IMAN SEMESTA

IMAN SEMESTA0%

IMAN SEMESTA pengarang:
Kategori: Ushuludin
Halaman: 61

IMAN SEMESTA

pengarang: MT MISHBAH YAZDI
Kategori:

Halaman: 61
Pengunjung: 72460
Download: 539

Komentar:

IMAN SEMESTA
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 61 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 72460 / Download: 539
Ukuran Ukuran Ukuran
IMAN SEMESTA

IMAN SEMESTA

pengarang:
Indonesia
Sekapur Sirih Penerbit IMAN SEMESTA

PENULIS: MT MISHBAH YAZDI

Sekapur Sirih Penerbit

Khazanah Ahlulbait as yang tersimpan utuh di dalam madrasah mereka dan hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik, merupakan universitas lengkap yang meliputi berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Madrasah ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang siap menggali pengetahuan dari khazanah itu dan mengetengahkannya kepada umat dan ulama-ulama besar Islam; pembawa risalah Ahlulbait as yang mampu menjawab secara argumentatif segala keraguan dan persoalan yang dilontarkan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar Islam.
Berangkat dari tugas-tugas yang diemban, Majma Jahani Ahlulbait (Lembaga Internasional Ahlulbait) berusaha mempertahankan kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan berbagai golongan dan aliran yang memusuhi Islam; dengan cara mengikuti jejak Ahlulbait as dan penerus mereka yang senantiasa berusaha menjawab berbagai tantangan dan tuntutan, serta berdiri tegak di garis depan perlawanan sepanjang masa.
Khazanah yang terpelihara di dalam kitab-kitab ulama Ahlulbait as itu tidak ada tandingannya, karena kitab-kitab tersebut disusun di atas landasan logika dan argumentasi yang kokoh, jauh dari sentuhan hawa nafsu dan fanatisme buta. Mereka pun mengetengahkan karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang bersih kepada kalangan ulama dan pakar.
Berbekal kekayaan pengalaman, Lembaga Internasional Ahlulbait berupaya mengajukan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang komit pada khazanah Ahlulbait as, dan oleh para penulis yang telah mendapatkan karunia Ilahi untuk mengikuti ajaran mulia tersebut. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat, hasil karya ulama Syi'ah terdahulu, agar kekayaan ilmiah ini menjadi mata air bagi pencari kebenaran yang mengalir ke segenap penjuru dunia, di era kemajuan intelektual yang telah mencapai kematangannya, sementara interaksi antarindividu semakin terjalin demikian cepatnya, hingga terbuka pintu hatinya dalam menerima kebenaran tersebut melalui madrasah Ahlulbait as
Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia, kiranya sudi menyampaikan berbagai pandangan, gagasan dan kritik konstruktif demi berkembangannya lembaga ini di masa-masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis, dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan khazanah Islam yang murni. Semoga Allah SWT berkenan menerima usaha sederhana ini, melimpahkan taufik-Nya, serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya, Imam Mahdi afs. di muka bumi ini.
Kami ucapkan terima kasih banyak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Profesor Ayatullah Muhammad Taqie Misbah Yazdi yang telah berupaya menulis buku ini. Demikian juga kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ustadz Ahmad Marzuqi Amin yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi di dalam penerbitan buku ini.

Divisi Budaya

Lembaga Internasional Ahlulbait

Pendahuluan Penulis
Segala puji bagi Allah Pengatur semesta alam. Salawat dan salam senantiasa tercurah ke atas makhluk-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad saw beserta keluarganya yang suci as, terutama ke atas Baqiyyatullah Imam Mahdi afs. di muka bumi ini (semoga Allah mempercepat kehadirannya dan menjadikan kita sebagai pengikutnya!).
Sesungguhnya prinsip-prinsip keyakinan merupakan asas bagi setiap tatanan nilai moral dan bagi setiap ideologi yang kokoh. Disadari atau tidak, keyakinan tersebut dapat membentuk sikap dan tingkah laku seseorang.
Berangkat dari kesadaran inilah sepatutnya kita menanamkan benih-benih keyakinan dan akidah di dalam diri kita masing-masing sebagai akar bagi sebuah pohon yang besar dan berkah ini, agar kelak ia memberikan hasil yang memuaskan dan menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, sejak awal kemunculan Islam, para ulama berusaha menjelaskan akidah Islam dengan bentuk dan metode yang beragam. Para mutakallim (teolog) telah menulis berbagai macam kitab Kalam (Teologi) dan akidah untuk berbagai tingkatan dalam masyarakat. Begitu pula pada masa kini-setelah menghadapi gelombang keraguan kontemporer-mereka telah menulis sebagian buku akidah untuk semua lapisan masyarakat. Akan tetapi, buku-buku tersebut biasanya ditulis untuk dua tingkatan yang sangat berbeda, salah satunya untuk tingkatan masyarakat umum dengan metode yang sangat sederhana dan penjelasan yang panjang lebar. Lain dari itu, untuk tingkatan khusus dengan metode yang rumit, ungkapan-ungkapan yang berat dan sarat dengan istilah-istilah ilmiah. Sementara itu, perpustakaan-perpustakaan Islam masih kosong dari kitab-kitab pelajaran yang sesuai dengan tingkatan menengah. Sejak bertahun-tahun lamanya, sekolah-sekolah agama Islam tidak memiliki kitab-kitab pelajaran akidah seperti ini, padahal kebutuhan kepa-danya sudah sangat mendesak.
Oleh sebab itu, berkat usulan para pengurus yang terhormat dan bantuan para guru serta pengurus yayasan Dar Roh-e Hak (Di Jalan Hak), kami menulis sebuah buku Akidah dengan beberapa keistimewaan sebagai berikut:
1. Materi pembahasan buku ini diusahakan tersusun secara sistematis. Untuk itu, sedapat mungkin kami tidak menunda penjelasan suatu masalah sampai ke pembahasan berikutnya.
2. Kami berusaha sedapat mungkin menggunakan ungkapan-ungkapan yang sederhana dan menghindari istilah-istilah yang rumit. Alih-alih merangkai kalimat indah, kami lebih memilih ungkapan yang mendekati pemahaman pelajar.
3. Dalam membuktikan suatu masalah, kami berusaha mengajukan argumentasi yang kokoh dan jelas, serta menghindari koleksi dalil yang mungkin sebagiannya itu lemah.
4. Kami pun berusaha menghindari penjelasan yang panjang yang membuat jenuh pelajar. Dari sisi lain, kami selalu menjaga penjelasan yang ringkas dan proporsional.
5. Mengingat buku ini kami tulis untuk pelajar tingkat menengah, kami tidak membawakan argumentasi yang rumit yang memerlukan penjelasan-penjelasan Filsafi, Tafsir atau Fiqhul Hadits. Dan bila dianggap perlu, kami akan menjelaskan premis-premis sesederhana mungkin. Pada bagian lain, kami limpahkan pembahasan selengkapnya ke kitab-kitab yang lebih luas demi mendorong minat dan gairah siswa untuk meneruskan penelitiannya.
6. Kandungan buku ini dibagi kepada beberapa pelajaran, sehingga setiap pelajaran layak untuk dijadikan satu jam mata pelajaran.
7. Poin-poin penting sebagian pelajaran akan disinggung pada pelajaran berikutnya sehingga terkadang terjadi pengulangan. Hal ini kami lakukan agar materi pelajaran tersebut lebih melekat pada benak pelajar.
8. Di akhir setiap pelajaran, kami sajikan beberapa pertanyaan dengan tujuan, membantu pelajar agar lebih banyak memahami dan menguasai materi pelajaran secara lebih baik.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa buku ini tidak luput dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Dan kami berusaha untuk memperbaikinya pada cetakan berikutnya. Untuk itu, kami berharap kepada guru-guru yang mulia; sudilah kiranya memberikan koreksi dan kritik membangun atas segala kekurangan dan kelemahan tersebut.
Akhirnya, kami berharap semoga kiranya Imam Mahdi afs. (ruh kita sebagai tebusannya dan semoga Allah mempercepat kehadirannya) dapat menerima persembahan yang sederhana ini dan merestuinya sebagai bagian dari upaya memenuhi hutang bakti kami kepada Hauzah Ilmiyah dan para syuhada Islam.

Qum Al-Muqaddasah

Dzul Hijjah 1406 H.

Muhammad Taqie Misbah Yazdi

1
PELAJARAN 1 Tauhid
PELAJARAN 1
Apakah Agama itu?

Definisi Agama

Tujuan penyusunan buku ini ialah menjelaskan akidah Islam yang dikenal dengan istilah ushuluddin (prinsip-prinsip agama). Untuk itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan kata din (agama) secara singkat dan kata-kata lain yang berhubungan dengannya. Hal itu-sebagaimana telah di-singgung dalam ilmu Mantiq-penting mengingat tahap pembahasan definisi(Mabadi Tashawwuriyyah) mengawali pembahasan masalah lainnya.
Secara leksikal, kata din berasal dari bahasa Arab yang berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknikal, din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta, serta kepada hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Dari sinilah kata al-ladini (orang yang tak beragama) digunakan pada orang yang tidak percaya kepada wujud pencipta alam secara mutlak, walaupun ia meyakini shudfah (kejadian yang tak bersebab-akibat) di alam ini, atau meyakini bahwa terciptanya alam semesta ini akibat interaksi antar-materi semata. Adapun kata al-mutadayyin (orang yang beragama) secara umum digunakan pada orang yang percaya akan wujud pencipta alam semesta ini, walaupun kepercayaan, perilaku dan ibadahnya bercampur dengan berbagai penyimpangan dan khurafat. Atas dasar inilah agama yang dianut oleh umat manusia terbagi menjadi dua; agama yang hak dan agama yang batil. Agama yang hak merupakan dasar yang meliputi keyakinan-keyakinan yang benar; yang sesuai dengan kenyataan, dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dibangun di atas pondasi yang kokoh dan dapat dibuktikan kesahihannya.

Usuluddin dan Cabang-cabangnya
Dari uraian singkat di atas tampak jelas bahwa istilah din atau agama terdiri dari dua unsur pokok: pertama, akidah atau aqa'id (keyakinan-keyakinan) yang merupakan prinsip agama. Kedua, hukum-hukum praktis yang merupakan konsekuensi logis dari prinsip agama tersebut.
Oleh karena itu, tepat sekali apabila bagian akidah ini dinamakan sebagai ushul (prinsip) agama, dan bagian ahkam (hukum-hukum) praktis dinamakan sebagai furu' (cabang), sebagaimana para ulama Islam menggunakan dua istilah tersebut pada bidang akidah dan hukum-hukum Islam.

Pandangan Dunia dan Ideologi
Pandangan dunia (Ar-Ru'yah Al-Kauniyyah) dan ideologi adalah dua istilah yang berdekatan artinya. Salah satu arti pandangan dunia ialah seperangkat keyakinan mengenai penciptaan, alam semesta dan manusia, bahkan mengenai wujud secara mutlak.Sedangkan arti ideologi, salah satunya ialah seperangkat pandangan universal tentang sikap praktis manusia. Berdasarkan dua arti ini, sistem akidah setiap agama dapat dianggap sebagai sebuah pandangan yang bersifat universal. Sedang sistem hukum praktis agama yang bersifat umum adalah ideologinya. Maka itu, kedua istilah ini dapat diterapkan pada ushuluddin dan furu'uddin.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa istilah ideologi itu tidak meliputi hukum-hukum juz'i (partikular), begitu pula istilah padangan dunia itu tidak meliputi keyakinan-keyakinan yang juz'i. Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa istilah ideologi terkadang digunakan untuk pengertian yang bahkan mencakup pandangan dunia itu sendiri.

Pandangan Dunia Ilahi dan Materialisme
Pada umat manusia, terdapat berbagai pandangan dan keyakinan mengenai penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi, semua itu-dari sisi keimanan atau pengingkaran terhadap alam metafisis-dapat dibagi menjadi dua bagian utama; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme.
Dahulu, penganut pandangan dunia Materialisme dikenal sebagai ath-thabi'i dan ad-dahri. Terkadang juga disebut sebagai zindik dan mulhid (ateis). Sedangkan di zaman kita sekarang ini, mereka dikenal sebagai al-maddi (materialis). Di dalam kaum materialis sendiri, terdapat aliran-aliran. Yang paling menonjol pada masa kita sekarang ini adalah Materialisme Dialektika yang merupakan bagian Filsafat Marxisme.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istilah pandangan dunia tidak terbatas hanya pada kepercayaan agama saja, namun mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, karena istilah itu juga digunakan pada pandangan ilhadiyyah (ateisme) dan madiyyah (materialisme), sebagaimana istilah ideologi itu tidak hanya digunakan untuk sistem hukum suatu agama.

Agama Samawi dan Dasar-dasarnya
Para ulama, ahli sejarah agama dan sosiologi berbeda pendapat mengenai kemunculan agama. Adapun sumber-sumber Islam menyatakan bahwa agama tauhid lahir seketika kelahiran manusia pertama. Manusia pertama yang lahir di muka bumi ini adalah nabi (Adam as) dan penyeru ajaran tauhid (mengesakan Allah). Adapun agama-agama musyrik muncul lantaran penyimpangan, pemaksaan kehendak dan ambisi busuk, yang bersifat individu maupun kelompok.
Agama-agama tauhid adalah agama-agama samawi yang hakiki dengan tiga prinsip universal mereka, yaitu pertama: iman kepada Allah Yang Esa. Kedua, iman kepada kehidupan abadi setiap manusia di akhirat kelak untuk menerima pembalasan amal yang pernah ia lakukan semasa hidupnya di dunia. Ketiga, iman kepada para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk memberi hidayah dan bimbingan kepada seluruh umat manusia demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan dunia serta akhirat.
Pada dasarnya, tiga prinsip ini merupakan jawaban yang paling tegas atas persoalan-persoalan fundamental manusia yang berakal. Yaitu, siapakah pencipta alam semesta ini? Bagaimanakah akhir kehidupan ini? Dan apakah cara untuk mengetahui sistem kehidupan yang terbaik? Sistem kehidupan yang dibangun atas dasar wahyu pada hakikatnya adalah ideologi yang bersumber dari pandangan dunia Ilahi.
Prinsip-prinsip akidah itu mempunyai berbagai konsekuensi dan rincian yang semuanya membentuk sebuah sistem akidah agama. Adanya perbedaan di antara berbagai keyakinan merupakan sebab munculnya berbagai agama dan madzhab. Kita perhatikan bagaimana perbedaan tentang status kenabian sebagian nabi-nabi Ilahi dan tentang penentuan kitab yang orisinil dan utuh menjadi sebab utama perselisihan di antara agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Atau perbedaan-perbedaan lainnya seputar masalah akidah dan ibadah, sehingga sebagian dari agama itu sudah tidak sesuai lagi dengan ajarannya yang murni. Contohnya, keyakinan orang-orang Nasrani terhadap Trinitas yang jelas tidak sesuai dengan prinsip Tauhid, walaupun mereka telah berusaha untuk menafsirkan dan menakwilnya sebegitu rupa agar dapat diterima. Demikian pula perselisihan mengenai kepemimpinan dan penentuan khalifah setelah wafatnya Rasul saw; apakah penentuan khalifah itu urusan Allah ataukah urusan manusia. Persoalan ini merupakan sebab utama terjadinya ikhtilaf antara mazhab Ahli Sunnah dan mazhab Syi'ah di dalam Islam.
Dengan demikian, Tauhid, Kenabian dan Ma'ad (Hari Kebangkitan) adalah prinsip-prinsip akidah pada semua agama samawi. Meski begitu, terdapat keyakinan-keyakinan yang merupakan turunan dari prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, keyakinan terhadap keberadaan Allah adalah prinsip pertama, keyakinan terhadap keesaan-Nya adalah prinsip kedua. Atau, keyakinan terhadap Kenabian merupakan sebuah prinsip semua agama samawi, sedangkan keyakinan terhadap kenabian Nabi Muhammad saw adalah prinsip yang khas pada Islam. Sebagian ulama Syi'ah menjadikan Keadilan Tuhan-yang merupakan turunan dari prinsip Tauhid-sebagai prinsip akidah khas Syi'ah. Dan Imamah-sebagai perpanjangan dari Kenabian-adalah prinsip akidah khas Syi'ah lainnya. Sebenarnya, penggunaan kata prinsip (al-ashl) pada ajaran-ajaran akidah seperti ini mengikuti konvensi dan tidak perlu lagi diperdebatkan.
Oleh karena itu, kata ushuluddin dapat digunakan dalam dua istilah; umum dan khusus. Istilah umum ushuluddin mencakup akidah-akidah yang sahih; sebagai lawan dari furu'uddin. Sedang istilah khusus ushuluddin berlaku hanya pada keyakinan-keyakinan yang paling prinsipal. Istilah ushuluddin juga dapat digunakan secara mutlak (tidak hanya khusus bagi sebuah agama) pada sejumlah kesamaan prinsip akidah di antara agama-agama samawi seperti tiga prinsip di atas tadi, yaitu Tauhid, Kenabian dan Kebangkitan. Adapun jika ditambahkan prinsip-prinsip lainnya, istilah yang biasa digunakan adalah ushuluddin khusus. Demikian pula, jika ditambahkan akidah dan keyakinan yang khas pada mazhab tertentu, istilah yang digunakan adalah ushulul madzhab.[]

Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan pengertian agama secara leksikal dan teknikal!
2. Apa definisi pandangan dunia dan ideologi? Dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
3. Terangkan dua macam utama pandangan dunia!
4. Jelaskan istilah umum dan istilah khusus ushuluddin!
5. Apa saja prinsip akidah yang sama pada agama-agama samawi? Dan sebesar apakah nilai pentingnya?

2
PELAJARAN 2 PELAJARAN 2

Pencarian Agama

Motivasi Pencarian

Salah satu keistimewaan manusia di atas makhluk lainnya yaitu adanya motivasi fitriyah untuk mengenal hakikat dan mengetahui berbagai realitas. Fitrah ini mulai tampak sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya. Ia yang lebih dikenal juga sebagai rasa ingin tahu (kuriositas) dapat mendorong seseorang untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan yang bersangkutan, antara lain:
Apakah ada wujud lain yang bersifat nonmateri dan gaib? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam gaib dengan alam materi ini? Jika benar terdapat relasi di antara keduanya, apakah wujud nonmateri itu sebagai pencipta alam materi ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada badan fisikal ini saja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Apabila hubungan itu ada, persoalan-persoalan duniawi apakah yang dapat menentukan urusan akhirat? Apakah cara untuk mengetahui tata hidup yang benar, yaitu sistem yang dapat menjamin kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Dan yang terakhir, berupa apakah sistem dan undang-undang tersebut?
Dengan demikian, naluri rasa ingin tahu itu merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan agama.
Motivasi kedua yang juga begitu kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Berbagai kebutuhannya itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan memperoleh pengetahuan tertentu.
Maka itu, berbagai kenikmatan dan kesenangan materi duniawi itu baru akan dapat dicapai dengan cara mengerahkan pikiran dan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan empirik seseorang akan sangat membantunya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Jika agama itu dapat membantu pula untuk memenuhi segala kebutuhannya dan meraih kesenangan dan keuntungan yang diinginkan serta melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya, tentunya agama itu pun akan menjadi elemen utama di dalam kebutuhan hidupnya.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari marabahaya merupakan pendorong bawaan lainnya untuk mencari agama. Akan tetapi, mengingat pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini banyak sekali, belum lagi syarat-syarat untuk mengetahui semua hakikat itu tidak mungkin dapat terpenuhi, maka sangat mungkin seseorang itu akan memilih masalah dan persoalan yang paling mudah untuk dipecahkan, yang paling banyak keuntungan materinya. Untuk itu, ia akan memilih jalan yang paling dekat untuk sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan menghindar dari usaha mencari kebenaran agama, yang ia yakini bahwa hal itu sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan, atau ia meyakini bahwa masalah-masalah agama itu tidak akan mebuahkan hasil yang berarti.
Atas dasar itu, kami perlu menjelaskan betapa pentingnya pengaruh masalah-masalah agama. Lebih dari itu, mencari masalah apa pun selain agama tidak akan memiliki nilai sebesar nilai yang dikandung oleh masalah-masalah agama.
Kita perhatikan bahwa sebagian ahli Psikologi meyakini bahwa beragama dan beribadah kepada Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitriyah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa beragama. Mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, di samping naluri rasa ingin tahu (kuriositika), rasa ingin berbuat baik (etika) dan rasa ingin keindahan (estetika).
Selain mengandalkan bukti-bukti sejarah dan data-data arkeologis, para pakar itu pun menemukan bahwa rasa beragama dan beribadah kepada Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah bukti kuat bahwa ihwal beragama merupakan sebuah naluri dan fitrah manusia.
Keumuman naluri beragama ini tidak berarti bahwa hal itu senantiasa ada dan hidup dalam diri setiap orang yang lalu mendorongnya secara sadar kepada tujuan-tujuannya. Akan tetapi, sangat mungkin fitrah itu tertimbun di kedalaman jiwanya lantaran faktor-faktor yang melingkupinya dan pendidikan yang tidak benar, atau ia menyimpang dari jalan yang lurus, sebagaimana hal-hal ini pun-sedikit atau banyak-bisa menimpa naluri dan kecenderungan bawaan lainnya.
Berdasarkan pandangan ini dapat kita ketahui bahwa mencari agama merupakan naluri tersendiri pada diri setiap manusia sehinggga tidak perlu lagi menetapkan keberadaannya dengan argumentasi. Pandangan ini dapat ditopang oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis yang berhubungan dengan naluri beragama. Akan tetapi, karena naluri dan kecenderungan semacam itu tidak dapat dirasakan secara langsung, sangat mungkin seseorang akan mengingkari keberadaannya dalam dirinya pada saat ia melakukan perdebatan.
Oleh karena itu, kami tidak sepenuhnya bersandar pada pandangan ini. Kami hanya akan membahas dan menjelaskan pentingnya mencari agama yang berdasarkan argumentasi-argumentasi aqli (rasional).

Pentingnya Mencari Agama
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motifasi untuk meraih keuntungan dan keamanan dari segala bahaya dari sisi lain, menjadi alasan kuat seseorang untuk memikirkan dan memperoleh berbagai keyakinan.
Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui ihwal orang-orang besar dalam sejarah yang mengaku bahwa mereka itu diutus oleh Sang Pencipta alam semesta ini untuk menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, dan mereka telah mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalah Ilahi dan memberi petunjuk kepada umat manusia, bahkan mereka siap menanggung berbagai tantangan dan kesulitan, hingga mempertaruhkan nyawa mereka demi tujuan mulia ini, tentunya orang itu-dengan dorongan naluri tersebut-akan tergerak hatinya untuk mencari agama dan melihat sejauh mana kebenaran klaim orang-orang besar itu. Apakah mereka membawa argumentasi yang kuat untuk membela klaim tersebut? Terutama ketika ia mengetahui bahwa dakwah dan risalah para nabi itu memberikan janji kebahagiaan abadi, di samping peringatan akan adanya siksa yang abadi pula.
Artinya, yakin pada dakwah mereka itu mengandung kemungkinan untung abadi. Begitu pula, menolak dakwah itu akan mendatangkan kemungkinan yang lain, yaitu kerugian dan kesengsaraan yang abadi pula. Maka itu, tidak ada alasan lagi bagi orang ini untuk acuh tak acuh terhadap agama dan enggan mencari kebenarannya.
Ya, mungkin saja sebagian orang tidak tergerak hatinya untuk mencari agama karena merasa malas dan ingin hidup santai serta suka berleha-leha, atau karena meyakini bahwa agama itu akan menuntut berbagai aturan dan mencegah mereka dari melakukan apa yang mereka inginkan.
Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai pemikiran semacam ini akan ditimpa berbagai akibat buruk kemalasan dan kecongkakannya itu. Lebih dari itu, mereka pun terancam azab yang abadi. Orang-orang seperti ini lebih dungu dan jahil dari anak kecil yang sakit yang menolak diajak berobat ke dokter lantaran takut untuk minum obat yang pahit, sementara kematian telah mengancam dirinya. Hal ini terjadi karena anak kecil tersebut belum mencapai tingkat kesadaran yang dapat membedakan mana yang berguna dan mana yang berbahaya untuk dirinya.
Selain itu, menolak anjuran dokter tidak akan berakibat apa-apa selain kehilangan sejenak rasa senang dalam hidupnya di dunia. Sedangkan orang-orang yang telah mencapai usia dewasa dan berakal mempunyai kemampuan untuk berfikir dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak untuk dirinya, serta dapat menimbang antara kenikmatan temporal dan azab yang abadi. Dalam perumpamaan Al-Qur'an, orang-orang yang lalai seperti itu lebih sesat dari binatang ternak:
Sesungguhnya mereka itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raf: 179).
Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata itu di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak berfikir." (QS. Al-Anfal: 22).

Sebuah Keraguan
Barangkali ada sebagian orang yang enggan untuk berfikir dan mencari agama dengan alasan sebagai berikut: bahwa sepatutnya energi dan waktu ini dikerahkan untuk mengatasi hal-hal yang mungkin dapat diatasi oleh seseorang dan hasilnya pun dapat diharapkan secara nyata.Harapan dan kemungkinan seperti ini tidak akan didapati dalam upaya mencari agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
Dengan demikian, alangkah baiknya jika tenaga dan wak-tu ini dikerahkan untuk usaha-usaha yang dapat memberikan keberhasilan lebih banyak daripada harus mencari dan membahas masalah-masalah agama yang belum jelas hasilnya itu.

Jawab:
pertama: adanya kemungkinan dan harapan akan ter-atasinya masalah-masalah agama itu tidak lebih kecil daripada kemungkinan dan harapan akan teratasinya masalah-masalah yang bersifat ilmiah. Kita telah mengetahui bahwa masalah-masalah ilmiah itu baru akan menuai hasil setelah puluhan tahun lamanya; setelah para ilmuwan mengerahkan segala upaya mereka dalam mengatasi hal ini.
Kedua: sesungguhnya nilai sebuah kemungkinan itu tidak diukur oleh satu indikasi saja, yaitu kuantitas kemungkinan (qordul ihtimal). Tetapi, ada indikasi kemungkinan lain yang patut dipertimbangkan, yaitu kualitas hal yang dimungkinkan (qodrul muhtamal). Misalnya, jika kemungkinan adanya keuntungan dalam suatu usaha itu sebesar 5 %, sedang dalam usaha lainya sebesar 10 %, akan tetapi jumlah keuntungan yang dimungkinkan dan yang bisa diharapkan dari usaha pertama itu sebesar 1000 rupiah, sementara keuntungan dari usaha yang kedua hanya sebesar 100 rupiah saja, maka usaha yang pertama itu lebih menguntungkan lima kali lipat dibandingkan dengan usaha yang kedua tersebut, padahal tingkat kemungkinan usaha yang pertama itu hanya 5 % saja, yaitu separuh dari tingkat kemungkinan yang terdapat pada usaha yang kedua. Hal ini disebabkan pentingnya derajat dan nilai objek yang dimungkinkan.
Mengingat bahwa keuntungan yang dimungkinkan yang dapat diperoleh dari mencari agama itu tidak terbatas besarnya, akan tetapi-meski tingkat kemungkinan untuk memperoleh hasilnya itu lebih kecil-besarnya nilai dan pentingnya sebuah pencarian dan pengerahan tenaga dalam usaha ini jauh mengungguli nilai pencarian usaha-usaha apapun yang hasilnya sedikit dan terbatas.
Sesungguhnya seseorang itu baru akan menyadari tidak perlunya mencari agama manakala ia merasa yakin bahwa agama yang dicarinya itu adalah batil dan telah menyimpang, atau ia merasa yakin bahwa masalah-masalah agama itu tidak mungkin dapat diselesaikan. Persoalannya, dari mana keyakinan terhadap batilnya sebuah agama itu dapat diperoleh jika tanpa penelitian dan pencarian?[]

Jawablah pertanyaan berikut ini:
1.Motivasi apakah yang mendorong seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat?
2.Mengapa seseorang itu tidak mungkin mampu untuk mencari semua hakikat?
3.Apakah rasa beragama itu? Dan apa dalil keberadannya?
4.Terangkan pentingnya membahas ushuluddin!
5.Apakah rasa putus asa untuk menemukan jalan keluar yang meyakinkan dalam mengatasi masalah-masalah agama itu dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghindari upaya mencari dan mengkajinya? Mengapa demikian?

3
PELAJARAN 3 PELAJARAN 3

Syarat Utama Kehidupan Manusia Mukadimah

Pada pelajaran yang lalu kami telah jelaskan secara luas pentingnya mencari agama dan berusaha mengenal agama yang hak, berangkat dari dorongan naluri bawaan manusia untuk mencari kebahagiaan dan keamanan dari segala bahaya. Dorongan itu dapat ditemukan oleh setiap manusia di dalam jiwanya sendiri. Dengan ungkapan lain, setiap manusia dapat mengetahui naluri insaninya secara langsung dan dengan pengetahuan hudhuri[1] yang tidak mungkin keliru.
Pada pelajaran ini kami berusaha untuk membuktikan persoalan tersebut, akan tetapi dengan metode lain yang berdasar pada premis-premis yang lebih teliti, untuk kemudian sampai pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya setiap orang yang tidak mau mencari agama, tidak mau berpikir tentangnya dan tidak percaya pada satu pandangan dan ideologi yang benar, maka tidak akan sampai kepada kesempurnaan insaninya. Bahkan pada hakikatnya, orang seperti itu tidak dianggap sebagai manusia. Artinya, syarat utama bagi kehidupan manusia itu adalah komitmen pada pandangan dunia dan ideologi yang benar. Seseorang yang melandasi kehidupannya dengan dua dasar ini (pandangan dunia dan ideologi yang benar), ia akan dapat hidup sebagai seorang manusia yang hakiki.
Dalil ini bertolak dari tiga premis, yaitu:
Pertama, manusia adalah makhluk pencari kesempurnaan.
Kedua, kesempurnaan insani bisa terwujud melalui usaha ikhtiari (yang disengaja) yang muncul dari kesadaran dan akal yang sehat.
Ketiga, hukum-hukum akal praktis terbentuk dari konsep-konsep tertentu, yang terpenting di antaranya ialah tiga prinsip, yaitu: tahu akan sumber wujud (Tauhid), tahu akan akhir kehidupan (Ma'ad) dan tahu akan jalan keselamatan yang dapat mengarah kepada sistem yang menjamin kebahagiaan (Kenabian). Singkat kata, mengenal wujud, mengenal manusia dan, mengenal jalan hidup.
Kita awali pembahasan ini dengan menjelaskan tiga premis tersebut, satu persatu.

Manusia Makhluk Pencari Kesempurnaan
Jika kita amati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-kecenderungannya, kita akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan. Kita tidak akan menemukan seorang pun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia senantiasa berusaha keras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan cacat dirinya sampai ia dapat mencapai kesempurnaan yang diinginkan. Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu, ia berusaha sedapat mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Namun, bila motif ini menyimpang dari jalannya yang normal-lantaran faktor-faktor dan kondisi tertentu-justru akan melahirkan berbagai sifat buruk seperti congkak, sombong, riya', dll.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ingin sempurna merupakan faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia.Akan tetapi, biasanya faktor itu terefleksikan dalam sikap nyata yang dapat menarik perhatian. Kalau saja direnungkan sejenak, kita akan dapat mengetahui bahwa sesungguhnya dasar dan sumber berbagai sikap lahiriah itu adalah cinta kepada kesempurnaan.

Akal sebagai Kesempurnaan Manusia
Sesungguhnya proses perkembangan dan kesempurnaan pada tumbuhan itu bersifat niscaya dan terpaksa karena tunduk kepada terpenuhinya berbagai faktor dan kondisi di luar diri mereka. Sebuah pohon tidak tumbuh dengan kehendaknya sendiri, ia tidak menghasilkan buah-buahan sesuai dengan kehendaknya, karena tumbuhan tidak memiliki perasaan dan kehendak. Berbeda dengan binatang; ia mempunyai kehendak dan ikhtiar dalam menempuh kesempurnaannya, akan tetapi kehendak dan ikhtiarnya itu timbul dari naluri hewani semata, dimana proses dan aktivitasnya terbatas hanya pada kebutuhan-kebutuhan alamiahnya saja dan atas dasar perasaan yang sempit dan terbatas dengan kadar indra hewaninya.
Adapun manusia, di samping memiliki segala kelebihan yang dimiliki tumbuhan dan binatang, ia pun memiliki dua keistimewaan lainnya yang bersifat ruhani. Dari satu sisi, keinginan fitriyahnya tidak dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan alami dan material, dan dari sisi lain ia memiliki kekuatan akal yang dapat memperluas pengetahuannya sampai pada dimensi-dimensi yang tak terbatas. keistimewaan semacam inilah yang membuat kehendak manusia itu dapat melampaui batasan-batasan materi yang sempit, bahkan dapat terus bergerak ke satu tujuan yang tak terbatas.
Sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhan itu bisa berkembang dengan perantara potensinya yang khas, juga kesempurnaan yang dimiliki oleh binatang itu dapat dicapai dengan kehendaknya yang muncul dari naluri dan pengetahuannya yang bersifat indrawi, demikian pula halnya dengan manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada kesempurnaan ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sehat, yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar. Ketika ia dihadapkan pada berbagai pilihan, akalnya akan memilih sesuatu yang lebih utama dan lebih penting.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya dibentuk oleh kehendak yang muncul dari kecenderungan-kecenderngan dan keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh manusia dan atas dasar pengarahan akal. Adapun perbuatan yang dilakukan karena motif hewani semata-mata adalah perbuatan yang-tentunya-bersifat hewani pula, sebagaimana gerak yang timbul dari kekuatan mekanik dalam tubuh manusia merupakan sebuah gerak fisis semata-mata.

Perlunya Hukum Praktis pada Landasan Teoritis
Perbuatan yang disengaja (ihktiyari) merupakan sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan. Dan nilai hasil yang diharapkan itu bergantung kepada kualitas tujuannya dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kesempurnaan ruh. Begitu pula, jika perbuatan sengaja itu kehilangan sisi kesempurnaan ruhnya, ia akan membuahkan hasil yang negatif.
Dengan demikian, akal baru akan dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan sengaja, apabila ia telah mengetahui jenjang-jenjang kesempurnaan manusia, hakikat wujudnya, dimensi-dimensi yang melingkupi kehidupannya dan jenjang kesempurnaan yang mungkin dapat dicapai olehnya. Artinya, akal harus mengetahui dimensi-dimensi wujud manusia dan tujuan penciptaannya. Oleh karena itu, akal tidak dapat menggunakan ideologi yang benar (nilai-nilai moral yang mengatur perbuatan sengaja) dengan baik, kecuali jika ia mempunyai pandangan yang benar mengenai penciptaan alam semesta dan dapat memecahkan berbagai persoalan yang berhubungan dengannya.
Jika akal tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan di atas, ia tidak mungkin dapat menentukan nilai perbuatan tersebut secara pasti. Begitupula, jika akal tidak mengetahui tujuan hidup, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang semestinya ditempuh demi tujuan tersebut. Jadi, pengetahuan akan dasar-dasar teoritis dari pandangan dunia merupakan landasan utama bagi nilai-nilai moral dan hukum-hukum praktis akal.

Konklusi
Berdasarkan premis-premis di atas tadi, kita dapat membuktikan pentingnya usaha mencari agama dan mengerahkan segenap kemampuan untuk menemukan ideologi dan keyakinan yang benar melalui argumentasi berikut ini:
Bahwa secara fitriyah, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha menemukan kesempurnaan insaninya dengan melakukan berbagai perbuatan. Akan tetapi, untuk memilih perbuatan-perbuatan yang dapat menyampaikannya kepada tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya. Puncak kesempurnaan ini hanya dapat diketahui manakala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalanan hidupnya. Kemudian ia pun harus mengetahui adanya hubungan-baik positif maupun negatif-di antara berbagai perbuatan dengan aneka-ragam jenjang kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat. Selama ia belum mengetahui dasar-dasar teoritis pandangan dunia ini, ia tidak akan dapat menemukan sistem nilai dan ideologi yang benar.
Dengan demikian, betapa pentingnya usaha mencari dan mengenal agama yang hak yang mencakup ideologi dan pandangan dunia yang benar. Karena jika tidak demikian, seseorang tidak akan dapat mencapai kesempurnaannya yang hakiki. Dan setiap perbuatan yang dilakukan tidak atas dasar nilai-nilai moral dan dasar-dasar pengetahuan semacam itu, tidak bisa dianggap sebagai perbuatan insani. Mereka yang malas dan enggan mencari agama yang benar, atau mereka yang mengetahui kebenaran namun mengingkarinya dan membelot dari jalannya dengan cara menentangnya dan tunduk sepenuhnya kepada kepentingan hewani dan kenikmatan duniawi yang semu, pada hakikatnya adalah binatang belaka. Allah SWT melukiskan mereka bahwa:
"Mereka itu bersenang-senang dan pekerjaannya hanyalah makan dan minum tak ubahnya seperti binatang-binatang ternak." (QS. Muhammad: 12).
Hanya karena menyia-nyiakan potensi insani dan anugerah Ilahi itu, mereka akan menerima balasan dan siksa yang pedih nun mengerikan di akhirat kelak. Allah swt. berfirman:
"Biarkanlah mereka itu di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan kosongnya, kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatannya itu." (Qs. Al-Hijr: 3).

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah premis dalil kedua atas pentingnya mencari agama yang hak?
2. Jelaskan motif manusia untuk mencapai kesempurnaan hakiki?
3. Apakah keistimewaan-keistimewaan utama pada diri manusia?
4. Apakah hubungan antara keistimewaan-keistimewaan tersebut dengan kesempurnaan hakiki manusia?
5. Bagaimana ideologi itu seharusnya berlandaskan pada pandangan yang benar mengenai penciptaan alam semesta ini?
6. Terangkan argumentasi kedua dalam bentuknya yang logis!
________________________________________
[1] Mengenai istilah hudhuri dapat dirujuk ke pelajaran 5.


4
PELAJARAN 4 PELAJARAN 4

Solusi atas Berbagai Masalah Prinsipal

Mukaddimah

Tatkala seseorang berusaha mencari solusi atas berbagai persoalan prinsipal pandangan dunia dan berusaha mengenal dasar-dasar agama yang benar, ia akan menghadapi beberapa pertanyaan, yaitu: pertama, cara apakah yang harus ia tempuh untuk memecahkan persoalan tersebut? Kedua, jalur apa saja yang tersedia untuk memperoleh pengetahuan yang sahih? Ketiga, manakah jalur yang harus dipilih untuk memperoleh pengetahuan itu?
Kajian teknis dan luas mengenai pertanyaan-pertanyaan ini berada pada bagian Pengetahuan dari ilmu Filsafat, yakni Epistemologi. Di sana, dibahas berbagai pengetahuan manusia dan nilai-nilainya. Sementara di sini, kami tidak akan membahasnya, mengingat tidak begitu relevan dengan maksud penyusunan buku ini.
Kendati demikian, kami akan membahas masalah-masalah yang diperlukan di sini. Serincinya, kami serahkan kepada buku-buku yang secara khusus membahas masalah itu.

Macam-macam Pengetahuan
Pengetahuan manusia-dari satu sudut pandang-dapat dibagi menjadi empat macam:
1. Pengetahuan Indrawi. Seseorang akan memperoleh pengetahuan ini melalui panca indranya, tentunya tanpa menafikan peran khas akal dalam proses perolehan itu. Pengetahuan ini biasanya digunakan di berbagai cabang ilmu empirik seperti: Fisika, Kimia, Biologi.
2. Pengetahuan Rasional. Pengetahuan ini tersusun dari konsep-konsep abstraktif (mafahim intiza'iyah) yang disebut juga dengan konsep sekunder (ma'qulat tsanawiyah). Dalam hal ini, akal mempunyai peranan utama untuk memperolehnya, walaupun dalam kondisi umumnya digunakan juga indra dan eksperimen dalam proses abtraksi konsep atau dalam membentuk premis-premis analogis. Ruang lingkup pengetahuan rasional ini adalah Logika, Filsafat, Matematika.
3. Pengetahuan Tekstual. Pengetahuan ini memiliki peran sekunder karena ketergantungannya pada pengetahuan sebelumnya, yaitu pengetahuan tentang sumber informasi yang tepercaya (otoritas) dan diperoleh melalui informasi orang yang jujur. Misalnya, pengetahuan para pemeluk agama yang mereka peroleh dari ucapan para pemuka agama. Bisa jadi keyakinan mereka yang diperoleh dari pengetahuan tekstual (ta'abbudi) ini lebih kokoh dibandingkan dengan keyakinan yang mereka peroleh melalui indera dan eksperimen.
4. Pengetahuan Hudhuri atau Syuhudi. Berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya, pengetahuan ini terkait langsung dengan wujud objeknya (ma'lum), tanpa melalui perantara gambaran konseptual di benak (mafhum dzihni), serta bebas dari kekeliruan. Akan tetapi, sebagaimana hal itu dijelaskan pada tempatnya, pengetahuan hudhuri ini biasanya disertai oleh penafsiran konseptual empunya. Maka, kekeliruan amat mungkin terjadi pada penafsiran yang menyertai pengetahuan ini.

Macam-macam Pandangan Dunia
Berdasarkan macam pengetahuan di atas tadi, pandangan dunia mengenai penciptaan alam semesta ini dapat dibagi menjadi empat macam pula:
1. Pandangan dunia empiris; yaitu pandangan universal seputar wujud yang diperoleh melalui data-data empiris.
2. Pandangan dunia falsafi; yang diperoleh melalui analisis rasional dan penalaran akal.
3. Pandangan dunia agama; yang diperoleh dari jalur kepercayaannya pada para pemimpin agama dan pada ucapan-ucapan mereka.
4. Pandangan dunia irfani (gnostik); yang diperoleh melalui jalur kasyf (penyingkapan) dan syuhudi (penyaksian batin).
Selanjutnya, yang perlu dicermati ialah, apakah persoalan-persoalan mendasar di dalam pandangan dunia dapat dipecahkan oleh empat jalur pandangan di atas ini ataukah tidak? Jelas, bahwa pertanyaan ini mendahului penimbangan atas keunggulan satu di atas lainnya.

Analisis Kritis
Mengingat jangkauan pengetahuan empirik itu terbatas pada fenomena-fenomena alam materi, kita tidak mungkin dapat mengetahui dasar-dasar pandangan dunia mengenai penciptaan alam semesta dan mengatasi berbagai persoalan yang bersangkutan hanya mengandalkan data-data penge-tahuan tersebut. Sebab, persoalan-persoalan semacam ini di luar jangkauan ilmu-ilmu empiris. Ilmu empiris manapun tidak berbicara seputar masalah-masalah tersebut, baik menafikan ataupun menetapkannya. Sebagai contoh, kita tidak mungkin dapat menetapkan ataupun-na'udzu billah-menafikan wujud Allah melalui penelitian di laboratorium. Pengalaman indrawi tidak mampu menilai ada tiadanya sesuatu di luar lingkaran materi.
Karenanya, pandangan dunia empiris (sesuai dengan penjelasan yang lalu atas istilah "pandangan dunia") tiada lain adalah fatamorgana dan tidak dapat dikatakan sebagai pandangan dunia mengenai wujud dan alam semesta dalam arti yang sebenarnya. Maksimalnya, ia dapat disebut sebagai "pengetahuan tentang alam materi". Dan, pengetahuan semacam ini tidak mampu menuntaskan persoalan-persoalan mendasar dalam pandangan dunia.
Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui jalur ta'abbudi (taklid)-sesuai dengan yang telah dijelaskan-berlaku dan bernilai secara sekunder, karena kita harus membuktikan terlebih dahulu keberadaan pengetahuan sebelumnya sebagai sumber bagi pengetahuan ini. Misalnya, sehubungan dengan masalah Kenabian, kita harus menetapkan terlebih dahulu kenabian seorang nabi supaya risalah dan seluruh sabdanya itu dapat diakui. Sebelum itu, kita pun harus membuktikan adanya Sang Pengutusnya, yaitu Allah SWT. Jelas bahwa kita tidak akan dapat menetapkan keberadaan Sang Pengutus dan kenabian seorang rasul melalui lisan rasul itu sendiri. Misalnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa mengingat Al-Qur'an telah menjelaskan keberadaan Allah, maka masalah keberadaan Allah itu dianggap tuntas (berdasarkan firman-Nya itu sendiri). Yang benar adalah, setelah kita dapat membuktikan keberadaan Allah dan kenabian seorang nabi, dan kita telah mengenalnya secara pasti, juga kita telah membuktikan bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah yang hak, barulah kita dapat menerima berbagai macam keyakinan far'iyah (parsial) lainnya dan ajaran-ajaran yang bersifat praktis dengan bersandar kepada informasi orang yang jujur dan sumber yang tepercaya.
Adapun mengenai persoalan-persoalan prinsipal, kita harus menetapkannya terlebih dahulu melalui pengetahuan yang lain. Dengan demikian, pengetahuan ta'abbudi ini tidak mempunyai peran langsung dalam menyelesaikan berbagai persoalan prinsipal di dalam pandangan dunia seputar wujud dan penciptaan alam semesta.
Adapun mengenai pengetahuan hudhuri dan syuhudi, kita memerlukan pembahasan yang luas dan panjang. Mengingat bahwa pertama: pandangan dunia seputar penciptaan alam semesta merupakan pengetahuan yang terbentuk dari gambaran-gambaran konseptual di dalam pikiran, sementara pada konteks hudhuri tidak ada tempat lagi bagi gambaran semacam itu. Dengan demikian, penisbahan gambaran konseptual kepada konteks hudhuri lebih merupakan toleransi dan ditilik dari kapasitasnya sebagai basis kemunculan gambaran konseptual tersebut.
Kedua, menjelaskan berbagai perkara-perkara yang hudhuri dan syuhudi melalui kata-kata dan konsep membutuhkan kemampuan dan kekuatan nalar tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan dasar-dasar dan latar belakang yang cukup panjang, berupa kemampuan analisis rasional dan filosofis. Seorang yang tidak mempunyai kekuatan semacam ini terpaksa menggunakan kata-kata, ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep yang abu-abu (mutasyabih) sehingga-sangat mungkin-malah menjadi faktor yang berdampak pada distorsi dan penyimpangan.
Ketiga, seringkali terjadi kesamaran dan kekeliruan antara hakikat realitas yang disaksikan dalam konteks syuhudi itu yang hakiki dengan gambaran-gambaran khayalan serta penafsiran konseptual terhadap hakikat tersebut. Bahkan, kekeliruan dan kekaburan itu bisa juga menimpa sekalipun pada si pelaku syuhud (musyahid) itu sendiri.
Keempat, seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin kecuali setelah melakukan sair-suluk irfani (pelatihan ruhani) bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi, keimanan dan keyakinan seseorang terhadap metode sair-suluk-yang dianggap sebagai pengetahuan praktis-bergantung kepada dasar-dasar teoritis dan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pandangan dunia.
Oleh karenanya, sebelum seseorang itu mulai mengamalkan sair-suluk, ia harus mampu menuntaskan persoalan-perseoalan itu dengan baik. Sedangkan pengetahuan syuhudi itu baru bisa diperoleh tatkala ia berada di dalam atau di puncak perjalanan sair-suluk tersebut. Pada hakikatnya, irfan hakiki itu baru akan dapat dicapai oleh seseorang tatkala ia berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas beribadah kepada Allah. Sementara usaha dan suluknya itu sendiri bergantung kepada pengetahuan tentang Allah SWT dan tentang cara ibadah kepada-Nya.

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari ulasan di atas adalah bahwa satu-satunya jalan bagi seseorang yang berusaha untuk mencari solusi dalam menghadapi masalah-masalah pokok pandangan dunia adalah jalan logika atau metode rasional. Maka itu, pandangan dunia yang sebenarnya adalah pandangan dunia filsafi.
Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa membatasi upaya mencari solusi atas masalah-masalah tersebut pada metode rasional dan premis-premis filosofis tidak berarti bahwa untuk pencapaian pandangan dunia semacam itu bergantung kepada pemecahan atas seluruh persoalan Filsafat. Upaya itu cukup dengan mengkaji sebagian masalah filsafat yang sederhana dan tampak gamblang. Dengan cara inilah kita dapat membuktikan wujud Allah SWT. Hal ini merupakan masalah yang paling penting dalam pandangan dunia, walaupun studi khusus mengenai masalah-masalah ini dan cara menghadapi berbagai kritik serta keraguan dan pemecahannya membutuhkan kejelian filosofis secara luas.
Begitu pula ketika kita membatasi berbagai pengetahuan yang dapat membuahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar melalui pengetahuan rasional, bukan berarti kita membuang pengetahuan-pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Bahkan kita dapat menggunakan argumen-argumen rasional yang sebagian premisnya dihasilkan dari jalur ilmu hudhuri atau indra dan eksperimen. Sebagaimana juga kita dapat menggunakan pengetahuan ta'abbudi untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah rincian yang biasanya dibuktikan dengan ayat Al-Qur'an dan hadis yang merupakan sumber agama.
Akhirnya, tatkala pandangan dunia dan ideologi yang benar itu dapat dicapai, seseorang akan melangsungkan usahanya hingga sampai ke mukasyafah dan musyahadah (penyaksian mata batin) melalui usaha yang gigih dalam menempuh jenjang-jenjang sair-suluk sehingga dapat menyaksikan-tanpa melalui konsep-konsep mental-berbagai hakikat yang dibuktikan oleh argumen-argumen rasional.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Sebutkan macam-macam pengetahuan manusia dan pengertiannya masing-masing!
2. Ada berapa macamkah pandangan dunia yang dapat digambarkan?
3. Dengan jalan apakah masalah-masalah pokok mengenai pandangan dunia dapat dibuktikan?
4. Bagaimana Anda menilai pandangan dunia empiris?
5. Apakah mungkin menggunakan pengetahuan yang bersifat inderawi untuk menetapkan persoalan pandangan dunia?
6. Apakah mungkin menggunakan pengetahuan yang bersifat ta'abbudi untuk membuktikan masalah-masalah akidah? Dan sebutkan bidang-bidangnya?
7. Apakah pandangan dunia irfani itu? Dan apakah mungkin berbagai permasalahan pokok pandangan dunia itu dapat dituntaskan dengan jalan syuhudi irfani? Mengapa?

5
PELAJARAN 5 PELAJARAN 5

Mengenal Allah

Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan yang lalu; bahwa prinsip agama adalah keimanan kepada wujud Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan bahwa perbedaan mendasar antara pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme terletak pada ada atau tidaknya keimanan kepada Tuhan pencipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani oleh seorang pencari kebenaran sebelum segala sesuatunya, yaitu bagaimana ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan; apakah Allah itu ada ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pelajaran yang lalu, kita harus menggunakan akal sehingga nanti akan dapat menemukan jawaban, positif ataukah negatif, yang betul-betul meyakinkan. Ketika jawaban itu positif, barulah kita akan membahas masalah-masalah berikutnya, yaitu masalah Tauhid, Keadilan Ilahi dan seluruh sifat-sifat Allah swt. Sedangkan bila jawaban itu negatif yang berarti bukti atas kebenaran pandangan dunia Materialisme, kita tidak perlu lagi membahas semua persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama.

Pengetahuan Hudhuri dan Pengetahuan Hushuli
Dalam rangka mengenal Allah, ada dua macam penge-tahuan di hadapan kita, yaitu pengetahuan hudhuri (presentif) dan pengetahuan hushuli (representatif). Pada pengetahuan hudhuri, seseorang dapat mengetahui dan mengenal Allah dengan jalur hati dan batin (syuhudi, qalbi), tanpa perantara pemahaman-pemahaman yang berupa gambaran konseptual di benak. Jelas bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenai Allah, sebagaimana yang diakui oleh para urafa', tidak membutuhkan argumentasi rasional.
Tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, pengetahuan hudhuri atau syuhudi tidak dapat dikuasai oleh manusia biasa tanpa terlebih dahulu membina jiwanya melalui sair suluk islami. Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah dari pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai oleh orang-orang biasa, akan tetapi karena biasanya ia tidak dilandasi kesadaran, tidaklah cukup untuk membentuk pandangan dunia yang berlandaskan kesadaran.
Pada pengetahuan hushuli, seseorang mengenal Allah melalui konsep-konsep universal seperti Sang Pencipta, Mahakaya, Mahatahu, Mahakuasa dan meyakini keberadaan-Nya.Kemudian, ia menggabungkannya dengan pengetahuan hushuli lainnya hingga ia dapat memperoleh suatu pandangan dunia yang utuh. Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari studi rasional dan argumentasi filosofis, masuk ke dalam pengetahuan hushuli ini. Ketika manusia telah memiliki ilmu semacam ini, ia pun dapat mengenal Allah dengan ilmu hudhuri.

Pengetahuan Fitrah
Dalam hadis para imam atau ucapan kaum urafa', seringkali kita menjumpai ungkapan seperti "Pengenalan fitriyah tentang Tuhan" atau "Secara fitriyah, manusia mengenal Tuhannya". Untuk memahami ungkapan semacam ini, terlebih dahulu kita perlu menjelaskan kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti "sebuah bentuk penciptaan". Sesuatu itu fitriyah (dinisbahkan kepada fitrah) ketika bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.
Dari sinilah kita dapat memperhatikan tiga karakteristik pada perkara-perkara fitriyah:
1. Perkara-perkara fitriyah adalah titik kesamaan bagi makhluk-makhluk satu spesis, kendati keberadaannya itu berbeda dari sisi kualitas; lemah dan kuatnya.
2. Perkara-perkara fitriyah selalu ada sepanjang hidup manusia. Dan tidak mungkin setiap makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan dari satu masa ke masa.
"Itulah fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan tidak mungkin mengalami perubahan bagi Allah." (QS. Ar-Rum: 30).
3. Karena perkara-perkara fitriyah itu sebuah kemestian dari penciptaan makhluk, ia tidak diusahakan melalui proses pembelajaran, walaupun untuk memperkuat dan mengembangkannya membutuhkan bimbingan dan arahan.
Perkara-perkara fitri yang ada pada manusia dapat dibagi kepada dua macam:
Pertama, pengetahuan-pengetahuan fitriyah yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memerlukan proses belajar.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan fitriyah. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya semacam pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan fitriyah terhadap Allah (ma'rifatullah 'alal fitrah). Dan apabila terbukti adanya kecenderungan kepada Allah dan kecondongan untuk menghamba kepada-Nya pada setiap manusia, hal itu dapat dinamakan penghambaan fitriyah kepada Allah.
Kami telah memaparkan pada pelajaran kedua, bahwa kebanyakan pemikir memandang agama dan kecenderungan kepada Allah termasuk keistimewaan yang ada pada setiap manusia, sebagai perasaan atau kesadaran beragama. Dan kami akan menambahkan di sini bahwa mengenal Allah dapat pula dikategorikan sebagai kelaziman fitrah setiap manusia.
Akan tetapi, sebagaimana dorongan fitrah dalam penghambaan diri kepada Allah itu bukan termasuk dorongan yang berkesadaran (syu'uri), begitu pula dorongan fitriyah dalam mengenal Allah itu bukanlah pengetahuan yang berkesadaran, yaitu pengetahuan yang didasari oleh kesadaran di mana orang-orang biasa tidak lagi membutuhkan telaah rasional dalam rangka mengenal Allah.
Di samping itu, patut diperhatikan catatan berikut ini, bahwa pada setiap individu terdapat derajat pengenalan kepada Allah yang bersifat hudhuri (presentif) atau fitriyah, walaupun derajat ini itu sangatlah rendah. Oleh karena itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar secara sederhana. Kemudian ia akan berusaha berangsur-angsur untuk meningkatkan dan memperkokohpengenalannya kepada Allah sampai mata batinnya terbuka, atau bahkan ia akan sampai kepada derajat syu'uriyah, yaitu pengetahuan yang penuh kesadaran.
Kesimpulannya, mengenal Allah secara fitriyah yaitu bahwa hati seseorang dapat mengenal Allah, dan di dalam jiwanya terdapat potensi pengenalan ini secara sadar, yang kemudian dapat menjadi kuat. Akan tetapi, potensi-potensi fitriyah ini pada orang biasa tidak sebegitu kuat disadari. Maka itu, mereka memerlukan argumentasi rasional. Artinya, selain melalui fitrah, mereka tetap membutuhkan pembahasan rasional untuk dapat mengenal Allah secara sadar.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah masalah-masalah prinsipal dalam pandangan dunia dan mengapa bersifat prinsipal?
2. Jelaskan pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli tentang Allah!
3. Apakah seseorang dapat mencapai pengetahuan hudhuri tentang Allah melalui akal atau logika?
4. Apakah peran pengetahuan hushuli serta pengaruhnya pada pengetahuan hudhuri!
5. Jelaskan pengertian fitrah!
6. Jelaskan karakteristik perkara-perkara fitriyah!
7. Jelaskan macam perkara-perkara fitriyah!
8. Apakah perkara fitriyah yang berhubungan dengan Allah itu?
9. Jelaskan maksud dari pengenalan fitriyah terhadap Allah SWT!
10. Apakah adanya fitrah mengenal Tuhan membuat orang biasa tidak lagi memerlukan pembahasan rasional?


6
PELAJARAN 6 PELAJARAN 6

Cara Mudah Mengenal Allah

Cara-cara Mengenal Allah


Untuk mengenal Allah, terdapat berbagai macam cara dan metede yang telah dijelaskan dalam buku-buku Filsafat dan Kalam, juga dalam hadis-hadis para para Imam Suci as serta dalam kitab-kitab samawi. Berbagai macam argumen yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut menjelaskan sisi dan dimensinya masing-masing. Misalnya dalam suatu buku, dijelaskan premis-premis secara empirik. Sedangkan buku yang lainnya menjelaskan premis-premis yang bersifat rasional semata. Bahkan ada sebagian buku yang membuktikan keberadaan Allah SWT secara langsung, sebagaimana juga dalam buku lainnya menjelaskan keberadaan sesuatu yang tidak membutuhkan selainnya (Wajibul Wujud). Berdasarkan argumen ini, untuk menetapkan sifat-sifat Allah haruslah bersandar kepada argumentasi yang khas.
Sehubungan dengan argumen-argumen atas keberadaan Allah SWT tersebut, dapat kita umpamakan dengan jembatan-jembatan yang dipasang di atas sebuah sungai yang besar yang akan dilalui oleh orang-orang untuk menyemberang ke tepi lainnya. Salah satu dari jembatan itu dibuat dari kayu-kayu yang sederhana yang ditancapkan di atas sungai tersebut untuk tujuan agar setiap orang yang membawa barang-barang yang ringan dapat melewati dan berjalan di atas jembatan tersebut menuju ke tempat tujuannya dengan segera. Sedangkan jembatan yang lainnya dibuat dari batu-batu beton yang panjang yang memiliki kekuatan luar biasa, akan tetapi untuk melewati jembatan tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Terdapat dalil-dalil yang dibangun bagaikan jalan-jalan yang terbuat dari besi yang kuat, berkelok dan berliku serta harus melewati bukit dan dataran yang luas yang akan dilewati kereta-kereta yang membawa beban yang cukup berat.
Seseorang yang hanya memiliki pikiran yang sederhana, ia dapat mengenal Tuhannya dengan cara yang sangat sederhana pula. Kemudian ia mempraktikkannya dalam beribadah. Adapun seseorang yang akal pikirannya mampu menampung beban keraguan, ia dapat melewati jalan-jalan terjal. Sementara orang yang membawa tumpukan beban yang berat serta mampu menghadapi berbagai keraguan dan kritik, maka ia harus melewati jalan yang dibuat di atas dasar-dasar yang kokoh, sehingga ia mampu bertahan ketika di tengah jalan mendapatkan berbagai tantangan, kesulitan dan cobaan.
Pada pelajaran ini, kami hanya akan memberikan penjelasan mengenai jalan yang paling mudah untuk dapat mengenal Allah. Setelah itu, kami akan menjelaskan beberapa argumentasi sederhana yang sesuai dengannya. Adapun agumentasi yang rumit, yang untuk dapat memahaminya memerlukan dasar-dasar dan kaidah-kaidah filosofis, itu tepat bagi mereka yang pikiran-pikirannya seringkali dilintasi oleh berbagai macam keraguan, juga bagi mereka yang ingin menyanggah berbagai macam keraguan dan ingin menyelamatkan orang-orang yang tersesat dan menyimpang.

Keistimewaan Cara Mudah
Cara mudah untuk membuktikan adanya Allah SWT mempunyai beberapa keistimewaan. Pertama, bahwa cara ini tidak memerlukan premis-premis yang sulit, rumit dan teknis, serta dapat dijelaskan dengan mudah dan gamblang. Oleh karena itu, semua orang-dengan berbagai tingkat pengetahuannya-akan dapat memahaminya dengan baik.
Kedua, cara mudah ini akan mengantarkan manusia secara langsung untuk mengenal Allah, Sang Pencipta alam semesta yang Mahakuasa. Berbeda dengan kebanyakan argumentasi filosofis dan teologis yang terlebih dahulu membuktikan keberadaan dzat Allah yang dikenal dengan Wajibul Wujud. Setelah itu sifat-sifat Allah seperti; ilmu, kuasa dan sifat-sifat lainnya akan dibuktikan oleh argumentasi lainnya.
Ketiga, kesan utama cara ini ialah membangkitkan fitrah manusia dan membimbing pengetahuan fitriyah mereka kepada jenjang kesadaran. Apabila seseorang berusaha me-mahami cara mudah ini dengan baik, ia akan merasakan kondisi irfani, seolah-olah ia dapat menyaksikan kekuasaan Allah dalam menciptakan alam dan kejadian-kejadiannya beserta pengaturannya. Itulah pengetahuan yang ditunjukkan oleh fitrah seseorang di dalam mata batinnya.
keistimewaan-keistimewaan di atas membuat para ulama dan tokoh agama langit memilih cara ini guna menjelaskan dan membuktikan wujud Allah, serta mengajak masyarakat untuk menapakinya. Sedangkan kepada para pengikut setia, mereka mengajarkan metode argumentasi yang lain. Mereka pun menggunakan argumen-argumen yang rumit dalam perdebatan dan diskusi mereka dengan para pemuka ateis atau para filosof materialis.

Tanda-tanda yang Jelas
Sesungguhnya cara mudah untuk menetapkan wujud Allah SWT dapat diperoleh dengan merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terhampar dan memenuhi jagad raya ini. Al-Quran mengungkapkannya dengan istilah "tafakkur liayatillah" (memikirkan ayat-ayat Tuhan). Seakan-akan setiap individu dan fenomena alam ini, baik yang ada di bumi atau pun di langit atau yang ada pada diri setiap manusia itu sendiri, merupakan dalil dan ayat Allah SWT yang memberikan petunjuk kepada hati untuk beranjak menuju pusat wujud yang hadir pada setiap ruang dan waktu.
Sesungguhnya buku yang ada di hadapan Anda ini merupakan salah satu dalil dan ayat atas wujud Allah. Bukankah dengan membaca buku ini Anda akan mengenal keberadaan pengarangnya dan mempunyai tujuan? Pernahkah Anda berasumsi bahwa buku ini muncul akibat pengaruh sekelompok benda tanpa seorang penulis yang mempunyai motif dan tujuan? Bukankah termasuk kebodohan jika seseorang percaya bahwa sebuah ensklopedia berjilid-jilid tercetak dan terbit akibat ledakan kandungan bumi kemudian pecahan-pecahan yang beterbangan di udara itu menyatu dan membentuk huruf-huruf dan kemudian secara tiba-tiba membentur kertas-kertas dan terbitlah buku yang berjilid-jilid tersebut? Lebih tidak masuk akal lagi seseorang yang berkeyakinan bahwa alam semesta yang penuh hikmah, baik yang diketahui maupun tidak, tercipta secara spontan, terjadi begitu saja, tanpa sebab apapun. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang yang berkeyakinan semacam ini ribuan kali lebih bodoh dibandingkan orang yang meyakini terciptanya kitab yang berjilid-jilid secara tiba-tiba.
Sesungguhnya setiap sistem terarah dan bertujuan merupakan dalil atas adanya pembuat sistem tersebut. Kita saksikan bahwa sistem yang terarah dan bertujuan pada seluruh alam semesta ini merupakan sistem universal yang menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Mahabijak yang telah menciptakan sistem tersebut, dan Dia senantiasa memeliharanya.
Bunga-bunga yang tumbuh di taman dengan berbagai macam warna yang indah dan aroma yang semerbak, pohon apel yang memberikan buah yang berasal dari sebutir biji yang kecil, yang setiap tahun mengeluarkan buah yang meruah dengan berbagai warna yang memikat dan rasa yang lezat. Begitu pula burung Bulbul yang berkicau dan begitu lincah berpindah dari satu tangkai ke tangkai yang lain. Serta ayam yang membelah dan memecahkan kulit sebutir telur kemudian keluar darinya seekor anak. Juga, anak sapi yang lahir dari induknya kemudian menyusu. Air susu yang memenuhi kantong susu induknya dipersiapkan untuk menyusui anak-anaknya. Seluruh fenomena itu merupakan tanda-tanda kekuasaan, kebesaran dan wujud Sang Pencipta.
Sungguh merupakan penciptaan dan pengaturan yang menakjubkan, dimana keluarnya air susu dari penyusuan induknya itu bersamaan dengan kelahiran anak-anaknya. Ikan-ikan di laut yang setiap tahunnya untuk pertama kali menempuh perjalanan ribuan kilometer guna mengeluarkan telurnya. Burung-burung laut yang mengetahui sarang-sarangnya di antara tumbuh-tumbuhan laut yang begitu banyak dan beragam, tidak pernah keliru mengambil jalan kembali ke sarangnya, walau untuk sekali saja. Lebah-lebah yang keluar dari sarangnya setiap pagi lalu menempuh perjalanan yang panjang untuk mengisap bunga-bunga yang harum kemudian kembali pada malam hari ke sarang-sarangnya.
Semua itu merupakan tanda-tanda wujud dan kebesaran Allah SWT. Yang lebih mengherankan dan menakjubkan dari itu semua adalah bahwa lebah, sapi atau kambing tersebut menghasilkan madu dan susu melebihi kebutuhannya dengan tujuan agar manusia pun-sebagai makhluk yang memiliki kelebihan tersendiri-dapat mengambil manfaat darinya. Hanya saja, manusia yang durhaka ini malah mengingkari Sang Pemberi karunia dan nikmat tersebut dengan cara menentang-Nya.
Kita akan lebih banyak menemukan tanda-tanda kekuasaan dan pengaturan Sang Pencipta yang Mahabijak yang lebih menakjubkan di dalam raga manusia. Organ-organ tubuh manusia itu tersusun begitu rapi. Setiap organ tersusun dari jutaan sel yang hidup secara mandiri. Padahal seluruh sel itu tumbuh dan berasal dari satu sel betina. Dan setiap sel itu mengandung bahan-bahan yang dibutuhkan dengan porsi tertentu. Dan, masing-masing organ itu diletakkan pada tempatnya yang sesuai. Kita perhatikan pula bagaimana organ-organ berfungsi; menghirup oksigen melalui paru-paru, lalu memindahkannya melalui darah merah, juga aktivitas-aktivitas hati untuk membuat gula yang diperlukan kemudian menyingkirkan sel-sel yang rusak dan menggantikannya dengan sel-sel yang baru dan memusnahkan kuman-kuman melalui mekanisme tertentu. Demikian pula cara kerja organ-organ tubuh lain yang begitu mengagumkan. Semua itu menunjukkan wujud dan kebesaran Sang Penciptanya.
Siapakah yang mengadakan sistem cipta yang sangat menakjubkan ini, dimana ribuan ilmuwan sepanjang sejarah umat manusia tidak mampu mengungkap rahasia-rahasia alam penciptaan. Setiap sel merupakan sistem kecil yang mempunyai tujuan. Dan setiap kelompok dari sel-sel itu membentuk anggota yang merupakan sistem yang lebih besar. Kumpulan dari kelompok-kelompok yang banyak dan rumit itu membentuk satu sistem badan yang lebih luas dan terarah pada tujuan yang khas.
Tidak berakhir sampai di situ saja. sistem-sistem yang tak terhingga, yang terdiri dari makhluk-makhluk bernyawa dan mati itu, membentuk tata cipta yang universal sebagai alam yang diatur oleh Tuhan Yang Esa dengan pengaturannya yang cermat dan bijak. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Demikian itulah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?" (QS. Al-An'am: 95).
Jelas bahwa semakin banyak dan luasnya pengetahuan manusia dan semakin banyak sistem serta hubungan antara fenomena alam yang dapat disingkap, maka semakin jelas pula rahasia-rahasia penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi, memikirkan fenomena alam yang sederhana melalui dalil-dalil yang jelas sudah cukup bagi hati yang tulus untuk membuktikan keberadaan wujud Sang Pencipta alam yang Mahakuasa.[]

Jawablah pertanyaan- pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan cara-cara untuk membuktikan wujud Allah SWT dan jelaskan pula keistimewaan masing-masing cara tersebut!
2. Apakah cara yang paling mudah untuk membuktikan wujud Allah SWT dan apakah keistimewaan cara mudah itu?
3. Jelaskan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada sebagian makhluk-Nya!


7
PELAJARAN 7 PELAJARAN 7

Pembuktian atas "Wajibul Wujud"

Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu bahwa para filosof Ilahi dan para ulama Kalam telah menghimpun sejumlah argumentasi dalam membuktikan wujud Allah. Dan hal ini telah dibahas dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam secara terinci. Pada pelajaran ini, kami akan memilih sebuah argumen saja dari sekian banyak argumen tersebut. Argumen ini berlandaskan pada premis-premis yang lebih sedikit sehingga akan lebih mudah untuk dipahami. Meski demikian, argumen ini tampak lebih kuat.
Sebelumnya perlu ditekankan bahwa argumen ini dapat membuktikan wujud Allah sebagai Wajibul Wujud (wujud yang pasti). Artinya, Allah swt. itu maujud, dan wujud-Nya merupakan hal yang dharuri (pasti) tanpa memerlukan sesuatu lain yang mewujudkan-Nya. Adapun untuk menetapkan sifat-sifat Allah, yang positif (tsubutiyah) maupun yang negatif (salbiyah) seperti; sifat ilmu, kuasa, tidak beraga, tak terbatas oleh ruang dan waktu, hal ini itu tidak dapat dibuktikan oleh dalil ini, akan tetapi harus dibuktikan oleh dalil lain.

Bentuk Argumentasi
Berdasarkan asumsi rasional, realitas terbagi menjadi dua; wajibul wujud (yang pasti adanya) dan mumkinul wujud (yang mungkin adanya). Secara rasional, tidak ada satu realitas pun yang keluar dari asumsi tersebut. Dan kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas itu mumkinul wujud. Karena setiap mumkinul wujud membutuhkan kepada sebab.
Apabila setiap sebab masih berupa mumkinul wujud, maka ia adalah akibat yang tentunya membutuhkan kepada sebab yang lain. Dan pada akhirnya, tidak akan ada realitas apa pun sama sekali. Artinya, bahwa rangkaian sebab itu sebenarnya adalah rangkaian akibat "yang mungkin" dan tidak pasti adanya. Oleh karena itu, rangkaian mumkinul wujud menjadi ada tatkala berakhir kepada suatu realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apapun. Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan berakhir pada wajibul wujud.
Argumen di atas ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan wujud Allah. Ia terdiri dari beberapa premis rasional, tanpa terlibat premis empirik di dalamnya. Akan tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan sejumlah konsep dan istilah filosofis, terlebih dahulu kita harus menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini.

"Wujub" dan "Imkan"
Setiap proposisi (qadhiyah), sekalipun yang paling sederhana, sekurang-kurangnya mesti tersusun dari dua konsep; subjek (maudhu') dan predikat (mahmul). Misalnya proposisi yang berbunyi: "Matahari bersinar". Proposisi ini terdiri dari matahari sebagai subjek dan bersinar sebagai predikat.
Lalu, tertetapkannya predikat pada subjek tidak keluar dari tiga keadaan; satu, ketetapan predikat pada subjek bersifat mustahil (mumtani'). Contohnya, angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Dua, tertetapkannya predikat pada subjek itu bersifat pasti (dharuri). Contohnya, 2 itu adalah 1/2 dari 4. Tiga, tertetapkannya predikat pada subjek bersifat tidak mustahil sekaligus tidak pasti. Contohnya, matahari berada di atas kepala kita.
Dalam Logika dijelaskan bahwa proposisi pada keadaan pertama itu bersifati mumtani', yaitu tidak mungkin terjadi, seperti pada contoh pertama tadi bahwa angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Pada keadaan kedua, proposisi itu bersifat dharuri atau wajib, yaitu niscaya dan pasti. Dan pada keadaan ketiga, proposisi itu bersifat mumkan (mungkin) dengan makna khusus. Lantaran Filsafat hanya membahas sesuatu yang ada, para filosof mambagi realitas kepada dua bagian, wajibul wujud dan mumkinul wujud.
Wajibul wujud adalah realitas yang ada dengan sendirinya; tidak bergantung kepada realitas yang lain. Tentu, realitas ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir).Karena, apabila sesuatu itu ma'dum (tiada) pada masa tertentu, ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu itu bukan berdasarkan pada dirinya sendiri, akan tetapi wujudnya membutuhkan kepada realitas selainnya yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Tentunya, jika sebab atau syarat itu tidak ada, sesuatu tersebut tidak akan mengada.
Sedangkan mumkinul wujud adalah realitas yang ada tidak dengan sendirinya, akan tetapi wujudnya diadakan dan bergantung kepada realitas selainnya. Dengan kata lain, mumkinul wujud tidak mungkin terwujud kecuali dengan perantara selainnya.
Penjelasan rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani'ul wujud (wujud yang mustahil). Pada saat yang sama, penjelasan ini tidak mengidentifikasi; apakah realitas di luar itu wajibul wujud ataukah mumkinul wujud. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan kebenaran sebuah proposisi tersebut dengan tiga asumsi.
Pertama, setiap realitas itu wajibul wujud.
Kedua, setiap realitas itu mumkinul wujud.
Ketiga, sebagian realitas itu wajibul wujud, dan sebagian lainnya adalah mumkinul wujud.
Berdasarkan asumsi pertama dan ketiga, keberadaan wajibul wujud sudah tertetapkan. Yang harus kita bahas lebih lanjut ialah asumsi kedua, yaitu apakah mungkin setiap realitas itu mumkinul wujud? Kalau kita dapat menggugurkan asumsi ini, maka dapat ditegaskan keberadaan wajibul wujud secara pasti, walaupun untuk menetapkan keesaan dan seluruh sifat-sifat-Nya diperlukan argumentasi tersendiri.
Untuk menggugurkan asumsi kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke dalam argumen terdahulu itu, yaitu bahwa seluruh realitas tidak mungkin bersifat mumkinul wujud. Akan tetapi, premis ini bukanlah premis yang badihi; jelas dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan premis ini sebagai berikut:
? Bahwa mumkinul wujud itu butuh kepada sebab.
? Bahwa rangkaian sebab yang tak berujung adalah muhal (mustahil). Maka itu, rangkaian sebab harus berakhir kepada realitas yang bukan berupa mumkinul wujud dan juga tidak butuh lagi kepada sebab. Artinya, ia adalah wajibul wujud.
Dari sinilah sebagian konsep filosofis lainnya terlibat di dalam argumentasi ini dan perlu kepada penjelasan.

Sebab dan Akibat
Apabila wujud realitas itu bergantung kepada realitas yang lain, di dalam Filsafat, realitas yang bergantung itu disebut sebagai akibat (ma'lul), dan realitas yang digantunginya disebut sebagai sebab ('illah). Dan boleh jadi sebab ini sendiri masih bergantung kepada sebab yang lain.
Artinya, bahwa pada gilirannya sebab itu sendiri masih membutuhkan dan bergantung kepada sebab yang lain, dimana ia juga adalah akibat dari realitas ketiga ini. Namun, jika sebab itu bukan akibat dan tidak bergantung kepada yang lain, maka ia adalah sebab mutlak yang tidak butuh kepada selainnya sama sekali. Dengan ini, kita telah mengenal dua istilah filsafat; sebab dan akibat, serta definisi keduanya.
Selanjutnya, kami akan menjelaskan premis bahwa setiap mumkinul wujud membutuhkan kepada sebab. Mengingat bahwa mumkinul wujud itu mengada tidak dengan sendirinya, maka wujud mumkinul wujud tersebut bergantung kepada realitas yang lain. Dan karena qadhiyah berikut ini gamblang; yaitu ketika suatu predikat dibandingkan dengan suatu subjek, adakalanya predikat itu bisa ditetapkan pada subjek itu secara dzati (substansial), dan adakalanya ditetapkan secara aradhi (aksidental; karena sesuatu yang lain).
Misalnya, adakalanya sesuatu itu terang secara substansial (dengan sendirinya), adakalanya ia terang karena sesuatu yang lain, misalnya cahaya. Atau, setiap benda (jism) adakalanya berminyak dengan sendirinya, atau berminyak dengan perantara yang lain seperti: minyak. Adapun asumsi bahwa sesuatu itu terang atau berminyak tidak dengan sendirinya, tidak pula melalui perantara yang lain, adalah asumsi yang absurd.
Maka itu, adakalanya ketetapan wujud (sebagai predikat) pada suatu subjek secara substansial, yaitu dengan sendirinya dan tanpa perantara yang lain, atau dengan perantara yang lain.Apabila ketetapan wujud pada suatu subjek tidak dengan sendirinya, pasti wujudnya itu ditetapkan dengan perantara yang lain. Atas dasar ini, setiap mumkinul wujud (yang mungkin wujudnya) itu ada dengan perantara yang lain dan ia adalah akibat baginya.
Adalah kaidah Logika yang diterima oleh semua orang yang berakal, bahwa setiap mumkinul wujud membutuhkan sebab.Namun, berangkat dari pengertian Hukum Kausalitas; bahwa setiap realitas membutuhkan kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya wujud Allah SWT itu pun mempunyai sebab. Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah realitas secara mutlak, akan tetapi realitas yang mumkin atau ma'lul (akibat). Dengan kata lain, setiap realitas "yang tidak berdiri sendiri" membutuhkan sebab, bukan setiap realitas tanpa ajektif itu.

Kemustahilan Tasalsul
Premis terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini ialah bahwa mata rantai sebab harus berakhir pada realitas yang dirinya bukan lagi akibat. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh ahli Kalam, bahwa tasalsul (mata rantai akibat-sebab yang tak berujung) itu mustahil. Atas dasar ini, dapat dibuktikan wujud Tuhan sebagai wajibul wujud. Bahwa wajibul wujud merupakan sebab pertama yang ada dengan sendirinya dan tidak perlu kepada wujud yang lain.
Para filosof telah mengajukan berbagai argumen untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini, meski pada dasarnya hal itu adalah masalah yang nyaris badihi (tidak perlu pembuktian). Dan setiap orang-sejenak saja merenungkan-akan dapat memastikan kemustahilan tasalsul. Artinya, setiap wujud akibat itu membutuhkan sebab. Keberadaannya disyarati oleh keberadaan sebab tersebut.
Apabila diasumsikan bahwa segala sesuatu itu adalah akibat; yang semuanya membutuhkan sebab, tentu tidak akan terealisasi realitas apa pun. Karena tidaklah logis mengasumsikan adanya mata-rantai yang saling bergantungan tanpa suatu wujud yang merupakan puncak kebergantungan mata rantai tersebut.
Sebagai contoh, lomba lari maraton.Apabila seluruh peserta lomba berdiri di garis star, berarti mereka siap untuk berlomba. Akan tetapi, setiap anggota tidak mau memulai untuk berlari kecuali apabila yang lainnya memulai lari terlebih dahulu. Nah, apabila keputusan semacam ini diambil oleh seluruh peserta, maka tidak akan terjadi perlombaan tersebut. Begitu pula, apabila wujud segala sesuatu itu disyarati dengan wujud yang lain, tidak akan terwujud sesuatu apa pun, sama sekali.
Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di luar ini merupakan bukti atas keberadaan realitas yang tidak membutuhkan; yang wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud selainnya.

Perumusan Argumen
Berdasarkan premis-premis tersebut-sekali lagi-kami akan menjelaskan rumusan argumen di atas. Bahwa wujud segala sesuatu "yang mungkin" tidak lepas dari dua kondisi; wujudnya itu bersifat pasti, dharuri dan ada dengan sendirinya yang diistilahkan dengan wajibul wujud, atau tidak bersifat dharuri, akan tetapi wujudnya tergantung kepada yang lain. Wujud yang demikian ini diistilahkan dengan mumkinul wujud.
Dengan kata lain, bahwa sesuatu itu adalah wajibul wujud atau mumkinul wujud. Jelas bahwa apabila wujud sesuatu itu bersifat mumtani' (tidak mungkin), maka sesuatu itu tidak akan terwujud sama sekali, dan kita tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu apapun. Dengan demikian, setiap sesuatu adalah sebagai wajibul wujud atau mumkinul wujud.
Lalu, jika kita pikirkan konsep mumkinul wujud secara teliti, jelas bahwa sesuatu yang menjadi mishdaq[1] dari konsep itu niscaya sebagai akibat dan membutuhkan kepada sebab. Karena, sesuatu yang ada tidak dengan sendirinya dan keberadaannya membutuhkan kepada perantara yang lainnya, wujudnya itu menjadi niscaya melalui perantara yang lainnya. Sebagaimana setiap sifat yang tidak bisa ditetapkan dengan sendirinya, mesti ditetapkan dengan perantara.
Inilah pengertian Hukum Kausalitas, bahwa setiap sesuatu yang wujudnya itu lemah atau mempunyai ketergantungan dan bersifat mumkinul wujud, tentu ia membutuhkan sebab. Ketika dinyatakan bahwa "setiap sesuatu" membutuhkan sebab tidak berarti bahwa Allah pun butuh kepada sebab, tidak pula berarti bahwa iman kepada Allah, Dzat Yang tak bersebab, bertentangan dengan Hukum Kausalitas.
Dari sisi lain, jika dikatakan bahwa setiap yang ada itu adalah mumkinul wujud dan butuh kepada sebab, maka tidak akan ada sesuatu apa pun. Hal ini sebagaimana misal yang telah kami kemukakan, bahwa setiap peserta dari kelompok lomba maraton, apabila menggantungkan keputusan larinya kepada yang lainnya, maka perlombaan itu tidak akan berlangsung, sama sekali.
Dengan demikian, hal-hal yang ada di luar itu merupakan dalil atas keberadaan wajibul wujud.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan istilah imkan dan wujub dalam Logika dan Filsafat!
2. Terangkan definisi wajibul wujud dan mumkinul wujud!
3. Apakah keadaan-keadaan yang dapat diasumsikan untuk membagi sesuatu secara aqli kepada wajibul wujud dan mumkinul wujud?
4. Jelaskan definisi sebab dan akibat!
5. Apakah pengertian Hukum Kausalitas itu?
6. Mengapa mumkinul wujud itu membutuhkan sebab?
7. Apakah Hukum Kausalitas memestikan bahwa Allah pun mempunyai sebab? Mengapa?
8. Apakah beriman kepada Allah sebagai dzat yang bukan makhluk itu bertentangan dengan Hukum Kausalitas?
9. Jelaskan kemustahilan tasalsul!
10. Terangkan rumusan logis argumen filosofis dan jelaskan secara cermat klaim yang diupayakan pembuktiannya!
________________________________________
[1] Mishdaq merupakan istilah penting dalam tradisi Logika klasik dan Filsafat Islam. Istilah Arab ini digunakan sebagai bandingan langsung untuk istilah mafhum atau konsep. Maka, bila mafhum atau konsep itu didefinisikan sebagai gambaran pengetahuan di mental, mishdaq di sini ialah apa saja yang gambaran pengetahuan itu bisa diterapkan dan berlaku padanya. Menurut pengertian ini, mishdaq tidak selalunya dan semuanya di luar mental; yakni di alam luar yang konkret ini, sebagaimana wujud Hasan atau Husein sebagai mishdaq dalam perbandingan mereka dengan konsep manusia atau konsep anak, tetapi juga bisa di dalam (satu lapisan) mental. Misalnya, konsep manusia itu adalah sebuah mishdaq dari konsep "yang universal", atau dari konsep "spesis". Terkadang, istilah mishdaq diper-kenalkan secara leksikal dengan kata intanta, terapan, ekstensi, personifikasi. Di sini dan untuk selanjutnya, kami menggunakan istilah ini sebagaimana aslinya (peny.)


8
PELAJARAN 8 PELAJARAN 8

Sifat-sifat Allah

Mukaddimah

Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa sebagian besar argumen filosofis itu digunakan untuk menetapkan dzat yang dikenal sebagai wajibul wujud. Jika argumen itu ditambahkan dengan argumen-argumen yang lain, maka akan dapat ditetapkan sifat-sifat salbiyah (negatif) dan sifat-sifat tsubutiyah (positif) pada wajibul wujud.
Melalui semua argumen itu kita mengenal Allah SWT dengan segala sifat-Nya yang khas yang membedakan dzat-Nya dari makhluk-makhluk-Nya. Jika tidak demikian, maka sekedar menetapkan bahwa Allah itu adalah wajibul wujud tidaklah memadai untuk mengenal Allah sebagaimana semestinya. Karena, sangat mungkin sebagian orang mempunyai keyakinan bahwa materi atau energi-misalnya-merupakan mishdaq dari konsep wajibul wujud.
Dari sinilah penting bagi kita-dari satu sisi-untuk menetapkan sifat-sifat salbiyah pada Allah, supaya kita dapat mengetahui bahwa wajibul wujud itu suci dari sifat-sifat yang khas pada makhluk-makhluk-Nya, yang tidak mungkin diterapkan pada dzat-Nya.
Dari sisi lain, kita juga harus menetapkan sifat-sifat tsubutiyah pada Allah, agar menjadi jelas bahwa Dialah yang layak untuk disembah, dan agar terbuka peluang untuk menetapkan semua keyakinan-keyakinan lainnya seperti Kenabian, Ma'ad dan masalah-masalah rinciannya.
Melalui argumen yang lalu, kita telah sampai pada kesimpulan bahwa wajibul wujud itu tidak membutuhkan sebab. Bahkan, Dialah sebab bagi semua realitas yang mungkin. Jadi, kita telah menetapkan dua sifat bagi wajibul wujud:
Pertama, bahwa wajibul wujud tidak butuh kepada selain-Nya, karena kalau ia butuh kepada wujud yang lain sekecil apa pun, maka wujud yang lain itu merupakan sebab bagi-Nya. Dan telah kita ketahui makna sebab dalam Filsafat, yaitu bahwa wujud sesuatu itu dibutuhkan untuk keberadaan sesuatu yang lain.
Kedua, bahwa semua yang mungkin (mumkinul wujud) adalah akibat dan butuh kepada sebab. Jadi, wajibul wujud merupakan sebab utama bagi kemunculan dan keberadaan wujud-wujud mungkin tersebut.
Berdasarkan dua kesimpulan ini, kami berusaha membahas konsekuensi masing-masing yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Kita juga akan membuktikan adanya sifat-sifat negatif dan sifat-sifat positif bagi wajibul wujud. Tentunya, untuk menetapkan tiap-tiap sifat telah dibawakan argumen-argumen yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam. Akan tetapi, demi memudahkan pemahaman secara merata dan menjaga keutuhan antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lain, kita akan memilih argumen-argumen yang ada kaitannya dengan argumen yang telah lalu.

Azali dan Abadinya Allah SWT
Apabila realitas itu akibat dan membutuhkan realitas yang lain, maka mujudnya itu bergantung kepada wujud selainnya. Dan apabila wujudnya itu tiada, tentu ia tidak lagi mewujud. Artinya, apabila wujud itu sirna pada saat tertentu, hal ini menunjukkan ketergantungan (faqr)-nya, butuh kepada yang lain, dan menunjukkan dirinya sebagai mumkinul wujud. Mengingat bahwa wajibul wujud itu ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang selainnya, ia adalah abadiyul wujud (wujudnya abadi dan azali).
Dari uraian di atas, kita dapat menetapkan dua sifat pada wajibul wujud. Pertama, bahwa wajibul wujud itu bersifat azali, yakni Dia tidak didahului oleh ketiadaan. Kedua, Dia adalah abadi, yakni tidak akan tersentuh oleh ketiadaan selama-lamanya. Terkadang kedua sifat ini disederhanakan ke dalam sifat sarmadi.
Berdasarkan penjelasan ini, setiap sesuatu yang didahului oleh ketiadaan, atau menyimpan kemungkinan menjadi sirna walaupun hanya sekejap, ia bukanlah wajibul wujud. Dengan demikian jelaslah kemustahilan asumsi wajibul wujud pada hal-hal material.

Sifat-sifat Negatif
Sifat lainnya yang merupakan keniscayaan wajibul wujud adalah basathah (sederhana dan tidak tersusun). Bahwa setiap yang tersusun pasti membutuhkan bagian-bagian, sedangkan wajibul wujud suci dari segala kebutuhan. Apabila kita berasumsi bahwa wajibul wujud itu tersusun, akan tetapi bagian-bagiannya tidak ada secara fi'li (aktual) dan akan muncul secara bil quwwah (potensial)-layaknya sebuah garis yang diasumsikan terbelah menjadi dua-asumsi ini batil. Karena, sesuatu yang mempunyai bagian-bagian secara bil quwah bisa dibagi secara rasional, walaupun secara fi'li (aktual) bagian-bagiannya itu belum terealisasi di luar. Asumsi bahwa ia dapat dibagi ialah bahwa secara keseluruhan ia bisa sirna, seperti garis yang panjangnya satu meter. Apabila garis itu dibagi dua, garis yang panjangnya satu meter tersebut tidak ada lagi. Dan telah kita ketahui sebelumnya, bahwa wajibul wujud tidak mungkin mengalami kefanaan dan kesirnaan.
Mengingat bahwa susunan dari bagian-bagian bil fi'li (aktual) dan bil quwah (potensial) itu termasuk karakter jism (benda), dapat ditetapkan bahwa setiap yang bendawi tidak mungkin sebagai wajibul wujud. Dengan kata lain, berdasarkan hal di atas itu kita dapat menetapkan tajarrud (kenon-materian) Allah. Menjadi Jelas pula bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat dengan mata kepala, tidak mungkin dapat dijangkau dengan indra apa pun, karena setiap yang dapat dijangkau oleh indra merupakan sifat-sifat khas benda dan materi.
Demikian pula dengan ternafikannya ihwal kebendaan dari dzat Allah, akan ternafikan pula semua sifat khusus benda dari wajibul wujud, seperti butuh kepada tempat dan masa. Karena, tempat ialah sesuatu yang memiliki bentuk dan panjang. Begitu pula segala sesuatu yang bersifat masa ialah yang dapat dibagi kepada ekstensi dan durasi masa. Dua hal ini merupakan bagian-bagian yang bil quwah (potensial) pada benda.
Dengan demikian, kita sama sekali tidak mungkin menggambarkan Allah SWT itu sebagai dzat yang butuh kepada tempat dan masa. Begitu pula, segala sesuatu yang membutuhkan tempat dan masa bukanlah wajibul wujud. Kemudian dengan ternafikannya waktu dari wajibul wujud, akan ternafikan pula gerak, perubahan dan penyempurnaan dzat. Karena, setiap gerak atau perubahan apa pun tidak mungkin terwujud tanpa masa.
Oleh karena itu, orang-orang yang meyakini bahwa Allah SWT berada pada satu tempat seperti 'arsy atau menisbahkan gerak dan turun dari langit kepada-Nya, atau meyakini bahwa Allah bisa dilihat dengan mata, atau dapat berubah dan meningkat, berarti mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya. Secara global, setiap arti dan konsep yang menunjukkan kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, ternafikan dari dzat Allah. Inilah arti sifat salbiyah Ilahiyah (sifat-sifat negatif bagi Allah).

Sebab Pengada
Kesimpulan kedua yang dapat kita ambil dari argumen yang terdahulu, ialah bahwa wajibul wujud merupakan sebab bagi keberadaan makhluk-Nya. Berikut ini kami akan membahas konsekuensi dari kesimpulan ini. Pertama-tama, kami akan jelaskan macam-macam sebab, kemudian menyelidiki keistimewaan-keistimewaan Sebab Ilahi.
Sebab-menurut maknanya yang umum-dapat diterapkan kepada setiap realitas yang kepadanya realitas lain bergantung. Pada pengertian ini, sebab mencakup syarat-syarat dan sebab penyiap (illah mu'iddah). Dan sebab semacam ini tidak berlaku pada Allah. Tidak adanya sebab bagi Allah SWT artinya bahwa Dia-sedikit pun-tidak mempunyai ketergantungan dengan realitas yang lain. Maka itu, tidak mungkin kita menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai syarat dan pengada (bagi wujud-Nya).
Adapun makna Allah sebagai sebab bagi seluruh realitas ialah bahwa sebagai pencipta dan pengada, Dia merupakan makna khusus dari 'illah fa'iliyah (sebab pelaku, efficient cause). Untuk menjelaskan poin ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui secara global akan macam-macam sebab. Penjelasan yang lebih luas mengenai hal ini bisa dirujuk ke kitab-kitab Filsafat.
Telah kita ketahui, bahwa secara pasti munculnya tumbuh-tumbuhan di atas bumi ini disebabkan oleh adanya bibit-bibit, tanah yang subur, air dan udara. Di samping itu, harus terpenuhi faktor-faktor lainnya seperti; faktor alami atau insani yang menebarkan bibit-bibit tersebut di atas tanah dan mengalirkan air ke atasnya. Berdasarkan definisi sebab yang telah kami jelaskan, semua faktor-faktor ini merupakan sebab munculnya tumbuh-tumbuhan tersebut.
Dari aspek-aspek tertentu, sebab-sebab tersebut dapat diklasifikasikan kepada beberapa macam. Misalnya, sebab-sebab yang keberadaannya selalu dharuri (mesti) bagi terwujudnya akibat dinamakan sebagai sebab hakiki. Sekelompok sebab yang kesinambungannya tidak diperlukan untuk kesinambungan wujud akibat, seperti petani kaitannya dengan tanaman, dinamakan sebagai sebab penyiap. Ada pula sebab-sebab yang posisinya dapat digantikan oleh sebab-sebab selainnya dinamakan sebagai sebab alternatif (illah badilah). Sedangkan sebab-sebab yang posisi dan pengaruhnya tidak mungkin digantikan oleh selainnya dinamakan sebagai sebab definitif ('illah munhasirah).
Terdapat satu macam sebab yang berbeda dengan sebab-sebab tersebutkan pada realitas tumbuh-tumbuhan di atas. Sehubungan dengan sebab ini, kita dapat temukan mishdaq-nya pada jiwa manusia, sebagian keadaan dan kondisi kejiwaannya. Ketika seseorang menciptakan suatu bayangan di dalam benaknya atau bertekad mengerjakan suatu tindakan, terjadilah di dalam dirinya suatu fenomena nafsiyah (kejiwaan) yang dinamakan dengan gambaran mental (shuroh dzihniyah), atau kehendak yang keberadaannya merupakan akibat dan bergantung kepada keberadaan jiwa (nafs). Jelas, akibat semacam ini tidak memiliki kemandirian sedikit pun dari sebabnya, dan tidak mungkin berpisah dan mandiri dari wujud sebabnya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, kita perhatikan bahwa penciptaan jiwa (fa'iliyah nafs) atas gambaran di mental atau atas kehendak memerlukan syarat-syarat tertentu yang muncul lantaran kekurangan, keterbatasan dan kemungkinan (imkan) wujud yang merupakan sifat-sifat substansial jiwa.
Oleh karena itu, penciptaan (fa'iliyah) wajibul wujud atas alam semesta jauh lebih hebat dan lebih sempurna dibandingkan penciptaan jiwa atas keadaan dan pengalaman-pengalaman dirinya. Kita tidak akan mendapatkan padanan efesiensi (fa'iliyah) Tuhan atas seluruh efesiensi, karena efesiensi Allah sama sekali tidak butuh kepada apapun untuk mengadakan akibat-Nya, yaitu akibat yang sekujur wujudnya hanyalah ketergantungan mutlak kepada-Nya.

Keistimewaan Sebab Pengada
Berdasarkan penjelasan di atas, kami dapat menyebutkan sifat-sifat khas yang penting yang dimiliki oleh Sebab Pengada.
Pertama, Sebab Pengada memiliki seluruh kesempurnaan akibatnya secara lebih sempurna, sehingga ia bisa memberikan kesempurnaan kepada setiap akibat sesuai dengan kapasitas wujudnya masing-masing. Berbeda halnya dengan sebab penyiap dan sebab materi yang berlaku sebagai pengadaan lahan yang sesuai untuk perubahan pada wujud akibat, bukan untuk wujudnya itu sendiri. Oleh karena itu, sebab penyiap dan sebab materi tidak mesti mencakup kesempurnaan-kesempurnaan akibatnya.
Misalnya, tersedianya tanah itu tidak perlu kepada kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan, atau keberadaan kedua orang tua tidak butuh kepada kesempurnaan anak-anaknya. Adapun Allah SWT sebagai sebab pengada (illah mujidah), mesti memiliki semua kesempurnaan-kesempurnaan wujud segala sesuatu, di samping sifat basatah-Nya (ketaktersusunan).
Kedua, Sebab Pengada itu mewujudkan akibatnya dari ketiadaan. Yakni, Dia menciptakan (khalq) akibatnya. Akan tetapi, penciptaannya ini tidak mengurangi wujudnya, sedikitpun.Berbeda sebab alami (fa'il tabi'i) yang aktif; mengubah akibat yang ada dengan mengerahkan seluruh potensi. Apabila diasumsikan ada sesuatu yang terpisah dari dzat wajibul wujud, ini berarti bahwa dzat Allah dapat dibagi dan berubah. Padahal, ini telah jelas kemustahilannya.
Ketiga, Sebab Pengada merupakan sebab sejati ('illat hakikiyah). Oleh sebab itu, keberadaannya merupakan dharuri (niscaya) untuk kesinambungan wujud akibatnya. Berbeda dengan sebab penyiap; kesinambungan akibatnya tidak lagi butuh kepadanya.
Searah dengan penjelasan ini, maka apa yang telah disampaikan oleh sebagian mutakalimin Ahli Sunnah bahwa kekekalan alam semesta tidak butuh kepada Allah SWT, begitu juga apa yang dikatakan oleh sebagian filsuf Barat, bahwa alam materi ini laksana jam yang telah diatur dan diukur putaran waktunya lalu secara otomatis bergerak dengan sendirinya, maka alam semesta ini; tidak butuh lagi kepada Allah dalam melanjutkan berbagai aktifitasnya, pandangan-pandangan seperti ini jauh dari kebenaran. Karena, alam wujud ini selalu butuh dan bergantung kepada Allah SWT dalam segala keadaannya. Apabila Allah menghentikan anugerah-Nya, meski untuk sekejap saja, tidak akan ada lagi yang tersisa dari alam tersebut.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Kenapa kita harus mengenal sifat-sifat Allah?
2. Apakah kesimpulan dari argumen-argumen yang telah lalu?
3. Apakah argumen atas ke-sarmadi-an Allah?
4. Bagaimana kita dapat menetapkan bahwa dzat Ilahi itu basith (tidak tersusun) dan suci dari bagian-bagian, baik secara fi'li maupun bil quwah?
5. Apakah dalil atas ketakbendaan Allah?
6. Mengapa kita tidak mungkin bisa melihat Allah dengan mata kepala?
7. Apakah argumen atas kemustahilan masa, zaman dan tempat pada dzat Allah?
8. Apakah kita dapat menisbatkan gerak dan diam kepada Allah SWT dan mengapa?
9. Sebutkan macam-macam sebab!
10. Sebutkan sifat-sifat khas Sebab Pengada!


9
PELAJARAN 9 PELAJARAN 9

Sifat-sifat Dzatiyah

Mukaddimah

Dari uraian yang lalu, kita ketahui bahwa Allah SWT merupakan Sebab Pengada bagi alam semesta ini, dimana seluruh kesempurnaan wujud terdapat pada dzat-Nya, dan berbagai kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap maujud apa pun bersumber dari-Nya, tanpa mengurangi kesempurnaan zat-Nya sedikit pun ketika Dia menganugerahkan kesempurnaan tersebut kepada makhluk-makhluk-Nya. Poin ini dapat didekatkan melalui contoh berikut ini; ketika seorang guru mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, ilmu yang dimilikinya itu tidak berkurang sedikit pun. Sudah pasti bahwa anugerah wujud dan segenap kesempurnaan wujud dari Allah SWT itu jauh lebih unggul dan mulia daripada contoh tersebut.
Barangkali ungkapan yang lebih mendekati hal ini ialah bahwa alam wujud itu merupakan nur dan tajalli (manifestasi) dari dzat Ilahi Yang Mahasuci. Ungkapan semacam ini dapat ditemukan pada ayat yang berbunyi:
"Allah adalah nur bagi langit dan bumi." (QS. an-Nur: 35)
Mengingat bahwa kesempurnaan Ilahi itu tidak terbatas, maka setiap konsep (mafhum) yang mengungkapkan kesempurnaan yang tidak melazimkan apapun kekurangan dan batasan dapat diterapkan pada Allah, sebagaimana konsep-konsep kesempurnaan yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an, hadis-hadis dan doa-doa serta munajat para Imam as seperti; cahaya (An-Nur), sempurna (Al-Kamal), indah (Al-Jamal), cinta (Al-Mahabbah), dan ungkapan lainnya (yang menjelaskan kesempurnaan mutlak pada Allah.
Adapun sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam Islam amatlah terbatas. Sifat-sifat itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi'liyah. Mula-mula, kami akan menjelaskan dua bagian tersebut. Setelah itu, kami akan memaparkan sifat yang paling penting di antara sifat-sifat itu, kemudian menetapkannya dan membawakan argumentasinya.

Sifat-sifat Dzatiyah dan Fi'liyah
Sesungguhnya sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah, adakalanya berupa konsep-konsep (gambaran di mental) yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat Allah, sambil menekankan bahwa sifat-sifat tersebut mencakup berbagai kesempurnaan seperti; sifat hidup (Al-Hayah), ilmu (Al-'Ilm), dan kuasa (Al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya.Atau, adakalanya sifat-sifat itu berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Allah SWT dengan makhluk-makhluk-Nya seperti; penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan pemberian rizki (Ar-Razikiyah). Kelompok pertama disebut sebagai sifat-sifat dzatiyah, dan kelompok kedua sebagai sifat-sifat fi'liyah.
Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat pada kelompok pertama merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Ilahi yang suci-Nya. Adapun sifat-sifat pada kelompok kedua merupakan relasi (nisbah) antara Allah dan makhluk-Nya. Di sini, dzat Allah dan dzat makhluk-Nya merupakan dua sisi relasi, misalnya Al-Khaliqiyah. Sifat ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Allah. Dalam hal ini, Allah SWT dan seluruh makhluk merupakan dua sisi hubungan tersebut. Akan tetapi dalam realitasnya, tidak terdapat apa pun selain dzat Allah yang suci dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-Khaliqiyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata.
Sudah jelas bahwa pada tataran dzat, Allah SWT memiliki sifat Al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun Al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idlafi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran tindakan Allah. Oleh karena itu, Al-Khaliq (pencipta) termasuk sifat fi'liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan Al-Khaliq (pencipta) dengan Al-Qadir 'alal khalq (kuasa untuk mencipta), dalam hal ini ia kembali kepada sifat dzatiyah, yakni Al-Qudrah.
Sifat-sifat dzatiyah Allah yang penting ialah Al-Hayah (hidup), Al-'Ilm (tahu), dan Al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar (As-Sami') dan melihat (Al-Bashir), apabila kita tafsirkan kedua sifat ini bahwa Allah mengetaui apa saja yang didengar dan apa saja yang dilihat, atau kuasa untuk mendengar dan melihat, maka kedua sifat tersebut menginduk kepada Al-'Alim dan Al-Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara tindakan (fi'li) yang dicerap akal dari hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut harus digolongkan ke dalam sifat fi'liyah. Sebagimana sifat ilmu terkadang digunakan dengan pengertian demikian ini. Istilah seperti ini dinamakan sebagai ilmu fi'li.
Sebagian mutakalimin menggolongkan sifat berkata (Al-Kalam) dan berkehendak (iradah) ke dalam sifat dzatiyah, yang Insya Allah hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.

Menetapkan Sifat-sifat Dzatiyah
Cara yang paling mudah untuk menetapkan sifat Al-Hayah, Al-Qudrah dan Al-'Ilm pada Allah SWT adalah sebagai berikut; bahwa tatkala konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhluk-makhluk, ia merupakan kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya adalah sifat-sifat itu pun terdapat pada Sebab Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna. Karena, setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk manapun bersumber dari Sebab Pengada, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat tersebut sehingga menganugerahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin suatu dzat adalah sebagai Pencipta kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memilikinya, atau menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri jahil dan lemah. Jelas, bahwa setiap yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada selainnya (Faqidu As-Syai' La Yu'thihi).
Maka itu, keberadaan sifat-sifat kesempurnaan pada sebagian makhluk-Nya merupakan dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Al-Khaliq (pencipta) tanpa berkurang dan terbatas. Artinya, Allah SWT memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas. Untuk selanjutnya, kami akan membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.

Hidup (Al-Hayat)
Pengertian hidup (Al-Hayat) digunakan untuk dua golongan makhluk. Golongan pertama adalah tumbuhan yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Kelompok kedua adalah hewan dan manusia yang mempunyai perasaan dan kehendak. Akan tetapi, makna pertama dari pengertian hidup meniscayakan adanya kekurangan dan kebutuhan. Karena, kodrat tumbuh dan berkembang pada tumbuhan melazimkan bahwa sesuatu yang tumbuh itu pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan. Akan tetapi, terdapat sebagian faktor dan efek luar yang mewujudkan perubahan dan perkembangan sehingga ia mencapai kesempurnaan terakhirnya secara berangsur-angsur. Kelaziman semacam ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Allah, sebagaimana telah kami bahas pada tema sifat-sifat salbiyyah (negatif).
Adapun makna kedua dari hidup adalah pengertian yang sempurna (tidak melazimkan kekurangan dan kebutuhan), walaupun pada sebagian realitas yang mungkin diliputi oleh sejumlah kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, kita dapat memahami makna hidup ini secara tak terbatas dan tak berkekurangan, murni dari batasan ataupun kebutuhan, sebagaimana makna Al-Wujud dan Al-Kamal.
Sifat hidup yang meniscayakan pengetahuan dan pelaku yang berkehendak termasuk kelaziman wujud nonmateri. Meskipun dinisbahkan kepada makhluk-makhluk hidup fisikal, sebenarnya sifat hidup ini merupakan sifat bagi ruhnya, bukan bagi badan fisisnya. Badan disifati dengan hidup karena ia mempunyai hubungan yang erat dengan ruh. Dengan kata lain, sebagaimana imtidad (ekstensi) merupakan keniscayaan wujud materi, demikian pula hidup merupakan keniscayaan wujud mujarrad (nonmateri).
Dari sini, terbetik argumen lain atas sifat hidup Allah, yaitu bahwa Allah Yang Suci itu bersifat nonmateri dan tidak berbentuk, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu. Dan bahwa setiap yang nonmateri itu memiliki sifat hayat secara substansial (dzati). Dengan demikian, Allah SWT memiliki sifat hidup secara substansial.

Tahu
Tahu merupakan konsep yang paling jelas dan gamblang. Akan tetapi, bila diterapkan pada makhluk-makhluk-Nya, mishdaq konsep ini di luar sangatlah kurang dan terbatas. Sifat tahu demikian ini-yang merupakan sifat makhluk-tidak mungkin berlaku pada Allah. Akan tetapi, akal kita-sekali lagi-dapat menggambarkan mishdaq konsep tersebut secara murni dari kekurangan dan keterbatasan. Yaitu bahwa tahu identik dengan dzat si pengetahu itu sendiri. Inilah ilmu dzati (pengetahan substansial) yang ada pada Allah SWT.
Untuk membuktikan sifat tahu pada Allah SWT, kita dapat menggunakan beberapa cara. Pertama, menggunakan cara yang telah kita gunakan untuk menetapkan seluruh sifat-sifat dzati bagi-Nya. Artinya, mengingat bahwa tahu itu terdapat pada makhluk-makhluk Allah SWT, sudah pasti sifat itu pun terdapat pada-Nya dengan bentuk yang lebih mulia dan sempurna.
Kedua, menggunakan dalil keteraturan (argument from design), yaitu bahwa setiap fenomena atau makhluk yang memiliki keteraturan atau keutuhan lebih banyak, maka lebih banyak menunjukkan pengetahuan penciptanya, sebagaimana kita temukan pada karya ilmiah atau bait kosidah yang indah, atau karya seni yang menunjukkan sejauhmana penciptanya memiliki pengetahuan, cita-rasa dan pengalaman. Tidak mungkin seorang yang berakal akan menganggap bahwa sebuah buku ilmiah atau kitab filsafat ditulis oleh orang bodoh dan tidak berpendidikan. Maka itu, bagaimana mungkin alam semesta beserta isinya yang penuh dengan berbagai rahasia dan keunikan ini diciptakan oleh dzat yang tidak tahu.
Ketiga, menggunakan premis-premis Filsafat Teoritis yang ghairu badihiyah (perlu pembuktian). Misalnya, kaidah Filsafat yang berbunyi: "Setiap maujud nonmateri yang mandiri itu tahu" sebagaimana yang dibuktikan dalam kitab-kitab yang khusus membahas masalah ini.
Perhatian seseorang terhadap pengetahuan Allah itu mempunyai peranan yang besar dalam membangun kepribadiannya. Oleh karena itu, Al-Qur'an seringkali menekankan hal ini. Di antara ayat-ayat yang menyinggung hal itu adalah:
"Dia itu mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (QS. Al-Mu'minun: 19).

Kuasa
Setiap pelaku yang melakukan tindakannya dengan kehendak dan pilihannya disebut bahwa ia memiliki kemampuan atas tindakan tersebut. Dengan demikian, kuasa ialah kekuatan dan dasar bagi pelaku yang memiliki pilihan dalam melakukan tindakan yang mungkin dilakukannya. Setiap kali pelaku itu lebih banyak mempunyai kesempurnaan dari sisi derajat wujudnya, ia semakin banyak mempunyai kekuasaan dan kemampuan. Maka itu, sudah pasti dzat yang mempunyai kesempurnaan yang tak terbatas memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tak terbatas pula. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 20).
Sehubungan dengan ini, perlu kami tekankan beberapa poin berikut ini:
Pertama, setiap tindakan yang ada kaitannya dengan kuasa mesti bersifat mumkin tahaqquq (mungkin terealisasi). Maka, sesuatu yang secara substansial tidak mungkin (mumtani') terwujud, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan, tidak ada hubungannya dengan kuasa. Ungkapan bahwa Allah SWT Mahakuasa atas segala tindakan, tidak berarti bahwa Dia-katakanlah!-mampu menciptakan Tuhan selain-Nya, karena Dia adalah Tuhan yang artinya dzat yang tidak diciptakan, juga tidak berarti bahwa Dia mampu menjadikan angka 2 sebagai angka 2 lebih besar daripada angka 3, atau Dia menciptakan anak sebagai anak sebelum menciptakan bapaknya.
Kedua, kuasa atas segala tindakan tidak menuntut dzat yang berkuasa untuk melakukan segala tindakan yang sanggup ia lakukan. Akan tetapi, ia hanya akan melakukan setiap tindakan yang sesuai dengan kehendaknya. Dan Allah SWT Yang Mahabijak tidak menghendaki kecuali tindakan-tindakan yang baik dan bijak. Dan Dia tidak akan merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak bijak, meskipun Dia Mahakuasa dan Mampu untuk melakukan tindakan yang buruk dan munkar. Hal ini akan kita bahas pada pelajaran Hikmah Ilahiyah.
Ketiga, menurut pengertian yang telah kami jelaskan, kuasa juga mengandung ikhtiar (kebebasan). Di samping Allah SWT memiliki derajat kekuasaan dan kemampuan yang paling tinggi, Dia pun memiliki ikhtiar yang paling tinggi dan sempurna. Tidak mungkin ada faktor apa pun yang memaksa-Nya untuk melakukan suatu tindakn atau mencabut ikhtiar dari-Nya. Karena, wujud dan kemampuan segala sesuatu dan bersumber dari Allah. Maka, tidak mungkin Dia dipaksa dan dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-makhluk-Nya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah pengertian-pengertian yang mungkin dapat diterapkan Allah SWT?
2. Berikan definisi sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah, dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
3. Apakah cara umum yang digunakan untuk menetapkan sifat-sifat dzatiyah?
4. Pengertian apa saja yang digunakan pada sifat hidup? Dan makna apakah yang mungkin dapat digunakan pada Allah SWT?
5. Jelaskan argumen khusus atas sifat hidup Allah SWT!
6. Sebutkan tiga argumen atas pengetahuan Allah!
7. Jelaskan pengertian kuasa dan sebutkan pula argumen tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas!
8. Hal-hal apakah yang tidak mungkin berkaitan dengan kekuasaan Allah SWT?
9. Mengapa Allah tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk dan mungkar?
10. Jelaskan maksud bahwa Allah memiliki kehendak bebas!

10
PELAJARAN 10 PELAJARAN 10

Sifat-sifat Fi'liyah

Mukaddimah


Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa sifat fi'liyah merupakan konsep-konsep di mental yang diperoleh akal dari perbandingan antara dzat Allah dan makhluk-makhluk-Nya, dengan cara mengamati hubungan tertentu di antara keduanya. Dalam hal ini, Khaliq dan makhuk-Nya merupakan dua sisi hubungan, seperti konsep Al-Khaliqiyah yang diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud makhluk-makhluk dengan Allah SWT. Apabila hubungan di antara keduanya ini tidak diamati, konsep tersebut tidak mungkin dapat diperoleh.
Hubungan-hubungan yang mungkin dapat tergambar antara Allah SWT dan makhluk-Nya itu tidak terbatas. Akan tetapi, secara global dan dari satu sisi, hubungan-hubungan tersebut dapat dibagi kepada dua kelompok:
Kelompok pertama, hubungan-hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya yang dapat dipahami dengan cara mengamati secara langsung, seperti Al-Ijad (mewujudkan), Al-Khalq (menciptakan), Al-Ibda` (mengadakan), dan sebagainya.
Kelompok kedua, hubungan-hubungan yang dapat dipahami setelah mempersepsi hubungan-hubungan yang lain seperti; rizki. Karena, pada awalnya kita mesti mengasumsikan adanya hubungan dzat pemberi rizki dan dzat penerima rizki. Setelah itu kita memahami ihwal limpahan rahmat Allah kepadanya, sehingga dengan begitu kita memperoleh konsep Ar-Raziq (pemberi rizki) dan Ar-Razzaq (Mahapemberi rizki).
Bahkan, terkadang kita pun dapat mengonsepkan berbagai hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya sebelum sifat fi'liyah pada Allah SWT itu dipahami. Setelah itu, barulah kita mengamati hubungannya dengan Allah.
Di samping itu, kita dapati pula adanya konsep yang muncul dari beberapa hubungan sebelumnya antara Allah SWT dan makhluk, seperti konsep maghfirah, dimana konsep ini muncul dari rububiyah tasyri'iyah Ilahiyah (pengaturan syariat Ilahi), penentuan Allah terhadap hukum-hukum syariat dan penyimpangan hamba darinya. Dengan demikian, untuk dapat memahami sifat-sifat fi'liyah, kita harus melakukan suatu perbandingan antara Allah SWT dan makhluk-makhluk-Nya, kemudian kita temukan adanya hubungan antara dzat pencipta dan yang dicipta, lalu dengan cara ini kita memperoleh konsep idhafi (relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karena itu, dzat Allah yang suci tidak bisa dijadikan mishdaq sifat-sifat fi'liyah secara tersendiri; tanpa mengamati hubungan tersebut. Inilah perbedaan utama antara sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi'liyah.
Pada pelajaran yang lalu, telah kami jelaskan bahwa kita pun dapat memperhatikan sifat-sifat fi'liyah pada asal- usulnya. Degan begitu, sifat-sifat fi'liyah akan bermuara pada sifat-sifat dzatiyah, sebagaimana pada Al-Khaliq (pencipta) dan al-Khallaq (Maha pencipta). Apabila kita tafsirkan sifat ini dengan Qadir (Mahakuasa) atas makhluknya, maka ia berasal dari sifat Al-Qadir (Mahakuasa). Atau, sifat As-Sami' (Mahadengar) dan sifat Al-Bashir (Mahalihat), yang bila kita tafsirkan kedua sifat ini dengan mengetahui (Al-'Alim) atas hal-hal yang mungkin didengar dan dilihat, maka ia sesung-guhnya berasal dari sifat Al-'Alîm (Mahatahu).
Terdapat pula beberapa konsep yang dapat digolongkan ke dalam sifat-sifat dzatiyah, akan tetapi padanya ditemukan pula adanya makna idhafi (relasional) dan makna fi'li (bersifat aksional). Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut dapat dianggap sebagai sifat-sifat fi'liyah, seperti konsep Al-'Ilm (tahu) yang digunakan Al-Qur'an-di sekian banyak ayat-dengan makna relasional.
Satu hal yang perlu kita catat secara seksama adalah apabila kita temukan adanya hubungan antara Allah dan hal-hal material, sehingga diperolehlah sifat fi'liyah tertentu pada Allah, tentu sifat ini dibatasi oleh tempat dan waktu dari sisi keterkaitannya dengan maujud-maujud materi sebagai salah satu sisi hubungan tersebut. Kendati demikian, bila dilihat dari sisi keterkaitannya dengan Allah sebagai sisi lain hubungan tersebut, sifat ini suci dari batasan apa pun. Misalnya, pemberian rizki Allah kepada seseorang hanya bisa terwujud pada masa dan tempat tertentu.Pada hakikatnya, batasan masa dan waktu ini berkaitan dengan orang yang menerima rizki itu, bukan dengan Allah Sang Pemberi rizki, karena Dia Mahasuci dari penisbahan masa dan tempat apa pun.
Catatan ini merupakan kunci untuk menyelesaikan berbagai keraguan yang dilontarkan terhadap upaya mengenal sifat-sifat dan tindakan Allah yang telah menyebabkan banyaknya pertikaian di antara para ulama dan pemikir.

Pencipta
Setelah kita dapat membuktikan wajibul wujud dan bahwa ia merupakan sebab utama bagi keberadaan mumkinul wujud, dan dengan memperhatikan bahwa segala yang ada itu pada wujudnya sendiri bergantung mutlak kepada Allah, dari sini dapat ditemukan sifat pencipta (Al-Khaliqiyah) pada wajibul wujud dan sifat yang dicipta (makhluqiyah) pada makhluk-Nya. Sifat pencipta ini identik dengan Sebab Pengada. Dan seluruh yang mungkin (mumkinul wujud) yang butuh kepada pencipta dan merupakan satu sisi hubungan penciptaan disifati dengan makhluqiyah (ciptaan, yang dicipta).
Akan tetapi, terkadang kata Al-Khalq (penciptaan) mengandung makna mahdudiyah (keterbatasan) yang lebih banyak, dimana objek penciptaan ini adalah maujud yang hanya dicipta dari materi yang sebelumnya. Lawan dari makna tersebut ibda` (pewujudan), dimana makna ini digunakan untuk realitas-realitas yang wujudnya tidak didahului oleh materi (seperti realitas-realitas abstrak dan hayula).
Atas dasar inilah, ijad (penciptaan) dibagi menjadi dua bagian, yaitu khalq dan ibda` (penciptaan dan pewujudan). Dengan demikian, tindakan mencipta yang dilakukan oleh Allah SWT tidak sama dengan tindakan yang dilakukan manusia ketika membuat sesuatu; mereka butuh kepada gerak dan anggota badan agar gerakannya menjadi sebuah tindakan, dan hal yang terjadi merupakan hasil tindakan tersebut.
Adapun penciptaan Allah SWT tidaklah demikian. Artinya, penciptaan bukan sesuatu dan yang dicipta bukan pula sesuatu yang lain. Karena, di samping Allah SWT itu suci dari gerak dan ciri-ciri khas segala maujud materi, jika tindakan cipta-Nya berupa realitas objektif tersendiri di luar, berarti tindakan cipta ini adalah wujud mungkin yang-pada dasarnya-merupakan makhluk dan ciptaan Allah. Jika demikian, pembicaraan akan kembali lagi seputar penciptaan Allah atas tindakan cipta-Nya, dan ini justru melazimkan daur yang mustahil. Akan tetapi sebagaimana telah kami singgung mengenai sifat-sifat fi'liyah, bahwa sifat-sifat tersebut merupakan konsep-konsep (mafhum) yang diperoleh dari berbagai relasi yang terdapat antara Allah dan makhluk-Nya. Sedangkan dasar untuk menilai adanya relasi-relasi itu adalah akal.

Pengatur
Salah satu relasi yang dapat diamati antara Allah SWT dan makhluk-Nya adalah bahwa makhluk-makhluk itu tidak saja butuh kepada Allah pada asal wujudnya, bahkan segala hal yang berkaitan dengan wujud dan kesinambungannya ber-gantung kepada-Nya. Mereka tidak mandiri, sama sekali. Oleh karena itu, Allah SWT memiliki hak tasharruf (perlakuan) atas mereka dan mengatur berbagai urusannya sesuai dengan kehendak-Nya.
Ketika mengamati relasi tersebut secara umum, kita dapat mencerap konsep rububiyah (pengaturan) yang kelazimannya adalah mengatur segala urusan. Konsep ini memiliki berbagai mishdaq[1] seperti: Al-Hafidh (penjaga), Al-Muhyi (meng-hidupkan), Al-Mumit (mematikan), Ar-Raziq (pemberi rizki), Al-Hadi (pemberi hidayah), Al-Amir (pemerintah), An-Nahi (pelarang) dan sebagainya.
Hal-hal yang berhubungan dengan rububiyah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
Satu: Rububiyah Takwiniyah (pengaturan cipta). Rububiyah ini meliputi pengaturan berbagai urusan setiap maujud dan pemenuhan berbagai kebutuhannya. Singkat kata, ia meliputi pengaturan alam semesta.
Dua: Rububiyah Tasri'iyah (pengaturan tinta). Rububiyah ini hanya berlaku atas makhluk yang bisa merasa dan memilih. Hal ini meliputi beberapa masalah seperti peng-utusan para Nabi, penurunan kitab-kitab samawi, penetapan tugas dan kewajiban dan penyusunan hukum dan undang-undang.
Dengan demikian, rububiyah mutlak Ilahi berarti bahwa seluruh makhluk dalam segala urusan hidup dan wujudnya bergantung kepada Allah SWT. Dan berbagai hubungan yang terjalin antara sesama mereka pada akhirnya berujung kepada-Nya. Dialah yang mengatur dan mengurus sebagian makhluk-Nya dengan perantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dialah yang melimpahkan rizki kepada segenap makhluk melalui sumber-sumbernya yang telah Dia hamparkan. Dialah yang memberi hidayah kepada seluruh makhluk yang berperasaan, baik melalui sarana-sarana internal (seperti akal dan seluruh daya indra) maupun melalui sarana-sarana eksternal (seperti para Nabi dan kitab samawi).Dan Dia pulalah yang menetapkan hukum-hukum, aturan-aturan, berbagai tugas dan kewajiban kepada para mukallaf (orang yang terbebani tugas-tugas syari'i).
Sebagaimana khaliqiyah, rububiyah merupakan konsep relasional (idhafi). Bedanya, aspek-aspek yang diamati pada konsep tersebut adalah hubungan-hubungan khusus antara berbagai makhluk itu sendiri. Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada konsep Raziqiyah. Apabila dengan teliti kita merenungkan konsep khaliqiyah dan rububiyah sebagai sifat idhafiyah, akan tampak jelas bahwa di antara kedua sifat tersebut terdapat talazum (hubungan niscaya), bahwa pengatur alam semesta ini mustahil bukan penciptanya. Maka, dzat yang menciptakan seluruh makhluk dengan ciri-ciri tertentu dan menciptakan hubungan antara sesamanya, Dia pulalah yang memelihara dan mengaturnya. Pada hakikatnya, konsep rububiyah dan tadbir diperoleh akal dari proses penciptaan pada berbagai makhluk, dan adanya hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya.


Yang Disembah
Para ulama Islam telah banyak membahas seputar konsep al-ilah dan uluhiyah di dalam kitab-kitab tafsir.Makna yang kami pilih untuk konsep ini ialah bahwa ilah berarti Al-Ma'bud (sembahan) atau bermakna yang berhak diibadahi dan ditaati. Seperti halnya kata Al-Kitab yang berarti Al-Maktub (yang ditulis), artinya sesuatu yang layak ditulis. Berdasarkan pengertian ini, uluhiyah merupakan sifat yang apabila kita hendak memahaminya, harus mengasumsikan adanya hubungan antara ibadah seorang hamba dan ketaatannya. Karena orang-orang yang sesat, meskipun mereka menjadikan sesuatu sebagai sembahannya, yang berhak untuk diibadahi dan ditaati hanyalah Allah Al-Khaliq dan Ar-Rabb semata.
Keyakinan demikian ini adalah kadar yang mesti dipenuhi oleh setiap orang dalam masalah-masalah ketuhanan. Artinya, di samping ia mengimani bahwa Allah swt. itu adalah wajibul wujud, pencipta, pengatur dan bahwa alam ini tunduk di bawah kehendak-Nya, ia pun mesti mengimani bahwa Dialah yang berhak ditaati dan diibadahi. Dari sinilah diperoleh konsep uluhiyah sebagai salah satu syiar Islam, yaitu La ilaha Illallah.[]


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah hubungan antara sifat-sifat dzatiyah dan fi`liyah, dan bagaimana salah satunya itu berasal dari yang lain?
2. Mengapa sifat-sifat fi'liyah itu terbatas dan terikat dengan masa dan tempat?
3. Jelaskan pengertian Al-Khaliqiyah dan terangkan perbedaan antara konsep tersebut dengan Al-Ijad dan Al-Ibda' !
4. Mengapa kita tidak mungkin menggambarkan Al-Khalq (penciptaan) sebagai realitas di luar yang berbeda dan mandiri dari makhluk?
5. Jelaskan pengertian rububiyah!

11
PELAJARAN 11 PELAJARAN 11

Seluruh Sifat-sifat Fi'liyah
Termasuk tema yang rumit di dalam ilmu Kalam adalah masalah Iradah Ilahiyah (kehendak Allah) yang dibahas dari beberapa sisi. Ikhtilaf seputarnya pun tidak bisa dihindari, seperti apakah kehendak ini termasuk sifat zatiyah ataukah sifat fi'liyah? Apakah sifat tersebut qadim ataukah hadist? dan apakah ia itu satu ataukah berbilang?
Selain itu, terdapat tema-tema lainnya yang dibahas oleh Filsafat mengenai kemutlakan kehendak, khususnya kehendak Allah. Jelas bahwa kajian atas tema ini secara luas tidak sesuai dengan buku yang ada di hadapan Anda ini. Oleh karena itu, kami memulai penjelasan masalah ini dengan pengertian iradah. Setelah itu, akan kami jelaskan secara ringkas tentang iradah Allah.

Iradah
Setidak-tidaknya, kata iradah secara konvensional digunakan dalam dua makna. Salah satunya bermakna cinta (muhabbah), dan yang kedua bermakna keputusan (tashmim) untuk melakukan suatu perbuatan. Dilihat dari sisi bidang-bidangnya, makna pertama sangatlah luas, karena meliputi cinta akan segala sesuatu yang berada di luar tindakan seseorang dan tindakan orang lain. Berbeda dengan makna yang kedua yang digunakan khusus untuk tindakan-tindakan seseorang itu sendiri.
Iradah dengan pengertian pertama (mahabbah), meskipun bagi manusia merupakan aradh (aksiden) dan kaifiyah nafsaniyah (kualitas jiwa), akan tetapi akal kita-dengan cara menyisihkan berbagai kekurangan darinya-dapat menggambarkan konsep umum baginya, sehingga bisa diterapkan atas entitas-entitas di luar, bahkan atas Allah SWT. Sebagaimana penyisihan tersebut dilakukan oleh akal terhadap

pengetahuan (ilmu).
Maka itu, Hubb (cinta)-yang diterapkan atas mahabbah (kecintaan) Allah terhadap dzat-Nya-dapat digolongkan ke dalam sifat dzatiyah. Dengan demikian, apabila maksud Iradah Ilahiyah adalah hubbul kamal (cinta kesempurnaan) yang-pada prinsipnya-berhubungan dengan kesempurnaan Ilahi yang tidak terbatas, dan berikutnya berhubungan dengan seluruh makhluk dari sisi bahwa kesempurnaan itu merupakan kesan (atsar) dari kesempurnaan-Nya, maka kita dapat menggolongkan sifat cinta ini ke dalam sifat dzatiyah sebagaimana sifat dzatiyah lainnya; qadim dan esa, identik ('ayn dzat) dengan zat Allah itu sendiri (yakni merupakan substansi Allah itu sendiri).
Adapun iradah dengan makna keputusan untuk melakukan suatu tindakan, tidak diragukan lagi bahwa ia termasuk sifat fi'liyah yang-dilihat dari kaitannya dengan fenomena-fenomena alam (hawadist)-terikat dengan batasan-batasan waktu, sebagaimana yang juga tampak pada ayat yang berbunyi:
"Sesungguhnya manakala amr-Nya menghendaki sesuatu, Dia berkata, 'Jadilah', maka terjadilah." (QS. Yasin: 82).
Namun, perlu diperhatikan bahwa penyifatan Allah dengan sifat-sifat fi'liyah ini tidak berarti dzat-Nya mengalami perubahan atau terdapat aradh (aksiden) padanya. Penyifatan ini hanyalah menyoroti hubungan antara dzat Allah dan makhluk-makhluk-Nya dari sisi tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula, sehingga dengan cara itu dapat dipe-roleh sebuah konsep relasional (mafhum idlafi) yang tergolong sebagai sifat fi'liyah.
Pada iradah, hubungan berikut ini dapat diamati; bahwa setiap makhluk itu diciptakan dari aspek bahwa ia memiliki kesempurnaan, kebaikan dan kemaslahatan. Maka wujudnya itu-pada masa, tempat dan cara tertentu-terkait dengan ilmu dan cinta Allah SWT. Dan sesungguhnya Dia menciptakannya dengan kebebasan dan kehendak-Nya, tanpa ada pemaksaan dari siapa pun.
Dengan memperhatikan hubungan ini, kita dapat memperoleh sebuah konsep yang dinamakan iradah. Konsep relasional ini dibatasi oleh batasan-batasan tertentu dilihat dari kaitannya dengan sisi hubungan yang terbatas pula. Selain itu, konsep ini bersifat hudust dan kastrah (proses dan jamak), karena kerelasiannya yang tentunya mengikuti dua sisi yang mengapitnya, dimana hudust dan kasrat pada salah satu sisi saja akan berlaku pada relasi itu sendiri.

Hikmah

Bertolak dari apa yang telah kami jelaskan seputar Iradah Ilahiyah, menjadi jelas bagi kita bahwa iradah itu tidak terkait dengan penciptaan sesuatu secara sia-sia, tanpa pertimbangan dan hikmah. Melainkan bahwa Iradah Ilahiiyah itu pada dasarnya berkaitan dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan segala sesuatu. Mengingat bahwa terjadinya benturan antara satu materi dengan lainnya itu mengakibatkan timbulnya kekurangan pada sebagiannya dari sebagian lainnya, cinta Ilahi kepada kesempurnaan melazimkan terciptanya suatu tatanan materi yang melazimkan kebaikan dan kesempurnaan yang lebih banyak.
Dari pengamatan terhadap hubungan-hubungan itu, kita memperoleh konsep yang namanya maslahat. Tanpa pengamatan itu, maslahat itu sendiri tidak memiliki wujud mandiri yang memberi efek pada keberadaan makhluk ataupun pada iradah Ilahiyah. Artinya, kita tidak mendapati wujud luar mandiri yang dinamakan maslahat yang dapat mempengaruhi wujud makhluk, lebih tidak benar lagi jika dikatakan bahwa maslahat itu dapat mempengaruhi Iradah Ilahiyah.
Kesimpulannya, bahwa tindakan Ilahi itu muncul dari sifat-sifat dzatiyah Allah SWT seperti: ilm, qudrat dan cinta-Nya kepada kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan Allah senantiasa berdasarkan maslahat dan tidak mungkin kosong darinya, yakni selalu terdapat kebaikan dan kesempurnaan yang ghalib. Iradah semacam ini dinamakan iradah hakimah; Kehendak yang Mahabijak. Dari sinilah akal menemukan sifat fi'liyah Allah yang lain, yaitu sifat bijaksana (hakim). Sebagaimana pula semua sifat-sifat fi'liyah lainnya, sifat ini pun berasal dari sifat dzatiyah Allah SWT.
Perlu kiranya kami tekankan, bahwa melakukan suatu tindakan karena maslahat, bukan berarti bahwa maslahat itu merupakan sebab tujuan ('illat gha'iyah) bagi Allah swt. Melainkan bahwa maslahat itu merupakan tujuan kedua dan bersifat tak langsung (taba'i). Adapun tujuan dasarnya tindakan Allah adalah cinta-Nya kepada kesempurnaan diri-Nya sendiri yang tak terbatas, dimana cinta kesempurnaan-Nya tersebut secara tak langsung berhubungan dengan berbagai atsar-nya (efeknya), yaitu kesempurnaan segala yang ada. Berangkat dari sini mereka mengatakan bahwa sebab tujuan pada tindakan Allah adalah sebab pelaku ('illah fa'iliyah) itu sendiri. Karena, Allah swt. tidak memiliki ghayah mustaqil (tujuan di luar diri-Nya) sebagai tambahan atas dzat-Nya.
Namun demikian, konklusi ini tidak menafikan adanya kesempurnaan, kebaikan dan maslahat pada segala yang ada sebagai tujuan sampingan (far'i dan tabi'i). Maka itu, tindakan-tindakan Allah dalam Al-Qur'an disebutkan sebagai sebab bagi sebagian perkara dan tujuan yang semuanya berakhir kepada kesempurnaan dan kebaikan seluruh makhluk itu sendiri. Ayat-ayat Al-Qur'an menyebutkan bahwa ujian, bencana, memilih perbuatan yang paling baik, beribadah kepada Allah SWT dan mencapai rahmat Ilahi yang abadi merupakan tujuan penciptaan manusia. Setiap tujuan tersebut disiapkan untuk tujuan lainnya secara gradual sebagaimana yang telah dijelaskan.

Kalam

Termasuk konsep yang dinisbahkan kepada Allah SWT adalah konsep kalam atau takallum (berkata). Sejak dahulu, persoalan kalam Ilahi ini telah dibahas oleh kaum teolog. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa sebab penamaan ilmu Kalam adalah larutnya para teolog ke dalam pembahasan seputar kalam Ilahi. Madzab Asy'ariyah (Ahli Sunnah) menganggap bahwa kalam Ilahi termasuk sifat dzatiyah. Sementara Mu'tazilah menganggapnya sebagai sifat fi'liyah. Di antara persoalan yang menyebabkan terjadinya pertikaian sengit antara kedua madzab tersebut ialah: apakah Al-Qur'an-sebagai kalam Allah-termasuk makhluk atau tidak? Bahkan bisa jadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian lainnya hanya karena perbedaan pandangan dalam masalah ini.
Dengan memperhatikan pengertian sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah terdahulu, tampak jelas bahwa kalam Ilahi termasuk sifat fi'liyah; yang tidak dapat ditangkap akal kecuali dengan mengandaikan audiens (mukhatab) yang berusaha me-nangkap maksud ucapan mutakalim (pembicara) dengan cara mendengar suara atau melihat tulisan atau terbetik suatu pema-haman di dalam benaknya, ataupun dengan cara lainnya.
Pada hakikatnya, konsep mutakalim itu diperoleh dari adanya hubungan antara Allah yang hendak menyingkapkan suatu hakikat kepada selain-Nya dan audiens yang hendak menangkap hakikat tersebut. Berbeda bila yang dimaksudkan takalum itu adalah makna lain seperti qudrat (kuasa) untuk bicara atau tahu isi pembicaraan. Berdasarkan maksud ini, sifat kalam akan kembali kepada sifat dzatiyah. Sebagaimana telah disinggung, sebagian dari sifat-sifat fi'liyah mengalami penyederhanaan seperti ini.
Adapun Al-Qur'an yang tersusun dari kalimat-kalimat atau kata-kata atau pemahaman-pemahaman yang tersirat di benak ataupun berupa hakikat nurani nonmateri, semua itu termasuk makhluk. Kecuali jika dikatakan bahwa ilmu dzati Allah adalah hakikat Al-Qur'an, maka dalam asumsi ini Al-Qur'an berkaitan dengan sifat ilmu dzatiyah. Akan tetapi, takwil dan penafsiran atas kalam Ilahi dan Al-Qur'an semacam ini sangat jauh dari pemahaman umum, dan hal ini harus dihindari.

Benar
Sesungguhnya kalam Ilahi-bila berupa bentuk perintah, larangan dan penyaratan (preskriptif)-adalah suatu penentuan akan berbagai hukum dan tugas praktis atas segenap hamba. Ketika itu, ia tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Karena memang bentuk-bentuk itu tidak bisa disifati dengan benar dan dusta. Namun, apabila ia berbentuk infor-masi tentang berbagai hakikat, peristiwa masa lalu atau pun yang akan datang, kalam Ilahi ini bisa disifati sebagai benar (Ash-Shidq).
"Siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah?" (QS. An-Nisa: 87)
Sifat ini merupakan landasan bagi rumusan argumen lainnya, yaitu dalil wahyu (naqliyah) untuk menetapkan masalah-masalah partikular (far'iyah) atau bahkan berbagai masalah akidah dalam pandangan dunia Ilahi.
Salah satu dalil rasional atas kalam Ilahi ialah bahwa kalam Ilahi adalah bagian dari rububiyah dan pengaturan Allah atas alam semesta dan manusia. Kalam ini berlandaskan ilmu dan hikmah, serta bertujuan untuk memberikan hidayah kepada segenap makhluk, dan memenuhi sarana untuk menyampaikan berbagai pengetahuan yang benar kepada audiens (mukhatab).Bila dikatakan bahwa kalam Ilahi itu-boleh jadi-tidak sesuai dengan kenyataan objektif, maka Allah sebagai penyampai tidak dapat lagi dipercaya, karena menggugurkan tujuan kalam itu sendiri. Demikian ini bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah makna ungkapan bahwa iradah termasuk sifat dzatiyah? Dan apakah makna pengertian bahwa ia termasuk sifat fi'liyah?
2. Hubungan apakah yang dilihat antara Allah dan makhluk-Nya untuk menangkap mafhum iradah sebagai sifat fi'liyah?
3. Bagaimana iradah Ilahiyah itu bisa disifati dengan huduts dan kasrat?
4. Jelaskan hikmah Ilahiyah!
5. Bagaimana kita dapat sampai kepada pengertian maslahat?
6. Dengan makna dan pengertian bagaimana kita dapat menganggap maslahat, kebaikan makhluk dan kesempurnaannya merupakan tujuan bagi penciptaan?
7. Jelaskan kalam Ilahi itu!
8. Jelaskan dalil rasional atas sifat sidq Allah SWT!


12
PELAJARAN 12 PELAJARAN 12

Analisis atas Beberapa Faktor Penyimpangan

Mukaddimah
Pada pelajaran pertama, telah kami bahas bahwa secara umum pandangan dunia terbagi menjadi dua; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme. Perdebatan terpenting kedua pandangan tersebut berkisar pada wujud Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Pandangan dunia Ilahi menjadikan keberadaan Tuhan sebagai sebuah prinsip utama. Sedangkan pandangan dunia Materialisme mengingkari keberadaan Tuhan.
Masih pada pelajaran yang sama, kami juga telah membahas-sekadar kapasitas buku ini-pembuktian atas wujud Allah swt.dan sifat-sifat Ilahiyah; salbiyah dan tsubutiyah, dzatiyah dan fi'liyah. Demi memantapkan keimanan terhadap dasar yang penting ini, kami akan mengkritisi pandangan dunia Materialisme secara ringkas. Dengan cara ini, kita akan lebih yakin pada kebenaran pandangan dunia Ilahi dan kerapuhan pandangan dunia Materialisme.
Untuk tujuan ini, mula-mula kami akan menyinggung beberapa faktor penyimpangan pada pandangan Ilahiyah yang mengarah kepada pandangan Ateisme. Setelah itu, kami akan menjelaskan poin-poin terpenting kelemahan pandangan Materialisme.

Faktor-faktor Penyimpangan
Materialisme dan Ateisme memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan manusia. Meskipun keimanan kepada Allah swt. senantiasa ada di tengah bangsa-bangsa terdahulu, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti sejarah dan arkeologi, namun masih saja ditemukan individu dan kelompok yang mengingkari Allah, dimana kecenderungan anti agama sejak abad 18 mulai tersebar di Eropa kemudian perlahan-lahan menyebar ke seluruh dunia.
Walaupun fenomena ini pada awalnya sebagai reaksi dari tekanan gereja Kristen, akan tetapi anginnya menghembus ke seluruh agama dan aliran. Barat telah mengekspor pandangan ateisme tersebut ke seluruh belahan dunia berbarengan dengan ekspor industri, seni dan teknologi, kemudian me-nyebar pada kurun terakhir bersamaan dengan tersebarnya dasar-dasar sosiologi dan ekonomi Marxisme di kebanyakan bangsa dan negara sehingga membentuk rintangan, bahaya besar dan sindrom yang menakutkan bagi umat manusia.
Sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan muncul dan tersebarnya penyimpangan ini banyak sekali. Pembahasan tentang semua faktor ini memerlukan buku tersendiri. Akan tetapi dalam buku yang terbatas ini, secara umum kami akan menyederhanakan faktor-faktor itu pada tiga kategori:

1. Faktor Kejiwaan
Yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang kepada pandangan ateistik, sekalipun ia tidak menyadari adanya pengaruh tersebut. Faktor terpenting adalah rasa ingin senang, santai, malas, dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Yakni dari satu sisi, bahwa kesulitan mengkaji-khususnya dalam hal-hal yang tidak memiliki kenikmatan indrawi-menjadi penghalang bagi orang yang malas, santai dan tidak memiliki minat untuk meneliti. Dari sisi lain, kecenderungan untuk bebas sesuka hati dan tidak adanya rasa tanggung jawab menjadi kendala bagi mereka menuju pandangan dunia Ilahi.
Menerima pandangan dunia Ilahi dan meyakini adanya Pencipta Yang Mahabijak merupakan titik tolak untuk menerima seperangkat keyakinan lainnya yang menuntut seseorang agar memiliki rasa tanggung jawab dalam seluruh pilihan dan tindakannya. Rasa tanggung jawab ini mengharuskannya agar konsisten pada kewajiban Ilahi dan berpaling dari desakan hawa nafsu. Tentunya, konsistensi tersebut tidak selalunya sejalan dengan rasa ingin bebas. Oleh karena itu, keinginan hewani ini-tanpa disadari-menjadi sebab untuk menghindar dari tanggung jawab dan dari berbagai aturan, serta menjadi sebab untuk mengingkari wujud Allah SWT.
Ada pula faktor-faktor kejiwaan lain yang mempunyai peran penting dalam mengarahkan seseorang menjadi ateisme dan akan nampak terlihat di antara semua faktor.

2. Faktor Sosial
Yakni situasi dan kondisi sosial yang buruk yang tampak pada sebagian masyarakat ketika para pemimpin agama turut andil dalam mewujudkan dan memperluas kondisi buruk tersebut. Maka situasi dan kondisi buruk semacam ini akan mengikis pandangan dan akidah yang benar dari pikiran sebagian orang yang dangkal pandangannya, lemah pemikirannya, serta tidak dapat mengkaji secara jeli faktor-faktor yang sebenarnya terjadi di balik kondisi tersebut. Karena itu, ketika mereka melihat bahwa orang-orang yang beragama turut berperan dalam menciptakan kondisi buruk tersebut, mereka mengkaitkannya dengan agama. Mereka menuduh bahwa keyakinan-keyakinan agama merupakan faktor utama bagi munculnya situasi dan kondisi buruk tersebut sehingga hal itu membuat mereka jauh dari agama.
Kondisi masyarakat Eropa di era Renaisains merupakan pengalaman yang jelas bagi faktor tersebut. Ketika itu, sikap dan citra Gereja tampak buruk di berbagai bidang agama, sistem hukum dan politiknya merupakan faktor terpenting yang membuat masyarakat kristian menjauhi Kristen, bahkan menjauhi agama secara umum.
Termasuk hal penting yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah agama, hendaknya mereka memahami faktor-faktor dominan tersebut. Pemuka agama harus memahami pentingnya keberadaan mereka di tengah masyarakat, dan betul-betul mengerti bahwa kesalahan mereka dapat mengakibatkan masyarakat menjadi sesat dan celaka.

3. Faktor Pemikiran
Maksud dari faktor pemikiran di sini adalah berbagai dugaan dan keraguan yang terbetik di benak seseorang atau yang ia dengar dari orang lain. Akan tetapi ia tidak mampu menghadapinya lantaran kemampuannya yang minim untuk berfikir dan berargumentasi. Oleh karena itu, sedikit banyaknya ia tunduk di bawah keraguan-keraguan tersebut. Paling tidak, hal itu menjadi sebab munculnya keraguan dan kegoncangan dalam pikirannya sehingga ketenangan dan keyakinan dalam hatinya terganggu.
Pada gilirannya, faktor pikiran ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sekunder, seperti keraguan-keraguan yang berdasarkan kecondongan kepada persoalan-persoalan indrawi, keraguan-keraguan yang timbul dari keyakinan-keyakinan khurofat, keraguan-keraguan yang timbul dari penafsiran-penafsiran yang keliru, argumen-argumen yang lemah, keraguan-keraguan yang berhubungan dengan peristiwa dan tragedi yang menyakitkan hati sehingga hal itu diyakini berlawanan dengan hikmah, kebijaksanaan dan keadilan Ilahi, keraguan-keraguan yang timbul dari asumsi-asumsi ilmiah yang dipahami oleh sebagian orang bahwa hal itu bertentangan dengan keyakinan agama, dan keraguan-keraguan yang berhubungan dengan hukum-hukum dan ajaran agama, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum dan politik.
Barangkali masih ada dua atau beberapa faktor lainnya yang semuanya itu turut andil dalam membentuk kondisi kebimbangan atau penolakan. Kadangkala kita temukan bahwa berbagai kesusahan jiwa dapat menjadi faktor penyiap bagi timbulnya berbagai keraguan. Karena sebab itu seseorang dapat ditimpa penyakit jiwa yang berupa waswas pemikiran. Akibatnya, penderita ini mengalami kondisi serbaragu, sehingga tidak pernah merasa puas dengan dalil dan argumen apapun, sebagaimana hal ini kita saksikan pada seseorang yang tertimpa waswas dalam pekerjaannya dan tidak merasa yakin akan kebenaran setiap amal yang ia lakukan. Misalnya, kita saksikan bagaimana ia mencelupkan tangannya ke dalam air berpuluh-puluh kali. Meskipun demikian, tetap saja ia tidak merasa yakin dengan kesucian tangannya. Padahal sangat mungkin tangannya itu telah suci pada celupan yang pertama.

Cara Penanggulangan
Dengan mengkaji berbagai macam faktor penyimpangan, menjadi jelas bahwa untuk mengatasi masing-masing faktor tersebut membutuhkan metode tertentu, sikap dan solusi secara khusus. Misalnya untuk mengatasi faktor-faktor kejiwaan dan moral, diperlukan pendidikan yang benar dan mengetahui berbagai efek buruknya, sebagaimana hal ini telah kami jelaskan pada pelajaran 2 dan 3, yaitu dalam pembahasan pentingnya mencari agama dan efek-efek buruk dari sikap tidak peduli dan apriori terhadap agama.
Demikian pula halnya dalam menanggulangi efek-efek buruk dari faktor-faktor sosial. Maka itu, di samping berusaha untuk mencegah terjadinya situasi dan kondisi serta faktor-faktor seperti ini, kitapun harus menjelaskan perbedaan yang besar antara kebatilan agama itu sendiri dan tidak adanya konsistensi orang-orang yang beragama atau buruknya tingkah laku mereka. Sesungguhnya menyadari dan mengetahui adanya pengaruh faktor-faktor kejiwaan dan sosial-paling tidak-akan menuai ketidaktundukan seseorang secara tidak sadar terhadap faktor-faktor semacam ini.
Demikian pula kita harus menggunakan metode-metode yang benar dan sikap yang baik dari berlipatgandanya berbagai pengaruh faktor-faktor pemikiran, seperti membedakan antara keyakinan-keyakinan khurofat dengan keyakinan-keyakinan yang benar, atau menghindari penggunaan argumen-argumen yang lemah dan tidak logis dalam membuktikan keyakinan-keyakinan agama.
Begitu pula kita harus menjelaskan kepada mereka akan hakikat berikut ini, bahwa kelemahan argumen tidak menunjukkan atas ketidakbenaran klaim. Jelas bahwa membahas seluruh faktor penyimpangan ini dan menjelaskan metode-metode yang semestinya dalam menanggulangi masing-masing faktor tersebut, tidaklah sesuai dengan kapasitas buku ini. Oleh karena itu, kami cukupkan hanya dengan menyebutkan sebagian faktor pemikiran ateistik dan menjawab sebagian keraguan yang bersangkutan.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah manfaat yang diperoleh dari mengkritisi dan mengkaji pandangan dunia Materialisme?
2. Bagaimana paham ateisme bisa tersebar luas pada kurun terakhir ini?
3. Jelaskan faktor-faktor kejiwaan pada penyimpangan agama!
4. Terangkan faktor-faktor sosial pada fenomena penyim-pangan!
5. Jelaskan faktor-faktor pemikiran dan faktor-faktor yang timbul darinya!
6. Bagaimana waswas pemikiran itu dapat terjadi?
7. Bagaimana menanggulangi berbagai faktor penyelewengan?

13
PELAJARAN 13 PELAJARAN 13


Beberapa Keraguan dan Jawaban

Meyakini Realitas yang tak Bisa Diindra
Di antara keraguan-keraguan yang dilontarkan seputar keimanan kepada Allah SWT adalah: Bagaimana mungkin kita beriman kepada realitas yang tak dapat diindra, yang kita tidak mungkin mengetahuinya dengan perantara indra.
Keraguan semacam ini timbul dari orang-orang yang merasa heran dengan adanya maujud yang tidak dapat dijangkau oleh indra dan persepsi. Bahkan sebagian ilmuwan yang melandaskan pemikirannya dengan otentisitas indra, juga mengingkari realitas yang tak bisa diindra tersebut. Atau minimalnya, mereka mempunyai pandangan bahwa maujud ini tidak bisa diketahui secara yakin dan pasti.
Jawaban atas keraguan tersebut ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan indrawi bisa diperoleh hanya dengan adanya hubungan antara anggota-anggota badan dengan materi. Masing-masing indra kita dapat mengetahui fenomena-fenomena materi yang sesuai dengan kodrat indra itu sendiri dan di bawah syarat-syarat tertentu. Sebagaimana kita yakin bahwa mata kita tidak mungkin dapat melihat suara dan telinga kita tidak mungkin dapat menangkap warna, begitu pula kita harus mengerti bahwa indra kita tidak akan mampu mengetahui seluruh makhluk yang ada di alam ini. Karena, pertama: terdapat sebagian realitas materi yang memang tidak mungkin dapat dijangkau oleh indra. Misalnya, indra kita tidak akan mampu menjangkau pancaran sinar ultraviolet atau infra merah. Atau gelombang-gelombang magnetis listrik dan sebagainya.
Kita dapat mengetahui berbagai hakikat tanpa melalui indra lahiriah, lebih dari itu kita pun meyakininya dengan mantap, padahal itu tidak dapat dijangkau oleh indra. Misalnya kita merasakan adanya rasa takut, cinta atau keinginan dalam diri kita dan kita meyakininya secara penuh. Padahal itu semua termasuk kondisi jiwa-seperti ruh itu sendiri-yang tidak mungkin dapat dipersepsi dan dilihat oleh indra kita. Bahkan idrak (persepsi) itu sendiri merupakan perkara nonmateri yang tidak dapat diindra.
Dengan demikian, tidak terjangkaunya sesuatu melalui indra bukanlah dalil atas ketiadaannya. Bahkan tidak selayaknya hal ini membuat kita heran dan merasa aneh.

Peran Rasa Takut dan Bodoh pada Iman
Ada keraguan dari sebagian sosiolog, bahwa iman itu lahir akibat rasa takut dari bahaya dan ancaman, seperti bahaya gempa, halilintar dan bencana alam lainnya. Demi menenangkan hati, manusia menciptakan (nastaghfirullah) realitas khayalan yang dinamakan Allah, kemudian mereka menyembah-Nya. Oleh sebab itu, semakin banyak diketahui sebab-sebab alami dan cara penanggulangannya, iman mereka semakin bertambah lemah. Sebagian orang marxis merumuskan pandangan ini dengan penuh antusias. Mereka menilai bahwa hal itu merupakan sebuah pandangan sosiologi kemudian sanggup memikat pikiran orang.
Jawab: pertama, Sesungguhnya dasar keraguan semacam ini adalah asumsi yang dilontarkan oleh sebagian sosiolog yang tidak didukung oleh argumen ilmiah.
Kedua, dewasa ini, telah banyak ilmuwan yang lebih banyak mengenal sebab-sebab di balik berbagai peristiwa dan fenomena tersebut. Namun, mereka mengimani adanya Allah Yang Bijak secara mutlak. Maka itu, iman kepada Allah SWT bukan karena rasa takut dan kebodohan.
Ketiga, apabila keadaan jiwa seperti; rasa takut terhadap sebagian bencana atau ketidaktahuan akan sebab-sebab alami pada sebagian fenomena, menjadi faktor yang mendorong seseorang untuk mengenal Allah swt., itu tidak berarti bahwa Allah adalah sebagai penyebab timbulnya rasa takut dan kebodohannya. Karena, seringkali kita dapati betapa motif jiwa-seperti cinta kelezatan, ingin tenar dan sebagainya-mendorong seseorang untuk serius melakukan kajian ilmiah, seni dan filsafat, dan usaha semacam itu tidak dinilai buruk sedikit pun.
Keempat, apabila ditemukan sebagian individu yang meyakini bahwa Allah SWT adalah sebab terjadinya berbagai peristiwa yang tidak diketahui sebab-sebabnya, kemudian dengan terungkap sebab-sebab alaminya itu iman mereka menjadi lemah, justru kita harus menilai bahwa itu merupakan bukti atas lemahnya pemahaman dan iman mereka, bukan bukti atas irrasionalitas iman kepada Allah. Karena, Allah sebagai sebab fenomena-fenomena alam ini tidak sejajar secara horizontal dengan sebab-sebab alami.Akan tetapi, Dia berada di atas garis vertikal bagi seluruh sebab-sebab materi maupun nonmateri. Dan tahu atau tidaknya akan sebab-sebab alami sama sekali tidak berpengaruh pada penetapan maupun penafian wujud Allah SWT.

Apakah Hukum Kausalitas Bersifat Universal?
Keraguan lain yang dilontarkan oleh sebagian ilmuwan Barat adalah bahwa Hukum Kausalitas, apabila berupa konsep yang universal, tentu hukum ini juga berlaku pada Allah SWT. Dengan demikian, kita mesti berasumsi bahwa Allah pun memiliki sebab juga. Padahal telah dibuktikan bahwa Allah SWT merupakan sebab utama yang tidak memiliki sebab apapun selain-Nya. Maka itu, iman kepada Tuhan yang tidak memiliki sebab justru menggugurkan Kukum Kausalitas dan menunjukkan bahwa hukum itu tidak bersifat universal. Jika kita mengingkari universalitasnya, kita tidak mungkin-dengan hukum ini-membuktikan Tuhan sebagai wajibul wujud. Sebab, bisa jadi seseorang menganggap bahwa asal materi atau energi itu terwujud dengan sendirinya; tanpa memerlukan sebab. Dan dengan berubahnya asal materi dan energi tersebut, muncullah semua fenomena dan makhluk.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pelajaran 7, keraguan ini muncul lantaran penafsiran yang keliru tentang Hukum Kausalitas. Mereka mengira bahwa maksud hukum ini ialah bahwa segala sesuatu butuh kepada sebab. Padahal maksud yang benar adalah bahwa setiap sesuatu yang mumkinul wujud atau setiap wujud rabith (yang bergantung) butuh kepada sebab. Hukum ini bersifat umum, pasti (dharuri) dan tak terkecualikan. Adapun asumsi bahwa materi dan energi utama bisa terwujud tanpa sebab dan bahwa perubahannya merupakan sebab wujudnya segala sesuatu di alam ini, adalah sumsi yang dapat dikritisi dengan berbagai catatan sebagaimana pada pelajaran yang akan datang.

Hasil Pengetahuan Empiris
Keraguan lain yang layak diamati ialah bahwa meyakini wujud pencipta alam dan manusia tidak sesuai dengan sebagian hasil penelitian ilmu modern. Misalnya dibuktikan dalam ilmu Kimia bahwa kuantitas materi dan energi senantiasa ada. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa tidak mungkin setiap sesuatu itu muncul dari ketiadaan dan tidak mungkin pula maujud apa pun mengalami ketiadaan. Sedangkan orang mukmin meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya dari ketiadaan. Begitu pula telah dibuktikan di dalam ilmu Biologi, bahwa makhluk hidup lahir dari benda-benda mati lalu ia mengalami perkembangan (evolusi) secara bertahap sampai akhirnya menjadi manusia yang hidup akibat perkembangan tersebut. Padahal orang mukmin meyakini bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan cara yang mandiri.
Jawab: Pertama, hukum keutuhan materi dan energi adalah hukum ilmiah empiris yang bisa dijadikan sebagai landasan bagi hal-hal yang tunduk kepada eksperimen saja, dan tidak mungkin dapat mengatasi masalah-masalah filosofis seperti; apakah materi atau energi itu bersifat abadi atau tidak?
Kedua, bahwa keutuhan kuantitas totalitas materi dan energi tidak berarti ketakbutuhannya kepada pencipta. Bahkan semakin panjang usia alam materi, ia semakin butuh kepada pencipta. Karena, tolak ukur butuhnya akibat kepada sebab adalah sifat substansialnya, yakni imkan dan fakir dzati (ketergantungan substansial), bukan huduts (kejadian) dan masanya yang terbatas.Artinya, materi dan energi merupakan sebab material bagi alam ini dan-sama sekali-bukan sebab pelaku baginya. Dan keduanya itu (yakni materi dan energi) pada gilirannya membutuhkan sebab pelaku pula. Ketiga, bahwa tetapnya kuantitas materi dan energi tidak melazimkan ternafikannya kemunculan berbagai fenomena yang baru atau bertambah dan berkurangnya fenomena tersebut.
Ketiga, sesungguhnya realitas seperti ruh, hidup, rasa, kehendak dan lain-lain tidaklah seperti materi dan energi, dimana bertambah atau berkurangnya dapat menafikan hukum keutuhan materi dan energi. Keempat, bahwa teori evolusi-di samping bahwa hal itu tidak mendapatkan pengakuan nilai ilmiah yang cukup, teori ini pun telah ditolak oleh kebanyakan ilmuwan besar-tidak bertentangan.
Keempat, dengan iman kepada Allah SWT, maksimalnya teori evolusi ini hanya menetapkan sebab penyiap di antara makhluk-makhluk hidup, dan sama sekali tidak menafikan hubungan mereka dengan Allah SWT. Bukti atas hal ini adalah bahwa mayoritas pendukung teori ini beriman kepada Tuhan Pencipta alam dan manusia.[]

Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini!
1. Apakah kritikan-kritikan atas Empirisme dan pengingkaran hal-hal yang non-indrawi?
2. Apakah jawaban atas sebagian ahli Sosiologi yang mengatakan bahwa rasa takut atau kebodohan merupakan sebab keimanan kepada wujud Allah SWT?
3. Apakah iman kepada wujud Allah swt. menafikkan universalitas hukum kausalitas, dan mengapa?
4. Apakah hukum keutuhan materi dan energi menafikkan iman kepada pencipta alam ini, dan mengapa?
5. Apakah teori evolusi dapat menggugurkan iman pada wujud Allah SWT, dan mengapa?



14
PELAJARAN 14 PELAJARAN 14

Pandangan Dunia Materialis dan Beberapa Kritik

Dasar-dasar Pandangan Dunia Materialisme
Dasar-dasar pandangan dunia Materialisme dapat dididenahkan sebagai berikut:
Pertama, wujud itu sama dengan materi dan material. Sesuatu itu dianggap ada apabila ia berupa materi yang memiliki bentuk dan meliputi tiga dimensi (panjang, lebar dan padat) atau meliputi tipologi materi sehingga ia disifati dengan kuantitas dan dapat dibagi. Atas dasar inilah penganut Materialisme mengingkari wujud Allah, karena wujud-Nya nonmateri dan metafisis.
Kedua, bahwa materi bersifat azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan sebab apapun, yang dalam Filsafat dinamakan wajibul wujud.
Ketiga, kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan sebab akhir, karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga dapat dinisbahkan suatu tujuan penciptaan kepadanya.
Keempat, sesungguhnya fenomena alam (baca: bukan materi utamanya) muncul akibat adanya perpindahan pada atom-atom materi, dan adanya interaksi antara satu dengan lainnya. Dari sini dapat dikatakan bahwa fenomena alam yang terdahulu berperan sebagai syarat dan sebab penyiap bagi fenomena-fenomena berikutnya. Dalam hal ini, kita pun dapat menerima kemungkinan yang paling jauh, bahwa fenomena alam terdahulu itu adalah sebagai sebab pelaku alami di antara hal-hal material. Misalnya, sebuah pohon dapat dianggap sebagai pelaku alami bagi munculnya buah-buahan. Sedang hal-hal yang bersifat fisikal dan kimiawi dapat disandarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun, tidak ada satu pun fenomena yang butuh kepada pelaku dan pencipta Ilahi.
Di sini, dapat pula ditambahkan basis epistemologis sebagai dasar kelima. Dan bisa pula dianggap sebagai prolog bagi semua dasar-dasar lainnya, yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh berdasarkan empiris adalah satu-satunya pengetahuan yang dapat diakui keabsahannya, mengingat bahwa eksperimen indrawi hanya dapat membuktikan wujud materi dan hal-hal material, dan tidak bisa membuktikan wujud lainnya. Karenanya, kita tidak mungkin menerima wujud apa pun yang selain materi. Akan tetapi, pada pelajaran yang telah lalu telah jelas kerapuhan pandangan ini, dan kami rasa tidak perlu lagi mengulanginya. Untuk itu, kita akan membahas empat dasar saja.

Kritik atas Dasar Pertama
Dasar ini merupakan yang terpenting dalam pandangan dunia Materialis, meski sekadar klaim minus argumen. Argumen apa pun tidak dapat digunakan untuk menafikan wujud metafisis, khususnya berdasarkan epistemologi materialistik yang berlandaskan pada indra dan persepsi. Karena eksperimen indrawi apa pun tidak akan dapat menjelaskan tentang sesuatu di luar lingkup materi dan material, baik penilaiannya yang positif maupun negatif. Asumsi maksimal-sesuai dengan logika materialis-yang dapat dinyatakan adalah bahwa wujud metafisis itu tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian, paling tidak kita harus menerima asumsi kewujudannya, karena sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kewujudannya tidak berarti bahwa sesuatu itu benar-benar tidak ada, sebagaimana ungkapan para filosof bahwa "Adamu al-wujdan la yadullu ala adami al-wujud" (tidak diketahui tidak berarti tiada).
Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan bahwa manusia dapat mengetahui berbagai persoalan nonmateri yang tidak memiliki kekhasan materi seperti ruh, seseorang dapat mengetahuinya dengan ilmu hudhuri (ilmu presentif). Bahkan argumen rasional pun telah banyak membuktikan berbagai wujud abstrak (mujarrad) dalam buku-buku filsafat. Bukti yang paling utama atas keberadaan abstrak ruh ialah adanya mimpi yang nyata, perbuatan-perbuatan para petapa, mukjizat-mukjizat para Nabi dan karamah para wali Allah.
Alhasil, untuk mengikis dasar-dasar Materialisme tersebut cukup dengan menggunakan dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan wujud Allah SWT dan kenonmaterian-Nya.

Kritik atas Dasar Kedua
Dasar ini berlandaskan pada keabadian dan keutuhan materi. Kesimpulannya, materi itu bukan yang tercipta.
Kritik atas dasar ini adalah: Pertama, kita tidak mungkin dapat menetapkan keabadian materi berdasarkan dalil-dalil ilmiah dan eksperimen. Karena, ruang-lingkup eksperimen sangatlah terbatas yang tidak mungkin dapat mencakup bidang ini. Bahkan eksperimen apapun tidak akan dapat membuktikan ketidakterbatasan alam semesta ini dari sisi ruang dan waktunya.
Kedua, bahwa keabadian materi tidak memestikan ketakbutuhannya kepada pencipta. Misalnya, asumsi adanya gerak mekanik yang bersifat abadi menuntut asumsi adanya potensi penggerak yang bersifat abadi pula, bukan malah membuktikan ketidakbutuhannya kepada potensi penggerak.
Di samping itu, pandangan bahwa materi itu tidak dicipta berarti ia merupakan wajibul wujud. Pada pelajaran kedelapan telah kita buktikan kemustahilan materi sebagai wajibul wujud.

Kritik atas Dasar Ketiga
Dasar ketiga ini adalah pengingkaran atas tujuan alam semesta sebagai akibat dari mengingkari Sang Pencipta. Tentu, jika kita dapat membuktikan adanya Sang Pencipta yang bijak, dasar pemikiran ini akan gugur.
Di samping itu, ada sebuah pertanyaan yang perlu mereka jawab, yaitu bahwa setiap orang yang berakal-ketika menyaksikan hasil ciptaan manusia-mengetahui bahwa mereka mempunyai tujuan. Akan tetapi ketika ia menyaksikan tatanan alam semesta yang menakjubkan, dan memiliki hubungan yang serasi antara satu dengan yang lainnya, serta memberikan anugerah kenikmatan yang melimpah ruah yang tidak terhitung banyaknya, bagaimana mungkin ia meyakini bahwa alam tersebut tidak memiliki tujuan?

Kritik atas Dasar Keempat
Dasar keempat bagi pandangan dunia Materialisme adalah membatasi sebab hanya pada hubungan materi pada feno-mena alam. Banyak sekali kritik yang dilontarkan atas dasar ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, bahwa dasar dan pandangan ini melazimkan tidak ditemukannya realitas yang baru apapun di alam ini. Padahal, kita senantiasa saksikan munculnya fenomena-fenomena materi yang baru, khususnya pada alam manusia dan binatang. Paling utamanya adalah kehidupan, rasa, sensitifitas, indra, pikir, penciptaan dan kehendak. Kaum Materialis menganggap bahwa fenomena-fenomena ini merupakan ciri-ciri khas materi dan bukan sesuatu yang lain.
Ada beberapa catatan untuk menjawab pandangan di atas:
a. Bahwa keunikan yang melazimkan materi dan material yang tidak mungkin berpisah darinya adalah imtidad (ekstensi) dan dapat dibagi. Ciri-ciri ini tidak ditemukan pada fenomena-fenomena yang telah kami sebutkan.
b. Tidak diragukan lagi bahwa fenomena-fenomena yang dinamakan "keunikan materi" tersebut tidak ditemukan pada materi yang tidak bernyawa. Dengan kata lain, materi tersebut sebelumnya tidak memiliki keunikan masa. Barulah kemudian keunikan masa ini diwujudkan padanya. Dengan demikian, fenomena-fenomena itu-yang dikenal dengan tipologi materi-butuh kepada pencipta yang telah mengadakannya di dalam materi. Pencipta inilah yang dinamakan 'illat mujidah (sebab pengada).
Kedua, pandangan ini melazimkan Jabariyah (determinisme) atas munculnya seluruh fenomena alam, karena tidak ada peluang baginya untuk berikhtiar dan berkehendak akibat pengaruh dan reaksi materi. Sedangkan menolak ikhtiar-di samping bertentangan dengan nurani dan realita-dapat melazimkan pengingkaran terhadap tanggung jawab, norma-norma moral dan nilai-nilai maknawi. Dan kita tahu betapa malapetaka yang akan menimpa atas kehidupan manusia akibat mengingkari tanggung jawab dan nilai-nilai akhlak tersebut.
Akhirnya, dengan memperhatikan bahwa materi itu tidak mungkin sebagai wajibul wujud-sebagaimana telah kami buktikan pada pembahasan yang telah lalu-maka ia (materi) harus memiliki sebab. Sebab tersebut mesti bukan berupa sebab natural dan penyiap. Karena, hubungan-hubungan tersebut tidak dapat dipahami kecuali di antara hal-hal material saja. Adapun totalitas materi itu sendiri tidak mungkin memiliki hubungan semacam itu dengan sebabnya. Atas dasar ini, sebab yang mengadakan materi adalah Sebab Pengada yang nonmateri.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan dasar-dasar pandangan dunia materialis!
2. Jelaskan definisi tentang materi dan material!
3. Jelaskan kritikan-kritikan terhadap dasar pertama!
4. Jelaskan kritikan-kritikan terhadap dasar kedua!
5. Sanggahlah dasar ketiga!
6. Terangkan kritik-kritik dasar keempat!

15
PELAJARAN 15 PELAJARAN 15

Materialisme Dialektika: Analisis dan Kritik

Materialisme Mekanika dan Dialektika
Materialisme memiliki berbagai macam aliran. Setiap aliran menafsirkan fenomena alam ini dengan caranya masing-masing. Di awal era modern, kaum Materialisme-yang terilhami oleh fisika Newton-menafsirkan fenomena alam ini sesuai dengan gerak mekanik, yaitu bahwa setiap gerak merupakan akibat dari kekuatan penggerak tertentu, yang lalu masuk ke dalam benda yang bergerak. Artinya mereka menggambarkan bahwa alam ini merupakan mesin raksasa; yang kekuatan penggerak di dalamnya berpindah-pindah sehingga mengakibatkan gerak seluruh mesin. Teori ini dinamakan Materialisme Mekanika.
Adanya berbagai kelemahan pada pandangan ini membuka banyak tanggapan kritis. Di antaranya, apabila setiap gerakan itu disebabkan oleh kekuatan luar, maka mesti diasumsikan adanya kekuatan penggerak lain yang datang dari luar untuk menggerakkan materi pertama bagi alam semesta ini. Hal ini membawa kita untuk beriman kepada maujud di balik materi, setidaknya sebagai sebab pada gerak awal yang terdapat pada alam materi ini.
Kritik lain atas pandangan Materialisme Mekanika, bahwa kekuatan mekanika hanya menjelaskan gerak-gerak posisif (wadh'i). Padahal fenomena alam semesta tidak mungkin dibatasi dengan perubahan posisi dan tempat. Oleh karena itu, kita mesti mengimani adanya sebab dan faktor lain untuk menafsirkan kemunculan seluruh fenomena alam ini. Kritik-kritik tersebut mendorong penganutnya mengkaji faktor lainnya untuk menafsirkan adanya perubahan dan gerak pada alam ini. Paling tidak, mereka berusaha untuk menafsirkan sebagian gerak dengan penafsiran dinamika sehingga dapat mengasumsikan adanya gerak esensial bagi materi tersebut.
Pendiri Materialisme Dialetika (Marx dan Engels) menilai bahwa faktor gerak tersebut adalah tadhad dakhili (kontradiksi internal) di dalam fenomena-fenomena materi. Dalam masalah ini, mereka menggunakan teori-teori filsafat Hegel. Di samping meyakini bahwa materi itu bersifat abadi, azali, tidak akan rusak, tidak dicipta, memiliki gerak yang menyeluruh, dan adanya interaksi antarfenomena, mereka pun mengajukan tiga prinsip untuk menjelaskan pandangannya:
- Prinsip Kontradiksi Internal.
- Prinsip Lompatan, atau perubahan kuantitas (kamm) kepada kualitas (kaif).
- Prinsip Negasi terhadap Negasi, atau dinamika alami.

Berikut ini penjelasan sekaligus kritik atas tiga prinsip tersebut.

Prinsip Kontradiksi Internal
Materialisme Dialetika percaya bahwa setiap benda tersusun dari dua kontradiksi (tesis dan antitesis). Kontradiksi ini merupakan faktor utama bagi gerak dan perubahan benda tersebut. Dalam pergulatan tesis dan antitesis, yang kedua ini dapat mengalahkan yang pertama sehingga munculah materi baru yang disebut dengan sintesis. Misalnya, telur ayam itu mengandung sperma, kemudian secara berangsur mengalami perubahan dan perkembangan dengan mencerna makanan yang terdapat di dalamnya. Dan akhirnya ia melahirkan anak ayam yang merupakan sintesis. Gelombang listrik yang memuat aliran positif dan negatif adalah contoh lain akan adanya kontradiksi dalam fenomena fisika. Demikian juga dengan teori menghimpun dan membagi dalam Matematika pemula, atau pecahan dan integral dalam Matematika tingkat tinggi.
Materialisme Dialektika juga berperan dalam berbagai peristiwa sosial dan sejarah. Misalnya pada masyarakat kapitalis, kita dapati adanya golongan proletariat (buruh), yang merupakan antitesis bagi golongan borjuis, dan secara berangsur mengalahkan yang kedua, kemudian muncullah masyarakat sosialis komunis sebagai sintesis. Para pendukung teori Marxis juga menambahkan, bahwa prinsip kontradiksi ini dapat membuktikan kebatilan prinsip metafisika, yakni hukum nonkontradiksi.

Kritik
Perlu kami tekankan bahwa tidak seorang pun yang menolak adanya dua realitas materi yang saling bersentuhan sebegitu rupa hingga salah satunya mendesak yang lainnya, atau malah menghancurkannya, sebagaimana hal ini dapat kita saksikan pada air dan api. Meski begitu, pertama: kondisi seperti ini tidak bersifat mutlak dan tidak mungkin dapat kita terima sebagai sistem alam yang universal. Karena dapat kita metemukan ratusan bahkan ribuan fakta yang menentang kenyataan ini.
Kedua, adanya kontradiksi pada sebagian fenomena alam tidak ada hubungannya dengan kontradiksi yang diyakini kemustahilannya oleh logika klasik dan Filsafat Murni. Karena, kemustahilan yang mereka akui adalah ber-kumpulnya dua hal yang kontradiktif pada "satu subjek". Sedangkan contoh-contoh kontradiksi yang diyakini kaum materialis tidak menyoroti satu subjek. Kita pun tidak butuh kepada contoh-contoh dangkal atas dua hal kontradiktif yang menjadi bahan cemoohan kaum Marxisme seperti; berkumpulnya antara menghimpun dan mengurai, bilangan pecahan dan bilangan yang benar (integral) dan ramalan kosong yang mereka buat-buat tentang munculnya kekuasaan golongan proletariat di negara-negara sosialis.
Ketiga, apabila setiap fenomena mesti terangkap dari dua hal yang kontradiktif (tesis dan antitesis), masing-masing dari keduanya itu mesti terangkap pula, karena mereka itu adalah fenomena. Berdasarkan prinsip kontradiksi, tesis maupun antitesis mesti tersusun dari dua hal yang kontradiktif. Konsekuensinya, bahwa setiap fenomena yang terbatas mesti tersusun dari kontradiksi-kontradiksi yang tak terbatas.
Sekaitan dengan kontradiksi internal yang mereka angkat sebagai faktor penggerak, yang dengan cara ini mereka ingin menutupi sejumlah kelemahan Materialisme Mekanika, kritik yang paling ringan atasnya adalah bahwa tidak didapati argumentasi ilmiah apapun yang mendukung prinsip tersebut. Di samping itu, kita tidak dapat mengingkari adanya gerak-gerak mekanis yang terjadi akibat kekuatan luar. Lain halnya jika mereka mengatakan pula bahwa gerak bola pun muncul akibat adanya kontradiksi internal di dalam bola itu sendiri, bukan akibat dari tendangan pemain sepak bola?!

Dasar Lompatan
Kita saksikan bahwa berbagai perubahan alam tidak seluruhnya terjadi secara berangsur dan segaris. Bahkan banyak sekali fenomena yang baru itu muncul, namun tidak semirip fenomena-fenomena sebelumnya. Dalam hal ini, kita tidak dapat menganggap bahwa fenomena yang baru tersebut adalah imtidad (ekstensi) perubahan dan gerak sebelumnya.
Berangkat dari sinilah kaum materialis meyakini prinsip lain, yaitu lompatan (thafrah), atau perpindahan dari perubahan kuantitas ke perubahan kualitas. Artinya, ketika perubahan kuantitas mencapai tingkat tertentu, ia akan berubah menjadi kualitas yang baru dan menjadi sebab atas terjadinya perubahan kualitas tersebut. Sebagai contoh, air ketika diletakkan di atas api, derajat panasnya akan meningkat. Kemudian jika panasnya itu meningkat sampai derajat tertentu (100 derajat celsius), ia akan berubah menjadi uap. Demikian pula, setiap lempengan tembaga yang memiliki titik leleh tertentu, yang bila dipanaskan sampai derajat tertentu, ia akan berubah dan mencair. Tidak beda halnya dengan masyarakat. Bila terjadi pergulatan antarkelas sosial, pada puncaknya pasti akan terjadi revolusi.

Kritik
Pertama, tidak ada fenomena apa pun yang di dalamnya terjadi perubahan kuantitas kepada kualitas. Maksimal yang bisa kita katakan bahwa terjadinya fenomena tertentu itu tergantung pada wujud kuantitas tertentu, misalnya derajat panas air itu tidak akan berubah menjadi uap. Akan tetapi perubahan air menjadi uap itu tergantung pada panas yang telah mencapai tingkat tertentu.
Kedua, tidak mesti kuantitas itu akan terjadi dalam derajat tertentu akibat bertambahnya kuantitas yang sebelumnya secara berangsur. Bahkan hal itu bisa terjadi akibat sedikitnya kuantitas yang sebelumnya, seperti perubahan uap ke air yang bergantung pada turunnya derajat panas.
Ketiga, berbagai perubahan kualitas tidak selamanya terjadi secara seketika dalam satu waktu. Bahkan tidak jarang ia terjadi secara berangsur, seperti melelehnya lilin atau kaca. Maka itu, yang dapat diterima adalah kemestian terpenuhinya kuantitas tertentu dalam mewujudkan sebagian fenomena alam, bukan adanya perubahan kuantitas kepada kualitas, bukan pula bertambahnya kuantitas secara berangsur. Dan kita pun sulit tidak menerima universalitas prinsip ini kepada semua perubahan kuantitas. Jadi, sebenarnya tidak ada sistem alam universal yang dinamakan lompatan (insidental) atau perpindahan dari berbagai perubahan kuantitas menuju perubahan-perubahan kualitas.

Prinsip Negasi terhadap Negasi
Prinsip ini disebut juga dengan hukum perkembangan dua kontradiktif atau dinamika alami. Yaitu, bahwa dalam perubahan dialektis yang bersifat universal, tesis itu bisa lenyap dengan perantara antitesis. Dan antitesis ini-pada gilirannya-akan lenyap dengan perantara sintesis. Ini dapat kita amati pada dunia tumbuh-tumbuhan; sebuah pohon dapat melenyapkan bijinya, lalu pohon itu sendiri pada gilirannya akan dilenyapkan oleh bibit-bibit yang baru. Demikian pula sperma, ia dapat melenyapkan sel telur yang pada gilirannya pun akan dilenyapkan oleh itik. Akan tetapi, dengan proses semacam ini, fenomena yang baru akan lebih banyak memiliki kesempurnaan dibandingkan fenomena sebelumnya. Dengan ungkapan lain, gerak dialektis senantiasa mengalami peningkatan dan penyempurnaan. Pada poin inilah dasar penting ini tersembunyi, karena ia dapat menunjukkan gerak perubahan dan menekankan peningkatan dan kesempurnaan gerak tersebut.

Kritik
Tentu dalam setiap perubahan, keadaan sebelumnya akan sirna lalu muncul fenomena baru. Apabila prinsip di atas itu mengarah kepada pengertian ini, ia tidak menghasilkan selain interpretasi atas kelaziman suatu perubahan. Akan tetapi, interpretasi ini-yaitu bahwa arah gerak itu terbatas, bahwa gerak itu senantiasa mengalami peningkatan dan penyempurnaan, dan bahwa fenomena berikutnya mesti lebih sempurna dari yang sebelumnya-tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang berlaku secara universal atas semua gerak dan perubahan alam. Apakah uranium yang berubah menjadi peluru setelah diproses dan disinari berarti ia lebih sempurna? Apakah air menjadi lebih sempurna ketika ia berubah menjadi uap? Ataukah uap tersebut lebih sempurna ketika berubah menjadi air? Dan apakah ketika pohon itu kering dan layu hingga tidak tersisa lagi buah dan bijinya sedikit pun, berarti ia lebih banyak memiliki kesempurnaan?
Betul bahwa sebagian realitas alam ini lebih banyak memiliki perkembangan dan kesempurnaan akibat adanya perubahan dan gerak. Meski begitu, hukum ini tidak meliputi setiap gerak dan perubahan. Karenanya, kita tidak dapat menerima prinsip perkembangan dan kesempurnaan sebagai suatu hukum yang universal atas setiap fenomena alam.
Akhirnya, perlu kami tekankan di sini, meskipun diasumsikan bahwa prinsip-prinsip tersebut berlaku atas alam semesta, maksimal yang mungkin dapat ditetapkan olehnya adalah bahwa ia menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena tersebut, sebagaimana hal ini terdapat dalam semua hukum yang terdapat pada ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, keberadaan hukum yang bersifat universal dan berlaku pada alam materi ini tidak berarti bahwa berbagai fenomena dan peristiwa tidak butuh lagi kepada pencipta dan sebab pengada. Sebagaimana pada pelajaran sebelumnya, materi itu merupakan mumkinul wujud (wujud mungkin), yang secara pasti ia senantiasa butuh kepada wajibul wujud.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara Materialisme Dialetika dan Materialisme Mekanika!
2. Terangkan prinsip kontradiksi dan kritik-kritik terhadapnya!
3. Terangkan prinsip lompatan dan kritik-kritik terhadapnya!
4. Terangkanlah prinsip menafikkan negatif dan ajukan kritik terhadapnya!
5. Jika diasumsikan bahwa prinsip-prinsip itu benar dan bersifat universal, apakah berarti bahwa alam ini tidak butuh lagi kepada pencipta, dan mengapa?

16
PELAJARAN 16 PELAJARAN 16

Tauhid kepada Allah

Mukadimah
Pada pelajaran sebelumnya, telah kita buktikan kemestian adanya Tuhan Pencipta alam semesta, Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Dialah yang menciptakan, memelihara dan mengatur alam semesta. Pada pelajaran terakhir, juga kami telah memaparkan pandangan dunia Materialisme terhadap alam semesta. Dan melalui catatan kritis kami terhadap beberapa pandangan tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa kemestian adanya alam semesta tanpa Tuhan adalah kemestian yang irrasional dan penafsiran yang tidak mungkin dapat diterima.
Selanjutnya, kami akan membahas tema Tauhid, sekaligus menyanggah pandangan dan keyakinan orang-orang musyrik.
Para sosiolog mengajukan berbagai macam pandangan seputar perkembangan keyakinan-keyakinan syirik di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan silih-berganti. Akan tetapi, pandangan dan penafsiran itu tidak berdasarkan dalil yang valid.
Ada kemungkinan bahwa faktor pertama kecenderungan syirik dan keyakinan pada banyaknya tuhan adalah tatkala seseorang melihat beragamnya realitas-realitas di langit dan bumi. Dari itulah mereka berkeyakinan bahwa setiap bagian realitas tunduk di bawah pengaturan Tuhan tertentu. Sebagian dari mereka percaya bahwa seluruh kebaikan bersumber dari Tuhan kebaikan, dan seluruh keburukan berasal dari Tuhan keburukan. Berangkat dari sinilah mereka yakin bahwa alam semesta ini memiliki dua sumber wujud dan pencipta.
Demikian pula pengamatan mereka terhadap pengaruh sinar matahari, bulan dan bintang-bintang terhadap realitas bumi, sehingga mereka-dari satu sisi-memandang bahwa benda-benda tersebut memiliki suatu bentuk pengaturan terhadap apa yang ada di bumi. Dari sisi lain, kecondongan manusia untuk menyembah sembahan yang dapat diindra mendorong mereka untuk membuat berbagai lambang dan simbol bagi tuhan-tuhan yang mereka anggap untuk kemudian mereka sembah. Lambang itu lambat laun mendarah daging di hati orang-orang yang pikirannya lemah. Selanjutnya, setiap bangsa bahkan suku membuat ritual keagamaan tertentu-sesuai dengan anggapan mereka-untuk menyembah lambang tersebut. Dengan cara itulah mereka dapat memenuhi desakan fitrah (menyembah Allah) dari dalam diri mereka.
Lebih dari itu, mereka pun memenuhi tuntutan-tuntutan hewani dan hawa nafsunya dalam bentuk kesucian agama. Sebagian dari ritual-ritual keagamaan tersebut masih berlanjut hingga sekarang, yang disertai dengan berbagai macam tarian, nyanyian, minum khamar, hubungan seks dan perilaku hewani lainnya yang semuanya mewarnai suasana ritual keagamaan para penyembah lambang tersebut.
Di samping itu semua, adanya tujuan para penguasa zalim, congkak dan tamak, yang sengaja ingin memanfaatkan keyakinan dan pemikiran masyarakat awam demi memenuhi ambisi busuk mereka, mengokohkan dan memperluas daerah kekuasaan mereka. Untuk tujuan itulah mereka menebarkan keyakinan-keyakinan syirik, menurunkan pengaturan alam di bawah kuasa mereka, dan menjadikan raja-raja yang zalim sembahan dan bagian dari upacara keagamaan. Kenyataan ini tampak begitu jelas pada raja-raja dan sultan-sultan di Cina, India, Iran, Mesir dan negeri-negeri yang lain.
Dengan demikian, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu sudah tumbuh di tengah umat manusia karena faktor yang beragam. Lalu, keyakinan-keyakinan itu tersebar luas sehingga menjadi kendala bagi proses kesempurnaan hakiki umat manusia; proses yang hanya dapat dicapai melalui ajaran Ilahi dan Tauhid. Maka itu, para nabi mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk memberantas syirik, sebagaimana konfrontasi antara hak dan batil ini banyak disinggung oleh Al-Qur'an.
Pada dasarnya, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu bertumpu pada kepercayaan adanya pengatur alam selain Allah. Di samping itu, banyak kaum musyrik yang percaya bahwa pencipta alam semesta adalah satu. Nyatanya, mereka mempercayai konsep Tauhid dalam penciptaan. Namun pada waktu yang sama, mereka pun meyakini adanya tuhan-tuhan sebagai pengatur alam secara mandiri, dan mereka juga menamakan Tuhan Pencipta sebagai "Tuhan di atas tuhan-tuhan pengatur".
Sebagian mereka menganggap bahwa tuhan-tuhan pengatur itu adalah malaikat. Musyrikin Arab percaya bahwa tuhan-tuhan pengatur itu adalah putri-putri Allah, sebagian lain percaya bahwa mereka itu adalah jin, ada pula yang percaya bahwa mereka itu adalah ruh bintang-bintang atau ruh orang-orang terdahulu atau bentuk-bentuk maujud yang abstrak.
Pada pelajaran 10, kami telah mengisyaratkan adanya kaitan yang erat antara penciptaan (Khaliqiyah) dan pengaturan (Rububiyah) yang hakiki. Sehingga keimanan pada penciptaan dan pengaturan itu tidak dapat dipisahkan sama sekali, dan keimanan pada Allah sebagai pencipta tidak sejalan dengan kepercayaan kepada selain Allah sebagai pengatur. Mereka yang memiliki keyakinan seperti ini belum menyadari adanya kontradiksi di dalamnya. Untuk menyanggah keyakinan mereka, cukuplah dengan mengangkat poin kontradiksi tersebut.
Sebenarnya banyak sekali dalil atas Tauhid kepada Allah yang telah dipaparkan di berbagai kitab Teologi dan Filsafat. Di sini, kami hanya akan membawakan satu dalil yang secara langsung menunjukkan Tauhid dalam pengaturan, sekaligus menyanggah keyakinan-keyakinan kaum musyrik.

Argumen atas Tauhid kepada Allah
Sesungguhnya kemestian banyaknya tuhan bagi alam semesta ini tidak keluar dari asumsi berikut ini: Pertama: Kita memestikan bahwa setiap realitas alam ini merupakan akibat dan diciptakan oleh seluruh tuhan tersebut.
Kedua: Setiap unit atau kelompok realitas alam ini adalah akibat dan diciptakan oleh satu di antara tuhan-tuhan.
Ketiga: semua realitas di alam ini diciptakan oleh Tuhan Yang Esa, sementarta tuhan-tuhan yang lain berperan sebagai pengatur mereka.
Asumsi bahwa setiap realitas alam ini memiliki banyak tuhan sebagai pencipta adalah mustahil. Sebab, keyakinan ini berarti memestikan ada dua tuhan atau lebih sebagai pencipta (baca: sebab-pewujud). Yakni, bahwa setiap tuhan itu memberi wujud kepada setiap realitas alam. Konsekuensinya, setiap realitas itu memiliki tuhan-tuhan sebanyak bilangan yang diasumsikan, sementara setiap realitas hanya memiliki satu wujud saja. Karena jika tidak demikian, setiap realitas tidak lagi satu.
Adapun asumsi bahwa setiap tuhan menciptakan satu makhluk atau sekelompok makhluk tertentu, berarti bahwa masing-masing makhluk itu bergantung hanya kepada penciptanya saja dan tidak butuh kepada maujud yang lain, kecuali dalam hal-hal yang kebutuhannya itu berakhir kepada penciptanya. Dan ini merupakan kebutuhan yang khas bagi makhluk-makhluknya.
Dengan kata lain, asumsi kedua itu melazimkan pula adanya sistem yang banyak di dalam alam, dan setiap sistem itu mandiri dan terpisah dari yang lain, padahal alam ini hanya memiliki satu sistem. Sebagaimana terdapat hubungan di antara realitas-realitas alam pada satu zaman, yang setiap mereka butuh kepada yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada hubungan di antara realitas-realitas sebelumnya dengan realitas-realitas yang sedang berlangsung. Demikian juga antara realitas-realitas yang sedang berlangsung dengan yang berikutnya dan setiap realitas yang lalu merupakan prasyarat bagi wujud berikutnya. Dengan begitu, alam yang terdiri dari bagian-bagian ini saling berhubungan dan berkait diatur oleh satu sistem yang tidak mungkin sebagai akibat dari beberapa sebab pengada.
Adapun asumsi bahwa pencipta seluruh makhluk adalah Tuhan Yang Esa, sedangkan tuhan-tuhan yang lain bertugas mengatur alam, tidaklah benar. Karena seluruh wujud dan aktifitas setiap akibat itu bergantung kepada sebab yang mengadakannya, dan tidak ada celah bagi maujud mandiri apa pun untuk ikut campur dalam urusan tersebut, selain interaksi antara sesama akibat-akibat dari satu sebab; yang tentunya seluruh akibat ini tunduk kepada sebab pengada mereka, tidak keluar dari wilayah kekuasaan-Nya, dan satu pun tidak akan terjadi kecuali dengan izin cipta-Nya.
Dengan demikian, tuhan-tuhan itu-selain Tuhan Pencipta dan Pewujud-bukan tuhan dalam arti yang sebenarnya. Karena, makna Tuhan yang sebenarnya adalah Dzat yang dapat memperlakukan segala makhluk-Nya secara mandiri. Sedangkan pada asumsi di atas, tuhan-tuhan itu tidak mandiri dalam pengaktifkan kekuasaan mereka, bahkan mereka itu adalah serpihan dari rububiyah Pencipta Sejati dan menjadi aktif dengan kekuatan yang Dia berikan kepada mereka. Tanpa anugerah-Nya, segala aktifitas apa pun tidak akan terwujud.
Maka itu, asumsi adanya tuhan-tuhan pengatur alam tidak menafikan Tauhid Rububiyah (tauhid dalam pengaturan), sebagaimana suatu penciptaan yang terjadi dengan izin Allah pun tidak menafikan Tauhid Khaliqiyyah-Nya. Di dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis, terdapat ungkapan yang menun-jukkan ketetapan penciptaan atau pengaturan vertikal (taba'i) dan tidak mandiri pada sebagian hamba-hamba Allah. Sekaitan dengan ihwal Nabi Isa as, Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah ketika kamu menciptakan dari tanah seperti bentuk burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniupkan padanya, lalu ciptaan itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan izin-Ku." (QS. Al-Maidah: 110)
Di ayat lain Allah SWT berfirman:
"Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur suatu urusan." (QS. An-Nazi'at: 5).
Alhasil, dugaan tentang kemungkinan adanya tuhan-tuhan bagi alam ini muncul dari menyerupakan Allah dengan sebab-sebab material dan sebab-sebab penyiap, sehingga dapat dikatakan bahwa tuhan itu bisa berbilang bagi satu akibat. Akan tetapi, kita tidak mungkin dapat menyerupakan sebab pewujud dengan sebab-sebab tersebut, atau mengasumsikan diwujudkannya suatu akibat oleh sejumlah sebab pewujud dan sebilang pengatur yang mandiri.
Jadi, untuk menyanggah dugaan tersebut, kita mesti berpikir lebih dalam tentang konsep sebab pengada dan ciri-ciri khasnya sehingga kita mengetahui kemustahilan berbilangnya sebab bagi satu akibat. Demikian pula kita mesti perhatikan saling terkaitnya sesama realitas alam, tampak jelas bahwa sistem yang saling terpadu di alam semesta ini tidak mungkin diciptakan oleh banyaknya tuhan atau tunduk pada pengaturan banyaknya pengatur yang mandiri.
Dari penjelasan di atas menjadi jelas pula bahwa keyakinan terhadap wilayah takwiniyah (kekuasaan cipta) pada sebagian hamba yang saleh tidak menafikan keimanan terhadap Tauhid. Akan tetapi, jangan sampai kita menafsirkan wilayah ini dengan makna penciptaan atau pengaturan yang mandiri. Sebagaimana keyakinan terhadap wilayah tasyri'iyah (kekuasaan hukum) pada Nabi saw dan para imam maksum as juga tidak menafikan pengaturan kekuasaan hukum Allah (tasyri'iyah Ilahiyyah). Karena wilayah itu diwujudkan oleh Allah, dengan izin-Nya, dan bersumber dari-Nya.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

1. Jelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya keyakinan-keyakinan syirik!
2. Apakah dasar yang menjadi pusat keyakinan-keyakinan syirik tersebut?
3. Jelaskan hubungan pasti antara penciptaan dan pengaturan!
4. Mengapa kita tidak mungkin memestikan banyaknya tuhan sebagai pencipta satu akibat?
5. Mengapa kita tidak mungkin meyakini bahwa sekelompok makhluk diciptakan oleh pencipta tertentu?
6. Apakah sanggahan atas keyakinan bahwa seluruh alam ini diciptakan oleh satu tuhan, dan pada saat yang sama ia memiliki pengatur-pengatur yang mandiri?
7. Dari mana munculnya dugaan tentang kemungkinan adanya banyak tuhan? Dan bagaimana cara menyanggahnya?
8. Mengapa keyakinan terhadap wilayah takwiniyah bagi para wali Allah tidak menafikan Tauhid penciptaan (Khaliqiyyah) dan pengaturan (Rububiyyah)?


17
PELAJARAN 17 PELAJARAN 17

Beberapa Istilah Tauhid

Mukaddimah
Secara leksikal, kata tauhid berarti "menganggap sesuatu itu satu". Menurut istilah kaum filsuf, teolog, ulama akhlak, dan ahli irfan, tauhid digunakan dalam arti yang beragam. Masing-masing arti terfokus pada keesaan Allah SWT dari sisi tertentu. Dan terkadang keragaman itu dipandang sebagai ungkapan dari macam-macam Tauhid, atau tingkatan-tingkatannya. Jelas kapasitas buku ini tidak sesuai untuk membahas semua arti tersebut. Untuk itu, di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa istilah dan arti yang lebih popular dan lebih sesuai dengan topik pembahasan.

Pertama: Negasi terhadap Keberbilangan
Istilah pertama yang umum dari tauhid adalah meyakini keesaan Allah, menafikan keberbilangan dari dzat-Nya. Arti ini merupakan lawan dari syirik yang nyata, yaitu keyakinan pada dua tuhan atau lebih; dengan pengertian bahwa masing-masing tuhan itu memiliki wujud mandiri dan terpisah dari yang lain.

Kedua: Negasi terhadap Ketersusunan
Ini adalah istilah kedua dari Tauhid. Yakni meyakini keesaan, basathah (kesederhanaan) di dalam dzat Allah, dan ketiadaan rangkapan pada dzat-Nya dari bagian-bagian, baik secara aktual (bil fi'li) maupun potensial (bil quwwah).
Arti ini pada umumnya diungkapkan dalam bentuk sifat salbiyah sebagaimana telah kami singgung pada pelajaran sepuluh. Sebab, pikiran kita lebih akrab dengan konsep rang-kapan dan sekaligus lawannya, yakni menafikan rangkapan, dari pada konsep basith (sederhana).

Ketiga: Negasi terhadap Perbedaan Sifat dari Dzat
Istilah ketiga berarti keyakinan bahwa sifat-sifat dzatiyah itu identik dengan dzat Allah dan menafikan sifat-sifat yang berbeda dengan dzat-Nya. Istilah ini dinamai dengan "Tauhid Sifati". Dalam riwayat disebutkan dengan ungkapan "Menafikan Sifat-sifat" sebagai lawan dari pandangan sebagian madzhab (misalnya Asy'ariyyah) yang meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu adalah berbeda dengan dzat-Nya. Mereka meyakini "Al-Qudama' Ats-Tsamaniyah" (delapan sifat asli).
Dalil atas Tauhid Sifati adalah: seandainya masing-masing sifat Allah adalah realitas yang mandiri, persoalannya tidak keluar dari beberapa hal berikut ini: Pertama: kita meng-asumsikan bahwa realitas sifat-sifat itu berada di dalam dzat Allah. Asumsi semacam ini melazimkan tersusunnya dzat Allah dari bagian-bagian. Padahal, sebelumnya telah kami jelaskan kemustahilan hal ini.
Kedua: kita mengasumsikan bahwa realitas sifat Allah berada di luar dzat-Nya. Di sini, kita bisa andaikan sifat ini ke dalam dua hal: ia sebagai wajibul-wujud yang tidak butuh kepada pencipta, atau sebagai mumkinul-wujud yang diciptakan oleh Allah SWT.
Bila kita ambil yang pertama, bahwa realitas sifat-sifat Allah adalah wajibul-wujud, berarti bahwa dzat Allah itu berbilang; sebuah corak keyakinan syirik yang nyata, dan saya tidak menduga ada seorang muslim yang berpandangan demikian ini. Atau kita asumsikan realitasnya sebagai mumkinul-wujud, ini justru melazimkan bahwa dzat Ilahi-dalam keadaan tidak memiliki sifat-sifat ini-menciptakan sifat-sifat tersebut kemudian Dia menyandang sifat-sifat yang dibuatnya itu.
Misalnya, ketika secara substansial dzat Allah tidak memiliki sifat hayat (hidup), kemudian Dia menciptakan sesuatu maujud yang dinamakan hayat (hidup), setelah itu barulah Dia tersifati dengan sifat hayat ini. Begitu juga dengan sifat Ilmu, kuasa dan lainnya. Padahal, mustahil apabila sebab pengada itu secara substansial tidak memiliki kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya. Lebih ganjil lagi, jika kita meyakini bahwa Pencipta itu memperoleh sifat hidup, ilmu, dan kuasa dari makhluk-makhluk-Nya, lalu Dia disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan berkat makhluk-nya tersebut.
Dengan gugurnya asumsi-asumsi di atas, tampak jelas bahwa masing-masing sifat Ilahi itu bukanlah realitas yang mandiri dan terpisah dari dzat-Nya. Pada hakikatnya, semua sifat itu merupakan konsep-konsep yang dicerap oleh akal dari satu realitas yang sederhana (basith), yaitu dzat Allah Yang Suci.

Keempat: Tauhid Tindakan.
Istilah keempat yang berkembang di kalangan filsuf dan teolog ini menyatakan bahwa Allah swt. dalam segala tindakan-Nya tidak butuh kepada apa pun, dan tidak mungkin ada satu maujud pun yang memberikan bantuan kepada-Nya dalam segala tindakan-Nya.
Tauhid ini dapat kita buktikan melalui sifat khas sebab pengada, yaitu qayyumiyyah, ketika dikaitkan dengan seluruh akibat-Nya. Yakni, akibat yang terwujud dari sebab seperti ini bergantung mutlak kepadanya. Dalam Filsafat, akibat ini bermakna bahwa sejatinya ia (bukan dzat yang bergantung, tetapi) relasi ketergantungan itu sendiri kepada sebabnya; ia tidak memiliki kemandirian sedikit pun.
Dengan kata lain, segenap yang dimiliki oleh akibat hanyalah berian dari Sebab Pengada (Allah), tunduk di bawah kekuasaan cipta dan kepemilikan-Nya yang hakiki. Adapun kekuasaan dan kepemilikan selain Allah adalah kepanjangan dari kekuasaan-Nya.
Dua kekuasaan vertikal ini tidaklah berbenturan, layaknya kepemilikan harta yang bersifat konvensional yang diperoleh seorang budak melalui usaha. Harta itu merupakan kepanjangan dari kepemilikan majikannya. Jika diri budak dan apa yang dimilikinya adalah milik majikannya, bagaimana mungkin Allah membutuhkan bantuan kepada selain-Nya yang seluruh wujud dan urusannya bergantung kepada-Nya?

Kelima: Pengaruh Mandiri
Istilah Tauhid yang kelima ini berarti kemandirian dalam memberi pengaruh, yakni bahwa seluruh makhluk dalam segala tindakannya tidak mungkin tidak butuh kepada Allah, bahwa segala bentuk interaksi pengaruh di antara makhluk berlangsung hanya karena izin Allah dan di bawah kekuasaan yang dianugerahkan kepada mereka.[1] Pada hakikatnya, dzat yang kuasa-secara mandiri dan tanpa butuh kepada selainnya-memberi pengaruh pada sesuatu dan dalam setiap kondisi hanyalah Allah Yang Mahasuci. Adapun seluruh tindakan dan pengaruh selain Allah adalah perpanjangan dari tindakan dan pengaruh-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya.
Atas dasar inilah Al-Qur'an menisbahkan segenap pengaruh pelaku dan sebab natural ataupun nonnatural (seperti malaikat, jin dan manusia) kepada Allah SWT. Misalnya, Al-Qur'an menisbahkan turunnya hujan, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan berbuahnya pepohonan kepada Allah SWT. Banyak ayat yang mendesak manusia agar mencermati penisbahan ini, dan merenungkan hubungan vertikal antara pengaruh Tuhan dan pengaruh sebab-sebab selain-Nya.
Sebagai pendekatan, kami ajukan sebuah ilustrasi: yaitu seorang pengawai melakukan sebuah tindakan yang diperintahkan oleh atasannya. Tentu, tindakan itu dinisbahkan kepada atasan tersebut, meski pada saat yang sama dilakukan oleh pegawainya. Bahkan dalam pandangan umum manusia, penisbahan tindakan pegawai itu kepada atasannya lebih akurat.
Pelaku dalam tata cipta juga memiliki rangkaian mata rantai. Yakni, mengingat bahwa wujud setiap pelaku itu bergantung kepada kehendak Allah, semisal bergantungnya wujud bayangan di benak kepada diri empunya (kendati bagi Allahlah misal yang lebih agung), maka pengaruh-pengaruh sebab-akibat yang muncul dari setiap pelaku dan pemberi pengaruh-pada mata rantai tertingginya-bergantung dan bernisbah kepada izin dan kehendak kausal Allah SWT. (La Haula wa la Quwwata illa bil-Lahil Aliyyil Adhim; tiada daya dan kekuatan kecuali karena Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung).

Dua Konsekuensi Penting
Konsekuensi pertama dari Tauhid Tindakan ialah bahwa manusia hendaknya tidak memandang siapa pun dan apa pun yang berhak disembah selain Allah SWT. Seperti yang telah kami isyaratkan sebelumnya, bahwa apa pun selain Pencipta dan Pengatur makhluk tidak berhak disembah, yakni bahwa Uluhiyyah berkaitan erat dengan Khaliqiyah dan Rububiyah.
Konsekuensi kedua dari Tauhid dengan makna terakhir ialah bahwa manusia-dalam segala keadaannya-harus bersandar dan bertawakal kepada Allah, serta memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala upaya. Hendaknya ia tidak meminta bantuan kecuali kepada-Nya, tidak mengharap atau merasa cemas kecuali kepada-Nya dan dengan-Nya; sehingga seandainya sebab-sebab yang biasa tidak memenuhi kebutuhan dan keinginannya, maka ia tidak mengalami rasa putus asa dan kecewa, karena Allah mampu memenuhi kebutuhannya melalui jalur-jalur dan sebab-sebab yang tidak biasa. Keadaan orang seperti ini sungguh berada di bawah naungan kekuasaan khusus Allah, sehingga ia hidup dalam jiwa yang tenang yang tidak ada bandingannya. Allah SWT berfirman:
"Ketahuilah, sesungguhnya awliya Allah itu tidak pernah merasa khawatir dan bersedih hati." (QS. Yunus: 62).
Dua konsekuensi di atas terkandung di dalam ayat yang sering dibaca oleh setiap muslim, minimal sepuluh kali dalam sehari:
"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon perlindungan." (QS. Al-Fatihah: 5).

Sebuah Keraguan
Di sini, barangkali terbetik sebuah keraguan.Yaitu, kalaulah tauhid yang sempurna itu melazimkan agar manusia tidak lagi memohon pertolongan kepada selain Allah, maka ber-tawassul kepada para wali Allah adalah perbuatan yang tidak benar.
Jawab: jika dimaksudkan dari tawassul itu ialah pengakuan terhadap kekuasaan para wali untuk menolong pelaku tawassul secara mandiri dan lepas dari izin Allah, tawassul yang seperti ini tidaklah sesuai dengan Tauhid. Adapun tawassul dalam pengertian bahwa Allahlah yang menjadikan para wali-Nya itu sebagai wasilah untuk mencapai rahmat-Nya, dan Dia pun memerintahkan tawassul melalui mereka, tawassul seperti ini-di samping tidak menafikan Tauhid-justru sebuah manifestasi Tauhid dalam ibadah dan ketaatan, karena tawassul ini dilakukan atas perintah Allah SWT.
Adapun mengapa Allah SWT menetapkan wasilah-wasilah ini? Dan mengapa Dia memerintahkan manusia ber-tawassul kepada para wali-Nya?, perintah dan ketetapan Ilahi ini memiliki hikmah dan maslahat sebagaimana di bawah ini:
o Memperkenalkan derajat yang tinggi yang telah dicapai oleh hamba-hamba-Nya yang saleh.
o Mendorong mereka kepada ibadah dan ketaatan yang dapat mengantarkannya kepada derajat yang tinggi itu.
o Mencegah mereka dari memandang dirinya unggul dan merendahkan orang lain karena merasa paling benar ibadahnya, merasa bahwa dirinya telah mencapai derajat tertinggi dan kesempurnaan insani yang teragung. Sangat disayangkan bahwa hal semacam ini menimpa mereka yang terhalangi dari nikmat wilayah Ahlul Bait as dan tawassul kepada mereka.[]

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan arti leksikal dan arti teknikal (istilah) Tauhid!
2. Apakah dalil atas Tauhid Sifati?
3. Bagaimana cara menetapkan Tauhid Sifati?
4. Jelaskan Tauhid dalam arti "memberi pengaruh secara mandiri"!
5. Konsekuensi apakah yang muncul dari dua macam Tauhid yang terakhir?
6. Apakah ber-tawassul kepada para wali Allah menafikan Tauhid? Mengapa?
7. Apa hikmah di balik perintah Allah SWT untuk ber-tawassul?
________________________________________
[1] Kaum Urafa' menggunakan istilah "Tauhid Tindakan" dengan pengertian ini.


18
PELAJARAN 18 Keadilan
PELAJARAN 18
Determinasi dan Kehendak Bebas

Mukaddimah
Selaras dengan penjelasan kami pada pelajaran yang lalu, bahwa Tauhid kepada Allah sebagai Pengaruh Mutlak Yang Mandiri merupakan salah satu pengetahuan yang bernilai tinggi dan berperan besar dalam pembinaan umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur'an sangat menekankan dan menyampaikannya dengan ungkapan yang beragam sehingga dapat dipahami secara benar. Di antara ungkapan-ungkapan tersebut ialah bahwa setiap kejadian di alam ini terwujud dengan izin, masyi'ah, kehendak, qadha' dan qadar Allah.
Pemahaman yang benar atas persoalan ini, di samping memerlukan kematangan akal-pikiran, juga membutuhkan kepada pengkajian dan penafsiran yang benar. Mereka yang tidak memiliki pencerahan akal yang semestinya, tidak mau berusaha menimba ajaran-ajaran para imam yang maksum dan penafsir hakiki Al-Qur'an, akan tergelincir dalam menaf-sirkan persoalan di atas itu sedemikian rupa sehingga menisbahkan segala pengaruh sebab-akibat hanya kepada Allah SWT, sembari menafikan pengaruh apapun dari sebab-sebab dan perantara, padahal penafsiran ini bertolak belakang dengan keterangan Al-Qur'an. Mereka berusaha meyakinkan kita-misalnya-akan kebiasaan ('adah) Allah yang berlaku pada munculnya panas dari api, atau pada rasa kenyang dan segar setelah makan dan minum. Tanpa kebiasaan Allah, pada dasarnya api, makanan dan air itu tidak punya pengaruh sedikit pun dalam kejadian panas, kenyang ataupun hilangnya dahaga.
Konsekuensi buruk dari penyimpangan ini menjadi lebih jelas apabila kita mengkaji dampak-dampaknya pada tindakan-tindakan bebas manusia dan tanggung jawabnya. Bahwa timbulnya pemikiran ini adalah akibat penisbahan langsung segala tindakan manusia kepada Allah dan menafikan manusia sebagai pelaku tindakan dirinya secara mutlak. Atas dasar ini, tentu tidak seorangpun yang akan dimintai tanggung jawab atas tindakannya.
Dengan kata lain, bahwa dampak-dampak buruk pemikiran tersebut ialah keyakinan terhadap determinisime (keterpaksaan manusia) dan menampik tanggung jawab. Hal itu berarti menafikan ciri khas manusia yang paling penting, dan tidak bermanfaatnya setiap sistem pendidikan, moral, dan hukum, termasuk juga di antaranya syariat Islam.
Karena, jika kita mencabut kehendak bebas dari diri manusia atas tindakannya sendiri, tentu tidak lagi tersisa tanggung jawab, tugas, perintah, larangan, pahala dan siksa. Bahkan dapat melazimkan sia-sianya sistem alam itu; tanpa tujuan apapun di dalamnya. Sebab, penciptaan alam semesta ini-sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat dan hadis-hadis serta dalil-dalil rasional-adalah untuk menyiapkan lahan yang sesuai bagi penciptaan manusia agar dapat mencapai kesempurnaannya dan kedekatan dirinya di sisi Allah SWT sehingga ia layak mendapatkan anugerah-Nya, yaitu dengan cara menjalankan berbagai kewajiban Ilahi secara sadar dan bebas.
Adapun, asumsi bahwa manusia itu tidak memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab, ia tidaklah berhak memperoleh pahala, kesenangan abadi dan keridhaan Ilahi. Dengan demikian, tujuan dari penciptaan manusia akan gugur, undang-undang penciptaan itu akan berubah menjadi pentas besar permainan; layaknya boneka yang bergerak dan memainkan perannya tanpa kehendak dan kebebasan pada dirinya, kemudian ia dihujat dan disiksa, atau disanjung dan diganjar mulia.
Faktor terpenting yang memperluas pemikiran yang berbahaya ini ialah ambisi politis pihak penguasa zalim. Mereka menjadikannya sebagai pembenaran atas perilaku busuk mereka, menyiasati rakyat awam untuk menerima pemerintahan zalimnya, dan meredam protes serta penentangan mereka. Maka, paham Jabariyah (determinisme) merupakan cara efektif yang utama untuk membius rakyat.
Ada sebagian orang yang sadar akan bahaya Jabariyah, akan tetapi karena tidak memiliki kemampuan untuk menolak paham itu sekaligus komit pada Tauhid yang sempurna, dan tidak berusaha menggali ajaran-ajaran Ahlul Bait yang suci nun mulia, mereka malah jatuh ke dalam paham tafwidh dan Qodariyah (kebebasan mutlak manusia). Mereka menganggap bahwa tindakan bebas manusia itu di luar jangkauan tindakan Allah.Dengan begitu, sebenarnya mereka telah terjebak ke dalam bentuk dalain dari penyimpangan pemikiran, dan telah merenggang jauh dari ajaran Islam.
Sementara mereka yang memiliki kesiapan pengetahuan yang memadai dan mengenal para pengajar dan penafsir hakiki Al-Qur'an, senantiasa terjaga dari penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dari sisi lain, mereka percaya bahwa perbuatan mereka itu bersumber dari kekuatan yang Allah berikan kepada mereka, sehingga mereka bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Dari sisi lain, merekapun menyadari adanya pengaruh Allah yang mandiri pada levelnya yang lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan yang jernih.
Di dalam hadis-hadis para imam a.s.yang sampai kepada kita, terdapat keterangan-keterangan brilian mengenai masalah ini, yang tercatat di dalam kitab-kitab hadis di bawah judul "Kemampuan dan Menafikan Keterpaksaan dan Kebe-basan mutlak". Selain itu juga dicatat di dalam bab-bab; Izin, Masyi'ah, Iradah, Qadha' dan Qadar Ilahi. Terdapat sebagian hadis yang melarang orang yang minim kesiapan untuk mendalami persoalan-persoalan rumit tersebut, agar mereka tidak tertimpa penyimpangan.
Benar bahwa masalah determinisme dan kehendak bebas ini menyimpan berbagai dimensi. Meski bukui ini tidak relevan untuk mengulas semua dimensi itu, kami akan berusaha membahas beberapa di antaranya, mengingat pentingnya masalah ini, tentunya dengan metode yang sederhana. Perlu kami tekankan pula kepada mereka yang ingin meneliti lebih dalam agar bersabar dan tekun dalam mengkaji dasar-dasar filosofis masalah ini.

Penjelasan seputar Kehendak Bebas
Pada hakikatnya, kemampuan memilih dan mengambil keputusan merupakan salah satu yang begitu gamblang disadari oleh manusia. Karena, setiap orang menyadari kemampuan itu dengan pengetahuan hudhuri (presentif) yang tidak mungkin mengalami kekeliruan. Sebagaimana juga-dengan pengetahuan hudhuri ini-ia dapat merasakan kondisi jiwanya. Seandainya ia ragu akan sesuatu, tentu ia tidak ragu akan keraguannya ini, sebab ia mengetahui kondisi ragunya itu secara hudhuri, dan ia tidak mungkin ragu akan pengetahuan semacam ini.
Begitu pula, setiap orang dapat mengetahui-hanya dengan sedikit konsentrasi pada dirinya-bahwa ia mampu berbicara atau tidak. Atau, dia yakin akan kemampuannya untuk menggerakkan tangannya atau mendiamkannya. Dia pun mampu untuk menelan makanan atau tidak.
Kehendak untuk melakukan satu perbuatan itu terkadang untuk memenuhi dorongan naluri hewani, seperti rasa lapar yang mendorong seseorang untuk makan dan rasa haus yang mendorongnya untuk minum, atau terkadang untuk memenuhi kebutuhan akal dan untuk merealisasikan nilai insani yang mulia, seperti seorang pasien yang meminum obat yang pahit dengan harapan pulih. Untuk tujuan mulia ini, ia rela untuk menahan dirinya dari mengkonsumsi makanan yang ia sukai. Atau pelajar yang meninggalkan kenikmatan duniawi demi memperoleh ilmu dan hakikat kebenaran serta tabah dalam menjalani berbagai kesulitan. Juga seperti prajurit yang gagah berani, sekalipun harus mengorbankan nyawanya demi meraih cita-citanya yang tinggi.
Pada hakikatnya, nilai seseorang itu akan tampak tatkala berbagai keinginannya saling berbenturan. Untuk mencapai kesempurnaan ruhani yang abadi, qurb (kedekatan) dan keridhaan Ilahi, ia akan menepikan hasrat-hasrat hewaninya yang rendah. Dan setiap tindakan yang dilakukannya secara lebih disadari, akan berpengaruh lebih kuat pula dalam penyempurnaan atau mengerdilan jiwanya, serta akan mewujudkan kelayakan yang lebih besar dalam menerima pahala atau siksa.
Jelas bahwa kemampuan untuk melawan berbagai desakan hawa nafsunya tidaklah sama rata di antara semua orang dan dalam kaitannya dengan segala sesuatu. Kendati demikian, setiap orang, sedikit-banyaknya, memiliki anugerah Ilahi (kehendak bebas) ini. Dan, semakin ia melatih kemampuan resistensi ini, semakin ia dapat menguatkan kehendak bebasnya itu.
Oleh karena itu, kita sama sekali tidak ragu akan adanya kehendak bebas di dalam jiwa setiap manusia. Dan jangan sampai perkara yang sudah jelas ini dikeruhkan oleh berbagai keraguan. Seperti yang telah kami bahas dalam pelajaran sebelumnya, bahwasanya realitas kehendak bebas itu merupakan dasar yang begitu jelas telah diterima oleh semua sistem pendidikan, moral serta agama-agama samawi.
Tanpa kehendak bebas, tidak akan tersisa lagi peluang untuk validitas sebuah hak dan tanggung jawab, sanjungan dan hujatan, pahala dan siksa. Apa yang mengakibatkan keraguan terhadap hakikat yang jelas serta mengarah kepada paham Jabariyah yaitu munculnya sejumlah keraguan yang harus dijawab secara tuntas. Untuk itu, kami akan berusaha mendiskusikannya secara padat sebagaimana di bawah ini.

Menjawab Jabariyah
Keraguan-keraguan paling serius yang dilontarkan oleh para penganut Jabariyah adalah berikut ini:
Keraguan pertama: kehendak seseorang itu muncul lantaran bangkitnya hasrat-hasrat subjektif dari dalam dirinya. Pada gilirannya, hasrat-hasrat ini bangkit bukan karena kehendak bebasnya, bukan pula karena faktor-faktor dari luar dirinya. Maka itu, tidak ada lagi tempat untuk sebuah pemilihan dan kehendak bebas.
Jawab: bangkitnya hasrat-hasrat itu merupakan lahan penyiap untuk kehendak. Timbulnya kehendak seseorang untuk melakukan suatu tindakan bukanlah kejadian determinatif dari bangkitnya hasrat-hasrat tersebut, sehingga kemampuannya menjadi hilang. Bukti atas hal itu ialah munculnya keadaan ragu dan bimbang pada diri manusia dalam berbagai kasus. Dalam keadaan ini, untuk mengambil suatu keputusan, ia perlu merenung, berpikir serta mempertimbangkan untung ruginya suatu tindakan. Dan terkadang ia menemui kesulitan dalam melakukan semua ini.
Keraguan kedua: telah dibuktikan dalam berbagai disiplin ilmu, bahwa terdapat berbagai faktor yang heterogen yang mempunyai pengaruh dan peranan di dalam membentuk kehendak umat manusia. Faktor-faktor itu seperti keturunan dan pengaruh yang diakibatkan oleh bahan-bahan makanan dan obat-obatan tertentu. Demikian pula faktor-faktor sosial. Sesungguhnya beragamnya umat manusia di dalam tingkah laku dan sifat-sifat mereka itu tunduk kepada faktor-faktor semacam ini.
Yang perlu diperhatikan pula, bahwasanya teks-teks agama itu mendukung-dari dekat ataupun dari jauh, sedikit atau pun banyak-adanya pandangan dan pemikiran semacam ini. Oleh karena itu, tidaklah bisa diterima adanya pandangan yang menyatakan bahwa perbuatan seseorang itu timbul dari kehendak bebasnya.
Jawab: keyakinan terhadap adanya ikhtiar dan kehendak yang bebas itu tidak berarti menolak faktor-faktor ini serta pengaruh dan peranannya. Bahkan hal itu berarti bahwa meskipun faktor-faktor itu telah ada, akan tetapi manusia mempunyai pilihan dan kemampuan untuk melakukan perlawanan. Ketika terjadi pertentangan di dalam dorongan-dorongan yang bermacam-macam, didapati bahwa seseorang itu mempunyai kemampuan untuk memilih sebagiannya.
Tentunya, faktor-faktor yang dominan akan menjadi sulit untuk dilawan, sesulit memilih suatu pekerjaan yang menentang keinginan-keinginannya. Akan tetapi, perlawanan dan pemilihan yang sulit semacam ini akan lebih berpengaruh pada kesempurnaan insani dan pada upaya meraih ganjaran yang berlipat ganda. Sebagaimana pula terkadang sebagian kondisi yang menggoncangkan serta interaksi-interaksi yang tajam, atau sebagian kondisi yang sulit merupakan sebab peringanan siksa atau penurunan tingkat kejahatan.
Keraguan ketiga: bahwa Allah SWT Mahatahu akan segala fenomena dan makhluk di alam semesta. Di antaranya, Allah mengetahui seluruh perbuatan-perbuatan manusia sebelum kejadiannya. Dan pengetahuan Ilahi itu tidak akan salah. Maka setiap fenomena itu pasti akan terjadi sesuai dengan ilmu azali yang abadi dan tidak mungkin bertentangan dengannya. Jadi tidak ada lagi peluang bagi manusia untuk memilih dan berkehendak bebas.
Jawab: pada hakikatnya, pengetahuan Allah itu berhu-bungan dengan setiap fenomena yang sesuai dengan kenyataannya, dan perbuatan sengaja manusia itu telah diketahui oleh Allah sesuai dengan kenyatannya, yaitu bahwa perbuatan tersebut bersifat disengaja dan dikehendaki. Apabila perbuatan sengaja tersebut terjadi secara deterministik dan tak terpaksa, pengetahuan Allah berarti salah.
Misalnya, Allah SWT mengetahui bahwa si fulan pada kondisi tertentu akan melakukan suatu perbuatan. Pengetahuan Ilahi ini tidak berhubungan hanya dengan perbuatan itu; terlepas dari berawalnya perbuatan tersebut dari kehendak si fulan itu. Akan tetapi, Allah mengetahui perbuatan itu sebagai sebuah kejadian yang muncul dari kehendak si fulan. Dengan demikian, ilmu Ilahi yang azali itu tidak menafikan kehendak bebas manusia.
Keraguan lain berkaitan dengan masalah qadha' dan qadar yang-menurut mereka-tidak sesuai dengan kehendak bebas manusia. Dan hal ini akan kita bahas pada pelajaran mendatang.[]


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang condong kepada paham Jabariyah dan jelaskan pula bagaimana paham ini bisa tersebar!
2. Apakah dampak-dampak buruk dari paham ini?
3. Jelaskan adanya kehendak bebas pada manusia!
4. Apakah pengaruh kecondongan internal dan faktor yang membangkitkan fenomena-fenomena itu menafikan adanya ikhtiar pada diri manusia, dan mengapa?
5. Apakah perbedaan antara orang yang tunduk pada sebagian kondisi dari reaksi-reaksi jiwa yang tidak wajar dan kondisi-kondisi yang sulit? Apakah perbedaan itu dengan mereka yang tidak tunduk?
6. Apakah pengaruh faktor keturunan dan faktor sosial melazimkan Jabariyah, dan mengapa?
7. Apakah ilmu azali yang abadi itu menafikan kehendak bebas manusia, dan mengapa?


19
PELAJARAN 19 PELAJARAN 19

Qadha' dan Qadar

Definisi
Kata qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha berarti menuntaskan dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib.
Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab.
Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari tahap qadha', karena di dalam takdir terdapat beberapa tahap gradual dan syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya.
Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin pada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu.
Adapun tahap qadha' bersifat seketika (daf'i). Qadha' ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah SWT berfirman:
"Apabila Allah menetapkan suatu perkara, Ia akan mengatakan, "Jadilah." Maka terjadilah." (QS. Ali Imran: 47)[1]
Akan tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan, qadha' dan qadar ini juga bisa digunakan sebagai dua kata yang sinonim. Dari sinilah qadha' dan qadar dapat dibagi menjadi dua bagian: qadha' dan qadar yang pasti (hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Di antaranya, bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha'.

Qadha' Qadar Ilmi dan Aini
Terkadang taqdir dan qadha' Ilahi pun digunakan dengan arti ilmu Allah, yakni ketika sebab-sebab serta syarat-syaratnya telah terpenuhi. Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha' qodar juga digunakan untuk ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti qadha' qadar ini dinamakan sebagai qadha qadar ilmi.
Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penisbahan proses penciptaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah SWT. Hal itu dinamakan qadha' qadar 'aini.
Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini, ilmu Allah dipercayakan kepada pada lauh mahfuz, yaitu makhluk Ilahi yang tinggi dan mulia ang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di dunia luar (khariji). Dan setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh mahfuz itu dengan ijin Allah SWT.
Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang. Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat dan derajatnya lebih rendah dibanding lauh mahfuz, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Dan setiap orang yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur'an ini menjelaskan ihwal kedua lauh tersebut:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menghapus apa-apa yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab (kitab induk)." (QS. Ar-Ra'ad: 39).
Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti semacam ini diistilahkan dengan bada'. Dengan ini, iman kepada qadh'a dan qadar ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang telah kata pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Dan telah jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut.
Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini, khususnya dalam hal keimanan terhadap nasib yang pasti. Dan kita akan berusaha untuk mengatasi dan menjawab masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara global telah diungkapkan dalam persoalan Tauhid dengan pengertian pengaruh yang mandiri.

Antara Qadha', Qadar dan Kehendak Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah SWT.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah SWT, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada qadha' dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri; sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah, atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha' Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topik perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha' Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy'ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha' Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu kaum Mu'tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu'tazilah mengingkari qadha' Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas.
Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam risalah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada kehendaknya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan qadha' Allah SWT. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada qadha' Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada qadha' Ilahi, kita mesti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga akan menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbuatan sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah SWT.

Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pengaruh atas sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan.
Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu, dan setiap bagiannya merupakan akibat dari sebab-sebab yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah pesawat.
Ketiga, masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya saling mempengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan menulis.
Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertikal, dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempunyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak berhubungan dengan kehendak manusia.
Pada seluruh keadaan ini, bisa terjadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah SWT.
Adapun gambaran yang tidak mungkin terjadi, yaitu berkumpulnya beberapa sebab pada satu akibat, ialah berkumpulnya dua sebab pengada (dengan pengertian yang telah lalu), atau berkumpulnya dua sebab dalam memberikan pengaruh yang sama secara sejajar atau bergantian, pada satu akibat. Seperti dalam asumsi satu kehendak yang muncul dari dua subjek (pelaku) yang sama-sama berkehendak, atau satu fenomena yang bersandar kepada dua kelompok sebab yang kedua-duanya merupakan sebab lengkap (illah tammah).

Jawaban atas keraguan
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penyandaran kejadian perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu kepada Allah SWT tidak bertentangan dengan penyandarannya kepada manusia itu sendiri, karena dua penyandaran ini berada pada kepanjangan yang lainnya, dan tidak ada benturan di antara keduanya.
Dengan kata lain, penyandaran suatu perbuatan kepada manusia sebagai pelaku berada pada satu tahap. Sedangkan penyandaran perbuatan yang sama kepada Allah SWT berada pada tahap yang lebih tinggi. Pada tahap kedua inilah keberadaan manusia sendiri, keberadaan materi yang terlibat dalam kejadian perbuatannya dan juga keberadaan sarana-sarana yang digunakan untuk menuntaskan perbuatan tersebut, semua itu bersandar kepada Allah SWT.
Dengan demikian, pengaruh kehendak manusia yang merupakan bagian akhir dari sebab sempurna terhadap perbuatannya itu tidaklah menegasikan penyandaran seluruh bagian-bagian sebab sempurna kepada Allah SWT. Karena Dialah dzat yang memiliki seluruh kekuatan. Pada-Nyalah kekuatan untuk mewujudkan alam, manusia dan berbagai macam kondisi wujudnya. Dialah dzat yang menganugrahkan wujud kepada manusia secara terus-menerus, dan seluruh makhluk itu tidak terlepas dari-Nya sekejap pun, dalam keadaan dan kondisi apapun. Karena, makhluk-makhluk ciptaannya itu tidaklah mandiri.
Atas dasar ini, perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Allah SWT, dan tidak mungkin keluar dari kehendak Ilahi. Seluruh sifat-sifat makhluk, ciri-ciri khusus dan berbagai kelebihannya serta batasan-batasannya selalu berhubungan dan bergantung kepada takdir dan qadha' Allah SWT.
Tidaklah seperti apa yang telah disebutkan di atas, bahwa seluruh perbuatan ini ada kalanya hanya bersandar kepada kehendak manusia, ada kalanya pula ia hanya bersandar kepada kehendak Allah saja. Sebab, dua kehendak ini tidak berada pada satu tahap, sehingga yang tidak mungkin lagi bertemu kedua-keduanya. Dua kehendak ini pun tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan berbagai perbuatan secara bergantian.
Sesungguhnya kehendak manusia, sebagaimana asal keberadaan wujud dirinya sendiri, senantiasa berhubung dan bergantung kepada kehendak Allah, dan sesungguhnya kehendak Allah SWT itu niscaya untuk terwujudnya kehendak manusia tersebut.
Allah SWT berfirman:
"Dan kalian tidak berkehendak melainkan Allah, pengatur alam semesta inilah yang berkehendak." (QS. At-Takwir: 29).

Manfaat Keyakinan pada Qadha' dan Qadar
Keyakinan pada qadha' dan qadar, di samping merupakan peringkat yang tinggi ma'rifatullah dalam dimensi penalaran dan mendorong manusia menuju kesempurnaan insaninya, secara praktikal menyimpan manfaat yang melimpah. Sebagian manfaat ini telah kami kemukakan, dan berikut ini akan kami jelaskan sebagian lainnya.
Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari kehendak Allah Yang Bijak, dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan qadha' Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Ia tidak akan pernah berputus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan terwujud sesuai dengan kemaslahatan dan kebijaksanaan, maka ia akan menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan sebagainya.
Demikian pula hati seorang mukmin tidak akan terkait dan tidak akan tertipu oleh dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa penyakit sombong. Dan ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana untuk mencapai status sosial.
Allah SWT menyinggung manfaat-manfaat besar ini melalui ayat-Nya:
"Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab lauh mahfuz, sebelum Kami menciptakannya.Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Qs. Al-Hadid: 22-23).
Hendaknya kita berusaha menghindari pengaruh-pengaruh yang berlipat ganda dari penafsiran yang menyimpang terhadap masalah qadha', qadar dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Karena penafsiran yang keliru atas masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan tindak kezaliman dan kejahatan penguasa zalim, serta lari dari tanggung jawab. Kiranya perlu kita ketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia hanyalah dapat diusahakan melalui perbuatan bebas dan sengaja manusia sendiri. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya ia akan mendapat pahala dari perbuatan baik yang ia lakukan dan ia akan mendapat siksa dari perbuatan buruk yang ia kerjakan pula." (QS. Al Baqarah: 286)
"Dan manusia tidak akan mendapat balasan apa-apa melainkan apa yang telah ia usahakan sendiri." (QS. An-Najm: 39).

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan pengertian dari qadha' dan qadar menurut bahasa!
2. Apa yang dimaksud dengan takdir dan qadha Ilahi?
3. Atas dasar apakah qada dan qadar itu dibagi menjadi qadha dan qadar pasti (hatmi) dan qada dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi)?
4. Apakah yang dimaksud dengan bada'?
5. Jelaskan qadha' dan qadar ilmi dan aini!
6. Terangkanlah tentang lauh mahfuz dan lauh penghapus dan ketetapan serta hubungan keduanya dengan perjalanan yang pasti dan tidak pasti?
7. Jelaskan sulitnya menghimpun antara qadha, qadar dan ikhtiar manusia dan perbedaan pandangan para mutakalimin sekitar tema tersebut!
8. Jelaskan macam-macam pengaruh dan sebab-sebab yang bermacam-macam terhadap akibat yang satu dan jelaskan pula berbagai macam kemustahilan yang ada di dalamnya, berkumpulnya ilat yang bermacam-macam atas akibat yang satu!
9. Jelaskan jawaban keraguan jabariyah sehubungan dengan masalah qadha' dan qadar!
10. Terangkan pengaruh berkeyakinan kepada qadha' dan qadar Ilahi!
________________________________________
[1] Lihat juga QS. Al-Baqarah: 117, Maryam: 35, dan Ghafir: 68.

20