• Mulai
  • Sebelumnya
  • 29 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: / Download:
Ukuran Ukuran Ukuran
Pemimpin Teladan

Pemimpin Teladan

Indonesia
Pemimpin Teladan Pemimpin Teladan




Diterjemahkan dari: Ulghuhoye Fadhilat

Karya: Ibrahim Amini

Penerjemah: Faruk Diya

Penyunting: Tim Redaksi Al-Huda

Hak terjemahan dilindungi undang-undang

Diterbitkan oleh Penerbit Al-Huda PO.BOX 7335 JKSPM 12073

1
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

DAFTAR ISI BUKU
" Sekapur Sirih

" Bagian Pertama

" Bagian Kedua

" Bagian Tiga

" IMAM KETIGA: IMAM HASAN MUJTABA AS

" IMAM KETIGA: IMAM HUSAIN AS

" IMAM KEEMPAT: IMAM ALI ZAINAL ABIDIN AS

" IMAM KELIMA: IMAM MUHAMMAD BAQIR AS

" IMAM KEENAM: IMAM JA'FAR SHADIQ AS

" IMAM KETUJUH: IMAM MUSA AL-KAZHIM AS

" IMAM KEDELAPAN: IMAM RIDHA AS

" IMAM KESEPULUH: IMAM HADI AS

" IMAM KESEBELAS: IMAM HASAN ASKARI AS

" IMAM KEDUABELAS: IMAM MAHDI AS

2
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

SEKAPUR SIRIH
"Kematian orang yang tidak mengenal imamnya adalah kematian jahiliah."

(HR. Ahmad)

Melihat hadis di atas dan puluhan hadis lainnya, mayoritas ulama bersepakat tentang posisi fundamental imamah. Namun, bagi sebagian orang, membicarakan imamah berarti memasuki "area terlarang" karena berkaitan dengan kemelut kepemimpinan pasca-Rasulullah saw dan mengarah kepada kasus-kasus sejarah yang telah "dipetieskan" dan tokoh-tokoh yang "tak tersentuh". Tak aneh jika kemudian muncul apologi dan justifikasi bahwa memikirkan "persatuan" umat Islam lebih urgen daripada membuka "luka lama".

Asumsi di atas boleh jadi "benar" jika kita menempatkan imamah sebagai suatu persoalan politik semata. Akan tetapi, sebagaimana yang ditegaskan hadis-hadis Rasulullah saw, imamah jelas merupakan persoalan akidah yang pengingkaran terhadapnya dikenai konsekuensi akidah pula (mati dalam keadaan jahiliah). Alhasil, pembahasan mengenai imamah adalah sama pentingnya dengan membahas masalah tauhid, misalnya.

Karena merupakan permasalahan akidah, imamah bukanlah soal "kalah" dan "menang" seperti lazim ditemui dalam demokrasi atau "benar dapat dua" dan "salah dapat satu" seperti tertera -konon- dalam doktrin ijtihad. Jika demikian, maka imamah mutlak menjadi domain pembuat syariat, yakni Allah Swt dan Rasul-Nya saw. Satu lagi, kalau memang berkaitan dengan akidah, imamah pastilah persoalan "super penting" yang menjadi inti dan fondasi bagi persoalan-persoalan umat lainnya. Artinya, segala macam krisis yang mendera umat saat ini pasti salah satunya diakibatkan keengganan (baca: ketabuan) kita untuk mulai membahas persoalan imamah secara objektif dan mendalam.

Untuk itulah, Ayatullah Ibrahim Amini sangat menekankan pembahasan masalah imamah ini. Baginya, imam merupakan poros kehidupan beragama dan bermasyarakat. Melalui imamiah, segala kepentingan umat terpenuhi. Tanpa imam, agama tidak akan terorganisasi sehingga menjadi hina. Bukankah kehinaan agama adalah tujuan para penindas dan orang-orang zalim.

Dalam buku yang berjudul asli Ulghuhoye Fadhilat ini, Ayatullah Amini -yang juga menulis buku Imam Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi (Al-Huda, 2002), menjelaskan keniscayaan eksistensi seorang imam pada setiap zaman. Tidak seperti ulama lain yang hanya bersandarkan kepada dalil-dalil naqliyah (al-Quran dan sunnah), Ayatullah Amini, dengan bahasa yang sederhana, memaparkan pembahasan yang cukup pelik ini melalui argumentasi-argumentasi aqliyah 'rasional'. Hal ini dapat dipahami karena bagi Ayatullah Amini, sebagaimana juga dianut teologi Syiah, akidah (yang di dalamnya terdapat imamah) adalah sesuatu yang harus diyakini secara rasional.

Selain itu, dalam buku ini, Ayatullah Amini menjelaskan karakteristik-karakteristik imam yang secara esensial berbeda dengan manusia biasa. Hal ini perlu ditegaskan karena pertama, tidak setiap orang layak dan patut menjadi imam dan kedua, tugas yang diemban seorang imam bukanlah tugas yang bisa dilakukan manusia zonder karakteristik-karakteristik tersebut. Untuk tema bahasan ini, sekali lagi, Ayatullah Amini menggunakan pendekatan rasional meskipun tanpa mengabaikan al-Quran dan sunnah.

Tak cukup hanya memasuki tataran wacana, Ayatullah Amini dalam buku ini juga menuliskan kisah setiap imam dari sejak kelahiran, pengangkatan (sebagai imam) hingga kematian. Dari sini, kita dapat menyaksikan betapa tabah dan cerdasnya setiap imam menghadapi dan mengatasi segala ujian yang tentu saja berbeda dari zaman ke zaman. Kisah-kisah tersebut juga, secara tidak langsung, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita mengenai beberapa persoalan yang masih menjadi kontroversi seputar imamah ini. Meskipun tidak terperinci, kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang dikutipkan di sini dapat menjadi teladan sekaligus bukti tersendiri bagi imamah setiap Imam.

Alhasil, inilah karya mengenai suatu persoalan akidah yang cukup kontroversial dengan bahasa yang mudah dan uraian yang sistematis sekaligus logis. Paparan filosofis tidak membuat bahasan menjadi kering karena masih satu tarikan napas bersama ayat-ayat suci al-Quran dan hadis-hadis para manusia suci. Riwayat-riwayat para imam yang ditampilkan dalam buku ini juga mampu membawa pembaca kepada nuansa keteladanan yang tidak pernah akan dijumpai dalam kisahkisah teladan orang-orang besar manapun.

Pendek kata, buku ini sangat layak untuk dibaca setiap Muslim yang peduli terhadap nestapa umat Islam yang hingga kini -sejak wafatnya Rasulullah saw- belum pernah menikmati dan memanfaatkan seoptimal mungkin kasih sayang Allah berupa kehadiran seorang pembimbing, pemimpin, penegak kebenaran dan keadilan, serta penolong, yaitu imam.

Selamat membaca!

3
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Bagian Pertama

Pengenalan Imam

Imamah dalam Bahasa
Imamah dari segi arti bahasa adalah kepemimpinan dan imam dinisbatkan kepada seseorang yang ucapan dan perilakunya diteladani banyak manusia. Raghib Al-Ishfahani dalam bukunya al-Mufradat menegaskan, "Imam juga dinisbatkan kepada kitab yang diikuti masyarakat."[1]

Ada imam haq yaitu imam yang menyeru manusia kepada kemaslahatan dan kebaikan. Imam juga dapat diartikan pemimpin kebatilan yang mengajak para pengikutnya kepada kerusakan. Dalam al-Qur'an, imamah digunakan bagi kedua makna tadi.

Allah swt berfirman: Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. [2]

Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. [3]

Pemimpin shalat jamaah disebut imam sebab para makmum yang shalat di belakangnya mengikuti semua gerakan dan ucapan zikirnya.

Ada berbagai jenis imam, misalnya imam masjid, imam kota atau Imam sebuah negara dan imam umat. Disamping itu, ada imam spiritual dan akhlak atau sair dan suluk batiniah. Terdapat juga imam politik dan sosial. Untuk dapat dikatakan sebagai imam, diperlukan kepemimpinan atau keteladanan praktis.

Seorang manusia akan dikatakan sebagai imam jika hatinya meyakini apa yang dikatakan lisannya dan mengajak manusia kepada apa yang diyakininya itu dengan ucapan dan perbuatannya.


Definisi Imamah
Mazhab Imamiyah mendefinisikan imamah sebagai berikut.

1. Imamah adalah kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah saw.
2. Imamah adalah khalifah Rasulullah saw yang memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat dan yang wajib dipatuhi serta diikuti.[4]
3. Syaikh Thabarsi mendefinisikan imamah seperti berikut ini. "Dari kata imam, dapat dipetik dua kesimpulan. Yang pertama, ucapan dan perbuatan seorang imam adalah contoh dan panutan masyarakat. Yang kedua, imam melaksanakan kebijakan-kebijakan terhadap urusan masyarakat. Para imam menjalankan apa yang dibutuhkan untuk mengatur masyarakat, seperti menghukum orang-orang yang bertindak kriminal, memilih para pejabat negara, menyosialisasikan hudud (hukum), dan mengorganisasi perang melawan musuh. Tidak ada perbedaan antara mazhab Imamiyah dan Ahlus- sunnah dalam mendefiniskan imamah."[5]


Khilafah
Adakalanya imam juga disebut khalifah. Khalifah menurut arti bahasanya adalah pengganti dan orang yang menggantikan pekerjaan orang lain saat orang yang digantikan berhalangan atau meninggal dunia. Setelah Rasulullah saw wafat, orang yang bertugas mengatur kebijakan bagi urusan-urusan Muslimin dipanggil khalifah Rasul saw, seperti Khalifah Abu bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib.

Kata imam atau khalifah dapat didapati dalam peristiwa Tsaqifah dan di zaman khalifah yang empat. Hanya saja khalifah sebelum Imam Ali umumnya menyebut dirinya dengan khalifah Rasul saw dan mereka jarang menggunakan kata imam. Lain dengan Imam Ali bin abi Thalib, beliau dan juga para pengikutnya lebih sering menyebut dirinya dengan imam.

Perbedaan ini mungkin lantaran kata imam mengandungi makna sakral yang tidak terkandung dalam kata khalifah sebab arti imam adalah suri teladan dan pemimpin. Sikap seorang imam harus demikian mulia sehingga dia menjadi panutan para pengikutnya. Sebelum Ali bin abi Thalib menduduki kursi khilafah, manusia agung itu sudah banyak diteladani orang, baik dari segi kezuhudan, ibadah, keikhlasan, pengorbanan maupun berbagai kesempurnaan ruhaninya.


Shahibul Amr
Shahibul amr adalah di antara kata yang dinisbatkan bagi imam. Muhammad ibn Isthaq menukilkan bahwa umumnya kaum Muhajirin dan Anshar tidak ragu bahwa sepeninggal Rasulullah saw, Ali adalah shahibul amr.[6] Kata amr banyak sekali didapati pada persoalan yang terkait dengan imamah. Amr bermakna 'pemerintahan'. Imam dan penguasa juga disebut dengan shahibul amr dan ulul amr, yakni seorang yang memiliki wewenang untuk berkuasa, memerintah dan melarang.

Dalam al-Qur'an, ulul amr diartikan dengan makna tadi dan kitab samawi ini menegaskan bahwa mematuhi ulul amr adalah suatu kewajiban bagi setiap Muslim.

Allah berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulul-amr di antara kalian. [7]

Kata ulul amr dan wali amr banyak dijumpai dalam buku sejarah dan hadis. Para khalifah dan penguasa setelah Rasulullah saw menyebut diri mereka dengan sebutan wali amr. Namun, mereka lebih sering menggunakan kata khalifah.

Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan:

"Wahai orang-orang Muhajirin! Sesungguhnya kami lebih berhak terhadap khilafah daripada kalian." [8]

Kata imarah dan amr juga berasal dari sumber yang sama. Khulafa juga disebut dengan amirul mukminin, yakni pemimpin orang-orang mukmin, dan imarah, yakni komandan dan amirul mukminin, yakni komandan orang-orang mukmin.

Namun, perlu dicatat di sini bahwa meskipun kata khalifah, shahibul amr dan amirul mukminin juga dinisbatkan kepada imam, semua itu adalah dari aspek kekuasaannya. Alhasil, kata imam mengandung kesakralan dan lebih luas cakupannya sebab, selain bermakna kekuasaan duniawi, juga mencakup aspek kepemimpinan ruhani.


Imamah dalam Perspektif Imamiyah
Masyarakat Syiah meyakini imamah bukan hanya kekuasaan duniawi, yakni kepemimpinan, melainkan sebuah kedudukan tinggi batiniah dan ilahiah. Menurut Syiah, imam adalah seorang manusia yang memiliki semua kesempurnaan insani serta suci dari semua aib dan akhlak yang tercela. Berdasarkan keyakinan Syiah, imam adalah manusia yang paling berakhlak mulia. Pengenalan dan keimanan para imam kepada Allah dan Nubuwwah (kenabian) sangat tinggi.

Mengapa demikian? Semua itu karena mereka telah mencapai derajat keyakinan dan syuhud batiniah (penyaksian batin). Ruhani mereka telah menyaksikan semua hakikat agama, bahkan kepatuhan mereka terhadap agama adalah contoh bagi semua orang. Selain itu, perkataan dan perbuatan mereka senantiasa menjadi tolok ukur bagi umat.

Ada dua karakteristik yang membuat para imam begitu menonjol dibanding manusia biasa. Yang pertama adalah sifat ishmah (terpelihara dari dosa) dan kedua adalah ilmu.

Imam terpelihara dari kesalahan, kekhilafan, dan dosa. Mereka tidak pernah melanggar perintah Allah. Imam menyimpan dan mengetahui semua ilmu yang dimiliki Nabi Muhammad. Nabi Muhammad telah mewariskan semua pengetahuan dan hukum agama kepada para imam secara sempurna, yang kemudian dihafal dan dijaga oleh mereka dengan baik.

Allah swt telah memilih manusia-manusia suci tersebut sebagai imam. Mereka diberi amanah untuk mengatur berbagai urusan agama dan menyosialisasikan hukum dan peraturan sosial serta mengorganisasi masyarakat Muslim. Manusia seperti ini adalah khalifah sejati Rasulullah saw. Muslim bukan hanya diharuskan menaati mereka melainkan juga diharuskan mempersiapkan landasan bagi pemerintahan para imam suci agar mereka dibimbing ke jalan agama yang lurus dan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.

Meskipun Muslim tidak mengakui para imam suci itu sebagai khalifah Rasulullah saw, di mata Allah, para imam suci tetap sebagai imam. Apabila Muslim memilih orang yang tidak suci sebagai khalifah Rasulullah saw, khalifah pilihan umat itu bukan berarti imam dan khalifah Rasulullah saw yang sejati.


Keharusan Adanya Imam
Berdasarkan keyakinan Syiah Imamiyah, keberadaan Imam merupakan suatu keharusan bagi umat Islam dan terdapat sejumlah ayat dan hadit yang mendukung teori keharusan keberadaan imam itu. Namun, dalil yang paling penting adalah burhan aqliyah 'bukti rasional', yang penjelasannya didapati dalam kitab-kitab kalam. Mereka berpendapat bahwa dalil yang menunjukkan bahwa manusia memerlukan nabi juga dipakai untuk membuktikan kebutuhan manusia kepada imam. Sebagaimana manusia memerlukan nabi, maka di zaman ketiadaan nabi, manusia juga memerlukan imam.

Masalah nubuwwah dan imamah merupakan dua tema kalam yang penting dan kitab kalam telah mengkajinya dari berbagai dimensi dengan sangat terperinci.

Dalam makalah pendek ini, kami tidak akan memasuki pembahasan secara terperinci. Akan tetapi, untuk membuktikan keharusan wujud imam, sebagai pendahuluan, kami akan membahas keharusan wujud nabi secara ringkas.

Untuk membuktikan kenabian secara umum (nubuwwah ammah), terdapat berbagai burhan yang salah satunya adalah dalil yang populer disebut dengan burhan luthuf.

Dalil tersebut telah dijelaskan dalam berbagai bentuk dalam kitab kalam. Di sini, dengan memanfaatkan pembahasan itu, kami akan menjelaskan persoalan yang sama dengan metode yang lain. Pertama, sebagai pendahuluan, kami akan menyinggung beberapa persoalan penting, yang pada tempatnya sendiri, telah terbuktikan kebenarannya dan setelah itu, kami akan menarik kesimpulan.

1. Penciptaan manusia dan alam adalah jauh dari sia-sia. Manusia tidak dilahirkan ke dunia untuk beberapa hari merasakan kesenangan dan kesusahan atau makan dan minum, menikmati kesenangan, berkembang biak, dan lantas mati serta binasa. Kehidupan dunia diciptakan dengan tujuan dan perhitungan.

Kematian merupakan perpindahan dari alam dunia yang fana ke alam akhirat yang kekal dan dunia adalah ladang bagi akhirat. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan baik dan buruknya selama hidup di dunia. Tujuan dari penciptaan manusia adalah penyempurnaan dan pengembangan jiwa agar manusia memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat. Setelah mati, manusia akan berpindah ke alam akhirat dan kehidupannya menjadi abadi. Apabila melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia, manusia akan menerima balasan yang baik. Sebaliknya, bila melakukan perbuatan buruk, ia akan dikenai hukuman.

2. Filsafat telah membuktikan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani material dan ruh 'mujarrad malakuti'. Dengan ungkapan lain yang lebih tepat, manusia memiliki dua tingkatan wujud. Pada tingkatan wujud yang lebih rendah, manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat fisikal sedangkan pada tingkatan wujud yang lebih mulia, yaitu tingkatan mujarradah, manusia melakukan perbuatan-perbuatan mujarradah. Namun demikian, manusia tidak lebih dari satu hakikat dan dua tingkatan wujud itu adalah satu.

Karena tidak seutuhnya mujarrad dan masih berkaitan dengan materi, ruh manusia berpotensi untuk berubah dan menjadi sempurna. Manusia memperbaiki diri dan melakukan persiapan bagi kehidupan akhirat melalui akidah dan akhlak serta perbuatannya.

3. Berhubung manusia terdiri dari badan jasmani dan ruh mujarrad, maka wajar jika manusia memiliki dua warna kehidupan, yakni kehidupan duniawi, yang berkaitan dengan tubuhnya, dan kehidupan ruhani atau batin, yang terkait dengan jiwanya. Sebagai konsekuensinya, akan ada kebahagiaan dan kesengsaraan bagi dua bentuk kehidupan tersebut. Batin atau ruh manusia tidak keluar dari dua kemungkinan: pertama, bergerak menuju kesempurnaan dan kebahagiaan atau menuju kesengsaraan dan kemunduran. Dua jenis gerakan ini adalah akibat dari dua jenis akidah, yakni haq dan batil, akhlak yang baik dan sesat, serta perbuatan baik dan keji, yang dilakukan oleh manusia semasa hidupnya.

4. Sebagaimana terdapat hubungan yang sangat erat antara tubuh dan ruhani manusia, begitu pula berlangsung keterkaitan yang sangat erat antara kehidupan duniawi manusia dan kehidupan batinnya. Kehidupan nafs (batin) bermuara dari berbagai perbuatannya di dunia. Akidah yang sesat, akhlak yang buruk, dan amalan-amalan yang tidak patut akan menggelapkan jiwa. Oleh karena itulah, manusia yang mencari kesempurnaan dan kebahagiaan jiwa tidak seharusnya mengabaikan bentuk perbuatan dan tindakannya di dunia.

5. Filsafat telah membuktikan bahwa kepribadian dan nilai manusia bergantung kepada ruhnya. Dengan alasan inilah, manusia diciptakan untuk meraih kesempurnaan ruhnya dan kehidupan batinnya. Allah swt yang menciptakan manusia dan melengkapinya dengan berbagai potensi, yang membawanya kepada kesempurnaan, tidak mungkin mengabaikan kehidupan batin manusia dan tidak mengajarkan bagaimana menuju kesempurnaan dan mencapai tujuan.

6. Berhubung manusia adalah maujud sosial, hidup bermasyarakat, dan sering terjadi perbedaan kepentingan serta perampasan hak orang lain, maka masyarakat memerlukan undang-undang dan pemerintahan yang bertugas membela hak semua individu masyarakat, khususnya kaum lemah, mencegah pelanggaran-pelanggaran dan berbagai bentuk sikap diskriminatif, serta mewujudkan keamanan dan kedamaian di tengah masyarakat.


Penarikan Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah lalu, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kehidupan sosial dan bahkan kehidupan individual, manusia sangat memerlukan undang-undang sebab, tanpa undang-undang, manusia tidak akan dapat merasakan kebahagiaan. Kini, muncul sebuah pertanyaan, apakah semua undang-undang pasti dapat menjamin kesejahteraan duniawi dan ruhani manusia ataukah untuk itu, undang-undang tersebut harus memiliki keistimewaan tertentu?

Dengan memperhatikan pembahasan yang lalu, undang-undang jelas dapat menjamin kebahagiaan manusia bila memiliki kriteria seperti berikut ini.

1. Undang-undang tersebut harus ditetapkan dan disusun berdasarkan kemaslahatan sejati manusia, bukan hanya mempertimbangkan kemaslahatan dan kecenderungan hewani manusia.

2. Undang-undang itu harus dibuat dengan mempertimbangkan maslahat manusia secara umum, mempedulikan semua kelas sosial, menghindari segala bentuk perbuatan diskriminatif serta fanatisme kelompok, dan membela hak kaum lemah. Bahkan, dalam programnya, undang-undang itu lebih memprioritaskan hak kaum yang tertindas dan miskin.

3. Undang-undang itu dibuat sedemikian rupa sehingga tidak merugikan kehidupan batin atau ruhani manusia, bahkan, berdasarkan undang-undang itu, kehidupan duniawi manusia tidak lebih dari pendahuluan bagi kehidupan ruhani dan akhirat manusia yang abadi. Lebih lanjut, undang-undang itu bertujuan membersihkan lingkungan sosial dari kerusakan moral dan mempersiapkan landasan bagi pembinaan jiwa yang berakhlak hasanah dan berorientasikan spiritual.

4. Kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan ruhani dan akhirat sebab tujuan penciptaan manusia dan kehidupan hakikinya tiada lain adalah kehidupan jiwa atau ruhani. Manusia diciptakan agar ruh mereka melakukan sair dan suluk di shiratul mustaqim kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah swt sehingga mencapai maqom yang lebih tinggi yang telah ditetapkan oleh Allah. Apa yang penting dan signifikan bagi manusia adalah bagaimana ia memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat kelak sebab kehidupan dunia bersifat sementara. Apa yang penting dan abadi adalah kehidupan ruhani dan kebahagiaan di akhirat. Dalam kehidupan di dunia, manusia juga sangat memerlukan program yang mendorong mereka kepada shiratul mustaqim kemanusiaan serta qurbah kepada Allah dan menyelamatkan mereka dari penyimpangan atau kejatuhan ke lembah kebinatangan yang mengerikan.

Kita dapat menarik kesimpulan dari semua pembahasan tersebut, bahwa manusia memerlukan program bagi kehidupan dunia dan akhiratnya. Masalahnya, manusia tidak mampu membuat atau menyusun program sempurna dan lengkap yang mampu menjamin kebahagiaan kehidupan mereka, baik di dunia maupun akhirat, sebab, kendati manusia mampu membuat atau menyusun undang-undang berdasarkan akal dan pengalamannya untuk mengatur masyarakat, undang-undang buatan manusia itu masih tidak luput dari kecacatan dan kekurangan.

Pertama, tidak ada jaminan bahwa manusia yang membuat undang-undang bebas dari kepentingan kelompoknya dan mengabaikan kepentingan kelompok lainnya.

Kedua, para pembuat undang-undang itu tidak mengetahui hubungan yang mendalam antara kehidupan duniawi manusia dan kehidupan batinnya serta betapa mungkinnya undang-undang buatan manusia itu berbenturan dengan kehidupan batin manusia sebab, pada umumnya, para pembuat undang-undang tidak begitu peduli terhadap kehidupan nafsani manusia. Kesimpulannya adalah bahwa hanya Tuhan, pencipta manusia, yang dapat membuat program sempurna dan selaras bagi manusia. Hanya Dialah yang mengetahui struktur wujud manusia dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam jiwa dan jasmani manusia.

Di sinilah, kasih sayang dan karunia Tuhan mengharuskan manusia yang kebingungan ini diberi petunjuk. Allah swt mengutus manusia-manusia pilihan, menurunkan wahyu kepada para utusan-Nya, dan menyampaikan undang-undang yang sesuai bagi manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk mengajarkan dan membimbing manusia supaya dapat menemukan jalan menuju wushul kepada tujuan yang asli atau yang biasa disebut dengan sair dan suluk ilahi.
Hanya saja tujuan ilahi ini akan terwujud dan hujjah-Nya akan sempurna apabila para nabi dan rasul itu terpelihara dari dosa, sebagaimana yang nanti akan kami bahas.


Penjelasan Argumen Keharusan Wujud Imam
Dari semua pembahasan tadi, kita menarik satu kesimpulan bahwa manusia memerlukan nabi dan petunjuk-petunjuk ilahi untuk mengatur kehidupan duniawinya. Saat ketiadaan nabi, manusia memerlukan imam yang dapat menjelaskan program-program kehidupannya. Untuk memperjelas masalah ini, kita mengikuti beberapa keterangan berikut ini.

Pertama, Rasulullah saw adalah Nabi akhir zaman dan Islam adalah agama yang abadi. Hukum dan peraturan Islam tidak hanya berlaku bagi masa kerasulan yang relatif sangat pendek, yaitu 23 tahun, melainkan berlaku hingga hari kiamat dan sebagai petunjuk bagi manusia sekalian alam. Keberadaan imam merupakan suatu keharusan dalam agama Islam. Kebenarannya didukung oleh argumen yang jelas dalam kitab kalam dan akidah.

Allah swt berfirman:

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. [9]

Allah swt berfirman:

Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. [10]

Dalam firman-Nya, Allah menegaskan:

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.[11]

Imam Ja'far as-Shadiq dalam hadisnya menjelaskan:

"Sehingga datanglah Muhammad yang membawa al-Qur'an dan syariat serta jalan ketakwaaan. Maka halalnya Muhammad adalah berlaku hingga hari kiamat dan haramnya berlaku hingga hari kiamat." 3

Kedua, agama Islam dapat bertahan dan aktif di sepanjang sejarah apabila, setelah nabi, terdapat orang-orang yang dapat dipercaya dan menerima tanggung jawab untuk memelihara Islam dengan sungguh-sungguh.

Tugas-tugas Rasulullah saw dapat disimpukan sebagai berikut ini.

1. Rasul bertugas menerima dan sekaligus menyampaikan wahyu yang berisikan ilmu atau hukum yang diperlukan kepada masyarakat. Allah swt berfirman:
Dan aku memilihmu, Muhammad, maka dengarkanlah apa yang diwahyukan kepadamu.[12]

2. Nabi saw juga berkewajiban memelihara hukum dan peraturan Islam dengan suci hingga sampai ke tangan manusia sehingga ketika manusia memerlukan, mereka dapat merujuknya. Allah berfirman:
Maka berpegangteguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu, sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.[13]

3. Para nabi menyampaikan hukum dan undang-undang ilahi kepada manusia dan memperingatkan mereka terhadap siksaan ilahi. Dalam al-Qur'an, disebutkan:
Dan diwahyukan al-Qur'an itu kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang al-Qur'an telah sampai kepadanya.[14] Di bagian lainnya, Allah berfirman:

Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya. [15]

4. Para nabi bertugas mengeluarkan manusia dari kegelapan kekufuran dan kesyirikan dan kesesatan serta mengarahkan mereka kepada cahaya iman dan tauhid. Allah berfirman:

Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha terpuji.[16]

5. Mengadili dan menjadi juri di tengah manusia. Allah swt berfirman,
Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. [17]

6. Dalam menjalankan hukum-hukum agama bagi manusia, mereka merupakan teladan. Allah swt menjelaskan:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [18]

7. Para nabi bertugas menyebarluaskan agama dan memenangkannya di atas agama-agama lainnya. Allah swt berfirman:
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk al-Qur'an dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.[19]

8. Para nabi memiliki wilayah mutlak terhadap manusia dan lebih berhak untuk berkuasa terhadap manusia dibanding manusia itu sendiri terhadap dirinya.

Allah swt berfirman:

Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.[20]
Rasulullah saw mengemban misi untuk melaksanakan hukum dan peraturan politik dan sosial Islam seperti jihad dan membela Islam. Lebih lanjut, dia bertugas untuk melaksanakan hudud dan diyah, memungut zakat dan membelanjakannya, serta membagi rampasan perang dan hukum-hukum lain yang berkaitan dengan pemerintahan.

Sebagai pengemban tugas-tugas berat tadi, Rasulullah saw dipelihara dan dijaga dari berbuat kesalahan dan dosa bahkan lupa.

Sepeninggal Rasulullah saw, meskipun wahyu telah putus, tugas-tugas lainnya jatuh ke pundak manusia suci yang dapat melaksanakan tugas dengan sempurna. Sekiranya tidak terdapat imam suci, maka Islam yang hakiki dan sejati tidak akan dapat bertahan hidup sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, keberadaan imam sangat diperlukan untuk mengekalkan Islam yang hakiki.

Keberadaan atau wujud imam tak ubahnya seperti keberadaan rasul yang merupakan karunia ilahi. Oleh sebab itulah, kesucian dan pemilihan imam suci merupakan karunia ilahi dan keberlanjutan lutfh atau karunia rububiyah.


Posisi Imamah dalam Islam
Imamah memiliki posisi tertinggi setelah tiga prinsip: makrifatullah dan tauhid; ma'ad dan kehidupan setelah kematian; dan nubuwwah (kenabian) dan keharusan diutusnya rasul. Menurut keyakinan dasar Syiah, imamah tergolong sebagai salah satu tonggak agama. Imamah bukan hanya sebuah kedudukan duniawi dan tidak dapat diringkas dengan kepemimpinan dan kekuasaan. Imamah adalah kedudukan atau jabatan tinggi ilahi yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, melainkan manusia sempurna yang semua kesempurnaan insani teraktualisasikan dalam diri mereka dan tersucikan dari segala kekurangan. Mereka telah sampai ke peringkat syuhud (penyaksian) batin dan keyakinan. Manusia-manusia pilihan itu meyakini hakikat agama melalui penyaksian batin dan menerimanya dengan seluruh wujud serta hati mereka bergelimang dengan keimanan kepada Allah dan ma'ad serta kehidupan akhirat. Hakikat-hakikat agama telah termanifestasikan dalam diri mereka dan mereka merupakan teladan bagi orang-orang yang beragama, baik dari segi akhlak maupun ucapan serta perilaku.

Manusia istimewa seperti ini dapat menjadi khalifah Rasulullah saw yang sejati di masa ketiadaan rasul. Merekalah yang mengemban tugas rasul, yakni membela agama dan mengarahkan umat kepada shiratul mustaqim agama, sair dan suluk kepada Allah dan membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kepatuhan kepada seorang manusia istimewa seperti ini dapat disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulul amr di antara kalian.[21]

Maksud dari ulul amr yang harus ditaati adalah para imam suci, bukan setiap manusia yang tidak luput dari kesalahan. Manusia-manusia unggul dan super seperti ini dapat membela agama dan hakikat-hakikat agama serta melanjutkan misi suci Rasulullah saw dan mengabadikan risalah global dan abadi beliau.


Syarat-syarat dan Sifat Imam
Sebelumnya telah kami katakan, bahwa imam bukanlah seorang manusia biasa, melainkan manusia yang memiliki kriteria dan sifat lazim yang sesuai dengan kadar tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka. Di antara kriteria tersebut adalah ishmah (keterpeliharaan dari dosa) dan mengetahui semua makrifah, ilmu pengetahuan, serta hukum agama. Mereka paling tinggi kesempurnaan insaninya. Di sini, secara ringkas kami akan menyinggung tiga keistimewaan tersebut.


Ishmah
Ishmah dalam bahasa diartikan 'memelihara dan mencegah'. Seorang manusia akan dikatakan maksum apabila mereka terjaga dari melakukan dosa dan kesalahan berkat karunia khusus ilahi.

Di dalam kitab Majma'ul Bahrain, ditulis عصمه الله للعبد" " 'ishmah Allah untuk hamba-Nya', yaitu pencegahan Allah terhadap hamba itu dari melakukan dosa. Maksum adalah orang yang menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah.[22]

Sementara itu, Allamah Raghib Al-Ishfahani menulis, ishmah para nabi artinya ialah Allah swt memelihara para nabi melalui kekhususan yang diberikan kepada mereka. Yang pertama, hal itu diberikan karena ketulusan dan kebersihan jiwa, kedua, karena keutamaan jasmani dan ruhani, ketiga, karena Allah swt meneguhkan mereka, dan, keempat, karena Allah swt memberikan ketenteraman hati dan menjaga hati mereka serta memberikan taufik kepada manusia-manusia suci itu.[23]

Dalam hadis, ishmah juga dimaknai seperti tersebut.

Hisyam mengatakan:

"Aku bertanya kepada Abi Abdillah, apakah maksud dari ucapan Anda bahwa sesungguhnya Imam tidak akan ada kecuali ia maksum? Abi Abdillah mengatakan: al-maksum adalah orang yang dicegah oleh Allah dari melakukan semua yang diharamkan-Nya."[24]


Batasan Ishmah
Manusia maksum (suci) terpelihara dari banyak sisi. Mereka terpelihara dari akidah yang batil sebab akidah yang batil tidak dapat menembus wujud mereka. Selain itu, mereka juga tidak pernah salah dalam menyampaikan dan menerima hakikat. Mereka tidak melakukan kesalahan atau kelupaan dalam mencatat dan menghafal ilmu serta hukum dan peraturan agama.

Mereka tidak pernah melakukan kesalahan dalam bertablig dan menyampaikan hukum serta undang-undang. Mereka melaksanakan kewajiban agama sepenuhnya, terpelihara dari perbuatan dosa, dan diselamatkan dari ketergelinciran, baik yang disengaja maupun tidak.


Rahasia Ishmah
Ishmah para nabi dan imam suci bukan berarti mereka tidak memiliki potensi untuk melakukan maksiat atau Allah memaksa mereka untuk tidak berbuat dosa. Seperti manusia umumnya, mereka memiliki syahwat dan amarah. Akan tetapi, mereka tidak berbuat maksiat dengan dasar pengetahuan dan kehendak.

Rahasia ishmah tersebut terletak pada keimanan yang kukuh, keyakinan yang sempurna, dan penyaksian realitas serta hakikat alam gaib. Keimanan mereka kepada Allah dan ma'ad (hari akhir), surga dan neraka, telah sampai ke peringkat yakin. Mereka benar-benar menyaksikan buruknya dosa dan hukuman akhirat serta pengaruh perbuatan dosa di dunia dengan mata batin. Oleh sebab itulah, atas dasar kehendak, mereka menjauhi perbuatan dosa. Kekuatan batin itulah yang mencegah mereka dari melakukan dosa dan menjauhkan diri dari penyebab-penyebab dosa.

Sebagai penjelasan tentang rahasia ishmah para imam suci dari kesalahan dan kekhilafan, ketahuilah bahwa ilmu pengetahuan manusia pada umumnya adalah ilmu hushuli atau ilmu yang diperoleh melalui lima indera yang tidak luput dari kemungkinan salah.

Sebaliknya, ilmu dan pengetahuan para imam suci bersifat ilmu hudhuri dan syuhudi, atau yang diperoleh melalui bantuan gaib dan taufik ilahiah. Mereka menyaksikan dan meresapi ilmu agama dengan mata batin. Itulah yang menjaga mereka dari perbuatan dosa. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah manusia-manusia suci itu begitu sempurna dan senantiasa mendapatkan pertolongan ilahi. Allah swt menciptakan manusia-manusia istimewa yang tidak melakukan kesalahan sebab keberadaan manusia-manusia suci seperti ini memang sangat diperlukan untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi.


Dalil Aqli Ishmah
Argumen wajibnya ishmah para nabi dapat diajukan sebagai dalil ishmah para imam. Dalil atau argumen yang paling penting mengenai keharusan wujud nabi adalah burhan luthuf (karunia) yang telah disinggung sebelumnya.

Dalam burhan ini, disebutkan bahwa karunia ilahi melazimkannya untuk memberikan arahan dan petunjuk kepada manusia-manusia yang memerlukan program dan undang-undang. Oleh sebab itu, Allah swt memilih para nabi dan mengajarkan program-program yang diperlukan kepada mereka untuk disampaikan kepada manusia dan membimbing mereka kepada shiratul mustaqim kemanusiaan dan sair serta suluk kepada Allah swt.

Tujuan Allah itu akan terlaksana apabila para nabi yang merupakan perantara faidz (anugerah) ilahi itu terpelihara dari dosa dan kesalahan sehingga mereka dapat menyampaikan hukum dan undang-undang serta program-program yang hakiki dengan utuh kepada manusia dan hujjah telah sampai kepada mereka dengan sempurna.

Argumen atau burhan yang serupa juga dibuat untuk membuktikan pentingnya keberadaan imam dan kemaksumannya sebab Rasulullah saw tidak hidup selamanya. Maka setelah beliau wafat, harus ada seorang imam yang membela hukum dan undang-undang Islam serta mengajarkannya kepada orang-orang yang taat beragama dan menjelaskan hal-hal musytabah dalam al-Quran dan sunnah. Keberadaan para imam diperlukan untuk melaksanakan hukum-hukum dan undang-undang serta program-program sosial dan administrasi Islam. Mereka harus berupaya untuk mendirikan pemerintahan yang adil atas dasar Islam atau setidaknya membuat landasan bagi perwujudannya.

Adalah sangat jelas kalau tujuan Allah swt ini akan terwujud jika imam terpelihara sepenuhnya dari dosa dan kesalahan serta dari melakukan pelanggaran terhadap peraturan ilahi. Karunia dan rahmat Allah melazimkan-Nya untuk memilih orang-orang istimewa dan berkelayakan seperti ini lalu menjadikannya sebagai nabi untuk dikenali oleh orang-orang yang beragama. Sepeninggal Rasulullah saw, merekalah yang menjadi sebab keberlanjutan jalan Rasulullah saw dan pelanjut tujuan-tujuan mulia beliau. Sekiranya tidak seperti itu, maka wujud Rasulullah saw akan sia-sia dan mandul sehingga manusia tidak akan sampai kepada tujuan-tujuan tingginya. Bukankah agama Islam diturunkan untuk mengungguli agama-agama lainnya?

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik benci. [25]

Rasulullah ٍsaw diperintahkan berperang melawan orang-orang kafir hingga tidak ada fitnah. Allah swt berfirman:

Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. [26]

Para rasul dan Nabi Muhammad saw telah diperintahkan Allah untuk menyebarluaskan keadilan di dunia dan menghidupkan semangat untuk menuntut keadilan di tengah manusia.

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan kami telah menurunkan bersama mereka al-kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan dan kami menciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.[27]

Kini mesti ditanya, apakah Rasulullah saw dalam masa 23 tahun risalahnya telah sampai kepada tujuan besar ini? Apakah dia tidak serius dalam menjelaskan tujuan-tujuan itu? Apakah Rasulullah berpaling untuk melanjutkannya? Apakah dapat dikatakan bahwa Rasulullah saw menyerahkan kelanjutan misinya kepada khalifah seperti Muawiyah, yang sepanjang sejarah melanjutkan dan membawanya ke dataran praktik?

Sudah barang tentu agama Islam di masa Rasulullah saw belum mendunia dan sudah pasti Rasulullah tidak menyerahkannya kepada orang-orang yang bersifat seperti Muawiyah untuk melanjutkan tujuan-tujuan dan misi-misi mulianya. Maka, hanya satu kemungkinan yang benar, dapat diterima, dan dapat menyenangkan Rasulullah saw, yaitu masalah kemaksuman para imam. Bahwa imamah diletakkan dalam posisi sebagai inti Islam dan bagian dari dasar atau tonggak agama serta penyempurna dan pelanjut nubuwwah, hal ini menggembirakan dan menaruh harapan di hati mulia beliau dan beliau tahu bahwa semua jerih payahnya tidak akan sia sia karena sepeninggalnya, tujuan-tujuan besar itu tidak akan dibiarkan tanpa ada yang bertanggung jawab untuk melanjutkanny.
Sepanjang sejarah, para imam akan melanjutkan tujuan-tujuan suci dan cita-cita luhur beliau.

Apabila sepeninggal Rasulullah saw, masalah imamah berjalan di jalur yang benar dan diserahkan kepada ahlinya (pemiliknya), niscaya kondisi Muslim dan Islam tidak akan memprihatinkan seperti yang kita saksikan dewasa ini.

4
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Imamah dan Ishmah dalam al-Quran
Kata imam telah banyak disebutkan dalam al-Qur'an, yang semuanya bermakna 'pemimpin'. Makna pemimpin di sini bisa berlaku, baik bagi pemimpin orang-orang yang saleh dan baik ataupun pimpinan orang-orang fasik dan keji.

Dalam al-Quran, disebutkan:

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah, mereka selalu menyembah. [28]

Begitu pula, Allah berfirman:

Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami! Anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." [29]

Di dalam ayat berikut ini, disinggung soal para imam orang-orang yang keji dan bukan orang-orang yang saleh.

Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. [30]

Di bagian lain, Allah berfirman:

Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya. Agar mereka berhenti. [31]

Dari al-Qur'an, dapat dimengerti bahwa setiap kelompok masyarakat, baik yang berada di atas kebenaran ataupun kebatilan, baik golongan bajik ataupun keji di dunia ini, memiliki imam dari jenisnya dan nanti pada hari kiamat, akan dibangkitkan bersamanya. Allah berfirman:
Ingatlah suatu hari yang di hari itu, Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. Dan barangsiapa yang buta hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan yang benar. [32]

Rasulullah saw sepanjang sejarah adalah imam para shalihin sedangkan para pemuka kekafiran dan mustakbirin adalah para pemimpin orang-orang kafir dan mustakbir (orang-orang yang zalim atau tiran).

Dari al-Qur'an, disimpulkan bahwa imamah orang-orang saleh merupakan sebuah perjanjian ilahi dan tidak akan diperoleh orang-orang yang keji.

Dalam, al-Qur'an disebutkan:

Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhan-Nya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya, Allah berfirman, "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata, "Dan saya mohon juga, dari keturunanku," Allah berfirman, "Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim.[33]

Tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhan-Nya dan Ibrahim lulus dengan angka tinggi, Allah berfirman kepadanya, "Kami naikkan kamu kepada maqom imam dan pemimpin." Ibrahim mengatakan, "Apakah dari keturunanku akan sampai juga ke maqom imam?" Allah berfirman, Janjiku (imamah) tidak akan meliputi orang-orang yang zalim."

Dari ayat ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Tidak semua orang memiliki keyalakan untuk menduduki maqom imam agama. Seorang imam harus memiliki potensi zatiah dan batin yang bercahaya dan keteguhan dalam ketaatan kepada Allah. Dari situlah, Nabi Ibrahim menyaksikan malakut langit dan bumi dengan mata batinnya dan beliau sampai kepada martabah yaqin.[34] Kemudian dengan keras, beliau memerangi penyembahan berhala sehingga dicampakkan ke dalam api oleh Namrud dan diuji oleh Allah agar menyembelih putranya, Ismail, serta berbagai jenis ujian lainnya. Ternyata beliau lulus dan membuktikan kelayakannya. Maka, datanglah wahyu dari Allah swt, bahwa derajat beliau ditingkatkan kepada derajat imam.

2. Dari ayat ini, disimpulkan bahwa imamah Nabi Ibrahim berbeda dari maqom nubuwwah beliau. Maqom imam itu lebih tinggi daripada maqom nubuwwah karena khitab ini dikeluarkan di masa lanjut dan akhir dari usia beliau padahal sebelumnya beliau sudah menjadi nabi dan lalu diuji. Ketika sukses menjalani tes kelayakan, beliau dinaikkan pangkatnya menjadi imam.

Perlu diingat bahwa dari ayat tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa imamah Nabi Ibrahim lebih tinggi daripada nubuwwah dan setiap imam adalah lebih mulia daripada setiap nubuwwah.

3. Ketiga, dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa imamah dapat digabungkan dengan nubuwwah. Seseorang dapat saja menjadi nabi, dengan menerima hakikat dari Allah melalui wahyu, dan di saat yang sama, ia mencapai maqom tinggi seorang imam.

4. Keempat, dari ayat tersebut, dapat dimengerti bahwa ishmah adalah di antara syarat penting bagi seorang imam. Selain yang maksum, tidak seorang pun layak menjadi imam dan pemimpin sebab imamah merupakan sebuah maqom ilahiah.
Allah swt dalam jawabannya terhadap Nabi Ibrahim as yang bertanya, "Apakah anak-anakku, ada yang mencapai maqom imamah atau tidak," berfirman:
Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.[35]

Menurut ungkapan al-Qur'an, kezaliman dapat dibagi menjadi tiga:

Pertama, al-Qur'an menjelaskan:

Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.[36]

Di tempat lain, Allah berfirman:

Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim.[37]

Kedua, kezaliman manusia terhadap manusia lain, yang dijelaskan oleh al-Qur'an:

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak, mereka itu mendapat azab yang pedih.[38]

Ketiga, kezaliman manusia terhadap dirinya. Allah swt berfirman di dalam al-Qur'an:
Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, kalau di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan, dengan izin Allah, Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. [39]

Tuhan menciptakan manusia untuk sampai kepada kebahagiaan dan taqarrub kepada-Nya. Allah swt juga telah menyediakan wasilah untuk wushul kepada-Nya.

Siapa pun yang menyeleweng dari shiratul mustaqim keagamaan dan melanggar hudud (batasan) ilahiah, sesungguhnya dia telah menganiaya dirinya sendiri dan dikategorikan sebagai orang yang zalim. Dalam al-Quran, disebutkan:

Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. [40]

Allah berfirman:

Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah adalah termasuk golongan zalim. [41]

Zulum (perbuatan zalim dalam al-Qur'an) telah dinyatakan dalam tiga kasus tersebut. Namun dengan sedikit perenungan dan ketelitian, dapatlah dikatakan bahwa kasus pertama dan kedua adalah benar-benar menzalimi atau menganiaya diri sendiri.

Manusia terbagi menjadi empat golongan:

1 Manusia yang sejak awal kehidupannya hingga akhir usianya adalah kafir atau munafik atau melakukan maksiat.

2 Mereka yang pada awal kehidupannnya melakukan dosa tetapi di akhir kehidupannya, tidak lagi berbuat dosa.

3 Manusia yang dari awal hidupnya tidak berbuat dosa tetapi di akhir kehidupannya, melakukan banyak maksiat.

4 Manusia yang dari awal hingga akhir hayatnya tidak melakukan dosa.

Kelompok pertama, kedua, dan ketiga menurut penjelasan al-Quran adalah para pezalim. Oleh karenanya, menurut keterangan al-Qur'an, mereka tidak akan mendapatkan maqom imam. Hanya kelompok keempatlah yang sama sekali tidak pernah melakukan dosa dan maksum (terpelihara dari dosa) sehingga memiliki kelayakan untuk menjadi imam.


Ishmah dalam Hadis
Berkaitan dengan ishmah, dibawakan banyak hadis sebagai argumen. Hadis berikut ini adalah diantaranya.

Imam Ridha dalam sebuah hadis yang terperinci menjelaskan:

"Seorang Imam adalah suci dari dosa dan terjauh dari aib (nista), yang diberi kekhususan dengan ilmu dan diberi tanda dengan kesabaran. Mereka adalah nizom-nya agama dan kemuliaan Muslimin dan kebencian orang-orang munafik dan kebinasaan orang-orang kafir." [42]

Di tempat lain dari hadis ini, disebutkan:

"Sesungguhnya seorang hamba apabila dipilih Allah untuk urusan hamba-hamba-Nya, maka Allah melapangkan dadanya dan mengalirkan mata air hikmah di hatinya serta senantiasa mengilhaminya dengan ilmu sehingga setelah itu, ia selalu dapat menjawab setiap pertanyaan dan selalu mampu mengatakan yang benar. Maka, imam adalah maksum (terpelihara) dari dosa dan mendapatkan pertolongan ilahi dan diselamatkan dari ketergelinciran dan kesalahan. Allah swt memberikan kekhususan seperti ini kepadanya agar menjadi hujjah bagi hamba-hamba-Nya dan sebagai saksi terhadap makhluk-Nya. Inilah karunia ilahi yang diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Allah swt memiliki karunia yang agung." [43]

Imam Ja'far Shadiq dalam sebuah hadis yang panjang ketika menyifati imam menjelaskan:

"Imam adalah pilihan dari keluarga Muhammad yang senantiasa menjadi perhatian Allah dan mendapatkan inayah-Nya, yang Allah swt jaga dengan naungan-Nya serta mengusir umpan-umpan setan dan pasukan setan dari dirinya. Selain itu, Allah menjauhkan fitnah-fitnah yang buruk darinya. Ia suci dari kenistaan serta terpelihara dari semua ketergelinciran dan keburukan." [44]


Ilmu Imam
Keistimewaan kedua dari imam adalah keluasan dan kelengkapan ilmu pengetahuannya. Imam mengetahui semua ilmu dan makrifah serta hukum dan undang-undang agama yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi saw bagi kebahagiaan dunia dan akhirat manusia.


Ilmu Imam dari Perspektif Akal
Sebelumnya dalam filsafat mengenai pentingnya wujud imam, telah dijelaskan bahwa hukum dan undang-undang agama yang diturunkan ke Rasulullah saw tidaklah dikhususkan bagi era yang pendek dari risalah beliau, melainkan diturunkan untuk selamanya dan bagi segenap manusia sepanjang zaman. Oleh sebab itulah, di masa ketiadaan rasul, wujud imam suci diperlukan agar semua hukum dan undang-undang agama terpelihara serta mereka berupaya sungguh-sungguh untuk menyampaikannya serta mencegah penyelewengan dan bid'ah. Oleh karenanya, imam merupakan pemelihara pengetahuan dan hukum agama. Seperti ungkapan hadis, mereka adalah penyimpan ilmu kenabian dan kalau tidak seperti itu, agama tidak akan sempurna dan luthuf ilahi akan menjadi mandul.

Dari sisi lainnya, Rasulullah saw adalah pelaksana hukum dan undang-undang sosial Islam dan dengan jalan ini, beliau mengatur negara Islam dan menyelesaikan problema masyarakat. Sepeninggal Rasulullah, tanggung jawab besar ini jatuh ke pundak imam. Dengan demikian, imam harus mengetahui semua hukum dan undang-undang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pengadilan Islam sehingga dapat melaksanakannya. Imam harus memenuhi keperluan masyarakat dan menjawab berbagai kesulitan. Apabila Imam tidak pandai mengenai hukum sejati Islam, hukum dan undang-undang non Islam mungkin digunakan. Apabila demikian, pemerintahan seperti ini tidak akan menjadi pemerintahan sempurna yang dikehendaki oleh syariat. Maka, umat Islam pun akan terjauhkan dari kelebihan-kelebihan pemerintahan Islami yang adil sebagaimana yang kita saksikan sepanjang sejarah.


Ilmu Imam dari Segi Hadis
Dalam banyak hadis, dijelaskan bahwa ilmu yang berkaitan dengan hukum dan ketetapan agama merupakan salah satu syarat penting dan lazim yang ada dalam diri imam.

Imam Ali mengatakan:

"Kalian mengetahui bahwa orang yang pelit tidak dapat memiliki wilayah terhadap kehormatan, nyawa, harta, dan hukum masyarakat serta menjadi imam Muslimin karena ia akan rakus untuk menguasai harta Muslimin. Orang yang bodoh juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena, dengan kebodohannya, akan menyesatkan umat. Orang yang berperangai keras juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena ia akan berpisah dari masyarakat. Orang yang tidak menjaga keadilan dalam membagi baitul-mal juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena, dalam pembagian baitul-mal umum, akan lebih mengutamakan kelompok tertentu daripada kelompok lainnya. Orang yang menerima suap juga tidak layak menjadi wali atau imam karena akan menyia-nyiakan hak individu dan masyarakat dan akan berhenti dalam pelaksanaan hudud atau hukum ilahi. Orang yang tidak melaksanakan sunah ilahi juga tidak layak mengemban wilayah karena, dengan mengabaikan sunah, akan menyesatkan umat."[45]

Dalam sebuah hadis yang panjang, Imam Ridha mengatakan:

"Sesungguhnya Allah swt telah memberikan kepada para nabi dan imam taufik yang tidak diberikan kepada selain mereka.

Kemudian ilmu mereka lebih tinggi daripada ilmu ahli zamannya. Ketika Allah swt memilih seorang hamba untuk mengurusi urusan hamba-hamba lainnya, Ia akan memberikan kelapangan dada bagi hamba tersebut dan mengalirkan mata air hikmah di hatinya. Allah senantiasa mengilhamkan ilmu kepadanya. Maka setelah itu, ia akan selalu bisa menjawab setiap pertanyaan dan tidak bingung dalam mengatakan yang benar." [42]

Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan:

"Wahai manusia! Manusia yang paling layak untuk menjadi imam adalah orang yang memiliki kebijakan dan tadbir yang lebih kuat serta lebih mengetahui hukum ilahi. Apabila setelah baiat, ada yang mencoba membuat makar dan fitnah, hendaknya ia disarankan untuk berpaling dari niatannya itu dan jika menolak, maka harus diperangi." [46]


Batasan Ilmu Imam
Kini muncul pertanyaan, apakah ilmu imam terbatas atau tidak terbatas? Apabila terbatas, apakah batasannya?
Sebagai jawabannya haruslah dikatakan, memandang bahwa Imam adalah seorang manusia dan mumkinul wujud (wujudnya memungkinkan) yang dalam ilmunya memerlukan ifadhoh (karunia) ilahiah, sudah barang tentu ia terbatas. Adapun mengenai batasannya harus dikatakan dengan menimbang argumentasi aqliyah dan naqliyah tentang pentingnya wujud imam dan ilmunya. Maka, jawabannya dapat dipastikan bahwa imam harus memiliki semua ilmu dan pengetahuan agama yang diperlukan untuk memenuhi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, yang diturunkan melalui wahyu kepada Rasulullah saw, sehingga dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang diletakkan ke atas pundaknya karena sebelumnya telah dikatakan, bahwa imam adalah pelanjut program-program Rasulullah saw. Perkara penting ini baru memungkinkan apabila semua ilmu dan pengetahuan agama berada di tangannya.
Ilmu dan pengetahuan yang diperlukan imam dapat diringkas sebagai berikut.

1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah, kewajiban, dan mustahab yang niat qurbah dalam menunaikannya merupakan syarat bagi sahnya ibadah tersebut.

2. Hal-hal yang diharamkan secara ta'abbuddiyah seperti haramnya minuman keras, haramnya memakan daging binatang yang belum disembelih secara syariat, haramnya memakan daging binatang yang memakan daging haram, dan haramnya makan najis. Semua itu merupakan syariat Islam yang harus diterima secara ta'abbudi.

3. Hal-hal najis seperti kencing, kotoran manusia, binatang pemakan daging, darah manusia, binatang yang memiliki darah memuncrat, mani, dan najis-najis lainnya juga hal-hal yang menyucikan serta cara menyucikan. Perkara-perkara seperti ini merupakan syariat Islam yang diterima secara ta'abbudan.

4. Perkara sosial seperti berbagai jenis transaksi, warisan, wasiat, nikah, perceraian dan urusan-urusan lainnnya yang ada di masyarakat. Hukum seperti ini ada di tengah masyarakat dan syari' (penetap syariat) suci Islam memiliki andil dalam mengkonfirmasi, menolaknya, atau men-tasyri' hukum yang terkait.

5. Hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengelolaan negara seperti hukum pengadilan (judge) dan penyelesaian perselisihan, sanksi terhadap para agresor, qishosh dan hudud, diyah dan ta'zir (cambuk), jihad dan pembelaan diri, khumus dan zakat, serta rampasan perang dan urusan-urusan lainnya.

6. Ushul dan akidah serta furu' seperti pengenalan Allah, ma'ad, nubuwwah, dan imamah.

7. Akhlak (etika): akhlak mulia dan akhlak tercela.

Persoalan seperti ini memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Maka, harus dikatakan bahwa Rasulullah saw mengetahuinya dari Allah swt dan ditugaskan untuk menyampaikannya kepada manusia. Dalam kondisi seperti ini, harus dikatakan, bahwa imam dan pengganti Rasulullah saw mengetahuinya agar dapat mengambil-alih tanggung jawab Rasulullah di masa ketiadaan beliau dan melanjutkan agama.

Dalam kaitan dengan berbagai pandangan yang dikemukakan para imam suci mengenai berbagai fakultas ilmu pengetahuan lainnya, yang terdapat dalam kitab hadis dan dinisbatkan kepada para imam suci, kita tidak bisa mencukupi hanya dengan adanya satu atau beberapa hadis dan kemudian kita menisbatkannya kepada para mubalig suci itu, melainkan satu persatu dari segi sanad dan teks hadis itu memerlukan pengkajian dan pembahasan. Alhasil, di mana pun kita menemukan dalil yang pasti akan kesahihannya, maka ia diterima dan dinisbatkan kepada imam. Namun, dalam keadaan yang meragukan atau bahkan madznun (prasangka buruk), hanya terdapat sebuah kemungkinan.


Sumber Ilmu Imam
Kini timbul pertanyaan, apakah sumber ilmu imam itu dan dari jalan manakah mereka memperolehnya? Maka, terlebih dahulu harus diperhatikan bahwa Rasulullah saw menerima ilmunya melalui wahyu dari Allah swt. Namun, Muslimin memandang wahyu tasyri' adalah khusus milik Rasulullah saw dan dengan wafatnya Rasulullah saw , yang merupakan nabi paling akhir, wahyu telah terputus. Hal ini juga disebutkan dalam hadis.

Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan, "Allah swt mengutus nabi-Nya di masa fatrah dan perselisihan di antara kaum. Melaluinya, Allah swt menyempurnakan risalah dan wahyu pun berakhir."

Dengan memperhatikan hadis-hadis seperti ini, maka terputusnya wahyu merupakan salah satu persoalan penting bagi Muslimin. Maka, haruslah kita katakan, bahwa para imam suci dalam pengetahuannya terhadap hukum dan undang undang yang berasal dari wahyu syariat Islam, secara langsung, tidak memperolehnya dari wahyu melainkan melalui sumber-sumber dan jalan-jalan lain. Sumber itu dapat diringkas menjadi tiga bagian.


1. Sunnah dan hadis-hadis Nabi
Meskipun era Rasulullah saw pendek dan tidak lebih daripada 23 tahun, agama Islam tidaklah ditinggal dalam keadaan berkekurangan. Kumpulan hukum dan undang-undang serta pengetahuan yang diperlukan manusia telah diterima melalui wahyu Allah swt. Secara lambat-laun, dalam momen yang sesuai, hukum dan undang-undang serta pengetahuan itu disampaikan kepada Muslimin agar mereka mengenal kewajiban dan tanggung jawab mereka serta mengamalkannya. Muslimin biasanya menantikan turunnya wahyu, mendengarkan pidato wahyu Rasulullah, dan memberikan perhatian istimewa terhadap hal itu tetapi dalam batas mendengarkan dan mengamalkannya sementara tidak begitu terpusat untuk menghafalkan persis kalimatnya dan menukilkannya kepada orang lain sebagai hadis. Walaupun begitu, di antara para sahabat, ada yang meluangkan waktu untuk menghafal kalimat dan merekamnya dengan tujuan menukilkannya kepada orang lain sebagai hadis dan wahyu samawi, bahkan beberapa orang dari mereka yang mengenal baca dan tulis mencatat semua yang didengar dan atau sebagian darinya pada semacam prasasti yang umum pada masa itu, agar tidak hilang dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Akan tetapi, usaha seperti ini bagi keabadian makrifah, ilmu, hukum, dan undang-undang Islam yang luas di sepanjang sejarah adalah belum cukup karena beberapa hal: pertama, jumlah orang ini tidaklah banyak; kedua, orang-orang yang mampu baca dan tulis di masa itu tidaklah begitu banyak; ketiga, mereka tidaklah berada di sisi Rasulullah saw sepanjang masa untuk senantiasa mendengarkan wahyu, kecuali dalam perjalanan, keadaan sakit, keadaan mencari nafkah, atau mengurusi urusan kehidupannya; keempat, sebagian besar dari mereka tidak memiliki daya hafal yang kuat sehingga dapat merekamnya di memori otaknya sebagaimana adanya; kelima, banyak sekali persoalan yang tidak terjadi sehingga mereka merasa perlu menanyakannya kepada Rasulullah saw; keenam, untuk menghafal dan merekam, mereka tidak merasa bertanggung jawab; dan ketujuh, Muslimin lazimnya hidup dalam kondisi yang sangat sulit dan menghadapi banyak problema, misalnya penyiksaan dan gangguan dari musyrikin ketika hijrah ke Etiopia (Habasyah) dan pengepungan ekonomi hingga mesti berlindung ke Syi'ab Abu Thalib di Mekkah dan pada akhirnya, hijrah ke Madinah karena adanya teror, masalah tempat tinggal, dan pemenuhan kebutuhan hidup. Pendek kata, kesulitan yang dialami adalah serangan beruntun musuh dan persiapan Muslimin untuk membela diri serta berbagai persoalan lainnya.

Rasulullah saw dengan baik mengetahui bahwa, dengan memandang kondisi dan situasi yang memprihatinkan pada masa itu serta kesulitan yang ada, mayoritas Muslim tidak memiliki kesiapan untuk merekam dan mencatat semua hukum dan undang-undang syariat serta ilmu dan makrifah Islami secara sempurna sehingga tetap eksis bagi generasi Muslimin berikutnya di sepanjang sejarah. Dari itulah, untuk menyelesaikan problema ini, beliau, dengan wahyu ilahi, berpikir dan memutuskan untuk menyimpan kumpulan ilmu dan makrifah serta hukum dan undang-undang Islam yang diterimanya melalui wahyu di tempat yang aman dan terpelihara dari kesalahan dan kealpaan. Tempat aman itu tidak lain adalah hati Imam Ali bin Abi Thalib yang bercahaya.

Karena, melalui wahyu ilahi, mengetahui problema ini, Rasulullah saw memulai perkara penting dan prinsip ini sejak awal nubuwwah dan melanjutkannya hingga wafat. Di semua tempat dan dalam semua keadaan, beliau menggunakan kesempatan untuk menularkan ilmu nubuwwah kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali menerima tanggung jawab berat ini dan berupaya serius untuk menjaganya. Dalam kaitan ini, beliau memiliki potensi zatiah dan pertolongan ilahiah.

Pendukung fakta ini adalah hadis-hadis yang telah tercatat.

1. Imam Ali bin Abu Thalib mengatakan: Rasulullah mendekatkan diriku kepadanya kemudian berkata, "Allah swt memerintahkanku untuk mendekatkan dirimu kepadaku dan tidak menjauhkanmu dari diriku agar engkau mendengarkan ucapanku dan menghafalnya. Adalah hak Allah yang engkau harus tunaikan untuk mendengarkan dan menghafal ucapanku. Kemudian turun ayat ini (QS. Al-Haqqah: 12)." [48]

2. Ibnu Abbas dari Rasulullah saw meriwayatkan, "Bahwasannya Baginda Rasulullah saw bersabda, Tatkala turun ayat ini (QS. Al-Haqqah: 12), aku meminta kepada Tuhanku agar menjadikannya telinga Ali lalu Ali berkata, Tidak aku mendengar sesuatu dari Rasulullah kecuali aku menghafalnya dan mencatatnya dan tiada pernah aku melupakannya selama-lamanya." [49]

3. Ibnu Abbas berkata, "Suatu hari Baginda Rasulullah saw bersabda, Manakala aku berada di sisi Tuhanku, ia berbicara denganku dan bermunajat. Lantas apa yang aku dengar aku ajarkan kepada Ali dan kemudian Ali menjadi pintu ilmuku."

4. Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Secara rutin, sekali setiap hari, aku menjumpai Rasulullah saw dan dalam keadaan kami hanya berdua, dan tiada orang ketiga, ke mana pun beliau pergi aku ikut dengannya, para sahabat Nabi saw mengetahui bahwa Nabi tidak bersikap demikian selain denganku. Di banyak waktu, beliau datang ke rumah kami. Adakalanya, ketika aku masuk ke rumah salah seorang istrinya, bahkan istrinya pun keluar dan tiada seorang pun kecuali dia. Namun, ketika beliau datang ke rumah kami, Fatimah dan putra-putranya tidak keluar, apa yang aku tanya dari beliau, beliau menjawab. Tatkala pertanyaanku sudah selesai, dan aku diam, beliau sendiri yang mulai berbicara. Dan tidak ada satu pun ayat yang turun kepada Rasulullah saw, kecuali beliau membacakannya untukku dan aku menulisnya. Beliau menjelaskan kepadaku ta'wil dan tafsir, nasikh dan mansukh, dan muhkam dan mutasyabih, serta khas dan umum ayat. Rasulullah berdoa kepada Allah agar memberikan kepahaman ilmunya kepadaku. Lantas aku tidak pernah melupakan satu pun ayat Kitab Allah, dan tidak ada satu pun ilmu yang dibacakan oleh beliau kepadaku dan aku tulis, kemudian aku melupakannya. Apa yang Allah swt turunkan mengenai halal dan haram dan larangan serta perintah dari masa lalu atau masa depan dan setiap kitab yang diturunkan terhadap rasul sebelumnya berkaitan dengan ketaatan kepada Allah atau penentangan terhadapnya, semuanya diajarkan kepadaku dan aku hafal, dan tiada sedikit pun yang aku lupa. Saat itu, Rasulullah saw meletakkan tangannya di dadaku dan berdoa supaya kalbuku dipenuhi dengan ilmu dan kepahaman serta cahaya. Aku bertanya, Wahai rasul Allah! Semenjak engkau mendoakanku, aku tidak pernah melupakan sesuatu. Apakah engkau masih khawatir aku akan lupa terhadap sesuatu. Rasulullah bersabda, Tidak! Aku tidak takut terhadap masuknya kealpaan dan kebodohan kepadamu.

5. Ali ditanya, "Mengapa hadismu yang engkau riwayatkan dari Rasulullah lebih banyak daripada sahabat lainnya?" Ali menjawab, "Karena aku bertanya kepada Rasulullah dan ia menjawabnya. Ketika aku diam, beliaulah yang memulai pembicaraan." [50]

6. Ali berkata, "Demi Allah! Tiada satu pun ayat kecuali aku mengetahui ia diturunkan dalam kaitan apa dan di mana dan tentang siapa diturunkan. Sebagaimana Allah swt memberikan kepadaku kalbu yang memahami dan lisan yang fasih."

7 Ashbugh bin Nabathah berkata, "Aku mendengar Imam Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw mengajarkanku seribu pintu ilmu dan setiap pintu darinya dibuka seribu pintu hingga menjadi seribu-seribu pintu, sehingga aku tahu apa yang ada dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat, dan aku mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang, dan aku mengetahui takdir dan apa yang bakal terjadi, dan aku mengetahui dengan baik cara mengadili." [51]


Konfirmasi Rasulullah saw mengenai Kelengkapan Ilmu Ali
Imam Ali bin Abi Thalib berkat kecerdasan dan potensi zatiah-nya yang luar biasa dan dengan keseriusan serta istiqomah yang diikuti dengan adanya taufik, pertolongan ilahiah, dan inayah khusus yang Rasulullah curahkan dalam mengajar dan mendidik beliau, akhirnya dalam masa 23 tahun risalah Rasulullah berhasil mengetahui dan mengingat semua ilmu, makrifah, hukum, dan undang-undang Islam dari Rasulullah saw sehingga dapat dikatakan Imam Ali adalah penyimpan ilmu nubuwwah.

Hakikat ini dikonfirmasikan dan dibenarkan oleh Rasulullah saw. Dalam banyak kesempatan, Nabi saw menjelaskannya. Pertolongan dan pembenaran ini dicatat dan direkam dalam kitab hadis. Sebagiannya adalah sebagai berikut.

Rasulullah saw bersabda kepada Ali, "Wahai Ayah Hasan! Engkau telah meminum ilmu bagaikan meminum air. Semoga air itu menyegarkanmu." [52]

1 Rasulullah saw bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa menghendaki ilmu maka datangilah pintunya." [53]

2 Rasulullah saw bersabda kepada Ali, "Wahai Ali! Aku adalah kota ilmu dan engkau adalah pintunya. Maka, barangsiapa yang mengira dapat memasuki kota melalui selain pintunya telah berbohong." [54]

3 Rasulullah saw bersabda, "Aku adalah rumah hikmah dan Ali adalah pintunya."[55]

4 Salman Al-Farisi menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ali adalah yang teralim di antara umatku." [56]

5 Ibnu Mas'ud berkata, "Waktu itu aku bersama dengan Rasulullah saw dan kemudian Rasulullah ditanya tentang ilmu Ali. Maka, Rasulullah bersabda, "Hikmah itu dibagi menjadi sepuluh bagian. Ali diberi sembilan bagian dan manusia satu bagian dan Ali juga yang paling alim di antara lainnya." [57]

6 Anas bin Malik menukil dari Rasulullah saw yang berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Sepeninggalku nanti, engkau akan menjelaskan perselisihan pendapat di antara umatku." [58]

7 Dari Abi Sa'id Al-Khudri, diriwayatkan bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, "Di antara umatku, Ali bin Abi Thalib adalah yang paling alim tentang pengadilan (Qadhawah)." [59]


Penulisan dan Penyusunan Ilmu
Meskipun Imam Ali bin Abi Thalib terpelihara dari kesalahan dan kealpaan sehingga dalam menghafal hadis tidak memerlukan penulisan, Rasulullah saw tetap memerintahkannya agar menulis hadis-hadis dalam sebuah kitab sehingga menjadi peninggalan bagi para imam suci di sepanjang sejarah.

Diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, "Wahai Ali! Apa yang aku katakan kepadamu, tulislah!" Ali bertanya, "Wahai Rasulullah! Adakah engkau khawatir aku lupa." Rasulullah berkata, "Aku tidak khawatir soal itu karena telah memohon kepada Allah swt agar menjadikanmu sebagai hafiz ilmu. Namun, tulislah itu bagi para sekutumu, yakni para imam dari anak-anakmu, para imam yang karena keberadaan mereka, turun hujan sebagai rahmat bagi manusia, doa mereka dikabulkan, bencana dicegah dari mereka, dan turun rahmat dari langit. Kemudian Rasulullah mengatakan kepada Hasan, "Hasan adalah yang paling pertama dari mereka." Kemudian kepada Imam Husain, Rasulullah menunjuk seraya bersabda, "Husain adalah yang kedua dari mereka." Lantas Rasulullah berkata, "Dan para imam berikutnya adalah dari putra Husain."[60]


Pemindahan Kitab-kitab kepada para Imam
Kitab-kitab di atas dipindahkan kepada imam-imam melalui warisan dan digunakan dalam menukil hadis-hadis. Para imam adakalanya juga mengisyaratkan hal dengan menyebut nama Kitab Ali, Shahifah, dan Jamiah. Dalam kaitan ini, kita memiliki banyak hadis. Sebagai misal, dapatlah kita singgung beberapa hal di bawah ini.

1. Abi Maryam mengatakan, "Abu Ja'far berkata kepadaku, "Di sisi kami ada al-jamiah dan terdapat tujuh puluh kubik yang mengandung segala sesuatu bahkan diyah satu goresan. Kitab tersebut didiktekan oleh Rasulullah saw dan ditulis Ali. Kitab Ja'far juga ada di sisi kami dan itu adalah kulit yang sudah dikeringkan, yang dipenuhi oleh tulisan yang mengandung ilmu masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang sampai kiamat."[61]

2. Abdullah bin Sanan dari Abi Abdillah mengatakan, "Aku mendengar dia mengatakan, "Sesungguhnya kami memiliki kitab yang panjangnya tujuh puluh kubik yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan ditulis oleh tangan Ali, yang di dalamnya terkandung semua yang dibutuhkan bahkan diyah goresan.[62]

3. Zira'ah mengatakan, "Aku bertanya kepada Aba Abdillah tentang jumlah dosa besar kemudian beliau menjawab, "Dalam kitab Ali, ada tujuh hal: kekafiran kepada Allah; pembunuhan jiwa; durhaka kepada kedua orang tua; memakan riba' setelah keharamannya menjadi jelas; memakan harta anak yatim secara zalim; lari dari jihad; dan kembali ke negeri kekafiran setelah hijrah darinya (tanpa uzur syar'i)."[63]

4. Yunus mengatakan, "Kami bertanya tentang kitab Faraidz al-Mukminin kepada Imam Ridha. Maka, beliau berkata, "Benar adanya." [64]

5. Abu Hamzah dari Abi Ja'far mengatakan, "Dalam kitab Imam Ali, tertulis bahwa Rasulullah bersabda, "Manakala manusia tidak lagi membayar zakat, berkah bumi dicabut dari mereka." [65]

6. Thalhah bin Zaid meriwayatkan dari Abi Abdillah yang mengatakan, "Aku membaca di kitab Ali bahwa sesungguhnya Allah swt tidak menuntut janji dari orang-orang jahil untuk menuntut ilmu kecuali setelah Allah menuntut janji dari ulama untuk mengajarkan ilmu karena ilmu ada sebelum kejahilan."[66]

7. Mu'alli bin Khunais dari Abi Abdillah (Imam Ja'far Shadiq) yang mengatakan, " Kitab-kitab berada di sisi Imam Ali. Tatkala hendak pergi ke Irak, beliau mengamanatkan kitab tersebut kepada Ummu Salamah. Tatkala Ali meninggal dunia, Ummu Salamah menyerahkannya kepada Imam Husain asy-Syahid. Ketika Imam Husain syahid, kitab tersebut diserahkan kepada Ali bin Husain. Selanjutnya, kitab kitab itu berada di tangan ayahku." [67]

8. Dari Jabir diriwayatkan bahwa Imam Muhammad Baqir berkata kepadanya, "Wahai Jabir! Demi Allah! Apabila kami berbicara berdasarkan pendapat kami sendiri bagi masyarakat, maka kami adalah orang yang celaka atau binasa. Namun, kami hanya menyampaikan apa yang diwariskan oleh Rasulullah saw yang ada di sisi kami dan sampai kepada kami sebagai pusaka. Para pembesar kami menyimpan hadis-hadis sebagaimana manusia lainnya menyimpan emas dan perak." [68]

9. Ibn Fuddzal dan Muhammad Isa menukil dari Yunus yang mengatakan, "Kitab Faraidz yang dinisbatkan kepada Imam Ali kami tanyakan kepada Imam Ridha dan beliau berkata, "Adalah benar adanya." [69]

Di sebagian kitab Ahlus Sunnah, juga diutarakan tentang kitab ini.

1. Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis, "Ibnu Adiy mengatakan, "Ja'far bin Muhammad memiliki hadis dan manuskrip. Beliau adalah dari tsiqqah (yang dapat dipercaya)." Amir Abi Miqdan mengatakan, "Tatkala melihat Ja'far bin Muhammad, aku merasakan bahwa beliau adalah dari sulalah Nabi saw." [70]

2. Ibnu Hajar menulis, "Suatu ketika Ja'far bin Muhammad ditanya, "Apakah engkau mendengar hadis ini dari ayahmu?" Beliau berkata, "Ya!" Kedua kalinya, dia ditanya. Maka, beliau berkata, "Aku membacanya dari kitab ayahku." [71]

3 Hamu menulis, "Ibnu Habban menyebutkan bahwa Ja'far bin Muhammad termasuk tsiqqah dan berkaitan dengannya, ia mengatakan, "Dari sisi fikih dan ilmu pengetahuan, beliau termasuk di antara pemuka atau pembesar Ahlulbait. Kita dapat bersandar kepada hadis-hadisnya. Tanpa anak-anaknya yang meriwayatkan darinya, aku mempelajari hadis-hadis yang berada di tangan orang-orang tsiqqah darinya. Aku menemukan semuanya secara langsung. Dan aku tidak menemukan sesuatu yang bertentangan dengan hadis istbat.

4 Hamu menulis, "Malik ibnu Anas mengatakan, "Untuk sekian lama, aku keluar dan masuk ke sisi Ja'far bin Muhammad. Aku tidak menjumpainya kecuali dalam tiga keadaan: sedang melaksanakan shalat; puasa; atau sedang membaca al-Qur'an. Dan aku tidak pernah melihatnya dalam keadaan menukilkan hadis kecuali dalam kedaan memiliki wudhu."[72]


Penyimpulan dan Ringkasan
Dari hadis yang telah disebutkan, dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Agama Islam di masa kehidupan Rasulullah saw telah mencapai kesempurnaan. Semua ilmu, makrifah, hukum, atau undang-undang yang diperlukan telah disampaikan kepada beliau melalui wahyu.

2. Rasulullah saw dalam menyebarkan hukum, betindak melalui dua cara. Salah satunya adalah menyampaikannya kepada manusia dan men-taushiyah-kannya agar dihafal dan diamalkan. Selain itu, ia menyimpannya di tempat yang aman, yang seratus persen terpelihara dari kesalahan dan kealpaan, yakni hati Imam Ali bin Abi Thalib.

3. Taushiyah kepada Imam Ali dalam menghafal, merekan, dan menulis hukum dan undang undang agama serta memeliharanya bagi para imam setelah dirinya.

4. Dari jalan ini, telah tersedia kitab-kitab yang berada di tangan Ali. Setelah wafatnya, kitab-kitab itu digunakan. Seteleh syahdinya Imam Ali, kitab-kitab itu diserahkan kepada Imam Hasan dan seterusnya, dari setiap imam diserahkan kepada imam berikutnya. Kitab-kitab tadi berada di tangan para imam dan ilmu mereka bersandarkan kepadanya. Setiap imam memindahkan ajaran-ajaran agama kepada imam selanjutnya dengan dua cara, yakni pengajaran lisan dan pemberian ijin riwayat dari kitab-kitab yang tersebut.

Para imam suci, melalui jalan inilah, menisbatkan hadisnya kepada Rasulullah saw, sebagaimana yang dalam beberapa hadis telah dijelaskan.

1. Hisyam bin Salim dan Hammad bin Ustman dan selain dari mereka mengatakan, "Aku telah mendengar dari Ja'far Shadiq bahwa beliau berkata, "Hadisku adalah hadis ayahku, dan hadis ayahku adalah hadis Husain, kakekku, dan hadis Husain adalah hadis Hasan dan hadis Hasan adalah hadis Imam Ali dan hadis Imam Ali adalah hadis Rasulullah saw dan hadis Rasulullah adalah kalam Allah." [73]

2. Jabir berkata, "Aku berkata kepada Imam Muhammad Baqir, "Setiap kali Anda menukilkan hadis untukku, maka sebutkan juga sanadnya." Beliau berkata, "Ayahku menukil hadis untukku dari kakekku, Rasulullah saw, dan Rasulullah dari Jibril dan Jibril dari Allah. Setiap hadis yang aku nukilkan untukmu, sanadnya adalah seperti itu." Kemudian beliau berkata, "Wahai Jabir! Jika engkau mengambil sebuah hadis dari seorang yang jujur, maka bagimu itu lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya." [74]

3. Hafash ibn Al-Bakhtari mengatakan, "Aku berkata kepada Abi Abdillah, "Aku mendengar sebuah hadis darimu. Namun, aku tidak tahu apakah aku mendengarnya darimu atau dari ayahmu?" Beliau berkata, "Apa saja yang engkau dengar dariku, maka engkau dapat meriwayatkannya dari ayahku dan juga engkau dapat meriwayatkannya dari Rasulullah saw."

Apa yang kami uraikan sampai di sini merupakan penjelasan pendek tentang cara penulisan sunnah dan hadis Rasulullah saw di masa hidup beliau dengan inayah dan pengawasan sempurna beliau. Dengan penjelasan ini, telah diketahui salah satu sumber penting ilmu para imam suci. Meskipun tidak mendapatkan wahyu, para imam suci berhubungan dengan ilmu, makrifah, dan undang undang yang berasal dari wahyu secara tidak langsung melalui Rasulullah saw. Di jalan ini, setiap imam menggunakan dan menukil melalui sanad yang paling muktabar, yang semua perawinya adalah maksum dari sumber yang langsung.

Apakah ada kebanggaan dan kelebihan yang dapat dibayangkan selain daripada ini?

Yang lebih penting adalah mereka menyandarkan hadis-hadisnya kepada kitab yang paling muktabar melalui pendiktean Rasul yang ditulis dan disusun oleh tangan suci Imam Ali bin Abi Thalib.

Apa yang dinukil dari sumber ini adalah ahkam dan undang-undang syariat serta persoalan fikih. Namun, adakalanya ilmu dan makrifah aqli diambil dari sumber yang kaya dan bernilai ini.

5
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Pembahasan Ringkas mengenai Kitab ini
Adalah disesalkan bahwa teks kitab-kitab yang didikte Rasulullah saw dan ditulis Imam Ali bin Abi Thalib tidak ada di tangan kita dan kita juga tidak mengetahui kandungannya yang sempurna dengan baik. Kita tidak mengetahui apakah hanya hukum dan undang-undang fikih Islam yang telah tercatat di sana ataukah ilmu-ilmu serta makrifah agama juga ada di sana dan apakah cabang-cabang fikih telah ada di banyak bab dan dalam bentuk parsial ataukah kandungan kitab-kitab tersebut merupakan dasar dan kaidah universal sementara cabang-cabangnya disimpulkan oleh para imam suci dari dasar dan kaidah universal itu.

Dari sejumlah hadis, dapat diambil kesimpulan bahwa rincian persoalan telah terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Muhammad bin Muslim berkata, "Aku bertanya kepada Imam, apakah ilmu yang diwariskan kepada beliau dari Rasulullah saw berupa dasar ilmu pengetahuan yang bersifat global ataukah semua interpretasi yang dibutuhkan masyarakat dan semua yang dijelaskan beliau tentang berbagai persoalan, seperti apakah masalah perceraian dan hak waris terdapat dalam ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah saw? Beliau berkata, "Imam Ali telah menuliskan semua ilmu bahkan masalah peradilan dan faraid. Sekiranya perkara kami jelas, maka tidak akan terjadi sesuatu, kecuali telah ada sunnah kami dalam persoalan itu yang telah kami laksanakan."[71]

Dalam beberapa hadis, disebutkan semua persoalan terdapat di dalam kitab tersebut bahkan diyah goresan pun.

Meskipun kami memiliki hadis-hadis semacam ini, cakupan kitab-kitab tersebut terhadap semua cabang persoalan dalam berbagai bab fikih tampaknya mustahil.

Orang yang mengenal fikih Islam mengetahui bahwa cabang-cabang fikih sedemikian luasnya sehingga tidak mungkin dikandung dalam satu buku meksipun panjang buku itu tujuh puluh depa. Itu pun dalam ukuran kertas-kertas yang ada di masa itu, khususnya bila kita katakan, bahwa ilmu-ilmu lainnya dan makrifah
Islam juga terdapat di dalam kitab itu sebagaimana yang kita manfaatkan dari beberapa hadis.

Pertanyaan terakhir adalah bagaimana para imam suci menukil kandungan-kandungan kitab tersebut? Adakah mereka menukil kalimat sebagaimana aslinya ataukah sesuai dengan maknanya saja? Sayangnya, karena tidak memiliki kitab itu, kami tidak dapat memberikan jawaban yang pasti.


2. Al-Quran
Al-Quran merupakan referensi Islam yang paling penting dan akurat sebab dari sisi sanadnya adalah qatiyyus sudhur 'sumber yang pasti'. Setiap Muslim mengetahui bahwa al-Quran terdiri atas ayat dan surah yang diturunkan secara otentik oleh Allah ke hati Rasulullah saw dan tidak terdapat sedikit pun penyelewengan atau perubahan. Kitab samawi ini diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia dan kandungannya memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Al-Quran diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia dan semua orang dapat meneguk manfaat dari kitab suci ini. Namun, konsep-konsepnya sangat dalam dan di antara ayat-ayatnya, terdapat nasikh dam mansukh, muhkam dan mutasyabih, serta yang khas dan yang umum. Dengan memandang perbedaaan manusia dalam memahaminya, haruslah dikatakan, bahwa semua manusia, dalam memahami maknanya yang mendalam, tidak berada dalam satu tingkatan. Pemahaman Rasulullah saw, yang mendengarkan wahyu dari Allah swt melalui Jibril di dalam hatinya, sudah pasti jauh lebih tinggi daripada pemahaman manusia biasa. Oleh sebab itulah, tatkala ayat turun, beliau berupaya memindahkan ilmu pengetahuan dan makrifah al-Qur'an serta takwil dan tafsir ayat kepada Imam Ali as agar kekal selamanya bagi umat. Di sisi lain, Imam Ali berupaya merekam dan mencatatnya secara sempurna. Dari situlah, dapat dikatakan bahwa ilmu tafsir itu bersumber dari Rasulullah saw dan dipindahkan kepada Imam Ali as. Dengan cara inilah, ilmu itu berpindah ke tangan para imam suci. Selain itu, para imam sendiri memiliki pemahaman dan potensi yang luar biasa serta menerima pertolongan Allah yang luar biasa.

Dengan demikian, al-Qur'an dapat dikenalkan sebagai sumber ilmu para imam suci yang terpenting. Mereka senantiasa menisbatkan ilmu pengetahuan mereka kepada al-Qur'an dan dalam menjelaskan berbagai persoalan mereka bersandar kepada ayat sehingga adakalanya menegaskan, "Berkaitan dengan persoalan yang kalian dengarkan dari kami, kalian dapat meminta dalilnya dari ayat al-Qur'an." Sebagai contohnya, kami singgung beberapa hadis berikut.

1 Murazim meriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq, "Allah swt menurunkan penjelasan segala sesuatu melalui al-Quran. Demi Allah! Apa yang dibutuhkan oleh manusia telah disebutkan Allah swt, semuanya di dalam al-Qur'an sehingga seorang hamba tidak dapat lagi mengatakan, "Sekiranya ini ada, maka seharusnya ada di dalam al-Quran."[76]

2 Sama'ah mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far, apakah segala sesuatu terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah saw ataukah semua itu kalian katakan menurut diri kalian sendiri?" Beliau menjawab, "Segala sesuatu ada di dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah saw.[77]

3 Abu As-Shobah mengatakan, "Demi Allah! Imam Muhammad Baqir berkata, "Allah swt mengajarkan ilmu-ilmu tanzil dan takwil kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw mengajarkannya kepada Ali lalu beliau berkata, "Demi Allah! Imam Ali mengajarkannya kepada kami."[78]

4 Salamah mengatakan, "Aku mendengar dari Imam Baqir yang mengatakan, "Salah satu ilmu kami adalah al-Quran, hukum, serta ilmu perubahan zaman dan kejadian kontemporer. Jika Allah swt menghendaki kebaikan terhadap seseorang, Allah memperdengarkan kepada mereka dan apabila persoalan yang benar sampai ke telinga seseorang yang tidak memiliki pendengaran untuk mendengar, maka ia akan menolaknya sedemikian rupa seolah-olah tidak mendengarnya sama sekali." Tatkala itu, Imam diam beberapa saat dan berkata, "Apabila aku menemukan wadah yang sesuai, niscaya aku akan memindahkan ilmu ini ke wadah itu. Hanya Allah yang dapat kita mohonkan bantuan-Nya."

5 Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Demi Allah! Aku mengetahui kitab Allah dari pertama hingga akhir seolah-olah ada di telapak tanganku. Berita langit dan bumi serta berita masa lalu dan sekarang ada di sana." Kemudian beliau berkata, "Di dalam al-Quran, Allah SWT berfirman, "Penjelasan segala wujud ada di dalam al-Quran."[79]

6 Abul Jarud mengatakan, "Imam Shadiq berkata, "Ketika aku mengatakan sesuatu untuk kalian, maka tanyakanlah dalilnya dari al-Quran."[80]

7 Zurarah mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Muhammad Baqir, "Adakah Anda tidak bersedia mengatakan kepadaku dari manakah Anda mengetahui bahwa dalam wudhu haruslah diusap sebagian kepala dan sebagian dari dua kaki." Imam tersenyum dan berkata, "Rasulullah saw mengatakannya demikian dan kitab Allah diturunkan demikian. Dalam al-Quran disebutkan, Basuhlah wajahmu! Dari kalimat tersebut, kita memahami bahwa seluruh wajah harus dibasuh.

Selanjutnya disebutkan, Dan tanganmu hingga mirfaq! Di sini, kedua tangan (yadain) hingga mirfaq di-ataf-kan 'dihubungkan' kepada wajah. Maka dari sini, kita memahami bahwa kedua tangan hingga mirfaq haruslah dibasuh. Kemudian antara kalam terdapat pemisahan dan disebutkan, Dan usaplah kepalamu! Maka dari perkataan, birusikum, kita memahami bahwa mengusap haruslah terhadap sebagian kepala melalui adanya huruf ba'. Setelah itu, rijlain disambungkan dengan ra' atau ke la sebagaimana kedua tangan disambungkan dengan wajah dan mengatakan, waarjulakum ilal ka'bain. Maka dari arjulakum ilal ka'bain kepada kepala, kita memahami usapan terhadap sebagian dua kaki hingga ka'ab. Rasulullah saw menjelaskan ayat ini kepada manusia. Namun, mereka menyelewengkan penjelasan Rasulullah saw." [81]

8 Barid bin Muawiyah dari Imam Baqir atau Imam Shadiq meriwayatkan berkaitan dengan firman Allah, Dan tidak mengetahui takwil al-Quran kecuali Allah dan orang-orang yang rasikh (mendalam) dalam ilmu. Ayat ini mengatakan Rasulullah saw adalah rasikh yang paling utama dalam ilmu. Apa yang diturunkan Allah swt kepadanya disertai pangajaran tanzil dan takwil kepadanya. Allah tidak meninggalkan satu pun bagi Rasulullah. Para washi Rasulullah juga mengetahui semuanya tanpa terkecuali. Ketika orang-orang yang tidak mengetahui takwil al-Quran mendengar dari seorang alim yang merupakan washi Rasulullah saw, mereka berkata, "Kami beriman kepada apa yang diturunkan Allah. Al-Quran memiliki khas dan umum serta muhkam dan mutasyabih. Rasikhin dalam ilmu mengetahui semua itu." [82]

9 Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Rasikhin dalam ilmu adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan para imam setelah beliau." [83]
Hadis-hadis tersebut telah disebutkan sebagai contoh. Hadis-hadis semacam ini berjumlah puluhan dan tercatat serta terekam dalam kitab-kitab hadis.

Dari semua ini, dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an merupakan salah satu sumber penting ilmu para imam suci. Manusia-manusia suci pilihan Allah itu, lantaran pertolongan Allah, potensi-potensi zatiah, ilmu pengetahuan, dan informasi yang sampai kepada mereka berkaitan dengan tafsir al-Quran, benar-benar akrab dengan al-Quran dan mengenalinya. Masalah fikih, ilmu pengetahuan, makrifah ideologi, serta kemuliaan dan kerendahan akhlak dikeluarkan dan diambil dari kitab samawi ini dan mereka menyampaikannya kepada para peminat dalam bentuk hadis yang tercatat dalam kitab.


3. Akal
Salah satu sumber ilmu imam adalah akal dan tafakur. Ta'aqqul dan tafakur merupakan kelebihan manusia yang paling istimewa di atas maujud-maujud lainnya. Apa saja yang manusia miliki bersumber dari kekuatan berpikir. Jika akal diambil dari manusia, tidak ada sesuatu pun yang tertinggal di dalam manusia.

Peradaban dan kemajuan manusia di sepanjang sejarah adalah berkat pemikiran-pemikirannya. Manusia dalam kehidupan kesehariannya menggunakan logika dan istidlal. Bagi manusia, pemahaman akal sebagai suatu hujjah adalah suatu perkara yang jelas dan mereka tidak bisa tidak harus menerimanya.

Agama-agama samawi pada umumnya berpijak pada argumentasi aqliyah. Walaupun, pada umumnya, para nabi Allah yang memperkenalkan diri sebagai utusan Allah swt dan mengabarkan adanya kehidupan pasca-kematian, ma'ad, siksaan dan pahala akhirat tidak memulai dakwah atau seruan mereka dengan argumen dan istidlal (alasan) aqliyah -melainkan menggunakan bantuan fitrah untuk mencari Tuhan yang wujud di dalam manusia, dalam mengukuhkan dakwaan, mereka memakai metode ihtijaj dan argumentasi aqliyah serta mengarahkan pendengar ke arah tersebut sebab para nabi tidak diutus untuk memaksa para pengikutnya agar beriman kepada ushul 'pokok' akidah dan ilahiyat dan mabda' serta ma'ad dengan ta'abbud (kepatuhan) dan menerimanya tanpa argumen. Akan tetapi, salah satu tujuan para nabi ialah membangun kekuatan berpikir dan keimanan yang mendalam kepada akhirat dan kebenaran dengan kesadaran dan pengetahuan yang penuh.

Al-Quran menggunakan metode ini dan dalam beberapa ayatnya, kitab samawi ini membentangkan persoalan-persoalan ilahiah dan ushul-aqidah. Para nabi menyerukan kepada manusia untuk ber-tadabbur dan ber-ta'aqqul sehingga mereka menerima kebenaran dan mengukuhkan keimanan jiwa melalui tafakkur dan argumen aqliyah. Terlepas dari itu, al-Quran sendiri adakalanya menggunakan metode burhan aqliyah meskipun secara sederhana sehingga dapat dimengerti oleh semua lapisan.

Rasulullah saw adalah ahli logika dan burhan. Beliau memandang penerimaan akal sebagai hujjah yang kredibel dalam persoalan-persoalan aqliyah, bahkan dalam ushul aqidah, mabda' serta ma'ad yang mengikutinya. Bahkan sebelum bi'tsah, beliau telah beriman kepada Sang Pencipta, tauhid, dan akhirat melalui akal.

Setelah nubuwwah, beliau menggunakan burhan-aqliyah dalam mengukuhkan keyakinan para pengikutnya dan menjelaskan apa yang terkandung dalam al-Quran. Beliau memiliki akal yang sempurna dan kuat. Akan tetapi, dalam pemikiran rasional, beliau memiliki dukungan wahyu dan ishmah sehingga terpelihara sepenuhnya dari kesalahan. Beliau selalu mendorong para pengikutnya untuk berpikir dan merenung serta mengikuti akal.

Baginda Rasulullah saw bersabda, "Allah swt tidak menganugerahkan sesuatu yang lebih baik daripada akal kepada hamba-Nya sehingga tidurnya orang yang berakal adalah lebih baik daripada bangunnya orang jahil di malam hari dan berdiam diri bagi seorang yang berakal lebih baik daripada perjalanan seorang jahil (untuk melaksanakan haji dan jihad)."

Allah swt tidak mengutus nabi dan rasul kecuali apabila akalnya lebih unggul daripada akal semua umat. Dari situlah, akal dapat diperkenalkan sebagai salah satu sumber penting ilmu para nabi dalam kaitan dengan ushul akidah, perkara-perkara rasional, dan adakalanya dalam hukum dan undang-undang syariat.

Rasulullah saw di masa risalahnya mengenalkan kepada Imam Ali metode ini dan membina akalnya sampai mencapai kedudukan yang sempurna sehingga setelah Rasulullah wafat, Muslimin dapat menggunakan ilmu dan petunjuk-petunjuk Imam Ali dalam persoalan aqliyah. Sama halnya dengan Rasulullah saw, pemikiran Imam Ali bin Abi Thalib memiliki keterpeliharaan dari kesalahan.

Apabila merujuk kepada kitab hadis terutama kitab mulia Nahjul Balaghah, kita akan menyaksikan hakikat ini dengan sangat jelas, bahwa setelah Rasulullah saw, tidak seorang pun, dalam ilmu aqliyah dan penjelasan makrifah serta ilahiah, yang mencapai tingkat kemampuan Ali bin Abi Thalib.
Kami, dalam beberapa halaman yang pendek ini, tidak dapat membahas dan menganalisis Manusia besar dalam sejarah ini. Namun sebagai contoh, kami akan membawakan sebagiannya.

Imam Ali bin Abi Thalib, dalam salah satu khutbahnya, mengatakan:

"Awal dari agama adalah makrifah kepada Allah dan kesempurnaan pengetahuan adalah beriman kepada-Nya. Kesempurnaan iman adalah tauhid.

Kesempurnaan tauhid adalah ikhlas untuk-Nya dan kesempurnaan ikhlas adalah penafian sifat dari-Nya karena setiap sifat menyaksikan bahwa ia adalah lain dari yang disifati, dan setiap yang disifati menyaksikan bahwa ia lain dari sifat. Maka, barangsiapa yang menyifati Allah telah menganggap-Nya bersama dengan selain-Nya, dan siapa saja yang memandang Allah bersama dengan selain-Nya telah menduakan-Nya, dan barangsiapa yang memandang-Nya dua telah memisahkan-Nya, dan barangsiapa yang memisahkan-Nya belum mengenal-Nya. Barangsiapa yang tidak mengenal-Nya telah menempatkan-Nya di satu tempat dan mengisyaratkan kepada-Nya, dan barangsiapa yang mengisyaratkan kepada-Nya telah membatasi-Nya, dan barangsiapa yang memandang-Nya terbatas telah mengakui-Nya berbilang, dan barangsiapa yang berkata, "Dimana Dia?" telah memikirkan-Nya bertempat, dan barangsiapa yang berkata, "Atas apa Dia berada?" telah menganggap suatu tempat kosong dari- Nya."1

Orang yang mengerti ilmu kalam dan filsafat mengetahui bahwa apa yang dijelaskan Imam Ali bin Abi Thalib seharusnya membutuhkan puluhan dan bahkan ratusan halaman. Keluarnya kalimat yang argumentatif dan mendalam seperti tersebut di awal era Islam dan di masa ketika ilmu kalam dan filsafat belum mentradisi di kalangan umat adalah sebuah mukjizat.

Akan tetapi, bagi Manusia unggul yang memiliki akal, kecerdasan esensial, dan kedudukan tinggi ishmah serta yang merupakan buah hasil didikan madrasah Rasulullah, perkara seperti itu tidaklah sulit untuk dijelaskan.

Dari situlah, akal dan pemikiran rasional Imam pertama umat Syiah, Ali bin Abi Thalib, dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber penting ilmu para imam.

Setelah Amirul Mukminin, imam-imam suci lainnya juga menggunakan cara yang sama dalam persoalan rasional dan akhirat. Dengan merujuk kepada kitab sejarah dan hadis, kita dapat memahami argumen-argumen dan ucapan-ucapan para imam suci dalam ilahiah dan ushul akidah. Namun sayangnya, dalam buku ini tidak ada peluang untuk memaparkannya.


Ilmu Imam yang Paling Mulia
Ilmu-ilmu yang sampai di sini telah terbuktikan bagi Imam. Ilmu yang biasa dan umum di antara manusia juga memiliki hal yang seperti itu. Hanya saja ilmu para imam suci memiliki keistimewaan tersendiri. Namun bagaimanapun, dari jenis konsep akal -menurut sebagian hadis- dapat disimpulkan bahwa para imam suci memiliki jenis ilmu yang lain, yang lebih tinggi daripada ilmu pada umumnya. Dari ilmu mereka yang paling utama, di antaranya adalah hadis berikut ini.

1. Abu Bashir berkata, "Aku berada di sisi Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Kami mengetahui peristiwa masa lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat." Aku bertanya, "Jiwaku kukorbankan untukmu! Apakah itu dari jenis ilmu yang penting?" Beliau menjawab, "Ilmu yang bernilai tetapi maksudku bukan ilmu pengetahuan biasa." Aku bertanya, "Lalu jenis ilmu apakah itu?" Beliau berkata, "Ilmu yang diberitahukan kepada kami setiap siang dan malam, dari satu perkara ke perkara yang lain hingga hari kiamat." [84]

2. Mufadzal mengatakan, "Suatu hari aku berada di sisi Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Wahai Aba Abdillah!" Sebelumnya, belum pernah Imam Ja'far memanggilku dengan kunyah 'nama panggilan'." Aku berkata, "Labbaik!" Beliau berkata, "Setiap malam Jumat, kami mendapatkan kebahagiaan yang melimpah." Aku bertanya, "Semoga Allah menambah kebahagiaan Anda! Apa yang membuat Anda berbahagia di malam Jumat?" Beliau menjawab, "Pada setiap malam Jumat, Rasulullah saw naik ke Arsy Ilahi. Para imam juga naik dan aku pun ikut naik. Kemudian ruh-ruh kami tidak kembali ke tubuh-tubuh kami melainkan dengan membawa ilmu yang berfaedah. Sekiranya tidak seperti itu maka niscaya ilmu kami telah habis."[85]

3. Haris bin Al-Mughirah mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq, "Beritahulah kepada kami ilmu alim dari keluarga Nabi saw!" Imam menjawab, "Kami mewarisi dari Rasulullah saw dan Ali." Aku berkata, "Telah dikatakan kepada kami bahwa ilmu itu dimasukkan ke dalam hati dan disebutkan di telinga Anda." Lalu, beliau membenarkannya."[86]

4. Ali As-Sai menukil dari Imam Musa bin Ja'far yang mengatakan, "Ilmu kami ada tiga macam. Ilmu masa lalu, masa depan, dan sekarang telah dijelaskan kepada kami dan ilmu masa yang akan datang telah ditulis bagi kami. Ilmu ini adalah ilmu kami yang paling mulia. Setelah Rasulullah saw, tidak akan ada nabi (maksudnya kami bukan nabi)."

5. Mufadzal bin Umar mengatakan, "Aku bertanya kepada Musa bin Ja'far bahwa telah diriwayatkan dari Imam Shadiq yang mengatakan, "Ilmu kami adalah ghabir dan mazbur serta nukat di dalam hati dan nafrun di telinga." Imam menjelaskan bahwa ghabir adalah ilmu masa lalu sedangkan mazbur adalah ilmu masa yang akan datang. Demikian pula, nukat di dalam hati adalah ilham dan nafrun di telinga disampaikan melalui malaikat."

6. Zurarah mengatakan, "Aku mendengar dari Aba Ja'far (Imam Muhammad Baqir) yang berkata, "Sekiranya ilmu kami tidak ditambah, maka ilmu kami akan berakhir." Zurarah berkata, "Adakah Anda ditambah dengan ilmu yang Rasulullah tidak ketahui?" Beliau berkata, "Manakala telah ditetapkan tentang ditambahnya ilmu kami, maka pertama, diberikan kepada Rasulullah saw, lalu ditambahkan kepada para imam suci dan akhirnya sampai kepada kami."

Dari hadis-hadis semacam ini yang memiliki banyak contoh, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw dan para imam suci -selain ilmu yang umum-memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, yang berbeda total dengan ilmu ini. Ilmu khusus mereka bukanlah dari jenis konsep pemikiran subjektif melainkan dari jenis wujud, hudhur, dan isyraq. Ilmu kita pada umumnya adalah ilmu hushuli dan berasal dari konsep subjektif (pemikiran). Bahkan kita memiliki ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari pokok akidah, seperti Allah, tauhid, asma', sifat, jamal dan jalaliyah-Nya; ilmu tentang ma'ad dan hari kiamat serta kehidupan pasca-kematian -hari perhitungan dan surga serta nikmat-nikmat-Nya dan neraka serta siksaan-siksaan-Nya. Semua itu adalah konsep pikiran (subjektif).

Sejauh apa pun kita meneliti pengetahuan konsep ini, maka tidak akan diperoleh apa pun kecuali bertambahnya konsep. Kita tidak memiliki pengenalan tentang tauhid dan sifat serta jamal dan jalaliyah Allah SWT dan kehadiran-Nya di semua tempat sebagaimana hakikatnya. Dari situlah, iman itu secara umum tidak meninggalkan pengaruh yang seharusnya.

Pada diri mereka yang memiliki iman koseptual, pada umumnya, tidak terdapat ketakutan terhadap keagungan dan jalaliyah zat rububiyah. Tambahan pula, dalam diri mereka tidak terdapat istiqomah (taqayyud) untuk meninggalkan dosa dan mereka tidak mewujudkan konsentrasi kepada Allah dalam shalat serta ibadah-ibadah lainnya sebagaimana sepatutnya.

Rasulullah saw dan para imam suci memiliki pengetahuan tentang mabda' dan ma'ad yang lebih tinggi daripada sekedar pengenalan konseptual. Pengenalan mereka adalah hudhuri dan penyaksian batiniah. Mereka menyaksikan hakikat dengan mata batin dan mendengarkan ucapan dengan telinga yang tidak dimungkinkan bagi manusia-manusia lainnya. Kesaksian batiniah ini termasuk jenis wujud yang bermula dari martabat rendah jiwa, arif dan berlangsung hingga tiada terbatas. Di dalam batinnya, seorang arif bergerak dan naik dalam sebuah perjalanan wujud. Ia mendekati sumber kesempurnaan keindahan. Semakin ia mendekati sumber itu maka semakin sempurna, mulia, dan mendalam pula ilmunya. Seorang arif, dalam perspektif ini, melihat Allah sebagai Yang Mahakaya, Mahamutlak, dan Mahahadir di semua tempat. Ia menyaksikan dirinya dan semua maujudat yang disaksikannya hanyalah yang membutuhkan secara mutlak kepada-Nya dan merupakan tanda-tanda atau ayat-ayat Ilahi. Allah swt di dalam al-Quran berfirman, Timur dan Barat adalah milik Allah. Ke arah mana saja kamu melihat, di situlah wajah Allah.[87] Allah berfirman, Allah bersama kalian di mana pun kalian berada dan Allah melihat perbuatan kalian. [88]
Allah swt berfirman, Dan kami lebih dekat kepadanya melebihi daripada urat leher. [89]

1. Dari perspektif inilah, ketika Imam Ali bin Abi Thalib ditanya, "Adakah engkau melihat Tuhan sehingga engkau beribadah kepada-Nya?" Beliau berkata, "Celaka kamu! Bagaimana mungkin aku menyembah zat yang tidak kulihat!" Ia bertanya, "Bagaimana kamu melihatnya?" Beliau berkata, "Celaka kamu! Mata tidak dapat melihat-Nya. Namun, hati dengan hakikat imanlah yang menyaksikan-Nya."[90]

2. Abdullah bin Sannan dari ayahnya meriwayatkan bahwa ia berkata, "Suatu hari aku bertamu ke rumah Imam Muhammad Baqir. Tak lama setelah kedatanganku, tiba-tiba seseorang datang dan bertanya kepada Amirul Mukminin, "Siapakah yang engkau sembah?" Imam menjawab, "Allah swt." Lelaki Khawarij itu kembali bertanya, "Adakah engkau melihat-Nya?" Imam berkata, "Mata tidak kuasa melihat-Nya tetapi hati dapat melihat-Nya dengan hakikat iman."[91]

3. Ya'qub bin Ishaq berkata, "Aku bertanya kepada Imam Hasan Askari, "Bagaimanakah seorang hamba menyembah Tuhannya sedangkan ia tidak melihat-Nya?" Dalam jawabannya, ia menulis, "Wahai Aba Yusuf! Ayah-ayahku yang memberikan nikmat-nikmat-Nya kepadaku dan ayah-ayahku tidaklah lebih besar daripada yang bisa dilihat." Orang ini bertanya, "Adakah Rasulullah saw menyaksikan Tuhannya?" Beliau menjawab, "Allah swt menunjukkan apa yang dikehendaki-Nya dari cahaya keagungan-Nya kepada hati Rasulullah saw."[91]

Dari sudut pandang inilah, Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali melihat Allah sebelumnya." [92]
Ilmu jenis ini dapat diperoleh pada waktu-waktu tertentu dan mendapatkan kesempurnaan serta kedalamannya. Dalam ungkapan hadis, malam dan siang -khususnya di malam-malam Jumat dan Qadar- ilmu itu diilhamkan kepada hati Rasulullah dan para imam suci yang bercahaya atau para malaikat mendiktekannya ke telinga mereka. Maka, di bawah pancaran ilham-ilham ilahiah inilah, hakikat alam semesta terbuka bagi mereka.

Kita tidak mengetahui dengan tepat sejauh mana mereka menggunakan sumber gaib ini. Namun, mungkin berita-berita gaib yang adakalanya keluar dari Rasulullah saw dan para imam suci berasal dari sumber ini.

Perlu diingat di sini bahwa apa yang didiktekan kepada para imam bukan wahyu tasyri melainkan, menurut istilah hadis, adalah ilham atau nukat di hati. Hal ini karena dengan meninggalnya Rasulullah saw, wahyu tasyri terputus dan tidak ada lagi pengutusan rasul.
Ilham-ilham seperti ini tidak boleh kita anggap mustahil.

Kedudukan para imam tidaklah kalah dengan kedudukan ibu Nabi Musa as yang disebutkan di dalam al-Quran, Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai Nil. Dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu. Dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.[93]

Ilham-ilham gaib, penyingkapan, dan penyaksian batin merupakan suatu hal yang tidak dapat diingkari. Puluhan contoh yang dialami manusia-manusia bertakwa dan para arif billah serta pesuluk di jalan penyucian diri telah kita baca atau dengar.

Kalau manusia biasa saja kita anggap mungkin menerima penyingkapan-penyingkapan batiniah seperti itu apalagi para imam suci. Dengan satu perbedaan, bagi manusia-manusia biasa, kasyaf seperti itu tidak akan terjadi kecuali pada saat-saat tertentu dan tidak berkesinambungan. Berbeda dengan para imam suci, mereka mungkin saja menerima ilham-ilham tersebut secara berkesinambungan dan abadi.


Catatan Kaki:
[1] Al-Mufradat

[2] QS. Sajdah: 24

[3] QS. Qashash: 41

[4] Shiratul Haq, jilid 3, hal. 168.

[5] Syarah Mawaqif , jilid 8, hal. 345.

[6] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 6, hal. 21.

[7] QS. an-Nisa: 59.

[8] Syarah Ibn Abil hadid, jilid 6, hal. 12.

[9] QS. Ahzab: 40.

[10] QS. Ali Imran: 9.

[11] QS. Ali Imran: 85.

[12] QS. Thaha: 13.

[13] QS. az-Zukhruf: 43.

[14] QS. An'am: 19.

[15] QS. al-Maidah: 67.

[16] QS. Ibrahim: 67.

[17] QS. an-Nisa: 105.

[18] QS. al-Ahzab: 21.

[19] QS. at-Taubah: 33.

[20] QS. al-Ahzab: 6.

[21] QS. an-Nisa: 59.

[22] Majma'ul Bahrain, maddah 'i sho mim.

[23] Al-Mufradat

[24] Ma'ani Akhbar, hal. 132.

[25] QS. Shaf: 9.

[26] QS. al-Baqarah: 193.

[27] QS. al-Hadid: 25.

[28] QS. al-Anbiya: 73.

[29] QS. Furqan: 74.

[30] QS. al-Qashash: 41.

[31] QS. at-Taubah: 12.

[32] QS. al-Isra': 71-72.

[33] QS. al-Baqarah: 124.

[34] Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan kami memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.

[35] QS. al-Baqarah: 124.

[36] QS. Luqman: 13

[37] QS. Ali Imran: 94.

[38] QS. asy-Syura: 42.

[39] QS. al-Fathir: 32.

[40] QS: at-Thalaq: 1.

[41] QS. al-Baqarah: 229.

[42] Kafi, jilid, 1, hal. 200.

[43] Ibid, jilid 1, hal. 202.

[44] Kafi, jilid 1, hal. 204.

[45] Nahjul Balaghah, khutbah 131.

[46] Kafi, jilid 1, hal.102.

[47] Nahjul Balaghah, khutbah 173.

[48] Al-Manaqib Khawarazmi, hal. 199.

[49] Ibid

[50] Thabaqatul Kubro, jilid 2, hal. 338.

[51] Yanabi; al-Mawaddah, hal. 88.

[52] Yanabi; al-Mawaddah , hal. 88.

[53] Al-Manaqib Khawarazmi, hal. 40; Usudul Ghobah, jilid 4, hal. 22; Al-Mustadrak , Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 127.

[54] Yanabi; al-Mawaddah, hal 82.

[55] Ibid, hal. 81

[56] Ibid, hal. 80.

[57] Ibid.

[58] Al-Mustadrak Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 122.

[59] Al-Manaqib Khawarazmi, hal 39.

[60] Yanabi; al-Mawaddah, hal 22; Jami' Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 196.

[61] Jami' Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 186.

[62] Ibid

[63] Jami' Ahadis Syiah , jilid 1, hal. 193.

[64] Ibid, hal. 195.

[65] Ibid, hal. 195.

[66] Ibid, jilid 1, hal. 193.

[67] Ibid, hal. 195.

[68] Ibid

[69] Ibid, hal. 195.

[70] Tahdzibut Tahdzib, jilid 2, hal. 104.

[71] Jami' Ahadis Syiah, jilid 2, hal. 104.

[72] Tahdzibut Tahdzib, jilid 2, hal. 104.

[73] Kafi , jilid 1, hal. 53; Jami' Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 180.

[74] Jami' Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 181.

[75] Jami' Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 192.

[76] Kafi, jilid 1, hal. 59.

[77] Kafi, jilid 1, hal. 62.

[78] Kafi, jilid 1, hal. 62.

[79] Kafi, jilid 1 hal. 229.

[80] Ibid, jilid 1, hal. 60.

[81] Wasailus Syiah, jilid 1, hal. 413.

[82] Kafi, jilid 1, hal 213.

[83] Ibid.

[84] Kafi, jilid 1, hal. 240.

[85] Kafi, jilid 1 hal. 254.

[86] Ibid, jilid 1, hal. 264.

[87] QS. al-Baqarah: 115.

[88] QS. al-Hadid: 4.

[89] QS. Qaf: 16.

[90] Kafi, jilid 1, hal. 98.

[91] Kafi, jilid 1, hal. 95.

[92] Ilmul Yaqin, hal. 49.

[93] QS. Qashash: 7.

6
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Bagian Kedua

Menciptakan Landasan untuk Mengenalkan Imam

Pemilihan atau Pelantikan Imam
Dalam pembahasan yang lalu, telah ditegaskan bahwa sepeninggal Rasulullah saw, wujud seorang imam merupakan sebuah keharusan untuk melanjutkan misi Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw wafat, tiada yang meragukan bahwa kaum Muslimin harus memiliki pemimpin atau imam. Kini timbul pertanyaan, apakah imam tersebut dipilih oleh umat, yakni umat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka, ataukah Allah yang menetapkan dan memilih imam bagi mereka?

Para pengikut Ahlus Sunnah memilih pendapat yang pertama. Menurut keyakinan mereka, imamah bukan merupakan pokok agama atau Allah bersama Rasul-Nya tidak sampai mencampuri urusan imamah (kepemimpinan) tetapi menyerahkan urusan pemilihan khalifah atau imam sepeninggal Rasulullah kepada umat. Dalam hal ini, masyarakat Ahlus Sunnah berpendapat bahwa di masa hidupnya, Rasulullah tidak memilih seseorang tertentu sebagai khalifah. Dengan demikian, peristiwa berkumpulnya para sahabat di Saqifah yang kemudian menghasilkan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah tidak bisa disalahkan.[1]

Namun, para pengikut mazhab Imamiyah menilai perbuatan para sahabat tersebut salah dan meyakini bahwa persoalan imamah ialah hak Tuhan dan pokok agama. Begitu pentingnya urusan imamah hingga Allah swt dan Rasul-Nya terlibat secara langsung dalam menentukan atau memilih imam. Oleh sebab itulah, pemilihan imam mustahil dapat dilakukan bila tanpa petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dikarenakan posisi seorang imam menuntut kelayakan zatiah.

Sebelumnya telah ditegaskan bahwa seorang imam harus memiliki dua karakteristik istimewa yang sangat penting: yang pertama, seorang imam harus terpelihara dari dosa dan kesalahan; dan yang kedua, seorang imam harus mengetahui semua hukum dan undang-undang serta ilmu keislaman yang hakiki.
Dari sisi inilah, imam memiliki penjagaan yang biasa disebut dengan ishmah.

Di samping itu, imam harus merupakan manusia yang paling tinggi dan utama dari sisi ilmu dan amal. Menimbang pentingnya keberadaan dua syarat tersebut, maka hanya Allah-lah yang dapat mengetahui siapa yang memiliki dua persyaratan ini dan secara langsung memilih imam. Allah jugalah yang mengetahui rahasia-rahasia batiniah dan ruhaniah mereka dan mengetahui siapa yang terpelihara dari dosa dan memiliki keluasan ilmu. Rahmat Ilahi melazimkan agar Rasulullah mengenalkan para imam suci kepada umat sehingga sepeninggalnya keberadaan para imam dapat dimanfaatkan oleh Umat.

Memperhatikan bahwa Allah mengetahui pentingnya keberadaan imam untuk melanjutkan dan merealisasikan misi Nabi saw dan umat yang tidak mampu mengenali para imam suci, maka adalah mustahil jika Allah menyerahkan persoalan pemilihan imam kepada umat dan tidak memberikan konsep yang diperlukan dalam pelaksanaan masalah sepenting ini. Maka, tidak diragukan lagi bahwasannya Allah-lah yang menunjuk para imam suci dan menyampaikan penunjukkan ini kepada Rasulullah serta memberi pesan-pesan yang diperlukan.[2]

Kalau ada orang yang berkata, bahwa Allah swt telah memilih imam dan memberitahukan persoalan ini kepada Rasulullah saw tetapi Rasulullah saw lupa, atau lantaran sebab lain, beliau tidak memberitahukannya kepada umat, pendapat seperti ini jelas tidak bisa diterima. Semua mengetahui bahwa Rasulullah saw begitu peduli dengan pengekalan dan perluasan agama Islam dan begitu sungguh-sungguh berupaya untuk merealisasikan misi-misi pentingnya sehingga pasti mengetahui bahwa tanpa keberadaan imam suci yang melanjutkan misi suci sepeninggalnya, maka penyempurnaan misinya tidak akan sukses. Mengenai akhlak Rasulullah saw, Allah swt berfirman, Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. [3]

Rasulullah saw begitu peduli dengan urusan umat bahkan saat hendak meninggalkan Madinah untuk beberapa hari saja, beliau selalu menunjuk seorang wali yang ditugaskan untuk mengelola urusan Muslimin di Madinah selama beliau tidak ada. Orang yang ditunjuk beliau adalah orang yang jujur dan layak untuk kemudian diberi arahan-arahan yang perlu.


1. Ayat Tathir adalah Landasan bagi Imamah
Memandang pembahasan-pembahasan yang lalu bahwa hikmah ilahiah membuat Allah swt mengenalkan syarat terpenting bagi imamah (kesucian) dan orang-orang yang memiliki syarat terpenting itu secara langsung kepada masyarakat agar mereka tidak terjatuh ke dalam kesesatan. Untuk itulah, Allah swt menurunkan ayat tathir sebagai landasan untuk mengenalkan dan mengarahkan umat kepada Ahlulbait Rasulullah dan para imam suci.

Salah satu ayat yang menunjukkan kesucian Ahlulbait adalah ayat yang sangat populer, yang berbunyi, Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.[4]

Ulama Syiah dan juga sebagian Ahlus Sunnah menjadikan ayat tersebut sebagai alasan atau argumen mengenai kesucian Ahlulbait. Sehubungan dengan ini, harus ditelaah beberapa persoalan.


Sebab Turunnya Ayat (sya'nun nuzul ayat)
Tidak ada yang memperselisihkan bahwa ayat di atas diturunkan berkaitan dengan Rasulullah saw, Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Kitab-kitab Syiah dan Ahlus Sunnah meriwayatkan tentang itu. Di antaranya adalah beberapa riwayat berikut ini.

1. Aisyah berkata, "Suatu pagi, Rasulullah saw keluar dari rumahnya dengan mengenakan jubah hitam yang terbuat dari kain wol. Imam Hasan, Imam Husain, Fatimah, serta Ali diminta untuk masuk ke dalam jubah itu seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [5]

2. Ummu Salamah berkata, Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun di rumahku. Hari itu, Fatimah membawa sebuah tempat yang dipenuhi oleh makanan. Kemudian Rasulullah meminta Fatimah agar memanggil Ali, Hasan, serta Husain. Ketika semua sudah datang, Rasulullah mengajak mereka makan. Kemudian ayat tathir turun. Rasul menyelimuti mereka semua dengan aba'ah (semacam jubah) dari kota Khaibar dan sebanyak tiga kali Rasulullah berdoa, "Ya Allah! Mereka adalah Ahlubaitku, jauhkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka."[6]

3. Amer bin Abi Salamah berkata, "Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih bersihnya turun di rumah Ummu Salamah. Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya berkata, "Ya Allah! Mereka adalah Ahlulbaitku, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka." Ummu Salamah bertanya, "Ya Rasulullah! Adakah aku juga bersama mereka?" Rasulullah berkata, "Tetaplah di tempatmu! Engkau juga baik."[7]

4. Zainab berkata, "Tatkala Rasulullah saw menyaksikan rahmat Allah turun dari langit, beliau bertanya, "Siapakah diantara kalian yang bisa memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain?" Aku menawarkan diri untuk memanggil mereka." Zainab memanggil mereka. Ketika mereka sudah datang, Rasulullah saw menyelimuti mereka dengan aba'ah dan beliau sendiri masuk ke dalam aba'ah itu lantas Jibril turun dan membawakan ayat tathir.[8]

5. Shaddad-abi Amarah berkata, "Aku berkunjung ke rumah Watsilah bin Astqa' bersama beberapa orang lainnya. Tak lama kemudian mereka (menggunjing Ali). Ketika mereka keluar, Watsilah membisiki telingaku, "Maukah aku ceritakan kepadamu suatu peristiwa yang aku saksikan dengan kedua mataku." Aku menganggukkan kepalaku dan dia mulai mengisahkan apa yang disaksikannya, "Hari itu, aku berkunjung ke rumah Fatimah untuk menjumpai Ali. Sesampainya di rumah Ali, Fatimah mengatakan bahwa suaminya sedang bersama Hasan dan Husain pergi ke rumah Rasulullah. Kemudian aku menyusul mereka ke rumah Baginda Rasul. Di sana, aku menyaksikan Rasulullah mengambil tangan Hasan dan Husain untuk masuk bersama Ali. Kemudian Rasulullah mendudukan Ali dan Fatimah di sisinya serta mendudukkan Hasan dan Husain di atas pahanya (memangkunya). Kemudian beliau menyelimutkan kain ke atas mereka seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Kemudian beliau berkata, "Mereka adalah Ahlulbaitku dan Ahlulbaitku adalah lebih layak."[9]

6. Abu Said Khudri mengatakan, "Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya diturunkan mengenai lima orang, yakni Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain." [10]

7. Dalam khutbahnya, Imam Hasan berkata, "Kami adalah Ahlulbait yang dalam firman Allah disebutkan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya[11]

Memandang hadis-hadis yang disebutkan itu -banyak lagi contoh yang seperti itu- sya'nun nuzul ayat tathir adalah bahwa suatu hari, Rasulullah saw memanggil Imam Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain ke sisinya dan mereka duduk di atas permadani. Kemudian Rasulullah meletakkan kain atau aba'ah atau karpet kasar hitam dari Khaibar ke atas mereka. Kemudian turun ayat tathir dari Allah dan beliau membacakannya lalu berkata, "Ya Allah! Mereka adalah keluargaku. Maka sucikanlah kotoran dan kekejian dari mereka."

Hadis tersebut populer dengan nama hadis kisa' dan dinukilkan dalam berbagai ungkapan serta tercatat di dalam kitab Ahlus Sunnah dan Syiah.


Para Saksi Kejadian
Peristiwa Kisa' merupakan salah satu peristiwa penting Rasulullah saw yang disaksikan sejumlah keluarga dekat, pembantu, dan para sahabat khusus beliau.

Mereka itulah yang meriwayatkan peristiwa tersebut. Sebagian dari mereka adalah sebagai berikut.

1. Rasulullah saw merupakan tokoh pertama kejadian itu dan berkali-kali mengisahkannya kepada para sahabat.

2. Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu dari mereka. Imam Ali menceritakan peristiwa tersebut kepada banyak orang dan berhujah dengannya.

3. Imam Hasan adalah salah seorang dari mereka.

4. Aisyah, istri Rasulullah saw, dalam sebuah hadis mengatakan, "Aku juga menyaksikan kejadian ini."

5. Umar putra Abi Salamah yang merupakan hasil didikan rumah Rasulullah saw.

6. Zainab yang hidup di rumah Ummu Salamah.

7. Stauban yang merupakan budak yang dibebaskan oleh Rasulullah saw. Mengenai Stauban disebutkan bahwa dia senantiasa berada dengan Rasulullah, baik ketika Rasulullah berada dalam perjalanan maupun tidak.

8. Wastilah bin Asqa' yang merupakan salah seorang abdi di rumah Rasulullah saw.

9. Ummu Salamah merupakan salah seorang istri Rasulullah saw yang seolah-olah peristiwa tersebut terjadi di rumahnya dan mengisahkannya kepada banyak orang.

10. Kelompok lain dari perawi hadis seperti Abul Hamra', Anas bin Malik, Abu Sa'id Khudri, dan Ibn Abbas -meskipun tidak tentu bahwa orang-orang ini menyaksikan peristiwa yang sebenarnya, namun kemudian hari, mendengar kisah itu dari Rasulullah saw atau dari salah seorang saksi atau mereka melihat bahwa setelah peristiwa ini, Rasulullah saw untuk sekian lama melewati rumah Sayyidah Fatimah Az-Zahra dan memanggil penghuni rumah itu dengan sebutan Ahlulbait dan mengatakan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[12]

Abul Hamra mengatakan, "Rasul saw selama enam bulan menghampiri pintu rumah Fatimah seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[13]

Abu Barzah mengatakan, "Selama tujuh belas bulan, aku shalat bersama Rasulullah saw dan manakala keluar dari rumah, beliau mengunjungi rumah Fatimah dan berkata, "Ash-shalatu alaikum"! Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."

Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Setiap pagi, Rasulullah saw datang ke rumah kami dan berkata, "Semoga Allah merahmati kalian! Bangunlah dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." [14]
Abu Said Khudri berkata, "Tatkala ayat Wa'mur ahlaka bish-shalat turun, Rasulullah saw selama sembilan bulan, setiap harinya, mendatangi pintu rumah Fatimah dan Ali seraya berseru, "Telah tiba saat shalat. Semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."[15]

Untuk sekian lama, Rasulullah saw melanjutkan kebiasaan ini dengan tujuan pertamanya adalah beliau ingin menunjukkan bahwa perlakuannya itu bukan perkara biasa. Beliau ingin memberitahukan kepada para sahabatnya agar nanti tidak ada dari mereka yang berkata, "Peristiwa Kisa' hanya pertemuan kekeluargaan biasa; kedua, beliau ingin menjelaskan siapa sebenarnya Ahlulbait sehingga nantinya tidak ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk istri-istri Nabi saw; dan ketiga, beliau ingin agar para sahabatnya menceritakan hal ini kepada orang-orang lain.


Susbtansi Ahlulbait
Istri-istri Rasulullah saw hidup di rumah yang sederhana. Rumah tersebut adalah rumah Aisyah, Ummu Salamah, Zainab dan Shafiyyah.
Kini, timbul pertanyaan, Ahlulbait dan rumah manakah yang dimaksud karena al atau 'keluarga' di dalam kata al-bait secara istilah adalah untuk menunjukkan makrifah (tertentu), yakni rumah tertentu dan tidak mencakup semua rumah.

Dari sekian hadis yang ada tentang sya'nun nuzul ayat tathir yang sebelumnya telah kami singgung, dipetik sebuah kesimpulan bahwa rumah yang dimaksud adalah rumah Ummu Salamah. Di rumah itulah, Rasulullah saw mengumpulkan Ali, Fatimah, Hasan, serta Husain dan menyelimuti mereka dengan aba'ah atau permadani kasar seraya membacakan ayat tathir yang dibawa oleh malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah berdoa, "Ya Allah! Mereka adalah Ahlulbaitku dan bersihkanlah mereka dari kotoran dan kekejian."

Bahkan Rasulullah saw tidak mengijinkan pemilik rumah, yakni Ummu Salamah, untuk bergabung dengan mereka padahal Ummu Salamah meminta ijin untuk itu. Rasulullah menolak permintaan istrinya itu dengan mengatakan, "Bangunlah dan menjauhlah sedikit dari keluargaku!" Ummu Salamah berkata, "Setelah mendengar itu, aku menjauh dan mencari tempat di bagian pojok rumah."[16]

Dari beberapa hadis, dapat disimpulkan bahwa Ummu Salamah berada di kamar sebelah atau di belakang kamar tersebut. Rasulullah saw dapat mendudukkan empat orang tersebut ke sisinya di atas permadani dan membacakan ayat. Namun, beliau tidak cukup di situ, melainkan selain dari itu, beliau menghamparkan jubah di atas kepalanya dan kepala mereka sehingga beliau dapat membatasi subtansi Ahlulbait itu hanya kepada mereka dan menghilangkan jalan penyalahgunaan (distorsi) sehingga nantinya istri-istri Nabi saw tidak dapat mengaku sebagai Ahlulbait Nabi juga atau termasuk di dalam ayat tersebut.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw menjelaskan bahwa ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya hanyalah mengenai beliau, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. [17]

Jabir mengatakan saat ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun kepada Rasulullah saw, tidak ada seorang pun di rumah tersebut selain Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. [18]

Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain untuk membuktikan kemuliaan-kemuliaan mereka, dalam banyak kesempatan, berpegangan kepada ayat ini dan bukan hanya tidak seorang pun yang menentang ayat ini, melainkan semua membenarkannya.

Syarik bin Abdillah mengatakan, "Aku melihat Ali yang saat itu sedang membaca khutbah di tengah para sahabatnya. Beliau berkata, "Demi Allah, kalian aku sumpah! Apakah ada dari selain aku dan keluargaku yang Allah sucikan di dalam kitab-Nya? Di situlah, beliau membaca, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Maka, hadirin pun berkata, "Tidak ada."[19]

Imam Ali kepada Abu Bakar berkata, "Bersumpahlah demi Allah! Apakah ayat tathir itu diturunkan mengenaiku, istri, dan anak-anakku ataukah mengenai engkau dan anak-anakmu?" Abu Bakar menjawab, "Mengenai engkau dan keluargamu." Beliau berkata lagi, "Bersumpahlah demi Allah! Tidakkah Rasulullah saw di hari kisa memanggilku, istri, dan anak-anakku dan mengatakan bahwa kami adalah keluarganya yang menuju kepada-Nya dan bukan ke neraka?" Abu Bakar menjawab, "Benar! Rasulullah benar-benar mengatakan hal itu tentang dirimu dan keluargamu." [20]

Imam Hasan dalam khutbahnya yang terperinci mengatakan, "Aku adalah dari keluarga yang Allah swt sucikan dari kotoran sesuci-sucinya."[21]

Setelah peristiwa penting Ahlulbait di rumah Ummu Salamah dan turunnya ayat tathir, kata Ahlulbait berubah menjadi sebuah laqab yang mulia dan penuh kebanggaan sehingga mereka berbangga dan berargumen dengan itu. Tema ini dapat dijumpai dalam kalimat Rasulullah saw, Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain serta para imam lainnya.


Jawaban Sebuah Persoalan
Sebagian orang mengatakan bahwa ayat tathir dalam konteks adalah ayat yang diturunkan berkaitan dengan istri-istri Rasulullah saw. Merekalah yang menjadi khitab dan karena qarinah konteks haruslah dikatakan bahwa ayat tathir diturunkan mengenai mereka, atau bahwasannya mereka termasuk ke dalam apa yang dimaksud ayat ini. Dari itulah, ayat ini tidak bisa dibatasi sebagai argumen atas kesucian lima orang, melainkan para isteri Rasulullah juga harus dianggap suci.
Jika tidak, maka kita juga harus membuang keyakinan atas kesucian lima orang tadi.

Sebagai jawaban atas keraguan ini, dapatlah dikatakan bahwa kemungkinan yang pertama adalah ijtihad di hadapan nash karena, dalam banyak hadis yang mencapai kedudukan tawatur dan yang sebelumnya telah banyak disinggung, dapat disimpulkan bahwa ayat tathir diturunkan khusus bagi Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Untuk menghilangkan keraguan ini, Rasulullah saw menutupkan kain ke atas kepala mereka dan membaca ayat tersebut. Rasulullah saw pun menjawab permintaan Ummu Salamah, Aisyah, serta Zainab yang meminta ijin untuk bergabung ke dalam jubah itu dengan berkata, "Tetaplah di tempatmu dan janganlah mendekat." Padahal Rasulullah saw bersabda berkal-kali, "Ayat ini diturunkan untukku, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain." Maka, adalah mengherankan kalau dikatakan bahwa karena konteks kalimatnya, haruslah dikatakan bahwa ayat ini turun mengenai istri-istri Nabi saw.

Kedua, apabila turun mengenai istri-istri Nabi saw, ayat ini harus disampaikan dengan khitab mu'annas dan dikatakan, innama yuridullah liyudzhiba ankunnar rijsa, bukan dalam bentuk jamak mudzakkar.

Ketiga, adalah benar bahwa ayat innama yuridullah liyudzhiba ankumur rijsa diturunkan di sisi ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw. Namun, ia haruslah dianggap sebagai kalimat muktaridhoh yang penyebutannya sudah menjadi biasa di tengah orang-orang Arab yang fasih dan juga disebutkan di dalam al-Quran seperti, Maka ketika suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia, "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar. Hai Yusuf berpalinglah dari ini, dan kamu wahai istriku mohon ampunlah atas dosamu itu karena kamu sesungguhnya termasuk orang orang yang berbuat salah."[22]


Jawaban Sebuah Persoalan
Sebagian orang mengatakan bahwa ayat tathir dalam konteks adalah ayat yang diturunkan berkaitan dengan istri-istri Rasulullah saw. Merekalah yang menjadi khitab dan karena qarinah konteks haruslah dikatakan bahwa ayat tathir diturunkan mengenai mereka, atau bahwasannya mereka termasuk ke dalam apa yang dimaksud ayat ini. Dari itulah, ayat ini tidak bisa dibatasi sebagai argumen atas kesucian lima orang, melainkan para isteri Rasulullah juga harus dianggap suci. Jika tidak, maka kita juga harus membuang keyakinan atas kesucian lima orang tadi.

Sebagai jawaban atas keraguan ini, dapatlah dikatakan bahwa kemungkinan yang pertama adalah ijtihad di hadapan nash karena, dalam banyak hadis yang mencapai kedudukan tawatur dan yang sebelumnya telah banyak disinggung, dapat disimpulkan bahwa ayat tathir diturunkan khusus bagi Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Untuk menghilangkan keraguan ini, Rasulullah saw menutupkan kain ke atas kepala mereka dan membaca ayat tersebut. Rasulullah saw pun menjawab permintaan Ummu Salamah, Aisyah, serta Zainab yang meminta ijin untuk bergabung ke dalam jubah itu dengan berkata, "Tetaplah di tempatmu dan janganlah mendekat." Padahal Rasulullah saw bersabda berkal-kali, "Ayat ini diturunkan untukku, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain." Maka, adalah mengherankan kalau dikatakan bahwa karena konteks kalimatnya, haruslah dikatakan bahwa ayat ini turun mengenai istri-istri Nabi saw.

Kedua, apabila turun mengenai istri-istri Nabi saw, ayat ini harus disampaikan dengan khitab mu'annas dan dikatakan, innama yuridullah liyudzhiba ankunnar rijsa, bukan dalam bentuk jamak mudzakkar.

Ketiga, adalah benar bahwa ayat innama yuridullah liyudzhiba ankumur rijsa diturunkan di sisi ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw. Namun, ia haruslah dianggap sebagai kalimat muktaridhoh yang penyebutannya sudah menjadi biasa di tengah orang-orang Arab yang fasih dan juga disebutkan di dalam al-Quran seperti, Maka ketika suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia, "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar. Hai Yusuf berpalinglah dari ini, dan kamu wahai istriku mohon ampunlah atas dosamu itu karena kamu sesungguhnya termasuk orang orang yang berbuat salah."[22]

Kalimat Hai Yusuf berpalinglah dari ini merupakan kalimat muktaridhoh dan mintalah ampunan yang digunakan di antara kalimat.


Tafsir Ayat Tathir
Dalam tafsir ayat tathir telah disinggung beberapa hal:


Rijsun dalam Bahasa
Dalam bahasa Arab, segala sesuatu yang keji, kotor dan tercemari disebut dengan rijsun, baik itu kotoran lahiriah yang di dalam istilahnya disebut najis ataupun kotoran batiniah yang di dalam istilahnya disebut dengan dosa.

Dalam Aqrabul Mawarid ditulis, rijsun artinya 'kotor dan tercemari', dengan makna dosa yang menyebabkan siksa. Dalam Al-Munjid disebutkan rijs yakni 'kotor' dan juga diartikan dengan 'perbuatan yang buruk'. Ibn-Astir dalam kitab An-Nihayah menulis, rijs yakni 'najis dan kotor' juga digunakan untuk perbuatan-perbuatan buruk dan haram.

Dalam Lisanul Arab, ditulis rijs yakni 'najis yang juga digunakan untuk perbuatan-perbuatan haram'. Raghib Isfahani dalam Al-Mufradat mengatakan, rijis artinya 'kotor dan keji'. Kekejian itu adakalanya dari sisi tabiat, kadang menurut penilaian akal dan syariat, serta dan adakalanya kotor dari seluruh sisi, seperti bangkai.


Rijs dalam Al-Quran
Di dalam al-Quran, rijs digunakan dalam dua makna: adakalanya dipakai atas makna najis lahiriah misalnya, Katakanlah, tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.[23]

Rijs adakalanya juga digunakan untuk arti kotor dari sisi batiniah dan jiwa seperti, Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannnya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah ia sedang mendaki ke langit, Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. [24]

Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu, bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya yang telah ada, dan mereka mati dalam keadaan kafir. [25]

Ia berkata sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa kekotoran dan kemarahan dari Tuhanmu. [26]

Sebagaimana kita saksikan bahwa pada ayat-ayat di atas, kata rijs digunakan untuk makna kotoran jiwa.


Makna Rijs dalam Ayat
Kini, harus kita melihat apakah makna rijs yang disebutkan pada ayat tathir adalah najis lahiriah atau najis jiwa?

Dengan sedikit ketelitian, akan menjadi jelas bahwa dalam ayat tersebut, rijs yang dimaksud adalah bukan najis lahiriah, melainkan kotoran jiwa karena kewajiban menjauhi najis lahiriah tidaklah dikhususkan bagi Ahlulbait, melainkan bagi semua orang yang mukallaf. Tambahan pula, lahiriah ayat ini menunjukkan pembatasan berkaitan dengan kata innama (pembatasan).

Selain dari itu, kewajiban menjauhi najis (lahiriah) bagi Ahlulbait tidaklah mendatangkan keutamaan dan kelebihan sehingga mereka dapat berbangga dengannya dan berkata, "Kamilah yang dikehendaki Allah untuk menjauhi najis." Sekiranya demikian, maka kita tidak lagi memerlukan semua formalitas dan pembatasan seperti itu yang Rasulullah lakukan dengan menutupkan pakaiannya terhadap lima orang tadi dan mendoakan mereka agar sukses menjauhi kenajisan dan memandang persoalan ini begitu penting sehingga istri beliau pun, Ummu Salamah, tidak diijinkan masuk ke dalam jubah dan tidak dimasukkan ke dalam khitab ayat ini.

Sekiranya ayat itu bermakna seperti tadi, lalu bagaimana Imam Ali, Imam Hasan, serta Imam Husain berkali-kali berbangga dengan itu ketika mengatakan,
"Kamilah substansi ayat tathit dan ayat itu turun untuk kami" Tidak ada akal sehat yang menerima kemungkinan seperti ini.

Maka dari itu, haruslah dikatakan bahwa najis dalam ayat itu bukanlah berat dosa dan kotoran.


Maksud dari Iradah dalam Ayat Tathir
Di dalam al-Quran, terdapat dua iradah yang dinisbatkan kepada Allah swt: iradah takwiniah dan iradah tasyriiyah. Maksud dari iradah takwini adalah bahwa dalam sistem takwin, sesuatu yang dikehendaki itu akan menemukan wujudnya atau termanifestasikan seperti, Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. [27]

Ayat berikut menyatakan hal yang sama, Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah, maka terjadilah ia."[28]

Dalam iradah takwini, sesuatu yang dikehendaki pasti berlaku dan tidak bisa keluar dari kehendak itu. Bila Allah menghendaki sesuatu, maka keterwujudannya merupakan suatu keharusan.

Jenis yang kedua adalah kehendak atau iradah tasyriiyah yang berarti Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mewujudkan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki-Nya seperti, Barangsiapa di antara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [29]

Ayat berikut menyatakan hal yang sama, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.

Dalam kehendak tasyri, yang dimaksud Allah agar terwujud dalam tatanan tasyri dan peletakan hukum sehingga dikeluarkanlah perintah yang diperlukan.

Dalam dua ayat di atas, telah disebutkan bahwa dalam tatanan tasyri, tidak ada kesulitan dan kerumitan dan tidak ditetapkan undang-undang yang mempersulit. Kini haruslah dilihat makna iradah yang disebutkan dalam ayat tathir, apakah itu takwiniyah atau tasyriiyah? Apabila itu adalah kehendak tasyriiyah maka artinya adalah demikian, Allah swt, dalam tatanan tasyri dan undang-undang, telah menetapkan bahwa kalian, Ahlulbait, janganlah bermaksiat, yakni Allah swt telah menetapkan hukum dan undang-undang yang apabila mengamalkannya, kalian akan terpelihara dari dosa.

Sedikit saja teliti dan obyektif, maka kita akan meyakini dan membenarkan bahwa ayat ini tidak dapat ditafsirkan seperti itu. Kita meminta dari para pembaca agar berpikir obyektif. Apakah dapat dikatakan, bahwa Allah swt, dalam membuktikan kemuliaan Ahlulbait, mengatakan kepada mereka, "Aku muliakan kalian dan dalam maqom tasyri, aku menghendaki agar kalian tidak berbuat dosa?" Keinginan atau kehendak ini tidaklah khusus bagi Ahlulbait, melainkan bagi orang mukmin yang mukallaf dikehendaki agar menjauhi dosa.

Apabila maksud dari ayat itu demikian, maka semua formalitas itu tidak diperlukan, yakni ketika Rasulullah saw menempatkan beberapa orang tertentu di bawah jubahnya dan tidak mengijinkan istrinya, Ummu Salamah, masuk ke bawah jubah itu. Kemudian beliau membaca ayat tersebut dan mendoakan mereka. Bukankah Rasulullah juga menghedaki agar Ummu Salamah tidak melakukan dosa? Apakah perkara seperti itu dikategorikan sebagai kemuliaan yang Ahlulbait berbangga dengannya berkali kali?

Imam Ali bin Abi Thalib dalam kisah tanah Fadaq berdebat dengan Abu Bakar dan mengatakan, " Wahai Abu Bakar! Apakah ayat tathir itu diturunkan mengenaiku dan keluargaku atau mengenaimu dan keluargamu? Maka, Abu Bakar pun menjawab, "Mengenai engkau dan keluargamu."

Lagi, Imam Ali mengatakan, "Apakah selain dariku dan Ahlulbaitku, engkau menjumpai orang yang termasuk ke dalam ayat tathir?" Abu Bakar pun mengatakan tidak.

Bukankah Imam Husain membacakan khutbah bagi masyarakat, setelah syahadah ayahnya yang mulia, dan mengatakan, "Aku termasuk Ahlulbait, yang diturunkan bagi mereka ayat tathir dan yang Allah sucikan sesuci- sucinya."

Apakah ihtijaj atau argumen dan kebanggaan seperti ini dapat dinisbatkan dengan iradah tasyriiyah seperti meninggalkan dosa yang merupakan suatu perkara umum?

Maka dari itu, ayat tathir tidak dapat dinisbatkan dengan iradah tasyriiyah, melainkan dengan iradah takwiniyah. Maka dari itu, arti ayat itu menjadi demikian, "Kehendak takwiniyah Allah swt adalah para Ahlulbait terpelihara dari dosa dalam sistem penciptaan dan inilah makna ishmah."

Dengan interpretasi seperti ini, maka perintah Allah swt dan sikap Rasulullah saw yang mementingkan pengenalan subtansi-substansi Ahlulbait dan penafian yang lain serta kebanggaan dan ihtijaj para imam suci merupakan suatu hal yang dapat diterima dan mesti diperhatikan.

Selain dari itu, dalam beberapa hadis, ayat tersebut ditafsirkan dengan ishmah dari dosa dan iradah takwiniyah.

1. Dalam sebuah hadis, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Allah swt berfirman, Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan keraguan dari Ahlulbait dan menyucikan mereka sesuci-sucinya." [30]

2. Rasulullah saw dalam sebuah hadis setelah ayat Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan keraguan dari Ahlulbait dan menyucikan mereka sesuci-sucinya, bersabda, "Aku dan Ahlulbaitku suci dari dosa." [31]

3. Imam Hasan mengatakan, "Kami adalah Ahlulbait yang dimuliakan Allah dengan Islam dan Dia memilih kami. Kemudian Allah menjauhkan kotoran (keraguan) dari hati kami dan menyucikan kami. Kami tidak pernah meragukan Allah dan agama-Nya. Kami dibersihkannya dari segala kotoran dan kesesatan." [32]

4. Abu Bashir menukil dari Abu Ja'far yang mengatakan, "Rijs adalah keraguan. Maka, kami tidak pernah meragukan agama kami." [33]

5. Sebagaimana yang engkau perhatikan, Ahlulbait Nabi saw di dalam al-Quran diperkenalkan sebagai orang-orang yang suci dari dosa dan kesalahan dan dengan jalan inilah, telah tersedia jalan untuk mengenali para pengganti yang sesungguhnya dari Rasulullah saw dan penerimaan masyarakat terhadap mereka.

7
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Mengikuti Ahlulbait
Di era kenabiannya, Rasulullah saw senantiasa berupaya untuk memperkenalkan Ahlulbait kepada masyarakat dan menyiapkan landasan bagi imamah mereka.

Rasulullah saw bersabda, "Bintang-bintang adalah keamanan penduduk langit. Bila bintang-bintang binasa, maka penduduk langit juga akan sirna. Ahlulbaitku juga merupakan keamanan penduduk bumi. Bila Ahlulbaitku binasa, maka penduduk bumi juga akan binasa." [34]

Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Perumpamaan keluargaku adalah bagaikan perahu Nuh. Siapa saja yang mengendarainya akan selamat dan barangsiapa berpegangan dengannnya akan selamat di akhirat dan barangsiapa melanggarnya akan tenggelam." [35]


Mahabbah Ahlulbait
Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, "Hamba Allah di hari kiamat tidak akan mengambil langkah kecuali ia ditanya empat pertanyaan: dari usianya dihabiskan untuk apa; dari badannya digunakan untuk apa; dan juga tentang hartanya, diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa; dan juga ditanyakan tentang mahabbah Ahlulbait." [36]

Adalah jelas bahwa yang dimaksud dengan mahabbah bukanlah kecintaan hati, melainkan adalah kepatuhan dan ketaatan.


Mawaddah Dzil Qurba
Ibn Abbas mengatakan, "Ketika ayat Katakan Wahai Muhammad, aku tidak meminta kepada kalian ganjaran kecuali kecintaan kepada keluargaku turun, para sahabat mengatakan, "Wahai Rasulullah! Orang-orang yang Allah perintahkan untuk mencintai mereka, siapakah mereka itu?" Beliau mengatakan, "Ali dan Fatimah serta anak-anak kedua orang tersebut."[37]


Penentuan Khalifah dan Imam Pertama
Rasulullah saw mengetahui dengan baik ilmu dan ishmah serta kemuliaan-kemuliaan dan kelayakan Imam Ali as untuk menjadi khalifah dan melanjutkan misi-misinya. Namun, Rasulullah mengetahui bahwa pelantikan dan pengenalan Imam Ali untuk maqom khalifah dan imamah adalah suatu pekerjaan yang sulit dan mendapat penentangan keras dari pihak pecinta kedudukan dan jabatan. Karena Rasulullah melihat maslahatnya, pekerjaan penting dan menentukan ini dilakukannya dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menyiapkan landasan buat penerimaan. Tahapan kedua adalah penentuan dan pelantikan secara resmi dalam momentum yang tepat.


Tahap Pertama: Penyiapan Landasan
Rasulullah saw berupaya dalam banyak kesempatan untuk menyinggung keutamaan dan kemuliaan Imam Ali as dan memujinya. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis yang tercatat dalam kitab hadis. Namun, karena memandang keluasaan penyebutannya dalam buku ini adalah tidak mungkin, Anda dapat merujuknya kepada kitab fadhail dan sirah. Sebagai contoh, akan disinggung sebagiannya.


Seruan untuk Keluarga
Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Ketika ayat Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat[38] turun, Rasulullah saw berkata kepadaku,
"Sediakanlah makanan dan undanglah keluarga dekat."

Aku menyiapkan makanan untuk empat puluh orang dan mengundang mereka. Seusai makan, Rasulullah saw berkata kepada mereka, "Wahai anak-anak Abdul Muthalib! Demi Allah! Aku tidak menyaksikan pemuda di tengah bangsa Arab yang membawa sesuatu yang lebih daripada apa yang aku bawakan untuk kalian.

Aku membawa kebaikan dunia dan akhirat untuk kalian. Allah SWT memerintahkanku untuk menyeru kalian ke arah itu. Siapakah di antara kalian yang siap membantuku dalam urusan penting ini untuk menjadi khalifah dan washi-ku?"

Karena mendengar kalimat-kalimat ini, para hadirin berdiri sebagai protes. Aku yang merupakan orang yang paling muda di antara mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Aku bersedia untuk membantumu dalam urusan penting ini."

Rasulullah saw meletakkan tangannya di atas pundakku seraya berkata, "Sesungguhnya ini adalah saudaraku, washi-ku, dan khalifahku di antara kalian. Dengarkan kepadanya dan patuhilah dia!"

Kemudian masyarakat bangun dan menertawakan Muhammad seraya berkata kepada Abu Thalib, "Muhammad memerintahkanmu agar taat kepada anakmu."[39]


Anjuran Tentang Ali
Ibn Abbas menukilkan dari Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa ingin hidup dan mati sepertiku dan tinggal di surga Aden yang diciptakan Allah, maka setelahku, hendaknya ia menerima wilayah Ali, bersahabat dengan para sahabatnya, dan mengikuti para imam setelahku karena mereka itu adalah itrah-ku yang tercipta dari tabiatku dan ilmu serta pemahamanku berpindah kepada mereka. Betapa celaka orang-orang yang mendustakan mereka dan memutuskan hak keluargaku dan mereka tidak akan mendapatkan syafaatku."[40]

Hudzaifah menukil dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Barangsiapa yang ingin hidup sepertiku dan mati sepertiku, dan ingin ke ranting pohon yang Allah swt tanam di surga, maka hendaknya ia berpegangan dengan wilayah Ali bin Abi Thalib setelahku." [41]

Rasulullah saw berkata kepada Anshar, "Wahai Anshar! Adakah kalian ingin aku beri petunjuk yang apabila sepeninggalku nanti, kalian berpegangan dengannya, kalian tidak akan sesat?" Mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Katakanlah!" Rasulullah bersabda, "Cintailah Ali Bin Abi Thalib dan muliakanlah dia sebagaimana Jibril dari sisi Allah telah membawakan pesan ini untukkku agar aku mengatakan hal ini kepada kalian." [2]

Hudzaifah menukilkan bahwa sejumlah sahabat berkata kepada Rasulullah saw, "Tidakkah engkau menjadikan Ali sebagai khalifah?" Beliau berkata, "Jika kalian menerima wilayah-nya, maka Dia akan menunjukkan kepada kalian jalan yang lurus." [43]

Abu Said Khudri menukilkan bahwa Rasulullah saw meletakkan tangannya di pundak Ali dan berkata, "Wahai Ali! Engkau memiliki tujuh peringai yang pada hari kiamat nanti tidak seorang pun dapat berdebat denganmu. Keimananmu mendahului keimanan orang lain. Engkau lebih baik dalam kesetiaan kepada Allah dan engkau lebih kuat dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan engkau paling pengasih dan cinta kepada rakyat dan paling adil dalam membagikan baitul-mal dan lebih bijak dalam urusan pengadilan dan pada hari kimat engkau yang paling unggul." [44]

Anas bin Malik mengatakan, "Rasulullah saw mengutusku kepada Abu Barzah Aslami. Ketika Abu Barzah Aslami telah hadir di sisi Rasulullah, aku mendengar Rasulullah berkata kepadanya: "Wahai Aba Barzah! Tuhan semesta alam telah mengikat janji denganku tentang Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Ali adalah bendera hidayah dan tempat bersinarnya keimanan serta imam para sahabatku. Ia adalah cahaya orang-orang yang mengikuti perintah-perintahku. Wahai Aba Barzah! Ali bin Abi Thalib nanti pada hari kiamat adalah amin dan pemilik benderaku. Ali adalah pemegang kunci gudang-gudang rahmat Allah swt."[45]

Ummu Salamah berkata, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Ali bersama dengan al-Quran dan al-Quran bersama dengan Ali dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat."[46]

Rasulullah saw berkata, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barangsiapa yang mencari ilmu, maka ia harus masuk melalui pintunya." [47]
Aisyah berkata, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang berkata, "Ali bersama dengan kebenaran dan kebenaran bersama Ali hingga hari kiamat. Keduanya tidak akan berpisah antara satu dengan lainnya." [48]

Ibn Umar mengatakan, "Rasulullah saw mengikat tali persaudaraan di antara sahabatnya. Ali datang dalam keadaan beliau menangis dan berkata, "Wahai Rasulullah! Engkau menjalin tali persaudaraan di antara para sahabat tetapi engkau memperkecualikan diriku." Rasulullah saw berkata, "Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat."[49]

As'ad bin Zurarah menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Pada malam Mikraj, tatkala aku tiba di Sidratul Muntaha, dari sisi Allah swt telah turun wahyu tentang tiga sesuatu mengenai Ali kepadaku. Ali adalah imam orang-orang yang bertakwa, penghuhlu orang-orang Muslim dan pemimpin orang-orang yang menuju surga." [50]

Rasulullah saw berkata kepada Ali, "Wahai Ali! Engkau adalah penghulu orang-orang Muslim dan imam orang-orang yang bertakwa dan pemimpin orang-orang yang ahli ibadah dan amir orang-orang religius." [51]

Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa suka berpegangan dengan agamaku dan menaiki perahu penyelamat sepeninggalku, maka hendaknya ia mengikuti Ali bin Abi Thalib dan memusuhi musuh-musuhnya dan mencintai para sahabatnya karena dia adalah washi dan khalifahku di masa hidupku dan sepeninggalku. Ali adalah imam setiap Muslim dan amir orang-orang mukmin. Perkataannya adalah perkataanku. Perintahnya adalah perintahku. Larangannya adalah laranganku. Pengikutnya adalah pengikutku. Sahabatnya adalah sahabatku. Meninggalkannya adalah sama dengan meningalkanku." [52]

Abu Dzar menukilkan dari Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa taat kepadaku, maka ia taat kepada Allah, dan barangsiapa menentangku, maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa taat kepada Ali, maka ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa membangkang kepada Ali, maka ia telah bemaksiat terhadapku." [53]

Anas Bin Malik menukil dari Rasulullah saw yang bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, "Sepeninggalku, engkau akan menjelaskan hal-hal perselisihan umat." [54]
Zaid bin Arqam mengatakan, "Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa ingin hidup dan mati sepertiku dan tinggal di surga khuld, hendaknya ia berpegangan dengan wilayah Ali karena Ali akan membimbingmu kepada hidayah dan tidak akan membawa kalian kepada kesesatan." [55]

Hadis-hadis yang telah disebutkan untuk contoh dan puluhan bahkan ratusan yang seperti itu dari sisi makna dapat dianggap mutawatir sehingga dapat disimpulkan dengan baik, bahwa Rasulullah saw membawa perintah dari Allah swt untuk melantik Ali sebagai imam dan hadis-hadis tersebut yang dikeluarkan dalam banyak ungkapan adalah sebagai persiapan bagi landasan dan taushiyah sehingga pada saat-saat yang diperlukan, Rasulullah akan melaksanakan tugas besar pelantikan secara resmi.


Tahapan Kedua: Pelantikan secara Resmi
Meskipun di sepanjang 23 tahun risalahnya, Rasulullah saw senantiasa berupaya secara gamblang untuk memperkenalkan kepribadian istimewa Imam Ali as dan menyediakan landasan bagi pemikiran umum untuk menerima wilayah dan menunaikan misi penting ilahiah secepat mungkin, dirasakan landasannya belum siap dan sejumlah pemuka Quraisy serta pembesar sahabat adakalanya mengklaim sebagai khalifah. Mereka tidak pernah menerima pemilihan seperti ini dan dengan berbagai alasan, mereka menolak itu.

Rasulullah saw mengkhawatirkan keadaan yang ada. Karena mengkhawatirkan perpecahan dan perselisihan, beliau menunda misi besar ini sambil menunggu momentum yang tepat. Keadaan ini terus berlangsung hingga tahun kesepuluh hijriah.


Haji Wada (Haji Terakhir)
Di tahun kesepuluh hijriah, Rasulullah saw memutuskan untuk menunaikan faridhah haji, pergi ke Mekkah sehingga kemungkinan di sepanjang ibadah haji, tercipta momentum yang tepat untuk melantik Ali secara resmi sebagai imam dan wali atau washi sepeninggal beliau.

Beliau mengumumkan kepada Muslimin Madinah dan negeri-negeri Islam lainnnya, "Aku akan pergi haji. Siapa saja yang mampu hendaknya mengikuti perjalanan ini."

Ditulis bahwa lebih dari seratus ribu orang berangkat haji dan di miqat, untuk menunaikan umrah, mereka ber-muhrim, bertawaf di Ka'bah, menunaikan shalat thawaf dan ber-sai antara Shafa dan Marwa di sisi Rasulullah saw.

Setelah itu, untuk menunaikan ibadah haji, mereka ber-muhrim serta menunaikan wuquf di Arafah dan Masy'ar. Kemudian mereka pergi menuju Mina untuk melakukan tiga jenis lemparan jumrah dan taqshir.

Setelah itu, mereka melakukan Qurban dengan mencukur kepala atau taqshir. Mereka lalu keluar dari ihram dan dengan kadar yang wajib, mereka bermalam di Mina dan bersiap diri untuk tawaf dan menunaikan kewajiban-kewajiban terakhir haji.

Dalam semua tahapan ini, mereka mendapatkan petunjuk nilmiya dan fuquh Rasulullah saw. Di sepanjang ibadah haji, Rasulullah saw berkali-kali membaca khutbah dan memberikan nasihat. Beliau menekankan soal pemeliharaan persatuan dan pembelaan terhadap Islam. Beliau juga menasihatkan soal penjagaan dan pengamalan al-Quran serta mengikuti itrah dan Ahlulbait.

Perangai dan perilaku Rasulullah saw sedemikian rupa sehingga seolah-olah beliau melihat kematiannya sudah dekat dan ini merupakan haji yang terakhir. Meskipun terdapat peluang untuk menyampaikan tugas ilahiah ini, yakni untuk melantik Ali secara resmi sebagai khalifah, di Arafah atau Mina, di depan semua para jamaah haji, beliau menunda penyampaian tersebut.

Mungkin beliau belum melihat momentum yang sesuai dan beliau cemas akan pembangkangan serta konspirasi orang-orang yang berambisi kekuasaan dan politik. Akhirnya, ibadah haji berakhir dan kafilah besar para peziarah Baitullah berangkat menuju negerinya. Rasulullah saw beserta kafilah bergerak menuju Madinah. Beliau cemas karena di sepanjang ibadah haji tidak mendapatkan momentum yang tepat untuk melantik Ali.


Ghadir Khum
Rasulullah saw dan para pengikutnya sampai di telaga Khum. Daerah itu, yang dekat dengan Juhfah, merupakan lokasi perpisahan jamaah haji. Ini merupakan peluang terakhir untuk melantik Ali di depan para jamaah haji dari berbagai negeri.

Waktu itu menjelang zuhur ketika udara begitu panas menyengat. Di tempat yang seperti itu, Jibril turun dan membacakan ayat ini kepada Rasulullah saw, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Alah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[56]

Di tempat itu, Rasulullah saw memerintahkan kepada para jamaah yang sudah lepas dari tempat itu agar kembali dan kepada kelompok haji yang masih ada di belakang disuruh maju ke depan dengan segera. Ada beberapa pohon besar di tempat itu yang beliau perintahkan untuk menyapu bagian bawahnya dan mempersiapkan tempat untuk shalat. Para jamaah terheran-heran dengan pertemuan yang tidak terduga itu apalagi dalam keadaan udara yang sangat panas.
Mereka bertanya-tanya apakah akan terjadi peristiwa yang sangat penting.

Kemudian dibuatlah mimbar dan Rasulullah saw naik ke mimbar itu dan berkhutbah di hadapan lautan jamaah haji itu. Beberapa hadirin yang memiliki suara keras memindahkan pidato Rasulullah kepada orang-orang yang letaknya jauh. Peristiwa penting ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah.


Hadis Ghadir
Rasulullah saw di tempat itu membacakan khutbah yang terperinci, yang nantinya dikenal dengan nama hadis Ghadir. Teks khutbah tersebut tercatat di kitab-kitab muktabar Ahlus Sunnah dan Syiah dengan berbagai bentuk ungkapan. Beberapa perawi secara terperinci menukil khutbah itu dan sebagian lainnya dengan bentuk yang lebih pendek. Namun. semuanya memiliki kesamaan dalam menukil kalimat-kalimat yang menunjukkan wilayah Imam Ali bin Abi Thalib. Kami di sini akan menukil salah satunya saja.

Zaid bin Arqam mengatakan, "Ketika kembali dari haji Wada, Rasulullah saw berhenti di Ghadir Khum (telaga Khum). Pertama, beliau memerintahkan untuk membersihkan tempat-tempat di bawah pohon. Lantas, beliau berkhutbah dan mengatakan, "Tampak aku telah dipanggil menuju Allah dan aku akan memenuhi panggilan itu. Dua perkara yang sangat berharga akan aku amanahkan kepada kalian, kitab Allah (al-Quran) dan keluargaku. Hati-hatilah dalam menjaga dua amanah ini dan bagiamana kalian bersikap terhadap dua amanah ini. Dua perkara ini tidak akan berpisah satu dengan lainnya hingga hari kiamat."

Pada waktu itu, beliau mengatakan, "Allah swt adalah Maula-ku dan aku adalah maula semua mukmin." Kemudian beliau mengambil tangan Ali dan berkata, "Barangsiapa yang aku adalah Maula-nya maka Ali adalah wali-nya. Ya Allah! Bersahabatlah dengan orang-orang yang menjadikan Ali sebagai wali (pimpinan) dan musuhilah siapa saja yang memusuhi Ali."[57]

Barro' bin Azib dalam menukil hadis ini menambahkan sebuah kalimat yang pertama kali Rasulullah saw sabdakan, "Apakah aku tidak lebih utama daripada mukmin dari diri mereka?" Mereka mengatakan, "Benar!" Rasulullah berkata, "Apakah aku lebih utama daripada setiap mukmin dari diri mereka semua?" Mereka berkata, "Ya!" Rasulullah berkata, "Maka ini (Ali) adalah wali bagi setiap orang yang menjadikan diriku maula-nya."[58]

Di dalam hadis lain, Barro menambahkan kalimat, "Kemudian Umar bin Khattab menjumpainya dan berkata, "Selamat untukmu wahai Ali! Engkau telah menjadi maula setiap mukmin dan mukminah." [59]


Perawi Hadis Ghadir
Hadis Ghadir adalah mutawatir dan pasti sumbernya. Lebih daripada seratus sepuluh orang sahabat besar Rasulullah saw menukilkan hadis ini, di antaranya adalah orang-orang di bawah ini.

"Abu Hurairah, Abu Ya'li Anshari, Abu-al Haitsam bin Iltiyhan, Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khattab, Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan Mujtaba, Imam Husain, Fatimah Zahra, Usamah bin Zaid, Ummu Salamah (istri Rasulullah saw), Anas bin Malik (Pembantu Rasulullah saw) Barra' bin Azib, Jabir bin Samrah, Jabir bin Abdillah Anshari, Hudzaifah bin Asid, Hishan bin Tsabit, Khuzaimah bin Tsabit Anshari, Zubair bin Azam, Zaid bin Tsabit, Abu Said, Khudri, Salman Farisi, Miqdad bin Umar, Kindi, Abbas bin Abdul-Muthalib, Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khatab, Ammar bin Yasir." [60]


Sanad Hadis
Kebanyakan pengarang Ahlus Sunnah dan Syiah yang menukil menyandarkan hadis ini dalam kitab-kitab hadis, sejarah, tafsir, dan kalam. Selain itu, telah dikarang kitab-kitab yang berkaitan dengan hadis ini.

Memperhatikan bahwa hadis Ghadir Khum adalah mutawatir dan pasti sumbernya, maka tidaklah diperlukan pembahasan mengenai sanadnya. Namun bersamaan dengan itu, banyak sekali ulama yang masih membahas sanadnya dan menyebutkan hadis itu sebagai hadis Hasan dan Shahih. Misalnya, kita dapat menyebutkan sebagian darinya.

1. Hafidz Abu Isa Tirmidzi dalam Sunan.

2. Hafidz Abu Ja'far Thahawi dalam Musykilul Atsar.

3. Abu Abdillah Hakim dalam Al-Mustadrak ala as-Shahihain

4. Abu Muhammad bin Muhammad Al-Ashi dalam Zain Al-Fata.

5. Hafidz bin Abdul Bar Qurthubi dalam Isti'ab.

6. Abul Hasan bin Al-Maghazili Syafi'i dalam Al-Manaqib.

7. Abu Hamid Ghazali dalam Sirrul Alamin.

8. Abul Faraj bin Jauzi Hambali dalam Al-Manaqib.

9. Sibt bin Jauzi Hanafi dalam Tadzkirah.

10. Ibn Abil Hadid Mu'tazili dalam Syarah Nahjul Balaghah.

11. Abu Abdillah Ghanji Syafi'i dalam Kifayah Ath-Thalib.

12. Ala'uddin Semnani dalam Al-Urwah.

13. Sayid Mahmud Alusi dalam Ruh Al-Ma'ani.

14. Syaikh Muhammad Al-Hut, Biruti Syafii dalam Asnal Mathalib.

15. Syahabaddin Abu Al-Faidz Ahmad bin Muhammad Shiddiq dalam Tasynif Al-Adzan.

16. Hafidz Imadudin Kastir asy-Syafii dalam Al-Bidayah wan Nihayah.

17. Hafidz Nuruddin Haitsami dalam Majma'uz Zawaid.

18. Syamsyuddin Jazari Syafii dalam Asnal Mathalib.

19. Hafidz bin Hajar Asqalani dalam Tahdibut Tahdzib.

20. Abul Khair As-Syirazi Syafii dalam Abthalul Bathil.

21. Hafidz Abu Al-Abbas Syahabuddin Qasthalani dalam Mawahibul Ladunniyah.

22. Hafidz Syahabbuddin bin Hajar Haitsami dalam As-Shawaiq Al-Muhriqah.

23. Jamaluddin Husaini Syirazi dalam Arbain.

24. Jamaluddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Shalahuddin Hanafi dalam Al-Mu'tashir bin Al-Mukhtashar.

25. Syaikh Nuruddin Harawi Qari Hanafi dalam Al-Mirqat fi Syarhil Misyakat.

26. Syaikh Muhammad Shadrul-alim dalam Ma'arijul Ula fi Manaqibil Murtadho.

27. Sayid bin Hamzah Harani dalam Al-Bayan wat Ta'rif.

28. Abu Abdillah Zarqani dalam Syarahul Mawahib.

29. Syahabuddin Hifdzi Syafii dalam Syarahul Aqd Al-Jawahir.

30. Mirza Mhammad Badakhsyi dalam Nuzulul Abrar.

31. Mufti Syam al-Imadi Hanafi dalam Ash-Shalahul Fakhirah.

32. Abu Irfan as-Shiban Syafii dalam Is'afur Raghibin.

33. Zainuddin Munawi Syafii dalam Faidzul Ghadir.

34. Nuruddin Halabi Syafii dalam Sirah Al-Halabiyah.

35. Syaikh Ahmad bin Katsir A'la dalam Wasilatul Amal fi Manaqibil A'la.

36. Syaikh Abdul Haq Dahlawi Bukhari dalam Syarahul Musykilat.

37. Syaikh Mahmud bin Muhammad Syaikhani dalam Shiratus Sawi dalam Manaqibun Nabi.[61]

8
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Pertanyaan Amirul Mukminin
Imam Ali bin Abi Thalib dalam banyak tempat bersumpah kepada masyarakat agar setiap orang yang hadir dalam peristiwa Al-Ghadir dan mendengar apa yang disampaikan Rasulullah saw hendaknya memberikan kesaksian. Seringkali banyak orang yang memberikan kesaksian dan mengatakan, "Kami mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Barangsiapa yang aku adalah tuannya maka Ali adalah tuannya."

Di antara pertanyaan yang dikemukakan Ali adalah pada hari Syura, di zaman Usman bin Affan, di hari Rahabah, di Kufah, pada peristiwa Perang Jamal,
Perang Shiffin, dalam hadis ar-Rakban, dan setiap kali beberapa kelompok memberikan kesaksian. Pada hari Rahabah, 24 orang memberikan kesaksian. Di antara mereka adalah nama-nama sebagai berikut.

1. Abu Zainab bin Auf Anshari

2. Abu Imrah bin Amer bin Muhshin Anshari.

3. Abu Fadzalah al-Anshari.

4. Abu Qadamah Anshari.

5. Abu Ya'li Anshari.

6. Abu Hurairah Dusi.

7. Abu Haitsam Baihan.

8. Tsabit bin Wadiah Anshari.

9. Habasyi bin Janadah Saluli.

10. Abu Ayyub Khalid Anshari.

11. Khuzaimah bin Tsabit Anshari.

12. Abu Syuraih Khuwailid bin Amer al-Khazai.

13. Zaid atau Yazid bin Syarahil Anshari.

14. Sahal bin Hanif Anshari.

15. Abu Said Sa'ad bin Malik Khudri.

16. Abu al-Abbas Sahal bin Sa'ad al-Anshari.

17. Amir bin Laili Ghaffari.

18. Abdurrahman bin Abdurrabb-Anshari.

19. Abdullah bin Tsabit Anshari (pembantu Rasulullah saw).

20. Ubaid bin Azib Anshari.

21. Abu Tharif Udai bin Hatim.

22. Aqabah bin Amir Jahani.

23. Najiyah bin Amer Khazai.

24. Nu'man bin Ajlan Anshari.[62]


Argumentasi
Hadis Ghadir senantiasa menjadi sandaran dan argumentasi Imam Ali bin Abi Thalib, Ahlulbait, dan para pendukungnya. Fatimah Zahra mengatakan, "Apakah kalian melupakan ucapan Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum, "Barangsiapa yang aku maula-nya maka Ali adalah maula-nya," dan ucapannya bahwa, "Engkau di hadapanku memiliki kedudukan Harun di hadapan Musa as."[63]

Imam Hasan mengatakan, "Umat ini mendengar apa yang dikatakan kakekku mengenai ayahku, "Engkau kepadaku seperti Harun terhadap Musa, melainkan setelahku, tidak akan datang nabi," dan dalam Ghadir Khum, ia mengambil tanganku dan mengatakan, "Barangsiapa yang aku tuannya maka Ali adalah tuannya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali." [64]

Imam Husain di Mekkah mengatakan, "Aku sumpah kalian atas nama Allah! Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw melantiknya (Ali) pada hari Ghadir Khum dan memanggilnya dengan wilayah seraya mengatakan, "Hendaknya yang menyaksikan ini menyampaikannya kepada yang tidak hadir?" Mereka mengatakan, "Allahumma na'am" 'Ya Allah itu benar'. [65]

Dalam kaitan ini, Abdullah bin Ja'far, Amer bin Ashi, Ashbugh bin Nabatah, Qays bin Sa'ad, Bir Muawiyah, Barad dan Ammar bin Yasir, dan Bir Umar bin Ash ber-ihtijaj (berargumen dengan ini)." [66]


Kandungan Hadis
Rasulullah saw dalam khutbah ini mengatakan, "Tampaknya aku telah dipanggil menuju perjalanan akhirat dan aku menerimanya. Dua sesuatu yang sangat penting dan berharga akan aku amanahkan kepada kalian. Salah satunya tidak lebih berharga dari satunya. Dua sesuatu itu adalah Kitab Allah dan keluargaku.
Jagalah, dengan baik, sepeninggalku sikap kalian terhadap dua pusaka itu! Sesungguhnya dua perkara itu tidak akan berpisah hingga hari kiamat." [67]

Rasulullah saw dalam lembaran khutbah ini menyifati al-Quran dan keluarganya kepada umat Islam sebagai dua hal yang sangat berharga dan mulia dan mengatakan, "Aku amanahkan dua perkara ini kepada kalian. Jagalah dua pusaka mulia ini dan berupayalah menjaga dua pusaka mulia ini sebaik-baiknya."


Al-Quran
Nasehat Rasulullah saw pada saat yang sangat sensitif tersebut bukanlah suatu basa-basi. Itu adalah nasehat resmi. Rasulullah saw tidak ingin menasehati umat Islam agar mencetak al-Quran dengan baik dan menyimpannya di rumah serta menghormatinya atau adakalanya membacanya dengan suara yang baik. Al-Quran tidak diturunkan dengan tujuan tersebut. Akan tetapi, al-Quran adalah kitab petunjuk dan program hidup yang didatangkan agar, dengan kandungannya yang kaya dan bercahaya, menyelamatkan manusia dari kegelapan dan kesesatan serta membawanya ke alam cahaya dan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.

Al-Quran adalah sumber ilmu agama yang paling besar dan muktabar, yang diturunkan kekal untuk selamanya. Ia di sepanjang sejarah, semua masa, dan tempat memberikan manusia petunjuk. Maka dari itu, haruslah dikatakan bahwa Rasulullah saw, pada saat yang begitu peka, ingin mengenalkan al-Quran sebagai satu marja' atau sumber ilmu dan agama yang muktabar kepada manusia agar mereka merujukkan berbagai kesulitan kepada al-Quran dan mengambil manfaat darinya. Rasulullah saw juga menghendaki agar manusia mengejar tujuan-tujuan Qurani dan berupaya untuk mengaplikasinnya. Rasulullah saw mengaharapkan perangai seperti ini dari umatnya.


Itrah dan Marjaiyah Ilmiyah Manusia
Maksud dari itrah adalah Ahlulbait yang -sebelumnya telah dibahas, memiliki maqom ishmah dan ilmu mereka telah terbuktikan. Rasulullah saw menyerahkan ilmu dan makrifah kepada Ali bin Abi Thalib. Melalui Ali, Rasulullah memindahkannya kepada para imam suci lainnya. Jadi, itrah merupakan para pembawa ilmu nubuwah. Apabila -dalam khutbah ini dan hadis-hadis lainnya, terhadap mereka telah diperintahkan kecintaan, itu dikarenakan keistimewaan mereka karena mereka adalah pemegang ilmu agama dan telah diwasiatkan kepada umat agar menerima mereka sebagai marja' yang muktabar dan orisinal serta memanfaatkan wujud mereka. Maksud Rasulullah saw dari semua pesan dan anjuran yang berkali-kali ia sampaikan tersebut bukanlah agar manusia memuliakan mereka, berbuat baik terhadap mereka, atau menampakkan kecintaan secara formalitas dan lahiriah.

Apabila al-Quran menyuruh kita untuk mencintai dzal qurba dan berbuat baik kepada Ahlulbait, itu dimaksudkan agar kita mengikuti dan menerima marjaiyah ilmu mereka. Perlu diterimanya mar'jaiyah diniyah Ahlulbait bukanlah terbatas kepada orang-orang yang menerima kepemimpinan mereka melainkan dari semua Muslim. Mereka dikehendaki agar dalam mengambil ilmu agama merujuk kepada Ahlulbait. Bahkan orang-orang yang tidak menerima imamah mereka karena kejahilan atau alasan lain berkewajiban untuk mengambil ilmu agama dari Ahlulbait.

Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, "Al-Quran dan itrah tidak akan berpisah hingga hari kiamat." Artinya, tidak ada yang dapat mengatakan bahwa Hasbuna Kitab Allah dan kemudian menghapuskan itrah dari kepemimpinan agama atau mengatakan kecintaan kepada Ahlulbait tetapi dalam praktiknya, mereka tidak mengamalkan al-Quran.

Makna ini diperoleh dengan memperhatikan kalimat yang terdapat dalam riwayat yang disabdakan Rasulullah saw, " Selagi kalian berpegangan dengan kedua pusaka (al-Quran dan Ahlulbait), maka kalian tidak akan sesat sepeninggalku untuk selama-lamanya."

Rasulullah saw sepanjang hidupnya berkali-kali menjelaskan kedudukan ilmiah Ahlulbait kepada para sahabatnya dan memikat perhatian umat kepada mereka. Dalam khutbah Ghadir yang penting dan bersejarah, juga diwasiatkan makna ini.


Tafsir Maula
Bagian khutbah Ghadir yang paling penting adalah kalimat, "Barangsiapa yang aku adalah tuannnya maka Ali adalah maula-nya." Kalimat tersebut dengan sedikit perbedaan disepakati terdapat dalam semua teks hadis Ghadir. Keluarnya kalimat ini dari lisan Rasulullah saw disepakati oleh Syiah dan Ahlus Sunnah. Namun, dalam isi dan kandungannya, terdapat perbedaan. Syiah memandang kalimat itu sebagai dalil atas khilafah, imamah, dan wilayah Imam Ali as. Namun, Ahlus Sunnah menolak pendapat ini.

Sumber perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam penafsiran kata maula. Ahlus Sunnah menafsirkan maula dengan arti 'pecinta dan penolong'. Namun, Syiah menafsirkannya dengan makna 'lebih utama untuk berkuasa'. Dalam kaitannya dengan hal ini, telah terjadi banyak pembahasan, perdebatan, serta argumen antara dua kelompok. Semuanya tercatat dalam kitab-kitab kalam.

Pertama, di sini kami akan menyinggung maula dengan berbagai maknanya dan kemudian akan mengkritisi dan mengkaji semua itu.

Penulis kitab al-Ghadir menyebutkan secara keseluruhan terdapat 27 makna dari kata maula dengan urutan sebagai berikut.

1. ar-Rab: Tuhan

2. al-'Am: paman

3. Ibn al-'Am: anak paman

4. al-Ibn: anak lelaki

5. Ibn al-Ukhtu: putra saudari perempuan

6. al-Mu'tiq: (pembebas)

7. al-Mu'taq: (yang dibebaskan)

8. al-Abd: (hamba)

9. al-Malik: (raja)

10. at-Tabi': (pengikut)

11. al-Mun'im alaihi (yang diberi kenikmatan).

12. asy-Syarik

13. al-Halif (sekutu)

14. ash-Shahib (penyerta)

15. al- Jar (tetangga)

16. an-Nazil (tetamu yang datang)

17. ash-Shihru (keluarga suami)

18. al-Qarib (yang dekat)

19. al-Mun'im (pemberi nikmat)

20. al-Aqid (mitra kontrak)

21. al-Wali (pengasuh atau pengayom)

22. al-Aula bi-a syai (yang lebih layak)

23. as-Sayyid (besar)

24. al-Muhib (yang mencintai)

25. an-Nashir (penolong)

26. al-Mutasharrif fil Amri (yang melibatkan diri dalam suatu pekerjaan)

27. al-Mutawalli fil Amri (penanggung jawab suatu pekerjaan).[68]


Dengan sedikit ketelitian, maka akan menjadi jelas, bahwa maula dalam hadis Ghadir tidaklah berkesesuaian dengan satu pun makna di atas, dari yang pertama hingga yang kedua puluh, dan tidak dapat ditafsirkan dengan itu karena kelaziman makna pertama adalah syirik dan ia tidak dapat dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Rabbul Alamin hanyalah Allah dan selain-Nya tidak ada Tuhan.

Makna nomor tujuh, delapan, dan dua belas juga tidak sesuai karena Rasulullah saw bukanlah budak yang telah dibebaskan dan bukan hamba. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memiliki mitra.

Di lain nomor (sisanya) hingga nomor ke-21, meskipun pada pandangan awalnya dapatlah maula itu ditafsirkan dengan salah satu maknanya, tidak akan ada talazum 'pelaziman' antara Rasulullah saw dan Imam Ali, misalnya bilamana Rasulullah adalah paman seseorang, belum tentu Ali juga paman orang tersebut. Makna-makna lainnya juga seperti ini.

Sisa makna dari nomor ke-21 hingga 27, di awal pandangannya, bisa masuk. Masyarakat Ahlus Sunnah memilih makna yang ke-24 dan ke-25 di antara tujuh jenis makna. Maka, maula dalam hadis ini diartikan sebagai 'cinta atau penolong'. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw hendak mengenalkan Ali sebagai pecinta atau penolong masyarakat dan mengatakan, "Barangsiapa yang aku adalah pecintanya dan penolongnya maka Ali juga demikian. Jadi, terimalah dia sebagai teman dan bantulah dia!"

Dengan sedikit ketelitian, maka akan menjadi jelas bahwa kemungkinan yang disebutkan tadi bukanlah suatu ucapan yang berfaedah dan dapat diterima. apakah maksud Rasulullah saw mengucapkan kalimat tadi? Apakah beliau hanya ingin mengatakan, "Wahai manusia! Ketahuilah barangsiapa yang aku adalah yang dicintainya maka Ali juga yang dicintainya?" Apakah ucapan seperti ini memiliki nilai hingga Rasulullah saw harus menyampaikannya dalam udara yang sangat panas dan membakar. Dengan penekanan yang begitu besar, Rasulullah mengumpulkan banyak kafilah haji di telaga Khum, membacakan khutbah, dan mengatakan, "Wahai manusia! Barangsiapa yang aku dicintainya maka Ali juga yang dicintainya?" Apakah pengucapan kalimat ini sedemikian penting hingga ayat ini diturunkan, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya, Allah memelihara kamu dari gangguan manusia, Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang kafir.[69]

Dengan kemungkinan seperti ini, mengapa keluar seruan Rasulullah saw agar masyarakat mengucapkan selamat kepada Ali as? Umar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu al-Fida', setelah khutbah ini, menemui Ali dan mengatakan, "Selamat atasmu wahai Ali! Engkau telah menjadi maula setiap orang mukmin dan mukminah."[70]

Apakah Umar mengucapkan selamat karena Ali adalah yang dicintai dan ditolong oleh Rasulullah dan umat Islam? Apakah ucapan semacam ini dapat dinisbatkan kepada Rasulullah saw? Imam Ali as dan anak-anak beliau serta para sahabatnya berbangga dan berargumen dengan ucapan Rasulullah saw, "Man kuntu maula faaliyyun maula." Lalu, apakah dicintai dan ditolong oleh mukmin merupakan sebuah keutamaan dan kebanggaan dan hal itu dapat menjadi alasan atau bukti bagi ke-imamah-an Imam Ali as? Bila tujuan Rasulullah saw menyampaikan ucapan ini adalah sebuah pesan dan anjuran agar manusia mencintai Ali, kalimat tersebut tidak menyampaikan maksud itu, melainkan beliau harus mengatakan, "Man kuntu mahbubahu faaliyyun mahbubahu," atau "Man ahabbani fal yuhhibbu aliyyan."

Umat Syiah menafsirkan maula dengan makna 'aula bittasharruf' yang berarti 'kepemimpinan agama dan imamah. Salah satu bukti klaim ini adalah ucapan Rasulullah saw yang mengatakan, "Alastu aula bikum min anfusikum." Ucapan tersebut adalah sebuah isyarat terhadap ayat, "Annabiyu aula bilmukminin min anfusihim."[71] Rasulullah saw lebih utama terhadap diri orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.

Pada ayat tersebut, telah dikatakan bahwa Rasulullah saw, dalam menunaikan urusan sosial, adalah lebih utama daripada mereka. Inilah makna kekuasaan Ilahi Ali dan imamah. Oleh karena itulah, Rasulullah saw dalam khutbah ini bersabda dengan kalimat, "Man kuntu maula faaliyyun maula." Beliau melantik Ali sebagai imam dan hakim Ilahi. Dengan menerima tafsiran seperti ini, semua masalah terselesaikan. Pelantikan Imam Ali kepada maqom imam dan khalifah menemukan nilainya dalam penekanan Rasulullah terhadap ayat, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu mengerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan amanatnya, Allah memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[72]

Rasulullah, dalam menunaikan tanggung jawab penting seperti ini, mengumpulkan umat di telaga Khum dan di tengah udara yang membakar tersebut, beliau menyampaikan khutbah. Dengan menerima makna seperti ini, masalah baiat dan ucapan selamat para sahabat merupakan suatu hal yang benar dan masuk akal.

Setelah Rasulullah membacakan khutbah Ghadir, Zaid bin Arqam mengatakan, "Rasulullah saw menghendaki dari masyarakat untuk berbaiat kepada Ali." Di saat itulah, masyarakat mengatakan, "Kami mendengar dan mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya."

Orang yang pertama kali membaiat Rasulullah dan Ali adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Thalhah, dan Zubair. Setelah mereka, giliran kaum muhajirin dan Anshar yang membaiat dan acara baiat ini terus berlangsung hingga shalat Isya. [73]

Maka, dengan menerima makna semacam ini, turunnya ayat, Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatmu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu,[74] dapat diterima dan beralasan.

Abu Hurairah mengatakan, "Ayat tersebut diturunkan pada hari Ghadir dan setelah ucapan Rasulullah saw, "Man kuntu maulahu faaliyyun maulahu." Di saat itulah, Rasulullah saw bersabda, "Allah Mahabesar atas penyempurnaan agama, nikmat serta keridhaan-Nya terhadap risalahku dan wilayah Ali setelahku." [75]

Dengan menerima makna seperti ini, maka pendeklarasian dan argumentasi Ali di berbagai kesempatan untuk membuktikan wilayah dan imamah-nya adalah sangat beralasan.

Imam Ali bin Abi Thalib mengingatkan masyarakat di desa Rahabah dengan mengatakan, "Barangsiapa yang hadir di telaga Khum dan mendengarkan khutbah Rasulullah saw hendaknya berdiri dan bersaksi." Kemudian sebanyak dua belas orang berdiri dan berkata, "Kami mendengar Rasulullah saw bersabda, "Man kuntu maulahu faaliyyun maulahu." [76]

Sekiranya maula diinterpretasikan dengan makna yang pertama, yaitu 'lebih utama untuk menguasai' dan 'sebagai hakim dan imam', niscaya penunjukkan yang disebutkan dalam sejumlah hadis akan menemukan maknanya.

Imam Ali as di hari Syura mengatakan, "Aku sumpah kalian atas nama Allah! Adakah di antara kalian yang ditunjuk oleh Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum untuk menduduki wilayah selain aku?" Mereka mengetakan, "Allhumma la 'demi Allah tidak'." [77]

Imam Husain as dua tahun sebelum kematian Muawiyah berkhutbah di Mekkah dan di dalam khutbahnya itu, beliau mengatakan, "Aku sumpah kalian atas nama Allah! Apakah kalian mengetahui bahwasannya Rasulullah saw telah menetapkan Ali pada hari Ghadir Khum dan menganugerahinya dengan wilayah dan mengatakan, "Yang hadir dan menyaksikan hendaknya menyampaikannya kepada yang gaib (tidak hadir)?" Mereka mengatakan, "Allahumma na'am." [78]

Apabila maula kita artikan dengan 'imam dan hakim', penunjukkan itu akan menemukan maknanya. Hal ini berbeda kalau diartikan dengan 'yang dicintai dan ditolong'. Bagaimana mungkin Rasulullah saw menunjuk Imam Ali as sebagai yang dicintai dan yang ditolong? Masyarakat Syiah, dengan menimbang qarinah seperti ini, mengartikan kata maula dalam hadis Ghadir dengan makna 'lebih utama dalam menguasai', yakni sebagai imam dan hakim Ilahi. Mereka berkeyakinan bahwa Rasulullah saw di dalam perkumpulan besar itu telah menunjuk Imam Ali as secara resmi sebagai imam dan mengenalkannya kepada masyarakat.

Di bagian akhir, kiranya hal ini perlu diingatkan, bahwa meskipun ulama Syiah bersikeras menafsirkan kata maula dalam hadis ini dengan makna 'yang lebih utama menguasai', kelihatannya penafsiran ini tidaklah perlu. Bahkan kalau sekiranya diartikan dengan makna yang lain, seperti al-wali 'yang berkuasa dalam urusan' atau 'al-mutawwali dalam urusan', tetap akan diperoleh hasil yang diinginkan.

Dalam menjelaskan pokok persoalan bahwa kata maula dan mustaqqat atau cabang-cabang lainnya yang seperti itu adalah berasal dari asal kata wala yalihi. Asal kalimat ini adalah dengan artian dekat dan berada dalam posisi berdekatan dan berdampingan.

Adakalanya, berada dalam posisi berdampingan bermaksud untuk membantu dan mengurusi urusan yang berkaitan dengan seseorang atau sesuatu lainnya. Dalam memahami makna ini, digunakan kalimat wilayah dan mustaq-mustaq-nya.

Dalam kaitan ini dan dengan makna yang sama, disebutkan wali perempuan, wali anak kecil, wali anak yatim, wali anak-anak, wali orang yang gila, dan wali yang, misalnya, berhubungan dengan wilayah, yang dalam menunaikan urusannya memerlukan orang lain di sampingnya. Adakalanya juga lingkaran wilayah yang lebih luas, seperti wali negeri, propinsi, wali umat, atau wali Muslimin. Dalam kaitan ini, wali atau wali urusan sosial yang berkaitan dengan masyarakat sebuah kota atau propinsi atau umat.

Dalam mustaqqat wilayah, pada dasarnya, makna kinayah-nya yang dimaksud adalah pengasuhan dan pengelolaan yang bukan maknanya yang asli atau substansial.

Ucapan yang sama juga dapat disebutkan dalam tafsiran kata maula. Maula berbentuk muf'al atau nomina yang menunjukkan waktu dan tempat (nomina zaman dan tempat). Maknanya adalah kedudukan atau maqom wilayah. Untuk itulah, Rasulullah saw bertanggung jawab melangsungkan urusan sosial masyarakat dan pada khutbah Ghadir Khum, melantik Imam Ali sebagai imam dan mengenalkannya kepada mereka.

Oleh karena itu, tidaklah perlu kita menafsirkan maula dengan makna 'yang lebih utama menguasai' melainkan dapat tetap dalam maknanya yang asli. Di saat yang sama, ia mencakup tujuan Rasulullah saw menunjuk Ali sebagai imam pemerintahan Islam. Hakim dan imam dikatakan sebagai maula karena berada dalam posisi sebagai pengatur urusan sosial masyarakat. Oleh karena itu, mereka lebih utama daripada yang lain.

9
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Menuju Madinah
Setelah semalam berhenti di tanah suci Ghadir Khum, Rasulullah saw bersama Anwadah dan para peziarah Baitullah berangkat menuju Madinah.
Rasulullah saw senang dapat menunaikan kewajiban ilahiahnya tanpa penentangan dan reaksi kaum munafik atas penunjukkan atau pelantikan Ali sebagai imam.

Namun, beberapa pemuka Quraisy yang berambisi terhadap khilafah Rasulullah saw begitu kecewa dengan perbuatan Rasulullah tersebut. Adakalanya mereka menunjukkan kebencian dan permusuhan di majelis-majelis khusus serta membicarakan secara bersama-sama kekecewaan mereka. Namun, mereka tidak berani menampakkan penentangannya secara terang-terangan.

Rasulullah saw mengetahui kemarahan dan dendam orang-orang munafik dan para pemuka Quraisy atas terbunuhnya keluarga dan kaum mereka di tangan Ali bin Abi Thalib. Melihat hal ini, Rasulullah saw selalu khawatir terhadap kemungkinan terjadinya konspirasi terhadap khilafah dan imamah Imam Ali as. Ali adalah hasil jerih payah Nabi saw.

Sepanjang risalahnya, Rasulullah menyimpan ilmu dan makrifah Islam di sisi Ali dengan harapan bahwa setelahnya, Imam Ali dapat melanjutkan misi-misinya dalam memberikan petunjuk kepada umat di jalan Islam yang hakiki dan orisinal menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Ali as telah melakukan beberapa hal sebagai pendahuluan bagi rekomendasi Rasulullah saw. Namun, bagaimanapun Rasulullah sangat khawatir terhadap kemungkinan konspirasi para penentang, perpecahan umat, dan tersingkirkannya Ali dari kedudukan imam dan khalifah.

Kekhawatiran ini dapat dirasakan dari ucapan dan perilaku Rasulullah saw sejak masuknya beliau ke Madinah hingga detik-detik terakhir kehidupannya. Berkali-kali Rasulullah berpesan tentang Ahlulbait dan keluarganya serta mengingatkan masyarakat agar tidak masuk ke dalam konflik dan perpecahan. Beliau pun menunjukkan kecemasannya terhadap fitnah-fitnah yang terjadi.

Abu Muwaihibah, budak yang dibebaskan Rasulullah saw, mengatakan, "Di pertengahan malam, Rasulullah saw memanggilku dan mengatakan, "Aku diutus untuk pergi berziarah kepada orang-orang yang mati di Baqi' dan mendoakan mereka."

Lalu, bersama beliau, aku pergi ke Baqi' dan beliau mendoakan orang-orang yang telah mati seraya berkata, "Salamku atas kalian, orang-orang yang berada di dalam kubur! Tempat kalian berada adalah lebih mudah dan lebih baik daripada apa yang dihuni manusia yang masih hidup. Fitnah-fitnah seperti pecahan-pecahan kegelapan malam menghujam kami. Fitnah-fitnah datang silih berganti. Yang terakhir adalah lebih buruk dan lebih sulit daripada yang pertama."[79]


Makar Mulai Tersingkap
Sejumlah pemuka Quraisy dan para pendukung khilafah memutuskan untuk menentang pesan-pesan Rasulullah saw yang berkaitan dengan khilafah dan wilayah Ali bin Abi Thalib serta Ahlulbait. Konspirasi ini bermula sejak sakitnya Rasulullah semakin parah.

Jenis penyakit Rasulullah tidaklah jelas. Namun, tulisan-tulisan yang ada mengindikasikan adanya demam dan sakit kepala yang serius.

Dengan datangnya sakit, kekhawatiran Rasulullah saw semakin meningkat. Kekhawatiran Rasulullah bukanlah terhadap kematian dan pertemuan dengan Allah swt melainkan terhadap perpecahan umat dan fitnah yang ada di depan jalan.

Muslim dalam Shahih-nya menukil dari Ibn Abbas mengatakan, "Tatkala Rasulullah saw berada di saat-saat terakhir hidupnya, di rumah beliau, ada beberapa orang, termasuk Umar bin Khattab. Saat itu, Rasulullah bersabda, "Bawakanlah pena dan kertas agar aku dapat menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga nantinya kalian tidak tersesat dan jatuh ke lembah kesalahan." Umar berkata, "Rasulullah mengucapkan hal itu karena sakit yang begitu berat! Kita memiliki al-Quran dan itu sudah mencukupi maksudnya sehingga kita tidak lagi memerlukan tulisan Rasulullah saw."

Di saat itu, terjadi peselisihan pendapat di antara hadirin. Sebagian mengatakan, "Marilah kita bawakan pena dan kertas agar Rasulullah dapat menuliskan sesuatu untuk kita." Sebagiannya cenderung kepada pendapat Umar.

Ketika perselisihan memuncak, Rasulullah saw bersabda, "Pergilah dari sisiku!" [80]

Dalam Shahih-nya Muslim dari Ibn Abbas mengatakan, "Hari Kamis! Hari kamis, hari apa itu! Dalam keadaan seperti itu, Ibn Abbas meneteskan air mata dan mengatakan, "Rasulullah saw berkata, "Bawakanlah pena dan kertas untukku agar aku tuliskan sesuatu untuk kalian yang nantinya kalian tidak akan tersesat." Kemudian mereka berkata, "Rasulullah saw mengigau." [81]

Ibn Abil Hadid menukil pernyataan Ibn Abbas yang mengatakan, "Di masa bermulanya khilafah Umar, aku menjumpainya. Ia berkata kepadaku, "Apakah anak pamanmu (Ali) berprasangka bahwa Rasulullah saw telah menjelaskan imamah-nya?" Aku berkata, "Ia meyakini itu." Aku katakan hal yang lebih daripada itu. Aku menanyakan persoalan ini kepada ayahku. Ia menjawab, "Ali berkata benar. Kemudian Umar berkata, "Benar! Rasulullah pernah membicarakan hal itu.

Namun, beliau tidak menemukan hujjah dan masih terdapat uzur. Dari itulah, Rasulullah saw menantikan momentum untuk mengukuhkannya. Di masa sakitnya, Rasulullah memutuskan untuk menjelaskan namanya. Namun, aku (Umar), didorong oleh keprihatinan dan untuk menjaga Islam, mencegah maksud Rasulullah itu. Bahkan demi Allah! Quraisy tidak akan mematuhi imamah dan khilafah Ali. Bila Ali ditunjuk sebagai imam, maka orang-orang Arab akan berusaha melanggarnya. Kemudian Rasulullah saw memahami bahwa aku memahami maksud beliau. Kemudian Rasulullah membatalkan pelantikan Ali as. Allah melaksanakan segala apa yang dikehendaki-Nya."[82]

Syaikh Mufid menulis, "Rasulullah saw di masa sakitnya mengatakan, "Bawakanlah untukku pena dan kertas agar aku tuliskan kitab yang sepeninggalku nanti kalian tidak akan pernah tersesat. Rasulullah mengatakan hal itu dan kemudian pingsan. Kemudian hadirin bangun untuk membawakan kertas dan pena. Umar berkata, "Kembalilah! Rasulullah mengigau!" Kemudian lelaki itu kembali.

Para hadirin setelah itu menyesali keterlambatan dan kesalahan mereka karena tidak membawakan Rasulullah pena dan kertas serta mengutuk diri mereka sendiri dan berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi rajiun! Kami khawatir akan penentangan terhadap Rasulullah saw."

Tatkala Rasulullah saw sadar, merela berkata, "Apakah kini kita bawakan kertas dan pena." Rasulullah berkata, "Apakah setelah kalian mengatakan seperti tu, kini kalian hendak membawakan kertas dan pena. Tidak! Namun, aku akan mewasiatkan kepada kalian tentang Ahlulbaitku." [83]

Umar dengan mengatakan kalimat sesungguhnya dia mengigau telah menjalankan siasatnya. Dari satu sisi, ia telah mencegah tersampaikannya wasiat sensitif Rasulullah saw dan di sisi lain, Rasulullah saw yang dijamin oleh Allah dengan, Tidak berbicara dari hawa nafsu, dituding telah mengigau! Maka, adalah jelas bahwa setelah tudingan biadab seperti itu, wasiat Rasulullah saw tidak lagi menguntungkan karena mereka akan mengatakan wasiat itu dikeluarkan dalam keadaan mengigau. Oleh karena itulah, Rasulullah tidak melihat jalan lain kecuali di detik-detik terakhir hidupnya, mengulangi pesan-pesannya untuk kesekian kalinya tentang Ahlulbait dan itrah. Namun, perhatikanlah bagaimana sikap mereka (Umar dan kawan-kawan) terhadap kasus yang serupa.

Ibn Abil Hadid menulis, "Tatkala sedang menanti ajalnya, Abu Bakar berkata kepada Usman, "Tulislah! Ini adalah suatu perjanjian dari Abdullah bin Usman, di saat-saat akhirnya untim berpisah dengan dunia dan zaman yang pertama untuk masuk ke akhirat, di ham jam yang manusia fajir menyesali, dan kafir menyatakan kesialamam.

Dalam keadaan yang seperti itu, Abu Bakar pingsan. Kemudian penulis, pada saat itu, menulis nama Umar bin Khattab.

Ketika siuman, Abu Bakar berkata kepada penulis (Usman), "Apakah yang engkau tulis? Bacakanlah untukku!"

Penulis membacakan apa yang disebutkan Abu bakar dengan ditambah nama Umar. Abu bakar berkata, "Aku tidak menyebutkan nama Umar. Atas dasar apa engkau menulis itu?" Penulis berkata, "Aku berpikir bahwa dalam menentukan khalifah, engkau pastilah memilih Umar!" Abu Bakar membenarkan penulis dan berkata, "Engkau melakukan hal yang benar." [84]


Bermulanya Fitnah
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Rasulullah saw di akhir usianya, khususnya setelah haji terakhir, senantiasa menyatakan kekhawatirannya terhadap fitnah yang bergerak secara beruntutan seperti gumpalan-gumpalan awan hitam di kegelapan malam. Sayangnya, setelah wafat Rasulullah saw, kesan fitnah itu langsung tampak.

Fitnah yang paling besar, yakni fitnah penentuan khalifah datang di saat jenazah Rasulullah saw belum dikebumikan dan keluarganya sedang sibuk melakukan takziyah serta mempersiapkan pengafanan dan penguburannya.

Di masa yang begitu sensitif dan menyedihkan itu, Umar bin Khattab, Abu Bakar, dan Abu Ubaidah bin Jarroh, tanpa memberitahu keluarga Rasulullah saw dan Bani Hasyim, keluar dari rumah Rasulullah saw dan dengan begitu cepat mereka bergerak menuju ke Saqifah Bani Sa'adah. Di saat itu dan mungkin lebih cepat daripada itu, beberapa Anshar berkumpul di Saqifah dan pembesar Anshar, Sa'ad bin Ubadah yang tengah sakit, adalah di antara yang hadir di Saqifah.
Tidak beberapa lama kemudian, beberapa Muhajirin bergabung dengan mereka, diantaranya adalah Mu'az bin Jabal, Usaid bin Hudhair, Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, dan Mughirah bin Sya'bah.

Orang dari Bani Hasyim, Bani Umayah, Ashab-Bader dan Muhajirin yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) tidak ada yang hadir. Salman Farisi, Ammar bin Yasir, Miqdad, Thalhah, Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, dan orang-orang yang lain tidak hadir.

Setelah sedikit perbincangan dan perundingan, jelas sudah bahwa maksud dari perkumpulan ini adalah untuk menentukan khalifah. Dalam pembahasan tersebut, tidak disinggung tentang siapakah yang di mata Rasulullah layak untuk menjadi khalifah dan apa yang dikatakan Rasulullah saw tentang hal ini. Akan tetapi, majelis tersebut lebih mirip dengan sebuah pentas perlombaan untuk menduduki kursi khalifah dan menyingkirkan para pesaing mereka. Para jago pentas ini adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Ibn Jarroh dari Muhajirin.

Di sisi lain, pesaing mereka adalah Sa'ad bin Ubadah dari Anshar. Pembahasan utamanya adalah apakah Muhajirin yang lebih layak untuk menjadi khalifah ataukah Anshar? Para pemuka dari kedua kubu itu adalah Abu Bakar dan Sa'ad bin Ubadah. Keduanya bepidato kepada hadirin dan menyebut-nyebut kelebihan mereka. Perselisihan dan persengketaan semakin mencapai puncaknya.

Di saat seperti itulah, Abu Bakar menjadi penengah dan berkata kepada hadirin, "Kini, Umar dan Abu Ubaidah siap untuk kursi khilafah. Berbaiatlah kepada mereka yang engkau kehendaki. Umar dan Abu Ubaidah langsung mengatakan, "Demi Allah! Kami tidak menerima urusan khilafah dalam keadaan engkau adalah Muhajirin yang paling mulia dan khalifah Rasulullah saw dalam shalat jamaah. Berikan tanganmu untuk aku berbaiat kepadamu!"

Abu Bakar langsung membuka tangannya untuk dibaiat dan di saat itu, Basyir bin Sa'ad mendahului kedua orang itu dan berbaiat kepada Abu Bakar.[85]
Ibn Abil Hadid dalam nukilan lainnya menulis, "Tatkala mengambil tangan Umar dan Abu Ubaidah, Abu Bakar mengatakan kepada manusia, "Aku rela dengan khilafah salah satu di antara kedua orang ini bagi kalian." Abu Ubaidah kepada Umar berkata, "Berikan tanganmu untuk aku baiat." Umar berkata, "Engkau melakukan kesalahan yang paling besar dan tidak ada yang lebih besar daripada yang engkau lakukan! Bagaimana engkau mengatakan itu sementara Abu bakar hadir?"

Kemudian, ia berkata kepada masyarakat, "Siapakah yang siap mendahului langkah-langkah yang oleh Rasulullah saw dahulukan? Rasulullah saw merelakan engkau untuk menjadi pemuka (imam shalat) kami. Apakah kami tidak akan menjadikan engkau sebagai pemimpin dunia kami?" Lantas, ia mengambil tangan Abu bakar dan membaiatnya."[86]

Dengan cara seperti ini, tahapan baiat yang pertama berlangsung dengan persahabatan antara Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah sehingga seolah-olah selain dari ketiga orang ini, tidak ada orang lain yang layak menjadi khalifah.

Setelah itu, kaum Muhajirin dan Anshar dihadapkan pada sebuah tindakan yang telah dilakukan dan mereka tidak memiliki jalan lain kecuali berbaiat. Di saat itulah, Umar mengatakan kepada masyarakat yang hadir, "Khalifah Rasulullah saw telah diketahui! Apalagi yang kalian nantikan? Cepatlah berbaiat! Kaum Muhajirin supaya tidak ketinggalan berebut membaiat Abu Bakar sehingga Sa'ad bin Ubadah Anshari yang sedang dalam keadaan sakit dan tidur di sebuah sudut hampir saja meninggal karena saking berdesakannya manusia. Di saat itulah, salah seorang hadirin berkata, "Mengapa kalian tergesa-gesa? Kalian hampir membunuh Sa'ad." Umar menjawab, "Bunuhlah dia semoga Allah membunuhnya." [87]

Dalam keadaan seperti ini, kaum Muhajirin yang hadir di Saqifah membaiat Abu Bakar. Tahap kedua baiat berlangsung lancar dan sukses.

Namun, Anshar menolak berbaiat kepada Abu Bakar dan berkata, "Kami hanya akan membaiat Ali."[88]

Pada tahap ketiga, Abu bakar harus pergi ke masjid agar dibaiat umat secara umum. Namun, ia harus sedikit bersabar sampai kabilah atau suku Aslam tiba di masjid dan landasan untuk baiat terwujud dengan lebih baik. Ketika berita mengatakan bahwa suku Aslam sedang bergerak menuju Masjid, mereka yakin menang. Umar berkata, "Ketika menyaksikan suku Aslam, aku meyakini kemenangan." [89]

Suku Aslam pergi ke masjid dan membaiat Abu Bakar. Dengan baiat mereka, posisi Abu Bakar semakin kukuh dan manusia yang lain pun membaiatnya.
Sejarah menyatakan bahwa Umar dalam peristiwa Saqifah memainkan peranan yang penting.

Ibn Abil Hadid mengatakan, "Umar adalah orang yang mengukuhkan baiat kepada Abu bakar, menumpas para penentangnya, memecahkan pedang Zubair, dan memukul dada Miqdad serta menginjak-injak Sa'ad bin Ubadah di Saqifah. Ialah yang mengatakan, "Bunuhlah dia karena Allah membunuhnya!" Umar jugalah yang menundukkan hidung Habab bin Mundzir dan mengancam untuk membakar Bani Hasyim yang berlindung di rumah Fatimah serta mengeluarkan mereka dari rumah itu. Oleh karena itu, sekiranya tidak ada upaya Umar, maka baiat kepada Abu Bakar tidak akan kukuh." [90]

Demikianlah adanya. Semua tindakan itu berlangsung dengan cepat dan tergesa gesa. Yang menarik adalah Umar sendiri di kemudian hari mengakui bahwa baiat kepada Abu Bakar berlangsung dengan cepat tanpa musyawarah.

Ibn Abil Hadid menulis, "Di dalam sebuah khutbah di Madinah, Umar berkata, "Aku mendengar seseorang berkata, "Sekiranya Umar meninggal, maka aku membaiat Ali." Janganlah sombong orang yang berkata, "Sesungguhnya baiat kepada Abu Bakar itu tergesa gesa tetapi Allah menjaga keburukannya." [91]
Ibn Abil Hadid menulis, "Yang menyampaikan ucapan tersebut adalah Ammar bin Yasir yang berkata, "Apabila Umar meninggal, aku akan berbaiat kepada Ali."

Di sini, Ibn Abil Hadid membahas secara terperinci makna fitnah dan berkata, "Meskipun diartikan dengan manka 'kesalahan atau ketergelinciran' tetapi di sini diartikan dengan manka baghtah 'ketergesa-gesaan'."[92]

Perlu diingatkan di sini bahwa pada peristiwa Saqifah, banyak sekali kelompok dari Muhajirin dan Anshar yang menolak untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Beberapa orang berikut ini adalah di antara mereka yang menolak untuk berbaiat: Ali bin Abi Thalib, semua Bani Hasyim, Zubair bin Awwam, Abu Sufyan bin Harb, Khalid bin Ash, Abbas bin Abdul Muthalib dan anak-anaknya, serta Abu Sufyan bin Abdul Muthalib."[93]

Dalam peristiwa Saqifah, beberapa hal di bawah ini perlu direnungkan:

1. Mengapa Umar, Abu Bakar, serta Abu Ubaidah, dalam keadaan jenazah Rasulullah saw berada di atas tanah, keluar dari rumah Rasulullah dan tergesa-gesa bergerak menuju Saqifah?

2. Apabila melihat bahwa penentuan khalifah itu perlu, lalu mengapa mereka tidak memberitahu tujuan mereka kepada Bani Hasyim dan umat Islam lainnya? Apakah mereka itu bukan muhrim?

3. Apakah mereka ingin memilih khalifah dengan musyawarah ataukah sebatas ingin mendudukkan salah seorang dari mereka di kursi khilafah. Apabila tujuannya adalah musyawarah, lalu mengapa tidak terlihat kesan seperti itu?

4. Mengapa dan apa yang terjadi sehingga pesan dan wasiat Rasulullah saw mengenai Ali dilupakan secara total dan nama Ali sama sekali tidak disebut? Anggaplah mereka tidak menerima nash yang terkait lalu apakah kemuliaan dan kesempurnaan zatiah Ali dapat dipungkiri? Apakah Ali bukan salah seorang dari sekian orang yang mungkin layak untuk menjabat khalifah setelah Rasulullah saw?

5. Apabila pemilihan khalifah harus berlangsung dengan musyawarah, lalu mengapa penentangan Anshar diabaikan sama sekali dan bahkan Umar dalam hubungan dengan Sa'ad bin Ubadah, pembesar Anshar, berkata. "Bunuhlah dia! Semoga Allah membunuhnya?"

6. Mengapa para pelaku pentas ini hanya terdiri dari Abu bakar, Umar, dan Abu Ubaidah sementara yang lainnya tidak hadir? Apakah selain dari ketiga orang ini, orang lain tidak layak menjabat khalifah?

7. Kehadiran Kabilah Aslam dan baiat mereka memainkan peranan penting dalam mendukung khilafah Abu bakar sehinggga Umar menantikan kedatangan mereka dan memandang kemenangan terakhirnya bergantung kepada kedatangan mereka. Dari mana Umar mengetahui bahwa mereka akan berbaiat kepada Abu bakar? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa sebelumnya ia telah melakukan koordinasi dan konfirmasi dengan kepala kabilah ini?

8. Apakah kalian menganggap baiat semacam ini merupakan sebuah perkara biasa yang Abu Bakar pertama kali tanpa musyawarah berkata kepada hadirin, "Umar dan Abu Ubaidah layak untuk kursi khilafah. Berbaiatlah dengan salah seorang dari mereka yang kalian anggap layak." Kemudian Abu Ubaidah bekata kepada Umar, "Berikan tanganmu untuk aku baiat!" Lantas sebagai protes, Umar berkata kepada Abu Ubaidah, "Dalam keadaan Abu Bakar hadir, dan di masa Rasulullah saw sakit, Abu Bakar adalah imam shalat, lalu siapa yang dapat mendahului Abu Bakar?" Lantas Umar mengambil tangan Abu Bakar dan berbaiat kepadanya? Apakah mereka menentukan khalifah dengan cara seperti ini? Apakah kalian tidak melihat kemungkinan bahwa dalam hal ini, telah dilakukan koordinasi yang diperlukan sehinggga semuanya berlangsung dengan cepat dan sesuai dengan keinginan mereka. Setelah itu, Bani Hasyim pun dihadapkan pada sebuah pekerjaan yang sudah terjadi?

9. Adakah kalian tidak melihat kemungkinan bahwa peristiwa menyedihkan di Saqifah Bani Saidah berlangsung menyusul sakitnya Rasulullah saw dan bekaitan erat dengan pernyataan Rasulullah kepada hadirin, "Bawalah kertas dan pena untuk kutuliskan kepada kalian surat wasiat yang kalian tidak akan pernah tersesat." Lalu Umar berkata, "Sesungguhnya lelaki ini mengigau! Cukup bagi kita Kitab Allah!" Dengan cara seperti ini, ia mencegah wasiat Rasulullah saw. Apakah dua peristiwa ini dilatarbelakangi atau mengejar satu tujuan yang sama?"


Alasan Menyingkirkan Ali
Umar bin Khattab mengatakan kepada Ibn Abbas, "Demi Allah! Sahabat dan temanmu (Ali bin Abi Thalib) adalah lebih layak daripada yang lainnya untuk menjabat sebagai khalifah setelah Rasulullah saw. Akan tetapi, aku mengkhawatirkan darinya dua perkara." Ibn Abbas berkata, "Wahai Amirul Mukminin! apakah dua perkara tersebut?" Ia menjawab, "Pertama, ia masih muda. Kedua, kecintaannya kepada anak-anak Abdul Muthalib."[94]

Ibn Abbas berkata, "Di malam Jabiyah, masyarakat berpisah dari sisi Umar dan setiap orang mendekat atau berakrab-akrab dengan sahabatnya. Aku, di malam itu, berada antara berjalan, berbicara dan berbincang-bincang dengan Umar. Umar mengadu kepadaku mengenai penentangan Ali terhadap baiat kepadanya. Aku bertanya, "Apakah dia (Ali) tidak memiliki uzur?" Umar berkata, "Benar! Ia memiliki uzur." Aku bertanya, "Apa uzur-nya?" Ia berkata, "Wahai Ibn Abbas! Abu Bakar adalah orang pertama yang melakukan kesalahan dalam menyerahkan khilafah kepada kami. Kaum kami tidak rela kalau khilafah dan nubuwwah bercampur di dalam diri kalian." Aku berkata, "Mengapa wahai Amirul Mukminin? Tidakkah kalian melihat kebaikan pada diri kami?" Umar berkata, "Mereka menyaksikan kebaikan tetapi apabila khilafah juga diserahkan kepada kalian, kalian akan berbangga dan sombong dengan itu."[95]

Ibn Abil Hadid menulis bahwa masyarakat keluar dari sisi Umar dan selanjutnya kembali ke sisi mereka seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Bilakah khalifah ditetapkan sekarang?" Ia berkata, "Aku memutuskan untuk memilih seseorang untuk menjadi khalifah, yang menuntun kalian berjalan di jalan yang benar." Dalam keadaan seperti itu, ia mengisyaratkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Di saat itu, aku seolah-olah tertutupi kabut keraguan dan lantas aku menyaksikan seorang lelaki yang memasuki kebun. Dia memetik dengan cepat buah-buahan yang sudah masak untuk dirinya dan mengumpulkannya. Kemudian aku takut di masa hidup dan matiku bahwa akulah yang menjadi penyebabnya." [96]

Demikianlah, menimbang keutamaan dan kesempurnaan Imam Ali serta pesan-pesan Rasulullah saw mengenainya, tidaklah dapat dipungkiri oleh siapa pun bahwa para "pahlawan pentas khilafah", pertama-tama, telah melupakannya dan tidak pernah menyinggung hal itu. Selanjutnya adakalanya mereka berhadapan dengan protes beberapa orang dalam menjustifikasi kekhilafahan mereka. Mereka berlindung di balik tiga alasan: pertama, bahwa Ali saat itu masih terlalu muda; kedua, Ali sangat mencintai anak-anak Abdul Muthalib; dan ketiga, masyarakat tidak senang menyaksikan nubuwah dan wilayah berkumpul di satu keluarga.

Hanya saja tidak satu alasan pun yang dapat diterima karena kriteria untuk khilafah dan wilayah adalah kesempurnaan dan kelayakan esensial di atas orang lain. Berdasarkan itulah, Rasulullah saw membimbing serta menjagokannya untuk maqom wilayah dan Rasulullah sendirilah yang telah menunjuk Ali sebagai wali dari sejak Ali masih belia. Berkumpulnya khilafah dan nubuwah sama sekali bukanlah masalah kecuali memang membangkitkan kedengkian terhadap Ahlulbait Nabi saw.

10
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Kesan Buruk Peristiwa Saqifah
Peristiwa Saqifah yang menyedihkan merupakan fitnah paling besar yang kemudian disusul dengan fitnah-fitnah berikutnya dan kesan buruknya tetap melekat pada diri umat sepanjang sejarah hingga kini. Di antara kesan-kesan buruk itu, yang terpenting ialah sebagai berikut.

1. Pemerintahan suci Nabi dan imam telah diselewengkan dari jalur aslinya dan mengubahnya menjadi pemerintahan non-suci. Lebih lanjut, peristiwa itu menciptakan landasan bagi pemerintahan dinasti (warisan) dan pemerintahan-pemerintahan sekuler di sepanjang sejarah beserta imbas-imbas buruknya.

2. Dipisahkannya al-Quran dari Ahlulbait tentulah bertentangan dengan nash yang jelas dalam al-Quran.

3. Hukum, undang-undang politik, dan sosial Islam tidak terlaksana secara baik dengan dukungan ishmah. Akibatnya, tujuan-tujuan besar Rasulullah, seperti tauhid global, keadilan sosial, berkembangnya Islam di dunia dan kemenangan terhadap agama-agama lainnya tidak dapat dilanjutkan.

4. Terkucilnya itrah dan para penyimpan ilmu serta undang-undang Islam yang sejati dari maqom marjaiyah ilmy ditambah dengan berkuasanya logika yang salah, hasbuna Kitab Allah 'Cukuplah Kitab Allah'.

5. Perpecahan dan perselisihan di antara umat dan munculnya berbagai mazhab serta implikasi buruknya seperti perpecahan dan konflik mazhab, bahkan perang dan pertumpahan darah internal yang menyedihkan. Belum lagi terjadinya perpisahan dan buruksangka yang mengakibatkan lepasnya kekusaaan, keagungan, kewibawaan, dan kemuliaan Islam serta terbukanya pintu bagi berkuasanya kaum penjajah asing.


Bermulanya Kelahiran Syiah dan Sunnah
Menurut ayat dan hadis yang banyak, Rasulullah saw adalah wajib ditaati.

Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kalian. [97]

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

Kaum Muslim di awal Islam mengetahui bahwa perintah, larangan, dan konsep-konsep Rasulullah saw berasal dari wahyu. Oleh karena itu, mereka patuh di hadapan wahyu secara total dan memandang pelanggarannya sebagai dosa. Kewajiban untuk taat bukan hanya terbatas pada zaman Rasulullah saw. Namun sayangnya, tidaklah demikian, bahkan sepeninggal Rasulullah untuk yang pertama kalinya perintah suci ini dilangggar. Di Saqifah Bani Sa'idah, sejumlah sahabat secara terang-terangan melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginan Rasulullah karena menentukan khalifah yang tidak sesuai dengan nash Rasulullah.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa berkali-kali Rasulullah saw, termasuk di Ghadir Khum, mengenalkan keluarganya sebagai salah satu pusaka penting dan sebagai acuan yang kaya bersama al-Quran. Dalam hal ini, Rasulullah mengatakan, "Al-Quran dan itrah sampai kiamat tidak akan berpisah."

Meskipun telah ada semua penekanan dan taushiyah tersebut, sepeninggal Rasulullah saw, sekelompok sahabat melupakan ucapan Rasulullah itu dan dengan penuh keacuhan, berupaya memilih khalifah dan menyingkirkan Ahlulbait dari marjaiyah ilmu dan makrifah agama serta memisahkan alQuran dari itrah. Maka, logika hasbuna Kitab Allah, yang dilafalkan di masa sakit Rasulullah saw, secara praktik berkuasa. Perilaku para tokoh Saqifah menunjukkan seolah-olah Rasulullah sama sekali tidak pernah menyinggung Ali bin Abi Thalib dan itrah! Apakah ada yang lebih buruk daripada membelakangi perintah dan pesan Rasulullah saw?

Hanya saja tidak semua sahabat yang berkompromi dengan makar ini. Sebagian lainnnya tetap konsisten dengan kewajiban untuk menaati perintah dan larangan Rasulullah saw. Mereka tidak bersedia membaiat Abu bakar. Imam Ali as memandang Abu Bakar sebagai khalifah tanpa perantaraan Rasulullah saw.
Kelompok ini berada di pihak minoritas dan penentangan mereka tidak membawa sesuatu apa pun. Pada akhirnya, setelah sekian lama, semuanya atau kebanyakannya, mau atau tidak mau, terpaksa berdiam diri di hadapan kondisi yang berlaku. Akan tetapi, bagaimanapun pemikiran Islam yang orisinal tetap kekal.

Di sinilah dua kelompok mazhab Islam terfondasikan. Kelompok mayoritas, yang nantinya populer dengan nama Ahlus Sunnnah dan kelompok minoritas yang nantinya bernama Syiah.

Kaum Syiah memandang imamah Imam Ali sebagai hujjah yang muktabar. Maka, ta'wil serta taujih (justifikasi) nash-nash ini adalah suatu perkara yang tidak benar dan ijtihad melawan nash. Imam Ali dipandang sebagai khalifah langsung dan imam yang pertama setelah Rasulullah saw. Mereka mengambil sumber pengetahuan agama dari itrah dan Ahlulbait. Mereka berijtihad dalam masalah fikih dan dalam menggali sumber ijtihad dan istinbat -selain al-Quran dan hadis, mereka juga bersandar kepada para imam suci.

Kaum Syiah pada awalnya, dan untuk sekian lama, bukanlah merupakan suatu mazhab atau kelompok. Namun berikutnya, mazhab-mazhab lainnya bercabang darinya. Namun, yang paling asli adalah mazhab istna asyariyah.


Mazhab Syiah Dua Belas Imam (Istna Asyariyah)
Istna asyariyah dinisbatkan kepada imamiyah dan dua belas Imam yang populer. Dari situlah, mazhab ini dinamakan istna asyariyah yang mereka berkeyakinan bahwa setelah Rasulullah saw, ada dua belas Imam, yang silih berganti menjadi khalifah dan imam. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut.

1. Ali bin Abi Thalib.

2. Hasan bin Ali.

3. Husain bin Ali

4. Ali bin Husain

5. Muhammad bin Ali.

6. Ja'far bin Muhammad

7. Musa bin Ja'far

8. Ali bin Musa.

9. Muhammad bin Ali.

10. Ali bin Muhammad

11. Hasan bin Ali.

12. Hujjah bin Hasan (Imam Mahdi).


Kaum Syiah Imamiyah meyakini bahwa orang-orang tersebut adalah wajib ditaati dan terpelihara dari dosa serta kesalahan. Mereka mengetahui semua ilmu kenabian dan menjadi khalifah Rasulullah saw.


Dalil-Dalil Imamah dan Pengenalan para Imam
Imamah dan khilafah Imam yang pertama (Ali bin Abi Thalib), menimbang apa yang telah disebutkan sebelum ini, adalah suatu perkara yang pasti dan jelas.

Oleh karena itu, hal ini tidaklah memerlukan pengulangan. Namun, pembuktian imamah para imam lainnya memerlukan pembahasan dan istidlal 'pemberian dalil'. Untuk membuktikan imamah para imam suci dapatlah digunakan berbagai jenis argumen.


1. Hadis nabawi
Kita memiliki banyak hadis yang Rasulullah saw bersabda, "Setelahku, akan ada dua belas khalifah yang semuanya adalah dari Quraisy." Hadis-hadis seperti ini telah tercatat dalam kitab Ahlus Sunnah dan Syiah.


Dua Belas Orang dan Semuanya dari Quraisy
Jabir bin Samrah mengatakan, "Kami mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Urusan masyarakat akan berjalan dengan baik selagi dua belas orang memerintah mereka." Setelah itu, Rasulullah saw mengucapkan sebuah kalimat yang tidak kupahami. Aku bertanya kepada ayahku, "Apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw?" Ia berkata, "Mereka semua adalah dari Quraisy." [98]

Sammak bin Harb mengatakan, "Jabir bin Samrah mengatakan, "Kami mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, "Islam akan tetap mulia selagi dua belas khalifah berkuasa atas mereka." Setelah kalimat tersebut, Rasulullah mengatakan sesuatu yang tidak kupahami. Aku menanyakannya kepada ayahku, "Apakah yang diucapkan oleh Rasulullah saw?" Beliau berkata, "Mereka semua adalah dari Quraisy."[99]

Amir bin Sa'ad bin Abi Waqqash mengatakan, "Aku menulis untuk Jabir bin Samrah agar memberitahukanku sesuatu yang ia dengar dari Rasulullah saw. Dalam jawabannya, ia menulis, Rasulullah saw pada Jumat malam ketika Aslami dirajam, mengatakan, "Agama ini akan tegak berdiri sampai hari kiamat selagi dua belas orang khalifah yang semuanya dari Quraisy berkuasa atas mereka."[100]

Bagi para ahli, adalah jelas bahwa jumlah dua belas khalifah atau amir yang diberitakan Rasulullah saw tidak bisa dicocokkan dengan jumlah khalifah yang datang pasca-Rasulullah saw. Bukan hanya tidak cocok bagi empat Khalifah ar-Rasyidin tetapi bagi khalifah-khalifah Bani Umayah, Bani Marwan, dan Bani Abbas, dan juga para khalifah dan sultan yang nantinya datang. Jumlah itu juga tidak sesuai bila digabungkan dan disusun sebagian dengan sebagian lainnnya. Yang bisa dipaskan adalah dua belas imam Syiah yang semuanya berasal dari Quraisy dan Bani Hasyim.


Dua Belas Orang
Rasulullah saw dalam banyak hadis mengenalkan bahwa jumlah imam setelahnya adalah dua belas orang. Salman Muhammadi mengatakan, "Aku menjumpai Rasulullah saw dalam keadaan beliau mendudukkan Husain di kedua pahanya. Rasulullah saw mencium mata Husain dan mengecup mulutnya seraya mengatakan, "Engkau adalah (sayyid) anak seorang sayyid dan ayah para sayyid. Engkau adalah imam, putra imam dan ayah para imam. Engkau adalah hujjah, putra hujjah, dan ayah sembilan imam yang kesembilannya adalah qaim ali Muhammad." [101]

Abdullah bin Abbas menukil dari Rasulullah saw yang berkata, "Para imam setelahku berjumlah seperti nuqaba' 'pemimpin-pemimpin' Bani Israil dan Hawariyyin Isa as. Barangsiapa mencintai mereka adalah mukmin dan barangsiapa yang membenci mereka adalah munafik. Mereka adalah hujjah Allah terhadap manusia dan bendera-bendera petunjuk."[102]


Dua Belas Orang dan Nama-Nama Mereka
Jabin bin Abdillah Anshari berkata kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah! Para imam dari anak Imam Ali bin Abi Thalib, siapa sajakah mereka?" Rasulullah berkata, "Mereka adalah Hasan dan Husain, dua pemuda ahli surga; setelah mereka, Sayyidul Abidin, di masanya, Ali bin Husain; setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Sampaikan salamku kepadanya; setelahnya , Shadiq Ja'far bin Muhammad; dan setelahnya, Kadzim Musa bin Ja'far; dan setelah itu, Ridha Ali bin Musa; dan setelah itu, Taqi Muhammad bin Ali; dan setelah itu, Naqi Ali bin Muhammad; dan setelah itu, Zaki Hasan bin Ali; dan setelah itu, putranya, Qaim bilhaq, Mahdi Ummah, yang memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, washi-ku, dan anak-anakku. Barangsiapa yang menaati mereka mematuhiku dan barangsiapa yang mengingkari salah satu dari mereka mengingkariku. Berkah wujud mereka adalah langit tidak menjatuhi bumi dan bumi tetap terpelihara." [103]

Hasan bin Ali mengatakan, "Dari Rasulullah saw, aku mendengar bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, "Engkau adalah pewaris ilmuku, tambang hikmahku, dan imam setelahku. Ketika engkau syahid, putramu, Hasan, adalah imam; dan tatkala Hasan syahid, putramu, Husain, adalah imam; ketika Husain syahid, putranya, Ali, akan menjadi imam; setelahnya, sembilan orang dari putra Husain akan menjadi imam. Setelah itu, Hasan bin Ali mengatakan, "Ya Rasulullah! Siapakah nama-nama mereka." Beliau mengatakan, "Ali dan Muhammad, Ja'far dan Musa dan Ali dan Muhammad dan Ali dan Hasan serta Mahdi yang dari keturunan Husain dan akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan."[104]

Husain bin Ali mengatakan, "Tatkala ayat Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin[105] diturunkan, aku mengatakan kepada Rasulullah saw, "Apakah ta'wil ayat ini?" Beliau mengatakan, "Demi Allah! Selain kalian tiada yang dimaksudkannya. Kalianlah ulul arham. Ketika aku meninggal, Ali adalah lebih utama daripada lainnya untuk maqom-ku, dan ketika ayahmu meninggal, saudaramu, Hasan, lebih layak daripada lainnnya, dan ketika saudaramu meninggal, engkau lebih layak daripada lainnnya."

Kemudian aku berkata, "Sepeninggalku siapa?" Rasulullah menjawab, "Putramu yang lebih layak daripada lainnnya dan; ketika dia meninggal, anaknya yang bernama Musa lebih layak; ketika Musa meninggal; anaknya yang bernama Ali lebih layak; dan ketika Ali meninggal dunia, anaknya yang bernama Hasan lebh layak; dan ketika Hasan meninggal dunia, putramu yang kesembilan akan gaib. Mereka itu adalah dari keturunanmu. Allah swt memberikan ilmu dan kepahamanku kepada mereka dan mereka adalah dari tabiatku. Maka, sekelompok dari umatku akan menggangguku jika mengganggu mereka? Syafaatku pada hari kiamat tidak akan menimpa mereka."[106]

Shahal bin Sa'ad Anshari mengatakan, "Aku bertanya kepada putri Rasulullah saw,Fatimah, siapakah para imam itu?" Fatimah berkata, "Rasulullah berkata kepada Ali, "Wahai Ali! Engkau sepeninggalku adalah imam dan khalifah. Engkau lebih utama daripada orang-orang mukmin. Ketika engkau meninggal dunia, putramu, Hasan, menggantikanmu; dan ketika Hasan meninggal dunia, Husain menggantikannya; dan ketika Husain meninggal dunia, tempatnya digantikan oleh putranya, Ali bin Husain; dan bila Husain bin Ali wafat, posisinya digantikan oleh putranya yang bernama Muhammad; dan ketika Muhammad wafat, putranya , Ja'far, menggantikannya; dan setelah itu, Musa bin Ja'far; dan ketika Musa wafat, tiada yang lebih layak menggantikannya kecuali putranya, Muhammad; dan ketika Muhammad wafat, putranya, Ali, menggantikannya; dan ketika Ali wafat, putranya, Hasan, yang paling layak menggantikannya; dan apabila Hasan wafat, maka posisinya digantikan oleh putranya, Qaim Mahdi. Di tangannyalah, Timur dan Barat ditundukkan."[107]

Ali bin Abi Thalib menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan diperhatikan oleh Allah hendaknya berpegang dengan wilayah Ali as. Dan barangsiapa yang berkehendak menemui Allah dalam keadaan Allah meridhainya hendaknya menerima wilayah putra Ali, Hasan, dan barangsiapa yang hendak bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak cemas dan khawatir hendaknya menerima wilayah putramu, Husain; dan barangsiapa ingin bertemu Allah dalam keadaan dosa-dosanya berguguran hendaknya menerima wilayah Ali bin Husain karena ia yang disifati Allah swt dalam firman-Nya, Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[108]; dan barangsiapa yang berkeinginan untuk bertemu dengan Allah dalam keadaan senang harus menerima wilayah Muhammad bin Ali dan barangsiapa yang berkeinginan bertemu dengan Allah dalam keadaan catatan amalannya diberikan melalui tangan kanannya hendaknya menjadikan Ja'far bin Muhammad Shadiq sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih hendaknya menjadikan Musa bin Ja'far Kadzim sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan senang dan tertawa hendaknya menjadikan Musa ar-Ridha sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu Allah dalam keadaan derajatnya ditinggikan dan keburukannya diganti dengan kebaikan hendaknya menerima wilayah Muhammad; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan hisabnya dimudahkan dan dimasukkan ke surga, yang luasnya sama dengan jumlah langit dan bumi dan disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, hendaknya menerima wilayah Ali; dan barangsiapa ingin menemui Allah dalam keadaan berbaris bersama orang yang bertakwa hendaknya menerima wilayah Hasan bin Ali; dan barangsiapa ingin menemui Allah dalam keadaan keimanannya sempurna dan keislamannya baik hendaknya menerima wilayah yang dinanti-nantikan kemunculannya, yaitu Muhammad Shahibuz Zaman, Mahdi. Mereka adalah pelita-pelita kegelapan, para imam hidayah, dan bendera-bendera takwa. Barangsiapa yang mencintai mereka dan menerima wilayah mereka aku menjaminkan surga baginya."[109]


Dua Belas Orang dan Maksum
Abdullah bin Abbas berkata, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, "Aku, Ali, Hasan, dan Husain serta sembilan keturunan Husain adalah suci dan terpelihara dari dosa."[110]

Tatkala menjelang wafatnya, Rasulullah saw berkata kepada Fatimah, "Janganlah engkau menangis dan bersedih karena engkau adalah penghulu para wanita surga dan ayahmu adalah penghulu para nabi dan anak pamanmu (Ali) adalah penghulu para washi dan dua putramu adalah penghulu para pemuda surga dan akan lahir dari keturunan Husain sembilan orang yang merupakan para imam suci dan Mahdi umat adalah dari kami." [111]

Anas bin Malik mengatakan, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang berkata kepada Ali, "Engkau adalah washi dan saudaraku di dunia dan akhirat. Engkau menunaikan agamaku, setia kepada janji-janjiku, dan untuk membela sunnahku, engkau berperang. Engkau berperang untuk ta'wil al-Quran sebagaimana kau berjihad untuk turunnya al-Quran. Maka, aku adalah Nabi yang terbaik dan engkau washi yang paling baik, dan kedua putramu, Hasan dan Husain adalah cucu yang terbaik. Dari keturunan mereka, sembilan imam akan lahir, yang suci, terpelihara, dan berdiri untuk menunaikan keadilan. Para imam setelahku berjumlah sama dengan nuqaba 'para pemimpin' Bani Israil dan Hawariyyin Isa as. Mereka adalah itrah-ku dan dari daging serta darahku."[112]

Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa ingin melihat Qudhaib Ahmad yang Allah swt dudukkan dengan tangan-Nya sendiri dan berpegangan dengannya hendaknya berpegangan dengan wilayah Ali bin Abi Thalib dan para imam dari anak-anaknya karena mereka adalah makhluk pilihan Allah yang terbaik dan terpelihara dari segala dosa dan kesalahan."

Abu Thufail menukil dari Imam Ali as bahwa Rasulullah bersabda, "Engkau (Ali) adalah washi-ku terhadap orang-orang yang mati di dalam Ahlulbaitku dan khalifah terhadap umatku yang hidup. Memerangimu sama dengan memerangiku dan berdamai denganmu sama dengan berdamai denganku."

"Engkau (Ali) adalah imam dan ayah para imam. Sebelas orang dari keturunanmu adalah para imam suci. Mahdi umat ini yang memenuhi dunia dengan keadilan merupakan salah seorang dari mereka. Celakalah bagi orang yang membenci mereka dan dendam terhadap mereka." [113]

Dalil-dalil pembuktian kesucian Ahlulbait dan itrah Rasulullah saw dapat dijadikan sebagai salah satu argumen imamah dua belas orang suci tersebut. Masalah ini sebelumnya telah dibahas secara terperinci dan mendetail. Di sini, telah dibuktikan tiga persoalan.

1. Ishmah 'keterjagaan' dari dosa dan kesalahan merupakan salah satu persyaratan penting seorang imam.

2. Dengan digabungkannya tiga persoalan ini dapatlah dijadikan argumen untuk membuktikan imamah tiap-tiap imam.

3. Substansi (manifestasi) Ahlulbait juga menjadi jelas.

Untuk penjelasan lebih lanjut, kalian dapat merujuk kepada pembahasan yang lalu.

11
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

2. Kewajiban Berpegangan dengan Tsaqalain
Abu Said Khudri mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku mengamanahkan dua sesuatu yang bernilai kepada kalian, yang salah satunya lebih besar daripada yang lainnya. Pertama adalah Kitab Allah yang merupakan tali antara mereka dan tanah; dan yang lainnya Itrah dan Ahlulbaitku. Ketahuilah bahwa dua hal ini tidak akan berpisah hingga keduanya masuk kepadaku di telaga Kautsar."[114]

Abu Said Khudri menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Aku mengira, bahwa tak lama lagi aku dipanggil dan aku jawab panggilan itu. Aku tinggalkan dua sesuatu yang mahal kepada kalian. Kitab Allah dan itrah keluargaku. Kitab Allah adalah tali yang digelantungkan dari langit ke bumi. Itrah-ku adalah Ahlulbaitku. Allah memberitahukanku bahwa kedua hal ini sampai hari kiamat tidak akan berpisah. Maka waspadailah sikap kalian terhadap dua amanah ini."[115]

Zaid bin Arqam mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku tinggalkan sebagai amanah dua sesuatu untuk kalian, yang apabila berpegangan dengannya, kalian tidak akan sesat dari diriku. Salah satunya lebih penting daripada yang lainnya. Pertama, Kitab Allah yang merupakan tali yang bergelantung dari langit ke bumi; dan lainnya, itrah dan Ahlulbaitku. Dua pusaka ini tidak akan terpisah sampai masuk ke telaga Kautsarku. Maka, berhati-hatilah terhadap sikap kalian kepada dua pusaka itu."[116]


Kekalnya Ahlulbait hingga Hari Kiamat
Rasulullah saw bersabda, "Bintang-bintang adalah pengaman penduduk langit. Apabila bintang-bintang tersebut tidak ada, penduduk langit juga akan binasa. Ahlulbaitku adalah pengaman penduduk bumi. Apabila Ahlulbaitku binasa, penduduk bumi juga akan binasa."[117]

Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ahlulbaitku seperti bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang berpegangan dengannya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan tenggelam."[118]

Dari dua hadis ini dan yang sepertinya disimpulkan bahwa ahlil bait Nabi akan kekal hingga hari kiamat dan muslimin berkewajiban nmengikuti mereka untuk keselamatan mereka sendiri.

Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin hidup sepertiku, mati sepertiku, dan tinggal di surga yang Allah bangun hendaknya berpegangan dengan wilayah Ali sepeninggalku dan bersahabat dengan para sahabatnya serta mengikuti para imam setelahku. Ketahuilah bahwa mereka adalah Ahlulbaitku yang diciptakan dari tanahku dan memiliki ilmu serta pemahaman sepertiku. Adalah kecelakaan bagi orang-orang yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan silaturrahim karena syafaatku tidak akan menimpa mereka."[119]


3. Mukjizat
Sebagaimana telah disebutkan di dalam kitab-kitab kalam dan hadis, Rasulullah saw, pada masa-masa darurat dan untuk membuktikan nubuwah dirinya, melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa, yang berada di luar kemampuan manusia normal. Tiap-tiap imam yang dua belas, seperti dinukilkan dari riwayat-riwayat dalam buku sejarah dan hadis, juga memiliki hal yang sama. Hal ini dapat bermanfaat untuk membuktikan imamah mereka. Kami, di dalam buku yang relatif pendek ini, tidaklah dapat membawakan mukjizat-mukjizat tersebut. Yang berminat dapatlah merujuknya kepada kitab-kitab yang terkait.


4. Pelantikan dan Pengenalan Imam Sebelumnya.
Sebagaimana sebelumnya telah disebutkan bahwa Rasulullah saw di masa hidupnya telah mengenalkan dan merekomendasikan Ali bin Abi Thalib sebagai imam sepeninggal beliau. Pelantikannya adalah dari Allah dan merupakan hujjah bagi manusia. Rasulullah juga menyinggung soal imamah Hasan dan Husain. Imam Ali, di masa hidupnya dan dengan taushiyah Rasulullah saw, memilih putranya yang bernama Hasan sebagai imam. Imam Hasan memilih saudaranya, Imam Husain, sebagai imam dan memberitahukannya kepada masyarakat. Dengan demikian, setiap imam memiliki tugas untuk mengenalkan imam setelahnya. Di masa yang akan datang, kami akan menjelaskan persoalan ini secara rinci.

Sebagai kata akhir, perlulah kiranya diingatkan bahwa kami pada pembahasan-pembahasan yang akan datang dan untuk menetapkan tiap-tiap imam, hanya akan menggunakan argumentasi ini dan tidak akan mengulangi argumentasi yang lalu.


Akidah Kami tentang para Imam.
Dengan mempertimbangkan argumen aqliyah terhadap pentingnya wujud imam yang sebelumnya telah disinggung, dengan mempertimbangkan sebagian ayat-ayat yang berkaitan dengan imamah, dan dengan mempertimbangkan banyak hadis yang sampai kepada kami melalui Rasulullah saw dan para imam suci tentang imamah, akidah kami mengenai dua belas imam adalah sebagai berikut.

1. Mereka seperti nabi yang terpelihara dari melakukan dosa dan kesalahan secara sempurna.

2. Dalam makrifah mengenal Allah dan dalam tauhidnya serta sifat kesempurnaan dan keagungannya, mereka berada pada posisi kemanuasiaan dan keimanan kepada Allah yang tertinggi.

Maad 'hari kebangkitan' dan nubuwah telah merasuk ke bagian dalam jiwa mereka dan mereka menyaksikan hakikat alam gaib dengan mata hati.

3. Mereka terhiasi dengan semua keutamaan dan kemuliaan akhlak dan terpelihara atau terjauhkan dari semua akhlak yang tercela dan sifat-sifat buruk.

4. Mereka mengetahui semua hukum, undang-undang, persoalan universal, cabang agama, kewajiban, muharamat, mustahabbat, dan makruhat. Namun, wahyu tidak turun kepada mereka dan mereka bukan pembuat syariat. Akan tetapi, mereka mendapatkan ilmu dari penyimpulan al-Quran atau melalui kakek-kakek mereka dari ilmu para nabi. Selain itu, mereka memanfaatkan kitab-kitab yang diwarisi dari Rasulullah saw.

5. Mereka mengetahui dengan baik hukum, undang-undang, dan persoalan yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat. Dalam kaitan ini, mereka memiliki wewenang khusus.

Para Imam memiliki dua peranan yang besar. Yang pertama adalah menjaga atau memelihara hukum dan undang-undang agama serta menyebarluaskan ilmu, makrifah, dan hukum Islam. Selain itu, mereka melanjutkan tujuan-tujuan Rasulullah saw. Imam Ali as dan imam lainnya siap untuk menunaikan tanggung jawab yang penting ini dan di tangan merekalah, ilmu yang diperlukan, sebagaimana telah disebutkan, diajarkan oleh Rasulullah saw agar mereka mampu mengerjakan kewajiban atau tugas yang penting ini.

Dalam hadis Tsaqalain, hadis Safinah, dan puluhan hadis lainnya, Rasulullah mengenalkan itrah dan Ahlulbait sebagai marja' ilmu yang paling muktabar dan menganjurkan Muslimin agar memanfaatkan ilmu mereka. Namun disesalkan, tujuan Rasulullah saw tidak terealisasikan secara sempurna karena orang-orang yang haus kekuasaan dan jabatan, bukan hanya menyingkirkan Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya dari kursi khilafah, juga mewujudkan berbagai rintangan dan gangguan terhadap kursi marjaiyah ilmu Ahlulbait.

Dengan cara inilah, mereka membuat umat Islam tidak memperoleh ilmu asli nubuwah. Namun bagaimanapun keadaannya, setiap imam dengan memperhatikan berbagai fasilitas serta kondisi zamannya, berupaya mengembangkan individu-individu secara sungguh-sungguh. Berkat upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan inilah, di sepanjang sejarah, ratusan ribu hadis di berbagai bidang telah tersebar luas. Sebagian besar dari hadis-hadis itu tercatat dan terekam di dalam kitab-kitab hadis yang tersisa sampai sekarang. Apabila para imam diberikan peluang yang lebih besar lagi, pastilah umat Islam akan memperoleh ilmu dan makrifah yang lebih banyak lagi.

Yang kedua adalah kewajiban para imam yang penting, yakni menjabat maqom khilafah dan mengelola negara dengan menjalankan hukum-hukum serta undang-undang politik dan sosial Islam. Ini adalah suatu bagian dari kewajiban besar Rasulullah saw. Rasulullah saw, dalam merealisasikan tujuan ini, telah memberikan pesan-pesan yang diperlukan. Dalam kisah Ghadir Khum, Rasulullah memilih Ali bin Abi Thalib untuk menduduki maqom ini dan melantiknya. Rasulullah pun, dalam melanjutkan tujuan-tujuan para nabi dan menjabat maqom ini, memiliki kesiapan yang sempurna. Namun, perealisasiannya memerlukan penerimaan masyarakat dan jihad serta upaya dalam mewujudkan landasannya.

Sayangnya, sekelompok orang yang haus kekuasaaan mengabaikan pesan Rasulullah saw dan menyalahgunakan kebohongan serta kelalaian masyarakat untuk menyelewengkan khilafah dari jalur yang dikehendaki Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib, dengan kondisi dan keadaan yang seperti itu, tidak memiliki jalan lain kecuali bersabar dan menahan diri. Kurang lebih selama 25 tahun, Imam Ali melewatinya dengan kesabaran hingga masyarakat secara sadar dan dengan hasrat serta keinginan mereka, membaiat Imam Ali as.

Namun tidak lama kemudian, sekelompok oportunis yang haus kekuasaan, yang sebelumnya mengeruk keuntungan dari akibat diskriminasi yang tidak benar, kesewenang-wenangan -dan mereka terbiasa dengan itu serta tidak tahan dengan hasrat keadilan dan dihilangkannya diskriminasi yang dilakukan Bani Alawi dan Nabawi- berupaya untuk menentang dan menggagalkan pemerintahan Ali dengan perang dan penentangan internal yang keras. Selanjutnya, kira-kira lima tahun setelah itu, Imam Ali jatuh syahid karena "dosa" menegakkan keadilan di mihrab ibadah. Maka, khilafah pun kembali diselewengkan dari jalurnya yang benar hingga bertahun-tahun lamanya.

Selama itu, khilafah berada di tangan Bani Umayyah dan Bani Abbas serta tidak tersedia peluang bagi kepemimpinan para imam suci. Setiap imam memandang khilafah Rasulullah sebagai haknya yang sah dan mereka siap memegangnya. Namun, karena keengganan dan kesalahan Muslimin, mereka tidak pernah menduduki kursi khilafah yang merupakan hak sah mereka.


Tanda-Tanda Syiah yang Hakiki
Syiah disebutkan bagi orang yang mengimani imamah dan khilafah Ali bin Abi Thalib secara langsung. Selain itu, dia juga mengimani imamah sebelas orang dari anak-anak Ali dan menampakkan kecintaan mendalam terhadap mereka. Orang-orang yang seperti ini dikenal dengan Syiah Dua Belas Imam. Namun, harus kita ketahui bahwa sekedar iman konseptual dan pengakuan formal tidaklah cukup dalam merealisasikan substansi Syiah yang sebenarnya dan menjaminkan bagi kita kebahagiaan akhirat serta menyelamatkan kita dari kebinasaan duniawi dan ukhrawi. Pada dasarnya, iman tanpa amal tidak lebih daripada sebuah pemahaman konseptual.

Dalam kata syiah itu sendiri, terkandung sejenis iltizam amali 'pelaziman praktis'. Syiah secara bahasa berarti 'pengikut'. Syiah dinamakan syiah karena mereka mengikuti perilaku, perbuatan, dan akhlak Rasulullah saw, Imam Ali, serta para imam suci sehingga amal merupakan kelaziman iman yang sebenarnya. Bila amal tidak ada, keimanan juga tidak menemukan maknanya. Mawaddah 'kasih sayang' dan kecintaan yang sejati juga disertai dengan mencari keridhaan dan memenuhi keinginan-keinginan mahbub 'yang dicintai'. Apakah mungkin orang mengaku sebagai pecinta Ahlulbait tetapi perbuatan dan perilakunya bertentangan dengan perintah-perintah mereka?

Untuk lebih mengenali orang-orang Syiah yang sejati sebaiknya kita merujuk kepada ucapan para imam suci. Dalam kaitan ini, kami memiliki banyak hadis yang akan kami singgung sebagia contoh. Jabir menukil dari Muhammad Baqir yang mengatakan, "Wahai Jabir! Apakah Syiah itu sudah cukup bila seseorang mengatakan, aku mencintai Ahlulbait. Demi Allah! Bukanlah Syiah kami kecuali orang yang bertakwa dan mematuhi Allah."

Wahai Jabir! Syiah kami tidak dikenali kecuali dengan sifat berikut: rendah hati, khusyuk dalam ibadah, amanah, banyak berzikir dan mengingat Allah, berpuasa, berbuat baik kepada ayah dan ibu, menjaga keadaan para tetangga yang miskin dan fakir, orang-orang yang berhutang, para yatim, yang jujur dan berkata benar, kecuali apabila kebaikan terdapat di balik menentang itu, Syiah kami adalah penyelamat kaum.

Jabir berkata, "Wahai putra Rasulullah! Di masa seperti ini, kami tidak menyaksikan orang yang seperti itu?"

Beliau berkata, "Wahai Jabir! Janganlah engkau ke sana kemari! Apakah sudah cukup bila seseorang menilai, aku mencintai Ali dan menerima wilayah-nya, tetapi tidak satu pun perbuatannya yang menyerupai Ali." Apabila ia berkata, "Aku mencintai Rasulullah saw -padahal Rasulullah saw adalah lebih utama daripada Ali- tetapi tidak mengikuti sirah dan perilaku Rasulullah saw serta tidak melakukan sunnah beliau. Maka, kecintaan kepada Rasulullah saw itu tidak membawa keuntungan baginya. Maka, takutlah kepada Allah dan lakukanlah amal yang saleh. Tidak ada kekeluargaan antara Allah dengan seseorang. Yang paling dicintai dan dimuliakan Allah adalah orang yang paling bertakwa dan taat kepada-Nya. Wahai Jabir! Demi Allah! Kecuali melalui takwa, tidak seorang pun yang dekat kepada Allah. Baralah dari api tidaklah di tangan kami. Tidak seorang pun yang memiliki hujjah di depan Allah. Barangsiapa yang patuh kepada Allah adalah wali dan sahabat kami. Barangsiapa yang menentang perintah Allah adalah musuh kami. Tidak seorang pun yang mencapai wilayah kami kecuali dengan amal saleh dan menjauhi dosa." [120]

Imam Ja'far Shadiq mengatakan kepada Fudzail, "Sampaikan salam kami kepada Syiah kami dan katakan, bahwa kami tidak dapat melakukan sesuatu apa pun di depan Allah untuk kalian, melainkan kalian menjauhi dosa-dosa. Maka jagalah lisan dan tangan kalian dari melakukan dosa. Jadilah kalian ahli sabar dan shalat sebagaimana Allah bersama orang-orang yang sabar." [121]

Imam Shadiq mengatakan kepada Ibn Jundab, "Katakanlah kepada Syiah kami, janganlah engkau pergi ke sana kemari! Demi Allah! Tidak akan mencapai wilayah kami kecuali dengan menjauhi dosa dan berupaya untuk beribadah dan membantu saudara-saudara seagama. Siapa yang menzalimi orang lain bukanlah dari Syiah kami." [122]

Imam Shadiq berkata, "Wahai orang-orang Syiah! Jadilah kalian sebagai penyebab kemuliaan dan penjaga harga diri kami dan janganlah kalian menumpahkan harga diri kami di depan orang lain! Berkatalah mulia kepada masyarakat dan jagalah lisanmu! Hindarilah ucapan-ucapan yang sia-sia dan buruk!"[123]

Imam Ja'far Shadiq berkata kepada Abu Usamah, "Hendaklah engkau menjaga takwa dan menjauhi dosa serta berupaya dalam beribadah dan jujur dalam berbicara dan menunaikan amanah dan berakhlak mulia dan berbuat baik kepada tetangga. Ajaklah manusia dengan selain lisanmu! Jadilah perhiasan kami dan jangan kalian tumpahkan harga diri kami di depan orang lain! Perpanjanglah sujud dan rukuk karena ketika salah seorang dari kalian memanjangkan rukuk dan sujudnya, setan akan berteriak, "Celaka aku! Hamba ini mematuhi Tuhan sementara aku bermaksiat. Ia bersujud sedangkan aku tidak."[124]

Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Berhati-hatilah kalian! Janganlah melakukan perbuatan yang menyebabkan manusia mencela kami karena anak yang buruk dengan perbuatan buruknya telah menumpahkan kemuliaan atau harga diri ayahnya. Untuk orang yang kalian nisbatkan kepadanya, jadilah perhiasan bagi mereka, bukannya menjadi penyebab jatuhnya harga diri dan kemuliaan mereka."[125]

Imam Hasan Askari mengatakan kepada Syiah, "Aku nasehatkan kepada kalian untuk menjaga takwa dan wara' dalam agama, ijtihad untuk Allah, jujur, menunaikan amanat kepada seseorang, berperangai baik, memanjangkan sujud, dan berbuat baik kepada tetangga. Rasulullah diutus untuk hal-hal seperti ini. Shalatlah di masjid Muslimin dan makamkanlah jenazah mereka! Jenguklah yang sakit di antara mereka dan tunaikanlah hak mereka karena tatkala ada di antara kalian yang bertakwa, wara', jujur, menunaikan amanah, dan berperangai baik dengan masyarakat, maka akan dikatakan kepadanya, "Dia adalah Syiah." Di saat itulah, kami merasa bahagia dan bangga. Jadikanlah takwa sebagai bekal dan jadilah kalian perhiasan dan kebanggaan kami. Dengan cara ini, kalian telah mewujudkan landasan bagi kecintaan kami dan cegahlah hal-hal yang menyebabkan buruknya nama kami sebab kami layak untuk menyandang segala kebaikan yang dikatakan dan sebenarnya kami terjauhkan dari keburukan yang dinisbatkan kepada kami. Di dalam Kitab Allah, kami telah dinyatakan disucikan sesuci-sucinya oleh Allah dan kamilah yang dikatakan sebagai zawil qurba, dan tiada orang yang dapat mengklaim seperti ini selain kami, kecuali dia pembohong. Banyaklah berzikir kepada Allah! janganlah kalian melupakan kematian! Perbanyaklah membaca al-Quran dan kirimlah shalawat kepada Nabi saw karena shalawat kepada Rasulullah saw pahalanya adalah sepuluh kali lipat. Laksanakanlah anjuran seperti ini! Aku mengucapkan selamat tinggal kepada kalian dan aku menyampaikan salam kepada kalian." [126]

Imam Shadiq dalam sebuah surat kepada Syiahnya menulis, "Jagalah waktu shalat, khususnya shalat wustha! Shalatlah untuk Allah dan lakukanlah qunut! Allah swt dalam kitab-Nya telah memerintahkan mukminin agar mencintai orang-orang miskin karena siapa saja yang meremehkan, memandang kecil mereka, dan bersombong diri terhadap mereka telah terpeleset atau tergelincir dari agama Allah sehingga Allah marah dan murka terhadapnya. Ayahku, Rasulullah saw, bersabda, "Allah swt memerintahkanku agar aku mencintai orang-orang miskin. Ketahuilah! Barangsiapa yang merendahkan seorang Muslim akan diseret Allah swt kepada keburukan dan kehinaan sehingga masyarakat semakin membencinya dan memusuhinya." [127]

Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Wahai Syiah Keluarga Muhammad! Barangsiapa yang tatkala marah tidak menahan dirinya, tidak bersikap serta berperilaku lembut, baik dengan teman-teman maupun sahabatnya, berkompromi dengan orang-orang yang berkompromi, dan tidak menentang para penentang bukanlah Syiah kami. Wahai Syiah Keluarga Muhammad! Sedapat mungkin peliharalah takwa! Walahaula wala quwwata illa billah!"[128]

Dari hadis-hadis tersebut dan puluhan lainnya yang seperti itu, dapat dipetik beberapa persoalan penting:

1.Hanya menyatakan Syiah dan wilayah Ahlulbait adalah belum cukup untuk membuktikan kesyiahan. Akan tetapi, ciri atau tanda Syiah yang paling penting adalah mengamalkan kewajiban agama dan meninggalkan dosa.

2 Menunjukkan kecintaan kepada Ahlulbait dengan tidak disertai dengan mengamalkan kewajiban dan meninggalkan dosa tidak akan membawa kita menuju kebahagiaan akhirat dan menyelematkan kita dari kebinasaan.

3 Wilayah Ahlulbait tidak akan dicapai kecuali dengan menunaikan kewajiban agama dan meninggalkan maksiat.

4 Barangsiapa yang menaati perintah Ilahi merupakan wali dan sahabat para imam dan barangsiapa yang bermaksiat adalah musuh Ahlulbait meksipun menyatakan berwilayah dengan lisannya.

5 Kunci melepaskan diri dari neraka dan memasuki surga tidak berada di tangan seorang imam pun. Akan tetapi, surga dan neraka bergantung kepada amal manusia itu sendiri.

6 Para imam meminta para pengikutnya agar membuat orang lain berprasangka baik kepada Ahlulbait dan Syiah melalui perbuatan, perilaku, dan akhlak yang baik.

7 Rasulullah saw sendiri dan para imam adalah ahli amal. Mereka begitu serius dalam menunaikan kewajiban dan meninggalkan dosa, bahkan dalam melakukan hal yang mustahab dan meninggalkan yang makruh. Mereka berada di barisan terdepan pada zamannya dalam memelihara akhlak yang baik dan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Mereka juga terpelihara dari akhlak yang buruk.

Muslimin dan Syiah berkewajiban menjadikan orang-orang suci itu sebagai teladan. Mengikuti mereka akan menjaminkan bagi kita kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini tidak akan mungkin kecuali melalui cara yang demikian.


Catatan Kaki:
[1] Al-Mawaqif , jilid 8, hal. 344.

[2] Shirault Haq, jilid 3, hal. 188; Al-babul awwal fi wujubi nashbil Imam Talkhis as-syafi, jilid 1, hal. 65.

[3] QS. At-Taubah: 128

[4] QS. Ahzab: 33.

[5] Shahih Muslim, jilid 4, hal. 18. dari Aisyah, ummul mukminin -semoga Allah merahmatinya- berkata "Nabi saw keluar suatu siang (belum sempurna).

[6] Yanabi' Al-Mawaddah, hal. 125.

[7] Yanabi' Al-Mawaddah, hal. 125.

[8] Ibid.

[9] Majma'uz Zawaid.

[10] Yanabi' Al-Mawaddah , hal. 126.

[11] Ibid

[12] Ghayah al-Muram, jilid 3, hal. 190.

[13] Majma'uz Zawaid, jilid 9, hal. 168.

[14] Ghayah al-Muram, jilid 3, hal. 200.

[15] Ibid.

[16] Majma' az-zawaid jil 9 hal 166.

[17] Majma' zawaid

[18] Tafsir-nur ast-staqalain jil 4, hal 277.

[19] Ghayah-al muram.

[20] Fi Ihtijaj.

[21] Majma' az-zawaid jil 9 hal 146.

[22] QS. Yusuf: 27-29

[23] QS. al-An'am: 145.

[24] QS. An'am : 125.

[25] QS. ATTaubah: 125.

[26] QS. A'raf: 71.

[27] QS. ar-Ra'ad: 11.

[28] QS. Yasin: 82.

[29] QS. Al-Baqarah: 185.

[30] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 199.

[31] Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 2, hal. 257.

[32] Ahlulbait fil Kitab was Sunnah, hal. 113.

[33] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 199.

[34] Dzahairul- uqba hal 17.

[35] Ibid hal 20.

[36] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 92.

[37] Ghayatul Muram, jilid 3, hal. 92.

[38] QS.as-Syuara': 214.

[39] Tarikh Thabari, jilid 2, hal. 320 yang berkata Ali.

[40] Hilyatul Auliya, jilid 1, hal. 128.

[41] Hilyatul Auliya, hal. 127.

[42] Ibid, jilid 1, hal. 104.

[43] Hilyatu Auliya, jilid 1, hal. 104.

[44] Ibid, hal. 106.

[45] Hilyatul Auliya, jilid 1, hal. 107.

[46] Nurul Abshar, hal. 88.

[47] Ghayatul Muram, jilid 5, hal. 338.

[48] Ibid, jilid 5, hal. 283.

[49] Ghayatul Muram, jilid 5, hal 93.

[50] Ibid, jilid 1, hal. 119.

[51] Ibid, jilid 1, hal. 127.

[52] Ibid, jilid 1, hal. 131.

[53] Al-Mustadrak , Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 121.

[54] Ibid

[55] Al-Mustadrak, Hakim Nisyaburi , jilid 3, hal. 128.

[56] QS. Al-Maidah: 67.

[57] Al-Mustadrak, Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 199.

[58] Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 3, hal. 229.

[59] Ibid jil 3 hal 229.

[60] Al-Ghadir jil 1 hal 41-44.

[61] Al-Ghadir , jilid 1, hal. 543-572.

[62] Al Ghadir jil 1 hal 376.

[63] Al Ghadir jil 1 hal 397.

[64] Al ghadir jil 1 hal 398.

[65] Al-Ghadir, jilid 1, hal. 399.

[66] Ibid, jilid 1, hal. 400-414.

[67] Al-Mustadrak , Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 109.

[68] Al-Ghadir, jilid 1, hal. 641.

[69] QS. Al-Maidah: 67.

[70] Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 3, hal. 229.

[71] QS. Al-Ahzab: 6.

[72] QS.Al-Maidah: 67.

[73] Al-Ghadir, jilid 1, hal. 508. (menukil dari kitab al-Wilayah, Muhammad bin Jarior Thabarsi).

[74] QS. Al-Maidah: 3.

[75] Al -ghadir jil 1 hal 105.

[76] Al bidayah wan nihayah jil 3 hal 229.

[77] Al ghadir jil 3 hal 329 ( menukil dari kitab adz-dzurrul nadzim jil 1 hal 116.)

[78] Al-Ghadir, jilid 3, hal. 400.

[79] Al-Bidayah wan Nihayah, jilid 5, hal. 243.

[80] Shahih Muslim jil 3 hal 1259.

[81] Shahih muslim jil 3 hal 1259.

[82] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 12, hal. 21.

[83] Al-Irsyad, jilid 1, hal. 184.

[84] Syarah Nahjul Balagah, jilid 1, hal. 163.

[85] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 39.

[86] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 2, hal. 25.

[87] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 25.

[88] Al-Kamil fit Tarikh, jilid 2, hal. 325; Syarah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 22.

[89] Tarikh Thabari, jilid 3, hal. 322.

[90] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 2, hal. 174.

[91] Ibid, jilid 2, hal. 23.

[92] Ibid, jilid 2, hal. 26.

[93] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 2, hal. 21.

[94] Syarah Nahjul Balagahah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal 57.

[95] Ibid, jilid 2, hal. 57.

[96] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 57.

[97] QS. An-Nisa: 59.

[98] Shahih muslim jil 3 hal 1452.

[99] Shahih Muslim, jilid 3, hal. 1453.

[100] Shahih Muslim, jilid 3, hal. 1453.

[101] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 113.

[102] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 113.

[103] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 163.

[104] Ghayah al muram jil 1 hal 193.

[105] QS. Al-Ahzab:6

[106] Ghayah al muram jil 1 hal 194.

[107] Ghayah al muram jil 1 hal 216.

[108] QS. Al-Fath: 29.

[109] Jami'u Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 103.

[110] Ghayatul Muram, jilid 2, hal. 162.

[111] Ibid, jilid 2, hal. 239.

[112] Ibid, jilid 2, hal. 240.

[113] Ghayatul Muram, jilid 1, hal. 193.

[114] Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 3, hal. 26.

[115] Musnad Ahmad, jilid 3, hal. 27.

[116] Al-Jami Ash-Shahih, Tirmidzi, jilid 5, hal. 663.

[117] Al-Mustadrak, Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 150.

[118] Ibid, hal. 151.

[119] Al-Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 226.

[120] Kafi, jilid 2, hal. 740.

[121] Misykatul Anwar, hal. 44.

[122] Tuhaful Uqul, hal. 413.

[123] Misykatul Anwar, hal. 67.

[124] Kafi jil 2 hal 77.

[125] Ibid jil 2 hal 219.

[126] Tuhaful Uqul, hal. 313.

[127] Thuhaful Uqul, hal. 313.

[128] Ibid, hal. 401.

12
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Bagian Tiga

Biografi Pendek dari Kehidupan para Imam as

Nama dan Ciri-Ciri Khusus Keutamaan dan Kesempurnaan

Dalil Imamah IMAM PERTAMA: IMAM ALI BIN ABI THALIB AS
Imam yang pertama adalah Imam Ali. Ia lahir pada hari ke-13 bulan Rajab, tiga puluh tahun setelah Tahun Gajah, di Makkah, yakni di dalam Baitullah Haram. Nama ayahnya adalah Abu Thalib dan nama ibunya adalah Fatimah binti As'ad. Nama panggilannya adalah Abu Turab, Abul Hasan, Abul Husain, Abus Sibtain, dan Abur Raihanatain. Laqob-nya 'sebutannya' adalah Amirul Mukminin, Sayyidul Muslimin, Imamul Muttaqin, dan Sayyidul Aushiya.[1]

Imam Ali terkena pukulan di malam ke-19 bulan Ramadhan tatkala menunaikan shalat shubuh di Masjid Kufah, di tangan Ibn Muljam Muradi. Imam Ali syahid di malam ke-21 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Jasad sucinya ditanamkan di luar Kufah (Najaf sekarang).[2]


Ali as di Masa Rasulullah saw
Mengkaji secara detail dan terperinci kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib memerlukan puluhan jilid kitab dan dalam kesempatan yang pendek serta halaman yang terbatas ini, adalah tidak mungkin untuk melakukan hal itu. Namun, untuk mengetahui riwayat kehidupannya, adalah diperlukan singgungan walaupun pendek.
Pada usianya yang ke-6, atas usulan Rasulullah saw, Ali dipindahkan dari rumah ayahnya, Abu Thalib, ke rumah Rasulullah dan langsung berada di bawah asuhan dan pengawasan Rasulullah. Di situlah, beliau dididik dan dibekali ilmu. Di masa itulah, Ali mengambil pelajaran dari akhlak dan perilaku Rasulullah saw. Di masa iktikaf Rasulullah saw di Gua Hira, pada umumnya, Rasulullah bersama Ali dan Ali menyaksikan kesan wahyu dan nubuwah.[3]

Ia adalah lelaki pertama yang menerima Islam dan mendirikan shalat bersama Rasulullah saw. Di masa itu, beliau berusia 10 tahun. [4]

Dalam peristiwa-peristiwa sulit dan penuh derita di awal risalah, beliau senantiasa berada dalam pengabdian kepada Rasulullah saw dan beliau menjadi teman dan penolong yang terbaik bagi Rasulullah saw. Beliau juga hadir dalam pemboikotan ekonomi, sosial dan politik yang dilakukan Musyrikin dan hadir di Syi'ib Abu Thalib. Di masa ketika jiwa Rasulullah saw terancam oleh musuh dan ditetapkan bahwa Rasulullah harus hijrah ke Madinah, Imam Ali tidur di tempat tidur Rasulullah dan menjadikan nyawanya sebagai perisai Rasulullah (lailatul mabit). Beliau mendapat tugas dari Rasulullah saw untuk menyempurnakan sebagian pekerjaan yang belum terselesaikan oleh Rasulullah manakala hijrah ke Madinah bersama beberapa wanita.[5]

Rasulullah saw di Madinah menjalin akad persaudaraan dengan Ali as.[6] Pada tahun ke-2 Hijriah, beliau mendapatkan kebanggaan sebagai menantu Rasulullah saw dan menikahi Fatimah, wanita terbaik di dunia.[7]

Di saat itu, Imam Ali adalah pemuda yang kuat dan pemberani serta siap melakukan difa' 'pembelaan' dan jihad. Beliau hadir di semua pertempuran dan bertempur dengan penuh keberanian serta membantai musuh-musuh Islam.

Beliau memainkan peranan paling besar dalam membawa kemenangan Islam pada perang melawan orang-orang kafir dan Musyrikin.[8]
Rasulullah saw, di masa risalah, memberikan dua misi yang amat berat dan penting kepada Ali. Pertama, beliau ditugaskan untuk menulis ayat-ayat dan surah-surah al-Quran, mengumpulkan dan menyusun semuanya, mempelajari, menghafal, dan memelihara ilmu, makrifah serta hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.

Ali menunaikan kewajiban penting ini dengan bantuan sang istri dan di bawah pengawasan langsung Rasulullah saw.


Ali Pasca-Rasulullah saw
Tatkala Rasulullah saw wafat, Ali berusia 33 tahun. Di masa hidupnya yang mulia, Rasulullah saw berkali-kali mengumumkan kedudukan khilafah dan imamah Ali as. Oleh sebab itulah, sepeninggal Rasulullah, jabatan khilafah dan imamah dipindahkan kepada beliau. Sesuai dengan nash ini, Ali adalah khalifah langsung setelah Rasulullah dan masyarakat berkewajiban menyiapkan landasan bagi terwujudnya khilafah dan imamah. Namun, disesalkan adanya sekelompok orang yang haus kekuasaan sehingga mengabaikan anjuran dan nash Rasulullah saw tersebut. Dengan berbagai alasan yang tidak tepat, di antaranya usia yang terlalu muda, Ali disingkirkan dari maqom khilafah dan mereka membaiat Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, Umar menjadi khalifah. Setelah Umar, Usman menjadi khalifah. Masa kekhilafahan mereka adalah dua puluh empat tahun dan beberapa bulan.

Selama masa itu, meskipun memandang khilafah sebagai haknya yang sah -dalam rangka menjaga Islam, Imam menghindari segala tindakan keras atau ucapan yang memecah-belah umat. Beliau, di masa itu, bukan hanya tidak menentang tetapi -pada saat-saat ia diperlukan-memberikan bantuan kepada para pejabat pemerintah dan tidak enggan memberikan bantuan dalam bentuk saran, musyawarah, petunjuk, bantuan-bantuan ilmiah, dan kebudayaan.

Hanya saja selama itu beliau begitu bersungguh-sungguh dalam menyebarluaskan ilmu, makrifah, hukum, dan undang-undang asli Islam serta melambangkan manusia-manusia sempurna dan mulia.

Pada tahun 35 Hijriah, Usman terbunuh akibat pemberontakan sekelompok Muslimin. Setelah Usman terbunuh, Muslimin dengan hasrat yang besar, kemauan sendiri, dan kemauan yang keras membaiat Ali bin Abi Thalib dan memilihnya sebagai maqom khilafah dan sebagai imam.[9]

Sejak itulah, khilafah berada di jalur yang benar dan diharapkan dengan kepemimpinan Imam Ali as dan kerjasama para sahabat yang ikhlas, kekurangan-kekurangan yang lalu dapat dipenuhi dan tujuan-tujuan Rasulullah saw dapat dilanjutkan. Namun sayang, hal itu tidak tercapai, bahkan sikap pro-keadilan dan anti-diskriminasi Imam Ali as -yang merupakan kehendak Islam dan sirah Rasulullah saw yang sebenarnya- tidak sesuai dengan cita rasa orang-orang yang haus kekuasaan yang pada masa sebelumnya terbiasa dengan hal itu. Meskipun merupakan bagian dari mereka yang membaiat, dari sejak awal, mereka telah mengibarkan bendera penentangan dan menghadapkan pemerintahan baru al-Alawi yang adil ini dengan tiga perang yang destruktif: Jamal, Shiffin, dan Khawarij. Ali yang dihadapkan kepada perang internal yang dipaksakan itu tidak memiliki jalan lain kecuali membela dan memadamkan fitnah.

Akhirnya, beliau sebagai manifestasi keadilan Ilahi tidak diberikan peluang untuk menempatkan pemerintahan di jalur keinginan-keinginan asli Islam dan sirah Rasulullah saw, yakni menuntut keadilan, persamaan, menghilangkan diskriminasi, mengurangi kesenjangan sosial, dan membela orang-orang miskin serta yang tertindas.

Akhirnya karena "dosa" mencintai keadilan ini, Imam Ali ditikam pedang dari belakang oleh seorang antek munafik dan suara indah syahid mihrab ibadah yang memberikan harapan keadilan ini padam untuk selamanya. Untuk mengkaji tiga perang yang sangat destruktif ini, diperlukan waktu lebih banyak sehingga tidak cukup di dalam beberapa halaman pada buku ini dan bagi yang berminat dapat merujuk kepada kitab kitab yang terkait.


Nash-Nash Imamah
Sebelum ini, kami telah mengatakan bahwa banyak sekali dalil dan indikasi imamah. Semuanya yang dapat dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama adalah dalil-dalil yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah setiap imam yang akan kami hindari pengulangannya di sini.

Bagian kedua adalah dalil-dalil khusus, yakni nash-nash yang setiap imam mengeluarkannya untuk membuktikan imam berikutnya. Dalam menjelaskan kondisi atau keadaan para imam, termasuk Imam Ali, kami hanya menggunakan jenis dalil ini.

Sebagaimana yang sebelumnya kami katakan bahwa Rasulullah saw sepanjang masa risalahnya telah mewujudkan landasan bagi imamah Imam Ali as. Rasulullah saw berkali-kali menghitung keutamaan dan kemuliaan Ali. Selain itu, Nabi saw memberitahukan imamah dan khilafah-nya serta menasehatkan para sahabatnya agar mengikuti Ali. Di akhir hidupnya, tepatnya pada saat haji wada di Ghadir Khum, Rasulullah secara resmi menunjuk Ali sebagai wali-nya.

Memperhatikan penjelasan sebelumnya sebagai contoh, kami telah mengisyaratkan beberapa hadis dan memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu. Oleh karena itulah, kami menghindari untuk mengulanginya. Yang berminat dapat merujuknya kepada pembahasan-pembahasan yang lalu dan kitab- kitab yang terkait.


Keutamaan dan Kemuliaan Akhlak
Menurut kesaksian kitab-kitab hadis dan sejarah, Imam adalah seorang manusia yang sempurna dan manisfestasi dari semua keutamaan dan kemuliaan. Itu pun dalam batas yang tinggi dan terbaik serta terpelihara dari semua keburukan dan kesalahan.

Walaupun musuh-musuh mencegah tersebarnya keutamaan beliau dengan disebarluaskannya fitnah dan caci-maki selama bertahun-tahun dalam khutbah di mimbar-mimbar -ditambah dengan para sahabatnya yang takut untuk mengutarakan keutamaannya karena takut kehilangan nyawa, bahkan seringkali karena tuduhan Syiah, mereka terbunuh- kitab-kitab Ahlus Sunnah dan Syiah dipenuhi oleh keutamaan dan kemuliaan serta manaqib beliau.

Muhammad bin Mansur Thusi berkata, "Aku mendengar dari Ahmad bin Hambal yang berkata, "Semua keutamaan dan kemuliaan yang dikatakan bagi Ali as tidak satu pun datang bagi sahabat Rasulullah saw."[10]

Ashbagh bin Nabatah mengatakan, "Suatu hari Dharar bin Hamrah menjumpai Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah berkata kepadanya, "Sifatilah Ali untukku!" Ia berkata, "Maafkanlah aku untuk ini." Ia berkata, "Tidak! Engkau harus menyifatinya!" Dharar berkata, "Semoga Allah merahmati Ali! Ketika berada di antara kami, ia bagaikan salah seorang dari kami dan ketika kami datang menjumpainya, ia mendekatkan kami ke sisinya. Apabila kami bertanya, ia menjawab dan manakala kami menziarahinya, ia menerima kami dan tidak ada penghalang atau hijab di antara kami. Walaupun beliau menerima kami di sisinya, kami tidak berani berbicara karena saking berwibawanya beliau. Ia bagaikan mutiara yang teratur." Muawiyah berkata, "Lanjutkan lagi!" Dharar berkata, "Semoga Allah merahmati Ali! Demi Allah! Malam harinya beliau banyak terjaga dan tidurnya sedikit. Siang dan malam, beliau membaca al-Quran. Beliau memasrahkan hatinya kepada Allah dan dengan cucuran air mata, beliau kembali kepada Allah. Tidak ada tirai antara dirinya dengan Allah dan beliau tidak pernah mencegah kami untuk menemuinya. Dalam pertemuan-pertemuan, beliau sangat enggan menyandarkan diri ke sandaran yang nyaman dan untuk tidak bersandar begitu, adalah mudah bagi beliau. Wahai Muawiyah! Seandainya engkau menyaksikan Ali di kegelapan malam, ketika beliau memegang janggutnya, dan seperti orang yang digigit ular, berputar, menangis dan berkata, "Wahai Dunia! Engkau mengejarku! Aku tidak memerlukan dirimu dan aku menceraikanmu tiga kali." Setelah itu, beliau mengatakan, "Oh… oh! Perjalanan yang jauh dan sedikitnya bekal serta sulitnya perjalanan!"

Ashbagh bin Nabatah berkata, "Di saat itu, Muawiyah menangis dan berkata, "Cukup! Wahai Dhirar! Demi Tuhan! Ali memang seperti itu. Semoga Tuhan merahmati Abal Hasan."[11]

Sa'id bin Kultsum berkata, "Aku berada di sisi Imam Ja'far Shadiq. Lalu muncullah pembicaraan tentang Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau sangat memujinya dan berkata, "Demi Allah! Ali bin Abi Thalib sepanjang usianya tidak makan makanan haram sedikit pun. Apabila dua perkara mubah datang, ia memilih apa yang lebih baik bagi agamanya. Tidak ada peristiwa sulit yang dialami Rasulullah kecuali Rasulullah memanggil Ali karena mempercayai Ali. Tidak seorang pun yang berkemampuan melakukan amalan Rasulullah saw kecuali Ali. Amalan Imam Ali sedemikian rupa sehingga seolah-olah beliau berada di antara surga dan neraka. Beliau senantiasa optimis dengan surga dan takut dengan siksa neraka. Sepanjang usianya, beliau membeli seribu budak dan kemudian membebaskan mereka di jalan Allah dengan uang pribadi hasil jerih payahnya. Makanan Ali dan keluarganya adalah zaitun, cuka, dan kurma. Pakaiannya hanyalah dari Karbas (kain kasar)."[12]


Ilmu Imam Ali as
Sebelumnya telah dikatakan, bahwa Rasulullah saw menerima tugas dari Allah swt untuk mengajarkan ilmu makrifat kepada Ali. Rasulullah saw sepanjang masa risalahnya, secara berkesinambungan mengamalkan hal ini. Dengan bantuan Ilahi dan pengawasan Rasulullah saw, Ali menghafal semua ilmu. Lalu atas pesan dan perintah Rasulullah, beliau menuliskannya bagi para imam setelah beliau. Dengan cara inilah, telah tersedia kitab-kitab sehingga Ali dapat dikategorikan sebagai penyimpan ilmu nubuwah.

Rasulullah saw berkali-kali memuji kedudukan ilmu Ali as. Di antaranya dalam sebuah hadis, beliau mengatakan, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu ilmu. Barangsiapa yang menghendaki ilmu harus memasukinya melalui pintunya."[13]

Para sahabat Rasulullah saw mengakui kedudukan ilmu Imam, khususnya dalam urusan pengadilan. Abu Hurairah dari Umar bin Khatab menukilkan bahwa dalam urusan pengadilan, Ali adalah yang paling alim daripada yang lain.[14]

Sua'id bin Musabbab mengatakan, "Umar senantiasa berlindung kepada Allah dari problema yang Abul Hasan tidak berada di sana."[15]
Al-Qomah menukil dari Abdullah yang berkata, "Di antara kami dikatakan, Ali bin Abi Thalib, dalam urusan pengadilan, adalah lebih berilmu daripada semua warga madinah (kota)."[16]

Aban bin Ayyas mengatakan, "Aku bertanya kepada Hasan Bashri tentang Ali as. Ia mengatakan, "Apa yang harus aku katakan tentangnya? Dia paling dahulu dalam memeluk Islam. Keutamaan ilmu serta fikih dan pandangannya tiada tertutup bagi siapa pun. Ia selalu bekerjasama dengan Rasulullah saw. Keberanian, zuhud, serta pengenalannya dengan persoalan pengadilan dan kekeluargaannya dengan Rasulullah saw tiada dapat dipungkiri." [17]

Ibn Abbas mengatakan, "Ilmu Rasulullah saw berasal dari ilmu Allah dan ilmu Ali dari ilmu Rasulullah saw; dan ilmuku dari ilmu Ali; dan ilmuku serta para sahabat lainnya dibanding dengan ilmu Ali adalah seperti setetes air dibanding tujuh lautan."[18]

Ibn Abbas mengatakan, "Setiap kali ada orang yang dapat dipercaya untuk menukilkan fatwa adalah Ali as. Maka, kami tidak berani melangkahinya."[19]

Udzainah Abdi mengatakan, "Aku bertanya kepada Umar mengenai menunaikan Umrah. Dari mana aku mesti memulai ihram?" Ia berkata, "Tanyalah kepada Ali!"[20]

Abu Hazim berkata, "Seorang lelaki datang menjumpai Muawiyah dan menanyakan suatu persoalan. Dalam jawabannya, Muawiyah berkata, "Tanyalah kepada Ali sebab dia adalah yang paling alim." Lelaki itu berkata, "Jawabanmu lebih baik di sisiku daripada jawaban Ali." Muawiyah berkata, "Engkau berkata buruk! Engkau menyatakan kebencian terhadap seseorang yang Rasulullah telah ajarkan kepadanya ilmunya dan berkata, "Kaitanmu denganku adalah seperti Harun kepada Musa, kecuali setelah aku, tidak akan ada nabi." Umar pun dalam menyelesaikan persoalan merujuk kepada Ali."[21]


Sumber Semua Ilmu
Ibn Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah -dalam kaitan dengan keutamaan, kesempurnaan, dan keluasan ilmu Ali as- memiliki pembahasan yang padat dan patut disebutkan di sini.

Dalam menjelaskan ilmu, Abil Hadid menuliskannya demikian, "Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata air ilmu. Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama."

Salah satu ilmunya yang paling mulia adalah ilmu Ilahi (mabda' dan ma'ad) yang bersumber dari ucapan Imam Ali as.
Mu'tazilah mengambil ilmunya dari Washi bin Atha' dan dia adalah murid Abu Hasyim, dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi, dan Muhammad mengambil ilmunya dari ayahnya yang bernama Ali bin Abi Thalib.

Asy'ariah dinisbatkan kepada Ismail bin Abi Baysar Asy'ari yang merupakan murid Abu Ali Jubai. Nama terakhir merupakan salah seorang pemuka Mu'tazilah. Maka, Asy'ariah akhirnya juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Adapun penisbatan ilmu Ilahi Imamiyah dan Zaidiyah kepada Ali bin Abi Thalib adalah suatu perkara yang jelas.

Dalam ilmu fikih, Ali merupakan sumber dan mata air. Semua ahli fikih adalah murid beliau dan menggunakan fikihnya. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf, Muhammad, dan orang-orang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi'i juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi'I, pada akhirnya, juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga belajar dari Ja'far bin Muhammad sementara ilmu Imam Ja'far Shadiq berasal dari ayahnya yang melalui jalur ini berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib.

Malik bin Anas dalam ilmunya adalah murid Rabiah ar-Ra'yu sedangkan Rabiah adalah murid Akramah. Akramah sendiri adalah murid Abdullah bin Abbas sementara Ibn Abbas adalah murid Ali bin Abi Thalib. Adapun marjaiyah fikih Imam Ali as bagi umat Syiah adalah suatu perkara yang jelas.

Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas adalah di antara para ahli fikih yang belajar dari ilmu Ali. Bahwa Ibn Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia merujuk kepada Ali. Dalam kaitan ini, Umar berkata, "Seandainya tidak ada Ali, Umar pasti celaka." Ia juga berkata, "Aku tidak akan dapat tenang jika tidak ada Abul Hasan." Ia juga berkata, "Tidak seorang pun memberikan fatwa di masjid sementara Ali berada di situ." Maka, adalah jelas fikih berujung kepada Ali as.

Ammah dan Khassah menukil dari Rasulullah saw yang berkata, "Aqdhakum Ali," sementara qadha adalah fiqih. Oleh karena itulah, Imam Ali as merupakan orang yang paling paham atas fikih di antara yang lain.

Begitu juga, masyarakat umum dan khusus meriwayatkan bahwa ketika mengutus Ali ke Yaman untuk mengadili suatu urusan, Nabi saw bersabda, "Ya Allah! Berilah petunjuk kepada hatinya dan tetapkanlah lisannya." Imam Ali berkata, "Setelah itu dan berkat doa itu, aku tidak pernah ragu dalam memberikan keputusan dalam pengadilan."

Ilmu tafsir juga berujung kepada Ali. Apabila merujuk kepada kitab-kitab tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar persoalan dinukil dari beliau atau dari ibn Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada ibn Abbas, "Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali as." Dia berkata, "Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan lautan samudra."

Ilmu tarekat, hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Ulama irfan di semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali as, seperti Syabli, Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi. Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya kepada Ali bin Abi Thalib.

Ilmu nahwu (tatabahasa) dan bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Ali. Imam Ali-lah yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada Abu al-Aswad Duali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abu al-Aswad mengenai kalam 'kata' terbagi menjadi tiga: ism 'nomina', fi'il 'verba', dan huruf 'preposisi' dan beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah 'definitif' atau nakirah 'indefinitif'. Selain itu, beliau mengatakan bahwa i'rab ada empat jenis: rafa', nashab, jar, dan jazam.

Ucapan Imam Ali as ini bagaikan mukjizat karena mengklasifikasi kalimat 'kata' untuk manusia biasa adalah tidak mungkin.[22]

Untuk mengenal ketinggian ilmu Imam Ali as, kita dapat merujuk kepada kitab Nahjul Balaghah. Menurut kesaksian para cendekiawan, setelah alQuran, kitab ini adalah kitab ilmiah yang paling kaya. Kita juga dapat merujuk kepada ratusan, bahkan ribuan hadis yang ada di berbagai bidang, yang dinukil dari Imam dan tercatat dalam kitab-kitab hadis.

13
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Ibadah Ali as
Imam Ali adalah ahli ibadah yang paling besar di zamannya, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas ibadah, yakni keikhlasan, perhatian atau kosentrasi hatinya, dan penyaksian terhadap Tuhan.

Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas."[23]

Di tempat lain, Imam Ali as berkata, "Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan rakus terhadap pahala, melainkan karena melihat Engkau pantas disembah." [24]

Seseorang datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Apakah engkau melihat Allah sehingga engkau menyembah-Nya?" Beliau berkata, "Celaka Engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?" Orang itu bertanya, "Bagaimana engkau melihat-Nya?" Imam menjawab, "Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman."[25]

Qusyairi menulis, "Tatkala waktu shalat telah tiba, warna wajah Imam Ali bin Abi Thalib berubah dan tubuhnya bergetar. Imam ditanya, "Mengapa keadaan Anda berubah seperti ini?" Beliau berkata, "Tiba saat menunaikan amanah yang diberikan Allah terhadap langit, bumi, dan gunung dan semuanya menolak. Namun, manusia yang lemah menerimanya. Aku takut, apakah dapat menunaikan amanah ini atau tidak?"[26]

Imam Sajjad membaca sebuah buku yang mencatat ibadah Imam Ali lantas beliau menaruh buku itu di atas meja dan berkata, "Siapakah yang mampu beribadah seperti Ali?"[27]

Ibn abbas mengatakan, "Dua unta dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah berkata kepada para sahabat, "Aku akan menghadiahkan salah satu unta ini kepada orang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan konsentrasi hati yang penuh sehingga selama dua rakaat itu, ia sama sekali tidak memikirkan urusan duniawi." Dalam hal ini, tiada seorang pun yang sanggup kecuali Ali. Kemudian Rasulullah menghadiahkan kedua unta itu kepada Ali."[28]

Habbah Arani berkata, "Suatu malam, aku dan Nauf tidur di halaman Darul Imarah. Di sini, kami menyaksikan Imam Ali as seperti manusia yang dalam keadaan gundah dan gelisah. Ia meletakkan tangannya di dinding seraya membaca ayat, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan seterusnya dengan diulang-ulangi dan berjalan seperti manusia gila. Imam berkata kepadaku, "Wahai Habbah! Apakah kamu tidur atau terjaga?" Aku menjawab, "Aku terjaga. Kalau Anda berbuat demikian, lalu apa yang harus kami lakukan?" Imam Ali mulai menangis dan berkata, " Wahai Habbah! Allah lebih dekat kepada kita daripada urat leher. Tiada sesuatu pun yang membatasi kita dari Allah."

Kemudian, beliau berkata kepada Nauf, "Barangsiapa yang meneteskan air mata lantaran takut kepada Allah maka dosa-dosanya akan diampuni. Wahai Nauf! Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah dan cinta serta kebenciannya hanyalah karena Allah maka tiada seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya. Wahai Nauf! Barangsiapa yang kecintaannya di jalan Allah maka tidak akan melebihkan kecintaan yang lain di atas kecintaannya itu dan barangsiapa yang kebenciannya di jalan Allah maka kebenciannya tidak berada di jalan kepentingan pribadi. Maka dengan cara inilah, hakikat keimanannya menjadi sempurna."

Kemudian beliau menasehati kedua orang itu dan di bagian akhir, beliau berkata, "Takutlah kepada Allah!" Kemudian ia bergerak dan berkata, "Ya Allah! Aku tidak tahu apakah Engkau berpaling dariku atau Engkau menyayangiku? Andai saja aku tahu, dalam kondisi lalai yang panjang dan sedikitnya syukur ini, bagaimana keadaannku!"

Habbah berkata, "Demi Tuhan! Beliau dalam kedaan seperti itu hingga terbit fajar."[29]

Malam hari ketika berdiri di mihrab ibadah, Imam Ali memegang janggutnya dan seperti orang yang tersengat ular, ia berputar dan menangis tersedu-sedu seraya berkata, "Wahai Dunia! Menjauhlah dariku! Apakah engkau datang kepadaku? Bukan saatnya untukmu! Lihat! Tipulah selain aku! Aku tidak memerlukan kamu! Aku menceraikanmu tiga kali! Kehidupanmu pendek dan nilaimu sedikit sementara harapanku terhadapmu sedikit."

Muawiyah kepada Dhirar bin Dhamrah berkata, "Sifatilah Ali untukku!" Dhirar berkata, "Aku menyaksikan Ali di beberapa tempat dalam kegelapan berkata, "Oh, betapa sedikitnya bekal, jauhnya perjalanan, besarnya tujuan, dan sulitnya kedudukan."[30]


Zuhud Ali
Zuhud artinya ketiadaan keterikatan dengan urusan dunia, seperti harta, kedudukan, jabatan, dan anak serta wanita. Imam Ali as adalah ahli zuhud yang paling agung. Hasan bin Shalih berkata, "Di majelis, Umar bin Abdul Azis memunculkan pembahasan tentang zuhud. Setiap orang meyakini seseorang sebagai ahli zuhud yang sesungguhnya sedangkan Umar bin Abdul Azis berkata, "Orang yang paling zuhud di dunia adalah Ali bin Abi Thalib."[31]

Sufyan berkata, "Ali sepanjang hidupnya tidak pernah membangun (menyusun batu bata) dan membangun atap sedangkan makanannya datang dari Madinah."[32]

Ibn Abbas berkata, "Ali as di masa kekhilafahannya membeli satu pakaian senilai tiga dirham dan memakainya."[33]

Ashbagh berkata, "Ali pergi ke pasar untuk membeli selembar pakaian. Ia membeli dua helai: satu dengan harga tiga dirham dan satu lagi dengan dua dirham. Ia berkata kepada ghulam-nya yang bernama Qanbar, "Engkau kenakanlah pakaian yang harganya tiga dirham dan yang harganya dua dirham untukku." Qanbar berkata, "Pakaian yang tiga dirham lebih patut untukmu karena engkau naik ke mimbar dan membaca khutbah untuk manusia." Beliau berkata, "Engkau masih muda dan pakaian ini lebih baik untukmu. Aku malu kepada Allah kalau pakaianku lebih baik daripada pakaianmu."[34]

Imam Shadiq berkata, "Imam Ali ketika makan paling mirip dengan Rasulullah saw. Beliau makan roti, cuka, dan zaitun. Beliau memberikan makanan berupa roti dan daging kepada orang."[35]

Ja'far bin Muhammad mengatakan, "Mereka membawa makanan untuk Ali as yang terbuat dari kurma, kismis, dan minyak. Imam Ali melarang untuk memakannya. Lalu dikatakan, "Apakah engkau melihat makanan ini haram?" Beliau berkata, "Tidak! Bukan haram. Namun, aku khawatir terbiasa dengan enaknya makanan ini." Kemudian beliau membaca ayat, Kamu telah menghabiskan rejekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja).[36]

Suwaid bin Ghaflah mengatakan, "Pada hari raya, aku menjumpai Ali. Aku melihat sufrah-nya terhampar, roti gandum hitam terdapat di sufrah-nya, dan wadah yang penuh dengan makanan (harirah) yang dimakan dengan sendok. Aku berkata, "Wahai Imam Ali! Hari raya dan makanan harirah!" Beliau berkata, "Hari raya adalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni."[37]


Hakim yang Zuhud
Ali bin Abi Thalib, selain dalam kehidupan pribadinya, adalah ahli zuhud. Beliau melihat bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, "Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan." [38]

Imam Ali bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, "Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?" Beliau berkata, "Pakaian yang dijadikan contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu', menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya."[39]

Imam Ali dalam sebuah surat kepada Usman bin Hunaif menuliskan, "Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah 'cukup puas' dengan dua pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun, kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah 'kesucian diri' dan kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikit pun dan dari ghanimah 'harta rampasan perang', aku tidak menyimpan sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan? Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa depannya."[40]

Di bagian lain dari surat yang sama, beliau berkata, "Apabila meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada pelbagai jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yamaman tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara di sekelilingku, ada perut-perut yang lapar dan kerongkongan-kerongkongan yang haus."[41]


Orang Kaya yang Zuhud
Mungkin orang yang mendengar zuhudnya Imam Ali berpikiran bahwa Ali adalah seorang pengangguran, penyendiri, miskin, dan berpakaian kotor. Kezuhudannya dikarenakan kemiksinannya itu. Dengan kata lain, mereka berpikiran bahwa ia melepaskan dunia dan duduk di sudut hanya untuk beribadah. Asumsi itu adalah tidak benar. Imam Ali adalah seorang yang berkemampuan dan pekerja keras. Ia adalah seorang petani yang berbakat dan berpikiran jauh ke depan.

Di masa Rasulullah saw masih hidup, apabila tidak berada dalam peperangan, beliau mengisi waktu kosongnya dalam pertanian, perkebunan, penggalian sumur, pembuatan kanal, dan penanaman pohon kurma. Melalui jalan inilah, beliau memakmurkan perkebunan dan ladang kurma. Sepeninggal Rasulullah saw, di masa khalifah-khalifah yang tiga, beliau juga tidak menyendiri dan menganggur. Beliau mengisi waktu kosongnya dengan menjaga ladang atau kebun serta adakalanya memperluas kebun.

Dari ladang pertanian dan kebun kurma, beliau mendapatkan penghasilan yang melimpah. Namun, di saat yang sama, beliau tidak terikat dengan harta dunia. Beliau tidak membelanjakan hartanya untuk melawan hidup dan memperbaiki kualitas apa yang dimakan atau pakaian keluarganya. Beliau tidak menumpuk untuk masa depan dan anak-anaknya. Beliau sangat zuhud dengan makanan dan pakaian pribadinya. Beliau membelanjakan hartanya di jalan Allah. Beliau membeli ratusan budak lalu membebaskannya dan mewakafkan hartanya untuk kebajikan sosial.

Dituliskan bahwa Imam Ali, dalam setahun, mendapatkan penghasilan seribu dinar dari Gahllah. Namun, beliau menyedekahkan semuanya kepada fakir miskin.[42]

Imam Shadiq berkata, "Ketika membagikan ghanimah, Rasulullah saw memberikan sebidang tanah kepada Ali as. Imam menggali sumur di tanah itu. Kebetulan sumur galian beliau sampai ke mata air, yang seperti leher unta, airnya mengalir deras. Dari situlah, beliau menamakan sumber air itu dengan yambu' 'sumur artezin'. Imam Ali diberi kabar gembira bahwa air sumurnya begitu melimpah. Beliau berkata, "Berilah berita gembira kepada pewarisnya karena kusedekahkan sumur ini kepada hujaj 'jemaah haji' Baitullah dan mereka yang lewat. Sumur ini adalah wakaf, tidak dijual, tidak dihadiahkan untuk seseorang, dan juga tidak diwariskan kepada anak anak. Barangsiapa yang menjualnya atau menghibahkannya maka laknat Tuhan kepadanya dan amalnya tidak akan diterima Allah." [43]

Ketika meninggal, beliau berwasiat agar membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah, sebagian untuk anak-anak Fatimah, sebagian untuk anak-anak belia yang berasal dari selain Fatimah, sebagian untuk Bani Hasyim, dan sebagian untuk anak-anak Abdul Muthalib.[44]


Ali dan Pembagian Ghanimah (rampasan perang)
Berikut inilah cara Imam Ali as dalam membagikan rampasan perang:

Pertama, Imam Ali as memandang rampasan perang sebagai harta milik masyarakat yang pada masa itu mayoritas miskin dan memerlukan makan. Oleh karena itulah, setiap kali datang rampasan perang, beliau konsisten untuk membagikannya secara langsung kepada masyarakat dan selagi belum membagikannya, beliau tidak dapat merasa tenang.

Kedua, beliau membagikan harta yang ada dengan menjaga keadilan dan sama rata di antara masyarakat. Beliau tidak mengutamakan kaum bangsawan dan orang-orang kuat di atas orang-orang tertindas. Beliau memiliki keyakinan bahwa pembagian baitul-mal tidak boleh mewujudkan kesenjangan sosial.

Pada hari kedua baiat, beliau membacakan khutbah dan berkata, "Kalian adalah hamba Allah dan harta ini adalah milik Allah, dan dibagikan dengan sama kepada kalian. Tidak seorang pun yang lebih utama daripada yang lain dan manusia-manusia yang bertakwa pada hari kiamat akan menerima pahala atau ganjaran yang terbaik di sisi Tuhan. Allah swt tidak menjadikan dunia sebagai balasan bagi manusia-manusia yang bertakwa. Akan tetapi, orang-orang yang bertakwa dan saleh akan mendapatkan pahala yang lebih baik daripada dunia di sisi Allah."[45]

Di bagian lain, beliau berkata, "Dalam pembagian baitul-mal, tidak ada yang lebih utama daripada lainnya dan metode pembagiannya sangatlah jelas. Harta adalah milik Allah dan kalian adalah para hamba Allah. Kitab Allah ada di antara kalian dan kami menyaksikannya serta pasrah kepadanya. Kami mengetahui metode Rasulullah saw dalam pembagian baitul-mal. Maka, barangsiapa yang tidak rela dengan pembagian ini, apa pun yang hendak dilakukannya, lakukanlah karena barangsiapa yang taat kepada Allah dan melakukan perintah-Nya tidak memiliki rasa takut dan kebimbangan." [46]

Mujammi' mengatakan, "Ali setiap hari Jumat menyisir, menyapu, dan menyirami baitul-mal. Kemudian Imam mendirikan shalat dua rakaat di sana dan berkata, "Pada hari kiamat, berilah kesaksian untukku."[47]

Beliau juga bersabda, "Rasulullah saw tidak menunda pembagian baitul-mal hingga keesokan harinya."[48]

Abu Shalih Saman berkata, "Suatu hari, Ali memasuki baitul-mal dan sambil memandangi harta di situ, beliau berkata, "Jangan sampai aku melihat harta di sini sementara keadaan masyarakat memerlukannya." Kemudian beliau memerintahkan untuk membagikan harta itu. Saat itu, beliau menyapu baitul-mal dan mendirikan shalat di situ." [49]

Abu Hakim dari ayahnya menukilkan bahwa Ali as dalam setahun membagikan harta baitul-mal sebanyak tiga kali. Setelah itu, datanglah harta dari Isfahan. Maka, beliau berkata kepada masyarakat, "Datanglah agar untuk keempat kalinya, aku bagikan harta untuk kalian karena aku tidak dapat menyimpan harta ini."[50]

Dari Isfahan, Imam Ali dibawakan untuknya harta dari baitul-mal. Beliau membagikannya dengan sama rata kepada masyarakat, bahkan keping roti yang besar, yang ada di antara harta itu, dibagi menjadi tujuh bagian.[51]

Abu Ishaq mengatakan, "Dalam pembagian baitul-mal, ada dua wanita hadir: satu Arab dan yang lainnya ajam 'non-Arab'. Tiap-tiap mereka diberi oleh Imam Ali as 25 dirham dan satu mangkuk makanan. Wanita Arab itu berkata, " Wahai Imam Ali! Engkau menyamakan aku dengan wanita ajam ini." Beliau berkata, "Aku, dalam membagi rampasan perang, tidak membedakan antara anak-anak Ismail dan anak-anak Ishaq."[52]

Sahal bin Hanif dengan ghulam-nya menjumpai Imam Ali as dan berkata, "Wahai Imam Ali! Orang ini adalah budakku. Aku membebaskan dia. Berikanlah bagiannya dari baitul-mal. Beliau memberikan kepadanya tiga dinar sebagaimana yang diberikannya kepada Sahal." [53]

Sekelompok sahabat Ali pergi menjumpai beliau dan berkata, "Wahai Imam Ali! Berikanlah kelebihan dalam pembagian baitul-mal kepada kaum bangsawan Arab dan Quraisy serta orang-orang yang engkau khawatirkan penentangannya di atas orang-orang ajam dan hamba-hamba yang telah dibebaskan." Beliau menjawab, "Adakah engkau menasehatiku agar aku melakukan kesalahan. Demi Allah! Aku tidak akan melakukan kesalahan seperti itu. Sekiranya harta ini milikku sendiri dan aku ingin membagikannya kepada masyrakat, aku akan membagikannya sama rata, apalagi harta ini adalah milik umum."

Setelah itu, beberapa saat ia diam lalu berkata, "Barangsiapa yang memiliki harta harus memenuhi fasad karena pemberian harta yang bukan pada tempatnya adalah israf dan mubazir. Meskipun hal itu membuatnya populer di tengah masyarakat, ia jatuh di sisi Allah. Tidak seorang pun dapat membelanjakan hartanya bukan pada tempatnya dan bukan pada ahlinya, kecuali Allah swt akan menjauhkannya dari terima kasih mereka yang dia kasihi dan kecintaan mereka bukan mengarah kepada orang yang memberikan itu. Sekiranya sebagian dari mereka menampakkan kecintaan dan terima kasih, hal itu hanyalah basa-basi, usaha untuk menjilat, dan kebohongan. Ucapan terima kasih mereka lebih diarahkan untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi. Apabila, pada suatu hari, orang yang memberi memerlukan mereka, ia akan menjumpai mereka itu sebagai kawan yang paling buruk. Oleh karena itulah, apabila Allah memberikan harta kepada seseorang, dan dengan harta itu, dia melakukan silaturrahim dengan jalan menjamu para tamu, membebaskan para hamba, membantu orang-orang yang berhutang dan orang-orang yang terlantar, serta fakir dan muhajirin sementara dia sendiri bersabar dalam menghadapi penderitaan dan kesulitan, ini adalah kemulian dunia dan kemuliaan akhirat." [54]

Imam Ali as mengeluh kepada Malik Astar bahwa mengapa masyarakat lari kepada Muawiyah? Malik berkata, "Wahai Imam Ali! Kami berperang dengan penduduk Basrah dan Kufah padahal sebelumnya kami bersatu dalam satu akidah. Namun sekarang, terdapat perbedaan dan konflik di antara masyarakat. Niat kembali menjadi lemah dan cinta keadilan semakin melemah. Engkau ingin menegakkan keadilan dan mengikuti kebanaran. Engkau ingin mengambil hak yang lemah dari tangan yang kuat dan para bangsawan. Di sisimu, mereka tidak lebih utama daripada yang lemah. Sekelompok sahabatmu khawatir dan takut terhadap kebenaran karena inilah sifat yang meliputi mereka. Mereka takut terhadap pelaksanaan keadilan karena mereka juga terkena hukumnya. Muawiyah tidaklah demikian. Dia memberikan harta yang melimpah kepada kaum bangsawan dan orang-orang kaya. Masyarakat cenderung kepada dunia dan jarang sekali ada orang yang tidak tertarik kepada dunia. Kebanyakan manusia tidak menyukai kebenaran dan cenderung kepada kebatilan serta lebih menyukai kekayaan di dunia daripada akhirat." Wahai Amirul Mukminin! Bila engkau juga memberikan harta kepada rakyat, maka mereka akan cenderung kepadamu, menghendaki kebaikan serta mencintai Anda. Allah swt telah memberikan semua sarana untuk perbuatan ini dan dengan cara ini, engkau dapat mengalahkan musuh-musuhmu dan menggagalkan makar mereka, yang Allah ketahui makar mereka itu."

Seraya memuji dan bersyukur kepada Allah, Imam Ali as mengatakan, "Adapun tentang apa yang engkau katakan mengenai cinta keadilan, Allah swt di dalam al-Quran mengatakan, Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya. Yang paling kutakutkan adalah aku berpendek tangan dalam melaksanakan keadilan. Adapun apa yang engkau katakan bahwa menerima kebenaran adalah sulit bagi manusia dan karena itulah, mereka cenderung kepada Muawiyah, Allah swt mengetahui bahwa mereka itu tidak lari dariku karena kezalimanku dan juga bukan dengan maksud mencari keadilan, melainkan tujuan mereka adalah untuk meraih dunia yang fana ini. Allah swt, pada hari kiamat, akan bertanya kepada mereka, apakah mereka menjauh dengan tujuan dunia atau amal mereka itu untuk Allah.

Adapun apa yang engkau katakan agar aku mengutamakan kaum bangsawan dan tokoh-tokoh daripada yang lain dalam pembagian baitul-mal, aku tidak datang untuk memberikan sesuatu dari milik umum kepada seseorang melebihi dari bagiannya karena Allah swt berfirman, Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

Nabi Muhammad saw diutus sendirian tetapi Allah swt setelah itu, mengubah jumlah pengikut Muhammad yang sedikit menjadi banyak dan mulia. Apabila Allah menghendaki untuk mengukuhkan wilayah kami, berbagai kesulitan akan dimudahkan-Nya. Aku menerima ucapanmu tetapi apabila Allah swt rela dengan itu, engkau adalah dari sahabatku yang paling jujur dan dapat diandalkan di antara para sahabatku."[55]


Membelanjakan Harta Umum untuk Kepentingan Pribadi
Di masa khilafah-nya, Imam Ali as secara syariat memiliki hak seperti para penguasa syariat, pada umumnya, dalam membelanjakan baitul-mal untuk keperluan pribadi dalam batas yang umum. Namun, berbeda dengan khalifah yang lain, Imam Ali sama sekali tidak pernah menggunakan harta milik umum. Adakalanya beliau menggunakannya hanya dalam batas yang sangat kecil dan tiada berarti. Imam Ali hidup sangat bersahaja dan zuhud. Belanja hidupnya ditopang dari panen ladang kurma di Madinah yang beliau miliki sebelumnya.

Zadan berkata, "Bersama dengan Qanbar, aku menjumpai Imam Ali as. Qanbar berkata, "Wahai Imam Ali! Aku menyembunyikan sesuatu untukmu." Beliau bertanya, "Apa itu?" Qanbar berkata, "Datanglah ke rumah kami agar aku tunjukkan kepada Anda." Imam bangun dan bersama Qanbar menuju rumah pembantunya itu. Qanbar menunjukkan satu wadah besar yang dipenuhi dengan emas dan perak. Dia berkata, "Engkau telah membagikan semua harta baitul-mal kepada Muslimin dan tidak meninggalkan sedikit pun untuk diri Anda sendiri. Maka, aku menyimpan dan menyembunyikan harta ini untuk Anda."

Ali berkata, "Engkau ingin memasukkan api ke dalam rumahku?" Kemudian, Imam Ali mengeluarkan pedangnya dan memotong-motong emas dan perak itu lalu memerintahkan agar dibagikan kepada Muslimin. Lantas beliau berkata, "Wahai emas dan perak! Janganlah menipuku! Tipulah selain aku!"

Harun bin Antharah menukilkan dari ayahnya yang berkata, "Suatu ketika, aku menemui Imam Ali as di gedung Khurnaq. Beliau melilitkan sehelai handuk di tubuhnya yang menggigil kedinginan. Aku bertanya, "Wahai Amirul Mukminin! Allah swt telah menetapkan bagian dari baitul-mal untukmu dan keluargamu. Namun, mengapa engkau menyiksa dirimu seperti ini!" Imam berkata, "Demi Allah! Aku tidak pernah membeli pakaian dari harta milik kalian dan handuk yang aku lilitkan di tubuhku ini aku bawa dari Madinah."[56]

Asbagh bin Nabathah menukil ucapan Imam Ali, "Demi Allah! Aku datang ke negeri kalian dengan satu pakaian ini dan perlengkapan hidupku hanyalah kuda (binatang kendaraan). Apabila aku keluar dari negeri kalian dalam keadaan membawa sesuatu yang lain dari apa yang aku miliki sebelumnya, niscaya aku termasuk orang yang berkhianat."

Di dalam riwayat lain, beliau berkata, "Wahai penduduk Basrah! Mengapa kalian masih mengkritikku?" Kemudian beliau menunjuk pakaiannya dan berkata, "Pakaian ini telah kumiliki sebelum aku berkuasa dan dijahit oleh keluargaku."[57]

Pembelanjaan hidup Imam Ali as ditopang dari hasil ladang yang beliau miliki di Madinah dan diperoleh dari Yanbu' (mata air). Beliau mengundang makan orang dengan daging dan roti sedangkan yang beliau makan sendiri adalah roti, zaitun, dan kurma.58]

14
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Bagian Anak-Anak dan Sanak Kerabat dari Baitul-Mal
Dalam pembagian baitul-mal, Imam Ali as tidak mendahulukan atau mengistimewakan anak-anak dan kerabatnya, melainkan menyamakan Imam Hasan dan Imam Husain dengan Muslimin lainnya. Habib bin Abi Tsabit menyebutkan bahwa pada suatu hari, anak saudara lelaki dan menantu Ali yang bernama Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib datang menemui Ali dan berkata, "Wahai Imam! Pengeluaranku sehari-hari cukup tinggi. Maka, ringankanlah beban hidupku ini dengan memberiku uang dari baitul-mal melebihi bagian orang lain. Demi Allah! tiada tersisa uang sedikit pun di kantongku sehingga aku harus menjual rumput untaku!" Imam Ali menanggapi permintaan tersebut, "Demi Allah! Aku tidak dapat memberikan sesuatu kepadamu, kecuali apabila engkau menyuruh pamanmu ini mencuri dan kemudian memberikannya kepadamu."[59]

Abdullah bin Abi Sufyan menceritakan, "Salah seorang warga desa menghadiahkan sehelai pakaian kepada Hasan dan Husain lalu mereka mengenakannya. Pada hari Jumat, manakala berdiri untuk berkhutbah di Madain, Imam Ali terperanjat menyaksikan kedua putranya, Hasan dan Husain memakai pakaian baru. Kemudian Ali mengutus orang kepada Hasan dan Husain untuk menanyakan dari mana mereka memperoleh pakaian baru itu?" Kami berkata, "Salah seorang warga desa menghadiahkannya kepada mereka." Ali as kemudian mengambil pakaian itu dari Hasan dan Husain lalu menyerahkannya ke baitul-mal.[60]

Imam Ja'far Shadiq mengatakan bahwa ayahnya, Imam Baqir, berkata, "Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib membagikan pakaian kepada penduduk Kufah dan di antara pakaian tersebut terdapat topi yang terbuat dari harir (sutera). Lantas Imam Hasan meminta topi itu kepada ayahnya dengan berkata, "Wahai Ayah! Berikan topi ini kepadaku." Imam Ali tidak mengabulkan permintaan anak yang dikasihinya itu dan mengadakan undian bagi semua Muslim untuk mendapatkan topi indah itu. Seorang pemuda Hamadani keluar sebagai pemenang dalam undian itu. Topi itu kemudian diberikan kepada pemuda tersebut dan dibawanya pulang. Setelah itu, dikatakan kepada pemuda itu bahwa Hasan bin Ali meminta topi itu dari ayahnya tetapi tidak dikabulkannya.
Pemuda Hamadani itu memberikannya kepada Imam Hasan dan beliau menerimanya.[61]

Ali bin Abi Rafi' mengatakan, "Aku diberi tugas untuk menjaga baitul-mal Ali bin Abi Thalib. Di dalam baitul-mal, terdapat kalung yang dibawa dari Basrah. Suatu hari, putri Ali bin Abi Thalib mengutus orang kepadaku dan berkata, "Aku mendengar di dalam baitul-mal, ada kalung dari lu'lk (batu mahal) dan hari ini adalah hari raya Idul Adha. Pinjamkanlah kalung itu kepadaku untuk aku gunakan pada hari raya Idul Adha." Dalam jawabannya, aku mengatakan, "Aku akan berikan dengan syarat pinjaman itu ada jaminannya." Putri Imam Ali as dalam jawabannya mengatakan, "Ya! Aku terima pinjaman ini dengan jaminan dan setelah tiga hari, akan kukembalikan ke baitul-mal." Dengan diterimanya persyaratan ini, kukirimkan kalung itu kepadanya. Imam Ali melihat kalung itu di leher putrinya dan mengenalinya. Imam lantas bertanya kepadanya, "Dari mana engkau mendapatkan kalung itu?" Putrinya berkata, "Aku meminjamnya dari penjaga baitul-mal dan setelah hari raya, akan kukembalikan."

Ali bin Abi Thalib memangilku dan berkata, "Kenapa engkau berkhianat terhadap harta Muslimin?" Aku berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari mengkhianati Muslimin!" Beliau berkata, "Mengapa engkau meminjamkan harta baitul-mal tanpa seijinku." Aku berkata, "Putrimu meminjam dariku hanya untuk beberapa hari.
Ia pun meletakkan jaminan untuk itu. Setelah hari raya Idul Adha, dia berjanji akan mengembalikannya. Selain dari itu, aku juga menjadi penjaminnya."

Imam Ali berkata, "Hari ini juga engkau harus mengambilnya dan mengembalikannya ke baitul-mal. Jangan sampai engkau mengulangi hal-hal yang seperti ini. Kalau tidak, engkau akan kukenakan hukuman. Sekiranya putriku meminjamnya tanpa jaminan, niscaya dia layak untuk dihukum."

Ketika berita ini sampai ke telinga putrinya, ia bertanya, "Wahai Ayah! Aku adalah putrimu. Katakanlah bahwa aku layak untuk memakainya pada hari raya!" Imam Ali berkata, "Apakah semua wanita Muhajirin menghiasi dirinya dengan kalung semacam ini?"
Selanjutnya, aku mengambil kalung itu dan mengembalikannya ke baitul-mal.[62]

Pada suatu hari Aqil, saudara Imam Ali, menjumpai Imam Ali dan meminta bantuan materi. Ali berkata kepada Imam Hasan, "Berikan pakaian kepada pamanmu."

Imam Hasan memberikan pakaian dan jubah kepada Aqil. Ketika mengikuti makan malam bersama Imam Ali, Aqil bertanya keheranan, "Adakah makan malam kalian juga seperti ini?" Beliau berkata, "Bukankah ini nikmat Allah!" wali ilahi hamdu kastira.

Aqil berkata, "Aku mempunyai hutang. Bayarkanlah hutangku lalu aku akan pergi." Beliau berkata, "Berapa banyak hutangmu." Aqil berkata, "Seratus ribu dirham." Imam berkata, "Tidak demi Allah! Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Bersabarlah sampai datang saat pembagian baitul-mal. Maka, aku akan memberikan kepadamu dari bagian keluarga." Aqil berkata, "Baitul-mal ada di tanganmu dan engkau menunda untuk memberiku sampai pembagian baitul-mal.

Selain itu, berapa banyak bagianmu? Jika semuanya engkau berikan kepadaku, kesulitanku tidak akan selesai." Beliau berkata, "Apakah aku dan engkau berbeda dengan Muslimin yang lain?"

Kejadian berikut terjadi di Istana "Darul-Imarah" yang letaknya tidak jauh dari kotak uang para pedagang. Imam Ali berkata kepada Aqil, "Pecahkan kotak itu dan ambillah uang milik para pedagang itu." Aqil terheran-heran dan berkata, "Adakah engkau menyuruhku untuk memecahkan kotak ini dan mencuri uangnya?"
Imam Ali membenarkan, "Engkau juga menyuruhku mengambil uang dari baitul-mal dan memberikannya kepadamu. Apabila engkau ingin, ambillah pedangmu dan aku pun akan mengambil pedangku. Lalu mari kita bersama-sama pergi untuk merampok." Aqil bertanya, "Apakah kita datang ke sini dengan maksud mencuri sehingga engkau berkata seperti itu?" Imam berkata, "Mencuri milik satu orang adalah lebih baik daripada mengambil harta semua Muslim." Aqil berkata, "Kalau demikian, apakah engkau mengijinkan aku pergi kepada Muawiyah." Ali berkata, "Terserah engkau." Aqil meminta biaya untuk pergi kepada
Muawiyah. Imam Ali berkata kepada Imam Hasan, "Berikan empat ratus dirham kepada pamanmu."[63]

Pada hari yang lain, Aqil menemui Ali dan meminta bantuannya. Namun, Ali menolak permintaanya. Untuk memberi Aqil pelajaran, Imam Ali meletakkan besi panas di sisi badannya. Dalam kaitan ini, Imam juga melakukan hal yang sama dan berkata, "Demi Allah! Aku melihat Aqil yang benar-benar miskin memintaku agar memberikan jatah gandum dari baitul-mal kepadanya karena anak-anaknya yang kelaparan agak sedikit pucat. Ia berkali-kali mengulangi permintaannya.

Aku mendengarkan ucapannya dengan saksama. Ia mengira bahwa aku akan menjual agamaku karenanya dan mengikuti ucapannya agar aku dapat mengubah pembagian baitul-mal lantaran mengikuti permintaannya. Aku mendekatkan sekeping besi panas ke sisi tubuhnya agar ia mengambil pelajaran." Aqil berteriak karena tidak tahan dengan panasnya besi itu yang hampir saja membakarnya. Ali berkata kepadanya, "Semoga orang-orang menangisimu wahai Aqil! Engkau menjerit tidak tahan karena panasnya besi di dunia yang dipanaskan oleh seorang manusia tetapi engkau menghendaki agar aku terbakar oleh api yang Allah hidupkan karena kemurkaannya. Apakah engkau merintih karena gangguan yang sedikit sedangkan aku tidak merintih karena api neraka yang membakar?"

Peristiwa yang lebih bagus lagi terjadi pada malam hari. Ali berkata, "Seseorang datang ke rumah kami dengan membawa satu wadah kue yang tidak kusukai karena seolah-olah ada air liur ular yang bernaung di dalamnya. Aku berkata kepadanya, "Apakah yang engkau bawa ini sedekah atau zakat? Keduanya adalah haram buat kami." Ia menjawab, "Ini bukan sedekah dan juga bukan zakat, melainkan hadiah." Aku berkata, "Semoga ibumu menangisimu! Apakah engkau datang untuk menipuku dari jalan agamaku? Adakah engkau ini gila atau kerasukan jin atau engkau mengigau. Demi Allah! Apabila tujuh lapis langit dan semua yang ada di bawah langit engkau berikan kepadaku agar aku menzalimi seekor semut dan agar aku mengambil kulit barley dari mulut semut, maka aku tidak akan melakukannya. Demikianlah dunia kalian di sisiku tidak lebih bernilai daripada selembar daun yang ada di mulut seekor belalang. Apa urusan Ali dengan nikmat-nikmat yang fana dan kelezatan yang tidak kekal. Aku berlindung kepada Allah dari kelalaian, keburukan, ketergelinciran dan aku meminta pertolongan dari-Nya."[64]


Ketegasan dalam Membela Kebenaran
Salah satu keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang terpenting adalah ketegasannya dalam memerangi kezaliman dan membela hak orang-orang yang tertindas. Ali meyakini bahwa kezaliman dan pemaksaan tidak dapat diselesaikan dengan cara toleransi dan irfaq atau 'kelembutan' melainkan diperlukan ketegasan.

Dalam kaitan ini, beliau berkata, "Manusia-manusia yang lemah adalah mulia di sisiku sampai aku mengambil hak mereka dan orang-orang yang kuat adalah lemah di sisiku sampai aku mengambil hak orang-orang yang tertindas dari mereka." [65]

Mughira bin Sya'bah menjumpai Imam Ali as dan berkata, "Adalah wajib bagi kami untuk menasehatimu bahwa anak buah Usman memiliki kekuasaan di seluruh penjuru kota. Apabila engkau hendak memecat mereka sekaligus, akan bangkit fitnah yang untuk memadamkannya adalah suatu perkara yang sulit. Sebaiknya engkau menambah masa tugas mereka setahun sampai pemerintahanmu menjadi kukuh. Ketika itulah, engkau dapat melakukan apa saja yang engkau inginkan. Di antara mereka adalah Muawiyah yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di Damaskus."

Dalam jawabannya, Imam Ali berkata, "Apakah engkau menjamin bahwa sampai dicopotnya Muawiyah, aku masih hidup?" Dia mengatakan,"Tidak!"
Imam berkata, "Apabila aku memberikan kepada Muawiyah wilayah di atas dua orang Muslim di malam yang gelap gulita, apakah nanti pada hari kiamat aku tidak akan dipertanyakan? Aku tidak akan pernah meminta bantuan dari orang-orang yang sesat. Aku berkali-kali mengatakan kepada Usman untuk memendekkan dan memutuskan tangan orang-orang yang zalim ini dari masyarakat! Kini, aku memberikan tugas kepada mereka?"[66]

Beliau juga mengatakan, "Demi Allah! Aku akan mengambil hak orang yang dizalimi dari yang zalim dan aku akan mengambil kendali yang zalim dan mau tidak mau akan menyeretnya kepada jalur kebenaran." [67]

Membela orang-orang yang dizalimi dan mazlum merupakan salah satu program utama Imam Ali as. Beliau sama sekali tidak pernah keluar dari program itu. Bukan hanya pada peritsiwa-peristiwa besar, melainkan pada peristiwa kecil sekalipun beliau tidak tahan menyaksikan kezaliman.

Imam Muhammad Baqir mengatakan, "Suatu hari Imam Ali bin Abi Thalib, lantaran panasnya matahari, memasuki rumah. Wanita yang sedang menantikan kedatangan beliau berkata, "Wahai Imam Ali! Suamiku selalu menganiayaku dan melanggar hak-hakku, bahkan dia bersumpah akan memukuliku. Aku takut kepadanya. Maka, bantulah aku!"

Imam Ali as berkata, "Wahai hamba Allah! Bersabarlah sebentar hingga udara sedikit dingin lalu kita pergi bersama-sama ke rumahmu."

Wanita itu berkata, "Suamiku sangat marah dan apabila kita terlambat datang, aku takut keadaannya akan semakin memburuk." Amirul Mukminin setelah sejenak berpikir mengatakan, "Tidak! Demi Allah! Hak yang dizalimi harus diambil. Di manakah rumahmu?" Selanjutnya, bersama wanita itu, dia pergi ke rumah wanita itu. Ia berdiri di pinggir pintu dan berkata, "Takutlah kepada Allah! Mengapa engkau membuat takut istrimu dan mengeluarkannya dari rumah?" Pemuda itu yang tidak mengenal Imam Ali berkata, "Apa hubungannya dengan kamu. Demi Tuhan! Aku akan membakar wanita sundal itu."

Amirul Mukminin mengatakan, "Aku menyuruhmu kepada kebaikan dan mencegahmu agar tidak melakukan keburukan. Engkau, di hadapanku, mengintimidasi istrimu secara demikian."

Dalam keadaan seperti itu, orang yang kebetulan lewat mengucapkan salam kepada Imam Ali, "Assalamu alaika ya Amirul Mukminin!" Pemuda itu terkejut ketika mengetahui orang itu adalah Imam Ali as dan merasa takut seraya berkata, "Wahai Aimirul Mukminin! Ampunilah aku! Selanjutnya aku akan menyerah kepada istriku."

Amirul Mukminin memasukkan pedang ke dalam sarungnya dan berkata kepada wanita itu, "Wahai hamba Allah! Masuklah ke rumah tetapi janganlah engkau berbuat sesuatu yang membuat suamimu marah dan murka sedemikian rupa." [68]


Persamaan di Depan Hukum
Ali as melihat semua orang sama di depan hukum, bahkan dia sendiri di hadapan seorang Nasrani, dari sisi pemeliharaan hukum, adalah sama. Sya'bi mengatakan, "Ali bin Abi Thalib melihat baju perangnya di sisi seorang Nasrani. Beliau membawa Nasrani itu ke sisi Syuraih, seorang hakim atau qadhi. Imam berkata kepada Syuraih, "Ini adalah baju perangku. Aku tidak pernah menjualnya atau memberikannya kepada seseorang." Syuraih berkata kepada Nasrani,
"Apa yang engkau akan katakan terhadap tuduhan Imam Ali as?"

Nasrani itu berkata, "Baju perang ini adalah milikku tetapi aku tidak menuduh Imam Ali as adalah pembohong." Syuraih berkata kepada Ali as, "Apakah engkau memiliki saksi dan bukti yang mendukung kesaksianmu?" Amirul Mukminin menjawab, "Tidak! Aku tidak memiliki bukti."

Syuraih memihak kepada lelaki Nasrani itu dan menyalahkan Imam Ali as. Nasrani itu mengambil baju perang tersebut dan bergerak beberapa langkah. Namun, kemudian ia kembali dan berkata, "Aku bersaksi bahwa pengadilan seperti ini berasal dari hukum para nabi. Amirul Mukminin, dalam sengketa, membawaku ke sisi qadhi yang dipilihnya sendiri dan qadhi itu memvonis putusan yang merugikan Ali as. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Wahai Amirul Mukminin! Baju perang ini adalah milikmu. Di saat engkau pergi ke perang Shiffin, aku berjalan di belakang pasukanmu. Baju perang ini jatuh ke tanah dari untamu dan aku mengambilnya. Ini adalah milikmu dan ambillah kembali."

Amirul Mukminin berkata, "Kini engkau telah Islam. Maka, baju perang ini adalah milikmu." Kemudian Ali menaikkannya ke kudanya.

Sya'bi berkata, "Di kemudian hari, aku diberitahu bahwa lelaki Nasrani tersebut menjadi syahid ketika berada di barisan pasukan Ali dalam perang melawan Khawarij." [69]

Ju'dah bin Hubairah menjumpai Ali as dan berkata, "Kini dua orang datang menjumpai engkau untuk meminta keadilan. Salah seorang dari mereka mencintaimu melebihi harta dan nyawanya sendiri dan yang lainnya adalah musuhmu. Sedemikian bencinya, sehingga kalau bisa, ia akan membunuhmu. Maka adililah dengan memihak sahabatmu." Amirul Mukminin mengepalkan tangannya ke dadanya seraya berkata, "Hukum adalah hukum Allah dan harus diadili sesuai dengan kebenaran." [70]


Catatan Kaki:
[1] A'lamul Wara, jilid 1, hal. 306-307; Al-Irsyad, jilid 1, hal. 5.

[2] Al-Irsyad, jilid 1, hal. 9; A' lamul Wara, jilid 1, hal. 309.

[3] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 2, hal. 205-206.

[4] Ibid, jilid 2, hal. 7.

[5] Manaqib Ali Abi Thalib, hal. 206.

[6] Ibid, jilid 2, hal. 210.

[7] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 2, hal. 210.

[8] Ibid, hal. 94.

[9] Tazkiratul Khawas, hal. 56.

[10] Tarjumah Imam Ali bin bi Thalib, jilid 3, hal. 63.

[11] Biharul Anwar, jilid, 41, hal. 14.

[12] Ibid jil 41 hal 110.

[13] Manaqib Kharazmi, hal. 40; Mustadrak, Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 127.

[14] Tabaqat Ibn Sa'ad, jilid 2, hal. 339.

[15] Ibid

[16] Ibid, jilid 2, hal. 338.

[17] Syarah Nahjul Balagahah, Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal. 96.

[18] Yanabi' Al-Mawaddah, hal. 80.

[19] Thabawat Ibn Sa'ad, jilid 2, hal. 348.

[20] Dzahairul Uqba, hal. 79.

[21] Dzahairul Uqba, hal. 79.

[22] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 17-20.

[23] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 14.

[24] Ibid.

[25] Ibid hal 16.

[26] Ibid jil 41 hal 17.

[27] Ibid jil 41 hal 17.

[28] Ibid jil 41 hal 18.

[29] Biharul Alnwar, jilid 41, hal. 22.

[30] Ibid, jilid 40, hal. 340.

[31] Tarjumah Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal 202.

[32] Ibid, jilid 3, hal. 188.

[33] Ibid, jilid 3, hal. 191.

[34] Ibid, jilid 40, hal. 324.

[35] Ibid, jilid 40, hal. 330.

[36] Al-Gharat, jilid 1, hal. 90; QS. Al-Ahqaf:20.

[37] Biharul Anwar, jilid 40, hal. 326.

[38] Ibid

[39] Ibid, jilid 4, hal. 323.

[40] Nahjul Balaghah, surat nomor 45.

[41] Ibid, surat 45.

[42] Biharul Anwar, jilid 40, hal. 26.

[43] Ibid, jilid 40, hal. 26.

[44] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 40.

[45] Biharul Anwar, jilid 32, hal. 17-18.

[46] Ibid, jilid 32, hal. 20.

[47] Gharat, jilid 1, hal. 46.

[48] Ibid, jilid 1, hal. 47.

[49] Tarjumah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 180.

[50] Ibid, jilid 3, hal. 181.

[51] Gharat, jilid 1, hal. 51.

[52] Ibid jil 1 hal 70.

[53] Bihar al anwar jil 41 hal 117.

[54] Gharat, jilid 1, hal. 75.

[55] Gharat, jilid 1, hal. 71.

[56] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 181.

[57] Biharul Anwar, jilid 4, hal. 325.

[58] Gharat, jilid 1, hal. 68.

[59] Ibid, jilid 1, hal. 66.

[60] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 182.

[61] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 104.

[62] Biharul Anwar, jilid 40, hal. 327.

[63] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 113.

[64] Nahjul Balaghah, khutbah 224.

[65] Nahjul Balaghah, khutbah 37.

[66] Nahjul Balaghah, khutbah 136.

[67] Ibid, khutbah 136.

[68] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 57.

[69] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 196.

[70] Ibid, jilid 3, hal. 200.

15
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

IMAM KEDUA: IMAM HASAN MUJTABA AS
Imam Hasan as lahir ke dunia di Madinah pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriah. Ayahnya bernama Ali bin Abi Thalib dan ibunya Fatimah, putri mulia Rasulullah saw. Kunyah 'nama panggilannya' adalah Abu Muhammad dan laqab 'julukannya' yang paling populer adalah Taqi, Thayyib, Zaki, Sayyid, Sibth, dan Wali.

Rasulullah saw menjelang kelahirannya berkata kepada Asma' binti Umais dan Ummu Salamah, "Apabila putra Fatimah lahir, akan aku kumandangkan azan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya. Tetaplah di sana hingga aku datang!"

Ketika datang, Rasulullah saw memutus tali pusar sang bayi dan memasukkan air ludahya ke mulut bayi itu seraya berkata, "Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan yang terkutuk." Kemudian bcliau berkata, "Berilah kepadanya nama Hasan!" Kemudian bcliau memerintahkan agar mclakukan aqiqah dengan seekor kambing dan membagikan dagingnya kepada orang miskin."

Dari kelahiran yang berkah ini, bukan hanya Rasulullah saw, Ali, serta Fatimah yang gembira, mclainkan seluruh kcluarganya.

Imam Hasan hidup bersama Rasulullah selama tujuh tahun beberapa bulan. Ketika beliau menjadi Imam, usianya mencapai 37 talmn. Masa khilafahnya, dari sejak Amirul Mukminin wafat hingga masa perdamaian dengan Muawiyah, adalah enam bulan tiga hari.

Pada tahun 41 Hijriah, ia terpaksa melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Selanjutnya, ia kembali dari Kufah ke Madinah. Pada tanggal 28 Shafar 50 Hijriah, beliau mati syahid. Tubuh sllcinya dimakamkan di Pemakaman Baqi'.

Mengenai sebab wafatnya, dituliskan bahwa Muawiyah mengirim 100 ribu dirham bagi Ja'dah, istri Imam Hasan, agar meracuni Imam Hasan. Muawiyah juga berjanji akan menikahkannya dengan Yazid, putranya. Ja'dah menyetujuinya dan melakukan perintah Muawiyah.[1]


Kecintaan Rasulullah saw
Sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis, Rasulullah saw begitu menampakkan rasa cintanya kepada putrinya, Fatimah, dan kedua putra Fatimah, Hasan dan Husain. Abu Hurairah berkata, "Tidak pernah aku melihat Hasan bin Ali kecuali air mataku menetes karena ketika suatu hari Rasulullah saw duduk di masjid, Hasan memasuki masjid dan tiba-tiba duduk di pangkuan Rasulullah saw dan meletakkan tangannya di dalam janggut beliau. Rasulullah saw membuka mulut Hasan dan meletakkan bibirnya di bibir Hasan seraya berkata, "Ya Allah! Aku mencintai Hasan dan aku mencintai siapa saja yang mencintai Hasan." Rasulullah saw mengulangi ucapan itu sampai tiga kali. "[2]

Sebagaimana yang discbutkan dalam banyak hadis bahwa Rasulullah saw menjelaskan imamah Hasan dan Husain. Tatkala menjelang syahid, Imam Ali bin Abi Thalib memilih putranya Hasan sebagai imam dan mengenalkannya sebagai washi 'pemangku wasiat' dan imam setelahnya. Rasulullah saw mengenai Hasan dan Husain berkata, "Kedua anakku ini akan menjadi imam, baik mereka berjuang untuk merebut jabatan imam itu atau diam."[3]

Abu Hurairah berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Barangsiapa yang mencintai Hasan dan Husain berarti mencintaiku dan barangsiapa yang memlenci mereka memusuhiku.'"[4]

Abu-Bakrah mengatakan, "Rasulullah saw waktu itu sedang berkhotbah. Kemudian Hasan datang dan naik ke mimbar. Rasulullah saw memeluknya dan berkata, 'Ini adalah anakku, Sayyid 'Tuan' dan Allah Swt dengan sebabnya akan mendamaikan dua kelompok Muslim.'"[5]

Abu Dzar Ghiffari mengatakan, "Rasulullah saw memerintahkanku agar mencintai Hasan dan Husain dan karena kecintaan kepada Rasulullah saw, aku mencintai Hasan dan Husain serta orang-orang yang mencintai mereka."[6]

Salman Farisi mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah saw berkata, 'Ya Allah! Aku mencintai Hasan dan Husain serta orang yang mencintai mereka.' Rasulullah saw juga bersabda, 'Barangsiapa yang mencintai Hasan dan Husain akan dicintai Allah dan barangsiapa yang dicintai Allah akan masuk surga dan barangsiapa yang memusuhi mereka akan dimusuhiku (Rasulullah saw) dan barangsiapa yang aku benci akan dimusuhi Allah dan masuk neraka. ''' [7]

Ada puluhan hadis seperti ini tetapi kami akan mencukupkannya sampai di sini.


Nas Imamah
Banyak sekali hadis yang di dalamnya Rasululiah saw menjelaskan imamah Hasan dan Husain. Tatkala menjelang syahid, Imam Ali bin Abi Thalib memilih Hasan sebagai imam dan mengenalkannya sebagai washi dan imam setelahnya.

Rasulullah saw mengenai Hasan dan Husain mengatakan, "Kedua putraku ini akan menjadi imam, baik mereka bangkit untuk merebut imamah ataupun diam." [8]

Imam Shadiq mengatakan, "Rasulullah saw hanya mewasiatkan kepada Ali tetapi Ali mewasiatkan kepada Hasan dan Husain. Oleh karena itu, Imam Hasan juga mcrupakan imam bagi Husain."'[9]

Sulaim bin Qays mengatakan, 'Aku menyaksikan wasiat Ali bin Abi Thalib kepada putranya, Hasan, Husain, Muhammad, semua Ahlulbaitnya, dan para pemuka Syi'ah. Kemudian beliau menitipkan sejumlah kitab dan senjata kepada Hasan seraya mengatakan, 'Anakku! Rasulullah saw menyuruhku agar menjadikanmu sebagai washi-ku dan menitipkan kitab serta senjata kepadamu sebagaimana Rasulullah saw menjadikanku sebagai washi-nya dan menitipkan kitab dan senjatanya kepadaku." [10]

Syahr bin Hausyab mengatakan, "Tatkala hendak menuju Kufah, Ali bin Abi Thalib menitipkan kitab dan surat wasiatnya kepada Ummu Salamah. Ketika Imam Hasan kembali ke Madinah, Ummu Salamah menyerahkannya kepada beliau." [11]

Muhammad bin Hanafiah berkata kepada Ali bin Husain, 'Aku tahu bahwa Rasulullah saw menyerahkan wasiat dan imamah kepada Amirul Mukminin dan setelah beliau, kepada Imam Hasan dan setelah itu, kepada Husain as." [12]

Thariq bin Syahab mengatakan, "Amirul Mukminin kepada Hasan dan Husain mengatakan, "Kalian setelahku adalah imam dan penghulu para pemuda ahli surga. Kalian terpelihara dari berbuat dosa. Semoga Allah menjaga kalian dan laknat Tuhan terhadap musuh-musuh kalian." [13]

Fadzl bin Hasan Thabarsi dalam kitab A'larnul Wara menulis bahwa orang-orang Syi'ah secara mutawatir menukilkan bahwa Ali, di sisi sejumlah orang Syi'ah, menjelaskan imamah putranya, Hasan as. Imam Ali pun secara terang-terangan mengatakan imamah putranya, Hasan, dan secara terang-terangan menetapkannya sebagai washi-nya." [14]

Pada malam ketika Amirul Mukminin syahid, Imam Hasan membacakan khotbah. Setelah itu, Abdullah bin Abbas bangkit dan berkata, "Wahai manusia! Ia adalah putra Rasulullah saw, washi, serta imam kalian. Maka, berbaiatlah kepadanya!" Masyarakat saling berlomba untuk membaiat Imam Hasan sebagai khalifah." [15]

Abu Abdullah Jadali Jadami mengatakan, "Tatkala Amirul Mukminin berwasiat kepada putranya, Hasan, aku juga turut hadir." Kemudian Abdullah juga menukil wasiat Imam Ali." [16]

Tatkala dipukul oleh Abdurrahman bin Muljam dan masyarakat duduk di sekitarnya, Amirul Mukminin berkata, "Kalian keluarlah! Aku ingin berwasiat." Maka, hanya sejumlah Syi'ah yang hadir sementara yang lainnya keluar."

Setelah memuji dan bersyukur kepada Allah, Imam Ali mengatakan, "Hasan dan Husain aku jadikan sebagai washi. Maka, patuhilah mereka karena Rasulullah saw telah menjelaskan imamah mereka." [17]

Asbagh bin Nabatah mengatakan, "Tatkala dipukul oleh Abdurrahman bin Muljam, Amirul Mukminin memanggil Hasan dan Husain lalu berkata, 'Malam ini, aku akan meninggalkan dunia. Dengarkanlah ucapanku. Wahai engkau Hasan! Engkau adalah washi- ku dan setelahku, jadilah sebagai imam. Sementara itu, engkau wahai Husain, dalam wasiat ini, adalah mitra saudaramu. Selagi ia hidup, diamlah dan patuhilah dia. Setelahnya, engkaulah yang menjadi juru bicara kebenaran dan qaim biamrin.''' [18]


lbadah dan Penghambaan
Dari Kamaluddin Thalhah dinukilkan bahwa Imam Hasan mengatakan ibadah itu terbagi menjadi tiga bagian: badan, harta dan gabungan dari keduanya.

1. Ibadah badan adalah shalat, puasa, membaca al-Quran, dan berbagai zikir.

2. Ibadah harta adalah seperti, sedekah, pemberian, khairiyah, dan ihsan.

3. Ibadah yang murakkab (gabungan keduanya) adalah seperti haji, jihad, dan umrah.

Ibadah Imam Hasan as pada semua bagian telah mencapai tingkat yang tinggi. Adapun shalat dan zikir serta yang semacam itu merupakan kebiasaan Imam Hasan. Kedua perkara itu adalah sangat populer dan termasyhur baginya.

Adapun sedekah dalam Hilyatul Auliya dinukilkan balma Imam Hasan memberikan semua hartanya di jalan Allah sebanyak dua kali. Dan tiga kali, ia membagikan hartanya untuk fakir miskin dan seluruh dari hartanya semua hartanya diberikan fakir bahkan beliau membagikan sepatunya kepada fakir miskin.

Adapun mengenai ibadah murakkab, penulis Hilyatul Aulia menukil dari Imam Hasan yang bersabda, "Aku malu kepada Allah karena ketika dalam perjalanan haji, aku mengendarai kendaraan dan tidak pergi berjalan kaki ke Baitullah." Oleh karena itulah, dua puluh kali dengan kaki telanjang, dari Madinah ke Mekkah, Imam Hasan berjalan kaki untuk melakukan perjalanan haji dan dalam keadaan membawa kendaraan (unta)." [19]

Ditulis, bahwa Hasan bin Ali as dan segi akhlak, perangai, kemuliaan, dan syahadah, adalah yang paling serupa dengan Rasulullah saw. [20]

Imam Shadiq menukil dari ayahnya dan ayahnya menukil dari Imam Saijad yang mengatakan, "Hasan bin Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang paling ahli ibadah dan zuhud. Dalam perjalanan haji, beliau berjalan kaki dan adakalanya dengan kaki telanjang. Ketika mengingat kematian, ia menangis. Ketika mengingat Allah, dihaturkannya amal kepada Allah seraya menjerit dan pingsan. Ketika berdiri untuk shalat, tubuhnya bergetar karena takut kepada Allah. Ketika teringat kepada surga dan neraka, ia bagaikan terkena sengatan ular. Ia memohon surga kepada Allah dan berlindung kepada Allah dari neraka. [21] Saat membaca al-Quran, ketika tiba pada ayat, Hai orang- orong yang beriman, ia berkata, Labbayka Allahumma Labbayka. Ia senantiasa membiasakan lisannya dengan zikir. Dialah orang yang paling jujur dan fasih." [22]

Imam Ridha menukil dari ayah-ayahnya bahwa tatkala menjelang wafatnya, Imam Hasan as menangis lalu dikatakan kepadanya, "Wahai putra Rasulullah! Mengapa, dengan kedudukan istimewa yang engkau miliki di sisi Allah, dua puluh kali pergi haji dengan berjalan kaki, tiga kali membagikan semua hartanya kepada kaum fakir dan miskin, engkau masih menangis seperti ini!" Imam mengatakan, "Tangisanku karcna dua hal: karena takut terhadap kiamat dan karena berpisah dengan para sahabat." [23]

Manakala tiba di pintu masjid, Imam Hasan mengangkat kepalanya dan [24] berkata, "Wahai Tuhanku! Tamu-Mu ada di pintu- Mu! Wahai Pemberi kebaikan! Telah datang seorang pendosa maka bercampurlah keburukan yang kumiliki dengan keindahan yang Kaumiliki, wahai Yang Mahamulia." [25]
Ketika selesai shalat, ia tidak berbicara hingga terbit matahari.


Pemberian dan Ihsan
Imam Shadiq mengatakan, "Seorang lelaki menunjuk Usman bin Affan yang sedang duduk di masjid dan meminta sesuatu. Usman memberikan kepadanya lima dirham. Lelaki itu berkala, "Kenalkan aku kepada seseorang yang akan membantuku lebih banyak. Usman menunjuk kepada Hasan, Husain dan Abdullah bin Ja'far yang sedang duduk di suatu sudut masjid. Lelaki itu pergi ke sisi mereka, bersalaman dan meminta bantuan.

Imam Hasan berkata, "Meminta sesuatu dari orang adalah haram, kecuali dalam beberapa hal: untuk membayar diyat atau 'denda orang yang dibunuh', menunaikan utang yang sudah sampai masa pembayarannya, dan mengalami kemiskinan yang luar biasa. Permintaanmu ini termasuk yang mana?" Lelaki itu berkata, "Salah satu dari itu." Imam Hasan memberikan kepadanya lima puluh dinar, Imam Husain empat puluh sembilan dinar, dan Abdullah bin Ja'far empat puluh delapan dinar.

Menyaksikan kebaikan dan kemurahan hati sepeni ini, Usman berkata, "Siapakah yang dapat berbudi pekerti seperti para pemuda ini? Mereka mempelajari ilmu dari ayah-ayah mereka sehingga memperoleh kebaikan dan hikmah (kebijaksanaan). " [26]

Sa'id bin Abdul Azis berkala, "Hasan bin Ali melihat seorang lelaki yang sedang berdoa dan memohon kepada Allah sepuluh ribu dirham. Imam Hasan pulang ke rumah dan mengirimkan sepuluh ribu dirham bagi lelaki itu." [27]

Seorang lelaki datang menjumpai Imam Hasan dan berkata, "Demi Tuhan yang telah memberikan semua kenikmatan ini tanpa syafi' kepadamu. Selamatkan aku dari orang zalim yang bukan hanya tidak menghormati orang-orang yang lanjut usia terapi tidak menyayangi anak-anak kecil." Imam Hasan yang saat itu bersandar, buena mendengar ucapan itu, bangkit dan berkata, "Siapakah musuhmu itu biar aku tegakkan keadilan?" Lelaki itu, sebagai jawabannya, mengatakan, "Kemiskinan dan kelaparan."

Imam mengangkat kepalanya dan berkata kepada pelayannya, "Siapkan apa saja yang ada di sisimu." Pelayan itu pergi dan membawa lima ribu dirham. Imam berkata, "Berikan semuanya kepada lelaki itu!" Setelah itu, beliau berkata, "Demi Allah! Setiap kali musuhmu itu menghampirimu, datanglah ke sisiku agar aku tegakkan keadilan." [28]

Ibn Aisyah meriwayatkan bahwa seorang lelaki Damaskus melihat Imam Hasan mengendarai kuda. Lelaki itu mulai mengutuk dan mencaci Imam tetapi Imam tidak menjawab hingga lelaki itu penat dan selesai dari makiannya. Imam memperhatikan lelaki itu dan mengueapkan salam seraya mengatakan, "Wahai Syekh! Aku mengira bahwa engkau bukan orang sini dan engkau salah paham tentangku. Apabila engkau meminta kerelaan dariku, akan kuberikan. Bila engkau meminta sesuatu, akan kuberikan. Bila engkau meminta petunjuk, akan kuberikan. Bila engkau tidak memiliki hewan tunggangan, akan kuberikan. Bila engkau lapar, akan kukenyangkan. Bila engkau tidak memiliki pakaian, akan kuberikan. Bila engkau memerlukan sesuatu, akan kututupi keperluanmu itu. Bila engkau terusir, akan kuberikan perlindungan kepadamu. Bila engkau memiliki hajat, akan kutunaikan dan bila engkau membawa tasmu ke rumah lalu menjadi tamuku, aku akan merasa senarg. Rumahku besar dan memiliki fasilitas.

Ketika mendengar ucapan beliau, Ielaki Syam itu menangis dan berkata, 'Aku bersaksi bahwasanya Engkau adalah khalifah Allah di bumi-Nya dan Allah lcbih mengetahui apa yang diperbuat-Nya terhadap risalah-Nya). Sebelum ini, engkau dan ayahmu adalah manusia yang paling kubenci. Namun, kini engkau adalah yang paling kucintai."

Tatkala itu, Imam membawa tas-tas lelaki itu ke rumahnya dan menjadikan tamunya itu pecinta beliau. [29]


Imam Hasan Sepeninggal Ayahnya
Imam Ali bin Abi Thalib syahid pada tanggal 21 Ramadhan 40 Hijriah. Menurut wasiatnya, jasad Imam Ali dikuburkan pada malam harinya tanpa sepengetahuan masyarakat. Putranya, Hasan, keesokan harinya membacakan khotbah untuk masyarakat. Setelah menyampaikan pujaan dan pujian kepada Allah, Imam Hasan menyampaikan berita meninggalnya ayahnya kepada umat dan menyinggung tentang keutamaan dan kemuliaan sang ayah. Imam Hasan menangis dan masyarakat pun ikut menangis. Imam turun dari mimbar dan duduk di atas tanah. Di saat itu, Abdullah bin Abbas berdiri dan berkata, "Wahai manusia! Hasan bin Ali adalah anak Rasulullah dan Washi Amirul Mukminin. Maka, berbaiatlah kepadanya untuk khilafah!"

Orang-orang yang hadir menerima ajakan itu dan membaiat Imam Hasan as. Sejak itu, Imam duduk di kursi khilafah dan disibukkan dengan urusan pemerintahan. Imam mempelajari kinerja dan pekerjaan-pekerjaan para pegawai yang lama. Kemudian Imam menetapkan dan memperbarui hukum mereka.

Beliau memilih wali yang baru dan mengutusnya ke tempat-tempat tugas, di antaranya adalah Abdullah bin Abbas dipilihnya sebagai pemimpin Basrah dan mengirimnya ke sana.

Di sisi lain, Muawiyah yang berkuasa di Syam mencium tentang baiat masyarakat kepada Hasan. Maka, Muawiyah pun berupaya mencegahnya. Pertama, dia memilih dan mengutus dua mata-mata yang lihai ke Kufah dan Basrah untuk mencari berita penting bagi Muawiyah serta melakukan makar dan kekisruhan di dalam pemerintahan Imam Hasan as. Imam mendengar makar ini dan menginstruksikan penangkapan dua mata-mata itu. Kemudian Imam menulis surat kepada Muawiyah dan menyebutkan kelebihan- kelebihan beliau sehingga lebih layak menjadi khalifah. Muawiyah yang telah sekian tahun berupaya mencegah perluasan pemerintahan Ali bin Abi Thalib menantikan peluang seperti ini. Oleh karena itu, ia tidak bersedia mendengarkan ucapan Imam Hasan dan menolak kebenaran. Ia memutuskan untuk berjuang melawan pemerintahan baru Imam Hasan as dan menyingkirkan musuh baru tersebut dengan segala cara, bahkan dengan perang dan pembunuhan untuk menyingkirkan Imam dari pentas politik. Dengan tujuan inilah, ia mengumumkan perang dan dengan pasukannya yang besar, ia bergerak menuju Irak.

Berita ini sampai ke telinga Imam Hasan dan beliau terpaksa mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan Muawiyah. Setelah pernyataan perang, Imam Hasan menginstruksikan Hajar bin Adi untuk memobilisasi umat untuk membela pemerintahan yang sah. Sekelompok umat menerima dan bersiap-siap untuk bergerak menuju medan laga. Namun sayangnya, kebanyakan umat enggan mengikuti perang. Akibatnya, pasukan Imam Hasan tidak mencapai jumlah yang mencukupi untuk menghadapi pasukan Muawiyah yang banyak. Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa jumlah pasukan yang kecil ini, dari segi pemikiran, tidak bersatu dan tidak sehati dalam mengejar berbagai bentuk tujuan.
Sebagian ahli kaji membagi pasukan Imam Hasan seperti berikut.

Sekelompok umat adalah Syi'ah sejati dan pendukung setia Imam Hasan serta pendukung pemerintahan Alawi. Sekelompok lainnya adalah mereka yang bermusuhan dengan Muawiyah dan ikut serta dalam perang dcngan tujuan hanya untuk menjatuhkan Muawiyah, bukan untuk membela pemerintahan dan khilafah Imam Hasan as yang sah. Kelompok keempat adalah mereka yang ragu dalam mengenali kebenaran sehingga memiliki dua hati dalam melakukan perang atau, dengan kata lain, mereka menyertai perang dengan tanpa tujuan. Kelompok kelima adalah mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang tujuan perang dan berperang karena fanatisme golongan sehingga mereka secara mutlak mengikuti para kepala suku.:! [30]

Alhasil, Imam Hasan tidak memiliki cara lain, kecuali bersama pasukan yang dimilikinya itu berusaha mempertahankan dan membela diri. Beliau mengatur pasukannnya. Beliau mengutus em pat ribu orang yang dipimpin oleh lelaki dari Kabilah Kandah ke wilayah bernama Anbar. Beliau mengatakan, "Tunggulah perintahku danjangan berbuat sesuatu terlebih dahulu!"

Muawiyah menggunakan tipuan dan makar yang biasa dilakukannya. Dengan, memberikan 500 ribu dirham kepada komandan pasukan Imam Hasan, ia meminta komandan itu agar menggagalkan perang dan berpaling dari Imam Hasan. Lelaki Kandi itu menerima uang itu dan beserta 200 orang pengikutnya, pergi menuju muawiyah. Imam Hasan sangat kecewa mendengar berita ini dan menunjuk seorang komandan lain dari suku Murad sebagai ganti lelaki Kandi itu.

Muawiyah kali ini juga berhasil menyuap lelaki dari kabilah Murad itu dan memberikan 5000 dirham kepadanya seraya berjanji bahwa nanti seusai perang, akan diserahkannya salah satu wilayah. Ia menerima uang itu dan bergabung clengan Muawiyah.

Beberapa yang lainnya juga disogok seperti itu dan bergabung dengan Muawiyah, di antaranya adalah Ubaidillah bin Abbas. Sejumlah kepala kabilah Kufah menulis surat kepada Muawiyah, "Kami adalah pendukungmu dan datanglah kepada kami. Ketika engkau telah mendekati kami, kami akan menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau kami akan menerornya."


Perdamaian dengan Muawiyah
Saat Imam Hasan bersama empat ribu pasukannya berhenti di Sabath, Muawiyah mengirimkan surat-surat warga Kufah dan para pemuka kabilah kepada Imam Hasan as seraya menulis, "Wahai anak paman! Janganlah engkau memutuskan kekeluargaan an tara diriku dan dirimu! Janganlah engkau percaya dan sombong dengan masyarakat ini sebab, sebelumnya, mereka telah berkhianat kepadamu dan juga kepada ayahmu. Aku bersedia menjalin perdamaian denganmu."

Imam Hasan mengawasi keadaan pasukannya dan mengetahui pengkhianatan sejumlah pemuka pasukannya kepada Muawiyah. Imam mengetahui benar ketidaksetiaan masyarakat Kufah dan ketidaksepahaman pikiran di dalam pasukan. Imam merasakan bahwa dalam kondisi seperti ini, perang tidak akan menghasilkan sesuatu, kecuali pcmbunuhan dan pembantaian massal Muslimin sehingga, pada akhirnya, pasukan musuh "akan mcnang dan kejahatan akan bertambah terhadap orang-orang Syi'ah. Hanya saja menerima perdamaian bukanlah suatu hal yang mudah.

Imam memutuskan untuk menyampaikan khotbah dcngan maksud menguji para sahabatnya dan mengetahui pendapat mereka. Imam memanggil masyarakat dan membacakan khotbah serta menyampaikan penjelasan.

Khotbah Imam tidak cocok dengan cita rasa sebagian yang hadir dan mereka berpikir bahwa Imam berniat untuk berdamai dengan Muawiyah. Sebagian dari mereka bangkit dan berkata, "Engkau telah kafir dan musyrik wahai Hasan sebagaimana ayahmu telah kafir!" Sekelompok orang menyerang kemah Imam Hasan dan merampok isinya, bahkan mereka menarik sajadah dari bawah kaki Imam dan mencabut aba'ah 'jubah' dari pundaknya.

Ketika melihat nyawanya terancam, Imam terpaksa menaiki kuda untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman sekelompok orang. Syi'ah dan sahabat-sahabat khususnya mengelilingi Imam Hasan untuk menjaganya dari bahaya musuh di bawah selimut. Tatkala melewati Sabath di kegelapan malam, seorang lelaki tiba-tiba menyerang Imam dan melukai pahanya cukup serius dengan senjatanya. Para sahabat Imam membantu Imam dan menyelamatkan nyawa Imam dari kejahatan lelaki itu. Kemudian para sahabatnya itu membawa Imam ke Madinah. Imam bcrbaring di rumah salah seorang Syi'ah dan berobat di sana. Imam dapat membaca keadaan yang sebenarnya dari pemberontakan dan penghinaan pasukannya. Imam berpikir bagaimana mungkin ia dapat memerangi musuh dan keluar sebagai pemenang sementara di antara pasukannya sendiri terdapat orang- orang yang mengutuk Imam. Selain itu, komandannya bahkan mengafirkan, menghalalkan darah, serta marampok hartanya? Apakah pasukan yang tidak ikhlas seperti itu dapat dipercaya?

Pada saat itu, Muawiyah mengirimkan surat sebagian pemuka kabilah kepada Imam Hasan yang tertulis, "Kami bersedia untuk menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau menerornya." Selain itu, dalam sebuah surat ditulis, "Pasukanmu adalah semacam ini. Dengan pasukan seperti ini, engkau ingin berperang denganku? Sebaiknya engkau dan umatmu menghindari perang ini dan menerima perdamaian. Dalam kaitan ini, aku menerima persyaratanmu dan akan konsisten serta memegang teguh perjanjian itu."

Kendati mengenal dengan baik tipu daya dan siasat Muawiyah, Imam Hasan tidak mempunyai jalan lain, kecuali menerima tawaran Muawiyah. Ia tahu bahwa ia tidak dapat menang melawan pasukan Muawiyah. Maka, alangkah baiknya kalau Imam menerima perclamaian demi mencegah pertumpahan clarah.

Beliau menyatakan kesiapannya untuk berdamai dan mengusulkan beberapa hal berikut ini sebagai syarat.

1. Hendaknya Muawiyah tidak menamakan dirinya sebagai Amirul Mukminin.

2. Imam Hasan tidak dihadirkan untuk menyatakan kesaksian.

3. Para Syi'ah Imam Ali di mana saja dalam keadaan aman serta tidak mendapatkan gangguan dan penyiksaan.

4. Hendaknya Muawiyah membagikan ribuan dirham kepada anak-anak syuhada yang ayah-ayah mereka syahid dalam pertempuran Jamal dan Shiffin di dalam barisan pasukan Ali.

5. Hendaknya Muawiyah bersikap sesuai dengan al-Quran clan sunah Rasulullah saw serta sirah para khalifah yang saleh.

6. Henclaknya Muawiyah tidak mengenalkan at au menunjuk putra mahkota setelahnya dan menyerahkan urusan khilafah kepada clewan syura Muslimin.

7. Hendaknya tidak melakukan makar terhaclap Hasan, Husain, dan segenap Ahlulbait Rasulullah saw, baik secara sembunyi- sembunyi ataupun terang-terangan dan jangan meneror mereka.

Muawiyah menenma semua persyaratan itu dan berjanji untuk bersikap setia.
Dengan demikian, perjanjian perdamaian pun ditandatangani oleh kedua pihak. Akan tetapi Muawiyah tidak setia melaksanakan kandungan surat perdamaian. Sejak pertama, ia menampakkan niat pengkhianatnya. Muawiyah tiba di Nakhilah dan setelah menunaikan shalat jamaah, ia berkhotbah dan berkata, "Aku tidak bcrperang dengan kalian agar kalian dapat melaksanakan shalat, puasa, haji, dan menunaikan zakat. Aku berperang dengan kalian untuk memimpin kalian dan Allah memberikan itu untukku sedangkan kalian tidak menyukai itu. Aku telah berjanji kepada Hasan bin Ali untuk memelihara beberapa persyaratan tetapi aku tidak akan menghormatinya dan tidak satu pun yang akan kulaksanakan." [31]


Catatan Kaki:
[1] A'lamul Wara, jilid l, hal. 402-403; Manaqib Ali bin Abi Thalib, jilid 4, hal. 33 Kasyful Ghummah, jilid2, hal. 140-144.

[2] Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 149.

[3] Itsbatul Hidayah, jilid 5, hal. 134.

[4] Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 153.

[5] Ibid, jilid 2, hal. 172.

[6] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 275.

[7] Ibid, jilid 43, hal. 269.

[8] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 134.

[9] Ibid, jilid 5, hal. 129.

[10] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 126.

[11] Ibid, jilid 5, hal. 122.

[12] Ibid, jilid 5, hal. 122.

[13] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 133, Thariq bin Syahab.

[14] Ibid, jilid 5, hal. 133.

[15] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 134.

[16] Ibid, jilid 5, hal. 137.

[17] Ibid, jilid 5, hal. 138.

[18]Ibid, jilid 5, hal. 140.

[19] Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 181.

[20] Ibid, jilid 2, hal. 142.

[21] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 332.

[22] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 331.

[23] Ibid, jilid 43, hal. 332.

[24] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 339.

[25] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 339.

[26] Ibid, jilid 43, hal. 332.

[27] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 341.

[28] Ibid, jilid 43, hal. 350.

[29] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 344.

[30] Kasyful Ghummah.jilid 2, hal. 163-165.

[31] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 69-1; Kasyful Ghummah, hal. 164-169; Manaqib Ali bin Abi Thalib, jilid 4, hal. 36-40.

16
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

IMAM KETIGA: IMAM HUSAIN AS
Imam Husain dilahirkan di Madinah pada tanggal 3 atau 5 Sya'ban tahun ke-4 Hijriah di Madinah. Ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib dan ibunya adalah Fatimah, putri Rasulullah saw.

Kunyah-nya adalah Abu Abdillah dan laqob-nya adalah Rasyid, Thayyib, Sayyid, Shibith, Wafi, dan Mubarak. Saat kelahirannya, Jibril turun ke sisi Rasulullah untuk menyampaikan ucapan selamat dan membawa pesan dari Allah agar bayi itu dinamai Husain. Rasulullah saw menyampaikan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya. Pada hari ke tujuh, Rasulullah menyembelih dua ekor kambing untuk aqiqah dan membagikan dagingnya bagi orang-orang miskin.

Imam Husain as, menurut sejumlah riwayat, hidup di dunia selama lima puluh enam tahun dan beberapa bulan. Selama enam tahun dan beberapa bulan, Imam hidup bersama dengan kakeknya, Rasulullah saw. Sepeninggal ayahnya, Imam hidup sepuluh tahun bersama saudaranya, Imam Hasan, dan setelah Imam Hasan meninggal, Imam hidup selama sepuluh tahun. Pada hari Asyura, tahun 61 Hijriah, Imam syahid di Karbala dan jasad sucinya dimakamkan di Karbala.[1]


Nash-Nash Imamah
Untuk membuktikan imamah Imam Husain as, dapatlah dimanfaatkan dalil-dalil umum yang sebelumnya telah diisyaratkan. Selain dari itu, Rasulullah saw dalam sejumlah hadis menjelaskan imamah 'kepemimpinan' Hasan dan Husain as. Berkenaan dengan Hasan dan Husain as, Rasulullah saw bersabda, "Ini dua anakku adalah imam, baik mereka bangkit atau diam."[2]

Selain itu, menjelang wafatnya, Imam Hasan merekomendasikan Imam Husain, saudaranya, sebagai imam setelahnya nanti. Dalam sebuah hadis, Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Menjelang wafatnya, Hasan bin Ali memanggil saudaranya, Muhammad bin Hanafiah, dan berkata, "Adakah engkau mengetahui bahwa Husain bin Ali sepeninggalku nanti menjadi Imam? Allah menghendaki ini dan Rasulullah saw bahkan telah menjelaskan imamah-nya. Allah swt mengetahui bahwa Ahlulbait adalah hamba-hamba-Nya yang terbaik. Allah swt memilih Muhammad sebagai nabi dan Muhammad memilih Ali sebagai imam dan ayahku, Ali, memilihku sebagai imam sedangkan aku memilih saudaraku, Husain, sebagai imam."

Muhammad bin Hanafiah berkata, "Saudaraku! Engkau adalah imam maka laksanakanlah kewajibanmu."[3]

Dalam kitab Shirat Mustaqim, Ali bin Yunus Amili menulis, "Amirul Mukminin menjelaskan imamah putranya Husain as sebagaimana beliau menjelaskan imamah putranya Hasan as. Kaum Syiah menceritakan bahwa menjelang wafat, Hasan as memilih saudaranya Husain sebagai imam serta menyerahkan mawatsiq nubuwwah dan imamah kepadanya lalu memberitahu kaum Syiah tentang kekhilafahan Husain dan menunjuk Husain sebagai pemegang bendera hidayah setelahnya. Perkara makruf ini sangat populer dan tiada keraguan sedikit pun di dalamnya." [4]

Dalam kitab Istbatul Washiyah, Mas'udi menulis bahwa ketika Hasan as sakit, saudaranya Husain mendekatinya dan terjadilah pembicaraan di antara mereka berdua. Lantas Imam Hasan menunjuk saudaranya Husain sebagai washi-nya dan mengajarkan kepadanya ismul a'dzam lalu menyerahkan kepadanya warisan-warisan para nabi dan wasiat dari Amirul Mukminin.[5]

Muhammad bin Hanafiah berkata kepada Imam Sajjad, "Engkau mengetahui bahwa Rasulullah saw menyerahkan wasiat dan imamah setelahnya kepada Amirul Mukminin dan setelah itu, kepada Hasan dan Husain as." [6]


Keutamaan Imam Husain as
Rasulullah saw bersabda, "Husain adalah dariku dan aku dari Husain. Barang siapa yang mencintai Husain maka Allah mencintainya. Husain adalah salah seorang cucuku." [7]

Baginda Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin melihat orang yang paling dicintai di langit dan di bumi maka hendaknya melihat Husain as." [8]
Hudzaifah menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Allah swt memberikan kemuliaan kepada Husain yang tidak diberikan-Nya kepada satu pun manusia kecuali Yusuf bin Ya'qub." [9]

Hudzaifah bin Yaman berkata, "Aku melihat Rasulullah saw dalam keadaan mengambil tangan Husain seraya berkata, "Wahai manusia! Inilah Husain bin Ali. Kenalilah dia! Demi Allah! Dia ahli surga dan pecinta dan orang yang mencintai pecintanya adalah ahli surga."

Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain sepeninggalku dan ayah mereka adalah manusia yang terbaik di muka bumi dan ibu mereka adalah wanita yang terbaik di muka bumi." [10]

Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain adalah dua raihan-ku di dunia."[11]

Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda surga dan ayah mereka adalah lebih mulia daripada mereka." [12]


Ibadah dan Penghambaan
Dikatakan kepada Imam Husain as, "Mengapa engkau begitu takut kepada Allah?" Beliau berkata, "Tiada yang selamat dari kesulitan hari kiamat melainkan orang yang saat di dunianya takut kepada Allah."[13]

Abdullah bin Ubaid berkata, "Imam Husain pergi haji sebanyak dua puluh lima kali, padahal beliau membawa hewan tunggangan." [14]

Kepada Imam Sajjad ditanya, "Mengapa anak ayahmu sangat sedikit?" Beliau menjawab, "Aku bahkan heran atas kelahiranku sendiri sebab beliau siang dan malam mendirikan shalat seribu rakaat."[15]

Perawi berkata, "Aku melihat Hasan dan Husain berjalan menuju haji. Setiap orang yang berkendaraan, ketika melihat mereka berdua, turun dari kendaraannya dan menyertai mereka berjalan meski bagi sebagian peziarah berjalan bukanlah suatu hal yang mudah."

Kepada Sa'ad bin Waqqash dikatakan, "Berjalan adalah sulit bagi kami. Namun, kami tidak memandang pantas apabila berkendaraaan sementara dua sayyid yang mulia ini berjalan."

Sa'ad menyampaikan ucapan itu kepada Imam Hasan dan berkata, "Andai untuk menjaga keadaan orang-orang ini, maka engkau mengendarai hewanmu." Imam Husain berkata, "Kami tidak akan menaiki kendaraan. Kami melazimkan diri kami untuk pergi haji dengan berjalan kaki. Namun, untuk menjaga keadaan para musafir, kami akan mengambil jarak." Kemudian keduanya melakukan hal itu.


Ihsan dan Infaq
Imam Husain as pergi mengunjungi Usamah bin Zaid yang dalam keadaan sakit. Usamah berkata, "Betapa sedihnya aku!" Imam berkata kepadanya, "Saudaraku! Apa yang engkau sedihkan?" Ia berkata, "Wahai putra Rasulullah! Aku mempunyai hutang sebanyak seribu dirham. Aku takut mati sementara hutangku belum terbayarkan." Imam berkata, "Janganlah engkau bersedih! Sebelum ajalmu tiba, aku akan menunaikan hutangmu." Setelah itu, Imam menunaikan hutangnya itu."[16]

Syuaib bin Abdurrahman berkata, "Setelah Imam Husain terbunuh, dilihat ada bekas di pundak beliau lalu ditanyakan kepada Imam Sajad, "Apakah bekas itu?" Imam Sajjad berkata, "Bekas ini adalah karena ayahku memiliki kebiasaan memikul makanan dan membawanya ke rumah-rumah para janda, anak-anak yatim, dan kaum miskin."[17]

Diriwayatkan dari Imam Husain as yang berkata, "Kebenaran ucapan Rasulullah saw telah terbuktikan bagiku, yakni ketika Nabi bersabda,

"Sebaik-baiknya amalan setelah shalat adalah memasukkan kebahagiaan di hati orang mukmin, hanya saja, dengan syarat tiada dosa di situ."

Suatu hari, seorang hamba makan bersama dengan seekor anjing. Satu suapan untuk dirinya dan satu suapan lainnya dilemparkannya ke hadapan anjing itu. Imam Husain menanyakan sebab perbuatannya itu. Hamba itu berkata, "Wahai putra Rasulullah! Aku sangat berduka dan aku ingin menyenangkan anjing ini dengan harapan Allah swt menyenangkanku. Tuanku adalah seorang Yahudi dan aku ingin berpisah darinya.

Imam Husain as pergi ke sisi tuan si hamba tadi dan membebaskannya dengan harga dua ratus dinar. Lelaki Yahudi itu berkata, "Budak ini kukorbankan untukmu, wahai yang mulia, sebab lantaran budak inilah engkau datang kemari. Ladang ini juga kuberikan kepadamu dan dua ratus dinar ini juga kuhadiahkan untukmu." Imam Husain as berkata, "Kuterima pemberianmu ini dan semuanya kuberikan kepada budak ini dan kubebaskan dia di jalan Allah."

Istri lelaki Yahudi itu, yang berada di situ dan menyaksikan peristiwa tersebut, berkata, "Aku menjadi Muslim dan kuhadiahkan mas kawinku kepada suamiku." Lelaki Yahudi itu berkata, "Aku juga menjadi Muslim dan kuhadiahkan rumahku ini kepada istriku." [18]

Anas bercerita, "Pada suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali. Seorang budak wanita datang dan menghadiahkan sekuntum bunga raihan kepada Imam Husain. Imam Husain kemudian membebaskan wanita budak itu dan berkata kepada budak itu, "Kubebaskan engkau di jalan Allah."

Anas berkata, "Wahai Putra Rasulullah! Budak ini hanya mengahadiahkan sekuntum bunga yang tidak mahal dan bernilai. Namun, engkau membalasnya dengan membebaskannya?" Imam berkata, "Allah swt mengajarkan kepada kami untuk berbuat seperti itu. Imam mengatakan: Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa),[19] dan yang lebih baik daripada sekuntum bunga ini adalah membebaskan budak wanita ini."[20]

Salah seorang budak Imam Husain as melakukan suatu kesalahan yang layak untuk dihukum. Imam memerintahkan agar ia diberi pelajaran dan hukuman.

Budak itu berkata, "Wahai tuanku! 'orang-orang yang menahan amarahnya'." Imam berkata, "Aku maafkan dia."

Budak itu berkata, "Wahai tuanku! 'dan memaafkan (kesalahan) orang'." Imam berkata, "Aku maafkan engkau."

Budak itu kembali berkata, "Wahai tuanku! 'Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan'." Imam berkata, "Kubebaskan kamu di jalan Allah dan akan kuberikan kepadamu dua kali lipat dari apa yang telah kuberikan sebelumnya."[21]

Seorang Arab badui menjumpai Imam Husain as dan berkata, "Wahai Putra Rasulullah! Aku menanggung satu diyah sempurna dan tidak kuasa untuk membayarnya. Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku akan memintanya dari orang yang paling dermawan. Kini, aku tidak menemukan orang yang lebih dermawan daripada Ahlulbait Rasulullah saw." Imam Husain as berkata, "Aku akan menanyakan tiga pertanyaan kepadamu. Apabila engkau menjawab salah satu darinya, aku akan memberikan sepertiga dari hartaku dan apabila engkau menjawab dua, aku akan memberikan dua pertiga dan jika engkau menjawab semuanya, aku akan memberikan semua hartaku kepadamu."

Lelaki Arab badui itu berkata, "Wahai Putra Rasulullah! Mengapakah seorang pribadi agung dengan lautan ilmu sepertimu bertanya kepadaku yang tidak mengetahui apa-apa ini?" Imam berkata, "Ya! Aku mendengar dari kakekku, Rasulullah saw, bersabda, "Kebaikan menurut kadar pengetahuan."

Lelaki Arab itu berkata, "Bertanyalah! Apabila mengetahui, aku akan menjawab dan jika tidak, aku akan belajar darimu .

Imam Husain as berkata, "Apakah amalan yang paling afdal?" Badui itu berkata, "Iman kepada Allah."

Imam kembali bertanya, "Apakah wasilah untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan?" Badui itu berkata, "Bergantung dan bersandar kepada Allah."

Imam bertanya, "Apakah perhiasan manusia itu?" Lelaki badui itu berkata, "Ilmu yang dengannya manusia bersabar."

Imam kembali bertanya, "Kalau itu tidak ada, lalu apa?" Badui berkata, "Harta yang disertai dengan objektifitas dan rasa kasihan."

Imam bertanya, "Apabila itu pun tidak ada, lalu apa yang lain." Badui itu menjawab mantap, "Kefakiran yang disertai kesabaran."

Imam berkata, "Apabila itu pun tidak ada, lalu apa?" Badui itu berkata, "Kalau sudah demikian, haruslah petir turun dari langit dan membakar orang itu."

Imam Husain tersenyum dan memberinya seribu dirham. Imam juga mencopot cincinnya yang bernilai dua ratus dirham. Imam mengatakan, "Dengan uang ini, tunaikanlah hutangmu dan juallah cincin ini lalu belanjakan untuk kehidupanmu." Lelaki badui itu mengambilnya dan berkata, "Allah lebih mengetahui kepada
siapa Dia meletakkan risalah-Nya."[22]


Imam Husain sepeninggal Saudaranya
Imam Hasan as syahid pada tanggal 28 bulan Shafar, tahun 49 Hijriah. Sejak tanggal itu, Imam Husain as secara resmi duduk di kursi khilafah dan imamah sesuai dengan nash dan wasiat kakeknya, Rasulullah saw, ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan saudaranya, Imam Hasan as. Masyarakat juga berkewajiban menyiapkan landasan untuk merealisasikan kekuasaan dan khilafah-nya. Namun, dalam praktiknya, mereka tidak melakukan hal itu sama sekali karena propaganda luas Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim dari satu sisi dan kekuatan tirani Muawiyah di negeri-negeri Islam dari sisi lain. Di samping itu, pemberian Muawiyah yang begitu banyak serta pembelian tokoh-tokoh besar masyarakat telah membuat masyarakat takut kepadanya dan tidak ada yang kuasa untuk menentangnya.

Selain dari itu, antara Muawiyah dan Imam Hasan telah ditandatangani surat perdamaian yang di dalamnya Muawiyah berjanji untuk tidak menunjuk putra mahkota setelahnya dan menyerahkan pemilihan khalifah kepada masyarakat. Persoalan ini merupakan suatu celah harapan bagi para pendukung pemerintahan Alawi. Karena mempertimbangkan hal-hal tersebut, Imam Husain as melihat kemaslahatan Islam dan Muslimin sehingga ia setia kepada surat perjanjian itu dan menghindari segala sikap yang keras untuk mengambil haknya yang sah. Pada saat itulah, Imam Husain hanya menanti momentum yang tersisa. Dengan demikian, Imam Husain tidak menerima usulan sekelompok orang Syiah Irak untuk melucuti senjata Muawiyah dan bangkit menentang Muawiyah serta mengambil kembali pemerintahan.

Selama sepuluh tahun berlalu, keadaannya seperti itu hingga Muawiyah meninggal dunia pada paruh bulan Rajab tahun 60 Hijriah. [23]

Sepeninggal Muawiyah, kondisi baru yang timbul memberikan celah harapan bagi para pecinta Ahlulbait Nabi saw, khususnya Imam Husain as dan para pecinta pemerintahan Alawi. Mereka merasakan sebuah landasan bagi sebuah kebangkitan untuk menentang pemerintahan Umayyah dan mendirikan pemerintahan Alawi yang relatif terwujud karena beberapa hal: pertama, masa surat perdamaian Imam Hasan telah berakhir dan tidak ada lagi perjanjian untuk itu; kedua, Muawiyah, dalam surat perjanjian itu, berjanji untuk tidak menunjuk penggantinya.

Namun, ia tidak menepati janji itu dan menujuk putranya Yazid sebagai penggantinya. Masyarakat yang mengetahui soal pelanggaran yang dilakukannya itu tidak meridhainya; ketiga, ia berjanji untuk melarang masyarakat melaknat Ali tetapi masih melakukan hal itu; keempat, ia berjanji untuk beramal sesuai dengan al-Quran dan sunnah tetapi tetap melanggar ketetapan itu; kelima, Yazid, yang dipilih Muawiyah sebagai penggantinya, adalah seorang pemuda yang masih hijau, tidak berpengalaman, dan dikenal dengan perbuatan fasik, fajir, serta menyukai minuman keras. Lelaki seperti ini tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah Rasulullah saw. Sebagai konsekuensinya, Imam Husain as menolak untuk berbaiat dengan Yazid dan memandang bahwa dukungan kepada pemerintahan Yazid merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas.


Peristiwa Asyura
Peristiwa Asyura adalah salah satu kejadian yang paling tragis dalam sejarah Islam, bahkan sejarah dunia yang langka dalam jenisnya. Dalam peristiwa tragis ini, Imam Husain as -yakni putra Rasulullah saw yang dengan semua keutamaan dan anjuran Rasulullah agar Muslimin mencintainya- dibantai di padang Karbala beserta anak-anak, saudara-saudara, anak-anak saudara, anak-anak paman, keluarga dekat, Anshar, dan para sahabatnya atas perintah orang yang menganggap dirinya sebagai khalifah Rasulullah saw melalui tangan pasukan yang menganggap dirinya sebagai Muslim dan pengikut Rasulullah saw. Apalagi Imam Husain terbunuh dengan begitu mengenaskan dan dibantai secara sangat tidak manusiawi. Perilaku yang sangat biadab dan tidak mengenal belas kasihan itu telah menghitamkan wajah sejarah kemanusiaan.

Untuk mengenal Imam Husain as, perlu mengkaji peristiwa pahit ini. Namun, berhubung untuk mengkajinya secara sempurna dan teliti, diperlukan penulisan sebuah buku yang terperinci, maka untuk sementara ini, keadaan tidak memungkinkan untuk itu. maka, kami di sini akan berupaya menyinggung peristiwa tersebut secara ringkas.


Imam Husain Dipanggil ke Darul Imarah
Sepeninggal Muawiyah, Yazid duduk di kursi khilafah. Ia menulis surat kepada Walid bin Atabah, wali Madinah, yang isinya adalah bahwa bagaimanapun caranya hendaknya Walid dapat mengambil baiat dari Husain. Sewaktu surat ini sampai kepada Walid, Imam Husain dipanggil ke Darul Imarah. Setelah diumumkannya berita kematian Muawiyah, Imam Husain diminta agar membaiat Yazid. Imam meminta waktu untuk memikirkan hal itu. Kemudian Imam menerima undangan itu dan datang ke Darul Imarah. Namun, Imam tidak memutuskan untuk membaiat Yazid dan melegalisasi khilafah-nya sebab Yazid di mata Imam tidaklah layak untuk itu.

Pada hari lainnya, Marwan bin Hakam menyaksikan Imam Husain as di jalan kecil dan berkata, "Aku menghendaki kebaikan untukmu. Membaiat Yazid menguntungkan dirimu, baik di dunia maupun akhirat. Aku menyarankan agar engkau membaiatnya dan menerima khilafah-nya. Imam Husain as berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari hari ketika umat Islam dilanda khalifah seperti Yazid. Aku mendengar dari kakekku, Rasulullah saw, yang bersabda, "Khilafah diharamkan bagi keluarga Sufyan." [24]

Pada hari lainnya, kembali Walid memanggil Imam Husain as dan mengulangi gagasannya itu dengan pemaksaan dan dengan alasan bagi kebaikan Imam Husain as. Kembali Imam meminta waktu dan keluar dari Darul Imarah.

Imam Husain as yang memutuskan untuk tidak membaiat Yazid melihat bahwa maslahatnya adalah meninggalkan Madinah. Saudaranya, Muhammad bin Hanafiah, mengetahui keputusan ini.

Lantas ia mengatakan, "Apabila engkau berniat untuk tidak membaiat Yazid, pergilah ke Mekkah atau Yaman! Janganlah pergi ke kota lainnya sebab tidaklah maslahat!" Imam Husain as berkata, "Saudaraku! Demi Allah! Meskipun tidak memiliki tempat perlindungan dan rumah satu pun, aku tidak akan membaiat Yazid." [25]


Surat Wasiat Imam dan Kepergiannya dari Madinah
Imam berkata kepada Muhammad bin Hanafiah, "Tinggallah engkau di Madinah dan sampaikanlah berita kepadaku!" Lalu Imam menulis sebuah surat dengan kandungan seperti berikut ini.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ini adalah wasiat yang diperuntukkan oleh Husain bin Ali kepada saudaranya, Muhammad bin Hanafiah.

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Tuhan yang Esa dan Ia tidak memiliki sekutu serta bahwasannya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya dan ia membawa kebenaran dari sisi Allah. Aku bersaksi Bahwasannya surga dan neraka itu benar dan tiada keraguan akan kedatangan hari kiamat serta orang-orang yang mati akan dibangkitkan untuk dihisab dan diberi pahala atau hukuman.

Ketahuilah bahwa aku keluar dari Madinah bukannya atas dasar thugyan dan kesombongan serta mencari kesenangan atau membuat kerusakan dan kezaliman, melainkan tujuanku adalah membuat perbaikan pada umat kakekku. Aku bermaksud untuk melakukan amar makruf nahi munkar dan menghidupkan sirah kakekku Rasulullah saw dan ayahku Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang menerima hakku telah menerima hak Allah. Namun, apabila masyarakat mencegah untuk menerima kebenaran, aku akan bersabar hingga Allah mengadili antara aku dan mereka dan Allah adalah hakim yang terbaik.

Saudaraku! Inilah wasiatku untukmu. Taufikku berada di tangan Allah dan aku bertawakkal kepada-Nya dan menuju kepada-Nya."[26]

Imam Husain as mengucapkan perpisahan dengan makam Rasulullah saw dan ibunya, Fatimah, serta saudaranya, Imam Hasan as. Pada pertengahan malam 3 Sya'ban atau 28 Rajab tahun 60 Hijriah, Imam berangkat menuju Mekkah. Keluarga, anak-anak, saudara, keponakan, saudara perempuan, anak-anak saudara perempuan, anak-anak paman, dan mayoritas Ahlulbait juga ikut serta dalam perjalanan ini. [27]

Kafilah Imam Husain as bergerak dengan begitu cepat. Setelah beberapa hari, Imam tiba di Mekkah dan tinggal di sebuah rumah. Abdullah bin Zubair sebelumnya juga pergi ke Mekkah dan berlindung di Haram. Ia mengharapkan umat Islam membaiatnya. Oleh karena itulah, Abdullah merasa terganggu dengan kedatangan Imam Husain as karena mengetahui bahwa dengan adanya Imam Husain as, tidak ada yang akan membaiat dirinya.

Masyarakat Mekkah mengetahui kedatangan Imam Husain as sehingga pergi menuju rumah Imam. Imam Husain berada di Mekkah sepanjang bulan Sya'ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa'dah, dan delapan hari dari Dzulhijjah sambil menantikan peristiwa yang mendatang.


Undangan Warga Kufah untuk Imam
Pada hari-hari itu, masyarakat Kufah mendapat berita tentang kematian Muawiyah dan khilafah putranya Yazid. Lantas mereka mendapat berita bahwa Imam Husain as tidak bersedia membaiat Yazid dan berhijrah dari Madinah. Oleh karena itulah, mereka berkumpul di sebuah rumah warga Syiah dan mendiskusikan undangan untuk Imam Husain agar Imam datang ke Irak untuk menerima dukungan yang ditujukan kepadanya. Pada akhirnya, semua yang hadir bersepakat untuk mengundang Imam Husain ke Kufah dan mendukung pendirian pemerintahan Husaini.

Sebagai hasil dari keputusan ini, mereka menulis surat, " , manakala engkau tiba di Kufah, kami akan mengeluarkan Nu'man Basyir, antek Yazid, dari Kufah dan akan memilih engkau sebagai imam."

Lantas mereka menandatangani surat itu dan mengirimkannya kepada Imam Husain di Mekkah melalui beberapa utusan Syiah.

Setelah surat itu, banyak sekali surat susulan yang dikirim kepada Imam Husain, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 150 hingga 600 dan bahkan dua belas ribu surat.


Jawaban Surat Warga Kufah dan Keberangkatan Muslim bin Aqil
Manakala jumlah surat sudah semakin banyak dan Imam Husain mengetahui kandungannya, sebagai jawabannya, Imam melayangkan surat dengan kandungan seperti berikut ini.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, surat ini dari Husain bin Ali untuk jama'ah mukminin dan Muslimin. Hani dan Sa'id telah membawa surat-surat kalian. Kedua orang itu merupakan delegasi kalian yang terakhir dan aku telah mengetahui isi surat-surat kalian. Ringkasnya, semua surat itu menyatakan bahwa kalian tidak memiliki imam dan menghendakiku agar datang kepada kalian yang mungkin Allah memberi kalian petunjuk kepada kebenaran melaluiku.

Kini, untuk tujuan ini, aku mengutus saudara, anak paman, dan orang kepercayaanku, Muslim bin Aqil, kepada kalian agar melihat dan mempelajari keadaan dari dekat. Apabila Aqil menulis kepadaku bahwa jumhur 'mayoritas' masyarakat, para bangsawan, dan kaum cerdik cendekia memutuskan untuk mengamalkan apa yang terkandung dalam surat yang kubaca itu, aku akan segera menuju kalian. Demi agamaku! Tidaklah layak menduduki kursi imamah kecuali orang yang bertindak sesuai dengan al-Quran, mendirikan keadilan, menerima agama yang benar, dan bertekad untuk melaksanakan kewajiban ini."[28]

Imam menulis surat dan mengutus Aqil untuk berangkat menuju Kufah dengan ditemani oleh Qays bin Mushir Shaidawi, Ammarah bin Abdullah Saluli, dan Abdurahman bin Abdullah Azdi untuk menyampaikan surat kepada warga Kufah dan menyaksikan keadaan dari dekat lalu melaporkannya.

Muslim mengambil surat itu dan berangkat menuju Kufah. Pertama, Muslim memasuki rumah salah seorang warga Syiah yang bernama Mukhtar bin Abi Ubaidah. Masyarakat Syiah menyambutnya dengan hangat dan berebut untuk menjumpainya. Muslim membacakan surat Imam Husain bagi mereka dan mereka menangis karena senang bercampur rindu. Mereka membaiat Muslim bin Aqil sebagai wakil Imam Husain as dan jumlah yang membaiat diriwayatkan mencapai delapan belas ribu orang dan bahkan ada yang mengatakan empat puluh ribu orang.


Surat Muslim bin Aqil kepada Imam Husain as
Manakala menyaksikan sambutan masyarakat yang begitu hangat, Muslim bin Aqil menulis surat kepada Imam Husain as dan melaporkan sambutan antusias masyarakat Kufah serta meminta Imam agar sesegera mungkin bergerak menuju Kufah.[29]

Di sisi lain, sebagian pendukung Yazid menulis surat untuk melaporkan peristiwa masuknya Muslim bin Aqil ke Kufah dan baiat masyarakat kepadanya dengan menulis, "Apabila engkau menghendaki Kufah, kirimkanlah walikota yang tangguh kemari. Jika tidak, Kufah akan lepas dari tanganmu."

Ketika surat ini tiba di tangannya, Yazid membahas persoalan ini dengan para penasehatnya. Salah seorang dari mereka memberikan solusi agar Ubaidillah bin Ziyad diangkat sebagai wali Kufah. Yazid menerima saran ini dan mengirimkan surat keputusan yang menunjuk Ubaidillah bin Ziyad, yang saat itu menjabat wali Basrah, sebagai wali Kufah. Untuk itu, Yazid menulis, "Segera pergilah ke Kufah dan tangkap serta habisi Muslim!"


Masuknya Ubaidillah Ke Kufah
Ubaidillah tiba di Kufah pada malam hari. Pada pagi harinya, sejumlah bangsawan Kufah dipanggil oleh Ubaidillah ke Darul Imarah. Mereka dipersalahkan dan dicela oleh Ubaidillah yang berkata, "Aku mendengar Muslim bin Aqil datang ke Kufah dan membuat perpecahan di tengah umat! Katakan kepadanya agar jangan meneruskan perbuatan itu sebab, kalau tidak, dia akan menerima hukuman yang berat! Kalian juga harus membantuku dalam hal ini sehingga kalian diridhai oleh Yazid dan mendapat dukungan darinya."

Kemudian Ubadillah mengutus mata-matanya untuk mencari posisi Muslim dan memberikan sejumlah uang sebagai biaya pencarian itu. Muslim bin Aqil yang mengetahui kedatangan Ubaidilah bin Ziyad ke Kufah dan mengetahui ucapan-ucapan Ibn Ziyad di tengah para pendukungnya merasakan adanya bahaya. Ia pun mengubah posisinya dan secara sembunyi-sembunyi, ia beralih ke rumah Hani bin Urwah. Secara kebetulan, salah seorang mata-mata menemukan tempat persembunyian Muslim dan membocorkannya kepada Ibn Ziyad.

Ibn Ziyad memanggil Hani dan dengan celaan ia berkata kepada Hani, "Aku mendengar bahwa engkau menyembunyikan Muslim di rumahmu dan engkau menyediakan pasukan serta senjata untuknya?"

Hani memungkiri tudingan itu. Ibn Ziyad pun mendatangkan mata-mata yang menunjukkan bukti kepadanya. Hani memahami bahwa persoalannya telah terbongkar. Maka, lantas ia berkata, "Aku tidak mengundangnya ke rumahku tetapi dia sendiri yang datang ke rumahku sebagai tamuku dan aku terpaksa menerimanya." Ibn Ziyad berkata, "Kini, engkau harus menyerahkannya kepadaku." Hani berkata, "Aku tidak akan menyerahkan tamuku kepadamu tetapi bersedia untuk menyuruhnya meninggalkan rumahku dan pergi ke mana saja ia suka."

Ibn Ziyad memukuli wajah dan tangan Hani dengan tongkat kayunya hingga Hani mengalami luka-luka dan darah pun mengalir. Lantas Hani dipenjarakan di sebuah kamar yang gelap.


Keluar dan Syahadahnya Muslim bin Aqil
Ketika mengetahui berita ini, Muslim memerintahkan para sahabatnya yang kira-kira berjumlah empat ribu orang untuk bersiap-siap berjihad.[30] Mereka berkumpul di masjid dan sekitarnya serta bersiap untuk melakukan serangan ke Darul Imarah. Ibn Ziyad yang menyaksikan keadaan seperti ini berkata kepada para pengikutnya, "Menyusuplah kalian ke dalam pasukan Muslim dan dengan cara bagaimanapun pecah-belahlah, pencarkanlah, dan perselisihkanlah mereka!"

Sebagian pengikut Ubaidillah menyusup ke dalam pasukan Muslim dan membuat isu bahwa pasukan Syam sedang berangkat dan tidak lama lagi mereka akan tiba dan akan membantai pasukan Muslim. Para penyusup itu berkata, "Kasihanilah diri sendiri dan anak-anak kalian dan kembalilah ke rumah kalian sehingga mendapat anugerah dari khalifah Yazid!"

Dengan ancaman-ancaman seperti itu, suasana ketakutan yang mencekam merasuk ke dalam jiwa pasukan hingga para ibu datang untuk mengambil tangan anak-anak mereka dan mengeluarkan mereka dari medan. Tidak lama kemudian, pasukan Muslim telah meninggalkan Muslim. Dalam shalat Maghrib, ada tiga puluh orang yang bertahan dengannya. Ketika Muslim keluar dari masjid, hanya sepuluh orang yang menyertainya. Sewaktu Muslim keluar dari pintu masjid, bahkan tak satu pun orang yang menyertainya.

Dalam keadaan seorang diri, Muslim kebingungan di jalan hingga ia diterima sebagai tamu di rumah seorang wanita tua bernama Thau'ah. Pada hari berikutnya, Ibn Ziyad mencium keberadaan Muslim di rumah nenek tua itu. Lantas ia mengirim beberapa orang untuk menangkap Muslim. Muslim sempat melawan mereka sendirian tetapi akhirnya menyerahkan diri setelah ada jaminan bagi keamanannya. Ia diseret ke sisi Ibn Ziyad dan pada tanggal 9 Dzulhijjah,[31] syahid dengan keadaan yang mengenaskan. Bersamaan dengan itu, Hani dan Urwah menemui ajalnya dengan mengenaskan pula.

Diriwayatkan bahwa menjelang syahidnya, Muslim menangis. Ketika ditanya mengapa ia menangis, Muslim menjawab, "Demi Allah! Aku tidak menangisi ajalku karena syahadah adalah warisan kami. Akan tetapi, aku menangis karena akibat suratku, Imam Husain dan Ahlulbaitnya akan bergerak menuju Kufah. Aku menangis untuk mereka." Kemudian Muslim berkata kepada Muhammad bin As'ats, "Apabila engkau bisa, maka tulislah surat kepada Imam Husain dan katakanlah dariku kepada beliau, "Kini Muslim ditawan kaum keji dan tidak akan lama lagi terbunuh. Batalkanlah niat perjalananmu dan keluargamu karena warga Kufah tidak akan setia dengan janji-janjinya."[32]

Kepergian Imam Husain dan Ahlulbaitnya dari Mekkah bersamaan dengan hari keluarnya Muslim menentang Ibn Ziyad pada hari tarwih.[33]

17
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Keputusan Imam Husain untuk Pergi ke Irak
1. Surat-surat yang banyak dari warga Kufah dan undangan mereka kepada Imam Husain agar pergi ke Irak. Mereka mengatakan pula bahwa mereka tidak memiliki imam dan meminta Imam Husain supaya segera datang.

2. Sambutan hangat masyarakat Kufah dalam membaiat Muslim dan surat Muslim kepada Imam Husain as bahwa sudah ada delapan belas ribu orang yang telah membaiatnya.

Kematian Muawiyah yang kemudian digantikan oleh Yazid padahal Yazid adalah pemuda yang fasik, fajir, suka bersenang-senang, dan berpesta pora. Selain itu, ia kurang berpengalaman dan tidak memiliki kekuatan yang diperlukan.

Semua ini mengindikasikan bahwa umat Islam, khususnya Syiah, tidak tahan lagi menyaksikan kezaliman dan diabaikannya harta milik rakyat serta ketidakpedulian para khalifah Umawi terhadap nilai-nilai Islam, bahkan mereka menginjak-injak nilai-nilai itu. Selain itu, mereka menyaksikan implikasi buruk dari terlepasnya pemerintahan Islam dengan mata mereka sendiri dan berusaha menebus kesalahan itu.

Dengan mempertimbangkan tanda-tanda seperti itu, tampaknya keadaan menunjukkan bahwa landasan bagi pergerakan dan pembentukan pemerintahan Islam sudah tersedia. Dalam kondisi seperti ini, Imam Husain merasakan tanggung jawab, yakni sebuah tanggung jawab yang berat dan sulit lagi berbahaya. Dengan keadaan seperti itu, hujjah bagi Imam Husain sudah sempurna dan Imam merasa harus menyambut positif undangan masyru' dan menentukan masyarakat Kufah serta bergerak menuju Irak.

Akibat dari perbuatan ini, maka hal ini tidak keluar dari dua kemungkinan: pertama, sekiranya masyarakat Kufah menepati janji-janjinya dan mendukung Imam Husain dalam mengupayakan pembentukan pemerintahan Islam yang sejati, dengan demikian, pemerintahan Islam yang sudah sekian tahun menyeleweng dari rel aslinya dapat dikembalikan ke jalurnya yang asli, atau setidaknya, di Irak berdiri pemerintahan seperti pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib. Hal itu nantinya memungkinkan untuk menyebar dan menular ke negeri-negeri Islam yang lain, termasuk Syam.

Dalam asumsi seperti itu, maka kemenangan besar telah diraih oleh Islam dan Muslimin; kemungkinan kedua, masyarakat Kufah melanggar janjinya dan meninggalkan Imam Husain sendirian dalam pergerakan sucinya yang amat penting dan akhirnya Imam syahid. Dalam keadaan seperti ini, Imam Husain telah menunaikan kewajiban Ilahinya dan dengan kebangkitan berdarahnya melawan Yazid, Imam telah mengumumkan ketidakabsahan pemerintahan Bani Umayyah dan telah menggoyang fondasi-fondasinya karena kebangkitan anak Rasulullah saw dan Ali serta Fatimah di hadapan sebuah pemerintahan adalah sebaik-baiknya dalil atas kebatilan dan ilegalitas pemerintahan itu.

Imam Husain berpikir bahwa, dalam keadaan seperti itu, ia telah memberikan pelajaran beragama kepada Muslimin dan melakukan amar makruf nahi munkar dalam membela Islam dan nilai nilai Islam serta melakukan jihad di jalan pembentukan pemerintahan Islam. Ini juga merupakan sebuah kemenangan.

Dari sejumlah ucapan dan khutbah-khutbah Imam Husain as saat hendak keluar dari Madinah dan ketika bergerak menuju Irak dari Mekkah dan di sepanjang perjalanan, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kedua bukan hanya mustahil tetapi bahkan aroma kematian dan syahadah sudah begitu dirasakan oleh Imam. Imam beserta yang menemaninya bersiap-siap untuk menerima kenyataan. Namun, karena beliau merasa bertanggung jawab, tiada jalan lain kecuali menghadapi kematian itu dengan sabar.

Oleh karena itulah, ketika bergerak dari Mekkah menuju Irak, Imam membacakan khutbah dan setelah menjelaskan perasaannya tentang perjalanan ini dan kemungkinan dampaknya yang berbahaya, Imam berkata kepada para sahabatnya, "Barangsiapa yang siap menghadiahkan darahnya di jalan kami dan menyiapkan nyawanya untuk bertemu dengan Allah hendaknya menyertai kami dalam perjalanan suci ini. Aku Insya Allah pagi-pagi benar akan bergerak menuju Irak."[34] Pada malam itu, Muhammad bin Hanafiah, yang pada masa itu berada di Makkah, menjumpai Imam Husain as dan berkata, "Saudaraku! Apakah engkau mengenali warga Kufah. Engkau tahu bahwa ayah dan saudaramu telah dikhianati oleh mereka. Aku khawatir mereka akan berbuat yang sama terhadapmu dan meninggalkanmu sendirian. Apabila engkau setuju, tinggallah di Mekkah dan kemuliaanmu tetap terpelihara."

Imam Husain as berkata, "Saudaraku! Aku khawatir antek-antek Yazid akan membunuhku di Mekkah dan kehormatan Baitullah terkoyak atau mereka akan menangkapku dan menyerahkanku ke Yazid.'' Muhammad bin Hanafiah kembali berkata, "Apabila engkau masih khawatir, pergilah ke Yaman atau salah satu daerah pegunungan!

Di sana, engkau lebih aman." Imam Husain pun memikirkan saran itu.[35]

Orang-orang lain juga ada yang memberikan saran serupa. Namun, tidak satu pun yang dapat menggoyahkan tekad baja Imam Husain untuk menunaikan kewajiban Ilahiah dan Imam pun berangkat ke Irak.


Berangkat Menuju Irak
Subuh malam 8 Dzulhijjah, Imam Husain beserta keluarga, anak-anak, saudara, anak paman, saudari, anak saudari, anak-anak paman, para sahabat, dan pendukungnya berangkat menuju Irak. Di saat itu, berita syahidnya Muslim bin Aqil belum mereka terima.[36]

Imam Husain di sepanjang perjalanan berpapasan dengan sejumlah tokoh dan manusia yang kebanyakannya merasa heran atas keberangkatan mendadak Imam ke Kufah dan bahkan tampak cemas dan menyarankan agar Imam Husain tidak melanjutkan perjalanan yang berbahaya itu. namun, Imam Husain tidak menghiraukan saran-saran tadi, seolah-olah rasa tanggung jawab Imam sedemikian besarnya sehingga saran-saran seperti itu tidak lagi berpengaruh.

Di Tsa'labiyah, mereka mendengar syahidnya Muslim dan Hani. Abdullah bin Sulayman dan Mundzir bin Masy'al berkata, "Kami melihat seorang lelaki yang datang dari Kufah. Kami menanyakan keadaan di Kufah. Ia berkata, "Kami tidak keluar dari Kufah melainkan setelah Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah telah terbunuh. Aku melihat dengan mataku sendiri badan mereka ditarik di atas tanah di pasar." Dua lelaki Tsa'labiyah ini mendatangi Imam Husain as dan menceritakan peristiwa syahidnya Muslim dan Hani. Imam berkata, "

Dua lelaki itu berkata, "Demi Allah! Jagalah jiwamu dan keluargamu dan janganlah engkau meneruskan perjalanan ini karena, di Kufah, tidak ada penolong dan Syiah. Bahkan aku takut orang-orang Kufah akan berbalik memerangimu dan berdiri di barisan musuh.

Imam Husain memandang anak-anak Aqil dan berkata, "Kalian telah mendengar kalau Muslim telah terbunuh. Kini, bagaimana pendapat kalian?"

Mereka berkata, "Wahai putra Rasulullah! Demi Allah! Kami tidak akan kembali kecuali setelah membalas darah Muslim atau kami juga terbunuh di jalan ini!"

Imam Husain as berkata, "Setelah syahidnya Muslim dan Hani, kehidupan tidak lagi ada manisnya." Mereka berkata, "Tetapi engkau berbeda dengan Muslim. Apabila engkau memasuki Kufah, diharapkan masyarakat akan berkumpul dan termobilisasi untuk mendukungmu."[37]

Di sisi lain, tatkala Ubaidillah bin Ziyad mengetahui bahwa Imam Husain as telah keluar dari Mekkah dan berangkat menuju Kufah, Husain bin Numair (panglima perangnya) dikirimnya ke Qadisiyah untuk mempersiapkan dan mengorganisasi pasukan.[38]

Program Ibn Ziyad adalah mencegah masuknya Imam Husain ke Kufah dan menghalangi kemungkinan keluarnya warga Kufah untuk bergabung dengan Imam Husain. Oleh karena itu, ia berusaha mengepung dan mengisolasi Imam Husain dan para sahabatnya di luar Kufah lalu memaksa mereka menyerah. Dengan tujuan ini, Hur bin Yazid Riyahi dikirim dengan seribu personil pasukan berkuda ke luar Kufah dan menghambat gerak laju pasukan Imam Husain.
Keputusan Imam Husain adalah untuk sesegera mungkin menyampaikan diri dan pasukannya ke Kufah sebagai sentral kaum Syiah yang telah mengundangnya dan memberi janji bantuan.


Pertemuan dengan Hur
Imam Husain dan para sahabatnya sedang bergerak menuju Kufah yang kemudian tiba-tiba berhadapan dengan Hur bin Yazid Riyahi dan seribu pasukan berkuda yang datang dari Qadisiyah.

Tatkala Imam Husain dan para sahabatnya turun untuk menunaikan shalat zuhur, Hur memerintahkan pasukannya untuk ikut shalat zuhur di belakang Imam Husain as. Setelah menunaikan shalat zuhur, Imam Husain as menyampaikan khutbah dan berkata, "Aku tidak datang ke sini tanpa undangan. Kalian yang menulis bahwa kalian tidak memiliki imam sehingga, "Datanglah engkau ke Kufah semoga Allah swt menyatukan umat ini di tanganmu sehingga mengenali yang haq (kebenaran)." Kini aku datang. Apabila kalian teguh terhadap janji-janji yang kalian berikan, aku akan tinggal dan melaksanakan kewajiban. Namun, apabila kalian menyesal terhadap ucapan dan apa yang kalian tulis lalu membenci kedatanganku, aku akan kembali ke tanah airku."

Hur berkata, "Aku tidak tahu-menahu tentang surat-surat yang engkau maksudkan itu." Imam Husain as berkata kepada salah seorang sahabatnya agar menunjukkan tas-tas yang berisikan ribuan surat warga Kufah. Hur kembali berkata, "Aku tidak termasuk orang yang menulis surat kepadamu tetapi datang sebagai utusan Ubaidillah untuk menyertaimu terus hingga ke Kufah dan menyerahkanmu kepadanya."

Imam berkata, "Demi Tuhan! Aku tidak akan datang bersamamu ke Kufah." Hur menjawab, "Demi Tuhan! Aku juga tidak akan membiarkanmu lepas dan tidak akan mengijinkanmu pulang. Namun, aku tidak diperintah untuk berperang denganmu."

Imam Husain memerintahkan para sahabatnya agar menaiki kuda. Namun, beliau mengarah bukan menuju Kufah dan juga tidak ke Madinah sedangkan pasukan Hur juga mengikuti mereka sehingga sampailah mereka di bumi yang bernama Nainawa. Ketika itu, dari pihak Ubaidillah bin Ziyad datang sepucuk surat yang bertuliskan, "Ketika suratku tiba ke tanganmu, maka hentikanlah Husain di gurun yang tiada air dan tumbuhan!"
Hur membacakan surat itu kepada Imam Husain dan berkata, "Engkau harus turun di sini."


Imam Husain di Karbala
Imam Husain as dan para sahabatnya terpaksa berjalan di padang Karbala dan mendirikan kemah-kemah lalu pasukan Hur juga berbaris di hadapan pasukan Imam Husain. Pada hari kedua bulan Muharram tahun 61 Hijriah, [39] mulai tampak jelas bahwa kemungkinan syahidnya Imam Husain as dan para pendukungnya demi membela kebenaran dan agama kakeknya semakin menguat. Imam Husain as membacakan khutbah dan setelah memuji Allah swt, Imam berkata kepada sahabatnya, "Kalian telah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kami, sebagaimana dunia ini sudah terbalik dan menunjukkan wajahnya yang buruk. Kebaikan-kebaikan dunia sudah terjungkir dan tidak tersisa, kecuali kehidupan yang hina seperti padang rumput yang berbahaya.

Tidakkah kalian melihat bahwa kebenaran sudah tidak diamalkan dan kebatilan sudah tidak dilarang? Dalam kondisi seperti ini, aku melihat kematian itu adalah kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang yang zalim tidak lain adalah penderitaan dan siksaan." [40]

Beberapa orang sahabat seperti Zuhair bin Qain, Hilal bin Rafi', dan Burair bin Khudhair bangkit seraya berkata, "Wahai putra Rasulullah! Kami siap syahid dalam membela kebenaran dan berperang di barisanmu. Kami akan berbangga dengan itu."

Sampai di sini, Imam Husain as belum berputus asa dari bantuan masyarakat Syiah di Kufah dan memberikan kemungkinan apabila mereka mendengar kedatangan Imam Husain di bumi Karbala, maka mereka akan berbondong-bondong mendatangi Imam Husain as. Dalam rangka ini dan untuk menyempurnakan hujjah, Imam Husain as menulis surat yang isinya sebagai berikut.

"Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang, kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw di masa hidupnya bersabda, "Barangsiapa menyaksikan raja zalim yang menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah swt dan mencederai janji Allah lalu berbuat hal yang melanggar sunnah Rasulullah saw dan terbiasa dengan perbuatan keji terhadap masyarakat tetapi diam dan tidak memberontak melalui ucapan dan perbuatannya, maka Allah swt akan membangkitkannya kelak dengan raja tiran itu.

Kalian tahu bahwa kaum ini (Bani Umayyah) mengikuti setan dan berpaling dari ketaatan kepada Allah, serta menghamparkan kerusakan di muka bumi, dan meniadakan hukum Allah, dan mengutamakan diri mereka dan para pendukungnya dalam membelanjakan baitul-mal. Mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram. Kalian tahu bahwa aku lebih layak untuk mengurusi pemerintahan dibanding orang lain.

Surat-surat kalian telah tiba di tanganku dan para utusanku telah menyampaikan kepadaku tentang janji setia dan baiat kalian. Kalian menulis, "Kami tidak akan membiarkan Anda sendirian." Kini, bila menepati janji itu, kalian akan mencapai cita-cita kalian itu. Aku, keluargaku, dan anak-anakku berada di sisi kalian dan aku adalah teladan serta contoh. Namun, apabila kalian melupakan janji dan merobek baiat yang hal ini tidaklah jauh dari kalian sebagaimana kalian telah melakukan hal yang sama terhadap ayah dan saudaraku. Anak pamanku pun terperdaya oleh tipuan kalian. Ketahuilah bahwa kalian telah menyia-nyiakan bagian kalian[41] dan Allah tidak membutuhkan kalian."[42]


Surat Hur Untuk Ibn Ziyad
Di sisi lain, Hur bin Ziyad Riyahi menulis surat kepada Ibn Ziyad yang berisikan, "Manakala Husain bin Ali tidak mau menyerah, maka sesuai dengan perintah yang mulia, kami akan menghentikannya di sebuah wilayah yang tak ada air dan tumbuhan dan kami menantikan perintah selanjutnya."

Ibn Ziyad, setelah menerima laporan dari Hur, mengambil keputusan untuk menabuh genderang perang. Meskipun para sahabat dan pendukung Imam Husain berjumlah sedikit, yakni 72 orang atau paling banyak seratus orang, -maka seribu personil pasukan yang berada di bawah komando Hur sebenarnya sudah lebih dari cukup- Ibn Ziyad tetap mengambil keputusan untuk mempersiapkan pasukan yang lebih tangguh karena mengetahui dengan baik keberanian dan pengorbanan Husain bin Ali dan para sahabat serta pendukungnya. Ia pun tahu bahwa satu orang dari pasukan Imam Husain sebanding dengan beberapa orang dan setiap orang dari mereka pasti akan membunuh beberapa orang terlebih dahulu sebelum terbunuh. Selain dari itu, ia memperkirakan bahwa sekelompok orang Syiah akan datang dengan cara apa pun untuk memberikan bantuan kepada Imam Husain as.

Yang lebih penting dari itu adalah Ibn Ziyad berpikir bahwa apabila melihat pasukan musuh yang banyak di hadapan mereka, maka Husain bin Ali dan para pendukungnya akan takut dan menyerah.

Oleh sebab inilah atau sebab lainnya, Ibn Ziyad melihat penambahan pasukan dengan senjata yang lengkap merupakan hal yang sebaiknya dilakukan.
Untuk tujuan ini, ia memanggil masyarakat ke masjid dan membacakan khutbah sebagai berikut.

"Wahai manusia! Kalian mengenali keluarga Sufyan (ali Sufyan) dan mendapati keluarga Sufyan sebagaimana yang kalian kehendaki. Kini kalian mengetahui bahwa Yazid sebagai khalifah dan amirul mukminin berperilaku baik dan berparas tampan. Ia berbuat baik kepada rakyat melalui pemberian-pemberian yang sesuai pada tempatnya dan membuat jalan-jalan menjadi aman, sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya, Muawiyah, di zaman khilafah-nya. Putranya Yazid sepeninggal ayahnya juga sangat memperhatikan penderitaan rakyat dan membantu kaum fakir-miskin dengan kekayaan pribadinya. Yazid memuliakan kaum fakir-miskin dan menggandakan rejeki kalian. Yazid telah memerintahkan kepadaku untuk menambah gaji kalian dan memerangi musuhnya, Husain.
Dengarkanlah perintah ini dan patuhilah!"

Kemudian ia turun dari minbar dan membagikan banyak uang kepada rakyat lalu menginstruksikan agar mereka berangkat ke medan perang dan berperang melawan Imam Husain di bawah komando Umar bin Sa'ad. Dengan demikian, dua puluh atau tiga puluh ribu pasukan telah siap untuk berperang.[43]

Umar bin Sa'ad yang sebelumnya telah dilantik sebagai wali Rey dipanggil pulang ke Irak dan diperintahkan untuk memerangi Husain bin Ali yang telah bertindak subversif terhadap khalifah Yazid sebagai amirul mukminin yang sah dan telah melakukan kerusakan di muka bumi. Umar bin Sa'ad ditugaskan untuk memadamkan api fitnah dan baru setelah itu, ia diijinkan untuk kembali ke tempat tugasnya di Rey. Umar bin Sa'ad memohon agar tugas ini diserahkan kepada orang lain. Ibn Ziyad berkata, "Dengan syarat engkau mengembalikan jabatan sebagai wali Rey."

Umar meminta waktu semalam untuk berpikir tentang hal itu. Pada pagi harinya, karena takut kehilangan jabatan sebagai wali Rey, Umar menerima tugas untuk memerangi Imam Husain as dan pergi ke karbala.[44]

Jumlah pasukan Umar bin Sa'ad yang tiba di Karbala dan berbaris di hadapan pasukan Imam Husain yang berjumlah sedikit, secara terus-menerus, bertambah. Tidak seorang pun yang berani untuk datang membantu Imam Husain as. Ketika menyaksikan keadaan ini, Imam mengutus seseorang untuk menemui Umar bin

Sa'ad serta mengusulkan pertemuan dan dialog. Umar menerima saran Imam Husain as. Maka, pada malam itu, berlangsunglah pertemuan dan pembicaraan khusus antara dua pasukan.

Imam Husain as berkata, "Wahai anak Sa'ad! Apakah engkau tidak takut kepada Allah dan ma'ad sehingga berniat untuk berperang denganku? Padahal engkau mengetahui bahwa aku adalah putra Rasulullah saw. Tinggalkanlah pasukan Yazid dan bantulah aku! Perbuatan itu akan memperoleh keridhaan Allah dan lebih baik untuk akhiratmu."

Umar berkata, "Aku takut mereka akan merusak rumahku."

Imam berkata, "Aku akan membuatkan rumah yang lebih baik untukmu."

Umar kembali beralasan, "Aku khawatir mereka akan mengambil ladang dan hartaku."

Imam berkata, "Aku akan memberikan harta yang lebih baik daripada itu, dari hartaku di Hijaz kepadamu."

Umar berkata, "Aku mencemaskan keselamatan keluargaku."

Di sini, Imam terdiam dan tidak mengatakan apa-apa lagi.[45]

Dalam riwayat lain, Umar bin Sa'ad, setelah pertemuan ini, mengirim surat kepada Ubaidillah bin Ziyad dengan isi berikut ini.

"Allah menghendaki agar api peperangan padam sehingga terjadi ishlah dalam urusan umat sebab Husain mengusulkan agar ia diijinkan kembali ke tanah airnya atau ke salah satu perbatasan dan hidup sebagaimana seorang Muslim pada umumnya."

Ketika surat itu tiba di tangannya, Ibn Ziyad berkata, "Surat ini ditulis atas dasar menghendaki kebaikan." Syimir bin Dzil Jausyan yang saat itu kebetulan berada di situ berkata, "Wahai Amir! Bagaimana engkau menerima ucapan itu? Kini, ketika sudah berada di negerimu, Husain berada di tanganmu. Namun, demi Allah! Apabila tangannya tidak dipaksa berbaiat kepadamu dan bahkan ia kembali ke tanah airnya, ia akan menjadi lebih kuat sedangkan engkau akan menjadi lebih lemah. Jangan lepaskan kesempatan karena engkau akan menyesal. Dia dan sahabatnya harus menyerahkan diri. Saat itulah, engkau dapat menghukumnya atau memberinya ampunan."

Ibn Ziyad menerima nasehat Syimir dan berkata, "Ucapanmu itu adalah ucapan yang benar. Ambillah surat ini dan sampaikan kepada Umar bin Sa'ad. Sampaikan keputusanku kepada Husain dan para sahabatnya. Apabila menerima, mereka akan digiring dalam keadaan hidup dan jika membangkang, maka perangilah mereka! Apabila Umar bin Sa'ad melaksanakan instruksiku, maka patuhlah kepadanya dan jika ia tidak bersedia memerangi Husain, maka engkau akan menggantikan Umar bin Sa'ad. Penggallah leher Umar dan kirimkan kepalanya untukku!"


Surat Ibn Ziyad Kepada Umar bin Sa'ad
Ibn Ziyad menulis sebuah surat kepada Umar bin Sa'ad yang isinya adalah berikut ini.

"Aku tidak mengutusmu untuk membela Husain dan mengharapkan keselamatan dan kehidupannya. Aku tidak mengutusmu untuk meminta uzur dari pihaknya atau engkau menjadi penolongnya. Kini berhati-hatilah! Apabila Husain dan para sahabatnya menerima keputusanku lalu menyerah, maka bawa mereka hidup-hidup ke sisiku. Namun, jika mereka menolak, maka seranglah dan bunuhlah semuanya! Setelah mereka terbunuh, cincanglah badan mereka karena mereka layak untuk disiksa seperti itu. Setelah terbunuh, badannya hendaknya diseret oleh kuda karena dia pembangkang, liar, serta zalim. Hanya saja aku tahu bahwa sepeninggalnya, seretan kuda tiada akan berpengaruh tetapi ucapan yang kusebutkan tadi harus kauamalkan.

Bila melaksanakan perintahku, maka engkau akan mendapatkan balasan yang baik. Namun, bila menolak, maka engkau kupecat sebagai komandan pasukan dan kuberikan jabatan itu kepada Syimir Dzil Jausyan."

Syimir mengambil surat itu dari Ubaidillah dan segera menuju Umar bin Sa'ad. Setelah pembacaan surat, Umar berkata kepada Syimir, "Celaka kamu! Semoga Tuhan melaknatmu! Aku berpikir engkaulah yang menyebabkan Ibn Ziyad menolak gagasanku. Aku optimis dengan ishlah pada waktu itu. Namun, engkau merusaknya. Demi Tuhan! Husain tidak akan pernah menyerah sebab ruh ayahnya, Ali, bertiup di tubuhnya." Syimir berkata, "Berilah jawaban! Kini apa yang ingin kaukerjakan? Apakah engkau mematuhi instruksi Amir dan memerangi musuhnya atau engkau akan menyerahkan pasukan kepadaku?" Umar menjawab, "Tidak! Tidak pernah akan kuserahkan komandan pasukan kepadamu! Engkau bertugas sebagai komandan pasukan pejalan kaki."[46]


Hari Kesembilan (tasu'a)
Sampai hari kesembilan bulan Muharram, kapan terjadinya perang dan kapan perang akan dimulai belum ada kejelasan. Pada hari itu, surat Ubaidillah bin Ziyad tiba di tangan Umar bin Sa'ad, komandan atau panglima tinggi semua pasukan yang isinya adalah, "Segera selesaikan urusan Husain bin Ali. Apabila ia menyerah, bawalah dia dalam keadaan hidup ke sisiku untuk kuambil keputusan atasnya. Namun, bila ia tidak menyerah, bunuhlah dia dan para sahabatnya dan setelah engkau membunuhnya, cincanglah tubuhnya!"

Setelah menerima surat itu, Umar bin Sa'ad memutuskan untuk memulai perang dengan Imam Husain as karena tahu kalau Husain tidak akan menyerah. Selepas zuhur, hari kamis tanggal sembilan Muharram, ia memerintahkan pasukannya, "Wahai pasukan Allah majulah dan dengan surga bergembiralah."

Pasukan Umar menaiki kudanya masing-masing dan bergerak menuju kemah-kemah Imam Husain as. Imam, pada saat itu, sedang tidur dalam keadaan kepalanya berada di atas lututnya. Zainab, saudarinya, yang mendengar suara derap kaki kuda pasukan lawan, mendatangi Imam Husain seraya berkata, "Wahai saudaraku! Tidakkah engkau mendengar suara gerakan pasukan? Mereka semakin mendekat!"

Imam Husain mengangkat kepalanya dari lututnya dan berkata, "Saudaraiku! Baru saja aku bermimpi bahwa kakekku Rasulullah saw bersabda, "Tidak lama lagi engkau akan bertemu denganku." [47]

Kemudian Imam berkata kepada saudaranya, Abbas, "Saudaraku! Naikilah kudamu dan tanyakan kepada pasukan Ibn Ziyad apa yang mereka mau?"

Abbas bergerak cepat dan menyampaikan dirinya ke hadapan pasukan lawan lalu bertanya apa maksud dari gerakan mereka itu. Mereka berkata, "Ubaidillah memerintahkan kami untuk menyelesaikan urusan dengan kalian. Apabila kalian bersedia untuk menyerahkan diri, kami akan mengirimkan kalian dalam keadaan hidup-hidup kepadanya untuk diambil keputusan tentang nasib kalian dan jika kalian tidak bersedia menyerahkan diri, kami akan berperang dengan kalian."

Abbas kembali ke sisi Imam Husain dan menyampaikan maksud pasukan Ibn Ziyad itu kepada Imam Husain as. Imam berkata, " Pergilah ke sisi mereka dan jika bisa mintalah waktu karena di malam ini, kami akan mendirikan shalat, berdoa, dan meminta ampunan dari Allah swt. Allah mengetahui bahwa aku menyukai shalat, membaca al-Quran, doa, serta istighfar."

Abul Fadl Abbas mendatangi pasukan lawan dan menyampaikan gagasan Imam Husain as kepada mereka. Usulan itu diterima dan perang ditunda hingga keesokan harinya. [48]


Instruksi agar Bersiap-siap
Di saat itu, kapan perang akan terjadi belum juga jelas. Memandang bahwa jumlah pasukan Imam Husain sedikit, maka pasukan musuh mulai mengepungnya sehingga tiada lagi kemungkinan adanya pasukan gabungan yang berpihak kepada Imam Husain as. Dengan demikian, siapa yang akan menang dalam peperangan ini sudah dapat diramalkan dengan baik. Kematian yang mulia dan syahid di jalan Allah akan terjadi karena Imam Husain as dalam keadaan apa pun tidak akan bersedia menyerah di hadapan Ibn Ziyad. Dengan demikian, Imam Husain memutuskan untuk beperang sampai titik darah penghabisan secara ksatria dan berani di hadapan pasukan musuh. Imam tidak akan menerima kehinaan dengan menyerahkan dirinya. Untuk mencapai tujuan besar ini, haruslah sebab-sebab dan pendahuluannya disediakan agar dapat mempersiapkan para sahabat, kawan, dan bahkan keluarganya. Dalam kaitan ini, beberapa pendahuluan telah Imam lakukan.


1. Menguji para sahabat dan kawan.
Walaupun mengenal baik para sahabat dan keluarganya sertta meyakini keimanan, konsistensi, dan kesetiaan mereka, berhubung munculnya kondisi yang baru dan kematian sudah dapat dipastikan, Imam Husain tetap melihat perlunya untuk memberitahu mereka sehingga seumpamanya ada di antara mereka yang tidak siap menerima kematian syahid, maka hendaknya meninggalkan Imam Husain. Hal ini tidak disalahkan dari segi moral dan mereka dapat memelihara keselamatan nyawanya. Dalam kaitan ini, menjelang tenggelamnya matahari, para sahabat dan pendukungnya berkumpul di kemah dan mengetengahkan persoalan ini di tengah masyarakat.

Imam Sajjad menceritakan kejadian itu sebagai berikut. "Ayahku setelah memuji Allah berkata, "Aku tidak memiliki sahabat yang lebih setia dan lebih baik daripada kalian dan tidak ada Ahlulbait yang lebih baik daripada keluargaku. Allah swt memberikan balasan yang baik kepada kalian. Aku tidak mengira masyarakat akan berbuat seperti ini terhadapku dan tidak menepati janjinya serta meninggalkan kami. Nasib kita akan berakhir dengan perang dan syahid. Kini, aku cabut baiat kalian dari pundak kalian dan kubebaskan kalian sehingga kalian bebas pergi dari pihakku ke mana saja. Janganlah kalian sungkan! Gunakanlah kegelapan malan dan selamatkanlah nyawa kalian dari bahaya!

Di saat itu, pamanku Abbas berdiri dan berkata, "Kami tidak akan pernah melakukan itu dan tidak akan pergi untuk hidup setelahmu? Semoga Allah tidak mendatangkan hari itu untuk kami." Setelah Abbas, saudara-saudara yang lainnya, anak-anak saudara, serta anak-anak Abdullah bin Ja'far berdiri dan mengulangi ucapan yang seperti tadi.

Saat itu, ayahku berbicara kepada anak-anak Aqil dan berkata, "Syahadah Muslim sudah cukup bagi kalian. Maka, kuijinkan kalian untuk pergi ke mana saja."
Mereka berkata, "Mahasuci Allah! Bagaimana mungkin kami akan membiarkan Anda sendiri lalu pergi? Kemana kami akan pergi dan apa yang nanti kami dapat katakan? Apakah kami akan mengatakan bahwa kami telah meninggalkan sayyid dan tuan kami serta kami datang tanpa menembakkan tombak ke musuh dan membelanya dengan pedang? Tidak wahai putra Rasulullah! Kami tidak akan pernah melakukan ini tetapi akan tetap bersama Anda dan kami akan mengorbankan nyawa, harta, dan keluarga kami untuk engkau sehingga apa yang menimpamu juga menimpa kami. Betapa buruknya kehidupan setelahmu nanti." [49]

Setelah itu, tiba giliran ucapan para sahabat Imam, seperti Muslim bin Ausajah yang berdiri dan berkata, "Wahai putra Rasulullah! Kami tidak akan meninggalkanmu sendirian dan kemana kami akan pergi? Tidak, demi Allah! Aku tidak akan pergi sebelum menusukkan tombak dan memukul musuh dengan pedangku dan apabila senjataku sudah tidak berfungsi, aku akan menyerang mereka dengan batu. Wahai putra Rasulullah! Demi Allah! Aku tidak akan meninggalkanmu dan selalu mendukungmu sehingga Allah mengetahui bahwa di masa ketiadaan Rasulullah saw, kami tetap memelihara kemuliaan dan kehormatan Ahlulbaitnya. Demi Allah! Kalau aku tahu bahwa dalam membelamu aku nanti terbunuh kemudian badanku dibakar dan debunya kemudian dibawa oleh angin lalu aku kembali hidup dan perbuatan ini diulangi sebanyak tujuh puluh kali, aku tidak akan melepaskan bantuan untukmu sehingga aku terbunuh di hadapan wajahmu. Wahai putra Rasulullah! Bagaimana aku dapat meninggalkanmu padahal tahu bahwa aku tidak akan terbunuh lebih daripada satu kali. Setelah itu, aku akan mencapai kemuliaan yang tiada akan berakhir."

Setelah Muslim bin Ausajah, sekelompok lain dari sahabat berdiri dan tiap-tiap, sesuai gilirannya, menunaikan ucapan seperti ucapan Muslim dan setelah itu, Imam Husain mendoakan mereka."[50]

Dengan cara ini, Imam Husain as di masa yang sangat peka menguji para sahabatnya. Ternyata konsistensi, kesetiaaan, serta resistensi mereka tidak dapat diragukan lagi.


2. Mendirikan tempat berlindung.
Salah satu risiko dan bahaya yang paling besar dari sebuah pasukan yang sedang berperang adalah ketiadaan tempat berlindung. Oleh karena itulah, setiap pasukan menjadikan tempat pertempurannya di sisi gunung atau lereng yang tinggi atau ladang kurma atau hutan atau sungai yang lebar agar mereka terpelihara dari serangan musuh yang datang dari belakang dan berperang berhadap-hadapan. Sayangnya, medan tempur Imam Husain tidaklah demikian karena pasukan Ibn Ziyad mengepung Imam Husain as dan para sahabatnya di sebuah tempat yang jauh dari gunung atau tebing atau ladang kurma sehingga dari segala penjuru mereka dapat diserang. Berperang di medan seperti itu adalah terlampau sulit. Untuk menyelesaikan problema ini, Imam Husain as memerintahkan para sahabatnya untuk mendirikan kemah yang saling berdekatan dan menyambungkan tali-tali kemah dari dalam. Dengan cara inilah, terdapat penghalang bagi serangan musuh dari belakang. Selanjutnya, Imam Husain memerintahkan untuk menggali parit di belakang kemah dan memenuhinya dengan jerami sehingga tatkala perang dimulai, jerami itu akan dibakar dan menjadi penghalang bagi masuknya musuh dari belakang.[51]
Di samping itu, usaha menggali khandaq 'parit' juga akan menyebabkan terhalangnya musuh untuk menyerang kemah Imam Husain dan para sahabatnya.


3. Mengorganisasi dan mengatur pasukan
Perang Ibn Ziyad dengan Imam Husain as dari segi tenaga dan fasilitas adalah suatu perang yang benar-benar tidak seimbang karena jumlah pasukan Imam Husain as pada umumnya adalah 72 orang atau paling banyak 145 orang. Namun, pasukan Ibn Ziyad ditulis mencapai 22 ribu orang.[52]

Namun ketidakseimbangan ini tidaklah membuat kecut semangat dan ruh Imam Husain as serta para sahabat dan keluarganya. Mereka tiada pernah menyatakan keraguan atau kelemahan, bahkan begitu serius dan bertekad untuk membela diri serta mengatur strategi dan pasukannya.
Zuhair bin Qain menjadi komandan pasukan sebelah kanan sedangkan Habib bin Madzahir menjaga pasukan sebelah kiri. Saudara Imam, Abbas, diberi tugas sebagai pembawa bender hitam.[53]

Setelah selesainya perkerjaan ini, Imam Husain, para sahabat, serta saudaranya memasuki kemah dan menyibukkan diri dengan mendirikan shalat, membaca al-Quran, memanjatkan doa serta munajat kepada Allah swt.

Imam Husain as dan para sahabatnya tidak tidur di malam Asyura. Suara munajat dan rintihan mereka bagaikan suara tawon yang terdengar di telinga. Mereka larut dalam keadaan rukuk dan sujud serta qiyam dan qu'ud.[54]


Hari Asyura
Pada tanggal 10 Muharram, yang dinamakan Asyura, tahun 61 Hijriah di bumi Karbala, terjadilah peristiwa yang sangat mengenaskan dan pahit, yang goresannya tidak akan dapat dilupakan hingga selama-lamanya. Di hari itu, terjadilah peperangan yang dahsyat antara pasukan Imam Husain as dan pasukan Umar bin Sa'ad dan disusul oleh peristiwa yang begitu pahit. Imam Husain as, semua pemuda, serta sahabatnya, kecuali Ali bin Husain yang tengah sakit keras, syahid. Para ahli sejarah dan arbab maqatil menulis kejadian hari itu dengan sangat terperinci. Mereka menggambarkan peristiwa hari itu dengan teliti. Bagi setiap syahid di hari itu, dibuatkan satu bab khusus secara terpisah. Tentang bagaimana ia pergi ke medan laga, keberanian serta ketangkasannya, berapa orang yang dibunuhnya, bentuk syahidnya, dan siapakah pembunuhnya telah dijelaskan secara jelas dan terperinci. Kami, di halaman yang ringkas ini, tidak akan menjelaskan peristiwa yang pahit dan menyedihkan tersebut secara terperinci. Siapa yang berminat dapat merujuknya ke ratusan buku yang ditulis mengenai hal ini. Namun, untuk mengenal esensi perang berdarah di Karbala, kami akan mengadakan perbandingan pendek antara Husain bin Ali dan para sahabatnya, di satu sisi, dengan Yazid, Muawiyah, dan pasukannya di sisi lain.

18
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

Perbandingan antara Pimpinan dua Pasukan
Husain bin Ali dan Yazid bin Muawiyah, dari segi keluarga, pola pikir, serta tujuan, adalah tidak sama. Keduanya merupakan dua pribadi yang berbeda dengan dua jenis pemikiran yang sangat berbeda dalam mengejar dua tujuan. Husain bin Ali adalah seorang manusia mulia, besar, dan beragama. Dari hatinya yang paling dasar, ia meyakini Islam dan nilai-nilainya. Manusia suci dan maksum ini dipenuhi dengan perasaan kemanusiaan yang paling suci sehingga konsisten untuk memeliharanya di semua keadaan. Rasulullah saw berkali-kali memuji Imam Husain, yang di antaranya adalah sebuah hadis dari Rasulullah berikut ini, "Hasan dan Husain adalah sayyid dan penghulu para pemuda surga."[55]

Pehatikanlah dua contoh perilaku berikut ini.

Tatkala Imam Husain as dan pasukannya berpapasan dengan pasukan Hur bin Yazid Riyahi dan merasakan bahwa mereka kehausan, Imam Husain memerintahkan para sahabatnya untuk memberi mereka air, bahkan kepada kuda-kudanya hingga segar. Salah seorang pasukan yang tidak dapat minum dibantu Imam Husain as untuk minum.[56]

Sebaliknya, Ibn Ziyad memerintahkan panglima pasukannya, Umar bin Sa'ad, agar memboikot air terhadap Husain, para sahabat, serta keluarganya dan tidak mengijinkan mereka untuk minum walaupun setetes.[57]

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Imam Husain tidak pernah menghendaki perang dan senantiasa berupaya untuk tidak menjadi pencetus perang, bahkan di awal perang, di kala berhadapan dengan Syimir Dzil Jausyan -salah seorang musuh yang paling keji dan menjijikkan- salah seorang sahabat Imam Husain meminta ijin untuk mengarahkan panahnya kepada lelaki bejat itu. Namun, Imam tidak mengijinkannya dan berkata, "Aku tidak ingin menjadi pencetus perang."[58]

Akan tetapi, Umar bin Sa'ad memerintahkan pasukannya untuk memulai perang dan berkata, "Apa yang kalian tunggu? Mengapa kalian tidak segera memulai perang?"[59] Lantas, Umar bin Sa'ad memerintahkan kepada lima ratus pemanahnya untuk menghujani Husain dan para sahabatnya dengan panah.[60]

Yazid bin Muawiyah adalah seorang yang tidak peduli dan tidak konsisten dengan hukum dan nilai-nilai Islam. Ziyad bin Ubaih yang disuruh Muawiyah untuk memproklamasikan pengangkatan Yazid menulis, "Bagaimana kita dapat mengemukakan khilafah Yazid dan mengambil baiat dari umat sedangkan dia suka bermain dengan kera dan mengenakan pakaian yang berwarna-warni? Ia selalu dalam keadaan mabuk dan tidur dengan lagu dan wanita pelacur."[61]

Yazid adalah seorang, yang untuk memperkukuh kekuasaan ilegalnya dan mengambil baiat dari Husain bin Ali, menulis kepada walinya di Madinah, "Ambillah baiat dari Husain dan bila membangkang, bunuhlah dia!" [62]

Untuk menjaga keselamatan nyawanya, Imam Husain terpaksa meninggalkan Madinah dan hijrah ke Mekkah. Namun, Yazid memerintahkan beberapa orang untuk meneror dan membunuh Imam Husain as di tanah haram hingga Imam Husain as terpaksa meninggalkan Mekkah dan bergerak menuju Kufah. [63]

Akhirnya, atas perintah Yazid, Husain bin Ali dan para sahabatnya dibunuh di Karbala. Lantas keluarganya ditawan dan digiring ke Syam. Adalah Yazid yang memerintahkan kepada Muslim bin Aqabah untuk bergerak menuju Madinah bersama dengan lima ribu pasukan dan menghalalkan wanita serta gadis-gadis Madinah selama tiga hari bagi pasukannya. Mereka merampok harta dan melakukan kekejian yang kemudian menjadi lembaran hitam sejarah. Pada akhirnya, mereka mengambil baiat dari masyarakat Madinah untuk menjadi hamba Yazid. [64]

Ayah Husain adalah Ali bin Abi Thalib yang merupakan tokoh Islam kedua, yang sebelumnya telah kami singgung tentang sebagian dari keutamaan dan kesempurnaannya. Ia adalah lelaki pertama yang menerima Islam, padahal di masa itu, ia belum mencapai usia akil balig. Imam Ali senantiasa mengabdi kepada Islam dan Rasulullah saw. Ia adalah penulis kalam Allah dan penghafal al-Quran. Di malam mabit atau yang biasa disebut lailatul-mabit, Ali tidur di pembaringan Rasulullah saw untuk memelihara nyawa Rasulullah dari serangan musuh. Suami Fatimah az-Zahra dan menantu Rasulullah saw ini sangatlah pemberani dan ikut serta dalam semua perang. Banyak sekali pasukan musuh yang terbunuh di tangannya. Ali mempelajari keseluruhan ilmu nubuwwah dari Rasulullah saw dan menyimpan ilmu-ilmu tersebut. Ali dari lubuk hati yang terdalam beriman kepada Tuhan semesta alam dan ia sendiri merupakan manifestasi dari semua kesempurnaan dan nilai Islam.

Sementara itu, ayah Yazid adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibn Abil Hadid menyifati Muawiyah sebagai berikut.

Ia mengenakan pakaian sutera dan makan dengan wadah emas dan perak. Ketika menjawab Abu Darda' yang bersandar pada hadis Rasulullah mengenai haramnya pakaian sutera dan wadah dari emas dan perak, Muawiyah berkata, "Menurutku itu tidak masalah." Dari perbuatan dan ucapan seperti itu adalah jelas bahwa sebenarnya Muawiyah menolak pokok nubuwwah. Dia menjalankan had sesuai dengan keinginannya sendiri sehingga melaksanakan hudud atau menghukum orang-orang yang tidak seharusnya dihukum dan diberlakukan hudud terhadap mereka. Ia malah seringkali tidak melaksanakan hukuman terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan. Ziyad bin Ubaih dengan orientasi politik bergabung dengan Abu Sufyan, padahal Rasulullah saw telah bersabda, "Al-waladu lil firash." Muawiyah membelanjakan harta baitul-mal seenak perutnya dan menggunakannya untuk keperluan pribadi. Muawiyah membunuh Hujr bin Udai dan para sahabatnya. Muawiyah mencaci Abu Dzar Ghaffari, sabahat setia Rasulullah saw, lalu menaikkan Abu Dzar ke sadel unta dan mengirimnya ke Madinah. Ali bin Abi Thalib, Hasan, serta Husain dicacinya di mimbar-mimbar. Putranya Yazid ditunjuknya sebagai wilayah ahdi 'putra mahkota' selalu dalam keadaan mabuk serta bermain dengan genderang dan gendang. Yazid pun selalu tidur di antara budak-budak wanita yang bernyanyi.[65]

Kakek Husain bin Ali adalah Muhammad bin Abdillah yang ilmu, keimanan, dan kemuliaan akhlaknya tidak memerlukan penjelasan lagi. Kakek Yazid adalah Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan adalah pemuka kaum musyrik yang senantiasa bermusuhan dengan Rasulullah saw dan melakukan gangguan serta penyiksaan terhadap para pengikut Nabi saw.[66]

Dalam perang Badar, Muawiyah memberikan stimulus dan provokasi kepada kaum musyrik untuk memerangi Muslim. Dalam perang inilah, salah seorang dari putranya yang bernama Handzalah tewas terbunuh dan putranya yang lain, yang bernama Umar bin Abi Sufyan, tertawan.[67]

Dalam perang Uhud, musyrikin didorong oleh Muawiyah untuk memerangi Muslimin. Dalam perang inilah, Hamzah bin Abdul Muthalib (Paman Nabi) syahid dan hatinya dihadiahkan kepada Hindun (istri Abu Sufyan). Karena begitu benci dan marahnya, Hindun meletakkan hati Hamzah itu di mulutnya dan mengunyahnya. Ia menghampiri jenazah Hamzah dan kemudian memotong-motong tubuh Hamzah. Dari tubuh Hamzah itu, ia membuat kalung dan bintik-bintik.[68]

Abu Sufyan di akhir perang, yang telah menyebabkan kesyahidan banyak Muslim ini, menampakkan kebahagiaannya dan berkata, "Mahatinggi Hubal! Kami memiliki kemulian yang tidak kalian miliki."[69]

Abu Sufyan hingga masa Fathul Makkah tetap berada di dalam kekafiran dan memusuhi Rasulullah saw serta umat Islam. Namun, setelah Mekkah dijatuhkan oleh Muslimin, Abu Sufyan -karena takut akan keselamatan nyawanya, secara zahir, menerima Islam.[70]

Dari sejak itulah, meskipun mengaku masuk Islam dan mendapatkan ampunan, bahkan keistimewaan dari Rasulullah saw, -dari beberapa peristiwa sejarah- menjadi jelaslah bahwa Abu Sufyan dari lubuk hatinya tidaklah menerima Islam dan batinnya adalah seorang munafik.

Ibn Abil Hadid menulis, "Usman, setelah mengambil baiat dari masyarakat, pulang ke rumahnya. Sejumlah Bani Umayyah berkumpul di rumahnya. Pintu rumah Usman ditutup untuk selain sanak kerabatnya. Abu Sufyan, yang kala itu buta, adalah di antara mereka yang hadir. Ia menghadap ke hadirin seraya berkata, "Apakah selain dari Bani Umayyah ada orang lain yang hadir di sini?" Mereka berkata, "Tidak." Abu Sufyan berkata lagi, "Wahai Bani Umayyah! Kini kekuasaan sudah jatuh ke tangan kalian. Maka, kenalilah nilainya dan putarkanlah kekuasaan itu di antara kalian sendiri sebagaimana sebuah bola! Berhati-hatilah jangan sampai diambil orang lain! Demi sesuatu yang Abu Sufyan bersumpah dengannya, sesungguhnya tiada siksaan, tiada hari perhitungan, tiada surga, tiada neraka, tiada hari kebangkitan, dan juga tiada hari kiamat."[71]


Tujuan para Pemuka Dua Pasukan
Husain bin Ali dan Yazid di dalam perang ini tidaklah memiliki tujuan yang sama. Mereka memiliki tujuan yang sangat berbeda.

Tujuan Imam Husain sudah dijelaskan dalam wasiatnya kepada Muhmmad bin Hanafiah. Tujuan itu ada tiga hal.

1. Memperbaiki umat kakeknya, Rasulullah saw.

2. Amar makruf nahi munkar

3. Menghidupkan sirah Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib yang telah terlupakan. [72]

Husain bin Ali bermaksud untuk merealisasikan tiga tujuan ini dengan dua kemungkinan: pertama, pembentukan sebuah pemerintahan yang benar-benar berdasarkan Islam apabila telah disiapkannya landasan yang sesuai; kedua, apabila untuk membentuk pemerintahan Islam tidak ada landasan dan keadaannya mengarah kepada pertempuran dan perang, Imam Husain dan para sahabatnya akan bertahan hingga syahadah menjelang di hadapan musuh. Dengan demikian, secara praktik, Imam mengajarkan kepada Muslimin bagaimana cara beragama dan berjihad di jalan Allah untuk membela Islam dan nilai-nilainya.
Selain dari itu, dengan kebangkitannya di hadapan pemerintahan Yazid, Imam hendak membuktikan ilegalitas atau ketidakabsahan pemerintahan tersebut bagi umat Islam karena menampakkan kejahatan, kezaliman, kekufuran, dan kemunafikan batiniahnya. Imam pula menyiapkan landasan bagi kebangkitan-kebangkitan anti-pemerintahan Bani Umayyah.

Secara kebetulan, kebangkitan Abu Abdillah (Imam Husain), meskipun tidak sukses pada kemungkinan pertama, tetapi, pada kemungkinan kedua, sungguh-sungguh sukses.

Yazid bin Muawiyah dalam perang berdarah ini mengejar dua tujuan sebagai berikut.

Pertama, mengukuhkan landasan-landasan pemerintahannya yang ilegal dengan mengambil baiat atau menundukkan Husain bin Ali, putra Rasulullah saw, dan mengabsahkan pemerintahannya serta melanjutkan kezaliman, kekejian, dan pola hidup hedonisnya.

Ya'qubi menulis, "Yazid bin Muawiyah, sepeninggal ayahnya, menulis kepada penguasa Madinah, Walid bin Atabah, "Begitu engkau menerima suratku, panggillah Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair lalu ambillah baiat dari mereka. Apabila, mereka membangkang dari baiat, leher mereka harus kaupenggal dan kirim kepalanya untukku." [73]

Kedua, dendam dan ambisi untuk membalas Bani Hasyim, khususnya anak-anak Ali bin Abi Thalib karena, dalam perang Badar, paman Yazid dan beberapa lainnya -dari kepala Quraisy dan sanak keluarga Yazid, seperti Aqabah, Syaibah, Walid, dan Abu Jahal, telah terbunuh.[74]

Meskipun Yazid dan Muawiyah mengaku sebagai Muslim, kebencian dan dendam mereka pada masa jahiliah masih tersimpan dan tertanam di kalbu mereka. Dari situlah, dapat dikatakan, bahwa dalam peristiwa berdarah di Karbala, pembalasan dendam terhadap putra-putra Rasulullah saw merupakan salah satu tujuan Yazid. Dalam kitab sejarah, juga ada bukti-bukti yang menunjukkan kemungkinan ini.

Dituliskan bahwa ketika Ahlulbait Imam Husain as tiba di Syam, para petugas membawa kepala suci Imam ke hadapan Yazid. Dia memerintahkan untuk menghamparkan sufrah makan dan meletakkan kepala itu di atasnya. Dalam keadaan seperti itu, Yazid meminum tuak dan arak bersama para sahabatnya.

Kepala Imam Husain diletakkan di dalam sebuah wadah dan mereka bermain catur di atas wadah itu sambil mengolok-olok Imam Husain, ayahnya, serta kakeknya. Adakalanya, ketika menang atas lawannya dalam permainan itu, Yazid langsung meneguk segelas arak dan sisa araknya dituangnya ke sisi wadah itu! Yazid membacakan syair yang isinya, "Betapa indahnya sekiranya para pembesarku di perang Badar kini hadir di sini dan menyaksikan terbunuhnya Husain serta tertawannya keluarganya. Mereka tentu akan bahagia dan pasti akan berkata, "Wahai Yazid! Kami berterimakasih kepadamu. Engkau telah mengambil balas darah keluarga kita yang terbunuh dalam perang Badar dan betapa baiknya engkau melakukan itu." [75]


Perbandingan antara Pasukan Dua Pihak
Antara para sahabat dan pendukung Imam Husain as dan pasukan Yazid bin Muawiyah, dari segi kepribadian sosial, pola pikir, jenis perilaku, dan tujuan, adalah jauh berbeda. Tiap-tiap pasukan itu menyerupai pemimpin atau imamnya. Para sahabat Imam Husain bin Ali adalah manusia-manusia yang taat beragama. Mereka beriman dan mencintai keadilan dengan penuh pengorbanan. Mereka pemberani, setia, berkepribadian mulia, objektif, mempunyai harga diri, lembut dalam perangai, dan menghendaki kebaikan untuk orang lain. Mereka tidak menyertai Imam Husain ke Karbala karena rakus terhadap jabatan, kekayaan, serta kedudukan, melainkan tujuan mereka amatlah suci dan mereka menyertai Imam Husain untuk merealisasikan tujuan suci Imam Husain as. Mereka berperang demi membela cita-cita suci Imam dengan penuh keberanian, keikhlasan, dan kecenderungan untuk itu. Mereka mempertahankan harim wilayah dan akhirnya, dengan penuh keinginan, mereka menjumpai syahadah dan bertemu dengan Allah.

Bagi tiap-tiap sahabat dan pendukung Imam Husain, dalam kitab sejarah, telah dituliskan noktah-noktah yang sangat menarik dan indah, bahwa martabah keimanan, keikhlasan, dan kesempurnaan akhlak mereka begitu menonjol, sangat edukatif, dan berfaedah. Namun sayangnya, waktu untuk menyebutkan hal itu tidak ada.

Di sini, kami hanya akan menyebutkan beberapa contoh dari itu. Contoh pertama, setelah zuhur, tanggal 9 Asyura, Syimir bin Dzil Jausyan datang ke sisi kemah Imam Husain dan berkata, "Manakah anak-anak lelaki dan saudari perempuan kami?" Yang dimaksudnya adalah Abbas, Ja'far, Abdullah, Usman, dan anak-anak Ali bin Abi Thalib dari Ummul Banin. Ummul Banin masih mempunyai hubungan keluarga dengan Syimir.

Abbas sebenarnya hendak tidak menghiraukan Syimir tetapi Imam Husain as berkata, "Lihatlah apa yang hendak dia katakan!" Abbas menghampiri Syimir dan berkata, "Apa maksudmu?" Syimir berkata, "Aku membawa jaminan keamanan dari Ubaidillah bin Ziyad untukmu. Engkau aman dan dapat menyelamatkan diri dari kebinasaan ini."

Abbas dalam jawabannya mengatakan, "Semoga Allah melaknatmu dan surat jaminan keamananmu! Apakah aku aman tetapi putra Rasulullah saw tidak aman?" [76]

Contoh kedua, saat zuhur Asyura dan dalam kecamuk perang, salah seorang sahabat bernama, Abu Tsamamah Shaidawi berkata kepada Imam Husain as, "Jiwaku kukorbankan untukmu! Pihak musuh telah mendekat. Namun, selagi hidup, aku tidak akan membiarkan mereka melukaimu. Aku suka melaksanakan shalat ini dan kemudian menjumpai Tuhan-ku."

Imam Husain as memandang ke langit dan berkata, "Semoga Allah menjadikanmu di antara orang yang mendirikan shalat. Telah tiba waktu shalat zuhur. Mintalah dari pasukan Ibn Ziyad untuk memberi waktu kepada kita untuk melaksanakan shalat!"

Salah seorang pasukan musuh berkata, "Wahai Husain! Shalatmu tidak diterima!" Habib bin Madzahir menjawab, "Wahai lelaki kotor! Apakah shalat putra Rasulullah tidak diterima sementara shalatmu diterima?"

Saat itu, Zuhair bin Qain dan Sa'id bin Abdullah menjadikan diri mereka sebagai perisai agar Imam Husain as dapat melaksanakan shalat. Panah datang dari segala penjuru. Sai'id bin Abdullah menyambut panah itu agar tidak mengenai tubuh Imam Husain as. Pada akhirnya, karena banyaknya luka, ia jatuh pingsan dan berkata, "Ya Allah! Sampaikan salamku kepada Rasulullah saw dan beritahukan kepadanya tentang betapa badanku luka dan sakit untuk membela putranya. Ya Allah! Engkau mengetahui bahwa aku sudah maksimal membela keturunan Rasul-Mu.

Ia mengucapkan itu dan kemudian menemui ajalnya. Tatkala para sahabat mendekati jenazahnya, selain dari luka pedang, tampak tiga belas panah mengenai tubuhnya.[77]

Para sahabat Yazid juga menyerupainya dan mereka mengejar tujuan-tujuan hina duniawi dan hewani. Mereka merupakan manusia-manusia yang mencintai dunia, mencintai popularitas dan kedudukan, tidak memiliki kepribadian, dan lemah iman sehingga tidak segan-segan melakukan perilaku keji dan kejahatan untuk mencapai tujuan-tujuan hewaninya itu. Mereka mendukung pengukuhan pemerintahan Yazid agar mencapai tujuan duniawinya dan mencapai kedudukan atau jabatan.

Ubaidillah bin Ziyad adalah orang yang gila kedudukan. Sebagai tanda terima kasih karena ditunjuk sebagai wali Kufah oleh Yazid, ia memimpin perang berdarah di Karbala dan melakukan semua kekejian yang tak terperikan itu terhadap keluarga suci Nabi saw.[78]

Ketika memasuki Kufah, Ibn Ziyad mencerai-beraikan masyarakat dari kedekatan dengan Muslim bin Aqil. Ia juga menangkap Muslim dengan menggunakan senjata ancaman dan sogokan.[79] Untuk mendorong dan menekan warga Kufah agar berperang melawan Imam Husain as, Ibn Ziyad memakai cara tersebut.
Umar bin Sa'ad menjadi komandan tertinggi pasukan karena berupaya agar kepemimpinan atau kekuasaannya di Rey tidak terlepas dari tangannya. Untuk itulah, ia bersedia berperang melawan Imam Husain dan melakukan semua kejahatan tersebut. [80]

Kelemahan iman dan kebodohan juga merupakan salah satu faktor dari semua kejahatan mereka. Lemahnya iman dan kebodohan serta tiadanya kepribadian yang kukuh dan kerakusan kepada dunia telah membuat pasukan Ibn Ziyad melakukan berbagai jenis kejahatan, bahkan melakukan kejahatan-kejahatan perang.
Mereka membangun dinding di antara sungai Furat sehingga teriakan kehausan para sahabat, wanita, dan anak-anak Imam Husain as menggema di situ.

Mereka bahkan tidak segan membunuh anak-anak yang belum balig dan yang masih menyusui. Setelah membunuh Imam Husain, para sahabat, dan keluarganya secara sangat bengis, mereka memenggal kepala-kepala korban mereka dan membagikannya kepada para kepala pasukan agar dapat mengambil hadiah dari Yazid.

Mereka bahkan merampok pakaian orang-orang yang terbunuh meski pakaian itu murah. Mereka merampok kemah-kemah Imam Husain, bahkan tidak malu untuk merobek telinga anak-anak gadis guna mengambil anting-anting yang melekat pada telinga mereka. Mereka juga membakar kemah-kemah. Mereka menanam dan menguburkan jasad-jasad pasukan mereka sendiri sementara tubuh para sahabat Imam Husain as dibiarkan begitu saja tergeletak di atas tanah tanpa kafan hingga mereka keluar dari negeri itu, padahal mengafani dan menguburkan sesama Muslim adalah wajib.

Mereka menyandera serta menawan keluarga dan anak-anak syuhada lalu menggiring manusia-manusia mulia itu laksana para tawanan perang dari Karbala menuju Kufah. Di jalan-jalan dan di majelis Ibn Ziyad, mereka menghina para tawanan itu. sepanjang perjalanan dari Kufah menuju Syam, para tawanan itu dipertunjukkan kepada penduduk kota-kota dan desa-desa yang dilewati. Manakala memasuki kota Syam, mereka menghiasi kota dengan lampu-lampu sebagai tanda kemenangan dan mereka membawa keliling Ahlulbait Nabi saw di jalan-jalan Syam. Kemudian mereka memasuki majelis umum Yazid dan di situlah para tawanan itu diperlakukan sangat hina dan direndahkan.

Yang menakjubkan adalah kejahatan-kejahatan perang itu keluar dari orang-orang yang menganggap dirinya sebagai Muslim dan pengikut Rasulullah saw, kakek para syuhada dan Ahlulbait.


Tujuan-Tujuan Imam Husain as dan Metode Penindak Lanjutan
Untuk mengenali dengan baik tujuan Imam Husain as dalam kebangkitan Karbala, sebaiknya kita merujuk kepada ucapan Imam sendiri. Ditulis bahwa tatkala keluar dari Madinah, dalam surat wasiatnya kepada Muhammad bin Hanafiah, Imam menulis,

"Sesungguhnya aku tidak keluar untuk melakukan kejahatan, kesombongan, kerusakan, dan kezaliman tetapi sesungguhnya aku keluar untuk melakukan perbaikan terhadap umat kakekku dan melakukan amar makruf nahi munkar sementara aku berjalan pada sirah kakekku dan ayahku, Ali bin Abi Thalib."

Dalam pembicaraan ini, Imam Husain as menyebutkan tiga hal sebagai tujuan: memperbaiki urusan Muslimin, amar makruf nahi munkar, dan menghidupkan sirah atau sunnah kakeknya, Rasulullah saw, dan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib as.[81]

Dengan sedikit ketelitian, maka dapat dikatakan, bahwa tujuan yang terpenting Imam Husain adalah ishlah atau memperbaiki umat yang telah melupakan sirah Rasulullah saw. Dalam berbagai dimensi, baik ibadah, sosial, akhlak, politik, maupun ekonomi mereka telah menyeleweng. Imam Husain berniat menunaikan amal yang penting ini melalui amar makruf dan nahi munkar di semua aspek. Dari itulah, pergerakan Imam Husain as dapat dikenal sebagai suatu gerakan protes dan reformasi yang dilakukan dalam bingkai amar makruf nahi munkar di berbagai aspek dan sesuai dengan tuntutan zaman serta tempat.

Langkah pertama yang diambil oleh Imam Husain as adalah berhijrah dari Madinah. Setelah kematian Muawiyah, Yazid, anaknya, menulis surat kepada Walid, wali Madinah, bahwa Husain bin Ali harus bersedia membaiatnya. Jika Husain membangkang, hendaknya ia dibunuh. Namun, Imam Husain memandang bahwa pemerintahan Yazid tidaklah sah dan melanggar syariat. Maka, Imam tidak bersedia memberikan baiat. Sebagai protes dan pernyataan tidak percayanya, Imam bergerak dari Madinah menuju Mekkah. Perbuatan ini adalah sejenis nahi munkar.

Langkah kedua adalah berdiam di Makkah. Imam Husain berniat untuk menetap di Makkah. Sebagai protes, secara praktik, ketika keadaan memungkinkan, Imam berpidato di hadapan Muslimin dari berbagai negeri yang membanjiri Mekkah untuk menunaikan haji. Di hadapan mereka itulah, Imam Husain menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap pemerintahan Yazid. Ini merupakan suatu jenis amar makruf nahi munkar.

Namun di Mekkah, terjadi dua peristiwa baru yang dapat mempengaruhi kehendak beliau. Pertama, di masa pemberhentian Imam Husain di Makkah, orang-orang Syiah Kufah mengetahui ketidaksedian Imam Husain untuk membaiat Yazid dan keberangkatannya ke Makkah. Maka, dalam surat yang jumlahnya banyak, mereka mengundang Imam Husain as ke Kufah. Kedua, Imam Husain as mengetahui bahwa Yazid memerintahkan beberapa orang untuk meneror dan membunuhnya secara sembunyi-sembunyi.

Langkah ketiga adalah bergerak menuju Kufah. Adanya dua peristiwa tersebut telah mengubah kondisi yang berlaku. Dari satu sisi, Imam tidak dapat tetap tinggal di Mekkah karena apabila Imam terbunuh, kesucian tanah haram sudah tercemari dan darahnya tumpah dengan sia sia. Dari sisi lain, orang orang Syiah Kufah telah mengundangnya. Maka, tidak ada alasan untuk tidak menerima undangan mereka.

Oleh karena itulah, Imam Husain merasa bertanggung jawab sehingga harus bergerak menuju Kufah dan melanjutkan gerakan-gerakan protesnya. Dalam kondisi demikian, untuk menjaga kehati-hatian, Imam melakukan beberapa hal: pertama, Imam mengutus Muslim bin Aqil dengan membawa surat yang ditulisnya ke Kufah dan untuk menyaksikan keadaan Kufah dari dekat. Kemudian Muslim diminta untuk melaporkannya. Tak lama kemudian, Imam Husain menerima surat dari Muslim yang menyatakan bahwa banyak masyarakat Kufah yang membaiatnya dan menantikan kedatangan Imam.

Imam Husain as merasakan bahwa dia harus berangkat menuju Irak karena, di satu sisi, dapat melanjutkan gerakan protesnya dan, di sisi lain, surat-surat warga Kufah dan laporan Muslim menunjukkan, bahwa landasan bagi pemerintahan Islam, yang tanpa penggunaan perang dan pertumpahan darah dengan dukungan ribuan masyarakat Syiah, akan terwujud. Sebagai akibatnya, Imam dapat menghidupkan sirah dan sunnah kakeknya melalui pembentukan pemerintahan Islam dan memperbaiki kondisi Muslimin. Ini adalah martabah atau 'peringkat' amar makruf nahi munkar yang tertinggi.

Namun, apabila warga Kufah tidak menunaikan janji-janjinya atau jika di jalan suci ini datang kesulitan lainnya -yang disesuaikan dengan tuntutan zaman dan
tempat, Imam akan melaksanakan kewajiban barunya yang pada akhirnya tetap melanjutkan posisinya sebagai penentang.

Imam Husain as mengganti haji dengan umrah mufradah dan berangkat menuju Kufah. Langkah keempat, setelah mengetahui berita syahidnya Muslim, di Tsa'labiyah, Imam Husain dihadapkan pada kondisi dan situasi baru. Dalam tahap ini, Imam harus memutuskan sesuai dengan kondisi yang baru itu. Pertama yang Imam lakukan adalah mengetengahkan peristiwa syahidnya Muslim, tanpa menutup-nutupi, kepada para sahabatnya dan meminta pendapat mereka.
Anak-anak Aqil berkata, "Kami akan menuntut balas darah Muslim atau terbunuh di jalan yang sama.

Imam Husain as berkata, "Setelah syahidnya Muslim dan Hani, kehidupan tiada bernilai lagi."

Sejumlah sahabat berkata, "Wahai putra Rasulullah saw! Demi Allah! Engkau tidak seperti Muslim. Ketika engkau memasuki Kufah, orang-orang Syiah yang mengundangmu sudah pasti akan menyambutmu dan mendukungmu."

Dalam kondisi dan situasi yang baru ini, Imam Husain dihadapkan pada dua jalan: melanjutkan gerakannya menuju Kufah atau menggagalkan niatnya untuk pergi ke Kufah dan berangkat ke negeri lain. Selanjutnya di sana, Imam akan menunaikan tugasnya sesuai dengan kondisi yang akan terwujud.

Imam mendahulukan jalan yang pertama karena beberapa hal: pertama, Imam berputus asa dari dukungan masyarakat Kufah sementara para sahabat dan keluarganya juga masih mendukung kemungkinan ini; kedua, Imam berpikir bahwa apabila warga Kufah tidak melaksanakan tugasnya, di sana akan bisa lebih baik menunaikan tugas sesuai dengan kondisi dan situasi baru serta melanjutkan gerakan protesnya. Oleh karena itulah, Imam memutuskan untuk berangkat menuju Kufah.

Di sini, Imam Husain melihat perlunya melaksanakan pekerjaan lain, yakni melihat apakah ada di antara para sahabat dan pendukungnya, seseorang atau sejumlah orang yang tidak suka untuk ikut serta dalam perjalanan yang berbahaya ini. Oleh karenanya, Imam berkata kepada para sahabatnya, "Sebagaimana kalian dengar sendiri bahwa Muslim telah syahid dan kondisi Kufah berubah menjadi berbahaya. Alhasil, aku berniat untuk pergi ke Kufah. Kini, aku akan melepaskan baiatku dari kalian. Maka, barangsiapa yang menginginkan dapat berpisah atau meninggalkanku lalu pergi ke mana saja ia suka."

Beberapa orang sahabat Imam memutuskan untuk pergi sementara kafilah Imam terus berangkat ke Kufah.

Langkah kelima, Imam bertemu dengan pasukan Hur. Program Imam Husain as adalah secepat mungkin dapat tiba di Kufah. Namun sebelum tiba di Kufah, mereka bertemu dengan pasukan Hur yang menutup jalan Imam Husain as. Imam berkata kepada Hur, "Warga Kufah mengundangku kemari. Apabila mereka menyesalinya, aku bersedia untuk kembali ke Hijaz atau ke negeri lain."

Hur menjawab, "Aku tidak mengetahui perihal undangan itu. Aku diperintahkan untuk menangkapmu dan membawamu ke Ibn Ziyad di Kufah agar ia memutuskan nasibmu."

Keadaannya berubah. Maka, apabila Imam Husain menyerah di hadapan Ibn Ziyad, akibatnya tiada lain adalah kehinaan dan kerendahan atau pengakuan akan kepengecutan diri sendiri. Oleh karena itu, Imam Husain as tidak bisa menerima perkara seperti ini. Maka, Imam mengubah jalur perjalanannya. Daripada menuju Kufah, Imam lebih memilih pergi ke tempat lain untuk menyelamatkan diri dari jalan buntu ini dan melanjutkan gerakan protesnya di tempat lain.

Langkah keenam, Imam tiba di bumi Karbala. Kafilah Imam Husain as sedang bergerak dan pasukan Hur menyertai mereka dengan tanpa kekerasan hingga tiba di bumi Karbala. Di saat itulah, datang 216 surat dari Ibn Ziyad kepada Hur yang isinya agar Husain dan kafilahnya dihentikan di situ serta mencegah mereka melanjutkan perjalanan.

Dengan sampainya instruksi itu, kondisi seratus persen berubah dan Imam menemukan suatu keadaan baru. Imam tidak lagi dapat pergi ke Kufah dan juga ke tempat lain. Kembali Imam berada di dua persimpangan jalan: pertama menyerah kepada Ibn Ziyad dan menerima kehinaan agar bisa hidup selama beberapa tahun atau bertahan melawan musuh dan memilih mati mulia ketimbang hidup menanggung kehinaan.

Imam Husain as dalam kondisi yang peka dan berbahaya seperti itu tidak bersedia menyerah dan berpaling dari keteguhan sikapnya. Imam memilih berperang dengan mulia sampai menemui syahadah sehingga dengan perbuatannya itu, Imam akan menunjukkan kepada umat Islam sebuah pelajaran kemerdekaan dan menggoyahkan tonggak-tonggak pemerintahan Bani Umayyah yang batil. Inilah peringkat amar makruf nahi munkar yang tertinggi.


Catatan Kaki:
[1] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 200 -201; Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 26-252; A'lamul Wara, jilid 1, hal. 420; Mathalibus Su'ul, jilid 2, hal. 49, 51, 69, dan 70.

[2] Istbatul Huda jilid 5, hal. 134-171.

[3] Ibid, jilid 5, hal. 169; Biharul Anwar, jilid 44, hal. 174.

[4] Ibid, jilid 44, hal. 173.

[5] Istbatul Huda, jilid 5, hal. 174.

[6] Istbatul Huda jilid 5, hal. 170.

[7] Ibid, jilid 5, hal. 170.

[8] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 297.

[9] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 316 .

[10][298] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 262 ./p> [11] Ibid, jilid 43, hal. 316

[12] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 264

[13] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 192

[14] Ibid, jilid 44, hal. 193.

[15] Ibid, jilid 44, hal. 196,

[16] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 276.

[17] Ibid, jilid 44, hal. 190.

[18] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 194.

[19] QS. an-Nisa: 86.

[20] Ibid, jilid 44, hal. 195.

[21] Ibid, jilid 44, hal. 195.

[22] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 194.

[23] Usudul Ghabah, jilid 4, hal. 387; al-Irsyad, jilid 2, hal. 32.

[24] Bihar anwar jil 44 326 .

[25] Bihar anwar jil 44 hal 329. .

[26] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329. .

[27] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.

[28] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 334.

[29] Ibid, jilid 44, hal. 337.

[30] Bihar anwar jil 44 hal 248.

[31] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 350-363.

[32] Ibid, jilid 44, hal. 363.

[33] Ibid, jilid 44, hal. 363.

[34] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 367.

[35] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 364.

[36] Ibid, jilid 44, hal. 366.

[37] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 373.

[38] Ibid jil 44 hal 369.

[39] Bihar anwar jil 44 hal 376-381.

[40] Bihar anwar jil 44 hal 381.

[41] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 381.

[42] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 385-386.

[43] Ibid, jilid 44, hal. 384.

[44] Bihar anwar jil 44 hal 388.

[45] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 389-390.

[46] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 491.

[47] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 392.

[48] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 392.

[49] Bihar anwar jil 44 hal 393.

[50] Biharul Anwar, jilid 45, hal. 3-4.

[51] Biharul Anwar, jilid 45, hal 4.

[52] Biharul Anwar, jilid 45, hal. 394.

[53] Ibid, jilid 45, hal. 394.

[54] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 263.

[55] Ibid, jilid 44, hal. 376.

[56] Ibid, jilid 44, hal. 389.

[57] Ibid, jilid 45, hal. 5.

[58] Ibid, jilid 45, hal. 10.

[59] Ibid, jilid 45, hal. 20.

[60] Tarikh Ya'qubi, jilid 2, hal. 220.

[61] Tarikh Ya'qubi, jilid 2, hal. 241.

[62] Ibid, jilid 2, hal. 249.

[63] Ibid, jilid 2, hal. 250.

[64] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 5, hal. 129-131.

[65] Ansabul Asyraf, jilid 1, hal. 116.

[66] Ansabul asyraf jil 1 hal 297-301.

[67] Ibid jil 1 hal 312- 322.

[68] Ibid jil 1 hal 297-301.

[69] Ibid jil 1 hal 355-361.

[70] Syarah Nahjul balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 9, hal. 53.

[71] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.

[72] Tarikh Ya'qubi, jilid 2, hal. 241.

[73] Biharul Anwar, jilid 45, hal. 167.

[74] Ibid, jilid 45, hal. 176.

[75] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 391.

[76] Ibid, jilid 44, hal. 391.

[77] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 337.

[78] Ibid, jilid 44, hal. 340-341.

[79] Ibid, jilid 44, hal. 340-341.

[80] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.

[81] Ibid, jilid 44, hal. 329.

19
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.

IMAM KEEMPAT: IMAM ALI ZAINAL ABIDIN AS
Ali bin Husain, menurut beberapa riwayat, lahir di pertengahan bulan Jumadil Ula, tahun 31 atau 36 Hijriah. Ayah beliau adalah Husain bin Ali dan ibunya, menurut satu pendapat, adalah Syaher Banu, putri raja Yazdghird. Kunyah-nya adalah Abu Hasan, Abu Qasim, Abu Muhammad, dan Abu Bakar sementara di antara laqab-nya yang paling populer adalah Zainal Abidin, Sayidul Abidin, Zainus Shalihin, dan Sajjad. Menurut beberapa pendapat, Imam lahir pada tanggal 12 Muharram, tahun 94 Hijriah di Madinah dan dimakamkan di pemakaman Baqi'.

Imam hidup selama 57 tahun dan ketika berusia dua tahun, kakeknya, Ali bin Abi Thalib, syahid. Imam menyaksikan sepuluh tahun imamah (kepemimpinan) pamannya, yakni Imam Hasan as. Dalam usianya yang ke- 22, tepatnya pada Asyura (10 Muharram) tahun 61 Hijriah, Imam menyaksikan ayahnya syahid di Karbala. Setelah itu, Imam hidup selama 35 tahun yang merupakan periode imamah-nya.


Nash Imamah
Untuk membuktikan imamah Ali bin Husain, selain argumen-argumen universal dan kolektif yang digunakan untuk membuktikan kebenaran dua belas imam suci yang sebelumnya telah kami bawakan, kami juga akan membawakan argumen khusus, yakni nash yang disebutkan oleh ayah Imam.

Abu Bakar Khadrami menukil dari Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Tatkala hendak pergi ke Irak, Husain bin Ali menitipkan surat wasiat, kitab, serta hal-hal lainnya kepada Ummu Salamah, istri Nabi saw, dan mengatakan, "Ketika anakku yang tertua nanti datang kepadamu, serahkanlah amanah ini kepadanya!" Di kemudian hari, sepeninggal Imam Husain, putranya, Ali Zainal Abidin, mendatangi Ummu Salamah dan mengambil amanah tersebut."

Abu Jarud menukil dari Imam Muhammad Baqir yang berkata, "Imam Husain, sebelum syahadah, memanggil putrinya yang bernama Fatimah dan menitipkan sebuah buku yang dilipat beserta sebuah wasiat yang tampak jelas kepadanya. Saat itu, Ali Zainal Abidin sakit keras. Setelah itu, Fatimah menyerahkan amanah itu kepada Ali bin Husain. Demi Allah! Kitab itu ada di tangan kami."

Abu Jarud berkata, "Apa yang terkandung dalam kitab itu, demi jiwaku yang kukorbankan untukmu, adalah semua hukum dan hudud, bahkan denda sebuah goresan."

Abdullah bin Atabah mengatakan, "Suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali yang tiba-tiba Ali bin Husain datang. Aku mengatakan kepada Imam Husain, sekiranya -semoga Allah menjauhkannya- ajalmu tiba, sipakah yang dapat kami jadikan rujukan sepeninggalmu?" Imam Husain mengatakan, "Merujuklah kepada anakku. Dia adalah imam dan ayah para imam."

Dalam kitab Istbatul Washiah, Mas'udi menulis, "Husain di Karbala memanggil anaknya, Ali bin Husain, yang sedang sakit dan mengajarkan kepadanya ismul a'dzam dan warisan-warisan para nabi lalu memberitahukan kepadanya bahwa telah dititipkan ilmu, shahifah, serta senjata kepada Ummu Salamah. Imam Husain pun mewasiatkan agar Ummu Salamah menyerahkannya kepada Ali bin Husain."

Sayyid Murtadho dalam kitab Uyunul Mukjizat menulis, "Para perawi hadis meriwayatkan bahwa Husain bin Ali mewasiatkan ismul a'dzam dan warisan para nabi kepada putranya Ali bin Husain dan mengatakan bahwa Ali bin Husain akan menjadi imam sepeninggalnya nanti."

Muhammad bin Muslim mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq, "cincin Husain bin Ali sampai kepada siapa? Aku mendengar bahwa cincin beliau pada hari Karbala dikeluarkan dari jarinya." Imam Ja'far menjawab, "Tidaklah seperti itu, melainkan Husain berwasiat kepada putranya yang bernama Ali bin Husain dan memberikan cincinnya serta menyerahkan urusan imamah kepadanya Ali bin Husain, sebagaimana Rasulullah melakukan hal yang sama terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Ali as melakukannya terhadap Imam Hasan dan Imam Hasan terhadap saudaranya, Imam Husain. Setelah Ali bin Husain, cincin itu sampai ke tangan ayahku dan setelah ayahku, sampai ke tanganku. Setiap hari Jumat aku mengenakan cincin itu dan shalat dengan bersamanya."

Muhammad bin Muslim mengatakan, "Pada hari jumat, aku tiba di sisi Imam Ja'far Shadiq. Imam Ja'far dalam keadaan shalat. Ketika selesai dari shalatnya, Imam menjulurkan jarinya kepadaku. Aku menyaksikan sebuah cincin di tangannya yang mulia. Cincin itu bertuliskan la ilaha illa Allah iddatun liliqo illah. Sewaktu itu, Imam berkata, "Ini adalah cincin kakekku Abu Abdillah Husain bin Ali."

Penulis kitab Kasyful Ghummah, untuk membuktikan imamah Ali bin Husain membawakan sejumlah argumentasi lain.

Pertama, Imam Sajjad, setelah ayahnya, dari segi ilmu dan amal, merupakan manusia yang paling mulia. Dengan keberadaan manusia yang paling utama, maka yang tidak utama tidak dapat menjadi imam. Ini berlandaskan akal.

Kedua, dengan argumentasi aqliyah dan naqliyah, telah terbuktikan bahwa wujud imam diperlukan di semua masa dan tidak ada satu masa pun di bumi ini yang kosong dari keberadaan hujjjah. Di sisi lain, orang yang, di zaman Ali bin Husain, mengaku sebagai imam tidak memiliki argumen yang benar terhadap imamah-nya dan klaimnya adalah batil. Oleh karena itulah, imamah Ali bin Husain terbuktikan sebab bumi tidak akan sunyi dari seorang imam.

Ketiga, dari Rasulullah saw telah datang nash yang menyatakan imamah Ali bin Husain. Contohnya adalah lauh yang dinukilkan oleh Jabir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Baqir dari ayahnya, dan ayahnya dari kakeknya, dan kakeknya dari Fatimah, putri Rasulullah saw. Di dalamnya, tertulis nama-nama dua belas imam dan di antaranya nama Imam Sajjad tercatat di dalamnya.

Amirul Mukminin di masa kehidupan Husain bin Ali memberitahukan imamah cucunya Ali bin Husain as, sebagaimana dapat disimpulkan dari hadis-hadis.

Begitu juga, Husain bin Ali sebelum syahadah-nya, mewasiatkan imamah putranya dan menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Ummu Salamah agar nanti sepeninggalnya diserahkan kepada Ali bin Husain yang akan memintanya dari Ummu Salamah. Ini merupakan salah satu tanda kebenaran klaim imamah Ali bin Husain.

Jabir bin Abdillah Anshari mengatakan, "Wahai Rasulullah! Para Imam dari putra Ali bin Abi Thalib, siapakah mereka?" Nabi saw mengatakan, "Hasan dan Husain adalah pemuka ahli surga. Setelah itu, Sayyid Abidin Ali bin Husain. Setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya.

Sampaikanlah salamku kepadanya. Setelah itu, Shadiq Ja'far bin Muhammad. Setelah itu, Kazhim Musa bin Ja'far. Setelah itu, Ridha Ali bin Musa. Setelah itu, Taqi Muhammad bin Ali. Setelah itu, Naqi Ali bin Muhammad. Setelah itu, Zaki Hasan bin Ali. Setelah itu, putranya yang bernama Imam Mahdi, yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah bumi dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang- wenangan. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, taushiya, anak-anak, serta itrah-ku. Barangsiapa yang mematuhi mereka artinya mematuhiku dan barangsiapa yang menentang mereka artinya menentangku.

Barangsiapa yang menentang atau memungkiri salah seorang dari mereka berarti telah mengingkariku. Dengan berkah wujud mereka, Allah swt menjaga bumi dan tidak menenggelamkan penduduknya."


Keutamaan dan Kemuliaan Akhlak
Ali bin Husain adalah manusia yang paling besar dan mulia di eranya sehingga dijuluki dengan "penghias ahli ibadah". Imam Shadiq mengatakan, "Seorang penyeru menyeru di hari kiamat, "Di manakah Imam Ali Zainal Abidin?" Tampak kami menyaksikan Ali bin Husain yang bangun dan bergerak di antara barisan."

Tatkala Ali bin Husain berdiri di sisi Umar bin Abdul Azis, Umar bertanya kepada hadirin, "Siapakah manusia yang termulia." Mereka berkata, "Andalah." Umar berkata, "Tidak! Kalian salah tetapi yang termulia adalah orang yang baru saja bangun di sisiku."

Hisyam bin Abdul Malik, setelah khilafah, pergi haji. Hisyam ingin mencium Hajar Aswad. Namun, dikarenakan banyaknya kerumunan manusia, Hisyam tidak dapat melakukannya. Di saat itulah, Ali bin Husain tiba. Para jemaah haji lantas membuka jalan bagi Ali bin Husain agar ia dapat mencium Hajar Aswad. Para pengiring Hisyam bertanya, "Siapa lelaki ini sehingga masyarakat membuka jalan untuknya." Hisyam berkata, "Kami tidak mengenalnya." Farazdaq, seorang penyair, yang mendengar ucapan Hisyam berkata, "Namun, aku mengenalnya dengan baik. Dialah Ali bin Husain Zainal Abidin." Kemudian Farazdaq membacakan syair indah untuk memperkenalkan Imam Zainal Abidin.

Abu Hazim Sufyan bin Uyaynah dan Zuhri berkata, "Di antara Bani Hasyim, aku tidak menyaksikan yang lebih lebih mulia dan fakih melebihi Ali bin Husain."


Ibadah dan Keterjagaan di Malam Hari
Setelah Ali bin Abi Thalib, Ali bin Husain merupakan lelaki yang paling ahli dalam ibadah sehingga dijuluki Zainal Abidin. Imam Shadiq mengenainya berkata, "Tatkala shalat tiba, tubuh Imam Zainal Abidin gemetar dan warnanya kuning, seperti benih pohon kurma yang bergoyang."

Imam Baqir berkata, "Aku melihat Ali bin Husain yang dalam kedaan shalat. Aba'ah-nya 'jubahnya' jatuh dari pundaknya tetapi dia tidak membetulkannya hingga shalatnya usai. Aku menanyakan hal itu kepadanya. Dia berkata, "Apakah engkau tahu di depan siapakah aku tadi berdiri? Sesungguhnya shalat seseorang tidak akan diterima, kecuali sebatas perhatian atau konsentrasi hatinya kepada Allah swt."

Tatkala Imam Zainal Abidin berdiri untuk shalat, warna wajahnya berubah, tubuhnya gemetar, dan keadaannya berubah. Adakalanya ketika ditanya tentang penyebab perubahan keadaan itu, dia mengatakan, "Aku akan berdiri di hadapan seorang Raja yang Mahaagung."

Ketika sibuk dengan shalat, ia berpaling dari semuanya dan tidak mendengar suara apa pun.

Abdullah, putra Imam Sajjad, mengatakan, "Ayahku begitu tenggelam dalam shalat hingga penat dan kemudian tidur di atas tanah layaknya seorang anak kecil yang lelah kemudian tertidur."

Ali bin Husain jika tertinggal dalam shalat sunnah di siang hari akan menggantikannya dan mengatakan kepada anak-anaknya, "Meskipun shalat nawafil 'sunnah' itu tidak wajib tetapi aku menyukai segala perbuatan baik yang kalian lakukan. Maka, hendaknya kalian lanjutkan. Ayahku tidak meninggalkan shalat malam di dalam perjalanan dan juga ketika hadir."

Ayah Abu Tsumali mengatakan, "Aku melihat Ali bin Husain di sisi Ka'bah sedang sibuk menunaikan shalat. Begitu lama beliau memanjangkan rukuknya hingga penat dan adakalanya kakinya hampir jatuh karena tak kuat menahan letih. Aku mendengar beliau berdoa, "Ya Tuhanku! Apakah engkau akan menyiksaku padahal hatiku bergelimang dengan kecintaan terhadap-Mu? Sungguh demi kemulian-Mu, bila engkau menyiksaku, latajma'anna baini wa baina qaumin thala ma adaitahum fika.

Zuhri berkata, "Ali bin Husain berkata, "Bila sekiranya masyarakat Timur dan Barat mati tetapi al-Quran tetap menyertaiku, aku tidak akan pernah takut."

Manakala sampai pada ayat "maliki yaumiddin", Imam mengulanginya hingga hampir saja meninggalkan dunia ini.

Imam Muhammad Baqir berkata, "Fatimah, putri Ali bin Abi Thalib, melihat Ali bin Husain yang kepenatan karena banyak beribadah. Lantas ia menjumpai Jabir bin Abdillah Anshari seraya berkata, "Wahai sahabat Rasulullah saw! Kami memiliki hak terhadapmu. Sekiranya salah seorang dari kami hampir saja membunuh dirinya sendiri karena banyak beribadah, engkau harus menasehatinya agar ia menjaga kesehatannya. Kini, Ali bin Husain, yang merupakan peninggalan ayah kami, kening, lutut, dan tangannya telah menebal. Datanglah dan bicaralah kepadanya! Mungkin ia dapat mengurangi kepenatan dan keletihan terhadap dirinya sendiri karena ibadah."

Jabir mendatangi Ali Zainal Abidin. Dia menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin sedang tenggelam dalam ibadah. Ali bin Husain bangkit sebagai penghormatan terhadap Jabir dan mendudukkannya di sisinya.

Jabir berkata, "Wahai putra Rasulullah saw! Tidakkah kalian mengetahui bahwa Allah swt menciptakan surga untuk kalian dan pecinta kalian sementara menciptakan neraka untuk musuh-musuh kalian? Lalu, mengapa engkau membuat dirimu sepenat ini dalam beribadah?"

Ali bin Husain menjawab, "Wahai sahabat Rasulullah! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kakekku, Rasulullah saw, telah Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang. Namun demikian, Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah sehingga telapak kaki dan betisnya membengkak dan sebagai jawaban terhadap orang-orang yang menasehatinya beliau mengatakan, "Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur."

Tatkala melihat nasehatnya tidak mempengaruhi Ali Zainal Abidin, Jabir mengatakan, "Wahai putra Rasulullah! Jagalah kesehatan jasmanimu karena engkau berasal dari keluarga yang karena keberadaanya malapetaka dihindarkan dari bumi dan hujan diturunkan."

Imam Sajjad berkata, "Wahai Jabir! Selagi masih hidup. Aku tidak akan meninggalkan sunnah dan cara ayah-ayahku hingga aku bertemu dengan mereka."
Ali bin Husain pergi ke haji dengan berjalan kaki dan menempuh perjalanan antara Madinah ke Makkah selama dua puluh hari.


Berbuat Baik kepada Orang-orang Miskin
Imam Muhammad Baqir berkata, "Ayahku membagi hartanya menjadi dua sebanyak dua kali dan memberikan separuhnya kepada fakir-miskin."
Ali bin Husain memenuhi sebuah kantung dengan roti dan makanan lalu membagikannya kepada fakir-miskin seraya berkata, "Sedekah memadamkan api kemarahan."

Umar bin Dinar berkata, "Ketika Zaid bin Usamah sakit keras, Ali bin Husain yang berada di situ bertanya sebab sakitnya. Usamah berkata, "Aku berhutang sebanyak lima belas ribu dinar dan tidak dapat membayarnya. Aku khawatir mati dalam keadaan berhutang." Imam Sajjad berkata, "Janganlah engkau bersedih karena aku akan mengemban hutangmu dan akan kubayar."

Abdullah yang dalam keadaan sekarat didatangi oleh para penangih hutang. Ia berkata, "Aku tidak memiliki sesuatu untuk kuberikan kepada kalian. Namun, aku berwasiat kepada salah seorang anak pamanku, Ali bin Husain dan Abdullah bin Ja'far, agar membayar hutang kalian. Pilihlah yang kalian suka! Mereka berkata, "Abdullah bin Ja'far memang kaya tetapi Ali bin Husain -walaupun tidak memiliki banyak harta, jujur dan kami lebih memilihnya."

Hal ini diberitakan kepada Ali bin Husain. Imam Ali Zainal Abidin berkata, "Hutang kalian akan kubayar saat ladangku panen." Kebetulan, ketika panen, Allah swt memberikan panen yang melimpah sehingga Imam dapat menunaikan hutang Abdullah.

Imam Muhammad Baqir berkata, "Ayahku di malam-malam yang gelap memanggul kantung yang dipenuhi dengan kantung-kantung dinar, dirham, serta makanan. Beliau mengetuk pintu-pintu rumah orang-orang miskin dan membagikan dirham, dinar, dan makanan itu kepada mereka dalam kedaan mukanya tertutup agar tidak dikenali.

Sepeninggal Imam, Orang-orang fakir baru memahami bahwa lelaki yang tak dikenal itu adalah Ali bin Husain."

Zuhri berkata, "Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku menyaksikan Ali bin Husain sedang membawa gandum. Sementara ia berjalan, aku bertanya, "Wahai putra Rasulullah! Apa yang engkau pikul?" Beliau berkata, "Aku berniat melakukan perjalanan. Aku akan membawa bekalku ini ke tempat yang aman."

Aku bertanya, "Ijinkanlah budakku membantumu membawa barangmu itu." Beliau tidak mengijinkannya. Aku berkata, "Ijinkanlah aku sendiri yang membantumu."

Imam berkata, "Aku sendiri yang harus memikulnya dan menyampaikannya kepada tujuannya. Demi Allah! Tinggalkan aku sendiri dan pergilah mengurus urusanmu sendiri!" Setelah beberapa hari, aku melihat Imam Ali bin Husain belum pergi. Aku bertanya, "Wahai putra Rasulullah! Engkau belum juga pergi?"
Beliau berkata, "Wahai Zuhri! Perjalanan itu bukanlah seperi yang kaupikirkan, melainkan perjalanan akhirat yang kupersiapkan sendiri untuk menempuhnya.

Persiapan untuk mati dengan dua hal: menjauhi yang haram dan membelanjakan harta di jalan kebaikan."

Tatkala Madinah diserang oleh pasukan Yazid (di bawah pimpinan Muslim bin Aqabah), Ali bin Husain menjamin penghidupan empat ratus keluarga hingga pasukan Muslim bin Aqabah meninggalkan Madinah.


Tawadhu dan Rendah Hati
Ali bin Husain, dalam keadaan menaiki binatang kendaraannya, melewati orang-orang judzam (penyakit lepra) yang sedang makan. Mereka mengundang Imam untuk makan. Imam menjawab, "Aku sedang berpuasa. Jika tidak, aku akan menerima undangan kalian." Ketika tiba di rumah, Imam memerintahkan (pembantunya) untuk memasak makanan yang lezat. Kemudian Imam mengundang mereka untuk makan bersama.


Ampunan dan Ihsan
Salah seorang sahabat Imam Ali Zainal Abidin meriwayatkan, bahwa salah seorang keluarga Imam mencaci-makinya di depan para pengikut Imam. Akan tetapi, Imam sama sekali tidak bereaksi atau membalas dengan cacian. Tidak beberapa lama kemudian, Imam berkata kepada para sahabatnya, "Kalian telah mendengar caci-maki lelaki itu terhadapku. Sekarang aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Bila kalian ingin, marilah ikut aku ke rumahnya."

Mereka berjalan menuju rumah lelaki itu. Di tengah perjalanan, Imam membaca ayat, Dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia, dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.

Ketika tiba di rumah itu, lelaki itu keluar dari rumahnya dalam keadaan siap berkelahi dan menyerang sebab berpikir bahwa Ali bin Husain datang untuk membalas penghinaannya.

Dalam keadaan seperti itulah, Imam Sajjad berkata kepadanya, "Wahai saudaraku! Apabila yang engkau katakan itu memang benar, aku bertaubat kepada Allah dan sekiranya yang engkau nisbatkan itu adalah kebohongan, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu." Lelaki itu menyesali ucapannya. Ia mencium kening Imam seraya berkata, "Aku menuduhkan kepadamu sesuatu yang tidak ada pada dirimu. Sesungguhnya aku yang lebih pantas untuk (tuduhan) itu."

Budak wanita Ali bin Husain menuangkan air untuk wudhu. Tiba-tiba mangkuk air jatuh dari tangan budak wanita itu ke kepala Imam dan melukai wajahnya. Imam mengangkat kepalanya dan melihat budak wanita itu. Budak itu berkata, "Allah swt di dalam al-Quran berfirman, Dan mereka yang menahan amarah."

Imam berkata, "Aku menahan amarahku." Budak itu berkata lagi, Dan mereka yang memaafkan manusia." Imam berkata, "Allah swt mengampuni dosa-dosamu."

Budak itu berkata, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." Imam berkata, "Engkau kubebaskan. Pergilah ke mana saja engkau mau!"

Imam Ali Zainal Abidin memiliki tamu. Maka, pembantu Imam membuatkan sate untuk para tamu itu. Tiba-tiba tusuk sate dari besi jatuh mengenai salah seorang anak yang berada di bawah tangga. Budak itu bingung dan bimbang. Imam berkata kepadanya, "Engkau tidak melakukannya dengan sengaja dan engkau kubebaskan."

Seorang lelaki dari luar rumah Imam Sajjad memaki-maki Imam dan menghinanya. Para sahabat Imam yang mendengar cacian itu hendak menyerang lelaki itu.

Namun, Imam melarangnya. Ketika itu, Imam berkata kepadanya, "Apa yang tertutup pada dirimu lebih daripada itu. Apakah engkau memiliki keperluan sehingga aku dapat membantumu?" Kemudian, Imam memberikan pakaian kepadanya dan memerintahkan agar memberikan seribu dirham kepadanya.

Lelaki itu malu atas perilaku ihsan Imam dan menyesali perilakunya. Setelah itu, setiap kali dia berjumpa dengan Imam maka ia berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah anak Nabi saw."

Ali bin Husain, pada malam hari, pergi ke rumah anak pamannya dan dengan wajah yang tak dikenal, Imam membantunya. Lelaki itu berkata, "Semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbuat baik kepadaku sedangkan Ali bin Husain tidak pernah membantuku. Semoga Allah tidak memberikan balasan yang baik dari pihakku kepadanya." Imam mendengar ucapan lelaki itu. maka, ia menahan diri dan tidak mengenalkan dirinya. Ketika Ali bin Husain wafat sehingga bantuan terputus, lelaki itu baru memahami bahwa yang berbuat kebajikan adalah Imam Sajjad. Setelah itu, ia selalu mengunjungi makam Imam Sajjad seraya menangis di atasnya dan memohon maaf.

Ali bin Husain berpapasan dengan sebuah kelompok yang sedang menggunjingnya. Imam berhenti dan berkata, "Apabila kalian berkata benar, semoga Allah mengampuniku dan apabila kalian berbohong, semoga Allah memaafkan kalian."


Periode Kehidupan Imam Keempat
Periode kehidupan Imam Ali Zainal Abidin dapat dibagi menjadi dua bagian: dari kelahiran hingga imamah dan dari imamah hingga wafat.


Dari Kelahiran hingga Imamah
Selama dua tahun, Imam hidup bersama kakeknya, Imam Ali bin Abi Thalib, dan pada masa syahadah Imam Ali, Imam berusia dua tahun. Imam juga mengalami sepuluh tahun imamah pamannya, Imam Hasan. Di masa kanak-kanak dan remaja, ia menyaksikan semua peristiwa pahit.

Ia menyaksikan bagaimana Muawiyah bin Sufyan merampas pemerintahan konstitusional pamannya, Imam Hasan. Dalam khutbah-khutbah dan qunut shalat, bahkan kakeknya, Imam Ali as, dilaknat dan dikutuk.

Sewaktu berusia dua belas tahun, Imam Zainal Abidin menyaksikan bagaimana pamannya, Imam Hasan, yang meninggal karena diracun tidak diijinkan untuk dimakamkan di sisi makam kakeknya, Rasulullah saw.

Setelah itu, selama sepuluh tahun, Imam hidup bersama ayahnya, Imam Husain as. Imam melalui periode remaja di sisi ayahnya dan menyaksikan berlanjutnya perampasan pemerintahan, kezaliman, pembunuhan, dan kekejian Muawiyah. Dalam perjalanan Imam Husain dari Madinah ke Makkkah dan dari Mekkah ke Irak, Imam menyertai sang ayah. Di masa itu, kira kira Imam berusia 22 tahun. Dalam peristiwa tragis Asyura, Imam hadir dan menyaksikan syahidnya sang ayah beserta saudara-saudaranya, paman-pamannya, anak-anak pamannya, dan para sahabat ayahnya dengan kedua matanya. Namun, karena sakit parah, Imam tidak dapat hadir di medan tempur sehingga nyawanya terpelihara. Allah swt berkehendak agar bumi-Nya tidak kosong dari wujud imam dan hujjah.


Periode Imamah
Ali bin Husain, setelah syahidnya sang ayah, menduduki kursi imamah, yakni tepatnya pada 11 muharram tahun 61 Hijriah. Imam mengemban tanggung jawab yang berat.

Sebelum segala sesuatunya, dua tanggung jawab besar dan penting segera berada di pundaknya: pertama, memelihara dan menjaga sisa Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada lalu membela mereka di depan marabahaya yang mungkin terjadi ketika mereka menjadi tawanan dan berada dalam cengkeraman pasukan Yazid yang zalim dan bengis. Imam Sajjad bekerjasama dengan bibinya, Zainab dan Ummu Kultsum, menunaikan kewajiban ini dengan sempurna; kedua, mengenalkan ayahnya, Imam Husain, menjelaskan tujuan-tujuannya dalam pergerakan Karbala, mengungkap kekejian antek-antek Yazid, dan mendedahkan kekejian-kekejian serta kekasaran hati mereka, sehingga bahkan mereka mampu melakukan hal yang bertentangan dengan ketetapan perang.
Ini adalah perkara penting yang benar-benar dilakukan Imam dalam melanjutkan tujuan-tujuan Imam Husain as karena Yazid dan antek-anteknya berencana mengenalkan kepada masyarakat bahwa peristiwa berdarah di Karbala sebagai munculnya sekelompok perusak dan pembangkang yang menentang pemerintahan sah serta merusak keamanan dan stabilitas nasional sehingga darah mereka halal. Dengan demikian, mereka ingin meracuni opini umum. Mereka berharap dengan melaksanakan rencana ini dapat memadamkan peristiwa berdarah Karbala yang terjadi di suatu tempat terpencil dan jauh dari mata masyarakat secepat mungkin sehingga dapat mencegah tersebarnya berita yang sesungguhnya.

Bila Yazid dan para pendukungnya suskes melaksanakan program seperti itu, bukan hanya darah Imam Husain, para sahabat, dan keluarganya yang terinjak-injak tetapi -melalui pendistorsian tadi- tujuan-tujuan sakral Imam Husain terancam gagal.

Menimbang apa yang telah dikatakan, Imam Sajjad mengetahui kewajibannya itu sepanjang perjalanan dari Karnala menuju Kufah dan dari Kufah ke Damaskus. Imam memanfaatkan peluang yang ada untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya dan menyingkapkan keburukan pasukan Yazid. Imam berupaya membuka tabir keburukan mereka dan kekerasan hati mereka lalu mengenalkan siapa sebenarnya Imam Husain serta menjelaskan tujuan-tujuan suci ayahnya.

Dengan bekerjasama bersama Zainab dan Ummu Kultsum, di sepanjang perjalanan ini, Imam memanfaatkan peluang dan menunaikan kewajibannya itu dengan baik. Imam berpidato di hadapan penduduk Kufah dan Damaskus. Di majelis Ibn Ziyad dan Yazid, Imam, Zainab, dan Ummu Kultsum pun berpidato dan berargumen.

Karena khutbah, perdebatan, dan dialog Imam Sajjad bersama Zainab dan Ummu Kultsum, tumbuhlah kesadaran di antara penduduk Kufah. Para wanita dan lelaki menangisi keteraniayaan Ahlulbait dan mereka menepuk tangan ke dada dan kepala sebagai ekspresi kesedihan dan ratapan. Mereka menyatakan penyesalan atas kekurangan mereka dalam membantu dan membela Imam Husain.

Di Damakus, kejadiannya juga sama dan terus belanjut sehingga Yazid terpaksa meminta maaf kepada Ahlulbait dan menyatakan rasa penyesalan yang mendalam atas terbunuhnya Imam Husain. Akan tetapi, Yazid melemparkan tanggung jawab itu ke atas pundak Ibn Ziyad. sementara itu, akhirnya Ahlulbait dipulangkan ke Madinah dengan penghormatan dan kemuliaan.

Meskipun tujuan Ibn Ziyad dan Yazid dari upaya menyandera dan menawan Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada lalu menggiring mereka dari Karbala menuju Kufah, dan dari kufah menuju Damaskus atau Syam, adalah untuk menunjukkan kekuatan dan melemahkan jiwa Ahlulbait dan para pendukung mereka serta mencegah kebangkitan dan pergerakan anti-pemerintahan Bani Umayyah yang mungkin timbul, disebabkan propaganda Imam Sajjad dan Zainab,
konspirasi mereka gagal dan bahkan ditawannya Ahlulbait malah balik menguntungkan Ahlulbait itu sendiri.


Imam Zainal Abidin di Madinah
Imam Zainal Abidin beserta sisa Ahlulbait dan keluarga syuhada kembali ke Madinah dan menangani langsung secara resmi urusan-urusan yang berkaitan dengan imamah. Imam mengambil amanah imamah dari Ummu Salamah dan memulai program-programnya.

Programnya yang pertama adalah menjaga, memelihara, serta mengayomi sisa Ahlulbait dan keluarga syuhada yang terlantar.

Program yang kedua adalah melanjutkan pengungkapan dan penyebaran propaganda serta berita mengenai peristiwa menyedihkan Asyura dan tertawannya Ahlulbait kepada penduduk Madinah dan tetap menghidupkan peristiwa tragis itu agar tidak dilupakan. Dituliskan tentang keadaan Imam bahwa dia senantiasa menangis dalam setiap acara dan peringantan bagi syuhada, khsusnya ayahnya, Imam Husain, dan menceritakan kepedihan Asyura kepada masyarakat.

Imam Shadiq berkata, "Ali bin Husain menangis selama dua puluh tahun," dan di riwayat yang lain empat puluh tahun. Setiap kali makanan dibawa ke sisinya, ia menangis. Pada suatu hari, pembantu Imam berkata, "Jiwaku kukorbakan bagimu, wahai putra Rasulullah! Aku takut engkau membahayakan nyawamu lantaran terlalu banyak menangis."

Dalam jawabannya, Imam berkata, "Aku memasrahkan kesedihan dan kepedihanku kepada Allah. Apa yang kuketahui tidaklah engkau ketahui. Setiap saat aku mengingat syahidnya salah seorang dari anak-anak Fatimah. Maka, tidak terasa air mataku meleleh."

Ketika ingin minum, Imam menangis sehingga air matanya meleleh di tempat air. Imam ditanya mengapa selalu demikian. Imam berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak menangis sementara ayahku dibunuh dalam kedaan dahaga dan air yang diperbolehkan untuk binatang di gurun pun terlarang bagi ayahku."

Tangisan dan kepedihan Imam Sajjad bukan hanya sebagai pertanda kesedihan dan duka, melainkan juga sejenis propaganda dan ungkapan atas kezaliman dan kekejaman Bani Umayyah.

Tanggung jawab ketiga Imam Sajjad adalah mendirikan pemerintah Islam dan mengelola masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Mendirikan pemerintahan dan mengelola mayarakat merupakan salah satu kewajiban terbesar seorang imam. Imam memiliki kesiapan untuk menunaikannya tetapi karena makar-makar jahat para perampas pemerintahan, kaum Muslimin tidak dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan secukupnya dari Imam.

Dari satu sisi, dengan propaganda yang luas, mereka menyerang Ali bin Abi Thalib dengan tuduhan-tuduhan bohong dan mencacinya. Mereka juga memburuk-burukkan nama Ahlulbait di depan masyarakat. Dari sisi yang lain, mereka begitu sensitif terhadap para Syiah dan pengikut Ahlulbait sehingga mengawasi semua perilaku dan ucapan mereka. Jangan sampai para Syiah dapat keluar dan masuk ke rumah Ahlulbait atau mendengar hadis dan menukilkannya kepada orang lain atau memberikan pujian terhadap Ahlulbait.

Apabila ada yang melanggar, mereka akan dihadapkan kepada berbagai sanksi dan hukuman. Dalam kondisi yang menyeramkan dan terkungkung seperti ini, maka siapakah yang akan berani merujuk kepada Imam Sajjad untuk memperoleh ilmu darinya? Bagaimana mungkin pula, Imam mampu menyebarkan ilmunya kepada masyarakat dalam batasan yang dikehendakinya? Namun dengan semua keterbatasan itu, Imam tetap memanfaatkan peluang dan dengan kapasitas yang memungkinkan, Imam menyirami para pecintanya dengan ilmu.

Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis di berbagai bidang masih tersisa dari Imam dan tercatat dalam kitab hadis. Yang terpenting, di antaranya, adalah risalah huquq. Imam Sajjad, dalam makalah yang pendek dan penuh kandungan itu, menghitung semua yang berhak dan mengisyaratkan tiap-tiap hak. Dalam kaitan ini, Imam tidak hanya menyinggung hak manusia, bahkan anggota tubuh manusia seperti mata, telinga, lidah, tangan, perut, dan perbuatan manusia seperti shalat, puasa, sedekah, dan ihsan disebutnya sebagai yang berhak dan semua hak mereka disebutkan satu persatu. Risalah atau makalah ini merupakan sebuah risalah yang kaya dan penuh kandungan sehingga langka dan sangat bernilai bagi siapa saja yang berminat untuk mengamalkannya.


Dunia dan Munajat
Untuk mengetahui lebih baik pribadi Imam Sajjad, perlulah dipelajari dan diteliti doa-doa dari beliau. Doa tidak boleh dipandang sebagai perkara sederhana dan hanya sebatas keinginan-keinginan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebagaimana disimpulkan dari hadis dan riwayat, bahwa doa merupakan sejenis ibadah.

Doa juga merupakan ibadah yang terbaik dan menyebabkan kesempurnaan jiwa serta taqarrub kepada Allah. Ruh manusia ketika berdoa terbang dari alam materi dan menjalin hubungan dengan Allah swt. Pendoa mengakui kelemahan dan kemiskinannya sehingga harus berlindung kepada Yang Mahakaya dan Mahamutlak serta meminta pertolongan dari-Nya dan ibadah tidak memiliki makna lain kecuali ini. Oleh karena itulah, hadis dan kitab sejarah juga mendukung makna tersebut. Rasulullah saw dan para imam suci adalah ahli doa dan munajat serta banyak berdoa. Dalam semua keadaan, mereka berkonsentrasi kepada Allah dan senantiasa meminta bantuan dari-Nya. Dalam hal ini, Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib, dan Ali bin Husain terkenal sebagai yang paling banyak berdoa.

Kitab-kitab hadis dan doa dipenuhi oleh doa tiga manusia suci ini. Doa-doa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw telah dikumpulkan dalam satu jilid buku besar dan dicetak dengan nama Shahifah an-Nabawiah. Doa-doa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib tercatat dan tersebar luas dengan nama Shahifah al-Alaiyah. Doa-doa Ali bin Husain juga populer dengan sebutan Shahifah as-Sajjadiyah. Shahifah ini begitu bernilai sehingga dinamakan Zabur keluarga Muhammad.

Dengan mempelajari secara teliti doa-doa tersebut, maka kita dapat mempelajari tauhid dan mengenal Allah, berikut sifat-sifat tsubutiyah dan salbiyah-Nya, ma'ad dan alam akhirat, cara ibadah dan menyembah Allah, cara berdoa dan bermunajat, serta merintih kepada Allah dengan cara sair, suluk dan taqarrub kepada Allah. Makarim akhlak dan sifat-sifat rendah, kebutuhan-kebutuhan manusia yang sejati, baik di dunia maupun akhirat, hubungan manusia yang benar dan pergaulan yang baik, serta hak dan kewajiban manusia terhadap sesama, merupakan pelajaran yang terbaik.

Doa-doa Imam sangatlah kaya dan menakjubkan. Seorang manusia biasa sama sekali tidak akan bisa mengarang doa seperti itu, yang begitu tinggi dan indah bermunajat kepada Tuhan semesta alam.

Dengan doa-doa Imam tersebut, diharapkan Muslimin, khususnya Syiah Ahlulbait dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin.

20