perintah yang apabila dilanggar akan membuat-Nya marah dan efek kemarahan-Nya akan menyulut kobaran api neraka dimana para pendosa atau pelanggar akan dimasukkan kedalamnya,tetapi jika mereka berdo`a dan memohon ampun atau mendatangkan seorang penjamin(pemberi syafaat) maka hal itu bisa saja meredakan api kemarahan Tuhan dan menyebabkan hilangnya siksaan dan Tuhan seakan menutup mata dari dosa-dosa mereka.Gambaran tentang siksaan,api,surga dan neraka bagi mereka adalah non hakiki dan bersifat kesepakatan yang dapat berubah atau mengalami penambahan dan pengurangan atau kemudian tergantikan dengan adanya permintaan dan sikap memohon seorang hamba,konsepsi dan perilaku keberagamaan seperti ini disebut dengan keberagamaan awam.


Religiusitas Kaum Cendekia
Pada jenis keberagamaan ini, yang umumnya terdapat dalam kelompok masyarakat terpelajar dan telah banyak bersentuhan dengan wacana-wacana teologi dan filsafat, yang dipahami adalah bahwa relasi antara Tuhan dengan kosmos (alam semesta) serta manusia yang merupakan bagian didalamnya sebagai relasi takwini yang berpijak pada serangkaian hukum yang berlaku atas seluruh wilayah eksistensi.Pahala dan siksaan adalah sebuah realitas takwini dan hakiki,bukan sesuatu yang bersifat kesepakatan dan non hakiki,demikian pula halnya dengan doa,taubat dan syafaat yang tidak akan memberi efek sedikit pun tanpa adanya perubahan pada realitas kedirian seseorang.Taklif sendiri hanyalah serangkaian petunjuk dan bimbingan Tuhan dalam hubungannya dengan serangkaian aturan atau hukum-hukum yang mengendalikan alam semesta dan begitu pula dengan perbuatan dan kehendak bebas manusia.Perbuatan-perbuatan manusia senantiasa mengikuti serangkaian hukum dan aturan yang apabila manusia mengetahuinya akan membuat mereka mampu mengetahui hubungan perbuatan mereka dengan apa yang dihasilkannya sehingga mereka dapat memilih bentuk atau jenis-jenis perbuatan yang bisa mengantarkan mereka pada tujuan tinggi kemanusiaan.Sesungguhnya taklif atau kewajiban-kewajiban yang ada dalam syariat(agama) adalah sebuah bentuk interpretasi atau penafsiran hakiki atas serangkaian hukum-hukum yang telah disebutkan serta menginformasikan dimensi-dimensi keburukan ataupun kebaikan dari sebuah realitas, penerimaan atau penolakan terhadapnya tidak meniscayakan siksaan atau pahala yang sifatnya perjanjian,tetapi menyebabkan seseorang sampai pada hakikat realitas suatu perbuatan.Surga dan neraka pada hakikatnya merupakan jelmaan atau manifestasi dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk seseorang.Ketika seseorang melakukan perbuatan baik dan terpuji, pada jiwanya akan tercipta suatu kondisi atau keadaan surgawi,yaitu sebuah kondisi dimana sekiranya seseorang berada didalam surga dan tersifati dengan sifat atau perbuatan baik tersebut maka ia akan menemukan(mengalami) keadaan yang sama.Pepohonan,aliran-aliran sungai,minuman dan makanan-makanan surga secara esensi(dzati) tidaklah baik bagi manusia, tetapi kelezatan yang timbul dan dihasilkan dari mereka itulah yang baik dan bermanfaat baginya,bentuk kelezatan seperti ini akan tercipta dan mengaktual dalam diri seseorang dengan perbuatan baik.Tetapi hal itu tidak pernah terasa oleh seseorang disebabkan ia masih dalam keadaan ‘tertidur’.Setelah meninggal,seseorang akan terbangun dari tidur panjangnya dan pada saat itu ia akan merasakan suatu keadaan jiwa yang berbeda,ia akan merasakan kelezatan surga yang seakan tak bertepi dan begitu pula dengan pedihnya siksaan yang merupakan hasil atau jelmaan dari perbuatannya sendiri.

Tetapi bukan berarti bahwa keadaan atau kondisi yang tercipta pada jiwa seseorang tidak dapat berubah dan keburukan-keburukan yang ada tidak bisa tergantikan dengan kebaikan dan begitu pula dengan kemustahilan hilangnya kebaikan dari seseorang.Seorang yang melakukan perbuatan buruk ibarat orang yang terjatuh dari suatu tempat yang tinggi dan mengalami patah kaki,ia bisa saja menyembuhkan dirinya dengan melakukan upaya perawatan yang baik atau dengan merujuk kepada seorang dokter hingga pada upaya melakukan operasi atau pembedahan,tapi sebaliknya apabila ia meremehkan dan seakan tidak peduli dengan keadaannya maka kaki yang patah itu tidak akan sembuh dan menjadikannya cacat seumur hidup, bahkan jika kaki yang patah dan terluka tersebut mengalami infeksi maka boleh jadi dengan terpaksa ia harus memotong kakinya.Keburukan atau dosa-dosa seseorang dapat dihilangkan dengan upaya taubat dan do`a atau bahkan dengan syafaat dan sebaliknya sikap malas dan tidak peduli hanya akan membuatnya semakin kokoh dan mengakar sehingga tidak bisa lagi tergantikan dengan kebaikan.Hal ini pun bisa terjadi pada perbuatan-perbuatan baik seseorang dimana dengan perbuatan buruk yang ia lakukan setelahnya bisa saja menghapus atau menghilangkan kebaikan yang telah ia lakukan sebelumnya,dan jika perbuatan yang ia lakukan itu perbuatan baik maka akan semakin menguatkan perbuatan-perbuatan baik sebelumnya.Dalam suatu literatur keagamaan disebutkan bahwa keistiqomahan dalam suatu perbuatan jauh lebih sulit dari pada melakukan perbuatan itu sendiri,dengan alasan bahwa mungkin saja perbuatan-perbuatan yang dilakukan setelahnya menghilangkan efek perbuatan-perbuatan sebelumnya,hal ini sangat jelas mengingat bahwa efek atau hasil dari suatu perbuatan bukan sesuatu yang besifat kesepakatan dan non hakiki serta berada diluar wujud manusia dimana perbuatan-perbuatan selanjutnya tidak memberikan efek atau pengaruh sedikit pun.Dengan penggambaran ini orang akan lebih mudah memahami bagaimana lenyapnya suatu perbuatan(amal) bisa terjadi…Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya di dunia dan di akhirat;…(Ali Imran:22), dan demikian pula dengan kemungkinan berubahnya suatu keburukan menjadi kebaikan…dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan;…(Al Qishas:54),…sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk;…(Hud:114). Begitu pula dengan prihal do`a dan taubat yang memberikan efek perubahan pada diri seseorang dan bahkan dengan jalan ini bisa mengangkat atau menghilangkan efek merusak dari dosa serta menggantikannya dengan kondisi-kondisi surgawi dalam jiwa seseorang, dengan alasan inilah do`a dan taubat harus dimunculkan dari dalam diri seseorang sehingga benar-benar bisa memberikan efek.Hal ini pun berlaku pada syafaat,sebab tawassul dan keterhubungan dengan orang-orang baik(orang-orang yang di ridhoi Tuhan) pada dasarnya selalu disertai dengan adanya perubahan yang terjadi pada jiwa(ruh) sehingga tercipta adanya keselarasan atau kesesuaian antara seseorang dengan wasilahnya.Ketaqwaan yang muncul pada diri seseorang pada hakikatnya adalah suatu bentuk perubahan eksistensial yang menyebabkan diri(wujud) seseorang berubah dan keburukan-keburukan yang ada padanya berubah menjadi kebaikan-kebaikan serta mejadikannya layak sebagai penghuni surga.Jenis religiusitas ini disebut dengan religiusitas orang-orang bijak(intelektual).


Religiusitas Para Pecinta
Religiusitas pada jenis ini pada dasarnya merupakan bentuk penafsiran yang lebih dalam dari jenis keberagamaan sebelumnya atau dengan kata lain masih merupakan jenis religiusitas yang kedua dengan penisbahan ruh kehidupan dan pengetahuan atas serangkaian hukum dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam kosmos.Berbeda dengan jenis ini,pada jenis religiusitas sebelumnya tidak ada tinjauan tentang eksistensi kesadaran,pengetahuan,kehendak dan kehidupan pada hubungan-hubungan yang terjadi dan berlaku atas alam semesta.Hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya adalah bentuk hubungan antara pecinta dan yang dicintainya. Keberadaan hubungan-hubungan yang menguasai alam eksistensi pada hakikatnya tercipta dari relasi kecintaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya dimana didalamnya terdapat pengetahuan dan kesadaran,jiwa dan kehidupan, serta memandang totalitas keberadaan(eksistensi) sebagai wujud yang hidup dan dalam keadaan bergerak menuju kekasih abadi dan gerakan ini senantiasa disertai dengan kehendak,pengetahuan,kesadaran,ketertarikan dan pujian.

Berdasarkan konsepsi ini relasi antara Tuhan dan manusia adalah hakikat hubungan antara pecinta dan kekasihnya.Kasih sayang Tuhan terhadap makhluk-Nya tidak terbatas,Tuhan senantiasa memanggil dan mengajak manusia mendekati-Nya,undangan dari seorang kekasih menjadikan totalitas wujud seorang pecinta dipenuhi dengan perasaan senang dan gembira serta memberinya daya gerak,yaitu gerak yang bersifat prinsip,orisinil,bertujuan dan penuh makna, suatu gerak untuk sampai pada kekasih yang menjadi dambaan setiap manusia, yakni meraih segala bentuk kesempurnaan atau dengan kata lain ‘mencapai’ wujud yang tak terbatas.

Taklif dalam penggambaran ini ibarat sepucut surat dari seorang kekasih dimana didalamnya tertulis petunjuk-petunjuk dengan ratusan pengungkapan tentang jalan menuju rumah sang kekasih.Taklif bagi seorang pecinta adalah paling lembutnya sapaan yang dapat terbayangkan,sebab dalam taklif atau kewajiban agama,seorang mukmin memahami bahwa Tuhan yang Maha pengasih dan penyayang menyukai dirinya serta menunjukkan kecintaan padanya.Ia seakan merasa layak dan mendapat kesempatan untuk berdialog dengan-Nya dan yang terpenting dari semuanya bahwa ia telah mendapat izin untuk hadir menyapa dan menyatakan cinta dihadapan sang kekasih.

Seorang pecinta tidak akan pernah merasa lelah dan terbebani dengan keberadaan taklif sang kekasih bahkan sebaliknya ia senantiasa menikmati serta memahaminya sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang yang paling tinggi, ketika hendak berdiri melakukan shalat perhatian dan konsentrasinya hanya tertuju kepada sang kekasih hingga melupakan seluruh kesibukan-kesibukan duniawi yang dapat mengotori jiwa(ruh)-nya,ia merasa tenang dalam perlindungan sang kekasih dan sesaat pun tidak pernah terlewatkan tanpa rasa nikmat dang senang bersama-Nya.Hubungan ini senantiasa menghaluskan jiwanya serta mempersiapkannya menjadi surga keridhoan,dalam keadaan ini ia akan merasakan paling tingginya kelezatan disebabkan ia berkesempatan untuk hadir dalam istana megah sang kekasih serta bertutur kata dengan-Nya.

Taklif baginya secara lahiriah menyerupai beban tetapi secara batiniah adalah rahmat.Cara pandang seorang mukmin terhadap hakikat dan realitas membuat mereka mengerti dan memahami bahwa taklif agama bukanlah sebuah titah dari seorang penguasa diktator yang bertujuan melampiaskan hasrat berkuasanya,tetapi dari seorang penguasa yang penyayang dan memahami kemaslahatan dan lebih tinggi dari semuanya adalah dari seorang kekasih berhati lembut dimana seluruh kebaikan terkumpul padanya,sehingga dari lorong ke lorong kota cinta menggiring pecinta menemui kekasihnya.Dalam penggambaran ini apabila Tuhan meninggalkan manusia dan kepadanya tidak memberi larangan atau perintah serta tidak menentukan taklif untuknya dan kemudian berkata:

Wahai manusia kalian bebas dan lakukanlah apa yang kalian inginkan…!,dan jika Tuhan tidak menujukkan batas-batas suatu jalan dari sebuah selokan serta tidak mengenalkan diri-Nya sebagaimana yang diinginkan kaum modernis,maka hal itu menunjukkan ketidak pedulian Tuhan terhadap pecinta-Nya,dan sesungguhnya sikap acuh seorang kekasih adalah paling pedihnya ketersiksaan.Ketidak pedulian kekasih terhadap seorang pecinta adalah kegelapan terbesar yang dapat menimpa sang pecinta,oleh karena itu ketiadaan taklif sama saja dengan kegelapan(ketersiksaan) dan keberadaan taklif merupakan suatu rahmat.

Kepedihan yang dialami pecinta akibat keterjauhan dari kekasih ibarat api yang membakar dan membuatnya tersiksa,api ketersiksaan karena kehilangan kekasih dan keterjauhan dari keindahan-Nya ini bersumber dari kedalaman wujud seseorang sehingga tidak lagi memerlukan ‘kayu bakar’ yang lain…Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu;…(Al Baqarah:24),…Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka(Ali Imran:10).Para pendosa adalah mereka yang tak mengindahkan ajakan sang kekasih sehingga terjauhkan darinya.Dalam keadaan ini eksistensinya menjadi wujud yang dapat ‘mengatur’ dan ‘mengubah’, kewujudan ini menyebabkan keterasingan terhadap dirinya,didalam dirinya ia memelihara dan mengembangkan api keburukan, dan api keburukan ini bukan sesuatu yang bersifat non hakiki atau berada diluar wujudnya sehingga manusia dapat bertanya; mengapa Tuhan yang Maha kasih menciptakannya?, akan tetapi wujud api merupakan sebuah realitas hakiki dan takwini yang tercipta dari diri manusia itu sendiri.Tuhan hanya menunjukkan jalan kebaikan serta mengutus nabi-Nya untuk menasehati dan memberi peringatan kepada manusia…Sesungguhnya Kami telah mengutusmu(Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan;…(Al Baqarah:119),… Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman(Al A`raf:188), bentuk religiusitas ini disebut dengan religiusitas para pecinta.

17
NEO-TEOLOGI I

Burhan Shiddiqien dan Burhan Ontology; Sebuah Komparasi
ontolgy.jpgPengetahuan dan pengenalan terhadap sumber eksistensi senantiasa menjadi substansi problematika umat manusia disepanjang sejarah. Pada sisi lain, pengetahuan tentang eksistensi Tuhan serta hubungan-Nya dengan manusia dan alam, merupakan inti perbedaan agama-agama. Fungsi pengetahuan tentang penegasan eksistensi Tuhan ini, merupakan hal yang sangat prinsip dalam sejarah pemikiran manusia. Oleh sebab itu, manusia berupaya mengkonstruksi dan menyempurnakan pengetahuannya tentang keberadan wujud-Nya secara universal, dan berusaha mengupayakan argumen yang berfungsi menguatkan kepercayaan dan keyakinan pada wujud Tuhan serta menghilangkan keraguan dan skeptis terhadap-Nya.

Argumen tentang pembuktian eksistensi Tuhan yang tergolong penting dalam semua pemikiran keagamaan dan pemikiran filosofis diantaranya:

- Argumen fitrah;

- Argumen gerak;

- Argumen keteraturan alam;

- Argumen wujub dan imkan;

- Argumen ontologi; dan

- Burhan shiddiqin.

Argumen-argumen seperti fitrah, gerak, keteraturan alam, serta wujub dan imkan, semuanya menjadikan wujud kontingen (makhluk) sebagai perantara dalam pembuktikan eksistensi Tuhan. Tetapi dua argumen terakhir, yaitu argumen ontology dan burhan shiddiqin, tidak membutuhkan wujud kontingen dalam penegasan eksistensi Tuhan. Oleh sebab itu, kedua argumen terakhir tersebut merupakan argumen sempurna dan lebih kuat dibanding argumen-argumen lainnya.


Argumen Ontologi (Ontological Argument)
Penggagas pertama argumen ontologi adalah Saint Anselm, seorang uskup agung Kristen berkebangsaan Prancis. Langkah pertama yang dilakukan oleh Anselm adalah mendefinisikan Tuhan sebagai “suatu wujud yang mustahil dikonsepsi lebih besar dari-Nya”. Jelas, yang ia maksud lebih besar dalam konteks ini adalah lebih sempurna bukan ditinjau secara fisik dan materi, sebagaimana dalam tulisan lainnya ia mensifatkan Tuhan dengan suatu wujud yang kesempurnaanya tak terbatas dan mustahil dikonsepsi sesuatu yang lebih sempurna lagi dari-Nya.” [1]

Anselm sendiri mempunyai dua macam argumen ontologi, yang pertama menetapkan bahwa dengan hanya mengkonsepsi Tuhan, maka meniscayakan keberadaan-Nya. Tetapi dalam argumen kedua, disamping menetapkan wujud Tuhan, juga menetapkan keniscayaan wujud-Nya.


Di bawah ini, akan kami jabarkan kedua bentuk argumen ontology yang digagas oleh Anselm, sebagai berikut:

1. Argumen Pertama
Anselm memulai argumen ontologi ini dengan mengkonsepsi Tuhan sebagai suatu wujud yang mustahil dikonsepsi lebih besar dan lebih sempurna dari-Nya. Menukil dari kitab Falsafe-ye Din John Hick, Anselm berkata, “Oleh sebab itu, jika pemikiran tidak menerima apa yang lebih besar dan lebih sempurna dari-Nya, maka wujud-Nya hanya di alam akal. Jika sesuatu yang lebih besar dari-Nya mustahil dikonsepsi adalah juga sesuatu yang lebih besar dari-Nya dapat dikonsepsi, maka ini adalah sesuatu yang mustahil. Secara mutlak, tidak ada keraguan bahwa sesuatu yang lebih besar dari-Nya tidak dapat dipikirkan dimana juga berwujud dalam pikiran dan dalam realitas hakiki”.[2]

Dengan adanya persepsi kemustahilan terkonsepsi sesuatu yang lebih besar dari-Nya, maka dengan hadirnya persepsi tersebut meniscayakan bahwa ia berwujud dalam relitas alam pikiran dan akal. Tetapi pertanyaannya; apakah wujud persepsi seperti ini juga harus ada dalam realitas alam luar? Ia berargumen bahwa wujud tersebut juga harus berwujud di luar alam akal. Sebab kedua proposisi “dapat terkonsepsi yang lebih besar dari-Nya” dan “mustahilnya terkonsepsi yang lebih besar dari-Nya”, hadir dalam alam akal. Jika tidak, maka akan terjadi khulf dan menyalahi asumsi (proof by reductio ad absurdum).

Bentuk logika dari argumen tersebut di atas dapat dirumuskan dalam bentuk burhan perkecualian (syllogisme hypothetique):

Premis minor: Jika X (sesuatu yang tak ada lebih sempurna dari-Nya) hanya berwujud di alam pikiran saja, maka X bukanlah X.

Premis mayor: Akan tetapi X adalah X.

Silogisme: Maka, X itu tidak hanya berwujud di alam akal saja.

Argumen ini benar dipandang dari bentuk logika. Jika terdapat kesalahan, maka itu bersumber dari materi proposisi. Sebab argumen ini bersandar pada keniscayaan akal, yakni kehakikian diri sendiri (Self principle) atau ke-diri-an sesuatu bersandar pada dirinya sendiri.

Sebagaimana yang telah kita saksikan dalam penjabaran argumen Anselm pertama tersebut tentang penegasan wujud Tuhan, tetapi untuk membuktikan keniscayaan wujud-Nya (swa-wujud) harus ditetapkan dengan argumen lain.


2. Argumen Kedua
Setelah menjabarkan bentuk pertama argumen ontologi Anselm, selanjutnya kita menguraikan bentuk kedua dari argumen ini. Bentuk kedua argumen ini, tidak hanya yang mengutarakan penegasan wujud Tuhan, tetapi juga membuktikan bahwa keberadaan wujud-Nya adalah niscaya, wujud-Nya mustahil tiada, Dia abadi dan azali.

Anselm menambahkan defenisi Tuhan dalam argumen keduanya sebagai suatu wujud yang mustahil terkonsepsi ketiadaan-Nya. Yakni, dia mendasarkan pemahaman bahwa keniscayaan merupakan hakikat wujud Tuhan, sebab Tuhan adalah kesempurnaan yang tak terbatas, Dia tidak dibatasi oleh zaman atau tak bersama zaman. Oleh sebab itu, kedua asumsi bahwa Tuhan berada dalam zaman atau dilingkupi zaman adalah mustahil dan batil. Dan konklusinya adalah kemustahilan ketiadaan wujud Tuhan atau wujud Tuhan adalah niscaya. Anselm berkata, ” Lantaran sesuatu wujud yang mustahil tiada itu dapat dikonsepsi, maka dari sisi ini, jika apa yang lebih besar dan lebih sempurna dari-Nya tidak dapat dikonsepsi, maka bukan merupakan sesuatu itu sendiri yang lebih besar dari-Nya yang tidak dapat dipikirkan. Kondisi ini menyebabkan khulf (menyalahi asumsi) yaitu sesuatu yang lebih besar darinya tidak dapat dikonsepsi. Oleh sebab itu, sesuatu yang mustahil dikonsepsi sesuatu lebih besar darinya, juga berwujud di alam luar dan juga mustahil dikonsepsi ketiadaan-Nya.”[3]

Dalam penjelasan tersebut, Anselm mengutarakan suatu wujud sempurna yang kekal dan abadi (sarmadi). Dan dia berdalil jika wujud semacam ini dikonsepsi, maka ia juga harus memiliki wujud di alam luar. Sebab mengkonsepsi suatu wujud sarmadi, dimana ia sendiri tak berwujud atau belum berwujud, adalah kontradiksi dengan asumsi hakikat ke-sarmadi-an wujud-Nya.

Bentuk logika dari argumen tersebut di atas sebagai berikut:

Premis minor: Jika X (wujud sarmadi) dapat tiada, maka X akan menjadi bukan X

Premis mayor: Tetapi X adalah X

Silogisme: Maka X harus ada

Sebagaiman kita lihat dalam argumen ontologi kedua ini, Anselm selain berusaha membuktikan wujud Tuhan, juga berusaha menegaskan keniscayaan eksistensi-Nya.


Argumen Ontologi Descartes
Disamping Anselm, Descartes juga membuktikan eksistensi Tuhan dengan argumen ontologi. Setelah argumen ontologi Anselm banyak dibantah dan dikritik oleh filosof-filosof lain, diantaranya adalah Thomas Aquinas, filsuf terkenal kristen Italia, maka argumen tersebut terlupakan terutama di abad pertengahan Masehi.

Descartes menjelaskan bahwa setiap orang di dalam pikiran dan akalnya memiliki suatu persepsi tentang eksistensi dan wujud sempurna dan tak terbatas. Persepsi tersebut mungkin berasal dari, pertama realitas eksistensinya sendiri, kedua dari penyaksian wujud-wujud terbatas lainnya yang kemudian menghasilkan negasi keterbatasan mereka (maujud-maujud terbatas).

Yang pertama mustahil terjadi, karena suatu persepsi yang tak terbatas tak mungkin berasal dari manusia yang merupakan wujud terbatas itu sendiri. Adapun yang kedua, bahwa wujud-wujud terbatas lainnya tak dapat menjadi sumber lahirnya persepsi tak terbatas, karena persepsi tak terbatas adalah lebih dahulu dari persepsi terbatas. Seseorang dapat menentukan keterbatasan dan kekurangan sesuatu dengan cara; pertama-tama ia mendapatkan persepsi tak terbatas dan paling sempurna, dan berikutnya ia membandingkan terhadapnya, serta pada akhirnya ia menemukan kekurangan dan keterbatasan dirinya.

Descartes berkata, “Maksud saya tentang Tuhan adalah substansi tak terbatas, sarmadi (azali dan abadi), tidak menerima perubahan, berwujud dengan sendirinya (swa-wujud), berilmu mutlak, berkuasa mutlak, yang mana Ia (Tuhan) menciptakan dan mengadakan diri saya dan setiap wujud lainnya. Tetapi sifat-sifat ini sangat tinggi dan agung, dimana setiap kali saya berpikir banyak tentangnya, saya semakin tidak yakin bahwa persepsi saya tentangnya berasal dari diri saya. Oleh sebab itu, semua yang saya katakan hingga sekarang ini, secara pasti saya berkesimpulan bahwa Tuhan ada. Sebab kendatipun persepsi tentang substansi juga berasal dari diri saya, karena ke-substansi-an diri saya, tetapi diri saya adalah wujud yang terbatas. Mustahil saya mempunyai suatu persepsi tentang substansi yang tak terbatas, kecuali realitas substansi tak terbatas itu sendiri yang memberikan persepsi tersebut kepada saya. Tetapi, saya tak mesti berpikir bahwa saya mengetahui “tak terbatas” bukan berasal secara langsung dari suatu persepsi hakiki. Tetapi dengan cara menegasikan perkara terbatas. Sebab saya melihat dengan jelas bahwa realitas substansi tak terbatas lebih besar daripada substansi terbatas. Oleh karena itu, persepsi tak terbatas -dari satu sisi- adalah melebihi persepsi terbatas pada diri saya, yakni persepsi Tuhan mendahului persepsi diri saya sendiri. Jika suatu persepsi tidak berasal dari wujud yang lebih sempurna dari diri saya, maka ketika saya membandingkan wujud-Nya dengan wujud diri saya sendiri terdapat banyak kekurangan-kekurangan. Saya berpikir bagaimana mungkin saya memperoleh ilmu, sementara pada diri saya terdapat banyak kekurangan dan ketaksempurnaan.”

Descartes memaparkan bahwa sebagaimana totalitas “sudut-sudut dalam” dan “sudut tegak” sama dengan 180 derajat yang merupakan kekhususan suatu segitiga, maka keniscayaan wujud juga merupakan kekhususan dari suatu wujud sempurna dan mutlak. Segitiga, tanpa kekhususan tersebut, bukanlah segitiga. Demikian juga Tuhan tanpa keniscayaan wujud, bukan Tuhan. Perbedaan yang terpenting diantaranya adalah segitiga secara hakiki tidak bisa kita persepsikan hanya dengan defenisi darinya, kemudian diperoleh konklusi bahwa segitiga memiliki wujud luar. Karena wujud bukan bagian hakiki dari kesegitigaan. Tetapi, wujud sempurna Tuhan dapat dikatakan bahwa wujud itu sendiri adalah sifat esensi-Nya, yakni akal menyimpulkan wujud-Nya; sebab wujud merupakan sifat esensi, maka tanpa wujud, sesuatu yang mempunyai kesempurnaan tak tebatas tak akan berwujud.


Rumusan Argumen Ontologi Descartes
Bentuk pertama dari argumen ontologi Descartes sebagai berikut:

1. Setiap yang kita ketahui secara jelas adanya perbedaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karenanya, niscaya ia memiliki hakikat.

2. Kita mengetahui secara jelas bahwa wujud secara mutlak memiliki kesempurnaan. Maka dari itu, meniscayakan eksistensinya, dengan alasan sebagi berikut:

a. Adalah mustahil mengkonsepsi suatu wujud secara mutlak memiliki kesempurnaan. Dan pada saat yang sama kita beranggapan bahwa dia mempunyai kekurangan (baca: tak berwujud).

b. Jika suatu wujud secara mutlak sempurna, tetapi tak berwujud, maka secara hakiki dia tak berwujud. Karena kesempurnaan sama dengan keberwujudan.

C. Oleh sebab itu, mengkonsepsi wujud secara mutlak sempurna, adalah meniscayakan wujudnya.

3. Maka dari itu, proposisi, wujud sempurna secara mutlak mustahil tiada, adalah benar.

Bentuk kedua argumen ontologi Descartes melewati tahapan sebagai berikut:

1. Sebuah konsepsi secara logis bisa niscaya kendatipun dalam kerangka defenisi, misalnya kita benarkan secara esensial bahwa segitiga niscaya memiliki tiga sudut.

2. Wujud adalah bagian yang tak terpisahkan atau secara logis merupakan hal yang niscaya untuk konsepsi Wâjib al-Wujud.

3. Oleh sebab itu, secara logis harus diakui bahwa suatu Wâjib al-Wujud niscaya berwujud.

Sebagai penjelasan singkat, jika Tuhan, dengan berasaskan defenisi kemustahilan tak berwujud, maka niscaya berwujud; karena mustahil suatu wujud, dimana mustahil tak berwujud, dikonsepsi sebagai tak berwujud. Oleh karena itu adalah niscaya bahwa wujud seperti ini dikonsepsi berwujud.

Setelah Descartes, argumen ontologi ini dilanjutkan oleh penerus-penerusnya, seperti Baruch Spinoza (1632-1677 M) dan Gottfrid Wilhelm Leibniz (1646-1716 M). Kedua filosof tersebut, juga dikenal beraliaran Descartian dan termasuk filosof rasionalisme.

Mereka menerima argumen ontologi tersebut dari Anselm dan Descartes dan kemudian melanjutkan dan melakukan penyempurnaan-penyempurnaan, serta menyelesaikan semua kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada argumen tersebut. Di zaman Anselm sendiri telah muncul pengkritik argumen ontology, seperti Gaunilon, seorang uskup berkebangsaan Prancis, Thomas Aquinas, seorang uskup besar dan filosof besar masehi, Betrand Russel, seorang filsuf beraliran empirisisme. Tetapi yang paling kuat kritikannya terhadap argumen ini adalah filosof terkenal asal Jerman: Immanuel Kant. Hingga zaman sekarang ini masih terdapat pembela dan pengkritik argumen ontologi tersebut.

Kita tidak akan membahas kritikan-kritikan tersebut, karena tulisan ini hanya membahas dimensi pembuktian eksistensi Tuhan. Pembahasan kritikan tersebut memerlukan ruang yang lebih luas.


Burhan Shiddiqin (Argumen Ontologi Filosof Muslim)
Burhan shiddiqin adalah suatu argumen dalam membuktikan eksistensi Tuhan hanya berpijak pada kesaksian realitas wujud hakiki. Yakni argumentasi dengan wujud hakiki Tuhan, tanpa berargumen dengan sesuatu yang bukan wujud hakiki Tuhan. Dalam argumen ini tak menggunakan wujud kontingen (baca: makhluk) sebagai perantara dalam menegaskan eksistensi Tuhan.

Burhan ini dinamakan “shiddiqin” karena hanya menggunakan “Shidq” (kebenaran) murni. Karenanya, tidak ada keraguan sama sekali dalam argumen ini. Serta dalam burhan shiddiqin “Thariiq” (jalan) adalah tujuan itu sendiri.

Mulla Shadra berkata, ” … jalan kepada tujuan (baca: Tuhan) adalah tujuan itu sendiri. Dan jalan itu adalah jalan shiddiqin, dimana orang-orang mempersaksikan Hak atas Hak.” [4]


Terdapat beberapa bentuk rumusan argumen shiddiqin. Pada kesempatan ini, kami cukupkan dengan menjabarkan dua bentuk argumen, sebagai berikut:

1. Argumen Shiddiqin Mulla Shadra
Bisa dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah filosof muslim pertama dalam dunia pemikiran Islam yang memperkenalkan burhan shiddiqin. Tetapi Mulla Shadra tidak menerima bahwa burhan yang diperkenalkan oleh Ibnu Sina tersebut secara substansial tergolong ke dalam burhan shiddiqin. Walaupun pada akhirnya Mulla Sadra, dengan pendekatan yang bersifat toleran, menganggapnya sebagai burhan shiddiqin.

Selanjutnya, Mulla Shadra memperkenalkan burhan shiddiqin yang dikonstruksinya sendiri. Untuk memahami burhan shiddiqin versi Mulla Shadra, diperlukan beberapa pendahuluan berkaitan dengan prinsip-prinsip burhan tersebut. Setelah itu, kita akan menjabarkan bentuk dari argumennya.


Adapun pendahuluan-pendahuluan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kehakikian Wujud (Ashâlah al-Wujud)
Yakni, setelah kita menerima bahwa terdapat realitas di alam luar, dan yang merupakan realitas hakiki dan kenyataan itu adalah eksistensi bukan kuiditas. Dalam hal ini, kuiditas hanyalah bersifat majazi dan hadir setelah eksistensi. Kuiditas hanya “berwujud” di alam pikiran saja. Dengan ungkapan lain, kuiditas adalah batasan wujud.


b. Gradasi Wujud

Teori kehakikian wujud itu sendiri terbagi dalam beberapa teori:
Pertama: Wujud-wujud itu secara esensial saling bertentangan satu dengan lainnya dalam garis horizontal. Pandangan ini dianut oleh filosof peripatetik.

Kedua: Wujud yang hakiki (ashalah) hanya pada Wâjib al-Wujud dan bermakna bahwa zat Tuhan adalah hakikat wujud itu sendiri. Tetapi yang hakiki pada wujud-wujud kontingen (mumkin) adalah kuiditas (mahiyyah). Pandangan ini diperkenalkan oleh filosof Ilahi Dawwani.

Ketiga: Semua realitas wujud, mulai dari wujud yang berintensitas lemah hingga yang berintensitas kuat, baik wujud sebab maupun wujud akibat, semuanya merupakan satu hakikat wujud yang bertingkat dan berjenjang (gradasi, tasykik). Perbedaan dalam tingkatan wujud dan persamaan dalam wujud, semuanya kembali pada satu hakikat wujud. Teori ini digagas oleh filosof Ilahi Mulla Shadra.


c. Simplisitas Wujud (Besâthat al-Wujud)
Wujud tidak mempunyai bagian-bagian. Dan wujud bukan bagian dari sesuatu. Sebab tak ada sesuatu kecuali wujud itu sendiri.


d. Hakikat Wujud adalah Mustahil Tiada
Ketiadaan wujud, tidak bermakna bahwa wujud itu menerima ketiadaan. Melainkan berarti bahwa keterbatasan wujud-wujud khusus (baca: wujud kontingen). Hadirnya “ketiadaan” pada wujud kontingen karena watak aslinya yang bersifat kekurangan, kelemahan, dan kebergantungan. Jadi, wujud akibat secara esensial mempunyai kekurangan dan keterbatasan dibandingkan dengan sebabnya. Ketiadaan di sini bisa dimaknai kekurangan, kelemahan, ketaksempurnaan dan kebergantungan wujud akibat.

Dengan memahami pendahuluan-pendahuluan di atas, maka kita dapat merumuskan argumen shiddiqin berdasarkan mazhab filsafat Mulla Shadra sebagai berikut ini:

Segala sesuatu yang berwujud di alam luar, apakah ia Wâjib al-Wujud atau wujud kontingen. Jika wujud itu adalah wujud sempurna dan tingkatan wujudnya paling tinggi, tidak ada baginya kekurangan dan tidak bergantung pada wujud lain, maka wujud tersebut adalah Wâjib al-Wujud. Dan sebaliknya, jika suatu wujud memiliki kekurangan dan tak sempurna, maka realitas wujud ini niscaya bergantung pada wujud hakiki (baca: wujud sempurna). Oleh sebab itu, wujud yang paling tinggi tingkatannya, niscaya memiliki kesempurnaan tak terbatas, tak butuh dan mandiri secara mutlak. Sedangkan tingkatan-tingkatan wujud lain adalah hubungan dan kebergantungan itu sendiri. Dan jika tingkatan paling tinggi tak berwujud, maka niscaya tingkatan-tingkatan wujud lain juga tak akan berwujud.[5]


2. Burhan Shiddiqin Allamah Thabathabai
Rumusan burhan shiddiqin Allamah Thabathabai bisa ditemukan di dalam catatan kaki kitab Asfar dan kitab beliau Ushul-e Falsafe-ye wa rawesy-e realism.

Berikut ini, kami akan menjabarkan argumen shiddiqin yang dikutip dari catatan kaki beliau pada kitab Asfar:

Realitas wujud eksternal adalah sesuatu yang mustahil ditolak. Dan setiap wujud, realitasnya ditetapkan dengan pengetahuan. Dan realitas wujud secara esensial menolak ketiadaan, walaupun sebatas asumsi. Jika kita asumsikan bahwa dalam sedetik atau secara mutlak semua realitas-realitas wujud tersebut meniada, maka setiap realitas-realitas tersebut -yang kita asumsikan tiada- sebenarnya tetap memiliki eksistensi. Jadi, asumsi ketiadaan realitas wujud, bukan berarti secara hakiki realitas wujud tersebut meniada. Bahkan asumsi ketiadaan realitas wujud adalah realitas wujud itu sendiri. Demikian pula, jika sofisme menyangka obyek-obyek luar adalah ilusi, atau mereka ragu dalam realitas wujud mereka, maka secara hakiki obyek-obyek yang mereka ragukan eksistensinya, merupaka realitas wujud itu sendiri.

Jadi, jika realitas wujud tersebut secara esensial menolak ketiadaan dan kebatilan, maka ia secara hakiki adalah Wâjib al-Wujud. Suatu realitas dimana ia adalah Wâjib al-Wujud secara hakiki sudah ditetapkan, dan obyek-obyek lain yang mempunyai realitas dalam tataran wujud mereka secara esensi butuh, bergantung dan bepijak pada Wâjib al- Wujud.[6]

Beliau, dalam penjelasannya, menyimpulkan dan berkata, “Dari sini, jelaslah bagi orang yang berpikir bahwa prinsip wujud wajib (baca: Wâjib al-Wujud) secara hakiki adalah niscaya bagi manusia, dan burhan-burhan yang menegaskan hakikat wujudnya hanyalah bersifat mengingatkan.”[7]


Perbedaan Antara Burhan Shiddiqin Filosof Muslim dan Argumen Ontologi Filosof Kristen
Terdapat perbedaan antara argumen ontologi yang dirumuskan oleh filosof Kristen Barat dan konstruksi burhan shiddiqin dari filosof Islam.

Letak perbedaan di antaran argumen-argumen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Di dalam burhan shiddiqin versi Mulla shadra, wujud dan kuiditas merupakan satu realitas yang menyatu secara hakiki di alam luar. Jadi, perbedaan dan pemisahan antara wujud dan kuiditas secara aksiden hanya terjadi di alam pikiran. Hal ini telah terbukti dan merupakan suatu perkara yang mudah diterima. Argumen Mulla Sadra tersebut berpijak pada prinsip dan asas filsafat seperti, prinsip kehakikian wujud, kesatuan hakikat wujud, keniscayaan wujud, wujud identik dengan aktualitas, serta wujud setara dengan kemutlakan dan kesempurnaan. Tetapi dalam argumen ontologi Anselm, salah satu yang paling asas adalah masalah wujud, yakni tiadanya perbedaan antara wujud dan kuiditas di alam luar, dan ini menjadi hal yang terlupakan.

2. Kemestian dan keniscayaan yang ditetapkan dalam argumen ontologi adalah keniscayaan esensi, yakni selama zat dan wujud subyek atau suatu wujud dengan intensitas paling tinggi yang mutlak sempurna terdapat di dalam akal, maka kita menghukumi keniscayaan wujudnya. Jika seseorang tidak memiliki konsep tentang wujud mutlak dan sempurna di alam pikirannya, maka pasti tak ada hukum tentang keniscayaannya. Tetapi kemestian yang ditetapkan dalam argumen shiddiqin adalah kemestian azali, sehingga meskipun diasumsikan ketiadaan subyek di dalam akal maka wujudnya tetap niscaya. Dan predikat dalam semua bentuknya menjadi niscaya bagi subyek.

3. Di dalam argumen ontologi tak ada pemisahan antara “predikasi pertama yang esensial (al-haml al-awwal al-dzat)”[8] dan “predikasi sesuatu yang membentuk (al-haml al-syai al- shanâ’i)”[9]. Tetapi dalam argumen shiddiqin, jenis hubungan subyek dan predikat adalah “al-haml al-syai al-shanâ’i”. Sebab di awal pembahasan, kita terlebih dahulu menetapkan secara badihi (jelas, gamblang dan tak membutuhkan dalil) adanya wujud dan eksistensi di alam luar. Selanjutnya akan terbentuk konsep dan gambaran tentang hubungan tersebut dalam akal dan pikiran yang pada akhirnya kita mempredikasikan keniscayaan azali terhadap wujud tersebut.



Catatan Kaki:
[1]. John Hick, Falsafe-ye Din, hal.44.

[2] . John Hick, Falsafe-ye Din, hal.45.

[3] . John Hick, Falsafe-ye Din, hal. 46.

[4] . MUlla Sadra, Al-Asfaar, jilid.6, hal.14.

[5] . Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid 6, hal. 14-16.

[6] . Catatan kaki Allamah Thabathabai pada kita Asfar, jilid 6, hal. 14-16.

[7] .ibid.

[8]. Mempredikasikan sesuatu atas dirinya, yakni dalam konteks mempredikasikan tinjauan terhadap subyek dan predikat dari segi persepsi (mafhum) dan extensi (misdak) adalah satu, seperti proposisi manusia adalah manusia, gunung adalah gunung dan sebagainya.

[9]. Mempredikasikan subyek dan predikat yang tidak berangkat dari esensi subyek seperti genus atau differensianya, misalnya bumi adalah bundar, planet bergerak, dan sebagainya.

18
NEO-TEOLOGI I

Al-Qur'an dan Teori Evolusi

Latar Belakang Sejarah
Masalah penciptaan manusia termasuk salah satu pembahasan kuno yang mungkin telah mendapat perhatian dari sejak manusia itu diciptakan. Dengan menilik kitab-kitab samawi beberapa agama seperti agama Yahudi, Kristen, dan Islam, kekunoan pembahasan dapat kita lihat dengan jelas. Makalah ini ingin mengupas sebuah pembahasan komparatif antara ayat-ayat kitab samawi yang menyinggung penciptaan manusia dan teori evolusi. Dengan kata lain, perbandingan antara keyakinan para ahli tafsir dan pengetahuan yang diyakini oleh para ilmuwan ilmu alam tentang tata cara penciptaan manusia. Akan tetapi, kejelasan tentang masalah ini bergantung pada penjelasan yang benar tentang teori pemikiran ini, dan juga pada pemaparan latar belakang sejarah dan sikap-sikap yang pernah diambil dalam menanggapinya. Tujuan asli tulisan ini adalah kita ingin menemukan sumber kehidupan manusia. Apakah seluruh jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan muncul dengan bentuk seperti ini dan dengan karakteristik dan keistimewaan yang independen dari sejak awal mereka diciptakan, dan lalu mereka juga berkembang biak dengan dengan cara yang sama? Ataukah seluruh binatang dan tumbuh-tumbuhan itu berasal dari spesies (naw‘) yang sangat sederhana dan hina, lalu mereka mengalami perubahan bentuk lantaran faktor lingkungan dan natural yang beraneka ragam, dan setelah itu mereka memperoleh bentuk yang lebih sempurna dengan gerakan yang bersifat gradual sehingga memiliki bentuk seperti sekarang ini?

Teori pertama dikenal dengan nama teori Fixisme dan diyakini oleh para pemikir pada masa-masa terdahulu. Sedang teori kedua dikenal dengan nama teori Transformisme dan diterima oleh para ilmuwan dari sejak abad ke-19 Masehi.

Teori pertama meyakini adanya aneka ragam spesies makhluk yang bersifat independen; artinya manusia berasal dari manusia dan seluruh binatang yang lain juga berasal dari spesies mereka masing-masing. Akan tetapi, teori kedua beranggapan bahwa penciptaan spesies-spesies yang ada sekarang ini berasal dari makhluk dan spesies-spesies yang berbeda.

Para ilmuwan berkeyakinan bahwa teori Evolusi alam natural paling tidak seusia dengan masa para filosof Yunani.[1] Sebagai contoh, Heraclitus meyakini bahwa segala sesuatu senantiasa mengalami proses dan evolusi. Ia menegaskan, “Kita harus ketahui bersama bahwa segala sesuatu pasti mengalami peperangan, dan peperangan ini adalah sebuah keadilan. Segala sesuatu terwujud lantaran peperangan ini, dan setelah itu akan sirna.”[2] Segala sesuatu selalu berubah dan tidak ada suatu realita yang diam. Ketika membandingkan antara fenomena-fenomena alam dengan sebuah aliran air sungai, ia berkata, “Kalian tidak dapat menginjakkan kaki dalam satu sungai sebanyak dua kali.”[3]

Mungkin filosof pertama yang mengklaim teori Transformisme (perubahan gradual karakteristik dan spesies seluruh makhluk hidup) adalah Anaximander. Ia adalah filosof kedua aliran Malthy setelah Thales. Ia beryakinan bahwa elemen utama segala sesuatu adalah substansi (jawhar) yang tak berbatas, azali, dan supra zaman. Anaximander juga berkeyakinan bahwa kehidupan ini berasal dari laut dan bentuk seluruh binatang seperti yang kita lihat sekarang ini terwujud lantaran proses adaptasi dengan lingkungan hidup. Manusia pada mulanya lahir dan terwujud dari spesies binatang lain. Hal ini lantaran binatang-binatang yang lain dapat menemukan sumber makanannya dengan cepat. Akan tetapi, hanya manusia sajalah yang memerlukan masa yang sangat panjang untuk menyusu pada ibu yang telah melahirkannya. Jika manusia memiliki bentuk seperti yang dapat kita lihat sekarang ini sejak dari permulaan, niscaya ia tidak akan dapat bertahan hidup.[4]

Meskipun teori Evolusi memiliki masa lalu yang sangat panjang, tetapi teori ini tidak memperoleh perhatian yang semestinya dari para ilmuwan selama masa yang sangat panjang. Dengan kemunculan para ilmuwan seperti Lamarck, Charles Robert Darwin, dan para ilmuwan yang lain, teori ini sedikit banyak telah berhasil menemukan posisi ilmiah yang semestinya.

Di penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, seorang ilmuwan ilmu alam berkebangsaan Prancis yang bernama Cuvier melontarkan sebuah teori tentang penciptaan makhluk hidup. Ia berkeyakinan bahwa makhluk hidup muncul selama masa yang beraneka ragam dalam tataran geologi. Lantaran revolusi-revolusi besar dan tiba-tiba yang pernah terjadi di permukaan bumi, seluruh makhluk hidup itu musnah. Setelah itu, Tuhan menciptakan kelompok binatang baru dalam bentuk yang lebih sempurna. Periode-periode makhluk selanjutnya juga muncul dengan cara yang serupa. Teori ini dalam ilmu Geologi dikenal dengan nama Catastrophisme; yaitu revolusi besar di permukaan bumi. Ia mengingkari seluruh jenis hubungan kefamilian antara makhluk hidup pada masa kini dan makhluk-makhluk yang pernah hidup sebelumnya. Ia meyakini teori Fixisme.

Pada masa kehidupan Cuvier, para ilmuwan seperti Buffon sang zoolog, Lamarck, dan akhirnya Darwin, muncul dalam arena teori Evolusi. Meskipun Buffon hanya mampu meyakini bahwa evolusi makhluk hidup hanya bersifat eksternal, tetapi Lamarck dan lebih hebat darinya, Darwin mampu membuka sebuah posisi ilmiah baru bagi teori ini.

Ketika menjelaskan realita ini, Dampyer menulis, “Teori pertama yang sangat mengena dan begitu logis adalah teori Lamarck (1744 – 1829 M.). Ia menekankan bahwa faktor evolusi (makhluk hidup) adalah perubahan-perubahan menumpuk (accumulated transformations) yang disebabkan oleh faktor lingkungan hidup dan dimiliki oleh setiap makhluk hidup dengan cara warisan. Menurut Buffon, pengaruh perubahan lingkungan hidup terhadap komposisi seseorang sangat minimal. Tetapi Lamarck berkeyakinan bahwa jika perubahan-perubahan yang diperlukan dalam tindakan bersifat permanen, maka seluruh perubahan itu akan mengubah seluruh anggota tubuh yang telah kuno, atau jika tubuh membutuhkan sebuah anggota baru, maka perubahan itu akan menciptakannya. Atas dasar ini, nenek moyang jerapah yang hidup pada masa kini menemukan leher yang panjang dan lebih panjang lagi lantaran ia harus melongok demi meraih dedaunan yang sulit dijangkau. Perubahan komposisi tubuh seperti ini menemukan titik kesempurnaannya melalui jalan warisan. Etienne Geoffroy Saint Hilaire dan Robert Chambers adalah dua orang di antara para pendukung teori Evolusi yang hidup pada abad ke-19. Mereka berkeyakinan bahwa lingkungan hidup memiliki pengaruh langsung pada individu.”[5]

Atas dasar ini, ilmuwan Biologi pertama yang memberikan nilai kepada teori Evolusi adalah Lamarck. Tetapi pendapat dan teori-teorinya tidak memperoleh tanggapan yang semestinya. Hal ini bukan lantaran ketegaran dan kekokohan teori Fixisme pada masa itu. Tetapi hal itu lantaran mekanisme perubahan (mechanism of transformations) yang diusulkan oleh Lamarck tidak menarik para ilmuwan yang hidup kala itu.[6]


Aliran-Aliran Teori Evolusi
Lantaran pandangan yang beraneka ragam terhadap struktur alam, para pendukung teori Evolusi Spesies memiliki sikap dan haluan yang sangat beragam. Atas dasar ini, pada setiap penggalan sejarah, banyak hipotesis baru yang dilontarkan untuk menepis teori-teori oposisi. Aliran Lamarckisme, Neo Lamarckisme, Darwinisme, Neo Darwinisme, dan teori Mutasi (perubahan secara tiba-tiba) adalah lima aliran yang mendukung teori Evolusi.[7] Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan setiap aliran pemikiran ini secara ringkas, dan juga meneliti akibat yang telah muncul sebagai konsekuensinya.


a. Lamarckisme
Seperti telah dijelaskan di atas, Lamarck, seorang zoolog berkebangsaan Prancis, ini adalah biologis pertama yang—paling tidak—telah berhasil mengokohkan teori Evolusi berpijak di atas konsep-konsep ilmiah. Ia mendeklarasikan teorinya itu pada tahun 1801 M. dengan menerbitkan bukunya yang berjudul Falsafeh-ye Janevar Shenasi (Filsafat Zoologi). Ia tidak meyakini bahwa undang-undang yang berlaku di alam ini keluar dari kehendak Ilahi yang azali. Tetapi ia berkeyakinan bahwa motor utama penggerak sebuah kesempurnaan adalah sebuah power yang menjadi faktor keterwujudan spesies-spesies yang lebih sempurna melalui kaidah “pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh”. Menurut Lamarck, setiap makhluk hidup pada permulaannya sangat hina dan sederhana sekali. Lalu lantaran beberapa kausa dan faktor, makhluk hidup itu mengalami evolusi menjadi spesies yang lebih sempurna. Faktor-faktor tersebut adalah lingkungan hidup, pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh, kehendak, dan perpindahan seluruh karakteristik yang bersifat akuisitif (iktisâbî).

Substansi klaim Lamarck adalah perubahan lingkungan hidup menyebabkan perubahan anggota tubuh. Seekor binatang untuk menjalani kehidupan terpaksa harus memanfaatkan sebagian anggota tubuhnya melebihi anggota tubuh yang lain. Dengan memperkuat fungsi sebagian anggota tubuhnya dan meminimalkan fungsi sebagian anggota tubuh yang lain, ia melestarikan kehidupannya.

Dengan kata lain, perubahan kondisi kehidupan menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru. Jika makhluk hidup tidak memperdulikan seluruh kebutuhan itu, maka ia akan musnah. Tetapi jika ia harus memenuhi seluruh kebutuhan itu, maka ia memerlukan anggota tubuh yang sesuai. Dengan demikian, sebuah evolusi dalam struktur tubuhnya akan terjadi. Jika ia memanfaatkan sebagian anggota dalam jumlah yang minimal, maka anggota tubuh itu akan melemah dan kadang-kadang akan musnah. Tetapi jika ia melakukan aktifitas dalam kadar yang maksimal, maka anggota-anggota tubuh baru akan muncul. Pada akhirnya, perubahan-perubahan akuisitif (iktisâbî) ini akan diwarisi oleh generasi-generasi makhluk hidup berikutnya.

Faktor lain evolusi itu adalah kehendak dan keinginan yang dimiliki oleh makhluk hidup. Artinya, ia ingin mengadaptasikan diri dengan lingkungan hidup dan mengatasi seluruh kebutuhan hidupnya.

Untuk membuktikan hipotesisnya itu, Lamarck mengajukan analisa tentang mata seekor tikus yang buta, paruh kuat yang dimiliki oleh sebagian burung, lenyapnya kaki ular, memanjangnya leher jerapah, berubahnya kuda dari kondisi karnivora menjadi herbivora, dan contoh-contoh yang lain. Menurut keyakinannya, semua itu terjadi lantaran faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas.


b. Neo Lamarckisme
Teori Noe Lamarckisme muncul ke arena ilmu Biologi berkat usaha keras Gope, seorang ahli Biologi berkebangsaan Amerika. Teori ini sangat serupa dengan teori Lamarck berkenaan dengan evolusi spesies dan peran beberapa faktor penting seperti kondisi lingkungan hidup, pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh, dan pewarisan karakteristik yang bersifat akuisitas (iktisâbî). Akan tetapi, dalam menanggapi kehendak dan keinginan makhluk hidup untuk mengubah anggota tubuhnya sendiri, teori ini tidak sejalan dengan teori Lamarck. Menurut teori Neo Lamarckisme, makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan mengalami evolusi lantaran pengaruh langsung lingkungan hidup. Generasi-generasi selanjutnya akan mewarisi seluruh perubahan yang bersifat akuisitas ini.

Zeo Frouy Saint Hailler, seorang ahli Biologi berkebangsaan Prancis, juga memiliki pemikiran seperti Lamarck. Ketika bukunya yang berjudul Falsafeh-ye Tashrîh beredar pada tahun 1818 M., banyak sekali protes yang tertuju kepadanya pada paruh pertama abad ke-19.


c. Darwinisme[8]
Teori ketiga dicetuskan oleh Charles Robert Darwin, seorang ahli Biologi berkebangsaan Inggris. Ia lahir pada tahun 1809 M. Di permulaan usianya, ia menekuni ilmu kedokteran. Setelah itu, ia mempelajari ilmu agama. Akan tetapi, ia tidak pernah memiliki keinginan untuk menekuni bidang ilmu kedokteran dan juga tidak berminat untuk melakukan tugas-tugas seorang pendeta. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa sebuah kapal laut ingin melancong keliling dunia, ia ikut bersama kapal laut itu dengan tujuan untuk menjelajahi jagad raya ini. Ia menjelajahi lautan dan daratan selama beberapa tahun lamanya.[9] Di sela-sela penjelajahan itu, ia melakukan penelitian ilmiah. Ia meneliti tentang tata cara penciptaan dan kondisi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Ketika telah kembali ke negaranya, ia merenungkan, memikirkan, dan meneliti seluruh penemuan yang telah dicatat dalam buku hariannya selama dua puluh tahun.[10] Dari konklusi seluruh hasil penelitiannya ini, ia mengambil kesimpulan bahwa teori kuno harus ditinggalkan dan teori baru; yaitu teori Evolusi Spesies, harus diterima. Menurut keyakinannya, seluruh makhluk hidup berubah menjadi bentuk makhluk hidup yang lain lantaran sebuah proses evolusi dan penyempurnaan, dan tidak ada satu makhluk hidup pun yang diciptakan tanpa adanya sebuah mukadimah dan secara mendadak dan tiba-tiba.

Pada tahun 1837 M., Darwin menerbitkan sebuah koran dan memuat buah pemikirannya di koran tersebut secara gradual. Pada tanggal 20 Juli 1854, ia berhasil menamatkan penulisan buku Mansha’-e Anva’ dan menerbitkannya pada tanggal 24 Oktober 1859.

Dalam membuktikan teori Tranformisme, Darwin mengajukan riset-riset yang telah dilakukannya tentang embriologi binatang, periode-periode kesempurnaan nenek moyang makhluk hidup sesuai dengan pembuktian fosilologi, dan keserupaan struktur janin manusia dengan ikan dan katak kepada para ahli ilmu Biologi yang hidup semasa dengannya. Ia juga membawakan sebuah bukti bahwa klan manusia masih memiliki hubungan kefamilian dengan klan binatang.[11]

Pada karya tulis pertamanya, Darwin enggan memaparkan masalah penciptaan manusia. Akan tetapi, pada tahun 1871 M., ia memaparkan sebuah pembahasan yang sangat detail tentang asal usul penciptaan manusia dalam sebuah buku yang berjudul Tabar-e Insan (Asal Usul Manusia). Dalam buku ini, ia menjelaskan beberapa sifat lahiriah manusia seperti bentuk wajah, gerakan tangan dan kaki, dan cara berdiri, beberapa karakteristik jiwa seperti menggambarkan, membayangkan, dan merenungkan, dan juga beberapa karakteristik spiritual seperti cinta sesama, naluri cinta, lebih mementingkan kepentingan orang lain, dan karakteristik lainnya. Menurut analisanya, semua itu terjadi berdasarkan perubahan gradual yang pernah dialami oleh nenek moyangnya yang anthropoid, dan bahkan dialami oleh beberapa jenis binatang seperti kera, dalam rangka mempertahankan keabadian diri dan memilih pilihan natural yang harus mereka pilih. Perbedaan yang ada antara manusia dan binatang, baik dari sisi postur tubuh maupun kejiwaan, ia yakini sebagai perbedaan kuantitas belaka, bukan kualitas. Hingga akhir usianya yang berlanjut hingga 73 tahun, ia senantiasa melakukan berbagai kegiatan dan riset ilmiah. Ia meninggal dunia pada tahun 1882 M.

Pada hakikatnya, teori Darwin adalah perluasan cakupan siasat ekonomi klasik terhadap dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan. Buku Malthus, seorang ekonom dan pendeta berkebangsaan Inggris, tentang masyarakat banyak mempengaruhi pemikiran Darwin. Dalam bukunya itu, Malthus ingin membuktikan bahwa masyarakat di muka bumi ini akan bertambah sesuai dengan ketentuan progresi numeral (tashâ’ud-e handasî). Hal ini padahal seluruh fasilitas ekonomi tidak mungkin dapat menjamin seluruh kebutuhan manusia. Atas dasar ini, mayoritas manusia yang hidup dalam sebuah generasi harus musnah lantaran sebuah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, paceklik, perang, dan lain sebagainya sebelum mereka menggapai usia balig agar keseimbangan antara jumlah masyarakat dan fasilitas ekonomi tersebut terwujud. Menurut sebuah riset, jumlah umat manusia dalam tempo dua puluh lima tahun akan bertambah dua kali lipat. Jika penambahan jumlah penduduk itu tetap berjalan dalam kurun waktu dua abad, maka jumlah penduduk bumi akan mencapai lima milyard.

Setelah menelaah buku ini, ketika mengajukan interpretasi tentang keseimbangan antara jumlah umat manusia dan binatang, Darwin mengetengahkan teori “perjuangan untuk hidup abadi” (struggle for existence). Perjuangan ini akan terealisasi akibat sebuah pilihan alamiah, dan akhirnya sebuah makhluk yang lebih pantas hidup akan kekal. Pilihan sintetis yang dilakukan oleh manusia dan dengan jalan memperkuat pertumbuhan sebagian tumbuhan dan binatang dapat mewujudkan generasi yang lebih bagus.

Di samping buku Malthus, pemikiran dan percobaan-percobaan yang pernah dilakukan oleh Lamarck dan para pemikir yang lain adalah faktor lain yang memiliki pengaruh besar terhadap teori Darwin. Lamarck membagi bumi dan makhluk hidup ke dalam beberapa periode:

1. Pada periode pertama yang berlangsung selama 2 juta tahun, tidak ada satu makhluk hidup pun yang ada di muka bumi.

2. Pada periode kedua yang berlangsung selama 1 milyard tahun, bumi hanya dihuni oleh makhluk hidup bersel tunggal dan binatang-binatang laut yang sangat sederhana.

3. Pada periode ketiga yang berlangsung selama 360 juta tahun, binatang melata yang hidup di dua alam dan tak bertulang punggung muncul di permukaan bumi.

4. Pada periode keempat yang berlangsung selama 750 juta tahun, binatang mamalia, bangsa ikan, dan burung muncul di permukaan bumi.

5. Pada periode kelima yang belangsung selama 75 juta tahun, makhluk hidup yang lebih sempurna dan manusia anthropoid muncul di permukaan bumi. Pada era 1 juta tahun terakhir, manusia telah berubah menjadi manusia sempurna yang dapat kita lihat sekarang.

Darwin juga banyak terpengaruh oleh pemikiran Cudolfski, pencetus ilmu Paleontologi. Riset-riset yang telah dilakukan oleh Cudolfski membuahkan teori Evolusi Spesies. Dengan mendeklarasikan teori Evolusi Spesies itu, pada hakikatnya Darwin telah mengibarkan bendera perang terbuka melawan ajaran-ajaran fundamental agama Kristen, seperti Isa sebagai juru penyelamat, penciptaan manusia dalam pandangan Taurat, keserupaan Tuhan dengan manusia, teori finalisme, kebertujuan alam wujud, dan kelebihutamaan manusia atas binatang. Meskipun demikian, kita tidak memiliki bukti yang kuat untuk menuduhnya telah berpaling dari agama.


Background Utama Teori Darwin
Background utama teori Evolusi Darwin adalah beberapa hal berikut ini:

1. Konsep kausalitas; dalam dunia makhluk hidup, tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi tanpa kausa.

2. Konsep gerak; dunia makhluk senantiasa mengalami perubahan.

3. Konsep tranformasi kuantitas menjadi tranformasi kualitas; dalam dunia makhluk, seluruh tranformasi kuantitas yang akumulatif (bertumpuk-tumpuk) akan berubah menjadi tranformasi kualitas.

4. Konsep kekekalan materi dan energi; antara dunia makhluk hidup dan makhluk tak hidup terjadi proses pertukaran materi dan energi. Dalam proses pertukaran ini, tidak ada suatu apapun yang akan sirna.

5. Konsep antagonisme; setiap partikel dari dunia makhluk hidup dan begitu juga keseluruhan dunia tersebut senantiasa memiliki antagonis yang menganugerahkan identitas kepadanya. Proses antagonik dan kontradiksi adalah faktor utama gerak dan pencipta kontradiksi-kontradiksi baru.

6. Konsep kombinasi; seluruh antagonis yang ada di dunia makhluk hidup selalu berada dalam konflik. Tapi akhirnya seluruh antagonis itu akan berpadu. Dari perpaduan ini, muncullah sebuah kombinasi baru di dunia wujud, dan kombinasi baru ini juga memiliki antagonis.

7. Konsep negasi dalam negasi; setiap sistem, baik berupa organisme individual, spesies, genus, klan, dan lain sebagainya adalah sebuah realita nyata yang akan sirna di sepanjang masa lantaran konflik yang terjadi antar antagonis. Tempat realita itu diambil alih oleh realita nyata baru yang ia sendiri akan sirna pada suatu hari. Hasil dari negasi dalam negasi ini adalah proses tranformasi.[12]


Pondasi Utama Teori Darwin
Dengan mengkombinasikan antara pengalaman empiris dan rasional, Darwin mencetuskan pondasi-pondasi teorinya berikut ini:

a. Pengaruh lingkungan hidup. Darwin mengadopsi konsep ini dari Lamarck.

b. Transformasi aksidental (random variation); Darwin membawakan banyak bukti bahwa transformasi yang terlihat spele dan terjadi dengan sendirinya dalam anggota setiap spesies terwujud secara aksidental dan saling terwarisi. Tapi berkenaan dengan sumber utama dan kausa transformasi ini, ia hanya mengandalkan rekaan dan sangkaan. Ia menegaskan bahwa teori yang telah ia cetuskan ini—dengan sendirinya—tidak mampu menjelaskan kausa seluruh tranformasi itu. Tujuan utama yang ingin digapai oleh Darwin adalah bahwa transformasi semacam ini memang benar-benar terjadi, dan ia tidak mementingkan faktor apakah yang telah mewujudkannya.[13]

Transformasi aksidental yang terjadi di dunia makhluk hidup tidak keluar dari konsep kausalitas. Transformasi aksidental adalah sebuah proses yang berdasarkan pertimbangan statistik dan perhitungan kemungkinan memiliki nasib yang lebih sedikit untuk bisa terwujud.[14]

Berkenaan dengan hal ini, Darwin menegaskan, “Di dunia binatang liar, banyak sekali kita lihat transformasi yang terjadi secara aksidental. Penggunaan kosa kata ‘aksidental’ tanpa disertai pengakuan yang tegas adalah sebuah pengakuan atas kebodohan kita terhadap kausa-kausa transformasi individual tersebut.”[15]

c. Pertikaian untuk kekal; secara keseluruhan, jumlah makhluk hidup (yang tidak produktif) lebih banyak daripada jumlah makhluk-makhluk hidup yang produktif (dapat menghasilkan keturunan). Sebagian transformasi dapat mewujudkan sebuah kelebihan tak terindera sehubungan dengan perlombaan dan pertikaian dahsyat dalam anggota sebuah spesies atau antara spesies-spesies yang beraneka ragam untuk menggapai kekekalan dalam sebuah lingkungan hidup.[16] Darwin mempelajari terminologi ini dari Malthus, seorang ekonom era abad ke-18.

Ketika menjelaskan pondasi dasar ini, Darwin menegaskan, “Pada saat paceklik, dua binatang karnivora akan saling berperang untuk memperebutkan sepotong daging demi mempertahankan hidup. Meskipun kehidupan setiap tumbuhan bergantung pada air, tetapi eksistensi tumbuhan yang hidup di pinggiran sebuah padang yang tak berair dan tak berumput bergantung pada semangatnya untuk berperang melawan kekeringan. Pengertian konsep pertikaian untuk kekal dapat diumpamakan dengan pertikaian antara benalu dan sebatang pohon yang dihinggapinya. Jika jumlah benalu yang tumbuh di atas sebatang pohon semakin banyak, maka pohon itu akan kering. Untuk mempermudah kita memahami pengertian ini, kami menggunakan terminologi pertikaian untuk kekal.”[17]

Pertikaian untuk kekal adalah konsekuensi yang tak dapat dihindari dari sebuah realita bahwa organisme setiap makhluk hidup memiliki keinginan untuk memperbanyak diri dan berkembang biak. Berdasarkan doktrin Malthus, makhluk hidup yang berkembang biak melalui jalan penanaman biji atau bertelur sudah seharusnya mempersiapkan diri untuk musnah pada suatu periode kehidupannya. Jika tidak demikian, lantaran faktor keinginan setiap makhluk hidup untuk berkembang biak secara geometrikal, maka makhluk hidup akan bertambah banyak dalam waktu yang sangat singkat sehingga dunia manapun tidak akan mampu lagi untuk menampungnya. Karena setiap makhluk hidup dapat lebih banyak menciptakan keturunan dibandingkan dengan makhluk lain yang mampu untuk meneruskan hidup, maka peperangan dan pertikaian di antara anggota sebuah spesies makhluk hidup itu dan dengan spesies makhluk hidup yang lain atau dengan kondisi lingkungan hidupnya pasti harus terjadi. Proses perkembangbiakan ini—tanpa pengecualian—dimiliki oleh seluruh organisme makhluk hidup. Setiap makhluk hidup akan berkembang biak dengan cepat sekali. Jika tidak ada penghalang yang dapat mencegah proses perkembangbiakan ini, niscaya keturunan yang dimiliki oleh sepasang makhluk hidup akan memenuhi seluruh bumi. Manusia juga begitu. Meskipun makhluk ini berkembang biak dengan sangat lambat, akan tetapi dalam kurun waktu dua puluh lima tahun, jumlahnya akan bertambah dua kali lipat. Setelah beberapa ribu tahun, tidak akan ada tempat lagi di atas bumi ini untuk keturunan manusia.

Kami memiliki beberapa contoh untuk realita ini. Untuk pertama kali, sebuah tumbuhan dipindahkan ke sebuah pulau, dan dalam kurun waktu sepuluh tahun, tumbuhan itu telah memenuhi seluruh pulau tersebut. Meskipun terjadi pertikaian dengan seluruh faktor yang ada di lingkungan sekitarnya, tetapi organisme setiap makhluk hidup tetap memiliki keinginan untuk berkembang biak. Tidak boleh kita lupakan bahwa setiap makhluk hidup, baik tua maupun muda, akan mengalami sebuah peperangan yang dahsyat pada suatu periode kehidupannya untuk mempertahankan diri dari kebinasaan. Jika kita dapat membasmi faktor yang dapat menyebabkan kebinasaannya, meskipun faktor itu bersifat sepele, maka jumlah makhluk hidup itu akan bertambah banyak secara menakjubkan. Faktor yang berpengaruh dalam upaya mencegah proses perkembangbiakan itu sangatlah penting.[18]

Darwin meyakini bahwa kondisi sebuah iklim dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh dalam menyetabilkan jumlah rata-rata anggota sebuah spesies. Hawa yang sangat dingin pada sebuah musim dingin dan paceklik pada sebuah musim panas dapat mengurangi jumlah anggota sebuah spesies secara gradual. Pertikaian untuk kekal di kalangan binatang dan tumbuh-tumbuhan, begitu juga di kalangan anggota sebuah spesies adalah lebih dahsyat dan lebih serius. Ketika peperangan di kalangan spesies dalam satu genus berubah menjadi pertikaian untuk kekal, meskipun spesies itu banyak memiliki keserupaan bentuk rupa, adat istiadat, dan khususnya postur tubuh, maka peperangan itu akan lebih dahsyat dibandingkan dengan peperangan yang terjadi antara satu spesies yang berasal dari satu genus dengan spesies lain yang berasal dari genus yang berbeda.[19]

d. Konsep pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh; Darwin mempelajari konsep ini dari Lamarck dan memanfaatkannya dalam buku Mansha’-e Anva’. Ketika menjelaskan unsur biologis ini, ia menulis, “Dalam bangsa binatang yang jinak, pemanfaatan (anggota tubuh) menyebabkan penguatan dan pengembangan sebagian anggota tubuhnya. Akan tetapi, jika anggota-anggota tubuh itu tidak dimanfaatkan, maka hal ini akan mewujudkan pengurangan di dalamnya. Tranformasi semacam ini bersifat genetik (warisan). Nenek moyang bangsa burung unta memiliki kebiasaan sebagaimana burung-burung yang lain. Sebuah pilihan dan tindakan secara natural dalam beberapa periode kehidupan yang sangat panjang menyebabkan ukuran dan berat tubuhnya bertambah. Kedua kakinya lantaran senantiasa difungsikan bertambah besar. Sementara itu, kedua sayapnya kehilangan kemampuan untuk terbang secara perlahan-lahan.”[20]

e. Perpindahan karakteristik akuisitif melalui jalan warisan; jika perubahan biologis dan kondisi lingkungan hidup mewujudkan perubahan dalam diri makhluk hidup, dan faktor ini bertindak cepat dalam tindakannya, maka efek-efek kecil akan bertumpuk menjadi satu dan generasi demi generasi akan bertambah kokoh. Ketika perubahan-perubahan itu berpindah kepada keturunan berikutnya, maka hal itu akan menyebabkan perubahan bentuk organik dan spesies-spesies baru akan muncul.

f. Pemilihan spesies terbaik atau kekekalan spesies yang paling bermutu (survival of the fittest); sebuah pilihan yang terlaksana secara natural akan mengubah bentuk dan kombinasi etika sebuah keturunan dibandingkan dengan nenek moyang mereka. Di samping itu, pilihan ini juga akan menambah proses kelahiran dalam porsi yang lebih banyak di kalangan mereka. Dengan berkurangnya perubahan yang tak diinginkan dan musnahnya sebagian anggota tubuh, sebuah makhluk akan berubah menjadi spesies lain secara gradual. Darwin menamakan proses menghindari perubahan yang membawa kerugian dan memelihara perubahan yang berguna dengan “pilihan natural” atau “kekekalan spesies yang terbaik”. Ia mengambil terminologi ini dari Spencer. Pilihan natural hadir dalam semua medan tanpa suara dan tak terindera sembari memeriksa perubahan-perubahan yang terkecil sekalipun secara detail. Pilihan ini menghilangkan hal-hal yang membahayakan dan menyimpan segala sesuatu yang sesuai dan berguna. Menurut Darwin, setiap perubahan dalam kondisi lingkungan hidup akan membangkitkan keinginan untuk berubah dalam diri makhluk hidup. Di antara sekian perubahan-perubahan yang terjadi, perubahan yang lebih bermanfaat bagi kondisi makhluk hidup berdasarkan pilihan natural akan memiliki nasib untuk kekal dan berkembang. Jika tidak terjadi perubahan apapun, maka pilihan natural tidak akan pernah terjadi. Ya, kita tidak boleh lupa bahwa maksud kami dari perubahan itu hanyalah perubahan kecil yang bersifat individual.[21]

Memperhatikan pilihan artifisial yang dilakukan oleh manusia pada saat menanam tumbuh-tumbuhan dan memelihara binatang, Darwin berhasil menyingkap unsur pilihan natural di alam semesta ini. Tentang pilihan artifisial manusia itu, Darwin menulis, “Manusia tidak mampu mewujudkan kemampuan untuk berubah (dalam diri sesuatu) dan juga tidak bisa mencegah proses perubahan tersebut. Satu-satunya tindakan yang bisa ia lakukan adalah mengumpulkan dan menjaga perubahan-perubahan yang terjadi.”[22] Ketika menjelaskan topik ini, ia lebih lanjut menulis, “Ketika perubahan yang bermanfaat terjadi dalam organisme sebuah makhluk hidup, makhluk hidup yang memiliki perubahan tersebut dalam rangka pertikaian untuk kekal memiliki nasib yang lebih banyak (untuk kekal), dan sesuai dengan konsep warisan turun-temurun, ia akan dilahirkan dengan seluruh karakteristik yang sudah ada itu. Saya menamakan dasar-dasar untuk memelihara perubahan yang bermanfaat dan kekekalan makhluk yang lebih pantas ini dengan pilihan natural.”[23]

Menurut pesepsi Darwin, waktu yang cukup memiliki peranan penting dalam tindak pilihan natural. Yakni jika kita bertanya kepada Darwin mengapa suatu anggota tubuh mengalami perubahan, tetapi mulut lebah tidak memanjang sehingga ia dapat dengan mudah mengisap sari bunga semanggi merah? Atau mengapa ayam unta tidak bisa terbang? Darwin akan menjawab bahwa waktu tidak cukup sehingga pilihan natural tidak dapat menyempurnakan tindakan dan prosesnya yang bersifat gradual.”[24]

Untuk lebih menjelaskan unsur waktu ini lebih lanjut, Darwin membawakan beberapa contoh. Sebagai contoh, srigala menyerang binatang-binatang yang lain dengan cara tipu muslihat, paksaan, atau kadang-kadang dengan cara berlari kencang. Kita asumsikan bahwa lantaran berbagai perubahan di area lingkungan hidup, mangsa srigala yang paling cepat berlari; yaitu rusa, bertambah banyak dan binatang-binatang lain yang sering diserang oleh srigala berkurang secara drastis. Dalam kondisi semacam ini, srigala yang bertubuh ramping dan dapat berlari kencang memiliki nasib yang lebih banyak untuk hidup dan pilihan natural akan memaksanya untuk bertubuh demikian. Ketika manusia ingin menambah kekencangan lari anjing pemburu dan memperbaiki keturunannya, ia juga menggunakan cara pilihan yang bersandarkan pada metode kecepatan.[25]

Darwin tidak hanya membatasi teori pilihan natural ini pada perubahan fisik makhluk hidup. Akan tetapi, pilihan natural ini juga berpengaruh dalam pembentukan nalurinya. Darwin menafsirkan perubahan naluri dalam diri binatang yang beraneka ragam juga dengan unsur pilihan ini.[26] Ketika menjelaskan unsur pilihan natural, Darwin mengisyaratkan hal-hal berikut ini:

• Pilihan natural—dengan bersandarkan pada realita kompetisi yang ada di kalangan makhluk hidup—hanya menyemurnakan (perubahan) makhluk yang hidup di sebuah belahan bumi dibandingkan dengan penghuni lain belahan bumi tersebut (dan tidak ada hubungannya dengan penghuni belahan bumi yang lain).[27]

• Pilihan natural tidak mampu melakukan perubahan yang penting dan secara tiba-tiba. Pilihan natural hanya mampu mengumpulkan perubahan yang ringan, berkesinambungan, dan bermanfaat bagi makhluk hidup, dan itu pun dengan gerakan yang sangat lamban.[28]

• Pilihan natural hanya dapat berpengaruh melalui jalan memelihara dan mengumpulkan perubahan-perubahan yang bermanfaat bagi makhluk hidup dan yang terjadi pada kondisi organik dan non-organik selama periode kehidupannya yang berbeda-beda. Hasil pilihan natural ini adalah perbaikan kondisi makhluk hidup yang sangat menakjubkan terhadap situasi dan kondisi lingkungan hidup yang mendominasi.[29]

• Konsep pilihan natural membuktikan bahwa organisme yang dapat melanjutkan dan bertahan hidup hanyalah organisme yang memiliki serentetan karakteristik yang dapat membantunya dalam menghadapi peperangan melawan kehidupan. Lingkungan hidup akan membinasakan makhluk hidup yang tidak sempurna dan memperkuat makhluk hidup yang lebih memiliki kesiapan untuk melanjutkan kehidupan. Menurut Darwin, pilihan natural melakukan dua hal: (1) mewujudkan keseimbangan logis antara tatanan tubuh sebuah makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya dan (2) mengembangkan organisme tubuh dari organisme yang lebih sederhana kepada organisme yang lebih sempurna dan dari organisme yang rendah kepada organisme yang tinggi.[30]

• Pilihan natural terwujud lantaran pertikaian untuk kekal dan pertikaian untuk kekal akan terjadi apabila makhluk hidup menghadapi ketidakseimbangan prasarana hidup yang disebabkan oleh proses perkembangbiakan yang melebihi batas yang normal dan berlangsung sangat cepat.[31]

• Teori Evolusi melalui jalan pilihan natural dapat musnah apabila salah satu karakteristik dan sifat berbahaya atau tidak bermanfaat lagi bagi anggota sebuah spesies. Akan tetapi, karakteristik dan sifat-sifat itu masih dimanfaatkan oleh spesies yang lain.

• Kosa kata “makhluk yang lebih pantas” (ashlah) dalam konsep “memilih makhluk yang lebih pantas” berarti kelebihserasian sebuah makhluk hidup dengan lingkungan hidup dan kelebihmampuannya untuk tetap bertahan hidup, bukan berarti kesempurnaan yang lebih sempurna.

19
NEO-TEOLOGI I

Darwin dan Manusia
Darwin berkeyakinan bahwa perbedaan antara manusia dan binatang, baik dari sisi postur tubuh maupun kejiwaan, hanya bersifat kuantitas. Ia tidak meyakini adanya perbedaan kualitas antara kedua makhluk ini. Atas dasar ini, perasaan, pemahaman rasional, naluri, keinginan, rasa cinta dan benci, dan lain sebagainya juga dimiliki oleh binatang-binatang hina dalam bentuk yang sangat primitif dan kadang-kadang pula dalam bentuk yang sudah sempurna. Darwin bersiteguh bahwa nenek moyang manusia yang berkaki empat pada mulanya berdiri dengan menggunakan dua kaki belakangnya, tetapi tidak secara sempurna. Realita ini adalah permulaan ditemukannya makhluk hidup berkaki dua. Pertikaian untuk kekal dan perubahan kondisi lingkungan hidup memiliki peran yang sangat penting dalam evolusi manusia. Dalam perubahan kera berbentuk manusia menjadi manusia, Darwin menegaskan bahwa faktor geografis dan ekonomis memiliki saham yang sama. Penjelasannya adalah berikut ini:

Ketika bahan makanan berkurang pada saat pertikaian untuk kekal terjadi, manusia sudah terbiasa mengkonsumsi bahan makanan yang beraneka ragam. Dengan berubah dari herbivora mutlak menjadi omnivora, ia telah mengambil langkah fundamental menuju evolusi. Banyak sekali ilmuwan yang menentang teori ini dan memilih persepsi yang lain. Sebagai contoh, Laille meyakini bahwa manusia menjadi sempurna dengan mengalami mutasi yang tiba-tiba dan tak disangka-sangka. Vallas mengklaim bahwa terwujudnya manusia harus dicari dalam bentuk tertentu dari sebuah evolusi. Ia meyakini bahwa manusia dapat membebaskan dirinya dari cengkeraman alam materi dengan bantuan kecerdasan dan kemampuannya untuk menyediakan pakaian, membuat senjata dan seluruh sarana kehidupan, serta dengan kekuatan yang ia miliki untuk mengubah lingkungan hidup dan susunan internal tubuhnya. Seluruh kemampuan dan kekuatan ini juga mampu mencegah dunia luar untuk memaksa manusia seperti layaknya seluruh binatang yang lain berdamai dengan lingkungan hidupnya. Atas dasar ini, dengan bersandar pada keistimewaan dan karasteristik yang dimiliki oleh manusia, Vallas mengingkari bahwa teori pemilihan natural dapat dikomparasikan dengan teori Evolusi manusia. Ia berkeyakinan bahwa roh manusia bukan hasil sebuah proses alam. Dengan melontarkan perbedaan antara roh dan badan, serta keserupaan dan perbedaan embriologis dan psikologis yang dimiliki oleh manusia dan binatang, Wismen juga mendeklarasikan penentangannya terhadap teori Darwin.[32]


Evaluasi Teori Darwin
Sampai di sini jelas bagi kita bahwa teori Evolusi Darwin betumpu pada enam dasar. Bangsa binatang dengan perubahan lingkungan hidup yang dialaminya, pertikaian untuk kekal, penggunaan sebagian anggota tubuhnya dan penon-fungsian sebagian anggota tubuh yang lain, mengalami perubahan fisik. Dengan pilihan natural, ia memiliki hal-hal yang sesuai dengan tubuhnya dan membuang hal-hal yang tidak sejalan dengan kondisi fisiknya. Akhirnya, perubahan-perubahan akuisitif ini—melalui jalan waris-mewarisi di sepanjang perjalanan hidup—menyebabkan evolusi di dunia makhluk hidup. Sekarang kita menghadapi dua pertanyaan di bawah ini:

• Apakah seluruh perubahan biologis yang dialami oleh binatang di sepanjang perjalanan hidupnya ini dapat diinterpretasikan dengan teori evolusi?

• Jika terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam teori evolusi, apakah ada sebuah teori lebih unggul yang telah dijadikan sebagai penggantinya atau belum?

Perlu kami ketengahkan di sini bahwa di dunia Eropa, di samping para rohaniawan dan pendeta seperti Hansloe, Sajwick, dan Violle, juga terdapat beberapa ilmuwan yang memiliki kedudukan penting di universtas serta juga memiliki karya dan pengaruh yang sangat besar dalam bidang ilmu biologi menentang teori Darwin. Para ilmuwan kenamaan seperti Louis Agasser (embriolog), Richard Oven (paleontolog), Charles Arsent Birre, dan George Miawart (dua zoolog berkebangsaan Inggris) adalah para penentang teori Darwin yang sangat getol. Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan beberapa kejanggalan yang terdapat dalam teori Darwin.

1. Pertama, sebuah teori ilmiah dipandang dari sisi logika adalah sebuah kaidah universal yang menjelaskan sebuah sistem yang terjadi secara berulang-ulang dan bersifat abadi. Kedua, berdasarkan kaidah tersebut, prediksi sebuah peristiwa dan juga interpretasinya dapat dipahami dengan mudah. Ketiga, ketidakbenaran sebuah kaidah ilmiah dapat dipahami melalui pengalaman. Atas dasar ini, statemen-statemen parsial dan realita di alam nyata seperti “matahari adalah sebuah planet yang sangat panas” dan “Napeleon mengalami kekalahan dalam perang Watherloe”, serta premis-premis yang tidak bisa dieksperimen keluar dari ruang lingkup kaidah ilmiah. Ketika menjelaskan program universal dan kaidah umum kebinasaan dan kekekalan makhluk hidup di medan sejarah, Darwin menegaskan bahwa di masa, tempat, dan iklim tertentu, sekelompok binatang yang tidak memiliki kelayakan untuk kekal akan binasa dan sekelompok binatang yang memiliki kelayakan untuk kekal akan kekal. Kebinasaan dan kekekalan senantiasa adalah hasil kelayakan dan ketidaklayakan seekor binatang.

Sekarang, jika kita bertanya binatang manakah yang akan kekal? Jawabannya adalah binatang yang lebih layak. Jika kita bertanya binatang manakah yang lebih layak? Jawabannya adalah binatang yang akan kekal. Hasilnya, binatang yang akan kekal adalah binatang yang akan kekal.

Jelas, realita ini adalah sebuah sirkulasi logika (dawr mantiqi) yang tersembunyi dalam teori pilihan natural dan kekekalan makhluk yang lebih pantas. Tidak ada tempat pelarian dari sirkulasi ini.

Di samping itu semua, teori pilihan natural tidak pernah menentukan tolok ukur yang pasti untuk membedakan mana binatang yang bisa bertahan hidup dan mana yang tidak bisa bertahan hidup atau mana binatang yang layak dan mana yang tidak layak. Atas dasar teori ini, masa depan sekelompok binatang tidak dapat dipastikan. Sebagai contoh, ketika terjadi pertikaian antara manusia dan kucing untuk tetap hidup kekal, tidak dapat dipastikan siapa yang akan menang? Ketika teori Evolusi tidak mampu untuk memberikan sebuah prediksi, maka teori ini dengan sendirinya akan dapat dibatalkan, karena teori ini bersifat tautologik; yaitu ketika ingin mendefinisikan sebuah klaim, ia harus meminta pertolongan kepada klaim itu sendiri.[33]

Atas dasar ini, teori pilihan natural selalu abstain berkenaan dengan liku-liku dan arah peristiwa yang akan terjadi. Jika manusia tidak terwujud dalam mata rantai sebuah evolusi, niscaya teori pilihan natural akan menafsirkan bahwa tidak ada jalan lain; situasi dan kondisi tidak membantu. Jika sebuah makhluk hidup yang bernama manusia terwujud secara aksidental sekalipun, maka teori ini akan menjustifikasi kekekalan manusia itu berdasarkan kelayakan dan kemampuan yang ia miliki untuk menyelaraskan diri dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, mekanisme teori pilihan natural akan memberikan jawaban yang sama dalam menghadapi setiap peristiwa dan tidak akan menampakkan sebuah sensitifitas berkenaan peristiwa apapun. Konsekuensinya adalah teori ini tidak bersifat ilmiah,[34] karena sebuah kaidah ilmiah harus memiliki kemampuan dalam menunjukkan presdiksinya.

2. Jika teori Evolusi adalah sebuah teori yang bersifat universal, maka mengapa hanya sebagian binatang yang berubah menjadi spesies binatang yang lain, padahal sebagian yang lain dari binatang yang sama dan di daerah yang sama pula tetap berbentuk seperti sedia kala? Sebagai contoh, dalam sejarah perkembangan biologis, mengapa sebagian kera telah berubah menjadi manusia, sementara kera-kera yang lain tetap berupa kera seperti sedia kala?

3. Teori perpindahan sifat-sifat akuisitif kepada generasi-generasi yang akan datang melalui jalan waris-mewarisi sebagai salah satu pondasi teori Lamarck dan Darwin telah berhasil dibatalkan oleh para ilmuwan embriolog pada masa kini. Dalam berbagai eksperimen, mereka melakukan penelitian atas berbagai kasus seperti penderita penyakit yang terpotong salah satu anggota tubuhnya, penggunaan dan non-penggunaan anggota tubuh, dan pendidikan serta pengajaran selama dua puluh dua generasi. Akan tetapi, mereka tidak pernah sampai pada kesimpulan adanya perpindahan sifat-sifat akuisitif tersebut. Lebih penting dari itu, khitan anak laki-laki yang dilakukan oleh muslimin dan para pengikut agama Kalimi dan telah berlanjut selama berabad-abad adalah contoh eksperimen paling jitu yang hingga sekarang belum berubah menjadi sebuah warisan secara turun-temurun.[35] Dengan kata lain, hanya perubahan-perubahan yang terdapat dalam sel-sel seksual dapat berpindah kepada generasi-generasi mendatang.

4. Darwin sangat memberikan perhatian khusus terhadap unsur pertikaian untuk kekal. Padahal hubungan antar makhluk hidup tidak hanya terbatas pada perang dan pertikaian. Banyak sekali bentuk saling tolong-menolong dan gotong royong yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari.[36]

5. Dr. Louis Leykee dan istrinya pernah mengadakan sebuah riset untuk menemukan fosil-fosil manusia pra sejarah di belahan timur Afrika. Riset ini berlangsung selama tiga puluh tahun. Mereka menemukan sebuah tengkorak yang betul-betul serupa dengan tengkorak kepala manusia. Pemilik tengkorak itu pernah hidup sekitar dua juta tahun silam dan memiliki dagu yang serupa dengan dagu manusia. Wajahnya lebar dan rata, serta memiliki dagu yang berbentuk bujur sangkar. Tengkorak ini sama sekali tidak memiliki keserupaan dengan kera. Dengan adanya penemuan-penemuan semacam ini, teori Darwin sedikit banyak mengalami kegoncangan dan kejanggalan.[37]

6. Kaidah adaptasi dengan lingkungan hidup tidak selamanya menyebabkan penggunaan dan non-penggunaan anggota tubuh yang akhirnya akan menyebabkan sebuah evolusi spesies. Sebagai contoh, Mr. Payne pernah melakukan penelitian terhadap lalat cuka yang dipelihara dalam sebuah tempat yang gelap gulita selama enam puluh sembilan generasi secara berturut-turut. Meskipun lalat itu telah beradaptasi dengan lingkungannya, akan tetapi mata generasi lalat yang terakhir tetap berbentuk normal.[38]

7. Teori Darwin lebih menitikberatkan pada bukti-bukti penemuan paleontologis, embriologis, dan anatomi komparatif. Semua bukti itu hanya bersandarkan pada prasangka yang tidak dapat mendatangkan keyakinan dan hanya bersifat parsial. Atas dasar ini, teori ini tidak dapat dipopularisasikan sebagai sebuah teori ilmiah. Hanya keserupaan yang dimiliki oleh janin-janin binatang atau perbandingan beberapa unsur binatang dan keserupaan yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas keilmiahan sebuah teori.

8. Menurut hemat kami, pondasi dan pilar-pilar teori Darwin tidak mampu untuk menginterpretasikan banyak hakikat seperti naluri, ilham, akal, dan lain sebagainya, meskipun ia sendiri bersikeras ingin membuktikan kemampuan teorinya dalam hal ini.

9. Darwin meyakini bahwa perbedaan antara perasaan manusia dan kera yang berupa manusia hanya bersifat kuantitas. Padahal jika kita meneliti seluruh periode belajar, perkembangan, dan stimulasi dengan jeli, niscaya perbedaan kualitas antara dua makhluk ini sangat jelas dan gamblang. Dengan kata lain, perbedaan kuantitas yang dimiliki oleh kedua makhluk ini menjadi sumber kemunculan sebuah perbedaan kualitas.

10. Sebagian orang ingin memanfaatkan unsur pilihan natural dalam realita-realita yang bersifat sosial. Padahal konsep ini tidak memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan banyak realita sosial, seperti realita kemunculan dan kesirnaan peradaban.

11. Para pembela teori Transformisme hingga kini belum mampu mengenal mata rantai terakhir pemisah antara manusia dan binatang sehingga rantai kesempurnaan itu dapat mencapai kesempurnaan puncaknya. Realita ini menghikayatkan kelemahan teori ini.

12. Hasil penelitian para ilmuwan Jerman berkenaan dengan evolusi manusia melaporkan, “Berdasarkan riset genetik modern yang telah dilaksanakan di Jerman, seluruh teori Evolusi yang telah dicetuskan oleh akal manusia itu tidak memiliki makna. Berdasarkan laporan Pusat Berita Negara menukil dari Kantor Pusat Televisi CNN, sebuah riset ilmiah modern melakukan penelitian ulang atas teori ilmiah yang telah berhasil menyita pikiran para ilmuwan selama bertahun-tahun itu. Riset ilmiah ini membuktikan bahwa seluruh klaim teori Evolusi adalah keliru.”

“Menurut laporan ini, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan atas DNA sebuah fosil jasad manusia Neondertal yang pernah hidup pada seratus ribu tahun yang lalu, manusia itu secara genetik tidak memiliki keserupaan sama sekali dengan DNA kera yang selama ini dianggap sebagai nenek moyang manusia yang hidup pada masa sekarang ini.”

“Laporan ini juga menegaskan, padahal banyak sekali keserupaan yang dimiliki oleh manusia Neondertal dengan manusia yang hidup di masa kini, akan tetapi semua itu tidak bisa dianggap sebagai bukti-bukti ilmiah. Menurut keyakinan salah seorang ahli berkebangsaan Amerika yang telah melakukan penelitian dalam bidang sejarah evolusi manusia, riset yang telah dilakukan oleh para ilmuwan Jerman itu adalah lebih penting daripada peristiwa landing-nya sebuah pesawat ruang angkasa di planet Mars.”[39]


d. Neo Darwinisme
Teori keempat dari teori Evolusi adalah teori Neo Darwinisme. Teori ini dibangun oleh August Wisman, seorang zoolog berkebangsaan Jerman. Ia mengkritik dan mengingkari adanya perpindahan sifat-sifat akuisitif kepada generasi-generasi berikutnya. Akan tetapi, ia mengklasifikan sel-sel makhluk hidup dalam dua kategori: (a) sel Germin (seks) dan (b) sel Soma (anatomi). Kemudian, dengan mencetuskan teori Plasma Janin (Plasma Embryogenique) dan bahwa materi itu hanya dimonopoli oleh sel-sel seksual, ia berhasil menafsirkan tata cara perpindahan sifat dan karakteristik kepada generasi-generasi berikutnya. Ia menamakan materi ini dengan Materi Patrimonial.

Menurut Wisman, karena sel-sel Soma akan sirna setelah sebuah makhluk hidup mati, perubahan-perubahan akuisitif tidak akan berpindah kepada generasi berikutnya melalui sel ini. Hanya perubahan yang terdapat dalam sel-sel Germin dan tersimpan dalam kelenjar seksual akan berpengaruh dan dapat berpindah kepada generasi berikutnya. Para penganut teori Neo Darwinisme menggunakan Materi Patrimonial untuk melontarkan kritikan terhadap para penganut teori Darwinisme. Mereka meyakini bahwa materi ini bersifat abadi, tak berubah-ubah, dan kebal terhadap seluruh perubahan lingkungan hidup.[40]


e. Teori Mutasi (Perubahan Secara Tiba-Tiba)
Teori Mutasi adalah teori kelima dari sekian teori Evolusi. Terori ini meyakini bahwa perubahan gen yang terjadi dengan tiba-tiba dan sekaligus menyebabkan perubahan yang bersifat patrimonial dalam diri spesies. Evolusi tumbuh-tumbuhan dan binatang terjadi melalui cara ini. Dengan bersandar pada teori ini, para ilmuwan dapat menjustifikasi dan menafsirkan evolusi yang terjadi pada berbagai spesies dengan lebih baik.

Teori ini dicetuskan oleh Hugo Deoufris, seorang botanis berkebangsaan Belgia. Teori ini mengklaim bahwa sebagian biji tumbuh-tumbuhan, meskipun memiliki keserupaan yang sempurna dengan spesies-spesiesnya, mengalami perubahan spesies dan karakteristik. Perubahan ini terjadi dengan tiba-tiba, sekaligus, dan tanpa terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar lingkungan hidup. Perubahan ini akan berpindah kepada generasi berikutnya melalui jalan gen.[41] Dari sejak ilmu genetika berkembang pesat dikalangan para penggandrungnya, teori Mutasi sebagai sebuah teori ilmiah menjadi pengganti seluruh teori yang lain.


Efek dan Pengaruh Teori Darwin
Pandangan dan pemikiran Darwin, seperti persepsi dan teori Newton, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pemikiran yang berkembang di dunia ini. Dengan mencetuskan teori naturalistis dan interpretasi vehikularnya terhadap dunia biologis, Newton telah berhasil mengubah Monoteisme yang bersandarkan pada ajaran wahyu menjadi Monotoisme Naturalis atau Deisme. Darwin, dengan teori Evolusinya di dunia biologis, juga telah berhasil menanamkan efek dan pengaruhnya dalam bidang agama, akhlak, sosiologi, dan antropologi. Atas dasar ini, hendaknya kita senantiasa memperhatikan satu poin. Yaitu, meskipun Darwin dikenal sebagai seorang ahli biologi, akan tetapi teori Evolusinya—yang notabene banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran logika dan pondasi dasar teori dialektika Hegel, serta dasar-dasar pemikiran Lamarck dan para pemikir yang lain—memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap mayoritas aliran pemikiran filsafat, teologi, sosiologi, humanisme, dan biologi.

Proses ilmiah ini berhasil mewujudkan relasi-relasi baru antara bidang-bidang ilmu pengetahuan dalam kerangka pemikiran manusia. Sebelum Darwin, banyak ilmuwan dan ahli biologi seperti Boufon, Lamarck, dan lain-lain yang mengusulkan teori Evolusi dalam bidang ilmu biologi, geologi, kimia, dan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain. Akan tetapi, lantaran beberapa alasan seperti kelemahan argumentasi dan bukti-bukti yang diajukan, teori mereka tidak berhasil menarik perhatian dan reaksi masyarakat kala itu, dan para penafsir kitab-kitab suci dalam usaha memerangi mereka dengan mudah berhasil menyelamatkan kitab-kitab suci mereka dari kemelut kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama dengan sedikit justifikasi dan penafsiran. Sebagai contoh, ketika David Hume dan August Comte melontarkan kritik terhadap banyak argumentasi tentang pembuktian Tuhan seperti argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta, mereka membela argumentasi tersebut dan akhirnya berhasil mempertahankan opini masyarakat umum.

Akan tetapi, kemunculan teori Evolusi Darwin mewujudkan sebuah gebrakan baru. Penafsiran perubahan alam biologis dengan unsur pertikaian untuk kekal, unsur pilihan natural, perpindahan karakteristik akuisitif kepada generasi berikut, pergantian spesies lama menjadi spesies baru, klaim bahwa makhluk hidup yang sekarang kita lihat ini terwujud dari makhluk masa lalu yang bersel tunggal dan manusia memiliki hubungan kefamilian dengan spesies-spesies makhluk hidup yang lain, dan—ringkasnya—usulan teori Transformisme, semua pondasi dan dasar pemikiran ini berhasil mendatangkan sebuah pukulan yang sangat telak terhadap pemikiran religius di dunia Eropa dan imbas ledakan pukulan ini juga mempengaruhi dunia Islam. Hingga kini, lebih dari satu abad, teori Darwin berhasil menghadapkan kedua teori pemikiran itu sebagai dua musuh yang saling berjibaku.

Pada kesempatan ini, kami akan mengemukan sebagian efek dan imbas teori Evolusi Darwin sehingga akhirnya nanti kita bisa menilai kebenaran atau kesalahan sebagian klaim yang diajukan oleh sebagian pemikir dan ilmuwan dunia.


1. Kontradiksi Darwinisme dengan Makrifatullah
Seperti telah dijelaskan sebelum ini, terdapat dua pandangan berkenaan dengan penciptaan spesies: (1) teori Fixisme yang meyakini penciptaan independen yang bersifat tiba-tiba dan (2) teori Transformasi yang meyakini bahwa seluruh makhluk hidup terderivasi dari sesamanya. Pertanyaan yang ada adalah apakah kita dapat mengasumsikan bahwa teori Fixisme sejalan dengan konsep makrifatullah dan teori Transformisme menentang konsep tersebut?

Sebagian pemikir mengklaim bahwa teori Darwin kontradiktif dengan argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta (itqan-e son’) atau argumentasi teleolgikal (pengetahuan tentang tujuan ciptaan) sehingga dengan argumentasi ini—yang merupakan argumentasi terpenting tentang konsep makrifatullah—kita tidak akan mampu membuktikan keberadaan Tuhan. Tidak diragukan bahwa argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta di samping argumentasi ontologikal (hasti-shenakhti) dan kosmodogikal (jahan-shenakhti) adalah salah satu argumentasi terpenting dari tiga argumentasi klasik (tentang keberadaan Tuhan). Ringkasan argumentasi ini adalah sebagai berikut:

Alam semesta ini adalah manifestasi keteraturan yang memiliki tujuan (proyek, managemen, dan kesesuaian). Atas dasar ini, pewujud alam semesta ini adalah sebuah Dzat yang cerdas, manager, dan bijaksana. Kualifikasi utama sebuah keteraturan yang memiliki tujuan adalah keteraturan itu membentuk seluruh proses dan struktur alam semesta ini sedemikian rupa sehingga memiliki keserasian dan dapat menelurkan sebuah hasil tertentu. Ketika menjelaskan srgumentasi ini, William Paley (1743-1805 M.), seorang teolog dan filosof berkebangsaan Inggris, menulis, “Jika seseorang menemukan sebuah jam di pulau Barhuti, ia berhak memiliki pikiran bahwa seorang yang sangat cerdas telah menciptakan jam itu. Menurut persepsi teori Evolusi, struktur organik masa kini lantaran sebuah proses yang bersifat antural terwujud dari batin organisme yang sangat sederhana. Berdasarkan keyakinan teori ini, terdapat dua faktor yang memainkan peran yang sangat penting: (a) mutasi dan (b) meluapnya jumlah penduduk. Mutasi bisa terjadi apabila makhluk hidup yang masih bayi berbeda dengan kedua orang tuanya dan ia memindahkan perbedaan ini kepada keturunannya dan keturunannya itu memindahkan perbedaan itu kepada makhluk yang lain. Seluruh keinginan dan mimpi Darwin adalah ia ingin menjelaskan bagaimana organisme yang sangt rumit terwujud dari organisme yang lebih sederhana.”[42]

Untuk menjelaskan argumentasi keteraturan, mereka telah menyebutkan banyak riwayat dan penjelasan. Menurut penjelasan Iseley, Darwin tidak membatalkan argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta. Akan tetapi, ia hanya menolak riwayat pencipta jam dan masa argumentasi itu.[43] Mungkin lantaran alasan ini, dalam sebagian karya tulisnya, ia memperkenalkan kaidah evolusi kehidupan sebagai sebuah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, ia meyakini bahwa sebagian spesies yang terwujud lantaran sebuah evolusi terjadi secara aksidental, bukan karena sebuah rencana dan managemen sebelum itu.[44]

Ya, kita juga harus memperhatikan poin ini; dari sebagian karya Darwin dapat dipahami bahwa maksud dia dari “secara aksidental” adalah ketidaktahuan terhadap kausa dan faktor yang mewujudkan sebuah spesies. Akan tetapi, ia juga sangat menentang konsep bahwa segala sesuatu memiliki tujuan.

Ala kulli hal, ketika menafsirkan relasi antara alam biologis dan Tuhan, sebagian ilmuwan berpendapat bahwa Tuhan beraktifitas melalui jalan evolusi dan memanagemen sebuah proyek. Proyek ini secara perlahan-lahan akan bertambah luas dan lebar.[45]

Dari satu sisi, ada beberapa ilmuwan lain yang hingga penerbitan buku Mansha-e Anva’ menegaskan bahwa dalam proses evolusi, Tuhan tidak memiliki campur tangan tentang aktifitas makhluk dan atas nama undang-undang yang permanen dan tak akan mengalami perubahan, Dia tidak ikut campur dalam mengurusi alam semesta.[46]

Kemunculan teori Darwin dan relasinya dengan konsep makrifatullah telah berhasil menimbulkan hiruk-pikuk di dunia Eropa sehingga para pembela dan penentangnya mengambil dua front yang saling berperang. Sebagian orang, dengan mengingkari teori Darwin, berusaha membela kesucian konsep makrifatullah. Sebagian yang lain menolak argumentasi keteraturan alam semesta dan menjadi para penganut aliran atheisme. Dan ada juga sebagian kelompok yang menyatukan antara dua teori dengan sangat lihai. Sebagai contoh, sebagian teman sejawat Darwin seperti Charles Line dan Herctshel meyakini bahwa teori Evolusi dan konsep pilihan natural Darwin tidak pernah bertentangan dengan mazhab dan kebijaksanaan Ilahi. Mayoritas pemikir Islam juga meyakini bahwa Darwinisme tidak pernah kontrakdiktif dengan hikmah dan kebijaksanaan ciptaan alam semesta, dan teori ini tidak pernah mampu membuktikan bahwa gerakan materi bersifat mandiri dan tidak memerlukan sebuah faktor eksternal. Hal ini karena keteraturan materi adalah pertanda kebijaksanaan alam semesta dan terwujudnya spesies-spesies baru di dunia benda mati, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup adalah juga pertanda atas kebijaksanaan alam semesta dan adanya campur tangan faktor yang gaib dalam penciptaan makhluk.

Keyakinan terhadap teori Evolusi dengan segala bentuknya, sebagaimana keyakinan terhadap teori Fixisme, tidak bertentangan dengan konsep tauhid dan makrifatullah. Kedua teori ini menetapkan bahwa di alam semesta ini terdapat sebuah keteraturan yang sangat dalam dan penuh misteri, dan keteraturan ini adalah bukti atas keberadaan Tuhan. Apakah ada keteraturan yang lebih agung daripada realita bahwa Tuhan telah menciptakan seluruh makhluk yang sangat menakjubkan ini dari sebuah makhluk yang bersel tunggal dan sangat sederhana?![47]

Ustadz Syahid Mutadha Mutahhari menulis, “Jika pondasi pemikiran Lamarck dan Darwin cukup untuk membuktikan terwujudnya keteraturan alam semesta, niscaya argumentasi keteraturan alam semesta untuk membuktikan keberadaan Tuhan akan sirna. Akan tetapi, pondasi pemikiran dua ilmuwan ini tidak mampu menjustifikasi alam semesta. Terwujudnya struktur batang tumbuh-tumbuhan dan tubuh binatang yang berlangsung secara gradual dan aksidental tidak cukup untuk menjustifikasi keteraturan alam semesta yang sangat jeli dan detail ini. Setiap organ tubuh kita; pencernaan, pernapasan, penglihatan, pendengaran, dan lain-lain, memiliki struktur yang sangat menakjubkan dan seluruhnya mengikuti sebuah aktifitas dan tujuan yang tunggal. Dengan ini semua, tidak dapat kita terima bahwa sebuah perubahan aksidental, meskipun terjadi secara gradual, telah menwujudkan semua organ tubuh itu. Teori Evolusi, lebih dari itu, membuktikan bahwa sebuah kekuatan pengatur dan pemberi petunjuk memiliki campur tangan dalam hal ini.[48]

Syahid Mutahhari berkeyakinan bahwa faktor kontradiksi antara teori Evolusi dan argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta bersumber dari kelemahan aliran-aliran pemikiran filosofis yang ada, dan dalam karyanya yang lain, ia juga mengakui bahwa teori Evolusi kontradiktif dengan argumentasi tersebut. Akan tetapi, menurut persepsinya, pondasi teori Evolusi tidak sempurna dan memiliki banyak kejanggalan. Dalam menjelaskan kotradiksi tersebut, ia menulis, “Ketika sebuah makhluk yang lebih kuat berhasil bertahan hidup dalam sebuah pertikaian untuk kekal, dan dari satu sisi, anak keturunan makhluk hidup berhasil menang dalam pertikaian itu lantaran keistimewaan dan karakteristik khusus yang mereka miliki, serta keistimewaan yang bersifat aksidental itu berpindah kepada anak-anak mereka lantaran hukum waris-mewarisi, maka dengan ini sistem alam penciptaan adalah hasil terwujudnya keistimewaan yang berlangsung secara silih berganti dan masing-masing keistimewaan itu terwujud secara aksidental dan berdasarkan kaidah pertikaian untuk kekal serta konsep kekekalan makhluk yang lebih pantas. Jika sistem ini terwujud dengan keistimewaan dan kualifikasi tersebut dari sejak permulaan, semua itu tidak dapat dijustifikasi kecuali dengan adanya campur tangan sebuah Dzat Yang Maha Pengatur dan Bijaksana. Akan tetapi, jika kita menerima bahwa sistem ini terwujud berdasarkan sebuah gerakan gradual yang berlangsung selama jutaan tahun, maka terwujudnya sistem itu tanpa keberadaan seorang Dzat Yang Maha Mengatur dapat dijustifikasikan.”[49]

Menurut keyakinan kami, teori pilihan natural tidak bertentangan dengan pembuktian keberadaan Tuhan sama sekali. Alasannya:

a. Hasil dan asumsi ilmu pengetahuan empiris senantiasa mengalami perubahan dan evolusi.

b. Argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta bukanlah satu-satunya, bahkan bukan argumentasi keberadaan Tuhan yang paling utama. Dalam bidang ini, kita masih memiliki argumentasi yang paling urgen dan serius.

c. Sistem penciptaan alam semesta tidak hanya terbatas pada tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup sehingga dengan menerima teori Evolusi Darwin kita dapat membebaskan diri dari kepengaturan Ilahi yang sangat bijaksana. Hanya dengan bersandar pada pondasi teori Darwinisme, bagaimana mungkin kita dapat menjelaskan dan menjustifikasi keteraturan yang terdapat di alam atas dan planet-planet yang terdapat di langit?

d. Konsep tujuan dan finalisme adalah sebuah konsep filosofis murni. Bagaimana mungkin para ahli biologi dapat mampu membuktikan atau menafikan konsep ini? Adanya sebuah kekuatan supra natural dan kontrol atas seluruh peristiwa yang terjadi di alam biologis adalah sebuah klaim yang hanya dapat dibuktikan atau dinafikan dalam pembahasan-pembahasan filsafat.

e. Perubahan aksidental tidak pernah menafikan tujuan dan kausa final, karena kebodohan manusialah sumber klaim tersebut. Menurut Allamah Thabatabai, keyakinan terhadap konsep aksiden dan kebetulan bermuara dari kebodohan terhadap sebab-sebab hakiki dan juga terhadap hubungan antara tujuan dan pemilik tujuan.[50]

Sebagian penulis, berbeda dengan harapan yang kita harapkan, membenarkan adanya kontradiksi itu. Mereka menulis, “Darwin berhasil menciptakan revolusi Newtonis di dunia ilmu biologi. Revolusi itu tidak lain adalah membasmikan interpretasi-interpretasi final (gha’i) dari dunia kehidupan dan memposisikan interpretasi-interpretasi kausatif di posisi interpretasi-interpretasi tersebut. Pada hakikatnya, teori Evolusi mengusulkan sebuah interpretasi kausatif terhadap realita dunia organisme sedemikian rupa sehingga interpretasi ini dapat membuat seorang ilmuwan tidak merasa perlu untuk memanfaatkan sebuah interpretasi final (gha’i).

Di samping itu, teori ini juga membuka pintu interpretasi aksidental dalam dunia kehidupan lebar-lebar. Berdasarkan teori penciptaan dalam sekejap mata, kita tidak dapat meyakini bahwa aneka ragam makhluk dengan seluruh keagungan dan kerumitan yang dimiliknya tercipta tanpa adanya seorang pengatur; karena kemungkinan sebuah materi yang tidak memiliki roh menjadi seorang manusia sangat sedikit sekali sehingga kita tidak mungkin dapat mempercayainya.

Adapun dalam persepsi teori Evolusi, karena di dunia ini terjadi sebuah evolusi dan aneka ragam makhluk terwujud berdasarkan sebuah evolusi dari aneka ragam makhluk yang lebih sederhana, maka terwujudnya aneka ragam makhluk secara aksidental sangatlah tidak aneh. Dengan kata lain, teori Evolusi mengatakan bahwa indikasi sebuah keteraturan terhadap adanya seorang pengatur dapat berfungsi ketika kita tidak mengetahui syarat-syarat kemunculan aksidental sebuah peristiwa dan kita juga tidak dapat menjelaskan interpretasinya berdasarkan mekanisme material.”[51]

20