• Mulai
  • Sebelumnya
  • 17 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 16432 / Download: 674
Ukuran Ukuran Ukuran
Seri 14 Manusia Suci

Seri 14 Manusia Suci

pengarang:
Indonesia
Seri 14 Manusia Suci Seri 14 Manusia Suci




Diterjemahkan dari Bahasa Persia

Asynâ-i Bâ Ma'sumin Alaihimas-Salam

Karya: Sayid Mahdi Ayatullahi

Penerjemah: Tim Penerjemah Fathu Makkah

Penyunting: Ammar Fauzi Heriyadi

Setting isi & lay out: A. Kamil

Hak Terjemahan Bahasa Indonesia pada

Majma Jahani Ahluil Bait As

All rights reserved

Diterbitkan oleh Divisi Budaya, seksi Terjemahan

Majma Jahani Ahlul Bait As

Cetakan: Pertama

Mei 2005

Republik Islam Iran

Tiras : 3000 Eks

ISBN: 964-8686-

Dicetak oleh Pusat Percetakan dan Distribusi

Majma Jahani Ahlul Bait As

1
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

DAFTAR ISI BUKU
1" Sekapur sirih dari Penerbit - 7

2" Seri Manusia Suci 1 : Nabi Muhammad saw. - 11

3" Seri Manusia Suci 2 : Fatimah Az-Zahra as. - 59

4" Seri Manusia Suci 3 : Imam Ali bin Abi Talib as. - 77

5" Seri Manusia Suci 4 : Imam Hasan Al-Mujtaba as. - 113

6" Seri Manusia Suci 5 : Imam Husain Asy-Syahid as. - 131

7" Seri Manusia Suci 6 : Imam Ali Zainal Abidin as. - 151

8" Seri Manusia Suci 7 : Imam Muh. Al-Baqir as. - 177

9" Seri Manusia Suci 8 : Imam Ja'far Ash-Shadiq as. - 197

10" Seri Manusia Suci 9 : Imam Musa Al-Kadhim as. - 221

11" Seri Manusia Suci 10 : Imam Ali Ar-Rida as. - 253

12" Seri Manusia Suci 11 : Imam Muh. Al-Jawad as. - 279

13" Seri Manusia Suci 12 : Imam Ali Al-Hadi as. - 297

14" Seri Manusia Suci 13 : Imam Hasan Al-Askari as. - 317

15" Seri Manusia Suci 14 : Imam Mahdi Al-Hujjah as. - 337

2
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Sekapur Sirih dari Penerbit
Turas Ahlul Bait As yang tersimpan rapih dalam madrasah mereka dan hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik, merupakan universitas lengkap yang meliputi berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Madrasah ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang mempunyai potensi untuk meneguk pengetahuan dari sumber tersebut. Mereka menghidangkan kepada umat Islam ulama-ulama besar pembawa risalah Ahlul Bait As yang mampu menjawab segala keraguan dan persoalan yang dilontarkan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran baik dari dalam maupun luar Islam dengan jawaban dan solusi argumentatif.

Berangkat dari tugas-tugas yang diembannya, Majmâ Ahlul Bait (Lembaga Internasional Ahlul Bait) berusaha membela kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan tokoh-tokoh firqah, mazhab dan berbagai aliran yang memusuhi Islam dengan mengikuti jejak Ahlul Bait As dan penerus mereka yang senantiasa menjawab berbagai tantangan sesuai dengan tuntutan dan berusaha untuk tetap berdiri tegak pada garis depan perlawanan sepanjang masa.

Khazanah intelektual yang termuat dalam kitab-kitab ulama Ahlul Bait As tidak ada tandingannya, karena kitab-kitab tersebut ditulis berpijak pada landasan ilmiah serta ditopang oleh logika dan argumen yang kokoh, jauh dari sentuhan hawa nafsu dan sifat fanatik buta. Karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat tersebut mereka tujukan pula kepada para ulama dan pemikir yang memiliki spesialisasi.

Lembaga Internasional Ahlul Bait as. (Majma' Jahani Ahlul Bait as.) dengan berbagai pengalamannya yang melimpah, berupaya menghidangkan metode baru kepada para pencari hakikat dan kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis masa kini yang mengikuti jejak Ahlul Bait As dan para penulis yang telah mendapatkan karunia Ilahi untuk mengikuti ajaran mulia tersebut. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat, hasil karya ulama Syi'ah terdahulu, agar kekayaan ilmiah ini menjadi sumber mata air bagi setiap pencari kebenaran yang dipancarkan ke segenap penjuru dunia (pada era kemajuan intelektual telah mencapai kematangannya dan relasi antara individu semakin terjalin demikian cepatnya) hingga terbuka pintu hatinya dalam menerima kebenaran tersebut melalui madrasah Ahlul Bait as.

Akhirnya kami mengharap kepada para pembaca yang mulia agar sudi kiranya menyampaikan berbagai pandangan bernilai, gagasan dan kritik konstruktif demi berkembangannya lembaga ini di masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan budaya Islam yang murni.

Semoga Allah Swt berkenan menerima usaha sederhana ini dan melimpahkan taufik-Nya serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya (Imam Al-Mahdi Afs) di muka bumi ini.

Kami ucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinggnya kepada Sayyid Ustadz Mahdi Ayatullahi yang telah berupaya menulis dan menyusun kitab ini. Demikian juga kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ustadz Ahmad Marzuqi Amin dan Tim Penerjemah Fathu Makkah yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan buku ini.

Wassalam


Divisi Budaya, seksi Terjemahan

Lembaga Internasional Ahlul Bait

(Majma' Jahâni Ahlul Bait as.)

3
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Nabi Muhammad saw; Manusia Sempurna

Bangsa Quraisy
Bangsa Quraisy dipandang sebagai salah satu bangsa yang dihormati dan disegani di antara bangsa-bangsa yang ada di semenanjung Arabia. Quraisy sendiri terbagi ke dalam berbagai suku. Bani Hasyim adalah salah satu suku terhormat di antara suku-suku yang ada. Qushai bin Kilab adalah nenek moyang mereka yang bertugas sebagai penjaga Ka'bah.

Di tengah warga Makkah, Hasyim dikenal sebagai orang yang mulia, bijaksana dan terhormat. Ia banyak membantu mereka, memulai perniagaan pada musim dingin dan musim panas supaya mereka mendapatkan penghidupan yang layak. Atas jasa-jasanya, warga kota memberinya julukan "sayyid" (tuan). julukan ini secara turun-temurun disandang oleh anak keturunan Hasyim.

Setelah Hasyim, kepemimpinan bangsa Quraisy dipercayakan kepada anaknya yang bernama Muthalib, kemudian dilanjutkan oleh Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib adalah seorang yang berwibawa. Pada masanya, Abrahah Al-Habasyi menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka'bah, namun berkat pertolongan Allah swt., Abrahah dan pasukan gajahnya mengalami kekalahan. Tahun penyerbuan itu kemudian dikenal dengan nama Tahun Gajah. Dan sejak peristiwa itu, nama Abdul Muthalib pun semakin terpandang di kalangan kabilah Arab.

Abdul Muthalib mempunyai beberapa anak. di antara mereka, Abdullah-lah anak yang paling soleh dan paling dicintainya. Pada usia 24 tahun, Abdullah menikah dengan perempuan mulia bernama Aminah.

Dua bulan setelah Tahun Gajah, Aminah melahirkan seorang anak. Ia memberinya nama Muhammad. Sebelum kelahiran Muhammad, ayahnya Abdullah meninggal dunia. Tak lama setelah melahirkan, sang ibu pun menyusul suaminya kembali ke alam baka. Maka, sejak awal kelahirannya, Muhammad sudah menjalani hidupnya sebagai yatim.

Setelah ditinggalkan oleh kedua orang tua yang dicintainya, Muhammad diasuh oleh sang kakek Abdul Muthalib. Berkat anugerah dan rahmat dari Allah swt., Muhammad tumbuh menjadi dewasa dengan kesucian jiwa yang terpelihara.

Warga kota Makkah begitu mencintainya, bahkan merelakan barang-barang mereka di bawah pengawasan Muhammad. Atas kejujuran dan sifat amanah yang ditunjukkannya, mereka memberinya gelar "Al-Amin", yakni orang yang tepercaya.

Dengan bekal iman yang teguh, Muhammad membantu orang-orang fakir, membela orang-orang yang tertindas, membagikan makanannya kepada mereka yang lapar, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, dan berusaha memberikan jalan keluar atas masalah-masalah yang mereka hadapi.

Ketika beberapa orang pemuda menggalang sebuah gerakan yang dikenal dengan nama "Sumpah Pemuda" (Hilful Fudhul), segera Muhammad pun bergabung bersama mereka, karena gerakan itu sejalan dengan perilaku luhur dan tujuan-tujuannya.

Pada suatu waktu, Abu Thalib, paman Muhammad, menasehatinya untuk ikut berniaga dengan kafilah dagang Khadijah, seorang wanita Makkah yang kaya dan terhormat. Kemudian, Muhammad pun ditunjuk untuk memimpin kafilah dagang tersebut.

Selama bergabung dalam kafilah dagangnya, Khadijah menyaksikan dari dekat kejujuran, keteguhan, dan keutamaan perilaku Muhammad. Tak segan lagi Khadijah melamarnya. Muhammad menerima lamaran itu. Dan tak lama kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan.

Dari perhikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Fatimah, yang dari keturunannya lahirlah manusia-manusia suci.


Hajar Aswad (Batu Hitam)
Sepuluh tahun setelah pernikahan itu, banjir besar melanda kota Makkah yang merusak sebagian besar bangunan Ka'bah. Warga kota bermaksud untuk memperbaikinya.

Untuk mencegah perseturuan yang bakal terjadi, perbaikan itu dilakukan oleh berbagai suku yang ada di kota secara gotong royong. Namun, tatkala perbaikan telah selesai, tibalah saatnya untuk meletakkan Hajar Aswad. Ketika itu, masing-masing bangsa mengaku paling berhak untuk meletakkan batu itu.

Perang hampir saja terjadi. Tiba-tiba Muhammad muncul memberi sebuah usulan, dengan menanggalkan jubahnya dan meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengahnya, lalu setiap kepala suku memegang tepi jubah itu, lantas membawanya bersama-sama ke tempat asalnya.


Wahyu Pertama
Menginjak usia 40 tahun, Muhammad diangkat sebagai nabi. Suatu hari, ketika beliau sedang melakukan ibadah di gua Hira, datanglah Malaikat Jibril as. membawa wahyu dari Allah dan menyapanya, "Iqra!"

"Bacaralah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telkah menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah bersama Tuhanmu Yang Mahamulia. Dialah yang mengajarkan ilmu dengan pena. Dialah yang telah mengajarkan kepada manusia akan segala yang tidak diketahuinya."

Sejak itu, Muhammad terpilih untuk mengemban risalah Allah sebagai Rasulullah saw. di tengah umat manusia di seluruh dunia.

Di awal-awal kenabian, Rasulullah saw. berdakwah secara rahasia. Pada saat itu, hanya beberapa orang saja yang mau menerima Islam. Orang pertama yang mengakui Muhammad sebagai Rasulullah saw. ialah istri beliau Khadijah, kemudian sepupunya Ali bin Abi Thalib.

Tiga tahun lamanya Islam terus menyebar di kalangan rakyat miskin kota Makkah. Setelah itu, Allah swt. memerintahkan Rasulullah saw. untuk melakukan dakwah secara terang-terangan, mengajak manusia menyembah Tuhan Yang Esa dan memulai perang suci melawan para penyembah berhala.

Tugas dakwah merupakan tugas yang penuh resiko dan bahaya. Sebab, para pemimpin kabilah telah sekian lama larut dalam kenikmatan berupa kedudukan dan menjadikan orang-orang sebagai budaknya.

Mereka khawatir bahwa dakwah Rasulullah saw. akan merongrong kekuasaan mereka. Selain itu, tugas dakwah akan menjumpai kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaannya, karena berhala-berhala itu telah lama dijadikan sesembahan oleh mereka.

Rasulullah saw. tidak mengenal toleransi. Ia memilih untuk memikul tugas ini untuk mengesakan Tuhan dan menegakkan undang-undang Tauhid di muka bumi.
Masyarakat yang sebelumnya menghormati dan santun terhadap Nabi saw, kini berbalik membenci dan memusuhi dakwah beliau dengan harta. Namun usaha mereka gagal.

Kemudian, permusuhan mereka berlanjut dengan menyiksa dan menjarah harta-harta milik Nabi saw. Namun, usaha mereka ini pun tidak berhasil untuk menahan laju dakwah suci beliau.

Kaum kafir Makkah tidak pernah lelah untuk mengubah pendirian Rasulullah saw. Mereka meningkatkan permusuhannya dan mengusir beliau beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya keluar dari Makkah, lalu mengurungnya di ladang Abu Thalib hingga sebagian mereka yang bersama Rasul di dalamnya mati kelaparan.

Mereka bahkan memperketat pengurungan ladang itu sehingga makanan dan minuman tidak dapat ditemui oleh Nabi beserta pengikutnya yang setia. Beberapa penduduk yang ikut Nabi mempertaruhkan hidupnya untuk menyelundupkan makanan dari kota di kegelapan malam.

Waktu berlalu begitu cepat. Kaum kafir menyerah pada tekad dan kegigihan yang ditunjukkan oleh kaum muslimin. Mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah saw.

Untuk itu, mereka memilih pemuda-pemuda terkuat dari kalangan keluarga dan suku mereka dengan memberikan upah yang tinggi kepada siapa yang berhasil membunuh beliau. Mereka menetapkan untuk menyergap kediaman Nabi saw. pada malam hari.


Hijrah ke Madinah
Rencana keji itu diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril as. Beliau memilih sepupunya Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya tidur di atas ranjang beliau dengan mempertaruhkan hidupnya demi keselamatan beliau.

Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah di kegelapan malam. Kaum musyrikin telah berkumpul untuk membunuh Nabi saw. Betapa terkejutnya mereka, tatkala mendapati Ali di atas ranjang Rasul saw. Mereka segera mengejar beliau. Namun pengejaran itu gagal. Mereka pun kembali ke Makkah dengan tangan hampa.

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Nabi saw. tiba di Quba, sebuah tempat di dekat kota Madinah. Penduduk desa menyambut kedatangan beliau. Dengan suka cita beliau berencana membangun tempat salat dan menyusun tugas-tugas dakwah.

Pembangunan masjid Quba berjalan lancar. Nabi saw. turun langsung dalam menyelesaikan pembangunannya. Sesudah itu, beliau melakukan salat Jum'at dan berdiri sebagai khatib. Inilah salat Jum'at yang pertama kali dilaksanakan oleh beliau.

Rasulullah saw. menetap di Quba untuk beberapa saat sambil menyampaikan ajaran-ajaran Allah. Di sana pula beliau menantikan kedatangan Ali yang ditinggalkannya di kota Makkah untuk menunaikan titipan dan amanat kepada pemiliknya masing-masing. Hingga akhirnya Ali pun datang ke Quba bersama kaum wanita keluarga Bani Hasyim.

Rasulullah saw. memasuki kota Yastrib, sejak saat itu pula nama kota itu berubah menjadi Madinatur-Rasul atau Madinah Al-Munawarah. Penduduk kota menyambut beliau dan sebagian kaum Muhajirin yang menyertainya dengan begitu hangat dan meriah. Setiap penduduk berlomba meminta beliau untuk duduk di rumah mereka. Kepada mereka semua, beliau berkata: "Berilah jalan kepada untaku ini. Aku akan menjadi tamu orang yang di depan pintunya unta ini berhenti".

Si unta berjalan dan melintasi jalan-jalan kota Madinah, hingga ia menghentikan langkahnya dan bersila di depan pintu rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di rumah itulah Rasulullah saw. di jamu.

Sesampainya di Madinah, pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ialah pembangunan masjid sebagai pusat dakwah dan pengajaran. Nabi juga segera menyerukan perdamaian serta persaudaraan antara dua bangsa; Aus dan Khazraj, yang telah berperang selama bertahun-tahun akibat hasutan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi Madinah.

Dalam rangka mengikis habis akar-akar pembeda antara kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dan kaum Anshor sebagai penduduk asli Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan mereka satu persatu, sehingga kaum Muhajirin tidak menjadi beban kaum Anshor di kemudian hari dan mereka dapat hidup bersama dengan rukun dan damai.

Orang-orang Yahudi Madinah memandang persaudaraan itu dengan penih kedengkian. Mereka selalu berusaha menyulut semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sementara Rasulullah saw memadamkan api pertikaian, mereka malah giat mengobarkannya.


Peralihan Kiblat
Pada awalnya, Rasulullah saw. melakukan solat dan ibadah ke arah Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Itu berlanjut selama 13 tahun di Makkah dan 17 bulan di Madinah.

Kaum Yahudi pun mengadap masjid Al-Aqsa dalam solat-solat mereka. Karena ini pula selalu mencemooh kaum muslimin, "Jika benar kami dalam kesesatan, lalu mengapa kalian mengikuti kiblat kami. "

Hingga pada suatu hari, turunlah wahyu yang memerintahkan Rasulullah saw. agar kaum muslimin menghadap Ka'bah Masjidil Haram dalam setiap solat mereka.
Perintah ini sungguh memukul kaum Yahudi. Mereka bertanya-tanya tentang sebab peralihan kiblat kaum muslimin. Mereka tidak sadar bahwa peralihan kiblat ini merupakan ujian bagi kaum muslimin sendiri, sehingga dapat dikenali siapa yang mentaati dengan siapa yang menentang Rasulullah saw.


Peperangan Rasulullah saw.

1. Perang Badar
Rasulullah saw. mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan kabilah-kabilah tetangga guna melindungi kota Madinah dari segala ancaman makar dan penyerangan.

Sementara itu, Quraisy Makkah melakukan penjarahan atas harta-harta umat Islam di kota itu. Rasulullah saw. pun berpikir untuk merebut kembali harta-harta itu dari mereka. Untuk itu, beliau memutuskan untuk menyerang kafilah-kafilah pedagang kafir Quraisy.

Demikianlah awal meletusnya bentrokan senjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin di suatu tempat dekat sumur Badar. Oleh karena ini, peperangan pertama di antara mereka ini dinamai perang Badar.

Kaum muslimin mampu memenangkan peperangan itu secara gemilang. Nama mereka pun mulai terpandang dan disegani di semenanjung Arabia.


2. Perang Uhud
Bagi kaum musyrik Quraisy, kemenangan kaum muslimin pada perang Badar itu malah membuat hati mereka terbakar kemarahan. Tak ayal lagi, Abu Sufyan mulai mengitung hari untuk melancarkan pembalasan dendam. Bahkan ia melarang perempuan-perempuan Quraisy menangisi korban perang Badar, supaya api dendam tetap membara di dalam jiwa-jiwa mereka.

Sementara di Madinah, kemenangan gemilang kaum muslimin meresahkan kaum Yahudi. Segera mereka mendekati orang-orang Quraisy dan menghasut mereka untuk menuntut dendam atas kaum muslimin.

Untuk itu, salah seorang Yahudi bernama Ka'ab bin Asyraf bertolak ke Makkah. Setibanya di sana ia membacakan syair-syair dan mengulang-ulangnya, hanya untuk membakar emosi kaum Quraisy.

Hasilnya, kaum Quraisy mengadakan pertemuan di Darun Nadwah, dan sepakat dendam mereka untuk menyerang Madinah. Di sana mereka pun menghitung biaya yang akan dikeluarkan pada pertempuran mendatang. Biayanya ditaksir mencapai 50.000 Dinar. Sejak itu, mereka mulai mempersiapkan persenjataan dan meminta bantuan dari kabilah-kabilah yang bermukim di sekitar Makkah.

3000 pasukan Quraisy bersenjata lengkap bertolak ke Madinah melalui padang sahara. Abu Sufyan menjadi panglima perang dan Khalid bin Walid memimpin pasukan. Abbas bin Abdul Muthalib yang merahasiakan keislamannya mengirimkan kurir untuk menyampaikan pesan ihwal rencana penyerangan itu.

Setelah menerima pesan dari pamannya, Rasulullah saw. segera mengadakan musyawarah yang menyepakati untuk menyambut lawan di luar kota.
7 Syawal tahun ke-3 Hijriah, tepatnya pada hari sabtu pagi, pasukan kaum muslimin bergerak meninggalkan Madinah menuju gunung Uhud. Atas perintah Rasulullah saw, mereka mendirikan tenda-tenda tidak jauh dari barisan musuh.

Rasulullah saw. menempatkan Abdullah bin Jabir bersama 50 orang lainnya yang dilengkapi busur dan anak panah untuk berada di atas bukit. Beliau memperingatkan mereka untuk tidak beranjak dari puncak bukit itu betapapun resiko yang akan menghadang, apakah menang atau kalah dalam peperangan. Setelah itu, pasukan yang membawa bendera Tauhid dan pasukan yang mengusung bendera Syirik berhadapan satu sama lainnya. Pertempuran itu dimulai oleh Abu Umair dari Quraisy.

Pada awal-awal pertempuran, tentara Islam bertarung dengan gagah berani dan membuat tentara kafir hampir kalah. Namun kemudian, keadaan justru berbalik. Pasukan panah yang mengawasi medan perang itu melihat saudara-saudaranya memukul mundur pasukan musuh. Mereka pun turun meninggalkan bukit untuk memungut ghanimah (harta rampasan perang). Mereka lalai terhadap perintah Rasulullah saw. untuk tidak beranjak dari posisi mereka.

Khalid bin Walid memanfaatkan kelengahan kaum muslimin. Ia dan pasukannya berbalik mengitari gunung kemudian menyerang kaum muslimin yang sedang sibuk mengumpulkan ghanimah itu dari arah belakang. Banyak pasukan Islam tewas karena ketidaktaatan mereka kepada Rasulullah saw. Ada sekitar 70 pejuang kaum muslimin syahid dan selebihnya ada yang melarikan diri dari medan pertempuran.

Perang berakhir dengan kemenangan berada di pihak musuh. Rasulullah saw. dapat diselamatkan berkat kesetiaan Ali bin Abi Thalib serta bantuan pasukan muslimin lainnya. Ali beserta pasukan Islam lainnya berhasil mengejar dan membunuh beberapa tentara musuh.

Dengan kegigihan mereka, kota Madinah selamat dari penyerbuan kaum kafir itu. Namun demikian, perang Uhud ini telah memberikan pelajaran ketaatan dan kesetiaan yang tak terlupakan oleh kaum muslimin.


3. Perang Khandaq
Orang-orang Yahudi yang terusir dari Madinah akibat permusuhan dan pengkhianatan mereka sendiri, tidak tinggal diam melihat keadaan kaum muslimin. Pemimpin mereka melakukan pendekatan dengan pemimpin-pemimpin Quraisy di Makkah, sambil melancarkan hasutan supaya mereka mengadakan perlawanan terhadap kaum muslimin. Pemimpin Yahudi itu berjanji untuk menyokong bangsa Quraisy dengan segala kekuatan yang ada.

Sebagai hasil dari pendekatan ini, berbagai bangsa, suku dan kelompok bersekutu untuk mengangkat senjata melawan umat Islam. Oleh karena itu, peperangan ini dikenal sebagai perang Ahzab, yaitu perang gabungan beberapa bangsa melawan Islam.

Pasukan bersenjata mereka terdiri dari kaum kafir Quraisy, kaum Yahudi, orang-orang munafik dan pengkhianat Islam dari Madinah. Mereka bertekad bulat untuk menghancurkan Islam.

Pada bulan Syawal tahun ke-5 Hijriah, sebanyak 10.000 pasukan sekutu itu berangkat menuju Madinah. Di depan mereka adalah Abu Sufyan sebagai panglima perang pasukan sekutu.

Beberapa pasukan berkuda dari kabilah Khuza'i memasuki kota Madinah dan melaporkan keadaan musuh kepada panglima besar kaum muslimin Rasulullah saw.

Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk bersiaga dan para komandan diminta berkumpul untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang diperlukan.
Dalam musyawarah itu, sahabat Rasulullah saw, Salman Al-Farisi, mengusulkan untuk menggali parit di sekeliling kota Madinah dan kaum muslimin berlindung di balik galian parit itu. Usulan itu diterima secara mufakat. Maka, sebanyak 3.000 sukarelawan Islam bekerja siang dan malam untuk menggali parit sedalam 5 meter, selebar 6 meter, dan sepanjang 12.000 meter.

Beberapa jalur dan jembatan dibuat di atas parit dan beberapa penjaga ditugasi untuk mengawasi kedatangan pasukan musuh. Di balik parit, dibangun pos-pos pertahanan yang di atasnya dijaga oleh pasukan berpanah.

Pasukan kaum musyrikin pun tiba. Mereka melihat galian parit mengelilingi kota yang menyulitkan mereka untuk melintasi dan menyerang orang-orang di seberang parit.

Abu Sufyan segera memanggil Hayy bin Ahthab, pemimpin Yahudi dari Bani Nadhir dan memintanya untuk menemui Ka'ab bin Asad, pemimpin Yahudi dari Bani Quraizhah yang sedang bermukim di Madinah. Ka'ab bin Asad diseru untuk membuka lapang jalan orang-orang Yahudi. Makar ini dimaksudkan untuk melapangkan jalan orang-orang musyrikin itu menyerang kaum muslimin.

Cara licik Abu Sufyan ini telah diketahui sebelumnya. Rasulullah saw. telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menugaskan 500 prajurit untuk berpatroli di sekeliling kota. Prajurit itu ditugasi untuk memelihara kota agar stabil dalam keadaan siaga dan waspada. Mereka mewaspadai orang-orang yang datang dan pergi dari kota. Dengan langkah pencegahan ini, persekongkolan warga kota dengan pihak musuh dapat diatasi.

Ancaman bahaya serangan dari dalam kota berhasil digagalkan dan pasukan sekutu itu tetap pada posisi mereka di seberang parit. Mereka tidak berhasil untuk mengecoh kaum muslimin.

Hingga tibalah suatu hari, lima orang gagah berani dari pihak musuh melintasi parit. Kelima orang gagah berani itu dipimpin oleh Amr bin Abdi Wud. Di atas kudanya ia berteriak lantang, "Hai orang-orang yang mengaku penghuni Surga, di mana kalian semua? Majulah, sehingga aku dapat mengirim kalian ke Surga".

Tidak satu pun orang yang menjawab tantangan itu, kecuali Ali bin Abi Thalib. Ia begitu cepat bangkit dan maju mendekati orang itu. Dan setelah saling adu tantangan, Ali mengayunkan pedangnya dengan sekali tebasan ke atas kepala Amr. Setelah Amr tersungkur tewas, Ali mengumandangkan takbir, "Allahu Akbar!" .

Salah satu kawan Amr bin Abdi Wud melarikan diri dan terjatuh ke dalam parit. Ali tidak memberikan kesempatan kepada lawan dan segera menghabisinya. Sedangkan ketiga sahabat Amr yang lain berhasil melarikan diri dari kejaran Ali.

Peristiwa di atas ini begitu menggugah keimanan dan keberanian umat Islam, sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Saw., "Sekali tebasan pedang Ali jauh lebih sebanding dengan ibadah 70 tahun seluruh manusia dan jin".

Demi menjaga semangat pasukannya, Khalid bin Walid bersama beberapa pasukan berkuda, pada hari berikutnya, mencoba untuk melewati parit. Namun, pasukan muslimin terlalu tangguh untuk mereka hadapi. Mereka hanya berusaha dengan mengepung kota.

Di tangah pengepungan, Naim bin Mas'ud yang terkenal dengan kecerdikannya memutuskan untuk masuk Islam. Rasulullah saw. menyuruhnya agar merahasiakan keimanannya, hingga ia bisa memperdaya kaum musyrikin dan menebarkan perpecahan dari antara mereka dan kaum Yahudi.

Sama seperti Naim, adalah Khuzaifah Yamani menyusup di kegelapan malam ke dalam jajaran musuh sampai menembus jantung kekuatan mereka. Di dalamnya ia berusaha mengendurkan tekad perang, hingga berhasil mematahkan semangat juang mereka.

Sampai pada suatu malam, badai besar berhembus, belum lagi udara yang semakin dingin menggigilkan. Tak pelak lagi, semangat pasukan musyrikin menjadi luluh lantak. Ditambah perselisihan di antara mereka semakin meluas setelah melihat mengepungan yang tidak membuahkan hasil.

Sebelum terjadi perkembangan pertempuran yang mengecewakan, Abu Sufyan segera meninggalkan medan tempur secara diam-diam di kegelapan malam. Panglima musyrikin itu beserta pasukannya kembali ke Makkah dengan perasaan malu.

Ketika pasukan muslimin terbangun di subuh hari, mereka menyaksikan lasykar kafir telah meninggalkan medan pertempuran. Ketika Rasulullah saw. mendengarkan berita tentang kaburnya musuh, beliau memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan pos-pos pertahanan dan kembali ke kota.


Nasib Bani Quraizah
Setelah meraih kemenangan gemilang pada perang Ahzab, Rasulullah saw. membawa pasukannya mendekati benteng pertahanan Bani Quraizah. Pasukan Islam memaksa mereka menyerah, setelah mengepung benteng mereka selama dua puluh lima hari.

Karena menderita kekalahan, Bani Kuraizah memohon agar dapat meninggalkan kota Madinah. Akan tetapi Rasulullah saw. menolaknya, sebab jika sampai lolos meninggalkan kota, mereka akan membuat persekongkolan lagi dan menciptakan peperangan baru, sebagaimana Bani Nadzir yang memicu untuk meletuskan perang Khandaq.

Akhirnya, orang-orang Yahudi yang licik itu harus kecewa pada keputusan itu. Sa'ad bin Ma'adz menyampaikan maklumat bahwa orang-orang yang berkhianat dan membantu pihak musuh selama pererangan harus dibunuh dan harta kekayaan mereka harus dirampas.


Perjanjian Hudaibiyah
Derita kekalahan kafir Quraisy dan kedigjayaan kaum Muslimin, khususnya penaklukan Bani Mustaliq sampai menyebabkan mereka masuk agama Islam, telah menggelapkan mata kaum kafir Quraisy.

Pada bulan Dzulqaidah tahun ke-7 Hijriah, Nabi Muhammad saw. beserta 14.000 lasykar Islam bergerak menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Kepergian Rasulullah saw. ke tanah suci tidak hanya untuk keperluan ibadah saja, namun juga untuk kepentingan politik. Haji beliau kali ini bertujuan untuk menjadikan status kewarganegaraan kaum muslimin di semenanjung Arabia menjadi benar-benar diakui. Dengan demikian, kaum muslimin berhak untuk bermukim di sepanjang tanah Arab tanpa harus takut diusir.

Kaum kafir Quraisy menerima kabar bahwa Rasulullah saw. akan berkunjung ke Baitullah Ka'bah. Mereka bersumpah di hadapan berhala-berhala untuk tidak membiarkan beliau memasuki kota Makkah.

Kafir Quraisy mengutus Khalid bin Walid beserta dua ratus pasukan berkuda untuk menghadang Rasulullah saw. bersama pasukannya.

Saat itu, Rasulullah saw. telah sampai di daerah Hudaibiyah melalui jalan berbeda untuk menghindari pertempuran dan peperangan yang mungkin mengintai setiap saat. Segera beliau mengutus salah seorang sahabat untuk mengintai pasukan Quraisy dan meyakinkan mereka, bahwa Rasulullah saw. beserta kaum muslimin datang hanya untuk menunaikan ibadah haji saja. Sahabat itu ditugaskan untuk meyakinkan para pemimpin Quraisy bahwa kedatangan Rasulullah saw kali ini tidak untuk berperang. Namun, mereka malah berlaku kurang ajar terhadap utusan beliau.

Rasulullah saw. meminta baiat (sumpah setia) kepada sahabat agar tetap setia dan rela berkorban kepada beliau di bawah pohon. Ketika hal ini diketahui oleh kafir Quraisy, mereka sangat geram sekaligus malu, sehingga diutuslah Suhail sebagai wakil mereka untuk berunding.

Kaum kafir Quraisy tidak menghendaki kaum muslimin memasuki kota Makkah dan menunaikan ibadah haji pada tahun ini dan segera pulang ke Madinah. Apabila mereka mau menunaikan haji pada tahun depan, kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk membawa senjata. Selama masa haji itu, pihak Quraisylah yang bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan harta dan jiwa kaum muslimin.

Perjanjian ditandatangani dengan lima butir kesepakatan, meskipun beberapa orang Islam kecewa. Puncak kekecewaan mereka tunjukkan dengan keberatan terhadap keputusan-keputusan Rasulullah saw. Mereka mengira bahwa penandatanganan perjanjian itu adalah suatu aib yang memalukan umat Islam, khususnya pada satu butir kesepakatan yang menyatakan bahwa jika seorang muslim lari dari Makkah lalu sampai di Madinah, maka ia akan dipulangkan ke tempat asalnya. Sebaliknya, orang muslim Madinah yang masuk Makkah tidak boleh kembali ke Madinah.

Kekecewaan itu sebenarnya tidak berdasar. Mereka tidak mengerti bahwa keuntungan perjanjian itu sesungguhnya merupakan awal dari penaklukan kota Makkah kelak.


4. Perang Khaibar
Pada awal bulan Rabiul Awal tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah saw. beserta 1.600 kaum muslimin bertolak dari Madinah menuju Khaibar. Lasykar Islam di bawah komandan beliau menyerang musuh dengan tiba-tiba dan dengan mudah merebut tanah Raji' yang terletak di antara Khaibar dan Ghatafan.

Panglima besar laskar Islam Rasulullah saw. menerapkan strategi militer yang jitu. Sehingga antara orang-orang Yahudi Khaibar dengan orang-orang Arab Ghatafan tidak dapat saling membantu satu sama yang lain.

Laskar Islam mengepung benteng Khaibar pada malam hari. Mereka mengambil posisi di tempat strategis yang tersembunyi di balik tanaman palem. Dengan mudah mereka menguasai lembah Khaibar. Kemudahan ini berkat keberanian dan ketulusan mereka dalam berkorban.

Sayangnya, dua lembah strategis yang menjadi markas kaum Yahudi tidak dapat dikuasai. Kaum Yahudi itu mempertahankan benteng mereka mati-matian dengan melepaskan anak-anak panah ke arah pasukan muslimin.

Rasulullah saw. memerintahkan Abu Bakar memimpin pasukan tempur, namun tidak berhasil menaklukkan benteng itu. Pada hari kedua, Umar Bin Khatab ditunjuk sebagai komandan tempur, namun tidak juga berhasil. Di seberang sana, kaum Yahudi Khaibar terus saja memperolok kaum muslimin.

Melihat kegagalan kaum muslimin merebut benteng tersebut, Rasulullah saw. bersabda, "Besok aku akan memberikan bendera Islam ini kepada orang yang hanya kembali bila benteng pertahanan Yahudi itu telah dikuasai".

Seluruh sahabat menantikan fajar tiba untuk menyaksikan siapa gerangan orang yang beruntung itu. masing-masing memimpikan menjadi pemegang bendara esok hari.

Pada pagi harinya, Rasulullah saw. memanggil Ali. Beliau menyerahkan bendera Islam itu kepadanya dan menugaskannya untuk menaklukkan lembah Khaibar. Rasulullah saw. berdoa untuk kesuksesan Ali.

Ali menerima tugas ini dengan penuh semangat. Ia bersama pasukannya bergerak mendekati pintu gerbang Khaibar. Pintu gerbang itu dijaga oleh dua saudara yang gagah berani, Haris dan Marhab. Mereka menyerang pasukan Ali dengan garang sampai tunggang langgang menyelamatkan dirinya masing-masing.

Sebagai komandan perang, Ali segera menghadang kedua bersaudara itu. Dengan kegagahan dan keperkasaannya, ia mampu menghempaskan kedua orang Yahudi itu.

Kematian mereka membuat orang-orang Yahudi yang berada di balik benteng menjadi ketakutan dan panik. Mereka cepat-cepat menutup pintu gerbang dan bersembunyi di baliknya. Pasukan muslimin yang tadinya kocar-kacir melarikan diri, setelah melihat keunggulan Ali, segera kembali dan bersiaga di belakang sang komandan. Ali maju mendekati pintu gerbang itu dan mengangkatnya lepas dari benteng.

Sementara kaum Yahudi tercengang menyaksikan kekuatan dan keberanian Ali hingga mereka menyerah takluk, Ali melemparkan pintu itu ke atas parit untuk dijadikan jembatan yang kemudian dilalui pasukan muslimin. Demikianlah mereka berhasil dengan mudah memasuki dan menduduki Khaibar, benteng kokoh orang-orang Yahudi itu.

Sama seperti kaum Yahudi, kaum muslimin pun takjub di hadapan kekuatan Ali. Mereka bertanya-tanya satu sama lain, bagaimana Ali bisa melakukannya. Tujuh orang muslim sempat mengangkat pintu itu, namun tidak sedikitpun bergeser.

Tentang kekuatannya, Ali menuturkan, "Aku tidak mampu merobohkan gerbang itu dengan kekuatan manusia biasa. Tapi aku melakukannya dengan kekuatan Allah swt".

Akhirnya, pasukan muslimin menguasai seluruh benteng yang ada di sekitar Khaibar dan menaklukkan orang-orang Yahudi. Sisa-sisa orang Yahudi memohon kepada Rasulullah saw. untuk diperbolehkan tinggal. Mereka ingin tetap dapat mengolah tanah tersebut untuk pertanian dan perkebunan. Mereka berjanji akan menyumbangkan setengah dari hasil panen itu kepada kaum muslimin. Beliau mengabulkan permohonan itu.


Tanah Fadak
Berita tentang penaklukan Khaibar terdengar oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di Fadak. Mereka menjadi sangat risau dan ketakutan. Orang-orang Fadak itu mengutus wakil mereka untuk bertemu dengan Rasulullah saw. dengan membawa pesan akan perlunya dibuat suatu perjanjian. Mereka lalu menyerahkan separuh wilayah Fadak kepada beliau yang kemudian dihadiahkannya kepada putrinya, Fatimah agar dapat dikelola untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya dan keperluan orang-orang miskin.

Sesudah perang Khaibar, Rasulullah saw. bertolak menuju Wadi Qura (lembah Qura) yang menjadi pusat pemukiman Yahudi. Beliau dan pasukan muslimin mengepung pemukiman itu dan begitu cepat ditaklukkan. Beliau berjanji untuk mengembalikan tanah Yahudi itu kepada pemiliknya, dengan syarat bahwa separuh dari hasil pertanian itu harus diserahkan kepada kaum muslimin. Hal ini berlaku sebagaimana pengembalian tanah di lembah Khaibar, yakni separuh hasil pertanian itu harus diserahkan kepada kaum muslimin.

Perjanjian ini dilakukan untuk mengaktifkan sektor ekonomi dan mampu menghasilkan kesejahteraan umat Islam, sehingga mereka dapat mempersiapkan diri dan hartanya jika ada seruan perang.


5. Perang Mu'tah
Sebelum meletusnya perang Mu'tah, Rasulullah saw. mengutus Harits bin Umair kepada penguasa Syiria dengan maksud mengajaknya menerima Islam. Namun pihak penguasa berlaku kurang ajar. Mereka menahan dan membunuh duta Islam itu.

Setelah peristiwa ini, Rasulullah saw. masih mengutus 16 duta Islam (da'i) untuk mengajak penguasa Syiria dan rakyatnya kepada Islam. Sayangnya, mereka juga dibunuh. Dari 16 orang duta itu, hanya satu orang yang mampu meloloskan diri dan kembali ke Madinah.

Segera ia melapor kepada Rasulullah saw. Beliau sangat terpukul mendengar hal itu. Pembantaian terhadap para duta itu membuat beliau mengeluarkan perintah untuk berjihad. Beliau menghimpun 3.000 pasukan pada Jumadil Tsani tahun 8 Hijriah.

Sebelum pasukan muslimin meninggalkan Madinah, Rasulullah saw. memberikan pengarahan kepada mereka:

"Yang akan memimpin pasukan pertama kali adalah Ja'far bin Abi Thalib, jika sesuatu menimpanya, maka tampuk kepemimpinan diserahkan pada Zaid bin Haritsah. Dan jika terjadi sesuatu pada Zaid, maka Abdullah bin Ruwahid yang menjadi pimpinan kalian. Dan jika Abdullah bin Ruwahid juga menjumpai kesyahidannya, maka pilihlah komandan di antara kalian".

Setelah mendapatkan pengarahan dari penglima besar mereka, berangkatlah pasukan itu di bawah komando Ja'far bin Abi Thalib. Ketika pasukan muslimin sampai di dekat kota Ma'an, mereka mendapat berita bahwa Kaisar Romawi telah mengirim 100.000 pasukannya ditambah 100.000 orang Arab yang berada di bawah kekuasaannya.


Perang Yang Tak Seimbang
Lasykar musuh yang berjumlah 200.000 pasukan itu berhadapan dengan 3.000 pasukan muslimin. Setelah berhadap-hadapan, perang pun meletus. Ja'far bin Abu Talib bertempur dengan gagah berani sampai darah penghabisan. Ia gugur sebagai syahid.

Pucuk pimpinan segera diambil oleh Zaid bin Haritsah. Zaid pun bertempur dengan gagah berani. Namun, ia pun mati syahid. Setelah gugurnya Zaid, Pasukan muslimin dipimpin oleh Abdullah bin Ruwahid yang juga berakhir dengan kesyahidannya.

Dengan gugurnya para komandan mereka yang gagah berani itu, kaum muslimin segera memilih Khalid bin Walid untuk memimpin pasukan. Khalid segera menarik pasukannya dari medan pertempuran dan menyelamatkan prajurit dari medan tempur.

Pada sore harinya, Khalid merencanakan penarikan seluruh pasukan dari medan pertempuran dan memimpin mereka bergerak menuju Madinah.


Penaklukan Kota Makkah
Penarikan mundur pasukan muslimin dari medan pertempuran Mu'tah telah membuat kafir Quraisy semakin berani dan congkak. Mereka berfikir bahwa kaum muslimin telah kehilangan daya dan kekuatan tempur. Oleh karena itu, mereka mengkhianati perjanjian Hudaibiyah. Dengan bantuan sekutu-sekutunya, mereka menyerang dan membunuh banyak kaum muslimin dari Bani Thaif.

Abu Sufyan tahu betul bahwa kaum muslimin tidak akan tinggal diam dan mereka segera mengirimkan jawaban atas pengkhianatan ini. Abu Sufyan mengharap bisa bertemu dengan Rasulullah saw di Madinah dan meminta maaf atas tragedi tersebut.

Masih di hadapan Rasulullah saw., Abu Sufyan meminta agar beliau tetap mau memegang perjanjian Hudaibiyah. Akan tetapi, beliau menampik permintaan itu, sehingga Abu Sufyan kembali ke Makkah dengan kecewa.

Segera Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk siaga. Sebanyak 10.000 lasykar kaum muslimin menyatakan siap sedia untuk mengambil bagian dalam peperangan selanjutnya. Beliau menugaskan sejumlah prajurit agar berjaga-jaga di sekeliling kota untuk mencegah siapa saja yang hendak meninggalkan kota dan meyebarkan berita kepada kafir Quraisy dalam hal ini.

Tetapi seorang pengkhianat keji bernama Hatib membocorkannya kepada kaum musyrik Makkah. Dengan dalih risau akan keselamatan keluarganya, Hatib mengutus seorang kurir wanita untuk menyebarkan berita ini.

Niat busuknya segera diketahui. Surat yang berisi bocoran tentang persiapan kaum muslimin berhasil digeledah. Rasulullah saw. memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk melakukan pemboikotan sosial terhadap Hathib, si pegkhianat Islam. Sesungguhnya hukuman boikot itu lebih buruk daripada hukuman mati.

Pada hari ke-10 Ramadhan tahun ke-8 H, Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya dan sebagian kaum muslimin untuk bergerak cepat. Mereka harus sampai di kota Makkah dalam waktu satu minggu. Beliau beserta pasukan dan seluruh kaum muslimin yang menyertai beliau mendirikan tenda di dekat kota Makkah.

Rasulullah saw. memberikan komando kepada pasukan muslimin untuk berpencar pada malam hari dan menyalakan api unggun di mana-mana. Pihak musuh berfikir bahwa sebuah pasukan besar telah tiba dari Madinah. Musuh pun menjadi ketakutan. Mereka menyangka bahwa pasukan dalam jumlah raksasa akan menyerang.

Malam harinya, gurun di sekeliling kota Makkah menjadi terang benderang dengan nyala api unggun di mana-mana. Suara riuh dan slogan-slogan kaum muslimin berkumandang, unta-unta dan kuda-kuda meringkik. Ketika Abu Sufyan beserta sekelompok Quraisy datang menyaksikan hal ini, ia merinding ketakutan. Ia menyampaikan kepada kaumnya bahwa ia tidak pernah menyaksikan pasukan sebesar ini selama hidupnya.

Abu Sufyan datang menjumpai Abbas bin Abdul Muthalib untuk meminta usulan darinya. Dengan maksud untuk berdamai, Abbas membawanya datang untuk menemui Rasulullah saw, sang panglima tertinggi kaum muslimin.

Demi kemaslahatan dan kejayaan Islam, Rasulullah saw. mengatakan kepada Abu Sufyan agar dapat meyakinkan penduduk kota Makkah, bahwa siapa saja yang mencari perlindungan hendaknya memasuki rumah Abu Sufyan. Setelah mendengar pandangan Rasulullah saw, ia bertolak kembali ke Makkah dengan membawa ampunan dari beliau.

Sesampainya di Makkah, Abu Sufyan mengingatkan penduduk kota bahwa kaum muslimin akan datang dengan pasukan raksasa. Untuk menghindari pertumpahan darah, maka sebaiknya mereka menyerah dan membiarkan kaum muslimin memasuki kota Makkah.

Akhirnya kota Makkah dapat dikuasai dengan damai tanpa adanya pertumpahan darah.


Pengampunan Umum
Sekelompok kaum muslimin, khususnya para pengungsi yang pernah diperlakukan secara kejam oleh Quraisy, berniat menuntut balas terhadap orang-orang Makkah yang menyiksa dan mengusir mereka dari kota.

Akan tetapi, Rasulullah saw. mengumumkan "Pengampunan Umum" untuk warga makkah, bahkan untuk mereka yang telah melakukan penyiksaan dan pengusiran terhadap kaum muslimin.

Setelah merobohkan semua patung dan berhala satu persatu, Rasul saw. memerintahkan Bilal untuk menaiki Ka'bah dan mengumandangkan gema Tauhid: "Allahu Akbar, La ilaha illallah, Muhammad rasulullah".


6. Perang Hunain
Setelah kejatuhan pusat kekuatan kaum musyrikin oleh kaum muslimin, para penyembah berhala itu tetap diperbolehkan tinggal di sekeliling Ka'bah. Mereka merasa malu dan bagitu ketakutan. Oleh karena itu, mereka mengundang kabilah masing-masing untuk berkumpul.

Mereka memutuskan bahwa untuk mengalahkan kaum muslimin, hendaknya mereka bersekutu dalam menghancurkan pasukan muslimin itu. Dalam pertemuan itu, diputuskanlah kepala kabilah Hawazan sebagai panglima mereka.

Mendengar berita ihwal pertemuan itu, Rasulullah saw. mengirimkan seorang mata-mata untuk mengintai keadaan musuh dan mencari informasi tentang kesepakatan perang yang ditandatangani oleh kabilah-kabilah itu. Mata-mata itu berhasil mendapatkan informasi dan segera melaporkannya kepada beliau.


Persiapan Menjelang Perang Hunain
Mendapatkan berita tentang rencana penyerangan tersebut, Rasulullah saw. tidak tinggal diam. Panglima besar kaum muslimin itu segera memerintahkan pasukannya untuk bersiaga dan bergerak menuju lembah Hunain. Para pejuang itu bergerak pada 5 Syawal tahun 8 H.

Malik, panglima tentara kafir, mengutus tiga orang prajuritnya untuk memata-matai pasukan muslimin. Mereka menyaksikan kehebatan pasukan muslimin dan melaporkan hasil pengintaiannya itu kepada Malik. Ia merasa bahwa mereka tidak memiliki daya untuk menghadapi pasukan muslimin. Ia lalu memerintahkan pasukannya untuk menaiki bukit yang berada di lembah itu, sehingga mereka mendapatkan posisi yang strategis. Dari puncak bukit itu mereka berencana untuk menyergap jika pasukan musuh terlihat.

Pasukan muslimin tiba di lembah Hunain pada malam Selasa tanggal 10 Syawal. Pasukan Islam beristirahat di tempat itu. Rencananya, mereka akan bergerak memasuki lembah Hunain pada Shubuh hari.

Pihak musuh yang telah siaga menyambut kedatangan mereka dengan bersembunyi di balik ilalang. Setelah melihat musuh menampakkan diri, mereka lalu menyergap dari empat penjuru.

Di tengah kegelapan malam, kuda-kuda yang ditunggangi pasukan muslimin itu membuat kegaduhan. Kegaduhan ini menjadi ramai oleh sekitar 2.000 muallaf (muslim baru). Para muallaf itu melarikan diri, dipimpin oleh Khalid bin Walid. Pelarian diri itu telah membuat musuh menjadi tambah semangat untuk menceraiberaikan pasukan muslimin.

Hanya 10 orang sahabat yang bersiaga di samping Rasulullah saw. Merekalah yang membela beliau dari ancaman pedang musuh. beliau memerintahkan mereka untuk lari mencari pertolongan. Abbas berteriak dengan suara lantang, memanggil sahabat-sahabat yang melarikan diri itu. Musuh yang pada awalnya meraih kemenangan itu, lambat laun menjadi lemah akibat kembalinya pasukan muslimin yang melarikan diri tadi.

Walhasil, benteng pertahanan musuh dihancurkan. Musuh lari tunggang langgang meninggalkan peralatan tempur mereka. Rasulullah saw. memerintahkan beberapa orang sahabat untuk mengejar musuh yang melarikan diri sehingga mereka menjadi tidak berdaya. Maksud pengejaran ini adalah agar tidak tersisa lagi musuh yang bisa melakukan perlawanan militer di kemudian hari.

Para sahabat yang mengejar musuh itu berhasil menunaikan tugas mereka. Atas keberhasilan pasukan muslimin menaklukkan musuh, Rasulullah saw. kemudian membagikan harta rampasan perang kepada kaum muslimin.


7. Perang Tabuk
Pada bulan Rajab tahun ke-9 H, Rasulullah saw. menerima laporan bahwa kaum muslimin yang bermukim di barat daya perbatasan Arabia, mendapat ancaman dari kekaisaran Romawi dan berhajat untuk menyerang wilayah-wilayah Islam.

Setelah mempersiapkan pasukan, Rasulullah saw mengumumkan rencananya kepada khalayak ramai. Cara ini berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat sebelumnya. Dahulu, beliau merahasiakan niatnya. Kali ini beliau memberitahukan kepada khalayak secara terbuka.

Masyarakat mempersembahkan segala sesuatu yang diperlukan oleh pasukan muslimin. Mereka dengan antusias dan penuh semangat mengorbankan harta, bahkan kaum wanita merelakan simpanan perhiasan mereka untuk digunakan dalam peperangan.


Makar Kaum Munafik
Bersamaan dengan bergeraknya pasukan muslimin, orang-orang munafik mulai menebarkan hasutan, menciptakan semangat anti perang dan menanamkan rasa takut dalam diri pasukan muslimin akan kehebatan pasukan Romawi.

Mereka melakukan berbagai cara, diantaranya ialah membangun sebuah masjid dengan nama "Masjid Dirar" sebagai pusat penyebaran propaganda anti perang itu. Mereka berharap agar orang-orang tidak ambil bagian dalam jihad itu.

Syukurlah, berkat kesigapan dan ketegasan, Rasulullah saw. berhasil menggagalkan persekongkolan orang-orang munafik itu.

Atas perintah Rasulullah saw, rumah tempat berkumpulnya orang-orang Yahudi dan kaum munafik itu dibakar oleh massa. Dengan cara demikian ini, persekongkolan yang mereka galang berhasil ditumpas.


Persiapan Perang Tabuk
Sebanyak 30.000 pasukan muslimin meninggalkan kota Madinah. Jumlah pasukan ini adalah yang terbesar dari yang sebelumnya. Rasulullah saw. sendiri yang menjadi panglima pasukan itu. Beliau memeriksa persiapan-persiapan pasukannya. Setelah itu, panglima muslimin itu berpidato di depan pasukannya.
Beliau menunjuk Ali bin Abi Talib sebagai pemimpin di Madinah selama kepergiannya beserta pasukan muslimin ke Tabuk.
Mereka tiba di padang Tabuk yang panas membara setelah menempuh perjalanan sejauh 600 kilometer. Namun, mereka terkejut setibanya di tempat itu. Mereka tidak melihat tanda-tanda pasukan Romawi.

Sepertinya, pihak musuh telah mengetahui gerakan pasukan muslimin yang penuh semangat untuk mati syahid. Pemimpin Romawi memutuskan untuk menarik mundur pasukannya dari arah utara.

Pasukan muslimin berdiam di Tabuk selama 20 hari sebelum kembali ke Madinah, tanpa terjadi pertempuran apa pun.


Persekongkolan Kaum Munafik
Sekembalinya dari Tabuk, sekelompok orang munafik memendam niat jahat kepada Rasulullah saw. Mereka bermaksud untuk membunuh panglima orang-orang pencinta kebenaran itu. Kaum munafik yang ikut serta dalam perjalanan ke Tabuk itu hanyalah didorong oleh rasa takut kepada kaum muslimin lainnya.

Mereka ingin menakut-nakuti unta tunggangan Rasulullah saw. dengan bersembunyi di balik bukit. Bila beliau terjatuh, mereka mudah membunuhnya. Tapi niat keji itu tersingkap dan membuat orang-orang munafik melarikan diri. Pasukan muslimin ingin segera menghabisi hidup kaum munafik itu, namun Rasulullah saw. meminta mereka untuk membiarkannya.

Sekembalinya dari Tabuk, Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslimin untuk menggusur Masjid Dhirar. Perintah ini beliau sampaikan setelah menerima wahyu dari Allah swt.

Peperangan Tabuk merupakan unjuk kekuatan pasukan muslimin. Seluruh kaum muslimin mengambil bagian dalam pertempuran ini.
Melihat kekuatan yang begitu besar, negara-negara tetangga dan orang-orang kafir menjadi enggan terlibat dalam persekongkolan untuk merongrong pemerintahan Islam.


Pembersihan Orang-orang Kafir
Hingga tahun ke-9 H, orang-orang kafir masih menunaikan ibadah Haji sesuai dengan kebiasaan nenek moyang mereka. Pada tahun yang sama, surat Al-Bara'ah atau At-Taubah diturunkan.

Rasulullah saw. mempercayakan surat itu kepada Ali dibacakan di hadapan orang-orang kafir Makkah. Beliau memerintahkan Ali untuk menyampaikan, "Tidak diperbolehkan orang-orang kafir memasuki rumah suci Ka'bah, terhitung sejak hari ini. Dan mulai hari ini, tidak diperbolehkan untuk melaksanakan ibadah di sekitar Ka'bah dengan telanjang".

Sesuai perintah Rasulullah saw, Ali berangkat menuju Makkah dan membacakan surat Al-Bara'ah yang baru saja diturunkan, dan ditujukan kepada orang-orang kafir itu agar menghentikan kemusyrikan mereka.

Di tengah para jemaah haji disana, Ali menyerukan, "Wahai sekalian manusia, tidak akan ada orang kafir yang masuk surga, tidak akan ada orang musyrik yang berhaji setelah tahun ini, tidak akan ada orang telanjang yang bertawaf, dan siapa saja yang punya perjanjian damai dengan Rasulullah, maka ia punya kesempatan sampai berakhirnya masa perjanjian itu".


Mubahalah (Saling Memohon Kutukan dari Allah SWT)
Rasulullah saw. mulai mengirimkan surat kepada penguasa-penguasa yang ada di dunia. Beliau mengirimkan surat kepada keuskupan di Najran dan mengajak orang-orang Kristen yang ada di sana untuk memeluk Islam. Bila menolak, mereka diharuskan untuk membayar jizyah (pajak) sebagai bentuk dukungan mereka kepada pemerintahan Islam.

Sang uskup telah membaca ihwal kedatangan seorang nabi baru setelah Isa putra Maryam as. Dia juga mengetahui kedatangannya melalui Kitab Suci Nasrani. Kemudian dia segera mengirimkan utusan ke Madinah untuk mencari tahu kebenaran berita itu.

Sesampainya di Madinah, mereka memulai dialog dengan Rasulullah saw. pada kesempatan itu, beliau menjelaskan ajaran-ajaran Islam yang lurus, sementara mereka menanyakan ihwal Nabi Isa Al-Masih as, "Apakah ia anak Allah ataukah anak Maryam?

Rasul saw. menjawab, "Sesungguhnya Isa Al-Masih tidak lain adalah rasul Allah, sama seperti rasul-rasul yang telah mendahuluinya, dan ibunya adalah wanita tepercaya. Mereka berdua memakan makanan" (QS. Al-Imran:59), "Dan ihwal Isa di sisi Allah seperti Adam yang telah diciptakan Allah dari tanah, lalu berkata kepadanya, 'Jadilah', maka terjadilah" (QS. Al-Imran: 61).

Namun, utusan Najran sebanyak 60 orang itu tetap saja menolak untuk beriman kepada Rasul saw.

Malaikat Jibril as. turun menyampaikan wahyu dari Yang Maha Kuasa kepada Nabi saw. Dalam wahyu tersebut, Allah menyerukan beliau dan orang-orang Najran untuk bermubahalah, yakni memohon kepada Allah swt. agar mengutuk siapa yang sebenarnya berdusta.

Ketika saat mubahalah itu tiba, Rasulullah saw. hanya membawa empat orang keluarganya dari Ahlul Bait: Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Sewaktu orang-orang Nasrani itu melihat beliau datang beserta rombongan pilihannya, pemimpin Nasrani itu berkata: "Demi Tuhan! Saya meyaksikan wajah-wajah mereka, yang jika mereka (orang-orang Nasrani) mengutuk Nabi bersama rombongannya, maka gurun sahara itu akan menjadi neraka dan akan meluas sampai ke wilayah Najran. Orang-orang Nasrani akan musnah oleh siksaan dan azab ini."

Akhirnya, mereka setuju untuk membayar pajak. Diputuskan bahwa orang-orang Nasrani akan membayar sebanyak 2.000 Hullas (jubah) dan 30 busur panah kepada kaum muslimin.


Haji Wada' (Perpisahan)
Pada 25 Zulhijah tahun ke-10 Hijriah, Nabi saw. mengumumkan akan menunaikan haji tahun itu Beliau berpesan, bahwa siapa saja yang mau menyertainya segera mempersiapkan diri.

Berita ini menciptakan semangat dan kegembiraan di kalangan kaum muslimin. Bersama Nabi saw, mereka mempersiapkan diri menyambut pesan beliau itu. Rasulullah saw menunjuk Abu Dujana sebagai wakil beliau di Madinah. Beliau beserta sahabat-sahabat lainnya bergegas menuju Makkah.

Rasulullah saw. memulai pelaksanaan rukun ibadah Haji di Zulhulaifah dan melantunkan Labaik. Dari Zulhulaifah, Rasulullah saw. bertolak menuju Makkah.
Setelah sepuluh hari tiba di Makkah, beliau memasuki Masjidil Haram dan melaksanakan rukun-rukun Haji lainnya. Hari berikutnya, beliau menyampaikan pidato di Mina. Beliau bersabda: "Kita membutuhkan kemapanan dalam pemerintahan Islam."


Ghadir Khum
Pada hari Kamis, 18 Zulhijah, Nabi saw. tiba di dekat ladang Juhfa. Pada saat itu, malaikat Jibril as. menyampaikan wahyu dari Tuhan yang harus beliau sampaikan. Rasulullah saw. mengumpulkan para sahabat dengan mengatakan bahwa beliau akan mengumumkan suatu pesan yang sangat penting.

Ratusan jamaah Haji berkumpul pada pelaksanaan acara pidato Rasulullah saw. Telinga mereka dipasang baik-baik untuk mendengarkan pesan yang akan disampaikan beliau, "Segala puji dan puja bagi Allah Yang Maha Kuasa. Hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan dan keimanan, Dialah tempat tumpuan hajat manusia. Aku (Muhammad saw.) bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dan Muhammad saw adalah hamba dan utusan-Nya.

"Wahai kaum muslimin! aku (Muhammad) segera meninggalkan kalian semua dan kutinggalkan dua wasiat yang berharga kepada kalian, yaitu Al-Qur'an dan Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan terpisah satu sama lain sampai kalian menjumpaiku di telaga Kautsar (pada Hari Pengadilan). Oleh karena itu, jagalah mereka dan jangan kalian tinggalkan. Jika kalian tinggalkan wasiat ini, maka kalian akan binasa."

Kemudian beliau meraih tangan Ali bin Abi Thalib dan mengangkatnya seraya bersabda: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpin kalian sepeninggalku. Ya Allah! cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhi Ali. Tolonglah orang-orang yang menolong Ali dan binasakanlah orang-orang yang membinasakan Ali."


Wafatnya Nabi saw.
Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan itu, Rasulullah saw. jatuh sakit. Sekelompok orang memanfaatkan keadaan, dan nabi-nabi palsu pun bermunculan. Setelah Rasulullah saw. mendengar berita ini, beliau memerintahkan untuk memerangi mereka.

Suatu hari, Nabi saw. yang dalam keadaan payah dibantu oleh Ali bin Abi Thalib guna berziarah ke kuburan sahabat-sahabatnya yang telah gugur di pekuburan Baqi. Setelah itu, beliau meminta Imam Ali untuk membawanya pulang.

Hari demi hari berlalu, sakit Nabi saw. bertambah serius dan parah, hingga insan kamil itu menghembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuan Ali. Manusia suci itu telah kembali menghadap kekasihnya Yang Mahakasih pada hari Senin 28 Safar tahun ke-11 H. Mangkatnya beliau menyebabkan dunia Islam berkabung dan berduka.


Mutiara Hadis Rasulullah saw.
1" "Seburuk-buruk manusia di hadapan Allah swt. adalah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya dan tidak mengambil manfaat dari ilmu yang dimikinya".
2" "Semulia-mulia rumah adalah rumah yang di dalamnya anak-anak yatim disantuni dengan kasih sayang dan cinta".
3" "Orang-orang yang beriman pada Allah swt, hari akhir dan janji-janji Allah swt. hendaknya menunaikan amanat dan janjinya".
4" "Tatapan seorang anak kepada orang tuanya karena kasih sayang adalah ibadah".
5" "Sahabat yang berbudi luhur dan mulia sungguh lebih berharga daripada harta benda".


Riwayat Singkat Rasulullah saw.
Nama : Muhammad
Ayah : Abdullah bin Abdul Muthalib
Ibu : Aminah binti Wahab
Kelahiran : Makkah, Sabtu 17 Rabiul Awal, Tahun Gajah
Wafat : Senin, 28 Safar 11 H
Makam : Madinah Al-Munawwarah


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cermat:
1. Dari bangsa apakah keluarga Bani Hasyim itu?

2. Peristiwa besar apakah yang terjadi pada masa Abdul Muthalib?

3. Usulan apakah yang diajukan oleh Muhammad untuk mencegah timbulnya pertumpahan darah di antara suku-suku Arab?

4. Di manakah Muhammad dilantik menjadi Nabi, sebutkan kota dan tempatnya!

5. Siapakah yang menawarkan dirinya untuk menggantikan Nabi saw. berbaring di tempat tidur pada malam beliau hijrah?

6. Langkah-langkah apakah yang diambil oleh Nabi saw. di tempat tidur pada malam hijrah?

7. Dalam peperangan apakah untuk pertama kalinya kaum muslimin berperang melawan kaum kafir Quraisy, dan siapakah yang menang dalam peperangan tersebut?

8. Mengapa dalam perang Uhud kaum muslimin menderita kekalahan?

9. Usulan apakah yang diterima Nabi saw. dalam perang Khandaq?

10. Mengapa Nabi saw. tidak memisahkan orang Yahudi Bani Kuraizah dalam peperangan Ahzab?

11. Apakah hasil yang dicapai dengan adanya perjanjian Hudibiyah?

12. Langkah-langkah militer apakah yang ditempuh oleh Nabi saw. pada perang Khaibar?

13. Tindakan apakah yang diambil Khalib bin Walid pada perang Mu'tah?

14. Langkah-langkah apakah yang ditempuh oleh Nabi saw. pada saat penaklukankota Makkah sehingga tidak terjadi pertumpahan darah?

15. Mengapa para sahabat melarikan diri pada perang Hunain dan mengapa mereka tiba-tiba kembali lagi ke medan pertempuran?

16. Bagaimanakah gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kaum Munafikin pada perang Tabuk dan bagaimana pula sikap Nabi saw. ketika itu ?

17. Di manakah Nabi saw. menyampaikan pesan penting kepada para sahabat bahwa pengganti beliau kelak adalah Ali bin Abi Talib dan apa saja yang
dikatakan oleh Nabi saw. tentang Ali?

18. Mengapa para pendeta dan orang-orang arif Nasrani tidak mau bermubahalah dengan Nabi pada hari Mubahalah dilangsungkan?

19. Siapakah yang dimaksud dengan Muhajirin dan Anshar?

20. Apakah nama perjanjian dan bai'at yang dilakukan oleh Nabi aaw. dengan para sahabat di bawah sebuah pohon dekat kota Makkah, dan bagaimanakah sikap para sahabat terhadap perjanjian itu?

4
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Fatimah Az-Zahra as; Penghulu Wanita Semesta

Mukadimah
Dahulu, masyarakat memandang perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita seperti sesuatu hal yang hina. Bahkan sebagian di antara mereka, ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.

Ketika fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula batas-batasnya seperti: hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai pemudi.

Tentu kita semua sering mendengar hadis Nabi saw. yang menyatakan: "Surga itu terletak di bawah kaki ibu".

Di lain kesempatan, beliau bersabda, "Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang tua" (dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua).
Islam telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturan, undang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan kehormatannya.

Sebagai contoh yang jelas ialah hijab, atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya.

Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah swt. telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab pun dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.

Wanita dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia.

Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan.

Dalam pandangan dunia Barat, wanita telah berubah menjadi seonggok barang yang tidak berharga lagi, baik dalam dunia perfilman, iklan, promosi, ataupun dalam dunia kontes kecantikan.

Teman-teman, marilah kita sejenak menengok sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta.

Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.

Putri tersayang Nabi Muhammad saw.

Istri tercinta Imam Ali as.

Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.


Hari Lahir
Fatimah as. dilahirkan pada tahun ke-5 setelah pengangkatan Muhammad saw. menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' Mi'raj Rasulullah saw.

Sebelumnya, Jibril as. telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.


Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as. hidup dan tumbuh di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah swt. dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Acapkali Rasulullah saw. melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.

Beliau mengatakan. "Wahai Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku".

Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah swt. telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.

Fatimah Az-Zahra as. menyerupai ayahnya Muhammad saw. dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra., istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga Aisyah. Ia berkata bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.

Fatimah as. mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya Khadijah as. wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya.

Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.

Fatimah senantiasa mengajak bicara dengan sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw. memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.


Pernikahan Fatimah as.
Setelah Fatimah as. mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw. menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, "Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as)".

Kemudian, Jibril as. datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as. datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan:

"Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?"

Fatimah as. diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir: "Allahu Akbar...! Diamnya adalah tanda kerelaannya".


Acara Pernikahan
Rasulullah saw. kembali menemui Ali as. sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata: "Bangunlah! 'Bismillah Barakatillah, Masya Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah".

Kemudian, Nabi saw. menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk".

Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata: "Wahai 'Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu".
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan: "Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu".

Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlul Bait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.

Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw. mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.

Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.

Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.
Hanya Allah swt. saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.

Fatimah as. senantiasa mendukung perjuangan Ali as. dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.

Fatimah as. senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.

Fatimah as. merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.


Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.

Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada suaminya.

Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayyidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan "Ya Amirul Mu'minin", wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as. dan Sayyidah Fatimah as.
Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya .


Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as. melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama "Hasan". Rasul saw. sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.

Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah swt. berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw. dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.

Bila Rasulullah saw. keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.

Suatu hari Rasul saw. lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan: "Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku."

Satu tahun berselang, Fatimah as. melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw. teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as. itu dengan nama-nama tersebut.

Dan begitulah Allah swt. menghendaki keturunan Rasul saw. berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.


Kedudukan Fatimah Az-Zahra as.
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai "Sayyidatun Nisail Alamin", yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.

Bila Maryam binti Imran, Asiah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayyidah Fatimah as. adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.

Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.

Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain dan Zainab as. adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.


Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada, Rasulullah saw. jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as. bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.

Tidak lama kemudian Rasul saw. membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.

Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.

Rasul saw. meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi'raj ke langit.

Kepergian Rasul saw. merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.

Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as. mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.

Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra as. berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.

Imam Ali as. melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayyidah Fatimah as. secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw. akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.

Atas dasar itu, Ali as. meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.

Akhirnya, Sayyidah Fatimah as. pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, "Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah swt".

Sayyidah Fatimah as. diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.


Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatmah Az-Zahra as. sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat
Asyhadu anna Muhammad ar-Rasulullah.

Kerinduan Sayyidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.

Demikianlah keadaan Sayyidah Fatimah as. saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.

Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.

Sayyidah Fatimah as. memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.

Fatimah Az-Zahra as. senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.

Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as. duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as. mengucapkan salam:

"Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.

"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku... Putrimu kan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!". []


Riwayat Singkat Sayyidah Fatimah as.
Nama : Fatimah

Julukan : Az-Zahra, Al-Batul, At-Thahirah

Ayah : Mahammad saw.

Ibu : Khadijah binti Khuwailid

Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir

Tempat : Makkah Al- Mukarramah

Wafat : Madinah, Tahun 11 H

Makam : Tidak diketahui


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cermat:
1. Mengapa Nabi saw. sangat mencintai Sayyidah Fatimah as.?

2. Mengapa Nabi saw. menolak setiap orang yang meminang Fatimah Az-Zahra as.?

3. Mengapa Sayyidah Fatimah as. berwasiat supaya dikuburkan secara rahasia?

5
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Ali bin Abi Talib as; Pemimpin Yang Adil

Hari Lahir
Pada hari Jum'at, 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahirlah dari keluarga Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah dan alam semesta dunia.

Ketika paman Nabi saw. yang bernama Abbas bin Abu Thalib sedang duduk santai bersama seorang lelaki yang bernama Qu'nab, datanglah Fatimah binti Asad untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah dan memanjatkan doa ke hadirat Allah swt. Pandangan matanya tertuju ke langit sambil bermunajat kepada-Nya dengan penuh khusyuk.

Dalam doanya itu ia berkata, "Ketahuilah wahai Tuhanku, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para rasul dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka. Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as, dialah yang membangun kembali Ka'bah yang mulia. Maka demi orang yang telah membangun Ka'bah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya".

Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah swt. telah mengabulkan doanya. Di saat itu, tembok Ka'bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang yang menyaksikannya terheran-heran.

Abbas bin Abu Thalib yang juga turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali lagi ke Ka'bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun mereka hanya mampu mengelilingi
Ka'bah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam kebingungan sambil menanti Fatimah keluar.

Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Ka'bah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab: "Namanya adalah Ali'".

Demikianlah kelahiran Imam Ali as yang serba menakjubkan itu.

Semenjak masih dalam susuan Ali tumbuh besar dan terdidik di dalam rumah Nabi saw. Pada salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul Balaghah, Ali pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil, beliau saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku".


Masa Kanak-Kanak
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali as. tidak pernah berpisah dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Beliau senantiasa menyertai Rasulullah saw, laksana bayangan yang begitu setia mengikuti empunya.

Mengenang masa kanak-kanaknya, Imam Ali as. mengisahkan, "Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw. bak seorang anak yang masih menyusu, selalu mengikuti ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu".

Ketika Allah swt. mengangkat Muhammad saw. sebagai seorang Rasul untuk seluruh umat manusia, dan memerintahkan agar beliau berdakwah dan memberikan peringatan kepada keluarga serta kerabatnya, beliau memerintahkan Ali agar menyiapkan makanan untuk 40 orang dan mengundang kerabat beliau. Di antara mereka yang memenuhi undangan ialah paman-paman beliau seperti: Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.

Seperti dalam kenangan Imam Ali as. sendiri, beliau menuturkan, "Kemudian Nabi berpidato di hadapan mereka, 'Wahai putra-putra Abdul Mutallib! demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat di antara bangsa Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah aku bawa untuk kalian. Sesungguhnya aku membawa untuk kalian kebaikan dunia dan akhirat.

"Ketahuilah, bahwa Allah swt. telah memerintahkan kepadaku agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan tersebut. Siapakah di antara kalian yang siap membela dan menolongku dalam urusan ini dan untuk menjadi saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian semua?

"Ketika itu, semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang menjawab seruan beliau. Aku segera berkata, meski usiaku saat itu paling muda di antara mereka, 'Aku ya Rasulullah, akulah yang akan menjadi pembela dan penolongmu'. Saat itu juga Rasulullah saw. berkata, "Inilah Ali sebagai saudaraku, wasyi dan khalifahku atas kalian semua, maka dengarkanlah dan taatilah dia."


Masa Muda
Masa kanak-kanak berlalu begitu cepat. Kini Ali as. telah menjadi seorang pemuda sempurna. Sementara ia masih terus mengikuti Rasulullah saw. kemana saja beliau pergi dan di mana saja beliau berada, bagaikan laron yang selalu beterbangan di sekitar lilin.

Ali as. adalah pemuda yang tampan, kuat dan gagah berani. Kekuatan dan keberanian ini digunakannya untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama Allah swt. dan Rasul-Nya.

Ketika kita menengok sejarah Islam, kita jumpai bagaimana Imam Ali as. senantiasa hadir dan ikut serta dalam setiap peperangan dan pertempuran. Beliau berperang dan menyerang musuh-musuhnya dengan penuh ksatria dan prawira di barisan terdepan.

Pada perang Hunain, di saat sebagian kaum muslimin tunggang langgang meninggalkan Rasulullah saw. di awal pertempuran, Ali as tetap tampil tegar dan gigih melakukan perlawanan, sementara bendera Islam tetap berkibar di atas kepalanya, sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih kemenangan atas pasukan musyrikin.

Pada perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib as. memimpin pasukan muslimin untuk melakukan serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi. Padahal sebelumnya, pasukan muslimin mengalami dua kali kegagalan. Penyerangan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, dan penyerangan kedua dipimpin oleh Umar bin Khattab, kedua-duanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Yahudi.

Penyerangan ketiga dipercayakan kepada Ali. Beliau memimpin pasukan dan berhasil menjebol benteng kokoh Khaibar. Bahkan beliau mencabut salah satu pintu gerbang benteng itu dan mengangkat dengan tangannya sendiri.

Ketika kaum Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Ali tersebut, mereka segera kabur tunggang-langgang karena ketakutan, sebelum akhirnya mereka menyerah.


Tebusan Pertama
Setiap manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya, karena ia ingin senantiasa hidup, dan tidak menghendaki kematian. Dalam kehidupan ini, kita saksikan sedikit sekali orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi orang lain.

Ketika kita membaca sejarah Rasulullah saw. dan kisah perjalanan hijrah beliau, kita akan merasa kagum dan penuh haru. Kita saksikan betapa Imam Ali as. dengan penuh keberanian berbaring di tempat tidur Nabi saw. sebagai tebusan jiwa beliau yang suci dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin membunuhnya pada malam hijrah itu, padahal ketika itu Imam Ali as. masih sangat muda.

Rencana pembunuhan atas diri Rasulullah saw. itu diawali dengn berkumpulnya sekelompok kaum musyrikin di Darun-Nadwah. Di sanalah mereka membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menghabisi jiwa kudus Rasulullah saw. Cara dan taktik yang mereka ambil ialah dengan memilih satu orang pemuda dari setiap kabilah Quraisy. Mereka ditugaskan menyergap rumah Rasulullah saw. pada tengah malam dan membunuhnya secara serentak.

Wahyu Ilahi turun dari langit, mengabarkan kepada Rasulullah saw. akan tipu daya dan makar jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut. Mengetahui rencana jahat itu, Imam Ali as. segera pergi menuju rumah Rasulullah saw untuk bermalam di tempat tidur beliau.

Dengan izin Allah swt, Rasulullah saw. berhasil keluar pada malam hari itu juga tanpa diketahui oleh mereka. Mereka malah menduga bahwa beliau masih berada di tempat tidurnya. Ketika mereka berhasil masuk untuk membunuh beliau saw, ternyata yang mereka dapati adalah Ali. Betapa terkejutnya saat mereka menjumpai Ali yang tengah berbaring di atas tempat tidur Nabi saw. Mereka pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi dalam keadaan malu dan penuh kecewa.

Demikianlah Rasulullah saw. dapat menyelamtkan diri berkat pengorbanan sahabatnya yang setia, Imam Ali as.


Di Jalan Allah
Islam adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karena itu, Islam menolak pembunuhan dan pertumpahan darah tanpa hak. Semua peperangan dan pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah saw. adalah demi membela diri dan mempertahankan agama.

Beliau senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin. Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya, kaum muslimin pun melakukan pertahanan dan perlawanan gigih dan kesatria demi mengangkat "Kalimat Allah".

Ketika kita mengkaji peperangan-peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam, sejarah mencatat bahwa pedang Ali bin Abi Thalib berperan andil yang sangat besar atas kejayaan Islam dan umatnya. Pedang yang diberi nama Dzul Fiqor itu senantiasa berkilauan, bagaikan kilat menyambar dalam setiap medan peperangan.

"Ali senantiasa bersama hak, dan hak selalu bersama Ali." demikian sabda Nabi saw. tentang Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.


Akhlak Imam Ali as.
Pada masa khilafah Imam Ali as, Kufah merupakan ibu kota pemerintahan Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.

Pada suatu hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara kedua orang laki-laki. Satu di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as, dan yang lainnya adalah seorang laki-laki yang beragama Nasrani. Laki-laki Nasrani ini sama sekali tidak mengenal beliau. Berlangsunglah percakapan di antara kedua orang itu sambil berjalan, hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan jalan mereka menjadi dua; yang satu menuju kota Kufah dan yang lainnya mengarah ke suatu perkampungan.

Imam Ali as. harus menempuh perjalanannya menuju kota Kufah, sementara laki-laki Nasrani itu hendak melanjutkan perjalanannya menuju kampungnya.
Namun beliau masih saja mengiringinya, padahal seharusnya beliau mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah.

Laki-laki Nasrani itu terkejut dan berkata kepada Imam Ali, "Bukankah Anda hendak kembali ke Kufah?" beliau menjawab: "Ya betul, akan tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi menunaikan hak persahabatan dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman seperjalanan itu mempunyai hak dan aku ingin memenuhi hakmu itu".

Laki-laki Nasrani itu merasa tertarik dan ia bergumam dalam hatinya, "Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang telah mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia". Ia pun sangat terdorong untuk mengungkapkan keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.

Kekaguman dan keterkejutannya itu menjadi lebih besar lagi tatkala ia tahu, bahwa sebenarnya teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, pemimpin negara Islam yang luas.


Keteguhan Ali as.
Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang akan dapat mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan kondisi tersebut. Akan tetapi, pada kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan, seseorang acapkali kehilangan keseimbangn dirinya, hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali baginya untuk menguasai kembali dirinya.

Tidak demikian halnya pada diri Ali Abi Thalib as. Ia tetap tenang dan tegar pada setiap keadaan dan kondisi. Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya, yakni perbuatannya senantiasa mengiringi ridha Allah swt.

Perilaku Ali di dalam rumah tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya di tengah masyarakat senantiasa tunduk di bawah syariat dan undang-undang Islam. Beliau telah menjaga jiwanya sedemikian rupa, sehingga ia menjadi teladan yang unggul bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.

Dalam perang Khandaq, ketika kaum musyrikin hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah saw. kaum muslimin menggali parit untuk melindungi kota dari serangan musuh. Situasi saat itu sangat genting dan membahayakan sekali bagi umat Islam, terlebih lagi ketika Amr bin Abdi Wud dan sebagian penunggang kuda musyrikin Quraisy berhasil melompati parit tersebut.

Setelah berhasil melewati parit dengan kudanya yang besar dan gagah, Amr bersuara lantang menantang kaum muslimin untuk turun ke perang tanding dengannya. Amr bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara Arab yang gagah berani.

Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengannya, termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman. Pada kesempatan inilah Imam Ali bangkit untuk memenuhi tantangan Amr. Beliau maju menuju ke arah musuh yang congkak itu, tanpa sedikit pun ada rasa takut dalam hatinya.

Sementara itu, Rasulullah saw dengan tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, "Kini keimanan seutuhnya bangkit melawan kemusyrikan seutuhnya".
Akan tetapi Amr bin Abdi Wud berusaha menghindar dari bertanding duel dengan Imam Ali. Ia berkata, "Wahai Ali! Kembalilah! aku tidak ingin membunuhmu". Ali menjawab dengan penuh kemantapan iman: "Tapi aku ingin membunuhmu".

Mendengar jawaban itu, Amr naik pitam dan begitu berang. Segera ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali. Namun Ali dengan cepat dapat menghindar dari serangan pedang tersebut. Untuk beberapa saat, kedua pemberani itu itu saling menyerang, menangkis dan menghindar.

Ali tidak memberikan peluang sedikit pun kepada lawannya untuk menarik nafas. Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang "Dzul Fiqar"-nya tepat mengenai sasaran yang membuat Amr jatuh tersungkur di atas tanah. Pemandangan tersebut membuat kawan-kawan Amr ketakutan dan mundur secara teratur.

Namun, tatkala Ali hendak menghabisi nyawanya, Amr yang congkak itu malah meludahi wajahnya. Untuk sesaat saja perlakuan seperti itu menyulut kemarahan Ali. Karena itu pula ia mengurungkan niat untuk membunuh Amr sampai emosi beliau kembali tenang. Ali melakukan ini agar tebasan pedangnya bukan sebagai pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi keihlasannya yang murni kepada Allah swt. dan agama-Nya.

Sungguh, Ali adalah kesatria teladan bagi seluruh prajurit di semua peperangan dan pertempuran. Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.

Setelah Amr bin Abdi Wud terhempas mati, Ali kembali membawa kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw. Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru dan puas. Beliau berkata, "Tebasan pedang Ali atas Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain". Yakni, pukulan pedang Imam Ali as. yang membelah badan Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan manusia.

Pada saat berlangsungnya duel antara Ali bin Abi Thalib dengan Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa mengamati dan memperhatikan peristiwa itu dengan penuh ketegangan. Tatkala mereka menyaksikan prajuritnya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar Ali berteriak keras, "Allahu Akbar".

Seketika itu pula dada mereka bergetar ketakutan, jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk melanjutkan peperangan.
Akhirnya mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan kota Madinah dan kembali menarik diri dengan segenap kepiluan, kegagalan dan kekecewaan.

Imam Ali as. di Perang Siffin
Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah berarti apapun jika tidak diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih sayang. Manusia yang berjiwa laksana pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.

Demikianlah sosok agung Imam Ali as.

Beliau tidak mau membunuh musuhnya yang telah terluka parah atau tercekik kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah. Perikemanusiaannya begitu tinggi dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah menggunakan lapar atau haus-dahaga sebagai senjatanya dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam, walaupun mereka sama sekali tidak menganggap penting akan perkara itu.

Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam tak segan-segan menggunakan cara yang paling buruk demi meraih kemenangan. Dalam perang Siffin misalnya, pasukan Muawiyah berhasil menguasai sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada segenap pasukannya agar mencegah prajurit Imam Ali as. untuk mendekati sungai tersebut. Namun beliau mengingatkan mereka bahwa ajaran Islam, kemanusiaan dan kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi Muawiyah tidak mempedulikannya, karena yang ia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan tujuannya yang rakus dan hina.

Pada saat itu Imam Ali as. berkata kepada para prajuritnya dengan suara lantang, "Hilangkan dahaga pedang-pedang kalian dengan darah, demi menghilangkan rasa haus kalian dengan seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan tunduk, dan kehidupan dalam kematian kalian akan unggul".

Dengan serentak para prajurit Imam Ali as. menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan dengan mudahnya mereka merebut sungai itu. Kemudian para prajurit Imam Ali as pun segera menyatakan bahwa mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak meneguk air dari sungai tersebut. Akan tetapi Imam Ali as. segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan tepi sungai dan tidak menggunakan air sebagai senjata, karena yang demikian itu bertentangan dengan akhlak Islam dalam peperangan.


Sang Pemimpin Yang Miskin
Masih pada masa-masa menjabat sebagai Amiril Mukminin dan khalifah bagi kaum muslimin, Imam Ali as. menghadapi berbagai tantangan, bencana dan kesusahan hidup dunia. Walaupun demikian, beliau sendiri terjun langsung menangani kemiskinan umat Islam dan rakyatnya.

Imam Ali as. sama sekali tidak memiliki dendam pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi beliau dan menyimpan kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap dapat menerima bagian dari Baitul Mal (kekayaan negara). Bahkan beliau tidak membeda-bedakan dalam membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili dan orang-orang yang dekat dengan beliau dengan yang rakyat lainnya.

Pada suatu hari, seorang wanita bernama Saudah datang menjumpai Amiril Mukminin Ali as. untuk mengadukan perlakuan buruk seorang pegawai pajak terhadap dirinya. Ketika itu beliau sedang melaksanakan salat. Tatkala bayangan seorang wanita itu yang datang menghampirinya, beliau mempercepat salatnya.

Seusai salat, beliau menoleh kepada wanita itu dan berkata kepadanya dengan penuh santun dan lembut, "Apa yang bisa saya lakukan untukmu?". Sambil menangis Saudah menjawab, "Aku ingin mengadukan perlakuan buruk pegawai saat mengambil pajak dariku". Mendengar hal itu Imam Ali as. terkejut dan menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, "Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu".

Setelah itu beliau megambil sepotong kulit dan menuliskan sebuah perintah untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut beliau serahkan kepada Saudah. Dengan gembira wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.

Pada suatu hari Amiril Mukminin Ali as. menerima laporan dari kota Basrah bahwa gubernur kota itu yang bernama Utsman bin Hanif telah memenuhi undangan seorang kaya raya dan hadir dalam pesta pernikahannya. Mendengar hal tersebut, beliau segera mengirimkan sehelai surat untuknya.

Dalam surat itu Imam Ali as. menegur dan memberikan peringatan kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik undangan tersebut. Karena sesungguhnya orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan bukanlah sekedar menyajikan jamuan makanan semata. Akan tetapi acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk penguasa kota tersebut, sehingga mereka dapat meraih tujuan mereka. Di dalam surat itu pula Imam as menyampaikan berbagai saran dan nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik.

Dalam surat tersebut Imam Ali as. mengatakan, "Wahai Ibnu Hanif, telah sampai laporan kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu untuk menghadiri pesta pernikahan, lalu dengan segera dan senang hati engkau menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang berwarna warni.

Sungguh aku tidak mengira bahwa engkau sudi menghadiri makanan seseorang yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya sedang orang-orang miskin tidak mereka hiraukan.

"Ketahuilah sesungguhnya setiap rakyat mempunyai pemimpin yang harus ditaati dan diikuti petujuk cahaya ilmunya. Ketahuilah! Sesungguhnya pemimpinmu mencukupkan tubuhnya hanya dengan dua helai jubah yang kasar, dan makanannya hanya dengan dua potong roti kering".
Salah seorang sahabat Imam Ali as. yang bernama Ady bin Hatim At-Thaie pernah ditanya seseorang tentang pemerintahan beliau, ia berkata, "Aku saksikan orang yang kuat menjadi lemah di sisinya karena ia menuntut tanggung jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi kuat disisinya karena hak-haknya terpenuhi".

Tentang keadaan hidupnya, Beliau sendiri pernah menggambarkan, "Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pemimpin jika aku sendiri tidak merasakan kesusahan dan kesengsaraan mereka".

Dalam pandangan Imam Ali, kekuasaan dan jabatan itu tidaklah berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sambil menjahit sandalnya, "Menurutmu berapa harga sandalku ini?". Setelah memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu Abbas berkata, "Sangat murah, bahkan tidak ada harganya". Kemudian Imam Ali as berkata, "Sesungguhnya sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan dan jabatan sampai aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan".


Tidak Ada Keistimewaan!
Sejak hari pertama menjadi khalifah kaum muslimin, Imam Ali as. menegaskan di hadapan khalayak bahwa pemerintahannya akan berjalan di atas keadilan dan persamaan hak di antara rakyat, bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (selain orang Arab) kecuali dengan taqwa. Beliau pun tidak membedakan antara tuan dengan budaknya.

Sebagian orang mengecam jalan pemetintahan beliau tersebut. mereka memberikan usulan agar beliau kembali kepada cara-cara pemerintahan lama yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya. Namun, Imam Ali as menolak dengan jawaban keras, "Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan dengan jalan kezaliman?". Beliau melanjutkan, "Seandainya harta negara itu adalah milikku sendiri, maka akan aku bagi rata kepada seluruh rakyat, hanya saja harta itu adalah milik Allah".

Pada suatu hari kakak beliau yang bernama Aqil datang ke rumahnya. Imam Ali as. menyambut gembira kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan malam, ternyata Aqil tidak melihat apa-apa di atas sufrah (alas makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada Imam Ali, "Hanya inikah yang aku lihat?". Beliau menjawab, "Bukankah ini adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?".

Kedatangan Aqil sebenarnya untuk meminta bantuan kepada Imam Ali as. demi menutupi hutangnya. Imam berkata, "Tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku". Aqil mulai merasa kesal dan berkata, "Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu? Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?". Imam as. membalas, "Kalau kau mau, ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama-sama menuju ke kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat peadagang-pedagang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya". Aqil menolak dan berkata,
"Memangnya aku datang untuk merampok!". Imam as menjawab, "Mencuri harta kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik semua kaum muslimin".

Demikianlah Imam Ali as hidup pada masa pemerintahannya yang adil.

Beliau makan makanan kaum fakir miskin dan hidup dengan penuh kesederhanaan. Ketika orang-orang berkata kepada beliau, "Muawiyah membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang untuk menggalang pendukung. Akan tetapi mengapa engkau tidak melakukan hal yang serupa?". Imam as menjawab, "Apakah kalian ini hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?".


Membela Wanita
Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat, seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya. Wanita itu meminta tolong kepada Imam Ali as.
Dengan segera beliau keluar menuju rumah suami wanita yang malang tersebut. Setibanya di sana, beliau mengetuk pintunya. Seorang pemuda yang tidak mengenal beliau membuka pintu tersebut.

Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda tersebut berteriak dengan suara keras dan penuh kemarahan, ia mengancam akan menyiksa isterinya itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perakuannya kepada Imam.

Pada saat itu, beberapa orang yang mengenal Imam melewati jalan di hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan salam kepada Imam Ali as, "Assalamualaikum Wahai Amirul Mukminin!". Mendengar ucapan salam mereka itu, pemuda tersebut baru sadar bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah Khalifah kaum muslimin.

Tak pelak lagi, ia pun gemetar ketakutan, lalu menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam seraya memohon maaf dalam-dalam. Pemuda itu berjanji kepada Imam untuk tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut. Imam menasihati kedua suami-isteri itu dan memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangga mereka terbina tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.


Ghadir Khum
Pada tahun 10 H, Rasulullah saw. melaksanakan ibadah haji Wada'. Haji Wada' adalah haji terakhir sekaligus haji perpisahan bagi beliau. Beliau merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah swt. Sejak awal masa risalah, sering kali beliau menyampaikan perkara tentang seseorang yang bakal menjadi pengganti beliau sebagai khalifahnya untuk kaum muslimin.

Nabi saw. senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi Thalib as. Mengenai kekhilafahannya beliau memberikan berbagai isyarat dan penegasan yang didengar langsung oleh para sahabat, "Ali senantiasa bersama kebenaran, dan kebenaran senantiasa bersama Ali". Atau sabda beliau lainnya, "Aku adalah kota ilmu sedang Ali adalah pintunya".

Jabir bin Abdillah Al-Ansari ra. pernah berkata, "Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali as".

Lain dari itu, para sahabat pun pernah mendengar wasiat Nabi saw. yang menyatakan, "Ayyuhannas, aku berwasiat kepada kalian agar mencintai saudaraku, putra pamanku Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada yang mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali orang munafik".

Sampai pada tanggal 18 bulan Dzul Hijjah dari tahun itu, Rasulullah saw. kembali dari melaksanakan haji Wada' yang diikuti oleh lebih dari seratus ribu kaum muslimin. Saat itulah Jibril as. turun membawa pesan langit untuk beliau.

Rasulullah saw. menghentikan perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar menghentikan perjalanan mereka di tempat yang mulia dan bersejarah itu. Di tengah padang pasir dan di tengah panasnya terik matahari yang membakar itu, beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum muslimin dan seluruh para sahabatnya. Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, "Ayyuhannas, tak lama lagi aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya itu. Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian, maka apakah yang akan kalian katakan?".

Kaum mslimin dengan serentak menjawab, "Sesungguhnya kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan".

Nabi saw melanjutkan, "Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya?
Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah nyata, kematian adalah nyata, Kebangkitan adalah nyata, Hari Akhirat itu tidak diragukan lagi kejadiannya, dan sesungguhnya Allah swt. akan membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur".

Kaum muslimin menjawab lagi dengan serempak, "Benar, kami bersaksi akan hal itu semua".

Rasulullah saw. menengadah ke hadirat Allah swt, "Ya Allah! Saksikanlah kesaksian mereka itu!".

Lalau beliau menyambung khutbahnya, "Wahai sekalian manusia! sesungguhnya Allah swt. adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin kaum mukminin, dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka, barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya.

"Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain) yang sangat berharga yaitu, 'Kitabullah' (Al-Qur'an) dan 'Ithrah' (Ahlul Bait)".

Pada siang itu, puluhan ribu kaum muslimin melihat dan menyaksikan Nabi saw. mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as. sebagai cara pelantikannya menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin setelah ketiadaan beliau. Para sahabat yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya menyatakan baiat (ikrar setia) kepada Imam Ali as. mengucapkan sambutan selamat kepadanya, "Salam sejahtera atasmu wahai pemimpin kaum mukminin!".


Nasib Khilafah
Rasulullah saw. telah mangkat meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi panggilan Tuhannya, sebagaimana yang telah beliau katakan. Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu.

Di tengah-tengah duka dan kesedihan yang mendalam, tidak jauh di seberang sana berkumpul sekelompok umat Islam untuk memilih seorang khalifah yang akan menggantikan Rasul sebagai pemimpin umat. Dengan cara ini mereka sesungguhnya telah merampas kedudukan khilafah dari pemegangnya yang sah.

Mereka membiarkan Imam Ali as. sendirian. Beliau sendiri lebih memilih berdiam-diri demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan seluruh kaum muslimin saat itu.

Setelah kemelut yang panjang dan tegang, akhirnya Abu Bakar dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Khilafahnya dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.

Ketika tiba saatnya khilafah jatuh di tangan Utsman bin Affan, keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di berbagai jabatan pemerintahannya. Mereka dapat memegang kendali khilafah tanpa lagi menyembunyikan ketamakan dan kerakusannya. Maka tersebarlah kerusakan di mana-mana. Tak segan-segan keluarga
Umayyah berlaku sewenang-wenang, dan menjalankan pemerintahan Ustman dengan penuh kezaliman.

Pada masa itu, kaum muslimin melihat Utsman hanya memilih dan mengutamakan keluarganya untuk duduk di dalam kekuasannya, dan bahkan mengasingkan sebagian sahabat terkemuka Nabi seperti Abu Dzar, lebih keras lagi dari itu ia pun berani memecut seorang sahabat Nabi yang sangat dekat dan setia, Ammar bin Yasir tanpa alasan dan bukti yang jelas.

Kenyataan ini membuat kaum muslimin segera mengadakan demo dan unjuk rasa. Mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun dari kursi khilafah Rasul saw.

Api amarah masyarakat muslim terhadap Utsman semakin membara. Dalam situasi itu, Imam Ali as. berusaha mendamaikan dan menentramkan mereka, serta menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan bersikap adil, dan menganjurkannya agar tidak menuruti bisikan dan bujuk rayu orang-orang munafik seperti: Marwan bin Hakam. Sayangnya, Ustman tidak peduli pada nasihat dan arahan beliau.

Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin mencapai puncaknya. Mereka mengadakan pengepungan di sekeliling istana khilafah, nyawa Utsman pun terancam bahaya. Mengetahui hal itu Imam Ali as. segera mengutus kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain as. ke istana khilafah dan memerintahkan mereka berdua agar berdiri di depan pintu untuk menjaga Ustman dari serangan orang-orang yang hendak membunuhnya.

Dalam kondisi yang sudah sangat genting seperti itu, Khalifah Utsman tetap berkeras kepala pada sikapnya memerintah, padahal kemarahan para demonstran sudah mencapai titik-didihnya. Puncak kemarahan tersebut meledak ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang, hingga akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera membunuhnya.

Khalifah Utsman pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Adapun kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah Imam Ali as. Mereka memohon kepadanya agar menerima khilafah, menjadi amiril mukminin, dan memimpin umat Islam dengan penuh keadilan.

Pada mulanya, Imam Ali as menolak permohonan kaum muslimin itu, namun karena mereka terus mendesak, akhirnya beliau menerima tawaran tersebut.
Mulailah Amiril Mukminin Ali as. menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan dan undang-undang Islam. Panji kebenaran dan keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan beliau. Di dalamnya kaum muslimin pun kembali menikmati ketentraman setelah 25 tahun lamanya.


Pemerintahan Imam Ali as
Sejak hari pertama khilafah dan kepemimpinannya, Imam Ali as menegaskan di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah swt. dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan.

Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi kezaliman dan ketidakadilan pada masa-masa sebelumnya. mereka telah menyaksikan perlakuan khalifah yang tidak lagi berlandasakan pada hukum-hukum Allah; mereka mengistimewakan sebagian dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan harta kekayaan negara hanya kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia kepada kekuasaannya saja. Sementara sebagian besar kaum Muslimin hidup dalam keadan miskin dan penuh dengan penderitaan.

Ketika Ali bin Abi Thalib as menjabat sebagai khalifah dan beliau berjanji akan menegakkan keadilan di tengah kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan penuh harapan. Lain halnya dengan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah dan suka berfoya-foya.

Sebagian mereka sangat khawatir kekayaan, kemewahan dan kepentingan mereka terusik dengan keadilan Ali as.

Karena itu, mereka segera bergerak cepat menyiapkan langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Ali as. berkobarlah api permusuhan dan peperangan di dalam negara dan di antara sesama kaum Muslimin. Sejarah mencatat bahwa perang Jamal adalah peperangan pertama di antara mereka. Setelah itu terjadi perang Siffin, lalu perang Nahrawan.


Syahadah Imam Ali as.
Setelah kaum Khawarij mengalami kekalahan besar dalam perang Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul untuk mengambil mufakat, yaitu membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan penghalang mereka dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.

Ketiga orang itu adalah Ibnu Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad untuk membunuh Muawiyah, Amr bin Ash dan Imam Ali as. ibnu Muljam sendiri telah bersumpah untuk melakukan pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H, Ibnu Muljam melakukan rencana jahatnya.

Seperti biasa, subuh itu Imam Ali as memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum Mukminin di Masjid Kufah, Irak. Ibnu Muljam berhasil menyusup diam-diam sampai mendekati beliau yang tenagh bersujud. Namun, tatkala beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam segera menebaskan pedangnya yang beracun itu, tepat di bagian kepala beliau As. Darah suci beliau berhamburan memerahi mihrab dan pakaian beliau. Pemimpin yang adil itu meratap lemah, "Fuztu wa Rabbil Ka'bah" (Demi Tuhan ka'bah! Sungguh aku telah menang).

Pada saat itu, terdengar oleh masyarakat suara dari langit berucap: "Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah terbunuh, ....orang yang paling celaka telah membunuhnya".

Ibnu Muljam berusaha melarikan diri dari kota Kufah, akan tetapi ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as, beliau berkata kepadanya:

"Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?".

Ia menjawab : "Ya, betul".

Sebagian orang berusaha untuk melakukan pembalasan dendam terhadap Ibnu Muljam, akan tetapi Imam Ali mencegah mereka. Bahkan beliau berpesan kepada putranya Hasan as. agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau masih hidup.

Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as. menjemput kesyahidannya. Tak lama setelah itu, Imam Hasan as. melaksanakan hukum Qisas Islam terhadap pembunuh ayahnya itu.

Demikianlah Imam Ali as, sang pemimpin yang adil itu meninggalkan dunia pada usia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah saw. Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah secara rahasia di kegelapan malam. []


Mutiara Hadits Imam Ali as.
1" Janganlah engkau mencari kehidupan hanya untuk makan. Akan tetapi carilah makan agar engkau dapat hidup.

2" Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian orang-orang jahat.

3" Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan, sementara engkau adalah temannya dalam kesunyian.

4" Akal seorang penulis itu terletak
pada penanya.

5" Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah belahan badan.

6" Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya kepadamu.

7" Kurang ajar adalah penyebab
segala keburukan.

8" Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan beruntung tatkala besar.

9" Lebih baik engkau memilih kalah (mengalah) sedang engkau sebagai orang yang adil, daripada engkau memilih menang dalam keadaan engkau sebagai orang yang zalim.


Riwayat Singkat Imam Ali as.
Nama : Ali As

Gelar : Amirul Mukminin

Panggilan : Abul Hasan

Lahir : Tahun 23 H

Syahadah : Tahun 40 H

Masa Imamah : Tahun 35 H

Masa Khilafah : 5 tahun

Usia : 63 tahun

Makam : Najaf Asyraf Iraq


Jawablah Pertanyaan-pertanyaan di Bawah Ini dengan Cermat:
1. Dimanakah Imam Ali as. dilahirkan?

2. Apa yang diucapkan oleh Rasulullah saw. tentang keagungan Imam Ali as?

3. Mengapa Imam Ali as. menghentikan ayunan pedangnya terhadap musuhnya dalam perang Khandaq?

4. Ceritakanlah peristiwa Ghadir Khum!

6
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Hasan Al-Mujtaba as; Pengayom Umat Yang Tabah

Hari Lahir
Di rumah yang dindingnya berlapiskan tanah, di kota Madinah Al-Munawwarah, cucunda Nabi Hasan dilahirkan. Hari itu bertepatan dengan 15 Ramadhan. Hasan kecil diasuh dalam haribaan datuknya Muhammad saw, dan ayahnya Ali bin Abi Thalib as., serta ibunya Fatimah Az-Zahra as.

Rasulullah saw. sangat mencintai Hasan as. Beliau mengatakan, "Hasan bin Ali adalah putraku". Dalam kesempatan yang lain beliau menyatakan, "Hasan adalah permata hatiku di dunia".

Sudah lama kaum muslimin menyaksikan Nabi saw. sering membawa Hasan as. di pundaknya dan beliau pernah berkata, "Semoga Allah swt. mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin melaluinya", kemudian beliau berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia dan cintailah orang-orang yang mencintainya". Beliau pun senantiasa mengulang-ulang berita ini, "Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda di surga".

Suatu hari Rasulullah saw. melakukan shalat di masjid. Kemudian Hasan as. menghampirinya, sedang beliau dalam keadaan sujud. Karena ia naik ke atas punggungnya lalu duduk di leher datuk kinasihnya itu, Rasulullah saw. bangun dari sujudnya secara perlahan-lahan sampai Hasan turun sendiri.

Tatkala beliau selesai dari salatnya, sebagian sahabat berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu terhadap anak kecil ini yang tidak pernah engkau lakukan kepada yang lainnya".

Nabi menjawab, "Sesungguhnya anak ini adalah jantung hatiku dan anakku ini adalah "sayyid'" (sang pemimpin), semoga Allah swt. mendamaikan dua kelompok muslim yang berseteru melalui tangannya".


Perangai Imam Hasan as.
Suatu waktu, Imam Hasan as. dan Imam Husain as. berjalan menuju masjid, tiba-tiba mereka menyaksikan seorang kakek tua yang sedang berwudhu, namun tata cara wudhunya tidaklah benar.

Imam Hasan as. berfikir sejenak, bagaimana cara menunjukkan wudhu yang benar kepada kakek tersebut tanpa harus menyinggung perasaannya. Kemudian, keduanya mendatangi kakek tersebut seolah-olah keduanya sedang bertengkar tentang wudhu siapakah yang benar. Masing-masing mengatakan "Wudhumu tidak benar!". Kemudian keduanya berkata pada kakek tersebut, "Wahai kakek, berilah keputusan yang bijak untuk kami berdua, mana di antara kami yang wudhunya benar".

Maka, mulailah keduanya berwudhu, lantas kakek itu mengatakan, "Wudhu kalian semua sudah benar". Kemudian kakek itu menunjuk kepada dirinya sendiri dan berkata, "Hanya kakek yang bodoh inilah yang tidak benar wudhunya, dan kini telah belajar dari kalian berdua".

Pada suatu hari, salah seorang sahabat menyaksikan Nabi saw. memanggul Hasan dan Husain di pundaknya. Sahabat itu berkata, "Semulia-mulianya unta adalah unta kalian".

Nabi saw. menjawab, "Dan Semulia-mulianya penunggang adalah mereka berdua".


Ketakwaan Imam Hasan as.
Imam Hasan as. adalah orang yang paling abid (tekun ibadah) pada zamannya. Ia menunaikan ibadah haji sebanyak 25 kali dengan berjalan kaki.
Bila beliau hendak berwudhu dan shalat, wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya bergetar karena takut kepada Allah swt. Beliau berkata, "Suatu keharusan bagi setiap orang yang berdiri di depan Tuhannya merasa takut, pucat wajahnya, dan gemetar seluruh tubuhnya".

Pabila telah sampai di pintu masjid, beliau menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata dengan penuh khusyuk, "Tuhanku inilah tamu-Mu berdiri di beranda pintu rumah-Mu, Wahai Dzat Yang Mahapemurah, telah datang orang yang banyak melakukan keburukan kepada-Mu, maka hapuskanlah seluruh keburukan yang ada pada diriku dengan kebaikan yang ada di sisi-Mu, Wahai Yang Maha Mulia".


Kelembutan Imam Hasan as.
Pada suatu hari, Imam Hasan as. berjalan di tengah keramaian masyarakat, tiba-tiba di tengah jalan beliau bertemu dengan orang yang tak dikenal dari Syam. Orang tersebut ternyata seorang yang sangat benci terhadap Ahlul Bait Nabi saw. (nasibî). Mulailah orang itu mencaci maki Imam. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun di hadapan cacian itu, hingga orang itu menuntaskan caciannya.

Setelah itu, Imam as. membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya, lalu berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan melepaskanmu dari rasa lapar. Bila engkau tidak mememiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan kekayaan. Bila engkau orang yang terusir, aku akan kembalikan. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi hajatmu".

Mendengar jawaban Imam Hasan as. tersebut, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi saw. Sejak saat itu, dia sadar bahwa Muawiyah telah menipu dirinya dan masyarakat yang lain. Bahkan Muawiyah telah menyebarkan isu dan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as. dan keluarganya.

Terkesan oleh jawaban Imam as., Kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah swt. di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Mahatahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah orang-orang yang paling aku benci dari sekalian makhluk Allah, tapi sekarang engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya".

Kakek tersebut akhirnya dibawa oleh Imam as. ke rumahnya dan menjamunya sebagai tamu terhormat hingga dia pergi.


Kedermawanan Imam Hasan as.
Seorang telah datang ke Imam Hasan as. dan meminta pada beliau untuk memberinya sejumlah uang. Atas permintaan orang itu, Imam as. memberinya lima puluh ribu Dirham dan lima ratus Dinar.

Ketika seorang Arab Badui datang meminta, Imam as. berkata, "Berikan apa yang ada dalam laci itu padanya". Di dalamnya didapati dua puluh ribu dinar, dan segera diberikan kepada orang Badui itu.

Pada suatu hari, Imam Hasan as. melakukan tawaf di Ka'bah, tiba-tiba beliau mendengar seorang yang sedang berdoa kepada Allah swt. agar memberinya rezeki sebanyak sepuluh ribu Dirham. Kemudian beliau pergi ke rumahnya, lantas mengirimkan dua puluh ribu Dirham untuknya.

Diriwayatkan, seorang menjumpai Imam Hasan dan berkata, "Aku telah membeli seorang budak dan ia melarikan diri dariku". Mendengar itu, beliau lekas memberinya delapan budak sebagai ganti budaknya yang hilang itu.


Khilafah (Kepemimpinan Islam)
Segera setelah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menemui kesyahidan pada 21 Ramadhan akibat tebasan pedang Ibnu Muljam, kepemimpinan Islam beralih ke pundak putra putranya, yaitu Imam Hasan as. Peralihan ini disambut oleh kaum muslimin saat itu dengan menyatakan baiat (ikrar setia) kepada beliau. Ketika itu, usia beliau 27 tahun.

Pada pagi hari, di awal peralihan kepemimpinan umat itu, Imam as. naik ke atas mimbar dan memberikan pidato tentang sejarah, kelangsungan kepemimpinan politik ayahnya dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan menantang setiap makar para pengkhianat agama.

"Sungguh telah diambil nyawanya pada malam itu. Dialah manusia yang orang-orang sebelumnya belum pernah mengunggulinya dalam beramal, pun orang-orang setelahnya sanggup melakukan amalan tersebut. Sungguh ia berjuang bersama Rasulullah dan telah menjaganya dengan dirinya, dan Rasulullah memberikan panji Islam kepadanya. Sedang malaikat Jibril menjaganya dari sisi kanan dan malaikat Mikail dari sisi kirinya. Dan beliau tidak pernah kembali sehingga Allah swt. membuka dan memperlihatkan kemenangan kepadanya. Sungguh beliau telah syahid di malam ketika Isa bin Maryam as. di-mi'raj-kan dan di malam ketika Yusya' bin Nun sang penerus Musa as. pergi menghadap Allah swt.".

Kemudian air mata Imam Hasan as. luruh membasahi pipinya. Tangisan beliau telah membuat orang-orang yang hadir saat itu juga ikut menangis.
Lalu Imam as. melanjutkan pidato, "Aku adalah putra dari pemberi kabar gembira (basyir). Aku adalah putra pemberi peringatan (nazdir), Aku adalah putra penyeru ke jalan Allah (da'i). Aku adalah putra pelita yang cerlang (sirajum munir). Aku adalah bagian keluarga Nabi (Ahli Bait) yang Allah telah jauhkan dari segala kotoran dari diri mereka dan telah mensucikan mereka sesuci-sucinya.

"Aku termasuk Ahli Bait yang Allah swt. telah mewajibkan orang-orang untuk mencintainya sebagaimana firmannya: " Katakanlah wahai Muhammad! 'aku tidak meminta upah apapun dari kalian atas risalah kecuali kecintaan kepada keluargaku dan barang siapa melakukan suatu kebaikan, maka akan kami tambahkan baginya suatu kebaikan'(Qs. Asy-Syura: 22)".

Tak lama setelah itu bangkitlah Abdullah bin Abbas dan berkata, "Ketahuilah wahai sekalian manusia, inilah putra Nabimu dan penerima wasiat dari Imammu, maka berbaiatlah kepadanya!"

Serempak orang-orang menjawab seruannya dan bergegas untuk memberikan baiat kepada Imam Hasan as.


Muslihat dan Makar Muawiyah
Sementara itu, Muawiyah secara terus-menerus melancarkan makar dan penentangan terhadap Imam Hasan as. Sebagaimana pada masa Imam Ali as., perang Siffin dan perang Nahrawan adalah bentuk pembangkangannya terhadap khalifah muslimin, dan usahanya dalam rangka merampas tampuk kepemimpinan umat Islam dari tangan pemimpinnya yang sah.

Masyarakat telah memilih Imam Hasan as. sebagai khalifah Rasulullah saw., dan sebagai pemimpin orang-orang mukmin. Akan tetapi, Muawiyah menentang dan menolak baiat kepadanya. Alih-alih menunjukkan ketaatan, dia malah menyebarkan mata-matanya ke Kufah dan Basrah, serta mengirimkan uang guna membeli hati beberapa orang dekat beliau.

Imam Hasan as. tidak menganggap remeh makar yang dilakukan oleh Muawiyah. Bahkan beliau memerintahkan untuk menghukum mati para mata-mata Muawiyah. Kemudian mengirimkan surat ancaman kepada Muawiyah agar ia menghentikan penyimpangan dan penentangannya.


Persiapan Perang
Selain melakukan makar, Muawiyah mengerahkan seluruh tentaranya untuk menebarkan rasa takut di hati kaum muslimin. Tak segan-segan ia menyerang mereka serta merampok seluruh harta benda miliknya. Imam Hasan as. berupaya untuk melawan dan bersiap-siap menyusun barisan perang.

Di hadapan kaum muslimin, Imam mengatakan, "Sesungguhnya Allah swt. telah menetapkan jihad untuk makhluknya dan menamainya jihad tersebut sebagai keterpaksaan, kemudian Allah swt. mengatakan kepada mujahidin, "Bersabarlah! Karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar, dan kalian tidak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan kecuali dengan kesabaran atas apa yang kalian tidak inginkan. Keluarlah kalian semoga Allah swt menaungi kalian!"

Sayang sekali, rasa takut telah menguasai mereka sehingga sambutannya untuk ikut berperang begitu dingin. Maka, di sinilah Adi bin Hatim At-Thaie, salah seorang sahabat Imam as, bangkit sambil berteriak lantang dan mencemooh mereka, "Akulah Adi bin Hatim! Maha Suci Allah, Duhai... alangkah jijiknya tempatku ini! Tidaklah kalian sambut seruan Imam dan putra Nabi kalian".

Sebagian pembela Imam Hasan bangkit dan memberi semangat kepada masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi Muawiyah. Hingga tersusunlah pasukan berjumlah dua belas ribu prajurit. Pasukan ini dipimpin oleh Ubaidillah bin Abbas yang kedua putranya telah dibunuh oleh Muawiyah.

Sayangnya, di dalam tubuh pasukan Imam Hasan as. sendiri terdapat banyak orang yang rakus akan dunia, sehingga Muawiyah begitu mudahnya membeli mereka dengan kepingan Dirham dan Dinar, dan mereka pun begitu mudahnya membelot ke pasukan Muawiyah.

Bahkan, Muawiyah telah berhasil menyuap panglima perang Imam Hasan as, Ubaidillah bin Abbas dengan uang sebesar satu juta Dirham, lantas ia pun berkhianat dan membelot dari pasukan beliau. Dia lebih memilih berdiri di barisan Muawiyah, rela membiarkan beliau bangkit sendiri.
Imam Hasan as. memahami betapa sulitnya menghadapi Muawiyah dengan pasukan-pasukan yang lemah imannya itu. Mereka merelakan dijualbelikan diri dan agamanya dengan harga yang amat rendah. Dari sinilah Muawiyah menawarkan perdamaian kepada Imam as, dengan syarat beliau harus turun dari kekhalifahan.

Di samping itu, Imam Hasan as. tahu bahwa dengan meneruskan perlawanan terhadap Muawiyah malah akan membawa kehancuran dan kematian sahabat-sahabat serta pembela-pembela setia beliau yang sebagiannya adalah sahabat-sahabat mulia Nabi saw. Belum lagi tentara Syam yang akan menduduki Kufah. Semua itu turut melengkapi kekuatiran Imam as.


Perdamaian
Orang-orang Khawarij telah merencanakan siasat untuk membunuh Imam Hasan as. yang ternyata mendapat dukungan Muawiyah dari jauh, dengan maksud memaksa Imam Hasan as. menerima usul perdamaian dan turun dari kursi kekhalifahan.

Imam as. tidak memikirkan selain kepentingan Islam dan kemaslahatan umatnya. Maka itu, demi menhindari pertumpahan darah, Imam as. dengan terpaksa menyepakati perdamaian itu, dan menulis butir-butir perdamaian, di antaranya:

1. Hendaknya Muawiyah bertindak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

2. Hendaknya tidak melakukan pencacimakian terhadap Ali bin Abi Thalib.

3. Muawiyah tidah berhak untuk menentukan seorang pun untuk menduduki khilafah.

4. Tidak memaksa Imam Hasan untuk mengakui Muawiyah sebagai Amiril Mukminin.

5. Hendaknya Muawiyah mengembalikan kekhalifahan kepada Imam Hasan as., dan bila Imam as. telah meninggal, maka kekhalifahan dikembalikan kepada Imam Husain as.


Muawiyah Merobek Surat Perdamaian
Sebelumnya, Imam Hasan as. telah mengetahui bahwa Muawiyah tidak akan menjalankan butir-butir yang tercantum dalam perdamaian tersebut. Akan tetapi, beliau hendak menunjukkan kepada umat tentang akal-bulus Muawiyah, bahwa dia adalah orang yang tidak teguh pada janji dan agama.

Perjanjian damai telah dilaksanakan. Segera setelah memasuki kota Kufah, Muawiyah naik ke mimbar dan berpidato di depan khalayak seraya mengatakan,
"Sesungguhnya aku tidak membunuh, tidak juga angkat senjata, atau menyerbu kalian supaya kalian berpuasa atau melakukan sholat, akan tetapi untuk memimpin kalian. Ketahuilah, bahwa setiap butir yang tertulis dalam surat perdamaian itu sekarang ada di bawah telapak kakiku". Dengan cara secongkak itu Muawiyah menginjak-injak perdamaian.

Selanjutnya, Muawiyah menentukan Ziyad bin Abih sebagai gubernur Kufah. Ia mulai mengusir pengikut Ahlul Bait, menghancurkan rumah-rumah mereka, merampas harta benda mereka, hingga menyiksa dan memenjarakan mereka.

Imam Hasan as. berupaya untuk membantu orang-orang yang teraniaya, dan menentang seluruh perbuatan zalim Muawiyah yang telah melanggar butir-butir perdamaian sebagaimana yang telah diberikan kepadanya.

Sampai pada saatnya, Muawiyah merencanakan pembunuhan terhadap Imam Hasan as. dan berupaya untuk mendudukkan anaknya yang bernama Yazid di atas kursi kekhalifahan. Dalam rangka itu, ia berfikir untuk meracuni beliau.

Untuk menjalankan rencana pembunuhan tersebut, Muawiyah memilih Ju'dah, istri Imam Hasan as, yang ayahnya adalah seorang munafik. tentunya setelah mengiming-imingi imbalan harta kekayaan dan menjadi istri putra mahkota, Yazid.

Setan mulai menggoda pikiran Ju'dah. Ia pun bersedia menerima racun yang dikirimkan Muawiyah untuknya, lalu mencampurkannya ke dalam makanan yang telah dipersiapkan untuk buka puasa. Karena saat itu Imam as. sedang berpuasa.

Tiba saatnya berbuka puasa. Imam Hasan as mulai berbuka dengan makanan yang telah disediakan oleh Ju'dah. Tiba-tiba ia merasakan pedih dan sakit.
Pengaruh racun itu membuat usus beliau terkoyak. Kemudian ia menatap istrinya dan berkata, "Wahai musuh Allah swt! kau telah membunuhku, Semoga Allah membunuhmu, Sungguh Muawiyah telah memperdaya dan menipumu. Semoga Allah menghinakanmu dan menghinakannya (Muawiyah)".

Dan demikianlah kenyataannya, Muawiyah tidak menepati janjinya kepada Ju'dah. Ia berhasil menipu Ju'dah dan bahkan mengusirnya dari istana. Muawiyah berkata kepadanya, "Kami lebih cinta pada Yazid!". Begitulah nasib Ju'dah. Ia menderita dunia dan akhirat. Sejak saat itu, Ia lebih dikenal dengan julukan "Si Peracun Suami".

Karena tak lagi kuasa menahan jahatnya racun tersebut, akhirnya Imam Hasan as. gugur sebagai syahid pada 28 Safar 50 H. Dan di hadirat Allah kelak, beliau akan mengadukan kezaliman Bani Umayyah terhadapnya
Jasad suci Imam Hasan as. dikebumikan di pemakaman Baqi, di Madinah Al-Munawwarah.[]


Riwayat Singkat Imam Hasan as.
Nama : Hasan

Gelar : Al-Mujtaba

Panggilan : Abu Muhammad

Ayah : Ali bin Abi Thalib

Ibu : Fatimah

Kelahiran : Madinah, 15 Ramadhan 3 H.

Usia : 47 tahun

Syahid : 28 Shafar 50 H

Makam : Pemakaman Baqi, Madinah


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan Cermat:
1. Mengapa Rasulullah saw. sangat mencintai cucunya?

2. Bagaimana Imam Hasan as. mengajari si kakek berwudhu yang benar?

3. Mengapa Imam Hasan as. rela berdamai dengan Muawiyah?

7
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Husain Asy-Syahid as; Penghulu Para Syahid

Hari Lahir
Imam Husain as. dilahirkan pada 3 Sya'ban 4 Hijriah. Mendengar berita kelahirannya, Rasulullah saw. sangat gembira. Beliau bergegas pergi ke rumah putrinya, Fatimah as. untuk mengucapkan selamat atas kelahiran putranya itu.

Rasulullah saw. membacakan adzan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya, kemudian menamai bayi mungil itu dengan nama Husain.

Pada hari ketujuh dari kelahirannya, Ali bin Abi Thalib membuat acara akikah untuk putranya dan membagikan daging kambing akikahnya kepada orang-orang fakir.

Rasulullah saw. sangat mencintai cucunda Husain as. Setelah mendapatkan wahyu tentang apa yang akan terjadi pada cucunda ini di masa yang akan datang, beliau bersedih dan menangis atas kekejaman yang akan menimpanya.

Rasulullah saw bersabda: "Husain dariku dan aku dari Husain". Dialah Imam putra Imam, dan sembilan dari keturunannya akan menjadi Imam, dan imam akhir dari mereka adalah Muhammad Al-Mahdi as. Dia akan muncul di akhir zaman, dan akan memenuhi alam semesta ini dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman.


Imam Husain as. Semasa Ayahnya
Imam Husain as. hidup dalam haribaan Rasulullah saw. selama 6 tahun. Selama itu pula, Beliau banyak belajar dari akhlaq sang datuk yang mulia.

Ketika Rasulullah saw. wafat, beliau menjalani kehidupannya bersama ayahnya Ali as. selama 30 tahun. Beliau senantiasa berada di sampingnya dan turut merasakan penderitaannya.

Tatkala Imam Ali as. memegang tampuk pemerintahan, Imam Husain as. ikut serta mengambil bagian dalam pasukan yang tulus berkorban dan berjihad demi menegakkan panji kebenaran. Ia senantiasa turun dalam berbagai medan peperangan seperti; perang Jamal, perang Shiffin, dan perang Nahrawan.

Dan ketika ayahnya gugur sebagai syahid, Imam Husain as. membaiat sang kakak Hasan as. sebagai khalifah, dan mendampingi beliau dalam menghadapi Muawiyah.


Imam Husain as. Semasa Muawiyah
Muawiyah meracun Imam Hasan as, sehingga beliau gugur senasib ayahnya sebagai syahid. Kemudian, tongkat kepemimpinan umat segera dipegang oleh Imam Husain as. yang saat itu berusia 46 tahun.

Imam Husain as. telah mengetahui bahwa Muawiyah adalah sumber penderitaan umat Islam. Di balik syiar-syiar Islam yang diangkatnya, sesungguhnya dia menghendaki kehancuran agama dan berusaha keras untuk menjauhkan penduduk Syam dari kebenaran-kebenaran Islam dan dari para sahabat Nabi yang ikhlas.

Muawiyah senantiasa menebarkan kebohongan-kebohongan yang bertujuan merusak nama baik Ahlul Bait Nabi as. Dia membunuh setiap orang yang menentang pemerintahannya. Dia telah banyak melakukan pembunuhan terhadap sahabat-sahabat Nabi dan sahabat-sahabat setia Imam Ali as. Di antara mereka adalah Hijr bin Ady yang telah dibunuhnya bersama anaknya di daerah Maraj Azra di luar kota Damaskus.

Muawiyah selalu berupaya mengangkat anaknya Yazid untuk menduduki kursi kekhalifahan. Padahal ia tahu benar akan perangai bejat Yazid, pemuda yang menghina agama dan kaum mukmin. Dialah seorang pemabuk dan banyak menghabiskan waktunya bermain dengan kera-kera.

Imam Husain as. memperingatkan Muawiyah akan bahaya yang dia lakukan. Akan tetapi, ayah Yazid itu tidak menghiraukan ucapan siapa pun, dan dia malah mengumumkan niatnya untuk membaiat Yazid.

Dan demikianlah yang terjadi. Muawiyah membaiat si anak menjadi khalifah dan memaksa orang-orang untuk melakukan hal yang sama.


Imam Husain as. dan Yazid
Sepeninggal Muawiyah, anaknya Yazid menduduki kepemimpinan umat. Pertama yang ia lakukan ialah mengirimkan surat kepada Walid gubernur Madinah yang berisi perintah untuk mengambil baiat dari Imam Husain as. Dengan surat di tangannya, Walid mendatangi beliau dan memaparkan ihwal perintah Yazid di hadapannya.

Imam Husain as. telah mengetahui di balik semua itu; Yazid akan mengumumkan bahwa Husain cucu Rasulullah saw. telah memberikan baiat kepadanya. Ini akan berarti bahwa kekhalifahan Yazid sudah benar-benar sah. Oleh karena itulah Imam as. menolak untuk membaiat seorang fasik seperti Yazid yang hobinya minum khamar serta menginjak-injak hukum Allah swt.

Menyaksikan penolakan Imam Husain tersebut, Walid mengancam akan membunuhnya bila beliau ternyata menolak baiat kepada Yazid. Namun demikian, Imam as. tidak memperdulikan sesuatu pun kecuali demi kemaslahatan Islam, kendati harus mengorbankan nyawanya yang suci.


Undangan Warga Kufah
Kaum muslimin merasakan kegelisahan yang dalam terhadap kezaliman Muawiyah. Mereka mendambakan pemerintahan adil sebagaimana pernah dijalankan oleh Ali bin Abi Thalib dapat kembali berkuasa.

Maka, tatkala warga Kufah mendengar penolakan Imam Husain as. terhadap baiat kepada Yazid, mereka mengirimkan surat yang begitu banyaknya kepada beliau, dan mengundang beliau untuk segera datang ke Kufah serta menyelamatkan mereka dari kezaliman Bani Umayyah.

Jumlah surat warga Kufah yang diterima oleh Imam Husain as. sebanyak enam belas ribu pucuk. Semua isi surat itu menyatakan desakan mereka kepada beliau, "Datanglah wahai putra Rasulullah saw, sungguh kami tidak memiliki pemimpin selainmu".


Duta Imam Husain as.
Imam Husain as. mengutus anak pamannya Muslim bin Aqil sebagai duta beliau untuk menjumpai orang-orang Kufah. Melalui tangannyalah beliau mengirimkan surat untuk warga Kufah. Isi surat itu ialah sebagai berikut:

"Telah sampai kepadaku surat-surat kalian, dan aku mengerti apa yang kalian nyatakan sebagai ketulusan kalian terhadap kehadiranku di tengah-tengah kalian, dan aku telah mengirimkan seorang utusan kepada kalian, ia adalah saudaraku, anak pamanku dan orang tepercaya dari keluargaku, Muslim bin Aqil".

Sesampainya di Kufah, Muslim mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat di sana. Di hadapannya, lebih dari delapan belas ribu orang menyatakan kesediaan untuk membaiat Imam Husain as.

Kemudian, Muslim melayangkan surat kepada Imam as. dan mengabarkan, bahwa orang-orang Kufah telah berkumpul, mereka siap membela kebenaran serta menolak baiat kepada Yazid. Di dalam surat itu pula ia meminta beliau agar datang ke Kufah secepat mungkin.


Muslim Dibunuh
Sementara itu, Yazid mengawasi ketat apa yang sedang berlangsung di Kufah. Untuk itu, dia telah menentukan seorang gubernur Kufah yang baru Ubaidillah ibnu Ziyad, yang telah sampai ke Kufah dengan cepat.

Ibnu Ziyad memulai tindakannya di sana dengan melakukan teror, pembunuhan, dan suap. Kemudian berlanjut dengan menakut-nakuti warga kota akan datangnya pasukan dari Syam dalam jumlah raksasa.

Warga Kufah merasa takut dan perlahan-lahan mulai meninggalkan Muslim bin Aqil, hingga ia bertahan sendirian di tengah kepungan pasukan Ibnu Ziyad. Meski begitu, ia tidak mau menyerah dan mengadakan perlawanan seorang diri sampai terluka parah.

Kemudian ia ditangkap dan diseret sebagai tahanan sebelum akhirnya mati syahid di tangan musuh.

Berita dibunuhnya Muslim bin Aqil dan sebagian pembelanya di Kufah telah sampai kepada Imam Husain as. Saat itu beliau dalam perjalanan menuju Kufah. Beliau telah mengetahui bahwa warga kota telah mengkhianatinya.

Kepada para sahabat dan orang-orang yang bergabung bersamanya, beliau mengatakan, "Barang siapa yang ikut bersama kami, maka ia akan mati syahid, dan barang siapa yang berpaling dari kami, sungguh dia tidak akan mencapai kemenangan".

Imam as. sadar sepenuhnya akan jalan yang tengah ditempuhnya. Beliau hanya berpikir akan kewajiban dan tugasnya terhadap Islam dan kaum muslimin.


Tujuan Imam Husain as.
Imam Husain as. mengumumkan penolakannya membaiat Yazid, karena memang dia sama sekali tidak pantas menduduki kursi kekhalifahan. Dialah seorang yang fasik, peminum arak, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah swt., dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.

Oleh karena itu, dalam wasiatnya kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyah, Imam as. mengatakan, "Sesungguhnya aku tidak bangkit untuk membuat kerusakan ataupun kezaliman, aku hanya bangkit untuk memperbaiki keadaan umat kakekku saw. Aku ingin melakukan amar makruf dan nahi munkar. Aku akan menempuh jalan yang telah ditempuh oleh datukku Nabi dan ayahku Ali bin Abi Thalib".

Imam Husain as. mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh di padang Karbala bersama sahabat-sahabat dan keluarganya. Meski demikian, beliau tetap bangkit dalam rangka membangunkan umat Islam dari tidurnya, sehingga mereka tahu kenyataan Muawiyah dan anaknya Yazid yang sebenar-benarnya, bahwa dua orang ini akan melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaannya, walaupun mereka harus membunuh cucu Nabi saw. dan menjadikan perempuan-perempuan Ahlul Bait sebagai tawanan.


Imam Husain as. di Hari Asyura
Pasukan Yazid telah melakukan penghadangan terhadap laju gerak kafilah Imam Husain di sebuah tempat yang bernama Karbala, tidak jauh dari sungai Furat. Mereka mencegah anak-anak kecil dan perempuan-perempuan keluarga Nabi saw. dari mendapatkan air sungai.

Hari ke-10 bulan Muharram, hari yang begitu panasnya membakar padang Karbala. Di sanalah Imam Husain as. mengingatkan orang-orang akan akibat perbuatan yang mereka lakukan.

"Wahai sekalian manusia, kenalilah siapa aku ini! Kemudian kembalilah pada diri kalian masing-masing, dan hujatlah diri kalian itu.

"Sadarlah! Apakah dihalalkan bagi kalian untuk membunuhku dan menodai kehormatanku?

"Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, putra khalifahnya, putra dari putra pamannya, dan putra dari seorang yang pertama kali beriman kepada Allah swt dan yang membenarkan risalah rasulnya?

"Bukankah Hamzah penghulu para syuhada itu adalah pamanku?

"Bukankah Ja'far At-Thayyar itu adalah pamanku?

"Tidakkah kalian dengar kesaksian Rasulullah tentang aku dan kakakku, bahwa 'Dua pemuda ini adalah penghulu para pemuda di surga'?"

Warga Kufah sangat mengenal Imam Husain as. dengan baik. Hanya saja mereka telah tertipu oleh setan, hingga mereka mengutamakan kehidupan dunia yang hina bersama Yazid dan Ibnu Ziyad, serta begitu mudahnya meninggalkan Imam as. sendirian.

Kepada Imam Husain, mereka mengatakan: "Baiatlah Yazid sebagaimana kami telah mem-baiatnya".

Dengan tegas beliau membalas mereka, "Tidak, Demi Allah, aku tidak akan pernah mengulurkan tanganku (baiat) kepadanya sebagaimana orang-orang hina mengulurkannya, aku pun tidak akan pernah melarikan diri sebagaimana para budak yang ketakutan".

Umar Ibnu Sa'ad, komandan pasukan Yazid mengeluarkan perintah untuk segera menyerbu pasukan Imam as. Maka, terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Lima puluh sahabat beliau berguguran sebagai syahid. Tinggallah beliau bersama sejumlah kecil sahabat dan keluarganya. Mereka semua mengajukan diri, satu persatu, untuk meraih kesyahidan dengan gagah berani, tanpa rasa takut sedikitpun. Karena, mereka yakin bahwa mereka akan mati syahid di jalan Allah dan menjelang surga.

Tatkala seluruh sahabat dan laki-laki keluarganya telah gugur, tinggallah Imam Husain seorang diri. Beliau segera turun ke medan pertempuran. Sebelum meninggalkan keluarga dan menyampaikan perpisahan kepada mereka, beliau meminta mereka untuk bersabar di jalan Allah swt.

Imam as. memacu kudanya dan maju mengoyak ribuan barisan musuh. Di tengah pertempuran yang tak seimbang itu, beliau akhirnya terhempas di atas kerikil-kerikil padang pasir Karbala dan gugur sebagai sayyidus-syuhada, Penghulu Para Syahid.

Merasa belum puas melihat Imam Husain tak bernyawa lagi, Ibnu Ziyad memerintahkan para pasukan berkudanya -yang telah menjual diri mereka dengan kehidupan dunia- untuk menginjak-injak dada beliau. Sepuluh pasukan berkuda melompat dan mulai merobek-robek dada suci itu dengan kaki-kaki kuda mereka.

Setelah itu, Ibnu Sa'ad memerintahkan pasukannya untuk membakar kemah-kemah Imam as. setelah mereka merampas isinya, lalu menyeret anak-anak dan kaum wanita sebagai tawanan sampai ke Kufah. Di antara mereka adalah Zainab, putri Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dan Ali Zainal Abidin putra Imam as.

Zainab as. dengan penuh ketegaran maju menghampiri tubuh saudaranya Imam Husain as, lalu meletakkan kedua tangannya di atas jasad suci itu, kemudian mengangkat kepalanya, menengadah ke atas langit sambil berkata dengan penuh khusyuk dan bangga: "Ya Allah, Terimalah dari kami pengorbanan ini!"


Kenapa Kita Mengenang Imam Husain as.?
Sesungguhnya Imam Husain as. telah mempersembahkan segala yang beliau miliki hanya untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin. Beliau telah mengorbankan anak-anaknya, wanita-wanitanya, dan sahabat-sahabatnya bahkan dirinya sendiri di jalan Allah swt.

Beliau mengajarkan kepada manusia tentang kebangkitan yang menentang segala macam kezaliman dan kerusakan. Beliau habiskan hari-hari akhirnya dengan membaca Al-Qur'an dan ibadah semata-mata karena Allah swt., sehingga meski di tengah-tengah peperangan pun beliau meminta kepada musuh-musuhnya agar menghentikan peperangan dalam beberapa saat hanya untuk menunaikan salat. Imam as. tetap menunaikan salat bersama sahabat-sahabatnya di bawah ribuan panah yang menghujani mereka.

Revolusi dan kebangkitan yang dilakukan Imam Husain as. berada di jalan Allah swt. dan dalam rangka mempertahankan Islam. Oleh karena itu, umat Islam akan mengenang beliau selama-lamanya. Mereka mengenang duka-nestapa hari Asyura; hari yang telah menyaksikan penyembelihan biadab yang dilakukan Bani Umayyah terhadap cucunda Nabi dan sebaik-baik warisan hidup Islam.


Kisah Tauladan
Imam Husain as. hidup selama 57 tahun. Beliau telah menghabiskan sepanjang usianya itu dengan berbuat baik, berkhidmat untuk manusia. Beberapa kali beliau menunaikan haji ke Rumah Allah (Ka'bah) dengan berjalan kaki selama berhari-hari.

Pada suatu hari, Imam as. berjalan melewati orang-orang miskin yang sedang membentangkan pakaian mereka dan letakkan potongan-potongan roti di atasnya, kemudian mereka memanggil beliau, "Kemarilah wahai putra Rasulullah!".

Lantas, beliau duduk dan makan bersama mereka, kemudian membacakan firman Allah swt., " Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan takabbur".

Selekas itu, Imam as. berkata kepada mereka, "Aku telah menyambut undangan kalian, dan kini sambutlah undanganku ini!".
Mereka pun menjawab, "Baik, wahai putra Rasulullah". Maka semua bergegas pergi bersama beliau ke rumah. Di sana beliau menghormati dan memuliakan mereka.

Ketika Imam Ali Zainal Abidin as. hendak menguburkan sang ayah Imam Husain as., Orang-orang melihat bekas-bekas luka lama di punggung beliau, lalu mereka menanyakan kepadanya. Imam Zainal Abidin menjawab, "Bekas-bekas ini adalah akibat dari gesekan karung di atas punggungnya saat membawa makanan untuk dibagikan kepada wanita-wanita janda, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim".


Hari Asyura
Hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Dahulu, hari itu dianggap seperti layaknya hari-hari biasa yang tak ada seorang pun memperingatinya. Namun pada Muharram 61 H, tatkala Imam Husain as. syahid tepat di hari itu, hari tersebut menjadi hari yang istimewa dan bersejarah, yang menyimpan peristiwa besar. Umat Islam memperingati Hari Asyura di mana-mana, untuk mengungkapkan bela-sungkawa dan menangis sedih atas musibah dan penderitaan yang menimpa para syuhada di Karbala.

Karbala saat itu adalah gurun sahara yang tidak satu orang pun tinggal di sana. Dengan berlalunya waktu, kini menjadi sebuah kota yang besar dan menjadi pusat keagamaan dan ilmu pengetahuan.

Di Mesir, orang-orang Fatimiyyah mengumumkan Hari Asyura sebagai hari berkabung nasional. Pada hari itu, pasar-pasar di sana libur dan orang-orang memilih berkumpul di makam Sayyidah Zainab as. untuk mengenang tragedi Karbala sambil bercucuran air mata.

Di zaman kita sekarang, pendiri negara Islam di Iran mengumumkan Hari Asyura sebagai hari libur resmi negara.
Begitu juga umat Islam di negara-negara seperti; Irak, India, Pakistan dan negara-negara Islam lainnya, mereka pun turut memperingati perjuangan Imam Husain as. pada Hari Asyura itu.

Nyatanya, peringatan Asyura senantiasa menciptakan perubahan, dari tahun ke tahun. Di Iran, masyarakat menyambut perjuangan dan pengorbanan Imam Husain as. hingga mampu melakukan revolusi besar dalam menumbangkan pemerintahan yang zalim dan menggantikannya dengan pemerintahan Islam.


Siapakah Yang Menang?
Sebagian orang beranggapan bahwa Imam Husain as. telah menderita kekalahan dalam pertempurannya melawan pasukan Yazid bin Muawiyah. Akan tetapi, tatkala kita cermati lembaran-lembaran sejarah, kita akan menyaksikan bahwa Imam Husain-lah yang sesungguhnya menang atas musuh-musuhnya. Karena, tujuan-tujuan kebangkitan dan kesyahidan beliau senantiasa hidup di dalam sanubari setiap manusia.

Pernahkah kita bertanya, di mana Yazid sekarang? Di mana Ibnu Ziyad sekarang? Bahkan Muawiyah sendiri, di manakah dia?
Ya, mereka semua telah pergi dan tidak ada yang mengenangnya. Kalaupun ada yang menyebut nama mereka, sebutan pun hanya berupa kutukan dan laknat atas kejahatan mereka.

Orang-orang pendengki selalu berupaya menghancurkan Imam Husain as. Akan tetapi, Allah swt. menghendaki beliau abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, laknat di dunia dan neraka di akhirat merupakan nasib musuh-musuh beliau.

Demikianlah, tragedi Karbala sungguh telah menjadi pilar bagi kebangkitan, kebebasan, dan kemenangan darah di atas pedang. []


Mutiara Hadits Imam Husain as.
1" "Aku tidak melihat kematian melainkan kebahagiaan, sedang hidup bersama orang-orang zalim adalah kehinaan".
2" "Manusia telah menjadi budak dunia, sedang agama hanya pengakuan lisan belaka. Selagi agama memakmurkan kehidupannya, mereka akan memegangnya, namun bila mereka ditimpa musibah, betapa sedikitnya mereka yang teguh".
3" Kepada putranya Ali Zainal Abidin as., Imam Husain as berkata: "Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah".
4" "Sesungguhnya ada sebagian orang yang beribadah kepada Allah karena mengharap rahmat Allah, yang demikian itulah ibadahnya pedagang, ada pula yang menyembah Allah karena takut akan siksa-Nya, yang demikian itulah ibadahnya para budak, dan ada pula yang beribadah kepada Allah karena berterima kasih kepada-Nya, yang demikian itulah ibadahnya orang merdeka, dan inilah ibadah yang paling utama".


Riwayat Singkat Imam Husain as.
Nama : Husain

Gelar : Sayyidus Syuhada

Panggilan : Aba Abdillah

Ayah : Ali bin Abi Thalib

Ibu : Fatimah Az-Zahra

Kelahiran : Madinah, 3 Sya'ban 4 H

Masa Imamah : 10 tahun

Usia : 57 tahun

Kesyahidan : 10 Muharram 61 H

Makam : Karbala, Irak


Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan cermat:
1. Mengapa Imam Husain as. pada zaman Muawiyah memilih berdiam diri dan tidak menentangnya?

2. Siapakah duta Imam Husain as. yang diutusnya ke Kufah?

3. Jelaskan ungkapan yang menyatakan "Darah mengalahkan pedang"?

4. Mengapa kita mesti mengenang dan menangisi Imam Husain as.?

8
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Ali Zainal Abidin as; Keindahan Kaum Abid

Hari Lahir
Pada masa pemerintahan khalifah kedua, Umar bin Khattab, kaum muslimin berhasil menaklukkan negeri Persia (Iran). Atas kemenangan ini, lasykar Islam memboyong tawanan-tawanan perang ke Madinah Al-Munawwarah, termasuk di antara mereka putri Yazdijard, raja Kisra Persia .

Tatkala kaum muslimin berkumpul di masjid, Khalifah Umar bermaksud menjual putri raja tersebut. Namun, Imam Ali as. memberi isyarat agar ia tidak melakukan hal itu, mengingat bahwa putri-putri raja tidak diperjualbelikan, sekalipun mereka itu kafir. Lalu beliau mengatakan, "Biarkan dia memilih seorang laki-laki untuk menjadi suaminya. Dan siapa saja yang dipilihnya, maka kawinlah dengannya!".

Sang putri raja itu menjatuhkan pilihannya kepada junjungan kita Imam Husain bin Ali as. sebagai pasangan hidupnya. Amirul Mukminin Ali as. berwasiat kepada anaknya agar memperlakukannya dengan baik dan santun.

Beliau mengatakan, "Wahai Aba Abdillah (Husain), ketahuilah bahwa dia kelak akan melahirkan sebaik-baik penduduk dunia".

Ya, dari rahim wanita bangsawan inilah putra pertama Imam Husain yang bernama Ali itu lahir. Pernah sang ayah memanggilnya dengan nama Ibn Khairatain (anak dari dua kebaikan), karena dalam nadinya mengalir darah dari dua bangsa; Arab Quraisy Bani Hasyim dan Ajam Persia.


Perangai Imam Ali Zainal Abidin as.
Farazdaq, seorang pujangga Arab tersohor pernah melukiskan Imam Ali Zainal Abidin as. Dia lekali yang tampan. Dari tubuhnya menebar bau harum segar. Pada dahinya terdapat bekas sujud. Karenanya, orang-orang mengenal beliau dengan gelar As-Sajjad (yang banyak bersujud).

Putra beliau, Imam Muhammad Al-Baqir as. pernah bercerita, "Sesungguhnya ayahku Ali bin Husain as, apabila tiba musim dingin, dia menyedekahkan pakaiannya kepada faqir-miskin, begitu pula jika datang musim panas, beliau melakukan hal yang sama".

Masyhur bahwa Imam Ali Zainal Abidin as. senantiasa mencuci dan memakai sebaik-baik pakaian ketika hendak melakukan salat, serta menaburkan wewangian. Orang-orang seringkali menjumpainya memanjatkan doa, munajat, dan menangis.

Salah seorang sahabat beliau bernama Tawus Al-Yamani menuturkan, "Aku melihat seorang laki-laki sedang melakukan salat di Masjid Haram. Di samping Ka'bah ia berdoa sembari menangis. Kuhampiri ketika ia telah menyelesaikan salatnya, ternyata dia Ali bin Husain as.
Aku menyapa, "Wahai putra Rasulullah, kulihat Anda menangis, bukankah Anda putra Rasul Allah?!"

Beliau menjawab, "Meskipun aku putra Rasul Allah, namun apakah dia akan menjamin keselamatanku dari azab Allah, sedangkan Allah telah berfirman, 'Ketika itu tidak ada lagi ikatan keluarga antara mereka'.

"Sesungguhnya Allah menciptakan surga bagi siapa saja yang berbakti kepada-Nya dan berbuat baik, sekalipun dia itu seorang hamba Habasyi (berkulit hitam), dan menciptakan neraka bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya dan berbuat buruk, sekalipun dia itu seorang tuan dari Quraisy".
Imam Ali Zainal Abidin as. telah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah sebanyak 20 kali dengan berjalan kaki.

Kepada para sahabatnya beliau berwasiat supaya menunaikan amanat dan berkata, "Demi Dia yang telah mengutus Muhammad di atas kebenaran! Seandainya pembunuh Husain as. mengamanatkan kepadaku sebilah pedang yang telah digunakannya untuk memenggal beliau, sungguh akan kuserahkan kembali kepadanya".

Imam Ali Zainal Abidin juga mewasiatkan kepada mereka agar berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. "Sesungguhnya Allah swt. mempunyai hamba yang bekerja guna memenuhi hajat manusia, merekalah yang beriman pada Hari Kiamat, maka barangsiapa yang membenamkan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, kelak Allah swt. membahagiakan hatinya pada Hari Kiamat".

Pada suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin as. pernah duduk bersama sebagian sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang lelaki dari keturunan bibinya, lantas mencaci makinya dan melontarkan kata-kata kasar. Beliau tidak menjawab sampai lelaki itu menghentikan kata-katanya dan pergi.

Kemudian Imam berkata kepada sahabat- sahabatnya, "Kalian dengar apa yang dikatakan lelaki tadi, saya lebih suka kalian bersamaku hingga mendengarkan jawabanku padanya. Lalu mereka berdiri bersama Imam dan mengira bahwa Imam akan membalas dengan perbuatan yang serupa.

Imam mengetuk pintu orang tersebut. Lelaki itu pun keluar dengan penuh hati-hati dan kesiagaan. Sementara itu, Imam berkata dengan santun, "Wahai saudaraku, sungguh telah kau katakan sesuatu padaku, seandainya benar apa yang kau katakan, aku memohon ampunan kepada Allah, namun jika semua itu tidak benar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu".

Lelaki itu terpengaruh akan budi bahasa beliau. Seketika itu pula ia menyesali perbuatannya, dan Imam mengabulkan permohonan maafnya.
Pada kesempatan lain, Imam Ali zainal Abidin menjenguk Muhammad bin Usamah bin Zaid yang sedang jatuh sakit. Melihat Muhammad menangis, Imam bertanya, "Gerangan apa yang membuatmu menangis?

Muhammad menjawab, "Aku dililit hutang".

"Berapa jumlah hutangmu?", tanya Imam.

"15.000 Dinar", jawab Muhammad.

Imam berkata, "Serahkan kepadaku", lalu beliau melunasi hutang tersebut.

Di tengah malam yang sunyi, Imam Ali Zainal Abidin as. keluar kota sambil memikul sejumlah uang dan makanan untuk dibagikan kepada seratus kepala keluarga fakir, sementara mereka tidak mengetahui identitas beliau.

Ketika Imam as. meninggal syahid, mereka benar-benar merasakan kehilangan seorang lelaki. Barulah mereka sadar, ternyata orang yang selama ini membagi-bagikan uang dan makanan kepada itu adalah Ali Zainal Abidin as.


Di Karbala
Imam Ali Zainal Abidin as. ikut bersama ayahnya Imam Husain as. dalam perjalanannya dari Madinah ke Mekkah dan dari Mekkah ke Karbala, hingga terjadi tragedi pembantaian yang memilukan itu di sana.

Ketika itu, beliau sedang sakit keras. Setelah menyaksikan ayahnya tinggal sendirian, Dia memaksakan dirinya bangkit dari pembaringannya untuk terjun ke dalam peperangan, akan tetapi Imam Husain berkata kepada saudarinya Zainab: "Tahanlah dia agar keturunan keluarga Rasulullah saw. tidak terputus".

Sesungguhnya sakit yang menimpa Imam as. pada hari-hari itu adalah kemurahan Allah swt., agar keturunan Rasulullah tetap berlanjut, dan kejahatan serta kebiadaban Yazid tersingkap.


Menjadi Tawanan
Segera setelah Imam Husain as. syahid, tentara Ibnu Ziyad menyerang kemah-kemah dan hendak membunuh Imam Ali Zainal Abidin as. yang ketika itu berumur 23 tahun, akan tetapi sang bibi Zainab berdiri menghadang mereka dengan penuh keberanian dan berkata, "Jika kalian hendak membunuhnya, maka bunuhlah aku terlebih dahulu". Akhirnya, mereka mengurungkan niat jahat itu, dan merantai tangan Imam serta menggiringnya ke Kufah bersama dengan tawanan lain.

Tatkala mereka beristirahat, Zainab dan Imam as. serta para tawanan lainnya dengan penuh keberanian membukakan kekejaman Yazid, Ubaidillah Ibnu Ziyad, dan penghianatan warga Kufah yang hina.

Ketika rombongan tawanan itu tiba di Kufah, masyarakat berkerumun di sekitar mereka. Dalam rangka menunjukkan penentangan, Imam Ali Zainal Abidin as. memilih diam sambil menperlihatkan kondisi dirinya yang dirantai, sedangkan darah mengalir dari sikunya.

Di tengah mereka beliau berpidato, "Ayyuhannas, Barangsiapa mengenal aku, maka dia telah mengenal aku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku, maka ketahuilah aku adalah Ali bin Husain bin Abi Thalib.

"Aku adalah anak yang diinjak kehormatannya, dirampas haknya, dirampok hartanya, dan ditawan keluarganya. Aku adalah anak yang ayahnya disembelih di Sungai Furat. Aku adalah anak yang ayahnya dibunuh dalam keadaan sabar, dan cukuplah itu sebagai kebanggaan.

"Ayyuhannas, bersumpahlah demi Allah! Masihkah kalian ingat bagaimana kalian telah melayangkan surat dan undangan kepada ayahku lantas kalian sendiri mengkhianatinya. Kalian telah memberikan janji untuk berbaiat lalu kalian membunuhnya.

"Sungguh, celakalah kalian karena perbuatan kalian sendiri! Bagaimana kalian akan berhadapan dengan datukku Rasulullah kelak? Tatkala dia berbicara,

'Kalian bunuh keluargaku, kalian hancurkan kehormatanku, sungguh kalian tidak termasuk umatku".


Di Istana Ubaidillah
Ubaidillah Ibnu Ziyad memerintahkan agar para tawanan diseret menghadapnya. Ia ingin sekali melihat garis-garis kehinaan di raut wajah mereka. Tiba-tiba ia terperanjat. Pandangannya tertusuk tatapan-tatapan mereka yang semua malah menghinakan dirinya, padahal mereka dikelilingi oleh para algojo istana.

Ibnu Ziyad menoleh ke Imam Ali Zainal Abidin as. dan berkata, "Siapa namamu?"

Imam menjawab, "Aku Ali bin Husain".

Ibnu Ziyad berkata lagi dengan bengis: "Bukankah Allah telah membinasakan Ali?"

Imam menjawab dengan tegas, "Aku pernah punya kakak bernama Ali yang telah dibunuh oleh segerombol manusia".

Ibnu Ziyad dengan jengkel menukas, "Allahlah yang telah membunuhnya!"

Imam tanpa rasa gentar membalas, "Allah mematikan jiwa ketika tiba ajalnya, karena setiap jiwa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah".

Ibnu Ziyad semakin berang, lalu memerintahkan untuk membunuh Imam as. Pada saat itulah sang bibi Zainab bangkit dan berkata lantang, "Hai Ibnu Ziyad!
Apakah kau belum puas menumpahkan darah kami, apakah kau tidak membiarkan salah seorang hidup dari kami? Jika kau hendak membunuhnya, maka biarkanlah aku menyertainya".

Ibnu Ziyad semakin gentar tatkala Imam Ali Zaibal Abidin mengatakan: "Tidakkah kau tahu bahwa perang adalah kebiasaan kami, dan mati syahid adalah kemuliaan kami dari Allah".

Akhirnya, Ibnu Ziyad mengurungkan niatnya dan mengirimkan para tawanan itu ke Syam.


Di Syam (Syiria)
Rombongan tawanan itu tiba di negeri Syam diiringi dengan tangisan pilu menyayat hati, sementara Imam Ali Zaibal Abidin as. masih dirantai besi.

Yazid bin Muawiyah memerintahkan untuk menghiasai kota Damaskus sebagai tanda syukur dan puas atas terbunuhnya Imam Husain as. Ia telah menipu warga kota dengan menyebarkan berita bohong dan citra buruk tentang anak keturunan Ali bin Abi Thalib as.

Sesampainya rombongan tawanan di Damaskus, seorang lelaki tua mendatangi Imam Ali Zainal Abidin as. dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah membinasakanmu dan memenangkan pemimpin kami".

Imam as. sadar bahwa sesungguhnya lelaki tua itu tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Kepadanya beliau bertanya lembut, "Wahai bapak tua! Apakah engkau membaca Al-Qur'an?"

Lelaki tua itu menjawab, "Iya".

Imam bertanya lagi, "Apakah engkau membaca firman Allah, 'Katakanlah (Muhammad), Aku tidak meminta balasan dari kalian kecuali kecintaan (mawaddah) kalian kepada keluargaku'. Dan firman Allah, 'penuhilah hak keluarga (Rasul), serta firman Allah, "Dan ketahuilah, sesungguhnya pada rampasan perang kalian terdapat seperlima hak Allah swt, rasul-Nya dan keluarganya".

"Iya", jawab lelaki tua itu, "saya telah membaca ayat-ayat itu".

Lalu Imam as. berkata, "Demi Allah, kamilah keluarga Nabi yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut".

Imam melanjutkan pertanyaannya, "Apakah engkau membaca firman Allah, "Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan kekotoran (rijz) dari kalian hai Ahlul

Bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya ".

Lelaki tua itu menjawab, "Iya".

Imam berkata, "Kamilah Ahlul Bait, wahai bapak tua".

Dengan penuh keheranan, lelaki tua bertanya, "Demi Allah, benarkah kalian Ahlul Bait?

Imam menjawab, "Ya, demi kebenaran datuk kami, Rasulullah, kamilah yang dimaksudkan dalam ayat itu".

Lelaki tua itu akhirnya menerima perkataan Imam. Ia berkata, "Aku berlepas diri kepada Allah dari orang-orang yang telah memerangi kalian".

Ketika berita itu sampai ke telinga Yazid, segera ia memerintahkan algojonya untuk memenggal leher lelaki tua itu.


Di Hadapan Yazid
Yazid memerintahkan agar para tawanan dihadapkan kepadanya dalam keadaan terikat. Sungguh keadaan mereka amat memilukan.

Imam Ali Zaibal Abidin as. berkata, "Apa yang akan kau katakan hai Yazid kepada Rasulullah sementara keturunannya dalam keadaan seperti ini?!"

Mendengar itu, orang yang hadir dalam ruangan menangis, mereka tak kuasa lagi menahan air mata.

Atas perintah Yazid, salah seorang orator naik mimbar dan mulai mencaci maki dua cucunda Nabi; Hasan dan Husain, dan sebaliknya memuji-muji Muawiyah dan Yazid. Imam as. memandangnya dan berkata dengan nada keras, "Celakalah kamu hai orang yang berbicara, kau telah mencari kesenangan makhluk dengan kemurkaan Allah, maka kau telah memilih tempatmu di neraka".

Kemudian Imam as. berpaling ke arah Yazid dan berkata, "Apakah engkau mengizinkan aku naik ke mimbar ini, akan kukatakan kalimat yang mengandung keridhaan Allah dan menebarkan pahala kepada hadirin di sini?"

Yazid menolaknya dan bergumam, "Jikalau dia naik mimbar, dia tidak akan turun kecuali setelah membeberkan kekejamanku serta kejahatan keluarga Abu Sufyan".

Setelah didesak oleh hadirin, akhirnya Yazid mengizinkan Imam untuk berpidato.

Lalu Imam Ali Zainal Abidin as. naik mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt, beliau berkata, "Ayyuhannas, kami telah diberi enam perkara dan diunggulkan dengan tujuh perkara; kami diberi ilmu pengetahuan, kesantunan, kedermawanan, kefasihan bicara, keberanian, dan kecintaan di hati-hati kaum mukmin.

"Kami telah diunggulkan karena di antara kami terdapat Nabi yang termulia, Ali As-siddiq yang tepercaya, Ja'far At-Thayyar yang terbang, pada kamilah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya, pada kamilah penghulu segenap kaum wanita, dan pada kami pulalah dua cucu mulia umat ini.

"Ayyuhannas, barangsiapa mengenalku maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa tidak mengenalku akan kuperkenalkan asal-usul keturunanku.

"Aku adalah anak laki-laki dari Makkah dan Mina (Nabi Ibrahim as.), aku adalah anak laki-laki air sumur Zamzam dan Shafa (Nabi Ismail as.), aku adalah anak laki-laki yang diisra-mi'rajkan dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, aku adalah anak laki-laki yang ditemani Malaikat Jibril ke Sidratul Muntaha (Nabi Muhammad Saw), aku anak laki-laki orang yang dekat dan didekatkan sehingga berada di antara dua sisi atau lebih dekat lagi', aku adalah anak laki-laki Muhammad Al-Mustafa, aku adalah anak laki-laki dari Al-Murtadha".

Mulailah Imam Ali Zainal Abidin as. menyebutkan silsilah keturunannya yang suci, sampai menjelaskan tragedi pembantaian di Karbala secara rinci. Para hadirin terkejut menyimak kenyataan yang sebenarnya terjadi sehingga ruangan itu bergemuruh dengan isak tangis mereka.

Yazid khawatir akan terjadi perubahan yang merugikan dirinya. Segera dia memberi isyarat kepada muadzin untuk mengumandangkan azan guna memotong pembicaraan Imam as.

Muadzin mengumandangkan, "Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah".

Imam lalu berkata dengan khusyuk, "Aku bersaksi dengan darah dan dagingku".

Ketika muadzin mengumandangkan, "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah".

Imam as. menoleh ke Yazid dan berkata kepadanya, "Muhammad ini, apakah kakekku atau kakekmu?" Jika kau katakan bahwa dia adalah kakekmu, maka engkau telah berdusta, tetapi jika kau mengakuinya sebagai kakekku, lalu mengapa engkau membunuh keturunannya?".

Ternyata, dialog antara Imam Ali Zainal Abidin as. dan Yazid itu menciptakan perubahan besar di tengah masyarakat, bahkan ada sebagian dari mereka yang meninggalkan masjid sebagai cara penentangan mereka terhadap kekejaman pemerintahan Yazid.

Lagi-lagi Yazid kuatir keadaan kota Syam akan bergejolak dan menentangnya. Secepat mungkin ia memerintahkan agar para tawanan dikembalikan ke Madinah.

Kaum muslimin menyesal atas sikap acuh mereka terhadap Imam Husain as. ketika mereka melihat kezaliman dan kejahatan Yazid terus berlangsung.

Tak lama kemudian, Yazid mengirimkan pasukan untuk menyerang Madinah Al-Munawwarah. Selama tiga hari dia membolehkan setiap rajuritnya di sana melakukan pembunuhan, penjarahan, dan perampasan kehormatan wanita selama tiga hari.

Belum puas memperlakukan Madinah dan warganya, Yazid memerintahkan pasukan untuk mengepung kota Mekkah dan menghancurkan Ka'bah dengan lemparan batu dan membakar bagian dalamnya.

Sementara pasukan menghujani Ka'bah dengan batu, Allah membalas perbuatan biadab Yazid hingga mati secara mengenaskan.

Kematian Yazid membuat kedudukan khilafah beralih kepada anaknya yang bernama Muawiyah. Namun, Muawiyah sendiri menolak kedudukan itu, sebab ia menyadari betapa kezaliman yang telah dilakukan ayah dan kakeknya. Ia tahu benar ahwa mereka berdua telah merampas hak kekhilafahan dari pemiliknya yang sah.

Dalam keadaan demikian, Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah, lalu warga Syam membaiatnya.

Sementara di Hijaz, Abdullah bin Zubair memproklamirkan kekhalifahannya. Di sana ia senantiasa menjaga Ka'bah.

Pada tahun 73 H, anak Marwan yang bernama Abdul Malik bersama pasukan besarnya bergerak menuju Makkah dan mengepungnya. Seperti yang sudah dilakukan oleh Yazid, ia pun menghancurkan Ka'bah dengan lemparan batu dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair.

Dalam usaha melanggengkan pemerintahan, tak segan-segan Abdul Malik menggunakan ancaman dan tekanan terhadap siapa saja yang menentangnya.
Ia mengangkat seorang lelaki, yang paling banyak menumpahkan darah, sebagai gubernurnya di Basrah dan Kufah, yaitu Hajjaj bin Yusuf As-Tsaqofi.

Gubernur ini banyak membuat ladang penjagalan untuk nyawa-nyawa yang tak berdosa, serta mengisi penjara-penjara dengan kaum laki-laki dan bahkan perempuan.

Secara khusus, Abdul Malik melakukan pengawasan ketat terhadap Imam Ali Zainal Abidin as. Mata-mata selalu mengintai setiap gerak-gerik beliau.

Sampai akhirnya, dia memerintahkan untuk menangkap Imam as, dan mengirimkan beliau ke pusat kekuasaannya di Syam. Selang beberapa waktu, Abdul Malik membebaskan beliau.


Imam Ali Zainal Abidin as. dan Hisyam
Abdul Malik meninggal setelah menyerahkan tahta kekhalifahannya kepada Hisyam. Pada suatu hari, Hisyam menunaikan ibadah haji dan tawaf di sekitar Ka'bah. Di sana dia bermaksud untuk mencium Hajar Aswad, namun tidak berhasil karena banyaknya para jemaah haji yang bersesakan.

Kemudian, Hisyam duduk beristirahat sambil menunggu kesempatan, sementara warga Syam berkerumun di sekitarnya. Tiba-tiba datanglah Imam Ali Zainal Abidin as. menebarkan bau harum semerbak, lalu tawaf di sekeliling Ka'bah.

Tatkala Imam as. sampai di hadapan Hajar Aswad, orang-orang berhenti dengan penuh hormat dan membukakan jalan untuk beliau, sehingga beliau dapat dengan mudah mencium batu hitam itu. Selekas itu, orang-orang kembali melanjutkan tawaf mereka.

Warga Syam yang tidak mengenal Imam as, ketika menyaksikan peristiwa tersebut, mereka bertanya-tanya kepada Hisyam tentang siapa gerangan laki-laki tersebut. Dengan berlagak bodoh bercampur rasa kesal, ia menjawab, "Aku tidak mengenalnya".

Farazdaq, penyair yang berada di tengah mereka, tak lagi kuasa menahan rasa hormatnya. Spontan ia melantunkan bait-bait syair yang begitu indah, sebagai jawaban atas ketidaktahuan orang-orang Syam tersebut.

Dialah lelaki yang dikenal Makkah tapak kakinya

Dikenal Ka'bah, di dalam dan dan di luar tanah Haram

Dialah putra sebaik-baiknya hamba di antara semua hamba Allah

Dialah manusia yang bertakwa, tersuci, dan terkemuka

Dialah putra Fatimah jika kau tak lagi kenal

Kakeknya adalah penutup segenap nabi Allah.

Imam Ali Zainal Abidin as. mengirimkan hadiah kepada Farazdaq sebagai penghargaan atas sikap yang ditunjukkannya dalam bait-bait itu. Ia pun menerima hadiah tersebut dengan berharap mendapatkan berkah darinya.


Shahifah Sajjadiyyah
Sekilas, Shahifah Sajjadiyyah adalah sebuah buku kecil kumpulan doa-doa. Tetapi justru buku kecil itulah telah menjadi sumber pengetahuan dan yang mengajarkan akhlak luhur dan budi pekerti kepada umat manusia. Di samping itu, buku itu mengandung pembahasan Filsafat, Sains, dan persoalan-persoalan
Matematika, bahkan juga masalah-masalah politik.

Berikut ini adalah beberapa contoh dari doa-doa beliau yang tercatat di dalam Shahifah Sajjadiyyah:

1" "Ilahi, aku sungguh berlindung kepada-Mu dari kemalasan, kekecutan, kekikiran, kekhilafan, kekerasan hati dan keterhinaan".
2" "Maha Suci Engkau yang mendengar setiap nafas ikan di dasar laut, Maha Suci Engkau yang mengetahui peredaran purnama dan mentari, Maha Suci Engkau yang mengetahui pergantian kegelapan (malam) dan cahaya (siang), Maha Suci Engkau... sungguh aneh orang yang mengenal-Mu, bagaimana mungkin mereka tidak takut kepada-Mu".

Selain doa-doa di dalam Shahifah Sajjadiyyah, Imam Ali Zainal Abidin as. juga mempunyai doa khusus setiap hari, doa harian dalam seminggu, dan 15 munajat, dengan irama kata dan kalimat yang indah nan syahdu. Semua itu menunjukkan budi pekerti yang agung dan ketundukkan jiwa Imam as. di hadapan Allah swt.


Risalah Huquq
Imam Ali Zainal Abidin as. mempunyai sebuah risalah yang terkenal dengan nama Risalah Huquq (Risalah Hak dan Tanggung Jawab). Risalah itu mencakup 50 perkara berkenaan dengan tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, dirinya, tetangga, dan teman-teman.

Tentang hak-hak seorang guru beliau mengatakan, "Di antara hak guru yang harus kau penuhi yaitu memuliakannya, menghormati kelasnya, dan menyimak pelajarannya dengan seksama... Janganlah engkau mengeraskan suaramu di hadapannya. Sembunyikanlah segala kekurangannya dan perlihatkanlah segenap kelebihannya".

Berkenaan dengan hak-hak seorang ibu, Imam as. mengingatkan, "Adapun hak ibumu, ketahuilah bahwa dia telah mengandungmu, memberimu makan dari buah hatinya (air susunya), dia lebih senang melihatmu kenyang sementara dia menahan lapar, dia memberimu pakaian sementara dia telanjang, dia memberi minum sementara dia dahaga, menidurkanmu nyenyak di haribaannya".

Tentang hak-hak tetangga, Imam as. menuturkan, "Di antara hak-hak tetanggamu yaitu menjaganya ketika ia tidak terlihat, dan memuliakannya ketika ia berada di sisimu... Janganlah merasa iri, mengingatkan ketika tergelincir, serta memaafkan kesalahannya".

Tentang hak-hak kafir zimmi (orang kafir yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin dan hidup di negara Islam), Imam Ali Zainal Abidin as. menjelaskan,
"Maka hukum bagi kaum kafir ialah menerima dari mereka apa-apa yang direstui Allah, dan cukuplah bagi mereka jaminan dan perjanjian yang telah Allah tetapkan untuk mereka. Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, 'Barangsiapa yang menyalahi janji, aku akan menjadi musuhnya, maka takutlah kepada Allah, jagalah mereka!".


Hari Kesyahidan
Pada 25 Muharram 95 H, Imam Ali Zainal Abidin as. meninggal dunia sebagai syahid, tak lama setelah Hisyam bin Abdul Malik membubuhkan racun ke dalam makanan beliau. Imam as. wafat pada usia 57 tahun dan dimakamkan di Baqi, di samping makam pamannya Imam Hasan bin Ali as. []


Mutiara Hadis Imam Ali Zainal Abidin as.
1" "Wahai anakku! Waspadalah terhadap lima macam manusia, dan janganlah kau bersahabat dan seperjalanan dengan mereka:

2"Jauhilah bersahabat dengan pendusta karena dia seperti fatamorgana mendekatkan orang yang jauh dari engkau dan menjauhkan orang dekatmu.

3"Jauhilah bersahabat dengan orang fasik karena dia akan menjualmu dengan sesuap nasi atau selainnya.

4"Jauhilah bersahabat dengan orang kikir karena dia akan membiarkanmu ketika engkau membutuhkannya.
Jauhilah bersahabat dengan orang dungu (tolol) karena dia hanya ingin memanfaatkanmu dan mencelakakanmu.

5"Dan jauhilah bersahabat dengan orang yang suka memutuskan silaturahmi, karena aku mendapatinya terlaknat di kitab Allah.

6" Dalam pesannya kepada sang putra Imam Muhammad Al-Baqir as., Imam Ali Zainal Abidin as. mengatakan, "Berbuat baiklah kepada setiap orang yang menuntut kebaikan. Jika ia adalah orang yang berhak menerima kebaikanmu, maka engkau telah melakukan hal yang semestinya, tapi jika ia tidak berhak menerima kebaikanmu, maka engkau sungguh telah berhak mendapatkan kebaikan.

7"Jika seseorang mencacimu dari sebelah kanan dan beralih ke sebelah kiri, lalu meminta maafmu, maka terimalah permintaannya".


Riwayat Singkat Imam Ali Zainal Abidin as.
Nama : Ali

Gelar : Ali Zainal Abidin

Panggilan : Abu Muhammad

Ayah : Husain bin Ali

Ibu : Syah Zanan

Kelahiran : Madinah, 5 Sya'ban 38 H

Masa Imamah : 10 Tahun

Usia : 57 Tahun

Wafat : 25 Muharram 95 H

Makam : Pemakaman Baqi, Madinah


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan singkat:
1. Mengapa Imam Ali Zainal Abidin as. tidak ikut turun ke medan perang di Karbala?

2. Sebutkan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan sikap dermawan Imam as.?

3. Mengapa Imam as. selalu diawasi oleh penguasa masa itu?

9
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Muh. Al-Baqir as; Penyingkap Khazanah Ilmu

Hari Lahir
Imam Muhammad Al-Baqir as. dilahirkan pada awal bulan Rajab tahun 57 H di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kelima Ahlul Bait. Ayahnya adalah Imam Ali Zainal Abidin as., dan ibunya adalah seorang wanita dari keturunan Imam Hasan as. yang bernama Fatimah.

Dengan demikian, Imam Muhammad Baqir as. adalah Imam pertama keturunan Rasulullah saw. dari pihak ayah dan ibu, sekaligus.

Imam Al-Baqir as. mengalami hidup bersama kakeknya, Imam Husain as. pada tragedi Karbala, yang ketika itu beliau masih berusia empat tahun.

Beliau hidup bersama ayahnya selama 18 tahun dan masa itu adalah masa keimamahan (kepemimpinan)-nya. Beliau khidmatkan masa-masa hidupnya demi menyebarkan ilmu pengetahuan Islam.

Orang-orang memberi beliau gelar Al-Baqir (Sang Jenius), karena beliau telah membongkar ilmu pengetahuan dari khazanah-khazanahnya. Imam as. juga memiliki gelar-gelar lain yang menunjukkan sifat dan akhlak agung beliau seperti: Asy-Syakir (yang banyak bersyukur), Al-Hadi (pemberi petunjuk).

Sewaktu masih berusia belia, Imam Muhammad Al-Baqir as. bertemu dengan sebagian besar sahabat utama Nabi seperti; Jabir bin Abdillah Al-Anshari. Kepada beliau Jabir mengatakan, "Rasulullah mengirimkan salam untukmu. Salam ini membuat orang-orang yang hadir saat itu menjadi heran".

Jabir melanjutkan, "Suatu hari aku sedang duduk bersama Rasulullah, sedang Husain as. berada di haribaannya. Beliau berkata padaku, "Hai Jabir, putraku ini kelak mempunyai seorang anak yang bernama Ali. Dan pada Hari Kiamat, seseorang akan memanggilnya, 'Sayyidal Abidin'. Kemudian melalui Ali, seorang anak yang bernama Muhammad Al-Baqir -yang memiliki keluasan ilmu- akan lahir. Bila engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku kepadanya!".

Imam Al-Baqir as. memiliki dua kebun yang dikelola oleh beliau sendiri. Beliau melibatkan para petani untuk menuai hasil kebunnya, serta menginfakkan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Pada zaman itu, beliau dikenal sebagai orang yang paling dermawan.

Dinukil dalam kitab-kitab sejarah, bahwa seorang sufi bernama Muhammad bin Al-Munkadir berkata, "Aku belum pernah melihat seorang seperti Ali bin Husain as. yang meninggalkan keturunan yang begitu utama, sampai aku melihat putranya Muhammad as. Aku hendak menasihatinya, ia malah lebih dulu menasihatiku. Pada suatu hari, saat matahari terik menyinari bumi, aku keluar menuju sebuah daerah di luar kota Madinah. Aku bertemu dengan Muhammad bin Ali as. yang sedang bersandar pada dua orang budaknya, aku berkata pada diriku sendiri, 'Orang tua Quraisy di saat seperti ini masih sibuk mencari dunia? Demi Allah, aku akan menasihatinya'.

"Aku mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Ia pun menjawab salamku. Aku melihat dia penuh dengan peluh yang membasahi tubuhnya. Aku berkata padanya, 'Semoga Allah memberikan hidayah-Nya padamu wahai orang tua Quraisy, di saat seperti ini kau masih sibuk mencari dunia? Bagaimana kalau sekiranya maut datang menjemputmu sedang kau dalam keadaan seperti ini?'

Imam as. melepaskan kedua tangannya dari sandaran kedua budaknya dan berkata, "Demi Allah, jika sekiranya maut datang kepada aku yang dalam keadaan seperti ini, sungguh ia datang kepadaku sedang aku dalam ketaatan kepada Allah, yang dengannya jiwaku bisa terhindar darimu dan manusia lainnya.
Sesungguhnya yang aku takutkan adalah bila kematian itu datang sedang aku dalam keadaan bermaksiat kepada Allah".

"Mendengar jawaban beliau, aku membalas kagum, 'Semoga Allah mengasihimu, aku ingin menasihatimu, malah kaulah yang menasihatiku!".

Dalam kisah ini, Imam Muhammad Al-Baqir as. menunjukkan sikap tegas beliau sehingga orang dapat memahami, bahwa mencari rezeki itu adalah ibadah dan ketaatan kepada Allah swt., bukan malah meninggalkan pekerjaan dan menghabiskan waktunya untuk shalat sementara hidupnya menjadi tanggungan orang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi seperti; Ibnu Munkadir dan yang lainnya.


Kedudukan Ilmu Imam
Seorang warga Syam, yang sebelumnya enggan hadir di majlis Imam Muhammad Al-Baqir as., berkata kepada beliau, "Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih aku benci daripadamu, kebencian padamu sungguh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Meski begitu, aku melihatmu begitu sopan, beradab serta bertutur-kata yang santun. Maka ketahuilah, kehadiranku di majlismu ini karena kebaikan budi dan bahasamu".

Dalam setiap kesempatan, Imam Al-Baqir as. selalu mengatakan yang baik. Kepada orang Syam itu Imam as. mengatakan, "Tiada sesuatu pun yang tersembunyi di sisi Allah swt.".

Selang beberapa hari, orang tersebut tidak pernah kelihatan lagi. Imam as. merasa kehilangan. Beliau bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya. Kata mereka, orang itu sedang sakit.

Imam as. bergegas menjenguknya. Beliau duduk di sisinya sambil bercakap-cakap dan bertanya tentang penyebab sakitnya. Lalu, Imam menganjurkan agar memakan makanan yang dingin dan segar. Setelah itu, Imam as. pun meninggalkan orang tersebut.

Beberapa hari kemudian, orang itu pulih dari sakitnya. Pertama kali yang dia lakukan ialah pergi ke majelis Imam as. Di sana, dia memohon maaf kepada Imam, dan akhirnya menjadi salah satu sahabat beliau.

Dikisahkan, seseorang bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang sebuah masalah. Abdullah kebingungan menjawabnya. Ia berkata kepada si penanya,
"Pergilah kepada anak itu, dan tanyalah padanya, kemudian beritahukan jawabannya kepadaku. Anak yang dimaksudkannya itu ialah Imam Muhammad Al-Baqir as.

Maka orang tersebut datang kepada Imam as. dan bertanya padanya. Selekas itu, ia kembali kepada Abdullah dengan membawa jawaban yang didapatkannya dari beliau. Abdullah berkata, "Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait Nabi yang telah diberikan pemahaman tentang segala sesuatu".


Dialog dengan Pendeta
Imam Ja'far Ash-Shadiq as. menceritakan, bahwa suatu ketika beliau berada di Syam bersama ayahnya (Imam Muhammad Al-Baqir as.). Keberadaan mereka ke Syam karena Khalifah Hisyam bin Abdul Malik meminta mereka untuk datang ke sana.

Pada suatu hari, Imam Al-Baqir as. melihat kerumunan orang-orang di sebuah tempat. Semua sedang menantikan seseorang. Beliau menanyakan perihal mereka itu. Dijawabnya, "Mereka itu sedang menunggu salah seorang pendeta, karena ia hanya muncul setahun sekali, mereka bertanya dan meminta fatwa darinya".

Imam as. ikut menunggu bersama mereka sampai seorang pendeta tersebut datang. Tatkala pendeta itu melihat Imam, ia menyapa beliau, "Apakah Anda dari golongan kami atau dari umat yang perlu dikasihani ini?

Imam as. menjawab, "Aku dari umat ini".

Pendeta bertanya lagi, "Dari orang awam umat ini atau dari ulamanya?"

Imam menjawab, "Aku bukan dari orang awamnya".

Pendeta berkata lebih serius, "Aku punya beberapa pertanyaan untuk Anda; dari mana Anda percaya bahwa penghuni surga makan dan minum tapi mereka tidak buang air?"

Imam as. menjawab, "Bukti kami adalah janin yang ada dalam rahim ibunya, ia makan tapi tidak buang kotoran".

Pendeta itu bertanya lagi, "Beritahukan kepadaku tentang setenggat waktu yang tidak terhitung malam juga tidak terhitung siang" .

Imam as. menjawab, "Waktu di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari".

Mendengar jawaban-jawaban Imam as., pendeta terkejut. Ia ingin sekali membungkam Imam dengan pertanyaan lain. Ia berkata, "Kabarkan kepadaku tentang dua bayi yang keduanya dilahirkan pada hari yang sama dan meninggal pada hari yang sama juga. Umur bayi yang pertama 50 tahun dan yang kedua 150 tahun".

Imam as. menjawab, "Uzair dan saudaranya, saat itu usia Uzair 25 tahun. Tatkala melewati suatu desa di Antakia yang ditinggal mati oleh penduduknya, ia merenung, 'Bagaimana Allah akan menghidupkan penduduk ini setelah kematian mereka?'

"Kemudian Allah swt. mematikan Uzair selama 100 tahun, lalu membangkitkannya lagi dan ia kembali ke rumahnya dalam keadaan muda, sementara saudaranya sudah tua-renta. Uzair hidup bersama saudaranya selama 25 tahun, dan kedua bersaudara itu pun meninggal pada hari yang sama".

Melihat keluasan dan ketinggian ilmu Imam Al-Baqir as. ini, pendeta itu lagi-lagi takjub. Tak ayal lagi, ia pun menyatakan keislamannya di depan khalayak, dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya.


Di Majelis Hisyam
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mengundang Imam Muhammad Al-Baqir as. dan putranya Imam Ja'far Ash-Shadiq. Karena itu, keduanya meninggalkan
Madinah, bergerak menuju Syam. Tujuan undangan Hisyam sebenarnya hendak menunjukkan kebesaran kerajaannya.

Setibanya di Syam, Imam Al-Baqir as. memasuki istana, yang ketika itu Hisyam duduk di atas singgasana, di kelilingi pengawal bersenjata dan di depannya ada golongan elite yang siap berlomba memanah. Hisyam berkata, "Ya Muhammad! Coba kau bertanding melawan orang-orang ini dan bidikkan panah ke sasaran!".

Imam as. berkata, "Sesungguhnya aku sudah lama meninggalkan permainan memanah, maafkan aku".

Hisyam menolak alasan Imam, dan memaksanya untuk melakukannya. Ia pun menyuruh seorang tokoh dari Bani Umayyah untuk mengambilkan panah dan busurnya. Akhirnya, Imam as. menerimanya dan meletakkan anak panah itu pada busurnya, kemudian ia lesatkan ke sasaran dan tepat mengenai titik pusatnya. Untuk kedua kalinya, beliau membidikkan anak panah, hingga yang kesembilan kali. Semua anak panah itu menancap tepat pada sasaran.

Hisyam pun tercengang melihat kepandaian Imam as. dan memujinya sambil berkata, "Alangkah pandainya kau wahai Abu Ja'far, kau adalah orang yang paling pandai memanah dari kalangan Arab dan Ajam, beginikah kau katakan 'Aku sudah lama meninggalkan permainan memanah?'".

Kemudian, Hisyam menuntun Imam Al-Baqir as. dan mendudukkannya di sampingnya. Ia berkata, "Wahai Muhammad! Bangsa Arab dan Ajam akan senantiasa mengikuti orang-orang Quraisy selagi di tengah-tengah mereka ada orang sepertimu, Demi Allah, siapa yang mengajarimu memanah? Dan pada usia berapakah kau mempelajarinya?"

Imam as. menjawab, "Aku belajar di masa aku masih kecil, kemudian aku tinggalkan".

Hisyam berkata, "Aku tidak pernah menyangka bahwa di atas bumi ini masih ada orang yang memanah seperti ini. Apakah Ja'far (putra Imam as.) juga dapat memanah seperti ini? Apakah dia juga dapat memanah sebagaimana engkau?

Imam as. menjawab, "Kami Ahlul Bait Nabi mewarisi kesempurnaan dan kelengkapan yang keduanya telah Allah swt. turunkan kepada Nabinya saw. dalam firmannya:

"Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah aku lengkapkan nikmatku untukmu serta aku rela Islam sebagai agamamu".

Mendengar jawaban itu, muka Hisyam memerah lantaran marah dan berkata, "Dari mana kau mewarisi ilmu ini, padahal tidak ada nabi setelah Muhammad dan kau sendiri juga bukanlah seorang nabi?"

Imam as. menjawab, "Kami mewarisinya dari datuk kami Ali bin Abi Thalib as. Beliau pernah berkata, 'Rasulullah saw. telah mengajariku seribu pintu ilmu... Dari setiap pintunya terbuka seribu ilmu lagi...".

Hisyam pun diam tertunduk sambil berpikir. Lalu ia memerintahkan pengawalnya untuk mengembalikan Imam Muhammad Al-Baqir as. dan putranya Imam Ja'far Ash-Shadiq as. ke Madinah secepat mungkin, karena ia takut kehadiran dua Imam ini di Syam akan mengundang simpati warga kota kepada mereka.


Mata Uang Islam
Perebutan batas-batas wilayah yang sangat keras sekali telah terjadi antara negara Islam dan Romawi. Imperium Romawi mengancam Abdul Malik bin Marwan akan memutus mata uang negara Islam bila tidak menyerahkan wilayah-wilayah yang dipersengketakan. Abdul Malik merasa ketakutan dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Ia kumpulkan pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh umat Islam untuk dimintai pendapatnya, tapi mereka tidak bisa memberikan keputusan apa-apa. Akhirnya, sebagian mereka mengusulkan agar merujuk kepada Imam Muhammad Al-Baqir as.

Lalu, Abdul Malik mengutus utusan untuk memanggil Imam as. ke Syam. Beliau pun memenuhi panggilan tersebut. Setelah mengetahui duduk persoalan, beliau mengatakan kepada Abdul Malik, "Tidak ada yang perlu ditakutkan. Cepat kirim utusan ke Kaisar Romawi dan mintalah jangka waktu darinya. Di sela-sela itu, kirimlah surat ke gubernur-gubernur daerah, dan perintahkan mereka untuk mengumpulkan emas dan perak, sehingga bila telah sampai jumlah yang cukup, segeralah mencetak mata uang Islam!".

Kemudian, Imam as. menentukan timbangan dan bentuknya. Beliau memerintahkan Abdul Malik untuk menuliskan di atas salah satu sisi uang tersebut kalimat
"Muhammad Rasulullah". Bila pekerjaan ini telah selesai, tidak akan terjadi transaksi dengan mata uang Romawi. Ketika itulah Imperium Romawi tidak akan punya kekuatan lagi di hadapan pemerintahan Islam.

Setelah pekerjaan itu selesai dan mata uang Islam sudah tersebar, Abdul Malik mengeluarkan keputusannya yang terakhir mengenai persengketaan batas-batas wilayah.

Dan ternyata, Imperium Romawi tidak mendapatkan cara apapun untuk melancarkan tekanan terhadap ekonomi negara Islam. Maka, dipilihlah jalan militer. Akan tetapi, mereka pun gagal, setelah lasykar-lasykar muslimin menyerang pasukan mereka.

Demikianlah Imam kita, Imam Muhammad Al-Baqir as. Dengan pikiran dan arahannya yang cemerlang, beliau telah menyelamatkan pemerintahan Islam dari ancaman musuh-musuh, sehingga kaum muslimin memiliki mata uang sendiri yang menjadi lambang kebesaran Islam.


Sahabat-Sahabat Imam
Tatkala orang-orang Bani Umayyah sibuk meredam kekacauan dan kerusuhan massa di sana-sini, Imam Muhammad Al-Baqir as. mendapatkan kesempatan yang baik untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, membina kader-kader dan mengokohkan ajaran-ajaran Ahlul Bait.


Pada zaman Imam as., telah muncul sebagian murid-murid utama beliau yang memiliki peranan besar dalam penyebaran ajaran-ajaran tersebut. Di antara mereka yang paling menonjol ialah:

1. Abban bin Taghlab
Ia pernah sezaman dengan tiga Imam Ahlul Bayt. Ia juga pernah menghadiri majelis Imam Ali Zainal Abidin as,, Imam Muhammad Al-Baqir as., dan Imam Ja'far Ash-Shadiq as. Namun begitu, ia lebih banyak belajar pada Imam Al-Baqir as.

Abban menonjol di bidang Fiqh , Hadis, Sastra Arab, Tafsir, dan Nahwu. Imam Al-Baqir as. pernah berkata kepadanya, "Duduklah di masjid Madinah dan ajarilah orang-orang, karena sesungguhnya aku lebih suka melihat orang sepertimu di antara pengikutku".


2. Zurarah bin A'yan
Tentang Zurarah, Imam Ja'far as. mengatakan, "Sekiranya tidak ada Zurarah, niscaya hadis-hadis ayahku akan hilang".

Dalam kesempatan yang lain, Imam as. menyatakan, "Semoga Allah mengasihi dan merahmati Zurarah bin A'yan. Seandainya tidak ada Zurarah dan orang-orang sepertinya, tidak akan ada yang tersisa lagi hadis-hadis ayahku".


3. Muhammad bin Muslim Ats-Tsaqafi
Imam Ja'far Ash-Shadiq as. sangat menghormati dan mencintai Muhammad. Dia adalah salah seorang sahabat utama dari empat orang sahabat Imam Ja'far as. Beliau berkata, "Empat orang manusia yang sangat aku cintai, baik dalam keadaan mereka itu hidup maupun mati".

Imam Ja'far as. memerintahkan sebagian sahabat-sahabatnya untuk merujuk kepada Muhammad dengan perkataannya, "Ia telah mendengarkan hadis-hadis ayahku, dan dia orang terpandang di sisi ayahku".

Muhammad bin Muslim sendiri pernah menyatakan, "Aku bertanya kepada Imam Muhammad Al-Baqir as. tentang tiga puluh ribu hadis".

Imam Ja'far as. seringkali memuji sahabat-sahabat ayahnya. Beliau mengatakan, "Sekiranya sahabat-sahabatku mendengarkan dan taat kepadaku, niscaya akan aku titipkan kepada mereka apa-apa yang ayahku titipkan pada sahabat-sahabatnya. Sesungguhnya semua sahabat ayahku menjadi penghias bagi kami, di masa hidupnya maupun matinya".

Termasuk juga sahabat Imam Muhammad Al-Baqir as. ialah Al-Kumait Al-Asady, seorang pujangga ternama. Setiap kali berjumpa dengannya, Imam Al-Baqir as. memanjatkan doa, "Ya Allah! Curahkanlah ampunan-Mu kepada Al-Kamit!".


Hari Kesyahidan
Meskipun usaha Imam Muhammad Al-Baqir as. hanya tercurahkan di bidang-bidang ilmu pengetahuan dan penyebaran agama, akan tetapi para penguasa Bani Umayyah tidak bisa tenang melihat keberadaannya, khususnya setelah orang-orang mengetahui keutamaan, keluhuran dan keluasan ilmu beliau.

Kepribadian, akhlak dan rasa kemanusiannnya menyinari mereka. Sebagaimana dari silsilah nasab beliau yang bersambung langsung ke Rasulullah saw., semua itu mengangkat kedudukannya di hati umat Islam menjadi begitu tinggi nun agung.

Begitu pula bagi Hisyam bin Abdul Malik. Dia senantiasa berpikir untuk membunuh Imam Al-Baqir as. Akhirnya, dia gunakan racun untuk membunuh beliau. Di tangannyalah Imam as. syahid pada 7 Dzulhijjah 114 H.

Imam Muhammad Al-Baqir as. telah menjalani masa hidupnya selama 57 tahun untuk mengabdi sepenuhnya kepada Islam dan kaum muslimin serta menyebarkan ilmu pengetahuan dan ajaran Ahlul Bait as. []


Mutiara Hadis Imam Al-Baqir as.
1" "Kesombongan tidak masuk ke dalam hati seseorang kecuali akalnya kurang".

2" "Seorang alim yang mengamalkan ilmunya lebih utama dari seribu orang abid (yang tekun ibadah). Demi Allah, kematian seorang alim lebih disukai oleh Iblis dari pada kematian tujuh puluh orang abid".

3" Kepada salah seorang anaknya, Beliau mengatakan, "Wahai anakku, jauhilah kemalasan dan kebosanan, karena keduanya adalah kunci segala keburukan. Sesungguhnya bila kamu malas, niscaya engkau tidak akan pernah menunaikan tanggung jawabmu, dan bila kamu bosan niscaya engkau tidak akan bersabar dalam melaksanakan tugasmu".

4" "Cukuplah besarnya aib seseorang yang memandang aib orang lain sementara aibnya sendiri tidak pernah ia lihat. Dan cukuplah besarnya aib seseorang yang memerintahkan orang lain akan suatu yang ia sendiri tidak mampu mengembannya".

5" Dalam nasihat untuk salah seorang sahabatnya, Imam as. mengatakan, "Aku wasiatkan kepadamu lima perkara; bila engkau dianiaya maka janganlah kau membalasnya, bila engkau dikhianati maka janganlah kau balas dengan khianat pula, bila kau didustai maka janganlah kau balas dengan dusta pula, bila engkau dipuji maka janganlah kau merasa puas, dan bila kau di cela maka janganlah kau bersedih".


Riwayat Singkat Imam Al-Baqir as.
Nama : Muhammad

Gelar : Al-Baqir

Panggilan : Abu Ja'far

Ayah : Ali Zainal Abidin

Ibu : Fatimah

Kelahiran : Madinah, 1 Rajab 57 H

Kesyahidan : 7 Dzulhijjah 114 H

Makam : Pemakaman Baqi, Madinah


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cermat:
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cermat:

1. Mengapa Imam Muhammad Al-Baqir as. menyandang gelar Al-Baqir?

2. Apa gagasan Imam dalam menyelesaikan krisis mata uang?

3. Sebutkanlah satu hadis dari Imam Al-Baqir as. dan jelaskan?

10
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Ja'far Ash-Shadiq as; Pencetus Universitas Islam

Hari Lahir
Imam Ja'far Ash-Shadiq as. lahir pada 17 Rabiul Awal 80 H di Madinah Al-Munawwarah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Al-Baqir as. dan ibunya bernama Ummu Farrah, putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.

Bercerita tentang sang ibu, beliau menuturkan, "Bundaku adalah wanita beriman, bertaqwa dan senantiasa berbuat baik, karena sesungguhnya Allah swt. mencintai orang yang senantiasa berbuat baik".

Imam Ja'far Ash-Shadiq as. hidup sezaman dengan datuknya Imam Ali Zainal Abidin as. selama 15 tahun, dan dengan ayahnya Imam Muhammad Al-Baqir as. selama 34 tahun.

Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya: As-Sabir (sang penyabar), Al-Fadl (sang utama), At-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah As-Shadiq (sang penyampai kebenaran). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.

Beliau sempat menyaksikan datuknya Imam Husain as. baeliau juga menyaksikan kezaliman Bani Umayyah yang justru meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri, sekaligus membukakan jalan bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlul Bait untuk mengajak masyarakat bangkit melawan Bani Umayyah.
Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan Bani Umayyah, mereka malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlul Bait as.

Imam Ja'far as. hidup di bawah pemerintahan zalim Bani Umayyah kurang-lebih 40 tahun, dan hidup pada masa permerintahan Abbasiyah sekitar 20 tahun. Selama itu, beliau menghindar dari kehidupan politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak dan aqidah di tengah masyarakat.

Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja'far as. untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa beliaulah mazhab Ahlul Bait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat.


Akhlak Luhur
Zaid bin Tsa'ari Al-Ma'ruf berkata, "Pada setiap zaman pasti ada seorang dari Ahlul Bait Nabi saw. di antara kita yang menjadi bukti Allah atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kami ini ialah anak laki-laki dari saudaraku, Ja'far bin Muhammad yang tidak akan sesat bagi siapa yang mengikutinya, dan tidak akan mendapat petunjuk bagi siapa yang menyimpang darinya."

Malik bin Anas (Imam Malik) berkata: "Demi Allah! aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah dan kewarakan Ja'far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat memuliakanku".

Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar pada beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, "Seandainya tidak ada dua tahun, maka Nu'man (Abu Hanifah) pasti binasa".

Salah satu sahabat beliau meriwayatkan, "Pada suatu hari aku bersama Aba Abdillah (Imam Ja'far) as. Ketika itu, beliau mengendarai keledai menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud kepada Allah cukup lama.

"Aku menunggunya, sampai beliau mengangkat kepalanya. Lalu aku berkata kepadanya, "Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam, aku melihat Anda turun dari keledai lalu sujud". Beliau membalas, "Sesungguhnya aku teringat nikmat Allah yang begitu melimpah kepadaku maka aku segera melakukan sujud syukur".

Pernah juga sahabat itu berkata, "Aku melihat Ja'far bin Muhammad as. sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, "Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam, berikanlah cangkul itu kepadaku dan tinggalkanlah pekerjaan ini".

Beliau berkata kepadaku: "Sesungguhnya aku senang kepada seseorang yang bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya".

Suatu hari Imam Ja'far as. meminta seorang pembantunya untuk suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali, beliau keluar mencarinya dan mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata kepadanya: "Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami waktu siang".

Imam Ja'far as. pernah mengupah beberapa orang untuk bekerja di kebunnya. Sebelum mereka selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada pembantunya Mu'tab, "Berikanlah upah mereka sebelum kering keringatnya".

Ketika telah lewat tengah malam, beliau membawa kantong yang berisi roti, daging, dan Dirham (uang perak) yang diletakkan di pundaknya, lalu beliau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah, sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu. Ketika Imam Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan pangan kepada mereka selama ini adalah beliau.


Imam Ja'far as. dan Sufyan Ats-Tsaury
Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram, dia melihat Imam Ja'far as. memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya: "Demi Allah saya akan peringatkan dia". Lalu dia mendekati Imam dan berkata kepadanya," Demi Allah, wahai putra Rasulullah! aku tidak menjumpai pakaian seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.

Imam menjawab, "Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan orang-orang baiklah yang lebih berhak dari pada orang lain atas nikmat Allah".

Kemudian beliau membacakan firman Allah, "Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya." "Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah".

Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi: "Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku".


Imam Ja'far as. dan Perniagaan
Suatu hari Imam as. memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya 1000 Dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya: "Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga".

Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan.

Setibanya di Mesir mereka menjual barang mereka dengan harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Ash-Shadiq as. sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi 1000 Dinar.

Dia berkata kepada Imam as, " Wahai tuanku, ini modal uang dan ini keuntungannya".

Imam berkata, "Alangkah banyak keuntunganmu, bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?"

Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap Dinar modal mereka.

Imam as. dengan nada heran berkata, "Maha Suci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu dinar dari setiap dinar modal kalian".

Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, "Ini adalah harta saya dan aku tidak butuh pada keuntungan ini ".

Kemudian berkata, "Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal".

Seorang fakir pernah suatu waktu meminta bantuan kepada Imam Ja'far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, "Apa yang ada padamu? Pembantu itu menjawab: "Kita punya empat ratus Dirham".

Imam berkata lagi, "Berikanlah uang itu kepadanya!" Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.

Imam meminta kepada pembantunya, "Panggil dia kembali!" Si fakir itu berkata keheranan, "Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali.

Imam berkata, "Rasululah saw. bersabda, 'Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi', dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi, maka ambillah cincin ini, harganya 10 ribu dirham jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut".


Berbakti kepada Ibu
Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen), yang baru saja masuk Islam, menjumpai Imam Ja'far Ash-Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata,

"Katakanlah apa yang kau butuhkan?"

Pemuda itu berterus terang, "Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani, ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka".

Imam as. berkata, "Apakah mereka makan daging babi?"

Pemuda itu menjawab, "Tidak".

Imam as. berkata, "Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya".

Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu mendapatinya begitu patuh dan soleh, berbeda dengan yang tidak pernah dilihat sebelumnya.

Dia berkata, "Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani, lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?"

Pemuda itu menjawab, "Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.".

"Apakah dia seorang nabi?", tanya sang ibu.

Pemuda itu menjawab, "Bukan, ia hanyalah keturunan nabi".

Akhirnya, sang ibu pun mengakui, "Agamamu sungguh sebaik-baiknya agama, ajarkanlah agamamu kepadaku". Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan solat sesuai yang diajarkan anaknya yang soleh itu.


Imam Ja'far as. dan Penimbun Barang
Imam Ja'far Ash-Shadiq as. berkata, "Masa menimbun barang pada musim subur (panen) yaitu 40 hari, dan tiga hari pada musim paceklik. Maka barang siapa yang melampaui 40 hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika musim paceklik, diapun akan terlaknat".

Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, "Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak".

Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu'alli bin Khunais melihat Imam Ja'far as. menerobos gelapnya malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh, lalu dia mengikuti beliau untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan, Imam as. memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as. meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka.

Mualli mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia bertanya, "Apakah mereka dari pengikut setiamu? Beliau menjawab, "Bukan."
Imam Ja'far as. juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga. Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata Imam as.

Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau, gandum begitu langka di pasar. Imam ja,far as. bertanya kepada pembantunya Mu'tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu'tab menjawab, " Kita punya cukup persedian untuk beberapa bulan".

Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu'tab heran dan memprotes, akan tetapi tidak ada faedahnya.

Basyar Makkary meriwayatkan, "Aku mendatangi Ja'far Ash-Shadiq as. sementara tengah memakan kurma yang berada di tangannya.

Beliau berkata, "Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami."

Aku berkata, "Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara".

Perempuan itu meratap, "Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya."

Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan,dia tergeletak di jalan.

Aku berkata, "Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu duhai Fatimah".

Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu.
Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as.mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping Dinar.


Universitas Islam
Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, senantiasa berusaha menumpas Ahlul Bait as. dan mengusir para pengikut mereka di segala penjuru.
Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat menuntut ilmu dan riwayat dari Ahlul Bait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut.

Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya Imam Ja'far Ash-Shadiq as, mereka berdua memusatkan perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di hati-hati masyarakat.

Pada zaman Imam Ja'far as, begitu banyak pemikiran dan kepercayaan sesat yang menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras memeranginya.

Dalam rangka itu, beliau mendirikan sebuah universitas Islam besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari 4.000 sarjana di berbagai bidang ilmu agama, Matematika, Kimia, hingga Kedokteran.

Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang Ahlul Kimia yang termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan: "Tuanku Ja'far bin Muhammad Ash-Shadiq as. telah mengatakan kepadaku…".

Imam Ja'far as. sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa, memberikan semangat, dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar keimanan.

Beliau merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai pemikiran sesat.

Pernah suatu hari empat pemikir sesat berkumpul di Makkah. Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar Ka'bah.

Selain itu, mereka berempat sepakat untuk menyanggah Al-Qur'an dengan cara mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas yang masing-masing pemikir mempelajari seperempat dari Al-Qur'an untuk disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan.

Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, "Saya telah menghabiskan waktu saya selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, "Maka tatkala mereka putus asa (terhadap hukuman Nabi Yusuf), mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik…. (Qs. Yusuf:80), sungguh kefasihan ayat ini melumpuhkan pikiranku".

Pemikir kedua menyahut, "Ya, Aku pun memikirkan ayat yang berbunyi, "Hai manusia, telah diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. (Qs. Al-Hajj:73), sungguh Aku tidak sanggup mendatangkan seindah ayat ini".

Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, "Aku sudah memikirkan ayat ini, "Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya hancur….(Qs. Al-Anbiya:22), sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya".

Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan pengakuannya, "Sesungguhnya Al-Qur'an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini, "Dikatakan: 'Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah, dan airpun disurutkan, perintahpun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi (dekat Armenia daerah mesopatomia), dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim". (Qs. Al-Hud:44)

Ketika itu, Imam Ja'far as. lewat di hadapan mereka. Sejenak memandang mereka, beliau membacakan firman Allah, "Seandainya segenap manusia dan jin bersatu untuk membuat padanan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain". (Qs. Al-Isra':88).


Mazhab Ja'fariyyah
Mazhab Ahlul Bait as berkembang pada masa Imam Ja'far as, dan pengikutnya terus berbertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syiah dengan mazhab Ja'fariyahyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja'far Ash-Shadiq as.

Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja'fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as. yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as. tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as. mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di padang karbala pada 10 Muharram).

Rasulullah saw. telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (Ahlul Bait as.). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala.

Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw. Itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlul Bait as. demi keselamatan hidupnya.


Imam Ja'far as. dan Mansur Dawaniqi
Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umayyah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlul Bait Rasul as. demi kepentingan pribadi.

Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan terhadap Bani Umayyah dengan membawa-bawa nama Ahlul Bait.
Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan "Kesetiaan pada Ahlul Bait Muhammad".

Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.

Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir bahkan keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.

Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Mansur Dawaniqi. Dia menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as.

Mansur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja'far as.

Pernah suatu kali Mansur mengundang Imam Ja'far as. dan berkata, "Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang mendatangi kami?"
"Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan", jawab Imam as..

Dengan liciknya, Manshur menawarkan, " kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa menasehatiku?
Imam as. kembali menjawab, "Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasehatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak akan menjadi temanmu".

Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as. di sana.

Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as. serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja'far as. bangkit dan berkata, "Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Mansur) yang lebih pantas menjadi sasarannya".

Lalu Imam as. menoleh ke khalayak dan berkata, "Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya, yaitu orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah gubernur yang fasik ini".

Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina.
Dikisahkan, bahwa pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada seekor lalat bermain-main di hidung Mansur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja'far as. dan berkata, "Untuk apa Allah menciptakan lalat?
"Untuk menghinakan hidung orang sombong". Jawab Imam As.

Mansur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as. di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas beliau. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni beliau.

Imam Ja'far as. Meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi, di Madinah Al-Munawwarah. []


Mutiara Hadis Imam Ja'far as.
1" "Waspadalah terhadap tiga orang; pengkhianat, pelaku zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan berkhianat terhadapmu, dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan berbuat zalim terhadapmu, juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu".

2" "Tiga manusia sebagai sumber kebaikan; manusia yang mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman, dan manusia yang banyak berdzikir kepada Allah".

3" "Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu". Salah seorang bertanya kepada Imam, "Apakah tanda-tanda tawadhu itu?" Beliau menjawab: hendaknya kau senang pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran".

4" Seorang laki-laki seringkali mendatangi Imam Ja'far as, kemudian dia tidak pernah lagi datang. Tatkala Imam as. menanyakan keadaannya, seseorang menjawab dengan nada sinis, "Dia seorang penggali sumur". Imam as membalasnya, "Hakekat seorang lelaki ada pada akal budinya, kehormatannya ada pada agamanya, kemuliannya ada pada ketakwaannya, dan semua manusia sama-sama sebagai bani Adam".

5" "Hati-hatilah terhadap orang yang teraniaya, karena doanya akan terangkat sampai ke langit".

6" "Ulama adalah kepercayaan para rasul. Dan bila kau temukan mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketakwaan mereka".

7" "Tiga perkara yang mengeruhkan kehidupan; penguasa zalim, tetangga yang buruk, dan perempuan pencarut. Dan tiga perkara yang tidak akan damai dunia ini tanpanya, yaitu keamanan, keadilan dan kemakmuran".


Riwayat Singkat Imam Ja'far as.
Nama : Ja'far

Gelar : Ash- Shadiq

Panggilan : Abu Ja'far

Ayah : Muhammad bin Ali Al-Baqir as.

Ibu : Ummu Farwah

Kelahiran : Madinah, 17 Rabiul Awwal 80 H.

Kesyahidan : 25 Dzulhijjah 148 H.

Makam : Pemakaman Baqi, Madinah


Jawablah Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan cermat:
1. Sebutkan peristiwa yang menunjukkan penghargaan Imam Ja'far as. pada amal perbuatan seseorang?

2. Apa arti zuhud itu? Apa hikmah di balik pembicaraan Imam as. dengan salah seorang sufi itu?

3. Apa yang mendorong ibu yang beragama Nasrani itu masuk Islam?

11
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Musa Al-Kadhim as; Pelindung Kaum Tertindas

Hari Lahir
Imam Musa Al-Kazim as. lahir pada hari Ahad, bertepatan dengan 7 Safar tahun 120 H, di sebuah lembah bernama Abwa yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam as. mencapai kedudukan Imamah pada usia 21 tahun.

Abu Bashir menuturkan, "Kami bersama Imam Ja'far melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di sebuah tempat yang dikenal dengan Abwa dan menyantap sarapan pagi di sana, Imam mendapat kabar bahwa Allah swt. telah menganugerahinya seorang putra.

Dengan penuh suka-cita Imam Ja'far segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, "Allah swt. telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik dari- Nya".

Ibundanya bercerita bahwa ketika putranya lahir, ia merebah sujud dan memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah swt. Perbuatan ini merupakan tanda imamah beliau.

Saat tiba di Madinah, Imam Ja'far Ash-Shadiq as. menghidangkan jamuan makan selama tiga hari, mengundang orang-orang miskin dan orang-orang yang tertimpa kesusahan.

Ya'qub Sarraj menuturkan, "Aku mengunjungi Imam Ash-Shadiq as. di Madinah. Aku melihatnya berdiri di dekat ayunan putranya, Musa Al-Kazim as. Aku mengucapkan salam kepada beliau, dan dengan tatapan yang cerah beliau membalas salamku. Beliau berkata, 'Mari mendekat kepada Imam dan sampaikan salam padanya'. Aku mendekatinya dan menyampaikan salam. Imam Ja'far berkata, 'Allah swt. telah menganugerahimu seorang putri dan engkau telah memberinya nama yang kurang pantas untuknya. Pergilah dan gantilah namanya'.

Ibunda Musa Al-Kazim as. adalah seorang kaniz (budak) yang dibeli oleh Imam Ja'far. Meskipun demikian, ibunda telah mendapatkan pengajaran ilmu dari
Imam Ja'far as., yang menjadikannya sebagai wanita yang memiliki keluasan ilmu dan kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sehingga, terkadang Imam
Ja'far meminta para wanita untuk bertanya masalah-masalah agama kepadanya.

Periode kehidupan Imam Musa Al-Kazim as. dapat dibagi menjadi 2 bagian:

1. Kehidupan beliau bersama ayahandanya di Madinah selama 20 tahun. Periode ini berlangsung sebelum beliau mencapai Imamah.

2. Masa-masa awal perlawanan, pemenjaraan dan pengasingan yang menimpa kehidupan Imam as.


Akhlak Imam Musa as.
Meskipun postur tubuh Imam Musa Al-Kazim as. kurus, namun beliau memiliki jiwa yang kuat. Baju dalam beliau terbuat dari bahan kain kasar. Beliau kadang-kadang berjalan kaki di tengah keramaian penduduk, menyampaikan salam pada mereka, mencintai keluarganya dan menghormati mereka.

Imam Musa Al-Kazim adalah orang yang sangat peduli pada kehidupan kaum fakir miskin dan orang-orang yang tertimpa musibah. Pada malam hari, beliau memikul makanan di pundaknya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan secara sembunyi-sembunyi; tanpa diketahui oleh mereka tentang keberadaan beliau. Bahkan setiap bulannya, Imam memberikan santunan kepada beberapa orang di antara mereka.

Salah seorang sahabat Imam bercerita tentang ketabahan dan kesabaran beliau. Ia menuturkan, "Musuh-musuhnya terkadang merasa malu dan berkecil hati atas akhlak luhur yang ditunjukkan oleh Imam".

Pada suatu waktu, seorang warga Madinah melihat Imam Musa. Ia menghadang beliau lalu menyampaikan kata-kata kasar dan makian dihadapan beliau.

Para sahabat Imam berkata, "Izinkan kami untuk menghajarnya, wahai Imam!".

Imam berkata, "Biarkanlah, jangan kalian ganggu dia!".

Beberapa hari kemudian, tidak ada berita tentang orang tersebut. Imam menanyakan ihwal kesehatan orang itu. Penduduk kota menjawab, "Ia pergi bercocok tanam di ladangnya yang terletak di luar kota Madinah". Mendengar kabar tersebut, Imam as. segera menunggang kudanya dan bergerak menuju ke ladang orang tersebut.

Ketika orang itu melihat kedatangan Imam as., ia berteriak dengan lantang dari kejauhan, "Jangan sekali-kali kau menginjakkan kakimu di ladangku. Aku adalah musuhmu dan musuh datuk-datukmu".

Namun, Imam malah mendekatinya, menyampaikan salam dan menanyakan kesehatan serta keadaan hidupnya. Dengan penuh ramah Imam bertanya, "Berapa Dinar yang Anda habiskan untuk biaya ladangmu ini?".

Ia menjawab, "Seratus Dinar".

Imam bertanya lagi, "Berapa banyak keuntungan yang Anda harapkan dari semua ini?".

Orang itu menjawab, "Dua ratus Dinar".

Mendengar jawaban ini, Imam mengambil sekantung uang yang berisi tiga ratus Dinar dan memberikannya pada orang tersebut. Imam berkata, "Ambillah uang ini, dan ladang ini tetap menjadi milikmu".

Orang yang selama ini berlaku kurang ajar dan kasar kepada Imam itu, tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan sesantun itu dari Imam.

Ketika hendak kembali ke Madinah, Imam berpesan, "Lepaskan amarahmu dengan cara seperti ini". Yakni, tetap menunjukkan akhlak yang luhur.

Al-Kazim adalah sebuah gelar yang berarti orang yang mampu mengendalikan amarahnya ketika mendapat gangguan dan membalasnya dengan kebaikan serta penghormatan. Perbuatan mulia ini telah membuat musuh-musuhnya menjadi begitu malu.

Salah satu kebiasaan Imam Musa as. ialah menunjukkan cinta kasih dan kehangatannya kepada kerabat beliau. Beliau berkata, "Apabila terjadi permusuhan di antara kerabat, lalu mereka saling berjabatan tangan ketika mereka berjumpa, maka permusuhan itu akan pergi dan sesama mereka akan saling mencintai satu sama lainnya dan sama-sama menyambut gembira".


Sikap Pemurah Imam
Imam Musa Al-Kazim as. masyhur di antara para penduduk dengan kemurahan dan keramahannya, seperti perbuatan beliau membebaskan seribu budak, atau pun bantuan beliau kepada mereka yang dalam kesulitan dan terhimpit masalah hidup, serta melunasi utang orang-orang yang terlilit.

Ibnu Sharashab menukilkan, "Suatu hari, Khalifah Mansur mengundang Imam Musa ke istananya dan meminta beliau untuk duduk di singgasana khalifah pada hari tahun baru dan membawa pulang hadiah-hadiah yang dihaturkan oleh para tamu. Meskipun Imam tidak begitu tertarik untuk memenuhi undangan itu, namun beliau dengan terpaksa menerimanya.

"Beliau duduk di singgasana itu. Atas perintah Khalifah Mansur, para pengawal kerajaan, keluarga istana dan para pembesar yang ikut dalam acara resmi tersebut, menyerahkan hadiah-hadiah mereka kepada Imam. Mansur memerintahkan salah seorang pelayannya untuk mencatat secara detail jumlah hadiah itu dan menyiapkan perlengkapannya untuk dibawa oleh Imam.

"Di akhir acara itu, seseorang yang sudah berusia lanjut datang dan berkata, 'Wahai putra Rasulullah, aku tidak memiliki sesuatu pun untuk aku haturkan kepadamu, akan tetapi aku memiliki beberapa syair yang berhubungan dengan duka nestapa yang menimpa datukmu Imam Husain as., hanya syair inilah yang dapat aku persembahkan kepadamu'.

"Orang itu kemudian melantunkan syairnya di hadapan Imam dan meninggalkan kesan yang luar biasa dalam diri beliau. Beliau meminta pengawal Mansur untuk pergi menjumpai Mansur dan menanyakan tentang apa yang harus dilakukan dengan hadiah-hadiah tersebut.

"Pengawal tersebut beranjak menjumpai Mansur, dan setelah kembali ia mengatakan, 'Khalifah mengatakan bahwa "Aku serahkan seluruh hadiah ini kepadamu. Kau bisa serahkan kepada siapa saja yang kau kehendaki".

"Pandangan Imam jatuh kepada orang tua tadi. Kepadanya beliau mengatakan, 'Demi syair yang telah Anda lantunkan sehubungan dengan bencana yang menimpa datukku, aku anugerahkan hadiah ini untukmu sehingga dengannya Anda bebas dari kemiskinan dan penderitaan'".


Imam Musa as. Bekerja
Imam Musa Al-Kazim as. bercocok tanam sendiri di ladang yang menjadi kekayaan pribadi beliau. Dari hasil cocok tanam itu, Imam membelanjakannya untuk keperluan hidup sehari-hari. Kadang-kadang, kerja keras di ladang membuat seluruh badan beliau kuyup dengan peluh.

Suatu hari, salah seorang sahabat Imam yang bernama Ali Bathaini -yang memiliki hubungan kerja dengan Imam- mendatangi beliau di ladang. Ketika ia melihat Imam dalam kepayahan, ia pun menjadi sedih dan berkata, "Semoga jiwaku menjadi tebusanmu wahai Imam, mengapa Anda tidak membiarkan orang lain untuk melakukan pekerjaan ini?!".

Imam menjawab, "Mengapa aku harus membebankan pekerjaan ini ke pundak orang lain sementara mereka lebih baik dalam melakukan pekerjaan ini daripada aku".

Aku bertanya, "Siapakah mereka itu?"

Imam berkata, "Rasulullah saw., Amirul mukminin Ali as., ayahandaku dan datukku".

Bekerja dan berpeluh adalah sunah para nabi, sunnah para Imam, dan para hamba Allah yang soleh. Mereka ini senantiasa bekerja dan bersusah payah.
Mereka memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan hasil kerja yang mereka usahakan sendiri.


Cara Dakwah Imam Musa as.
Suatu ketika, Imam melintasi sebuah jalan. Denting suara musik dan dendang lagu terdengar hingga keluar rumah. Pemilik rumah tersebut adalah seorang tuan yang terpandang. Dia telah membangun sebuah tempat untuk bersenang-senang dan membuatnya bergembira ria.

Tiba-tiba seorang budak keluar dari rumah itu untuk membuang sampah di sudut jalan. Secara kebetulan, ia melihat Imam dan berdiri terdiam. Lalu, ia memberikan salam kepada Imam.

Sang Imam bertanya padanya, "Apakah pemilik rumah ini adalah seorang hamba atau seorang merdeka?"
Ia menjawab , "Seorang yang merdeka".

Imam berkata lagi, "Tentu saja dia seorang yang merdeka. Jika dia seorang hamba, tentu dia memiliki rasa takut kepada Allah swt. dan tidak akan mengerjakan perbuatan sia-sia ini".

Budak itu kembali masuk rumah. Tatkala tuannya menanyakan keterlambatannya, ia menceritakan perjumpaan dan perbincangannya dengan Imam di luar tadi.

Orang itu sejenak merenungi perbincangan itu. ia merasakan perkataan Imam di atas begitu menyentuh hatinya. Segera ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan kaki telanjang ia berlari menyusul Imam dari belakang hingga berjumpa dengan beliau. Orang itu memberikan salam kepada Imam dan menyampaikan penyesalannya di hadapan beliau.

Sejak saat itu, ia mengubah pusat hiburan itu menjadi tempat ibadah, dan setiap hari ia berjalan dengan kaki telanjang. Orang ini kemudian dikenal dengan nama "Bushri Hafi", yang berarti Si Bushri yang berjalan dengan kaki telanjang.


Kezuhudan dan Ibadah
Imam Musa Al-Kazim as. sangat terkenal dengan kezuhudan dan ibadahnya sehingga di mana pun orang bercerita tentang beliau. Mereka berkata, "Beliau adalah seorang pecinta ibadah".

Syeikh Mufid menulis tentang Imam as., "Di zaman itu, beliau adalah orang yang paling saleh dan bertakwa. Pada malam harinya, beliau larut dalam shalat. Bilamana melaksanakan sujud, beliau senantiasa memanjangkannya sementara air matanya luruh hingga membasahi janggut beliau".

Syablanji, seorang ulama Ahli Sunnah menulis tentang beliau, "Imam Musa Al-Kazim as. adalah orang yang paling bertaqwa dan zuhud pada zamannya. Beliau sangat arif, bijaksana, pemurah dan pengasih kepada siapa saja. Beliau membantu dan merawat orang-orang malang. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengerjakan ibadah tanpa diketahui oleh orang banyak. Beliau berkata, "Ya Allah, mudahkanlah kematianku dan ampuni dosa-dosaku saat aku dihadapkan pada-Mu di Hari Kiamat".

Imam Musa as. merupakan seorang pecinta Tuhan sejati sehingga membuat orang-orang menjadi takjub dan terheran-heran. Sampai-sampai beliau pernah membuat Fadhl -si kepala penjara- ikut menangis.

Begitu pula pelayan wanita khusus Khalifah Harun, yang diutus ke penjara untuk menggoda Imam as., dan membuat beliau tertarik kepadanya sehingga Harun menemukan alasan untuk menghukum beliau. Di dalam penjara, pelayan wanita itu malah terpukau oleh perangai Imam, sehingga ia kembali menghadap Harun dalam keadaan menangis, dan menyatakan keberatannya atas keputusan Harun memenjarakan Imam as.


Tragedi Fakh
Atas perintah Imam Musa Al-Kazim as., seorang Alawi (keturunan Imam Ali) asal Madinah bernama Husain bin Ali melakukan pemberontakan terhadap Al-Hadi yang menjadi khalifah Dinasti Abbasiyah ketika itu. Beserta dengan tiga ribu pasukan, Husain bangkit melawan pemerintahan Abbasiyah karena kejahatan dan kezaliman mereka terhadap anak keturunan Ali bin Abi Thalib as.

Namun, pasukan Al-Hadi berhasil mengepung mereka di tanah Fakh dan melakukan pembantaian massal di tempat itu, yaitu memenggal kepala mereka, satu persatu. Kepala-kepala yang terpenggal itu dan para tawanan perang dibawa ke hadapan Al-Hadi. Dia memberi perintah kepada algojonya untuk membunuh para tawanan itu.

Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai tragedi Fakh dan pejuang 'Alawi itu dikenal dengan "Husain", Sang Syahid Fakh.


Hijrah Pertama ke Baghdad
Mansur tewas dibunuh pada 158 H. Segera anaknya Al-Mahdi naik tahta sebagai khalifah yang menggantikan ayahnya. Ia memberlakukan siasat-siasat keji atas masyarakat. Ia bertingkah seakan-akan seorang alim yang taat beragama di hadapan khalayak, tetapi di belakang ia justru senantiasa berbuat zalim dan maksiat.

Ketika memegang kekuasaan, Khalifah Al-Mahdi membebaskan para tahanan politik, di antaranya Imam Musa as., dan mengembalikan harta yang dirampas dari tangan mereka. Akan tetapi, ia juga memberikan hadiah yang besar kepada para penyair yang memaki dan melaknat keluarga Ali bin Abi Thalib as. Seperti ketika ia memberikan hadiah tujuh puluh ribu Dirham kepada Busyr bin Burd dan seratus ribu Dirham kepada Marwan karena syair-syair mereka berisikan laknat dan makian terhadap keluarga Imam Ali as.

Ia menghabiskan harta negara untuk berfoya-foya dan bersenang-senang, sebagaimana ketika ia habiskan 59 juta Dirham untuk pesta pernikahan anaknya, Harun.

Suatu ketika, mata-mata Al-Mahdi melaporkan popularitas Imam dan kecondongan masyarakat kepada beliau. Mendengar berita itu, dia benar-benar geram dan segera memerintahkan orang-orang dekatnya untuk membawa Imam as. dari Madinah ke Baghdad dan memenjarakannya di sana.

Abu Khalid berkata, "Suatu hari Imam dikawal oleh pasukan resmi kerajaan tiba di rumahku di Zubala. Dalam waktu yang singkat itu, Imam sempat lepas dari pengawalan pasukan kerajaan itu, dan beliau memintaku untuk membelikan beberapa barang. Aku sangat bersedih dan menangis melihat keadaan Imam seperti itu. Kepadaku Imam mengatakan, 'Jangan risaukan aku, karena aku akan segera kembali, dan nantikan aku hingga hari itu, di tempat itu'.

"Aku persembahkan diriku atas apa yang telah Imam perintahkan kepadaku. Kulihat beliau memimpin karavan tersebut. Dengan gembira Aku maju ke depan dan mencium Imam. Beliau berkata, "Wahai Abu Khalid, mereka akan membawaku kembali ke Baghdad dan aku tidak akan kembali dari perjalanan itu".

"Ketika aku mencari tahu alasan mengapa Imam dibebaskan, aku menjadi tahu bahwa Al-Mahdi melihat Imam Ali bin Abi Thalib as. dalam mimpinya, pada malam yang sama. Dalam mimpinya itu, dia melihat Imam Ali dengan tatapan marah dan memberi peringatan kepadanya. Karena ketakutan, pada pagi harinya dia pun melepaskan Imam dan mengirimnya kembali ke Madinah dengan segenap hormat dan santun".

Meskipun keadaan yang mencekik dan menyiksa di Madinah, Imam Musa as. tetap giat membimbing dan menuntun warga kota. Tidak lama berselang, Al-Mahdi meninggal dunia dan anaknya Al-Hadi naik tahta menggantikannya sebagai khalifah.

Berbeda dengan ayahnya, Al-Hadi memulai permusuhan dan penindasannya terhadap anak keturunan Imam Ali as. tidak lagi sembunyi-sembunyi, tetapi malah terang-terangan. Perbuatannya yang paling jahat ialah pembantaiannya terhadap anak keturunan Ali as. yang kemudian dikenal dengan nama "Tragedi Fakh", dan oleh ahli sejarah dicatat sebagai tragedi terkejam kedua setelah tragedi Karbala.

Al-Hadi adalah orang yang berlumuran dosa, berperangai jahat dan sama sekali tidak layak menduduki kursi kekhalifahan. Ia menghabiskan uang sewenang-wenang, hanya untuk berpoya-poya dan bersenang-senang, dan memberikan hadiah yang melimpah kepada mereka yang membacakan syair dan yang mendendangkan lagu untuknya.

Al-Hadi meninggal pada 170 Hijriah. Lalu Harun menggantikan kedudukannya sebagai khalifah. Ketika itu, Imam telah berusia 42 tahun.

Setelah dibaiat oleh orang-orang setianya, Harun melantik Yahya Barmaki -berkebangsaan Iran- sebagai menterinya dan memberikan wewenang yang penuh kepadanya. Harun sendiri menyibukkan dirinya menguras kekayaan negara "Baitul Mal" yang ketika itu sedang melimpah.

Ia menghabiskan seluruh kekayaan negara itu secara berlebih-lebihan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang. Bahkan untuk pembelanjaan suatu acara makan, dia menghabiskan biaya senilai empat ribu Dirham.


Kecongkakan Harun
Harun sangat terusik dengan perlawanan anak keturunan Ali as. terhadap Dinasti Abasiyah. Ia menggunakan segala cara untuk menjauhkan masyarakat dari keluarga Ali as. Ia pun memberikan uang yang melimpah kepada para pujangga yang mendendangkan syair-syair berisikan makian, hujatan, cemoohan terhadap mereka. Oleh karena itu, Harun memberikan izin kepada salah seorang pujangga -yang bait-bait syairnya menghujat keluarga Ali- masuk ke dalam gudang kekayaannya untuk memilih dan mengambil barang sesuka hatinya.

Harun mengasingkan anak keturunan Ali as. dari Baghdad ke Madinah, dan membunuh banyak di antara mereka.

Hamid bin Fathaba, gubernur Khalifah Harun di Khurasan, menukilkan kepada Abdullah Bazzaz Neishaburi, "Harun memiliki satu taman di Neishabur yang dikunjunginya setiap tahun. Pada suatu waktu, ia memanggilku di tengah malam dan berkata, "Tunjukkan seberapa tinggi imanmu kepadaku?"

Aku berkata, "Aku korbankan hidup dan hartaku untukmu.

Ia berkata, "Apa lagi?"

Kujawab, "Kehormatanku, istriku dan anakku, semua itu untukmu".

Ia bertanya lagi, "Lalu apa lagi?"

Kukatakan, "Agamaku".

Harun menegakkan kepalanya dan berkata sambil tertawa, "Anda telah mengatakan apa yang aku nantikan. Mendekatlah, ambil pedang ini dan laksanakan perintah yang disampaikan budakku kepadamu!".

"Budak Harun itu menuntunku ke sebuah rumah yang menyekap enam puluh orang. Mereka adalah anak-anak muda dan orang-orang tua keluarga Ali as.

Kemudian ia menyeret mereka satu persatu dan memerintahkan aku untuk membunuh mereka. Aku dengan setia mematuhi perintah Harun tersebut. Setelah aku mengeksekusi mereka, aku buang mayat-mayat itu ke dalam sebuah sumur yang penuh dengan lumpur di sebuah kampung.

"Duhai sahabatku! Setiapkali aku mengingat tragedi memilukan ini, tubuhku bergetar, bulu romaku merinding. Dengan segala kekejian dan kejahatannya, Harun masih memerintahkan aku untuk menggali kuburan Imam Husain as. dan menghancurkan pusaranya dengan maksud agar orang-orang tidak dapat menziarahinya lagi".


Ikrar Imam Musa as.
Sudah jelas mengapa Imam Musa Kazim as. begitu tegasnya menolak untuk bekerja sama dengan pemerintahan zalim dan biadab seperti Dinasti Abasiyah. Beliau tidak dapat berdiam diri di hadapan kezaliman mereka. Oleh karena itu, beliau bangkit memberontak melawan pemerintahan Harun.

Di mana saja tempat yang dianggap perlu, Imam as. menyingkapkan kekejaman dan kebejatan perangai Harun kepada masyarakat. Hal ini tentu saja membuat Harun menjadi malu dan tercoreng namanya di hadapan mereka.

Selain itu, Imam Musa as. memerintahkan beberapa sahabatnya untuk menolak segala bentuk kerja sama dan bantuan dari pemerintahan Harun. Misalnya kepada Sofwan, sahabat setia Imam. Kepadanya beliau berkata, "Engkau adalah orang yang berbudi baik dalam segala hal kecuali satu, bahwa engkau telah menyewakan untamu kepada Harun".

Sofwan menjawab, "Aku menyewakan untaku kepadanya hanya pada musim haji saja, dan aku pun tidak menyertai perjalanannya".
Imam berkata, "Duhai Sofwan, tidakkah kau akan gembira sampai untamu kembali, dan Harun tetap hidup sehingga kau menerima uang sewa darinya".
Ia menjawab, "Ya, betul".

Imam berkata lagi, "Barang siapa yang suka bila seorang dzalim tetap hidup, maka ia pun termasuk bagian darinya".

Walaupun Sofwan telah menandatangani perjanjian sewa-menyewa dengan Harun yang mensyaratkan supaya Sofwan menyediakan perlengkapan perjalanan haji kepada Khalifah, namun selekas mendengar ucapan Imam Musa as. itu, ia pun menjual seluruh unta yang dimilikinya. Harun kemudian memanggil dan mendesaknya untuk mengatakan alasan apa sehingga menjual seluruh unta itu tanpa sedikit pun memberi kabar kepadanya.

Akhirnya, Harun mengerti apa yang telah terjadi dan berkata kepada Sofwan, "Sekiranya aku tidak mengingat hubungan persahabatan yang dulu terjalin di antara kita, maka detik ini juga aku perintahkan algojoku untuk memenggal kepalamu. Aku tahu siapa yang memberikan perintah ini kepadamu. Musa bin Ja'far yang telah memerintahkan ini padamu".

Walaupun Imam as. tidak membolehkan seorang pun untuk berkerja sama dengan Harun, akan tetapi beliau memerintahkan seseorang yang pandai tentang seluk beluk pemerintahan, untuk menyusup dan membangun pengaruh di dalam pemerintahan Harun Ar-Rasyid, dan membantu sahabat-sahabat Imam yang kesusahan, serta melaporkan informasi, rencana atau keputusan yang telah diambil oleh pemerintah.

Dalam rangka ini, beliau memberikan izin kepada Ali bin Yaqthin untuk mengemban tugas ini dan berhasil menjabat sebagai salah satu menteri Harun Al-Rasyid. Dengan tugas ini, Ali dapat membantu sahabat-sahabatnya dan pengikut-pengikut Imam as.

Suatu hari, Imam menulis surat yang isinya meminta Ali bin Yaqtin, "Bahwasanya bila tidak ada orang yang melihatmu, kau dapat mengambil wudhu sesuai dengan ajaran Imam, namun bila ada yang menemanimu, maka berwudhulah dengan cara mereka. Terima hadiah-hadiah yang diberikan padamu -sebagai salah satu cara Harun menguji kesetiaan orang-orangnya- dan jangan engkau tolak".


Dialog Harun dan Imam Musa as.
Harun senantiasa berusaha bertanya tentang sesuatu yang membuat Imam tidak berkutik menjawabnya. Sehingga dengan siasat ini, dia dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat.

Pada suatu kesempatan, Harun berkata kepada Imam as., "Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan jawabannya".

Imam: "Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu".

Harun: "Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul di atasku padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?!".

Imam: "Kami lebih dekat kepada Nabi saw. dari pada Anda. Sebab, ayah kami Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw. adalah dua bersaudara dari ibu dan ayah yang sama. Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah saja".

Harun: "Sewaktu Nabi wafat, ayahmu Abu Thalib telah lebih dahulu wafat, tapi ayah kami Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan".

Imam: "Selama seorang anak masih hidup, paman tidak dapat menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak ada hak untuk menerima warisan".

Harun melontarkan pertanyaan lain, "Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Anda ini putra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut pada garis ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu".

Imam: "Jika sekiranya Rasulullah hidup dan meminang putrimu, apakah Anda bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu padanya".

Harun: "Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan".

Imam: "Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku untuk lalu beliau nikahi".

Harun: "Mengapa demikian?"

Imam: "Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra Rasulullah".

Harun duduk diam seribu bahasa setelah mendengarkan jawaban Imam yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk memintanya sesuka hati beliau. Imam berkata, "Aku tidak ingin apa pun darimu, biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku".


Pengkhianatan Seorang Kerabat
Kemenakan Imam yang bernama Ali bin Isma'il diundang oleh sahabat Harun untuk menemaninya ke Baghdad guna memberi kabar kepada Harun perihal keadaan Musa bin Ja'far. Ketika Imam diberi tahu tentang undangan itu, beliau memanggil kemenakannya itu dan berkata, "Ke manakah kau hendak pergi?"

Ali bin Isma'il menjawab, "Ke Baghdad".

Imam berkata, "Untuk keperluan apa kau ke sana?".

Ia menjawab, "Aku terlilit hutang, barangkali dengan kepergian ini aku mendapatkan uang untuk membayar hutangku itu".

Imam berkata lagi, "Aku yang akan membayar seluruh utangmu itu dan mencukupi keperluan hidupmu beserta keluargamu".

Tetapi Isma'il menolak tawaran Imam tersebut dan bersikeras untuk tetap pergi. Kepada Imam ia berkata, "Aku tetap akan pergi dan aku meminta nasihat darimu".

Imam berkata padanya, "Aku wasiatkan kepadamu dan ini adalah perintahku, bahwa engkau jangan turut serta dan mengambil andil dalam penumpahan darahku, karena akibatnya buruk untukmu kelak".

Isma'il bertanya, "Apa maksud perkataan Anda ini?" Ia mendesak Imam untuk memberinya nasihat. Imam kembali mengulangi perkataannya kepada Isma'il. Ia tidak tahu bahwa Imam mengetahui apa yang akan terjadi.

Isma'il beranjak pergi meninggalkan Imam. beliau memberikan tiga ratus Dinar padanya dan berkata, "Ini untuk anak-anakmu". Isma'il mengambil uang tersebut dan pergi.

Setelah kepergian Isma'il, Imam menyampaikan pesan kepada orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu. Beliau berkata, "Demi Allah, kemenakanku ini akan turut andil dalam pembunuhanku dan menjadikan anak-anakku yatim".

Para hadirin bertanya-tanya, "Wahai putra Rasulullah, jika Anda mengetahui dia akan berlaku khianat padamu, lalu mengapa Anda masih saja membantunya?!".

Beliau menjawab, "Datukku Rasulullah bersabda, 'Jika seseorang berbuat baik dan mencintai kerabatnya dan si kerabat itu membalasnya dengan perbuatan jahat, maka Allah akan mengazabnya dan ia tidak akan pernah sampai pada apa yang ditujunya".

Isma'il tiba di Baghdad dan berkunjung ke kediaman Yahya Barmaki. Setelah itu, bersama Yahya pergi menjumpai Harun. Ia menyampaikan laporannya kepada Harun. Katanya, "Wahai Harun! Musa bin Ja'far telah memerintah Madinah dan ia memiliki uang yang melimpah yang dikirim oleh orang-orangnya dari berbagai tempat. Ia telah mengambil keputusan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahanmu".

Harun senang mendapatkan laporan dari Isma'il itu dan memberi uang sebanyak dua ratus Dirham kepadanya. Isma'il dengan senang hati menerima uang tersebut lalu segera pulang ke rumahnya di Madinah.

Namun, tiba-tiba rasa sakit menyerang tenggorokannya dan mati seketika di tempat itu pula. Harun memutuskan untuk datang ke Madinah guna menangkap Imam dan menjebloskannya ke dalam penjara.

Pada tahun yang sama, Harun menulis surat kepada seluruh orang-orangnya untuk menyebar di Makkah dan Madinah. Sepulangnya dari Madinah, ia memerintahkan gubernur Madinah untuk menangkap Imam dan mengirimnya ke Basrah. Imam as. dipenjarakan selama satu tahun di sana. ketika itu kota
Basrah berada di bawah pemerintahan Gubernur Yahya Barmaki.

Selama di penjara, akhlak, budi luhur dan perilaku Imam meninggalkan kesan yang dalam pada diri Yahya. Kesan itu memaksanya untuk menulis surat kepada Harun, "Wahai Harun, aku tidak melihat sesuatu apa pun pada diri Musa bin Ja'far selama dalam penjara kecuali kebaikan dan ketakwaan. Aku tidak tahan lagi memenjarakannya. Terimalah ia agar kembali atau aku akan bebaskan dia pergi".

Maka, Harun memutuskan untuk memindahkan Imam dari Madinah ke Baghdad. Atas perintahnya, beliau dipindahkan ke penjara Baghdad di bawah pengawasan Fadhl. Seperti pengalaman Yahya, Fadhl pun terpesona oleh kepribadian luhur Imam Musa as. dan meminta Harun agar ia sendiri yang mengawasi beliau.

Akhirnya, Imam dipindahkan lagi ke penjara Sindi bin Syahik, seorang yang bengis dan kejam.
Imam melewatkan hari-harinya di penjara itu dengan shalat, puasa, ibadah dan doa. Semua itu menambah kedekatan diri beliau kepada Allah swt.


Perlawanan di dalam Penjara
Harun terus berupaya bagaimana caranya membunuh Imam Musa. Suatu hari, dia mengutus Yahya bin Khalik ke penjara. Tugas yang diemban Yahya adalah meminta Imam untuk tidak menentang Khalifah dan menawarkan pengampunan serta pembebasan kepada beliau. Namun, Imam menolak semua tawaran itu.

Imam as. menulis sepucuk surat kepada Harun yang berbunyi, "Setiap hari kulalui dengan kesusahan, sementara kau lalui hari-harimu dengan kesenangan.

Lalu, kita akan sama-sama mati. Hingga di suatu hari yang tiada akhirnya, kelak kita diberdirikan di hadapan Mahkamah Ilahi, ketika orang-orang licik hanya akan menjadi pecundang dan terhinakan".


Hari Kesyahidan
Alasan Harun mengapa dia harus memindahkan Imam Musa as. dari satu penjara ke penjara lain, tidak ada lain adalah karena permintaannya kepada setiap kepala penjara untuk membunuh Imam, namun mereka tidak bersedia untuk memenuhi permintaan tersebut. Hingga akhirnya Sindi yang berhati keras itu bersedia untuk meracun Imam as. maka, di dalam penjara Sindi-lah beliau meninggal akibat racun yang dibubuhkan ke dalam makanan beliau, tepatnya pada 183 H.

Harun dengan menggunakan saksi-saksi palsu dan orang-orang bayaran mencoba menunjukkan kepada khalayak, bahwa kematian Imam Musa adalah sebuah kematian yang wajar dan alamiah. Siasat licik dan keji ini digunakan untuk menghindari pemberontakan sahabat-sahabat dan orang-orang setia Imam. Namun, segala kelicikan dan siasat Harun sia-sia belaka. Seorang lelaki bernama Sulaiman malah memimpin pemberontakan di Baghdad.

Setelah dikeluarkan dari penjara, mayat suci Imam Musa Al-Kazim as. digeletakkan di atas jembatan begitu saja; dalam keadaan sunyi senyap dan jauh dari keluarga serta umatnya. Ketika itu, hanya seorang tabib yang kebetulan melewati jembatan dan menemukan mayat suci itu. setelah memeriksanya ia mengatakan, "Sesungguhnya Imam telah diracun hingga meninggal oleh seorang pembunuh".

Kesyahidan Imam as. itu membuat kekalutan dan berita besar di kota Baghdad. Sementara bagi pengikut-pengikut Ahlul Bait, kesyahidan beliau merupakan kesedihan dan kegetiran di hati-hati mereka.

Imam Musa Al-Kazim as. dikebumikan di pemakaman orang-orang Quraisy di kota Kazimain.


Sahabat-sahabat Imam Musa as.
Ketika ayahnya yang mulia, Imam Ja'far Ash-Shadiq as. wafat, murid-murid beliau memusatkan perhatian dan kesetiaan mereka kepada putranya Imam Musa as. Mereka menuntut ilmu kepada Imam as. selama tiga puluh tiga tahun. Beberapa murid beliau antara lain:


1. Ibnu Abi Umair
Ia belajar pada tiga Imam; Imam Musa Al-Kazim as., Imam Ali Ar-Ridha as. dan Imam Muhammad Al-Jawad as. Ibnu Abi Umair merupakan salah seorang ulama terkenal pada zamannya. Ia meninggalkan banyak kitab-kitab hadis sebagai tanda jasanya.

Beberapa orang memberi kabar kepada penguasa Abasiyah, bahwa Ibnu Abi Umair adalah orang Syi'ah (pengikut Ahlul Bait). Ia ditangkap dan diinterogasi untuk menyebutkan nama-nama orang Syi'ah yang ia kenali. Namun, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk memenuhi paksaan mereka. Ia ditelanjangi dan diikat pada pohon kurma. Mereka mengganjar seratus cambukan kepada murid setia para Imam ini.

Syaikh Mufid menuturkan, bahwa sahabat utama Imam ini dipenjarakan selama tujuh puluh tahun. Seluruh harta bendanya dimusnahkan. Walaupun didera dengan cobaan yang berat, ia tetap mengunci mulutnya dan tidak berkata sepatah kata pun untuk memberikan informasi kepada penguasa Abasiyah yang zalim.


2. Ali bin Yaqthin
Ia juga adalah salah seorang sahabat Imam Ja'far as. Marwan memata-matainya dan memerintahkan penangkapannya. Akan tetapi, Ali berhasil meloloskan diri dari kejaran Marwan. Ia mengirim istri dan anak-anaknya ke Madinah. Ia kembali ke Kufah menyusul keruntuhan Dinasti Bani Umayyah di tangan Bani Abbasiyah.

Ali menjalin hubungan yang dekat dengan orang-orang Abbasiyah dan berhasil menjabat kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan mereka. Melalui kedudukannya ini, ia banyak membantu pengikut-pengikut Ahlul Bait orang-orang tertindas.

Harun Ar-Rasyid mengangkat Ali sebagai menterinya. Sebenarnya ia merupakan seorang utusan Imam Musa as. yang menyusup ke dalam pemerintahan
Harun. Beberapa kali ia bermaksud mengundurkan diri, namun ia ditahan oleh Imam untuk tetap menjabat kementerian demi melindungi ajaran dan pengikut Ahlul Bait as.

Ali bin Yaqthin wafat ketika Imam Musa as. masih di dalam penjara.


3. Mu'min Ath-Thaq
Ia adalah seorang sahabat Imam Ja'far Ash-Shadiq as. dan Imam Musa Al-Kazim as. Imam Ja'far mendudukkannya sebagai salah seorang sahabat utama beliau dan memberikan penghormatan khusus kepadanya.

Mu'min amat tangkas dalam diskusi dengan siapa saja. Mengenai hal ini Imam Ja'far as. mengatakan, "Mu'min ibarat seekor elang yang menerkam mangsanya".


4. Hisyam bin Hakam
Ia adalah seorang yang pakar di bidang ilmu Logika. Acapkali terdapat sebuah masalah pelik, Imam Ja'far as. selalu mengutusnya memecahkan masalah itu. Ia sangat menguasai pembahasan Imamah. Ia merupakan murid jenius Imam dan tangkas dalam memberikan jawaban. Ia juga seorang pakar dalam masalah-masalah Ketuhanan.

Hisyam banyak menulis kitab dan terlibat dalam diskusi-diskusi dengan ulama dari berbagai mazhab dan golongan.[]


Mutiara Hadis Imam Musa Al-Kazim as.
1" "Katakan yang hak, walaupun akan mendatangkan kerugian kepadau".

2" "Jika engkau menjadi seorang pemimpin yang bertakwa, maka seharusnya engkau bersyukur kepada Allah atas anugerah ini".

3" "Bersikap tegaslah dan keras terhadap orang-orang zalim sehingga engkau dapat merebut haq orang-orang mazlum (yang teraniaya) darinya".

4" "Kebaikan yang utama adalah menolong orang-orang yang tertindas".

5" "Dunia ini berkulit halus dan cantik, ibarat seekor ular namun menyimpan racun pembunuh di dalamnya".


Riwayat Singkat Imam Musa as.
Nama : Musa

Gelar : Al-Kazim

Panggilan : Abul Hasan

Ayah : Imam Ja'far as.

Ibu : Hamidah

Kelahiran : Abwa, 7 Safar 120 H

Masa Imamah : 35 Tahun

Usia : 54 Tahun

Kesyahidan :Tahun 182 H

Makam : Kazimain, Irak


Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cermat:
1. Bagaimana perlakuan Imam Musa as. terhadap setiap musuh-musuhnya?

2. Bagaimana metode dakwah Imam as.?

3. Atas perintah khalifah siapa Imam dibawa ke Baghdad untuk yang pertama kalinya?

4. Mengapa Harun berlaku jahat terhadap keluarga Imam Ali as.?

5. Apa yang ditulis oleh Imam Musa as. untuk Harun semasa beliau di dalam penjara?

12
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Ali Ar-Rida as; Teladan Pejuang Yang Sabar

Hari Lahir
Imam Ali Ar-Ridha as. lahir pada 11 Dzul-Qo'dah 148 H di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kazim as., dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Imam as. menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah.

Imam Musa as. berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha.

Ali bin Yaqthin berkata, "Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim, penj.), tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as. lalu beliau (Imam Musa) berkata, "Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku".

Hisyam menambahkan, "Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku".

Demikian pula salah seorang sahabatnya pernah bertanya tentang Imam sepeninggalnya, Imam Musa as. memberi isyarat kepada anaknya Ali Ar-Ridha sambil berkata, "Dialah Imam (pemimpin) setelahku".

Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as. berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha as.


Budi Pekerti Yang Agung
Para Imam Ahlul Bait as. adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah swt. untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia.

Ibrahim bin Abbas mengatakan, "Aku tidak pernah mendengar Abal Hasan Ar-Ridha as. mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya.

"Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya".

Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, "Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?".

"Sesungguhnya Allah swt. satu, manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu, mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan", demikian jawab Imam as.

Salah seorang dari mereka berkata, "Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abal Hasan (panggilan Imam Ar-Ridha)!".

Imam menjawab, "Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!".

Salah seorang bersumpah dan berkata, "Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia".

Imam menjawabnya, "Janganlah engkau bersumpah seperti itu, sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah,
Dzat yang menorehkan ayat ini, "Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa".

Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as. berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba masuk seorang warga Khurasan dan berkata, "Salam atasmu wahai putra Rasulullah, aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu, aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku, tak satupun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak".

Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as. berkata kepadanya, "Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!".

Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, "Mana orang Khurasan itu?".

Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, "Ini dua ratus Dinar, pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami".

Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.

Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, "Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu wahai putra Rasulullah?"
Imam berkata, "Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi akan memenuhi 70 kali haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni'".


Jangan Merasa Bangga!
Ahmad Bizanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali surat menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan beliau sebagai imam.

Bizanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini:

"Imam Ar-Ridha as. memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu 'Isya, kami melaksanakan shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam.

Aku menjawab, "Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian".

Beliau berkata kepadaku, "Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah".

Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, "Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang lain, aku telah tertipu oleh setan".

Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku beliau menuturkan, "Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as. menengok Sa'sa'ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, "Wahai Sa'sa'ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu".

Seakan-akan Imam membaca apa yang terlindas dalam pikiran Bizanthi. Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib as. bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.


Nasihat untuk Saudara
Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Basrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api.

Khalifah Ma'mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.

Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as. diangkat oleh Ma'mun sebagai pengganti khalifah, Ma'mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as. sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.

Kepada saudaranya Imam as. berkata, "Duhai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok?! Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as. telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka?!
Celakalah kau Zaid! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw. dari perkataan itu bukanlah aku, bukan pula kau, akan tetapi Hasan dan Husain.

"Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali ketaatan kepada Allah swt. Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah?! Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu Musa bin Ja'far as.!".
Zaid berkata,"Bukankah aku saudaramu?!".

Imam menjawab, "Ya, kau saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as. memohon, 'Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih'.

"Dan bagaimana Allah membalasnya, 'Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh'.

"Demi Allah wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya".


Di Majelis Ma'mun
Ma'mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh madzhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha as. Ma'mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan soal-soal mereka.

Imam as. bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermanaHassan Naufal, "Apakah engkau tahu mengapa Ma'mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh madzhab itu?".

Naufal menjawab, "Dia ingin sekali mengujimu".

Imam berkata, "Senangkah engkau melihat saat-saat Ma'mun menyesali perbuatannya?".

"Tentu", jawab Naufal.

Imam berkata, "Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah".

Imam Ali Ar-Ridha as. menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai.

Jatsliq berkata, "Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur'an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya".

Imam Ar-Ridha as. berkata, "Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?".

"Tentu, saya akan menerimanya", begitu tegas Jatsliq.

Lalu Imam Ali Ar-Ridha as. membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as. mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.

Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, "Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu".

Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.

Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya.

Ketika masuk waktu zuhur, Imam as. bangkit untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.


Perjalanan ke Moro
Tak seorangpun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma'mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as. menjadi penggantinya kelak.

Ketika Imam as. tinggal di Madinah Al- Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Moro.

Imam as. menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Basrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qum yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu, Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya "Madrasah Ar-Ridhawiyyah".


Di Naisyabur
Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.

Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as. dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.

Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw., sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, "Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu".

Imam as. berkata, "Aku mendengar ayahku Musa bin Ja'far mengatakan, "Aku mendengar Ayahku Ja'far bin Muhammad mengatakan, "Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali mengatakan, "Aku mendengar ayahku Ali bin Husain mengatakan, "Aku mendengar ayahku Husain bin 'Ali mengatakan, "Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Aku mendengar Jibril berkata, "Aku mendengar Allah berfirman, "Kalimat La Ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) adalah bentengku, barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku".

Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.

Imam Ali Ar-Ridha as. meninggalkan Neisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan masuk waktu zuhur, Imam as. meminta air untuk berwudhu, akan tetapi para pengikutnya sulit mendapatkan air.

Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.

Imam Ar-Ridha as. dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.

Imam as. masuk ke rumah Hamid bin Qahthaba Thaie dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, "Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan, Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafa'at kami Ahlul Bait".

Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih 500 kali.


Di Moro
Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as. di Moro. Ma'mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan.

Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya.

Imam Ali Ar-Ridha as. tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma'mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta?!

Ma'mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dia menetapkan kewajiban mentaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.

Di hadapan permintaan Ma'mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman, akhirnya Imam Ridha as. menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa Ma'mun tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.

Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma'mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as.).

Lebih dari itu, Ma'mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha as. dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.


Shalat Ied
Imam Ali Ar-Ridha as. dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma'mun memerintahkan Imam Ar-Ridha as. untuk menjadi imam Shalat Ied.

Imam merasa keberatan. Tetapi Ma'mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.

Imam as. menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan Shalat Ied sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Ma'mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.

Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as. keluar.

Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.

Imam Ali Ar-Ridha as. mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.

Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as. mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam dan bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka.
Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as. dengan kaki telanjang.

Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.

Berkali-kali masyarakat menghadiri Shalat Ied yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir. Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw. dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as.

Mata-mata yang mengintai pergerakan Imam dan masyarakat, segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma'mun. Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan Shalat Ied dan menyampaikan khutbah.

Ma'mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as. yang masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, "Sungguh kami telah membuatmu kepayahan wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!".

Imam as. kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.


Tujuan Ma'mun
Tak seorangpun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma'mun dalam politik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha as. sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma'mun, di di antaranya:

1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as. sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.

2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.

3. Ma'mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.

Tentunya, Imam as. mengetahui seluruh tipu-daya Ma'mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, Shalat Ied, dan syarat beliau atas Ma'mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.


Da'bal Al-Khuza'i
Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.

Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Da'bal Al-Khuza'i.

Sejarah mencatat pertemuan Da'bal dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shlat Al-Harawi meriwayatkan, "Da'bal menjumpai Imam Ar-Ridha as. di Moro dan berkata, 'Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya'.

Imam as. menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Da'bal ialah:

Kediaman-kediaman manusia suci
kini telah sunyi dari pengunjung
Rumah wahyu tidak lagi
dituruni kabar-kabar langit

Pusara di Kufah dan
yang lainnya di Thaibah (Baqi'),
Pula yang di Fakh (Karbala)
senantiasa tercurah salawatku

Dan pusara di Baghdad,
milik jiwa yang suci
Tercurahkan rahmat Sang Pengasih
dalam ruang-ruang kedamaian.

Imam lalu menyambutnya,
Pusara di Thusi betapa besar
Dera nestapa yang menimpanya

Da'bal dengan penuh keheranan bertanya, "Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?".

"Itulah kuburku wahai Da'bal!," jawab Imam as.

Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlul Bait. Imam as. menangis, air matanya berderai menghangatkan pipinya.

Imam memberikan 100 dinar sebagai hadiah kepada Da'bal. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 dinar.

Da'bal memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok.Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:

Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.
Di tangan mereka harta rampasan dari emas

Mendengar bait itu, Da'bal bertanya kepada perampok tersebut, "Siapa yang membuat puisi tadi?"

"Ini puisi Da'bal", jawabnya.

"Akulah Da'bal", kata Da'bal memperkenalkan diri.

Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.

Da'bal dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qum. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Da'bal menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qum menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk tabarruk dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Da'bal pun merelakannya.

Ketika sampai di rumahnya, Da'bal mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, dari satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, "Sudah tidak ada gunanya kamu berobat, karena istrimu akan menderita kebutaan".

Da'bal merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam, kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Da'bal terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikitpun berkat karamah Imam Ali Ar-Ridha as.


Hari Kesyahidan
Setelah Ma'mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as. dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma'mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.

Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma'mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.

Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma'mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di sekitar anggur.

Imam as. meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.

Imam Ali Ar-Ridha as. syahid pada tahun 203 H dan dimakamkan di kota Thusi (Masyhad-Iran).

Sementara itu, Ma'mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as. dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis. []


Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha as.
1" "Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah swt."

2" "Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi".

3" "Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri".

4" "Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya".

5" "Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya".


Riwayat Singkat Imam Ali Ar-Ridha as.
Nama : Ali

Gelar : Ridha

Panggilan : Abu Hasan

Ayah : Musa Al-Kazim as.

Ibu : Najmah

Kelahiran : Madinah, 11 Dzul Qo'dah 148 H

Wafat : 203 H

Makam : Thus, Masyhad-Iran


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cermat:
1. Mengapa Imam Ali Ridha as. memberi uang dari balik pintu?

2. Mengapa Khalifah Ma'mun memaksa Imam as. untuk menerima pengangkatannya sebagai pengganti khalifah?

3. Mengapa Hadis "Lailaha Illallah adalah bentengku, maka barang siapa masuk bentengku niscaya ia terbebas dari azabku", disebut sebagai Untaian Emas?

13
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Muh. Al-Jawad as; Samudera Ilmu dan Takwa

Hari Lahir
Pada hari kesepuluh bulan Rajab tahun 195 H, Imam Muhammad Al-Jawad as. dilahirkan. Ayah beliau adalah Imam Ali Ar-Ridha as. Dan ibu beliau bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah, istri Rasulullah saw.

Imam Muhammad as. memiliki banyak gelar. Gelar yang paling masyhur adalah At-Taqi dan Al-Jawad.

Saudari Imam Ridha as., Hakimah mengisahkan, "Pada malam kelahiran Imam Al-Jawad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi istrinya. Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata, "Wahai ukhti, Jangan engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi".

Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlul Bait as. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.

Nauf Ali menceritakan, "Ketika Imam Ali Ar-Ridha as. melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, 'Apakah Anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?'. Beliau berkata, 'Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi".

Imam Ridha as. berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, "Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku, ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi Imam setelahku".

Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat, beliau mengatakan, "Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja'far (Imam Jawad). Usia seseorang tidak terlibat dalam urusan Nubuwwah dan Imamah".

Imam kesembilan umat ini, Muhammad Al-Jawad as. menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau berkata, "Ali bin Ja'far, paman Imam Jawad di Madinah, adalah seorang yang memiliki pengaruh yang besar. Warga kota di sana menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi.

Suatu hari, Imam Muhammad Al-Jawad as. memasuki masjid tersebut. Ali bin Ja'far yang sudah tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam as. lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata, "Paman, duduklah!" Sang paman berkata padanya, "Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi kau masih berdiri?"

Ketika Ali bin Ja'far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata, "Anda adalah orang tua dan paman anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya?"

Ali Ja'far menjawab, "Diamlah, kedudukan Imamah (kepemimpinan Ilahi) merupakan sebuah kedudukan yang telah digariskan oleh Allah. Allah tidak memandang orang tua ini (Abu Ja'far, penj.) akan mampu mengemban Imamah atas umat. Namun, Dia Mahatahu bahwa anak ini layak dengan kedudukan itu. Maka itu, kalian harus mentaati perintahnya".


Akhlak Imam Al-Jawad as.
Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Al-Jawad as. masih belia. Namun begitu, beliau sungguh memiliki kepribadian yang matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk menumpahkan rasa hormat di hadapannya.

Selang beberapa hari setelah wafatnya Imam Ali Ar-Ridha, Khalifah Ma'mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu. Melihat Ma'mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh, hanya seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.

Ma'mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia bertanya terheran-heran, "Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti anak-anak itu?"

Anak itu menjawab, "Jalan ini tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun sehingga aku harus takut padamu. Aku pikir Anda tidak akan mengganggu seseorang. Dan Anda tidak akan mengejar orang yang tak bersalah. Maka itu, aku tidak lari darimu".

Ma'mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, "Siapakah namamu?"

"Muhammad bin Ali Ar-Ridha", jawab anak itu.

Ma'mun segera mengungkapkan duka citanya atas wafatnya ayah anak itu. Setelah itu, ia melanjutkan pemburuan bersama para pengawalnya.


Surat Sang Ayah
Imam Ali Ar-Ridha as. senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya. Bizanti berkata, "Suatu hari, Imam Ridha as. menulis surat kepada putranya, Muhammad Al-Jawad, di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:

"Wahai putraku! Aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak memperkenankan orang orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.

"Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini, aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi, bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu.

"Pikirkanlah orang orang yang mendapat kesulitan hidup, bantulah mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan".


Keluasan Ilmu Imam Al-Jawad as.
Setelah berhasil meracun Imam Ali Ar-Ridha as., Ma'mun berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian beliau adalah sebuah kejadian yang wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang 'Alawiyun (keturunan Imam Ali as.) dan kaum Syi'ah.

Mereka mengetahui bahwa Ma'mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha. Oleh karena itu, beragam protes, kecaman, kerusuhan dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma'mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia membawa putra Imam Ar-Ridha itu, Imam Muhammad Al-Jawad as. dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul Fadhl.

Orang-orang Abbasiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma'mun itu, namun Ma'mun tetap bersikeras pada keputusannya. Mereka mendebatnya, "Dia (Imam Al-Jawad as.) itu masih kecil, belum mengerti agama, bersabarlah supaya belajar agama terlebih dahulu".

Ma'mun tangkas menjawab, "Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya jika kalian mau".

Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung, dan memintanya agar menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Muhammad Al-Jawad as. di hadapan majelis resmi Ma'mun. Yahya mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma'mun dan menyampaikan kesediaan Yahya. Ma'mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan dan para pejabat pemerintahan.

Kemudian, datanglah Imam Muhammad Al-Jawad as. ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan beliau. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma'mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Ma'mun berkata kepada Imam as., "Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. "

"Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan", jawab Imam as.

Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, "Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka'bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?"

Imam Al-Jawad as. bersabda, "Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih begitu global. Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak?

Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?


Pernikahan
Yahya kebingungan sekaligus kagum tatkala Imam as. mengurai masalah itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbesit tanda kekalahan dan kegagalan.
Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan kekaguman kepada Imam Al-Jawad as. setelah menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmu beliau.

Akhirnya, Ma'mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan Imam Al-Jawad di majelis itu juga. Imam as. bangkit lalu menyampaikan khutbah nikah. Mas kawin yang beliau berikan senilai mas kawin Siti Fatimah Az-Zahra as. dan pesta pernikahan pun berlangsung sebegitu meriahnya.


Maksud di Balik Pernikahan
Sesungguhnya Ma'mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Al-Jawad as. Di antaranya:

1. Menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali Ar-Ridha as. dan merebut kembali hati masyarakat.

2. Agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam Al-Jawad as. sedekat mungkin.

3. Membujuk Imam as. agar menetap di kota Baghdad yang kehidupannya dipenuhi oleh kemewahan dan kesenangan duniawi.


Kembali ke Madinah
Imam Muhammad Al-Jawad as. telah mengambil keputusan bulat untuk segera kembali ke Madinah. Maksud tersebut beliau lakukan dengan cara berangkat ke Makkah dan menunaikan Haji di sana.

Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah ke kota Kufah. Di sana, Imam as. singgah di sebuah masjid. ketika waktu shalat telah tiba, Imam as. berwudhu di halaman masjid di bawah pohon Nabk. Sungguh Allah swt. telah memberkahi pohon itu sehingga berbuah dengan buah-buah yang manis. Warga Baghdad senantiasa mengenang keberkahan Imam as. pada pohon itu.


Beberapa Surat dan Masalah
1" Ada seorang lelaki dari Bani Hanifah yang menyertai Imam Al-Jawad as. dalam perjalanan hajinya. Saat duduk bersama di depan hidangan, ia berkata kepada Imam as., "Jiwaku adalah tebusanmu, sesungguhnya wali kotaku adalah pecintamu Ahlul Bait, ia amat percaya padamu. Dan sekarang ini aku harus membayar pajak kepadanya. Bisakah kau menuliskan surat untuknya agar ia berbelas kasih kepadaku?"

Imam berkata, "Tapi, aku tak mengenalnya".

Lelaki itu membalas, "Dia sungguh pecintamu, dan suratmu akan dapat berguna bagiku".

Lalu Imam as. mengambil secarik kertas dan menulis, "Bismillahirrahmaninrrahim, pembawa suratku ini adalah seorang lelaki yang telah mengenalkanmu sebagai manusia mulia. Dan tidak ada perbuatan yang berguna bagimu kecuali kebaikan yang terdapat di dalamnya, maka berbuatbaiklah kepada saudara-saudaramu!".

Lelaki itu menyerahkan surat tersebut kepada wali kota Neisyabur. Ia menyambutnya, bahkan menciumnya dan melekatkannya di kedua matanya. Lalu berkata kepada lelaki, "Apa keperluanmu?"

2"Ada pajakmu yang aku tanggung", begitu keluhnya. Mendengar itu, wali kota memerintahkan agar kewajiban pajaknya dihapuskan, dan mengatakan, "Kau tidak usah membayar pajak selagi kau hidup".

3" Datang sepucuk surat kepada Imam Al-Jawad as. dari seorang lelaki yang hendak bermusyawarah dengan beliau berkenaan dengan pernikahan anak-anak perempuannya.

Imam as. menulis balasan untuknya, "Aku telah mengerti apa-apa yang kau paparkan mengenai anak-anak perempuanmu, dan bahwasanya kau tidak menemukan lelaki yang mirip denganmu, namun janganlah terlalu menantikan demikian itu, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya, karena Rasulullah saw. telah bersabda, 'Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu), bila kamu tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar".


Nasib Ma'mun
Warga Mesir bangkit melakukan pemberontakan. Segera Khalifah Ma'mun mempimpin pasukan besar dan memadamkan api pemberontakan itu. Dari sana, ia bertolak ke kawasan Romawi. Maka, terjadilah peperangan yang dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin.

Dalam perjalanannya kembali dari peperangan, Ma'mun melewati "Riqqoh". Tempat itu terasa sejuk dan tenang dengan mata air yang mengalir. Maka, ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di sana.

Di Riqqoh, Ma'mun jatuh sakit. Tak lama kemudian, ia mati dan dikuburkan di tempat itu juga.


Kesyahidan Imam Al-Jawad as.
Setelah kematian Ma'mun, saudaranya yang bernama Mu'tasim menduduki kekhalifahan. Dia di kenal sebagai orang yang kejam, jahat dan berperangai buruk.

Pertama yang dilakukan Mu'tasim ialah memanggil Imam Al-Jawad as. dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah dia merencanakan persengkongkolan dengan Ja'far, anak Ma'mun. Dia mendesak Ja'far agar membujuk saudara perempuannya Ummu Fadhl supaya meracun suaminya sendiri, Imam Al-Jawad as.

Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas di dalam anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah membunuh Imam Ali Ar-Ridha as. dengan cara yang sama.

Demikian kesyahidan Imam Muhammad Al-Jawad as, pada hari selasa 6 Dzulhijjah 220 H, pada usianya yang masih muda, 25 tahun. Jasad beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (kota Kadzimein sekarang) di samping makam datuknya Imam Musa Al-Kadzim as. Pusara kedua Imam merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang datang dari penjuru dunia. []


Mutiara Hadis Imam Al-Jawad as.
1" "Kehormatan seorang mukmin ialah ketakbergantungannya pada orang lain".

2" "Seorang mukmin senantiasa membutuhkan tiga perkara: taufiq dari Allah, penasehat dari dalam dirinya, dan menyambut setiap orang yang menasehatinya".

3" "Hari Keadilan itu lebih mengerikan bagi orang zalim daripada hari perlakuan zalim terhadap orang teraniaya".

4" "Neraca kesempurnaan harga diri seseorang ialah meninggalkan apa saja yang tidak membuat dirinya indah".

5" "Kematian manusia karena dosa-dosanya itu lebih banyak ketimbang kematiannya karena ajalnya, dan hidupnya seseorang karena kebajikannya itu lebih banyak daripada hidupnya dengan (takdir) umurnya".


Riwayat Singkat Imam Al-Jawad as.
Nama : Muhammad

Gelar : Taqi dan Jawad

Panggilan : Abu Ja'far

Ayah : Imam Ali Ar-Ridha as.

Ibu : Khaizran

Kelahiran : Tahun 195 Hijriah

Masa Imamah : 17 Tahun

Kesyahidan :Tahun 220 H

Makam : Kota Kadzimain, Irak


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cermat:
1. Mengapa Ma'mun ingin menikahkan putrinya dengan Imam Muhammad Al-Jawad as.?

2. Tatkala bertemu dengan Ma'mun, Mengapa Imam as. tidak lari seperti anak-anak yang lain?

3. Bagaimana Imam as. membuktikan keimamannya meski usianya yang masih belia?

14
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Ali Al-Hadi as; Teguh di atas Kebenaran

Hari Lahir
Imam Ali Al-Hadi as. dilahirkan pada 15 Dzulhijjah 212 H di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kesepuluh dari Imam-imam Ahlul Bait as.

Ayah beliau ialah Imam Muhammad Al-Jawad as, dan ibu beliau berasal dari Maroko bernama Samanah; seorang wanita yang mulia dan bertakwa.
Ketika sang ayah syahid akibat diracun, Imam Al-Hadi as. baru berusia 8 tahun. Pada usia yang masih sangat dini itu pula beliau memegang amanat Imamah (kepemimpinan Ilahi atas umat manusia).

Orang-orang memanggil Imam as. dengan berbagai julukan, antara lain: Al-Murtadha, Al-Hadi, Al-Naqi, Al-Alim, Al-Faqih, Al-Mu'taman, At-Thayyib. Yang paling masyhur di antara semua julukan itu adalah Al-Hadi dan Al-Naqi.


Akhlak Luhur Imam
Imam Ali Al-Hadi as. senantiasa menjalani kehidupannya dengan zuhud dan ibadah kepada Allah swt. Di dalam sebuah kamar yang hanya dihiasai oleh selembar tikar kecil, beliau menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur'an dan merenungkan maknanya.

Beliau menyambut orang-orang begitu ramah, berbelas kasih kepada orang-orang fakir, dan membantu orang-orang yang membutuhkannya.

Suatu hari, Khalifah Al-mutawakkil mengirimkan untuk Imam Ali as. uang sebesar seribu dinar, kemudian beliau membagikan uang tersebut kepada fakir miskin.

Pada kesempatan lain, Al-Mutawakil jatuh sakit sehingga para dokter pribadi khalifah kebingungan bagaimana mengobatinya. Lalu ibu Al-mutawakil mengutus menterinya Al-Fath bin Khaqan untuk menemui Imam Ali as. Beliau segera memberinya obat yang reaksinya sangat cepat sekali, sehingga para dokter khalifah itu tercengang melihatnya.

Atas kesembuhan putranya, ibu khalifah mengirimkan uang sebesar seribu dinar sebagai hadiah kepada Imam as, lalu Imam as. pun membagikan uang tersebut kepada orang-orang yang membutuhkannya.


Kisah Batu Cincin
Yunus An-Naqasi masuk ke rumah Imam Ali Al-Hadi as. Dalam keadaan gemetar ketakutan, ia berkata kepada beliau, "Wahai tuanku! Seseorang dari istana telah datang kepadaku dengan membawa sepotong batu Firuz yang sangat berharga sekali, ia memintaku untuk mengukirnya. Namun, ketika aku sedang melakukannya, batu tersebut terbelah jadi dua, padahal besok siang aku harus mengembalikannya. Bila dia tahu akan hal itu, pasti dia akan marah padaku".

Imam as. menenangkannya dan berkata, "Jangan kuatir, tidak akan ada keburukan yang akan menimpamu, bahkan dengan izin Allah swt. engkau akan mendapatkan kebaikan darinya".

Pada hari berikutnya, ajudan Khalifah datang dan berkata, "Sungguh aku telah mengubah pandanganku, kalau sekiranya kamu bisa memotongnya menjadi dua, aku akan menambah upahmu!".

Pengukir tersebut berpura-pura berfikir padahal hatinya sangat bergembira, kemudian berkata, "Baiklah, akan aku coba pesananmu itu!".

Akhirnya, pengawal Khalifah berterima kasih pada pengukir tersebut. Dari sana, pengukir itu bergegas menemui Imam Ali as. untuk menumpahkan rasa terima kasih kepadanya. Dalam keadaan itu, Imam as. berkata kepadanya: "Sungguh aku telah berdoa kepada Allah, semoga Dia memperlihatkan kebaikan khalifah kepadamu dan melindungimu dari kejahatannya".


Al-Mutawakkil
Setelah Khalifah Al-Mu'tasim meninggal, kedudukannya digantikan oleh khalifah Al-Wasiq yang masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun 6 bulan. Setelah itu, pemerintahan jatuh ke tangan Al-mutawakkil.

Pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil, kerusakan dan kedzaliman telah mewabah di mana-mana. Pengaruh orang-orang Turki dalam kekhalifahan sangat kuat dan luas sekali, sehingga mereka menjadi pengendali jalannya roda pemerintahan dan khalifah Al-Mutawakkil pun menjadi alat permainan mereka.

Saat itu, kebencian Al-Mutawakkil terhadap Ahlul Bait Nabi as. dan Syi'ahnya begitu besar. Ia memerintahkan agar membuat sungai di atas makam Imam Husain as. dan melarang kaum muslimin untuk menziarahi makamnya. Bahkan ia telah membunuh banyak peziarah, sampai digambarkan dalam sebuah syair:

Demi Allah, bila Bani Umayyah telah melakukan pembunuhan
terhadap putra dan putri Nabinya secara teraniaya,
kini keluarga saudara ayahnya (Bani Abbas) melakukan hal yang sama.
Maka esok lusa demi Allah ia akan menghancurkan kuburnya.
Mereka menyesal bila seandainya saja tidak ikut serta membunuhnya.

Tak segan lagi, Al-Mutawakkil melakukan pengawasan yang ketat terhadap Imam Ali Al-Hadi as. di Madinah, mata-mata khalifah senantiasa mengintai setiap langkah Imam as. lalu melaporkan padanya setiap gerak dan pembicaraanya.

Al-Mutawakkil merasa kuatir sekali setelah tahu kepribadian dan kedudukan Imam as. di tengah-tengah masyarakat. Mereka begitu menghormati dan mencintainya, karena beliau berbuat baik kepada mereka dan menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid.

Al-Mutawakkil mengirim Yahya bin Harsamah sebagai utusan khusus untuk menghadirkan Imam Ali as. segera ia memasuki kota Madinah, sementara itu berita tentang rencana jahat Al-Mutawakkil telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, hingga orang-orang berkumpul di seputar tempat tinggal utusan khusus itu, sebagai bentuk kepedulian dan kekuatiran mereka atas apa yang akan terjadi pada diri Imam as.

Dalam pengkuannya, Yahya bin Harsamah mengatakan, "Aku sudah berupaya menenangkan mereka, dan bersumpah di hadapan mereka bahwa aku tidak diperintah untuk menyakitinya".

Al-Mutawakkil senantiasa berfikir bagaimana cara menurunkan kedudukan tinggi Imam as. di tengah masyarakat. Maka, sebagian penasehatnya mengusulkan untuk menebarkan berita-berita bohong yang dapat menjatuhkan kehormatan beliau, melalui saudaranya Musa yang terkenal dengan perilakunya yang buruk.

Usulan tersebut disambut senang oleh Al-Mutawakkil. Segera ia memanggil Musa. Imam Ali as. sendiri pernah memperingatkan saudaranya itu, bahwa "Sesungguhnya khalifah menghadirkanmu untuk menghancurkan nama baikmu dan menyodorkan uang yang dapat menguasaimu, maka takutlah kepada Allah wahai saudaraku! dan jannganlah melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya!".

Musa tidak mau menghiraukan nasehat Imam as. Ia bertekad bulat untuk melakukannya, dan ternyata Al-mutawakkil justru merendahkannya. Sejak saat itu pula Khalifah itu tidak menyambut Musa lagi.


Kalimat Hak di Hadapan Orang Zalim
Ibnu Sikkit adalah salah seorang ulama besar. Abul Abbas Al-Mubarrad pernah memberikan kesaksian, "Aku tidak pernah melihat buku yang ditulis oleh orang-orang Baghdad yang lebih baik dari buku-nya Ibnu Sikkit tentang Mantik (Logika)".

Al-mutawakkil meminta kepada Ibnu Sikkit untuk mengajar kedua anaknya; Al-Mu'taz dan Al-Muayyad.

Suatu hari, Al-Mutawakkil bertanya kepada Ibnu Sikkit, "Mana yang paling kau cintai, kedua anakku ini ataukah Hasan dan Husain?"

Ibnu Sikkit menjawab dengan penuh kebencian, "Demi Allah! Sesungguhnya pembantu Imam Ali bin Abi Thalib lebih baik dari pada kamu dan kedua anakmu itu!".

Mendengar jawaban Ibnu Sikkit tersebut, Al-Mutawakkil terperanjat dan begitu berang. Segera ia memerintahkan algojo Turki untuk mencabut lidahnya sampai mati. Demikianlah, Ibnu Sikkit pun pergi ke hadapan Allah swt. dan menemui kesyahidan.

Rasulullah saw. telah bersabda, "Penghulu para Syahid adalah Hamzah dan seorang yang mengatakan kalimat hak di depan penguasa yang zalim".


Politik Al-Mutawakkil
Al-Mutawakkil telah menghambur-hamburkan kekayaan umat Islam. Hidupnya dipenuhi dengan foya-foya, serbamewah dan sombong. Umurnya ia habiskan untuk bermabuk-mabukkan dan berpesta pora dengan menghamburkan miliyaran uang.

Sementara itu, betapa banyak orang yang hidup dalam kesusahan dan kefakiran, apalagi golongan Alawi (keluarga dan pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as.) yang senantiasa menjalani hidup mereka dalam kefakiran yang mencekam, belum lagi hak-hak mereka dirampas, sampai hal-hal yang sangat tidak bernilai dalam kehidupan mereka.

Imam Ali Al-Hadi as. bersama putranya dipanggil ke kota Samara, kemudian diturunkan di sebuah kemah yang di sana sudah berbaris pasukan Al-Mutawakkil. Itu dilakukan supaya beliau berada di bawah pengawalan tentara-tentara yang sangat bengis dan dungu terhadap kedudukan Ahlul Bait as.

Rupanya, tentara Al-Mutawakkil itu terdiri atas orang-orang Turki telah berbuat kejam, dengan membentuk kondisi dan menciptakan pribadi-pribadi yang tidak lagi mengerti kecuali ketaatan kepada raja-raja dan penguasa.


Beberapa Kisah
1" Seseorang di antara tentara itu mempunyai anak yang tertimpa penyakit batu ginjal, kemudian seorang doktor menasehati agar anaknya menjalani operasi.

Pada saat operasi sedang berjalan, tiba-tiba anak tersebut mati. Lalu orang-orang mencelanya, "Kau telah membunuh anakmu sendiri, maka engkau pun bertanggung jawab atas kematiannya".

Kemudian ia mengadu kepada Imam Al-Hadi as. Beliau mengatakan, "Bagi kamu tidak ada tanggung jawab apapun atas apa yang kamu perbuat. Ia meninggal hanya karena pengaruh obat, dan ajal anak tersebut memang sampai di situ".

2" Suatu hari, seorang anak menyodorkan bunga kepada Imam Ali Al-Hadi as. Lalu Imam as. mengambilnya dan menciumnya di atas kedua pelupuk matanya, kemudian memberikan kepada seorang sahabatnya dan berkata:

3"Barang siapa mengambil bunga mawar atau bunga selasih kemudian menciumnya dan meletakkan di kedua pelupuk matanya, lalu membaca shalawat atas Muhammad dan keluarga sucinya, maka Allah akan menulis untuknya kebaikan sejumlah kerikil-kerikil di padang sahara, dan akan menghapuskannya kejelekan-kejelekan sebanyak itu pula".

Yahya bin Hartsamah yang menyertai perjalanan Imam Ali as. dari Madinah ke Samara, mengatakan, "Kami berjalan sedang langit dalam keadaan cerah, tiba-tiba Imam as. meminta sahabat-sahabatnya untuk mempersiapkan sesuatu yang bisa melindungi mereka dari hujan.

Sebagian dari kami merasa heran, malah sebagian yang lain tertawa meledek. selang beberapa saat, tiba-tiba langit mendung dan hujan pun turun begitu derasnya. Imam as. menoleh kepadaku dan berkata, "Sungguh engkau telah mengingkari hal itu, kemudian kau kira bahwa aku mengetahui alam ghaib dan hal itu terjadi bukanlah sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku hidup di daerah pedalaman, aku mengetahui angin yang mengiringi hujan dan angin telah berhembus, maka aku mencium baunya hujan, maka aku pun bersiap-siap".

4" Suatu hari, Al-Mutawakkil menderita sakit. Lalu ia bernazar untuk bersedekah dengan uang yang banyak tanpa menentukan berapa jumlahnya. Dan ketika ia hendak menunaikan nazarnya, para fuqaha (ahli hukum) berselisih pendapat tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan oleh Al-Mutawakkil. Mereka pun tidak mendapatkan suatu kesimpulan.

Sebagian mereka mengusulkan untuk menanyakan masalah kepada Imam as. Tatkala ditanya tentang berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan,
Imam as. menjawab, "Banyak itu delapan puluh".

Meresa belum puas, mereka meminta dalil dari Imam as.

Beliau mengatakan, "Allah berfirman, 'Allah telah menolong kalian dalam berbagai kesempatan, maka kami hitung medan-medan peperangan dalam Islam'. Dan jumlahnya medan peperangan itu adalah delapan puluh".


Penggeledahan Rumah
Meskipun Imam Ali Al-Hadi as. dalam tahanan rumah yang ketat, beliau tidak luput dari berbagai fitnah dan tuduhan kosong. Salah seorang di antara mereka melaporkan kepada Al-Mutawakkil, bahwa Imam as. mengumpulkan senjata dan uang untuk mengadakan pemberontakan. Maka Al-Mutawakkil memerintahkan
Said penjaganya untuk memeriksa rumah beliau pada waktu malam, dan mengecek tentang kebenaran berita tersebut.

Tatkala ia memeriksa rumah Imam, ia dapati Imam as. dalam sebuah kamar, tidak ada sesuatu apapun di dalamnya kecuali sehelai tikar. Di dalamnya beliau sedang melakukan shalat dengan khusyuk.

Ia telah memeriksa rumah Imam as. dengan awas dan jeli, akan tetapi tidak menemukan sesuatu pun. Kemudian ia berkata pada Imam, "Maafkan aku tuanku, sesungguhnya aku hanya diperintahkan".

Imam as. menjawab dengan sedih, "Sesungguhnya orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui akibat perbuatan mereka sendiri".


Kandang Binatang Buas
Seorang perempuan mengaku, bahwa dirinya adalah Zainab putri Ali bin Abi Thalib as. Ia berkata, bahwa masa mudanya terus berganti setiap 50 tahun.
Segera Al-Mutawakkil mengirimkan utusan dan bertanya kepada orang-orang Bani Thalib, mereka katakan, bahwa sesungguhnya Zainab as. telah meninggal pada tanggal sekian dan telah dikuburkan. Akan tetapi, perempuan ini tetap saja bersih kukuh pada pengakuannya.

Menteri Al-Mutawakkil bernama Al-Fath bin Khoqan jengkel melihat itu. Ia berkata, "Tidak ada yang bisa mengetahui tentang hal ini kecuali putra Imam Ridha as.".

Maka Al-Mutawakkil mengutus utusan kepada Imam Ali Al-Hadi as. dan menanyakan perihal perempuan tersebut padanya. Kemudian Imam as. menjawab, "Sesungguhnya terdapat tanda pada keturunan Ali as. Tanda itu adalah bahwa binatang buas tidak akan mengganggu dan menyakitinya. Maka, cobalah kumpulkan perempuan itu bersama binatang buas, dan bila dia tidak diterkam, maka dia benar".

Tak tahan lagi, Al-Mutawakkil ingin sekali menguji kebenaran ucapan Imam as. di atas. Beliau pun masuk ke dalam sangkar binatang buas dengan penuh keyakinan, tiba-tiba binatang buas di dalamnya mengikuti beliau sambil mengebas-kebaskan ekor di telapak kaki beliau.

Saat itu Al-Mutawakkil memerintahkan untuk melemparkan wanita tersebut ke dalam sangkar itu. tatkala binatang buas itu muncul, ia pun menjerit dan segera menarik balik pengakuannya.


Di Majelis Al-Mutawakkil
Di saat sedang mabuk, Al-Mutawakkil memerintahkan para pengawalnnya agar segera mendatangkan Imam Ali Al-Hadi as. Dengan cepat mereka bergegas menuju kediaman beliau. Sesampainya di sana, mereka memasuki rumah Imam as. dengan keras dan menyeret beliau sampai di istana khilafah.

Ketika Imam as. berdiri di hadapan Al-Mutawakkil, khalifah yang zalim itu mengambil kendi khamer dan meminumnya sampai mabuk, lalu ia mendekati Imam as. dan menyodorkan segelas minuman haram tersebut kepada beliau.

Imam as. menolak dan berkata: "Demi Allah, darah dagingku tidak bercampur sedikit pun dengan minuman ini".


Hari Kesyahidan
Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan pada Allah swt., Imam Ali Al-Hadi as. menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Cobaan demi cobaan telah beliau lewati dengan segenap ketabahan. Hingga akhirnya, pada tahun 254 H beliau menjumpai Tuhannya dalam keadaan syahid akibat racun yang merusak tubuhnya.

Ketika itu usia Imam as. menginjak 42 tahun. Beliau dimakamkan di kota Samara yang kini ramai dikunjungi kaum msulimin dari berbagai belahan dunia.


Murid-Murid Imam Ali as.
Meskipun Imam as. senantiasa di bawah pengawasan yang begitu ketat, namun beliau memiliki murid-murid yang tetap setia kepadanya. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berjumpa dan bertatap muka dengan Imam as. Beberapa nama mereka adalah: Abdul Adzim Hasany.

Abdul Adzim termasuk ulama besar dan seorang yang amat bertakwa. Dalam berbagai kesempatan, Imam Ali as. seringkali memujinya. Ia senantiasa menunjukkan penentangannya terhadap penguasa, kemudian ia bersembunyi di kota Rey dan meninggal di sana. Hingga sekarang ini, makam beliau masih selalu dipadati oleh para peziarah.

Ada pula Hasan bin Said Al-Ahwaz. Ia juga termasuk sahabat Imam Ali Ar-Ridha as. dan Imam Muhammad Al-Jawad as. Ia hidup di Kufah dan Ahwaz, kemudian pindah ke Qom dan meninggal di sana. Hasan menyusun tiga puluh karya tulis di bidang Fiqh dan Akhlak. Di antara jajaran perawi, ia termasuk orang yang siqah (dapat dipercaya) dalam meriwatkan hadis-hadis.

Selain Abdul Adzim dan Hasan, sahabat setia Imam Ali Al-Hadi as. ialah Fadl bin Syadzan An-Neisyaburi. Ia terkenal sebagai seorang ahli Fiqh besar dan ahli ilmu Kalam terkemuka.

Fadl banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ali as. Bahkan anaknya pun ikut menjadi salah seorang sahabat Imam Hasan Askari as. Imam Ali as. sering memujinya. Ia menasehati orang-orang Khurasan untuk merujuk kepada Fadl dalam berbagai masalah yang mereka hadapi. []


Mutiara Hadis Imam Ali Al-Hadi as.
1" "Barang siapa yang taat kepada Allah, maka ia tidak akan kuatir terhadap kekecewaan makhluk".

2" "Barang siapa yang tunduk pada hawa nafsunya, maka ia tidak akan selamat dari kejelekannya".

3" "Barang siapa yang rela tunduk terhadap hawa nafsunya, maka akan banyak orang-orang yang tidak suka padanya".

4" "Kemarahan itu terdapat pada orang-orang yang memiliki kehinaan".

5" "Pelaku kebaikan itu lebih baik daripada kebaikan itu sendiri. Sedang pelaku keburukan itu lebih buruk daripada keburukan itu sendiri".

6" "Cercaan itu lebih baik dari pada kedingkian".

7" Beliau berkata kepada Al-Mutawakkil, "Janganlah engkau menuntut janji kepada orang yang telah engkau khianati".


Riwayat Singkat Imam Ali Al-Hadi as
Nama : Ali

Gelar : Al-Hadi

Panggilan : Abul Hasan

Ayah : Imam Muhammad Al-Jawad

Ibu : Samanah

Kelahiran : Madinah, 212 H

Kesyahidan : 254 H

Usia : 22 tahun

Makam : Samarra, Irak


Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan cermat:
1. Bagaimana Imam Ali Al-Hadi as. mengabarkan turunnya hujan?

2. Mengapa Al-Mutawakkil menangis?

3. Apa nasihat Imam as. kepada saudaranya?

15
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Hasan Al-Askari as; Pembina Generasi Unggul

Hari Lahir
Imam Hasan Al-Askari as. adalah imam ke-11 dari 12 imam Ahlul Bait. Beliau dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 232 H. dan meninggal syahid di Samarra tahun 260 H.

Ayah beliau ialah Imam Ali Al-Hadi as, sedangkan ibu beliau bernama Susan.

Beliau as. menjadi Imam (pemimpin umat) pada usia 22 tahun dan hidup pada masa yang penuh dengan kesulitan dan berbagai macam tipu daya. Setelah wafat sang ayah, Imam as. hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya (Imamah).

Pada masa Imam as, khalifah Abbasiyah Al-Mu'taz tewas di tangan orang-orang Turki. Lalu mereka mengangkat Al-Muhtadi sebagai penggantinya, yang tak lama kemudian juga tewas dibunuh. Seteleh itu, khilafah Abbasiyah jatuh ke tangan Al-Mu'tamid.

Panggilan Imam Hasan as. ialah Abu Muhammad. Orang-orang mengenalnya dengan berbagai julukan seperti: Al-Hadi, Az-Zaki, An-Naqi, dan Al-Kholis.

Julukan beliau yang paling masyhur adalah Al-Askari, karena beliau as. tinggal di sebuah tempat yang disebut Al-Askar. Selain itu, beliau juga dikenal dengan panggilan Ibnu Ridha.

Ahmad bin Khaqan pernah mengenang baik Imam as., padahal ia termasuk pembenci Ahlul Bait as. Katanya, "Aku tidak melihat di antara keluarga Bani Alawiyyin (keturunan Imam Ali as.) di Samarra seperti Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali Al-Ridha as. Dan aku tidak menemukan orang sebanding dengannya dalam pengorbanan, kesederhanaan, kehormatan, keagungan, kemulyaan, dan kedermawanan".

Dia juga mengatakan, "Seandainya khilafah ini lepas dari tangan-tangan Bani Abbasiyah, maka tidak ada yang layak menjadi khalifah di antara Bani Hasyim selain Hasan bin Ali as., karena kepribadiaannya yang luhur, akhlaknya yang mulia, dan pikirannya yang brilian".

Tersebarnya kerusakan dan kebobrokan di dalam negeri serta pengaruh besar orang-orang Turki di kalangan para pejabat tinggi negara, semua itu menjadi penyebab munculnya pemberontakan masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah.

Sementara itu, orang-orang Alawiyah (anak keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as.) tidak tinggal diam. Mereka juga mengadakan pemberontakan di berbagai tempat.

Hasan bin Zaid Al-Alawi telah mengadakan pemberontakan di daerah Tabristan dan berhasil menguasainya.

Begitu juga di Basrah, telah terjadi pemberontakan yang disebut dengan "Tsaurah Zanj" yang pemimpinnya mengaku sebagai salah satu keturunan Ahlul Bait.

Pemberontakan itu dilakukannya dengan sangat keji, hingga ia membunuh anak-anak dan para wanita. Kemudian Imam Hasan Al-Askari as. mengumumkan kepada masyarakat luas, bahwa pemimpin pemberontakan "Tsaurah Zanj" itu bukanlah dari keturunan Ahlul Bait as.

Imam Hasan Al-Askari as. menghadapi situasi yang sangat sulit. Seringkali beliau dijebloskan ke dalam penjara. Para khalifah telah menugaskan penjaga-penjaga yang bengis untuk mengawasinya. Tapi dalam tempo yang singkat, banyak dari mereka yang malah terpengaruh oleh akhlak luhur Imam as., hingga mereka menemukan kembali suara fitrahnya yang bersih dan menjadi orang-orang yang soleh.

Suatu waktu, Imam Hasan as. dijebloskan ke dalam kandang serigala, tapi amat mengejutkan tatkala kawanan serigala tampak gembira dengan kehadiran beliau.

Mereka memain-mainkan ekornya ke telapak kaki Imam as, dan terkadang mereka sentuhkan badannya dengan kaki beliau.

Seorang penganut Nasrani (Kristen) telah bertemu Imam Hasan Al-Askari as. dan ia merasa bahwa Tuhan bersama beliau. Ia pun masuk Islam di hadapan Imam as. Tatkala ditanya alasan keislamannya, ia menjawab, "Aku melihat sifat-sifat Isa Al-Masih as. tampak pada dirinya".

Kebanyakan wasiat-wasiat Imam Hasan Al-Askari as. berkisar pada masalah keadilan, kemuliaan, dan pengorbanan. Beliau senantiasa memperingatkan kaum muslimin akan kedzaliman dan penindasan.


Keluasan Ilmu Imam
Mazhab Ahlul Bait telah tersebar dengan pesat. Pada masa Imam Hasan Al-Askari as., berbagai gerakan ilmiah dan semangat ilmu pengetahuan bermunculan.
Imam Hasan as. melakukan pengajaran di Kufah, Baghdad, dan Hijaz. Kota Qum merupakan salah satu kota yang masyhur sebagai pusat pengembangan ilmu agama. Ilmu beliau laksana samudera, di mana lebih dari 18000 sarjana yang menimba ilmu pada beliau.

Orang dekat khalifah Abbasiyah Al-Mu'taz bernama Muhammad bin Mas'ud Asy-Syirazi menuturkan, "Hasan Al-Askari telah mencapai ketinggian ilmunya, hingga menjadikan Al-Kindi - guru Al-Farabi- membakar bukunya sendiri setelah beliau melihat dan mengoreksi kandungan-kandungannya yang tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam".


Imam Hasan as. dan Seorang Pendeta
Suatu masa, kota Samarra pernah dilanda kekeringan. Maka khalifah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan shalat Istisqa'. masyarakat menyambutnya dan keluar berbondong-bondong untuk melakukan shalat sampai tiga hari. Akan tetapi, tidak ada perubahan keadaan kota.

Pada hari keempat, Jastliq pergi bersama para pengikutnya, para pendeta, dan orang-orang Nasrani (Kristen) ke tengah padang sahara. Salah satu pendeta mengangkat tangannya sambil berdoa. Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan sangat lebat.

Melihat kejadian ini, orang-orang menjadi ragu atas kebenaran Islam, padahal ia adalah agama yang paling utama. Sebagian dari mereka berkata, "Sekiranya orang-orang Nasrani itu berada dalam kebatilan, niscaya Allah swt. tidak akan mengabulkan doa mereka". Lantas sebagian muslimin berfikir untuk memeluk agama Nasrani.

Pada saat itu, Imam Hasan Al-Askari as. ada dalam penjara. Pengawal khalifah mendatanginya dan berkata, "Temuilah umat kakekmu Muhammad saw., karena mereka telah meragukan agama Allah swt.".

Maka pada kesempatan lain, Jastliq beserta para pendeta dan Imam Hasan as. pergi ke tengah padang pasir. Imam as. senantiasa mengawasi keadaan mereka dengan baik. Kemudian beliau melihat salah satu dari pendeta tersebut mengangkat tangannya yang kanan. Segera beliau memerintahkan sebagian budaknya untuk memegang tangan pendeta tadi dan melihat apa yang ada di telapaknya.
mereka pun lekas memegang tangan pendeta dan mereka melihat tulang hitam di antara jari-jarinya. Kemudian Imam as. mengambilnya lantas berkata pada pendeta tersebut, "Sekarang berdoalah untuk meminta hujan!".

Pendeta itu kembali mengangkat tangannya dan berdoa. Saat itu langit sudah mulai mendung. Ttiba-tiba mendung menghilang dan berubah menjadi awan dan matahari yang mulai memancarkan sinarnya.

Khalifah bertanya pada Imam Hasan Al-Askari as. tentang rahasia tulang tadi. Beliau menjawab, "Pendeta ini pernah melewati salah satu kuburan nabi-nabi terdahulu, kemudian ia dapati tulang ini, dan hujan lebat akan turun dari langit seketika tulang itu disingkapkannya".


Dakwah dan Pendidikan
Dikisahkan bahwa ada seorang pemuda keturunan Imam Ja'far Ash-Shadiq as. tinggal di kota Qum. Ia suka minum khomer. Pada suatu hari, ia pergi ke rumah Ahmad bin Ishak Al-Asy'ari, seorang wakil Imam Hasan Al-Askari as. Namun Ahmad tidak mengizinkan pemuda itu masuk, karena ia telah mengetahui akhlaknya. Pemuda itu kembali ke rumahnya dengan perasaan sedih atas perlakuannya itu.

Suatu saat, Ahmad bin Ishak hendak pergi menunaikan ibadah haji. Tatkala ia sampai di Madinah dan ingin berjumpa dengan Imam Hasan as, ia meminta izin untuk bisa masuk dan bertemu dengan beliau. Akan tetapi, Imam as. tidak mengizinkannnya. Ia pun merasa sedih dan bersipuh di depan pintu sehingga Imam as. mengizinkannya masuk.

Ahmad bin Ishak bertanya kepada Imam as. tentang alasan beliau tidak mengizinkannnya masuk tadi. Imam as. menjawab, "Sungguh aku telah memperlakukanmu sebagimana yang telah kamu lakukan terhadap anak pamanku, aku melarangmu sebagaimana kamu melarangnya".

Ahmad bin Ishak berkata, "Tuanku, sesungguhnya ia suka minum khomer. Aku menolaknya, karena itu aku bermaksud untuk mengingatkannnya agar bertaubat".

Imam Hasan Al-Askari as. menjawab, "Bila Kau ingin memberikan pelajaran padanya, tidaklah demikian caranya".

Kemudian Ahmad bin Ishak kembali ke Qum dan orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Tatkala pemuda itu menemuinya, ia pun bangun menyambutnya dan merangkulnya begitu hangat serta mendudukkannya di sampingnya.

Pemuda yang bernama Abul Hasan itu malah terheran-heran melihat perlakuan Ahmad kali ini, kemudian ia bertanya tentang sebab penolakannya kemarin dan penyambutannya yang hangat terakhir ini. Maka, Ahmad menceritakan pengalamannya sewaktu hendak menjumpai Imam Hasan Al-Askari as. di Madinah.

Usai cerita itu, Abul Hasan menundukkan kepalanya karena malu. Seketika itu ia bertekad untuk segera bertaubat. Sekembalinya ke rumah, ia pecahkan kendi-kendi khomer, dan senantiasa pergi ke masjid.


Dua Kisah
1" Sewaktu Imam Hasan Al-Askari as. di dalam sebuah penjara yang dikepalai oleh Shaleh bin Washif, Khalifah Abbasiyah memerintahkan agar memperketat pengawasan dan penjagaannnya atas beliau. Shaleh mengeluhkan, "Apalagi yang harus aku lakukan, padahal aku telah menugaskan dua orang yang paling jahatnya makhluk Allah untuk menjaganya, tetapi mereka berdua justru menjadi tekun solat dan beribadah".

Kemudian ia memanggil kedua penjaga tersebut. Kepada mereka ia bertanya, "Apa yang kalian ketahui tentang laki-laki ini (Imam as.)?".

Mereka berkata, "Apa yang harus kami katakan tentang seseorang yang senantiasa menghabiskan siangnya dengan berpuasa, dan melewatkan malamnya dengan bertahajud. Dia tidak berbicara dan bekerja selain ibadah".

2" Tatkala orang-orang Turki berhasil menciptakan pengaruh besar di dalam pemerintahan Abbasiyah dan mempermainkan khalifahnya, mereka membunuh setiap orang yang mereka curigai, bahkan mereka dapat menentukan khalifah yang mereka kehendaki.

Ketika Al-Mu'tamad menjadi khalifah, dia berbuat sewenang-wenang, karena dia sendiri tidak tahu berapa lama dia akan memerintah, 3 bulan ataukah lebih. Namun, ia mengetahui betul kedudukan Imam Hasan Al-Askari as. di sisi Allah swt.

Maka pada suatu hari, Al-Mu'tamid menghadap Imam as. dan memohon kepadanya supaya Allah memanjangkan umurnya. Imam as. pun mendoakannya, sehingga ia pun tetap duduk sebagai khalifah selama lebih dari 20 tahun.


Orang Bijak dari Irak
Ishak Al-Kindi adalah seorang filsuf Irak yang telah menulis sebuah buku tentang pertentangan antarayat Al-Qur'an. Salah seorang dari muridnya datang menghadap Imam Hasan Al-Askari as. Kepadanya beliau bertanya, "Adakah di antara kalian yang berani untuk mengkritik pendapat guru kalian Al-Kindi tentang sanggahan dan keraguannya terhadap Al-Qur'an?"

Salah seorang muridnya mengatakan: "Aku tidak mampu menyanggahnya".

Imam as. berkata, "Katakan kepadanya, bahwa aku punya masalah dan aku ingin bertanya padamu. Yaitu, bila ada seorang yang membacakan Al-Qur'an di hadapanmu, apakah mungkin maksud ayat-ayat yang dibacanya itu berbeda dengan maksud yang kau dengar darinya? Dia pasti akan mengatakan, 'Tentu, sangat mungkin itu, karena ia adalah seorang yang dapat memahami apa yang telah ia dengar'.

"Apabila ia menjawab seperti itu, katakan lagi padanya, 'Bagaimana Anda bisa memastikan itu, padahal mungkin saja dia memahami maksud yang berbeda dengan yang kau pahami? Dengan begitu, maka kamu telah meletakkan maksud bukan pada tempat yang semestinya".

Kemudian si murid menyampaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada gurunya, Al-kindi. Selekas menyimak, ia meminta muridnya untuk mengulang pertanyaan. Sang murid pun mengulangnya.

Setelah itu, Al-Kindi malah menundukkan kepala sambil berfikir. Akhirnya ia sadar bahwa hal tersebut memang mungkin terjadi dalam bahasa dan bisa diterima oleh akal. Dengan kesadaran ini, pandangannya tentang Al-Qur'an tampak begitu lemah dan rapuh. Lalu, ia bangkit dan membakar bukunya tersebut.


Surat untuk Seorang Sahabat
Dalam rangka menasehati para sahabatnya, Imam Hasan Al-Askari as. banyak menulis surat yang dikirimkan kepada mereka. Di antaranya, surat berikut ini yang dikirimkan kepada Ali bin Husain bin Babaweh Qumi:

"Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Akibat baik bagi orang-orang yang bertakwa, surga bagi orang-orang yang mengesakannya, dan neraka bagi orang-orang yang mengingkarinya, serta tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang zalim.

"Tiada Tuhan selain Allah, Dialah sebaik-baik pencipta. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada sebaik-baik mahluk-Nya, Muhammad saw. dan keluarganya yang suci.

"Kamu harus besabar dan menanti kedatangan Al-Mahdi, karena Rasulullah saw. telah bersabda: "Amalan umatku yang paling utama adalah menanti kehadiran Al-Mahdi".

"Syi'ah kami akan senantiasa dalam kesedihan hingga muncul anakku, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi, bahwa ia akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi oleh kezaliman.

"Bersabarlah wahai Syi'ahku, ya..Abul Hasan, sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah yang telah diwariskan untuk hambanya yang dikehendaki. Dan akibat yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.

"Salam atasmu dan seluruh Syi'ah kami, semoga rahmat dan berkah Allah meliputimu dan Syi'ah kami. Akhirnya, semoga Allah swt. merahmati Muhammad dan keluarganya".


Hari Kesyahidan
Ketika diboyong oleh sang ayah ke Samarra, Imam Hasan Al-Askari as. baru berusia 4 tahun. Semenjak itu pula beliau selalu diawasi secara ketat oleh pemerintahan Abbasiyah.

Seringkali Imam as. dijebloskan dalam penjara, sampai akhirnya beliau diracun dan meninggal syahid 8 Rabiul Awwal 260 H. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali Al-Hadi as., di kota Samarra.

Imam Hasan Askari as. senantiasa dalam pengawasan para penguasa, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw. yang menguatkan, bahwa Al-Mahdi as. adalah Imam ke-12 dan dia adalah anak dari Imam Hasan Al-Askari. Sebab itulah para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan. Akan tetapi, Imam Hasan Askari as. telah berhasil merahasiakn putranya itu, betapa pun sulitnya keadaan waktu itu.

Meski demikian, saudara Imam Hasan Al-Askari as. yang bernama Ja'far Al-Kaddzab berusaha untuk menunggu kesempatan guna menyatakan dirinya sebagai imam setelah wafatnya beliau dengan dukungan orang-orang Bani Abbasiyah. Akan tetapi, Allah swt. menggagalkan seluruh makar dan muslihatnya itu.

Ketika Imam Mahdi as. muncul secara tiba-tiba, yang saat itu beliau masih kecil, dan datang untuk menyolati jenazah ayahnya, banyak orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut. Dengan begitu, mereka mengimani keimamannya. Mereka pun percaya bahwa dialah Imam Al-Mahdi ajf. yang dinanti-nantikan. []


Mutiara Hadis Imam Hasan Al-Askari as.
1" "Tidak ada kemuliaan bagi orang yang meninggalkan kebenaran, dan tidak ada kehinaan bagi orang yang mengamalkannya".

2" "Dua perkara yang tidak ada sesuatu pun yang lebih unggul di atas keduanya: iman kepada Allah dan kawan yang bermanfaat".

3" "Keberanian seorang anak terhadap orang tuanya di masa kecil akan mendorongnya kepada kedurhakaan terhadapnya di saat dewasa".

4" "Bukan termasuk kebajikan menampakkan kegembiraan di hadapan seorang yang sedih".

5" "Cukup bagimu sebuah pelajaran yang menjauhkanmu dari segala yang tidak kau sukai dari orang lain".

6" "Seluruh keburukan telah terkumpul dalam satu rumah, dan kuncinya adalah dusta".


Riwayat Singkat Imam Hasan Askari as.
Nama : Hasan

Panggilan : Abu Muhammad

Gelar : Al-Askari

Ayah : Imam Ali Al-Hadi as.

Ibu : Susan

Kelahiran : Madinah, 232 H

Wafat : 260 H

Makam : Samarra, Irak


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cermat:
1. Mengapa Imam Hasan Askari as. mendapat pengawasan yang ketat?

2. Bagaimana Imam as. menyingkap rahasia turunnya hujan ketika pendeta nasrani berdoa?

3. Bagaimana Imam as. menyanggah pendapat Al-Kindy yang menyatakan bahwa terjadi pertentangan di antara kandungan ayat-ayat Al-Qur'an?

16
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imam Mahdi Al-Hujjah as; Janji Keadilan Sedunia

Hari Lahir
Imam Al-Mahdi as. lahir pada 15 Sya'ban 255 H. Kelahiran beliau sungguh menghidupkan harapan di dalam jiwa-jiwa kaum tertindas di dunia.

Ayah Imam as. adalah Imam Hasan Al-Askari as. dan ibunya bernama Nargis, seorang wanita suci keturunan salah satu Hawariyyun (sahabat setia) Nabi Isa as., yaitu Sam'un Ash-Shafa.

Imam Mahdi as. adalah Imam terakhir Ahlul Bait as. Secara khusus, sang datuk Rasulullah saw. telah memberitakan kehadirannya dalam sejumlah hadis-hadis yang mutawatir, bahwa "Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah disesaki oleh kezaliman".

Beliau dikenal dengan panggilan Abul Qosim, dan gelar mulia "Al-Mahdi". Dengan demikian, beliau membawa nama sekaligus panggilan junjungan kita Muhammad saw., sebagaimana beliau pun membawa risalah agamanya, Islam.

Para penguasa zalim menjadi begitu awas dan senantiasa mengintai kelahiran Imam Mahdi as, sehingga mereka berupaya menggagalkannya. Persis dengan apa yang telah dilakukan Fir'aun; mengawasi setiap ibu yang hamil dan bayi yang lahir. Namun, mereka tidak sadar bahwa Fir'aun, meskipun mengerahkan segenap kekuatan raksasa yang dimilikinya sampai membunuh secara massal bayi-bayi yang baru lahir, usahanya itu gagal total.

Mu'tamid, Khalifah Abbasiyah -yang merupakan Fir'aun pada masanya- pun ingin melakukan hal yang sama. Ia pun mencoba mengikuti langkah Fir'aun berusaha mencegah kemunculan Sang Pembela Kebenaran yang akan merongrong kekuasaannya. Ia seketat mungkin mengawasi rumah Imam Hasan Al-Askari as.

Ketika Imam Hasan as. diracun, beliau dibawa dalam keadaan lemah dari penjara ke rumahnya. Mu'tamid menugaskan lima orang pengawal pergi menyertai Imam untuk mewaspadai dan berjaga-jaga di sekeliling rumah Imam jika ada peristiwa yang terjadi di rumah itu. Tidak hanya mengutus mata-mata, ia juga mengirim beberapa bidan ke rumah Imam untuk menjaga dan membantu proses kelahiran istri Imam as.

Kota Samarra berubah menjadi kota duka atas kematian Imam Hasan Al-Askari. Orang-orang menutup tempat kerja mereka untuk melayat ke rumah Imam. Penduduk kota itu mengusung jenazah suci Imam dengan tangan mereka sendiri dalam upacara penguburan yang kudus, agung dan akbar.

Khalifah Abbasiyah sangat gusar dan kesal atas kerumunan massa yang datang melayat Imam. Ia berusaha keras untuk menutupi kejahatannya dan mengumumkan bahwa kematian Imam merupakan sebuah kejadian yang wajar dan alamiah.

Mu'tamid mengutus saudaranya untuk menghadiri upacara pemakaman dan bersaksi bahwa tidak ada yang membunuh Imam. Di sisi lain, ia membagi-bagikan harta peninggalan Imam untuk menunjukkan bahwa Imam tidak meninggalkan anak yang dapat menunaikan shalat jenazah dan menjadi pewaris sah atas harta peninggalan beliau.

Namun, betapapun usaha untuk menutupi cahaya kebenaran, kehendak Allahlah yang tetap berlaku. Ketika Imam Al-Askari as. dibunuh, putra beliau berusia lima tahun. Ia mencapai kedudukan Imam pada usia lima tahun, seperti Nabi Isa yang diangkat sebagai nabi ketika ia masih dalam buaian.

Ketika mereka meletakkan jenazah suci Imam Al-Askari as., saudara beliau -yang bukan orang baik-baik- hendak memimpin shalat jenazah. Namun putra beliau Imam Al-Mahdi ajf. -yang masih belia- mendorongnya ke samping dan beliau sendiri maju ke depan memimpin shalat jenazah tersebut. Setelah selesai shalat jenazah, beliau menghilang dari pandangan mata.

Orang-orang Syiah telah melihat Imam Al-Mahdi di kediaman sang ayah, Imam Hasan Al-Askari yang saat itu masih hidup. Di kediaman itu pula mereka mendengarkan nasihat beliau tentang anaknya kepada mereka. Setelah syahadah Imam Hasan as., mereka tetap berhubungan dengan Imam Al-Mahdi hingga beberapa waktu lamanya.


Keadaan ketika Imam Al-Mahdi Lahir
Hakimah, bibi Imam berkata, "Aku pergi ke rumah anak saudaraku, pada hari Kamis bulan Sya'ban. Ketika aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, Imam berkata, 'Wahai bibi, tinggallah malam ini bersama kami karena putra kami akan segera lahir'.

"Aku sangat bergembira dan berbahagia mendengarkan kabar itu dan pergi menjumpai Nargis (Ibunda Imam Al-Mahdi) namun aku tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada diri beliau. Aku terkejut dan bergumam, 'Tidak melihat tanda-tanda kelahiran bayi padanya'.

"Pada saat-saat itu, Imam datang padaku dan berkata, "Duhai bibi, jangan bersedih, Nargis seperti ibunda Nabi Musa as., dan si bayi seperti Musa yang lahir secara tersembunyi dan tanpa tanda-tanda apa pun yang menyertai kelahirannya. Temuilah Nargis, dia akan segera melahirkan pada subuh hari'.

"Aku berbahagia menemani Nargis, sambil mengamati apa yang dikatakan oleh Imam bahwa tanda-tanda kelahiran Nargis muncul sebelum matahari terbit di ufuk timur. Seberkas cahaya membentang antara diriku dan dia sehingga aku tidak dapat melihat Nargis lagi. Aku ketakutan dan keluar dari bilik itu untuk menjumpai Imam dan melaporkan apa yang telah terjadi. Beliau tersenyum dan berkata, 'Kembalilah, beberapa saat lagi engkau akan melihatnya'.

"Aku kembali ke kamar dan melihat seorang bayi baru lahir dan tengah melakukan sujud lalu ia mengangkat tangannya ke angkasa, berdzikir dan memuji Allah dengan segala kepemurahan-Nya, kebesaran-Nya dan keesaan-Nya".


Keadaan Ibunda Nargis
Salah seorang budak Imam Hadi as., Bishr Al-Anshari menukilkan sebuah kisah sehubungan dengan kejadian itu:

"Suatu hari, Imam Hadi as. memanggilku dan berkata padaku, 'Aku ingin memberikan sebuah pekerjaan untukmu, pekerjaan ini akan menjadi sesuatu yang sangat berharga untukmu'. Beliau memberikan sebuah surat disertai dengan seikat kantong yang berisi dua ratus emas Dinar. Beliau berkata, 'Ambillah kantong ini dan pergi ke Baghdad, nantikan kapal yang akan berlabuh besoknya di sana di sungai Furat (Eufrat). Di dalamnya terdapat banyak budak-budak yang dibawa untuk diperjualbelikan. Kebanyakan pembeli dan penjual itu berasal dari Bani Abbas dan beberapa pemuda dari suku bangsa yang lain.

"Di atas kapal itu, ada seorang wanita yang, ketika ia diminta untuk menampakkan dirinya, enggan memenuhi permintaan itu. Salah seorang pemuda maju ke depan dan berkata kepada tuannya, "Aku siap membeli wanita itu dengan harga dua ratus emas Dinar". Tetapi si wanita itu tidak setuju dengan tawaran pemuda itu. Lalu tuannya berkata, "Kamu tidak ada pilihan lain kecuali harus dijual, kamu harus terima tawaran pemuda itu". Tapi ia menukas, "Tunggu sebentar!

Pembeliku akan segera datang". Lalu kau maju ke depan berikan surat itu kepadanya, katakan "Jika wanita ini berhasrat kepada orang yang mengirim surat ini, aku akan membelinya". Setelah membaca surat yang disodorkan padanya, wanita itu merasa senang lalu kau bayar dengan uang ini, serahkan pada tuannya dan bawa wanita itu kemari'.

Bishr berkata, "Aku kerjakan apa yang diperintahkan Imam kepadaku, aku beli wanita itu dari tuannya. Dalam perjalanan, ia menceritakan kepadaku sebuah cerita yang mengejutkan. Katanya, "Aku adalah putri Raja Romawi. Datukku adalah sahabat dekat Nabi Isa. Ayahku menginginkan agar aku menikah dengan keponakannya.

"Suatu hari, ia mengadakan sebuah pertemuan akbar di istana dan meminta kemenakannya duduk bersanding denganku di singgasana. Seluruh bangsawan Nasrani dan para pengawal kerajaan berkumpul untuk menikahkan aku dengannya.

"Tiba-tiba istana berguncang, yang membuat segala sesuatunya berserakan hingga saudara sepupuku itu terjatuh dari singgasana. Meski begitu, mereka tetap bersikeras untuk menikahkanku dengannya. Mereka kembali mengadakan pertemuan itu, namun kejadian yang sama juga kembali terjadi. Para bangsawan Nasrani menganggapnya sebagai sebuah tanda buruk. Mereka segera meninggalkan istana.

"Pada malam yang sama, aku tertidur dalam keadaan sedih dan pilu. Aku bermimpi seorang pria dengan cahaya yang memancar dari tubuhnya, datang ke istana. Beberapa orang berkata bahwa pria itu adalah Nabi Isa, dan yang lainnya berkata bahwa pria itu adalah Rasulullah saw. Rasulullah saw. berhadapan dengan Nabi Isa as, beliau berkata, 'Aku meminang cucumu untuk cucuku'.

"Nabi Isa as. sangat gembira dengan pinangan itu. Beliau menerima pinangan Rasulullah saw.

"Aku bangkit dari tempat tidurku dan tidak mengungkapkan perihal mimpi itu kepada siapa pun. Hingga suatu hari, aku jatuh sakit dan ayahku memanggil seluruh tabib untuk memeriksa keadaanku. Namun tidak satu pun dari mereka yang dapat menyembuhkan sakitku.

"Aku memohon kepada ayahku untuk membebaskan orang-orang muslim yang ada dalam penjara ketika itu. Ia mengabulkan permohonanku. Ia membebaskan tawanan-tawanan muslim. Segera setelah itu aku pun sembuh dari sakitku.

"Pada malam yang sama, aku sekali lagi melihat dua orang wanita yang penuh dengan cahaya. Mereka berkata bahwa wanita itu adalah ibunda Nabi Allah Isa as. dan Fatimah putri Rasulullah saw. Fatimah maju ke depan dan berkata kepadaku, 'Jika engkau ingin menjadi istri putraku, engkau harus menjadi muslim'. Dalam mimpi malam itu, Aku menerima Islam melalui tangannya. Lalu ia membawaku menjumpai anaknya Imam Hasan Al-Askari.

"Cintanya menawan hatiku dengan kuat, dan seluruh badanku lemas siang dan malam. Sampai pada suatu malam, aku melihat Imam Hasan Al-Askari dalam mimpi. Aku bertanya kepadanya, 'Bagaimana aku dapat menjadi istrimu?' Beliau berkata, 'Ayahmu dalam waktu dekat ini akan mengirim serdadunya untuk berperang melawan serdadu muslim, dan engkau akan berada di barisan belakang serdadu itu. Serdadu muslim akan memenangkan perang itu dan engkau akan di tahan sebagai tawanan perang lalu dibawa ke Baghdad untuk dijual. Engkau akan dibawa ke Baghdad dengan kapal yang melintasi sungai Furat. Kapal itu akan berlabuh di sungai itu dan mereka akan membawamu keluar dari kapal itu untuk dijual'. Para pembeli akan datang untuk membelimu. Namun, tunggulah sampai seseorang (utusan) datang untuk membelimu. Ia akan datang dengan membawa surat dari ayahku. Dialah yang akan menjadi pembelimu dan membawamu pergi'.

"Aku terjaga dari mimpi dan merasa gembira. setelah beberapa waktu berlalu, apa yang diceritakan oleh Imam Hasan Al-Askari dalam mimpi itu terjadi.

"Wahai Bishr! Hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang tahu akan kisah ini dan mengenali aku. Berhati-hatilah, jangan engkau ceritakan kisah ini kepada siapapun. Simpanlah kisah ini untukmu saja".

Bishr berkata, "Ketika Nargis menukilkan kisah itu kepadaku, terasa gemetar sekujur tubuhku. Sejak saat itu, aku menghormatinya dan menemaninya seakan-akan aku ini adalah budaknya. Aku membawa beliau ke hadirat tuanku Imam Hadi as."

Imam Hadi as. bertanya kepada wanita itu, bagaimana kisahmu sampai memeluk Islam? Dia menjawab, "Anda bertanya sesuatu yang Anda lebih tahu ketimbang aku."

Beliau lalu berkata, "Berita gembira untukmu tentang seorang anak yang akan memenuhi alam semesta ini dengan keadilan dan hukum, seorang anak yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat manusia".

Kemudian beliau memalingkan wajahnya ke saudarinya Hakimah, "Wahai ukhti! Inilah wanita yang kau nanti-nantikan selama ini. Bawalah ia bersamamu dan ajarkan Islam kepadanya". Hakimah memeluknya erat dan ia membawanya pergi dengan penuh hormat.


Periode Kehidupan Imam Al-Mahdi ajf.
Periode kehidupan Imam Muhammad Al-Mahdi ajf. dapat dibagi menjadi tiga bagian:


1. Pra-Imamah
Yaitu sejak lahir hingga syahadah ayahanda beliau, Imam Hasan Al-Askari as. Periode ini berlangsung selama lima tahun.

Selama periode ini, Imam Hasan as. senantiasa menjaga putranya ini sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat melihatnya kecuali sebagian sahabat-sahabat dan orang-orang yang dekat dengan beliau.

Penjagaan ketat ini beliau lakukan lantaran kuatir terhadap penyusupan orang-orang Abbasiyah dan mata-mata mereka yang begitu ketat mengawasi kediaman beliau.


2. Kegaiban Kecil (Ghaibah Sughra)
Yang dimulai pada waktu beliau berusia enam tahun dan terus berlanjut hingga usia tujuh puluh enam tahun. Selama periode ini, aparat pemerintahan dan agen-agennya tidak dapat bertemu dengan beliau. Akan tetapi, sahabat-sahabat beliau tetap memiliki kesempatan untuk bertemu dengan beliau dan meminta jalan keluar atas masalah-masalah yang mereka hadapi.

Selama masa Kegaiban Kecil ini, ada empat orang yang menjadi sahabat khusus Imam Al-Mahdi ajf., sekaligus menjadi perantara antara Imam dan pengikutnya. Mereka membawa dan mengirim surat atau pun uang dari umat dan menyampaikannya kepada Imam as., juga sebaliknya menyampaikan jawaban Imam kepada mereka.


Empat sahabat Imam Mahdi as. itu adalah:
1. Utsman bin Sa'id

2. Muhammad bin Utsman

3. Husain bin Rouh

4. Ali bin Muhammad Sumari

Periode ini berakhir dengan wafatnya sahabat keempat Imam pada 329 H. Sebelum wafatnya, beliau telah menyatakan berakhirnya keperantaraan dan kedutaan. Dengan begitu, Imam Al-Mahdi ajf. segera memasuki periode baru dalam hidupnya, yaitu Kegaiban Besar.


3. Kegaiban Besar (Ghaibah Kubra)
Sepanjang periode ini - yang entah sampai kapan, hanya Allah swt. Yang Mahatahu- Imam Muhammad Al-Mahdi ajf. menghadiri perhelatan dan acara perkumpulan yang diadakan oleh pengikut beliau. Beliau hadir tanpa diketahui oleh seorang pun.

Tidak ada satu orang pun yang mengenali beliau. Mereka menganggapnya sebagai orang asing. Setelah Imam meninggalkan tempat itu, dengan melihat tanda-tanda yang ada, barulah mereka sadar bahwa Imam telah datang ke tempat mereka.


Masa Penantian
Imam Al-Mahdi ajf. tidak menunjukkan dirinya kepada fuqaha (ulama dan pakar hukum Islam) yang handal dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan yang mereka hadapi dan masyarakat Islam selama kegaiban beliau. Namun demikian, mereka menyediakan lahan dalam rangka menyongsong revolusi yang akan dicetuskan oleh Imam Maksum ini.

Orang-orang di masa kini, menantikan kedatangannya. Penantian ini tidak berarti hanya duduk tanpa ada usaha yang berarti sama sekali, pasif, acuh tak acuh, tidak berusaha, dan tidak berupaya membuka jalan bagi kemunculan Imam ajf. Sebaliknya, orang yang menanti adalah orang yang penuh pengharapan, berusaha, bekerja, bergerak, sadar dan giat, memiliki keyakinan yang teguh pada Imam Al-Mahdi, sehingga ia melempangkan jalan bagi kemunculan dan kedatangan beliau.

Seorang penanti sejati persis ibarat pendaki gunung, yang menantikan waktu untuk menaklukkan puncak gunung dan berjuang untuk mencapai puncak yang ditujunya. Ia senantiasa siap-sedia untuk melakukan apa saja yang diperlukan demi menginjakkan kaki di atas puncak. Tak pelak lagi, ia harus memiliki perencanaan yang matang untuk mencapai puncak kesuksesan dan sadar, bahwa duduk diam berpangku tangan tidak akan membawanya kepada tujuan.

Dengan demikian, penantian berarti pergerakan, usaha, upaya, pikiran yang teguh, berkarya dan mencipta untuk kemaslahatan umat manusia. Jika prinsip dasar ini tidak tertanam secara baik dalam masyarakat, umat manusia akan beku, putus asa dan kecewa, serta tidak lagi berpandangan optimistis dalam menatap masa depan yang gemilang.

Prinsip Penantian (Intidzarul Faraj) dalam Islam adalah sebuah prinsip yang tidak dapat dipisahkan dari agama yang memberikan kabar gembira tentang masa depan yang gemilang dan pelaksanaan segenap keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ia membina dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini sebegitu rupa sehingga ia mampu memerangi dan menghilangkan kegelapan, menyingkirkan para sufi gadungan dan kaum yang bersikap permusuhan terhadap Imam Mahdi ajf.

Dengan kekuatan pergerakannya yang tak terbendung itu, seorang muslim akan menciptakan sebuah lingkungan yang siap membentuk pemerintahan tunggal alam semesta. Sehingga, ketika tiba masa kemunculan insan yang telah diciptakan Allah swt. dengan pesona kepribadian yang luhur ini, seluruh maksud dan tujuan Islam akan menjadi kenyataan, Insya Allah. Dialah Imam Mahdi ajf.


Mukjizat Imam Mahdi as.
Dari sekian mukjizat Imam Mahdi ajf., di sini kita akan menyimak dua mukizat saja.


1. Lolos dari Kejaran Penguasa
Syeikh Thusi menukil riwayat dari seseorang yang bernama Rashiq, yang merupakan antek dari Khalifah Abbasiyah, Mu'tazid. "Suatu hari Mu'tazid memanggilku dan berkata, "Aku telah dengar kabar bahwa di kediaman Hasan Al-Askari ada seorang anak. Ia menemaniku beserta dua orang anteknya yang lain, ia berkata, 'Bergegaslah pergi ke Samarra dan geledah rumah Hasan Al-Askari. Jika engkau temukan seorang anak muda di sana, bunuh dan bawa kepalanya kemari'.

"Kami pun bergegas menuju ke Samarra. Kami tiba di depan pintu Imam Hasan Al-Askari tanpa menjumpai sedikit pun rintangan di jalan. Kami melihat seorang budak sedang duduk di depan pintu. Kami masuk ke rumah tanpa lagi peduli pada si budak itu. Di sebuah sudut rumah yang indah itu, terdapat sebuah kamar yang menarik perhatian kami. Kami singkap tirai yang menghalangi , kami temukan sebuah kamar besar yang penuh dengan air dan di kamar itu ada sebuah karpet yang menghampar dan seorang anak muda sedang sibuk mengerjakan salat.

Salah seorang dari utusan Khalifah itu mencoba memasuki kamar itu, namun dengan seketika ia tenggelam. Kami berusaha dengan susah payah untuk menyelamatkannya. Si utusan itu pingsan akibat ulahnya itu.

"Utusan yang lainnya juga mencoba memasuki kamar itu, dan seperti utusan yang pertama, ia pun tenggelam dalam air itu. Kami menyeretnya keluar. Ia juga jatuh pingsang. Beberapa saat berlalu, kedua utusan itu siuman. Dalam keadaan gemetar karena takut, kami menunggangi kuda dan beranjak meninggalkan rumah itu menuju istana Khalifah.

"Kami menemui Khalifah Mu'tazid pada tengah malam. Ia dengan sengaja berjaga-jaga dan sedang menantikan kedatangan kami. Kami ceritakan kisah yang baru saja kami alami, ia pun ikut ketakutan sebagaimana kami. Ia berkata, 'Tidak seorang pun yang boleh tahu kejadian ini. Simpan baik-baik rahasia ini dan jangan katakan kepada siapa pun. Jika saja aku tahu bahwa kalian membocorkan rahasia ini kepada orang lain, aku tidak akan segan-segan untuk membunuh kalian'.

Hingga akhir hayatnya, Mu'tazid tidak sedikit pun memiliki keberanian untuk bercerita perihal kejadian itu.


2. Jumlah Uang dalam Kantong
Ali bin Sinan bercerita, "Sekelompok orang dari Qum dengan membawa sejumlah uang bergerak menuju Samarra untuk menjumpai Imam Hasan Al-Askari. Setibanya di sana, mereka baru tahu bahwa Imam Hasan Al-Askari telah wafat. Mereka tetap tidak percaya dan mulai berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan.

"Hingga beberapa waktu, mereka diperkenalkan dengan seseorang yang bernama Ja'far saudara Imam Hasan Al-Askari as. Ketika mereka menjelaskan maksud kedatangannya, Ja'far berkata, 'Serahkan uang yang kalian bawa itu kepadaku, karena akulah pengganti Imam Hasan'. Mereka berkata, 'Kami harus menanyakan kepada Imam jumlah uang yang kami bawa dan pemilik dari setiap kantong uang itu'.

"Cara demikian itu pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, Ja'far merasa malu dan berkata, 'Kalian berdusta kalau saudaraku biasa menanyakan hal-hal seperti itu. Karena apa yang kalian tanyakan itu hanya dapat diketahui oleh Allah swt, Sang Mahatahu, Sang Mahahadir di setiap tempat. Tidak satu pun orang yang dapat mengetahui hal itu selain-Nya'.

"Kafilah dari Qum itu tetap bersikeras dengan sikap mereka, sehingga membuat Ja'far mengadukan mereka kepada Khalifah. Khalifah memanggil mereka dan memerintahkan untuk menyerahkan uang itu kepada Ja'far. Mereka memohon kepada Khalifah, 'Uang ini bukan milik kami. Uang itu adalah simpanan umat.
Kami tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan uang ini kepada seseorang yang menjadi pengganti Imam Hasan as., dan jika tidak, kami akan mengembalikan uang ini kepada pemiliknya'.

"Khalifah menerima permohonan mereka dan membiarkan mereka pergi. Ketika kafilah Qom itu memutuskan untuk meninggalkan kota, seorang pemuda datang mendekat dan berkata, 'Imam memanggil kalian semua untuk berjumpa dengan beliau'.

"Mendengar undangan itu, mereka sangat bersuka cita dan mengikuti pemuda itu menuju rumah Imam Hasan Al-Askari. Sesampainya di sana, kafilah itu menjumpai seorang pemuda, tanda-tanda dan aura Imamah nampak dari wajahnya. Mereka mengulangi pertanyaan sebagaimana yang telah dilontarkan kepada Ja'far.

Imam tersenyum dan berkata, "Duduklah, aku dapat memberi tahu kepada kalian tentang isi setiap kantung ini berikut pemiliknya. Lalu, Imam menyebutkan satu persatu pemilik kantong uang itu dan jumlahnya.

"Kami sangat bergembira melihat kenyataan bahwa kami telah menemukan siapa yang selama ini kami cari. Kami mengambil kantong uang itu dan menyerahkannya kepada Imam as.

"Perjumpaan dengan Imam as. adalah sebuah kesempatan emas untuk menanyakan masalah-masalah yang kami hadapi. Kami pun mengutarakan permasalahan-permasalahan dan dijawab oleh beliau dengan gamblang. Beliau memerintahkan kepada kami untuk tidak lagi membawa uang kepada beliau, dan meminta untuk menyerahkannya kepada wakil yang akan ditunjuk oleh beliau. Dan bila kami memiliki pertanyaan, kami mengirimnya kepada beliau dan beliau mengirim jawaban pertanyaan itu.

"Kami pun pamit dari beliau. Kami bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat dan anugerah yang besar ini; dapat berjumpa dengan beliau".


Orang-orang Yang Bertemu Imam
Walaupun Imam Muhammad Al-Mahdi ajf. tidak menunjukkan diri beliau kepada siapa pun secara langsung dalam masa Ghaib Kubra ini, namun mereka yang memiliki jiwa yang suci dan bertakwa, sewaktu-waktu dapat berjumpa dan berbicara dengan beliau.

Di sini kami akan sebutkan beberapa kejadian yang menceritakan perjumpaan mereka dengan Sang Imam ajf. Mereka itu antara lain:


1. Ismail bin Hirqili Syamsuddin
Syamsuddin bercerita, "Pernah ayahku berkisah tentang kakinya yang terluka dan kemudian terobati. Ketika masih muda, Ayahku menderita luka dan infeksi pada bagian pahanya. Luka itu sungguh membuatnya tidak berdaya.

"Suatu hari ia berkunjung kepada salah seorang sahabatnya, Sayyid Raziuddin Thaus di Hilla, Irak. Sahabat itu membantunya dengan mengumpulkan para tabib untuk memeriksa dan mengobati luka infeksi itu. Akan tetapi, setelah para tabib itu memeriksa luka itu, mereka memberikan jawaban negatif. Mereka berkesimpulan bahwa paha yang terinfeksi karena luka itu harus segera di operasi, resiko yang dapat terjadi adalah paha ayahku itu diamputasi atau ia akan mati.

"Tahun berikutnya, Sayyid yang baik hati itu, mengajak ayahku pergi ke Baghdad dan membawa beliau untuk diperiksa oleh para tabib di kota itu. Jawaban mereka atas pemeriksaan itu sama dengan jawaban tabib sebelumnya.

"Sedih, kecewa, kecil hati menyelimuti perasaan ayahku ketika itu. Ia datang berziarah ke Haram Imam Al-Askari as. di Samarra. Di Haram itu, beliau bermalam dan bertawassul untuk meminta pertolongan kepada Imam Zaman ajf.

"Tatkala fajar menyingsing, ia pergi ke arah Sungai Dajla untuk membasuh pakaiannya sekaligus mandi, lalu kembali berziarah ke Haram Imam Al-Askari. Ayahku mengatakan, 'Pada perjalananku kembali menuju Haram Imam Al-Askari, aku berjumpa dengan dua orang penunggang kuda. Semula, aku pikir mereka itu adalah orang-orang dari suku Badui.

'Mereka memberikan salam kepadaku. Salah seorang dari mereka berkata, "Mari mendekat kepadaku". Karena aku telah membersihkan pakaianku, aku tidak mendekat kepada mereka. Aku lihat orang-orang Badui Arab itu kotor. Aku khawatir bajuku yang masih basah itu akan ternodai oleh tangan mereka.

'Selagi aku masih berpikir tentang mereka, tiba-tiba ia menarikku untuk mendekat padanya. Ia menempelkan tangannya pada lukaku yang membuatku mengerang kesakitan. Setelah beberapa saat, ia mengangkat tangannya dari pahaku yang terluka itu seraya berkata, "Ismail, sekarang engkau telah sembuh. Janganlah engkau bersedih dan berkeluh kesah lagi".

'Aku terkejut betapa orang itu memanggil namaku. Ia pergi meninggalkan aku yang masih termangu dan sibuk dengan pikiranku sendiri.

'Aku yakinkan diriku bahwa orang itu adalah Imam Al-Mahdi ajf. Aku membuntuti beliau dan memohon padanya untuk berhenti. Tiba-tiba ia berbalik dan berkata kepadaku, "Ismail pulanglah".

'Aku tidak menghiraukan perkataannya itu. Aku tetap berlari mengejarnya. Orang yang beserta beliau dalam perjalanan itu turut berbicara, "Wahai Ismail pulanglah. Apakah engkau tidak merasa malu mengabaikan perintah Imam Mahdi?"

'Mendengar perkataan orang tersebut, dugaanku benar, bahwa beliau adalah Imam Mahdi dan Sang Pelindung Umat.

'Aku pun berhenti dan menatap beliau pergi, selang beberapa saat kemudian mereka telah menjauh dan menghilang dari pandanganku'.

Syamsuddin menuturkan, "Sejak hari itu ayahku menjadi lebih sering ke Samarra. Namun sayang, beliau tidak melihat Imam lagi hingga akhir hayat beliau dengan asa dan kerinduan untuk bersua lagi dengan Imam Mahdi ajf.


2. Sayyid Muhammad Jabal Amili
Sayyid Muhammad Jabal Amili menuturkan perjalanannya kepada seorang sahabatnya. Ia berkata, "Setahun aku dalam perjalanan ke Masyhad. Karena tidak memiliki uang yang cukup, aku menjadi sangat kesusahan.

"Hingga pada suatu waktu, sebuah karavan bergerak. Namun karena aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan, aku pergi berziarah ke Haram (pusara) Imam Ridha di Masyhad dan mengadukan kesulitanku kepada beliau. Dengan perut kosong menahan lapar, aku tetap mengejar kafilah itu. Sebab, jika aku berdiam diri di kampungku pada musim dingin, aku akan mati kedinginan.

"Aku berusaha berlari mengejar kafilah itu, tetapi aku justru kehilangan arah. Aku tersesat jalan dan mendapati diriku di tengah padang sahara yang panas membakar. Karena rasa lapar, aku sama sekali tidak lagi kuasa menggerakkan badanku. Aku berusaha mencari tumbuh-tumbuhan sahara dan rerumputan gurun pasir untuk mengganjal perutku yang kosong, namun aku sama sekali tidak dapat menggerakkan badanku, apalagi untuk menemukannya.

"Hingga malam pun tiba dan kegelapan menyelimuti padang sahara. Raungan binatang buas, dengungan hewan-hewan padang pasir membuatku tercekam rasa takut. Aku menjerit menangis dan pasrah menanti maut yang sebentar lagi akan datang menjemputku.

"Tidak lama setelah bulan menampakkan dirinya dan suara bising kawanan hewan-hewan sahara itu berhenti, tiba-tiba aku menangkap bayangan sebuah bukit kecil, tumpukan bukit pasir. Aku berusaha mengangkat kaki menuju tempat itu. Aku melihat ada sumur di sana. Aku menimba air dari sumur itu untuk melepaskan dahagaku dan mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat. Namun aku tak lagi berdaya, sama sekali. Aku tidak memiliki tenaga sedikit pun untuk bergerak karena menahan rasa lapar. Aku merangkak ke tempat itu untuk tidur dan pasrah menantikan ajalku.

"Tiba-tiba, aku melihat seseorang datang menunggang kuda, bergerak ke arahku. Aku berpikir, orang ini barangkali salah seorang dari kawanan rampok padang pasir. Aku tidak memiliki sesuatu apapun sehingga ia akan membunuhku dan membebaskanku dari rasa lapar.

"Ketika orang itu tiba di dekatku, ia menyampaikan salam kepadaku. Aku menjawab salamnya itu. Dan dengan salamnya itu tertepislah dugaanku. Ternyata, ia bukanlah dari kawanan rampok padang pasir.

"Ia bertanya, 'Apa yang sedang kau cari?'

"Aku berusaha menjawab pertanyaan itu dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki, aku berkata bahwa Aku lapar dan tersesat jalan.

"Ia berkata, 'Engkau memiliki buah melon di sampingmu, mengapa engkau tidak memakannya?'

"Aku yang tadinya mencari kesana-kemari sesuatu yang dapat aku makan, berpikir bahwa ia sedang bercanda. Aku berkata padanya, 'Anda jangan bergurau. Tinggalkanlah aku sendirian menanti ajal kan tiba'.

"Ia berkata, 'Aku tidak bercanda. Lihat apa yang di sampingmu!'.

"Kulihat, ada tiga buah melon tergeletak di sebelahku.

"Ia berkata, 'Makanlah satu dari buah melon itu dan sisanya engkau simpan sebagai bekal perjalananmu dan tempuhlah jalan ini (Orang itu menunjukkan jalan kepadanya, penj.). Menjelang matahari tenggelam, engkau akan sampai di sebuah kemah, merekalah yang akan menuntun jalan untukmu sampai pada kafilah yang engkau ingin susul'.

"Setelah berkata-kata, orang itu pun menghilang. Seketika aku mengerti bahwa orang itu adalah Imam Mahdi ajf.

"Sesuai dengan petunjuknya, aku makan satu dari buah melon itu. Aku merasa sedikit pulih dan kuat untuk melanjutkan perjalanan. Pada hari berikutnya, aku makan lagi satu dari buah melon itu dan kembali melanjutkan perjalanan.

"Sebagaimana yang beliau katakan, sebelum Maghrib aku berhasil tiba di kemah yang dimaksudkan oleh beliau. Orang-orang yang berada di kemah itu mengajakku masuk ke dalam dan mereka menjamuku dengan ramah. Setelah itu, mereka menunjukkan jalan kepadaku untuk dapat menyusul kafilah".


Mungkinkah Berusia Sepanjang Itu?
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan -seperti dalam Fisiologi- menegaskan ihwal raga manusia yang tersusun dari miliaran sel. Dengan berlalunya waktu, sel-sel tersebut menjadi tua, usang, lalu punah, digantikan oleh sel-sel yang lebih muda. Demikianlah bagaimana daur kehidupan berputar.

Sesuatu yang menjadikan manusia menjadi usang, menghentikan sel-sel itu dari aktifitasnya, dan dapat membawa kematian kepada manusia adalah bakteri dan virus yang berbahaya yang menerobos masuk ke dalam raga manusia dengan berbagai cara dan menyerang sel-sel aktif itu lalu membinasakannya.

Ilmu Kedokteran (pencegahan dan pengobatan penyakit) merupakan bukti yang kuat, bahwa jika manusia menguasai ilmu pengetahuan dengan sempurna, mengenal dengan baik keadaan tubuhnya dan zat-zat yang berbahaya, merawat kesehatannya dan teliti dalam memilih makanan, maka hidupnya di dunia ini akan berlangsung lama. Ia tidak akan segera mengalami ketuaan.

Dari pandangan para ilmuwan, mereka telah mampu memperpanjang kehidupan beberapa hewan melalui beberapa eksperimen. Dengan cara seperti ini dan berkat manfaat ilmu pengetahuan yang semakin menyebar dan menerapkan pola dan aturan kesahatan yang ketat, manusia dapat hidup lebih lama hingga beberapa abad.

Seorang ilmuwan telah sekian tahun berusaha mencari dan menyingkap tirai ilmu pengetahuan, untuk sekedar mengenal sekelumit dari rahasianya. Akan tetapi, Imam Mahdi ajf. menerima anugerah seluruh khazanah ilmu pengetahuan itu. Dengan anugerah Ilahi itulah beliau tidak kesulitan untuk melintasi jalan-jalan yang ditempuh oleh para ilmuwan tersebut.

Dengan cara seperti ini, tidak akan menjadi mustahil -dari sudut pandang ilmu pengetahuan- bahwa Imam Mahdi ajf. dengan keluasan ilmu yang diberikan Allah swt. kepadanya, dapat menjalani hidupnya untuk ratusan tahun dengan tetap sehat dan muda. Ketuaan dan kerentaan tidak berlaku padanya.

Di sisi lain, usia panjang Imam Mahdi tidak begitu ajaib daripada dipadamkannya api Namrud oleh Nabi Ibrahim as., dibelahnya sungai Nil oleh Nabi Musa as. dan diubahnya beberapa orang menjadi ular. Semua itu menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah swt.

Berkenaan dengan masalah ini, Al-Qur'an dan sejarah umat manusia memberikan teladan dan contoh beberapa nabi yang berusia panjang termasuk orang-orang biasa. Sebagai contoh, Nabi Nuh as. yang telah hidup selama 950 tahun, atau Lukman as. yang telah hidup selama 400 tahun.

Demikian juga Bukht Nashr mampu hidup selama 1507 tahun, Nabi Sulaiman selama 712 tahun, dan Raja India, Firoze Rai selama 537 tahun.
Fakta-fakta yang tersebut di atas tadi merupakan bukti bahwa lamanya hidup seseorang di dunia tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Dan ini bisa saja terjadi di setiap zaman.


Bagaimana Imam Al-Mahdi Mengungguli Kekuatan Dunia?
Ketika para pemikir dan orang-orang pintar dunia sibuk dalam perlombaan senjata-senjata pemusnah massal, tampaknya tidak ada tanda-tanda perdamaian.

Dunia ini tetap saja membara dengan peperangan dan ketidakadilan. Kutub-kutub kekuatan dunia terus berambisi untuk meluaskan kekuasaan dan wilayahnya melalui campur tangan perang.

Dengan keadaan dan kondisi yang menguatirkan dan mengenaskan ini, kerusakan semakin merejalela dalam kehidupan umat manusia, dan dosa serta kejahatan terus meluas.

Dalam keadaan seperti ini, medan penyambutan sebuah pemerintahan yang adil dan bebas dari perang serta agresi akan menjadi kenyataan. Seluruh bangsa-bangsa akan merasa jenuh dan muak dengan kezaliman pemerintahan mereka yang hanya memikirkan pengembangan kejahatan dan ketidakadilan yang membuat dunia runtuh. Persis sebagaimana kemunculan bintang cerlang Islam di daerah Hijaz, pun demikian setelah lima abad dalam kubangan tirani
Jahiliyyah, adalah sebuah medan yang patut dipersiapkan untuk menyambut kemunculan Nabi Islam Muhammad saw.

Masyarakat yang teraniaya bersiap-siap menerima Islam dan panggilan Tauhid Allah serta Keadilan Nabi saw. Sekelompok manusia menerima Islam sebagai panji pergerakan mereka.

Jika kita amati revolusi-revolusi yang meletus di seluruh dunia, kita temukan bahwa keberhasilan para pemimpin mengusung sebuah revolusi adalah landasanguna mewujudkan medan dalam sebuah masyarakat yang menumbuhkan kekecewaan dan kebencian besar mereka terhadap para penguasa zalim akibat pemerintahan mereka yang tidak adil. Medan semacam ini akan mengantarkan para pemimpin sampai kepada tampuk kekuasaan.

Berdasarkan keyakinan itu, revolusi Imam Mahdi akan terlaksana secara alami, yang seiring dengan munculnya medan yang siap dan memadai di tengah masyarakat. Karena, revolusi agung Imam Mahdi akan bersifat global dan tidak terbatas pada suatu tempat. Oleh karena itu, seluruh masyarakat dunia harus bersedia untuk menyongsong revolusi agung itu di tengah keadaan mereka saat itu sesuai dengan apa yang disingkapkan oleh Rasulullah saw., "Kekejaman, kedurjanaan dan pengrusakan akan merajalela di seluruh dunia".

Tekanan yang hebat dari pemerintahan zalim akan membuat bangsa-bangsa menjadi hulu ledak yang besar, sehingga mereka akan saling bahu-membahu menghadapinya. Dan masyarakat yang selama ini diperlakukan secara tidak adil dan tidak beradab akan memenuhi panggilan nurani mereka. Ibarat buah yang matang di pohonnya, akan jatuh ke tanah hanya dengan sedikit goyangan.

Dalam kondisi seperti ini, seluruh kekuatan dunia, betapapun mereka dilengkapi dengan persenjataan militer yang canggih, tidak akan dapat membendung dan menghentikan kebangkitan dan revolusi agung ini, meskipun dengan cara pembantaian massal.

Pada saat dunia menghadapi kekalahan dan kelesuan jiwa, mereka membutuhkan seorang pemimpin yang luar biasa. Yaitu seorang pemimpin yang lengkap dengan pengetahuan, kesadaran sejarah, mengenal seluruh tingkat kebudayaan manusia dengan baik, dan bergaul aktif secara langsung, serta sanggup mengamati secara cermat akan perubahan-perubahan sejarah dan seluruh kejahatan-kejahatan di masa lampau.

Dialah yang menjadi hujjah dan penegak amanah Ilahi yang menyerukan janji keadilan dan kemanusiaan di bumi, menghimpun orang-orang yang tertindas di seluruh dunia untuk meruntuhkan pemerintahan-pemerintahan penindas. Daripada meluangkan tenaga demi pemusnahan dan penghancuran satu sama lainnya, mereka menggalang persatuan secara menata, sehingga mendapatkan tenaga dan sumber-sumbernya demi kemakmuran dan kesejahteraan satu sama lainnya.

Dialah Imam Muhammad A-mahdi ajf. yang akan mewujudkan sebuah dunia yang bebas dari rasa takut, cemas dan memenuhinya dengan berkat dan rahmat. []


Riwayat Singkat Imam Al-Mahdi as.
Nama : Muhammad

Gelar : Al-Hadi, Al-Mahdi dan Al-Qoim

Julukan : Abul Qosim

Ayah : Imam Hasan Al-Askari as.

Ibu : Nargis Khatun

Kelahiran : Samarra, 256 Hijriah


Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan cermat!
1. Mengapa Khalifah Abbasiyah selalu mencari tahu dan menyelidiki keberadaan Imam Mahdi ajf.?

2. Mengapa kelahiran Imam Mahdi ajf. berbeda dengan kelahiran Imam-Imam yang lain?

3. Bagaimana kisah ibunda Nargis Khatun?

4. Seperti apakah Ghaibah Sughra dan Ghaibah Kubra yang dialami oleh Imam Mahdi ajf.?

5. Bagiamanakah sifat yang harus dimiliki oleh seorang Imam?

6. Bagiamanakah seorang manusia dapat hidup selama itu?

7. Bagaimanakah Imam Mahdi ajf. dapat meraih kesuksesan dan kemenangan atas kekuatan-kekuatan dunia?

17