Diterbitkan oleh Penerbit Al-Huda PO.BOX 7335 JKSPM 12073
1
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
DAFTAR ISI BUKU " Sekapur Sirih
" Bagian Pertama
" Bagian Kedua
" Bagian Tiga
" IMAM KETIGA: IMAM HASAN MUJTABA AS
" IMAM KETIGA: IMAM HUSAIN AS
" IMAM KEEMPAT: IMAM ALI ZAINAL ABIDIN AS
" IMAM KELIMA: IMAM MUHAMMAD BAQIR AS
" IMAM KEENAM: IMAM JA'FAR SHADIQ AS
" IMAM KETUJUH: IMAM MUSA AL-KAZHIM AS
" IMAM KEDELAPAN: IMAM RIDHA AS
" IMAM KESEPULUH: IMAM HADI AS
" IMAM KESEBELAS: IMAM HASAN ASKARI AS
" IMAM KEDUABELAS: IMAM MAHDI AS
2
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
SEKAPUR SIRIH "Kematian orang yang tidak mengenal imamnya adalah kematian jahiliah."
(HR. Ahmad)
Melihat hadis di atas dan puluhan hadis lainnya, mayoritas ulama bersepakat tentang posisi fundamental imamah. Namun, bagi sebagian orang, membicarakan imamah berarti memasuki "area terlarang" karena berkaitan dengan kemelut kepemimpinan pasca-Rasulullah saw dan mengarah kepada kasus-kasus sejarah yang telah "dipetieskan" dan tokoh-tokoh yang "tak tersentuh". Tak aneh jika kemudian muncul apologi dan justifikasi bahwa memikirkan "persatuan" umat Islam lebih urgen daripada membuka "luka lama".
Asumsi di atas boleh jadi "benar" jika kita menempatkan imamah sebagai suatu persoalan politik semata. Akan tetapi, sebagaimana yang ditegaskan hadis-hadis Rasulullah saw, imamah jelas merupakan persoalan akidah yang pengingkaran terhadapnya dikenai konsekuensi akidah pula (mati dalam keadaan jahiliah). Alhasil, pembahasan mengenai imamah adalah sama pentingnya dengan membahas masalah tauhid, misalnya.
Karena merupakan permasalahan akidah, imamah bukanlah soal "kalah" dan "menang" seperti lazim ditemui dalam demokrasi atau "benar dapat dua" dan "salah dapat satu" seperti tertera -konon- dalam doktrin ijtihad. Jika demikian, maka imamah mutlak menjadi domain pembuat syariat, yakni Allah Swt dan Rasul-Nya saw. Satu lagi, kalau memang berkaitan dengan akidah, imamah pastilah persoalan "super penting" yang menjadi inti dan fondasi bagi persoalan-persoalan umat lainnya. Artinya, segala macam krisis yang mendera umat saat ini pasti salah satunya diakibatkan keengganan (baca: ketabuan) kita untuk mulai membahas persoalan imamah secara objektif dan mendalam.
Untuk itulah, Ayatullah Ibrahim Amini sangat menekankan pembahasan masalah imamah ini. Baginya, imam merupakan poros kehidupan beragama dan bermasyarakat. Melalui imamiah, segala kepentingan umat terpenuhi. Tanpa imam, agama tidak akan terorganisasi sehingga menjadi hina. Bukankah kehinaan agama adalah tujuan para penindas dan orang-orang zalim.
Dalam buku yang berjudul asli Ulghuhoye Fadhilat ini, Ayatullah Amini -yang juga menulis buku Imam Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi (Al-Huda, 2002), menjelaskan keniscayaan eksistensi seorang imam pada setiap zaman. Tidak seperti ulama lain yang hanya bersandarkan kepada dalil-dalil naqliyah (al-Quran dan sunnah), Ayatullah Amini, dengan bahasa yang sederhana, memaparkan pembahasan yang cukup pelik ini melalui argumentasi-argumentasi aqliyah 'rasional'. Hal ini dapat dipahami karena bagi Ayatullah Amini, sebagaimana juga dianut teologi Syiah, akidah (yang di dalamnya terdapat imamah) adalah sesuatu yang harus diyakini secara rasional.
Selain itu, dalam buku ini, Ayatullah Amini menjelaskan karakteristik-karakteristik imam yang secara esensial berbeda dengan manusia biasa. Hal ini perlu ditegaskan karena pertama, tidak setiap orang layak dan patut menjadi imam dan kedua, tugas yang diemban seorang imam bukanlah tugas yang bisa dilakukan manusia zonder karakteristik-karakteristik tersebut. Untuk tema bahasan ini, sekali lagi, Ayatullah Amini menggunakan pendekatan rasional meskipun tanpa mengabaikan al-Quran dan sunnah.
Tak cukup hanya memasuki tataran wacana, Ayatullah Amini dalam buku ini juga menuliskan kisah setiap imam dari sejak kelahiran, pengangkatan (sebagai imam) hingga kematian. Dari sini, kita dapat menyaksikan betapa tabah dan cerdasnya setiap imam menghadapi dan mengatasi segala ujian yang tentu saja berbeda dari zaman ke zaman. Kisah-kisah tersebut juga, secara tidak langsung, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita mengenai beberapa persoalan yang masih menjadi kontroversi seputar imamah ini. Meskipun tidak terperinci, kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang dikutipkan di sini dapat menjadi teladan sekaligus bukti tersendiri bagi imamah setiap Imam.
Alhasil, inilah karya mengenai suatu persoalan akidah yang cukup kontroversial dengan bahasa yang mudah dan uraian yang sistematis sekaligus logis. Paparan filosofis tidak membuat bahasan menjadi kering karena masih satu tarikan napas bersama ayat-ayat suci al-Quran dan hadis-hadis para manusia suci. Riwayat-riwayat para imam yang ditampilkan dalam buku ini juga mampu membawa pembaca kepada nuansa keteladanan yang tidak pernah akan dijumpai dalam kisahkisah teladan orang-orang besar manapun.
Pendek kata, buku ini sangat layak untuk dibaca setiap Muslim yang peduli terhadap nestapa umat Islam yang hingga kini -sejak wafatnya Rasulullah saw- belum pernah menikmati dan memanfaatkan seoptimal mungkin kasih sayang Allah berupa kehadiran seorang pembimbing, pemimpin, penegak kebenaran dan keadilan, serta penolong, yaitu imam.
Selamat membaca!
3
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Bagian Pertama
Pengenalan Imam
Imamah dalam Bahasa Imamah dari segi arti bahasa adalah kepemimpinan dan imam dinisbatkan kepada seseorang yang ucapan dan perilakunya diteladani banyak manusia. Raghib Al-Ishfahani dalam bukunya al-Mufradat menegaskan, "Imam juga dinisbatkan kepada kitab yang diikuti masyarakat."[1]
Ada imam haq yaitu imam yang menyeru manusia kepada kemaslahatan dan kebaikan. Imam juga dapat diartikan pemimpin kebatilan yang mengajak para pengikutnya kepada kerusakan. Dalam al-Qur'an, imamah digunakan bagi kedua makna tadi.
Allah swt berfirman: Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. [2]
Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. [3]
Pemimpin shalat jamaah disebut imam sebab para makmum yang shalat di belakangnya mengikuti semua gerakan dan ucapan zikirnya.
Ada berbagai jenis imam, misalnya imam masjid, imam kota atau Imam sebuah negara dan imam umat. Disamping itu, ada imam spiritual dan akhlak atau sair dan suluk batiniah. Terdapat juga imam politik dan sosial. Untuk dapat dikatakan sebagai imam, diperlukan kepemimpinan atau keteladanan praktis.
Seorang manusia akan dikatakan sebagai imam jika hatinya meyakini apa yang dikatakan lisannya dan mengajak manusia kepada apa yang diyakininya itu dengan ucapan dan perbuatannya.
Definisi Imamah Mazhab Imamiyah mendefinisikan imamah sebagai berikut.
1. Imamah adalah kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah saw. 2. Imamah adalah khalifah Rasulullah saw yang memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat dan yang wajib dipatuhi serta diikuti.[4] 3. Syaikh Thabarsi mendefinisikan imamah seperti berikut ini. "Dari kata imam, dapat dipetik dua kesimpulan. Yang pertama, ucapan dan perbuatan seorang imam adalah contoh dan panutan masyarakat. Yang kedua, imam melaksanakan kebijakan-kebijakan terhadap urusan masyarakat. Para imam menjalankan apa yang dibutuhkan untuk mengatur masyarakat, seperti menghukum orang-orang yang bertindak kriminal, memilih para pejabat negara, menyosialisasikan hudud (hukum), dan mengorganisasi perang melawan musuh. Tidak ada perbedaan antara mazhab Imamiyah dan Ahlus- sunnah dalam mendefiniskan imamah."[5]
Khilafah Adakalanya imam juga disebut khalifah. Khalifah menurut arti bahasanya adalah pengganti dan orang yang menggantikan pekerjaan orang lain saat orang yang digantikan berhalangan atau meninggal dunia. Setelah Rasulullah saw wafat, orang yang bertugas mengatur kebijakan bagi urusan-urusan Muslimin dipanggil khalifah Rasul saw, seperti Khalifah Abu bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib.
Kata imam atau khalifah dapat didapati dalam peristiwa Tsaqifah dan di zaman khalifah yang empat. Hanya saja khalifah sebelum Imam Ali umumnya menyebut dirinya dengan khalifah Rasul saw dan mereka jarang menggunakan kata imam. Lain dengan Imam Ali bin abi Thalib, beliau dan juga para pengikutnya lebih sering menyebut dirinya dengan imam.
Perbedaan ini mungkin lantaran kata imam mengandungi makna sakral yang tidak terkandung dalam kata khalifah sebab arti imam adalah suri teladan dan pemimpin. Sikap seorang imam harus demikian mulia sehingga dia menjadi panutan para pengikutnya. Sebelum Ali bin abi Thalib menduduki kursi khilafah, manusia agung itu sudah banyak diteladani orang, baik dari segi kezuhudan, ibadah, keikhlasan, pengorbanan maupun berbagai kesempurnaan ruhaninya.
Shahibul Amr Shahibul amr adalah di antara kata yang dinisbatkan bagi imam. Muhammad ibn Isthaq menukilkan bahwa umumnya kaum Muhajirin dan Anshar tidak ragu bahwa sepeninggal Rasulullah saw, Ali adalah shahibul amr.[6] Kata amr banyak sekali didapati pada persoalan yang terkait dengan imamah. Amr bermakna 'pemerintahan'. Imam dan penguasa juga disebut dengan shahibul amr dan ulul amr, yakni seorang yang memiliki wewenang untuk berkuasa, memerintah dan melarang.
Dalam al-Qur'an, ulul amr diartikan dengan makna tadi dan kitab samawi ini menegaskan bahwa mematuhi ulul amr adalah suatu kewajiban bagi setiap Muslim.
Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulul-amr di antara kalian. [7]
Kata ulul amr dan wali amr banyak dijumpai dalam buku sejarah dan hadis. Para khalifah dan penguasa setelah Rasulullah saw menyebut diri mereka dengan sebutan wali amr. Namun, mereka lebih sering menggunakan kata khalifah.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan:
"Wahai orang-orang Muhajirin! Sesungguhnya kami lebih berhak terhadap khilafah daripada kalian." [8]
Kata imarah dan amr juga berasal dari sumber yang sama. Khulafa juga disebut dengan amirul mukminin, yakni pemimpin orang-orang mukmin, dan imarah, yakni komandan dan amirul mukminin, yakni komandan orang-orang mukmin.
Namun, perlu dicatat di sini bahwa meskipun kata khalifah, shahibul amr dan amirul mukminin juga dinisbatkan kepada imam, semua itu adalah dari aspek kekuasaannya. Alhasil, kata imam mengandung kesakralan dan lebih luas cakupannya sebab, selain bermakna kekuasaan duniawi, juga mencakup aspek kepemimpinan ruhani.
Imamah dalam Perspektif Imamiyah Masyarakat Syiah meyakini imamah bukan hanya kekuasaan duniawi, yakni kepemimpinan, melainkan sebuah kedudukan tinggi batiniah dan ilahiah. Menurut Syiah, imam adalah seorang manusia yang memiliki semua kesempurnaan insani serta suci dari semua aib dan akhlak yang tercela. Berdasarkan keyakinan Syiah, imam adalah manusia yang paling berakhlak mulia. Pengenalan dan keimanan para imam kepada Allah dan Nubuwwah (kenabian) sangat tinggi.
Mengapa demikian? Semua itu karena mereka telah mencapai derajat keyakinan dan syuhud batiniah (penyaksian batin). Ruhani mereka telah menyaksikan semua hakikat agama, bahkan kepatuhan mereka terhadap agama adalah contoh bagi semua orang. Selain itu, perkataan dan perbuatan mereka senantiasa menjadi tolok ukur bagi umat.
Ada dua karakteristik yang membuat para imam begitu menonjol dibanding manusia biasa. Yang pertama adalah sifat ishmah (terpelihara dari dosa) dan kedua adalah ilmu.
Imam terpelihara dari kesalahan, kekhilafan, dan dosa. Mereka tidak pernah melanggar perintah Allah. Imam menyimpan dan mengetahui semua ilmu yang dimiliki Nabi Muhammad. Nabi Muhammad telah mewariskan semua pengetahuan dan hukum agama kepada para imam secara sempurna, yang kemudian dihafal dan dijaga oleh mereka dengan baik.
Allah swt telah memilih manusia-manusia suci tersebut sebagai imam. Mereka diberi amanah untuk mengatur berbagai urusan agama dan menyosialisasikan hukum dan peraturan sosial serta mengorganisasi masyarakat Muslim. Manusia seperti ini adalah khalifah sejati Rasulullah saw. Muslim bukan hanya diharuskan menaati mereka melainkan juga diharuskan mempersiapkan landasan bagi pemerintahan para imam suci agar mereka dibimbing ke jalan agama yang lurus dan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.
Meskipun Muslim tidak mengakui para imam suci itu sebagai khalifah Rasulullah saw, di mata Allah, para imam suci tetap sebagai imam. Apabila Muslim memilih orang yang tidak suci sebagai khalifah Rasulullah saw, khalifah pilihan umat itu bukan berarti imam dan khalifah Rasulullah saw yang sejati.
Keharusan Adanya Imam Berdasarkan keyakinan Syiah Imamiyah, keberadaan Imam merupakan suatu keharusan bagi umat Islam dan terdapat sejumlah ayat dan hadit yang mendukung teori keharusan keberadaan imam itu. Namun, dalil yang paling penting adalah burhan aqliyah 'bukti rasional', yang penjelasannya didapati dalam kitab-kitab kalam. Mereka berpendapat bahwa dalil yang menunjukkan bahwa manusia memerlukan nabi juga dipakai untuk membuktikan kebutuhan manusia kepada imam. Sebagaimana manusia memerlukan nabi, maka di zaman ketiadaan nabi, manusia juga memerlukan imam.
Masalah nubuwwah dan imamah merupakan dua tema kalam yang penting dan kitab kalam telah mengkajinya dari berbagai dimensi dengan sangat terperinci.
Dalam makalah pendek ini, kami tidak akan memasuki pembahasan secara terperinci. Akan tetapi, untuk membuktikan keharusan wujud imam, sebagai pendahuluan, kami akan membahas keharusan wujud nabi secara ringkas.
Untuk membuktikan kenabian secara umum (nubuwwah ammah), terdapat berbagai burhan yang salah satunya adalah dalil yang populer disebut dengan burhan luthuf.
Dalil tersebut telah dijelaskan dalam berbagai bentuk dalam kitab kalam. Di sini, dengan memanfaatkan pembahasan itu, kami akan menjelaskan persoalan yang sama dengan metode yang lain. Pertama, sebagai pendahuluan, kami akan menyinggung beberapa persoalan penting, yang pada tempatnya sendiri, telah terbuktikan kebenarannya dan setelah itu, kami akan menarik kesimpulan.
1. Penciptaan manusia dan alam adalah jauh dari sia-sia. Manusia tidak dilahirkan ke dunia untuk beberapa hari merasakan kesenangan dan kesusahan atau makan dan minum, menikmati kesenangan, berkembang biak, dan lantas mati serta binasa. Kehidupan dunia diciptakan dengan tujuan dan perhitungan.
Kematian merupakan perpindahan dari alam dunia yang fana ke alam akhirat yang kekal dan dunia adalah ladang bagi akhirat. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan baik dan buruknya selama hidup di dunia. Tujuan dari penciptaan manusia adalah penyempurnaan dan pengembangan jiwa agar manusia memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat. Setelah mati, manusia akan berpindah ke alam akhirat dan kehidupannya menjadi abadi. Apabila melakukan perbuatan-perbuatan yang baik di dunia, manusia akan menerima balasan yang baik. Sebaliknya, bila melakukan perbuatan buruk, ia akan dikenai hukuman.
2. Filsafat telah membuktikan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani material dan ruh 'mujarrad malakuti'. Dengan ungkapan lain yang lebih tepat, manusia memiliki dua tingkatan wujud. Pada tingkatan wujud yang lebih rendah, manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat fisikal sedangkan pada tingkatan wujud yang lebih mulia, yaitu tingkatan mujarradah, manusia melakukan perbuatan-perbuatan mujarradah. Namun demikian, manusia tidak lebih dari satu hakikat dan dua tingkatan wujud itu adalah satu.
Karena tidak seutuhnya mujarrad dan masih berkaitan dengan materi, ruh manusia berpotensi untuk berubah dan menjadi sempurna. Manusia memperbaiki diri dan melakukan persiapan bagi kehidupan akhirat melalui akidah dan akhlak serta perbuatannya.
3. Berhubung manusia terdiri dari badan jasmani dan ruh mujarrad, maka wajar jika manusia memiliki dua warna kehidupan, yakni kehidupan duniawi, yang berkaitan dengan tubuhnya, dan kehidupan ruhani atau batin, yang terkait dengan jiwanya. Sebagai konsekuensinya, akan ada kebahagiaan dan kesengsaraan bagi dua bentuk kehidupan tersebut. Batin atau ruh manusia tidak keluar dari dua kemungkinan: pertama, bergerak menuju kesempurnaan dan kebahagiaan atau menuju kesengsaraan dan kemunduran. Dua jenis gerakan ini adalah akibat dari dua jenis akidah, yakni haq dan batil, akhlak yang baik dan sesat, serta perbuatan baik dan keji, yang dilakukan oleh manusia semasa hidupnya.
4. Sebagaimana terdapat hubungan yang sangat erat antara tubuh dan ruhani manusia, begitu pula berlangsung keterkaitan yang sangat erat antara kehidupan duniawi manusia dan kehidupan batinnya. Kehidupan nafs (batin) bermuara dari berbagai perbuatannya di dunia. Akidah yang sesat, akhlak yang buruk, dan amalan-amalan yang tidak patut akan menggelapkan jiwa. Oleh karena itulah, manusia yang mencari kesempurnaan dan kebahagiaan jiwa tidak seharusnya mengabaikan bentuk perbuatan dan tindakannya di dunia.
5. Filsafat telah membuktikan bahwa kepribadian dan nilai manusia bergantung kepada ruhnya. Dengan alasan inilah, manusia diciptakan untuk meraih kesempurnaan ruhnya dan kehidupan batinnya. Allah swt yang menciptakan manusia dan melengkapinya dengan berbagai potensi, yang membawanya kepada kesempurnaan, tidak mungkin mengabaikan kehidupan batin manusia dan tidak mengajarkan bagaimana menuju kesempurnaan dan mencapai tujuan.
6. Berhubung manusia adalah maujud sosial, hidup bermasyarakat, dan sering terjadi perbedaan kepentingan serta perampasan hak orang lain, maka masyarakat memerlukan undang-undang dan pemerintahan yang bertugas membela hak semua individu masyarakat, khususnya kaum lemah, mencegah pelanggaran-pelanggaran dan berbagai bentuk sikap diskriminatif, serta mewujudkan keamanan dan kedamaian di tengah masyarakat.
Penarikan Kesimpulan Dari pembahasan yang telah lalu, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kehidupan sosial dan bahkan kehidupan individual, manusia sangat memerlukan undang-undang sebab, tanpa undang-undang, manusia tidak akan dapat merasakan kebahagiaan. Kini, muncul sebuah pertanyaan, apakah semua undang-undang pasti dapat menjamin kesejahteraan duniawi dan ruhani manusia ataukah untuk itu, undang-undang tersebut harus memiliki keistimewaan tertentu?
Dengan memperhatikan pembahasan yang lalu, undang-undang jelas dapat menjamin kebahagiaan manusia bila memiliki kriteria seperti berikut ini.
1. Undang-undang tersebut harus ditetapkan dan disusun berdasarkan kemaslahatan sejati manusia, bukan hanya mempertimbangkan kemaslahatan dan kecenderungan hewani manusia.
2. Undang-undang itu harus dibuat dengan mempertimbangkan maslahat manusia secara umum, mempedulikan semua kelas sosial, menghindari segala bentuk perbuatan diskriminatif serta fanatisme kelompok, dan membela hak kaum lemah. Bahkan, dalam programnya, undang-undang itu lebih memprioritaskan hak kaum yang tertindas dan miskin.
3. Undang-undang itu dibuat sedemikian rupa sehingga tidak merugikan kehidupan batin atau ruhani manusia, bahkan, berdasarkan undang-undang itu, kehidupan duniawi manusia tidak lebih dari pendahuluan bagi kehidupan ruhani dan akhirat manusia yang abadi. Lebih lanjut, undang-undang itu bertujuan membersihkan lingkungan sosial dari kerusakan moral dan mempersiapkan landasan bagi pembinaan jiwa yang berakhlak hasanah dan berorientasikan spiritual.
4. Kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan ruhani dan akhirat sebab tujuan penciptaan manusia dan kehidupan hakikinya tiada lain adalah kehidupan jiwa atau ruhani. Manusia diciptakan agar ruh mereka melakukan sair dan suluk di shiratul mustaqim kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah swt sehingga mencapai maqom yang lebih tinggi yang telah ditetapkan oleh Allah. Apa yang penting dan signifikan bagi manusia adalah bagaimana ia memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat kelak sebab kehidupan dunia bersifat sementara. Apa yang penting dan abadi adalah kehidupan ruhani dan kebahagiaan di akhirat. Dalam kehidupan di dunia, manusia juga sangat memerlukan program yang mendorong mereka kepada shiratul mustaqim kemanusiaan serta qurbah kepada Allah dan menyelamatkan mereka dari penyimpangan atau kejatuhan ke lembah kebinatangan yang mengerikan.
Kita dapat menarik kesimpulan dari semua pembahasan tersebut, bahwa manusia memerlukan program bagi kehidupan dunia dan akhiratnya. Masalahnya, manusia tidak mampu membuat atau menyusun program sempurna dan lengkap yang mampu menjamin kebahagiaan kehidupan mereka, baik di dunia maupun akhirat, sebab, kendati manusia mampu membuat atau menyusun undang-undang berdasarkan akal dan pengalamannya untuk mengatur masyarakat, undang-undang buatan manusia itu masih tidak luput dari kecacatan dan kekurangan.
Pertama, tidak ada jaminan bahwa manusia yang membuat undang-undang bebas dari kepentingan kelompoknya dan mengabaikan kepentingan kelompok lainnya.
Kedua, para pembuat undang-undang itu tidak mengetahui hubungan yang mendalam antara kehidupan duniawi manusia dan kehidupan batinnya serta betapa mungkinnya undang-undang buatan manusia itu berbenturan dengan kehidupan batin manusia sebab, pada umumnya, para pembuat undang-undang tidak begitu peduli terhadap kehidupan nafsani manusia. Kesimpulannya adalah bahwa hanya Tuhan, pencipta manusia, yang dapat membuat program sempurna dan selaras bagi manusia. Hanya Dialah yang mengetahui struktur wujud manusia dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam jiwa dan jasmani manusia.
Di sinilah, kasih sayang dan karunia Tuhan mengharuskan manusia yang kebingungan ini diberi petunjuk. Allah swt mengutus manusia-manusia pilihan, menurunkan wahyu kepada para utusan-Nya, dan menyampaikan undang-undang yang sesuai bagi manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk mengajarkan dan membimbing manusia supaya dapat menemukan jalan menuju wushul kepada tujuan yang asli atau yang biasa disebut dengan sair dan suluk ilahi. Hanya saja tujuan ilahi ini akan terwujud dan hujjah-Nya akan sempurna apabila para nabi dan rasul itu terpelihara dari dosa, sebagaimana yang nanti akan kami bahas.
Penjelasan Argumen Keharusan Wujud Imam Dari semua pembahasan tadi, kita menarik satu kesimpulan bahwa manusia memerlukan nabi dan petunjuk-petunjuk ilahi untuk mengatur kehidupan duniawinya. Saat ketiadaan nabi, manusia memerlukan imam yang dapat menjelaskan program-program kehidupannya. Untuk memperjelas masalah ini, kita mengikuti beberapa keterangan berikut ini.
Pertama, Rasulullah saw adalah Nabi akhir zaman dan Islam adalah agama yang abadi. Hukum dan peraturan Islam tidak hanya berlaku bagi masa kerasulan yang relatif sangat pendek, yaitu 23 tahun, melainkan berlaku hingga hari kiamat dan sebagai petunjuk bagi manusia sekalian alam. Keberadaan imam merupakan suatu keharusan dalam agama Islam. Kebenarannya didukung oleh argumen yang jelas dalam kitab kalam dan akidah.
Allah swt berfirman:
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. [9]
Allah swt berfirman:
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. [10]
Dalam firman-Nya, Allah menegaskan:
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.[11]
Imam Ja'far as-Shadiq dalam hadisnya menjelaskan:
"Sehingga datanglah Muhammad yang membawa al-Qur'an dan syariat serta jalan ketakwaaan. Maka halalnya Muhammad adalah berlaku hingga hari kiamat dan haramnya berlaku hingga hari kiamat." 3
Kedua, agama Islam dapat bertahan dan aktif di sepanjang sejarah apabila, setelah nabi, terdapat orang-orang yang dapat dipercaya dan menerima tanggung jawab untuk memelihara Islam dengan sungguh-sungguh.
Tugas-tugas Rasulullah saw dapat disimpukan sebagai berikut ini.
1. Rasul bertugas menerima dan sekaligus menyampaikan wahyu yang berisikan ilmu atau hukum yang diperlukan kepada masyarakat. Allah swt berfirman: Dan aku memilihmu, Muhammad, maka dengarkanlah apa yang diwahyukan kepadamu.[12]
2. Nabi saw juga berkewajiban memelihara hukum dan peraturan Islam dengan suci hingga sampai ke tangan manusia sehingga ketika manusia memerlukan, mereka dapat merujuknya. Allah berfirman: Maka berpegangteguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu, sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.[13]
3. Para nabi menyampaikan hukum dan undang-undang ilahi kepada manusia dan memperingatkan mereka terhadap siksaan ilahi. Dalam al-Qur'an, disebutkan: Dan diwahyukan al-Qur'an itu kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang al-Qur'an telah sampai kepadanya.[14] Di bagian lainnya, Allah berfirman:
Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya. [15]
4. Para nabi bertugas mengeluarkan manusia dari kegelapan kekufuran dan kesyirikan dan kesesatan serta mengarahkan mereka kepada cahaya iman dan tauhid. Allah berfirman:
Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha terpuji.[16]
5. Mengadili dan menjadi juri di tengah manusia. Allah swt berfirman, Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. [17]
6. Dalam menjalankan hukum-hukum agama bagi manusia, mereka merupakan teladan. Allah swt menjelaskan: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [18]
7. Para nabi bertugas menyebarluaskan agama dan memenangkannya di atas agama-agama lainnya. Allah swt berfirman: Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk al-Qur'an dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.[19]
8. Para nabi memiliki wilayah mutlak terhadap manusia dan lebih berhak untuk berkuasa terhadap manusia dibanding manusia itu sendiri terhadap dirinya.
Allah swt berfirman:
Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.[20] Rasulullah saw mengemban misi untuk melaksanakan hukum dan peraturan politik dan sosial Islam seperti jihad dan membela Islam. Lebih lanjut, dia bertugas untuk melaksanakan hudud dan diyah, memungut zakat dan membelanjakannya, serta membagi rampasan perang dan hukum-hukum lain yang berkaitan dengan pemerintahan.
Sebagai pengemban tugas-tugas berat tadi, Rasulullah saw dipelihara dan dijaga dari berbuat kesalahan dan dosa bahkan lupa.
Sepeninggal Rasulullah saw, meskipun wahyu telah putus, tugas-tugas lainnya jatuh ke pundak manusia suci yang dapat melaksanakan tugas dengan sempurna. Sekiranya tidak terdapat imam suci, maka Islam yang hakiki dan sejati tidak akan dapat bertahan hidup sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, keberadaan imam sangat diperlukan untuk mengekalkan Islam yang hakiki.
Keberadaan atau wujud imam tak ubahnya seperti keberadaan rasul yang merupakan karunia ilahi. Oleh sebab itulah, kesucian dan pemilihan imam suci merupakan karunia ilahi dan keberlanjutan lutfh atau karunia rububiyah.
Posisi Imamah dalam Islam Imamah memiliki posisi tertinggi setelah tiga prinsip: makrifatullah dan tauhid; ma'ad dan kehidupan setelah kematian; dan nubuwwah (kenabian) dan keharusan diutusnya rasul. Menurut keyakinan dasar Syiah, imamah tergolong sebagai salah satu tonggak agama. Imamah bukan hanya sebuah kedudukan duniawi dan tidak dapat diringkas dengan kepemimpinan dan kekuasaan. Imamah adalah kedudukan atau jabatan tinggi ilahi yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, melainkan manusia sempurna yang semua kesempurnaan insani teraktualisasikan dalam diri mereka dan tersucikan dari segala kekurangan. Mereka telah sampai ke peringkat syuhud (penyaksian) batin dan keyakinan. Manusia-manusia pilihan itu meyakini hakikat agama melalui penyaksian batin dan menerimanya dengan seluruh wujud serta hati mereka bergelimang dengan keimanan kepada Allah dan ma'ad serta kehidupan akhirat. Hakikat-hakikat agama telah termanifestasikan dalam diri mereka dan mereka merupakan teladan bagi orang-orang yang beragama, baik dari segi akhlak maupun ucapan serta perilaku.
Manusia istimewa seperti ini dapat menjadi khalifah Rasulullah saw yang sejati di masa ketiadaan rasul. Merekalah yang mengemban tugas rasul, yakni membela agama dan mengarahkan umat kepada shiratul mustaqim agama, sair dan suluk kepada Allah dan membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kepatuhan kepada seorang manusia istimewa seperti ini dapat disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulul amr di antara kalian.[21]
Maksud dari ulul amr yang harus ditaati adalah para imam suci, bukan setiap manusia yang tidak luput dari kesalahan. Manusia-manusia unggul dan super seperti ini dapat membela agama dan hakikat-hakikat agama serta melanjutkan misi suci Rasulullah saw dan mengabadikan risalah global dan abadi beliau.
Syarat-syarat dan Sifat Imam Sebelumnya telah kami katakan, bahwa imam bukanlah seorang manusia biasa, melainkan manusia yang memiliki kriteria dan sifat lazim yang sesuai dengan kadar tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka. Di antara kriteria tersebut adalah ishmah (keterpeliharaan dari dosa) dan mengetahui semua makrifah, ilmu pengetahuan, serta hukum agama. Mereka paling tinggi kesempurnaan insaninya. Di sini, secara ringkas kami akan menyinggung tiga keistimewaan tersebut.
Ishmah Ishmah dalam bahasa diartikan 'memelihara dan mencegah'. Seorang manusia akan dikatakan maksum apabila mereka terjaga dari melakukan dosa dan kesalahan berkat karunia khusus ilahi.
Di dalam kitab Majma'ul Bahrain, ditulis عصمه الله للعبد" " 'ishmah Allah untuk hamba-Nya', yaitu pencegahan Allah terhadap hamba itu dari melakukan dosa. Maksum adalah orang yang menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah.[22]
Sementara itu, Allamah Raghib Al-Ishfahani menulis, ishmah para nabi artinya ialah Allah swt memelihara para nabi melalui kekhususan yang diberikan kepada mereka. Yang pertama, hal itu diberikan karena ketulusan dan kebersihan jiwa, kedua, karena keutamaan jasmani dan ruhani, ketiga, karena Allah swt meneguhkan mereka, dan, keempat, karena Allah swt memberikan ketenteraman hati dan menjaga hati mereka serta memberikan taufik kepada manusia-manusia suci itu.[23]
Dalam hadis, ishmah juga dimaknai seperti tersebut.
Hisyam mengatakan:
"Aku bertanya kepada Abi Abdillah, apakah maksud dari ucapan Anda bahwa sesungguhnya Imam tidak akan ada kecuali ia maksum? Abi Abdillah mengatakan: al-maksum adalah orang yang dicegah oleh Allah dari melakukan semua yang diharamkan-Nya."[24]
Batasan Ishmah Manusia maksum (suci) terpelihara dari banyak sisi. Mereka terpelihara dari akidah yang batil sebab akidah yang batil tidak dapat menembus wujud mereka. Selain itu, mereka juga tidak pernah salah dalam menyampaikan dan menerima hakikat. Mereka tidak melakukan kesalahan atau kelupaan dalam mencatat dan menghafal ilmu serta hukum dan peraturan agama.
Mereka tidak pernah melakukan kesalahan dalam bertablig dan menyampaikan hukum serta undang-undang. Mereka melaksanakan kewajiban agama sepenuhnya, terpelihara dari perbuatan dosa, dan diselamatkan dari ketergelinciran, baik yang disengaja maupun tidak.
Rahasia Ishmah Ishmah para nabi dan imam suci bukan berarti mereka tidak memiliki potensi untuk melakukan maksiat atau Allah memaksa mereka untuk tidak berbuat dosa. Seperti manusia umumnya, mereka memiliki syahwat dan amarah. Akan tetapi, mereka tidak berbuat maksiat dengan dasar pengetahuan dan kehendak.
Rahasia ishmah tersebut terletak pada keimanan yang kukuh, keyakinan yang sempurna, dan penyaksian realitas serta hakikat alam gaib. Keimanan mereka kepada Allah dan ma'ad (hari akhir), surga dan neraka, telah sampai ke peringkat yakin. Mereka benar-benar menyaksikan buruknya dosa dan hukuman akhirat serta pengaruh perbuatan dosa di dunia dengan mata batin. Oleh sebab itulah, atas dasar kehendak, mereka menjauhi perbuatan dosa. Kekuatan batin itulah yang mencegah mereka dari melakukan dosa dan menjauhkan diri dari penyebab-penyebab dosa.
Sebagai penjelasan tentang rahasia ishmah para imam suci dari kesalahan dan kekhilafan, ketahuilah bahwa ilmu pengetahuan manusia pada umumnya adalah ilmu hushuli atau ilmu yang diperoleh melalui lima indera yang tidak luput dari kemungkinan salah.
Sebaliknya, ilmu dan pengetahuan para imam suci bersifat ilmu hudhuri dan syuhudi, atau yang diperoleh melalui bantuan gaib dan taufik ilahiah. Mereka menyaksikan dan meresapi ilmu agama dengan mata batin. Itulah yang menjaga mereka dari perbuatan dosa. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah manusia-manusia suci itu begitu sempurna dan senantiasa mendapatkan pertolongan ilahi. Allah swt menciptakan manusia-manusia istimewa yang tidak melakukan kesalahan sebab keberadaan manusia-manusia suci seperti ini memang sangat diperlukan untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi.
Dalil Aqli Ishmah Argumen wajibnya ishmah para nabi dapat diajukan sebagai dalil ishmah para imam. Dalil atau argumen yang paling penting mengenai keharusan wujud nabi adalah burhan luthuf (karunia) yang telah disinggung sebelumnya.
Dalam burhan ini, disebutkan bahwa karunia ilahi melazimkannya untuk memberikan arahan dan petunjuk kepada manusia-manusia yang memerlukan program dan undang-undang. Oleh sebab itu, Allah swt memilih para nabi dan mengajarkan program-program yang diperlukan kepada mereka untuk disampaikan kepada manusia dan membimbing mereka kepada shiratul mustaqim kemanusiaan dan sair serta suluk kepada Allah swt.
Tujuan Allah itu akan terlaksana apabila para nabi yang merupakan perantara faidz (anugerah) ilahi itu terpelihara dari dosa dan kesalahan sehingga mereka dapat menyampaikan hukum dan undang-undang serta program-program yang hakiki dengan utuh kepada manusia dan hujjah telah sampai kepada mereka dengan sempurna.
Argumen atau burhan yang serupa juga dibuat untuk membuktikan pentingnya keberadaan imam dan kemaksumannya sebab Rasulullah saw tidak hidup selamanya. Maka setelah beliau wafat, harus ada seorang imam yang membela hukum dan undang-undang Islam serta mengajarkannya kepada orang-orang yang taat beragama dan menjelaskan hal-hal musytabah dalam al-Quran dan sunnah. Keberadaan para imam diperlukan untuk melaksanakan hukum-hukum dan undang-undang serta program-program sosial dan administrasi Islam. Mereka harus berupaya untuk mendirikan pemerintahan yang adil atas dasar Islam atau setidaknya membuat landasan bagi perwujudannya.
Adalah sangat jelas kalau tujuan Allah swt ini akan terwujud jika imam terpelihara sepenuhnya dari dosa dan kesalahan serta dari melakukan pelanggaran terhadap peraturan ilahi. Karunia dan rahmat Allah melazimkan-Nya untuk memilih orang-orang istimewa dan berkelayakan seperti ini lalu menjadikannya sebagai nabi untuk dikenali oleh orang-orang yang beragama. Sepeninggal Rasulullah saw, merekalah yang menjadi sebab keberlanjutan jalan Rasulullah saw dan pelanjut tujuan-tujuan mulia beliau. Sekiranya tidak seperti itu, maka wujud Rasulullah saw akan sia-sia dan mandul sehingga manusia tidak akan sampai kepada tujuan-tujuan tingginya. Bukankah agama Islam diturunkan untuk mengungguli agama-agama lainnya?
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik benci. [25]
Rasulullah ٍsaw diperintahkan berperang melawan orang-orang kafir hingga tidak ada fitnah. Allah swt berfirman:
Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. [26]
Para rasul dan Nabi Muhammad saw telah diperintahkan Allah untuk menyebarluaskan keadilan di dunia dan menghidupkan semangat untuk menuntut keadilan di tengah manusia.
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan kami telah menurunkan bersama mereka al-kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan dan kami menciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.[27]
Kini mesti ditanya, apakah Rasulullah saw dalam masa 23 tahun risalahnya telah sampai kepada tujuan besar ini? Apakah dia tidak serius dalam menjelaskan tujuan-tujuan itu? Apakah Rasulullah berpaling untuk melanjutkannya? Apakah dapat dikatakan bahwa Rasulullah saw menyerahkan kelanjutan misinya kepada khalifah seperti Muawiyah, yang sepanjang sejarah melanjutkan dan membawanya ke dataran praktik?
Sudah barang tentu agama Islam di masa Rasulullah saw belum mendunia dan sudah pasti Rasulullah tidak menyerahkannya kepada orang-orang yang bersifat seperti Muawiyah untuk melanjutkan tujuan-tujuan dan misi-misi mulianya. Maka, hanya satu kemungkinan yang benar, dapat diterima, dan dapat menyenangkan Rasulullah saw, yaitu masalah kemaksuman para imam. Bahwa imamah diletakkan dalam posisi sebagai inti Islam dan bagian dari dasar atau tonggak agama serta penyempurna dan pelanjut nubuwwah, hal ini menggembirakan dan menaruh harapan di hati mulia beliau dan beliau tahu bahwa semua jerih payahnya tidak akan sia sia karena sepeninggalnya, tujuan-tujuan besar itu tidak akan dibiarkan tanpa ada yang bertanggung jawab untuk melanjutkanny. Sepanjang sejarah, para imam akan melanjutkan tujuan-tujuan suci dan cita-cita luhur beliau.
Apabila sepeninggal Rasulullah saw, masalah imamah berjalan di jalur yang benar dan diserahkan kepada ahlinya (pemiliknya), niscaya kondisi Muslim dan Islam tidak akan memprihatinkan seperti yang kita saksikan dewasa ini.
4
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Imamah dan Ishmah dalam al-Quran Kata imam telah banyak disebutkan dalam al-Qur'an, yang semuanya bermakna 'pemimpin'. Makna pemimpin di sini bisa berlaku, baik bagi pemimpin orang-orang yang saleh dan baik ataupun pimpinan orang-orang fasik dan keji.
Dalam al-Quran, disebutkan:
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah, mereka selalu menyembah. [28]
Begitu pula, Allah berfirman:
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami! Anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." [29]
Di dalam ayat berikut ini, disinggung soal para imam orang-orang yang keji dan bukan orang-orang yang saleh.
Dan kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. [30]
Di bagian lain, Allah berfirman:
Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya. Agar mereka berhenti. [31]
Dari al-Qur'an, dapat dimengerti bahwa setiap kelompok masyarakat, baik yang berada di atas kebenaran ataupun kebatilan, baik golongan bajik ataupun keji di dunia ini, memiliki imam dari jenisnya dan nanti pada hari kiamat, akan dibangkitkan bersamanya. Allah berfirman: Ingatlah suatu hari yang di hari itu, Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. Dan barangsiapa yang buta hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan yang benar. [32]
Rasulullah saw sepanjang sejarah adalah imam para shalihin sedangkan para pemuka kekafiran dan mustakbirin adalah para pemimpin orang-orang kafir dan mustakbir (orang-orang yang zalim atau tiran).
Dari al-Qur'an, disimpulkan bahwa imamah orang-orang saleh merupakan sebuah perjanjian ilahi dan tidak akan diperoleh orang-orang yang keji.
Dalam, al-Qur'an disebutkan:
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhan-Nya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya, Allah berfirman, "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata, "Dan saya mohon juga, dari keturunanku," Allah berfirman, "Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim.[33]
Tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhan-Nya dan Ibrahim lulus dengan angka tinggi, Allah berfirman kepadanya, "Kami naikkan kamu kepada maqom imam dan pemimpin." Ibrahim mengatakan, "Apakah dari keturunanku akan sampai juga ke maqom imam?" Allah berfirman, Janjiku (imamah) tidak akan meliputi orang-orang yang zalim."
Dari ayat ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Tidak semua orang memiliki keyalakan untuk menduduki maqom imam agama. Seorang imam harus memiliki potensi zatiah dan batin yang bercahaya dan keteguhan dalam ketaatan kepada Allah. Dari situlah, Nabi Ibrahim menyaksikan malakut langit dan bumi dengan mata batinnya dan beliau sampai kepada martabah yaqin.[34] Kemudian dengan keras, beliau memerangi penyembahan berhala sehingga dicampakkan ke dalam api oleh Namrud dan diuji oleh Allah agar menyembelih putranya, Ismail, serta berbagai jenis ujian lainnya. Ternyata beliau lulus dan membuktikan kelayakannya. Maka, datanglah wahyu dari Allah swt, bahwa derajat beliau ditingkatkan kepada derajat imam.
2. Dari ayat ini, disimpulkan bahwa imamah Nabi Ibrahim berbeda dari maqom nubuwwah beliau. Maqom imam itu lebih tinggi daripada maqom nubuwwah karena khitab ini dikeluarkan di masa lanjut dan akhir dari usia beliau padahal sebelumnya beliau sudah menjadi nabi dan lalu diuji. Ketika sukses menjalani tes kelayakan, beliau dinaikkan pangkatnya menjadi imam.
Perlu diingat bahwa dari ayat tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa imamah Nabi Ibrahim lebih tinggi daripada nubuwwah dan setiap imam adalah lebih mulia daripada setiap nubuwwah.
3. Ketiga, dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa imamah dapat digabungkan dengan nubuwwah. Seseorang dapat saja menjadi nabi, dengan menerima hakikat dari Allah melalui wahyu, dan di saat yang sama, ia mencapai maqom tinggi seorang imam.
4. Keempat, dari ayat tersebut, dapat dimengerti bahwa ishmah adalah di antara syarat penting bagi seorang imam. Selain yang maksum, tidak seorang pun layak menjadi imam dan pemimpin sebab imamah merupakan sebuah maqom ilahiah. Allah swt dalam jawabannya terhadap Nabi Ibrahim as yang bertanya, "Apakah anak-anakku, ada yang mencapai maqom imamah atau tidak," berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.[35]
Menurut ungkapan al-Qur'an, kezaliman dapat dibagi menjadi tiga:
Pertama, al-Qur'an menjelaskan:
Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.[36]
Di tempat lain, Allah berfirman:
Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim.[37]
Kedua, kezaliman manusia terhadap manusia lain, yang dijelaskan oleh al-Qur'an:
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak, mereka itu mendapat azab yang pedih.[38]
Ketiga, kezaliman manusia terhadap dirinya. Allah swt berfirman di dalam al-Qur'an: Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, kalau di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan, dengan izin Allah, Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. [39]
Tuhan menciptakan manusia untuk sampai kepada kebahagiaan dan taqarrub kepada-Nya. Allah swt juga telah menyediakan wasilah untuk wushul kepada-Nya.
Siapa pun yang menyeleweng dari shiratul mustaqim keagamaan dan melanggar hudud (batasan) ilahiah, sesungguhnya dia telah menganiaya dirinya sendiri dan dikategorikan sebagai orang yang zalim. Dalam al-Quran, disebutkan:
Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. [40]
Allah berfirman:
Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah adalah termasuk golongan zalim. [41]
Zulum (perbuatan zalim dalam al-Qur'an) telah dinyatakan dalam tiga kasus tersebut. Namun dengan sedikit perenungan dan ketelitian, dapatlah dikatakan bahwa kasus pertama dan kedua adalah benar-benar menzalimi atau menganiaya diri sendiri.
Manusia terbagi menjadi empat golongan:
1 Manusia yang sejak awal kehidupannya hingga akhir usianya adalah kafir atau munafik atau melakukan maksiat.
2 Mereka yang pada awal kehidupannnya melakukan dosa tetapi di akhir kehidupannya, tidak lagi berbuat dosa.
3 Manusia yang dari awal hidupnya tidak berbuat dosa tetapi di akhir kehidupannya, melakukan banyak maksiat.
4 Manusia yang dari awal hingga akhir hayatnya tidak melakukan dosa.
Kelompok pertama, kedua, dan ketiga menurut penjelasan al-Quran adalah para pezalim. Oleh karenanya, menurut keterangan al-Qur'an, mereka tidak akan mendapatkan maqom imam. Hanya kelompok keempatlah yang sama sekali tidak pernah melakukan dosa dan maksum (terpelihara dari dosa) sehingga memiliki kelayakan untuk menjadi imam.
Ishmah dalam Hadis Berkaitan dengan ishmah, dibawakan banyak hadis sebagai argumen. Hadis berikut ini adalah diantaranya.
Imam Ridha dalam sebuah hadis yang terperinci menjelaskan:
"Seorang Imam adalah suci dari dosa dan terjauh dari aib (nista), yang diberi kekhususan dengan ilmu dan diberi tanda dengan kesabaran. Mereka adalah nizom-nya agama dan kemuliaan Muslimin dan kebencian orang-orang munafik dan kebinasaan orang-orang kafir." [42]
Di tempat lain dari hadis ini, disebutkan:
"Sesungguhnya seorang hamba apabila dipilih Allah untuk urusan hamba-hamba-Nya, maka Allah melapangkan dadanya dan mengalirkan mata air hikmah di hatinya serta senantiasa mengilhaminya dengan ilmu sehingga setelah itu, ia selalu dapat menjawab setiap pertanyaan dan selalu mampu mengatakan yang benar. Maka, imam adalah maksum (terpelihara) dari dosa dan mendapatkan pertolongan ilahi dan diselamatkan dari ketergelinciran dan kesalahan. Allah swt memberikan kekhususan seperti ini kepadanya agar menjadi hujjah bagi hamba-hamba-Nya dan sebagai saksi terhadap makhluk-Nya. Inilah karunia ilahi yang diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Allah swt memiliki karunia yang agung." [43]
Imam Ja'far Shadiq dalam sebuah hadis yang panjang ketika menyifati imam menjelaskan:
"Imam adalah pilihan dari keluarga Muhammad yang senantiasa menjadi perhatian Allah dan mendapatkan inayah-Nya, yang Allah swt jaga dengan naungan-Nya serta mengusir umpan-umpan setan dan pasukan setan dari dirinya. Selain itu, Allah menjauhkan fitnah-fitnah yang buruk darinya. Ia suci dari kenistaan serta terpelihara dari semua ketergelinciran dan keburukan." [44]
Ilmu Imam Keistimewaan kedua dari imam adalah keluasan dan kelengkapan ilmu pengetahuannya. Imam mengetahui semua ilmu dan makrifah serta hukum dan undang-undang agama yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi saw bagi kebahagiaan dunia dan akhirat manusia.
Ilmu Imam dari Perspektif Akal Sebelumnya dalam filsafat mengenai pentingnya wujud imam, telah dijelaskan bahwa hukum dan undang-undang agama yang diturunkan ke Rasulullah saw tidaklah dikhususkan bagi era yang pendek dari risalah beliau, melainkan diturunkan untuk selamanya dan bagi segenap manusia sepanjang zaman. Oleh sebab itulah, di masa ketiadaan rasul, wujud imam suci diperlukan agar semua hukum dan undang-undang agama terpelihara serta mereka berupaya sungguh-sungguh untuk menyampaikannya serta mencegah penyelewengan dan bid'ah. Oleh karenanya, imam merupakan pemelihara pengetahuan dan hukum agama. Seperti ungkapan hadis, mereka adalah penyimpan ilmu kenabian dan kalau tidak seperti itu, agama tidak akan sempurna dan luthuf ilahi akan menjadi mandul.
Dari sisi lainnya, Rasulullah saw adalah pelaksana hukum dan undang-undang sosial Islam dan dengan jalan ini, beliau mengatur negara Islam dan menyelesaikan problema masyarakat. Sepeninggal Rasulullah, tanggung jawab besar ini jatuh ke pundak imam. Dengan demikian, imam harus mengetahui semua hukum dan undang-undang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pengadilan Islam sehingga dapat melaksanakannya. Imam harus memenuhi keperluan masyarakat dan menjawab berbagai kesulitan. Apabila Imam tidak pandai mengenai hukum sejati Islam, hukum dan undang-undang non Islam mungkin digunakan. Apabila demikian, pemerintahan seperti ini tidak akan menjadi pemerintahan sempurna yang dikehendaki oleh syariat. Maka, umat Islam pun akan terjauhkan dari kelebihan-kelebihan pemerintahan Islami yang adil sebagaimana yang kita saksikan sepanjang sejarah.
Ilmu Imam dari Segi Hadis Dalam banyak hadis, dijelaskan bahwa ilmu yang berkaitan dengan hukum dan ketetapan agama merupakan salah satu syarat penting dan lazim yang ada dalam diri imam.
Imam Ali mengatakan:
"Kalian mengetahui bahwa orang yang pelit tidak dapat memiliki wilayah terhadap kehormatan, nyawa, harta, dan hukum masyarakat serta menjadi imam Muslimin karena ia akan rakus untuk menguasai harta Muslimin. Orang yang bodoh juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena, dengan kebodohannya, akan menyesatkan umat. Orang yang berperangai keras juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena ia akan berpisah dari masyarakat. Orang yang tidak menjaga keadilan dalam membagi baitul-mal juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena, dalam pembagian baitul-mal umum, akan lebih mengutamakan kelompok tertentu daripada kelompok lainnya. Orang yang menerima suap juga tidak layak menjadi wali atau imam karena akan menyia-nyiakan hak individu dan masyarakat dan akan berhenti dalam pelaksanaan hudud atau hukum ilahi. Orang yang tidak melaksanakan sunah ilahi juga tidak layak mengemban wilayah karena, dengan mengabaikan sunah, akan menyesatkan umat."[45]
Dalam sebuah hadis yang panjang, Imam Ridha mengatakan:
"Sesungguhnya Allah swt telah memberikan kepada para nabi dan imam taufik yang tidak diberikan kepada selain mereka.
Kemudian ilmu mereka lebih tinggi daripada ilmu ahli zamannya. Ketika Allah swt memilih seorang hamba untuk mengurusi urusan hamba-hamba lainnya, Ia akan memberikan kelapangan dada bagi hamba tersebut dan mengalirkan mata air hikmah di hatinya. Allah senantiasa mengilhamkan ilmu kepadanya. Maka setelah itu, ia akan selalu bisa menjawab setiap pertanyaan dan tidak bingung dalam mengatakan yang benar." [42]
Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan:
"Wahai manusia! Manusia yang paling layak untuk menjadi imam adalah orang yang memiliki kebijakan dan tadbir yang lebih kuat serta lebih mengetahui hukum ilahi. Apabila setelah baiat, ada yang mencoba membuat makar dan fitnah, hendaknya ia disarankan untuk berpaling dari niatannya itu dan jika menolak, maka harus diperangi." [46]
Batasan Ilmu Imam Kini muncul pertanyaan, apakah ilmu imam terbatas atau tidak terbatas? Apabila terbatas, apakah batasannya? Sebagai jawabannya haruslah dikatakan, memandang bahwa Imam adalah seorang manusia dan mumkinul wujud (wujudnya memungkinkan) yang dalam ilmunya memerlukan ifadhoh (karunia) ilahiah, sudah barang tentu ia terbatas. Adapun mengenai batasannya harus dikatakan dengan menimbang argumentasi aqliyah dan naqliyah tentang pentingnya wujud imam dan ilmunya. Maka, jawabannya dapat dipastikan bahwa imam harus memiliki semua ilmu dan pengetahuan agama yang diperlukan untuk memenuhi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, yang diturunkan melalui wahyu kepada Rasulullah saw, sehingga dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang diletakkan ke atas pundaknya karena sebelumnya telah dikatakan, bahwa imam adalah pelanjut program-program Rasulullah saw. Perkara penting ini baru memungkinkan apabila semua ilmu dan pengetahuan agama berada di tangannya. Ilmu dan pengetahuan yang diperlukan imam dapat diringkas sebagai berikut.
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah, kewajiban, dan mustahab yang niat qurbah dalam menunaikannya merupakan syarat bagi sahnya ibadah tersebut.
2. Hal-hal yang diharamkan secara ta'abbuddiyah seperti haramnya minuman keras, haramnya memakan daging binatang yang belum disembelih secara syariat, haramnya memakan daging binatang yang memakan daging haram, dan haramnya makan najis. Semua itu merupakan syariat Islam yang harus diterima secara ta'abbudi.
3. Hal-hal najis seperti kencing, kotoran manusia, binatang pemakan daging, darah manusia, binatang yang memiliki darah memuncrat, mani, dan najis-najis lainnya juga hal-hal yang menyucikan serta cara menyucikan. Perkara-perkara seperti ini merupakan syariat Islam yang diterima secara ta'abbudan.
4. Perkara sosial seperti berbagai jenis transaksi, warisan, wasiat, nikah, perceraian dan urusan-urusan lainnnya yang ada di masyarakat. Hukum seperti ini ada di tengah masyarakat dan syari' (penetap syariat) suci Islam memiliki andil dalam mengkonfirmasi, menolaknya, atau men-tasyri' hukum yang terkait.
5. Hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengelolaan negara seperti hukum pengadilan (judge) dan penyelesaian perselisihan, sanksi terhadap para agresor, qishosh dan hudud, diyah dan ta'zir (cambuk), jihad dan pembelaan diri, khumus dan zakat, serta rampasan perang dan urusan-urusan lainnya.
6. Ushul dan akidah serta furu' seperti pengenalan Allah, ma'ad, nubuwwah, dan imamah.
7. Akhlak (etika): akhlak mulia dan akhlak tercela.
Persoalan seperti ini memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Maka, harus dikatakan bahwa Rasulullah saw mengetahuinya dari Allah swt dan ditugaskan untuk menyampaikannya kepada manusia. Dalam kondisi seperti ini, harus dikatakan, bahwa imam dan pengganti Rasulullah saw mengetahuinya agar dapat mengambil-alih tanggung jawab Rasulullah di masa ketiadaan beliau dan melanjutkan agama.
Dalam kaitan dengan berbagai pandangan yang dikemukakan para imam suci mengenai berbagai fakultas ilmu pengetahuan lainnya, yang terdapat dalam kitab hadis dan dinisbatkan kepada para imam suci, kita tidak bisa mencukupi hanya dengan adanya satu atau beberapa hadis dan kemudian kita menisbatkannya kepada para mubalig suci itu, melainkan satu persatu dari segi sanad dan teks hadis itu memerlukan pengkajian dan pembahasan. Alhasil, di mana pun kita menemukan dalil yang pasti akan kesahihannya, maka ia diterima dan dinisbatkan kepada imam. Namun, dalam keadaan yang meragukan atau bahkan madznun (prasangka buruk), hanya terdapat sebuah kemungkinan.
Sumber Ilmu Imam Kini timbul pertanyaan, apakah sumber ilmu imam itu dan dari jalan manakah mereka memperolehnya? Maka, terlebih dahulu harus diperhatikan bahwa Rasulullah saw menerima ilmunya melalui wahyu dari Allah swt. Namun, Muslimin memandang wahyu tasyri' adalah khusus milik Rasulullah saw dan dengan wafatnya Rasulullah saw , yang merupakan nabi paling akhir, wahyu telah terputus. Hal ini juga disebutkan dalam hadis.
Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan, "Allah swt mengutus nabi-Nya di masa fatrah dan perselisihan di antara kaum. Melaluinya, Allah swt menyempurnakan risalah dan wahyu pun berakhir."
Dengan memperhatikan hadis-hadis seperti ini, maka terputusnya wahyu merupakan salah satu persoalan penting bagi Muslimin. Maka, haruslah kita katakan, bahwa para imam suci dalam pengetahuannya terhadap hukum dan undang undang yang berasal dari wahyu syariat Islam, secara langsung, tidak memperolehnya dari wahyu melainkan melalui sumber-sumber dan jalan-jalan lain. Sumber itu dapat diringkas menjadi tiga bagian.
1. Sunnah dan hadis-hadis Nabi Meskipun era Rasulullah saw pendek dan tidak lebih daripada 23 tahun, agama Islam tidaklah ditinggal dalam keadaan berkekurangan. Kumpulan hukum dan undang-undang serta pengetahuan yang diperlukan manusia telah diterima melalui wahyu Allah swt. Secara lambat-laun, dalam momen yang sesuai, hukum dan undang-undang serta pengetahuan itu disampaikan kepada Muslimin agar mereka mengenal kewajiban dan tanggung jawab mereka serta mengamalkannya. Muslimin biasanya menantikan turunnya wahyu, mendengarkan pidato wahyu Rasulullah, dan memberikan perhatian istimewa terhadap hal itu tetapi dalam batas mendengarkan dan mengamalkannya sementara tidak begitu terpusat untuk menghafalkan persis kalimatnya dan menukilkannya kepada orang lain sebagai hadis. Walaupun begitu, di antara para sahabat, ada yang meluangkan waktu untuk menghafal kalimat dan merekamnya dengan tujuan menukilkannya kepada orang lain sebagai hadis dan wahyu samawi, bahkan beberapa orang dari mereka yang mengenal baca dan tulis mencatat semua yang didengar dan atau sebagian darinya pada semacam prasasti yang umum pada masa itu, agar tidak hilang dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Akan tetapi, usaha seperti ini bagi keabadian makrifah, ilmu, hukum, dan undang-undang Islam yang luas di sepanjang sejarah adalah belum cukup karena beberapa hal: pertama, jumlah orang ini tidaklah banyak; kedua, orang-orang yang mampu baca dan tulis di masa itu tidaklah begitu banyak; ketiga, mereka tidaklah berada di sisi Rasulullah saw sepanjang masa untuk senantiasa mendengarkan wahyu, kecuali dalam perjalanan, keadaan sakit, keadaan mencari nafkah, atau mengurusi urusan kehidupannya; keempat, sebagian besar dari mereka tidak memiliki daya hafal yang kuat sehingga dapat merekamnya di memori otaknya sebagaimana adanya; kelima, banyak sekali persoalan yang tidak terjadi sehingga mereka merasa perlu menanyakannya kepada Rasulullah saw; keenam, untuk menghafal dan merekam, mereka tidak merasa bertanggung jawab; dan ketujuh, Muslimin lazimnya hidup dalam kondisi yang sangat sulit dan menghadapi banyak problema, misalnya penyiksaan dan gangguan dari musyrikin ketika hijrah ke Etiopia (Habasyah) dan pengepungan ekonomi hingga mesti berlindung ke Syi'ab Abu Thalib di Mekkah dan pada akhirnya, hijrah ke Madinah karena adanya teror, masalah tempat tinggal, dan pemenuhan kebutuhan hidup. Pendek kata, kesulitan yang dialami adalah serangan beruntun musuh dan persiapan Muslimin untuk membela diri serta berbagai persoalan lainnya.
Rasulullah saw dengan baik mengetahui bahwa, dengan memandang kondisi dan situasi yang memprihatinkan pada masa itu serta kesulitan yang ada, mayoritas Muslim tidak memiliki kesiapan untuk merekam dan mencatat semua hukum dan undang-undang syariat serta ilmu dan makrifah Islami secara sempurna sehingga tetap eksis bagi generasi Muslimin berikutnya di sepanjang sejarah. Dari itulah, untuk menyelesaikan problema ini, beliau, dengan wahyu ilahi, berpikir dan memutuskan untuk menyimpan kumpulan ilmu dan makrifah serta hukum dan undang-undang Islam yang diterimanya melalui wahyu di tempat yang aman dan terpelihara dari kesalahan dan kealpaan. Tempat aman itu tidak lain adalah hati Imam Ali bin Abi Thalib yang bercahaya.
Karena, melalui wahyu ilahi, mengetahui problema ini, Rasulullah saw memulai perkara penting dan prinsip ini sejak awal nubuwwah dan melanjutkannya hingga wafat. Di semua tempat dan dalam semua keadaan, beliau menggunakan kesempatan untuk menularkan ilmu nubuwwah kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali menerima tanggung jawab berat ini dan berupaya serius untuk menjaganya. Dalam kaitan ini, beliau memiliki potensi zatiah dan pertolongan ilahiah.
Pendukung fakta ini adalah hadis-hadis yang telah tercatat.
1. Imam Ali bin Abu Thalib mengatakan: Rasulullah mendekatkan diriku kepadanya kemudian berkata, "Allah swt memerintahkanku untuk mendekatkan dirimu kepadaku dan tidak menjauhkanmu dari diriku agar engkau mendengarkan ucapanku dan menghafalnya. Adalah hak Allah yang engkau harus tunaikan untuk mendengarkan dan menghafal ucapanku. Kemudian turun ayat ini (QS. Al-Haqqah: 12)." [48]
2. Ibnu Abbas dari Rasulullah saw meriwayatkan, "Bahwasannya Baginda Rasulullah saw bersabda, Tatkala turun ayat ini (QS. Al-Haqqah: 12), aku meminta kepada Tuhanku agar menjadikannya telinga Ali lalu Ali berkata, Tidak aku mendengar sesuatu dari Rasulullah kecuali aku menghafalnya dan mencatatnya dan tiada pernah aku melupakannya selama-lamanya." [49]
3. Ibnu Abbas berkata, "Suatu hari Baginda Rasulullah saw bersabda, Manakala aku berada di sisi Tuhanku, ia berbicara denganku dan bermunajat. Lantas apa yang aku dengar aku ajarkan kepada Ali dan kemudian Ali menjadi pintu ilmuku."
4. Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Secara rutin, sekali setiap hari, aku menjumpai Rasulullah saw dan dalam keadaan kami hanya berdua, dan tiada orang ketiga, ke mana pun beliau pergi aku ikut dengannya, para sahabat Nabi saw mengetahui bahwa Nabi tidak bersikap demikian selain denganku. Di banyak waktu, beliau datang ke rumah kami. Adakalanya, ketika aku masuk ke rumah salah seorang istrinya, bahkan istrinya pun keluar dan tiada seorang pun kecuali dia. Namun, ketika beliau datang ke rumah kami, Fatimah dan putra-putranya tidak keluar, apa yang aku tanya dari beliau, beliau menjawab. Tatkala pertanyaanku sudah selesai, dan aku diam, beliau sendiri yang mulai berbicara. Dan tidak ada satu pun ayat yang turun kepada Rasulullah saw, kecuali beliau membacakannya untukku dan aku menulisnya. Beliau menjelaskan kepadaku ta'wil dan tafsir, nasikh dan mansukh, dan muhkam dan mutasyabih, serta khas dan umum ayat. Rasulullah berdoa kepada Allah agar memberikan kepahaman ilmunya kepadaku. Lantas aku tidak pernah melupakan satu pun ayat Kitab Allah, dan tidak ada satu pun ilmu yang dibacakan oleh beliau kepadaku dan aku tulis, kemudian aku melupakannya. Apa yang Allah swt turunkan mengenai halal dan haram dan larangan serta perintah dari masa lalu atau masa depan dan setiap kitab yang diturunkan terhadap rasul sebelumnya berkaitan dengan ketaatan kepada Allah atau penentangan terhadapnya, semuanya diajarkan kepadaku dan aku hafal, dan tiada sedikit pun yang aku lupa. Saat itu, Rasulullah saw meletakkan tangannya di dadaku dan berdoa supaya kalbuku dipenuhi dengan ilmu dan kepahaman serta cahaya. Aku bertanya, Wahai rasul Allah! Semenjak engkau mendoakanku, aku tidak pernah melupakan sesuatu. Apakah engkau masih khawatir aku akan lupa terhadap sesuatu. Rasulullah bersabda, Tidak! Aku tidak takut terhadap masuknya kealpaan dan kebodohan kepadamu.
5. Ali ditanya, "Mengapa hadismu yang engkau riwayatkan dari Rasulullah lebih banyak daripada sahabat lainnya?" Ali menjawab, "Karena aku bertanya kepada Rasulullah dan ia menjawabnya. Ketika aku diam, beliaulah yang memulai pembicaraan." [50]
6. Ali berkata, "Demi Allah! Tiada satu pun ayat kecuali aku mengetahui ia diturunkan dalam kaitan apa dan di mana dan tentang siapa diturunkan. Sebagaimana Allah swt memberikan kepadaku kalbu yang memahami dan lisan yang fasih."
7 Ashbugh bin Nabathah berkata, "Aku mendengar Imam Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw mengajarkanku seribu pintu ilmu dan setiap pintu darinya dibuka seribu pintu hingga menjadi seribu-seribu pintu, sehingga aku tahu apa yang ada dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat, dan aku mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang, dan aku mengetahui takdir dan apa yang bakal terjadi, dan aku mengetahui dengan baik cara mengadili." [51]
Konfirmasi Rasulullah saw mengenai Kelengkapan Ilmu Ali Imam Ali bin Abi Thalib berkat kecerdasan dan potensi zatiah-nya yang luar biasa dan dengan keseriusan serta istiqomah yang diikuti dengan adanya taufik, pertolongan ilahiah, dan inayah khusus yang Rasulullah curahkan dalam mengajar dan mendidik beliau, akhirnya dalam masa 23 tahun risalah Rasulullah berhasil mengetahui dan mengingat semua ilmu, makrifah, hukum, dan undang-undang Islam dari Rasulullah saw sehingga dapat dikatakan Imam Ali adalah penyimpan ilmu nubuwwah.
Hakikat ini dikonfirmasikan dan dibenarkan oleh Rasulullah saw. Dalam banyak kesempatan, Nabi saw menjelaskannya. Pertolongan dan pembenaran ini dicatat dan direkam dalam kitab hadis. Sebagiannya adalah sebagai berikut.
Rasulullah saw bersabda kepada Ali, "Wahai Ayah Hasan! Engkau telah meminum ilmu bagaikan meminum air. Semoga air itu menyegarkanmu." [52]
1 Rasulullah saw bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa menghendaki ilmu maka datangilah pintunya." [53]
2 Rasulullah saw bersabda kepada Ali, "Wahai Ali! Aku adalah kota ilmu dan engkau adalah pintunya. Maka, barangsiapa yang mengira dapat memasuki kota melalui selain pintunya telah berbohong." [54]
3 Rasulullah saw bersabda, "Aku adalah rumah hikmah dan Ali adalah pintunya."[55]
4 Salman Al-Farisi menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ali adalah yang teralim di antara umatku." [56]
5 Ibnu Mas'ud berkata, "Waktu itu aku bersama dengan Rasulullah saw dan kemudian Rasulullah ditanya tentang ilmu Ali. Maka, Rasulullah bersabda, "Hikmah itu dibagi menjadi sepuluh bagian. Ali diberi sembilan bagian dan manusia satu bagian dan Ali juga yang paling alim di antara lainnya." [57]
6 Anas bin Malik menukil dari Rasulullah saw yang berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Sepeninggalku nanti, engkau akan menjelaskan perselisihan pendapat di antara umatku." [58]
7 Dari Abi Sa'id Al-Khudri, diriwayatkan bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, "Di antara umatku, Ali bin Abi Thalib adalah yang paling alim tentang pengadilan (Qadhawah)." [59]
Penulisan dan Penyusunan Ilmu Meskipun Imam Ali bin Abi Thalib terpelihara dari kesalahan dan kealpaan sehingga dalam menghafal hadis tidak memerlukan penulisan, Rasulullah saw tetap memerintahkannya agar menulis hadis-hadis dalam sebuah kitab sehingga menjadi peninggalan bagi para imam suci di sepanjang sejarah.
Diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, "Wahai Ali! Apa yang aku katakan kepadamu, tulislah!" Ali bertanya, "Wahai Rasulullah! Adakah engkau khawatir aku lupa." Rasulullah berkata, "Aku tidak khawatir soal itu karena telah memohon kepada Allah swt agar menjadikanmu sebagai hafiz ilmu. Namun, tulislah itu bagi para sekutumu, yakni para imam dari anak-anakmu, para imam yang karena keberadaan mereka, turun hujan sebagai rahmat bagi manusia, doa mereka dikabulkan, bencana dicegah dari mereka, dan turun rahmat dari langit. Kemudian Rasulullah mengatakan kepada Hasan, "Hasan adalah yang paling pertama dari mereka." Kemudian kepada Imam Husain, Rasulullah menunjuk seraya bersabda, "Husain adalah yang kedua dari mereka." Lantas Rasulullah berkata, "Dan para imam berikutnya adalah dari putra Husain."[60]
Pemindahan Kitab-kitab kepada para Imam Kitab-kitab di atas dipindahkan kepada imam-imam melalui warisan dan digunakan dalam menukil hadis-hadis. Para imam adakalanya juga mengisyaratkan hal dengan menyebut nama Kitab Ali, Shahifah, dan Jamiah. Dalam kaitan ini, kita memiliki banyak hadis. Sebagai misal, dapatlah kita singgung beberapa hal di bawah ini.
1. Abi Maryam mengatakan, "Abu Ja'far berkata kepadaku, "Di sisi kami ada al-jamiah dan terdapat tujuh puluh kubik yang mengandung segala sesuatu bahkan diyah satu goresan. Kitab tersebut didiktekan oleh Rasulullah saw dan ditulis Ali. Kitab Ja'far juga ada di sisi kami dan itu adalah kulit yang sudah dikeringkan, yang dipenuhi oleh tulisan yang mengandung ilmu masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang sampai kiamat."[61]
2. Abdullah bin Sanan dari Abi Abdillah mengatakan, "Aku mendengar dia mengatakan, "Sesungguhnya kami memiliki kitab yang panjangnya tujuh puluh kubik yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan ditulis oleh tangan Ali, yang di dalamnya terkandung semua yang dibutuhkan bahkan diyah goresan.[62]
3. Zira'ah mengatakan, "Aku bertanya kepada Aba Abdillah tentang jumlah dosa besar kemudian beliau menjawab, "Dalam kitab Ali, ada tujuh hal: kekafiran kepada Allah; pembunuhan jiwa; durhaka kepada kedua orang tua; memakan riba' setelah keharamannya menjadi jelas; memakan harta anak yatim secara zalim; lari dari jihad; dan kembali ke negeri kekafiran setelah hijrah darinya (tanpa uzur syar'i)."[63]
4. Yunus mengatakan, "Kami bertanya tentang kitab Faraidz al-Mukminin kepada Imam Ridha. Maka, beliau berkata, "Benar adanya." [64]
5. Abu Hamzah dari Abi Ja'far mengatakan, "Dalam kitab Imam Ali, tertulis bahwa Rasulullah bersabda, "Manakala manusia tidak lagi membayar zakat, berkah bumi dicabut dari mereka." [65]
6. Thalhah bin Zaid meriwayatkan dari Abi Abdillah yang mengatakan, "Aku membaca di kitab Ali bahwa sesungguhnya Allah swt tidak menuntut janji dari orang-orang jahil untuk menuntut ilmu kecuali setelah Allah menuntut janji dari ulama untuk mengajarkan ilmu karena ilmu ada sebelum kejahilan."[66]
7. Mu'alli bin Khunais dari Abi Abdillah (Imam Ja'far Shadiq) yang mengatakan, " Kitab-kitab berada di sisi Imam Ali. Tatkala hendak pergi ke Irak, beliau mengamanatkan kitab tersebut kepada Ummu Salamah. Tatkala Ali meninggal dunia, Ummu Salamah menyerahkannya kepada Imam Husain asy-Syahid. Ketika Imam Husain syahid, kitab tersebut diserahkan kepada Ali bin Husain. Selanjutnya, kitab kitab itu berada di tangan ayahku." [67]
8. Dari Jabir diriwayatkan bahwa Imam Muhammad Baqir berkata kepadanya, "Wahai Jabir! Demi Allah! Apabila kami berbicara berdasarkan pendapat kami sendiri bagi masyarakat, maka kami adalah orang yang celaka atau binasa. Namun, kami hanya menyampaikan apa yang diwariskan oleh Rasulullah saw yang ada di sisi kami dan sampai kepada kami sebagai pusaka. Para pembesar kami menyimpan hadis-hadis sebagaimana manusia lainnya menyimpan emas dan perak." [68]
9. Ibn Fuddzal dan Muhammad Isa menukil dari Yunus yang mengatakan, "Kitab Faraidz yang dinisbatkan kepada Imam Ali kami tanyakan kepada Imam Ridha dan beliau berkata, "Adalah benar adanya." [69]
Di sebagian kitab Ahlus Sunnah, juga diutarakan tentang kitab ini.
1. Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis, "Ibnu Adiy mengatakan, "Ja'far bin Muhammad memiliki hadis dan manuskrip. Beliau adalah dari tsiqqah (yang dapat dipercaya)." Amir Abi Miqdan mengatakan, "Tatkala melihat Ja'far bin Muhammad, aku merasakan bahwa beliau adalah dari sulalah Nabi saw." [70]
2. Ibnu Hajar menulis, "Suatu ketika Ja'far bin Muhammad ditanya, "Apakah engkau mendengar hadis ini dari ayahmu?" Beliau berkata, "Ya!" Kedua kalinya, dia ditanya. Maka, beliau berkata, "Aku membacanya dari kitab ayahku." [71]
3 Hamu menulis, "Ibnu Habban menyebutkan bahwa Ja'far bin Muhammad termasuk tsiqqah dan berkaitan dengannya, ia mengatakan, "Dari sisi fikih dan ilmu pengetahuan, beliau termasuk di antara pemuka atau pembesar Ahlulbait. Kita dapat bersandar kepada hadis-hadisnya. Tanpa anak-anaknya yang meriwayatkan darinya, aku mempelajari hadis-hadis yang berada di tangan orang-orang tsiqqah darinya. Aku menemukan semuanya secara langsung. Dan aku tidak menemukan sesuatu yang bertentangan dengan hadis istbat.
4 Hamu menulis, "Malik ibnu Anas mengatakan, "Untuk sekian lama, aku keluar dan masuk ke sisi Ja'far bin Muhammad. Aku tidak menjumpainya kecuali dalam tiga keadaan: sedang melaksanakan shalat; puasa; atau sedang membaca al-Qur'an. Dan aku tidak pernah melihatnya dalam keadaan menukilkan hadis kecuali dalam kedaan memiliki wudhu."[72]
Penyimpulan dan Ringkasan Dari hadis yang telah disebutkan, dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Agama Islam di masa kehidupan Rasulullah saw telah mencapai kesempurnaan. Semua ilmu, makrifah, hukum, atau undang-undang yang diperlukan telah disampaikan kepada beliau melalui wahyu.
2. Rasulullah saw dalam menyebarkan hukum, betindak melalui dua cara. Salah satunya adalah menyampaikannya kepada manusia dan men-taushiyah-kannya agar dihafal dan diamalkan. Selain itu, ia menyimpannya di tempat yang aman, yang seratus persen terpelihara dari kesalahan dan kealpaan, yakni hati Imam Ali bin Abi Thalib.
3. Taushiyah kepada Imam Ali dalam menghafal, merekan, dan menulis hukum dan undang undang agama serta memeliharanya bagi para imam setelah dirinya.
4. Dari jalan ini, telah tersedia kitab-kitab yang berada di tangan Ali. Setelah wafatnya, kitab-kitab itu digunakan. Seteleh syahdinya Imam Ali, kitab-kitab itu diserahkan kepada Imam Hasan dan seterusnya, dari setiap imam diserahkan kepada imam berikutnya. Kitab-kitab tadi berada di tangan para imam dan ilmu mereka bersandarkan kepadanya. Setiap imam memindahkan ajaran-ajaran agama kepada imam selanjutnya dengan dua cara, yakni pengajaran lisan dan pemberian ijin riwayat dari kitab-kitab yang tersebut.
Para imam suci, melalui jalan inilah, menisbatkan hadisnya kepada Rasulullah saw, sebagaimana yang dalam beberapa hadis telah dijelaskan.
1. Hisyam bin Salim dan Hammad bin Ustman dan selain dari mereka mengatakan, "Aku telah mendengar dari Ja'far Shadiq bahwa beliau berkata, "Hadisku adalah hadis ayahku, dan hadis ayahku adalah hadis Husain, kakekku, dan hadis Husain adalah hadis Hasan dan hadis Hasan adalah hadis Imam Ali dan hadis Imam Ali adalah hadis Rasulullah saw dan hadis Rasulullah adalah kalam Allah." [73]
2. Jabir berkata, "Aku berkata kepada Imam Muhammad Baqir, "Setiap kali Anda menukilkan hadis untukku, maka sebutkan juga sanadnya." Beliau berkata, "Ayahku menukil hadis untukku dari kakekku, Rasulullah saw, dan Rasulullah dari Jibril dan Jibril dari Allah. Setiap hadis yang aku nukilkan untukmu, sanadnya adalah seperti itu." Kemudian beliau berkata, "Wahai Jabir! Jika engkau mengambil sebuah hadis dari seorang yang jujur, maka bagimu itu lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya." [74]
3. Hafash ibn Al-Bakhtari mengatakan, "Aku berkata kepada Abi Abdillah, "Aku mendengar sebuah hadis darimu. Namun, aku tidak tahu apakah aku mendengarnya darimu atau dari ayahmu?" Beliau berkata, "Apa saja yang engkau dengar dariku, maka engkau dapat meriwayatkannya dari ayahku dan juga engkau dapat meriwayatkannya dari Rasulullah saw."
Apa yang kami uraikan sampai di sini merupakan penjelasan pendek tentang cara penulisan sunnah dan hadis Rasulullah saw di masa hidup beliau dengan inayah dan pengawasan sempurna beliau. Dengan penjelasan ini, telah diketahui salah satu sumber penting ilmu para imam suci. Meskipun tidak mendapatkan wahyu, para imam suci berhubungan dengan ilmu, makrifah, dan undang undang yang berasal dari wahyu secara tidak langsung melalui Rasulullah saw. Di jalan ini, setiap imam menggunakan dan menukil melalui sanad yang paling muktabar, yang semua perawinya adalah maksum dari sumber yang langsung.
Apakah ada kebanggaan dan kelebihan yang dapat dibayangkan selain daripada ini?
Yang lebih penting adalah mereka menyandarkan hadis-hadisnya kepada kitab yang paling muktabar melalui pendiktean Rasul yang ditulis dan disusun oleh tangan suci Imam Ali bin Abi Thalib.
Apa yang dinukil dari sumber ini adalah ahkam dan undang-undang syariat serta persoalan fikih. Namun, adakalanya ilmu dan makrifah aqli diambil dari sumber yang kaya dan bernilai ini.
5
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Pembahasan Ringkas mengenai Kitab ini Adalah disesalkan bahwa teks kitab-kitab yang didikte Rasulullah saw dan ditulis Imam Ali bin Abi Thalib tidak ada di tangan kita dan kita juga tidak mengetahui kandungannya yang sempurna dengan baik. Kita tidak mengetahui apakah hanya hukum dan undang-undang fikih Islam yang telah tercatat di sana ataukah ilmu-ilmu serta makrifah agama juga ada di sana dan apakah cabang-cabang fikih telah ada di banyak bab dan dalam bentuk parsial ataukah kandungan kitab-kitab tersebut merupakan dasar dan kaidah universal sementara cabang-cabangnya disimpulkan oleh para imam suci dari dasar dan kaidah universal itu.
Dari sejumlah hadis, dapat diambil kesimpulan bahwa rincian persoalan telah terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Muhammad bin Muslim berkata, "Aku bertanya kepada Imam, apakah ilmu yang diwariskan kepada beliau dari Rasulullah saw berupa dasar ilmu pengetahuan yang bersifat global ataukah semua interpretasi yang dibutuhkan masyarakat dan semua yang dijelaskan beliau tentang berbagai persoalan, seperti apakah masalah perceraian dan hak waris terdapat dalam ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah saw? Beliau berkata, "Imam Ali telah menuliskan semua ilmu bahkan masalah peradilan dan faraid. Sekiranya perkara kami jelas, maka tidak akan terjadi sesuatu, kecuali telah ada sunnah kami dalam persoalan itu yang telah kami laksanakan."[71]
Dalam beberapa hadis, disebutkan semua persoalan terdapat di dalam kitab tersebut bahkan diyah goresan pun.
Meskipun kami memiliki hadis-hadis semacam ini, cakupan kitab-kitab tersebut terhadap semua cabang persoalan dalam berbagai bab fikih tampaknya mustahil.
Orang yang mengenal fikih Islam mengetahui bahwa cabang-cabang fikih sedemikian luasnya sehingga tidak mungkin dikandung dalam satu buku meksipun panjang buku itu tujuh puluh depa. Itu pun dalam ukuran kertas-kertas yang ada di masa itu, khususnya bila kita katakan, bahwa ilmu-ilmu lainnya dan makrifah Islam juga terdapat di dalam kitab itu sebagaimana yang kita manfaatkan dari beberapa hadis.
Pertanyaan terakhir adalah bagaimana para imam suci menukil kandungan-kandungan kitab tersebut? Adakah mereka menukil kalimat sebagaimana aslinya ataukah sesuai dengan maknanya saja? Sayangnya, karena tidak memiliki kitab itu, kami tidak dapat memberikan jawaban yang pasti.
2. Al-Quran Al-Quran merupakan referensi Islam yang paling penting dan akurat sebab dari sisi sanadnya adalah qatiyyus sudhur 'sumber yang pasti'. Setiap Muslim mengetahui bahwa al-Quran terdiri atas ayat dan surah yang diturunkan secara otentik oleh Allah ke hati Rasulullah saw dan tidak terdapat sedikit pun penyelewengan atau perubahan. Kitab samawi ini diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia dan kandungannya memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Al-Quran diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia dan semua orang dapat meneguk manfaat dari kitab suci ini. Namun, konsep-konsepnya sangat dalam dan di antara ayat-ayatnya, terdapat nasikh dam mansukh, muhkam dan mutasyabih, serta yang khas dan yang umum. Dengan memandang perbedaaan manusia dalam memahaminya, haruslah dikatakan, bahwa semua manusia, dalam memahami maknanya yang mendalam, tidak berada dalam satu tingkatan. Pemahaman Rasulullah saw, yang mendengarkan wahyu dari Allah swt melalui Jibril di dalam hatinya, sudah pasti jauh lebih tinggi daripada pemahaman manusia biasa. Oleh sebab itulah, tatkala ayat turun, beliau berupaya memindahkan ilmu pengetahuan dan makrifah al-Qur'an serta takwil dan tafsir ayat kepada Imam Ali as agar kekal selamanya bagi umat. Di sisi lain, Imam Ali berupaya merekam dan mencatatnya secara sempurna. Dari situlah, dapat dikatakan bahwa ilmu tafsir itu bersumber dari Rasulullah saw dan dipindahkan kepada Imam Ali as. Dengan cara inilah, ilmu itu berpindah ke tangan para imam suci. Selain itu, para imam sendiri memiliki pemahaman dan potensi yang luar biasa serta menerima pertolongan Allah yang luar biasa.
Dengan demikian, al-Qur'an dapat dikenalkan sebagai sumber ilmu para imam suci yang terpenting. Mereka senantiasa menisbatkan ilmu pengetahuan mereka kepada al-Qur'an dan dalam menjelaskan berbagai persoalan mereka bersandar kepada ayat sehingga adakalanya menegaskan, "Berkaitan dengan persoalan yang kalian dengarkan dari kami, kalian dapat meminta dalilnya dari ayat al-Qur'an." Sebagai contohnya, kami singgung beberapa hadis berikut.
1 Murazim meriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq, "Allah swt menurunkan penjelasan segala sesuatu melalui al-Quran. Demi Allah! Apa yang dibutuhkan oleh manusia telah disebutkan Allah swt, semuanya di dalam al-Qur'an sehingga seorang hamba tidak dapat lagi mengatakan, "Sekiranya ini ada, maka seharusnya ada di dalam al-Quran."[76]
2 Sama'ah mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far, apakah segala sesuatu terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah saw ataukah semua itu kalian katakan menurut diri kalian sendiri?" Beliau menjawab, "Segala sesuatu ada di dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah saw.[77]
3 Abu As-Shobah mengatakan, "Demi Allah! Imam Muhammad Baqir berkata, "Allah swt mengajarkan ilmu-ilmu tanzil dan takwil kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw mengajarkannya kepada Ali lalu beliau berkata, "Demi Allah! Imam Ali mengajarkannya kepada kami."[78]
4 Salamah mengatakan, "Aku mendengar dari Imam Baqir yang mengatakan, "Salah satu ilmu kami adalah al-Quran, hukum, serta ilmu perubahan zaman dan kejadian kontemporer. Jika Allah swt menghendaki kebaikan terhadap seseorang, Allah memperdengarkan kepada mereka dan apabila persoalan yang benar sampai ke telinga seseorang yang tidak memiliki pendengaran untuk mendengar, maka ia akan menolaknya sedemikian rupa seolah-olah tidak mendengarnya sama sekali." Tatkala itu, Imam diam beberapa saat dan berkata, "Apabila aku menemukan wadah yang sesuai, niscaya aku akan memindahkan ilmu ini ke wadah itu. Hanya Allah yang dapat kita mohonkan bantuan-Nya."
5 Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Demi Allah! Aku mengetahui kitab Allah dari pertama hingga akhir seolah-olah ada di telapak tanganku. Berita langit dan bumi serta berita masa lalu dan sekarang ada di sana." Kemudian beliau berkata, "Di dalam al-Quran, Allah SWT berfirman, "Penjelasan segala wujud ada di dalam al-Quran."[79]
6 Abul Jarud mengatakan, "Imam Shadiq berkata, "Ketika aku mengatakan sesuatu untuk kalian, maka tanyakanlah dalilnya dari al-Quran."[80]
7 Zurarah mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Muhammad Baqir, "Adakah Anda tidak bersedia mengatakan kepadaku dari manakah Anda mengetahui bahwa dalam wudhu haruslah diusap sebagian kepala dan sebagian dari dua kaki." Imam tersenyum dan berkata, "Rasulullah saw mengatakannya demikian dan kitab Allah diturunkan demikian. Dalam al-Quran disebutkan, Basuhlah wajahmu! Dari kalimat tersebut, kita memahami bahwa seluruh wajah harus dibasuh.
Selanjutnya disebutkan, Dan tanganmu hingga mirfaq! Di sini, kedua tangan (yadain) hingga mirfaq di-ataf-kan 'dihubungkan' kepada wajah. Maka dari sini, kita memahami bahwa kedua tangan hingga mirfaq haruslah dibasuh. Kemudian antara kalam terdapat pemisahan dan disebutkan, Dan usaplah kepalamu! Maka dari perkataan, birusikum, kita memahami bahwa mengusap haruslah terhadap sebagian kepala melalui adanya huruf ba'. Setelah itu, rijlain disambungkan dengan ra' atau ke la sebagaimana kedua tangan disambungkan dengan wajah dan mengatakan, waarjulakum ilal ka'bain. Maka dari arjulakum ilal ka'bain kepada kepala, kita memahami usapan terhadap sebagian dua kaki hingga ka'ab. Rasulullah saw menjelaskan ayat ini kepada manusia. Namun, mereka menyelewengkan penjelasan Rasulullah saw." [81]
8 Barid bin Muawiyah dari Imam Baqir atau Imam Shadiq meriwayatkan berkaitan dengan firman Allah, Dan tidak mengetahui takwil al-Quran kecuali Allah dan orang-orang yang rasikh (mendalam) dalam ilmu. Ayat ini mengatakan Rasulullah saw adalah rasikh yang paling utama dalam ilmu. Apa yang diturunkan Allah swt kepadanya disertai pangajaran tanzil dan takwil kepadanya. Allah tidak meninggalkan satu pun bagi Rasulullah. Para washi Rasulullah juga mengetahui semuanya tanpa terkecuali. Ketika orang-orang yang tidak mengetahui takwil al-Quran mendengar dari seorang alim yang merupakan washi Rasulullah saw, mereka berkata, "Kami beriman kepada apa yang diturunkan Allah. Al-Quran memiliki khas dan umum serta muhkam dan mutasyabih. Rasikhin dalam ilmu mengetahui semua itu." [82]
9 Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Rasikhin dalam ilmu adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan para imam setelah beliau." [83] Hadis-hadis tersebut telah disebutkan sebagai contoh. Hadis-hadis semacam ini berjumlah puluhan dan tercatat serta terekam dalam kitab-kitab hadis.
Dari semua ini, dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an merupakan salah satu sumber penting ilmu para imam suci. Manusia-manusia suci pilihan Allah itu, lantaran pertolongan Allah, potensi-potensi zatiah, ilmu pengetahuan, dan informasi yang sampai kepada mereka berkaitan dengan tafsir al-Quran, benar-benar akrab dengan al-Quran dan mengenalinya. Masalah fikih, ilmu pengetahuan, makrifah ideologi, serta kemuliaan dan kerendahan akhlak dikeluarkan dan diambil dari kitab samawi ini dan mereka menyampaikannya kepada para peminat dalam bentuk hadis yang tercatat dalam kitab.
3. Akal Salah satu sumber ilmu imam adalah akal dan tafakur. Ta'aqqul dan tafakur merupakan kelebihan manusia yang paling istimewa di atas maujud-maujud lainnya. Apa saja yang manusia miliki bersumber dari kekuatan berpikir. Jika akal diambil dari manusia, tidak ada sesuatu pun yang tertinggal di dalam manusia.
Peradaban dan kemajuan manusia di sepanjang sejarah adalah berkat pemikiran-pemikirannya. Manusia dalam kehidupan kesehariannya menggunakan logika dan istidlal. Bagi manusia, pemahaman akal sebagai suatu hujjah adalah suatu perkara yang jelas dan mereka tidak bisa tidak harus menerimanya.
Agama-agama samawi pada umumnya berpijak pada argumentasi aqliyah. Walaupun, pada umumnya, para nabi Allah yang memperkenalkan diri sebagai utusan Allah swt dan mengabarkan adanya kehidupan pasca-kematian, ma'ad, siksaan dan pahala akhirat tidak memulai dakwah atau seruan mereka dengan argumen dan istidlal (alasan) aqliyah -melainkan menggunakan bantuan fitrah untuk mencari Tuhan yang wujud di dalam manusia, dalam mengukuhkan dakwaan, mereka memakai metode ihtijaj dan argumentasi aqliyah serta mengarahkan pendengar ke arah tersebut sebab para nabi tidak diutus untuk memaksa para pengikutnya agar beriman kepada ushul 'pokok' akidah dan ilahiyat dan mabda' serta ma'ad dengan ta'abbud (kepatuhan) dan menerimanya tanpa argumen. Akan tetapi, salah satu tujuan para nabi ialah membangun kekuatan berpikir dan keimanan yang mendalam kepada akhirat dan kebenaran dengan kesadaran dan pengetahuan yang penuh.
Al-Quran menggunakan metode ini dan dalam beberapa ayatnya, kitab samawi ini membentangkan persoalan-persoalan ilahiah dan ushul-aqidah. Para nabi menyerukan kepada manusia untuk ber-tadabbur dan ber-ta'aqqul sehingga mereka menerima kebenaran dan mengukuhkan keimanan jiwa melalui tafakkur dan argumen aqliyah. Terlepas dari itu, al-Quran sendiri adakalanya menggunakan metode burhan aqliyah meskipun secara sederhana sehingga dapat dimengerti oleh semua lapisan.
Rasulullah saw adalah ahli logika dan burhan. Beliau memandang penerimaan akal sebagai hujjah yang kredibel dalam persoalan-persoalan aqliyah, bahkan dalam ushul aqidah, mabda' serta ma'ad yang mengikutinya. Bahkan sebelum bi'tsah, beliau telah beriman kepada Sang Pencipta, tauhid, dan akhirat melalui akal.
Setelah nubuwwah, beliau menggunakan burhan-aqliyah dalam mengukuhkan keyakinan para pengikutnya dan menjelaskan apa yang terkandung dalam al-Quran. Beliau memiliki akal yang sempurna dan kuat. Akan tetapi, dalam pemikiran rasional, beliau memiliki dukungan wahyu dan ishmah sehingga terpelihara sepenuhnya dari kesalahan. Beliau selalu mendorong para pengikutnya untuk berpikir dan merenung serta mengikuti akal.
Baginda Rasulullah saw bersabda, "Allah swt tidak menganugerahkan sesuatu yang lebih baik daripada akal kepada hamba-Nya sehingga tidurnya orang yang berakal adalah lebih baik daripada bangunnya orang jahil di malam hari dan berdiam diri bagi seorang yang berakal lebih baik daripada perjalanan seorang jahil (untuk melaksanakan haji dan jihad)."
Allah swt tidak mengutus nabi dan rasul kecuali apabila akalnya lebih unggul daripada akal semua umat. Dari situlah, akal dapat diperkenalkan sebagai salah satu sumber penting ilmu para nabi dalam kaitan dengan ushul akidah, perkara-perkara rasional, dan adakalanya dalam hukum dan undang-undang syariat.
Rasulullah saw di masa risalahnya mengenalkan kepada Imam Ali metode ini dan membina akalnya sampai mencapai kedudukan yang sempurna sehingga setelah Rasulullah wafat, Muslimin dapat menggunakan ilmu dan petunjuk-petunjuk Imam Ali dalam persoalan aqliyah. Sama halnya dengan Rasulullah saw, pemikiran Imam Ali bin Abi Thalib memiliki keterpeliharaan dari kesalahan.
Apabila merujuk kepada kitab hadis terutama kitab mulia Nahjul Balaghah, kita akan menyaksikan hakikat ini dengan sangat jelas, bahwa setelah Rasulullah saw, tidak seorang pun, dalam ilmu aqliyah dan penjelasan makrifah serta ilahiah, yang mencapai tingkat kemampuan Ali bin Abi Thalib. Kami, dalam beberapa halaman yang pendek ini, tidak dapat membahas dan menganalisis Manusia besar dalam sejarah ini. Namun sebagai contoh, kami akan membawakan sebagiannya.
Imam Ali bin Abi Thalib, dalam salah satu khutbahnya, mengatakan:
"Awal dari agama adalah makrifah kepada Allah dan kesempurnaan pengetahuan adalah beriman kepada-Nya. Kesempurnaan iman adalah tauhid.
Kesempurnaan tauhid adalah ikhlas untuk-Nya dan kesempurnaan ikhlas adalah penafian sifat dari-Nya karena setiap sifat menyaksikan bahwa ia adalah lain dari yang disifati, dan setiap yang disifati menyaksikan bahwa ia lain dari sifat. Maka, barangsiapa yang menyifati Allah telah menganggap-Nya bersama dengan selain-Nya, dan siapa saja yang memandang Allah bersama dengan selain-Nya telah menduakan-Nya, dan barangsiapa yang memandang-Nya dua telah memisahkan-Nya, dan barangsiapa yang memisahkan-Nya belum mengenal-Nya. Barangsiapa yang tidak mengenal-Nya telah menempatkan-Nya di satu tempat dan mengisyaratkan kepada-Nya, dan barangsiapa yang mengisyaratkan kepada-Nya telah membatasi-Nya, dan barangsiapa yang memandang-Nya terbatas telah mengakui-Nya berbilang, dan barangsiapa yang berkata, "Dimana Dia?" telah memikirkan-Nya bertempat, dan barangsiapa yang berkata, "Atas apa Dia berada?" telah menganggap suatu tempat kosong dari- Nya."1
Orang yang mengerti ilmu kalam dan filsafat mengetahui bahwa apa yang dijelaskan Imam Ali bin Abi Thalib seharusnya membutuhkan puluhan dan bahkan ratusan halaman. Keluarnya kalimat yang argumentatif dan mendalam seperti tersebut di awal era Islam dan di masa ketika ilmu kalam dan filsafat belum mentradisi di kalangan umat adalah sebuah mukjizat.
Akan tetapi, bagi Manusia unggul yang memiliki akal, kecerdasan esensial, dan kedudukan tinggi ishmah serta yang merupakan buah hasil didikan madrasah Rasulullah, perkara seperti itu tidaklah sulit untuk dijelaskan.
Dari situlah, akal dan pemikiran rasional Imam pertama umat Syiah, Ali bin Abi Thalib, dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber penting ilmu para imam.
Setelah Amirul Mukminin, imam-imam suci lainnya juga menggunakan cara yang sama dalam persoalan rasional dan akhirat. Dengan merujuk kepada kitab sejarah dan hadis, kita dapat memahami argumen-argumen dan ucapan-ucapan para imam suci dalam ilahiah dan ushul akidah. Namun sayangnya, dalam buku ini tidak ada peluang untuk memaparkannya.
Ilmu Imam yang Paling Mulia Ilmu-ilmu yang sampai di sini telah terbuktikan bagi Imam. Ilmu yang biasa dan umum di antara manusia juga memiliki hal yang seperti itu. Hanya saja ilmu para imam suci memiliki keistimewaan tersendiri. Namun bagaimanapun, dari jenis konsep akal -menurut sebagian hadis- dapat disimpulkan bahwa para imam suci memiliki jenis ilmu yang lain, yang lebih tinggi daripada ilmu pada umumnya. Dari ilmu mereka yang paling utama, di antaranya adalah hadis berikut ini.
1. Abu Bashir berkata, "Aku berada di sisi Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Kami mengetahui peristiwa masa lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat." Aku bertanya, "Jiwaku kukorbankan untukmu! Apakah itu dari jenis ilmu yang penting?" Beliau menjawab, "Ilmu yang bernilai tetapi maksudku bukan ilmu pengetahuan biasa." Aku bertanya, "Lalu jenis ilmu apakah itu?" Beliau berkata, "Ilmu yang diberitahukan kepada kami setiap siang dan malam, dari satu perkara ke perkara yang lain hingga hari kiamat." [84]
2. Mufadzal mengatakan, "Suatu hari aku berada di sisi Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Wahai Aba Abdillah!" Sebelumnya, belum pernah Imam Ja'far memanggilku dengan kunyah 'nama panggilan'." Aku berkata, "Labbaik!" Beliau berkata, "Setiap malam Jumat, kami mendapatkan kebahagiaan yang melimpah." Aku bertanya, "Semoga Allah menambah kebahagiaan Anda! Apa yang membuat Anda berbahagia di malam Jumat?" Beliau menjawab, "Pada setiap malam Jumat, Rasulullah saw naik ke Arsy Ilahi. Para imam juga naik dan aku pun ikut naik. Kemudian ruh-ruh kami tidak kembali ke tubuh-tubuh kami melainkan dengan membawa ilmu yang berfaedah. Sekiranya tidak seperti itu maka niscaya ilmu kami telah habis."[85]
3. Haris bin Al-Mughirah mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq, "Beritahulah kepada kami ilmu alim dari keluarga Nabi saw!" Imam menjawab, "Kami mewarisi dari Rasulullah saw dan Ali." Aku berkata, "Telah dikatakan kepada kami bahwa ilmu itu dimasukkan ke dalam hati dan disebutkan di telinga Anda." Lalu, beliau membenarkannya."[86]
4. Ali As-Sai menukil dari Imam Musa bin Ja'far yang mengatakan, "Ilmu kami ada tiga macam. Ilmu masa lalu, masa depan, dan sekarang telah dijelaskan kepada kami dan ilmu masa yang akan datang telah ditulis bagi kami. Ilmu ini adalah ilmu kami yang paling mulia. Setelah Rasulullah saw, tidak akan ada nabi (maksudnya kami bukan nabi)."
5. Mufadzal bin Umar mengatakan, "Aku bertanya kepada Musa bin Ja'far bahwa telah diriwayatkan dari Imam Shadiq yang mengatakan, "Ilmu kami adalah ghabir dan mazbur serta nukat di dalam hati dan nafrun di telinga." Imam menjelaskan bahwa ghabir adalah ilmu masa lalu sedangkan mazbur adalah ilmu masa yang akan datang. Demikian pula, nukat di dalam hati adalah ilham dan nafrun di telinga disampaikan melalui malaikat."
6. Zurarah mengatakan, "Aku mendengar dari Aba Ja'far (Imam Muhammad Baqir) yang berkata, "Sekiranya ilmu kami tidak ditambah, maka ilmu kami akan berakhir." Zurarah berkata, "Adakah Anda ditambah dengan ilmu yang Rasulullah tidak ketahui?" Beliau berkata, "Manakala telah ditetapkan tentang ditambahnya ilmu kami, maka pertama, diberikan kepada Rasulullah saw, lalu ditambahkan kepada para imam suci dan akhirnya sampai kepada kami."
Dari hadis-hadis semacam ini yang memiliki banyak contoh, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw dan para imam suci -selain ilmu yang umum-memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, yang berbeda total dengan ilmu ini. Ilmu khusus mereka bukanlah dari jenis konsep pemikiran subjektif melainkan dari jenis wujud, hudhur, dan isyraq. Ilmu kita pada umumnya adalah ilmu hushuli dan berasal dari konsep subjektif (pemikiran). Bahkan kita memiliki ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari pokok akidah, seperti Allah, tauhid, asma', sifat, jamal dan jalaliyah-Nya; ilmu tentang ma'ad dan hari kiamat serta kehidupan pasca-kematian -hari perhitungan dan surga serta nikmat-nikmat-Nya dan neraka serta siksaan-siksaan-Nya. Semua itu adalah konsep pikiran (subjektif).
Sejauh apa pun kita meneliti pengetahuan konsep ini, maka tidak akan diperoleh apa pun kecuali bertambahnya konsep. Kita tidak memiliki pengenalan tentang tauhid dan sifat serta jamal dan jalaliyah Allah SWT dan kehadiran-Nya di semua tempat sebagaimana hakikatnya. Dari situlah, iman itu secara umum tidak meninggalkan pengaruh yang seharusnya.
Pada diri mereka yang memiliki iman koseptual, pada umumnya, tidak terdapat ketakutan terhadap keagungan dan jalaliyah zat rububiyah. Tambahan pula, dalam diri mereka tidak terdapat istiqomah (taqayyud) untuk meninggalkan dosa dan mereka tidak mewujudkan konsentrasi kepada Allah dalam shalat serta ibadah-ibadah lainnya sebagaimana sepatutnya.
Rasulullah saw dan para imam suci memiliki pengetahuan tentang mabda' dan ma'ad yang lebih tinggi daripada sekedar pengenalan konseptual. Pengenalan mereka adalah hudhuri dan penyaksian batiniah. Mereka menyaksikan hakikat dengan mata batin dan mendengarkan ucapan dengan telinga yang tidak dimungkinkan bagi manusia-manusia lainnya. Kesaksian batiniah ini termasuk jenis wujud yang bermula dari martabat rendah jiwa, arif dan berlangsung hingga tiada terbatas. Di dalam batinnya, seorang arif bergerak dan naik dalam sebuah perjalanan wujud. Ia mendekati sumber kesempurnaan keindahan. Semakin ia mendekati sumber itu maka semakin sempurna, mulia, dan mendalam pula ilmunya. Seorang arif, dalam perspektif ini, melihat Allah sebagai Yang Mahakaya, Mahamutlak, dan Mahahadir di semua tempat. Ia menyaksikan dirinya dan semua maujudat yang disaksikannya hanyalah yang membutuhkan secara mutlak kepada-Nya dan merupakan tanda-tanda atau ayat-ayat Ilahi. Allah swt di dalam al-Quran berfirman, Timur dan Barat adalah milik Allah. Ke arah mana saja kamu melihat, di situlah wajah Allah.[87] Allah berfirman, Allah bersama kalian di mana pun kalian berada dan Allah melihat perbuatan kalian. [88] Allah swt berfirman, Dan kami lebih dekat kepadanya melebihi daripada urat leher. [89]
1. Dari perspektif inilah, ketika Imam Ali bin Abi Thalib ditanya, "Adakah engkau melihat Tuhan sehingga engkau beribadah kepada-Nya?" Beliau berkata, "Celaka kamu! Bagaimana mungkin aku menyembah zat yang tidak kulihat!" Ia bertanya, "Bagaimana kamu melihatnya?" Beliau berkata, "Celaka kamu! Mata tidak dapat melihat-Nya. Namun, hati dengan hakikat imanlah yang menyaksikan-Nya."[90]
2. Abdullah bin Sannan dari ayahnya meriwayatkan bahwa ia berkata, "Suatu hari aku bertamu ke rumah Imam Muhammad Baqir. Tak lama setelah kedatanganku, tiba-tiba seseorang datang dan bertanya kepada Amirul Mukminin, "Siapakah yang engkau sembah?" Imam menjawab, "Allah swt." Lelaki Khawarij itu kembali bertanya, "Adakah engkau melihat-Nya?" Imam berkata, "Mata tidak kuasa melihat-Nya tetapi hati dapat melihat-Nya dengan hakikat iman."[91]
3. Ya'qub bin Ishaq berkata, "Aku bertanya kepada Imam Hasan Askari, "Bagaimanakah seorang hamba menyembah Tuhannya sedangkan ia tidak melihat-Nya?" Dalam jawabannya, ia menulis, "Wahai Aba Yusuf! Ayah-ayahku yang memberikan nikmat-nikmat-Nya kepadaku dan ayah-ayahku tidaklah lebih besar daripada yang bisa dilihat." Orang ini bertanya, "Adakah Rasulullah saw menyaksikan Tuhannya?" Beliau menjawab, "Allah swt menunjukkan apa yang dikehendaki-Nya dari cahaya keagungan-Nya kepada hati Rasulullah saw."[91]
Dari sudut pandang inilah, Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali melihat Allah sebelumnya." [92] Ilmu jenis ini dapat diperoleh pada waktu-waktu tertentu dan mendapatkan kesempurnaan serta kedalamannya. Dalam ungkapan hadis, malam dan siang -khususnya di malam-malam Jumat dan Qadar- ilmu itu diilhamkan kepada hati Rasulullah dan para imam suci yang bercahaya atau para malaikat mendiktekannya ke telinga mereka. Maka, di bawah pancaran ilham-ilham ilahiah inilah, hakikat alam semesta terbuka bagi mereka.
Kita tidak mengetahui dengan tepat sejauh mana mereka menggunakan sumber gaib ini. Namun, mungkin berita-berita gaib yang adakalanya keluar dari Rasulullah saw dan para imam suci berasal dari sumber ini.
Perlu diingat di sini bahwa apa yang didiktekan kepada para imam bukan wahyu tasyri melainkan, menurut istilah hadis, adalah ilham atau nukat di hati. Hal ini karena dengan meninggalnya Rasulullah saw, wahyu tasyri terputus dan tidak ada lagi pengutusan rasul. Ilham-ilham seperti ini tidak boleh kita anggap mustahil.
Kedudukan para imam tidaklah kalah dengan kedudukan ibu Nabi Musa as yang disebutkan di dalam al-Quran, Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai Nil. Dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu. Dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.[93]
Ilham-ilham gaib, penyingkapan, dan penyaksian batin merupakan suatu hal yang tidak dapat diingkari. Puluhan contoh yang dialami manusia-manusia bertakwa dan para arif billah serta pesuluk di jalan penyucian diri telah kita baca atau dengar.
Kalau manusia biasa saja kita anggap mungkin menerima penyingkapan-penyingkapan batiniah seperti itu apalagi para imam suci. Dengan satu perbedaan, bagi manusia-manusia biasa, kasyaf seperti itu tidak akan terjadi kecuali pada saat-saat tertentu dan tidak berkesinambungan. Berbeda dengan para imam suci, mereka mungkin saja menerima ilham-ilham tersebut secara berkesinambungan dan abadi.
Catatan Kaki: [1] Al-Mufradat
[2] QS. Sajdah: 24
[3] QS. Qashash: 41
[4] Shiratul Haq, jilid 3, hal. 168.
[5] Syarah Mawaqif , jilid 8, hal. 345.
[6] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 6, hal. 21.
[7] QS. an-Nisa: 59.
[8] Syarah Ibn Abil hadid, jilid 6, hal. 12.
[9] QS. Ahzab: 40.
[10] QS. Ali Imran: 9.
[11] QS. Ali Imran: 85.
[12] QS. Thaha: 13.
[13] QS. az-Zukhruf: 43.
[14] QS. An'am: 19.
[15] QS. al-Maidah: 67.
[16] QS. Ibrahim: 67.
[17] QS. an-Nisa: 105.
[18] QS. al-Ahzab: 21.
[19] QS. at-Taubah: 33.
[20] QS. al-Ahzab: 6.
[21] QS. an-Nisa: 59.
[22] Majma'ul Bahrain, maddah 'i sho mim.
[23] Al-Mufradat
[24] Ma'ani Akhbar, hal. 132.
[25] QS. Shaf: 9.
[26] QS. al-Baqarah: 193.
[27] QS. al-Hadid: 25.
[28] QS. al-Anbiya: 73.
[29] QS. Furqan: 74.
[30] QS. al-Qashash: 41.
[31] QS. at-Taubah: 12.
[32] QS. al-Isra': 71-72.
[33] QS. al-Baqarah: 124.
[34] Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan kami memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.
Pemilihan atau Pelantikan Imam Dalam pembahasan yang lalu, telah ditegaskan bahwa sepeninggal Rasulullah saw, wujud seorang imam merupakan sebuah keharusan untuk melanjutkan misi Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw wafat, tiada yang meragukan bahwa kaum Muslimin harus memiliki pemimpin atau imam. Kini timbul pertanyaan, apakah imam tersebut dipilih oleh umat, yakni umat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka, ataukah Allah yang menetapkan dan memilih imam bagi mereka?
Para pengikut Ahlus Sunnah memilih pendapat yang pertama. Menurut keyakinan mereka, imamah bukan merupakan pokok agama atau Allah bersama Rasul-Nya tidak sampai mencampuri urusan imamah (kepemimpinan) tetapi menyerahkan urusan pemilihan khalifah atau imam sepeninggal Rasulullah kepada umat. Dalam hal ini, masyarakat Ahlus Sunnah berpendapat bahwa di masa hidupnya, Rasulullah tidak memilih seseorang tertentu sebagai khalifah. Dengan demikian, peristiwa berkumpulnya para sahabat di Saqifah yang kemudian menghasilkan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah tidak bisa disalahkan.[1]
Namun, para pengikut mazhab Imamiyah menilai perbuatan para sahabat tersebut salah dan meyakini bahwa persoalan imamah ialah hak Tuhan dan pokok agama. Begitu pentingnya urusan imamah hingga Allah swt dan Rasul-Nya terlibat secara langsung dalam menentukan atau memilih imam. Oleh sebab itulah, pemilihan imam mustahil dapat dilakukan bila tanpa petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dikarenakan posisi seorang imam menuntut kelayakan zatiah.
Sebelumnya telah ditegaskan bahwa seorang imam harus memiliki dua karakteristik istimewa yang sangat penting: yang pertama, seorang imam harus terpelihara dari dosa dan kesalahan; dan yang kedua, seorang imam harus mengetahui semua hukum dan undang-undang serta ilmu keislaman yang hakiki. Dari sisi inilah, imam memiliki penjagaan yang biasa disebut dengan ishmah.
Di samping itu, imam harus merupakan manusia yang paling tinggi dan utama dari sisi ilmu dan amal. Menimbang pentingnya keberadaan dua syarat tersebut, maka hanya Allah-lah yang dapat mengetahui siapa yang memiliki dua persyaratan ini dan secara langsung memilih imam. Allah jugalah yang mengetahui rahasia-rahasia batiniah dan ruhaniah mereka dan mengetahui siapa yang terpelihara dari dosa dan memiliki keluasan ilmu. Rahmat Ilahi melazimkan agar Rasulullah mengenalkan para imam suci kepada umat sehingga sepeninggalnya keberadaan para imam dapat dimanfaatkan oleh Umat.
Memperhatikan bahwa Allah mengetahui pentingnya keberadaan imam untuk melanjutkan dan merealisasikan misi Nabi saw dan umat yang tidak mampu mengenali para imam suci, maka adalah mustahil jika Allah menyerahkan persoalan pemilihan imam kepada umat dan tidak memberikan konsep yang diperlukan dalam pelaksanaan masalah sepenting ini. Maka, tidak diragukan lagi bahwasannya Allah-lah yang menunjuk para imam suci dan menyampaikan penunjukkan ini kepada Rasulullah serta memberi pesan-pesan yang diperlukan.[2]
Kalau ada orang yang berkata, bahwa Allah swt telah memilih imam dan memberitahukan persoalan ini kepada Rasulullah saw tetapi Rasulullah saw lupa, atau lantaran sebab lain, beliau tidak memberitahukannya kepada umat, pendapat seperti ini jelas tidak bisa diterima. Semua mengetahui bahwa Rasulullah saw begitu peduli dengan pengekalan dan perluasan agama Islam dan begitu sungguh-sungguh berupaya untuk merealisasikan misi-misi pentingnya sehingga pasti mengetahui bahwa tanpa keberadaan imam suci yang melanjutkan misi suci sepeninggalnya, maka penyempurnaan misinya tidak akan sukses. Mengenai akhlak Rasulullah saw, Allah swt berfirman, Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. [3]
Rasulullah saw begitu peduli dengan urusan umat bahkan saat hendak meninggalkan Madinah untuk beberapa hari saja, beliau selalu menunjuk seorang wali yang ditugaskan untuk mengelola urusan Muslimin di Madinah selama beliau tidak ada. Orang yang ditunjuk beliau adalah orang yang jujur dan layak untuk kemudian diberi arahan-arahan yang perlu.
1. Ayat Tathir adalah Landasan bagi Imamah Memandang pembahasan-pembahasan yang lalu bahwa hikmah ilahiah membuat Allah swt mengenalkan syarat terpenting bagi imamah (kesucian) dan orang-orang yang memiliki syarat terpenting itu secara langsung kepada masyarakat agar mereka tidak terjatuh ke dalam kesesatan. Untuk itulah, Allah swt menurunkan ayat tathir sebagai landasan untuk mengenalkan dan mengarahkan umat kepada Ahlulbait Rasulullah dan para imam suci.
Salah satu ayat yang menunjukkan kesucian Ahlulbait adalah ayat yang sangat populer, yang berbunyi, Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.[4]
Ulama Syiah dan juga sebagian Ahlus Sunnah menjadikan ayat tersebut sebagai alasan atau argumen mengenai kesucian Ahlulbait. Sehubungan dengan ini, harus ditelaah beberapa persoalan.
Sebab Turunnya Ayat (sya'nun nuzul ayat) Tidak ada yang memperselisihkan bahwa ayat di atas diturunkan berkaitan dengan Rasulullah saw, Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Kitab-kitab Syiah dan Ahlus Sunnah meriwayatkan tentang itu. Di antaranya adalah beberapa riwayat berikut ini.
1. Aisyah berkata, "Suatu pagi, Rasulullah saw keluar dari rumahnya dengan mengenakan jubah hitam yang terbuat dari kain wol. Imam Hasan, Imam Husain, Fatimah, serta Ali diminta untuk masuk ke dalam jubah itu seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [5]
2. Ummu Salamah berkata, Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun di rumahku. Hari itu, Fatimah membawa sebuah tempat yang dipenuhi oleh makanan. Kemudian Rasulullah meminta Fatimah agar memanggil Ali, Hasan, serta Husain. Ketika semua sudah datang, Rasulullah mengajak mereka makan. Kemudian ayat tathir turun. Rasul menyelimuti mereka semua dengan aba'ah (semacam jubah) dari kota Khaibar dan sebanyak tiga kali Rasulullah berdoa, "Ya Allah! Mereka adalah Ahlubaitku, jauhkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka."[6]
3. Amer bin Abi Salamah berkata, "Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih bersihnya turun di rumah Ummu Salamah. Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya berkata, "Ya Allah! Mereka adalah Ahlulbaitku, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka." Ummu Salamah bertanya, "Ya Rasulullah! Adakah aku juga bersama mereka?" Rasulullah berkata, "Tetaplah di tempatmu! Engkau juga baik."[7]
4. Zainab berkata, "Tatkala Rasulullah saw menyaksikan rahmat Allah turun dari langit, beliau bertanya, "Siapakah diantara kalian yang bisa memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain?" Aku menawarkan diri untuk memanggil mereka." Zainab memanggil mereka. Ketika mereka sudah datang, Rasulullah saw menyelimuti mereka dengan aba'ah dan beliau sendiri masuk ke dalam aba'ah itu lantas Jibril turun dan membawakan ayat tathir.[8]
5. Shaddad-abi Amarah berkata, "Aku berkunjung ke rumah Watsilah bin Astqa' bersama beberapa orang lainnya. Tak lama kemudian mereka (menggunjing Ali). Ketika mereka keluar, Watsilah membisiki telingaku, "Maukah aku ceritakan kepadamu suatu peristiwa yang aku saksikan dengan kedua mataku." Aku menganggukkan kepalaku dan dia mulai mengisahkan apa yang disaksikannya, "Hari itu, aku berkunjung ke rumah Fatimah untuk menjumpai Ali. Sesampainya di rumah Ali, Fatimah mengatakan bahwa suaminya sedang bersama Hasan dan Husain pergi ke rumah Rasulullah. Kemudian aku menyusul mereka ke rumah Baginda Rasul. Di sana, aku menyaksikan Rasulullah mengambil tangan Hasan dan Husain untuk masuk bersama Ali. Kemudian Rasulullah mendudukan Ali dan Fatimah di sisinya serta mendudukkan Hasan dan Husain di atas pahanya (memangkunya). Kemudian beliau menyelimutkan kain ke atas mereka seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Kemudian beliau berkata, "Mereka adalah Ahlulbaitku dan Ahlulbaitku adalah lebih layak."[9]
6. Abu Said Khudri mengatakan, "Ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya diturunkan mengenai lima orang, yakni Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain." [10]
7. Dalam khutbahnya, Imam Hasan berkata, "Kami adalah Ahlulbait yang dalam firman Allah disebutkan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya[11]
Memandang hadis-hadis yang disebutkan itu -banyak lagi contoh yang seperti itu- sya'nun nuzul ayat tathir adalah bahwa suatu hari, Rasulullah saw memanggil Imam Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain ke sisinya dan mereka duduk di atas permadani. Kemudian Rasulullah meletakkan kain atau aba'ah atau karpet kasar hitam dari Khaibar ke atas mereka. Kemudian turun ayat tathir dari Allah dan beliau membacakannya lalu berkata, "Ya Allah! Mereka adalah keluargaku. Maka sucikanlah kotoran dan kekejian dari mereka."
Hadis tersebut populer dengan nama hadis kisa' dan dinukilkan dalam berbagai ungkapan serta tercatat di dalam kitab Ahlus Sunnah dan Syiah.
Para Saksi Kejadian Peristiwa Kisa' merupakan salah satu peristiwa penting Rasulullah saw yang disaksikan sejumlah keluarga dekat, pembantu, dan para sahabat khusus beliau.
Mereka itulah yang meriwayatkan peristiwa tersebut. Sebagian dari mereka adalah sebagai berikut.
1. Rasulullah saw merupakan tokoh pertama kejadian itu dan berkali-kali mengisahkannya kepada para sahabat.
2. Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu dari mereka. Imam Ali menceritakan peristiwa tersebut kepada banyak orang dan berhujah dengannya.
3. Imam Hasan adalah salah seorang dari mereka.
4. Aisyah, istri Rasulullah saw, dalam sebuah hadis mengatakan, "Aku juga menyaksikan kejadian ini."
5. Umar putra Abi Salamah yang merupakan hasil didikan rumah Rasulullah saw.
6. Zainab yang hidup di rumah Ummu Salamah.
7. Stauban yang merupakan budak yang dibebaskan oleh Rasulullah saw. Mengenai Stauban disebutkan bahwa dia senantiasa berada dengan Rasulullah, baik ketika Rasulullah berada dalam perjalanan maupun tidak.
8. Wastilah bin Asqa' yang merupakan salah seorang abdi di rumah Rasulullah saw.
9. Ummu Salamah merupakan salah seorang istri Rasulullah saw yang seolah-olah peristiwa tersebut terjadi di rumahnya dan mengisahkannya kepada banyak orang.
10. Kelompok lain dari perawi hadis seperti Abul Hamra', Anas bin Malik, Abu Sa'id Khudri, dan Ibn Abbas -meskipun tidak tentu bahwa orang-orang ini menyaksikan peristiwa yang sebenarnya, namun kemudian hari, mendengar kisah itu dari Rasulullah saw atau dari salah seorang saksi atau mereka melihat bahwa setelah peristiwa ini, Rasulullah saw untuk sekian lama melewati rumah Sayyidah Fatimah Az-Zahra dan memanggil penghuni rumah itu dengan sebutan Ahlulbait dan mengatakan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[12]
Abul Hamra mengatakan, "Rasul saw selama enam bulan menghampiri pintu rumah Fatimah seraya berkata, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[13]
Abu Barzah mengatakan, "Selama tujuh belas bulan, aku shalat bersama Rasulullah saw dan manakala keluar dari rumah, beliau mengunjungi rumah Fatimah dan berkata, "Ash-shalatu alaikum"! Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Setiap pagi, Rasulullah saw datang ke rumah kami dan berkata, "Semoga Allah merahmati kalian! Bangunlah dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." [14] Abu Said Khudri berkata, "Tatkala ayat Wa'mur ahlaka bish-shalat turun, Rasulullah saw selama sembilan bulan, setiap harinya, mendatangi pintu rumah Fatimah dan Ali seraya berseru, "Telah tiba saat shalat. Semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."[15]
Untuk sekian lama, Rasulullah saw melanjutkan kebiasaan ini dengan tujuan pertamanya adalah beliau ingin menunjukkan bahwa perlakuannya itu bukan perkara biasa. Beliau ingin memberitahukan kepada para sahabatnya agar nanti tidak ada dari mereka yang berkata, "Peristiwa Kisa' hanya pertemuan kekeluargaan biasa; kedua, beliau ingin menjelaskan siapa sebenarnya Ahlulbait sehingga nantinya tidak ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk istri-istri Nabi saw; dan ketiga, beliau ingin agar para sahabatnya menceritakan hal ini kepada orang-orang lain.
Susbtansi Ahlulbait Istri-istri Rasulullah saw hidup di rumah yang sederhana. Rumah tersebut adalah rumah Aisyah, Ummu Salamah, Zainab dan Shafiyyah. Kini, timbul pertanyaan, Ahlulbait dan rumah manakah yang dimaksud karena al atau 'keluarga' di dalam kata al-bait secara istilah adalah untuk menunjukkan makrifah (tertentu), yakni rumah tertentu dan tidak mencakup semua rumah.
Dari sekian hadis yang ada tentang sya'nun nuzul ayat tathir yang sebelumnya telah kami singgung, dipetik sebuah kesimpulan bahwa rumah yang dimaksud adalah rumah Ummu Salamah. Di rumah itulah, Rasulullah saw mengumpulkan Ali, Fatimah, Hasan, serta Husain dan menyelimuti mereka dengan aba'ah atau permadani kasar seraya membacakan ayat tathir yang dibawa oleh malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah berdoa, "Ya Allah! Mereka adalah Ahlulbaitku dan bersihkanlah mereka dari kotoran dan kekejian."
Bahkan Rasulullah saw tidak mengijinkan pemilik rumah, yakni Ummu Salamah, untuk bergabung dengan mereka padahal Ummu Salamah meminta ijin untuk itu. Rasulullah menolak permintaan istrinya itu dengan mengatakan, "Bangunlah dan menjauhlah sedikit dari keluargaku!" Ummu Salamah berkata, "Setelah mendengar itu, aku menjauh dan mencari tempat di bagian pojok rumah."[16]
Dari beberapa hadis, dapat disimpulkan bahwa Ummu Salamah berada di kamar sebelah atau di belakang kamar tersebut. Rasulullah saw dapat mendudukkan empat orang tersebut ke sisinya di atas permadani dan membacakan ayat. Namun, beliau tidak cukup di situ, melainkan selain dari itu, beliau menghamparkan jubah di atas kepalanya dan kepala mereka sehingga beliau dapat membatasi subtansi Ahlulbait itu hanya kepada mereka dan menghilangkan jalan penyalahgunaan (distorsi) sehingga nantinya istri-istri Nabi saw tidak dapat mengaku sebagai Ahlulbait Nabi juga atau termasuk di dalam ayat tersebut.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw menjelaskan bahwa ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya hanyalah mengenai beliau, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. [17]
Jabir mengatakan saat ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya turun kepada Rasulullah saw, tidak ada seorang pun di rumah tersebut selain Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. [18]
Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain untuk membuktikan kemuliaan-kemuliaan mereka, dalam banyak kesempatan, berpegangan kepada ayat ini dan bukan hanya tidak seorang pun yang menentang ayat ini, melainkan semua membenarkannya.
Syarik bin Abdillah mengatakan, "Aku melihat Ali yang saat itu sedang membaca khutbah di tengah para sahabatnya. Beliau berkata, "Demi Allah, kalian aku sumpah! Apakah ada dari selain aku dan keluargaku yang Allah sucikan di dalam kitab-Nya? Di situlah, beliau membaca, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Maka, hadirin pun berkata, "Tidak ada."[19]
Imam Ali kepada Abu Bakar berkata, "Bersumpahlah demi Allah! Apakah ayat tathir itu diturunkan mengenaiku, istri, dan anak-anakku ataukah mengenai engkau dan anak-anakmu?" Abu Bakar menjawab, "Mengenai engkau dan keluargamu." Beliau berkata lagi, "Bersumpahlah demi Allah! Tidakkah Rasulullah saw di hari kisa memanggilku, istri, dan anak-anakku dan mengatakan bahwa kami adalah keluarganya yang menuju kepada-Nya dan bukan ke neraka?" Abu Bakar menjawab, "Benar! Rasulullah benar-benar mengatakan hal itu tentang dirimu dan keluargamu." [20]
Imam Hasan dalam khutbahnya yang terperinci mengatakan, "Aku adalah dari keluarga yang Allah swt sucikan dari kotoran sesuci-sucinya."[21]
Setelah peristiwa penting Ahlulbait di rumah Ummu Salamah dan turunnya ayat tathir, kata Ahlulbait berubah menjadi sebuah laqab yang mulia dan penuh kebanggaan sehingga mereka berbangga dan berargumen dengan itu. Tema ini dapat dijumpai dalam kalimat Rasulullah saw, Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain serta para imam lainnya.
Jawaban Sebuah Persoalan Sebagian orang mengatakan bahwa ayat tathir dalam konteks adalah ayat yang diturunkan berkaitan dengan istri-istri Rasulullah saw. Merekalah yang menjadi khitab dan karena qarinah konteks haruslah dikatakan bahwa ayat tathir diturunkan mengenai mereka, atau bahwasannya mereka termasuk ke dalam apa yang dimaksud ayat ini. Dari itulah, ayat ini tidak bisa dibatasi sebagai argumen atas kesucian lima orang, melainkan para isteri Rasulullah juga harus dianggap suci. Jika tidak, maka kita juga harus membuang keyakinan atas kesucian lima orang tadi.
Sebagai jawaban atas keraguan ini, dapatlah dikatakan bahwa kemungkinan yang pertama adalah ijtihad di hadapan nash karena, dalam banyak hadis yang mencapai kedudukan tawatur dan yang sebelumnya telah banyak disinggung, dapat disimpulkan bahwa ayat tathir diturunkan khusus bagi Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Untuk menghilangkan keraguan ini, Rasulullah saw menutupkan kain ke atas kepala mereka dan membaca ayat tersebut. Rasulullah saw pun menjawab permintaan Ummu Salamah, Aisyah, serta Zainab yang meminta ijin untuk bergabung ke dalam jubah itu dengan berkata, "Tetaplah di tempatmu dan janganlah mendekat." Padahal Rasulullah saw bersabda berkal-kali, "Ayat ini diturunkan untukku, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain." Maka, adalah mengherankan kalau dikatakan bahwa karena konteks kalimatnya, haruslah dikatakan bahwa ayat ini turun mengenai istri-istri Nabi saw.
Kedua, apabila turun mengenai istri-istri Nabi saw, ayat ini harus disampaikan dengan khitab mu'annas dan dikatakan, innama yuridullah liyudzhiba ankunnar rijsa, bukan dalam bentuk jamak mudzakkar.
Ketiga, adalah benar bahwa ayat innama yuridullah liyudzhiba ankumur rijsa diturunkan di sisi ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw. Namun, ia haruslah dianggap sebagai kalimat muktaridhoh yang penyebutannya sudah menjadi biasa di tengah orang-orang Arab yang fasih dan juga disebutkan di dalam al-Quran seperti, Maka ketika suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia, "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar. Hai Yusuf berpalinglah dari ini, dan kamu wahai istriku mohon ampunlah atas dosamu itu karena kamu sesungguhnya termasuk orang orang yang berbuat salah."[22]
Jawaban Sebuah Persoalan Sebagian orang mengatakan bahwa ayat tathir dalam konteks adalah ayat yang diturunkan berkaitan dengan istri-istri Rasulullah saw. Merekalah yang menjadi khitab dan karena qarinah konteks haruslah dikatakan bahwa ayat tathir diturunkan mengenai mereka, atau bahwasannya mereka termasuk ke dalam apa yang dimaksud ayat ini. Dari itulah, ayat ini tidak bisa dibatasi sebagai argumen atas kesucian lima orang, melainkan para isteri Rasulullah juga harus dianggap suci. Jika tidak, maka kita juga harus membuang keyakinan atas kesucian lima orang tadi.
Sebagai jawaban atas keraguan ini, dapatlah dikatakan bahwa kemungkinan yang pertama adalah ijtihad di hadapan nash karena, dalam banyak hadis yang mencapai kedudukan tawatur dan yang sebelumnya telah banyak disinggung, dapat disimpulkan bahwa ayat tathir diturunkan khusus bagi Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Untuk menghilangkan keraguan ini, Rasulullah saw menutupkan kain ke atas kepala mereka dan membaca ayat tersebut. Rasulullah saw pun menjawab permintaan Ummu Salamah, Aisyah, serta Zainab yang meminta ijin untuk bergabung ke dalam jubah itu dengan berkata, "Tetaplah di tempatmu dan janganlah mendekat." Padahal Rasulullah saw bersabda berkal-kali, "Ayat ini diturunkan untukku, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain." Maka, adalah mengherankan kalau dikatakan bahwa karena konteks kalimatnya, haruslah dikatakan bahwa ayat ini turun mengenai istri-istri Nabi saw.
Kedua, apabila turun mengenai istri-istri Nabi saw, ayat ini harus disampaikan dengan khitab mu'annas dan dikatakan, innama yuridullah liyudzhiba ankunnar rijsa, bukan dalam bentuk jamak mudzakkar.
Ketiga, adalah benar bahwa ayat innama yuridullah liyudzhiba ankumur rijsa diturunkan di sisi ayat-ayat yang berkaitan dengan istri-istri Nabi saw. Namun, ia haruslah dianggap sebagai kalimat muktaridhoh yang penyebutannya sudah menjadi biasa di tengah orang-orang Arab yang fasih dan juga disebutkan di dalam al-Quran seperti, Maka ketika suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia, "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar. Hai Yusuf berpalinglah dari ini, dan kamu wahai istriku mohon ampunlah atas dosamu itu karena kamu sesungguhnya termasuk orang orang yang berbuat salah."[22]
Kalimat Hai Yusuf berpalinglah dari ini merupakan kalimat muktaridhoh dan mintalah ampunan yang digunakan di antara kalimat.
Tafsir Ayat Tathir Dalam tafsir ayat tathir telah disinggung beberapa hal:
Rijsun dalam Bahasa Dalam bahasa Arab, segala sesuatu yang keji, kotor dan tercemari disebut dengan rijsun, baik itu kotoran lahiriah yang di dalam istilahnya disebut najis ataupun kotoran batiniah yang di dalam istilahnya disebut dengan dosa.
Dalam Aqrabul Mawarid ditulis, rijsun artinya 'kotor dan tercemari', dengan makna dosa yang menyebabkan siksa. Dalam Al-Munjid disebutkan rijs yakni 'kotor' dan juga diartikan dengan 'perbuatan yang buruk'. Ibn-Astir dalam kitab An-Nihayah menulis, rijs yakni 'najis dan kotor' juga digunakan untuk perbuatan-perbuatan buruk dan haram.
Dalam Lisanul Arab, ditulis rijs yakni 'najis yang juga digunakan untuk perbuatan-perbuatan haram'. Raghib Isfahani dalam Al-Mufradat mengatakan, rijis artinya 'kotor dan keji'. Kekejian itu adakalanya dari sisi tabiat, kadang menurut penilaian akal dan syariat, serta dan adakalanya kotor dari seluruh sisi, seperti bangkai.
Rijs dalam Al-Quran Di dalam al-Quran, rijs digunakan dalam dua makna: adakalanya dipakai atas makna najis lahiriah misalnya, Katakanlah, tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.[23]
Rijs adakalanya juga digunakan untuk arti kotor dari sisi batiniah dan jiwa seperti, Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannnya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah ia sedang mendaki ke langit, Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. [24]
Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu, bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya yang telah ada, dan mereka mati dalam keadaan kafir. [25]
Ia berkata sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa kekotoran dan kemarahan dari Tuhanmu. [26]
Sebagaimana kita saksikan bahwa pada ayat-ayat di atas, kata rijs digunakan untuk makna kotoran jiwa.
Makna Rijs dalam Ayat Kini, harus kita melihat apakah makna rijs yang disebutkan pada ayat tathir adalah najis lahiriah atau najis jiwa?
Dengan sedikit ketelitian, akan menjadi jelas bahwa dalam ayat tersebut, rijs yang dimaksud adalah bukan najis lahiriah, melainkan kotoran jiwa karena kewajiban menjauhi najis lahiriah tidaklah dikhususkan bagi Ahlulbait, melainkan bagi semua orang yang mukallaf. Tambahan pula, lahiriah ayat ini menunjukkan pembatasan berkaitan dengan kata innama (pembatasan).
Selain dari itu, kewajiban menjauhi najis (lahiriah) bagi Ahlulbait tidaklah mendatangkan keutamaan dan kelebihan sehingga mereka dapat berbangga dengannya dan berkata, "Kamilah yang dikehendaki Allah untuk menjauhi najis." Sekiranya demikian, maka kita tidak lagi memerlukan semua formalitas dan pembatasan seperti itu yang Rasulullah lakukan dengan menutupkan pakaiannya terhadap lima orang tadi dan mendoakan mereka agar sukses menjauhi kenajisan dan memandang persoalan ini begitu penting sehingga istri beliau pun, Ummu Salamah, tidak diijinkan masuk ke dalam jubah dan tidak dimasukkan ke dalam khitab ayat ini.
Sekiranya ayat itu bermakna seperti tadi, lalu bagaimana Imam Ali, Imam Hasan, serta Imam Husain berkali-kali berbangga dengan itu ketika mengatakan, "Kamilah substansi ayat tathit dan ayat itu turun untuk kami" Tidak ada akal sehat yang menerima kemungkinan seperti ini.
Maka dari itu, haruslah dikatakan bahwa najis dalam ayat itu bukanlah berat dosa dan kotoran.
Maksud dari Iradah dalam Ayat Tathir Di dalam al-Quran, terdapat dua iradah yang dinisbatkan kepada Allah swt: iradah takwiniah dan iradah tasyriiyah. Maksud dari iradah takwini adalah bahwa dalam sistem takwin, sesuatu yang dikehendaki itu akan menemukan wujudnya atau termanifestasikan seperti, Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. [27]
Ayat berikut menyatakan hal yang sama, Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah, maka terjadilah ia."[28]
Dalam iradah takwini, sesuatu yang dikehendaki pasti berlaku dan tidak bisa keluar dari kehendak itu. Bila Allah menghendaki sesuatu, maka keterwujudannya merupakan suatu keharusan.
Jenis yang kedua adalah kehendak atau iradah tasyriiyah yang berarti Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mewujudkan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki-Nya seperti, Barangsiapa di antara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [29]
Ayat berikut menyatakan hal yang sama, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.
Dalam kehendak tasyri, yang dimaksud Allah agar terwujud dalam tatanan tasyri dan peletakan hukum sehingga dikeluarkanlah perintah yang diperlukan.
Dalam dua ayat di atas, telah disebutkan bahwa dalam tatanan tasyri, tidak ada kesulitan dan kerumitan dan tidak ditetapkan undang-undang yang mempersulit. Kini haruslah dilihat makna iradah yang disebutkan dalam ayat tathir, apakah itu takwiniyah atau tasyriiyah? Apabila itu adalah kehendak tasyriiyah maka artinya adalah demikian, Allah swt, dalam tatanan tasyri dan undang-undang, telah menetapkan bahwa kalian, Ahlulbait, janganlah bermaksiat, yakni Allah swt telah menetapkan hukum dan undang-undang yang apabila mengamalkannya, kalian akan terpelihara dari dosa.
Sedikit saja teliti dan obyektif, maka kita akan meyakini dan membenarkan bahwa ayat ini tidak dapat ditafsirkan seperti itu. Kita meminta dari para pembaca agar berpikir obyektif. Apakah dapat dikatakan, bahwa Allah swt, dalam membuktikan kemuliaan Ahlulbait, mengatakan kepada mereka, "Aku muliakan kalian dan dalam maqom tasyri, aku menghendaki agar kalian tidak berbuat dosa?" Keinginan atau kehendak ini tidaklah khusus bagi Ahlulbait, melainkan bagi orang mukmin yang mukallaf dikehendaki agar menjauhi dosa.
Apabila maksud dari ayat itu demikian, maka semua formalitas itu tidak diperlukan, yakni ketika Rasulullah saw menempatkan beberapa orang tertentu di bawah jubahnya dan tidak mengijinkan istrinya, Ummu Salamah, masuk ke bawah jubah itu. Kemudian beliau membaca ayat tersebut dan mendoakan mereka. Bukankah Rasulullah juga menghedaki agar Ummu Salamah tidak melakukan dosa? Apakah perkara seperti itu dikategorikan sebagai kemuliaan yang Ahlulbait berbangga dengannya berkali kali?
Imam Ali bin Abi Thalib dalam kisah tanah Fadaq berdebat dengan Abu Bakar dan mengatakan, " Wahai Abu Bakar! Apakah ayat tathir itu diturunkan mengenaiku dan keluargaku atau mengenaimu dan keluargamu? Maka, Abu Bakar pun menjawab, "Mengenai engkau dan keluargamu."
Lagi, Imam Ali mengatakan, "Apakah selain dariku dan Ahlulbaitku, engkau menjumpai orang yang termasuk ke dalam ayat tathir?" Abu Bakar pun mengatakan tidak.
Bukankah Imam Husain membacakan khutbah bagi masyarakat, setelah syahadah ayahnya yang mulia, dan mengatakan, "Aku termasuk Ahlulbait, yang diturunkan bagi mereka ayat tathir dan yang Allah sucikan sesuci- sucinya."
Apakah ihtijaj atau argumen dan kebanggaan seperti ini dapat dinisbatkan dengan iradah tasyriiyah seperti meninggalkan dosa yang merupakan suatu perkara umum?
Maka dari itu, ayat tathir tidak dapat dinisbatkan dengan iradah tasyriiyah, melainkan dengan iradah takwiniyah. Maka dari itu, arti ayat itu menjadi demikian, "Kehendak takwiniyah Allah swt adalah para Ahlulbait terpelihara dari dosa dalam sistem penciptaan dan inilah makna ishmah."
Dengan interpretasi seperti ini, maka perintah Allah swt dan sikap Rasulullah saw yang mementingkan pengenalan subtansi-substansi Ahlulbait dan penafian yang lain serta kebanggaan dan ihtijaj para imam suci merupakan suatu hal yang dapat diterima dan mesti diperhatikan.
Selain dari itu, dalam beberapa hadis, ayat tersebut ditafsirkan dengan ishmah dari dosa dan iradah takwiniyah.
1. Dalam sebuah hadis, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Allah swt berfirman, Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan keraguan dari Ahlulbait dan menyucikan mereka sesuci-sucinya." [30]
2. Rasulullah saw dalam sebuah hadis setelah ayat Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan keraguan dari Ahlulbait dan menyucikan mereka sesuci-sucinya, bersabda, "Aku dan Ahlulbaitku suci dari dosa." [31]
3. Imam Hasan mengatakan, "Kami adalah Ahlulbait yang dimuliakan Allah dengan Islam dan Dia memilih kami. Kemudian Allah menjauhkan kotoran (keraguan) dari hati kami dan menyucikan kami. Kami tidak pernah meragukan Allah dan agama-Nya. Kami dibersihkannya dari segala kotoran dan kesesatan." [32]
4. Abu Bashir menukil dari Abu Ja'far yang mengatakan, "Rijs adalah keraguan. Maka, kami tidak pernah meragukan agama kami." [33]
5. Sebagaimana yang engkau perhatikan, Ahlulbait Nabi saw di dalam al-Quran diperkenalkan sebagai orang-orang yang suci dari dosa dan kesalahan dan dengan jalan inilah, telah tersedia jalan untuk mengenali para pengganti yang sesungguhnya dari Rasulullah saw dan penerimaan masyarakat terhadap mereka.
7
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Mengikuti Ahlulbait Di era kenabiannya, Rasulullah saw senantiasa berupaya untuk memperkenalkan Ahlulbait kepada masyarakat dan menyiapkan landasan bagi imamah mereka.
Rasulullah saw bersabda, "Bintang-bintang adalah keamanan penduduk langit. Bila bintang-bintang binasa, maka penduduk langit juga akan sirna. Ahlulbaitku juga merupakan keamanan penduduk bumi. Bila Ahlulbaitku binasa, maka penduduk bumi juga akan binasa." [34]
Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Perumpamaan keluargaku adalah bagaikan perahu Nuh. Siapa saja yang mengendarainya akan selamat dan barangsiapa berpegangan dengannnya akan selamat di akhirat dan barangsiapa melanggarnya akan tenggelam." [35]
Mahabbah Ahlulbait Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, "Hamba Allah di hari kiamat tidak akan mengambil langkah kecuali ia ditanya empat pertanyaan: dari usianya dihabiskan untuk apa; dari badannya digunakan untuk apa; dan juga tentang hartanya, diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa; dan juga ditanyakan tentang mahabbah Ahlulbait." [36]
Adalah jelas bahwa yang dimaksud dengan mahabbah bukanlah kecintaan hati, melainkan adalah kepatuhan dan ketaatan.
Mawaddah Dzil Qurba Ibn Abbas mengatakan, "Ketika ayat Katakan Wahai Muhammad, aku tidak meminta kepada kalian ganjaran kecuali kecintaan kepada keluargaku turun, para sahabat mengatakan, "Wahai Rasulullah! Orang-orang yang Allah perintahkan untuk mencintai mereka, siapakah mereka itu?" Beliau mengatakan, "Ali dan Fatimah serta anak-anak kedua orang tersebut."[37]
Penentuan Khalifah dan Imam Pertama Rasulullah saw mengetahui dengan baik ilmu dan ishmah serta kemuliaan-kemuliaan dan kelayakan Imam Ali as untuk menjadi khalifah dan melanjutkan misi-misinya. Namun, Rasulullah mengetahui bahwa pelantikan dan pengenalan Imam Ali untuk maqom khalifah dan imamah adalah suatu pekerjaan yang sulit dan mendapat penentangan keras dari pihak pecinta kedudukan dan jabatan. Karena Rasulullah melihat maslahatnya, pekerjaan penting dan menentukan ini dilakukannya dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menyiapkan landasan buat penerimaan. Tahapan kedua adalah penentuan dan pelantikan secara resmi dalam momentum yang tepat.
Tahap Pertama: Penyiapan Landasan Rasulullah saw berupaya dalam banyak kesempatan untuk menyinggung keutamaan dan kemuliaan Imam Ali as dan memujinya. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis yang tercatat dalam kitab hadis. Namun, karena memandang keluasaan penyebutannya dalam buku ini adalah tidak mungkin, Anda dapat merujuknya kepada kitab fadhail dan sirah. Sebagai contoh, akan disinggung sebagiannya.
Seruan untuk Keluarga Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Ketika ayat Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat[38] turun, Rasulullah saw berkata kepadaku, "Sediakanlah makanan dan undanglah keluarga dekat."
Aku menyiapkan makanan untuk empat puluh orang dan mengundang mereka. Seusai makan, Rasulullah saw berkata kepada mereka, "Wahai anak-anak Abdul Muthalib! Demi Allah! Aku tidak menyaksikan pemuda di tengah bangsa Arab yang membawa sesuatu yang lebih daripada apa yang aku bawakan untuk kalian.
Aku membawa kebaikan dunia dan akhirat untuk kalian. Allah SWT memerintahkanku untuk menyeru kalian ke arah itu. Siapakah di antara kalian yang siap membantuku dalam urusan penting ini untuk menjadi khalifah dan washi-ku?"
Karena mendengar kalimat-kalimat ini, para hadirin berdiri sebagai protes. Aku yang merupakan orang yang paling muda di antara mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Aku bersedia untuk membantumu dalam urusan penting ini."
Rasulullah saw meletakkan tangannya di atas pundakku seraya berkata, "Sesungguhnya ini adalah saudaraku, washi-ku, dan khalifahku di antara kalian. Dengarkan kepadanya dan patuhilah dia!"
Kemudian masyarakat bangun dan menertawakan Muhammad seraya berkata kepada Abu Thalib, "Muhammad memerintahkanmu agar taat kepada anakmu."[39]
Anjuran Tentang Ali Ibn Abbas menukilkan dari Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa ingin hidup dan mati sepertiku dan tinggal di surga Aden yang diciptakan Allah, maka setelahku, hendaknya ia menerima wilayah Ali, bersahabat dengan para sahabatnya, dan mengikuti para imam setelahku karena mereka itu adalah itrah-ku yang tercipta dari tabiatku dan ilmu serta pemahamanku berpindah kepada mereka. Betapa celaka orang-orang yang mendustakan mereka dan memutuskan hak keluargaku dan mereka tidak akan mendapatkan syafaatku."[40]
Hudzaifah menukil dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Barangsiapa yang ingin hidup sepertiku dan mati sepertiku, dan ingin ke ranting pohon yang Allah swt tanam di surga, maka hendaknya ia berpegangan dengan wilayah Ali bin Abi Thalib setelahku." [41]
Rasulullah saw berkata kepada Anshar, "Wahai Anshar! Adakah kalian ingin aku beri petunjuk yang apabila sepeninggalku nanti, kalian berpegangan dengannya, kalian tidak akan sesat?" Mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Katakanlah!" Rasulullah bersabda, "Cintailah Ali Bin Abi Thalib dan muliakanlah dia sebagaimana Jibril dari sisi Allah telah membawakan pesan ini untukkku agar aku mengatakan hal ini kepada kalian." [2]
Hudzaifah menukilkan bahwa sejumlah sahabat berkata kepada Rasulullah saw, "Tidakkah engkau menjadikan Ali sebagai khalifah?" Beliau berkata, "Jika kalian menerima wilayah-nya, maka Dia akan menunjukkan kepada kalian jalan yang lurus." [43]
Abu Said Khudri menukilkan bahwa Rasulullah saw meletakkan tangannya di pundak Ali dan berkata, "Wahai Ali! Engkau memiliki tujuh peringai yang pada hari kiamat nanti tidak seorang pun dapat berdebat denganmu. Keimananmu mendahului keimanan orang lain. Engkau lebih baik dalam kesetiaan kepada Allah dan engkau lebih kuat dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan engkau paling pengasih dan cinta kepada rakyat dan paling adil dalam membagikan baitul-mal dan lebih bijak dalam urusan pengadilan dan pada hari kimat engkau yang paling unggul." [44]
Anas bin Malik mengatakan, "Rasulullah saw mengutusku kepada Abu Barzah Aslami. Ketika Abu Barzah Aslami telah hadir di sisi Rasulullah, aku mendengar Rasulullah berkata kepadanya: "Wahai Aba Barzah! Tuhan semesta alam telah mengikat janji denganku tentang Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Ali adalah bendera hidayah dan tempat bersinarnya keimanan serta imam para sahabatku. Ia adalah cahaya orang-orang yang mengikuti perintah-perintahku. Wahai Aba Barzah! Ali bin Abi Thalib nanti pada hari kiamat adalah amin dan pemilik benderaku. Ali adalah pemegang kunci gudang-gudang rahmat Allah swt."[45]
Ummu Salamah berkata, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Ali bersama dengan al-Quran dan al-Quran bersama dengan Ali dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat."[46]
Rasulullah saw berkata, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barangsiapa yang mencari ilmu, maka ia harus masuk melalui pintunya." [47] Aisyah berkata, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang berkata, "Ali bersama dengan kebenaran dan kebenaran bersama Ali hingga hari kiamat. Keduanya tidak akan berpisah antara satu dengan lainnya." [48]
Ibn Umar mengatakan, "Rasulullah saw mengikat tali persaudaraan di antara sahabatnya. Ali datang dalam keadaan beliau menangis dan berkata, "Wahai Rasulullah! Engkau menjalin tali persaudaraan di antara para sahabat tetapi engkau memperkecualikan diriku." Rasulullah saw berkata, "Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat."[49]
As'ad bin Zurarah menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Pada malam Mikraj, tatkala aku tiba di Sidratul Muntaha, dari sisi Allah swt telah turun wahyu tentang tiga sesuatu mengenai Ali kepadaku. Ali adalah imam orang-orang yang bertakwa, penghuhlu orang-orang Muslim dan pemimpin orang-orang yang menuju surga." [50]
Rasulullah saw berkata kepada Ali, "Wahai Ali! Engkau adalah penghulu orang-orang Muslim dan imam orang-orang yang bertakwa dan pemimpin orang-orang yang ahli ibadah dan amir orang-orang religius." [51]
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa suka berpegangan dengan agamaku dan menaiki perahu penyelamat sepeninggalku, maka hendaknya ia mengikuti Ali bin Abi Thalib dan memusuhi musuh-musuhnya dan mencintai para sahabatnya karena dia adalah washi dan khalifahku di masa hidupku dan sepeninggalku. Ali adalah imam setiap Muslim dan amir orang-orang mukmin. Perkataannya adalah perkataanku. Perintahnya adalah perintahku. Larangannya adalah laranganku. Pengikutnya adalah pengikutku. Sahabatnya adalah sahabatku. Meninggalkannya adalah sama dengan meningalkanku." [52]
Abu Dzar menukilkan dari Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa taat kepadaku, maka ia taat kepada Allah, dan barangsiapa menentangku, maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa taat kepada Ali, maka ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa membangkang kepada Ali, maka ia telah bemaksiat terhadapku." [53]
Anas Bin Malik menukil dari Rasulullah saw yang bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, "Sepeninggalku, engkau akan menjelaskan hal-hal perselisihan umat." [54] Zaid bin Arqam mengatakan, "Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa ingin hidup dan mati sepertiku dan tinggal di surga khuld, hendaknya ia berpegangan dengan wilayah Ali karena Ali akan membimbingmu kepada hidayah dan tidak akan membawa kalian kepada kesesatan." [55]
Hadis-hadis yang telah disebutkan untuk contoh dan puluhan bahkan ratusan yang seperti itu dari sisi makna dapat dianggap mutawatir sehingga dapat disimpulkan dengan baik, bahwa Rasulullah saw membawa perintah dari Allah swt untuk melantik Ali sebagai imam dan hadis-hadis tersebut yang dikeluarkan dalam banyak ungkapan adalah sebagai persiapan bagi landasan dan taushiyah sehingga pada saat-saat yang diperlukan, Rasulullah akan melaksanakan tugas besar pelantikan secara resmi.
Tahapan Kedua: Pelantikan secara Resmi Meskipun di sepanjang 23 tahun risalahnya, Rasulullah saw senantiasa berupaya secara gamblang untuk memperkenalkan kepribadian istimewa Imam Ali as dan menyediakan landasan bagi pemikiran umum untuk menerima wilayah dan menunaikan misi penting ilahiah secepat mungkin, dirasakan landasannya belum siap dan sejumlah pemuka Quraisy serta pembesar sahabat adakalanya mengklaim sebagai khalifah. Mereka tidak pernah menerima pemilihan seperti ini dan dengan berbagai alasan, mereka menolak itu.
Rasulullah saw mengkhawatirkan keadaan yang ada. Karena mengkhawatirkan perpecahan dan perselisihan, beliau menunda misi besar ini sambil menunggu momentum yang tepat. Keadaan ini terus berlangsung hingga tahun kesepuluh hijriah.
Haji Wada (Haji Terakhir) Di tahun kesepuluh hijriah, Rasulullah saw memutuskan untuk menunaikan faridhah haji, pergi ke Mekkah sehingga kemungkinan di sepanjang ibadah haji, tercipta momentum yang tepat untuk melantik Ali secara resmi sebagai imam dan wali atau washi sepeninggal beliau.
Beliau mengumumkan kepada Muslimin Madinah dan negeri-negeri Islam lainnnya, "Aku akan pergi haji. Siapa saja yang mampu hendaknya mengikuti perjalanan ini."
Ditulis bahwa lebih dari seratus ribu orang berangkat haji dan di miqat, untuk menunaikan umrah, mereka ber-muhrim, bertawaf di Ka'bah, menunaikan shalat thawaf dan ber-sai antara Shafa dan Marwa di sisi Rasulullah saw.
Setelah itu, untuk menunaikan ibadah haji, mereka ber-muhrim serta menunaikan wuquf di Arafah dan Masy'ar. Kemudian mereka pergi menuju Mina untuk melakukan tiga jenis lemparan jumrah dan taqshir.
Setelah itu, mereka melakukan Qurban dengan mencukur kepala atau taqshir. Mereka lalu keluar dari ihram dan dengan kadar yang wajib, mereka bermalam di Mina dan bersiap diri untuk tawaf dan menunaikan kewajiban-kewajiban terakhir haji.
Dalam semua tahapan ini, mereka mendapatkan petunjuk nilmiya dan fuquh Rasulullah saw. Di sepanjang ibadah haji, Rasulullah saw berkali-kali membaca khutbah dan memberikan nasihat. Beliau menekankan soal pemeliharaan persatuan dan pembelaan terhadap Islam. Beliau juga menasihatkan soal penjagaan dan pengamalan al-Quran serta mengikuti itrah dan Ahlulbait.
Perangai dan perilaku Rasulullah saw sedemikian rupa sehingga seolah-olah beliau melihat kematiannya sudah dekat dan ini merupakan haji yang terakhir. Meskipun terdapat peluang untuk menyampaikan tugas ilahiah ini, yakni untuk melantik Ali secara resmi sebagai khalifah, di Arafah atau Mina, di depan semua para jamaah haji, beliau menunda penyampaian tersebut.
Mungkin beliau belum melihat momentum yang sesuai dan beliau cemas akan pembangkangan serta konspirasi orang-orang yang berambisi kekuasaan dan politik. Akhirnya, ibadah haji berakhir dan kafilah besar para peziarah Baitullah berangkat menuju negerinya. Rasulullah saw beserta kafilah bergerak menuju Madinah. Beliau cemas karena di sepanjang ibadah haji tidak mendapatkan momentum yang tepat untuk melantik Ali.
Ghadir Khum Rasulullah saw dan para pengikutnya sampai di telaga Khum. Daerah itu, yang dekat dengan Juhfah, merupakan lokasi perpisahan jamaah haji. Ini merupakan peluang terakhir untuk melantik Ali di depan para jamaah haji dari berbagai negeri.
Waktu itu menjelang zuhur ketika udara begitu panas menyengat. Di tempat yang seperti itu, Jibril turun dan membacakan ayat ini kepada Rasulullah saw, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Alah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[56]
Di tempat itu, Rasulullah saw memerintahkan kepada para jamaah yang sudah lepas dari tempat itu agar kembali dan kepada kelompok haji yang masih ada di belakang disuruh maju ke depan dengan segera. Ada beberapa pohon besar di tempat itu yang beliau perintahkan untuk menyapu bagian bawahnya dan mempersiapkan tempat untuk shalat. Para jamaah terheran-heran dengan pertemuan yang tidak terduga itu apalagi dalam keadaan udara yang sangat panas. Mereka bertanya-tanya apakah akan terjadi peristiwa yang sangat penting.
Kemudian dibuatlah mimbar dan Rasulullah saw naik ke mimbar itu dan berkhutbah di hadapan lautan jamaah haji itu. Beberapa hadirin yang memiliki suara keras memindahkan pidato Rasulullah kepada orang-orang yang letaknya jauh. Peristiwa penting ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah.
Hadis Ghadir Rasulullah saw di tempat itu membacakan khutbah yang terperinci, yang nantinya dikenal dengan nama hadis Ghadir. Teks khutbah tersebut tercatat di kitab-kitab muktabar Ahlus Sunnah dan Syiah dengan berbagai bentuk ungkapan. Beberapa perawi secara terperinci menukil khutbah itu dan sebagian lainnya dengan bentuk yang lebih pendek. Namun. semuanya memiliki kesamaan dalam menukil kalimat-kalimat yang menunjukkan wilayah Imam Ali bin Abi Thalib. Kami di sini akan menukil salah satunya saja.
Zaid bin Arqam mengatakan, "Ketika kembali dari haji Wada, Rasulullah saw berhenti di Ghadir Khum (telaga Khum). Pertama, beliau memerintahkan untuk membersihkan tempat-tempat di bawah pohon. Lantas, beliau berkhutbah dan mengatakan, "Tampak aku telah dipanggil menuju Allah dan aku akan memenuhi panggilan itu. Dua perkara yang sangat berharga akan aku amanahkan kepada kalian, kitab Allah (al-Quran) dan keluargaku. Hati-hatilah dalam menjaga dua amanah ini dan bagiamana kalian bersikap terhadap dua amanah ini. Dua perkara ini tidak akan berpisah satu dengan lainnya hingga hari kiamat."
Pada waktu itu, beliau mengatakan, "Allah swt adalah Maula-ku dan aku adalah maula semua mukmin." Kemudian beliau mengambil tangan Ali dan berkata, "Barangsiapa yang aku adalah Maula-nya maka Ali adalah wali-nya. Ya Allah! Bersahabatlah dengan orang-orang yang menjadikan Ali sebagai wali (pimpinan) dan musuhilah siapa saja yang memusuhi Ali."[57]
Barro' bin Azib dalam menukil hadis ini menambahkan sebuah kalimat yang pertama kali Rasulullah saw sabdakan, "Apakah aku tidak lebih utama daripada mukmin dari diri mereka?" Mereka mengatakan, "Benar!" Rasulullah berkata, "Apakah aku lebih utama daripada setiap mukmin dari diri mereka semua?" Mereka berkata, "Ya!" Rasulullah berkata, "Maka ini (Ali) adalah wali bagi setiap orang yang menjadikan diriku maula-nya."[58]
Di dalam hadis lain, Barro menambahkan kalimat, "Kemudian Umar bin Khattab menjumpainya dan berkata, "Selamat untukmu wahai Ali! Engkau telah menjadi maula setiap mukmin dan mukminah." [59]
Perawi Hadis Ghadir Hadis Ghadir adalah mutawatir dan pasti sumbernya. Lebih daripada seratus sepuluh orang sahabat besar Rasulullah saw menukilkan hadis ini, di antaranya adalah orang-orang di bawah ini.
"Abu Hurairah, Abu Ya'li Anshari, Abu-al Haitsam bin Iltiyhan, Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khattab, Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan Mujtaba, Imam Husain, Fatimah Zahra, Usamah bin Zaid, Ummu Salamah (istri Rasulullah saw), Anas bin Malik (Pembantu Rasulullah saw) Barra' bin Azib, Jabir bin Samrah, Jabir bin Abdillah Anshari, Hudzaifah bin Asid, Hishan bin Tsabit, Khuzaimah bin Tsabit Anshari, Zubair bin Azam, Zaid bin Tsabit, Abu Said, Khudri, Salman Farisi, Miqdad bin Umar, Kindi, Abbas bin Abdul-Muthalib, Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khatab, Ammar bin Yasir." [60]
Sanad Hadis Kebanyakan pengarang Ahlus Sunnah dan Syiah yang menukil menyandarkan hadis ini dalam kitab-kitab hadis, sejarah, tafsir, dan kalam. Selain itu, telah dikarang kitab-kitab yang berkaitan dengan hadis ini.
Memperhatikan bahwa hadis Ghadir Khum adalah mutawatir dan pasti sumbernya, maka tidaklah diperlukan pembahasan mengenai sanadnya. Namun bersamaan dengan itu, banyak sekali ulama yang masih membahas sanadnya dan menyebutkan hadis itu sebagai hadis Hasan dan Shahih. Misalnya, kita dapat menyebutkan sebagian darinya.
1. Hafidz Abu Isa Tirmidzi dalam Sunan.
2. Hafidz Abu Ja'far Thahawi dalam Musykilul Atsar.
3. Abu Abdillah Hakim dalam Al-Mustadrak ala as-Shahihain
4. Abu Muhammad bin Muhammad Al-Ashi dalam Zain Al-Fata.
5. Hafidz bin Abdul Bar Qurthubi dalam Isti'ab.
6. Abul Hasan bin Al-Maghazili Syafi'i dalam Al-Manaqib.
7. Abu Hamid Ghazali dalam Sirrul Alamin.
8. Abul Faraj bin Jauzi Hambali dalam Al-Manaqib.
9. Sibt bin Jauzi Hanafi dalam Tadzkirah.
10. Ibn Abil Hadid Mu'tazili dalam Syarah Nahjul Balaghah.
11. Abu Abdillah Ghanji Syafi'i dalam Kifayah Ath-Thalib.
12. Ala'uddin Semnani dalam Al-Urwah.
13. Sayid Mahmud Alusi dalam Ruh Al-Ma'ani.
14. Syaikh Muhammad Al-Hut, Biruti Syafii dalam Asnal Mathalib.
15. Syahabaddin Abu Al-Faidz Ahmad bin Muhammad Shiddiq dalam Tasynif Al-Adzan.
16. Hafidz Imadudin Kastir asy-Syafii dalam Al-Bidayah wan Nihayah.
17. Hafidz Nuruddin Haitsami dalam Majma'uz Zawaid.
18. Syamsyuddin Jazari Syafii dalam Asnal Mathalib.
19. Hafidz bin Hajar Asqalani dalam Tahdibut Tahdzib.
20. Abul Khair As-Syirazi Syafii dalam Abthalul Bathil.
21. Hafidz Abu Al-Abbas Syahabuddin Qasthalani dalam Mawahibul Ladunniyah.
22. Hafidz Syahabbuddin bin Hajar Haitsami dalam As-Shawaiq Al-Muhriqah.
23. Jamaluddin Husaini Syirazi dalam Arbain.
24. Jamaluddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Shalahuddin Hanafi dalam Al-Mu'tashir bin Al-Mukhtashar.
25. Syaikh Nuruddin Harawi Qari Hanafi dalam Al-Mirqat fi Syarhil Misyakat.
26. Syaikh Muhammad Shadrul-alim dalam Ma'arijul Ula fi Manaqibil Murtadho.
27. Sayid bin Hamzah Harani dalam Al-Bayan wat Ta'rif.
28. Abu Abdillah Zarqani dalam Syarahul Mawahib.
29. Syahabuddin Hifdzi Syafii dalam Syarahul Aqd Al-Jawahir.
30. Mirza Mhammad Badakhsyi dalam Nuzulul Abrar.
31. Mufti Syam al-Imadi Hanafi dalam Ash-Shalahul Fakhirah.
32. Abu Irfan as-Shiban Syafii dalam Is'afur Raghibin.
33. Zainuddin Munawi Syafii dalam Faidzul Ghadir.
34. Nuruddin Halabi Syafii dalam Sirah Al-Halabiyah.
35. Syaikh Ahmad bin Katsir A'la dalam Wasilatul Amal fi Manaqibil A'la.
36. Syaikh Abdul Haq Dahlawi Bukhari dalam Syarahul Musykilat.
37. Syaikh Mahmud bin Muhammad Syaikhani dalam Shiratus Sawi dalam Manaqibun Nabi.[61]
8
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Pertanyaan Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib dalam banyak tempat bersumpah kepada masyarakat agar setiap orang yang hadir dalam peristiwa Al-Ghadir dan mendengar apa yang disampaikan Rasulullah saw hendaknya memberikan kesaksian. Seringkali banyak orang yang memberikan kesaksian dan mengatakan, "Kami mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Barangsiapa yang aku adalah tuannya maka Ali adalah tuannya."
Di antara pertanyaan yang dikemukakan Ali adalah pada hari Syura, di zaman Usman bin Affan, di hari Rahabah, di Kufah, pada peristiwa Perang Jamal, Perang Shiffin, dalam hadis ar-Rakban, dan setiap kali beberapa kelompok memberikan kesaksian. Pada hari Rahabah, 24 orang memberikan kesaksian. Di antara mereka adalah nama-nama sebagai berikut.
1. Abu Zainab bin Auf Anshari
2. Abu Imrah bin Amer bin Muhshin Anshari.
3. Abu Fadzalah al-Anshari.
4. Abu Qadamah Anshari.
5. Abu Ya'li Anshari.
6. Abu Hurairah Dusi.
7. Abu Haitsam Baihan.
8. Tsabit bin Wadiah Anshari.
9. Habasyi bin Janadah Saluli.
10. Abu Ayyub Khalid Anshari.
11. Khuzaimah bin Tsabit Anshari.
12. Abu Syuraih Khuwailid bin Amer al-Khazai.
13. Zaid atau Yazid bin Syarahil Anshari.
14. Sahal bin Hanif Anshari.
15. Abu Said Sa'ad bin Malik Khudri.
16. Abu al-Abbas Sahal bin Sa'ad al-Anshari.
17. Amir bin Laili Ghaffari.
18. Abdurrahman bin Abdurrabb-Anshari.
19. Abdullah bin Tsabit Anshari (pembantu Rasulullah saw).
20. Ubaid bin Azib Anshari.
21. Abu Tharif Udai bin Hatim.
22. Aqabah bin Amir Jahani.
23. Najiyah bin Amer Khazai.
24. Nu'man bin Ajlan Anshari.[62]
Argumentasi Hadis Ghadir senantiasa menjadi sandaran dan argumentasi Imam Ali bin Abi Thalib, Ahlulbait, dan para pendukungnya. Fatimah Zahra mengatakan, "Apakah kalian melupakan ucapan Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum, "Barangsiapa yang aku maula-nya maka Ali adalah maula-nya," dan ucapannya bahwa, "Engkau di hadapanku memiliki kedudukan Harun di hadapan Musa as."[63]
Imam Hasan mengatakan, "Umat ini mendengar apa yang dikatakan kakekku mengenai ayahku, "Engkau kepadaku seperti Harun terhadap Musa, melainkan setelahku, tidak akan datang nabi," dan dalam Ghadir Khum, ia mengambil tanganku dan mengatakan, "Barangsiapa yang aku tuannya maka Ali adalah tuannya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali." [64]
Imam Husain di Mekkah mengatakan, "Aku sumpah kalian atas nama Allah! Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw melantiknya (Ali) pada hari Ghadir Khum dan memanggilnya dengan wilayah seraya mengatakan, "Hendaknya yang menyaksikan ini menyampaikannya kepada yang tidak hadir?" Mereka mengatakan, "Allahumma na'am" 'Ya Allah itu benar'. [65]
Dalam kaitan ini, Abdullah bin Ja'far, Amer bin Ashi, Ashbugh bin Nabatah, Qays bin Sa'ad, Bir Muawiyah, Barad dan Ammar bin Yasir, dan Bir Umar bin Ash ber-ihtijaj (berargumen dengan ini)." [66]
Kandungan Hadis Rasulullah saw dalam khutbah ini mengatakan, "Tampaknya aku telah dipanggil menuju perjalanan akhirat dan aku menerimanya. Dua sesuatu yang sangat penting dan berharga akan aku amanahkan kepada kalian. Salah satunya tidak lebih berharga dari satunya. Dua sesuatu itu adalah Kitab Allah dan keluargaku. Jagalah, dengan baik, sepeninggalku sikap kalian terhadap dua pusaka itu! Sesungguhnya dua perkara itu tidak akan berpisah hingga hari kiamat." [67]
Rasulullah saw dalam lembaran khutbah ini menyifati al-Quran dan keluarganya kepada umat Islam sebagai dua hal yang sangat berharga dan mulia dan mengatakan, "Aku amanahkan dua perkara ini kepada kalian. Jagalah dua pusaka mulia ini dan berupayalah menjaga dua pusaka mulia ini sebaik-baiknya."
Al-Quran Nasehat Rasulullah saw pada saat yang sangat sensitif tersebut bukanlah suatu basa-basi. Itu adalah nasehat resmi. Rasulullah saw tidak ingin menasehati umat Islam agar mencetak al-Quran dengan baik dan menyimpannya di rumah serta menghormatinya atau adakalanya membacanya dengan suara yang baik. Al-Quran tidak diturunkan dengan tujuan tersebut. Akan tetapi, al-Quran adalah kitab petunjuk dan program hidup yang didatangkan agar, dengan kandungannya yang kaya dan bercahaya, menyelamatkan manusia dari kegelapan dan kesesatan serta membawanya ke alam cahaya dan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.
Al-Quran adalah sumber ilmu agama yang paling besar dan muktabar, yang diturunkan kekal untuk selamanya. Ia di sepanjang sejarah, semua masa, dan tempat memberikan manusia petunjuk. Maka dari itu, haruslah dikatakan bahwa Rasulullah saw, pada saat yang begitu peka, ingin mengenalkan al-Quran sebagai satu marja' atau sumber ilmu dan agama yang muktabar kepada manusia agar mereka merujukkan berbagai kesulitan kepada al-Quran dan mengambil manfaat darinya. Rasulullah saw juga menghendaki agar manusia mengejar tujuan-tujuan Qurani dan berupaya untuk mengaplikasinnya. Rasulullah saw mengaharapkan perangai seperti ini dari umatnya.
Itrah dan Marjaiyah Ilmiyah Manusia Maksud dari itrah adalah Ahlulbait yang -sebelumnya telah dibahas, memiliki maqom ishmah dan ilmu mereka telah terbuktikan. Rasulullah saw menyerahkan ilmu dan makrifah kepada Ali bin Abi Thalib. Melalui Ali, Rasulullah memindahkannya kepada para imam suci lainnya. Jadi, itrah merupakan para pembawa ilmu nubuwah. Apabila -dalam khutbah ini dan hadis-hadis lainnya, terhadap mereka telah diperintahkan kecintaan, itu dikarenakan keistimewaan mereka karena mereka adalah pemegang ilmu agama dan telah diwasiatkan kepada umat agar menerima mereka sebagai marja' yang muktabar dan orisinal serta memanfaatkan wujud mereka. Maksud Rasulullah saw dari semua pesan dan anjuran yang berkali-kali ia sampaikan tersebut bukanlah agar manusia memuliakan mereka, berbuat baik terhadap mereka, atau menampakkan kecintaan secara formalitas dan lahiriah.
Apabila al-Quran menyuruh kita untuk mencintai dzal qurba dan berbuat baik kepada Ahlulbait, itu dimaksudkan agar kita mengikuti dan menerima marjaiyah ilmu mereka. Perlu diterimanya mar'jaiyah diniyah Ahlulbait bukanlah terbatas kepada orang-orang yang menerima kepemimpinan mereka melainkan dari semua Muslim. Mereka dikehendaki agar dalam mengambil ilmu agama merujuk kepada Ahlulbait. Bahkan orang-orang yang tidak menerima imamah mereka karena kejahilan atau alasan lain berkewajiban untuk mengambil ilmu agama dari Ahlulbait.
Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, "Al-Quran dan itrah tidak akan berpisah hingga hari kiamat." Artinya, tidak ada yang dapat mengatakan bahwa Hasbuna Kitab Allah dan kemudian menghapuskan itrah dari kepemimpinan agama atau mengatakan kecintaan kepada Ahlulbait tetapi dalam praktiknya, mereka tidak mengamalkan al-Quran.
Makna ini diperoleh dengan memperhatikan kalimat yang terdapat dalam riwayat yang disabdakan Rasulullah saw, " Selagi kalian berpegangan dengan kedua pusaka (al-Quran dan Ahlulbait), maka kalian tidak akan sesat sepeninggalku untuk selama-lamanya."
Rasulullah saw sepanjang hidupnya berkali-kali menjelaskan kedudukan ilmiah Ahlulbait kepada para sahabatnya dan memikat perhatian umat kepada mereka. Dalam khutbah Ghadir yang penting dan bersejarah, juga diwasiatkan makna ini.
Tafsir Maula Bagian khutbah Ghadir yang paling penting adalah kalimat, "Barangsiapa yang aku adalah tuannnya maka Ali adalah maula-nya." Kalimat tersebut dengan sedikit perbedaan disepakati terdapat dalam semua teks hadis Ghadir. Keluarnya kalimat ini dari lisan Rasulullah saw disepakati oleh Syiah dan Ahlus Sunnah. Namun, dalam isi dan kandungannya, terdapat perbedaan. Syiah memandang kalimat itu sebagai dalil atas khilafah, imamah, dan wilayah Imam Ali as. Namun, Ahlus Sunnah menolak pendapat ini.
Sumber perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam penafsiran kata maula. Ahlus Sunnah menafsirkan maula dengan arti 'pecinta dan penolong'. Namun, Syiah menafsirkannya dengan makna 'lebih utama untuk berkuasa'. Dalam kaitannya dengan hal ini, telah terjadi banyak pembahasan, perdebatan, serta argumen antara dua kelompok. Semuanya tercatat dalam kitab-kitab kalam.
Pertama, di sini kami akan menyinggung maula dengan berbagai maknanya dan kemudian akan mengkritisi dan mengkaji semua itu.
Penulis kitab al-Ghadir menyebutkan secara keseluruhan terdapat 27 makna dari kata maula dengan urutan sebagai berikut.
1. ar-Rab: Tuhan
2. al-'Am: paman
3. Ibn al-'Am: anak paman
4. al-Ibn: anak lelaki
5. Ibn al-Ukhtu: putra saudari perempuan
6. al-Mu'tiq: (pembebas)
7. al-Mu'taq: (yang dibebaskan)
8. al-Abd: (hamba)
9. al-Malik: (raja)
10. at-Tabi': (pengikut)
11. al-Mun'im alaihi (yang diberi kenikmatan).
12. asy-Syarik
13. al-Halif (sekutu)
14. ash-Shahib (penyerta)
15. al- Jar (tetangga)
16. an-Nazil (tetamu yang datang)
17. ash-Shihru (keluarga suami)
18. al-Qarib (yang dekat)
19. al-Mun'im (pemberi nikmat)
20. al-Aqid (mitra kontrak)
21. al-Wali (pengasuh atau pengayom)
22. al-Aula bi-a syai (yang lebih layak)
23. as-Sayyid (besar)
24. al-Muhib (yang mencintai)
25. an-Nashir (penolong)
26. al-Mutasharrif fil Amri (yang melibatkan diri dalam suatu pekerjaan)
27. al-Mutawalli fil Amri (penanggung jawab suatu pekerjaan).[68]
Dengan sedikit ketelitian, maka akan menjadi jelas, bahwa maula dalam hadis Ghadir tidaklah berkesesuaian dengan satu pun makna di atas, dari yang pertama hingga yang kedua puluh, dan tidak dapat ditafsirkan dengan itu karena kelaziman makna pertama adalah syirik dan ia tidak dapat dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Rabbul Alamin hanyalah Allah dan selain-Nya tidak ada Tuhan.
Makna nomor tujuh, delapan, dan dua belas juga tidak sesuai karena Rasulullah saw bukanlah budak yang telah dibebaskan dan bukan hamba. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah memiliki mitra.
Di lain nomor (sisanya) hingga nomor ke-21, meskipun pada pandangan awalnya dapatlah maula itu ditafsirkan dengan salah satu maknanya, tidak akan ada talazum 'pelaziman' antara Rasulullah saw dan Imam Ali, misalnya bilamana Rasulullah adalah paman seseorang, belum tentu Ali juga paman orang tersebut. Makna-makna lainnya juga seperti ini.
Sisa makna dari nomor ke-21 hingga 27, di awal pandangannya, bisa masuk. Masyarakat Ahlus Sunnah memilih makna yang ke-24 dan ke-25 di antara tujuh jenis makna. Maka, maula dalam hadis ini diartikan sebagai 'cinta atau penolong'. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw hendak mengenalkan Ali sebagai pecinta atau penolong masyarakat dan mengatakan, "Barangsiapa yang aku adalah pecintanya dan penolongnya maka Ali juga demikian. Jadi, terimalah dia sebagai teman dan bantulah dia!"
Dengan sedikit ketelitian, maka akan menjadi jelas bahwa kemungkinan yang disebutkan tadi bukanlah suatu ucapan yang berfaedah dan dapat diterima. apakah maksud Rasulullah saw mengucapkan kalimat tadi? Apakah beliau hanya ingin mengatakan, "Wahai manusia! Ketahuilah barangsiapa yang aku adalah yang dicintainya maka Ali juga yang dicintainya?" Apakah ucapan seperti ini memiliki nilai hingga Rasulullah saw harus menyampaikannya dalam udara yang sangat panas dan membakar. Dengan penekanan yang begitu besar, Rasulullah mengumpulkan banyak kafilah haji di telaga Khum, membacakan khutbah, dan mengatakan, "Wahai manusia! Barangsiapa yang aku dicintainya maka Ali juga yang dicintainya?" Apakah pengucapan kalimat ini sedemikian penting hingga ayat ini diturunkan, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya, Allah memelihara kamu dari gangguan manusia, Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang kafir.[69]
Dengan kemungkinan seperti ini, mengapa keluar seruan Rasulullah saw agar masyarakat mengucapkan selamat kepada Ali as? Umar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu al-Fida', setelah khutbah ini, menemui Ali dan mengatakan, "Selamat atasmu wahai Ali! Engkau telah menjadi maula setiap orang mukmin dan mukminah."[70]
Apakah Umar mengucapkan selamat karena Ali adalah yang dicintai dan ditolong oleh Rasulullah dan umat Islam? Apakah ucapan semacam ini dapat dinisbatkan kepada Rasulullah saw? Imam Ali as dan anak-anak beliau serta para sahabatnya berbangga dan berargumen dengan ucapan Rasulullah saw, "Man kuntu maula faaliyyun maula." Lalu, apakah dicintai dan ditolong oleh mukmin merupakan sebuah keutamaan dan kebanggaan dan hal itu dapat menjadi alasan atau bukti bagi ke-imamah-an Imam Ali as? Bila tujuan Rasulullah saw menyampaikan ucapan ini adalah sebuah pesan dan anjuran agar manusia mencintai Ali, kalimat tersebut tidak menyampaikan maksud itu, melainkan beliau harus mengatakan, "Man kuntu mahbubahu faaliyyun mahbubahu," atau "Man ahabbani fal yuhhibbu aliyyan."
Umat Syiah menafsirkan maula dengan makna 'aula bittasharruf' yang berarti 'kepemimpinan agama dan imamah. Salah satu bukti klaim ini adalah ucapan Rasulullah saw yang mengatakan, "Alastu aula bikum min anfusikum." Ucapan tersebut adalah sebuah isyarat terhadap ayat, "Annabiyu aula bilmukminin min anfusihim."[71] Rasulullah saw lebih utama terhadap diri orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.
Pada ayat tersebut, telah dikatakan bahwa Rasulullah saw, dalam menunaikan urusan sosial, adalah lebih utama daripada mereka. Inilah makna kekuasaan Ilahi Ali dan imamah. Oleh karena itulah, Rasulullah saw dalam khutbah ini bersabda dengan kalimat, "Man kuntu maula faaliyyun maula." Beliau melantik Ali sebagai imam dan hakim Ilahi. Dengan menerima tafsiran seperti ini, semua masalah terselesaikan. Pelantikan Imam Ali kepada maqom imam dan khalifah menemukan nilainya dalam penekanan Rasulullah terhadap ayat, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu mengerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan amanatnya, Allah memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[72]
Rasulullah, dalam menunaikan tanggung jawab penting seperti ini, mengumpulkan umat di telaga Khum dan di tengah udara yang membakar tersebut, beliau menyampaikan khutbah. Dengan menerima makna seperti ini, masalah baiat dan ucapan selamat para sahabat merupakan suatu hal yang benar dan masuk akal.
Setelah Rasulullah membacakan khutbah Ghadir, Zaid bin Arqam mengatakan, "Rasulullah saw menghendaki dari masyarakat untuk berbaiat kepada Ali." Di saat itulah, masyarakat mengatakan, "Kami mendengar dan mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya."
Orang yang pertama kali membaiat Rasulullah dan Ali adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Thalhah, dan Zubair. Setelah mereka, giliran kaum muhajirin dan Anshar yang membaiat dan acara baiat ini terus berlangsung hingga shalat Isya. [73]
Maka, dengan menerima makna semacam ini, turunnya ayat, Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatmu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu,[74] dapat diterima dan beralasan.
Abu Hurairah mengatakan, "Ayat tersebut diturunkan pada hari Ghadir dan setelah ucapan Rasulullah saw, "Man kuntu maulahu faaliyyun maulahu." Di saat itulah, Rasulullah saw bersabda, "Allah Mahabesar atas penyempurnaan agama, nikmat serta keridhaan-Nya terhadap risalahku dan wilayah Ali setelahku." [75]
Dengan menerima makna seperti ini, maka pendeklarasian dan argumentasi Ali di berbagai kesempatan untuk membuktikan wilayah dan imamah-nya adalah sangat beralasan.
Imam Ali bin Abi Thalib mengingatkan masyarakat di desa Rahabah dengan mengatakan, "Barangsiapa yang hadir di telaga Khum dan mendengarkan khutbah Rasulullah saw hendaknya berdiri dan bersaksi." Kemudian sebanyak dua belas orang berdiri dan berkata, "Kami mendengar Rasulullah saw bersabda, "Man kuntu maulahu faaliyyun maulahu." [76]
Sekiranya maula diinterpretasikan dengan makna yang pertama, yaitu 'lebih utama untuk menguasai' dan 'sebagai hakim dan imam', niscaya penunjukkan yang disebutkan dalam sejumlah hadis akan menemukan maknanya.
Imam Ali as di hari Syura mengatakan, "Aku sumpah kalian atas nama Allah! Adakah di antara kalian yang ditunjuk oleh Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum untuk menduduki wilayah selain aku?" Mereka mengetakan, "Allhumma la 'demi Allah tidak'." [77]
Imam Husain as dua tahun sebelum kematian Muawiyah berkhutbah di Mekkah dan di dalam khutbahnya itu, beliau mengatakan, "Aku sumpah kalian atas nama Allah! Apakah kalian mengetahui bahwasannya Rasulullah saw telah menetapkan Ali pada hari Ghadir Khum dan menganugerahinya dengan wilayah dan mengatakan, "Yang hadir dan menyaksikan hendaknya menyampaikannya kepada yang gaib (tidak hadir)?" Mereka mengatakan, "Allahumma na'am." [78]
Apabila maula kita artikan dengan 'imam dan hakim', penunjukkan itu akan menemukan maknanya. Hal ini berbeda kalau diartikan dengan 'yang dicintai dan ditolong'. Bagaimana mungkin Rasulullah saw menunjuk Imam Ali as sebagai yang dicintai dan yang ditolong? Masyarakat Syiah, dengan menimbang qarinah seperti ini, mengartikan kata maula dalam hadis Ghadir dengan makna 'lebih utama dalam menguasai', yakni sebagai imam dan hakim Ilahi. Mereka berkeyakinan bahwa Rasulullah saw di dalam perkumpulan besar itu telah menunjuk Imam Ali as secara resmi sebagai imam dan mengenalkannya kepada masyarakat.
Di bagian akhir, kiranya hal ini perlu diingatkan, bahwa meskipun ulama Syiah bersikeras menafsirkan kata maula dalam hadis ini dengan makna 'yang lebih utama menguasai', kelihatannya penafsiran ini tidaklah perlu. Bahkan kalau sekiranya diartikan dengan makna yang lain, seperti al-wali 'yang berkuasa dalam urusan' atau 'al-mutawwali dalam urusan', tetap akan diperoleh hasil yang diinginkan.
Dalam menjelaskan pokok persoalan bahwa kata maula dan mustaqqat atau cabang-cabang lainnya yang seperti itu adalah berasal dari asal kata wala yalihi. Asal kalimat ini adalah dengan artian dekat dan berada dalam posisi berdekatan dan berdampingan.
Adakalanya, berada dalam posisi berdampingan bermaksud untuk membantu dan mengurusi urusan yang berkaitan dengan seseorang atau sesuatu lainnya. Dalam memahami makna ini, digunakan kalimat wilayah dan mustaq-mustaq-nya.
Dalam kaitan ini dan dengan makna yang sama, disebutkan wali perempuan, wali anak kecil, wali anak yatim, wali anak-anak, wali orang yang gila, dan wali yang, misalnya, berhubungan dengan wilayah, yang dalam menunaikan urusannya memerlukan orang lain di sampingnya. Adakalanya juga lingkaran wilayah yang lebih luas, seperti wali negeri, propinsi, wali umat, atau wali Muslimin. Dalam kaitan ini, wali atau wali urusan sosial yang berkaitan dengan masyarakat sebuah kota atau propinsi atau umat.
Dalam mustaqqat wilayah, pada dasarnya, makna kinayah-nya yang dimaksud adalah pengasuhan dan pengelolaan yang bukan maknanya yang asli atau substansial.
Ucapan yang sama juga dapat disebutkan dalam tafsiran kata maula. Maula berbentuk muf'al atau nomina yang menunjukkan waktu dan tempat (nomina zaman dan tempat). Maknanya adalah kedudukan atau maqom wilayah. Untuk itulah, Rasulullah saw bertanggung jawab melangsungkan urusan sosial masyarakat dan pada khutbah Ghadir Khum, melantik Imam Ali sebagai imam dan mengenalkannya kepada mereka.
Oleh karena itu, tidaklah perlu kita menafsirkan maula dengan makna 'yang lebih utama menguasai' melainkan dapat tetap dalam maknanya yang asli. Di saat yang sama, ia mencakup tujuan Rasulullah saw menunjuk Ali sebagai imam pemerintahan Islam. Hakim dan imam dikatakan sebagai maula karena berada dalam posisi sebagai pengatur urusan sosial masyarakat. Oleh karena itu, mereka lebih utama daripada yang lain.
9
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Menuju Madinah Setelah semalam berhenti di tanah suci Ghadir Khum, Rasulullah saw bersama Anwadah dan para peziarah Baitullah berangkat menuju Madinah. Rasulullah saw senang dapat menunaikan kewajiban ilahiahnya tanpa penentangan dan reaksi kaum munafik atas penunjukkan atau pelantikan Ali sebagai imam.
Namun, beberapa pemuka Quraisy yang berambisi terhadap khilafah Rasulullah saw begitu kecewa dengan perbuatan Rasulullah tersebut. Adakalanya mereka menunjukkan kebencian dan permusuhan di majelis-majelis khusus serta membicarakan secara bersama-sama kekecewaan mereka. Namun, mereka tidak berani menampakkan penentangannya secara terang-terangan.
Rasulullah saw mengetahui kemarahan dan dendam orang-orang munafik dan para pemuka Quraisy atas terbunuhnya keluarga dan kaum mereka di tangan Ali bin Abi Thalib. Melihat hal ini, Rasulullah saw selalu khawatir terhadap kemungkinan terjadinya konspirasi terhadap khilafah dan imamah Imam Ali as. Ali adalah hasil jerih payah Nabi saw.
Sepanjang risalahnya, Rasulullah menyimpan ilmu dan makrifah Islam di sisi Ali dengan harapan bahwa setelahnya, Imam Ali dapat melanjutkan misi-misinya dalam memberikan petunjuk kepada umat di jalan Islam yang hakiki dan orisinal menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Imam Ali as telah melakukan beberapa hal sebagai pendahuluan bagi rekomendasi Rasulullah saw. Namun, bagaimanapun Rasulullah sangat khawatir terhadap kemungkinan konspirasi para penentang, perpecahan umat, dan tersingkirkannya Ali dari kedudukan imam dan khalifah.
Kekhawatiran ini dapat dirasakan dari ucapan dan perilaku Rasulullah saw sejak masuknya beliau ke Madinah hingga detik-detik terakhir kehidupannya. Berkali-kali Rasulullah berpesan tentang Ahlulbait dan keluarganya serta mengingatkan masyarakat agar tidak masuk ke dalam konflik dan perpecahan. Beliau pun menunjukkan kecemasannya terhadap fitnah-fitnah yang terjadi.
Abu Muwaihibah, budak yang dibebaskan Rasulullah saw, mengatakan, "Di pertengahan malam, Rasulullah saw memanggilku dan mengatakan, "Aku diutus untuk pergi berziarah kepada orang-orang yang mati di Baqi' dan mendoakan mereka."
Lalu, bersama beliau, aku pergi ke Baqi' dan beliau mendoakan orang-orang yang telah mati seraya berkata, "Salamku atas kalian, orang-orang yang berada di dalam kubur! Tempat kalian berada adalah lebih mudah dan lebih baik daripada apa yang dihuni manusia yang masih hidup. Fitnah-fitnah seperti pecahan-pecahan kegelapan malam menghujam kami. Fitnah-fitnah datang silih berganti. Yang terakhir adalah lebih buruk dan lebih sulit daripada yang pertama."[79]
Makar Mulai Tersingkap Sejumlah pemuka Quraisy dan para pendukung khilafah memutuskan untuk menentang pesan-pesan Rasulullah saw yang berkaitan dengan khilafah dan wilayah Ali bin Abi Thalib serta Ahlulbait. Konspirasi ini bermula sejak sakitnya Rasulullah semakin parah.
Jenis penyakit Rasulullah tidaklah jelas. Namun, tulisan-tulisan yang ada mengindikasikan adanya demam dan sakit kepala yang serius.
Dengan datangnya sakit, kekhawatiran Rasulullah saw semakin meningkat. Kekhawatiran Rasulullah bukanlah terhadap kematian dan pertemuan dengan Allah swt melainkan terhadap perpecahan umat dan fitnah yang ada di depan jalan.
Muslim dalam Shahih-nya menukil dari Ibn Abbas mengatakan, "Tatkala Rasulullah saw berada di saat-saat terakhir hidupnya, di rumah beliau, ada beberapa orang, termasuk Umar bin Khattab. Saat itu, Rasulullah bersabda, "Bawakanlah pena dan kertas agar aku dapat menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga nantinya kalian tidak tersesat dan jatuh ke lembah kesalahan." Umar berkata, "Rasulullah mengucapkan hal itu karena sakit yang begitu berat! Kita memiliki al-Quran dan itu sudah mencukupi maksudnya sehingga kita tidak lagi memerlukan tulisan Rasulullah saw."
Di saat itu, terjadi peselisihan pendapat di antara hadirin. Sebagian mengatakan, "Marilah kita bawakan pena dan kertas agar Rasulullah dapat menuliskan sesuatu untuk kita." Sebagiannya cenderung kepada pendapat Umar.
Ketika perselisihan memuncak, Rasulullah saw bersabda, "Pergilah dari sisiku!" [80]
Dalam Shahih-nya Muslim dari Ibn Abbas mengatakan, "Hari Kamis! Hari kamis, hari apa itu! Dalam keadaan seperti itu, Ibn Abbas meneteskan air mata dan mengatakan, "Rasulullah saw berkata, "Bawakanlah pena dan kertas untukku agar aku tuliskan sesuatu untuk kalian yang nantinya kalian tidak akan tersesat." Kemudian mereka berkata, "Rasulullah saw mengigau." [81]
Ibn Abil Hadid menukil pernyataan Ibn Abbas yang mengatakan, "Di masa bermulanya khilafah Umar, aku menjumpainya. Ia berkata kepadaku, "Apakah anak pamanmu (Ali) berprasangka bahwa Rasulullah saw telah menjelaskan imamah-nya?" Aku berkata, "Ia meyakini itu." Aku katakan hal yang lebih daripada itu. Aku menanyakan persoalan ini kepada ayahku. Ia menjawab, "Ali berkata benar. Kemudian Umar berkata, "Benar! Rasulullah pernah membicarakan hal itu.
Namun, beliau tidak menemukan hujjah dan masih terdapat uzur. Dari itulah, Rasulullah saw menantikan momentum untuk mengukuhkannya. Di masa sakitnya, Rasulullah memutuskan untuk menjelaskan namanya. Namun, aku (Umar), didorong oleh keprihatinan dan untuk menjaga Islam, mencegah maksud Rasulullah itu. Bahkan demi Allah! Quraisy tidak akan mematuhi imamah dan khilafah Ali. Bila Ali ditunjuk sebagai imam, maka orang-orang Arab akan berusaha melanggarnya. Kemudian Rasulullah saw memahami bahwa aku memahami maksud beliau. Kemudian Rasulullah membatalkan pelantikan Ali as. Allah melaksanakan segala apa yang dikehendaki-Nya."[82]
Syaikh Mufid menulis, "Rasulullah saw di masa sakitnya mengatakan, "Bawakanlah untukku pena dan kertas agar aku tuliskan kitab yang sepeninggalku nanti kalian tidak akan pernah tersesat. Rasulullah mengatakan hal itu dan kemudian pingsan. Kemudian hadirin bangun untuk membawakan kertas dan pena. Umar berkata, "Kembalilah! Rasulullah mengigau!" Kemudian lelaki itu kembali.
Para hadirin setelah itu menyesali keterlambatan dan kesalahan mereka karena tidak membawakan Rasulullah pena dan kertas serta mengutuk diri mereka sendiri dan berkata, "Inna lillah wa inna ilaihi rajiun! Kami khawatir akan penentangan terhadap Rasulullah saw."
Tatkala Rasulullah saw sadar, merela berkata, "Apakah kini kita bawakan kertas dan pena." Rasulullah berkata, "Apakah setelah kalian mengatakan seperti tu, kini kalian hendak membawakan kertas dan pena. Tidak! Namun, aku akan mewasiatkan kepada kalian tentang Ahlulbaitku." [83]
Umar dengan mengatakan kalimat sesungguhnya dia mengigau telah menjalankan siasatnya. Dari satu sisi, ia telah mencegah tersampaikannya wasiat sensitif Rasulullah saw dan di sisi lain, Rasulullah saw yang dijamin oleh Allah dengan, Tidak berbicara dari hawa nafsu, dituding telah mengigau! Maka, adalah jelas bahwa setelah tudingan biadab seperti itu, wasiat Rasulullah saw tidak lagi menguntungkan karena mereka akan mengatakan wasiat itu dikeluarkan dalam keadaan mengigau. Oleh karena itulah, Rasulullah tidak melihat jalan lain kecuali di detik-detik terakhir hidupnya, mengulangi pesan-pesannya untuk kesekian kalinya tentang Ahlulbait dan itrah. Namun, perhatikanlah bagaimana sikap mereka (Umar dan kawan-kawan) terhadap kasus yang serupa.
Ibn Abil Hadid menulis, "Tatkala sedang menanti ajalnya, Abu Bakar berkata kepada Usman, "Tulislah! Ini adalah suatu perjanjian dari Abdullah bin Usman, di saat-saat akhirnya untim berpisah dengan dunia dan zaman yang pertama untuk masuk ke akhirat, di ham jam yang manusia fajir menyesali, dan kafir menyatakan kesialamam.
Dalam keadaan yang seperti itu, Abu Bakar pingsan. Kemudian penulis, pada saat itu, menulis nama Umar bin Khattab.
Ketika siuman, Abu Bakar berkata kepada penulis (Usman), "Apakah yang engkau tulis? Bacakanlah untukku!"
Penulis membacakan apa yang disebutkan Abu bakar dengan ditambah nama Umar. Abu bakar berkata, "Aku tidak menyebutkan nama Umar. Atas dasar apa engkau menulis itu?" Penulis berkata, "Aku berpikir bahwa dalam menentukan khalifah, engkau pastilah memilih Umar!" Abu Bakar membenarkan penulis dan berkata, "Engkau melakukan hal yang benar." [84]
Bermulanya Fitnah Sebagaimana telah disebutkan bahwa Rasulullah saw di akhir usianya, khususnya setelah haji terakhir, senantiasa menyatakan kekhawatirannya terhadap fitnah yang bergerak secara beruntutan seperti gumpalan-gumpalan awan hitam di kegelapan malam. Sayangnya, setelah wafat Rasulullah saw, kesan fitnah itu langsung tampak.
Fitnah yang paling besar, yakni fitnah penentuan khalifah datang di saat jenazah Rasulullah saw belum dikebumikan dan keluarganya sedang sibuk melakukan takziyah serta mempersiapkan pengafanan dan penguburannya.
Di masa yang begitu sensitif dan menyedihkan itu, Umar bin Khattab, Abu Bakar, dan Abu Ubaidah bin Jarroh, tanpa memberitahu keluarga Rasulullah saw dan Bani Hasyim, keluar dari rumah Rasulullah saw dan dengan begitu cepat mereka bergerak menuju ke Saqifah Bani Sa'adah. Di saat itu dan mungkin lebih cepat daripada itu, beberapa Anshar berkumpul di Saqifah dan pembesar Anshar, Sa'ad bin Ubadah yang tengah sakit, adalah di antara yang hadir di Saqifah. Tidak beberapa lama kemudian, beberapa Muhajirin bergabung dengan mereka, diantaranya adalah Mu'az bin Jabal, Usaid bin Hudhair, Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, dan Mughirah bin Sya'bah.
Orang dari Bani Hasyim, Bani Umayah, Ashab-Bader dan Muhajirin yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) tidak ada yang hadir. Salman Farisi, Ammar bin Yasir, Miqdad, Thalhah, Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, dan orang-orang yang lain tidak hadir.
Setelah sedikit perbincangan dan perundingan, jelas sudah bahwa maksud dari perkumpulan ini adalah untuk menentukan khalifah. Dalam pembahasan tersebut, tidak disinggung tentang siapakah yang di mata Rasulullah layak untuk menjadi khalifah dan apa yang dikatakan Rasulullah saw tentang hal ini. Akan tetapi, majelis tersebut lebih mirip dengan sebuah pentas perlombaan untuk menduduki kursi khalifah dan menyingkirkan para pesaing mereka. Para jago pentas ini adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Ibn Jarroh dari Muhajirin.
Di sisi lain, pesaing mereka adalah Sa'ad bin Ubadah dari Anshar. Pembahasan utamanya adalah apakah Muhajirin yang lebih layak untuk menjadi khalifah ataukah Anshar? Para pemuka dari kedua kubu itu adalah Abu Bakar dan Sa'ad bin Ubadah. Keduanya bepidato kepada hadirin dan menyebut-nyebut kelebihan mereka. Perselisihan dan persengketaan semakin mencapai puncaknya.
Di saat seperti itulah, Abu Bakar menjadi penengah dan berkata kepada hadirin, "Kini, Umar dan Abu Ubaidah siap untuk kursi khilafah. Berbaiatlah kepada mereka yang engkau kehendaki. Umar dan Abu Ubaidah langsung mengatakan, "Demi Allah! Kami tidak menerima urusan khilafah dalam keadaan engkau adalah Muhajirin yang paling mulia dan khalifah Rasulullah saw dalam shalat jamaah. Berikan tanganmu untuk aku berbaiat kepadamu!"
Abu Bakar langsung membuka tangannya untuk dibaiat dan di saat itu, Basyir bin Sa'ad mendahului kedua orang itu dan berbaiat kepada Abu Bakar.[85] Ibn Abil Hadid dalam nukilan lainnya menulis, "Tatkala mengambil tangan Umar dan Abu Ubaidah, Abu Bakar mengatakan kepada manusia, "Aku rela dengan khilafah salah satu di antara kedua orang ini bagi kalian." Abu Ubaidah kepada Umar berkata, "Berikan tanganmu untuk aku baiat." Umar berkata, "Engkau melakukan kesalahan yang paling besar dan tidak ada yang lebih besar daripada yang engkau lakukan! Bagaimana engkau mengatakan itu sementara Abu bakar hadir?"
Kemudian, ia berkata kepada masyarakat, "Siapakah yang siap mendahului langkah-langkah yang oleh Rasulullah saw dahulukan? Rasulullah saw merelakan engkau untuk menjadi pemuka (imam shalat) kami. Apakah kami tidak akan menjadikan engkau sebagai pemimpin dunia kami?" Lantas, ia mengambil tangan Abu bakar dan membaiatnya."[86]
Dengan cara seperti ini, tahapan baiat yang pertama berlangsung dengan persahabatan antara Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah sehingga seolah-olah selain dari ketiga orang ini, tidak ada orang lain yang layak menjadi khalifah.
Setelah itu, kaum Muhajirin dan Anshar dihadapkan pada sebuah tindakan yang telah dilakukan dan mereka tidak memiliki jalan lain kecuali berbaiat. Di saat itulah, Umar mengatakan kepada masyarakat yang hadir, "Khalifah Rasulullah saw telah diketahui! Apalagi yang kalian nantikan? Cepatlah berbaiat! Kaum Muhajirin supaya tidak ketinggalan berebut membaiat Abu Bakar sehingga Sa'ad bin Ubadah Anshari yang sedang dalam keadaan sakit dan tidur di sebuah sudut hampir saja meninggal karena saking berdesakannya manusia. Di saat itulah, salah seorang hadirin berkata, "Mengapa kalian tergesa-gesa? Kalian hampir membunuh Sa'ad." Umar menjawab, "Bunuhlah dia semoga Allah membunuhnya." [87]
Dalam keadaan seperti ini, kaum Muhajirin yang hadir di Saqifah membaiat Abu Bakar. Tahap kedua baiat berlangsung lancar dan sukses.
Namun, Anshar menolak berbaiat kepada Abu Bakar dan berkata, "Kami hanya akan membaiat Ali."[88]
Pada tahap ketiga, Abu bakar harus pergi ke masjid agar dibaiat umat secara umum. Namun, ia harus sedikit bersabar sampai kabilah atau suku Aslam tiba di masjid dan landasan untuk baiat terwujud dengan lebih baik. Ketika berita mengatakan bahwa suku Aslam sedang bergerak menuju Masjid, mereka yakin menang. Umar berkata, "Ketika menyaksikan suku Aslam, aku meyakini kemenangan." [89]
Suku Aslam pergi ke masjid dan membaiat Abu Bakar. Dengan baiat mereka, posisi Abu Bakar semakin kukuh dan manusia yang lain pun membaiatnya. Sejarah menyatakan bahwa Umar dalam peristiwa Saqifah memainkan peranan yang penting.
Ibn Abil Hadid mengatakan, "Umar adalah orang yang mengukuhkan baiat kepada Abu bakar, menumpas para penentangnya, memecahkan pedang Zubair, dan memukul dada Miqdad serta menginjak-injak Sa'ad bin Ubadah di Saqifah. Ialah yang mengatakan, "Bunuhlah dia karena Allah membunuhnya!" Umar jugalah yang menundukkan hidung Habab bin Mundzir dan mengancam untuk membakar Bani Hasyim yang berlindung di rumah Fatimah serta mengeluarkan mereka dari rumah itu. Oleh karena itu, sekiranya tidak ada upaya Umar, maka baiat kepada Abu Bakar tidak akan kukuh." [90]
Demikianlah adanya. Semua tindakan itu berlangsung dengan cepat dan tergesa gesa. Yang menarik adalah Umar sendiri di kemudian hari mengakui bahwa baiat kepada Abu Bakar berlangsung dengan cepat tanpa musyawarah.
Ibn Abil Hadid menulis, "Di dalam sebuah khutbah di Madinah, Umar berkata, "Aku mendengar seseorang berkata, "Sekiranya Umar meninggal, maka aku membaiat Ali." Janganlah sombong orang yang berkata, "Sesungguhnya baiat kepada Abu Bakar itu tergesa gesa tetapi Allah menjaga keburukannya." [91] Ibn Abil Hadid menulis, "Yang menyampaikan ucapan tersebut adalah Ammar bin Yasir yang berkata, "Apabila Umar meninggal, aku akan berbaiat kepada Ali."
Di sini, Ibn Abil Hadid membahas secara terperinci makna fitnah dan berkata, "Meskipun diartikan dengan manka 'kesalahan atau ketergelinciran' tetapi di sini diartikan dengan manka baghtah 'ketergesa-gesaan'."[92]
Perlu diingatkan di sini bahwa pada peristiwa Saqifah, banyak sekali kelompok dari Muhajirin dan Anshar yang menolak untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Beberapa orang berikut ini adalah di antara mereka yang menolak untuk berbaiat: Ali bin Abi Thalib, semua Bani Hasyim, Zubair bin Awwam, Abu Sufyan bin Harb, Khalid bin Ash, Abbas bin Abdul Muthalib dan anak-anaknya, serta Abu Sufyan bin Abdul Muthalib."[93]
Dalam peristiwa Saqifah, beberapa hal di bawah ini perlu direnungkan:
1. Mengapa Umar, Abu Bakar, serta Abu Ubaidah, dalam keadaan jenazah Rasulullah saw berada di atas tanah, keluar dari rumah Rasulullah dan tergesa-gesa bergerak menuju Saqifah?
2. Apabila melihat bahwa penentuan khalifah itu perlu, lalu mengapa mereka tidak memberitahu tujuan mereka kepada Bani Hasyim dan umat Islam lainnya? Apakah mereka itu bukan muhrim?
3. Apakah mereka ingin memilih khalifah dengan musyawarah ataukah sebatas ingin mendudukkan salah seorang dari mereka di kursi khilafah. Apabila tujuannya adalah musyawarah, lalu mengapa tidak terlihat kesan seperti itu?
4. Mengapa dan apa yang terjadi sehingga pesan dan wasiat Rasulullah saw mengenai Ali dilupakan secara total dan nama Ali sama sekali tidak disebut? Anggaplah mereka tidak menerima nash yang terkait lalu apakah kemuliaan dan kesempurnaan zatiah Ali dapat dipungkiri? Apakah Ali bukan salah seorang dari sekian orang yang mungkin layak untuk menjabat khalifah setelah Rasulullah saw?
5. Apabila pemilihan khalifah harus berlangsung dengan musyawarah, lalu mengapa penentangan Anshar diabaikan sama sekali dan bahkan Umar dalam hubungan dengan Sa'ad bin Ubadah, pembesar Anshar, berkata. "Bunuhlah dia! Semoga Allah membunuhnya?"
6. Mengapa para pelaku pentas ini hanya terdiri dari Abu bakar, Umar, dan Abu Ubaidah sementara yang lainnya tidak hadir? Apakah selain dari ketiga orang ini, orang lain tidak layak menjabat khalifah?
7. Kehadiran Kabilah Aslam dan baiat mereka memainkan peranan penting dalam mendukung khilafah Abu bakar sehinggga Umar menantikan kedatangan mereka dan memandang kemenangan terakhirnya bergantung kepada kedatangan mereka. Dari mana Umar mengetahui bahwa mereka akan berbaiat kepada Abu bakar? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa sebelumnya ia telah melakukan koordinasi dan konfirmasi dengan kepala kabilah ini?
8. Apakah kalian menganggap baiat semacam ini merupakan sebuah perkara biasa yang Abu Bakar pertama kali tanpa musyawarah berkata kepada hadirin, "Umar dan Abu Ubaidah layak untuk kursi khilafah. Berbaiatlah dengan salah seorang dari mereka yang kalian anggap layak." Kemudian Abu Ubaidah bekata kepada Umar, "Berikan tanganmu untuk aku baiat!" Lantas sebagai protes, Umar berkata kepada Abu Ubaidah, "Dalam keadaan Abu Bakar hadir, dan di masa Rasulullah saw sakit, Abu Bakar adalah imam shalat, lalu siapa yang dapat mendahului Abu Bakar?" Lantas Umar mengambil tangan Abu Bakar dan berbaiat kepadanya? Apakah mereka menentukan khalifah dengan cara seperti ini? Apakah kalian tidak melihat kemungkinan bahwa dalam hal ini, telah dilakukan koordinasi yang diperlukan sehinggga semuanya berlangsung dengan cepat dan sesuai dengan keinginan mereka. Setelah itu, Bani Hasyim pun dihadapkan pada sebuah pekerjaan yang sudah terjadi?
9. Adakah kalian tidak melihat kemungkinan bahwa peristiwa menyedihkan di Saqifah Bani Saidah berlangsung menyusul sakitnya Rasulullah saw dan bekaitan erat dengan pernyataan Rasulullah kepada hadirin, "Bawalah kertas dan pena untuk kutuliskan kepada kalian surat wasiat yang kalian tidak akan pernah tersesat." Lalu Umar berkata, "Sesungguhnya lelaki ini mengigau! Cukup bagi kita Kitab Allah!" Dengan cara seperti ini, ia mencegah wasiat Rasulullah saw. Apakah dua peristiwa ini dilatarbelakangi atau mengejar satu tujuan yang sama?"
Alasan Menyingkirkan Ali Umar bin Khattab mengatakan kepada Ibn Abbas, "Demi Allah! Sahabat dan temanmu (Ali bin Abi Thalib) adalah lebih layak daripada yang lainnya untuk menjabat sebagai khalifah setelah Rasulullah saw. Akan tetapi, aku mengkhawatirkan darinya dua perkara." Ibn Abbas berkata, "Wahai Amirul Mukminin! apakah dua perkara tersebut?" Ia menjawab, "Pertama, ia masih muda. Kedua, kecintaannya kepada anak-anak Abdul Muthalib."[94]
Ibn Abbas berkata, "Di malam Jabiyah, masyarakat berpisah dari sisi Umar dan setiap orang mendekat atau berakrab-akrab dengan sahabatnya. Aku, di malam itu, berada antara berjalan, berbicara dan berbincang-bincang dengan Umar. Umar mengadu kepadaku mengenai penentangan Ali terhadap baiat kepadanya. Aku bertanya, "Apakah dia (Ali) tidak memiliki uzur?" Umar berkata, "Benar! Ia memiliki uzur." Aku bertanya, "Apa uzur-nya?" Ia berkata, "Wahai Ibn Abbas! Abu Bakar adalah orang pertama yang melakukan kesalahan dalam menyerahkan khilafah kepada kami. Kaum kami tidak rela kalau khilafah dan nubuwwah bercampur di dalam diri kalian." Aku berkata, "Mengapa wahai Amirul Mukminin? Tidakkah kalian melihat kebaikan pada diri kami?" Umar berkata, "Mereka menyaksikan kebaikan tetapi apabila khilafah juga diserahkan kepada kalian, kalian akan berbangga dan sombong dengan itu."[95]
Ibn Abil Hadid menulis bahwa masyarakat keluar dari sisi Umar dan selanjutnya kembali ke sisi mereka seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Bilakah khalifah ditetapkan sekarang?" Ia berkata, "Aku memutuskan untuk memilih seseorang untuk menjadi khalifah, yang menuntun kalian berjalan di jalan yang benar." Dalam keadaan seperti itu, ia mengisyaratkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Di saat itu, aku seolah-olah tertutupi kabut keraguan dan lantas aku menyaksikan seorang lelaki yang memasuki kebun. Dia memetik dengan cepat buah-buahan yang sudah masak untuk dirinya dan mengumpulkannya. Kemudian aku takut di masa hidup dan matiku bahwa akulah yang menjadi penyebabnya." [96]
Demikianlah, menimbang keutamaan dan kesempurnaan Imam Ali serta pesan-pesan Rasulullah saw mengenainya, tidaklah dapat dipungkiri oleh siapa pun bahwa para "pahlawan pentas khilafah", pertama-tama, telah melupakannya dan tidak pernah menyinggung hal itu. Selanjutnya adakalanya mereka berhadapan dengan protes beberapa orang dalam menjustifikasi kekhilafahan mereka. Mereka berlindung di balik tiga alasan: pertama, bahwa Ali saat itu masih terlalu muda; kedua, Ali sangat mencintai anak-anak Abdul Muthalib; dan ketiga, masyarakat tidak senang menyaksikan nubuwah dan wilayah berkumpul di satu keluarga.
Hanya saja tidak satu alasan pun yang dapat diterima karena kriteria untuk khilafah dan wilayah adalah kesempurnaan dan kelayakan esensial di atas orang lain. Berdasarkan itulah, Rasulullah saw membimbing serta menjagokannya untuk maqom wilayah dan Rasulullah sendirilah yang telah menunjuk Ali sebagai wali dari sejak Ali masih belia. Berkumpulnya khilafah dan nubuwah sama sekali bukanlah masalah kecuali memang membangkitkan kedengkian terhadap Ahlulbait Nabi saw.
10
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Kesan Buruk Peristiwa Saqifah Peristiwa Saqifah yang menyedihkan merupakan fitnah paling besar yang kemudian disusul dengan fitnah-fitnah berikutnya dan kesan buruknya tetap melekat pada diri umat sepanjang sejarah hingga kini. Di antara kesan-kesan buruk itu, yang terpenting ialah sebagai berikut.
1. Pemerintahan suci Nabi dan imam telah diselewengkan dari jalur aslinya dan mengubahnya menjadi pemerintahan non-suci. Lebih lanjut, peristiwa itu menciptakan landasan bagi pemerintahan dinasti (warisan) dan pemerintahan-pemerintahan sekuler di sepanjang sejarah beserta imbas-imbas buruknya.
2. Dipisahkannya al-Quran dari Ahlulbait tentulah bertentangan dengan nash yang jelas dalam al-Quran.
3. Hukum, undang-undang politik, dan sosial Islam tidak terlaksana secara baik dengan dukungan ishmah. Akibatnya, tujuan-tujuan besar Rasulullah, seperti tauhid global, keadilan sosial, berkembangnya Islam di dunia dan kemenangan terhadap agama-agama lainnya tidak dapat dilanjutkan.
4. Terkucilnya itrah dan para penyimpan ilmu serta undang-undang Islam yang sejati dari maqom marjaiyah ilmy ditambah dengan berkuasanya logika yang salah, hasbuna Kitab Allah 'Cukuplah Kitab Allah'.
5. Perpecahan dan perselisihan di antara umat dan munculnya berbagai mazhab serta implikasi buruknya seperti perpecahan dan konflik mazhab, bahkan perang dan pertumpahan darah internal yang menyedihkan. Belum lagi terjadinya perpisahan dan buruksangka yang mengakibatkan lepasnya kekusaaan, keagungan, kewibawaan, dan kemuliaan Islam serta terbukanya pintu bagi berkuasanya kaum penjajah asing.
Bermulanya Kelahiran Syiah dan Sunnah Menurut ayat dan hadis yang banyak, Rasulullah saw adalah wajib ditaati.
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kalian. [97]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Kaum Muslim di awal Islam mengetahui bahwa perintah, larangan, dan konsep-konsep Rasulullah saw berasal dari wahyu. Oleh karena itu, mereka patuh di hadapan wahyu secara total dan memandang pelanggarannya sebagai dosa. Kewajiban untuk taat bukan hanya terbatas pada zaman Rasulullah saw. Namun sayangnya, tidaklah demikian, bahkan sepeninggal Rasulullah untuk yang pertama kalinya perintah suci ini dilangggar. Di Saqifah Bani Sa'idah, sejumlah sahabat secara terang-terangan melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginan Rasulullah karena menentukan khalifah yang tidak sesuai dengan nash Rasulullah.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa berkali-kali Rasulullah saw, termasuk di Ghadir Khum, mengenalkan keluarganya sebagai salah satu pusaka penting dan sebagai acuan yang kaya bersama al-Quran. Dalam hal ini, Rasulullah mengatakan, "Al-Quran dan itrah sampai kiamat tidak akan berpisah."
Meskipun telah ada semua penekanan dan taushiyah tersebut, sepeninggal Rasulullah saw, sekelompok sahabat melupakan ucapan Rasulullah itu dan dengan penuh keacuhan, berupaya memilih khalifah dan menyingkirkan Ahlulbait dari marjaiyah ilmu dan makrifah agama serta memisahkan alQuran dari itrah. Maka, logika hasbuna Kitab Allah, yang dilafalkan di masa sakit Rasulullah saw, secara praktik berkuasa. Perilaku para tokoh Saqifah menunjukkan seolah-olah Rasulullah sama sekali tidak pernah menyinggung Ali bin Abi Thalib dan itrah! Apakah ada yang lebih buruk daripada membelakangi perintah dan pesan Rasulullah saw?
Hanya saja tidak semua sahabat yang berkompromi dengan makar ini. Sebagian lainnnya tetap konsisten dengan kewajiban untuk menaati perintah dan larangan Rasulullah saw. Mereka tidak bersedia membaiat Abu bakar. Imam Ali as memandang Abu Bakar sebagai khalifah tanpa perantaraan Rasulullah saw. Kelompok ini berada di pihak minoritas dan penentangan mereka tidak membawa sesuatu apa pun. Pada akhirnya, setelah sekian lama, semuanya atau kebanyakannya, mau atau tidak mau, terpaksa berdiam diri di hadapan kondisi yang berlaku. Akan tetapi, bagaimanapun pemikiran Islam yang orisinal tetap kekal.
Di sinilah dua kelompok mazhab Islam terfondasikan. Kelompok mayoritas, yang nantinya populer dengan nama Ahlus Sunnnah dan kelompok minoritas yang nantinya bernama Syiah.
Kaum Syiah memandang imamah Imam Ali sebagai hujjah yang muktabar. Maka, ta'wil serta taujih (justifikasi) nash-nash ini adalah suatu perkara yang tidak benar dan ijtihad melawan nash. Imam Ali dipandang sebagai khalifah langsung dan imam yang pertama setelah Rasulullah saw. Mereka mengambil sumber pengetahuan agama dari itrah dan Ahlulbait. Mereka berijtihad dalam masalah fikih dan dalam menggali sumber ijtihad dan istinbat -selain al-Quran dan hadis, mereka juga bersandar kepada para imam suci.
Kaum Syiah pada awalnya, dan untuk sekian lama, bukanlah merupakan suatu mazhab atau kelompok. Namun berikutnya, mazhab-mazhab lainnya bercabang darinya. Namun, yang paling asli adalah mazhab istna asyariyah.
Mazhab Syiah Dua Belas Imam (Istna Asyariyah) Istna asyariyah dinisbatkan kepada imamiyah dan dua belas Imam yang populer. Dari situlah, mazhab ini dinamakan istna asyariyah yang mereka berkeyakinan bahwa setelah Rasulullah saw, ada dua belas Imam, yang silih berganti menjadi khalifah dan imam. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut.
1. Ali bin Abi Thalib.
2. Hasan bin Ali.
3. Husain bin Ali
4. Ali bin Husain
5. Muhammad bin Ali.
6. Ja'far bin Muhammad
7. Musa bin Ja'far
8. Ali bin Musa.
9. Muhammad bin Ali.
10. Ali bin Muhammad
11. Hasan bin Ali.
12. Hujjah bin Hasan (Imam Mahdi).
Kaum Syiah Imamiyah meyakini bahwa orang-orang tersebut adalah wajib ditaati dan terpelihara dari dosa serta kesalahan. Mereka mengetahui semua ilmu kenabian dan menjadi khalifah Rasulullah saw.
Dalil-Dalil Imamah dan Pengenalan para Imam Imamah dan khilafah Imam yang pertama (Ali bin Abi Thalib), menimbang apa yang telah disebutkan sebelum ini, adalah suatu perkara yang pasti dan jelas.
Oleh karena itu, hal ini tidaklah memerlukan pengulangan. Namun, pembuktian imamah para imam lainnya memerlukan pembahasan dan istidlal 'pemberian dalil'. Untuk membuktikan imamah para imam suci dapatlah digunakan berbagai jenis argumen.
1. Hadis nabawi Kita memiliki banyak hadis yang Rasulullah saw bersabda, "Setelahku, akan ada dua belas khalifah yang semuanya adalah dari Quraisy." Hadis-hadis seperti ini telah tercatat dalam kitab Ahlus Sunnah dan Syiah.
Dua Belas Orang dan Semuanya dari Quraisy Jabir bin Samrah mengatakan, "Kami mendengar dari Rasulullah saw yang mengatakan, "Urusan masyarakat akan berjalan dengan baik selagi dua belas orang memerintah mereka." Setelah itu, Rasulullah saw mengucapkan sebuah kalimat yang tidak kupahami. Aku bertanya kepada ayahku, "Apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw?" Ia berkata, "Mereka semua adalah dari Quraisy." [98]
Sammak bin Harb mengatakan, "Jabir bin Samrah mengatakan, "Kami mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, "Islam akan tetap mulia selagi dua belas khalifah berkuasa atas mereka." Setelah kalimat tersebut, Rasulullah mengatakan sesuatu yang tidak kupahami. Aku menanyakannya kepada ayahku, "Apakah yang diucapkan oleh Rasulullah saw?" Beliau berkata, "Mereka semua adalah dari Quraisy."[99]
Amir bin Sa'ad bin Abi Waqqash mengatakan, "Aku menulis untuk Jabir bin Samrah agar memberitahukanku sesuatu yang ia dengar dari Rasulullah saw. Dalam jawabannya, ia menulis, Rasulullah saw pada Jumat malam ketika Aslami dirajam, mengatakan, "Agama ini akan tegak berdiri sampai hari kiamat selagi dua belas orang khalifah yang semuanya dari Quraisy berkuasa atas mereka."[100]
Bagi para ahli, adalah jelas bahwa jumlah dua belas khalifah atau amir yang diberitakan Rasulullah saw tidak bisa dicocokkan dengan jumlah khalifah yang datang pasca-Rasulullah saw. Bukan hanya tidak cocok bagi empat Khalifah ar-Rasyidin tetapi bagi khalifah-khalifah Bani Umayah, Bani Marwan, dan Bani Abbas, dan juga para khalifah dan sultan yang nantinya datang. Jumlah itu juga tidak sesuai bila digabungkan dan disusun sebagian dengan sebagian lainnnya. Yang bisa dipaskan adalah dua belas imam Syiah yang semuanya berasal dari Quraisy dan Bani Hasyim.
Dua Belas Orang Rasulullah saw dalam banyak hadis mengenalkan bahwa jumlah imam setelahnya adalah dua belas orang. Salman Muhammadi mengatakan, "Aku menjumpai Rasulullah saw dalam keadaan beliau mendudukkan Husain di kedua pahanya. Rasulullah saw mencium mata Husain dan mengecup mulutnya seraya mengatakan, "Engkau adalah (sayyid) anak seorang sayyid dan ayah para sayyid. Engkau adalah imam, putra imam dan ayah para imam. Engkau adalah hujjah, putra hujjah, dan ayah sembilan imam yang kesembilannya adalah qaim ali Muhammad." [101]
Abdullah bin Abbas menukil dari Rasulullah saw yang berkata, "Para imam setelahku berjumlah seperti nuqaba' 'pemimpin-pemimpin' Bani Israil dan Hawariyyin Isa as. Barangsiapa mencintai mereka adalah mukmin dan barangsiapa yang membenci mereka adalah munafik. Mereka adalah hujjah Allah terhadap manusia dan bendera-bendera petunjuk."[102]
Dua Belas Orang dan Nama-Nama Mereka Jabin bin Abdillah Anshari berkata kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah! Para imam dari anak Imam Ali bin Abi Thalib, siapa sajakah mereka?" Rasulullah berkata, "Mereka adalah Hasan dan Husain, dua pemuda ahli surga; setelah mereka, Sayyidul Abidin, di masanya, Ali bin Husain; setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Sampaikan salamku kepadanya; setelahnya , Shadiq Ja'far bin Muhammad; dan setelahnya, Kadzim Musa bin Ja'far; dan setelah itu, Ridha Ali bin Musa; dan setelah itu, Taqi Muhammad bin Ali; dan setelah itu, Naqi Ali bin Muhammad; dan setelah itu, Zaki Hasan bin Ali; dan setelah itu, putranya, Qaim bilhaq, Mahdi Ummah, yang memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, washi-ku, dan anak-anakku. Barangsiapa yang menaati mereka mematuhiku dan barangsiapa yang mengingkari salah satu dari mereka mengingkariku. Berkah wujud mereka adalah langit tidak menjatuhi bumi dan bumi tetap terpelihara." [103]
Hasan bin Ali mengatakan, "Dari Rasulullah saw, aku mendengar bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, "Engkau adalah pewaris ilmuku, tambang hikmahku, dan imam setelahku. Ketika engkau syahid, putramu, Hasan, adalah imam; dan tatkala Hasan syahid, putramu, Husain, adalah imam; ketika Husain syahid, putranya, Ali, akan menjadi imam; setelahnya, sembilan orang dari putra Husain akan menjadi imam. Setelah itu, Hasan bin Ali mengatakan, "Ya Rasulullah! Siapakah nama-nama mereka." Beliau mengatakan, "Ali dan Muhammad, Ja'far dan Musa dan Ali dan Muhammad dan Ali dan Hasan serta Mahdi yang dari keturunan Husain dan akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan."[104]
Husain bin Ali mengatakan, "Tatkala ayat Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin[105] diturunkan, aku mengatakan kepada Rasulullah saw, "Apakah ta'wil ayat ini?" Beliau mengatakan, "Demi Allah! Selain kalian tiada yang dimaksudkannya. Kalianlah ulul arham. Ketika aku meninggal, Ali adalah lebih utama daripada lainnya untuk maqom-ku, dan ketika ayahmu meninggal, saudaramu, Hasan, lebih layak daripada lainnnya, dan ketika saudaramu meninggal, engkau lebih layak daripada lainnnya."
Kemudian aku berkata, "Sepeninggalku siapa?" Rasulullah menjawab, "Putramu yang lebih layak daripada lainnnya dan; ketika dia meninggal, anaknya yang bernama Musa lebih layak; ketika Musa meninggal; anaknya yang bernama Ali lebih layak; dan ketika Ali meninggal dunia, anaknya yang bernama Hasan lebh layak; dan ketika Hasan meninggal dunia, putramu yang kesembilan akan gaib. Mereka itu adalah dari keturunanmu. Allah swt memberikan ilmu dan kepahamanku kepada mereka dan mereka adalah dari tabiatku. Maka, sekelompok dari umatku akan menggangguku jika mengganggu mereka? Syafaatku pada hari kiamat tidak akan menimpa mereka."[106]
Shahal bin Sa'ad Anshari mengatakan, "Aku bertanya kepada putri Rasulullah saw,Fatimah, siapakah para imam itu?" Fatimah berkata, "Rasulullah berkata kepada Ali, "Wahai Ali! Engkau sepeninggalku adalah imam dan khalifah. Engkau lebih utama daripada orang-orang mukmin. Ketika engkau meninggal dunia, putramu, Hasan, menggantikanmu; dan ketika Hasan meninggal dunia, Husain menggantikannya; dan ketika Husain meninggal dunia, tempatnya digantikan oleh putranya, Ali bin Husain; dan bila Husain bin Ali wafat, posisinya digantikan oleh putranya yang bernama Muhammad; dan ketika Muhammad wafat, putranya , Ja'far, menggantikannya; dan setelah itu, Musa bin Ja'far; dan ketika Musa wafat, tiada yang lebih layak menggantikannya kecuali putranya, Muhammad; dan ketika Muhammad wafat, putranya, Ali, menggantikannya; dan ketika Ali wafat, putranya, Hasan, yang paling layak menggantikannya; dan apabila Hasan wafat, maka posisinya digantikan oleh putranya, Qaim Mahdi. Di tangannyalah, Timur dan Barat ditundukkan."[107]
Ali bin Abi Thalib menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan diperhatikan oleh Allah hendaknya berpegang dengan wilayah Ali as. Dan barangsiapa yang berkehendak menemui Allah dalam keadaan Allah meridhainya hendaknya menerima wilayah putra Ali, Hasan, dan barangsiapa yang hendak bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak cemas dan khawatir hendaknya menerima wilayah putramu, Husain; dan barangsiapa ingin bertemu Allah dalam keadaan dosa-dosanya berguguran hendaknya menerima wilayah Ali bin Husain karena ia yang disifati Allah swt dalam firman-Nya, Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[108]; dan barangsiapa yang berkeinginan untuk bertemu dengan Allah dalam keadaan senang harus menerima wilayah Muhammad bin Ali dan barangsiapa yang berkeinginan bertemu dengan Allah dalam keadaan catatan amalannya diberikan melalui tangan kanannya hendaknya menjadikan Ja'far bin Muhammad Shadiq sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih hendaknya menjadikan Musa bin Ja'far Kadzim sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan senang dan tertawa hendaknya menjadikan Musa ar-Ridha sebagai walinya; dan barangsiapa ingin bertemu Allah dalam keadaan derajatnya ditinggikan dan keburukannya diganti dengan kebaikan hendaknya menerima wilayah Muhammad; dan barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan hisabnya dimudahkan dan dimasukkan ke surga, yang luasnya sama dengan jumlah langit dan bumi dan disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, hendaknya menerima wilayah Ali; dan barangsiapa ingin menemui Allah dalam keadaan berbaris bersama orang yang bertakwa hendaknya menerima wilayah Hasan bin Ali; dan barangsiapa ingin menemui Allah dalam keadaan keimanannya sempurna dan keislamannya baik hendaknya menerima wilayah yang dinanti-nantikan kemunculannya, yaitu Muhammad Shahibuz Zaman, Mahdi. Mereka adalah pelita-pelita kegelapan, para imam hidayah, dan bendera-bendera takwa. Barangsiapa yang mencintai mereka dan menerima wilayah mereka aku menjaminkan surga baginya."[109]
Dua Belas Orang dan Maksum Abdullah bin Abbas berkata, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, "Aku, Ali, Hasan, dan Husain serta sembilan keturunan Husain adalah suci dan terpelihara dari dosa."[110]
Tatkala menjelang wafatnya, Rasulullah saw berkata kepada Fatimah, "Janganlah engkau menangis dan bersedih karena engkau adalah penghulu para wanita surga dan ayahmu adalah penghulu para nabi dan anak pamanmu (Ali) adalah penghulu para washi dan dua putramu adalah penghulu para pemuda surga dan akan lahir dari keturunan Husain sembilan orang yang merupakan para imam suci dan Mahdi umat adalah dari kami." [111]
Anas bin Malik mengatakan, "Aku mendengar dari Rasulullah saw yang berkata kepada Ali, "Engkau adalah washi dan saudaraku di dunia dan akhirat. Engkau menunaikan agamaku, setia kepada janji-janjiku, dan untuk membela sunnahku, engkau berperang. Engkau berperang untuk ta'wil al-Quran sebagaimana kau berjihad untuk turunnya al-Quran. Maka, aku adalah Nabi yang terbaik dan engkau washi yang paling baik, dan kedua putramu, Hasan dan Husain adalah cucu yang terbaik. Dari keturunan mereka, sembilan imam akan lahir, yang suci, terpelihara, dan berdiri untuk menunaikan keadilan. Para imam setelahku berjumlah sama dengan nuqaba 'para pemimpin' Bani Israil dan Hawariyyin Isa as. Mereka adalah itrah-ku dan dari daging serta darahku."[112]
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa ingin melihat Qudhaib Ahmad yang Allah swt dudukkan dengan tangan-Nya sendiri dan berpegangan dengannya hendaknya berpegangan dengan wilayah Ali bin Abi Thalib dan para imam dari anak-anaknya karena mereka adalah makhluk pilihan Allah yang terbaik dan terpelihara dari segala dosa dan kesalahan."
Abu Thufail menukil dari Imam Ali as bahwa Rasulullah bersabda, "Engkau (Ali) adalah washi-ku terhadap orang-orang yang mati di dalam Ahlulbaitku dan khalifah terhadap umatku yang hidup. Memerangimu sama dengan memerangiku dan berdamai denganmu sama dengan berdamai denganku."
"Engkau (Ali) adalah imam dan ayah para imam. Sebelas orang dari keturunanmu adalah para imam suci. Mahdi umat ini yang memenuhi dunia dengan keadilan merupakan salah seorang dari mereka. Celakalah bagi orang yang membenci mereka dan dendam terhadap mereka." [113]
Dalil-dalil pembuktian kesucian Ahlulbait dan itrah Rasulullah saw dapat dijadikan sebagai salah satu argumen imamah dua belas orang suci tersebut. Masalah ini sebelumnya telah dibahas secara terperinci dan mendetail. Di sini, telah dibuktikan tiga persoalan.
1. Ishmah 'keterjagaan' dari dosa dan kesalahan merupakan salah satu persyaratan penting seorang imam.
2. Dengan digabungkannya tiga persoalan ini dapatlah dijadikan argumen untuk membuktikan imamah tiap-tiap imam.
3. Substansi (manifestasi) Ahlulbait juga menjadi jelas.
Untuk penjelasan lebih lanjut, kalian dapat merujuk kepada pembahasan yang lalu.
11
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
2. Kewajiban Berpegangan dengan Tsaqalain Abu Said Khudri mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku mengamanahkan dua sesuatu yang bernilai kepada kalian, yang salah satunya lebih besar daripada yang lainnya. Pertama adalah Kitab Allah yang merupakan tali antara mereka dan tanah; dan yang lainnya Itrah dan Ahlulbaitku. Ketahuilah bahwa dua hal ini tidak akan berpisah hingga keduanya masuk kepadaku di telaga Kautsar."[114]
Abu Said Khudri menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Aku mengira, bahwa tak lama lagi aku dipanggil dan aku jawab panggilan itu. Aku tinggalkan dua sesuatu yang mahal kepada kalian. Kitab Allah dan itrah keluargaku. Kitab Allah adalah tali yang digelantungkan dari langit ke bumi. Itrah-ku adalah Ahlulbaitku. Allah memberitahukanku bahwa kedua hal ini sampai hari kiamat tidak akan berpisah. Maka waspadailah sikap kalian terhadap dua amanah ini."[115]
Zaid bin Arqam mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku tinggalkan sebagai amanah dua sesuatu untuk kalian, yang apabila berpegangan dengannya, kalian tidak akan sesat dari diriku. Salah satunya lebih penting daripada yang lainnya. Pertama, Kitab Allah yang merupakan tali yang bergelantung dari langit ke bumi; dan lainnya, itrah dan Ahlulbaitku. Dua pusaka ini tidak akan terpisah sampai masuk ke telaga Kautsarku. Maka, berhati-hatilah terhadap sikap kalian kepada dua pusaka itu."[116]
Kekalnya Ahlulbait hingga Hari Kiamat Rasulullah saw bersabda, "Bintang-bintang adalah pengaman penduduk langit. Apabila bintang-bintang tersebut tidak ada, penduduk langit juga akan binasa. Ahlulbaitku adalah pengaman penduduk bumi. Apabila Ahlulbaitku binasa, penduduk bumi juga akan binasa."[117]
Ibn Abbas menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ahlulbaitku seperti bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang berpegangan dengannya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan tenggelam."[118]
Dari dua hadis ini dan yang sepertinya disimpulkan bahwa ahlil bait Nabi akan kekal hingga hari kiamat dan muslimin berkewajiban nmengikuti mereka untuk keselamatan mereka sendiri.
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin hidup sepertiku, mati sepertiku, dan tinggal di surga yang Allah bangun hendaknya berpegangan dengan wilayah Ali sepeninggalku dan bersahabat dengan para sahabatnya serta mengikuti para imam setelahku. Ketahuilah bahwa mereka adalah Ahlulbaitku yang diciptakan dari tanahku dan memiliki ilmu serta pemahaman sepertiku. Adalah kecelakaan bagi orang-orang yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan silaturrahim karena syafaatku tidak akan menimpa mereka."[119]
3. Mukjizat Sebagaimana telah disebutkan di dalam kitab-kitab kalam dan hadis, Rasulullah saw, pada masa-masa darurat dan untuk membuktikan nubuwah dirinya, melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa, yang berada di luar kemampuan manusia normal. Tiap-tiap imam yang dua belas, seperti dinukilkan dari riwayat-riwayat dalam buku sejarah dan hadis, juga memiliki hal yang sama. Hal ini dapat bermanfaat untuk membuktikan imamah mereka. Kami, di dalam buku yang relatif pendek ini, tidaklah dapat membawakan mukjizat-mukjizat tersebut. Yang berminat dapatlah merujuknya kepada kitab-kitab yang terkait.
4. Pelantikan dan Pengenalan Imam Sebelumnya. Sebagaimana sebelumnya telah disebutkan bahwa Rasulullah saw di masa hidupnya telah mengenalkan dan merekomendasikan Ali bin Abi Thalib sebagai imam sepeninggal beliau. Pelantikannya adalah dari Allah dan merupakan hujjah bagi manusia. Rasulullah juga menyinggung soal imamah Hasan dan Husain. Imam Ali, di masa hidupnya dan dengan taushiyah Rasulullah saw, memilih putranya yang bernama Hasan sebagai imam. Imam Hasan memilih saudaranya, Imam Husain, sebagai imam dan memberitahukannya kepada masyarakat. Dengan demikian, setiap imam memiliki tugas untuk mengenalkan imam setelahnya. Di masa yang akan datang, kami akan menjelaskan persoalan ini secara rinci.
Sebagai kata akhir, perlulah kiranya diingatkan bahwa kami pada pembahasan-pembahasan yang akan datang dan untuk menetapkan tiap-tiap imam, hanya akan menggunakan argumentasi ini dan tidak akan mengulangi argumentasi yang lalu.
Akidah Kami tentang para Imam. Dengan mempertimbangkan argumen aqliyah terhadap pentingnya wujud imam yang sebelumnya telah disinggung, dengan mempertimbangkan sebagian ayat-ayat yang berkaitan dengan imamah, dan dengan mempertimbangkan banyak hadis yang sampai kepada kami melalui Rasulullah saw dan para imam suci tentang imamah, akidah kami mengenai dua belas imam adalah sebagai berikut.
1. Mereka seperti nabi yang terpelihara dari melakukan dosa dan kesalahan secara sempurna.
2. Dalam makrifah mengenal Allah dan dalam tauhidnya serta sifat kesempurnaan dan keagungannya, mereka berada pada posisi kemanuasiaan dan keimanan kepada Allah yang tertinggi.
Maad 'hari kebangkitan' dan nubuwah telah merasuk ke bagian dalam jiwa mereka dan mereka menyaksikan hakikat alam gaib dengan mata hati.
3. Mereka terhiasi dengan semua keutamaan dan kemuliaan akhlak dan terpelihara atau terjauhkan dari semua akhlak yang tercela dan sifat-sifat buruk.
4. Mereka mengetahui semua hukum, undang-undang, persoalan universal, cabang agama, kewajiban, muharamat, mustahabbat, dan makruhat. Namun, wahyu tidak turun kepada mereka dan mereka bukan pembuat syariat. Akan tetapi, mereka mendapatkan ilmu dari penyimpulan al-Quran atau melalui kakek-kakek mereka dari ilmu para nabi. Selain itu, mereka memanfaatkan kitab-kitab yang diwarisi dari Rasulullah saw.
5. Mereka mengetahui dengan baik hukum, undang-undang, dan persoalan yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat. Dalam kaitan ini, mereka memiliki wewenang khusus.
Para Imam memiliki dua peranan yang besar. Yang pertama adalah menjaga atau memelihara hukum dan undang-undang agama serta menyebarluaskan ilmu, makrifah, dan hukum Islam. Selain itu, mereka melanjutkan tujuan-tujuan Rasulullah saw. Imam Ali as dan imam lainnya siap untuk menunaikan tanggung jawab yang penting ini dan di tangan merekalah, ilmu yang diperlukan, sebagaimana telah disebutkan, diajarkan oleh Rasulullah saw agar mereka mampu mengerjakan kewajiban atau tugas yang penting ini.
Dalam hadis Tsaqalain, hadis Safinah, dan puluhan hadis lainnya, Rasulullah mengenalkan itrah dan Ahlulbait sebagai marja' ilmu yang paling muktabar dan menganjurkan Muslimin agar memanfaatkan ilmu mereka. Namun disesalkan, tujuan Rasulullah saw tidak terealisasikan secara sempurna karena orang-orang yang haus kekuasaan dan jabatan, bukan hanya menyingkirkan Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya dari kursi khilafah, juga mewujudkan berbagai rintangan dan gangguan terhadap kursi marjaiyah ilmu Ahlulbait.
Dengan cara inilah, mereka membuat umat Islam tidak memperoleh ilmu asli nubuwah. Namun bagaimanapun keadaannya, setiap imam dengan memperhatikan berbagai fasilitas serta kondisi zamannya, berupaya mengembangkan individu-individu secara sungguh-sungguh. Berkat upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan inilah, di sepanjang sejarah, ratusan ribu hadis di berbagai bidang telah tersebar luas. Sebagian besar dari hadis-hadis itu tercatat dan terekam di dalam kitab-kitab hadis yang tersisa sampai sekarang. Apabila para imam diberikan peluang yang lebih besar lagi, pastilah umat Islam akan memperoleh ilmu dan makrifah yang lebih banyak lagi.
Yang kedua adalah kewajiban para imam yang penting, yakni menjabat maqom khilafah dan mengelola negara dengan menjalankan hukum-hukum serta undang-undang politik dan sosial Islam. Ini adalah suatu bagian dari kewajiban besar Rasulullah saw. Rasulullah saw, dalam merealisasikan tujuan ini, telah memberikan pesan-pesan yang diperlukan. Dalam kisah Ghadir Khum, Rasulullah memilih Ali bin Abi Thalib untuk menduduki maqom ini dan melantiknya. Rasulullah pun, dalam melanjutkan tujuan-tujuan para nabi dan menjabat maqom ini, memiliki kesiapan yang sempurna. Namun, perealisasiannya memerlukan penerimaan masyarakat dan jihad serta upaya dalam mewujudkan landasannya.
Sayangnya, sekelompok orang yang haus kekuasaaan mengabaikan pesan Rasulullah saw dan menyalahgunakan kebohongan serta kelalaian masyarakat untuk menyelewengkan khilafah dari jalur yang dikehendaki Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib, dengan kondisi dan keadaan yang seperti itu, tidak memiliki jalan lain kecuali bersabar dan menahan diri. Kurang lebih selama 25 tahun, Imam Ali melewatinya dengan kesabaran hingga masyarakat secara sadar dan dengan hasrat serta keinginan mereka, membaiat Imam Ali as.
Namun tidak lama kemudian, sekelompok oportunis yang haus kekuasaan, yang sebelumnya mengeruk keuntungan dari akibat diskriminasi yang tidak benar, kesewenang-wenangan -dan mereka terbiasa dengan itu serta tidak tahan dengan hasrat keadilan dan dihilangkannya diskriminasi yang dilakukan Bani Alawi dan Nabawi- berupaya untuk menentang dan menggagalkan pemerintahan Ali dengan perang dan penentangan internal yang keras. Selanjutnya, kira-kira lima tahun setelah itu, Imam Ali jatuh syahid karena "dosa" menegakkan keadilan di mihrab ibadah. Maka, khilafah pun kembali diselewengkan dari jalurnya yang benar hingga bertahun-tahun lamanya.
Selama itu, khilafah berada di tangan Bani Umayyah dan Bani Abbas serta tidak tersedia peluang bagi kepemimpinan para imam suci. Setiap imam memandang khilafah Rasulullah sebagai haknya yang sah dan mereka siap memegangnya. Namun, karena keengganan dan kesalahan Muslimin, mereka tidak pernah menduduki kursi khilafah yang merupakan hak sah mereka.
Tanda-Tanda Syiah yang Hakiki Syiah disebutkan bagi orang yang mengimani imamah dan khilafah Ali bin Abi Thalib secara langsung. Selain itu, dia juga mengimani imamah sebelas orang dari anak-anak Ali dan menampakkan kecintaan mendalam terhadap mereka. Orang-orang yang seperti ini dikenal dengan Syiah Dua Belas Imam. Namun, harus kita ketahui bahwa sekedar iman konseptual dan pengakuan formal tidaklah cukup dalam merealisasikan substansi Syiah yang sebenarnya dan menjaminkan bagi kita kebahagiaan akhirat serta menyelamatkan kita dari kebinasaan duniawi dan ukhrawi. Pada dasarnya, iman tanpa amal tidak lebih daripada sebuah pemahaman konseptual.
Dalam kata syiah itu sendiri, terkandung sejenis iltizam amali 'pelaziman praktis'. Syiah secara bahasa berarti 'pengikut'. Syiah dinamakan syiah karena mereka mengikuti perilaku, perbuatan, dan akhlak Rasulullah saw, Imam Ali, serta para imam suci sehingga amal merupakan kelaziman iman yang sebenarnya. Bila amal tidak ada, keimanan juga tidak menemukan maknanya. Mawaddah 'kasih sayang' dan kecintaan yang sejati juga disertai dengan mencari keridhaan dan memenuhi keinginan-keinginan mahbub 'yang dicintai'. Apakah mungkin orang mengaku sebagai pecinta Ahlulbait tetapi perbuatan dan perilakunya bertentangan dengan perintah-perintah mereka?
Untuk lebih mengenali orang-orang Syiah yang sejati sebaiknya kita merujuk kepada ucapan para imam suci. Dalam kaitan ini, kami memiliki banyak hadis yang akan kami singgung sebagia contoh. Jabir menukil dari Muhammad Baqir yang mengatakan, "Wahai Jabir! Apakah Syiah itu sudah cukup bila seseorang mengatakan, aku mencintai Ahlulbait. Demi Allah! Bukanlah Syiah kami kecuali orang yang bertakwa dan mematuhi Allah."
Wahai Jabir! Syiah kami tidak dikenali kecuali dengan sifat berikut: rendah hati, khusyuk dalam ibadah, amanah, banyak berzikir dan mengingat Allah, berpuasa, berbuat baik kepada ayah dan ibu, menjaga keadaan para tetangga yang miskin dan fakir, orang-orang yang berhutang, para yatim, yang jujur dan berkata benar, kecuali apabila kebaikan terdapat di balik menentang itu, Syiah kami adalah penyelamat kaum.
Jabir berkata, "Wahai putra Rasulullah! Di masa seperti ini, kami tidak menyaksikan orang yang seperti itu?"
Beliau berkata, "Wahai Jabir! Janganlah engkau ke sana kemari! Apakah sudah cukup bila seseorang menilai, aku mencintai Ali dan menerima wilayah-nya, tetapi tidak satu pun perbuatannya yang menyerupai Ali." Apabila ia berkata, "Aku mencintai Rasulullah saw -padahal Rasulullah saw adalah lebih utama daripada Ali- tetapi tidak mengikuti sirah dan perilaku Rasulullah saw serta tidak melakukan sunnah beliau. Maka, kecintaan kepada Rasulullah saw itu tidak membawa keuntungan baginya. Maka, takutlah kepada Allah dan lakukanlah amal yang saleh. Tidak ada kekeluargaan antara Allah dengan seseorang. Yang paling dicintai dan dimuliakan Allah adalah orang yang paling bertakwa dan taat kepada-Nya. Wahai Jabir! Demi Allah! Kecuali melalui takwa, tidak seorang pun yang dekat kepada Allah. Baralah dari api tidaklah di tangan kami. Tidak seorang pun yang memiliki hujjah di depan Allah. Barangsiapa yang patuh kepada Allah adalah wali dan sahabat kami. Barangsiapa yang menentang perintah Allah adalah musuh kami. Tidak seorang pun yang mencapai wilayah kami kecuali dengan amal saleh dan menjauhi dosa." [120]
Imam Ja'far Shadiq mengatakan kepada Fudzail, "Sampaikan salam kami kepada Syiah kami dan katakan, bahwa kami tidak dapat melakukan sesuatu apa pun di depan Allah untuk kalian, melainkan kalian menjauhi dosa-dosa. Maka jagalah lisan dan tangan kalian dari melakukan dosa. Jadilah kalian ahli sabar dan shalat sebagaimana Allah bersama orang-orang yang sabar." [121]
Imam Shadiq mengatakan kepada Ibn Jundab, "Katakanlah kepada Syiah kami, janganlah engkau pergi ke sana kemari! Demi Allah! Tidak akan mencapai wilayah kami kecuali dengan menjauhi dosa dan berupaya untuk beribadah dan membantu saudara-saudara seagama. Siapa yang menzalimi orang lain bukanlah dari Syiah kami." [122]
Imam Shadiq berkata, "Wahai orang-orang Syiah! Jadilah kalian sebagai penyebab kemuliaan dan penjaga harga diri kami dan janganlah kalian menumpahkan harga diri kami di depan orang lain! Berkatalah mulia kepada masyarakat dan jagalah lisanmu! Hindarilah ucapan-ucapan yang sia-sia dan buruk!"[123]
Imam Ja'far Shadiq berkata kepada Abu Usamah, "Hendaklah engkau menjaga takwa dan menjauhi dosa serta berupaya dalam beribadah dan jujur dalam berbicara dan menunaikan amanah dan berakhlak mulia dan berbuat baik kepada tetangga. Ajaklah manusia dengan selain lisanmu! Jadilah perhiasan kami dan jangan kalian tumpahkan harga diri kami di depan orang lain! Perpanjanglah sujud dan rukuk karena ketika salah seorang dari kalian memanjangkan rukuk dan sujudnya, setan akan berteriak, "Celaka aku! Hamba ini mematuhi Tuhan sementara aku bermaksiat. Ia bersujud sedangkan aku tidak."[124]
Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Berhati-hatilah kalian! Janganlah melakukan perbuatan yang menyebabkan manusia mencela kami karena anak yang buruk dengan perbuatan buruknya telah menumpahkan kemuliaan atau harga diri ayahnya. Untuk orang yang kalian nisbatkan kepadanya, jadilah perhiasan bagi mereka, bukannya menjadi penyebab jatuhnya harga diri dan kemuliaan mereka."[125]
Imam Hasan Askari mengatakan kepada Syiah, "Aku nasehatkan kepada kalian untuk menjaga takwa dan wara' dalam agama, ijtihad untuk Allah, jujur, menunaikan amanat kepada seseorang, berperangai baik, memanjangkan sujud, dan berbuat baik kepada tetangga. Rasulullah diutus untuk hal-hal seperti ini. Shalatlah di masjid Muslimin dan makamkanlah jenazah mereka! Jenguklah yang sakit di antara mereka dan tunaikanlah hak mereka karena tatkala ada di antara kalian yang bertakwa, wara', jujur, menunaikan amanah, dan berperangai baik dengan masyarakat, maka akan dikatakan kepadanya, "Dia adalah Syiah." Di saat itulah, kami merasa bahagia dan bangga. Jadikanlah takwa sebagai bekal dan jadilah kalian perhiasan dan kebanggaan kami. Dengan cara ini, kalian telah mewujudkan landasan bagi kecintaan kami dan cegahlah hal-hal yang menyebabkan buruknya nama kami sebab kami layak untuk menyandang segala kebaikan yang dikatakan dan sebenarnya kami terjauhkan dari keburukan yang dinisbatkan kepada kami. Di dalam Kitab Allah, kami telah dinyatakan disucikan sesuci-sucinya oleh Allah dan kamilah yang dikatakan sebagai zawil qurba, dan tiada orang yang dapat mengklaim seperti ini selain kami, kecuali dia pembohong. Banyaklah berzikir kepada Allah! janganlah kalian melupakan kematian! Perbanyaklah membaca al-Quran dan kirimlah shalawat kepada Nabi saw karena shalawat kepada Rasulullah saw pahalanya adalah sepuluh kali lipat. Laksanakanlah anjuran seperti ini! Aku mengucapkan selamat tinggal kepada kalian dan aku menyampaikan salam kepada kalian." [126]
Imam Shadiq dalam sebuah surat kepada Syiahnya menulis, "Jagalah waktu shalat, khususnya shalat wustha! Shalatlah untuk Allah dan lakukanlah qunut! Allah swt dalam kitab-Nya telah memerintahkan mukminin agar mencintai orang-orang miskin karena siapa saja yang meremehkan, memandang kecil mereka, dan bersombong diri terhadap mereka telah terpeleset atau tergelincir dari agama Allah sehingga Allah marah dan murka terhadapnya. Ayahku, Rasulullah saw, bersabda, "Allah swt memerintahkanku agar aku mencintai orang-orang miskin. Ketahuilah! Barangsiapa yang merendahkan seorang Muslim akan diseret Allah swt kepada keburukan dan kehinaan sehingga masyarakat semakin membencinya dan memusuhinya." [127]
Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Wahai Syiah Keluarga Muhammad! Barangsiapa yang tatkala marah tidak menahan dirinya, tidak bersikap serta berperilaku lembut, baik dengan teman-teman maupun sahabatnya, berkompromi dengan orang-orang yang berkompromi, dan tidak menentang para penentang bukanlah Syiah kami. Wahai Syiah Keluarga Muhammad! Sedapat mungkin peliharalah takwa! Walahaula wala quwwata illa billah!"[128]
Dari hadis-hadis tersebut dan puluhan lainnya yang seperti itu, dapat dipetik beberapa persoalan penting:
1.Hanya menyatakan Syiah dan wilayah Ahlulbait adalah belum cukup untuk membuktikan kesyiahan. Akan tetapi, ciri atau tanda Syiah yang paling penting adalah mengamalkan kewajiban agama dan meninggalkan dosa.
2 Menunjukkan kecintaan kepada Ahlulbait dengan tidak disertai dengan mengamalkan kewajiban dan meninggalkan dosa tidak akan membawa kita menuju kebahagiaan akhirat dan menyelematkan kita dari kebinasaan.
3 Wilayah Ahlulbait tidak akan dicapai kecuali dengan menunaikan kewajiban agama dan meninggalkan maksiat.
4 Barangsiapa yang menaati perintah Ilahi merupakan wali dan sahabat para imam dan barangsiapa yang bermaksiat adalah musuh Ahlulbait meksipun menyatakan berwilayah dengan lisannya.
5 Kunci melepaskan diri dari neraka dan memasuki surga tidak berada di tangan seorang imam pun. Akan tetapi, surga dan neraka bergantung kepada amal manusia itu sendiri.
6 Para imam meminta para pengikutnya agar membuat orang lain berprasangka baik kepada Ahlulbait dan Syiah melalui perbuatan, perilaku, dan akhlak yang baik.
7 Rasulullah saw sendiri dan para imam adalah ahli amal. Mereka begitu serius dalam menunaikan kewajiban dan meninggalkan dosa, bahkan dalam melakukan hal yang mustahab dan meninggalkan yang makruh. Mereka berada di barisan terdepan pada zamannya dalam memelihara akhlak yang baik dan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Mereka juga terpelihara dari akhlak yang buruk.
Muslimin dan Syiah berkewajiban menjadikan orang-orang suci itu sebagai teladan. Mengikuti mereka akan menjaminkan bagi kita kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini tidak akan mungkin kecuali melalui cara yang demikian.
[117] Al-Mustadrak, Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 150.
[118] Ibid, hal. 151.
[119] Al-Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 226.
[120] Kafi, jilid 2, hal. 740.
[121] Misykatul Anwar, hal. 44.
[122] Tuhaful Uqul, hal. 413.
[123] Misykatul Anwar, hal. 67.
[124] Kafi jil 2 hal 77.
[125] Ibid jil 2 hal 219.
[126] Tuhaful Uqul, hal. 313.
[127] Thuhaful Uqul, hal. 313.
[128] Ibid, hal. 401.
12
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Bagian Tiga
Biografi Pendek dari Kehidupan para Imam as
Nama dan Ciri-Ciri Khusus Keutamaan dan Kesempurnaan
Dalil Imamah IMAM PERTAMA: IMAM ALI BIN ABI THALIB AS Imam yang pertama adalah Imam Ali. Ia lahir pada hari ke-13 bulan Rajab, tiga puluh tahun setelah Tahun Gajah, di Makkah, yakni di dalam Baitullah Haram. Nama ayahnya adalah Abu Thalib dan nama ibunya adalah Fatimah binti As'ad. Nama panggilannya adalah Abu Turab, Abul Hasan, Abul Husain, Abus Sibtain, dan Abur Raihanatain. Laqob-nya 'sebutannya' adalah Amirul Mukminin, Sayyidul Muslimin, Imamul Muttaqin, dan Sayyidul Aushiya.[1]
Imam Ali terkena pukulan di malam ke-19 bulan Ramadhan tatkala menunaikan shalat shubuh di Masjid Kufah, di tangan Ibn Muljam Muradi. Imam Ali syahid di malam ke-21 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Jasad sucinya ditanamkan di luar Kufah (Najaf sekarang).[2]
Ali as di Masa Rasulullah saw Mengkaji secara detail dan terperinci kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib memerlukan puluhan jilid kitab dan dalam kesempatan yang pendek serta halaman yang terbatas ini, adalah tidak mungkin untuk melakukan hal itu. Namun, untuk mengetahui riwayat kehidupannya, adalah diperlukan singgungan walaupun pendek. Pada usianya yang ke-6, atas usulan Rasulullah saw, Ali dipindahkan dari rumah ayahnya, Abu Thalib, ke rumah Rasulullah dan langsung berada di bawah asuhan dan pengawasan Rasulullah. Di situlah, beliau dididik dan dibekali ilmu. Di masa itulah, Ali mengambil pelajaran dari akhlak dan perilaku Rasulullah saw. Di masa iktikaf Rasulullah saw di Gua Hira, pada umumnya, Rasulullah bersama Ali dan Ali menyaksikan kesan wahyu dan nubuwah.[3]
Ia adalah lelaki pertama yang menerima Islam dan mendirikan shalat bersama Rasulullah saw. Di masa itu, beliau berusia 10 tahun. [4]
Dalam peristiwa-peristiwa sulit dan penuh derita di awal risalah, beliau senantiasa berada dalam pengabdian kepada Rasulullah saw dan beliau menjadi teman dan penolong yang terbaik bagi Rasulullah saw. Beliau juga hadir dalam pemboikotan ekonomi, sosial dan politik yang dilakukan Musyrikin dan hadir di Syi'ib Abu Thalib. Di masa ketika jiwa Rasulullah saw terancam oleh musuh dan ditetapkan bahwa Rasulullah harus hijrah ke Madinah, Imam Ali tidur di tempat tidur Rasulullah dan menjadikan nyawanya sebagai perisai Rasulullah (lailatul mabit). Beliau mendapat tugas dari Rasulullah saw untuk menyempurnakan sebagian pekerjaan yang belum terselesaikan oleh Rasulullah manakala hijrah ke Madinah bersama beberapa wanita.[5]
Rasulullah saw di Madinah menjalin akad persaudaraan dengan Ali as.[6] Pada tahun ke-2 Hijriah, beliau mendapatkan kebanggaan sebagai menantu Rasulullah saw dan menikahi Fatimah, wanita terbaik di dunia.[7]
Di saat itu, Imam Ali adalah pemuda yang kuat dan pemberani serta siap melakukan difa' 'pembelaan' dan jihad. Beliau hadir di semua pertempuran dan bertempur dengan penuh keberanian serta membantai musuh-musuh Islam.
Beliau memainkan peranan paling besar dalam membawa kemenangan Islam pada perang melawan orang-orang kafir dan Musyrikin.[8] Rasulullah saw, di masa risalah, memberikan dua misi yang amat berat dan penting kepada Ali. Pertama, beliau ditugaskan untuk menulis ayat-ayat dan surah-surah al-Quran, mengumpulkan dan menyusun semuanya, mempelajari, menghafal, dan memelihara ilmu, makrifah serta hukum-hukum agama yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.
Ali menunaikan kewajiban penting ini dengan bantuan sang istri dan di bawah pengawasan langsung Rasulullah saw.
Ali Pasca-Rasulullah saw Tatkala Rasulullah saw wafat, Ali berusia 33 tahun. Di masa hidupnya yang mulia, Rasulullah saw berkali-kali mengumumkan kedudukan khilafah dan imamah Ali as. Oleh sebab itulah, sepeninggal Rasulullah, jabatan khilafah dan imamah dipindahkan kepada beliau. Sesuai dengan nash ini, Ali adalah khalifah langsung setelah Rasulullah dan masyarakat berkewajiban menyiapkan landasan bagi terwujudnya khilafah dan imamah. Namun, disesalkan adanya sekelompok orang yang haus kekuasaan sehingga mengabaikan anjuran dan nash Rasulullah saw tersebut. Dengan berbagai alasan yang tidak tepat, di antaranya usia yang terlalu muda, Ali disingkirkan dari maqom khilafah dan mereka membaiat Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, Umar menjadi khalifah. Setelah Umar, Usman menjadi khalifah. Masa kekhilafahan mereka adalah dua puluh empat tahun dan beberapa bulan.
Selama masa itu, meskipun memandang khilafah sebagai haknya yang sah -dalam rangka menjaga Islam, Imam menghindari segala tindakan keras atau ucapan yang memecah-belah umat. Beliau, di masa itu, bukan hanya tidak menentang tetapi -pada saat-saat ia diperlukan-memberikan bantuan kepada para pejabat pemerintah dan tidak enggan memberikan bantuan dalam bentuk saran, musyawarah, petunjuk, bantuan-bantuan ilmiah, dan kebudayaan.
Hanya saja selama itu beliau begitu bersungguh-sungguh dalam menyebarluaskan ilmu, makrifah, hukum, dan undang-undang asli Islam serta melambangkan manusia-manusia sempurna dan mulia.
Pada tahun 35 Hijriah, Usman terbunuh akibat pemberontakan sekelompok Muslimin. Setelah Usman terbunuh, Muslimin dengan hasrat yang besar, kemauan sendiri, dan kemauan yang keras membaiat Ali bin Abi Thalib dan memilihnya sebagai maqom khilafah dan sebagai imam.[9]
Sejak itulah, khilafah berada di jalur yang benar dan diharapkan dengan kepemimpinan Imam Ali as dan kerjasama para sahabat yang ikhlas, kekurangan-kekurangan yang lalu dapat dipenuhi dan tujuan-tujuan Rasulullah saw dapat dilanjutkan. Namun sayang, hal itu tidak tercapai, bahkan sikap pro-keadilan dan anti-diskriminasi Imam Ali as -yang merupakan kehendak Islam dan sirah Rasulullah saw yang sebenarnya- tidak sesuai dengan cita rasa orang-orang yang haus kekuasaan yang pada masa sebelumnya terbiasa dengan hal itu. Meskipun merupakan bagian dari mereka yang membaiat, dari sejak awal, mereka telah mengibarkan bendera penentangan dan menghadapkan pemerintahan baru al-Alawi yang adil ini dengan tiga perang yang destruktif: Jamal, Shiffin, dan Khawarij. Ali yang dihadapkan kepada perang internal yang dipaksakan itu tidak memiliki jalan lain kecuali membela dan memadamkan fitnah.
Akhirnya, beliau sebagai manifestasi keadilan Ilahi tidak diberikan peluang untuk menempatkan pemerintahan di jalur keinginan-keinginan asli Islam dan sirah Rasulullah saw, yakni menuntut keadilan, persamaan, menghilangkan diskriminasi, mengurangi kesenjangan sosial, dan membela orang-orang miskin serta yang tertindas.
Akhirnya karena "dosa" mencintai keadilan ini, Imam Ali ditikam pedang dari belakang oleh seorang antek munafik dan suara indah syahid mihrab ibadah yang memberikan harapan keadilan ini padam untuk selamanya. Untuk mengkaji tiga perang yang sangat destruktif ini, diperlukan waktu lebih banyak sehingga tidak cukup di dalam beberapa halaman pada buku ini dan bagi yang berminat dapat merujuk kepada kitab kitab yang terkait.
Nash-Nash Imamah Sebelum ini, kami telah mengatakan bahwa banyak sekali dalil dan indikasi imamah. Semuanya yang dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah dalil-dalil yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah setiap imam yang akan kami hindari pengulangannya di sini.
Bagian kedua adalah dalil-dalil khusus, yakni nash-nash yang setiap imam mengeluarkannya untuk membuktikan imam berikutnya. Dalam menjelaskan kondisi atau keadaan para imam, termasuk Imam Ali, kami hanya menggunakan jenis dalil ini.
Sebagaimana yang sebelumnya kami katakan bahwa Rasulullah saw sepanjang masa risalahnya telah mewujudkan landasan bagi imamah Imam Ali as. Rasulullah saw berkali-kali menghitung keutamaan dan kemuliaan Ali. Selain itu, Nabi saw memberitahukan imamah dan khilafah-nya serta menasehatkan para sahabatnya agar mengikuti Ali. Di akhir hidupnya, tepatnya pada saat haji wada di Ghadir Khum, Rasulullah secara resmi menunjuk Ali sebagai wali-nya.
Memperhatikan penjelasan sebelumnya sebagai contoh, kami telah mengisyaratkan beberapa hadis dan memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu. Oleh karena itulah, kami menghindari untuk mengulanginya. Yang berminat dapat merujuknya kepada pembahasan-pembahasan yang lalu dan kitab- kitab yang terkait.
Keutamaan dan Kemuliaan Akhlak Menurut kesaksian kitab-kitab hadis dan sejarah, Imam adalah seorang manusia yang sempurna dan manisfestasi dari semua keutamaan dan kemuliaan. Itu pun dalam batas yang tinggi dan terbaik serta terpelihara dari semua keburukan dan kesalahan.
Walaupun musuh-musuh mencegah tersebarnya keutamaan beliau dengan disebarluaskannya fitnah dan caci-maki selama bertahun-tahun dalam khutbah di mimbar-mimbar -ditambah dengan para sahabatnya yang takut untuk mengutarakan keutamaannya karena takut kehilangan nyawa, bahkan seringkali karena tuduhan Syiah, mereka terbunuh- kitab-kitab Ahlus Sunnah dan Syiah dipenuhi oleh keutamaan dan kemuliaan serta manaqib beliau.
Muhammad bin Mansur Thusi berkata, "Aku mendengar dari Ahmad bin Hambal yang berkata, "Semua keutamaan dan kemuliaan yang dikatakan bagi Ali as tidak satu pun datang bagi sahabat Rasulullah saw."[10]
Ashbagh bin Nabatah mengatakan, "Suatu hari Dharar bin Hamrah menjumpai Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah berkata kepadanya, "Sifatilah Ali untukku!" Ia berkata, "Maafkanlah aku untuk ini." Ia berkata, "Tidak! Engkau harus menyifatinya!" Dharar berkata, "Semoga Allah merahmati Ali! Ketika berada di antara kami, ia bagaikan salah seorang dari kami dan ketika kami datang menjumpainya, ia mendekatkan kami ke sisinya. Apabila kami bertanya, ia menjawab dan manakala kami menziarahinya, ia menerima kami dan tidak ada penghalang atau hijab di antara kami. Walaupun beliau menerima kami di sisinya, kami tidak berani berbicara karena saking berwibawanya beliau. Ia bagaikan mutiara yang teratur." Muawiyah berkata, "Lanjutkan lagi!" Dharar berkata, "Semoga Allah merahmati Ali! Demi Allah! Malam harinya beliau banyak terjaga dan tidurnya sedikit. Siang dan malam, beliau membaca al-Quran. Beliau memasrahkan hatinya kepada Allah dan dengan cucuran air mata, beliau kembali kepada Allah. Tidak ada tirai antara dirinya dengan Allah dan beliau tidak pernah mencegah kami untuk menemuinya. Dalam pertemuan-pertemuan, beliau sangat enggan menyandarkan diri ke sandaran yang nyaman dan untuk tidak bersandar begitu, adalah mudah bagi beliau. Wahai Muawiyah! Seandainya engkau menyaksikan Ali di kegelapan malam, ketika beliau memegang janggutnya, dan seperti orang yang digigit ular, berputar, menangis dan berkata, "Wahai Dunia! Engkau mengejarku! Aku tidak memerlukan dirimu dan aku menceraikanmu tiga kali." Setelah itu, beliau mengatakan, "Oh… oh! Perjalanan yang jauh dan sedikitnya bekal serta sulitnya perjalanan!"
Ashbagh bin Nabatah berkata, "Di saat itu, Muawiyah menangis dan berkata, "Cukup! Wahai Dhirar! Demi Tuhan! Ali memang seperti itu. Semoga Tuhan merahmati Abal Hasan."[11]
Sa'id bin Kultsum berkata, "Aku berada di sisi Imam Ja'far Shadiq. Lalu muncullah pembicaraan tentang Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau sangat memujinya dan berkata, "Demi Allah! Ali bin Abi Thalib sepanjang usianya tidak makan makanan haram sedikit pun. Apabila dua perkara mubah datang, ia memilih apa yang lebih baik bagi agamanya. Tidak ada peristiwa sulit yang dialami Rasulullah kecuali Rasulullah memanggil Ali karena mempercayai Ali. Tidak seorang pun yang berkemampuan melakukan amalan Rasulullah saw kecuali Ali. Amalan Imam Ali sedemikian rupa sehingga seolah-olah beliau berada di antara surga dan neraka. Beliau senantiasa optimis dengan surga dan takut dengan siksa neraka. Sepanjang usianya, beliau membeli seribu budak dan kemudian membebaskan mereka di jalan Allah dengan uang pribadi hasil jerih payahnya. Makanan Ali dan keluarganya adalah zaitun, cuka, dan kurma. Pakaiannya hanyalah dari Karbas (kain kasar)."[12]
Ilmu Imam Ali as Sebelumnya telah dikatakan, bahwa Rasulullah saw menerima tugas dari Allah swt untuk mengajarkan ilmu makrifat kepada Ali. Rasulullah saw sepanjang masa risalahnya, secara berkesinambungan mengamalkan hal ini. Dengan bantuan Ilahi dan pengawasan Rasulullah saw, Ali menghafal semua ilmu. Lalu atas pesan dan perintah Rasulullah, beliau menuliskannya bagi para imam setelah beliau. Dengan cara inilah, telah tersedia kitab-kitab sehingga Ali dapat dikategorikan sebagai penyimpan ilmu nubuwah.
Rasulullah saw berkali-kali memuji kedudukan ilmu Ali as. Di antaranya dalam sebuah hadis, beliau mengatakan, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu ilmu. Barangsiapa yang menghendaki ilmu harus memasukinya melalui pintunya."[13]
Para sahabat Rasulullah saw mengakui kedudukan ilmu Imam, khususnya dalam urusan pengadilan. Abu Hurairah dari Umar bin Khatab menukilkan bahwa dalam urusan pengadilan, Ali adalah yang paling alim daripada yang lain.[14]
Sua'id bin Musabbab mengatakan, "Umar senantiasa berlindung kepada Allah dari problema yang Abul Hasan tidak berada di sana."[15] Al-Qomah menukil dari Abdullah yang berkata, "Di antara kami dikatakan, Ali bin Abi Thalib, dalam urusan pengadilan, adalah lebih berilmu daripada semua warga madinah (kota)."[16]
Aban bin Ayyas mengatakan, "Aku bertanya kepada Hasan Bashri tentang Ali as. Ia mengatakan, "Apa yang harus aku katakan tentangnya? Dia paling dahulu dalam memeluk Islam. Keutamaan ilmu serta fikih dan pandangannya tiada tertutup bagi siapa pun. Ia selalu bekerjasama dengan Rasulullah saw. Keberanian, zuhud, serta pengenalannya dengan persoalan pengadilan dan kekeluargaannya dengan Rasulullah saw tiada dapat dipungkiri." [17]
Ibn Abbas mengatakan, "Ilmu Rasulullah saw berasal dari ilmu Allah dan ilmu Ali dari ilmu Rasulullah saw; dan ilmuku dari ilmu Ali; dan ilmuku serta para sahabat lainnya dibanding dengan ilmu Ali adalah seperti setetes air dibanding tujuh lautan."[18]
Ibn Abbas mengatakan, "Setiap kali ada orang yang dapat dipercaya untuk menukilkan fatwa adalah Ali as. Maka, kami tidak berani melangkahinya."[19]
Udzainah Abdi mengatakan, "Aku bertanya kepada Umar mengenai menunaikan Umrah. Dari mana aku mesti memulai ihram?" Ia berkata, "Tanyalah kepada Ali!"[20]
Abu Hazim berkata, "Seorang lelaki datang menjumpai Muawiyah dan menanyakan suatu persoalan. Dalam jawabannya, Muawiyah berkata, "Tanyalah kepada Ali sebab dia adalah yang paling alim." Lelaki itu berkata, "Jawabanmu lebih baik di sisiku daripada jawaban Ali." Muawiyah berkata, "Engkau berkata buruk! Engkau menyatakan kebencian terhadap seseorang yang Rasulullah telah ajarkan kepadanya ilmunya dan berkata, "Kaitanmu denganku adalah seperti Harun kepada Musa, kecuali setelah aku, tidak akan ada nabi." Umar pun dalam menyelesaikan persoalan merujuk kepada Ali."[21]
Sumber Semua Ilmu Ibn Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah -dalam kaitan dengan keutamaan, kesempurnaan, dan keluasan ilmu Ali as- memiliki pembahasan yang padat dan patut disebutkan di sini.
Dalam menjelaskan ilmu, Abil Hadid menuliskannya demikian, "Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata air ilmu. Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama."
Salah satu ilmunya yang paling mulia adalah ilmu Ilahi (mabda' dan ma'ad) yang bersumber dari ucapan Imam Ali as. Mu'tazilah mengambil ilmunya dari Washi bin Atha' dan dia adalah murid Abu Hasyim, dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi, dan Muhammad mengambil ilmunya dari ayahnya yang bernama Ali bin Abi Thalib.
Asy'ariah dinisbatkan kepada Ismail bin Abi Baysar Asy'ari yang merupakan murid Abu Ali Jubai. Nama terakhir merupakan salah seorang pemuka Mu'tazilah. Maka, Asy'ariah akhirnya juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Adapun penisbatan ilmu Ilahi Imamiyah dan Zaidiyah kepada Ali bin Abi Thalib adalah suatu perkara yang jelas.
Dalam ilmu fikih, Ali merupakan sumber dan mata air. Semua ahli fikih adalah murid beliau dan menggunakan fikihnya. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf, Muhammad, dan orang-orang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi'i juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi'I, pada akhirnya, juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga belajar dari Ja'far bin Muhammad sementara ilmu Imam Ja'far Shadiq berasal dari ayahnya yang melalui jalur ini berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib.
Malik bin Anas dalam ilmunya adalah murid Rabiah ar-Ra'yu sedangkan Rabiah adalah murid Akramah. Akramah sendiri adalah murid Abdullah bin Abbas sementara Ibn Abbas adalah murid Ali bin Abi Thalib. Adapun marjaiyah fikih Imam Ali as bagi umat Syiah adalah suatu perkara yang jelas.
Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas adalah di antara para ahli fikih yang belajar dari ilmu Ali. Bahwa Ibn Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia merujuk kepada Ali. Dalam kaitan ini, Umar berkata, "Seandainya tidak ada Ali, Umar pasti celaka." Ia juga berkata, "Aku tidak akan dapat tenang jika tidak ada Abul Hasan." Ia juga berkata, "Tidak seorang pun memberikan fatwa di masjid sementara Ali berada di situ." Maka, adalah jelas fikih berujung kepada Ali as.
Ammah dan Khassah menukil dari Rasulullah saw yang berkata, "Aqdhakum Ali," sementara qadha adalah fiqih. Oleh karena itulah, Imam Ali as merupakan orang yang paling paham atas fikih di antara yang lain.
Begitu juga, masyarakat umum dan khusus meriwayatkan bahwa ketika mengutus Ali ke Yaman untuk mengadili suatu urusan, Nabi saw bersabda, "Ya Allah! Berilah petunjuk kepada hatinya dan tetapkanlah lisannya." Imam Ali berkata, "Setelah itu dan berkat doa itu, aku tidak pernah ragu dalam memberikan keputusan dalam pengadilan."
Ilmu tafsir juga berujung kepada Ali. Apabila merujuk kepada kitab-kitab tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar persoalan dinukil dari beliau atau dari ibn Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada ibn Abbas, "Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali as." Dia berkata, "Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan lautan samudra."
Ilmu tarekat, hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Ulama irfan di semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali as, seperti Syabli, Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi. Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya kepada Ali bin Abi Thalib.
Ilmu nahwu (tatabahasa) dan bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Ali. Imam Ali-lah yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada Abu al-Aswad Duali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abu al-Aswad mengenai kalam 'kata' terbagi menjadi tiga: ism 'nomina', fi'il 'verba', dan huruf 'preposisi' dan beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah 'definitif' atau nakirah 'indefinitif'. Selain itu, beliau mengatakan bahwa i'rab ada empat jenis: rafa', nashab, jar, dan jazam.
Ucapan Imam Ali as ini bagaikan mukjizat karena mengklasifikasi kalimat 'kata' untuk manusia biasa adalah tidak mungkin.[22]
Untuk mengenal ketinggian ilmu Imam Ali as, kita dapat merujuk kepada kitab Nahjul Balaghah. Menurut kesaksian para cendekiawan, setelah alQuran, kitab ini adalah kitab ilmiah yang paling kaya. Kita juga dapat merujuk kepada ratusan, bahkan ribuan hadis yang ada di berbagai bidang, yang dinukil dari Imam dan tercatat dalam kitab-kitab hadis.
13
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Ibadah Ali as Imam Ali adalah ahli ibadah yang paling besar di zamannya, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas ibadah, yakni keikhlasan, perhatian atau kosentrasi hatinya, dan penyaksian terhadap Tuhan.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas."[23]
Di tempat lain, Imam Ali as berkata, "Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan rakus terhadap pahala, melainkan karena melihat Engkau pantas disembah." [24]
Seseorang datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata, "Apakah engkau melihat Allah sehingga engkau menyembah-Nya?" Beliau berkata, "Celaka Engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?" Orang itu bertanya, "Bagaimana engkau melihat-Nya?" Imam menjawab, "Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman."[25]
Qusyairi menulis, "Tatkala waktu shalat telah tiba, warna wajah Imam Ali bin Abi Thalib berubah dan tubuhnya bergetar. Imam ditanya, "Mengapa keadaan Anda berubah seperti ini?" Beliau berkata, "Tiba saat menunaikan amanah yang diberikan Allah terhadap langit, bumi, dan gunung dan semuanya menolak. Namun, manusia yang lemah menerimanya. Aku takut, apakah dapat menunaikan amanah ini atau tidak?"[26]
Imam Sajjad membaca sebuah buku yang mencatat ibadah Imam Ali lantas beliau menaruh buku itu di atas meja dan berkata, "Siapakah yang mampu beribadah seperti Ali?"[27]
Ibn abbas mengatakan, "Dua unta dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah berkata kepada para sahabat, "Aku akan menghadiahkan salah satu unta ini kepada orang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan konsentrasi hati yang penuh sehingga selama dua rakaat itu, ia sama sekali tidak memikirkan urusan duniawi." Dalam hal ini, tiada seorang pun yang sanggup kecuali Ali. Kemudian Rasulullah menghadiahkan kedua unta itu kepada Ali."[28]
Habbah Arani berkata, "Suatu malam, aku dan Nauf tidur di halaman Darul Imarah. Di sini, kami menyaksikan Imam Ali as seperti manusia yang dalam keadaan gundah dan gelisah. Ia meletakkan tangannya di dinding seraya membaca ayat, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan seterusnya dengan diulang-ulangi dan berjalan seperti manusia gila. Imam berkata kepadaku, "Wahai Habbah! Apakah kamu tidur atau terjaga?" Aku menjawab, "Aku terjaga. Kalau Anda berbuat demikian, lalu apa yang harus kami lakukan?" Imam Ali mulai menangis dan berkata, " Wahai Habbah! Allah lebih dekat kepada kita daripada urat leher. Tiada sesuatu pun yang membatasi kita dari Allah."
Kemudian, beliau berkata kepada Nauf, "Barangsiapa yang meneteskan air mata lantaran takut kepada Allah maka dosa-dosanya akan diampuni. Wahai Nauf! Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah dan cinta serta kebenciannya hanyalah karena Allah maka tiada seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya. Wahai Nauf! Barangsiapa yang kecintaannya di jalan Allah maka tidak akan melebihkan kecintaan yang lain di atas kecintaannya itu dan barangsiapa yang kebenciannya di jalan Allah maka kebenciannya tidak berada di jalan kepentingan pribadi. Maka dengan cara inilah, hakikat keimanannya menjadi sempurna."
Kemudian beliau menasehati kedua orang itu dan di bagian akhir, beliau berkata, "Takutlah kepada Allah!" Kemudian ia bergerak dan berkata, "Ya Allah! Aku tidak tahu apakah Engkau berpaling dariku atau Engkau menyayangiku? Andai saja aku tahu, dalam kondisi lalai yang panjang dan sedikitnya syukur ini, bagaimana keadaannku!"
Habbah berkata, "Demi Tuhan! Beliau dalam kedaan seperti itu hingga terbit fajar."[29]
Malam hari ketika berdiri di mihrab ibadah, Imam Ali memegang janggutnya dan seperti orang yang tersengat ular, ia berputar dan menangis tersedu-sedu seraya berkata, "Wahai Dunia! Menjauhlah dariku! Apakah engkau datang kepadaku? Bukan saatnya untukmu! Lihat! Tipulah selain aku! Aku tidak memerlukan kamu! Aku menceraikanmu tiga kali! Kehidupanmu pendek dan nilaimu sedikit sementara harapanku terhadapmu sedikit."
Muawiyah kepada Dhirar bin Dhamrah berkata, "Sifatilah Ali untukku!" Dhirar berkata, "Aku menyaksikan Ali di beberapa tempat dalam kegelapan berkata, "Oh, betapa sedikitnya bekal, jauhnya perjalanan, besarnya tujuan, dan sulitnya kedudukan."[30]
Zuhud Ali Zuhud artinya ketiadaan keterikatan dengan urusan dunia, seperti harta, kedudukan, jabatan, dan anak serta wanita. Imam Ali as adalah ahli zuhud yang paling agung. Hasan bin Shalih berkata, "Di majelis, Umar bin Abdul Azis memunculkan pembahasan tentang zuhud. Setiap orang meyakini seseorang sebagai ahli zuhud yang sesungguhnya sedangkan Umar bin Abdul Azis berkata, "Orang yang paling zuhud di dunia adalah Ali bin Abi Thalib."[31]
Sufyan berkata, "Ali sepanjang hidupnya tidak pernah membangun (menyusun batu bata) dan membangun atap sedangkan makanannya datang dari Madinah."[32]
Ibn Abbas berkata, "Ali as di masa kekhilafahannya membeli satu pakaian senilai tiga dirham dan memakainya."[33]
Ashbagh berkata, "Ali pergi ke pasar untuk membeli selembar pakaian. Ia membeli dua helai: satu dengan harga tiga dirham dan satu lagi dengan dua dirham. Ia berkata kepada ghulam-nya yang bernama Qanbar, "Engkau kenakanlah pakaian yang harganya tiga dirham dan yang harganya dua dirham untukku." Qanbar berkata, "Pakaian yang tiga dirham lebih patut untukmu karena engkau naik ke mimbar dan membaca khutbah untuk manusia." Beliau berkata, "Engkau masih muda dan pakaian ini lebih baik untukmu. Aku malu kepada Allah kalau pakaianku lebih baik daripada pakaianmu."[34]
Imam Shadiq berkata, "Imam Ali ketika makan paling mirip dengan Rasulullah saw. Beliau makan roti, cuka, dan zaitun. Beliau memberikan makanan berupa roti dan daging kepada orang."[35]
Ja'far bin Muhammad mengatakan, "Mereka membawa makanan untuk Ali as yang terbuat dari kurma, kismis, dan minyak. Imam Ali melarang untuk memakannya. Lalu dikatakan, "Apakah engkau melihat makanan ini haram?" Beliau berkata, "Tidak! Bukan haram. Namun, aku khawatir terbiasa dengan enaknya makanan ini." Kemudian beliau membaca ayat, Kamu telah menghabiskan rejekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja).[36]
Suwaid bin Ghaflah mengatakan, "Pada hari raya, aku menjumpai Ali. Aku melihat sufrah-nya terhampar, roti gandum hitam terdapat di sufrah-nya, dan wadah yang penuh dengan makanan (harirah) yang dimakan dengan sendok. Aku berkata, "Wahai Imam Ali! Hari raya dan makanan harirah!" Beliau berkata, "Hari raya adalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni."[37]
Hakim yang Zuhud Ali bin Abi Thalib, selain dalam kehidupan pribadinya, adalah ahli zuhud. Beliau melihat bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, "Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan." [38]
Imam Ali bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, "Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?" Beliau berkata, "Pakaian yang dijadikan contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu', menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya."[39]
Imam Ali dalam sebuah surat kepada Usman bin Hunaif menuliskan, "Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah 'cukup puas' dengan dua pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun, kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah 'kesucian diri' dan kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikit pun dan dari ghanimah 'harta rampasan perang', aku tidak menyimpan sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan? Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa depannya."[40]
Di bagian lain dari surat yang sama, beliau berkata, "Apabila meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada pelbagai jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yamaman tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara di sekelilingku, ada perut-perut yang lapar dan kerongkongan-kerongkongan yang haus."[41]
Orang Kaya yang Zuhud Mungkin orang yang mendengar zuhudnya Imam Ali berpikiran bahwa Ali adalah seorang pengangguran, penyendiri, miskin, dan berpakaian kotor. Kezuhudannya dikarenakan kemiksinannya itu. Dengan kata lain, mereka berpikiran bahwa ia melepaskan dunia dan duduk di sudut hanya untuk beribadah. Asumsi itu adalah tidak benar. Imam Ali adalah seorang yang berkemampuan dan pekerja keras. Ia adalah seorang petani yang berbakat dan berpikiran jauh ke depan.
Di masa Rasulullah saw masih hidup, apabila tidak berada dalam peperangan, beliau mengisi waktu kosongnya dalam pertanian, perkebunan, penggalian sumur, pembuatan kanal, dan penanaman pohon kurma. Melalui jalan inilah, beliau memakmurkan perkebunan dan ladang kurma. Sepeninggal Rasulullah saw, di masa khalifah-khalifah yang tiga, beliau juga tidak menyendiri dan menganggur. Beliau mengisi waktu kosongnya dengan menjaga ladang atau kebun serta adakalanya memperluas kebun.
Dari ladang pertanian dan kebun kurma, beliau mendapatkan penghasilan yang melimpah. Namun, di saat yang sama, beliau tidak terikat dengan harta dunia. Beliau tidak membelanjakan hartanya untuk melawan hidup dan memperbaiki kualitas apa yang dimakan atau pakaian keluarganya. Beliau tidak menumpuk untuk masa depan dan anak-anaknya. Beliau sangat zuhud dengan makanan dan pakaian pribadinya. Beliau membelanjakan hartanya di jalan Allah. Beliau membeli ratusan budak lalu membebaskannya dan mewakafkan hartanya untuk kebajikan sosial.
Dituliskan bahwa Imam Ali, dalam setahun, mendapatkan penghasilan seribu dinar dari Gahllah. Namun, beliau menyedekahkan semuanya kepada fakir miskin.[42]
Imam Shadiq berkata, "Ketika membagikan ghanimah, Rasulullah saw memberikan sebidang tanah kepada Ali as. Imam menggali sumur di tanah itu. Kebetulan sumur galian beliau sampai ke mata air, yang seperti leher unta, airnya mengalir deras. Dari situlah, beliau menamakan sumber air itu dengan yambu' 'sumur artezin'. Imam Ali diberi kabar gembira bahwa air sumurnya begitu melimpah. Beliau berkata, "Berilah berita gembira kepada pewarisnya karena kusedekahkan sumur ini kepada hujaj 'jemaah haji' Baitullah dan mereka yang lewat. Sumur ini adalah wakaf, tidak dijual, tidak dihadiahkan untuk seseorang, dan juga tidak diwariskan kepada anak anak. Barangsiapa yang menjualnya atau menghibahkannya maka laknat Tuhan kepadanya dan amalnya tidak akan diterima Allah." [43]
Ketika meninggal, beliau berwasiat agar membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah, sebagian untuk anak-anak Fatimah, sebagian untuk anak-anak belia yang berasal dari selain Fatimah, sebagian untuk Bani Hasyim, dan sebagian untuk anak-anak Abdul Muthalib.[44]
Ali dan Pembagian Ghanimah (rampasan perang) Berikut inilah cara Imam Ali as dalam membagikan rampasan perang:
Pertama, Imam Ali as memandang rampasan perang sebagai harta milik masyarakat yang pada masa itu mayoritas miskin dan memerlukan makan. Oleh karena itulah, setiap kali datang rampasan perang, beliau konsisten untuk membagikannya secara langsung kepada masyarakat dan selagi belum membagikannya, beliau tidak dapat merasa tenang.
Kedua, beliau membagikan harta yang ada dengan menjaga keadilan dan sama rata di antara masyarakat. Beliau tidak mengutamakan kaum bangsawan dan orang-orang kuat di atas orang-orang tertindas. Beliau memiliki keyakinan bahwa pembagian baitul-mal tidak boleh mewujudkan kesenjangan sosial.
Pada hari kedua baiat, beliau membacakan khutbah dan berkata, "Kalian adalah hamba Allah dan harta ini adalah milik Allah, dan dibagikan dengan sama kepada kalian. Tidak seorang pun yang lebih utama daripada yang lain dan manusia-manusia yang bertakwa pada hari kiamat akan menerima pahala atau ganjaran yang terbaik di sisi Tuhan. Allah swt tidak menjadikan dunia sebagai balasan bagi manusia-manusia yang bertakwa. Akan tetapi, orang-orang yang bertakwa dan saleh akan mendapatkan pahala yang lebih baik daripada dunia di sisi Allah."[45]
Di bagian lain, beliau berkata, "Dalam pembagian baitul-mal, tidak ada yang lebih utama daripada lainnya dan metode pembagiannya sangatlah jelas. Harta adalah milik Allah dan kalian adalah para hamba Allah. Kitab Allah ada di antara kalian dan kami menyaksikannya serta pasrah kepadanya. Kami mengetahui metode Rasulullah saw dalam pembagian baitul-mal. Maka, barangsiapa yang tidak rela dengan pembagian ini, apa pun yang hendak dilakukannya, lakukanlah karena barangsiapa yang taat kepada Allah dan melakukan perintah-Nya tidak memiliki rasa takut dan kebimbangan." [46]
Mujammi' mengatakan, "Ali setiap hari Jumat menyisir, menyapu, dan menyirami baitul-mal. Kemudian Imam mendirikan shalat dua rakaat di sana dan berkata, "Pada hari kiamat, berilah kesaksian untukku."[47]
Beliau juga bersabda, "Rasulullah saw tidak menunda pembagian baitul-mal hingga keesokan harinya."[48]
Abu Shalih Saman berkata, "Suatu hari, Ali memasuki baitul-mal dan sambil memandangi harta di situ, beliau berkata, "Jangan sampai aku melihat harta di sini sementara keadaan masyarakat memerlukannya." Kemudian beliau memerintahkan untuk membagikan harta itu. Saat itu, beliau menyapu baitul-mal dan mendirikan shalat di situ." [49]
Abu Hakim dari ayahnya menukilkan bahwa Ali as dalam setahun membagikan harta baitul-mal sebanyak tiga kali. Setelah itu, datanglah harta dari Isfahan. Maka, beliau berkata kepada masyarakat, "Datanglah agar untuk keempat kalinya, aku bagikan harta untuk kalian karena aku tidak dapat menyimpan harta ini."[50]
Dari Isfahan, Imam Ali dibawakan untuknya harta dari baitul-mal. Beliau membagikannya dengan sama rata kepada masyarakat, bahkan keping roti yang besar, yang ada di antara harta itu, dibagi menjadi tujuh bagian.[51]
Abu Ishaq mengatakan, "Dalam pembagian baitul-mal, ada dua wanita hadir: satu Arab dan yang lainnya ajam 'non-Arab'. Tiap-tiap mereka diberi oleh Imam Ali as 25 dirham dan satu mangkuk makanan. Wanita Arab itu berkata, " Wahai Imam Ali! Engkau menyamakan aku dengan wanita ajam ini." Beliau berkata, "Aku, dalam membagi rampasan perang, tidak membedakan antara anak-anak Ismail dan anak-anak Ishaq."[52]
Sahal bin Hanif dengan ghulam-nya menjumpai Imam Ali as dan berkata, "Wahai Imam Ali! Orang ini adalah budakku. Aku membebaskan dia. Berikanlah bagiannya dari baitul-mal. Beliau memberikan kepadanya tiga dinar sebagaimana yang diberikannya kepada Sahal." [53]
Sekelompok sahabat Ali pergi menjumpai beliau dan berkata, "Wahai Imam Ali! Berikanlah kelebihan dalam pembagian baitul-mal kepada kaum bangsawan Arab dan Quraisy serta orang-orang yang engkau khawatirkan penentangannya di atas orang-orang ajam dan hamba-hamba yang telah dibebaskan." Beliau menjawab, "Adakah engkau menasehatiku agar aku melakukan kesalahan. Demi Allah! Aku tidak akan melakukan kesalahan seperti itu. Sekiranya harta ini milikku sendiri dan aku ingin membagikannya kepada masyrakat, aku akan membagikannya sama rata, apalagi harta ini adalah milik umum."
Setelah itu, beberapa saat ia diam lalu berkata, "Barangsiapa yang memiliki harta harus memenuhi fasad karena pemberian harta yang bukan pada tempatnya adalah israf dan mubazir. Meskipun hal itu membuatnya populer di tengah masyarakat, ia jatuh di sisi Allah. Tidak seorang pun dapat membelanjakan hartanya bukan pada tempatnya dan bukan pada ahlinya, kecuali Allah swt akan menjauhkannya dari terima kasih mereka yang dia kasihi dan kecintaan mereka bukan mengarah kepada orang yang memberikan itu. Sekiranya sebagian dari mereka menampakkan kecintaan dan terima kasih, hal itu hanyalah basa-basi, usaha untuk menjilat, dan kebohongan. Ucapan terima kasih mereka lebih diarahkan untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi. Apabila, pada suatu hari, orang yang memberi memerlukan mereka, ia akan menjumpai mereka itu sebagai kawan yang paling buruk. Oleh karena itulah, apabila Allah memberikan harta kepada seseorang, dan dengan harta itu, dia melakukan silaturrahim dengan jalan menjamu para tamu, membebaskan para hamba, membantu orang-orang yang berhutang dan orang-orang yang terlantar, serta fakir dan muhajirin sementara dia sendiri bersabar dalam menghadapi penderitaan dan kesulitan, ini adalah kemulian dunia dan kemuliaan akhirat." [54]
Imam Ali as mengeluh kepada Malik Astar bahwa mengapa masyarakat lari kepada Muawiyah? Malik berkata, "Wahai Imam Ali! Kami berperang dengan penduduk Basrah dan Kufah padahal sebelumnya kami bersatu dalam satu akidah. Namun sekarang, terdapat perbedaan dan konflik di antara masyarakat. Niat kembali menjadi lemah dan cinta keadilan semakin melemah. Engkau ingin menegakkan keadilan dan mengikuti kebanaran. Engkau ingin mengambil hak yang lemah dari tangan yang kuat dan para bangsawan. Di sisimu, mereka tidak lebih utama daripada yang lemah. Sekelompok sahabatmu khawatir dan takut terhadap kebenaran karena inilah sifat yang meliputi mereka. Mereka takut terhadap pelaksanaan keadilan karena mereka juga terkena hukumnya. Muawiyah tidaklah demikian. Dia memberikan harta yang melimpah kepada kaum bangsawan dan orang-orang kaya. Masyarakat cenderung kepada dunia dan jarang sekali ada orang yang tidak tertarik kepada dunia. Kebanyakan manusia tidak menyukai kebenaran dan cenderung kepada kebatilan serta lebih menyukai kekayaan di dunia daripada akhirat." Wahai Amirul Mukminin! Bila engkau juga memberikan harta kepada rakyat, maka mereka akan cenderung kepadamu, menghendaki kebaikan serta mencintai Anda. Allah swt telah memberikan semua sarana untuk perbuatan ini dan dengan cara ini, engkau dapat mengalahkan musuh-musuhmu dan menggagalkan makar mereka, yang Allah ketahui makar mereka itu."
Seraya memuji dan bersyukur kepada Allah, Imam Ali as mengatakan, "Adapun tentang apa yang engkau katakan mengenai cinta keadilan, Allah swt di dalam al-Quran mengatakan, Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya. Yang paling kutakutkan adalah aku berpendek tangan dalam melaksanakan keadilan. Adapun apa yang engkau katakan bahwa menerima kebenaran adalah sulit bagi manusia dan karena itulah, mereka cenderung kepada Muawiyah, Allah swt mengetahui bahwa mereka itu tidak lari dariku karena kezalimanku dan juga bukan dengan maksud mencari keadilan, melainkan tujuan mereka adalah untuk meraih dunia yang fana ini. Allah swt, pada hari kiamat, akan bertanya kepada mereka, apakah mereka menjauh dengan tujuan dunia atau amal mereka itu untuk Allah.
Adapun apa yang engkau katakan agar aku mengutamakan kaum bangsawan dan tokoh-tokoh daripada yang lain dalam pembagian baitul-mal, aku tidak datang untuk memberikan sesuatu dari milik umum kepada seseorang melebihi dari bagiannya karena Allah swt berfirman, Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Nabi Muhammad saw diutus sendirian tetapi Allah swt setelah itu, mengubah jumlah pengikut Muhammad yang sedikit menjadi banyak dan mulia. Apabila Allah menghendaki untuk mengukuhkan wilayah kami, berbagai kesulitan akan dimudahkan-Nya. Aku menerima ucapanmu tetapi apabila Allah swt rela dengan itu, engkau adalah dari sahabatku yang paling jujur dan dapat diandalkan di antara para sahabatku."[55]
Membelanjakan Harta Umum untuk Kepentingan Pribadi Di masa khilafah-nya, Imam Ali as secara syariat memiliki hak seperti para penguasa syariat, pada umumnya, dalam membelanjakan baitul-mal untuk keperluan pribadi dalam batas yang umum. Namun, berbeda dengan khalifah yang lain, Imam Ali sama sekali tidak pernah menggunakan harta milik umum. Adakalanya beliau menggunakannya hanya dalam batas yang sangat kecil dan tiada berarti. Imam Ali hidup sangat bersahaja dan zuhud. Belanja hidupnya ditopang dari panen ladang kurma di Madinah yang beliau miliki sebelumnya.
Zadan berkata, "Bersama dengan Qanbar, aku menjumpai Imam Ali as. Qanbar berkata, "Wahai Imam Ali! Aku menyembunyikan sesuatu untukmu." Beliau bertanya, "Apa itu?" Qanbar berkata, "Datanglah ke rumah kami agar aku tunjukkan kepada Anda." Imam bangun dan bersama Qanbar menuju rumah pembantunya itu. Qanbar menunjukkan satu wadah besar yang dipenuhi dengan emas dan perak. Dia berkata, "Engkau telah membagikan semua harta baitul-mal kepada Muslimin dan tidak meninggalkan sedikit pun untuk diri Anda sendiri. Maka, aku menyimpan dan menyembunyikan harta ini untuk Anda."
Ali berkata, "Engkau ingin memasukkan api ke dalam rumahku?" Kemudian, Imam Ali mengeluarkan pedangnya dan memotong-motong emas dan perak itu lalu memerintahkan agar dibagikan kepada Muslimin. Lantas beliau berkata, "Wahai emas dan perak! Janganlah menipuku! Tipulah selain aku!"
Harun bin Antharah menukilkan dari ayahnya yang berkata, "Suatu ketika, aku menemui Imam Ali as di gedung Khurnaq. Beliau melilitkan sehelai handuk di tubuhnya yang menggigil kedinginan. Aku bertanya, "Wahai Amirul Mukminin! Allah swt telah menetapkan bagian dari baitul-mal untukmu dan keluargamu. Namun, mengapa engkau menyiksa dirimu seperti ini!" Imam berkata, "Demi Allah! Aku tidak pernah membeli pakaian dari harta milik kalian dan handuk yang aku lilitkan di tubuhku ini aku bawa dari Madinah."[56]
Asbagh bin Nabathah menukil ucapan Imam Ali, "Demi Allah! Aku datang ke negeri kalian dengan satu pakaian ini dan perlengkapan hidupku hanyalah kuda (binatang kendaraan). Apabila aku keluar dari negeri kalian dalam keadaan membawa sesuatu yang lain dari apa yang aku miliki sebelumnya, niscaya aku termasuk orang yang berkhianat."
Di dalam riwayat lain, beliau berkata, "Wahai penduduk Basrah! Mengapa kalian masih mengkritikku?" Kemudian beliau menunjuk pakaiannya dan berkata, "Pakaian ini telah kumiliki sebelum aku berkuasa dan dijahit oleh keluargaku."[57]
Pembelanjaan hidup Imam Ali as ditopang dari hasil ladang yang beliau miliki di Madinah dan diperoleh dari Yanbu' (mata air). Beliau mengundang makan orang dengan daging dan roti sedangkan yang beliau makan sendiri adalah roti, zaitun, dan kurma.58]
14
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Bagian Anak-Anak dan Sanak Kerabat dari Baitul-Mal Dalam pembagian baitul-mal, Imam Ali as tidak mendahulukan atau mengistimewakan anak-anak dan kerabatnya, melainkan menyamakan Imam Hasan dan Imam Husain dengan Muslimin lainnya. Habib bin Abi Tsabit menyebutkan bahwa pada suatu hari, anak saudara lelaki dan menantu Ali yang bernama Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib datang menemui Ali dan berkata, "Wahai Imam! Pengeluaranku sehari-hari cukup tinggi. Maka, ringankanlah beban hidupku ini dengan memberiku uang dari baitul-mal melebihi bagian orang lain. Demi Allah! tiada tersisa uang sedikit pun di kantongku sehingga aku harus menjual rumput untaku!" Imam Ali menanggapi permintaan tersebut, "Demi Allah! Aku tidak dapat memberikan sesuatu kepadamu, kecuali apabila engkau menyuruh pamanmu ini mencuri dan kemudian memberikannya kepadamu."[59]
Abdullah bin Abi Sufyan menceritakan, "Salah seorang warga desa menghadiahkan sehelai pakaian kepada Hasan dan Husain lalu mereka mengenakannya. Pada hari Jumat, manakala berdiri untuk berkhutbah di Madain, Imam Ali terperanjat menyaksikan kedua putranya, Hasan dan Husain memakai pakaian baru. Kemudian Ali mengutus orang kepada Hasan dan Husain untuk menanyakan dari mana mereka memperoleh pakaian baru itu?" Kami berkata, "Salah seorang warga desa menghadiahkannya kepada mereka." Ali as kemudian mengambil pakaian itu dari Hasan dan Husain lalu menyerahkannya ke baitul-mal.[60]
Imam Ja'far Shadiq mengatakan bahwa ayahnya, Imam Baqir, berkata, "Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib membagikan pakaian kepada penduduk Kufah dan di antara pakaian tersebut terdapat topi yang terbuat dari harir (sutera). Lantas Imam Hasan meminta topi itu kepada ayahnya dengan berkata, "Wahai Ayah! Berikan topi ini kepadaku." Imam Ali tidak mengabulkan permintaan anak yang dikasihinya itu dan mengadakan undian bagi semua Muslim untuk mendapatkan topi indah itu. Seorang pemuda Hamadani keluar sebagai pemenang dalam undian itu. Topi itu kemudian diberikan kepada pemuda tersebut dan dibawanya pulang. Setelah itu, dikatakan kepada pemuda itu bahwa Hasan bin Ali meminta topi itu dari ayahnya tetapi tidak dikabulkannya. Pemuda Hamadani itu memberikannya kepada Imam Hasan dan beliau menerimanya.[61]
Ali bin Abi Rafi' mengatakan, "Aku diberi tugas untuk menjaga baitul-mal Ali bin Abi Thalib. Di dalam baitul-mal, terdapat kalung yang dibawa dari Basrah. Suatu hari, putri Ali bin Abi Thalib mengutus orang kepadaku dan berkata, "Aku mendengar di dalam baitul-mal, ada kalung dari lu'lk (batu mahal) dan hari ini adalah hari raya Idul Adha. Pinjamkanlah kalung itu kepadaku untuk aku gunakan pada hari raya Idul Adha." Dalam jawabannya, aku mengatakan, "Aku akan berikan dengan syarat pinjaman itu ada jaminannya." Putri Imam Ali as dalam jawabannya mengatakan, "Ya! Aku terima pinjaman ini dengan jaminan dan setelah tiga hari, akan kukembalikan ke baitul-mal." Dengan diterimanya persyaratan ini, kukirimkan kalung itu kepadanya. Imam Ali melihat kalung itu di leher putrinya dan mengenalinya. Imam lantas bertanya kepadanya, "Dari mana engkau mendapatkan kalung itu?" Putrinya berkata, "Aku meminjamnya dari penjaga baitul-mal dan setelah hari raya, akan kukembalikan."
Ali bin Abi Thalib memangilku dan berkata, "Kenapa engkau berkhianat terhadap harta Muslimin?" Aku berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari mengkhianati Muslimin!" Beliau berkata, "Mengapa engkau meminjamkan harta baitul-mal tanpa seijinku." Aku berkata, "Putrimu meminjam dariku hanya untuk beberapa hari. Ia pun meletakkan jaminan untuk itu. Setelah hari raya Idul Adha, dia berjanji akan mengembalikannya. Selain dari itu, aku juga menjadi penjaminnya."
Imam Ali berkata, "Hari ini juga engkau harus mengambilnya dan mengembalikannya ke baitul-mal. Jangan sampai engkau mengulangi hal-hal yang seperti ini. Kalau tidak, engkau akan kukenakan hukuman. Sekiranya putriku meminjamnya tanpa jaminan, niscaya dia layak untuk dihukum."
Ketika berita ini sampai ke telinga putrinya, ia bertanya, "Wahai Ayah! Aku adalah putrimu. Katakanlah bahwa aku layak untuk memakainya pada hari raya!" Imam Ali berkata, "Apakah semua wanita Muhajirin menghiasi dirinya dengan kalung semacam ini?" Selanjutnya, aku mengambil kalung itu dan mengembalikannya ke baitul-mal.[62]
Pada suatu hari Aqil, saudara Imam Ali, menjumpai Imam Ali dan meminta bantuan materi. Ali berkata kepada Imam Hasan, "Berikan pakaian kepada pamanmu."
Imam Hasan memberikan pakaian dan jubah kepada Aqil. Ketika mengikuti makan malam bersama Imam Ali, Aqil bertanya keheranan, "Adakah makan malam kalian juga seperti ini?" Beliau berkata, "Bukankah ini nikmat Allah!" wali ilahi hamdu kastira.
Aqil berkata, "Aku mempunyai hutang. Bayarkanlah hutangku lalu aku akan pergi." Beliau berkata, "Berapa banyak hutangmu." Aqil berkata, "Seratus ribu dirham." Imam berkata, "Tidak demi Allah! Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Bersabarlah sampai datang saat pembagian baitul-mal. Maka, aku akan memberikan kepadamu dari bagian keluarga." Aqil berkata, "Baitul-mal ada di tanganmu dan engkau menunda untuk memberiku sampai pembagian baitul-mal.
Selain itu, berapa banyak bagianmu? Jika semuanya engkau berikan kepadaku, kesulitanku tidak akan selesai." Beliau berkata, "Apakah aku dan engkau berbeda dengan Muslimin yang lain?"
Kejadian berikut terjadi di Istana "Darul-Imarah" yang letaknya tidak jauh dari kotak uang para pedagang. Imam Ali berkata kepada Aqil, "Pecahkan kotak itu dan ambillah uang milik para pedagang itu." Aqil terheran-heran dan berkata, "Adakah engkau menyuruhku untuk memecahkan kotak ini dan mencuri uangnya?" Imam Ali membenarkan, "Engkau juga menyuruhku mengambil uang dari baitul-mal dan memberikannya kepadamu. Apabila engkau ingin, ambillah pedangmu dan aku pun akan mengambil pedangku. Lalu mari kita bersama-sama pergi untuk merampok." Aqil bertanya, "Apakah kita datang ke sini dengan maksud mencuri sehingga engkau berkata seperti itu?" Imam berkata, "Mencuri milik satu orang adalah lebih baik daripada mengambil harta semua Muslim." Aqil berkata, "Kalau demikian, apakah engkau mengijinkan aku pergi kepada Muawiyah." Ali berkata, "Terserah engkau." Aqil meminta biaya untuk pergi kepada Muawiyah. Imam Ali berkata kepada Imam Hasan, "Berikan empat ratus dirham kepada pamanmu."[63]
Pada hari yang lain, Aqil menemui Ali dan meminta bantuannya. Namun, Ali menolak permintaanya. Untuk memberi Aqil pelajaran, Imam Ali meletakkan besi panas di sisi badannya. Dalam kaitan ini, Imam juga melakukan hal yang sama dan berkata, "Demi Allah! Aku melihat Aqil yang benar-benar miskin memintaku agar memberikan jatah gandum dari baitul-mal kepadanya karena anak-anaknya yang kelaparan agak sedikit pucat. Ia berkali-kali mengulangi permintaannya.
Aku mendengarkan ucapannya dengan saksama. Ia mengira bahwa aku akan menjual agamaku karenanya dan mengikuti ucapannya agar aku dapat mengubah pembagian baitul-mal lantaran mengikuti permintaannya. Aku mendekatkan sekeping besi panas ke sisi tubuhnya agar ia mengambil pelajaran." Aqil berteriak karena tidak tahan dengan panasnya besi itu yang hampir saja membakarnya. Ali berkata kepadanya, "Semoga orang-orang menangisimu wahai Aqil! Engkau menjerit tidak tahan karena panasnya besi di dunia yang dipanaskan oleh seorang manusia tetapi engkau menghendaki agar aku terbakar oleh api yang Allah hidupkan karena kemurkaannya. Apakah engkau merintih karena gangguan yang sedikit sedangkan aku tidak merintih karena api neraka yang membakar?"
Peristiwa yang lebih bagus lagi terjadi pada malam hari. Ali berkata, "Seseorang datang ke rumah kami dengan membawa satu wadah kue yang tidak kusukai karena seolah-olah ada air liur ular yang bernaung di dalamnya. Aku berkata kepadanya, "Apakah yang engkau bawa ini sedekah atau zakat? Keduanya adalah haram buat kami." Ia menjawab, "Ini bukan sedekah dan juga bukan zakat, melainkan hadiah." Aku berkata, "Semoga ibumu menangisimu! Apakah engkau datang untuk menipuku dari jalan agamaku? Adakah engkau ini gila atau kerasukan jin atau engkau mengigau. Demi Allah! Apabila tujuh lapis langit dan semua yang ada di bawah langit engkau berikan kepadaku agar aku menzalimi seekor semut dan agar aku mengambil kulit barley dari mulut semut, maka aku tidak akan melakukannya. Demikianlah dunia kalian di sisiku tidak lebih bernilai daripada selembar daun yang ada di mulut seekor belalang. Apa urusan Ali dengan nikmat-nikmat yang fana dan kelezatan yang tidak kekal. Aku berlindung kepada Allah dari kelalaian, keburukan, ketergelinciran dan aku meminta pertolongan dari-Nya."[64]
Ketegasan dalam Membela Kebenaran Salah satu keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang terpenting adalah ketegasannya dalam memerangi kezaliman dan membela hak orang-orang yang tertindas. Ali meyakini bahwa kezaliman dan pemaksaan tidak dapat diselesaikan dengan cara toleransi dan irfaq atau 'kelembutan' melainkan diperlukan ketegasan.
Dalam kaitan ini, beliau berkata, "Manusia-manusia yang lemah adalah mulia di sisiku sampai aku mengambil hak mereka dan orang-orang yang kuat adalah lemah di sisiku sampai aku mengambil hak orang-orang yang tertindas dari mereka." [65]
Mughira bin Sya'bah menjumpai Imam Ali as dan berkata, "Adalah wajib bagi kami untuk menasehatimu bahwa anak buah Usman memiliki kekuasaan di seluruh penjuru kota. Apabila engkau hendak memecat mereka sekaligus, akan bangkit fitnah yang untuk memadamkannya adalah suatu perkara yang sulit. Sebaiknya engkau menambah masa tugas mereka setahun sampai pemerintahanmu menjadi kukuh. Ketika itulah, engkau dapat melakukan apa saja yang engkau inginkan. Di antara mereka adalah Muawiyah yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di Damaskus."
Dalam jawabannya, Imam Ali berkata, "Apakah engkau menjamin bahwa sampai dicopotnya Muawiyah, aku masih hidup?" Dia mengatakan,"Tidak!" Imam berkata, "Apabila aku memberikan kepada Muawiyah wilayah di atas dua orang Muslim di malam yang gelap gulita, apakah nanti pada hari kiamat aku tidak akan dipertanyakan? Aku tidak akan pernah meminta bantuan dari orang-orang yang sesat. Aku berkali-kali mengatakan kepada Usman untuk memendekkan dan memutuskan tangan orang-orang yang zalim ini dari masyarakat! Kini, aku memberikan tugas kepada mereka?"[66]
Beliau juga mengatakan, "Demi Allah! Aku akan mengambil hak orang yang dizalimi dari yang zalim dan aku akan mengambil kendali yang zalim dan mau tidak mau akan menyeretnya kepada jalur kebenaran." [67]
Membela orang-orang yang dizalimi dan mazlum merupakan salah satu program utama Imam Ali as. Beliau sama sekali tidak pernah keluar dari program itu. Bukan hanya pada peritsiwa-peristiwa besar, melainkan pada peristiwa kecil sekalipun beliau tidak tahan menyaksikan kezaliman.
Imam Muhammad Baqir mengatakan, "Suatu hari Imam Ali bin Abi Thalib, lantaran panasnya matahari, memasuki rumah. Wanita yang sedang menantikan kedatangan beliau berkata, "Wahai Imam Ali! Suamiku selalu menganiayaku dan melanggar hak-hakku, bahkan dia bersumpah akan memukuliku. Aku takut kepadanya. Maka, bantulah aku!"
Imam Ali as berkata, "Wahai hamba Allah! Bersabarlah sebentar hingga udara sedikit dingin lalu kita pergi bersama-sama ke rumahmu."
Wanita itu berkata, "Suamiku sangat marah dan apabila kita terlambat datang, aku takut keadaannya akan semakin memburuk." Amirul Mukminin setelah sejenak berpikir mengatakan, "Tidak! Demi Allah! Hak yang dizalimi harus diambil. Di manakah rumahmu?" Selanjutnya, bersama wanita itu, dia pergi ke rumah wanita itu. Ia berdiri di pinggir pintu dan berkata, "Takutlah kepada Allah! Mengapa engkau membuat takut istrimu dan mengeluarkannya dari rumah?" Pemuda itu yang tidak mengenal Imam Ali berkata, "Apa hubungannya dengan kamu. Demi Tuhan! Aku akan membakar wanita sundal itu."
Amirul Mukminin mengatakan, "Aku menyuruhmu kepada kebaikan dan mencegahmu agar tidak melakukan keburukan. Engkau, di hadapanku, mengintimidasi istrimu secara demikian."
Dalam keadaan seperti itu, orang yang kebetulan lewat mengucapkan salam kepada Imam Ali, "Assalamu alaika ya Amirul Mukminin!" Pemuda itu terkejut ketika mengetahui orang itu adalah Imam Ali as dan merasa takut seraya berkata, "Wahai Aimirul Mukminin! Ampunilah aku! Selanjutnya aku akan menyerah kepada istriku."
Amirul Mukminin memasukkan pedang ke dalam sarungnya dan berkata kepada wanita itu, "Wahai hamba Allah! Masuklah ke rumah tetapi janganlah engkau berbuat sesuatu yang membuat suamimu marah dan murka sedemikian rupa." [68]
Persamaan di Depan Hukum Ali as melihat semua orang sama di depan hukum, bahkan dia sendiri di hadapan seorang Nasrani, dari sisi pemeliharaan hukum, adalah sama. Sya'bi mengatakan, "Ali bin Abi Thalib melihat baju perangnya di sisi seorang Nasrani. Beliau membawa Nasrani itu ke sisi Syuraih, seorang hakim atau qadhi. Imam berkata kepada Syuraih, "Ini adalah baju perangku. Aku tidak pernah menjualnya atau memberikannya kepada seseorang." Syuraih berkata kepada Nasrani, "Apa yang engkau akan katakan terhadap tuduhan Imam Ali as?"
Nasrani itu berkata, "Baju perang ini adalah milikku tetapi aku tidak menuduh Imam Ali as adalah pembohong." Syuraih berkata kepada Ali as, "Apakah engkau memiliki saksi dan bukti yang mendukung kesaksianmu?" Amirul Mukminin menjawab, "Tidak! Aku tidak memiliki bukti."
Syuraih memihak kepada lelaki Nasrani itu dan menyalahkan Imam Ali as. Nasrani itu mengambil baju perang tersebut dan bergerak beberapa langkah. Namun, kemudian ia kembali dan berkata, "Aku bersaksi bahwa pengadilan seperti ini berasal dari hukum para nabi. Amirul Mukminin, dalam sengketa, membawaku ke sisi qadhi yang dipilihnya sendiri dan qadhi itu memvonis putusan yang merugikan Ali as. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Wahai Amirul Mukminin! Baju perang ini adalah milikmu. Di saat engkau pergi ke perang Shiffin, aku berjalan di belakang pasukanmu. Baju perang ini jatuh ke tanah dari untamu dan aku mengambilnya. Ini adalah milikmu dan ambillah kembali."
Amirul Mukminin berkata, "Kini engkau telah Islam. Maka, baju perang ini adalah milikmu." Kemudian Ali menaikkannya ke kudanya.
Sya'bi berkata, "Di kemudian hari, aku diberitahu bahwa lelaki Nasrani tersebut menjadi syahid ketika berada di barisan pasukan Ali dalam perang melawan Khawarij." [69]
Ju'dah bin Hubairah menjumpai Ali as dan berkata, "Kini dua orang datang menjumpai engkau untuk meminta keadilan. Salah seorang dari mereka mencintaimu melebihi harta dan nyawanya sendiri dan yang lainnya adalah musuhmu. Sedemikian bencinya, sehingga kalau bisa, ia akan membunuhmu. Maka adililah dengan memihak sahabatmu." Amirul Mukminin mengepalkan tangannya ke dadanya seraya berkata, "Hukum adalah hukum Allah dan harus diadili sesuai dengan kebenaran." [70]
[49] Tarjumah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 180.
[50] Ibid, jilid 3, hal. 181.
[51] Gharat, jilid 1, hal. 51.
[52] Ibid jil 1 hal 70.
[53] Bihar al anwar jil 41 hal 117.
[54] Gharat, jilid 1, hal. 75.
[55] Gharat, jilid 1, hal. 71.
[56] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 181.
[57] Biharul Anwar, jilid 4, hal. 325.
[58] Gharat, jilid 1, hal. 68.
[59] Ibid, jilid 1, hal. 66.
[60] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 182.
[61] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 104.
[62] Biharul Anwar, jilid 40, hal. 327.
[63] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 113.
[64] Nahjul Balaghah, khutbah 224.
[65] Nahjul Balaghah, khutbah 37.
[66] Nahjul Balaghah, khutbah 136.
[67] Ibid, khutbah 136.
[68] Biharul Anwar, jilid 41, hal. 57.
[69] Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 196.
[70] Ibid, jilid 3, hal. 200.
15
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KEDUA: IMAM HASAN MUJTABA AS Imam Hasan as lahir ke dunia di Madinah pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriah. Ayahnya bernama Ali bin Abi Thalib dan ibunya Fatimah, putri mulia Rasulullah saw. Kunyah 'nama panggilannya' adalah Abu Muhammad dan laqab 'julukannya' yang paling populer adalah Taqi, Thayyib, Zaki, Sayyid, Sibth, dan Wali.
Rasulullah saw menjelang kelahirannya berkata kepada Asma' binti Umais dan Ummu Salamah, "Apabila putra Fatimah lahir, akan aku kumandangkan azan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya. Tetaplah di sana hingga aku datang!"
Ketika datang, Rasulullah saw memutus tali pusar sang bayi dan memasukkan air ludahya ke mulut bayi itu seraya berkata, "Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan yang terkutuk." Kemudian bcliau berkata, "Berilah kepadanya nama Hasan!" Kemudian bcliau memerintahkan agar mclakukan aqiqah dengan seekor kambing dan membagikan dagingnya kepada orang miskin."
Dari kelahiran yang berkah ini, bukan hanya Rasulullah saw, Ali, serta Fatimah yang gembira, mclainkan seluruh kcluarganya.
Imam Hasan hidup bersama Rasulullah selama tujuh tahun beberapa bulan. Ketika beliau menjadi Imam, usianya mencapai 37 talmn. Masa khilafahnya, dari sejak Amirul Mukminin wafat hingga masa perdamaian dengan Muawiyah, adalah enam bulan tiga hari.
Pada tahun 41 Hijriah, ia terpaksa melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Selanjutnya, ia kembali dari Kufah ke Madinah. Pada tanggal 28 Shafar 50 Hijriah, beliau mati syahid. Tubuh sllcinya dimakamkan di Pemakaman Baqi'.
Mengenai sebab wafatnya, dituliskan bahwa Muawiyah mengirim 100 ribu dirham bagi Ja'dah, istri Imam Hasan, agar meracuni Imam Hasan. Muawiyah juga berjanji akan menikahkannya dengan Yazid, putranya. Ja'dah menyetujuinya dan melakukan perintah Muawiyah.[1]
Kecintaan Rasulullah saw Sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis, Rasulullah saw begitu menampakkan rasa cintanya kepada putrinya, Fatimah, dan kedua putra Fatimah, Hasan dan Husain. Abu Hurairah berkata, "Tidak pernah aku melihat Hasan bin Ali kecuali air mataku menetes karena ketika suatu hari Rasulullah saw duduk di masjid, Hasan memasuki masjid dan tiba-tiba duduk di pangkuan Rasulullah saw dan meletakkan tangannya di dalam janggut beliau. Rasulullah saw membuka mulut Hasan dan meletakkan bibirnya di bibir Hasan seraya berkata, "Ya Allah! Aku mencintai Hasan dan aku mencintai siapa saja yang mencintai Hasan." Rasulullah saw mengulangi ucapan itu sampai tiga kali. "[2]
Sebagaimana yang discbutkan dalam banyak hadis bahwa Rasulullah saw menjelaskan imamah Hasan dan Husain. Tatkala menjelang syahid, Imam Ali bin Abi Thalib memilih putranya Hasan sebagai imam dan mengenalkannya sebagai washi 'pemangku wasiat' dan imam setelahnya. Rasulullah saw mengenai Hasan dan Husain berkata, "Kedua anakku ini akan menjadi imam, baik mereka berjuang untuk merebut jabatan imam itu atau diam."[3]
Abu Hurairah berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Barangsiapa yang mencintai Hasan dan Husain berarti mencintaiku dan barangsiapa yang memlenci mereka memusuhiku.'"[4]
Abu-Bakrah mengatakan, "Rasulullah saw waktu itu sedang berkhotbah. Kemudian Hasan datang dan naik ke mimbar. Rasulullah saw memeluknya dan berkata, 'Ini adalah anakku, Sayyid 'Tuan' dan Allah Swt dengan sebabnya akan mendamaikan dua kelompok Muslim.'"[5]
Abu Dzar Ghiffari mengatakan, "Rasulullah saw memerintahkanku agar mencintai Hasan dan Husain dan karena kecintaan kepada Rasulullah saw, aku mencintai Hasan dan Husain serta orang-orang yang mencintai mereka."[6]
Salman Farisi mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah saw berkata, 'Ya Allah! Aku mencintai Hasan dan Husain serta orang yang mencintai mereka.' Rasulullah saw juga bersabda, 'Barangsiapa yang mencintai Hasan dan Husain akan dicintai Allah dan barangsiapa yang dicintai Allah akan masuk surga dan barangsiapa yang memusuhi mereka akan dimusuhiku (Rasulullah saw) dan barangsiapa yang aku benci akan dimusuhi Allah dan masuk neraka. ''' [7]
Ada puluhan hadis seperti ini tetapi kami akan mencukupkannya sampai di sini.
Nas Imamah Banyak sekali hadis yang di dalamnya Rasululiah saw menjelaskan imamah Hasan dan Husain. Tatkala menjelang syahid, Imam Ali bin Abi Thalib memilih Hasan sebagai imam dan mengenalkannya sebagai washi dan imam setelahnya.
Rasulullah saw mengenai Hasan dan Husain mengatakan, "Kedua putraku ini akan menjadi imam, baik mereka bangkit untuk merebut imamah ataupun diam." [8]
Imam Shadiq mengatakan, "Rasulullah saw hanya mewasiatkan kepada Ali tetapi Ali mewasiatkan kepada Hasan dan Husain. Oleh karena itu, Imam Hasan juga mcrupakan imam bagi Husain."'[9]
Sulaim bin Qays mengatakan, 'Aku menyaksikan wasiat Ali bin Abi Thalib kepada putranya, Hasan, Husain, Muhammad, semua Ahlulbaitnya, dan para pemuka Syi'ah. Kemudian beliau menitipkan sejumlah kitab dan senjata kepada Hasan seraya mengatakan, 'Anakku! Rasulullah saw menyuruhku agar menjadikanmu sebagai washi-ku dan menitipkan kitab serta senjata kepadamu sebagaimana Rasulullah saw menjadikanku sebagai washi-nya dan menitipkan kitab dan senjatanya kepadaku." [10]
Syahr bin Hausyab mengatakan, "Tatkala hendak menuju Kufah, Ali bin Abi Thalib menitipkan kitab dan surat wasiatnya kepada Ummu Salamah. Ketika Imam Hasan kembali ke Madinah, Ummu Salamah menyerahkannya kepada beliau." [11]
Muhammad bin Hanafiah berkata kepada Ali bin Husain, 'Aku tahu bahwa Rasulullah saw menyerahkan wasiat dan imamah kepada Amirul Mukminin dan setelah beliau, kepada Imam Hasan dan setelah itu, kepada Husain as." [12]
Thariq bin Syahab mengatakan, "Amirul Mukminin kepada Hasan dan Husain mengatakan, "Kalian setelahku adalah imam dan penghulu para pemuda ahli surga. Kalian terpelihara dari berbuat dosa. Semoga Allah menjaga kalian dan laknat Tuhan terhadap musuh-musuh kalian." [13]
Fadzl bin Hasan Thabarsi dalam kitab A'larnul Wara menulis bahwa orang-orang Syi'ah secara mutawatir menukilkan bahwa Ali, di sisi sejumlah orang Syi'ah, menjelaskan imamah putranya, Hasan as. Imam Ali pun secara terang-terangan mengatakan imamah putranya, Hasan, dan secara terang-terangan menetapkannya sebagai washi-nya." [14]
Pada malam ketika Amirul Mukminin syahid, Imam Hasan membacakan khotbah. Setelah itu, Abdullah bin Abbas bangkit dan berkata, "Wahai manusia! Ia adalah putra Rasulullah saw, washi, serta imam kalian. Maka, berbaiatlah kepadanya!" Masyarakat saling berlomba untuk membaiat Imam Hasan sebagai khalifah." [15]
Abu Abdullah Jadali Jadami mengatakan, "Tatkala Amirul Mukminin berwasiat kepada putranya, Hasan, aku juga turut hadir." Kemudian Abdullah juga menukil wasiat Imam Ali." [16]
Tatkala dipukul oleh Abdurrahman bin Muljam dan masyarakat duduk di sekitarnya, Amirul Mukminin berkata, "Kalian keluarlah! Aku ingin berwasiat." Maka, hanya sejumlah Syi'ah yang hadir sementara yang lainnya keluar."
Setelah memuji dan bersyukur kepada Allah, Imam Ali mengatakan, "Hasan dan Husain aku jadikan sebagai washi. Maka, patuhilah mereka karena Rasulullah saw telah menjelaskan imamah mereka." [17]
Asbagh bin Nabatah mengatakan, "Tatkala dipukul oleh Abdurrahman bin Muljam, Amirul Mukminin memanggil Hasan dan Husain lalu berkata, 'Malam ini, aku akan meninggalkan dunia. Dengarkanlah ucapanku. Wahai engkau Hasan! Engkau adalah washi- ku dan setelahku, jadilah sebagai imam. Sementara itu, engkau wahai Husain, dalam wasiat ini, adalah mitra saudaramu. Selagi ia hidup, diamlah dan patuhilah dia. Setelahnya, engkaulah yang menjadi juru bicara kebenaran dan qaim biamrin.''' [18]
lbadah dan Penghambaan Dari Kamaluddin Thalhah dinukilkan bahwa Imam Hasan mengatakan ibadah itu terbagi menjadi tiga bagian: badan, harta dan gabungan dari keduanya.
1. Ibadah badan adalah shalat, puasa, membaca al-Quran, dan berbagai zikir.
2. Ibadah harta adalah seperti, sedekah, pemberian, khairiyah, dan ihsan.
3. Ibadah yang murakkab (gabungan keduanya) adalah seperti haji, jihad, dan umrah.
Ibadah Imam Hasan as pada semua bagian telah mencapai tingkat yang tinggi. Adapun shalat dan zikir serta yang semacam itu merupakan kebiasaan Imam Hasan. Kedua perkara itu adalah sangat populer dan termasyhur baginya.
Adapun sedekah dalam Hilyatul Auliya dinukilkan balma Imam Hasan memberikan semua hartanya di jalan Allah sebanyak dua kali. Dan tiga kali, ia membagikan hartanya untuk fakir miskin dan seluruh dari hartanya semua hartanya diberikan fakir bahkan beliau membagikan sepatunya kepada fakir miskin.
Adapun mengenai ibadah murakkab, penulis Hilyatul Aulia menukil dari Imam Hasan yang bersabda, "Aku malu kepada Allah karena ketika dalam perjalanan haji, aku mengendarai kendaraan dan tidak pergi berjalan kaki ke Baitullah." Oleh karena itulah, dua puluh kali dengan kaki telanjang, dari Madinah ke Mekkah, Imam Hasan berjalan kaki untuk melakukan perjalanan haji dan dalam keadaan membawa kendaraan (unta)." [19]
Ditulis, bahwa Hasan bin Ali as dan segi akhlak, perangai, kemuliaan, dan syahadah, adalah yang paling serupa dengan Rasulullah saw. [20]
Imam Shadiq menukil dari ayahnya dan ayahnya menukil dari Imam Saijad yang mengatakan, "Hasan bin Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang paling ahli ibadah dan zuhud. Dalam perjalanan haji, beliau berjalan kaki dan adakalanya dengan kaki telanjang. Ketika mengingat kematian, ia menangis. Ketika mengingat Allah, dihaturkannya amal kepada Allah seraya menjerit dan pingsan. Ketika berdiri untuk shalat, tubuhnya bergetar karena takut kepada Allah. Ketika teringat kepada surga dan neraka, ia bagaikan terkena sengatan ular. Ia memohon surga kepada Allah dan berlindung kepada Allah dari neraka. [21] Saat membaca al-Quran, ketika tiba pada ayat, Hai orang- orong yang beriman, ia berkata, Labbayka Allahumma Labbayka. Ia senantiasa membiasakan lisannya dengan zikir. Dialah orang yang paling jujur dan fasih." [22]
Imam Ridha menukil dari ayah-ayahnya bahwa tatkala menjelang wafatnya, Imam Hasan as menangis lalu dikatakan kepadanya, "Wahai putra Rasulullah! Mengapa, dengan kedudukan istimewa yang engkau miliki di sisi Allah, dua puluh kali pergi haji dengan berjalan kaki, tiga kali membagikan semua hartanya kepada kaum fakir dan miskin, engkau masih menangis seperti ini!" Imam mengatakan, "Tangisanku karcna dua hal: karena takut terhadap kiamat dan karena berpisah dengan para sahabat." [23]
Manakala tiba di pintu masjid, Imam Hasan mengangkat kepalanya dan [24] berkata, "Wahai Tuhanku! Tamu-Mu ada di pintu- Mu! Wahai Pemberi kebaikan! Telah datang seorang pendosa maka bercampurlah keburukan yang kumiliki dengan keindahan yang Kaumiliki, wahai Yang Mahamulia." [25] Ketika selesai shalat, ia tidak berbicara hingga terbit matahari.
Pemberian dan Ihsan Imam Shadiq mengatakan, "Seorang lelaki menunjuk Usman bin Affan yang sedang duduk di masjid dan meminta sesuatu. Usman memberikan kepadanya lima dirham. Lelaki itu berkala, "Kenalkan aku kepada seseorang yang akan membantuku lebih banyak. Usman menunjuk kepada Hasan, Husain dan Abdullah bin Ja'far yang sedang duduk di suatu sudut masjid. Lelaki itu pergi ke sisi mereka, bersalaman dan meminta bantuan.
Imam Hasan berkata, "Meminta sesuatu dari orang adalah haram, kecuali dalam beberapa hal: untuk membayar diyat atau 'denda orang yang dibunuh', menunaikan utang yang sudah sampai masa pembayarannya, dan mengalami kemiskinan yang luar biasa. Permintaanmu ini termasuk yang mana?" Lelaki itu berkata, "Salah satu dari itu." Imam Hasan memberikan kepadanya lima puluh dinar, Imam Husain empat puluh sembilan dinar, dan Abdullah bin Ja'far empat puluh delapan dinar.
Menyaksikan kebaikan dan kemurahan hati sepeni ini, Usman berkata, "Siapakah yang dapat berbudi pekerti seperti para pemuda ini? Mereka mempelajari ilmu dari ayah-ayah mereka sehingga memperoleh kebaikan dan hikmah (kebijaksanaan). " [26]
Sa'id bin Abdul Azis berkala, "Hasan bin Ali melihat seorang lelaki yang sedang berdoa dan memohon kepada Allah sepuluh ribu dirham. Imam Hasan pulang ke rumah dan mengirimkan sepuluh ribu dirham bagi lelaki itu." [27]
Seorang lelaki datang menjumpai Imam Hasan dan berkata, "Demi Tuhan yang telah memberikan semua kenikmatan ini tanpa syafi' kepadamu. Selamatkan aku dari orang zalim yang bukan hanya tidak menghormati orang-orang yang lanjut usia terapi tidak menyayangi anak-anak kecil." Imam Hasan yang saat itu bersandar, buena mendengar ucapan itu, bangkit dan berkata, "Siapakah musuhmu itu biar aku tegakkan keadilan?" Lelaki itu, sebagai jawabannya, mengatakan, "Kemiskinan dan kelaparan."
Imam mengangkat kepalanya dan berkata kepada pelayannya, "Siapkan apa saja yang ada di sisimu." Pelayan itu pergi dan membawa lima ribu dirham. Imam berkata, "Berikan semuanya kepada lelaki itu!" Setelah itu, beliau berkata, "Demi Allah! Setiap kali musuhmu itu menghampirimu, datanglah ke sisiku agar aku tegakkan keadilan." [28]
Ibn Aisyah meriwayatkan bahwa seorang lelaki Damaskus melihat Imam Hasan mengendarai kuda. Lelaki itu mulai mengutuk dan mencaci Imam tetapi Imam tidak menjawab hingga lelaki itu penat dan selesai dari makiannya. Imam memperhatikan lelaki itu dan mengueapkan salam seraya mengatakan, "Wahai Syekh! Aku mengira bahwa engkau bukan orang sini dan engkau salah paham tentangku. Apabila engkau meminta kerelaan dariku, akan kuberikan. Bila engkau meminta sesuatu, akan kuberikan. Bila engkau meminta petunjuk, akan kuberikan. Bila engkau tidak memiliki hewan tunggangan, akan kuberikan. Bila engkau lapar, akan kukenyangkan. Bila engkau tidak memiliki pakaian, akan kuberikan. Bila engkau memerlukan sesuatu, akan kututupi keperluanmu itu. Bila engkau terusir, akan kuberikan perlindungan kepadamu. Bila engkau memiliki hajat, akan kutunaikan dan bila engkau membawa tasmu ke rumah lalu menjadi tamuku, aku akan merasa senarg. Rumahku besar dan memiliki fasilitas.
Ketika mendengar ucapan beliau, Ielaki Syam itu menangis dan berkata, 'Aku bersaksi bahwasanya Engkau adalah khalifah Allah di bumi-Nya dan Allah lcbih mengetahui apa yang diperbuat-Nya terhadap risalah-Nya). Sebelum ini, engkau dan ayahmu adalah manusia yang paling kubenci. Namun, kini engkau adalah yang paling kucintai."
Tatkala itu, Imam membawa tas-tas lelaki itu ke rumahnya dan menjadikan tamunya itu pecinta beliau. [29]
Imam Hasan Sepeninggal Ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib syahid pada tanggal 21 Ramadhan 40 Hijriah. Menurut wasiatnya, jasad Imam Ali dikuburkan pada malam harinya tanpa sepengetahuan masyarakat. Putranya, Hasan, keesokan harinya membacakan khotbah untuk masyarakat. Setelah menyampaikan pujaan dan pujian kepada Allah, Imam Hasan menyampaikan berita meninggalnya ayahnya kepada umat dan menyinggung tentang keutamaan dan kemuliaan sang ayah. Imam Hasan menangis dan masyarakat pun ikut menangis. Imam turun dari mimbar dan duduk di atas tanah. Di saat itu, Abdullah bin Abbas berdiri dan berkata, "Wahai manusia! Hasan bin Ali adalah anak Rasulullah dan Washi Amirul Mukminin. Maka, berbaiatlah kepadanya untuk khilafah!"
Orang-orang yang hadir menerima ajakan itu dan membaiat Imam Hasan as. Sejak itu, Imam duduk di kursi khilafah dan disibukkan dengan urusan pemerintahan. Imam mempelajari kinerja dan pekerjaan-pekerjaan para pegawai yang lama. Kemudian Imam menetapkan dan memperbarui hukum mereka.
Beliau memilih wali yang baru dan mengutusnya ke tempat-tempat tugas, di antaranya adalah Abdullah bin Abbas dipilihnya sebagai pemimpin Basrah dan mengirimnya ke sana.
Di sisi lain, Muawiyah yang berkuasa di Syam mencium tentang baiat masyarakat kepada Hasan. Maka, Muawiyah pun berupaya mencegahnya. Pertama, dia memilih dan mengutus dua mata-mata yang lihai ke Kufah dan Basrah untuk mencari berita penting bagi Muawiyah serta melakukan makar dan kekisruhan di dalam pemerintahan Imam Hasan as. Imam mendengar makar ini dan menginstruksikan penangkapan dua mata-mata itu. Kemudian Imam menulis surat kepada Muawiyah dan menyebutkan kelebihan- kelebihan beliau sehingga lebih layak menjadi khalifah. Muawiyah yang telah sekian tahun berupaya mencegah perluasan pemerintahan Ali bin Abi Thalib menantikan peluang seperti ini. Oleh karena itu, ia tidak bersedia mendengarkan ucapan Imam Hasan dan menolak kebenaran. Ia memutuskan untuk berjuang melawan pemerintahan baru Imam Hasan as dan menyingkirkan musuh baru tersebut dengan segala cara, bahkan dengan perang dan pembunuhan untuk menyingkirkan Imam dari pentas politik. Dengan tujuan inilah, ia mengumumkan perang dan dengan pasukannya yang besar, ia bergerak menuju Irak.
Berita ini sampai ke telinga Imam Hasan dan beliau terpaksa mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan Muawiyah. Setelah pernyataan perang, Imam Hasan menginstruksikan Hajar bin Adi untuk memobilisasi umat untuk membela pemerintahan yang sah. Sekelompok umat menerima dan bersiap-siap untuk bergerak menuju medan laga. Namun sayangnya, kebanyakan umat enggan mengikuti perang. Akibatnya, pasukan Imam Hasan tidak mencapai jumlah yang mencukupi untuk menghadapi pasukan Muawiyah yang banyak. Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa jumlah pasukan yang kecil ini, dari segi pemikiran, tidak bersatu dan tidak sehati dalam mengejar berbagai bentuk tujuan. Sebagian ahli kaji membagi pasukan Imam Hasan seperti berikut.
Sekelompok umat adalah Syi'ah sejati dan pendukung setia Imam Hasan serta pendukung pemerintahan Alawi. Sekelompok lainnya adalah mereka yang bermusuhan dengan Muawiyah dan ikut serta dalam perang dcngan tujuan hanya untuk menjatuhkan Muawiyah, bukan untuk membela pemerintahan dan khilafah Imam Hasan as yang sah. Kelompok keempat adalah mereka yang ragu dalam mengenali kebenaran sehingga memiliki dua hati dalam melakukan perang atau, dengan kata lain, mereka menyertai perang dengan tanpa tujuan. Kelompok kelima adalah mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang tujuan perang dan berperang karena fanatisme golongan sehingga mereka secara mutlak mengikuti para kepala suku.:! [30]
Alhasil, Imam Hasan tidak memiliki cara lain, kecuali bersama pasukan yang dimilikinya itu berusaha mempertahankan dan membela diri. Beliau mengatur pasukannnya. Beliau mengutus em pat ribu orang yang dipimpin oleh lelaki dari Kabilah Kandah ke wilayah bernama Anbar. Beliau mengatakan, "Tunggulah perintahku danjangan berbuat sesuatu terlebih dahulu!"
Muawiyah menggunakan tipuan dan makar yang biasa dilakukannya. Dengan, memberikan 500 ribu dirham kepada komandan pasukan Imam Hasan, ia meminta komandan itu agar menggagalkan perang dan berpaling dari Imam Hasan. Lelaki Kandi itu menerima uang itu dan beserta 200 orang pengikutnya, pergi menuju muawiyah. Imam Hasan sangat kecewa mendengar berita ini dan menunjuk seorang komandan lain dari suku Murad sebagai ganti lelaki Kandi itu.
Muawiyah kali ini juga berhasil menyuap lelaki dari kabilah Murad itu dan memberikan 5000 dirham kepadanya seraya berjanji bahwa nanti seusai perang, akan diserahkannya salah satu wilayah. Ia menerima uang itu dan bergabung clengan Muawiyah.
Beberapa yang lainnya juga disogok seperti itu dan bergabung dengan Muawiyah, di antaranya adalah Ubaidillah bin Abbas. Sejumlah kepala kabilah Kufah menulis surat kepada Muawiyah, "Kami adalah pendukungmu dan datanglah kepada kami. Ketika engkau telah mendekati kami, kami akan menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau kami akan menerornya."
Perdamaian dengan Muawiyah Saat Imam Hasan bersama empat ribu pasukannya berhenti di Sabath, Muawiyah mengirimkan surat-surat warga Kufah dan para pemuka kabilah kepada Imam Hasan as seraya menulis, "Wahai anak paman! Janganlah engkau memutuskan kekeluargaan an tara diriku dan dirimu! Janganlah engkau percaya dan sombong dengan masyarakat ini sebab, sebelumnya, mereka telah berkhianat kepadamu dan juga kepada ayahmu. Aku bersedia menjalin perdamaian denganmu."
Imam Hasan mengawasi keadaan pasukannya dan mengetahui pengkhianatan sejumlah pemuka pasukannya kepada Muawiyah. Imam mengetahui benar ketidaksetiaan masyarakat Kufah dan ketidaksepahaman pikiran di dalam pasukan. Imam merasakan bahwa dalam kondisi seperti ini, perang tidak akan menghasilkan sesuatu, kecuali pcmbunuhan dan pembantaian massal Muslimin sehingga, pada akhirnya, pasukan musuh "akan mcnang dan kejahatan akan bertambah terhadap orang-orang Syi'ah. Hanya saja menerima perdamaian bukanlah suatu hal yang mudah.
Imam memutuskan untuk menyampaikan khotbah dcngan maksud menguji para sahabatnya dan mengetahui pendapat mereka. Imam memanggil masyarakat dan membacakan khotbah serta menyampaikan penjelasan.
Khotbah Imam tidak cocok dengan cita rasa sebagian yang hadir dan mereka berpikir bahwa Imam berniat untuk berdamai dengan Muawiyah. Sebagian dari mereka bangkit dan berkata, "Engkau telah kafir dan musyrik wahai Hasan sebagaimana ayahmu telah kafir!" Sekelompok orang menyerang kemah Imam Hasan dan merampok isinya, bahkan mereka menarik sajadah dari bawah kaki Imam dan mencabut aba'ah 'jubah' dari pundaknya.
Ketika melihat nyawanya terancam, Imam terpaksa menaiki kuda untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman sekelompok orang. Syi'ah dan sahabat-sahabat khususnya mengelilingi Imam Hasan untuk menjaganya dari bahaya musuh di bawah selimut. Tatkala melewati Sabath di kegelapan malam, seorang lelaki tiba-tiba menyerang Imam dan melukai pahanya cukup serius dengan senjatanya. Para sahabat Imam membantu Imam dan menyelamatkan nyawa Imam dari kejahatan lelaki itu. Kemudian para sahabatnya itu membawa Imam ke Madinah. Imam bcrbaring di rumah salah seorang Syi'ah dan berobat di sana. Imam dapat membaca keadaan yang sebenarnya dari pemberontakan dan penghinaan pasukannya. Imam berpikir bagaimana mungkin ia dapat memerangi musuh dan keluar sebagai pemenang sementara di antara pasukannya sendiri terdapat orang- orang yang mengutuk Imam. Selain itu, komandannya bahkan mengafirkan, menghalalkan darah, serta marampok hartanya? Apakah pasukan yang tidak ikhlas seperti itu dapat dipercaya?
Pada saat itu, Muawiyah mengirimkan surat sebagian pemuka kabilah kepada Imam Hasan yang tertulis, "Kami bersedia untuk menangkap Hasan dan menyerahkannya kepadamu atau menerornya." Selain itu, dalam sebuah surat ditulis, "Pasukanmu adalah semacam ini. Dengan pasukan seperti ini, engkau ingin berperang denganku? Sebaiknya engkau dan umatmu menghindari perang ini dan menerima perdamaian. Dalam kaitan ini, aku menerima persyaratanmu dan akan konsisten serta memegang teguh perjanjian itu."
Kendati mengenal dengan baik tipu daya dan siasat Muawiyah, Imam Hasan tidak mempunyai jalan lain, kecuali menerima tawaran Muawiyah. Ia tahu bahwa ia tidak dapat menang melawan pasukan Muawiyah. Maka, alangkah baiknya kalau Imam menerima perclamaian demi mencegah pertumpahan clarah.
Beliau menyatakan kesiapannya untuk berdamai dan mengusulkan beberapa hal berikut ini sebagai syarat.
1. Hendaknya Muawiyah tidak menamakan dirinya sebagai Amirul Mukminin.
2. Imam Hasan tidak dihadirkan untuk menyatakan kesaksian.
3. Para Syi'ah Imam Ali di mana saja dalam keadaan aman serta tidak mendapatkan gangguan dan penyiksaan.
4. Hendaknya Muawiyah membagikan ribuan dirham kepada anak-anak syuhada yang ayah-ayah mereka syahid dalam pertempuran Jamal dan Shiffin di dalam barisan pasukan Ali.
5. Hendaknya Muawiyah bersikap sesuai dengan al-Quran clan sunah Rasulullah saw serta sirah para khalifah yang saleh.
6. Henclaknya Muawiyah tidak mengenalkan at au menunjuk putra mahkota setelahnya dan menyerahkan urusan khilafah kepada clewan syura Muslimin.
7. Hendaknya tidak melakukan makar terhaclap Hasan, Husain, dan segenap Ahlulbait Rasulullah saw, baik secara sembunyi- sembunyi ataupun terang-terangan dan jangan meneror mereka.
Muawiyah menenma semua persyaratan itu dan berjanji untuk bersikap setia. Dengan demikian, perjanjian perdamaian pun ditandatangani oleh kedua pihak. Akan tetapi Muawiyah tidak setia melaksanakan kandungan surat perdamaian. Sejak pertama, ia menampakkan niat pengkhianatnya. Muawiyah tiba di Nakhilah dan setelah menunaikan shalat jamaah, ia berkhotbah dan berkata, "Aku tidak bcrperang dengan kalian agar kalian dapat melaksanakan shalat, puasa, haji, dan menunaikan zakat. Aku berperang dengan kalian untuk memimpin kalian dan Allah memberikan itu untukku sedangkan kalian tidak menyukai itu. Aku telah berjanji kepada Hasan bin Ali untuk memelihara beberapa persyaratan tetapi aku tidak akan menghormatinya dan tidak satu pun yang akan kulaksanakan." [31]
Catatan Kaki: [1] A'lamul Wara, jilid l, hal. 402-403; Manaqib Ali bin Abi Thalib, jilid 4, hal. 33 Kasyful Ghummah, jilid2, hal. 140-144.
[2] Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 149.
[3] Itsbatul Hidayah, jilid 5, hal. 134.
[4] Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 153.
[5] Ibid, jilid 2, hal. 172.
[6] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 275.
[7] Ibid, jilid 43, hal. 269.
[8] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 134.
[9] Ibid, jilid 5, hal. 129.
[10] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 126.
[11] Ibid, jilid 5, hal. 122.
[12] Ibid, jilid 5, hal. 122.
[13] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 133, Thariq bin Syahab.
[14] Ibid, jilid 5, hal. 133.
[15] Itsbatul Huda, jilid 5, hal. 134.
[16] Ibid, jilid 5, hal. 137.
[17] Ibid, jilid 5, hal. 138.
[18]Ibid, jilid 5, hal. 140.
[19] Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 181.
[20] Ibid, jilid 2, hal. 142.
[21] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 332.
[22] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 331.
[23] Ibid, jilid 43, hal. 332.
[24] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 339.
[25] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 339.
[26] Ibid, jilid 43, hal. 332.
[27] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 341.
[28] Ibid, jilid 43, hal. 350.
[29] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 344.
[30] Kasyful Ghummah.jilid 2, hal. 163-165.
[31] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 69-1; Kasyful Ghummah, hal. 164-169; Manaqib Ali bin Abi Thalib, jilid 4, hal. 36-40.
16
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KETIGA: IMAM HUSAIN AS Imam Husain dilahirkan di Madinah pada tanggal 3 atau 5 Sya'ban tahun ke-4 Hijriah di Madinah. Ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib dan ibunya adalah Fatimah, putri Rasulullah saw.
Kunyah-nya adalah Abu Abdillah dan laqob-nya adalah Rasyid, Thayyib, Sayyid, Shibith, Wafi, dan Mubarak. Saat kelahirannya, Jibril turun ke sisi Rasulullah untuk menyampaikan ucapan selamat dan membawa pesan dari Allah agar bayi itu dinamai Husain. Rasulullah saw menyampaikan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya. Pada hari ke tujuh, Rasulullah menyembelih dua ekor kambing untuk aqiqah dan membagikan dagingnya bagi orang-orang miskin.
Imam Husain as, menurut sejumlah riwayat, hidup di dunia selama lima puluh enam tahun dan beberapa bulan. Selama enam tahun dan beberapa bulan, Imam hidup bersama dengan kakeknya, Rasulullah saw. Sepeninggal ayahnya, Imam hidup sepuluh tahun bersama saudaranya, Imam Hasan, dan setelah Imam Hasan meninggal, Imam hidup selama sepuluh tahun. Pada hari Asyura, tahun 61 Hijriah, Imam syahid di Karbala dan jasad sucinya dimakamkan di Karbala.[1]
Nash-Nash Imamah Untuk membuktikan imamah Imam Husain as, dapatlah dimanfaatkan dalil-dalil umum yang sebelumnya telah diisyaratkan. Selain dari itu, Rasulullah saw dalam sejumlah hadis menjelaskan imamah 'kepemimpinan' Hasan dan Husain as. Berkenaan dengan Hasan dan Husain as, Rasulullah saw bersabda, "Ini dua anakku adalah imam, baik mereka bangkit atau diam."[2]
Selain itu, menjelang wafatnya, Imam Hasan merekomendasikan Imam Husain, saudaranya, sebagai imam setelahnya nanti. Dalam sebuah hadis, Imam Ja'far Shadiq as berkata, "Menjelang wafatnya, Hasan bin Ali memanggil saudaranya, Muhammad bin Hanafiah, dan berkata, "Adakah engkau mengetahui bahwa Husain bin Ali sepeninggalku nanti menjadi Imam? Allah menghendaki ini dan Rasulullah saw bahkan telah menjelaskan imamah-nya. Allah swt mengetahui bahwa Ahlulbait adalah hamba-hamba-Nya yang terbaik. Allah swt memilih Muhammad sebagai nabi dan Muhammad memilih Ali sebagai imam dan ayahku, Ali, memilihku sebagai imam sedangkan aku memilih saudaraku, Husain, sebagai imam."
Muhammad bin Hanafiah berkata, "Saudaraku! Engkau adalah imam maka laksanakanlah kewajibanmu."[3]
Dalam kitab Shirat Mustaqim, Ali bin Yunus Amili menulis, "Amirul Mukminin menjelaskan imamah putranya Husain as sebagaimana beliau menjelaskan imamah putranya Hasan as. Kaum Syiah menceritakan bahwa menjelang wafat, Hasan as memilih saudaranya Husain sebagai imam serta menyerahkan mawatsiq nubuwwah dan imamah kepadanya lalu memberitahu kaum Syiah tentang kekhilafahan Husain dan menunjuk Husain sebagai pemegang bendera hidayah setelahnya. Perkara makruf ini sangat populer dan tiada keraguan sedikit pun di dalamnya." [4]
Dalam kitab Istbatul Washiyah, Mas'udi menulis bahwa ketika Hasan as sakit, saudaranya Husain mendekatinya dan terjadilah pembicaraan di antara mereka berdua. Lantas Imam Hasan menunjuk saudaranya Husain sebagai washi-nya dan mengajarkan kepadanya ismul a'dzam lalu menyerahkan kepadanya warisan-warisan para nabi dan wasiat dari Amirul Mukminin.[5]
Muhammad bin Hanafiah berkata kepada Imam Sajjad, "Engkau mengetahui bahwa Rasulullah saw menyerahkan wasiat dan imamah setelahnya kepada Amirul Mukminin dan setelah itu, kepada Hasan dan Husain as." [6]
Keutamaan Imam Husain as Rasulullah saw bersabda, "Husain adalah dariku dan aku dari Husain. Barang siapa yang mencintai Husain maka Allah mencintainya. Husain adalah salah seorang cucuku." [7]
Baginda Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin melihat orang yang paling dicintai di langit dan di bumi maka hendaknya melihat Husain as." [8] Hudzaifah menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Allah swt memberikan kemuliaan kepada Husain yang tidak diberikan-Nya kepada satu pun manusia kecuali Yusuf bin Ya'qub." [9]
Hudzaifah bin Yaman berkata, "Aku melihat Rasulullah saw dalam keadaan mengambil tangan Husain seraya berkata, "Wahai manusia! Inilah Husain bin Ali. Kenalilah dia! Demi Allah! Dia ahli surga dan pecinta dan orang yang mencintai pecintanya adalah ahli surga."
Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain sepeninggalku dan ayah mereka adalah manusia yang terbaik di muka bumi dan ibu mereka adalah wanita yang terbaik di muka bumi." [10]
Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain adalah dua raihan-ku di dunia."[11]
Rasulullah saw bersabda, "Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda surga dan ayah mereka adalah lebih mulia daripada mereka." [12]
Ibadah dan Penghambaan Dikatakan kepada Imam Husain as, "Mengapa engkau begitu takut kepada Allah?" Beliau berkata, "Tiada yang selamat dari kesulitan hari kiamat melainkan orang yang saat di dunianya takut kepada Allah."[13]
Abdullah bin Ubaid berkata, "Imam Husain pergi haji sebanyak dua puluh lima kali, padahal beliau membawa hewan tunggangan." [14]
Kepada Imam Sajjad ditanya, "Mengapa anak ayahmu sangat sedikit?" Beliau menjawab, "Aku bahkan heran atas kelahiranku sendiri sebab beliau siang dan malam mendirikan shalat seribu rakaat."[15]
Perawi berkata, "Aku melihat Hasan dan Husain berjalan menuju haji. Setiap orang yang berkendaraan, ketika melihat mereka berdua, turun dari kendaraannya dan menyertai mereka berjalan meski bagi sebagian peziarah berjalan bukanlah suatu hal yang mudah."
Kepada Sa'ad bin Waqqash dikatakan, "Berjalan adalah sulit bagi kami. Namun, kami tidak memandang pantas apabila berkendaraaan sementara dua sayyid yang mulia ini berjalan."
Sa'ad menyampaikan ucapan itu kepada Imam Hasan dan berkata, "Andai untuk menjaga keadaan orang-orang ini, maka engkau mengendarai hewanmu." Imam Husain berkata, "Kami tidak akan menaiki kendaraan. Kami melazimkan diri kami untuk pergi haji dengan berjalan kaki. Namun, untuk menjaga keadaan para musafir, kami akan mengambil jarak." Kemudian keduanya melakukan hal itu.
Ihsan dan Infaq Imam Husain as pergi mengunjungi Usamah bin Zaid yang dalam keadaan sakit. Usamah berkata, "Betapa sedihnya aku!" Imam berkata kepadanya, "Saudaraku! Apa yang engkau sedihkan?" Ia berkata, "Wahai putra Rasulullah! Aku mempunyai hutang sebanyak seribu dirham. Aku takut mati sementara hutangku belum terbayarkan." Imam berkata, "Janganlah engkau bersedih! Sebelum ajalmu tiba, aku akan menunaikan hutangmu." Setelah itu, Imam menunaikan hutangnya itu."[16]
Syuaib bin Abdurrahman berkata, "Setelah Imam Husain terbunuh, dilihat ada bekas di pundak beliau lalu ditanyakan kepada Imam Sajad, "Apakah bekas itu?" Imam Sajjad berkata, "Bekas ini adalah karena ayahku memiliki kebiasaan memikul makanan dan membawanya ke rumah-rumah para janda, anak-anak yatim, dan kaum miskin."[17]
Diriwayatkan dari Imam Husain as yang berkata, "Kebenaran ucapan Rasulullah saw telah terbuktikan bagiku, yakni ketika Nabi bersabda,
"Sebaik-baiknya amalan setelah shalat adalah memasukkan kebahagiaan di hati orang mukmin, hanya saja, dengan syarat tiada dosa di situ."
Suatu hari, seorang hamba makan bersama dengan seekor anjing. Satu suapan untuk dirinya dan satu suapan lainnya dilemparkannya ke hadapan anjing itu. Imam Husain menanyakan sebab perbuatannya itu. Hamba itu berkata, "Wahai putra Rasulullah! Aku sangat berduka dan aku ingin menyenangkan anjing ini dengan harapan Allah swt menyenangkanku. Tuanku adalah seorang Yahudi dan aku ingin berpisah darinya.
Imam Husain as pergi ke sisi tuan si hamba tadi dan membebaskannya dengan harga dua ratus dinar. Lelaki Yahudi itu berkata, "Budak ini kukorbankan untukmu, wahai yang mulia, sebab lantaran budak inilah engkau datang kemari. Ladang ini juga kuberikan kepadamu dan dua ratus dinar ini juga kuhadiahkan untukmu." Imam Husain as berkata, "Kuterima pemberianmu ini dan semuanya kuberikan kepada budak ini dan kubebaskan dia di jalan Allah."
Istri lelaki Yahudi itu, yang berada di situ dan menyaksikan peristiwa tersebut, berkata, "Aku menjadi Muslim dan kuhadiahkan mas kawinku kepada suamiku." Lelaki Yahudi itu berkata, "Aku juga menjadi Muslim dan kuhadiahkan rumahku ini kepada istriku." [18]
Anas bercerita, "Pada suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali. Seorang budak wanita datang dan menghadiahkan sekuntum bunga raihan kepada Imam Husain. Imam Husain kemudian membebaskan wanita budak itu dan berkata kepada budak itu, "Kubebaskan engkau di jalan Allah."
Anas berkata, "Wahai Putra Rasulullah! Budak ini hanya mengahadiahkan sekuntum bunga yang tidak mahal dan bernilai. Namun, engkau membalasnya dengan membebaskannya?" Imam berkata, "Allah swt mengajarkan kepada kami untuk berbuat seperti itu. Imam mengatakan: Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa),[19] dan yang lebih baik daripada sekuntum bunga ini adalah membebaskan budak wanita ini."[20]
Salah seorang budak Imam Husain as melakukan suatu kesalahan yang layak untuk dihukum. Imam memerintahkan agar ia diberi pelajaran dan hukuman.
Budak itu berkata, "Wahai tuanku! 'orang-orang yang menahan amarahnya'." Imam berkata, "Aku maafkan dia."
Budak itu berkata, "Wahai tuanku! 'dan memaafkan (kesalahan) orang'." Imam berkata, "Aku maafkan engkau."
Budak itu kembali berkata, "Wahai tuanku! 'Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan'." Imam berkata, "Kubebaskan kamu di jalan Allah dan akan kuberikan kepadamu dua kali lipat dari apa yang telah kuberikan sebelumnya."[21]
Seorang Arab badui menjumpai Imam Husain as dan berkata, "Wahai Putra Rasulullah! Aku menanggung satu diyah sempurna dan tidak kuasa untuk membayarnya. Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku akan memintanya dari orang yang paling dermawan. Kini, aku tidak menemukan orang yang lebih dermawan daripada Ahlulbait Rasulullah saw." Imam Husain as berkata, "Aku akan menanyakan tiga pertanyaan kepadamu. Apabila engkau menjawab salah satu darinya, aku akan memberikan sepertiga dari hartaku dan apabila engkau menjawab dua, aku akan memberikan dua pertiga dan jika engkau menjawab semuanya, aku akan memberikan semua hartaku kepadamu."
Lelaki Arab badui itu berkata, "Wahai Putra Rasulullah! Mengapakah seorang pribadi agung dengan lautan ilmu sepertimu bertanya kepadaku yang tidak mengetahui apa-apa ini?" Imam berkata, "Ya! Aku mendengar dari kakekku, Rasulullah saw, bersabda, "Kebaikan menurut kadar pengetahuan."
Lelaki Arab itu berkata, "Bertanyalah! Apabila mengetahui, aku akan menjawab dan jika tidak, aku akan belajar darimu .
Imam Husain as berkata, "Apakah amalan yang paling afdal?" Badui itu berkata, "Iman kepada Allah."
Imam kembali bertanya, "Apakah wasilah untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan?" Badui itu berkata, "Bergantung dan bersandar kepada Allah."
Imam bertanya, "Apakah perhiasan manusia itu?" Lelaki badui itu berkata, "Ilmu yang dengannya manusia bersabar."
Imam kembali bertanya, "Kalau itu tidak ada, lalu apa?" Badui berkata, "Harta yang disertai dengan objektifitas dan rasa kasihan."
Imam bertanya, "Apabila itu pun tidak ada, lalu apa yang lain." Badui itu menjawab mantap, "Kefakiran yang disertai kesabaran."
Imam berkata, "Apabila itu pun tidak ada, lalu apa?" Badui itu berkata, "Kalau sudah demikian, haruslah petir turun dari langit dan membakar orang itu."
Imam Husain tersenyum dan memberinya seribu dirham. Imam juga mencopot cincinnya yang bernilai dua ratus dirham. Imam mengatakan, "Dengan uang ini, tunaikanlah hutangmu dan juallah cincin ini lalu belanjakan untuk kehidupanmu." Lelaki badui itu mengambilnya dan berkata, "Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia meletakkan risalah-Nya."[22]
Imam Husain sepeninggal Saudaranya Imam Hasan as syahid pada tanggal 28 bulan Shafar, tahun 49 Hijriah. Sejak tanggal itu, Imam Husain as secara resmi duduk di kursi khilafah dan imamah sesuai dengan nash dan wasiat kakeknya, Rasulullah saw, ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan saudaranya, Imam Hasan as. Masyarakat juga berkewajiban menyiapkan landasan untuk merealisasikan kekuasaan dan khilafah-nya. Namun, dalam praktiknya, mereka tidak melakukan hal itu sama sekali karena propaganda luas Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim dari satu sisi dan kekuatan tirani Muawiyah di negeri-negeri Islam dari sisi lain. Di samping itu, pemberian Muawiyah yang begitu banyak serta pembelian tokoh-tokoh besar masyarakat telah membuat masyarakat takut kepadanya dan tidak ada yang kuasa untuk menentangnya.
Selain dari itu, antara Muawiyah dan Imam Hasan telah ditandatangani surat perdamaian yang di dalamnya Muawiyah berjanji untuk tidak menunjuk putra mahkota setelahnya dan menyerahkan pemilihan khalifah kepada masyarakat. Persoalan ini merupakan suatu celah harapan bagi para pendukung pemerintahan Alawi. Karena mempertimbangkan hal-hal tersebut, Imam Husain as melihat kemaslahatan Islam dan Muslimin sehingga ia setia kepada surat perjanjian itu dan menghindari segala sikap yang keras untuk mengambil haknya yang sah. Pada saat itulah, Imam Husain hanya menanti momentum yang tersisa. Dengan demikian, Imam Husain tidak menerima usulan sekelompok orang Syiah Irak untuk melucuti senjata Muawiyah dan bangkit menentang Muawiyah serta mengambil kembali pemerintahan.
Selama sepuluh tahun berlalu, keadaannya seperti itu hingga Muawiyah meninggal dunia pada paruh bulan Rajab tahun 60 Hijriah. [23]
Sepeninggal Muawiyah, kondisi baru yang timbul memberikan celah harapan bagi para pecinta Ahlulbait Nabi saw, khususnya Imam Husain as dan para pecinta pemerintahan Alawi. Mereka merasakan sebuah landasan bagi sebuah kebangkitan untuk menentang pemerintahan Umayyah dan mendirikan pemerintahan Alawi yang relatif terwujud karena beberapa hal: pertama, masa surat perdamaian Imam Hasan telah berakhir dan tidak ada lagi perjanjian untuk itu; kedua, Muawiyah, dalam surat perjanjian itu, berjanji untuk tidak menunjuk penggantinya.
Namun, ia tidak menepati janji itu dan menujuk putranya Yazid sebagai penggantinya. Masyarakat yang mengetahui soal pelanggaran yang dilakukannya itu tidak meridhainya; ketiga, ia berjanji untuk melarang masyarakat melaknat Ali tetapi masih melakukan hal itu; keempat, ia berjanji untuk beramal sesuai dengan al-Quran dan sunnah tetapi tetap melanggar ketetapan itu; kelima, Yazid, yang dipilih Muawiyah sebagai penggantinya, adalah seorang pemuda yang masih hijau, tidak berpengalaman, dan dikenal dengan perbuatan fasik, fajir, serta menyukai minuman keras. Lelaki seperti ini tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah Rasulullah saw. Sebagai konsekuensinya, Imam Husain as menolak untuk berbaiat dengan Yazid dan memandang bahwa dukungan kepada pemerintahan Yazid merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas.
Peristiwa Asyura Peristiwa Asyura adalah salah satu kejadian yang paling tragis dalam sejarah Islam, bahkan sejarah dunia yang langka dalam jenisnya. Dalam peristiwa tragis ini, Imam Husain as -yakni putra Rasulullah saw yang dengan semua keutamaan dan anjuran Rasulullah agar Muslimin mencintainya- dibantai di padang Karbala beserta anak-anak, saudara-saudara, anak-anak saudara, anak-anak paman, keluarga dekat, Anshar, dan para sahabatnya atas perintah orang yang menganggap dirinya sebagai khalifah Rasulullah saw melalui tangan pasukan yang menganggap dirinya sebagai Muslim dan pengikut Rasulullah saw. Apalagi Imam Husain terbunuh dengan begitu mengenaskan dan dibantai secara sangat tidak manusiawi. Perilaku yang sangat biadab dan tidak mengenal belas kasihan itu telah menghitamkan wajah sejarah kemanusiaan.
Untuk mengenal Imam Husain as, perlu mengkaji peristiwa pahit ini. Namun, berhubung untuk mengkajinya secara sempurna dan teliti, diperlukan penulisan sebuah buku yang terperinci, maka untuk sementara ini, keadaan tidak memungkinkan untuk itu. maka, kami di sini akan berupaya menyinggung peristiwa tersebut secara ringkas.
Imam Husain Dipanggil ke Darul Imarah Sepeninggal Muawiyah, Yazid duduk di kursi khilafah. Ia menulis surat kepada Walid bin Atabah, wali Madinah, yang isinya adalah bahwa bagaimanapun caranya hendaknya Walid dapat mengambil baiat dari Husain. Sewaktu surat ini sampai kepada Walid, Imam Husain dipanggil ke Darul Imarah. Setelah diumumkannya berita kematian Muawiyah, Imam Husain diminta agar membaiat Yazid. Imam meminta waktu untuk memikirkan hal itu. Kemudian Imam menerima undangan itu dan datang ke Darul Imarah. Namun, Imam tidak memutuskan untuk membaiat Yazid dan melegalisasi khilafah-nya sebab Yazid di mata Imam tidaklah layak untuk itu.
Pada hari lainnya, Marwan bin Hakam menyaksikan Imam Husain as di jalan kecil dan berkata, "Aku menghendaki kebaikan untukmu. Membaiat Yazid menguntungkan dirimu, baik di dunia maupun akhirat. Aku menyarankan agar engkau membaiatnya dan menerima khilafah-nya. Imam Husain as berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari hari ketika umat Islam dilanda khalifah seperti Yazid. Aku mendengar dari kakekku, Rasulullah saw, yang bersabda, "Khilafah diharamkan bagi keluarga Sufyan." [24]
Pada hari lainnya, kembali Walid memanggil Imam Husain as dan mengulangi gagasannya itu dengan pemaksaan dan dengan alasan bagi kebaikan Imam Husain as. Kembali Imam meminta waktu dan keluar dari Darul Imarah.
Imam Husain as yang memutuskan untuk tidak membaiat Yazid melihat bahwa maslahatnya adalah meninggalkan Madinah. Saudaranya, Muhammad bin Hanafiah, mengetahui keputusan ini.
Lantas ia mengatakan, "Apabila engkau berniat untuk tidak membaiat Yazid, pergilah ke Mekkah atau Yaman! Janganlah pergi ke kota lainnya sebab tidaklah maslahat!" Imam Husain as berkata, "Saudaraku! Demi Allah! Meskipun tidak memiliki tempat perlindungan dan rumah satu pun, aku tidak akan membaiat Yazid." [25]
Surat Wasiat Imam dan Kepergiannya dari Madinah Imam berkata kepada Muhammad bin Hanafiah, "Tinggallah engkau di Madinah dan sampaikanlah berita kepadaku!" Lalu Imam menulis sebuah surat dengan kandungan seperti berikut ini.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ini adalah wasiat yang diperuntukkan oleh Husain bin Ali kepada saudaranya, Muhammad bin Hanafiah.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Tuhan yang Esa dan Ia tidak memiliki sekutu serta bahwasannya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya dan ia membawa kebenaran dari sisi Allah. Aku bersaksi Bahwasannya surga dan neraka itu benar dan tiada keraguan akan kedatangan hari kiamat serta orang-orang yang mati akan dibangkitkan untuk dihisab dan diberi pahala atau hukuman.
Ketahuilah bahwa aku keluar dari Madinah bukannya atas dasar thugyan dan kesombongan serta mencari kesenangan atau membuat kerusakan dan kezaliman, melainkan tujuanku adalah membuat perbaikan pada umat kakekku. Aku bermaksud untuk melakukan amar makruf nahi munkar dan menghidupkan sirah kakekku Rasulullah saw dan ayahku Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang menerima hakku telah menerima hak Allah. Namun, apabila masyarakat mencegah untuk menerima kebenaran, aku akan bersabar hingga Allah mengadili antara aku dan mereka dan Allah adalah hakim yang terbaik.
Saudaraku! Inilah wasiatku untukmu. Taufikku berada di tangan Allah dan aku bertawakkal kepada-Nya dan menuju kepada-Nya."[26]
Imam Husain as mengucapkan perpisahan dengan makam Rasulullah saw dan ibunya, Fatimah, serta saudaranya, Imam Hasan as. Pada pertengahan malam 3 Sya'ban atau 28 Rajab tahun 60 Hijriah, Imam berangkat menuju Mekkah. Keluarga, anak-anak, saudara, keponakan, saudara perempuan, anak-anak saudara perempuan, anak-anak paman, dan mayoritas Ahlulbait juga ikut serta dalam perjalanan ini. [27]
Kafilah Imam Husain as bergerak dengan begitu cepat. Setelah beberapa hari, Imam tiba di Mekkah dan tinggal di sebuah rumah. Abdullah bin Zubair sebelumnya juga pergi ke Mekkah dan berlindung di Haram. Ia mengharapkan umat Islam membaiatnya. Oleh karena itulah, Abdullah merasa terganggu dengan kedatangan Imam Husain as karena mengetahui bahwa dengan adanya Imam Husain as, tidak ada yang akan membaiat dirinya.
Masyarakat Mekkah mengetahui kedatangan Imam Husain as sehingga pergi menuju rumah Imam. Imam Husain berada di Mekkah sepanjang bulan Sya'ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa'dah, dan delapan hari dari Dzulhijjah sambil menantikan peristiwa yang mendatang.
Undangan Warga Kufah untuk Imam Pada hari-hari itu, masyarakat Kufah mendapat berita tentang kematian Muawiyah dan khilafah putranya Yazid. Lantas mereka mendapat berita bahwa Imam Husain as tidak bersedia membaiat Yazid dan berhijrah dari Madinah. Oleh karena itulah, mereka berkumpul di sebuah rumah warga Syiah dan mendiskusikan undangan untuk Imam Husain agar Imam datang ke Irak untuk menerima dukungan yang ditujukan kepadanya. Pada akhirnya, semua yang hadir bersepakat untuk mengundang Imam Husain ke Kufah dan mendukung pendirian pemerintahan Husaini.
Sebagai hasil dari keputusan ini, mereka menulis surat, " , manakala engkau tiba di Kufah, kami akan mengeluarkan Nu'man Basyir, antek Yazid, dari Kufah dan akan memilih engkau sebagai imam."
Lantas mereka menandatangani surat itu dan mengirimkannya kepada Imam Husain di Mekkah melalui beberapa utusan Syiah.
Setelah surat itu, banyak sekali surat susulan yang dikirim kepada Imam Husain, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 150 hingga 600 dan bahkan dua belas ribu surat.
Jawaban Surat Warga Kufah dan Keberangkatan Muslim bin Aqil Manakala jumlah surat sudah semakin banyak dan Imam Husain mengetahui kandungannya, sebagai jawabannya, Imam melayangkan surat dengan kandungan seperti berikut ini.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, surat ini dari Husain bin Ali untuk jama'ah mukminin dan Muslimin. Hani dan Sa'id telah membawa surat-surat kalian. Kedua orang itu merupakan delegasi kalian yang terakhir dan aku telah mengetahui isi surat-surat kalian. Ringkasnya, semua surat itu menyatakan bahwa kalian tidak memiliki imam dan menghendakiku agar datang kepada kalian yang mungkin Allah memberi kalian petunjuk kepada kebenaran melaluiku.
Kini, untuk tujuan ini, aku mengutus saudara, anak paman, dan orang kepercayaanku, Muslim bin Aqil, kepada kalian agar melihat dan mempelajari keadaan dari dekat. Apabila Aqil menulis kepadaku bahwa jumhur 'mayoritas' masyarakat, para bangsawan, dan kaum cerdik cendekia memutuskan untuk mengamalkan apa yang terkandung dalam surat yang kubaca itu, aku akan segera menuju kalian. Demi agamaku! Tidaklah layak menduduki kursi imamah kecuali orang yang bertindak sesuai dengan al-Quran, mendirikan keadilan, menerima agama yang benar, dan bertekad untuk melaksanakan kewajiban ini."[28]
Imam menulis surat dan mengutus Aqil untuk berangkat menuju Kufah dengan ditemani oleh Qays bin Mushir Shaidawi, Ammarah bin Abdullah Saluli, dan Abdurahman bin Abdullah Azdi untuk menyampaikan surat kepada warga Kufah dan menyaksikan keadaan dari dekat lalu melaporkannya.
Muslim mengambil surat itu dan berangkat menuju Kufah. Pertama, Muslim memasuki rumah salah seorang warga Syiah yang bernama Mukhtar bin Abi Ubaidah. Masyarakat Syiah menyambutnya dengan hangat dan berebut untuk menjumpainya. Muslim membacakan surat Imam Husain bagi mereka dan mereka menangis karena senang bercampur rindu. Mereka membaiat Muslim bin Aqil sebagai wakil Imam Husain as dan jumlah yang membaiat diriwayatkan mencapai delapan belas ribu orang dan bahkan ada yang mengatakan empat puluh ribu orang.
Surat Muslim bin Aqil kepada Imam Husain as Manakala menyaksikan sambutan masyarakat yang begitu hangat, Muslim bin Aqil menulis surat kepada Imam Husain as dan melaporkan sambutan antusias masyarakat Kufah serta meminta Imam agar sesegera mungkin bergerak menuju Kufah.[29]
Di sisi lain, sebagian pendukung Yazid menulis surat untuk melaporkan peristiwa masuknya Muslim bin Aqil ke Kufah dan baiat masyarakat kepadanya dengan menulis, "Apabila engkau menghendaki Kufah, kirimkanlah walikota yang tangguh kemari. Jika tidak, Kufah akan lepas dari tanganmu."
Ketika surat ini tiba di tangannya, Yazid membahas persoalan ini dengan para penasehatnya. Salah seorang dari mereka memberikan solusi agar Ubaidillah bin Ziyad diangkat sebagai wali Kufah. Yazid menerima saran ini dan mengirimkan surat keputusan yang menunjuk Ubaidillah bin Ziyad, yang saat itu menjabat wali Basrah, sebagai wali Kufah. Untuk itu, Yazid menulis, "Segera pergilah ke Kufah dan tangkap serta habisi Muslim!"
Masuknya Ubaidillah Ke Kufah Ubaidillah tiba di Kufah pada malam hari. Pada pagi harinya, sejumlah bangsawan Kufah dipanggil oleh Ubaidillah ke Darul Imarah. Mereka dipersalahkan dan dicela oleh Ubaidillah yang berkata, "Aku mendengar Muslim bin Aqil datang ke Kufah dan membuat perpecahan di tengah umat! Katakan kepadanya agar jangan meneruskan perbuatan itu sebab, kalau tidak, dia akan menerima hukuman yang berat! Kalian juga harus membantuku dalam hal ini sehingga kalian diridhai oleh Yazid dan mendapat dukungan darinya."
Kemudian Ubadillah mengutus mata-matanya untuk mencari posisi Muslim dan memberikan sejumlah uang sebagai biaya pencarian itu. Muslim bin Aqil yang mengetahui kedatangan Ubaidilah bin Ziyad ke Kufah dan mengetahui ucapan-ucapan Ibn Ziyad di tengah para pendukungnya merasakan adanya bahaya. Ia pun mengubah posisinya dan secara sembunyi-sembunyi, ia beralih ke rumah Hani bin Urwah. Secara kebetulan, salah seorang mata-mata menemukan tempat persembunyian Muslim dan membocorkannya kepada Ibn Ziyad.
Ibn Ziyad memanggil Hani dan dengan celaan ia berkata kepada Hani, "Aku mendengar bahwa engkau menyembunyikan Muslim di rumahmu dan engkau menyediakan pasukan serta senjata untuknya?"
Hani memungkiri tudingan itu. Ibn Ziyad pun mendatangkan mata-mata yang menunjukkan bukti kepadanya. Hani memahami bahwa persoalannya telah terbongkar. Maka, lantas ia berkata, "Aku tidak mengundangnya ke rumahku tetapi dia sendiri yang datang ke rumahku sebagai tamuku dan aku terpaksa menerimanya." Ibn Ziyad berkata, "Kini, engkau harus menyerahkannya kepadaku." Hani berkata, "Aku tidak akan menyerahkan tamuku kepadamu tetapi bersedia untuk menyuruhnya meninggalkan rumahku dan pergi ke mana saja ia suka."
Ibn Ziyad memukuli wajah dan tangan Hani dengan tongkat kayunya hingga Hani mengalami luka-luka dan darah pun mengalir. Lantas Hani dipenjarakan di sebuah kamar yang gelap.
Keluar dan Syahadahnya Muslim bin Aqil Ketika mengetahui berita ini, Muslim memerintahkan para sahabatnya yang kira-kira berjumlah empat ribu orang untuk bersiap-siap berjihad.[30] Mereka berkumpul di masjid dan sekitarnya serta bersiap untuk melakukan serangan ke Darul Imarah. Ibn Ziyad yang menyaksikan keadaan seperti ini berkata kepada para pengikutnya, "Menyusuplah kalian ke dalam pasukan Muslim dan dengan cara bagaimanapun pecah-belahlah, pencarkanlah, dan perselisihkanlah mereka!"
Sebagian pengikut Ubaidillah menyusup ke dalam pasukan Muslim dan membuat isu bahwa pasukan Syam sedang berangkat dan tidak lama lagi mereka akan tiba dan akan membantai pasukan Muslim. Para penyusup itu berkata, "Kasihanilah diri sendiri dan anak-anak kalian dan kembalilah ke rumah kalian sehingga mendapat anugerah dari khalifah Yazid!"
Dengan ancaman-ancaman seperti itu, suasana ketakutan yang mencekam merasuk ke dalam jiwa pasukan hingga para ibu datang untuk mengambil tangan anak-anak mereka dan mengeluarkan mereka dari medan. Tidak lama kemudian, pasukan Muslim telah meninggalkan Muslim. Dalam shalat Maghrib, ada tiga puluh orang yang bertahan dengannya. Ketika Muslim keluar dari masjid, hanya sepuluh orang yang menyertainya. Sewaktu Muslim keluar dari pintu masjid, bahkan tak satu pun orang yang menyertainya.
Dalam keadaan seorang diri, Muslim kebingungan di jalan hingga ia diterima sebagai tamu di rumah seorang wanita tua bernama Thau'ah. Pada hari berikutnya, Ibn Ziyad mencium keberadaan Muslim di rumah nenek tua itu. Lantas ia mengirim beberapa orang untuk menangkap Muslim. Muslim sempat melawan mereka sendirian tetapi akhirnya menyerahkan diri setelah ada jaminan bagi keamanannya. Ia diseret ke sisi Ibn Ziyad dan pada tanggal 9 Dzulhijjah,[31] syahid dengan keadaan yang mengenaskan. Bersamaan dengan itu, Hani dan Urwah menemui ajalnya dengan mengenaskan pula.
Diriwayatkan bahwa menjelang syahidnya, Muslim menangis. Ketika ditanya mengapa ia menangis, Muslim menjawab, "Demi Allah! Aku tidak menangisi ajalku karena syahadah adalah warisan kami. Akan tetapi, aku menangis karena akibat suratku, Imam Husain dan Ahlulbaitnya akan bergerak menuju Kufah. Aku menangis untuk mereka." Kemudian Muslim berkata kepada Muhammad bin As'ats, "Apabila engkau bisa, maka tulislah surat kepada Imam Husain dan katakanlah dariku kepada beliau, "Kini Muslim ditawan kaum keji dan tidak akan lama lagi terbunuh. Batalkanlah niat perjalananmu dan keluargamu karena warga Kufah tidak akan setia dengan janji-janjinya."[32]
Kepergian Imam Husain dan Ahlulbaitnya dari Mekkah bersamaan dengan hari keluarnya Muslim menentang Ibn Ziyad pada hari tarwih.[33]
17
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Keputusan Imam Husain untuk Pergi ke Irak 1. Surat-surat yang banyak dari warga Kufah dan undangan mereka kepada Imam Husain agar pergi ke Irak. Mereka mengatakan pula bahwa mereka tidak memiliki imam dan meminta Imam Husain supaya segera datang.
2. Sambutan hangat masyarakat Kufah dalam membaiat Muslim dan surat Muslim kepada Imam Husain as bahwa sudah ada delapan belas ribu orang yang telah membaiatnya.
Kematian Muawiyah yang kemudian digantikan oleh Yazid padahal Yazid adalah pemuda yang fasik, fajir, suka bersenang-senang, dan berpesta pora. Selain itu, ia kurang berpengalaman dan tidak memiliki kekuatan yang diperlukan.
Semua ini mengindikasikan bahwa umat Islam, khususnya Syiah, tidak tahan lagi menyaksikan kezaliman dan diabaikannya harta milik rakyat serta ketidakpedulian para khalifah Umawi terhadap nilai-nilai Islam, bahkan mereka menginjak-injak nilai-nilai itu. Selain itu, mereka menyaksikan implikasi buruk dari terlepasnya pemerintahan Islam dengan mata mereka sendiri dan berusaha menebus kesalahan itu.
Dengan mempertimbangkan tanda-tanda seperti itu, tampaknya keadaan menunjukkan bahwa landasan bagi pergerakan dan pembentukan pemerintahan Islam sudah tersedia. Dalam kondisi seperti ini, Imam Husain merasakan tanggung jawab, yakni sebuah tanggung jawab yang berat dan sulit lagi berbahaya. Dengan keadaan seperti itu, hujjah bagi Imam Husain sudah sempurna dan Imam merasa harus menyambut positif undangan masyru' dan menentukan masyarakat Kufah serta bergerak menuju Irak.
Akibat dari perbuatan ini, maka hal ini tidak keluar dari dua kemungkinan: pertama, sekiranya masyarakat Kufah menepati janji-janjinya dan mendukung Imam Husain dalam mengupayakan pembentukan pemerintahan Islam yang sejati, dengan demikian, pemerintahan Islam yang sudah sekian tahun menyeleweng dari rel aslinya dapat dikembalikan ke jalurnya yang asli, atau setidaknya, di Irak berdiri pemerintahan seperti pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib. Hal itu nantinya memungkinkan untuk menyebar dan menular ke negeri-negeri Islam yang lain, termasuk Syam.
Dalam asumsi seperti itu, maka kemenangan besar telah diraih oleh Islam dan Muslimin; kemungkinan kedua, masyarakat Kufah melanggar janjinya dan meninggalkan Imam Husain sendirian dalam pergerakan sucinya yang amat penting dan akhirnya Imam syahid. Dalam keadaan seperti ini, Imam Husain telah menunaikan kewajiban Ilahinya dan dengan kebangkitan berdarahnya melawan Yazid, Imam telah mengumumkan ketidakabsahan pemerintahan Bani Umayyah dan telah menggoyang fondasi-fondasinya karena kebangkitan anak Rasulullah saw dan Ali serta Fatimah di hadapan sebuah pemerintahan adalah sebaik-baiknya dalil atas kebatilan dan ilegalitas pemerintahan itu.
Imam Husain berpikir bahwa, dalam keadaan seperti itu, ia telah memberikan pelajaran beragama kepada Muslimin dan melakukan amar makruf nahi munkar dalam membela Islam dan nilai nilai Islam serta melakukan jihad di jalan pembentukan pemerintahan Islam. Ini juga merupakan sebuah kemenangan.
Dari sejumlah ucapan dan khutbah-khutbah Imam Husain as saat hendak keluar dari Madinah dan ketika bergerak menuju Irak dari Mekkah dan di sepanjang perjalanan, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kedua bukan hanya mustahil tetapi bahkan aroma kematian dan syahadah sudah begitu dirasakan oleh Imam. Imam beserta yang menemaninya bersiap-siap untuk menerima kenyataan. Namun, karena beliau merasa bertanggung jawab, tiada jalan lain kecuali menghadapi kematian itu dengan sabar.
Oleh karena itulah, ketika bergerak dari Mekkah menuju Irak, Imam membacakan khutbah dan setelah menjelaskan perasaannya tentang perjalanan ini dan kemungkinan dampaknya yang berbahaya, Imam berkata kepada para sahabatnya, "Barangsiapa yang siap menghadiahkan darahnya di jalan kami dan menyiapkan nyawanya untuk bertemu dengan Allah hendaknya menyertai kami dalam perjalanan suci ini. Aku Insya Allah pagi-pagi benar akan bergerak menuju Irak."[34] Pada malam itu, Muhammad bin Hanafiah, yang pada masa itu berada di Makkah, menjumpai Imam Husain as dan berkata, "Saudaraku! Apakah engkau mengenali warga Kufah. Engkau tahu bahwa ayah dan saudaramu telah dikhianati oleh mereka. Aku khawatir mereka akan berbuat yang sama terhadapmu dan meninggalkanmu sendirian. Apabila engkau setuju, tinggallah di Mekkah dan kemuliaanmu tetap terpelihara."
Imam Husain as berkata, "Saudaraku! Aku khawatir antek-antek Yazid akan membunuhku di Mekkah dan kehormatan Baitullah terkoyak atau mereka akan menangkapku dan menyerahkanku ke Yazid.'' Muhammad bin Hanafiah kembali berkata, "Apabila engkau masih khawatir, pergilah ke Yaman atau salah satu daerah pegunungan!
Di sana, engkau lebih aman." Imam Husain pun memikirkan saran itu.[35]
Orang-orang lain juga ada yang memberikan saran serupa. Namun, tidak satu pun yang dapat menggoyahkan tekad baja Imam Husain untuk menunaikan kewajiban Ilahiah dan Imam pun berangkat ke Irak.
Berangkat Menuju Irak Subuh malam 8 Dzulhijjah, Imam Husain beserta keluarga, anak-anak, saudara, anak paman, saudari, anak saudari, anak-anak paman, para sahabat, dan pendukungnya berangkat menuju Irak. Di saat itu, berita syahidnya Muslim bin Aqil belum mereka terima.[36]
Imam Husain di sepanjang perjalanan berpapasan dengan sejumlah tokoh dan manusia yang kebanyakannya merasa heran atas keberangkatan mendadak Imam ke Kufah dan bahkan tampak cemas dan menyarankan agar Imam Husain tidak melanjutkan perjalanan yang berbahaya itu. namun, Imam Husain tidak menghiraukan saran-saran tadi, seolah-olah rasa tanggung jawab Imam sedemikian besarnya sehingga saran-saran seperti itu tidak lagi berpengaruh.
Di Tsa'labiyah, mereka mendengar syahidnya Muslim dan Hani. Abdullah bin Sulayman dan Mundzir bin Masy'al berkata, "Kami melihat seorang lelaki yang datang dari Kufah. Kami menanyakan keadaan di Kufah. Ia berkata, "Kami tidak keluar dari Kufah melainkan setelah Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah telah terbunuh. Aku melihat dengan mataku sendiri badan mereka ditarik di atas tanah di pasar." Dua lelaki Tsa'labiyah ini mendatangi Imam Husain as dan menceritakan peristiwa syahidnya Muslim dan Hani. Imam berkata, "
Dua lelaki itu berkata, "Demi Allah! Jagalah jiwamu dan keluargamu dan janganlah engkau meneruskan perjalanan ini karena, di Kufah, tidak ada penolong dan Syiah. Bahkan aku takut orang-orang Kufah akan berbalik memerangimu dan berdiri di barisan musuh.
Imam Husain memandang anak-anak Aqil dan berkata, "Kalian telah mendengar kalau Muslim telah terbunuh. Kini, bagaimana pendapat kalian?"
Mereka berkata, "Wahai putra Rasulullah! Demi Allah! Kami tidak akan kembali kecuali setelah membalas darah Muslim atau kami juga terbunuh di jalan ini!"
Imam Husain as berkata, "Setelah syahidnya Muslim dan Hani, kehidupan tidak lagi ada manisnya." Mereka berkata, "Tetapi engkau berbeda dengan Muslim. Apabila engkau memasuki Kufah, diharapkan masyarakat akan berkumpul dan termobilisasi untuk mendukungmu."[37]
Di sisi lain, tatkala Ubaidillah bin Ziyad mengetahui bahwa Imam Husain as telah keluar dari Mekkah dan berangkat menuju Kufah, Husain bin Numair (panglima perangnya) dikirimnya ke Qadisiyah untuk mempersiapkan dan mengorganisasi pasukan.[38]
Program Ibn Ziyad adalah mencegah masuknya Imam Husain ke Kufah dan menghalangi kemungkinan keluarnya warga Kufah untuk bergabung dengan Imam Husain. Oleh karena itu, ia berusaha mengepung dan mengisolasi Imam Husain dan para sahabatnya di luar Kufah lalu memaksa mereka menyerah. Dengan tujuan ini, Hur bin Yazid Riyahi dikirim dengan seribu personil pasukan berkuda ke luar Kufah dan menghambat gerak laju pasukan Imam Husain. Keputusan Imam Husain adalah untuk sesegera mungkin menyampaikan diri dan pasukannya ke Kufah sebagai sentral kaum Syiah yang telah mengundangnya dan memberi janji bantuan.
Pertemuan dengan Hur Imam Husain dan para sahabatnya sedang bergerak menuju Kufah yang kemudian tiba-tiba berhadapan dengan Hur bin Yazid Riyahi dan seribu pasukan berkuda yang datang dari Qadisiyah.
Tatkala Imam Husain dan para sahabatnya turun untuk menunaikan shalat zuhur, Hur memerintahkan pasukannya untuk ikut shalat zuhur di belakang Imam Husain as. Setelah menunaikan shalat zuhur, Imam Husain as menyampaikan khutbah dan berkata, "Aku tidak datang ke sini tanpa undangan. Kalian yang menulis bahwa kalian tidak memiliki imam sehingga, "Datanglah engkau ke Kufah semoga Allah swt menyatukan umat ini di tanganmu sehingga mengenali yang haq (kebenaran)." Kini aku datang. Apabila kalian teguh terhadap janji-janji yang kalian berikan, aku akan tinggal dan melaksanakan kewajiban. Namun, apabila kalian menyesal terhadap ucapan dan apa yang kalian tulis lalu membenci kedatanganku, aku akan kembali ke tanah airku."
Hur berkata, "Aku tidak tahu-menahu tentang surat-surat yang engkau maksudkan itu." Imam Husain as berkata kepada salah seorang sahabatnya agar menunjukkan tas-tas yang berisikan ribuan surat warga Kufah. Hur kembali berkata, "Aku tidak termasuk orang yang menulis surat kepadamu tetapi datang sebagai utusan Ubaidillah untuk menyertaimu terus hingga ke Kufah dan menyerahkanmu kepadanya."
Imam berkata, "Demi Tuhan! Aku tidak akan datang bersamamu ke Kufah." Hur menjawab, "Demi Tuhan! Aku juga tidak akan membiarkanmu lepas dan tidak akan mengijinkanmu pulang. Namun, aku tidak diperintah untuk berperang denganmu."
Imam Husain memerintahkan para sahabatnya agar menaiki kuda. Namun, beliau mengarah bukan menuju Kufah dan juga tidak ke Madinah sedangkan pasukan Hur juga mengikuti mereka sehingga sampailah mereka di bumi yang bernama Nainawa. Ketika itu, dari pihak Ubaidillah bin Ziyad datang sepucuk surat yang bertuliskan, "Ketika suratku tiba ke tanganmu, maka hentikanlah Husain di gurun yang tiada air dan tumbuhan!" Hur membacakan surat itu kepada Imam Husain dan berkata, "Engkau harus turun di sini."
Imam Husain di Karbala Imam Husain as dan para sahabatnya terpaksa berjalan di padang Karbala dan mendirikan kemah-kemah lalu pasukan Hur juga berbaris di hadapan pasukan Imam Husain. Pada hari kedua bulan Muharram tahun 61 Hijriah, [39] mulai tampak jelas bahwa kemungkinan syahidnya Imam Husain as dan para pendukungnya demi membela kebenaran dan agama kakeknya semakin menguat. Imam Husain as membacakan khutbah dan setelah memuji Allah swt, Imam berkata kepada sahabatnya, "Kalian telah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kami, sebagaimana dunia ini sudah terbalik dan menunjukkan wajahnya yang buruk. Kebaikan-kebaikan dunia sudah terjungkir dan tidak tersisa, kecuali kehidupan yang hina seperti padang rumput yang berbahaya.
Tidakkah kalian melihat bahwa kebenaran sudah tidak diamalkan dan kebatilan sudah tidak dilarang? Dalam kondisi seperti ini, aku melihat kematian itu adalah kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang yang zalim tidak lain adalah penderitaan dan siksaan." [40]
Beberapa orang sahabat seperti Zuhair bin Qain, Hilal bin Rafi', dan Burair bin Khudhair bangkit seraya berkata, "Wahai putra Rasulullah! Kami siap syahid dalam membela kebenaran dan berperang di barisanmu. Kami akan berbangga dengan itu."
Sampai di sini, Imam Husain as belum berputus asa dari bantuan masyarakat Syiah di Kufah dan memberikan kemungkinan apabila mereka mendengar kedatangan Imam Husain di bumi Karbala, maka mereka akan berbondong-bondong mendatangi Imam Husain as. Dalam rangka ini dan untuk menyempurnakan hujjah, Imam Husain as menulis surat yang isinya sebagai berikut.
"Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang, kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw di masa hidupnya bersabda, "Barangsiapa menyaksikan raja zalim yang menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah swt dan mencederai janji Allah lalu berbuat hal yang melanggar sunnah Rasulullah saw dan terbiasa dengan perbuatan keji terhadap masyarakat tetapi diam dan tidak memberontak melalui ucapan dan perbuatannya, maka Allah swt akan membangkitkannya kelak dengan raja tiran itu.
Kalian tahu bahwa kaum ini (Bani Umayyah) mengikuti setan dan berpaling dari ketaatan kepada Allah, serta menghamparkan kerusakan di muka bumi, dan meniadakan hukum Allah, dan mengutamakan diri mereka dan para pendukungnya dalam membelanjakan baitul-mal. Mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram. Kalian tahu bahwa aku lebih layak untuk mengurusi pemerintahan dibanding orang lain.
Surat-surat kalian telah tiba di tanganku dan para utusanku telah menyampaikan kepadaku tentang janji setia dan baiat kalian. Kalian menulis, "Kami tidak akan membiarkan Anda sendirian." Kini, bila menepati janji itu, kalian akan mencapai cita-cita kalian itu. Aku, keluargaku, dan anak-anakku berada di sisi kalian dan aku adalah teladan serta contoh. Namun, apabila kalian melupakan janji dan merobek baiat yang hal ini tidaklah jauh dari kalian sebagaimana kalian telah melakukan hal yang sama terhadap ayah dan saudaraku. Anak pamanku pun terperdaya oleh tipuan kalian. Ketahuilah bahwa kalian telah menyia-nyiakan bagian kalian[41] dan Allah tidak membutuhkan kalian."[42]
Surat Hur Untuk Ibn Ziyad Di sisi lain, Hur bin Ziyad Riyahi menulis surat kepada Ibn Ziyad yang berisikan, "Manakala Husain bin Ali tidak mau menyerah, maka sesuai dengan perintah yang mulia, kami akan menghentikannya di sebuah wilayah yang tak ada air dan tumbuhan dan kami menantikan perintah selanjutnya."
Ibn Ziyad, setelah menerima laporan dari Hur, mengambil keputusan untuk menabuh genderang perang. Meskipun para sahabat dan pendukung Imam Husain berjumlah sedikit, yakni 72 orang atau paling banyak seratus orang, -maka seribu personil pasukan yang berada di bawah komando Hur sebenarnya sudah lebih dari cukup- Ibn Ziyad tetap mengambil keputusan untuk mempersiapkan pasukan yang lebih tangguh karena mengetahui dengan baik keberanian dan pengorbanan Husain bin Ali dan para sahabat serta pendukungnya. Ia pun tahu bahwa satu orang dari pasukan Imam Husain sebanding dengan beberapa orang dan setiap orang dari mereka pasti akan membunuh beberapa orang terlebih dahulu sebelum terbunuh. Selain dari itu, ia memperkirakan bahwa sekelompok orang Syiah akan datang dengan cara apa pun untuk memberikan bantuan kepada Imam Husain as.
Yang lebih penting dari itu adalah Ibn Ziyad berpikir bahwa apabila melihat pasukan musuh yang banyak di hadapan mereka, maka Husain bin Ali dan para pendukungnya akan takut dan menyerah.
Oleh sebab inilah atau sebab lainnya, Ibn Ziyad melihat penambahan pasukan dengan senjata yang lengkap merupakan hal yang sebaiknya dilakukan. Untuk tujuan ini, ia memanggil masyarakat ke masjid dan membacakan khutbah sebagai berikut.
"Wahai manusia! Kalian mengenali keluarga Sufyan (ali Sufyan) dan mendapati keluarga Sufyan sebagaimana yang kalian kehendaki. Kini kalian mengetahui bahwa Yazid sebagai khalifah dan amirul mukminin berperilaku baik dan berparas tampan. Ia berbuat baik kepada rakyat melalui pemberian-pemberian yang sesuai pada tempatnya dan membuat jalan-jalan menjadi aman, sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya, Muawiyah, di zaman khilafah-nya. Putranya Yazid sepeninggal ayahnya juga sangat memperhatikan penderitaan rakyat dan membantu kaum fakir-miskin dengan kekayaan pribadinya. Yazid memuliakan kaum fakir-miskin dan menggandakan rejeki kalian. Yazid telah memerintahkan kepadaku untuk menambah gaji kalian dan memerangi musuhnya, Husain. Dengarkanlah perintah ini dan patuhilah!"
Kemudian ia turun dari minbar dan membagikan banyak uang kepada rakyat lalu menginstruksikan agar mereka berangkat ke medan perang dan berperang melawan Imam Husain di bawah komando Umar bin Sa'ad. Dengan demikian, dua puluh atau tiga puluh ribu pasukan telah siap untuk berperang.[43]
Umar bin Sa'ad yang sebelumnya telah dilantik sebagai wali Rey dipanggil pulang ke Irak dan diperintahkan untuk memerangi Husain bin Ali yang telah bertindak subversif terhadap khalifah Yazid sebagai amirul mukminin yang sah dan telah melakukan kerusakan di muka bumi. Umar bin Sa'ad ditugaskan untuk memadamkan api fitnah dan baru setelah itu, ia diijinkan untuk kembali ke tempat tugasnya di Rey. Umar bin Sa'ad memohon agar tugas ini diserahkan kepada orang lain. Ibn Ziyad berkata, "Dengan syarat engkau mengembalikan jabatan sebagai wali Rey."
Umar meminta waktu semalam untuk berpikir tentang hal itu. Pada pagi harinya, karena takut kehilangan jabatan sebagai wali Rey, Umar menerima tugas untuk memerangi Imam Husain as dan pergi ke karbala.[44]
Jumlah pasukan Umar bin Sa'ad yang tiba di Karbala dan berbaris di hadapan pasukan Imam Husain yang berjumlah sedikit, secara terus-menerus, bertambah. Tidak seorang pun yang berani untuk datang membantu Imam Husain as. Ketika menyaksikan keadaan ini, Imam mengutus seseorang untuk menemui Umar bin
Sa'ad serta mengusulkan pertemuan dan dialog. Umar menerima saran Imam Husain as. Maka, pada malam itu, berlangsunglah pertemuan dan pembicaraan khusus antara dua pasukan.
Imam Husain as berkata, "Wahai anak Sa'ad! Apakah engkau tidak takut kepada Allah dan ma'ad sehingga berniat untuk berperang denganku? Padahal engkau mengetahui bahwa aku adalah putra Rasulullah saw. Tinggalkanlah pasukan Yazid dan bantulah aku! Perbuatan itu akan memperoleh keridhaan Allah dan lebih baik untuk akhiratmu."
Umar berkata, "Aku takut mereka akan merusak rumahku."
Imam berkata, "Aku akan membuatkan rumah yang lebih baik untukmu."
Umar kembali beralasan, "Aku khawatir mereka akan mengambil ladang dan hartaku."
Imam berkata, "Aku akan memberikan harta yang lebih baik daripada itu, dari hartaku di Hijaz kepadamu."
Umar berkata, "Aku mencemaskan keselamatan keluargaku."
Di sini, Imam terdiam dan tidak mengatakan apa-apa lagi.[45]
Dalam riwayat lain, Umar bin Sa'ad, setelah pertemuan ini, mengirim surat kepada Ubaidillah bin Ziyad dengan isi berikut ini.
"Allah menghendaki agar api peperangan padam sehingga terjadi ishlah dalam urusan umat sebab Husain mengusulkan agar ia diijinkan kembali ke tanah airnya atau ke salah satu perbatasan dan hidup sebagaimana seorang Muslim pada umumnya."
Ketika surat itu tiba di tangannya, Ibn Ziyad berkata, "Surat ini ditulis atas dasar menghendaki kebaikan." Syimir bin Dzil Jausyan yang saat itu kebetulan berada di situ berkata, "Wahai Amir! Bagaimana engkau menerima ucapan itu? Kini, ketika sudah berada di negerimu, Husain berada di tanganmu. Namun, demi Allah! Apabila tangannya tidak dipaksa berbaiat kepadamu dan bahkan ia kembali ke tanah airnya, ia akan menjadi lebih kuat sedangkan engkau akan menjadi lebih lemah. Jangan lepaskan kesempatan karena engkau akan menyesal. Dia dan sahabatnya harus menyerahkan diri. Saat itulah, engkau dapat menghukumnya atau memberinya ampunan."
Ibn Ziyad menerima nasehat Syimir dan berkata, "Ucapanmu itu adalah ucapan yang benar. Ambillah surat ini dan sampaikan kepada Umar bin Sa'ad. Sampaikan keputusanku kepada Husain dan para sahabatnya. Apabila menerima, mereka akan digiring dalam keadaan hidup dan jika membangkang, maka perangilah mereka! Apabila Umar bin Sa'ad melaksanakan instruksiku, maka patuhlah kepadanya dan jika ia tidak bersedia memerangi Husain, maka engkau akan menggantikan Umar bin Sa'ad. Penggallah leher Umar dan kirimkan kepalanya untukku!"
Surat Ibn Ziyad Kepada Umar bin Sa'ad Ibn Ziyad menulis sebuah surat kepada Umar bin Sa'ad yang isinya adalah berikut ini.
"Aku tidak mengutusmu untuk membela Husain dan mengharapkan keselamatan dan kehidupannya. Aku tidak mengutusmu untuk meminta uzur dari pihaknya atau engkau menjadi penolongnya. Kini berhati-hatilah! Apabila Husain dan para sahabatnya menerima keputusanku lalu menyerah, maka bawa mereka hidup-hidup ke sisiku. Namun, jika mereka menolak, maka seranglah dan bunuhlah semuanya! Setelah mereka terbunuh, cincanglah badan mereka karena mereka layak untuk disiksa seperti itu. Setelah terbunuh, badannya hendaknya diseret oleh kuda karena dia pembangkang, liar, serta zalim. Hanya saja aku tahu bahwa sepeninggalnya, seretan kuda tiada akan berpengaruh tetapi ucapan yang kusebutkan tadi harus kauamalkan.
Bila melaksanakan perintahku, maka engkau akan mendapatkan balasan yang baik. Namun, bila menolak, maka engkau kupecat sebagai komandan pasukan dan kuberikan jabatan itu kepada Syimir Dzil Jausyan."
Syimir mengambil surat itu dari Ubaidillah dan segera menuju Umar bin Sa'ad. Setelah pembacaan surat, Umar berkata kepada Syimir, "Celaka kamu! Semoga Tuhan melaknatmu! Aku berpikir engkaulah yang menyebabkan Ibn Ziyad menolak gagasanku. Aku optimis dengan ishlah pada waktu itu. Namun, engkau merusaknya. Demi Tuhan! Husain tidak akan pernah menyerah sebab ruh ayahnya, Ali, bertiup di tubuhnya." Syimir berkata, "Berilah jawaban! Kini apa yang ingin kaukerjakan? Apakah engkau mematuhi instruksi Amir dan memerangi musuhnya atau engkau akan menyerahkan pasukan kepadaku?" Umar menjawab, "Tidak! Tidak pernah akan kuserahkan komandan pasukan kepadamu! Engkau bertugas sebagai komandan pasukan pejalan kaki."[46]
Hari Kesembilan (tasu'a) Sampai hari kesembilan bulan Muharram, kapan terjadinya perang dan kapan perang akan dimulai belum ada kejelasan. Pada hari itu, surat Ubaidillah bin Ziyad tiba di tangan Umar bin Sa'ad, komandan atau panglima tinggi semua pasukan yang isinya adalah, "Segera selesaikan urusan Husain bin Ali. Apabila ia menyerah, bawalah dia dalam keadaan hidup ke sisiku untuk kuambil keputusan atasnya. Namun, bila ia tidak menyerah, bunuhlah dia dan para sahabatnya dan setelah engkau membunuhnya, cincanglah tubuhnya!"
Setelah menerima surat itu, Umar bin Sa'ad memutuskan untuk memulai perang dengan Imam Husain as karena tahu kalau Husain tidak akan menyerah. Selepas zuhur, hari kamis tanggal sembilan Muharram, ia memerintahkan pasukannya, "Wahai pasukan Allah majulah dan dengan surga bergembiralah."
Pasukan Umar menaiki kudanya masing-masing dan bergerak menuju kemah-kemah Imam Husain as. Imam, pada saat itu, sedang tidur dalam keadaan kepalanya berada di atas lututnya. Zainab, saudarinya, yang mendengar suara derap kaki kuda pasukan lawan, mendatangi Imam Husain seraya berkata, "Wahai saudaraku! Tidakkah engkau mendengar suara gerakan pasukan? Mereka semakin mendekat!"
Imam Husain mengangkat kepalanya dari lututnya dan berkata, "Saudaraiku! Baru saja aku bermimpi bahwa kakekku Rasulullah saw bersabda, "Tidak lama lagi engkau akan bertemu denganku." [47]
Kemudian Imam berkata kepada saudaranya, Abbas, "Saudaraku! Naikilah kudamu dan tanyakan kepada pasukan Ibn Ziyad apa yang mereka mau?"
Abbas bergerak cepat dan menyampaikan dirinya ke hadapan pasukan lawan lalu bertanya apa maksud dari gerakan mereka itu. Mereka berkata, "Ubaidillah memerintahkan kami untuk menyelesaikan urusan dengan kalian. Apabila kalian bersedia untuk menyerahkan diri, kami akan mengirimkan kalian dalam keadaan hidup-hidup kepadanya untuk diambil keputusan tentang nasib kalian dan jika kalian tidak bersedia menyerahkan diri, kami akan berperang dengan kalian."
Abbas kembali ke sisi Imam Husain dan menyampaikan maksud pasukan Ibn Ziyad itu kepada Imam Husain as. Imam berkata, " Pergilah ke sisi mereka dan jika bisa mintalah waktu karena di malam ini, kami akan mendirikan shalat, berdoa, dan meminta ampunan dari Allah swt. Allah mengetahui bahwa aku menyukai shalat, membaca al-Quran, doa, serta istighfar."
Abul Fadl Abbas mendatangi pasukan lawan dan menyampaikan gagasan Imam Husain as kepada mereka. Usulan itu diterima dan perang ditunda hingga keesokan harinya. [48]
Instruksi agar Bersiap-siap Di saat itu, kapan perang akan terjadi belum juga jelas. Memandang bahwa jumlah pasukan Imam Husain sedikit, maka pasukan musuh mulai mengepungnya sehingga tiada lagi kemungkinan adanya pasukan gabungan yang berpihak kepada Imam Husain as. Dengan demikian, siapa yang akan menang dalam peperangan ini sudah dapat diramalkan dengan baik. Kematian yang mulia dan syahid di jalan Allah akan terjadi karena Imam Husain as dalam keadaan apa pun tidak akan bersedia menyerah di hadapan Ibn Ziyad. Dengan demikian, Imam Husain memutuskan untuk beperang sampai titik darah penghabisan secara ksatria dan berani di hadapan pasukan musuh. Imam tidak akan menerima kehinaan dengan menyerahkan dirinya. Untuk mencapai tujuan besar ini, haruslah sebab-sebab dan pendahuluannya disediakan agar dapat mempersiapkan para sahabat, kawan, dan bahkan keluarganya. Dalam kaitan ini, beberapa pendahuluan telah Imam lakukan.
1. Menguji para sahabat dan kawan. Walaupun mengenal baik para sahabat dan keluarganya sertta meyakini keimanan, konsistensi, dan kesetiaan mereka, berhubung munculnya kondisi yang baru dan kematian sudah dapat dipastikan, Imam Husain tetap melihat perlunya untuk memberitahu mereka sehingga seumpamanya ada di antara mereka yang tidak siap menerima kematian syahid, maka hendaknya meninggalkan Imam Husain. Hal ini tidak disalahkan dari segi moral dan mereka dapat memelihara keselamatan nyawanya. Dalam kaitan ini, menjelang tenggelamnya matahari, para sahabat dan pendukungnya berkumpul di kemah dan mengetengahkan persoalan ini di tengah masyarakat.
Imam Sajjad menceritakan kejadian itu sebagai berikut. "Ayahku setelah memuji Allah berkata, "Aku tidak memiliki sahabat yang lebih setia dan lebih baik daripada kalian dan tidak ada Ahlulbait yang lebih baik daripada keluargaku. Allah swt memberikan balasan yang baik kepada kalian. Aku tidak mengira masyarakat akan berbuat seperti ini terhadapku dan tidak menepati janjinya serta meninggalkan kami. Nasib kita akan berakhir dengan perang dan syahid. Kini, aku cabut baiat kalian dari pundak kalian dan kubebaskan kalian sehingga kalian bebas pergi dari pihakku ke mana saja. Janganlah kalian sungkan! Gunakanlah kegelapan malan dan selamatkanlah nyawa kalian dari bahaya!
Di saat itu, pamanku Abbas berdiri dan berkata, "Kami tidak akan pernah melakukan itu dan tidak akan pergi untuk hidup setelahmu? Semoga Allah tidak mendatangkan hari itu untuk kami." Setelah Abbas, saudara-saudara yang lainnya, anak-anak saudara, serta anak-anak Abdullah bin Ja'far berdiri dan mengulangi ucapan yang seperti tadi.
Saat itu, ayahku berbicara kepada anak-anak Aqil dan berkata, "Syahadah Muslim sudah cukup bagi kalian. Maka, kuijinkan kalian untuk pergi ke mana saja." Mereka berkata, "Mahasuci Allah! Bagaimana mungkin kami akan membiarkan Anda sendiri lalu pergi? Kemana kami akan pergi dan apa yang nanti kami dapat katakan? Apakah kami akan mengatakan bahwa kami telah meninggalkan sayyid dan tuan kami serta kami datang tanpa menembakkan tombak ke musuh dan membelanya dengan pedang? Tidak wahai putra Rasulullah! Kami tidak akan pernah melakukan ini tetapi akan tetap bersama Anda dan kami akan mengorbankan nyawa, harta, dan keluarga kami untuk engkau sehingga apa yang menimpamu juga menimpa kami. Betapa buruknya kehidupan setelahmu nanti." [49]
Setelah itu, tiba giliran ucapan para sahabat Imam, seperti Muslim bin Ausajah yang berdiri dan berkata, "Wahai putra Rasulullah! Kami tidak akan meninggalkanmu sendirian dan kemana kami akan pergi? Tidak, demi Allah! Aku tidak akan pergi sebelum menusukkan tombak dan memukul musuh dengan pedangku dan apabila senjataku sudah tidak berfungsi, aku akan menyerang mereka dengan batu. Wahai putra Rasulullah! Demi Allah! Aku tidak akan meninggalkanmu dan selalu mendukungmu sehingga Allah mengetahui bahwa di masa ketiadaan Rasulullah saw, kami tetap memelihara kemuliaan dan kehormatan Ahlulbaitnya. Demi Allah! Kalau aku tahu bahwa dalam membelamu aku nanti terbunuh kemudian badanku dibakar dan debunya kemudian dibawa oleh angin lalu aku kembali hidup dan perbuatan ini diulangi sebanyak tujuh puluh kali, aku tidak akan melepaskan bantuan untukmu sehingga aku terbunuh di hadapan wajahmu. Wahai putra Rasulullah! Bagaimana aku dapat meninggalkanmu padahal tahu bahwa aku tidak akan terbunuh lebih daripada satu kali. Setelah itu, aku akan mencapai kemuliaan yang tiada akan berakhir."
Setelah Muslim bin Ausajah, sekelompok lain dari sahabat berdiri dan tiap-tiap, sesuai gilirannya, menunaikan ucapan seperti ucapan Muslim dan setelah itu, Imam Husain mendoakan mereka."[50]
Dengan cara ini, Imam Husain as di masa yang sangat peka menguji para sahabatnya. Ternyata konsistensi, kesetiaaan, serta resistensi mereka tidak dapat diragukan lagi.
2. Mendirikan tempat berlindung. Salah satu risiko dan bahaya yang paling besar dari sebuah pasukan yang sedang berperang adalah ketiadaan tempat berlindung. Oleh karena itulah, setiap pasukan menjadikan tempat pertempurannya di sisi gunung atau lereng yang tinggi atau ladang kurma atau hutan atau sungai yang lebar agar mereka terpelihara dari serangan musuh yang datang dari belakang dan berperang berhadap-hadapan. Sayangnya, medan tempur Imam Husain tidaklah demikian karena pasukan Ibn Ziyad mengepung Imam Husain as dan para sahabatnya di sebuah tempat yang jauh dari gunung atau tebing atau ladang kurma sehingga dari segala penjuru mereka dapat diserang. Berperang di medan seperti itu adalah terlampau sulit. Untuk menyelesaikan problema ini, Imam Husain as memerintahkan para sahabatnya untuk mendirikan kemah yang saling berdekatan dan menyambungkan tali-tali kemah dari dalam. Dengan cara inilah, terdapat penghalang bagi serangan musuh dari belakang. Selanjutnya, Imam Husain memerintahkan untuk menggali parit di belakang kemah dan memenuhinya dengan jerami sehingga tatkala perang dimulai, jerami itu akan dibakar dan menjadi penghalang bagi masuknya musuh dari belakang.[51] Di samping itu, usaha menggali khandaq 'parit' juga akan menyebabkan terhalangnya musuh untuk menyerang kemah Imam Husain dan para sahabatnya.
3. Mengorganisasi dan mengatur pasukan Perang Ibn Ziyad dengan Imam Husain as dari segi tenaga dan fasilitas adalah suatu perang yang benar-benar tidak seimbang karena jumlah pasukan Imam Husain as pada umumnya adalah 72 orang atau paling banyak 145 orang. Namun, pasukan Ibn Ziyad ditulis mencapai 22 ribu orang.[52]
Namun ketidakseimbangan ini tidaklah membuat kecut semangat dan ruh Imam Husain as serta para sahabat dan keluarganya. Mereka tiada pernah menyatakan keraguan atau kelemahan, bahkan begitu serius dan bertekad untuk membela diri serta mengatur strategi dan pasukannya. Zuhair bin Qain menjadi komandan pasukan sebelah kanan sedangkan Habib bin Madzahir menjaga pasukan sebelah kiri. Saudara Imam, Abbas, diberi tugas sebagai pembawa bender hitam.[53]
Setelah selesainya perkerjaan ini, Imam Husain, para sahabat, serta saudaranya memasuki kemah dan menyibukkan diri dengan mendirikan shalat, membaca al-Quran, memanjatkan doa serta munajat kepada Allah swt.
Imam Husain as dan para sahabatnya tidak tidur di malam Asyura. Suara munajat dan rintihan mereka bagaikan suara tawon yang terdengar di telinga. Mereka larut dalam keadaan rukuk dan sujud serta qiyam dan qu'ud.[54]
Hari Asyura Pada tanggal 10 Muharram, yang dinamakan Asyura, tahun 61 Hijriah di bumi Karbala, terjadilah peristiwa yang sangat mengenaskan dan pahit, yang goresannya tidak akan dapat dilupakan hingga selama-lamanya. Di hari itu, terjadilah peperangan yang dahsyat antara pasukan Imam Husain as dan pasukan Umar bin Sa'ad dan disusul oleh peristiwa yang begitu pahit. Imam Husain as, semua pemuda, serta sahabatnya, kecuali Ali bin Husain yang tengah sakit keras, syahid. Para ahli sejarah dan arbab maqatil menulis kejadian hari itu dengan sangat terperinci. Mereka menggambarkan peristiwa hari itu dengan teliti. Bagi setiap syahid di hari itu, dibuatkan satu bab khusus secara terpisah. Tentang bagaimana ia pergi ke medan laga, keberanian serta ketangkasannya, berapa orang yang dibunuhnya, bentuk syahidnya, dan siapakah pembunuhnya telah dijelaskan secara jelas dan terperinci. Kami, di halaman yang ringkas ini, tidak akan menjelaskan peristiwa yang pahit dan menyedihkan tersebut secara terperinci. Siapa yang berminat dapat merujuknya ke ratusan buku yang ditulis mengenai hal ini. Namun, untuk mengenal esensi perang berdarah di Karbala, kami akan mengadakan perbandingan pendek antara Husain bin Ali dan para sahabatnya, di satu sisi, dengan Yazid, Muawiyah, dan pasukannya di sisi lain.
18
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Perbandingan antara Pimpinan dua Pasukan Husain bin Ali dan Yazid bin Muawiyah, dari segi keluarga, pola pikir, serta tujuan, adalah tidak sama. Keduanya merupakan dua pribadi yang berbeda dengan dua jenis pemikiran yang sangat berbeda dalam mengejar dua tujuan. Husain bin Ali adalah seorang manusia mulia, besar, dan beragama. Dari hatinya yang paling dasar, ia meyakini Islam dan nilai-nilainya. Manusia suci dan maksum ini dipenuhi dengan perasaan kemanusiaan yang paling suci sehingga konsisten untuk memeliharanya di semua keadaan. Rasulullah saw berkali-kali memuji Imam Husain, yang di antaranya adalah sebuah hadis dari Rasulullah berikut ini, "Hasan dan Husain adalah sayyid dan penghulu para pemuda surga."[55]
Pehatikanlah dua contoh perilaku berikut ini.
Tatkala Imam Husain as dan pasukannya berpapasan dengan pasukan Hur bin Yazid Riyahi dan merasakan bahwa mereka kehausan, Imam Husain memerintahkan para sahabatnya untuk memberi mereka air, bahkan kepada kuda-kudanya hingga segar. Salah seorang pasukan yang tidak dapat minum dibantu Imam Husain as untuk minum.[56]
Sebaliknya, Ibn Ziyad memerintahkan panglima pasukannya, Umar bin Sa'ad, agar memboikot air terhadap Husain, para sahabat, serta keluarganya dan tidak mengijinkan mereka untuk minum walaupun setetes.[57]
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Imam Husain tidak pernah menghendaki perang dan senantiasa berupaya untuk tidak menjadi pencetus perang, bahkan di awal perang, di kala berhadapan dengan Syimir Dzil Jausyan -salah seorang musuh yang paling keji dan menjijikkan- salah seorang sahabat Imam Husain meminta ijin untuk mengarahkan panahnya kepada lelaki bejat itu. Namun, Imam tidak mengijinkannya dan berkata, "Aku tidak ingin menjadi pencetus perang."[58]
Akan tetapi, Umar bin Sa'ad memerintahkan pasukannya untuk memulai perang dan berkata, "Apa yang kalian tunggu? Mengapa kalian tidak segera memulai perang?"[59] Lantas, Umar bin Sa'ad memerintahkan kepada lima ratus pemanahnya untuk menghujani Husain dan para sahabatnya dengan panah.[60]
Yazid bin Muawiyah adalah seorang yang tidak peduli dan tidak konsisten dengan hukum dan nilai-nilai Islam. Ziyad bin Ubaih yang disuruh Muawiyah untuk memproklamasikan pengangkatan Yazid menulis, "Bagaimana kita dapat mengemukakan khilafah Yazid dan mengambil baiat dari umat sedangkan dia suka bermain dengan kera dan mengenakan pakaian yang berwarna-warni? Ia selalu dalam keadaan mabuk dan tidur dengan lagu dan wanita pelacur."[61]
Yazid adalah seorang, yang untuk memperkukuh kekuasaan ilegalnya dan mengambil baiat dari Husain bin Ali, menulis kepada walinya di Madinah, "Ambillah baiat dari Husain dan bila membangkang, bunuhlah dia!" [62]
Untuk menjaga keselamatan nyawanya, Imam Husain terpaksa meninggalkan Madinah dan hijrah ke Mekkah. Namun, Yazid memerintahkan beberapa orang untuk meneror dan membunuh Imam Husain as di tanah haram hingga Imam Husain as terpaksa meninggalkan Mekkah dan bergerak menuju Kufah. [63]
Akhirnya, atas perintah Yazid, Husain bin Ali dan para sahabatnya dibunuh di Karbala. Lantas keluarganya ditawan dan digiring ke Syam. Adalah Yazid yang memerintahkan kepada Muslim bin Aqabah untuk bergerak menuju Madinah bersama dengan lima ribu pasukan dan menghalalkan wanita serta gadis-gadis Madinah selama tiga hari bagi pasukannya. Mereka merampok harta dan melakukan kekejian yang kemudian menjadi lembaran hitam sejarah. Pada akhirnya, mereka mengambil baiat dari masyarakat Madinah untuk menjadi hamba Yazid. [64]
Ayah Husain adalah Ali bin Abi Thalib yang merupakan tokoh Islam kedua, yang sebelumnya telah kami singgung tentang sebagian dari keutamaan dan kesempurnaannya. Ia adalah lelaki pertama yang menerima Islam, padahal di masa itu, ia belum mencapai usia akil balig. Imam Ali senantiasa mengabdi kepada Islam dan Rasulullah saw. Ia adalah penulis kalam Allah dan penghafal al-Quran. Di malam mabit atau yang biasa disebut lailatul-mabit, Ali tidur di pembaringan Rasulullah saw untuk memelihara nyawa Rasulullah dari serangan musuh. Suami Fatimah az-Zahra dan menantu Rasulullah saw ini sangatlah pemberani dan ikut serta dalam semua perang. Banyak sekali pasukan musuh yang terbunuh di tangannya. Ali mempelajari keseluruhan ilmu nubuwwah dari Rasulullah saw dan menyimpan ilmu-ilmu tersebut. Ali dari lubuk hati yang terdalam beriman kepada Tuhan semesta alam dan ia sendiri merupakan manifestasi dari semua kesempurnaan dan nilai Islam.
Sementara itu, ayah Yazid adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibn Abil Hadid menyifati Muawiyah sebagai berikut.
Ia mengenakan pakaian sutera dan makan dengan wadah emas dan perak. Ketika menjawab Abu Darda' yang bersandar pada hadis Rasulullah mengenai haramnya pakaian sutera dan wadah dari emas dan perak, Muawiyah berkata, "Menurutku itu tidak masalah." Dari perbuatan dan ucapan seperti itu adalah jelas bahwa sebenarnya Muawiyah menolak pokok nubuwwah. Dia menjalankan had sesuai dengan keinginannya sendiri sehingga melaksanakan hudud atau menghukum orang-orang yang tidak seharusnya dihukum dan diberlakukan hudud terhadap mereka. Ia malah seringkali tidak melaksanakan hukuman terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan. Ziyad bin Ubaih dengan orientasi politik bergabung dengan Abu Sufyan, padahal Rasulullah saw telah bersabda, "Al-waladu lil firash." Muawiyah membelanjakan harta baitul-mal seenak perutnya dan menggunakannya untuk keperluan pribadi. Muawiyah membunuh Hujr bin Udai dan para sahabatnya. Muawiyah mencaci Abu Dzar Ghaffari, sabahat setia Rasulullah saw, lalu menaikkan Abu Dzar ke sadel unta dan mengirimnya ke Madinah. Ali bin Abi Thalib, Hasan, serta Husain dicacinya di mimbar-mimbar. Putranya Yazid ditunjuknya sebagai wilayah ahdi 'putra mahkota' selalu dalam keadaan mabuk serta bermain dengan genderang dan gendang. Yazid pun selalu tidur di antara budak-budak wanita yang bernyanyi.[65]
Kakek Husain bin Ali adalah Muhammad bin Abdillah yang ilmu, keimanan, dan kemuliaan akhlaknya tidak memerlukan penjelasan lagi. Kakek Yazid adalah Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan adalah pemuka kaum musyrik yang senantiasa bermusuhan dengan Rasulullah saw dan melakukan gangguan serta penyiksaan terhadap para pengikut Nabi saw.[66]
Dalam perang Badar, Muawiyah memberikan stimulus dan provokasi kepada kaum musyrik untuk memerangi Muslim. Dalam perang inilah, salah seorang dari putranya yang bernama Handzalah tewas terbunuh dan putranya yang lain, yang bernama Umar bin Abi Sufyan, tertawan.[67]
Dalam perang Uhud, musyrikin didorong oleh Muawiyah untuk memerangi Muslimin. Dalam perang inilah, Hamzah bin Abdul Muthalib (Paman Nabi) syahid dan hatinya dihadiahkan kepada Hindun (istri Abu Sufyan). Karena begitu benci dan marahnya, Hindun meletakkan hati Hamzah itu di mulutnya dan mengunyahnya. Ia menghampiri jenazah Hamzah dan kemudian memotong-motong tubuh Hamzah. Dari tubuh Hamzah itu, ia membuat kalung dan bintik-bintik.[68]
Abu Sufyan di akhir perang, yang telah menyebabkan kesyahidan banyak Muslim ini, menampakkan kebahagiaannya dan berkata, "Mahatinggi Hubal! Kami memiliki kemulian yang tidak kalian miliki."[69]
Abu Sufyan hingga masa Fathul Makkah tetap berada di dalam kekafiran dan memusuhi Rasulullah saw serta umat Islam. Namun, setelah Mekkah dijatuhkan oleh Muslimin, Abu Sufyan -karena takut akan keselamatan nyawanya, secara zahir, menerima Islam.[70]
Dari sejak itulah, meskipun mengaku masuk Islam dan mendapatkan ampunan, bahkan keistimewaan dari Rasulullah saw, -dari beberapa peristiwa sejarah- menjadi jelaslah bahwa Abu Sufyan dari lubuk hatinya tidaklah menerima Islam dan batinnya adalah seorang munafik.
Ibn Abil Hadid menulis, "Usman, setelah mengambil baiat dari masyarakat, pulang ke rumahnya. Sejumlah Bani Umayyah berkumpul di rumahnya. Pintu rumah Usman ditutup untuk selain sanak kerabatnya. Abu Sufyan, yang kala itu buta, adalah di antara mereka yang hadir. Ia menghadap ke hadirin seraya berkata, "Apakah selain dari Bani Umayyah ada orang lain yang hadir di sini?" Mereka berkata, "Tidak." Abu Sufyan berkata lagi, "Wahai Bani Umayyah! Kini kekuasaan sudah jatuh ke tangan kalian. Maka, kenalilah nilainya dan putarkanlah kekuasaan itu di antara kalian sendiri sebagaimana sebuah bola! Berhati-hatilah jangan sampai diambil orang lain! Demi sesuatu yang Abu Sufyan bersumpah dengannya, sesungguhnya tiada siksaan, tiada hari perhitungan, tiada surga, tiada neraka, tiada hari kebangkitan, dan juga tiada hari kiamat."[71]
Tujuan para Pemuka Dua Pasukan Husain bin Ali dan Yazid di dalam perang ini tidaklah memiliki tujuan yang sama. Mereka memiliki tujuan yang sangat berbeda.
Tujuan Imam Husain sudah dijelaskan dalam wasiatnya kepada Muhmmad bin Hanafiah. Tujuan itu ada tiga hal.
1. Memperbaiki umat kakeknya, Rasulullah saw.
2. Amar makruf nahi munkar
3. Menghidupkan sirah Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib yang telah terlupakan. [72]
Husain bin Ali bermaksud untuk merealisasikan tiga tujuan ini dengan dua kemungkinan: pertama, pembentukan sebuah pemerintahan yang benar-benar berdasarkan Islam apabila telah disiapkannya landasan yang sesuai; kedua, apabila untuk membentuk pemerintahan Islam tidak ada landasan dan keadaannya mengarah kepada pertempuran dan perang, Imam Husain dan para sahabatnya akan bertahan hingga syahadah menjelang di hadapan musuh. Dengan demikian, secara praktik, Imam mengajarkan kepada Muslimin bagaimana cara beragama dan berjihad di jalan Allah untuk membela Islam dan nilai-nilainya. Selain dari itu, dengan kebangkitannya di hadapan pemerintahan Yazid, Imam hendak membuktikan ilegalitas atau ketidakabsahan pemerintahan tersebut bagi umat Islam karena menampakkan kejahatan, kezaliman, kekufuran, dan kemunafikan batiniahnya. Imam pula menyiapkan landasan bagi kebangkitan-kebangkitan anti-pemerintahan Bani Umayyah.
Secara kebetulan, kebangkitan Abu Abdillah (Imam Husain), meskipun tidak sukses pada kemungkinan pertama, tetapi, pada kemungkinan kedua, sungguh-sungguh sukses.
Yazid bin Muawiyah dalam perang berdarah ini mengejar dua tujuan sebagai berikut.
Pertama, mengukuhkan landasan-landasan pemerintahannya yang ilegal dengan mengambil baiat atau menundukkan Husain bin Ali, putra Rasulullah saw, dan mengabsahkan pemerintahannya serta melanjutkan kezaliman, kekejian, dan pola hidup hedonisnya.
Ya'qubi menulis, "Yazid bin Muawiyah, sepeninggal ayahnya, menulis kepada penguasa Madinah, Walid bin Atabah, "Begitu engkau menerima suratku, panggillah Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair lalu ambillah baiat dari mereka. Apabila, mereka membangkang dari baiat, leher mereka harus kaupenggal dan kirim kepalanya untukku." [73]
Kedua, dendam dan ambisi untuk membalas Bani Hasyim, khususnya anak-anak Ali bin Abi Thalib karena, dalam perang Badar, paman Yazid dan beberapa lainnya -dari kepala Quraisy dan sanak keluarga Yazid, seperti Aqabah, Syaibah, Walid, dan Abu Jahal, telah terbunuh.[74]
Meskipun Yazid dan Muawiyah mengaku sebagai Muslim, kebencian dan dendam mereka pada masa jahiliah masih tersimpan dan tertanam di kalbu mereka. Dari situlah, dapat dikatakan, bahwa dalam peristiwa berdarah di Karbala, pembalasan dendam terhadap putra-putra Rasulullah saw merupakan salah satu tujuan Yazid. Dalam kitab sejarah, juga ada bukti-bukti yang menunjukkan kemungkinan ini.
Dituliskan bahwa ketika Ahlulbait Imam Husain as tiba di Syam, para petugas membawa kepala suci Imam ke hadapan Yazid. Dia memerintahkan untuk menghamparkan sufrah makan dan meletakkan kepala itu di atasnya. Dalam keadaan seperti itu, Yazid meminum tuak dan arak bersama para sahabatnya.
Kepala Imam Husain diletakkan di dalam sebuah wadah dan mereka bermain catur di atas wadah itu sambil mengolok-olok Imam Husain, ayahnya, serta kakeknya. Adakalanya, ketika menang atas lawannya dalam permainan itu, Yazid langsung meneguk segelas arak dan sisa araknya dituangnya ke sisi wadah itu! Yazid membacakan syair yang isinya, "Betapa indahnya sekiranya para pembesarku di perang Badar kini hadir di sini dan menyaksikan terbunuhnya Husain serta tertawannya keluarganya. Mereka tentu akan bahagia dan pasti akan berkata, "Wahai Yazid! Kami berterimakasih kepadamu. Engkau telah mengambil balas darah keluarga kita yang terbunuh dalam perang Badar dan betapa baiknya engkau melakukan itu." [75]
Perbandingan antara Pasukan Dua Pihak Antara para sahabat dan pendukung Imam Husain as dan pasukan Yazid bin Muawiyah, dari segi kepribadian sosial, pola pikir, jenis perilaku, dan tujuan, adalah jauh berbeda. Tiap-tiap pasukan itu menyerupai pemimpin atau imamnya. Para sahabat Imam Husain bin Ali adalah manusia-manusia yang taat beragama. Mereka beriman dan mencintai keadilan dengan penuh pengorbanan. Mereka pemberani, setia, berkepribadian mulia, objektif, mempunyai harga diri, lembut dalam perangai, dan menghendaki kebaikan untuk orang lain. Mereka tidak menyertai Imam Husain ke Karbala karena rakus terhadap jabatan, kekayaan, serta kedudukan, melainkan tujuan mereka amatlah suci dan mereka menyertai Imam Husain untuk merealisasikan tujuan suci Imam Husain as. Mereka berperang demi membela cita-cita suci Imam dengan penuh keberanian, keikhlasan, dan kecenderungan untuk itu. Mereka mempertahankan harim wilayah dan akhirnya, dengan penuh keinginan, mereka menjumpai syahadah dan bertemu dengan Allah.
Bagi tiap-tiap sahabat dan pendukung Imam Husain, dalam kitab sejarah, telah dituliskan noktah-noktah yang sangat menarik dan indah, bahwa martabah keimanan, keikhlasan, dan kesempurnaan akhlak mereka begitu menonjol, sangat edukatif, dan berfaedah. Namun sayangnya, waktu untuk menyebutkan hal itu tidak ada.
Di sini, kami hanya akan menyebutkan beberapa contoh dari itu. Contoh pertama, setelah zuhur, tanggal 9 Asyura, Syimir bin Dzil Jausyan datang ke sisi kemah Imam Husain dan berkata, "Manakah anak-anak lelaki dan saudari perempuan kami?" Yang dimaksudnya adalah Abbas, Ja'far, Abdullah, Usman, dan anak-anak Ali bin Abi Thalib dari Ummul Banin. Ummul Banin masih mempunyai hubungan keluarga dengan Syimir.
Abbas sebenarnya hendak tidak menghiraukan Syimir tetapi Imam Husain as berkata, "Lihatlah apa yang hendak dia katakan!" Abbas menghampiri Syimir dan berkata, "Apa maksudmu?" Syimir berkata, "Aku membawa jaminan keamanan dari Ubaidillah bin Ziyad untukmu. Engkau aman dan dapat menyelamatkan diri dari kebinasaan ini."
Abbas dalam jawabannya mengatakan, "Semoga Allah melaknatmu dan surat jaminan keamananmu! Apakah aku aman tetapi putra Rasulullah saw tidak aman?" [76]
Contoh kedua, saat zuhur Asyura dan dalam kecamuk perang, salah seorang sahabat bernama, Abu Tsamamah Shaidawi berkata kepada Imam Husain as, "Jiwaku kukorbankan untukmu! Pihak musuh telah mendekat. Namun, selagi hidup, aku tidak akan membiarkan mereka melukaimu. Aku suka melaksanakan shalat ini dan kemudian menjumpai Tuhan-ku."
Imam Husain as memandang ke langit dan berkata, "Semoga Allah menjadikanmu di antara orang yang mendirikan shalat. Telah tiba waktu shalat zuhur. Mintalah dari pasukan Ibn Ziyad untuk memberi waktu kepada kita untuk melaksanakan shalat!"
Salah seorang pasukan musuh berkata, "Wahai Husain! Shalatmu tidak diterima!" Habib bin Madzahir menjawab, "Wahai lelaki kotor! Apakah shalat putra Rasulullah tidak diterima sementara shalatmu diterima?"
Saat itu, Zuhair bin Qain dan Sa'id bin Abdullah menjadikan diri mereka sebagai perisai agar Imam Husain as dapat melaksanakan shalat. Panah datang dari segala penjuru. Sai'id bin Abdullah menyambut panah itu agar tidak mengenai tubuh Imam Husain as. Pada akhirnya, karena banyaknya luka, ia jatuh pingsan dan berkata, "Ya Allah! Sampaikan salamku kepada Rasulullah saw dan beritahukan kepadanya tentang betapa badanku luka dan sakit untuk membela putranya. Ya Allah! Engkau mengetahui bahwa aku sudah maksimal membela keturunan Rasul-Mu.
Ia mengucapkan itu dan kemudian menemui ajalnya. Tatkala para sahabat mendekati jenazahnya, selain dari luka pedang, tampak tiga belas panah mengenai tubuhnya.[77]
Para sahabat Yazid juga menyerupainya dan mereka mengejar tujuan-tujuan hina duniawi dan hewani. Mereka merupakan manusia-manusia yang mencintai dunia, mencintai popularitas dan kedudukan, tidak memiliki kepribadian, dan lemah iman sehingga tidak segan-segan melakukan perilaku keji dan kejahatan untuk mencapai tujuan-tujuan hewaninya itu. Mereka mendukung pengukuhan pemerintahan Yazid agar mencapai tujuan duniawinya dan mencapai kedudukan atau jabatan.
Ubaidillah bin Ziyad adalah orang yang gila kedudukan. Sebagai tanda terima kasih karena ditunjuk sebagai wali Kufah oleh Yazid, ia memimpin perang berdarah di Karbala dan melakukan semua kekejian yang tak terperikan itu terhadap keluarga suci Nabi saw.[78]
Ketika memasuki Kufah, Ibn Ziyad mencerai-beraikan masyarakat dari kedekatan dengan Muslim bin Aqil. Ia juga menangkap Muslim dengan menggunakan senjata ancaman dan sogokan.[79] Untuk mendorong dan menekan warga Kufah agar berperang melawan Imam Husain as, Ibn Ziyad memakai cara tersebut. Umar bin Sa'ad menjadi komandan tertinggi pasukan karena berupaya agar kepemimpinan atau kekuasaannya di Rey tidak terlepas dari tangannya. Untuk itulah, ia bersedia berperang melawan Imam Husain dan melakukan semua kejahatan tersebut. [80]
Kelemahan iman dan kebodohan juga merupakan salah satu faktor dari semua kejahatan mereka. Lemahnya iman dan kebodohan serta tiadanya kepribadian yang kukuh dan kerakusan kepada dunia telah membuat pasukan Ibn Ziyad melakukan berbagai jenis kejahatan, bahkan melakukan kejahatan-kejahatan perang. Mereka membangun dinding di antara sungai Furat sehingga teriakan kehausan para sahabat, wanita, dan anak-anak Imam Husain as menggema di situ.
Mereka bahkan tidak segan membunuh anak-anak yang belum balig dan yang masih menyusui. Setelah membunuh Imam Husain, para sahabat, dan keluarganya secara sangat bengis, mereka memenggal kepala-kepala korban mereka dan membagikannya kepada para kepala pasukan agar dapat mengambil hadiah dari Yazid.
Mereka bahkan merampok pakaian orang-orang yang terbunuh meski pakaian itu murah. Mereka merampok kemah-kemah Imam Husain, bahkan tidak malu untuk merobek telinga anak-anak gadis guna mengambil anting-anting yang melekat pada telinga mereka. Mereka juga membakar kemah-kemah. Mereka menanam dan menguburkan jasad-jasad pasukan mereka sendiri sementara tubuh para sahabat Imam Husain as dibiarkan begitu saja tergeletak di atas tanah tanpa kafan hingga mereka keluar dari negeri itu, padahal mengafani dan menguburkan sesama Muslim adalah wajib.
Mereka menyandera serta menawan keluarga dan anak-anak syuhada lalu menggiring manusia-manusia mulia itu laksana para tawanan perang dari Karbala menuju Kufah. Di jalan-jalan dan di majelis Ibn Ziyad, mereka menghina para tawanan itu. sepanjang perjalanan dari Kufah menuju Syam, para tawanan itu dipertunjukkan kepada penduduk kota-kota dan desa-desa yang dilewati. Manakala memasuki kota Syam, mereka menghiasi kota dengan lampu-lampu sebagai tanda kemenangan dan mereka membawa keliling Ahlulbait Nabi saw di jalan-jalan Syam. Kemudian mereka memasuki majelis umum Yazid dan di situlah para tawanan itu diperlakukan sangat hina dan direndahkan.
Yang menakjubkan adalah kejahatan-kejahatan perang itu keluar dari orang-orang yang menganggap dirinya sebagai Muslim dan pengikut Rasulullah saw, kakek para syuhada dan Ahlulbait.
Tujuan-Tujuan Imam Husain as dan Metode Penindak Lanjutan Untuk mengenali dengan baik tujuan Imam Husain as dalam kebangkitan Karbala, sebaiknya kita merujuk kepada ucapan Imam sendiri. Ditulis bahwa tatkala keluar dari Madinah, dalam surat wasiatnya kepada Muhammad bin Hanafiah, Imam menulis,
"Sesungguhnya aku tidak keluar untuk melakukan kejahatan, kesombongan, kerusakan, dan kezaliman tetapi sesungguhnya aku keluar untuk melakukan perbaikan terhadap umat kakekku dan melakukan amar makruf nahi munkar sementara aku berjalan pada sirah kakekku dan ayahku, Ali bin Abi Thalib."
Dalam pembicaraan ini, Imam Husain as menyebutkan tiga hal sebagai tujuan: memperbaiki urusan Muslimin, amar makruf nahi munkar, dan menghidupkan sirah atau sunnah kakeknya, Rasulullah saw, dan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib as.[81]
Dengan sedikit ketelitian, maka dapat dikatakan, bahwa tujuan yang terpenting Imam Husain adalah ishlah atau memperbaiki umat yang telah melupakan sirah Rasulullah saw. Dalam berbagai dimensi, baik ibadah, sosial, akhlak, politik, maupun ekonomi mereka telah menyeleweng. Imam Husain berniat menunaikan amal yang penting ini melalui amar makruf dan nahi munkar di semua aspek. Dari itulah, pergerakan Imam Husain as dapat dikenal sebagai suatu gerakan protes dan reformasi yang dilakukan dalam bingkai amar makruf nahi munkar di berbagai aspek dan sesuai dengan tuntutan zaman serta tempat.
Langkah pertama yang diambil oleh Imam Husain as adalah berhijrah dari Madinah. Setelah kematian Muawiyah, Yazid, anaknya, menulis surat kepada Walid, wali Madinah, bahwa Husain bin Ali harus bersedia membaiatnya. Jika Husain membangkang, hendaknya ia dibunuh. Namun, Imam Husain memandang bahwa pemerintahan Yazid tidaklah sah dan melanggar syariat. Maka, Imam tidak bersedia memberikan baiat. Sebagai protes dan pernyataan tidak percayanya, Imam bergerak dari Madinah menuju Mekkah. Perbuatan ini adalah sejenis nahi munkar.
Langkah kedua adalah berdiam di Makkah. Imam Husain berniat untuk menetap di Makkah. Sebagai protes, secara praktik, ketika keadaan memungkinkan, Imam berpidato di hadapan Muslimin dari berbagai negeri yang membanjiri Mekkah untuk menunaikan haji. Di hadapan mereka itulah, Imam Husain menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap pemerintahan Yazid. Ini merupakan suatu jenis amar makruf nahi munkar.
Namun di Mekkah, terjadi dua peristiwa baru yang dapat mempengaruhi kehendak beliau. Pertama, di masa pemberhentian Imam Husain di Makkah, orang-orang Syiah Kufah mengetahui ketidaksedian Imam Husain untuk membaiat Yazid dan keberangkatannya ke Makkah. Maka, dalam surat yang jumlahnya banyak, mereka mengundang Imam Husain as ke Kufah. Kedua, Imam Husain as mengetahui bahwa Yazid memerintahkan beberapa orang untuk meneror dan membunuhnya secara sembunyi-sembunyi.
Langkah ketiga adalah bergerak menuju Kufah. Adanya dua peristiwa tersebut telah mengubah kondisi yang berlaku. Dari satu sisi, Imam tidak dapat tetap tinggal di Mekkah karena apabila Imam terbunuh, kesucian tanah haram sudah tercemari dan darahnya tumpah dengan sia sia. Dari sisi lain, orang orang Syiah Kufah telah mengundangnya. Maka, tidak ada alasan untuk tidak menerima undangan mereka.
Oleh karena itulah, Imam Husain merasa bertanggung jawab sehingga harus bergerak menuju Kufah dan melanjutkan gerakan-gerakan protesnya. Dalam kondisi demikian, untuk menjaga kehati-hatian, Imam melakukan beberapa hal: pertama, Imam mengutus Muslim bin Aqil dengan membawa surat yang ditulisnya ke Kufah dan untuk menyaksikan keadaan Kufah dari dekat. Kemudian Muslim diminta untuk melaporkannya. Tak lama kemudian, Imam Husain menerima surat dari Muslim yang menyatakan bahwa banyak masyarakat Kufah yang membaiatnya dan menantikan kedatangan Imam.
Imam Husain as merasakan bahwa dia harus berangkat menuju Irak karena, di satu sisi, dapat melanjutkan gerakan protesnya dan, di sisi lain, surat-surat warga Kufah dan laporan Muslim menunjukkan, bahwa landasan bagi pemerintahan Islam, yang tanpa penggunaan perang dan pertumpahan darah dengan dukungan ribuan masyarakat Syiah, akan terwujud. Sebagai akibatnya, Imam dapat menghidupkan sirah dan sunnah kakeknya melalui pembentukan pemerintahan Islam dan memperbaiki kondisi Muslimin. Ini adalah martabah atau 'peringkat' amar makruf nahi munkar yang tertinggi.
Namun, apabila warga Kufah tidak menunaikan janji-janjinya atau jika di jalan suci ini datang kesulitan lainnya -yang disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat, Imam akan melaksanakan kewajiban barunya yang pada akhirnya tetap melanjutkan posisinya sebagai penentang.
Imam Husain as mengganti haji dengan umrah mufradah dan berangkat menuju Kufah. Langkah keempat, setelah mengetahui berita syahidnya Muslim, di Tsa'labiyah, Imam Husain dihadapkan pada kondisi dan situasi baru. Dalam tahap ini, Imam harus memutuskan sesuai dengan kondisi yang baru itu. Pertama yang Imam lakukan adalah mengetengahkan peristiwa syahidnya Muslim, tanpa menutup-nutupi, kepada para sahabatnya dan meminta pendapat mereka. Anak-anak Aqil berkata, "Kami akan menuntut balas darah Muslim atau terbunuh di jalan yang sama.
Imam Husain as berkata, "Setelah syahidnya Muslim dan Hani, kehidupan tiada bernilai lagi."
Sejumlah sahabat berkata, "Wahai putra Rasulullah saw! Demi Allah! Engkau tidak seperti Muslim. Ketika engkau memasuki Kufah, orang-orang Syiah yang mengundangmu sudah pasti akan menyambutmu dan mendukungmu."
Dalam kondisi dan situasi yang baru ini, Imam Husain dihadapkan pada dua jalan: melanjutkan gerakannya menuju Kufah atau menggagalkan niatnya untuk pergi ke Kufah dan berangkat ke negeri lain. Selanjutnya di sana, Imam akan menunaikan tugasnya sesuai dengan kondisi yang akan terwujud.
Imam mendahulukan jalan yang pertama karena beberapa hal: pertama, Imam berputus asa dari dukungan masyarakat Kufah sementara para sahabat dan keluarganya juga masih mendukung kemungkinan ini; kedua, Imam berpikir bahwa apabila warga Kufah tidak melaksanakan tugasnya, di sana akan bisa lebih baik menunaikan tugas sesuai dengan kondisi dan situasi baru serta melanjutkan gerakan protesnya. Oleh karena itulah, Imam memutuskan untuk berangkat menuju Kufah.
Di sini, Imam Husain melihat perlunya melaksanakan pekerjaan lain, yakni melihat apakah ada di antara para sahabat dan pendukungnya, seseorang atau sejumlah orang yang tidak suka untuk ikut serta dalam perjalanan yang berbahaya ini. Oleh karenanya, Imam berkata kepada para sahabatnya, "Sebagaimana kalian dengar sendiri bahwa Muslim telah syahid dan kondisi Kufah berubah menjadi berbahaya. Alhasil, aku berniat untuk pergi ke Kufah. Kini, aku akan melepaskan baiatku dari kalian. Maka, barangsiapa yang menginginkan dapat berpisah atau meninggalkanku lalu pergi ke mana saja ia suka."
Beberapa orang sahabat Imam memutuskan untuk pergi sementara kafilah Imam terus berangkat ke Kufah.
Langkah kelima, Imam bertemu dengan pasukan Hur. Program Imam Husain as adalah secepat mungkin dapat tiba di Kufah. Namun sebelum tiba di Kufah, mereka bertemu dengan pasukan Hur yang menutup jalan Imam Husain as. Imam berkata kepada Hur, "Warga Kufah mengundangku kemari. Apabila mereka menyesalinya, aku bersedia untuk kembali ke Hijaz atau ke negeri lain."
Hur menjawab, "Aku tidak mengetahui perihal undangan itu. Aku diperintahkan untuk menangkapmu dan membawamu ke Ibn Ziyad di Kufah agar ia memutuskan nasibmu."
Keadaannya berubah. Maka, apabila Imam Husain menyerah di hadapan Ibn Ziyad, akibatnya tiada lain adalah kehinaan dan kerendahan atau pengakuan akan kepengecutan diri sendiri. Oleh karena itu, Imam Husain as tidak bisa menerima perkara seperti ini. Maka, Imam mengubah jalur perjalanannya. Daripada menuju Kufah, Imam lebih memilih pergi ke tempat lain untuk menyelamatkan diri dari jalan buntu ini dan melanjutkan gerakan protesnya di tempat lain.
Langkah keenam, Imam tiba di bumi Karbala. Kafilah Imam Husain as sedang bergerak dan pasukan Hur menyertai mereka dengan tanpa kekerasan hingga tiba di bumi Karbala. Di saat itulah, datang 216 surat dari Ibn Ziyad kepada Hur yang isinya agar Husain dan kafilahnya dihentikan di situ serta mencegah mereka melanjutkan perjalanan.
Dengan sampainya instruksi itu, kondisi seratus persen berubah dan Imam menemukan suatu keadaan baru. Imam tidak lagi dapat pergi ke Kufah dan juga ke tempat lain. Kembali Imam berada di dua persimpangan jalan: pertama menyerah kepada Ibn Ziyad dan menerima kehinaan agar bisa hidup selama beberapa tahun atau bertahan melawan musuh dan memilih mati mulia ketimbang hidup menanggung kehinaan.
Imam Husain as dalam kondisi yang peka dan berbahaya seperti itu tidak bersedia menyerah dan berpaling dari keteguhan sikapnya. Imam memilih berperang dengan mulia sampai menemui syahadah sehingga dengan perbuatannya itu, Imam akan menunjukkan kepada umat Islam sebuah pelajaran kemerdekaan dan menggoyahkan tonggak-tonggak pemerintahan Bani Umayyah yang batil. Inilah peringkat amar makruf nahi munkar yang tertinggi.
[64] Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 5, hal. 129-131.
[65] Ansabul Asyraf, jilid 1, hal. 116.
[66] Ansabul asyraf jil 1 hal 297-301.
[67] Ibid jil 1 hal 312- 322.
[68] Ibid jil 1 hal 297-301.
[69] Ibid jil 1 hal 355-361.
[70] Syarah Nahjul balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 9, hal. 53.
[71] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.
[72] Tarikh Ya'qubi, jilid 2, hal. 241.
[73] Biharul Anwar, jilid 45, hal. 167.
[74] Ibid, jilid 45, hal. 176.
[75] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 391.
[76] Ibid, jilid 44, hal. 391.
[77] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 337.
[78] Ibid, jilid 44, hal. 340-341.
[79] Ibid, jilid 44, hal. 340-341.
[80] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.
[81] Ibid, jilid 44, hal. 329.
19
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KEEMPAT: IMAM ALI ZAINAL ABIDIN AS Ali bin Husain, menurut beberapa riwayat, lahir di pertengahan bulan Jumadil Ula, tahun 31 atau 36 Hijriah. Ayah beliau adalah Husain bin Ali dan ibunya, menurut satu pendapat, adalah Syaher Banu, putri raja Yazdghird. Kunyah-nya adalah Abu Hasan, Abu Qasim, Abu Muhammad, dan Abu Bakar sementara di antara laqab-nya yang paling populer adalah Zainal Abidin, Sayidul Abidin, Zainus Shalihin, dan Sajjad. Menurut beberapa pendapat, Imam lahir pada tanggal 12 Muharram, tahun 94 Hijriah di Madinah dan dimakamkan di pemakaman Baqi'.
Imam hidup selama 57 tahun dan ketika berusia dua tahun, kakeknya, Ali bin Abi Thalib, syahid. Imam menyaksikan sepuluh tahun imamah (kepemimpinan) pamannya, yakni Imam Hasan as. Dalam usianya yang ke- 22, tepatnya pada Asyura (10 Muharram) tahun 61 Hijriah, Imam menyaksikan ayahnya syahid di Karbala. Setelah itu, Imam hidup selama 35 tahun yang merupakan periode imamah-nya.
Nash Imamah Untuk membuktikan imamah Ali bin Husain, selain argumen-argumen universal dan kolektif yang digunakan untuk membuktikan kebenaran dua belas imam suci yang sebelumnya telah kami bawakan, kami juga akan membawakan argumen khusus, yakni nash yang disebutkan oleh ayah Imam.
Abu Bakar Khadrami menukil dari Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Tatkala hendak pergi ke Irak, Husain bin Ali menitipkan surat wasiat, kitab, serta hal-hal lainnya kepada Ummu Salamah, istri Nabi saw, dan mengatakan, "Ketika anakku yang tertua nanti datang kepadamu, serahkanlah amanah ini kepadanya!" Di kemudian hari, sepeninggal Imam Husain, putranya, Ali Zainal Abidin, mendatangi Ummu Salamah dan mengambil amanah tersebut."
Abu Jarud menukil dari Imam Muhammad Baqir yang berkata, "Imam Husain, sebelum syahadah, memanggil putrinya yang bernama Fatimah dan menitipkan sebuah buku yang dilipat beserta sebuah wasiat yang tampak jelas kepadanya. Saat itu, Ali Zainal Abidin sakit keras. Setelah itu, Fatimah menyerahkan amanah itu kepada Ali bin Husain. Demi Allah! Kitab itu ada di tangan kami."
Abu Jarud berkata, "Apa yang terkandung dalam kitab itu, demi jiwaku yang kukorbankan untukmu, adalah semua hukum dan hudud, bahkan denda sebuah goresan."
Abdullah bin Atabah mengatakan, "Suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali yang tiba-tiba Ali bin Husain datang. Aku mengatakan kepada Imam Husain, sekiranya -semoga Allah menjauhkannya- ajalmu tiba, sipakah yang dapat kami jadikan rujukan sepeninggalmu?" Imam Husain mengatakan, "Merujuklah kepada anakku. Dia adalah imam dan ayah para imam."
Dalam kitab Istbatul Washiah, Mas'udi menulis, "Husain di Karbala memanggil anaknya, Ali bin Husain, yang sedang sakit dan mengajarkan kepadanya ismul a'dzam dan warisan-warisan para nabi lalu memberitahukan kepadanya bahwa telah dititipkan ilmu, shahifah, serta senjata kepada Ummu Salamah. Imam Husain pun mewasiatkan agar Ummu Salamah menyerahkannya kepada Ali bin Husain."
Sayyid Murtadho dalam kitab Uyunul Mukjizat menulis, "Para perawi hadis meriwayatkan bahwa Husain bin Ali mewasiatkan ismul a'dzam dan warisan para nabi kepada putranya Ali bin Husain dan mengatakan bahwa Ali bin Husain akan menjadi imam sepeninggalnya nanti."
Muhammad bin Muslim mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq, "cincin Husain bin Ali sampai kepada siapa? Aku mendengar bahwa cincin beliau pada hari Karbala dikeluarkan dari jarinya." Imam Ja'far menjawab, "Tidaklah seperti itu, melainkan Husain berwasiat kepada putranya yang bernama Ali bin Husain dan memberikan cincinnya serta menyerahkan urusan imamah kepadanya Ali bin Husain, sebagaimana Rasulullah melakukan hal yang sama terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Ali as melakukannya terhadap Imam Hasan dan Imam Hasan terhadap saudaranya, Imam Husain. Setelah Ali bin Husain, cincin itu sampai ke tangan ayahku dan setelah ayahku, sampai ke tanganku. Setiap hari Jumat aku mengenakan cincin itu dan shalat dengan bersamanya."
Muhammad bin Muslim mengatakan, "Pada hari jumat, aku tiba di sisi Imam Ja'far Shadiq. Imam Ja'far dalam keadaan shalat. Ketika selesai dari shalatnya, Imam menjulurkan jarinya kepadaku. Aku menyaksikan sebuah cincin di tangannya yang mulia. Cincin itu bertuliskan la ilaha illa Allah iddatun liliqo illah. Sewaktu itu, Imam berkata, "Ini adalah cincin kakekku Abu Abdillah Husain bin Ali."
Penulis kitab Kasyful Ghummah, untuk membuktikan imamah Ali bin Husain membawakan sejumlah argumentasi lain.
Pertama, Imam Sajjad, setelah ayahnya, dari segi ilmu dan amal, merupakan manusia yang paling mulia. Dengan keberadaan manusia yang paling utama, maka yang tidak utama tidak dapat menjadi imam. Ini berlandaskan akal.
Kedua, dengan argumentasi aqliyah dan naqliyah, telah terbuktikan bahwa wujud imam diperlukan di semua masa dan tidak ada satu masa pun di bumi ini yang kosong dari keberadaan hujjjah. Di sisi lain, orang yang, di zaman Ali bin Husain, mengaku sebagai imam tidak memiliki argumen yang benar terhadap imamah-nya dan klaimnya adalah batil. Oleh karena itulah, imamah Ali bin Husain terbuktikan sebab bumi tidak akan sunyi dari seorang imam.
Ketiga, dari Rasulullah saw telah datang nash yang menyatakan imamah Ali bin Husain. Contohnya adalah lauh yang dinukilkan oleh Jabir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Baqir dari ayahnya, dan ayahnya dari kakeknya, dan kakeknya dari Fatimah, putri Rasulullah saw. Di dalamnya, tertulis nama-nama dua belas imam dan di antaranya nama Imam Sajjad tercatat di dalamnya.
Amirul Mukminin di masa kehidupan Husain bin Ali memberitahukan imamah cucunya Ali bin Husain as, sebagaimana dapat disimpulkan dari hadis-hadis.
Begitu juga, Husain bin Ali sebelum syahadah-nya, mewasiatkan imamah putranya dan menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Ummu Salamah agar nanti sepeninggalnya diserahkan kepada Ali bin Husain yang akan memintanya dari Ummu Salamah. Ini merupakan salah satu tanda kebenaran klaim imamah Ali bin Husain.
Jabir bin Abdillah Anshari mengatakan, "Wahai Rasulullah! Para Imam dari putra Ali bin Abi Thalib, siapakah mereka?" Nabi saw mengatakan, "Hasan dan Husain adalah pemuka ahli surga. Setelah itu, Sayyid Abidin Ali bin Husain. Setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya.
Sampaikanlah salamku kepadanya. Setelah itu, Shadiq Ja'far bin Muhammad. Setelah itu, Kazhim Musa bin Ja'far. Setelah itu, Ridha Ali bin Musa. Setelah itu, Taqi Muhammad bin Ali. Setelah itu, Naqi Ali bin Muhammad. Setelah itu, Zaki Hasan bin Ali. Setelah itu, putranya yang bernama Imam Mahdi, yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah bumi dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang- wenangan. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, taushiya, anak-anak, serta itrah-ku. Barangsiapa yang mematuhi mereka artinya mematuhiku dan barangsiapa yang menentang mereka artinya menentangku.
Barangsiapa yang menentang atau memungkiri salah seorang dari mereka berarti telah mengingkariku. Dengan berkah wujud mereka, Allah swt menjaga bumi dan tidak menenggelamkan penduduknya."
Keutamaan dan Kemuliaan Akhlak Ali bin Husain adalah manusia yang paling besar dan mulia di eranya sehingga dijuluki dengan "penghias ahli ibadah". Imam Shadiq mengatakan, "Seorang penyeru menyeru di hari kiamat, "Di manakah Imam Ali Zainal Abidin?" Tampak kami menyaksikan Ali bin Husain yang bangun dan bergerak di antara barisan."
Tatkala Ali bin Husain berdiri di sisi Umar bin Abdul Azis, Umar bertanya kepada hadirin, "Siapakah manusia yang termulia." Mereka berkata, "Andalah." Umar berkata, "Tidak! Kalian salah tetapi yang termulia adalah orang yang baru saja bangun di sisiku."
Hisyam bin Abdul Malik, setelah khilafah, pergi haji. Hisyam ingin mencium Hajar Aswad. Namun, dikarenakan banyaknya kerumunan manusia, Hisyam tidak dapat melakukannya. Di saat itulah, Ali bin Husain tiba. Para jemaah haji lantas membuka jalan bagi Ali bin Husain agar ia dapat mencium Hajar Aswad. Para pengiring Hisyam bertanya, "Siapa lelaki ini sehingga masyarakat membuka jalan untuknya." Hisyam berkata, "Kami tidak mengenalnya." Farazdaq, seorang penyair, yang mendengar ucapan Hisyam berkata, "Namun, aku mengenalnya dengan baik. Dialah Ali bin Husain Zainal Abidin." Kemudian Farazdaq membacakan syair indah untuk memperkenalkan Imam Zainal Abidin.
Abu Hazim Sufyan bin Uyaynah dan Zuhri berkata, "Di antara Bani Hasyim, aku tidak menyaksikan yang lebih lebih mulia dan fakih melebihi Ali bin Husain."
Ibadah dan Keterjagaan di Malam Hari Setelah Ali bin Abi Thalib, Ali bin Husain merupakan lelaki yang paling ahli dalam ibadah sehingga dijuluki Zainal Abidin. Imam Shadiq mengenainya berkata, "Tatkala shalat tiba, tubuh Imam Zainal Abidin gemetar dan warnanya kuning, seperti benih pohon kurma yang bergoyang."
Imam Baqir berkata, "Aku melihat Ali bin Husain yang dalam kedaan shalat. Aba'ah-nya 'jubahnya' jatuh dari pundaknya tetapi dia tidak membetulkannya hingga shalatnya usai. Aku menanyakan hal itu kepadanya. Dia berkata, "Apakah engkau tahu di depan siapakah aku tadi berdiri? Sesungguhnya shalat seseorang tidak akan diterima, kecuali sebatas perhatian atau konsentrasi hatinya kepada Allah swt."
Tatkala Imam Zainal Abidin berdiri untuk shalat, warna wajahnya berubah, tubuhnya gemetar, dan keadaannya berubah. Adakalanya ketika ditanya tentang penyebab perubahan keadaan itu, dia mengatakan, "Aku akan berdiri di hadapan seorang Raja yang Mahaagung."
Ketika sibuk dengan shalat, ia berpaling dari semuanya dan tidak mendengar suara apa pun.
Abdullah, putra Imam Sajjad, mengatakan, "Ayahku begitu tenggelam dalam shalat hingga penat dan kemudian tidur di atas tanah layaknya seorang anak kecil yang lelah kemudian tertidur."
Ali bin Husain jika tertinggal dalam shalat sunnah di siang hari akan menggantikannya dan mengatakan kepada anak-anaknya, "Meskipun shalat nawafil 'sunnah' itu tidak wajib tetapi aku menyukai segala perbuatan baik yang kalian lakukan. Maka, hendaknya kalian lanjutkan. Ayahku tidak meninggalkan shalat malam di dalam perjalanan dan juga ketika hadir."
Ayah Abu Tsumali mengatakan, "Aku melihat Ali bin Husain di sisi Ka'bah sedang sibuk menunaikan shalat. Begitu lama beliau memanjangkan rukuknya hingga penat dan adakalanya kakinya hampir jatuh karena tak kuat menahan letih. Aku mendengar beliau berdoa, "Ya Tuhanku! Apakah engkau akan menyiksaku padahal hatiku bergelimang dengan kecintaan terhadap-Mu? Sungguh demi kemulian-Mu, bila engkau menyiksaku, latajma'anna baini wa baina qaumin thala ma adaitahum fika.
Zuhri berkata, "Ali bin Husain berkata, "Bila sekiranya masyarakat Timur dan Barat mati tetapi al-Quran tetap menyertaiku, aku tidak akan pernah takut."
Manakala sampai pada ayat "maliki yaumiddin", Imam mengulanginya hingga hampir saja meninggalkan dunia ini.
Imam Muhammad Baqir berkata, "Fatimah, putri Ali bin Abi Thalib, melihat Ali bin Husain yang kepenatan karena banyak beribadah. Lantas ia menjumpai Jabir bin Abdillah Anshari seraya berkata, "Wahai sahabat Rasulullah saw! Kami memiliki hak terhadapmu. Sekiranya salah seorang dari kami hampir saja membunuh dirinya sendiri karena banyak beribadah, engkau harus menasehatinya agar ia menjaga kesehatannya. Kini, Ali bin Husain, yang merupakan peninggalan ayah kami, kening, lutut, dan tangannya telah menebal. Datanglah dan bicaralah kepadanya! Mungkin ia dapat mengurangi kepenatan dan keletihan terhadap dirinya sendiri karena ibadah."
Jabir mendatangi Ali Zainal Abidin. Dia menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin sedang tenggelam dalam ibadah. Ali bin Husain bangkit sebagai penghormatan terhadap Jabir dan mendudukkannya di sisinya.
Jabir berkata, "Wahai putra Rasulullah saw! Tidakkah kalian mengetahui bahwa Allah swt menciptakan surga untuk kalian dan pecinta kalian sementara menciptakan neraka untuk musuh-musuh kalian? Lalu, mengapa engkau membuat dirimu sepenat ini dalam beribadah?"
Ali bin Husain menjawab, "Wahai sahabat Rasulullah! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kakekku, Rasulullah saw, telah Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang. Namun demikian, Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah sehingga telapak kaki dan betisnya membengkak dan sebagai jawaban terhadap orang-orang yang menasehatinya beliau mengatakan, "Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur."
Tatkala melihat nasehatnya tidak mempengaruhi Ali Zainal Abidin, Jabir mengatakan, "Wahai putra Rasulullah! Jagalah kesehatan jasmanimu karena engkau berasal dari keluarga yang karena keberadaanya malapetaka dihindarkan dari bumi dan hujan diturunkan."
Imam Sajjad berkata, "Wahai Jabir! Selagi masih hidup. Aku tidak akan meninggalkan sunnah dan cara ayah-ayahku hingga aku bertemu dengan mereka." Ali bin Husain pergi ke haji dengan berjalan kaki dan menempuh perjalanan antara Madinah ke Makkah selama dua puluh hari.
Berbuat Baik kepada Orang-orang Miskin Imam Muhammad Baqir berkata, "Ayahku membagi hartanya menjadi dua sebanyak dua kali dan memberikan separuhnya kepada fakir-miskin." Ali bin Husain memenuhi sebuah kantung dengan roti dan makanan lalu membagikannya kepada fakir-miskin seraya berkata, "Sedekah memadamkan api kemarahan."
Umar bin Dinar berkata, "Ketika Zaid bin Usamah sakit keras, Ali bin Husain yang berada di situ bertanya sebab sakitnya. Usamah berkata, "Aku berhutang sebanyak lima belas ribu dinar dan tidak dapat membayarnya. Aku khawatir mati dalam keadaan berhutang." Imam Sajjad berkata, "Janganlah engkau bersedih karena aku akan mengemban hutangmu dan akan kubayar."
Abdullah yang dalam keadaan sekarat didatangi oleh para penangih hutang. Ia berkata, "Aku tidak memiliki sesuatu untuk kuberikan kepada kalian. Namun, aku berwasiat kepada salah seorang anak pamanku, Ali bin Husain dan Abdullah bin Ja'far, agar membayar hutang kalian. Pilihlah yang kalian suka! Mereka berkata, "Abdullah bin Ja'far memang kaya tetapi Ali bin Husain -walaupun tidak memiliki banyak harta, jujur dan kami lebih memilihnya."
Hal ini diberitakan kepada Ali bin Husain. Imam Ali Zainal Abidin berkata, "Hutang kalian akan kubayar saat ladangku panen." Kebetulan, ketika panen, Allah swt memberikan panen yang melimpah sehingga Imam dapat menunaikan hutang Abdullah.
Imam Muhammad Baqir berkata, "Ayahku di malam-malam yang gelap memanggul kantung yang dipenuhi dengan kantung-kantung dinar, dirham, serta makanan. Beliau mengetuk pintu-pintu rumah orang-orang miskin dan membagikan dirham, dinar, dan makanan itu kepada mereka dalam kedaan mukanya tertutup agar tidak dikenali.
Sepeninggal Imam, Orang-orang fakir baru memahami bahwa lelaki yang tak dikenal itu adalah Ali bin Husain."
Zuhri berkata, "Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku menyaksikan Ali bin Husain sedang membawa gandum. Sementara ia berjalan, aku bertanya, "Wahai putra Rasulullah! Apa yang engkau pikul?" Beliau berkata, "Aku berniat melakukan perjalanan. Aku akan membawa bekalku ini ke tempat yang aman."
Aku bertanya, "Ijinkanlah budakku membantumu membawa barangmu itu." Beliau tidak mengijinkannya. Aku berkata, "Ijinkanlah aku sendiri yang membantumu."
Imam berkata, "Aku sendiri yang harus memikulnya dan menyampaikannya kepada tujuannya. Demi Allah! Tinggalkan aku sendiri dan pergilah mengurus urusanmu sendiri!" Setelah beberapa hari, aku melihat Imam Ali bin Husain belum pergi. Aku bertanya, "Wahai putra Rasulullah! Engkau belum juga pergi?" Beliau berkata, "Wahai Zuhri! Perjalanan itu bukanlah seperi yang kaupikirkan, melainkan perjalanan akhirat yang kupersiapkan sendiri untuk menempuhnya.
Persiapan untuk mati dengan dua hal: menjauhi yang haram dan membelanjakan harta di jalan kebaikan."
Tatkala Madinah diserang oleh pasukan Yazid (di bawah pimpinan Muslim bin Aqabah), Ali bin Husain menjamin penghidupan empat ratus keluarga hingga pasukan Muslim bin Aqabah meninggalkan Madinah.
Tawadhu dan Rendah Hati Ali bin Husain, dalam keadaan menaiki binatang kendaraannya, melewati orang-orang judzam (penyakit lepra) yang sedang makan. Mereka mengundang Imam untuk makan. Imam menjawab, "Aku sedang berpuasa. Jika tidak, aku akan menerima undangan kalian." Ketika tiba di rumah, Imam memerintahkan (pembantunya) untuk memasak makanan yang lezat. Kemudian Imam mengundang mereka untuk makan bersama.
Ampunan dan Ihsan Salah seorang sahabat Imam Ali Zainal Abidin meriwayatkan, bahwa salah seorang keluarga Imam mencaci-makinya di depan para pengikut Imam. Akan tetapi, Imam sama sekali tidak bereaksi atau membalas dengan cacian. Tidak beberapa lama kemudian, Imam berkata kepada para sahabatnya, "Kalian telah mendengar caci-maki lelaki itu terhadapku. Sekarang aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Bila kalian ingin, marilah ikut aku ke rumahnya."
Mereka berjalan menuju rumah lelaki itu. Di tengah perjalanan, Imam membaca ayat, Dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia, dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.
Ketika tiba di rumah itu, lelaki itu keluar dari rumahnya dalam keadaan siap berkelahi dan menyerang sebab berpikir bahwa Ali bin Husain datang untuk membalas penghinaannya.
Dalam keadaan seperti itulah, Imam Sajjad berkata kepadanya, "Wahai saudaraku! Apabila yang engkau katakan itu memang benar, aku bertaubat kepada Allah dan sekiranya yang engkau nisbatkan itu adalah kebohongan, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu." Lelaki itu menyesali ucapannya. Ia mencium kening Imam seraya berkata, "Aku menuduhkan kepadamu sesuatu yang tidak ada pada dirimu. Sesungguhnya aku yang lebih pantas untuk (tuduhan) itu."
Budak wanita Ali bin Husain menuangkan air untuk wudhu. Tiba-tiba mangkuk air jatuh dari tangan budak wanita itu ke kepala Imam dan melukai wajahnya. Imam mengangkat kepalanya dan melihat budak wanita itu. Budak itu berkata, "Allah swt di dalam al-Quran berfirman, Dan mereka yang menahan amarah."
Imam berkata, "Aku menahan amarahku." Budak itu berkata lagi, Dan mereka yang memaafkan manusia." Imam berkata, "Allah swt mengampuni dosa-dosamu."
Budak itu berkata, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." Imam berkata, "Engkau kubebaskan. Pergilah ke mana saja engkau mau!"
Imam Ali Zainal Abidin memiliki tamu. Maka, pembantu Imam membuatkan sate untuk para tamu itu. Tiba-tiba tusuk sate dari besi jatuh mengenai salah seorang anak yang berada di bawah tangga. Budak itu bingung dan bimbang. Imam berkata kepadanya, "Engkau tidak melakukannya dengan sengaja dan engkau kubebaskan."
Seorang lelaki dari luar rumah Imam Sajjad memaki-maki Imam dan menghinanya. Para sahabat Imam yang mendengar cacian itu hendak menyerang lelaki itu.
Namun, Imam melarangnya. Ketika itu, Imam berkata kepadanya, "Apa yang tertutup pada dirimu lebih daripada itu. Apakah engkau memiliki keperluan sehingga aku dapat membantumu?" Kemudian, Imam memberikan pakaian kepadanya dan memerintahkan agar memberikan seribu dirham kepadanya.
Lelaki itu malu atas perilaku ihsan Imam dan menyesali perilakunya. Setelah itu, setiap kali dia berjumpa dengan Imam maka ia berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah anak Nabi saw."
Ali bin Husain, pada malam hari, pergi ke rumah anak pamannya dan dengan wajah yang tak dikenal, Imam membantunya. Lelaki itu berkata, "Semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbuat baik kepadaku sedangkan Ali bin Husain tidak pernah membantuku. Semoga Allah tidak memberikan balasan yang baik dari pihakku kepadanya." Imam mendengar ucapan lelaki itu. maka, ia menahan diri dan tidak mengenalkan dirinya. Ketika Ali bin Husain wafat sehingga bantuan terputus, lelaki itu baru memahami bahwa yang berbuat kebajikan adalah Imam Sajjad. Setelah itu, ia selalu mengunjungi makam Imam Sajjad seraya menangis di atasnya dan memohon maaf.
Ali bin Husain berpapasan dengan sebuah kelompok yang sedang menggunjingnya. Imam berhenti dan berkata, "Apabila kalian berkata benar, semoga Allah mengampuniku dan apabila kalian berbohong, semoga Allah memaafkan kalian."
Periode Kehidupan Imam Keempat Periode kehidupan Imam Ali Zainal Abidin dapat dibagi menjadi dua bagian: dari kelahiran hingga imamah dan dari imamah hingga wafat.
Dari Kelahiran hingga Imamah Selama dua tahun, Imam hidup bersama kakeknya, Imam Ali bin Abi Thalib, dan pada masa syahadah Imam Ali, Imam berusia dua tahun. Imam juga mengalami sepuluh tahun imamah pamannya, Imam Hasan. Di masa kanak-kanak dan remaja, ia menyaksikan semua peristiwa pahit.
Ia menyaksikan bagaimana Muawiyah bin Sufyan merampas pemerintahan konstitusional pamannya, Imam Hasan. Dalam khutbah-khutbah dan qunut shalat, bahkan kakeknya, Imam Ali as, dilaknat dan dikutuk.
Sewaktu berusia dua belas tahun, Imam Zainal Abidin menyaksikan bagaimana pamannya, Imam Hasan, yang meninggal karena diracun tidak diijinkan untuk dimakamkan di sisi makam kakeknya, Rasulullah saw.
Setelah itu, selama sepuluh tahun, Imam hidup bersama ayahnya, Imam Husain as. Imam melalui periode remaja di sisi ayahnya dan menyaksikan berlanjutnya perampasan pemerintahan, kezaliman, pembunuhan, dan kekejian Muawiyah. Dalam perjalanan Imam Husain dari Madinah ke Makkkah dan dari Mekkah ke Irak, Imam menyertai sang ayah. Di masa itu, kira kira Imam berusia 22 tahun. Dalam peristiwa tragis Asyura, Imam hadir dan menyaksikan syahidnya sang ayah beserta saudara-saudaranya, paman-pamannya, anak-anak pamannya, dan para sahabat ayahnya dengan kedua matanya. Namun, karena sakit parah, Imam tidak dapat hadir di medan tempur sehingga nyawanya terpelihara. Allah swt berkehendak agar bumi-Nya tidak kosong dari wujud imam dan hujjah.
Periode Imamah Ali bin Husain, setelah syahidnya sang ayah, menduduki kursi imamah, yakni tepatnya pada 11 muharram tahun 61 Hijriah. Imam mengemban tanggung jawab yang berat.
Sebelum segala sesuatunya, dua tanggung jawab besar dan penting segera berada di pundaknya: pertama, memelihara dan menjaga sisa Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada lalu membela mereka di depan marabahaya yang mungkin terjadi ketika mereka menjadi tawanan dan berada dalam cengkeraman pasukan Yazid yang zalim dan bengis. Imam Sajjad bekerjasama dengan bibinya, Zainab dan Ummu Kultsum, menunaikan kewajiban ini dengan sempurna; kedua, mengenalkan ayahnya, Imam Husain, menjelaskan tujuan-tujuannya dalam pergerakan Karbala, mengungkap kekejian antek-antek Yazid, dan mendedahkan kekejian-kekejian serta kekasaran hati mereka, sehingga bahkan mereka mampu melakukan hal yang bertentangan dengan ketetapan perang. Ini adalah perkara penting yang benar-benar dilakukan Imam dalam melanjutkan tujuan-tujuan Imam Husain as karena Yazid dan antek-anteknya berencana mengenalkan kepada masyarakat bahwa peristiwa berdarah di Karbala sebagai munculnya sekelompok perusak dan pembangkang yang menentang pemerintahan sah serta merusak keamanan dan stabilitas nasional sehingga darah mereka halal. Dengan demikian, mereka ingin meracuni opini umum. Mereka berharap dengan melaksanakan rencana ini dapat memadamkan peristiwa berdarah Karbala yang terjadi di suatu tempat terpencil dan jauh dari mata masyarakat secepat mungkin sehingga dapat mencegah tersebarnya berita yang sesungguhnya.
Bila Yazid dan para pendukungnya suskes melaksanakan program seperti itu, bukan hanya darah Imam Husain, para sahabat, dan keluarganya yang terinjak-injak tetapi -melalui pendistorsian tadi- tujuan-tujuan sakral Imam Husain terancam gagal.
Menimbang apa yang telah dikatakan, Imam Sajjad mengetahui kewajibannya itu sepanjang perjalanan dari Karnala menuju Kufah dan dari Kufah ke Damaskus. Imam memanfaatkan peluang yang ada untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya dan menyingkapkan keburukan pasukan Yazid. Imam berupaya membuka tabir keburukan mereka dan kekerasan hati mereka lalu mengenalkan siapa sebenarnya Imam Husain serta menjelaskan tujuan-tujuan suci ayahnya.
Dengan bekerjasama bersama Zainab dan Ummu Kultsum, di sepanjang perjalanan ini, Imam memanfaatkan peluang dan menunaikan kewajibannya itu dengan baik. Imam berpidato di hadapan penduduk Kufah dan Damaskus. Di majelis Ibn Ziyad dan Yazid, Imam, Zainab, dan Ummu Kultsum pun berpidato dan berargumen.
Karena khutbah, perdebatan, dan dialog Imam Sajjad bersama Zainab dan Ummu Kultsum, tumbuhlah kesadaran di antara penduduk Kufah. Para wanita dan lelaki menangisi keteraniayaan Ahlulbait dan mereka menepuk tangan ke dada dan kepala sebagai ekspresi kesedihan dan ratapan. Mereka menyatakan penyesalan atas kekurangan mereka dalam membantu dan membela Imam Husain.
Di Damakus, kejadiannya juga sama dan terus belanjut sehingga Yazid terpaksa meminta maaf kepada Ahlulbait dan menyatakan rasa penyesalan yang mendalam atas terbunuhnya Imam Husain. Akan tetapi, Yazid melemparkan tanggung jawab itu ke atas pundak Ibn Ziyad. sementara itu, akhirnya Ahlulbait dipulangkan ke Madinah dengan penghormatan dan kemuliaan.
Meskipun tujuan Ibn Ziyad dan Yazid dari upaya menyandera dan menawan Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada lalu menggiring mereka dari Karbala menuju Kufah, dan dari kufah menuju Damaskus atau Syam, adalah untuk menunjukkan kekuatan dan melemahkan jiwa Ahlulbait dan para pendukung mereka serta mencegah kebangkitan dan pergerakan anti-pemerintahan Bani Umayyah yang mungkin timbul, disebabkan propaganda Imam Sajjad dan Zainab, konspirasi mereka gagal dan bahkan ditawannya Ahlulbait malah balik menguntungkan Ahlulbait itu sendiri.
Imam Zainal Abidin di Madinah Imam Zainal Abidin beserta sisa Ahlulbait dan keluarga syuhada kembali ke Madinah dan menangani langsung secara resmi urusan-urusan yang berkaitan dengan imamah. Imam mengambil amanah imamah dari Ummu Salamah dan memulai program-programnya.
Programnya yang pertama adalah menjaga, memelihara, serta mengayomi sisa Ahlulbait dan keluarga syuhada yang terlantar.
Program yang kedua adalah melanjutkan pengungkapan dan penyebaran propaganda serta berita mengenai peristiwa menyedihkan Asyura dan tertawannya Ahlulbait kepada penduduk Madinah dan tetap menghidupkan peristiwa tragis itu agar tidak dilupakan. Dituliskan tentang keadaan Imam bahwa dia senantiasa menangis dalam setiap acara dan peringantan bagi syuhada, khsusnya ayahnya, Imam Husain, dan menceritakan kepedihan Asyura kepada masyarakat.
Imam Shadiq berkata, "Ali bin Husain menangis selama dua puluh tahun," dan di riwayat yang lain empat puluh tahun. Setiap kali makanan dibawa ke sisinya, ia menangis. Pada suatu hari, pembantu Imam berkata, "Jiwaku kukorbakan bagimu, wahai putra Rasulullah! Aku takut engkau membahayakan nyawamu lantaran terlalu banyak menangis."
Dalam jawabannya, Imam berkata, "Aku memasrahkan kesedihan dan kepedihanku kepada Allah. Apa yang kuketahui tidaklah engkau ketahui. Setiap saat aku mengingat syahidnya salah seorang dari anak-anak Fatimah. Maka, tidak terasa air mataku meleleh."
Ketika ingin minum, Imam menangis sehingga air matanya meleleh di tempat air. Imam ditanya mengapa selalu demikian. Imam berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak menangis sementara ayahku dibunuh dalam kedaan dahaga dan air yang diperbolehkan untuk binatang di gurun pun terlarang bagi ayahku."
Tangisan dan kepedihan Imam Sajjad bukan hanya sebagai pertanda kesedihan dan duka, melainkan juga sejenis propaganda dan ungkapan atas kezaliman dan kekejaman Bani Umayyah.
Tanggung jawab ketiga Imam Sajjad adalah mendirikan pemerintah Islam dan mengelola masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Mendirikan pemerintahan dan mengelola mayarakat merupakan salah satu kewajiban terbesar seorang imam. Imam memiliki kesiapan untuk menunaikannya tetapi karena makar-makar jahat para perampas pemerintahan, kaum Muslimin tidak dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan secukupnya dari Imam.
Dari satu sisi, dengan propaganda yang luas, mereka menyerang Ali bin Abi Thalib dengan tuduhan-tuduhan bohong dan mencacinya. Mereka juga memburuk-burukkan nama Ahlulbait di depan masyarakat. Dari sisi yang lain, mereka begitu sensitif terhadap para Syiah dan pengikut Ahlulbait sehingga mengawasi semua perilaku dan ucapan mereka. Jangan sampai para Syiah dapat keluar dan masuk ke rumah Ahlulbait atau mendengar hadis dan menukilkannya kepada orang lain atau memberikan pujian terhadap Ahlulbait.
Apabila ada yang melanggar, mereka akan dihadapkan kepada berbagai sanksi dan hukuman. Dalam kondisi yang menyeramkan dan terkungkung seperti ini, maka siapakah yang akan berani merujuk kepada Imam Sajjad untuk memperoleh ilmu darinya? Bagaimana mungkin pula, Imam mampu menyebarkan ilmunya kepada masyarakat dalam batasan yang dikehendakinya? Namun dengan semua keterbatasan itu, Imam tetap memanfaatkan peluang dan dengan kapasitas yang memungkinkan, Imam menyirami para pecintanya dengan ilmu.
Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis di berbagai bidang masih tersisa dari Imam dan tercatat dalam kitab hadis. Yang terpenting, di antaranya, adalah risalah huquq. Imam Sajjad, dalam makalah yang pendek dan penuh kandungan itu, menghitung semua yang berhak dan mengisyaratkan tiap-tiap hak. Dalam kaitan ini, Imam tidak hanya menyinggung hak manusia, bahkan anggota tubuh manusia seperti mata, telinga, lidah, tangan, perut, dan perbuatan manusia seperti shalat, puasa, sedekah, dan ihsan disebutnya sebagai yang berhak dan semua hak mereka disebutkan satu persatu. Risalah atau makalah ini merupakan sebuah risalah yang kaya dan penuh kandungan sehingga langka dan sangat bernilai bagi siapa saja yang berminat untuk mengamalkannya.
Dunia dan Munajat Untuk mengetahui lebih baik pribadi Imam Sajjad, perlulah dipelajari dan diteliti doa-doa dari beliau. Doa tidak boleh dipandang sebagai perkara sederhana dan hanya sebatas keinginan-keinginan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebagaimana disimpulkan dari hadis dan riwayat, bahwa doa merupakan sejenis ibadah.
Doa juga merupakan ibadah yang terbaik dan menyebabkan kesempurnaan jiwa serta taqarrub kepada Allah. Ruh manusia ketika berdoa terbang dari alam materi dan menjalin hubungan dengan Allah swt. Pendoa mengakui kelemahan dan kemiskinannya sehingga harus berlindung kepada Yang Mahakaya dan Mahamutlak serta meminta pertolongan dari-Nya dan ibadah tidak memiliki makna lain kecuali ini. Oleh karena itulah, hadis dan kitab sejarah juga mendukung makna tersebut. Rasulullah saw dan para imam suci adalah ahli doa dan munajat serta banyak berdoa. Dalam semua keadaan, mereka berkonsentrasi kepada Allah dan senantiasa meminta bantuan dari-Nya. Dalam hal ini, Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib, dan Ali bin Husain terkenal sebagai yang paling banyak berdoa.
Kitab-kitab hadis dan doa dipenuhi oleh doa tiga manusia suci ini. Doa-doa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw telah dikumpulkan dalam satu jilid buku besar dan dicetak dengan nama Shahifah an-Nabawiah. Doa-doa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib tercatat dan tersebar luas dengan nama Shahifah al-Alaiyah. Doa-doa Ali bin Husain juga populer dengan sebutan Shahifah as-Sajjadiyah. Shahifah ini begitu bernilai sehingga dinamakan Zabur keluarga Muhammad.
Dengan mempelajari secara teliti doa-doa tersebut, maka kita dapat mempelajari tauhid dan mengenal Allah, berikut sifat-sifat tsubutiyah dan salbiyah-Nya, ma'ad dan alam akhirat, cara ibadah dan menyembah Allah, cara berdoa dan bermunajat, serta merintih kepada Allah dengan cara sair, suluk dan taqarrub kepada Allah. Makarim akhlak dan sifat-sifat rendah, kebutuhan-kebutuhan manusia yang sejati, baik di dunia maupun akhirat, hubungan manusia yang benar dan pergaulan yang baik, serta hak dan kewajiban manusia terhadap sesama, merupakan pelajaran yang terbaik.
Doa-doa Imam sangatlah kaya dan menakjubkan. Seorang manusia biasa sama sekali tidak akan bisa mengarang doa seperti itu, yang begitu tinggi dan indah bermunajat kepada Tuhan semesta alam.
Dengan doa-doa Imam tersebut, diharapkan Muslimin, khususnya Syiah Ahlulbait dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin.
20
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KELIMA: IMAM MUHAMMAD BAQIR AS Muhammad bin Ali lahir pada tanggal 3, bulan Shafar, tahun 59 Hijriah atau pada awal bulan Rajab tahun 57 Hijriah di Madinah. Ayahnya adalah Ali bin Husain dan nama ibunya Fatimah Ummu Abdullah, putri Imam Hasan as. Kunyah-nya Abu Ja'far dan laqab-nya adalah Baqir al-Ulum, Syakir, dan Hadi.
Imam Baqir hidup selama 57 tahun di dunia dan wafat pada tanggal 7 Dzulhijjah tahun 114 Hijriah di Madinah. Tubuhnya yang suci dimakamkan di pemakaman Baqi'.
Nash Imamah Selain dari argumen-argumen yang sebelumnya telah dikemukakan untuk membuktikan imamah kedua belas imam, berkaitan dengan imamah Muhammad Baqir, juga terdapat nash yang ayahnya, Ali bin Husain, jelaskan dan wasiatkan.
Ismail bin Muhammad bin Abdillah bin Ali bin Husain menukil dari Abu Ja'far yang mengatakan, "Tatkala wafat, Ali bin Husain mengeluarkan sebuah kotak dan mengatakan, "Muhammad! Bawalah kotak ini dan simpanlah di sisimu!"
Tatkala Imam Ali bin Husain wafat, saudara-saudara Abu Ja'far mendatanginya dan meminta warisan dari kotak tersebut. Abu Ja'far mengatakan, "Kalian tidak memiliki bagian dari kotak ini. Apabila kalian memiliki bagian dari kotak ini, niscaya ia tidak akan menyerahkannya kepadaku." Di dalam kotak itu, terdapat senjata Rasulullah saw dan kitab-kitabnya.
Isa bin Abdullah dari ayahnya yang menukil dari kakeknya bahwa tatkala meninggal dunia, Ali bin Husain memperhatikan anak-anaknya.
Di antara mereka, Imam berkata kepada putranya, Muhammad bin Ali, "Muhammad! Bawalah kotak ini ke rumahmu sendiri! Di dalam kotak itu, tidak ada dirham dan dinar, melainkan penuh dengan kitab ilmu."
Dari Muhammad bin Abdul Jabbar, juga diriwayatkan hadis yang seperti ini. Aban bin Usman dalam sebuah hadis menukil dari Imam Ja'far Shadiq bahwa pada suatu hari, Jabir datang ke sisi Ali bin Husain. Putranya, Muhammad, berada di sisinya. Jabir berkata, "Siapakah ini?" Imam Ali bin Husain berkata, "Anakku dan shahibul amri sepeningalku nanti, Muhammad Baqir."
Usman bin Usman bin Khalid menukil dari ayahnya yang berkata, "Tatkala sakit, Ali bin Husain mengumpulkan anak-anaknya, Muhammad, Hasan, Abdullah, Umar-Zaid, Husain. Di hadapan mereka, Imam Sajjad menentukan Muhammad bin Ali sebagai washi-nya. Imam Muhammad bin Ali dijuluki baqir dan semua urusan anak-anak Ali bin Husain diserahkan kepadanya.
Malik bin A'yun Jahani mengatakan, "Ali bin Husain menetapkan putranya, Muhammad bin Ali, sebagai washi-nya dan berkata, "Anakku! Kujadikan dirimu sebagai khalifah dan penggantiku."
Zuhri mengatakan, "Aku berkata kepada Ali bin Husain, "Wahai putra Rasulullah! Bila kematianmu telah tiba, kepada siapakah kami nanti merujuk?" Beliau berkata, "Kepada anakku ini." Lalu, Imam Sajjad menunjuk Muhammad seraya berkata, "Dialah washi dan warisku. Dialah penyimpan dan tambang ilmuku.
Dialah baqirul ulum. Inilah perjanjian Rasulullah saw kepada kami."
Abu Bashir menukil dari Abu Ja'far yang mengatakan, "Di antara wasiat ayahku kepadaku adalah perkataannya, "Ketika aku meninggal, maka janganlah seorang pun memandikanku kecuali engkau karena seorang imam hanya boleh dimandikan oleh imam."
Sayyid Murtadha mengatakan, "Tatkala kematian Ali bin Husain sudah mendekat, anaknya, Muhammad Baqir, dipanggilnya dan di hadapan sejumlah orang Syiah dan orang-orang khusyuk, beliau menetapkan putranya sebagai washi dan menjelaskan keimanannya serta menyerahkan ismul a'dzam dan warisan para nabi kepadanya."
Mas'udi dalam kitab Nisbatul Washiah juga menukil hadis seperti tersebut.
Keutamaan dan Kemuliaan Imam Muhammad Baqir, seperti juga para imam lainnya, adalah seorang manusia yang sempurna dan terpelihara dari segenap aib dan kekurangan serta memiliki semua kesempurnaan insani. Pernyataan tersebut bukan hanya diyakini oleh para pecinta Ahlulbait, melainkan juga oleh para penentangnya. Syaikh Mufid mengenai Imam menulis sebagai berikut. "Imam Baqir Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Husain, di antara saudara-saudaranya, merupakan pengganti ayahnya, Ali bin Husain, washi serta imam setelah sang ayah. Dari segi ilmu, zuhud, serta qiyadah 'kepemimpinan' ia lebih mulia daripada saudara-saudaranya.
Di kalangan masyarakat umum dan khusus, ia lebih populer, terkenal, dan lebih berwibawa. Apa yang tampak dari ilmu agama, sunnah, tafsir al-Quran, sirah, serta adab kehidupan Imam tidaklah tampak pada diri anak-anak Hasan dan Husain lainnya. Sisa-sisa sahabat, para pembesar dari tabi'in, dan ulama fikih meriwayatkan persoalan agama dari Imam Baqir.
Imam Baqir populer dengan keutamaan ilmu sehingga berbagai macam syair dikumandangkan untuk menyifati keutamaannya itu.
Abu Fida' mengenai Imam mengatakan, "Muhammad bin Ali bin Husain Abu Ja'far Baqir adalah tabi'in yang sangat mulia dari segi ilmu, amal, dan qiyadah.
Kemuliaannya merupakan yang paling menonjol di tengah umat. Umat Syiah Imamiyah meyakininya sebagai salah satu imam dari dua belas imam. Dia banyak sekali menukilkan hadis dari Rasulullah saw dan banyak jamaah dari tabi'in yang meriwayatkan darinya. Di antara para perawinya adalah putra Ja'far Shadiq, Hakam bin Utaibah, Rabniah, A'masy, Abi Ishaq Sabi'i, Auzai, A'raj, Ibn Juraih, Atha', Amer bin Dinar, dan Zuhri."
Sufyan bin Uyainah menukilkan bahwa Ja'far Shadiq mengatakan, "Ayahku menyampaikan hadis untukku dalam kondisi dialah individu umat Muhammad yang terbaik di muka bumi."
Ajali mengenai Imam Baqir mengatakan, "Dia adalah salah satu tabi'in yang dapat dipercaya dari penduduk Madinah."
Muhammad bin Sa'ad mengatakan, "Dia dapat dipercaya dan banyak sekali meriwayatkan hadis."
Abu Fida' mengenai Imam Baqir menulis, "Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thali, ayahnya adalah Zainal Abidin dan kakeknya adalah Husain yang syahid di Karbala. Dia dinamakan baqir karena menyingkapkan ilmu dan menyimpulkan hukum.
Dia adalah seorang lelaki yang ahli zikir, khusyuk, serta penyabar yang berasal dari keturunan Nabi saw. Nasabnya tinggi dan hasab-nya mulia. Dia mengetahui hal-hal yang membahayakan dan menghindari permusuhan serta jidal atau 'perdebatan'.
Ahmad bin Hajar Haitsami mengenai Imam menuliskan, "Abu Ja'far Muhammad Baqir adalah pewaris ilmu, ibadah, dan zuhud Ali bin Husain. Dinamakan baqir sebab dia mampu menyingkap hakikat ilmu dan menguaknya. Dia mengungkapkan simpanan-simpanan pengetahuan, hakikat hukum, serta hikmah yang dapat diterima oleh semua, kecuali orang-orang yang buta batinnya dan rusak akidahnya. Oleh karena itulah, dia dinamakan dengan 'pengungkap dan penyebar ilmu'.
Hatinya bercahaya. Ilmu dan amalnya bersih. Jiwanya suci. Penciptaannya indah dan tampan. Usianya dibelanjakan dalam ketaatan kepada allah. Akhlak dan cara hidupnya, dalam maqom irfan, tidak terjangkau untuk disifati sementara, dalam sair suluk, serta pengetahuan, dia banyak menyampaikan pandangan yang memerlukan waktu panjang untuk menyebutkannya."
Ilmu Pengetahuan Imam Muhammad Baqir, pada masanya, terhitung sebagai salah seorang ahli fikih dan ulama besar. Rasulullah saw sebelumnya telah memberitahukan maqom keilmuannya. Jabir bin Abdullah Anshari menukil dari Rasulullah saw yang mengatakan kepadanya, "Wahai Jabir! Engkau akan bertemu dengan salah seorang anakku dari keturunan Husain yang namanya sama dengan namaku. Dia menyingkapkan ilmu dan mendedahkan hakikat."
Jabir memiliki umur panjang sehingga dapat bertemu dengan Imam Muhammad Baqir dan menyampaikan salam Rasulullah saw kepada Imam. Banyak sekali pembesar yang memuji maqom keilmuan Imam. Di antaranya adalah beberapa orang berikut ini.
Ibn Barqi menyebut Imam sebagai seorang ahli fikih yang mulia sementara Nasai menyebutnya sebagai ahli fikih Madinah dari kalangan tabi'in. Abdullah bin Atha' Makki berkata, "Ulama begitu merendahkan diri di hadapan Muhammad Baqir, hal yang tidak mereka lakukan di hadapan orang lain. Aku melihat Hakam bin Utaibah dengan kewibawaan dan keagungan yang dimilikinya, tatkala bertemu dengan Muhammad bin Ali, bagaikan anak kecil yang berada di hadapan gurunya."
Jabir bin Yazid Ja'fi berkata, "Ketika menukil hadis dari Imam Muhammad Baqir, Hakam berkata, "Washi auliya dan pewaris ilmu para nabi adalah Muhammad bin Ali bin Husain yang berkata kepadaku."
Ibn Abil Hadid menulis, "Muhammad bin Ali bin Husain adalah pembesar para ahli fikih Hijaz. Masyarakat belajar darinya dan dari putranya, Ja'far. Dia mendapatkan gelar baqirul ulum. Saat belum dilahirkan, Rasulullah saw memanggilnya dengan laqab tersebut dan kepada Jabir bin Abdullah Anshari, Nabi saw memberitakan kabar gembira tentang pertemuan Jabir dengan cucunya itu seraya berkata, "Sampaikan salamku kepadanya!"
Syaikh Mufid menulis, "Dari Abu Ja'far, banyak sekali diriwayatkan hadis tentang awal mula penciptaan alam, sejarah para nabi, peperangan, sunnah dan sirah, serta manasik haji Rasulullah saw sementara dalam tafisr al-Quran, banyak sekali dinukilkan hadis melalui khawas dan ammah, bahwa dia berdebat dengan sekelompok ahli kebatilan dan pembangkang. Masyarakat banyak menukilkan ilmu darinya."
Bukti yang terbaik untuk menisbatkan maqom ketinggian ilmu Imam Baqir adalah banyaknya hadis yang keluar darinya dalam berbagai bidang keilmuan: akidah, kalam, filsafat, fikih, akhlak, sejarah, dan persoalan-persoalan sosial. Para mufasir dan perawi hadis menukilkan dan mencatat hadis-hadis itu dalam kitab-kitab mereka.
Hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Imam begitu banyaknya sehingga dapat dikatakan bahwa, Imam Baqir dan putranya, Imam Shadiq, di antara para imam, adalah yang paling banyak memiliki hadis.
Imam Baqir, sepanjang hidupnya, mendidik murid-murid yang pandai dan istimewa. Murid-murid Imam terhitung sebagai sahabat dan perawi hadisnya. Kami akan menyinggung sebagian dari mereka: Abu Hamzah Tsumali, Tsabit bin Dinar, Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Ali bin Rafi' Dhahhak bin Muzahim Khurasani, Hamid bin Musa Kufi, Abu Fadzl Sudair bin Hakim bin Shuhaib Shairafi, Abdullah Barqi, Yahya bin Ummu Thawil Math'ami, Hakim bin Jubair, Farazdaq, Farat bin Ahnaf, Ayyub bin Hasan, Abu Muhammad Quraisy Saddi Kufi, Thawus bin Kiysan Hamadani, Aban bin Thaglib bin Riyah, Qays bin Ramanah, Abu Khalid Kabuli, Sa'id bin Musabbib Makhzumi, Umar bin Ali bin Husain, dan saudaranya, Abdullah serta Jabir bin Muhammad bin Abi Bakar. Asad Haidar, murid dan perawi hadis Imam, menyebutkan sejumlah nama dari murid beliau sebagai berikut.
Amer bin Dinar Hajami, Abdurahman bin Umar Auza'i, Abdul Malik bin Abdul Azis, Qurrah bin Khalid Sadus, Muhammad bin Munkadir, Yahya bin Katsir, Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaid Zuhri, Abu Usman Rabiah bin Abdurrahman, Abu Muhammad Sulaiman bin Mehran Asadim, Abu Muhammad Abdullah bin Abi Bakar Anshari, Zaid bin Ali bin Husain, Musa bin Salim Abu Jahdham, Musa bin Abi Isa Hunath, Abu Mughirah Qasim bin Fadzl, Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Taimi, Muhammad bin Suqah, Hajjaj bin Artah, Makruf bin Kharbuz Kufi, Aban bin Taghlib, Barid bin Muawiyah Ajali, Abu hamzah Tsumali, Tsabit bin Dinar, Jabir bin Yazid Ja'fi, Muhammad bin Muslim bin Riyah, Hamran bin A'yun Syaibani, Zurarah bin A'yun Syaibani, dan Abdul Malik bin A'yun Syaibani.
Sumber-sumber Ilmu Imam Baqir Imam hidup kurang lebih dengan ayahnya, Imam Zainal Abidin, selama 35 tahun dan meneguk banyak ilmu dari sang ayah. Kitab-kitab hadis diterima Imam melalui warisan. Kitab-kitab tersebut didiktekan Rasulullah saw melalui tulisan tangan Ali bin Abi Thalib yang diwariskan kepada para imam suci.
Imam memanfaatkan dengan teliti segala potensi zatiah 'esensial' dan dukungan Ilahiah dari ayat al-Quran.
Imam menyingkapkan ilham gaib dan batin yang diperolehnya melalui ruh malakuti dan qudsiah dari alam gaib.
Ibadah dan Penghambaan Imam Muhammad Baqir, dari segi ibadah, zikir, doa, munajat, serta rasa takut kepada Allah, seperti juga ayahnya, Zainal Abidin, berada di martabah yang sangat tinggi sehingga begitu menonjol di tengah masyarakat pada zamannya. Di antara kemuliaan Imam, kami akan menyebutkan sebagian darinya.
Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Ayahku begitu banyak berzikir. Ketika berjalan atau makan, bahkan ketika berbicara dengan orang, dia tidak melupakan zikir atau mengingat Allah. Zikir Lailaha illa Allah senantiasa disebutkan oleh lisannya. Adakalanya dia mengumpulkan kami dan memerintahkan agar kami berzikir hingga terbitnya matahari. Imam juga memerintahkan kepada orang-orang yang mampu membaca al-Quran agar membacanya."
Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Ayahku di pertengahan malam berada dalam keadaan menangis dan bermunajat. Dia berkata, "Ya Allah! Engkau memerintahkanku sementara aku tidak patuh dan engkau melarangku sedangkan aku tidak menjauhinya. Kini, hambamu ini berada di sisimu tetapi tidak memohonkan ampunan."
Aflah, salah seorang budak Imam Muhammad Baqir, berkata, "Aku pergi ke haji bersama Imam. Ketika tiba di Masjidil Haram, Imam menangis hingga suara tangisnya begitu kencang. Aku berkata, "Ayah dan ibuku kukorbankan untukmu! Masyarakat sedang memandangi Anda. Alangkah baik kalau tuan menangis agak pelan!" Imam berkata, "Celaka kamu wahai Aflah! Bagaimana mungkin aku tidak menangis? Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadaku sehingga nanti pada hari kiamat, aku tergolong orang yang berbahagia dan sukses." Aflah berkata, "Selanjutnya Imam bertawaf dan setelah itu, shalat di maqam Ibrahim.
Ketika Imam mengangkat kepala dari sujud, tempat sujudnya basah lantaran banyak menangis."
Jabir Ja'fi berkata, "Muhammad bin Ali berkata kepadaku, "Wahai Jabir! Aku cemas dan bimbang." Aku berkata, "Mengapa engkau khawatir dan apakah yang membuat tuan khawatir?" Imam berkata lagi, "Wahai Jabir! Barangsiapa yang hatinya telah ditembus oleh agama yang tulus akan berkonsentrasi hanya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Wahai jabir! Dunia tidak lebih bernilai daripada kendaraan yang engkau tunggangi atau pakaian yang kaukenakan atau istri yang kau gauli. Wahai Jabir! Orang mukmin tidak meyakini kekekalan dunia dan melihat ketidakamanan dari kematian dan datangnya akhirat. Apa yang mereka dengar dengan telinga tidak membuat mereka lalai dari zikir kepada Allah. Perhiasan dan gemerlap dunia tidak membuat mata mereka terhalangi untuk menyaksikan cahaya Allah. Mereka akan mendapatkan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan. Ahli takwa adalah masyarakat dunia yang paling kecil jumlahnya dan paling rendah pengeluarannya. Untukmu, mereka adalah penolong yang terbaik. Jika engkau lalai dan lupa, mereka akan mengingatkanmu kepada Allah. Jika engkau berzikir, mereka akan membantumu. Lisan mereka mengucapkan hak Allah. Mereka mendirikan perintah Allah dan menyucikan kecintaan hanya untuk Allah. Dengan hati, mereka melihat Allah dan kasih sayang-Nya. Mereka takut terhadap dunia karena ingin taat kepada sesembahan yang hakiki. Mereka memandang sikap seperti itu adalah bagian dari mereka dan kondisi mereka. Mereka memandang dunia tidak lebih daripada rumah pemberhentian sementara dan harus sesegera mungkin meninggalkannya, atau seperti harta yang diperolehnya dalam mimpi. Namun, ketika bangun, engkau tidak memperolehnya. Mareka bersungguh-sungguh dalam menjaga agama dan hikmah Allah."
Imam Ja'far Shadiq berkata, "Aku, pada setiap malam, menghamparkan tempat tidur ayahku dan menanti agar beliau beristirahat di tempat pembaringannya. Kemudian aku pergi ke pembaringanku sendiri. Pada suatu malam, aku menghamparkan tempat pembaringannya dan menantikannya. Namun, beliau tidak datang. Setelah semua orang terlelap tidur, aku mencari ayahku di masjid. Aku melihatnya sedang bersujud. Aku mendengar suara rintihannya yang berkata, "Mahasuci engkau Ya Allah! Tuhanku yang sesungguhnya. Aku bersujud kepada-Mu, wahai Tuhanku, sebagai ibadah dan ketertundukan hati! Sesungguhnya amalku lemah, maka lipat gandakanlah untukku, ya Allah! Jauhkanlah dariku siksaan-Mu pada hari Engkau memutus hamba-hamba-Mu dan terimalah tobatku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih."
Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Apabila sedih atau khawatir karena sesuatu, ayahku memanggil wanita dan anak anak lalu berdoa sementara mereka diminta untuk mengatakan, amin.
Aban bin Maimun Qadah berkata, "Abu Ja'far berkata kepadaku, "Bacalah al-Quran!" Aku berkata, "Dari mana?" Imam berkata, "Surah kesembilan." Aku ingin menemukan surah itu. Imam berkata lagi, "Bacalah dari surah Yunus!" Ketika aku tiba pada ayat, Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya[1]," Imam mengatakan, "Cukup! Rasulullah saw bersabda, "Aku heran bila aku membaca al-Quran, rambutku kemudian tidak memutih."
Infak dan Ihsan Meskipun tidaklah kaya dan tidak memiliki kekayaan yang melimpah -dan di sisi lain pembelanjaan hidupnya cukup tingggi, dalam batas kemampuannya, Imam Muhammad Baqir memberikan sedekah dan melakukan ihsan. Imam Shadiq berkata, "Ayahku dari segi kekayaan adalah yang paling miskin di dalam keluarga.
Namun, pengeluarannya lebih banyak dari yang lain. Namun demikian, setiap hari Jumat, ayahku bersedekah sebanyak satu dinar dan berkata, "Memberikan sedekah setiap hari Jumat adalah lebih baik daripada di hari-hari lainnya."
Hasan bin Katsir berkata, "Aku mengeluhkan kemiskinanku dan ketiadaan perhatian para sahabatku kepada Imam Baqir. Imam berkata, "Betapa buruk para sahabat, yang ketika engkau kaya, datang kepadamu tetapi ketika engkau miskin, meninggalkanmu."
Kemudian Imam memerintahkan kepada pembantunya untuk memberikan kepadaku kantung uang yang berisi tujuh ratus dirham. Selanjutnya, Imam mengatakan, "Belanjakan uang ini! Setiap kali habis, beritahukan kepadaku lagi!"
Amer bin Dinar dan Ubaidillah bin Ubaid berkata, "Setiap hari kamis ketika kami mendatanginya, Imam Muhammad Baqir memberikan uang dan pakaian kepada kami dan berkata, "Aku telah mempersiapkan semua ini untuk kalian sebelumnya."
Sulaiman Qaram berkata, "Abu Ja'far Muhammad bin Ali adakalanya memberi kami lima ratus atau enam ratus atau seribu dirham kepada kami dan sama sekali tidak pernah bosan untuk berbuat baik kepada saudara-saudara dan mereka yang meminta berharap dari kebaikannya."
Salma, budak wanita Imam Muhammad Baqir, berkata, "Mereka yang menjumpai Imam tidak keluar, kecuali setelah diberi makan, pakaian, serta uang. Aku menginginkan dari Imam untuk sedikit memberi. Imam berkata, "Hasanah yang paling baik di dunia adalah ihsan terhadap saudara seiman."
Imam Shadiq berkata, "Aku berada di sisi ayahku. Beliau membagikan delapan ribu dinar kepada orang-orang miskin di Madinah padahal untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, Imam Baqir berkeja keras di udara Madinah yang panas.
Muhammad bin Munkador berkata, "Aku tidak mengira Imam Ali bin Husain akan memiliki pengganti yang sepertinya dalam kemuliaan. Pada suatu hari, aku berjumpa dengan Muhammad Baqir dan berniat untuk menasehatinya. Namun, ia menasehatiku. Para sahabatnya berkata, "Bagaimana ia menasehatimu?" Aku berkata, "Pada udara yang terik, aku melihat sekeliling Madinah. Lalu, aku menyaksikan Muhammad bin Ali, yang sedang menyandarkan dirinya kepada dua budaknya. Aku berpikir, bahwa sungguh mengherankan seorang syaikh dari suyukh Quraisy di saat seperti ini keluar untuk mencari dunia. Aku harus menasehatinya. Aku mendekatinya dan menyampaikan salam. Dia menjawab salamku sambil nafasnya terengah-engah dan mengucurkan keringat. Aku berkata, "Syaikh dari suyukh Quraisy di saat-saat panas seperti ini keluar rumah mencari dunia? Apabila engkau mati dalam keadaan seperti ini, bagaimana engkau akan menjawab Allah swt?" Beliau melepaskan tangannya dari pundak para pembantunya dan berkata, "Demi Allah! Apabila kematianku tiba dalam keadaan seperti sekarang ini, aku berada dalam ketaatan kepada Allah swt karena aku pergi untuk bekerja agar aku tidak meminta-minta kepada orang sepertimu. Aku harus khawatir kalau aku mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah swt." Muhammad bin Munkadir berkata, "Semoga Allah merahmatimu. Aku berniat untuk menasehatimu tetapi malah engkau yang menasehatiku."
Catatan Kaki: [1] QS. Yunus: 26
21
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KEENAM: IMAM JA'FAR SHADIQ AS Imam Ja'far Shadiq as, menurut sejumlah riwayat, lahir ke dunia pada tanggal 17 Rabiul Awwal, tahun 83 Hijriah di Madinah. Ayahnya adalah Imam Muhammad Baqir dan ibunya adalah Fatimah Ummu Farwah, putri Qasim bin Muhammad. Laqab-nya Shadiq, Fadhil, Thahir, Qaim, Kafil, Munji, dan Shabir sementara kunyah-nya Abu Abdillah, Abu Ismail, dan Abu Musa.
Pada tanggal 25 Syawal, 148 Hijriah, pada usianya yang ke-65, Imam Shadiq meninggal dunia dan jasad sucinya dimakamkan di pemakaman Baqi'. Imam selama dua belas tahun hidup bersama dengan kakeknya, Imam Sajjad, dan sembilan belas tahun bersama ayahnya, Imam Muhammad Baqir. Masa imamah-nya adalah 34 tahun.
Kepribadian Imam Shadiq Dari segi ilmu, fikih, hasab, nasab, ibadah, sair serta suluk spiritual, dan kemuliaan budi pekerti, Imam Ja'far Shadiq adalah sosok yang paling terkenal atau populer pada zamannya. Beberapa cendekiawan mengakui dan memberikan kesaksian mereka tentang hal ini.
Malik bin Anas, seorang ahli fikih Madinah, mengatakan tentang Imam, "Sewaktu aku mengunjungi rumahnya, Imam Ja'far bin Muhammad senantiasa menghormatiku. Dia meletakkan bantal sandaran untukku sambil berkata, "Malik! Aku menyukaimu." Perkataan Imam itu membuat hatiku senang dan aku berterimakasih kepadanya. Imam Ja'far tidak pernah keluar dari tiga keadaan: puasa, shalat dan zikir. Imam adalah ahli ibadah yang paling konsisten, zuhud, takut kepada Allah. Imam banyak meriwayatkan hadis, senang duduk di majelis ilmu, dan banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Setiap kali Imam meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw, warna wajah Imam seketika itu berubah menjadi pucat biru atau kuning sehingga tidak bisa dikenali lagi. Tahun itu, aku berada di sisi Imam untuk menunaikan ibadah haji. Pada saat Imam hendak mengucapkan talbiyah untuk ihram, suaranya terputus di kerongkongannya sehingga tidak dapat mengucapkan talbiyah dan hampir saja terjatuh dari kuda tunggangannya. Aku berkata, "Wahai putra Rasulullah! Katakanlah! Engkau mau tidak mau harus mengucapkan talbiyah!" Imam mengatakan, "Wahai Ibn Amir! Dengan keberanian apa aku harus mengatakan labbaik! Allahumma labbaik! sedangkan aku takut Allah swt mengatakan kepadaku, la labbaik wa la sa'daik."
Malik bin Anas mengatakan, "Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang pun, yang dari segi kezuhudan, kemuliaan, ibadah, dan ketakwaan, lebih mulia daripada Ja'far bin Muhammad."
Amer bin Abi Miqdam mengatakan, "Ketika memandang Ja'far bin Muhammad, aku merasakan bahwa dia adalah dari keturunan Nabi saw."
Zaid bin Ali mengatakan, "Pada setiap zaman, ada lelaki dari Ahlulbait kami, yang melaluinya Allah sampaikan hujjah-Nya terhadap manusuia. Hujjah zaman ini adalah Ja'far bin Muhammad, putra saudaraku. Barangsiapa yang mengikutinya tidak akan sesat dan barangsiapa yang menentangnya tidak akan mendapatkan petunjuk."
Ismail bin Ali bin Abdullah bin Abbas berkata, "Pada suatu hari, aku tiba di sisi Abu Ja'far Manshur. Dia menangis sehingga jenggotnya penuh dengan air mata. Ia berkata kepadaku, "Tidakkah engkau tahu apa yang terjadi terhadap Ahlulbaitku?" Aku berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Peristwa apa gerangan?" Dia berkata, "Sayyid alam semesta dan sisa orang-orang baik telah wafat!" Aku berkata, "Siapakah dia wahai Amirul Mukminin?" Dia berkata, "Ja'far bin Muhammad." Aku berkata, "Allah swt semoga memberikan pahala dan panjang umur." Dia berkata, "Ja'far bin Muhammad adalah orang yang Allah swt firmankan, Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.[1] Ja'far adalah di antara orang yang Allah pilih dan termasuk dari sabiqin dalam kebajikan.
Ibn Habban menganggap Ja'far bin Muhammad sebagai orang yang terpercaya dan mengatakan, "Ja'far dari segi fikih, ilmu, dan kemuliaan adalah termasuk dari pembesar Ahlulbait dan hadisnya dapat dijadikan hujjah."
Syahristani mengenai Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Imam memiliki ilmu yang melimpah dalam agama dan kesusasteraan, sempurna dalam hikmah dan kezuhudan di dunia, serta ahli wara' dan takwa. Imam menghindari hawa nafsu. Imam tinggal untuk beberapa lama di Madinah dan para pengikut serta sahabatnya menghirup ilmu darinya. Setelah itu, Imam pindah ke Irak dan tinggal di sana beberapa lama."
Ahmad bin Hajar Haitsami menuliskan, "Anak Muhammad Baqir yang paling mulia adalah Ja'far Shadiq. Maka itulah, dia merupakan khalifah dan washi ayahnya. Masyarakat menukil banyak ilmu darinya, yang suaranya tersebar luas di semua negeri. Para pembesar agama juga menukil hadis darinya, seperti Yahya bin Sa'id. Ibn Juraih, Malik, Du Sufyanui, Abu Hanifah, Sya'bah, dan Ayyub Sajastani."
Ibn Shabbagh al-Maliki menulis, "Ja'far Shadiq, di antara saudara-saudaranya, adalah khalifah, washi, dan imam setelah ayahnya. Dari segi keutamaan, kecerdasan, serta kewibawaan, dia lebih tinggi daripada semuanya. Masyarakat menukil banyak ilmu darinya dan suaranya terdengar ke seluruh negeri. Hadis-hadis yang dinukil darinya tidak pernah dinukilkan dari seorang Ahlulbait pun."
Muhammad bin Thalhah Syafi'i menulis, "Ja'far bin Muhammad Shadiq adalah di antara pembesar dan sayyid Ahlulbait. Ia memiliki ilmu yang melimpah dan banyak beribadah serta banyak berzikir secara berkesinambungan. Ia zuhud dan banyak membaca al-Quran. Dia sangat teliti dalam memaknai al-Quran. Ibarat lautan, dia menebarkan mutiara dan memperoleh hasil yang sangat menakjubkan. Dia membagi waktunya untuk berbagai ketataan dan mengintrospeksi jiwanya dalam kaitan ini. Manusia yang melihatnya akan mengingat akhirat. Yang mendengarkan ucapannya akan menjadi zuhud. Yang mengikutinya akan mendatangi surga. Wajahnya yang bercahaya menjadi bukti bahwa dia adalah keturunan Rasulullah saw. Kesucian amalnya memberitahukan kepada kita bahwa dia adalah keturunan Rasulullah saw."
Sekelompok pemuka dan ulama menukil hadis dari Imam Shadiq, seperti Yahya bin Sa'id Anshari, Ibn Juraih, Malik bin Anas, Tsauri, Ibn Uyainah, Sya'bah, dan Ayyub Sajistani. Mereka semua menukil hadis dari Imam. Itu adalah sebuah kemuliaan tersendiri.
Syaikh Mufid mengenai Imam menulis, "Shadiq Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain, di antara saudara-saudaranya, terpilih sebagai khalifah, washi, dan imam setelah ayahnya. Dari segi keutamaan, ia lebih mulia daripada yang lain. Ia adalah yang paling mashur dan wibawa di mata umum dan khusus. Ilmunya menyebar luas di seluruh negara. Di antara Ahlulbait, dari Imam Shadiq-lah, hadis paling banyak dinukil. Ashab hadis menyebutkan empat ribu orang perawi hadis Imam Shadiq yang terpercaya."
Nash Imamah Sebelumnya telah disebutkan, bahwa untuk membuktikan imamah dua belas imam suci, banyak sekali argumen yang ada. Tiap-tiapnya sudah cukup untuk membuktikan imamah mereka. Semua itu dinamakan dalil atau argumen umum. Selain dari itu, bagi tiap-tiap imam, ada dalil khusus yang terdiri dari nash-nash yang didapatkan dari imam yang sebelumnya dan menjelaskan imamah imam setelahnya. Pengulangan argumen atau dalil umum tidaklah diperlukan. Oleh karena itu, kami merasa cukup dengan menyebutkan dalil-dalil spesifik atau khusus saja.
Abu Nadhrah mengatakan, "Menjelang wafatnya, Imam Muhammad Baqir memanggil putranya, Imam Ja'far Shadiq, untuk menyerahkan perjanjian imamah kepadanya. Saudara Imam Ja'far, Zaid bin Ali, berkata, "Adalah suatu kebaikan jika Anda beramal seperti halnya Hasan dan Husain." Imam Baqir berkata, " Wahai Abal Hasan! Amanat itu tidak bisa dibandingkan dengan perumpamaan. Imamah adalah suatu perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya oleh hujjah ilahiah."[2]
Abu Shabah Kanani berkata, "Hadrat Abu Ja'far memandang putranya yang bernama Abu Abdillah dan berkata kepadaku, "Apakah engkau melihat hal ini? Dia adalah di antara orang yang Allah swt firmankan, Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)."[3]
Jabir bin Yazid Ja'fi berkata, "Abu Ja'far ditanya tentang "qaim" setelahnya. Tangannya menepuk Abi Abdillah dan berkata, "Demi Allah! Anakku ini adalah qaim keluarga Muhammad."
Ali bin Hakam menukil dari Thahir Abu Ja'far yang berkata, "Aku berada di sisinya Abu Ja'far. Kemudian tibalah Ja'far. Abu Ja'far berkata, "Ja'far adalah di antara manusia yang terbaik."[4]
Abdul A'la menukil dari Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Ayahku menjelang wafatnya berkata, "Panggillah beberapa orang untuk menjadi saksi!" Kemudian aku memanggil empat orang dari Quraisy, yang di antaranya adalah Nafi' (tuan dari Abdullah bin Umar) ke sisi ayahku. Kemudian ayahku berkata kepadaku, "Tulislah, Muhammad bin Ali berwasiat kepada putranya, Ja'far, untuk mengafaninya dengan pakaian Bardi yang dikenakannya saat shalat pada hari Jumat dan meletakkan amamah-nya di kepalanya dan menjadikan kuburnya segi empat dan empat jari lebih tinggi dari permukaan bumi dan mengeluarkan pakaian tuanya dari tubuhnya."
Kemudian Imam Baqir berkata kepada para saksi, "Semoga Allah merahmati kalian!" Aku berkata kepada ayahku, "Apa gunanya keberadaan saksi?" Ayahku berkata, "Anakku! Aku khawatir mereka akan mengalahkanmu dan mengatakan, "Ayahnya tidak berwasiat tentangnya. Aku ingin engkau menjadi hujjah dan dalil."[5]
Jabir bin Yazid Ja'fi meriwayatkan bahwa Imam Muhammad Baqir ditanya tentang qaim. Imam Baqir menunjuk Abu Abdillah dan berkata, "Demi Allah! Ini adalah qaim keluarga Muhammad."
Anbasah bin Mush'ab berkata, "Ketika Abu Ja'far wafat, aku menjumpai Abu Abdillah, putranya, dan membacakan hadis Jabir. Dia berkata, "Jabir berkata benar. Bukankah setiap imam adalah qaim setelah imam sebelumnya?"[6]
Muhammad bin Muslim berkata, "Aku berada di sisi Imam Muhammad Baqir. Kemudian putranya Ja'far datang dengan mengenakan rambut palsu dan bermain dengan tongkat. Lantas Imam Muhammad Baqir memeluknya dan merapatkan putranya itu ke dadanya seraya berkata, "Ayah dan ibuku sebagai untukmu! Janganlah bermain!" Kemudian Imam Baqir berkata kepadaku, "Ia akan menjadi imam sepeninggalku nanti. Ikutilah dia dan ambillah manfaat dari perbuatannya.
Demi Allah! Ini adalah Shadiq yang Allah swt telah namakan dengan nama tersebut. Allah swt akan membantu semua Syiahnya, baik di dunia dan akhirat sedangkan musuhnya akan dilaknat oleh semua nabi."
Di saat itu, Ja'far tertawa dan wajahnya ceria. Kemudian Imam Baqir berkata kepadaku. "Bertanyalah kepada putraku apa saja yang kauinginkan?" Aku bertanya, "Wahai putra Rasulullah! Dari manakah asal tawa tadi?" Ja'far berkata, "Wahai Muhammad! Akal dari hati, kesedihan dari liver, nafas dari paru-paru, dan tawa dari." Kemudian aku berdiri dan mencium keningnya." [7]
Hammam bin Nafi' berkata, "Pada suatu hari, Abu Ja'far berkata kepada para sahabatnya, "Ketika kalian tidak menemukanku, maka bermakmumlah kepadanya. Dia adalah imam dan khalifah sepeninggalku. Saat itu, Imam Baqir, dengan tangannya yang suci, menunjuk Abu Abdillah Imam Shadiq."[8]
Hisyam bin Salim meriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Menjelang wafatnya, Ayahku berkata kepadaku, "Wahai Ja'far! Aku berpesan kepadamu hendaknya engkau berbuat baik kepada para sahabatku!" Aku bertanya, "Ayahku! Demi Tuhan! Aku akan mendidik mereka sehingga mereka tidak lagi membutuhkan orang lain dalam mencari ilmu pengetahuan dan mata pencaharian."
Surah bin Kalib berkata, "Pada suatu hari, Zaid bin Ali berkata kepadaku, "Dari mana engkau mengerti bahwa temanmu Ja'far adalah imam?" Aku berkata, "Dengan alasan bahwa sebelumnya, kami menjumpai Imam Muhammad Baqir. Setiap kali aku bertanya sesuatu, Imam Baqir berkata, " sampailah pada hari ketika saudaramu, Muhammad, meninggal dunia. Saat itu, untuk mencari ilmu, aku datang kepada kalian, Ahlulbait, di antaranya engkau. Sebagian pertanyaan engkau jawab tetapi sebagian lagi tidak kaujawab. Kemudian aku datang ke sisi Ja'far, putra saudaramu. Maka, apa pun yang kami tanyakan dijawabnya seperti ayahnya dan berkata, "
Kemudian Zaid bin Ali tersenyum dan berkata, "Demi Allah! Apa yang kaukatakan itu disebabkan kitab-kitab Ali bin Abi Thalib berada di sisinya."[9]
Amer bin Abi Miqdam berkata, "Aku melihat Imam Ja'far Shadiq di Arafah, di mauqif, yang dengan suara keras berkata, "Wahai manusia! Rasulullah saw adalah imam dan setelahnya, Ali bin Abi Thalib adalah imam, dan setelahnya, Hasan dan berikutnya Husain bin Ali adalah imam. Setelah Husain as, Ali bin Husain, dan setelahnya, Muhammad bin Ali adalah imam dan setelah itu هه." Ucapan di atas diulanginya sebanyak tiga kali: kepada manusia yang ada di hadapannya; kepada manusia yang ada di sisi kanan; dan selanjutnya, kepada manusia yang ada di sebelah kiri; dan berikutnya, kepada manusia yang ada di belakang, diulangi tiga kali."
Amer berkata lagi, "Tatkala pergi ke Mina, aku menanyakan tafsir kalimat kepada para ahli sastra Arab. Mereka menjawab, bahwa kata dalam bahasa Bani Fulan artinya ialah yang artinya maka tanyalah kepadaku. Aku juga bertanya kepada sejumlah orang dan mereka menafsirkannya sama."[10]
Abdul Ghaffar bin Qasim berkata, "Aku bertanya kepada Imam Muhammad Baqir, "Wahai putra Rasulullah! Apabila terjadi suatu peristiwa terhadapmu, lalu setelahmu nanti, kepada siapa kami akan merujuk?" Beliau berkata, "Kepada Ja'far. Dia adalah sayyid anak-anakku dan ayah para imam. Ia jujur dalam ucapan dan perilakunya."[11]
Syeikh Mufid dalam argumentasi mengenai imam menulis, "Dalam dalil aqliyah, telah terbuktikan bahwa imam haruslah seorang manusia yang termulia sehingga ilmu, zuhud, serta amalnya adalah lebih tinggi daripada yang dimiliki saudara-saudara lelaki, anak-anak paman, dan manusia lain pada zamannya."[12]
Ilmu dan Pengetahuan Salah satu tanggung jawab para imam suci yang paling besar adalah menyebarluaskan ilmu, kemuliaan akhlak, dan fikih sejati Islam yang dipelajarinya dari Rasulullah saw. Semua imam suci memiliki kesiapan yang sempurna untuk menunaikan kewajiban yang penting ini. Namun sayangnya, mereka dihadapkan kepada batasan-batasan dari para khalifah yang zalim. Selain merampas khilafah, para khalifah yang tiran itu juga tidak mengijinkan para imam untuk menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan agama yang diperlukan oleh masyarakat. Para pengikut imam suci juga tidak berani merujuk dan bertanya kepada mereka dan terpaksa melakukan taqiyyah 'menyembunyikan keimanan', khususnya di era Bani Umayyah yang memang mengondisikan iklim yang mencekam dan mengkhawatirkan di tengah umat Islam dan melancarkan propaganda buruk terhadap Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait. Namun, di masa Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja'far Shadiq, keadaannya berubah. Kondisi yang menakutkan itu telah pecah dan masyarakat mulai menyadari ketertindasan Ahlulbait. Masyarakat memerlukan ilmu nubuwwah yang asli, yang diamanahkan kepada para imam.
Pemerintahan Bani Umayyah semakin melemah dan goyah sehingga terpaksa mengurangi pembatasan-pembatasan. Pada awal-awal periode pemerintahan Bani Abbas, juga terjadi hal yang sama karena tonggak-tonggak pemerintahan mereka belum kukuh sehingga terpaksa memberikan kebebasan berbuat bagi para Ahlulbait.
Dengan memperhatikan berbagai sisi di atas dan juga mungkin sisi-sisi lainnya, Imam Baqir dan Imam Shadiq memanfaatkan peluang itu untuk menyebarluaskan ilmu, pengetahuan, serta fikih nubuwwah yang hakiki.
Imam Shadiq mendidik dan membimbing banyak murid serta mengajarkan kepada mereka ribuan hadis dalam berbagai bidang, yang di antaranya terdapat dalam kitab-kitab hadis. Apabila merujuk kepada kitab-kitab hadis, kita akan melihat bahwa hadist dalam jumlah yang paling besar adalah yang hadis diriwayatkan dari dua Imam besar tersebut.
Dalam Manaqib ditulis, bahwa ilmu yang dinukil dari Imam Ja'far Shadiq tidak pernah dinukil dari orang lain. Sejumlah shahibul hadis mengumpulkan nama-nama perawi yang muwatsaq, yang jumlahnya mencapai empat ribu orang.[13]
Dalam kitab Hilyatul Auliya, Abu Na'im meriwayatkan bahwa para pemuka agama dan ulama besar yang meriwayatkan hadis dari Ja'far bin Muhammad adalah seperti Malik bin Anas, Sya'bah bin Hujjaj , Sufyan Tsauri, Ibn Juraih, Abdullah bin Amer, Ruh bin Qasim, Sufyan Uyainah, Sulaiman bin Bilal, Ismail bin Ja'far, Hatim bin Ismail, Abdul Azis bin Mukhtar, Wahab bin Khalid, dan Ibrahim bin Thahan.
Muslim dalam Shahih-nya menukil hadis dari Imam Ja'far dan berargumen dengan itu [14]. Yang lainnya mengatakan bahwa Malik, Syafi'I, Hasan, Shalih, Abu Ayyub Sajistani, Amer bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal juga meriwayatkan hadis dari Ja'far bin Muhammad.
Malik bin Anas berkata, "Hingga kini belum terlihat dan terdengar bahwa ada seseorang dari sisi ilmu, kemuliaan, ibadah, dan ketakwaan yang lebih mulia dan utama daripada Ja'far Shadiq."[15]
Imam Ja'far Shadiq berkata, "Aku mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan apa yang ada di surga dan neraka, dan di masa akan datang dan masa lalu, dan aku menggunakan al-Quran." Kemudian Imam membuka tangannya dan berkata, "Allah berfirman di dalam al-Quran, [16]
Shalih bin Aswad berkata, "Aku mendengar dari Ja'far bin Muhammad yang berkata, "Tanyakanlah apa saja yang engkau kehendaki sebelum kalian kehilangan aku karena setelahku, seseorang tidak akan dapat menyampaikan hadis seperti diriku."[17]
Ismail bin Jabir menukil dari Ja'far Shadiq yang berkata, "Allah swt mengutus Muhammad sebagai Rasul dan setelah itu, tidak akan ada nabi lain. Allah menurunkan al-Kitab dan setelah itu, tidak akan ada kitab lain. Di dalam Kitab itu, Allah swt menghalalkan sejumlah perbuatan dan mengharamkan sebagian. Halal Allah tetap halal hingga hari kiamat dan haramnya akan haram hingga hari kiamat. Berita-berita orang yang terdahulu, masa akan datang, dan masa sekarang terdapat dalam Kitab samawi ini." Kemudian Imam menunjuk dadanya dan berkata, "Semuanya kami ketahui."[18]
Imam Ja'far Shadiq berkata, "Ilmu terbagi menjadi empat bagian: simpanan-simpanan masa lalu, yang bersifat tertulis, apa yang didoktrin di hati kami, dan apa yang disebutkan di telinga kami. Kitab Jufr Ahmar, Jufr Abyadh. Mushaf Fatimah, Kitab Jami'ah ada di sisi kami. Apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat telah tercatat di sana."[19]
Ibn Abil Hadid menulis, "Para sahabat Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad belajar ilmu fikih dari Abu Hanifah. Syafi'i adalah murid Muhammad bin Hasan yang belajar ilmu fikih dari Abu Hanifah. Ahmad bin Hambal belajar ilmu fikih dari Syafi'i. Maka fikih pun kembali kepada Abu Hanifah sedangkan Hanifah belajar dari Ja'far bin Muhammad."[20]
Mas'udi menulis, "Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad mengadakan jalsah atau majelis bagi masyarakat umum dan orang-orang khusus. Mereka datang dari berbagai penjuru negeri untuk menanyakan berbagai persoalan halal dan haram, tafsir dan ta'wil al-Quran, serta hukum-hukum pengadilan. Tidak ada seorang pun yang keluar dari majelis itu kecuali telah merasa puas terhadap jawaban Imam Ja'far."[21]
Ibadah dan Penghambaan Imam Ja'far Shadiq, seperti juga ayah-ayahnya yang mulia, dari sisi ubudiyah berada pada peringkat tertinggi dan manusia yang paling mulia di zamannya. Di antaranya, kami akan menyinggung sebagiannya.
Telah diriwayatkan bahwa ketika, dalam shalat, membaca ayat-ayat al-Quran, Imam Ja'far Shadiq keluar dari keadaan biasa atau tak sadarkan diri. Ketika sadar, Imam ditanya mengapa dia pingsan. Imam menjawab, "Aku sedang mengulang-ulang ayat sehingga seolah-olah aku mendengarnya langsung secara lisan dari Allah atau Jibril."[22]
Aban bin Taghlib berkata, "Aku menjumpai Imam Ja'far Shadiq yang sedang shalat. Aku menghitung zikir, rukuk, serta sujud Imam. Aku mendapati bahwa Imam mengucapkan tasbih sebanyak enam puluh kali."[23]
Hamzah bin Hamran dan Hasan bin Ziyad berkata, "Aku menemui Imam Ja'far Shadiq yang sedang mengimami shalat ashar berjamaah. Imam mengulangi zikir sebanyak 33 atau 34 kali dalam rukuk dan sujud. "[24]
Yahya bin Ala' berkata, "Pada malam ke-23 bulan Ramadhan, Imam Shadiq sakit keras. Imam memerintahkan agar ia digotong beserta pembaringannya ke sisi makam Rasulullah saw untuk menjalani ibadah hingga subuh."[25]
Ibn Thaglib berkata, "Dalam perjalanan antara Madinah ke Makkah, aku berada di sisi Imam Ja'far. Tatkala sampai di Haram, Imam turun dan mandi. Lantas Imam menjinjing sepatunya dengan tangannya sendiri dan memasuki Haram dengan tanpa alas kaki."[26]
Hafadz bin Bakhtari menukil dari Imam Shadiq yang berkata, "Di masa muda, aku begitu bersungguh-sungguh dalam ibadah. Ayahku berkata, "Anakku! Dalam ibadah, janganlah engkau melelahkan dirimu karena Allah swt -ketika menyukai hamba-Nya, akan menerima amal hamba-Nya itu walaupun sedikit."[27]
Muawiyah bin Wahab berkata, "Aku pergi dengan Imam Ja'far Shadiq ke pasar Madinah dengan mengendarai keledai hingga tiba di dekat pasar. Imam Ja'far turun dari keledainya dan bersujud. Sujudnya begitu lama. Ketika Imam selesai dari sujudnya, aku bertanya, "Engkau telah turun dari kendaraan dan bersujud?" Imam menjawab, "Aku teringat kepada salah satu nikmat Allah. Oleh karena itulah, aku bersujud untuk bersyukur kepada Allah swt." Aku bertanya, "Walaupun di dekat pasar yang banyak manusia berlalu-lalang?" Imam mengatakan, "Tidak ada orang yang melihatku."[28]
Malik bin Anas berkata, "Untuk sekian lama, aku berlalu-lalang di sisi Ja'far bin Muhammad dan tidak melihatnya kecuali dalam tiga keadaan: dalam keadaan shalat, puasa, atau membaca al-Quran. Imam selalu dalam keadaan wudhu manakala menukil atau meriwayatkan hadis."[29]
Malik bin Anas berkata, "Dalam suatu perjalanan haji, aku berada di sisi Imam Ja'far. Di Miqat, Imam menahan hewan kendaraannya untuk muhrim. Namun, setiapkali hendak mengucapkan talbiyah, ia tidak kuasa mengatakannya. Suaranya terputus di mulutnya sehingga hampir saja ia jatuh dari kendaraannya. Aku berkata, "Wahai putra Rasulullah! Mengapa engkau tidak mengucapkan talbiyah?" Imam mengatakan, "Bagaimana aku mengucapkan talbiyah sementara Allah swt mungkin menjawab, 'tidak ada sambutan dan kebahagiaan untukmu'[30]
Mencari Rejeki Halal Meskipun memiliki kesibukan ilmiah yang banyak dan sebagian besar waktunya diluangkan untuk menyebarluaskan dan mengajarkan ilmu agama, Imam Ja'far Shadiq, di waktu kosong dan senggangnya, berupaya untuk mencari rejeki yang halal.
Abdul A'la berkata, "Di suatu hari yang panas, aku menyaksikan Imam Ja'far Shadiq di sebuah jalan yang menuju Madinah. Aku berkata, "Wahai putra Rasulullah! Kukorbankan diriku untukmu! Dengan maqom tinggi yang kaumiliki di sisi Allah dan asalmu yang dari keluarga Rasulullah, mengapakah di hari yang panas ini engkau menyusahkan dirimu sendiri?" Imam menjawab, "Wahai Abdul A'la! Aku keluar dari rumah untuk mencari rejeki sehingga aku tidak membutuhkan manusia-manusia sepertimu."[31]
Ismail bin Jabir berkata, "Aku melihat Imam Ja'far Shadiq di ladangnya dengan mengenakan pakaian yang menyerupai karbas sedang mengairi ladangnya.[32] Abu Umar Syaibani berkata, "Aku menyaksikan Imam Shadiq di ladangnya sedang mengenakan pakain kasar dan bekerja dengan pacul lalu keluarlah keringatnya. Aku berkata, "Ijinkan aku membantumu." Imam berkata, "Aku suka apabila manusia, di tengah panasnya matahari, mencari rejeki yang halal."[33]
Syua'ib berkata, "Aku menyewa beberapa buruh untuk bekerja di ladang Imam Ja'far. Menurut rencana, mereka akan bekerja hingga ashar. Manakala mereka sudah selesai dari pekerjaannya, Imam berkata, "Sebelum keringat mereka kering, bayarlah upah mereka!"[34]
Muhammad bin Adzafir menukil dari ayahnya yang mengatakan, "Imam Shadiq memberikan seribu tujuh ratus dinar kepadaku dan berkata, "Berdaganglah untukku dengan uang ini." Lantas, Imam berkata, "Meskipun memperoleh keuntungan itu adalah kebaikan, tujuanku bukanlah itu. Namun, tujuanku adalah agar Allah swt melihatku dalam keadaan diriku mendatangkan kebaikan dan keuntungan bagi-Nya."
Kemudian ayahku berkata, "Aku berdagang dengan uang itu dan mendapatkan keuntungan sebanyak seratus dinar. Aku berkata kepadanya, "Aku mendapatkan keuntungan bagimu." Imam mengatakan, "Jadikan jumlah itu sebagian dari modalmu!"
Tidak lama kemudian, ayahku wafat. Imam Shadiq menulis kepadaku, "Semoga Allah memberikan kepadamu afiyah! Aku memiliki seribu delapan ratus dinar di sisi ayahmu. Aku berikan uang itu agar dijadikan modal dagang. Berikanlah uang itu kepada Amer bin Yazid!"
Lalu, aku memperhatikan surat-surat ayahku. Di sana tertulis, "Abu Musa memiliki 1800 dinar di sisiku, Abdullah bin Sanan, dan Amer bin Yazid juga mengetahui hal ini."[35]
Infak dan Ihsan Seperti juga ayah-ayahnya yang mulia, meskipun tidak memiliki uang yang banyak, Imam Shadiq, dalam batas kemampuannya, menginfakkan hartanya kepada kaum fakir-miskin dan orang-orang yang berhutang. Akan kami sebutkan sebagian contohnya.
Hisyam bin Salim mengatakan, "Kebiasaan Imam Ja'far Shadiq adalah memikul kantung yang berisikan roti, daging, dan uang di kegelapan malam ke rumah-rumah orang miskin Madinah dan membagikannya kepada mereka, padahal mereka tidak mengenalnya. Sepeninggal Imam Shadiq, mereka baru menyadari bahwa yang berbuat baik itu adalah Imam Ja'far Shadiq."
Mu'li bin Hunais mengatakan, "Di malam yang hujan, aku melihat Imam Ja'far sedang bergerak ke perkampungan Bani Saidah. Maka, aku mengikutinya dari kejauhan. Tiba-tiba apa yang ada di pundaknya itu terjatuh. Imam mengatakan, 'dengan nama Allah, ya Allah, kembalikanlah kepada kami'. Aku mendekat dan mengucapkan salam. Setelah menjawab salam, Imam mengatakan, "Wahai Mu'li bin Hunais! Upayakanlah untuk mengembalikan apa yang jatuh dari pundakku kepadaku!" Di kegelapan malam itu, aku mencari yang jatuh itu. Ternyata ada roti yang tercerai-berai. Lalu aku juga menemukan kantung. Aku berkata, "Ijinkanlah aku untuk membawakannya untukmu." Imam menolak tawaranku itu dan berkata, "Aku sendiri lebih pantas untuk membawanya."
Objektif dan Mencintai Sesama Manusia Abu Ja'far Nazari mengatakan, "Imam Ja'far Shadiq memberikan seribu dinar kepada Mushadif, budaknya, dan berkata, "Berdaganglah dengan uang ini dan pergilah ke Mesir karena keluargaku sudah banyak!" Mushadif membeli sejumlah barang dengan uang itu dan bersama para pedagang, ia pergi ke Mesir.
Tatkala sudah mendekati Mesir, sekelompok orang di luar Mesir menyambut kedatangan mereka. Para pedagang menanyakan barang-barang apa saja yang diperlukan oleh masyarakat secara umum. Mereka menjawab, barang-barang ini masih langka di kota ini. Maka, para pedagang berikrar untuk tidak menjual barang dagangan kecuali dengan harga dua kali lipat dan mereka melakukan itu. Lantas mereka mengambil uang dagangannya dan kembali ke Madinah. Mushadif datang menjumpai Imam Ja'far. Ia membawa dua kantung uang yang tiap-tiap berisi seribu dinar.
Mushadif berkata, "Ini seribu dinar yang merupakan pokok modal dan seribu dinar lagi adalah keuntungannya." Imam berkata, "Keuntungan yang melimpah! Bagaimana engkau mendapatkan keuntungan sebanyak itu?" Mushadif menceritakan kejadian yang sebenarnya. Imam Shadiq berkata, "Mahasuci Allah! Bagaimana engkau mengikat janji untuk tidak menjual barang daganganmu dengan keuntungan ganda!"
Kemudian, Imam Ja'far mengambil salah satu kantung seraya berkata, "Aku hanya akan mengambil pokok modalku dan selebihnya aku tidak membutuhkan keuntungan yang kauperoleh dengan jalanmu. Wahai Mushadif! Memukul pedang adalah lebih mudah daripada mencari rejeki halal."[36]
Mu'tab mengatakan, "Imam Shadiq berkata kepadaku, "Barang dagangan ini telah mahal di Madinah. Sejauhmana perbekalan makanan kita?" Aku berkata, "Cukup untuk beberapa bulan." Imam berkata, "Kalau demikian, bawalah ke pasar dan juallah!" Aku berkata, "Di Madinah, barang yang diperlukan sangat terbatas." Imam berkata, "Bawa, juallah, dan belilah untuk keperluan kami dari hari ke hari, sebagaimana masyarakat umum lainnya yang membeli perbelanjaan sehari-harinya."
Imam berkata, "Makanan keluargaku dari barley dan gandum. Allah mengetahui bahwa aku dapat menyediakan makanan keluargaku dari gandum murni tetapi aku lebih suka Allah swt menyaksikan bahwa aku, dalam kehidupanku dan keluargaku, telah memelihara kesederhanaan dan kebersahajaan."[37]
Taushiyah agar Menyenangkan Orang Imam Ja'far Shadiq, selain melakukan ihsan dan memberikan solusi-solusi bagi orang-orang yang dilanda kesulitan, juga menganjurkan orang lain agar melakukan hal yang sama. Seorang lelaki datang menemui Imam Ja'far Shadiq lalu menceritakan kesulitannya. Lelaki itu harus membayar pajak kepada pemerintahan Najasi yang saat itu berkuasa hingga ke Ahwas dan Fars. Namun, lelaki itu tidak mampu membayarnya. Berhubung Imam Ja'far Shadiq adalah panutan raja Najasi, maka lelaki itu memohon bantuan Imam Ja'far agar pajak tersebut dikurangi. Imam Ja'far, dalam sebuah suratnya, menulis, yang artinya, 'bahagiakanlah saudaramu maka Allah akan membahagiakanmu'.
Lelaki itu mengambil surat tersebut, menemui Najasi, dan berbicara empat mata dengannya. Surat itu diserahkannya kepada Najasi seraya berkata, "Surat ini ditulis oleh Imam Ja'far Shadiq untuk Anda." Najasi mengambil surat itu dan menciumnya lalu meletakkannya di matanya seraya berkata, "Apakah hajat dan keperluanmu?" Ia berkata, "Aku memiliki hutang pajak yang tidak mampu kubayar." Raja Najasi itu bertanya, "Berapa jumlahnya?" Lelaki itu menyebut sepuluh ribu dirham. Najasi memanggil sekretarisnya dan berkata, "Tunaikanlah hutang lelaki ini dari harta pribadiku!" Bahkan, Najasi memerintahkan agar pajak di tahun depan juga dibebaskan. Kemudian Najasi bertanya kepada lelaki itu, "Apakah aku telah membahagiakanmu?" Ia berkata, "Benar, kukorbankan diriku untukmu."
Lantas Raja itu memerintahkan agar lelaki itu diberi kendaraan, seorang budak lelaki, seorang budak wanita, dan sehelai pakaian. Setiapkali pemberian itu diserahkan, Najasi bertanya, "Apakah aku telah membuatmu senang?" Lelaki itu membenarkannya. Lantas Najasi memberikan permadani, yang di atasnya ia menerima surat dari Imam Ja'far Shadiq -manusia yang sangat dicintainya itu, kepada lelaki itu. Selanjutnya, Najasi meminta lelaki itu datang kepadanya sewaktu-waktu jika ia memiliki hajat lagi.
Lelaki itu mengambil harta tersebut dan keluar. Tak lama kemudian, lelaki itu menemui Imam Ja'far dan menceritakan pertemuannya dengan Najasi. Imam Ja'far sangat senang. Lelaki itu berkata, "Wahai putra Rasulullah! Sepertinya Anda ridha dengan perbuatannya?" Imam mengatakan, "Benar demi Allah! Allah dan Rasul-Nya juga ridha dengan perbuatan ini."[38]
Muhammad bin Basyar berhutang seribu dinar kepada Syahab dan tak mampu membayarnya. Ia menjumpai Imam Ja'far Shadiq. Ia meminta Imam berbicara dengan Syahab agar bersedia menunda hutangnya hingga musim haji selesai. Imam Ja'far memanggil Syahab dan berkata kepadanya, "Anda mengetahui tentang keadaan Muhammad dan hubungannya dengan kami." Ia berhutang sebanyak seribu dinar kepadamu. Ia tidak membelanjakan uang itu untuk makanan dan memuaskan syahwatnya, melainkan berhutang kepada masyarakat. Aku menghendaki agar engkau menghalalkan hutangnya. Mungkin engkau berpikir bahwa sebagai ganti uang ini, Allah akan mengambil kebaikan-kebaikannya dan memberikannya kepadamu?" Syahab berkata, "Aku berpikir seperti itu." Imam Shadiq berkata, "Allah swt lebih adil daripada itu. Bagaimana semua pahala hamba-Nya, yang di malam-malam dingin berdiri untuk beribadah dan di siang yang panas berpuasa dan bertawaf di rumah llahi, diambil darinya lalu diberikan kepada orang lain! Tidak! Akan tetapi, karunia Allah sangat melimpah dan diutamakan bagi hamba-hamba-Nya yang mukmin." Syahab berkata, "Wahai putra Rasulullah! Kuhalalkan hutangku kepadanya."[39]
Sabar dalam Menghadapi Musibah Qutaibah berkata, "Aku menjumpai Imam Ja'far untuk mengunjungi putranya yang sedang sakit. Aku melihat Imam tampak sedih. Aku menanyakan keadaan putranya. Imam berkata, "Demi Allah! Masih seperti sebelumnya."
Setelah sekian jam, Imam masuk ke rumah dan tak lama kemudian, kembali. Wajah Imam berbinar dan kesedihannya hilang.
Aku menduga putranya telah sembuh. Aku bertanya kepada Imam, "Bagaimana keadaan putra Anda?" Imam mengatakan bahwa putranya telah meninggal dunia. Aku bertanya, "Sewaktu anakmu masih hidup, engkau tampak sedih tetapi kini, ketika sudah meninggal, kesedihanmu malah hilang. Bagaimana bisa seperti ini?" Imam berkata, "Demikianlah sirah kami, Ahlulbait, yakni bahwa sebelum terjadinya musibah, kami berduka tetapi setelah itu terjadi, kami ridha dan pasrah dengan ketetapan Allah."[40]
Sufyan Tsauri menjumpai Imam Ja'far. Imam tampak berduka dan gelisah. Imam berkata, "Aku melarang anggota keluargaku pergi ke atap rumah. Ketika aku masuk ke rumah, salah seorang budak sedang menggendong salah seorang putraku naik ke tangga. Tatkala melihatku, ia takut dan gemetar sehingga anakku jatuh dan meninggal. Kini, aku bukan cemas soal kematian anakku tetapi cemas mengapa budakku takut kepadaku sehingga peristiwa itu terjadi." Kemudian Imam berkata kepada budaknya itu, "Kubebaskan engkau di jalan Allah dan engkau tidak apa-apa." Imam mengulangi ucapan itu dua kali."[41]
Ala' bin Kamil berkata, "Aku berada di sisi Imam Ja'far. Tiba-tiba, terdengar suara tangisan dari dalam rumah. Karena mendengar suara teriakan itu, Imam Ja'far bangun dan berkata, "Inna lilla wa inna ilahi rajiun." Kemudian Imam duduk dan melanjutkan pembicaraannya sampai selesai. Selanjutnya Imam berkata, "Kami menyukai kesehatan dan keselamatan diri, anak-anak, serta harta kami. Namun, ketika ketetapan Allah menghendaki lain, maka tidak sepatutnya kami menyesalkan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah."[42]
[9] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 36; Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 272.
[10] Ibid, jilid 47, 58.
[11] Istbatul Huda, jilid 5, hal. 328.
[12] Al-Irsyad, jilid 2, hal. 182.
[13] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 268.
[14] Ibid, jilid 4, hal. 269.
[15] Ibid, jilid 4, hal. 269.
[16] Ibid, jilid 4, hal. 270.
[17] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 33.
[18] Ibid, jilid 47, hal. 35.
[19] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 1, hal. 18.
[20] Ibid, jilid 1, hal. 18.
[21] Istbatul Washiah, hal. 156.
[22] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 58.
[23] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 50.
[24] Ibid, jilid 47, hal. 50.
[25] Ibid, jilid 47, hal. 53.
[26] Ibid jil 47 hal 54.
[27] Ibid jil 47 hal 55.
[28] Bihar anwar jil 47 hal 21.
[29] Tahdzib at tahdzib jil 2 hal 104, Manaqib Ali Abi Thalib jil 4 hal 297.
[30] Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 297.
[31] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 55.
[32] Ibid, jilid 47, hal. 56.
[33] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 57.
[34] Ibid, jilid 47, hal. 57.
[35] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 56.
[36] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 59.
[37] Ibid jil 47 hal 59.
[38] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 370.
[39] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 364.
[40] Biharul Anwar, jilid 47, hal. 49.
[41] Ibid, jilid 47, hal. 24; Manaqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 296.
[42] Ibid, jilid 47, hal. 49.
22
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KETUJUH: IMAM MUSA AL-KAZHIM AS Musa bin Ja'far as lahir pada tanggal 7 Shafar, tahun 128 Hijriah di sebuah desa antara Makkah dan Madinah yang bernama Abwa. Ayahnya adalah Imam Ja'far Shadiq as dan ibunya adalah Hamidah.
Nama beliau adalah Musa dan panggilannya adalah Abu Hasan, Abu Ibrahim, Abu Ali, Abu Ismail. Sementara itu, gelarnya adalah Abdus Shalih 'hamba yang saleh', Nafsuz Zakiyyah 'jiwa yang suci', Zainal Mujtahidin, as-Shabir 'penyabar', al-Amin 'terpercaya', az-Zahid 'ahli zuhud', dan as-Shalih. Gelarnya yang paling terkenal adalah al-Kazhim.
Beliau meraih kesyahidan pada tanggal 25 Rajab, tahun 183 Hijriah, di penjara Sanadi bin Syahik, di Baghdad dan dimakamkan di pemakaman Quraisy yang terkenal dengan nama Kadzimain. Saat itu, beliau berusia lima puluh lima tahun. Selama dua puluh tahun, ia hidup bersama ayahnya dan masa imamah-nya adalah tiga puluh lima tahun.
Musa bin Ja'far as praktis tidak merepotkan penguasa saat itu karena tidak terdapat peluang dan menghabiskan masa-masa hidupnya dalam ibadah, bekerja, mengurusi soal-soal kehidupan lainnya -terutama penyebaran ilmu dan ajaran-ajaran agama, membimbing manusia, dan mendidik murid-muridnya serta para perawi hadis sehingga dikenal sebagai ulama dan ahli fikih terkemuka. Namun demikian, penguasa saat itu tetap khawatir dan cemas terhadap kedudukan ilmu serta kecintaan masyarakat terhadapnya. Oleh karena itu, penguasa senantiasa mengawasi dirinya, para sahabatnya, dan pengikutnya. Mereka menerornya dengan beragam cara dan berulangkali memaksanya datang dari Madinah ke Baghdad untuk diintimidasi, bahkan terkadang mereka bermaksud membunuhnya, sesuatu yang akhirnya urung dilakukan karena beberapa pertimbangan sehingga Imam pun dipulangkan kembali ke Madinah.
Pada akhirnya, melalui upaya sebagian kerabat Harun al-Rasyid, dikeluarkanlah keputusan untuk menarik Imam as dari Madinah ke Baghdad. Imam mendekam sekian lama di penjara Bashrah dan Baghdad. Bui terakhirnya adalah penjara Sanadi bin Syahik di Baghdad. Penjara ini merupakan rumah tahanan yang amat berat.
Akhirnya, atas perintah Harun al-Rasyid, Sandi bin Syahik meracuninya sehingga beberapa lama kemudian Imam mencapai syahadah. Jasad sucinya dimakamkan di pemakaman Quraisy, di pinggiran kota Baghdad.*
Nash-Nash Imamah Sebelumnya telah disebutkan bahwa dalil-dalil imamah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, dalil-dalil umum yang dapat dijadikan sandaran untuk membuktikan imamah tiap-tiap imam. Kedua, dalil-dalil khusus, yaitu nash-nash yang berasal dari setiap imam untuk menyatakan kepemimpinan imam setelahnya. Sebelum ini, kami telah mengemukakan secara terperinci bagian pertama (dalil-dalil umum, pent). Di sini, kami hanya akan mengutip nash-nash yang dilontarkan Imam Ja'far Shadiq as yang berkaitan dengan kepemimpinan putranya, Musa bin Ja'far as.
Syaikh Mufid ra menulis bahwa Mafdhal bin Umar Ja'fi, Muadz bin Katsir, Abdurrahman bin Hajjad, Faidh bin Mukhtar, Ya'kub Siraj, Sulaiman bin Khalid, dan Shafwan bin Jamal adalah sejumlah sahabat khusus, orang dekat, dan kepercayaan Imam Shadiq as yang meriwayatkan nash-nash imamah Abu Hasan Musa as.
Ishaq dan Ali, dua putra Imam Shadiq as, yang tiada perselisihan mengenai keutamaan dan ketakwaan mereka berdua adalah di antara orang-orang yang menegaskan nash-nash imamah saudara mereka, Musa bin Ja'far as.
Mafdhal bin Umar menuturkan, "Saya berada di sebuah ruangan, di kediaman Imam Shadiq as. Tiba-tiba Abu Ibrahim Musa as, yang saat itu masih kanak-kanak, memasuki ruangan itu. Imam Shadiq as berkata kepadaku, "Aku berwasiat kepadamu tentang putraku ini. Wasiatkanlah perkara tentang (imamah)-nya kepada setiap sahabat yang kaupercayai."*
Mu'adz bin Katsir mengatakan, "Aku berkata kepada Imam Shadiq as, "Aku memohon kepada Allah sebagaimana Dia telah mengaruniakan kepada ayahmu kedudukan (imamah) ini bagimu agar setelah kematianmu menganugerahkan kepadamu (kedudukan imamah) bagi salah seorang dari keturunanmu." Imam Shadiq as berkata, "Allah Ta'ala telah telah menganugerahkan orang tersebut." Aku bertanya, "Siapa dia? Aku akan berkorban untuknya." Imam menunjuk kepada hamba saleh yang sedang tidur dan berkata, "Ini dia yang sedang tidur." *
Abdurrahman bin Hajjaj berkata, "Aku mendatangi Ja'far bin Muhammad as yang berada di suatu rumah dan sedang berdoa di sana sedangkan Musa bin Ja'far as yang duduk di samping kanannya juga ikut berdoa. Aku berkata, "Engkau mengetahui kecintaan dan kecenderunganku terhadapmu lalu siapakah wali amr (pemegang mandat imamah) setelah dirimu?" Imam Ja'far menjawab, "Wahai Abdurrahman! Musa telah mengenakan baju besi (Rasulullah) dan itu sesuai dengan ukurannya." Kemudian aku berkata, "Sudah jelas bukti untukku dan aku tidak memerlukan lagi yang lain."*
Faidh bin Mukhtar menuturkan, "Aku berkata kepada Imam Shadiq as, "Tariklah tanganku dan selamatkanlah aku dari api neraka! Siapakah orang yang kumiliki sepeninggalmu?" Saat itu, Abu Ibrahim yang masih kanak-kanak datang. Maka, dalam jawabannya kepadaku Imam berkata, "Inilah sahabatmu. Ikutilah dia!"*
Manshur bin Khazim mengatakan, "Aku berkata kepada Imam Shadiq as, "Ayah dan ibuku berkorban untukmu. Kematian adalah haq dan semua manusia akan mati. Sebagaimana kepemimpinan ini berlaku untukmu, lalu siapakah imam sepeninggalmu?" Ia menepuk tangannya ke pundak Abu Hasan (Musa) dan berkata, "Inilah sahabatmu." Perkataan ini diucapkan saat Abu Hasan (Musa) berusia lima tahun dan Abdullah, putra Imam Ja'far yang lain, juga berada di tempat itu."*
Isa bin Abdillah mengatakan, "Aku berkata kepada Imam Shadiq as, "Jika terjadi sesuatu padamu (kematian, pent.) -semoga Allah menghindarkannya, siapakah yang harus kuikuti?" Imam menunjuk kepada putranya, Musa, dan berkata, "Ikutilah dia!"
Aku berkata, "Jika terjadi sesuatu pada Musa, kepada siapakah aku merujuk?" Imam menjawab, "Kepada putranya."
Aku berkata, "Jika terjadi sesuatu pula pada putranya, kepada siapakah aku harus merujuk?" Imam menjawab, "Kepada putranya."
Aku pun berkata, "Jika terjadi sesuatu padanya sedangkan ia memiliki saudara yang lebih tua dan seorang putra yang masih kecil, apa yang harus kulakukan?" Beliau menjawab, "Kepada putranya sampai berlanjut hingga akhir."*
Thahir bin Muhammad menuturkan, "Aku melihat Imam Shadiq as sedang menasehati putranya Abdullah dan berkata, "Mengapa engkau tidak seperti saudaramu? Demi Allah! Aku menyaksikan cahaya di wajahnya." Abdullah berkata, "Bukankah ayah kami dan asal kami adalah satu?" Imam Shadiq menjawab, "Ia berasal dari jiwa (nafs)-ku sedangkan engkau adalah putraku."
Ya'kub Siraj menegaskan, "Aku mendatangi Imam Shadiq as sementara Abu Hasan (Musa) yang masih dalam buaian berdiri di atas kepalanya dan dengan nada lirih mereka berdua bercakap-cakap dalam tempo yang lama. Aku duduk hingga percakapannya selesai. Kemudian aku bangkit menuju ke arah Imam.
Beliau berkata, "Mendekatlah ke maula-mu dan ucapkanlah salam kepadanya!" Aku mendekati anak itu dan menyalaminya. Ia menjawab salam dengan lidah yang fasih lalu berkata, "Pergilah! Ubahlah nama putrimu yang baru saja kauberi nama sebab Allah tidak menyukai nama seperti itu." Saat itu, aku baru dikaruniai seorang putri dan kuberi nama Humaira."
Imam Shadiq bersabda kepadaku, "Turutilah perintah putraku!" Aku pun mengubah nama putriku."
Shafwan Jammal mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Shadiq as, "Siapakah pemilik kepemimpinan ini?" Imam menjawab, "Pemilik kepemimpinan ini adalah orang yang tidak melakukan perbuatan yang sia-sia." Tiba-tiba Abu Hasan (Musa) datang sembari menggiring seekor anak domba dan Imam berkata kepadanya, "Bersujudlah kepada Allah!" Imam Shadiq as menggendongnya dan berkata, "Demi ayah dan ibuku! Barangsiapa yang tidak berbuat sia-sia tidak bermain-main."*
Ishaq bin Ja'far menuturkan, "Suatu hari aku berada di rumah ayahku (Imam Ja'far). Ali bin Umar bin Ali berkata kepada beliau as, "Kukurbankan diriku untukmu. Sepeninggalmu, kepada siapakah aku dan seluruh manusia berlindung?" Imam menjawab, "Kepada pemilik dua pakaian kuning dan dua belahan rambut ini. Sebentar lagi ia akan datang dari pintu ini." Tidak lama kemudian pintu terbuka dan Abu Ibrahim Musa as datang sementara ia masih kanak-kanak dan mengenakan dua pakaian kuning."*
Muhammad bin Walid mengatakan, "Aku mendengar Ali bin Ja'far bin Muhammad Shadiq as berkata, "Aku mendengar ayahku, Ja'far bin Muhammad as berkata kepada sekelompok sahabatnya yang khusus, "Aku berwasiat kepada kalian tentang putraku, Musa, karena ia adalah putra terbaikku yang akan menjadi penggantiku, menempati kedudukanku, dan menjadi hujjah Allah bagi seluruh manusia setelahku."*
Syaikh Mufid di akhir pembahasan ini menulis bahwa Ali bin Ja'far sangat mencintai saudaranya, Musa, mengikutinya, dan mempelajari hukum-hukum agama darinya. Ia menanyakan berbagai masalah kepada Musa, mendengar jawaban-jawabannya, dan meriwayatkan jawaban-jawaban itu.*
Nashr bin Qabus menuturkan, "Aku mendatangi Imam Shadiq as dan bertanya, "Siapakah imam sepeninggalmu?" Beliau as menjawab, "Abu Hasan Musa bin Ja'far, putraku, adalah imam sepeninggalku."*
Sulaiman bin Khalid berkata, "Suatu hari aku berada di tempat Imam Shadiq as. Beliau mendatangkan Abu Hasan (Musa), putranya, dan berkata kepada kami, "Sepeninggalku, merujuklah kalian kepadanya. Demi Allah! Ia adalah sahabat kalian."*
Daud bin Katsir mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Shadiq as, "Kukorbankan diriku untukmu. Jika terjadi sesuatu padamu, kepada siapakah aku harus merujuk?" Beliau as menjawab, "Kepada putraku, Musa." Setelah wafatnya, aku tidak ragu sesaatpun terhadap imamah Musa."*
Muhammad bin Sinan dan Abu Ali Zarrad mengutip dari Ibrahim Kurkhi yang berkata, "Aku berada di tempat Imam Shadiq as ketika Abu Hasan Musa bin Ja'far as, yang saat itu masih kanak-kanak, datang. Aku bangun dan mencium wajahnya lalu duduk kembali. Kemudian Imam Shadiq as berkata, "Ia adalah sahabat kalian sepeninggalku."*
Hal-hal yang telah disebutkan tadi adalah beberapa contoh dari banyak nash yang menjelaskan imamah Musa bin Ja'far as, yang sampai kepada kita. Di samping itu, telah dinukil pula berbagai mukjizat dan karomah Imam Musa, yang sengaja tidak disebutkan agar menyingkat pembahasan.
Manaqib dan Keutamaan Imam Musa bin Ja'far as, seperti juga ayahnya, adalah sosok manusia sempurna dan yang paling menonjol di zamannya dalam segala karakter dan kesempurnaan manusiawi. Sejumlah besar ulama memuji kepribadiannya yang agung.
Hal-hal di bawah ini dikutip sebagai contoh.
Ibnu Shibagh al-Maliki menulis, "Musa al-Kazhim adalah sosok imam besar, terkemuka, dan tiada duanya. Ia adalah hujjah dan ulama besar. Ia melalui malam hari dengan shalat dan tahajjud sementara di siang hari, ia berpuasa. Ia diberi julukan "al-Kazhim" karena sering memaafkan orang-orang yang berbuat salah. Di kalangan penduduk Irak, ia dikenal dengan julukan "Babul Hawaij" (pintu berbagai hajat).*
Ahmad bin Hajar al-Haitsami menulis, "Musa al-Kazhim mewarisi ayahnya dari segi ilmu, makrifat, kesempurnaan, dan keutamaan. Ia diberi julukan "al-Kazhim" karena ketabahan dan kesabarannya. Di kalangan penduduk Irak, ia dikenal dengan julukan "Babul Hawaij". Ia adalah orang yang paling taat beribadah, paling berilmu, dan paling pemaaf di zamannya." *
Ibnu Shibagh al-Maliki menulis, "Musa al-Kazhim adalah orang yang paling taat beribadah, paling berilmu, paling dermawan, dan pemurah di kalangan manusia di zamannya. Beliau memperhatikan para fakir dan miskin di Madinah dan secara rutin, mengirimkan uang dinar dan dirham ke rumah-rumah mereka.
Sementara itu, para fakir dan miskin tersebut tidak mengetahui dari mana uang berasal. Setelah wafatnya, mereka baru memahami asal sedekah-sedekah itu."* Ibnu Hajar Asqalani menulis tentang diri Imam Musa, "Manaqib dan keutamaan-keutamaannya sangat banyak."*
Khatib Baghdadi meriwayatkan ungkapan Abdurrahman bin Shalih Azdi yang mengatakan, "Pada tahun keberangkatan haji Harun al-Rasyid, ia beserta rombongan Quraisy dan para pemuka kabilah memasuki haram suci Rasulullah saw untuk berziarah ke makam suci Nabi saw. Musa bin Ja'far as tampak hadir di sana. Tatkala tiba ke makam suci Nabi saw, Harun al-Rasyid berkata, "Salam sejahtera bagimu wahai Rasulullah, wahai putra paman!" Dengan ungkapan "putra paman", Harun al-Rasyid bermaksud membanggakan diri di hadapan orang-orang sekitarnya. Setelah dirinya, Musa bin Ja'far as mendekati makam dan berkata, "Salam sejahtera bagimu wahai ayah!" Spontan, wajah Harun al-Rasyid berubah mendengar ungkapan itu dan berkata, "Hai Abu Hasan! Kebanggaan yang sebenarnya adalah apa yang telah kaukatakan."*
Ibnu Syahr Asyub menulis, "Musa bin Ja'far as adalah orang yang paling menonjol di zamannya dalam ilmu fikih dan hafalan al-Quran. Ia membaca ayat-ayat suci al-Quran dengan suara yang indah. Tatkala membaca al-Quran, ia menangis dan orang-orang yang mendengarkannya pun ikut menangis. Derajat dan kedudukannya lebih tinggi daripada selainnya. Tangannya lebih terbuka, lidahnya lebih fasih, dan hatinya lebih berani. Kemuliaan wilayah 'kepemimpinan' dikhususkan baginya untuk meraih warisan kenabian dan mencapai kedudukan khilafah."*
Syaikh Mufid menulis, "Abu Hasan Musa as adalah manusia yang paling taat beribadah, paling paham mengenai fikih, paling dermawan, dan paling mulia di antara manusia."*
Ali bin Abi al-Fath Irbily meriwayatkan dari Kamaluddin yang menuturkan tentang Musa bin Ja'far as sebagai berikut, "Ia adalah seorang imam besar yang berkedudukan tinggi serta banyak melakukan tahajud. Ia bersungguh-sungguh dalam beribadah dan mengabdi kepada Allah Ta'ala. Tampak jelas karomah-karomah-nya dan ibadah-ibadahnya. Ia berdisiplin dalam melaksanakan ibadah-ibadah fardhu. Malam hari ia lewati dalam keadaan sujud dan qiyam sementara siang hari dengan berpuasa dan bersedekah. Ia diberi julukan "al-Kazhim" karena sifat khalim dan ketabahannya. Ia selalu membalas orang-orang yang berlaku buruk kepadanya dengan kebaikan dan memaafkan dosa-dosa mereka. Ia dikenal dengan julukan "Abdus Shalih" karena banyak beribadah. Di Irak, ia tersohor dengan sebutan "Babul Hawaij". Karomah-nya sangat banyak dan menjadi bukti kedudukannya di sisi Allah swt." *
Al-Makmun (putra Harun al-Rasyid) mengatakan, "Aku bertanya kepada ayahku, "Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang yang begitu engkau hormati, yakni tatkala ia datang, engkau bangkit dari tempatmu untuk menyambutnya, mendudukkannya di tempatmu, dan saat ia keluar, kauperintahkan kami untuk mengiringinya?" Ayahku menjawab, "Ia adalah imam manusia, hujjah Allah atas hamba-hamba-Nya dan khalifah Allah." Aku berkata: "Wahai Amirul Mukminin, tidakkah sifat-sifat ini milikmu dan ada padamu?" Ia menjawab, "Aku menjadi khalifah secara lahir dan dengan paksaan serta kekuatan tetapi Musa bin Ja'far adalah imam yang sebenarnya. Demi Allah! Aku bersumpah bahwa ia lebih layak daripadaku dan semua orang dalam memegang maqom kenabian. Demi Allah! Andaikan engkau pun berseteru denganku mengenai khilafah, akan kupisahkan kepalamu dari tubuhmu (karena sesungguhnya kerajaan itu mandul)"*
Ilmu dan Pengetahuan Sebelumnya telah dikatakan dan terbukti bahwa pengenalan terhadap segala persoalan yang berkaitan dengan agama adalah di antara syarat-syarat terpenting imamah dan semua imam memiliki keistimewaan ini. Musa bin Ja'far as pun memilikinya. Pada zamannya, ia dikenal karena pengetahuan dan pemahamannya serta diakui kedudukan keilmuannya. Ia pun dianggap sebagai manusia yang paling faqih di zamannya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Ibnu Shibagh al-Maliki menulis, "Musa al-Kazhim adalah manusia yang paling taat beribadah, paling berilmu, paling dermawan, dan paling mulia di zamannya."*
Al-Makmun menuturkan, "Aku bertanya kepada ayahku, "Siapakah lelaki yang sangat engkau hormati?" Si ayah menjawab, "Dia adalah Musa bin Ja'far, pewaris ilmu para nabi. Jika kau menghendaki ilmu yang benar, itu ada padanya."*
Untuk mengenali lebih jauh tentang kedudukan ilmu Imam Kazhim as, kita dapat merujuk kepada beragam hadis yang datang dari beliau dan termaktub dalam sejumlah kitab hadis. Demikian pula, kita dapat merujuk kepada berbagai dialog dan argumen yang dilontarkannya kepada para penguasa di zamannya, ulama-ulama Ahlus Sunnah, dan yang lainnya. Hal ini dapat memberikan manfaat.
Salah seorang analis (muhaqqiq) mengumpulkan hadis-hadis beliau dalam berbagai bab seperti akidah, ma'arif, teologi (kalam), fikih, tafsir, akhlak, doa, sejarah, dialog, dan bahkan pengobatan serta khasiat makanan, buah dan sayur-sayuran. Dalam kitab-kitab tersebut, para perawi hadis mengkaji hadis Imam Musa as. Mereka mencapai jumlah enam ratus tiga puluh delapan orang perawi.*
Ibadah dan Penghambaan Imam Kazhim as seperti juga ayahnya adalah manusia yang paling abid 'ahli ibadah' di zamannya dan senantiasa mengingat Allah. Dalam keadaan ibadah, shalat, zikir, membaca al-Quran, ia tunduk dan khusyuk di hadapan Pencipta alam semesta. Bahkan, karena memiliki pengetahuan yang dalam tentang tauhid, kekuasaan, dan keagungan Allah Ta'ala, semua perbuatan dan perkara-perkara kehidupannya ia lakukan hanya untuk meraih ridha Allah swt. Sebagai contoh, akan dikutip sekelumit ibadah beliau yang termaktub dalam sejarah dan hadis.
Hasan bin Muhammad bin Yahya Alawy meriwayatkan dari kakeknya sebagai berikut, "Musa bin Ja'far diberi julukan "Abdus Shalih" karena kesungguhannya dalam beribadah."
Sebagian sahabat menukil, "Imam Musa as berada di dalam masjid Rasulullah saw sedang bersujud dengan sujud yang panjang sembari mengucapkan, "Padaku terdapat dosa yang besar sedangkan kebaikan ada pada-Mu, wahai Pemilik Ketakwaan dan Ampunan!"*
Yahya bin Hasan mengatakan, "Musa bin Ja'far dipanggil dengan sebutan "Abdus Shalih" karena kesungguhannya dalam beribadah."*
Ibnu Shibagh menulis, "Musa bin Ja'far adalah manusia yang paling abid, paling berilmu, paling dermawan, dan paling mulia di zamannya."*
Ibnu Hajar menulis, "Musa bin Ja'far adalah manusia yang paling abid, paling alim, dan paling dermawan di zamannya."*
Ibnu Jauzi al-Hanafi menulis, "Musa Kazhim as dijuluki "Abdus Shalih" karena kesungguhannya dalam ibadah dan shalat malam."*
Al-Ya'kuby menulis, "Musa bin Ja'far as lebih bersungguh-sungguh dalam ibadah dan menukil hadis dari ayahnya dibanding semua orang."*
Syaikh Mufid menulis, "Abu Hasan Musa as adalah manusia yang paling abid, paling fakih, paling dermawan, dan paling mulia di zamannya. Diriwayatkan bahwa dia menyambung shalat malamnya dengan shalat subuh lalu membaca doa-doa setelah shalat hingga matahari terbit. Kemudian ia bersujud, membaca zikir, dan tidak mengangkat kepalanya dari sujud hingga mendekati waktu zhuhur. Ia seringkali mengulang doa berikut ini, "Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu kenyamanan saat ajal menjemput dan ampunan saat perhitungan (hisab)."*
Doa berikut ini juga termasuk doa-doa Imam as, "Sungguh besar dosa hambamu." Imam as menangis tersedu-sedu karena takut kepada Allah hingga air matanya membasahi jenggot di wajahnya."*
Saudara perempuan Sanadi bin Syahik yang memantau sel penjara Musa bin Ja'far bercerita tentang Imam as, "Kebiasaan Musa bin Ja'far as di penjara adalah: setelah mendirikan shalat isya, ia disibukkan dengan memuji, berzikir, dan berdoa hingga selepas separuh malam dan kemudian melakukan shalat malam hingga azan subuh. Ia mendirikan shalat subuh dan berzikir hingga matahari terbit. Setelah itu, ia beristirahat sejenak hingga matahari meninggi.
Kemudian ia menyikat gigi (bersiwak) dan menyantap makanan lalu tidur hingga mendekati zhuhur. Tatkala bangun tidur, ia bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan shalat zhuhur. Kemudian melakukan shalat nafilah hingga waktu fadhilah ashar dan selepas shalat ashar, ia duduk menghadap kiblat dan berzikir hingga maghrib. Setelah shalat maghrib, ia melakukan shalat nafilah hingga saat shalat isya. Inilah kebiasaan rutin beliau."*
Saudara perempuan Sanadi yang menyaksikan Imam seperti itu berkata, "Orang-orang yang berbuat jahat terhadap hamba yang saleh ini akan mengalami malapetaka."*
Ahmad bin Abdullah mengutip dari ayahnya yang bercerita, "Suatu hari aku mendatangi Fadhl bin Rabi' yang tengah duduk di atas atap rumahnya. Dia mengatakan kepadaku, "Tengoklah rumah itu dari jendela ini! Apa yang kau lihat?" Aku menjawab, "Aku melihat selembar pakaian yang dibentangkan di lantai tanah." Ia berkata, "Lihatlah dengan saksama!" Aku mengatakan, "Sepertinya seseorang yang tengah bersujud." Ia berkata, "Apakah kau mengenalnya? Ia adalah Musa bin Ja'far. Aku memperhatikannya siang dan malam dan aku tidak menyaksikannya melainkan dalam keadaan seperti itu. Selepas shalat subuh, ia melakukan ta'qib (zikir dan doa selepas shalat) hingga matahari terbit. Kemudian ia bersujud hingga mendekati zhuhur. Seseorang diperintahkan mengawasinya dan memberitahukan kepadanya waktu shalat. Ketika diberitahukan kepadanya waktu shalat, ia mengangkat kepalanya dan menunaikan shalat tanpa memperbaharui wudhu. Inilah kebiasaan rutinnya. Tatkala selesai dari shalat isya, ia menyantap makanan. Kemudian ia memperbaharui wudhu dan bersujud. Ia mendirikan shalat dari pertengahan malam hingga terbit fajar (subuh)."
Sebagian orang yang menyaksikan Imam Musa berkata, "Kami mendengar dia mengucapkan dalam doanya, "Ya Allah! Sesungguhnya aku telah memohon kepada-Mu agar Engkau kosongkan (waktuku) hanya untuk beribadah kepada-Mu dan Engkau telah melaksanakannya. Maka, hanya bagi-Mu segala pujian."*
Ibrahim bin Abi al-Bilad mengatakan, "Abu Hasan (Musa) as berkata, "Aku ber-istighfar lima ribu kali dalam sehari."*
Infak dan Budi Luhur Syaikh Mufid menulis, "Musa bin Ja'far as bersilaturahmi kepada para kerabatnya. Ia memantau kaum fakir Madinah. Malam harinya, ia membawakan mereka uang dinar dan dirham, tepung dan kurma sementara mereka tidak mengetahui dari mana barang-barang itu didatangkan untuk mereka."*
Muhammad bin Abdullah Bakri menuturkan, "Aku pergi ke Madinah untuk berhutang sejumlah uang. Akan tetapi, aku tidak menemukan seorang pun yang memenuhi kebutuhanku. Kemudian aku berkata kepada diriku, "Lebih baik aku datang ke Imam Abu Hasan as, mungkin ia akan menyelesaikan kesulitanku.
Imam as berada di tanah pertaniannya, di luar Madinah. Aku mendatanginya dan Imam dengan pembantunya menghampiriku. Pembantu itu membawakan sebuah bejana berwarna-warni yang di dalamnya terdapat potongan-potongan daging yang telah masak dan tidak memiliki sesuatu yang lain. Musa bin Ja'far menyantap potongan daging tersebut dan aku pun ikut makan bersamanya. Setelah itu, ia menanyakan keperluanku. Aku menceritakan kepadanya apa saja keperluanku. Lalu, Imam beranjak pergi meninggalkanku dan tak lama kemudian kembali. Mula-mula ia menyuruh pembantunya menyingkir. Selepas itu, ia menyodorkan kepadaku sebuah kantong berisi uang tiga ratus dinar. Kemudian ia bangkit dan pergi. Aku membawa uang tersebut, menaiki kendaraan, lalu pulang."*
Isa bin Muhammad, seorang lelaki tua berusia sembilan puluh tahun, mengatakan, "Aku menggarap sebidang tanah pertanian di sekitar sumur "Ummu Izham" dengan menanam semangka dan ketimun. Tatkala telah berbuah dan mendekati panen, tiba-tiba tanamanku diserang oleh hama yang memakan semuanya, padahal aku berhutang seratus dua puluh dinar ditambah dengan pernyewaan dua unta. Aku mengalami kerugian. Aku duduk termenung memikirkan kerugian yang besar ini. Tiba-tiba Musa bin Ja'far as datang menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Aku menceritakan kejadiannya. Imam as berkata, "Berapa besar hutangmu?" Aku menjawab, "Seratus dua puluh dinar ditambah dengan pernyewaan dua unta."
Imam as berkata kepada pegawainya, "Berikan seratus lima puluh dinar kepada Abu Ghaits!" Kemudian ia berkata, "Tambahan tiga puluh dinar adalah keuntunganmu ditambah dengan dua unta." Aku berkata, "Wahai putra Rasulullah, doakan aku agar Allah memberikan keberkahan!" Setelah itu, beliau mendoakanku."*
Sekumpulan ulama mengatakan, "Pemberian-pemberian Musa bin Ja'far as berkisar antara dua ratus hingga tiga ratus dinar, yang kantong uang pemberiannya telah dikenali."*
Al-Manshur meminta Musa bin Ja'far as yang sedang duduk di hari raya Nuruz (tahun baru kalender Persia, pent) untuk menghadiri undangannya. Imam berkata, "Aku mencari-cari dalam hadis-hadis kakekku Rasulullah saw tetapi tidak kutemukan tentang hari raya Nuruz. Ia termasuk salah satu upacara orang-orang Persia yang telah dihapus oleh Islam dan aku tidak ingin menghidupkannya." Al-Manshur berkata, "Peringatan hari raya Nuruz penting bagi siasat para prajurit. Demi Allah! Terimalah dan duduklah!" Imam menerima permintaan al-Manshur dan duduk untuk menerima ucapan selamat. Para komandan, panglima, dan pimpinan prajurit datang menemuinya. Mereka memberikan ucapan selamat dan menyodorkan hadiah-hadiah. Pembantu al-Manshur pun hadir dan menjaga hadiah-hadiah itu. Seorang lelaki tua datang dan berkata, "Wahai putra Fatimah, putri Nabi saw, aku adalah seorang fakir yang tidak memiliki harta untuk kuhadiahkan kepadamu. Akan tetapi, kakekku telah melantunkan tiga bait syair tentang musibah kakekmu Al-Husain, yang akan kubacakan di hadapanmu." Kemudian ia membacakan syair tersebut. Imam Musa bin Ja'far as berkata, "Aku menerima hadiahmu." Lalu, kepada pembantu al-Manshur, Imam mengatakan, "Pergilah kepada Amirul Mukminin dan laporkan bermacan-macam hadiah serta katakan apa yang mesti kami perbuat terhadap hadiah-hadiah itu?"
Pembantu itu pergi menuju al-Manshur lalu kembali dan mengatakan, "Amirul Mukminin mengatakan, "Semua harta benda tersebut kuhadiahkan kepadamu. Pakailah menurut apa yang kauanggap baik!" Musa bin Ja'far berkata kepada lelaki tua itu, "Aku hadiahkan seluruh harta benda ini untukmu."*
Para ulama menulis, "Seorang lelaki dari keturunan Umar bin Khattab tinggal di Madinah. Ia selalu mengganggu Musa bin Ja'far as dan mengolok-olok Ali bin Abi Thalib as. Sebagian sahabat Imam mengatakan, "Ijinkan kami membunuhnya!" Akan tetapi, Imam melarang mereka melakukan tindakan itu. Suatu hari Imam bertanya-tanya tentang keadaan lelaki itu. Orang-orang berkata, "Ia tengah bekerja di kebunnya."
Imam mengendarai keledai dan bergerak menuju kebun tersebut. Lelaki itu terkejut melihat kedatangan Musa bin Ja'far ke kebunnya. Imam turun (dari keledai) dan dengan tersenyum seraya berkelakar, ia bertanya, "Berapa biaya yang engkau keluarkan untuk pertanianmu?" Lelaki itu menjawab, "Seratus dinar."
"Berapa hasil yang engkau targetkan?" ujar Imam. Lelaki itu menjawab, "Aku tidak mengetahui hal yang gaib."
Imam berkata, "Maksudku, berapa keuntungan yang engkau impikan?" Lelaki itu menukas, "Aku berharap hasilnya adalah dua ratus dinar." Imam memberinya tiga ratus dinar dan berkata, "Hasil pertaniannya juga milikmu." Lelaki itu bangkit dan mencium dahi Imam. Imam Musa bin Ja'far as kembali ke Madinah. Pada hari yang lain, ia pergi menuju masjid dan menyaksikan lelaki itu berada di masjid. Ketika matanya tertuju ke arah Musa bin Ja'far, ia berkata, "Allah lebih mengetahui kepada siapa menetapkan risalah-Nya." Dua kawan lelaki itu yang menyaksikan kelakuan baru dari temannya langsung memprotesnya. Ia beradu argumen dengan mereka dan menceritakan kemuliaan Musa bin Ja'far as. Maka, setelah hari itu, ia selalu menceritakan dan memuliakan Imam. Kepada para sahabatnya, yang sebelumnya mengusulkan pembunuhan lelaki itu, Imam Musa bin Ja'far as berkata, "Manakah yang lebih baik dalam kemaslahatan lelaki ini, usul kalian ataukah tindakanku?"*
Ma'tab menuturkan, "Tatkala tiba musim buah, Imam Musa bin Ja'far as berkata kepada kami, "Juallah buah-buah itu di pasar dan belilah keperluan-keperluan kami setiap hari dari pasar, seperti yang dilakukan seluruh Muslim!"*
23
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KEDELAPAN: IMAM RIDHA AS Ali bin Musa as, menurut sebagian pendapat, lahir di Madinah pada tanggal 11 Dzulkaidah tahun 148 Hijriah. Ayahnya adalah Musa bin Ja'far as dan ibunya adalah Ummul Banin atau Najmah.
Imam Ali bin Musa memiliki sebutan "Abu Hasan". Julukan-julukannya adalah ar-Ridha, ash-Shabir, ar-Radhi, al-Wafi, az-Zaki, dan al-Wali. Julukannya yang paling masyhur adalah ar-Ridha. Imam Ridha as berpulang ke rahmat Allah pada akhir bulan Shafar tahun 203 Hijriah, di Propinsi Thus, Desa Senabad. Di desa itu pula ia dimakamkan.
Dengan demikian, usia Imam Ridha adalah lima puluh lima tahun. Hidupnya bersama sang ayah sekitar tiga puluh tahun. Periode imamah adalah sekitar dua puluh tahun.
Nash-Nash Imamah Sebelumnya telah dikatakan bahwa dalil-dalil imamah secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: pertama, dalil-dalil umum, yaitu dalil-dalil rasional dan tekstual yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah setiap imam; kedua, dalil-dalil khusus, yaitu nash-nash yang dilontarkan setiap imam untuk membuktikan imamah imam setelahnya. Dalam pasal ini, kami akan menyebutkan nash-nash imamah Ali Ridha as.
Syaikh Mufid ra menulis, "Di antara perawi-perawi yang terpercaya, bertakwa, berilmu, dan fakih, yang meriwayatkan nash-nash imamah Ali bin Musa ar-Ridha as adalah orang-orang berikut ini: Daud bin Katsir ar-Riqqi, Muhammad bin Ishaq bin Ammar, Ali bin Yaqtain, Nu'aim Qabusi, Husain bin Mukhtar, Ziyad bin Marwan, Al-Makhzumi, Daud bin Sulaiman, Nashr bin Qabus, Daud bin Zarabi, Yazid bin Salith, dan Muhamamd bin Sinan."*
Daud ar-Riqqi menuturkan, "Aku berkata kepada Abu Ibrahim (Musa) as, "Kukorban diriku untukmu sementara usiaku semakin bertambah. Tariklah tanganku dan selamatkan aku dari api Jahanam. Siapakah pemilik otoritas terhadap kami sepeninggalmu?" Imam menunjuk putranya Abu Hasan dan berkata, "Inilah pemilik otoritas terhadap kalian sepeninggalku."*
Muhammad bin Ishaq bin Ammar mengatakan kepada Abu Hasan yang pertama (Musa), "Tidakkah engkau tunjukkan kepadaku seseorang yang akan kupelajari darinya berbagai masalah agamaku?" Beliau menjawab, "Inilah putraku, Ali, sebagaimana ayahku menggandeng tanganku dan membawaku ke dalam raudhah Rasulullah saw seraya berkata, "Putraku! Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Aku telah menjadikan khalifah di muka bumi." Jika Allah telah berjanji, Dia akan melaksanakannya."*
Husain bin Nu'aim ash-Shahaf mengatakan, "Aku, Hisyam bin Hakam, dan Ali bin Yaqtain (saat itu) tengah berada di Baghdad." Ali Yaqtain berkata, "Aku berada di hadapan Abdus Shalih (Musa) as dan dia berkata kepadaku, "Wahai Ali bin Yaqtain, inilah Ali, sayyid (tuan) putra-putriku. Aku telah memberikan sebutanku (Abu Hasan, pent) kepadanya." Menurut riwayat lain, Imam Musa Kazhim berkata, "Aku telah memberikan kitab-kitabku kepadanya." Pada saat itu, Hisyam menepukkan tangannya ke dahi sembari berucap, "Wahai Ali! Bagaimana kauucapkan omongan seperti itu?" Ali bin Yaqtain menjawab, "Demi Allah, Aku berkata sebagaimana yang kudengar." Lalu Hisyam berkata, "Sungguh perkara imamah setelah Musa bin Ja'far akan berada pada dirinya (Ali ar-Ridha, peny.)"*
Nu'aim Qabusi mengatakan, "Abu Hasan Musa as berkata, "Putraku, Ali, adalah anak teragung, termulia, dan paling kucintai."
Husain bin Mukhtar menuturkan, "Telah sampai kepada kami surat-surat dari Abu Hasan Musa as, saat ia di penjara, yang mengatakan, "Wasiatku kepada putraku yang agung untuk melaksanakan tindakan ini dan itu dan si fulan tidak dapat mendatangkan bahaya baginya hingga aku menemuimu atau ajal menjemputku."*
Ziyad bin Marwan al-Qindi menyatakan, "Aku mendatangi Abu Ibrahim (Musa) as, yang saat itu tengah bersama putranya, Abu Hasan (Ali ar-Ridha). Beliau berkata, "Wahai Ziyad! Ini adalah putraku. Tulisannya adalah tulisanku. Perkataannya adalah perkataanku dan utusannya adalah utusanku. Apa pun yang dikatakannya adalah perkataanku."*
Al-Makhzumi, yang ibunya keturunan Ja'far bin Abi Thalib, menuturkan, "Abu Hasan Musa as mengumpulkan kami dan berkata, "Tahukah kalian untuk maksud apa aku mengumpulkan kalian di tempat ini?" Kami menjawab, "Tidak." Ia berkata, "Saksikanlah bahwa putraku ini adalah penerima wasiat (washi) yang menduduki kedudukan (qaim maqom) dan pengganti (khalifah)-ku. Siapa saja yang memiliki piutang dariku, tagihlah kepadanya! Kepada siapa saja aku telah berjanji, dialah yang harus melaksanakan janji-janjiku. Siapa pun yang terpaksa harus menemuiku harus dengan catatan dan wasiatnya."*
Daud bin Sulaiman menuturkan, "Aku berkata kepada Abu Ibrahim (Musa) as, "Aku khawatir terjadi sesuatu dan tidak lagi dapat menemuimu. Beritakanlah kepada kami, siapakah imam sepeninggalmu?" Ia berkata, "Putraku Fulan -maksudnya Abu Hasan Ali ar-Ridha as."*
Nashr bin Qabus mengatakan, "Aku berkata kepada Abu Ibrahim as, "Aku bertanya kepada ayahmu, siapakah imam setelahnya? Ia merekomendasikan engkau sebagai imam setelah dirinya. Ketika ayahmu meninggal dunia, orang-orang pergi ke sana-sini untuk menentukan pengganti. Akan tetapi, aku dan para sahabatku telah menerima imamah-mu. Kini, katakan siapakah imam sepeninggalmu!" Ia berkata, "Putraku Fulan."*
Daud bin Zarabi menuturkan, "Aku membawa sejumlah uang ke hadapan Abu Ibrahim Musa as. Ia menerima sebagian uang itu dan menolak sebagian yang lain. Aku bertanya, "Mengapa engkau tidak menerima sebagian uang yang lain dan mengembalikannya kepadaku?" Ia menjawab, "Pemilik perkara ini (Imam Ali ar-Ridha, peny.) akan menagihnya darimu."
Setelah Imam Musa as wafat, Abu Hasan Ridha as mengutus seseorang kepadaku untuk menagih uang itu dan aku pun menyerahkannya kepadanya."*
Yazid bin Salith dalam kandungan hadis yang panjang menuturkan, "Abu Ibrahim as pada tahun wafatnya mengatakan kepadaku, "Tahun ini aku akan ditangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian, perkara imamah sepeninggalku akan beralih kepada putraku, Ali, yang senama dengan Ali dan Ali. Ali yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan Ali yang kedua adalah Ali bin Husain as. Putraku mewarisi pemahaman, ketabahan, wara', zikir, dan agama dari Ali yang pertama serta mewarisi cobaan terhadap musibah-musibah dan kesabaran dari Ali yang kedua."*
Muhammad bin Ismail bin Fadhl al-Hasyimi menuturkan, "Aku mendatangi Abu Hasan Musa bin Ja'far as saat ia sakit keras. Aku berkata, "Semoga Allah tidak berkehendak terjadi suatu peristiwa pada dirimu (kematian) karena kepada siapakah aku merujuk sepeninggalmu?" Ia berkata, "Kepada putraku, Ali. Tulisannya adalah tulisanku dan ia akan menjadi washi dan khalifahku."*
Abdullah bin Marhum mengatakan, "Aku keluar dari Basrah dan bergerak menuju Madinah. Di tengah jalan, aku bertemu Abu Ibrahim Musa as yang tengah melakukan perjalanan ke Basrah. Ia memberikan sejumlah surat kepadaku dan berkata, "Bawalah surat-surat ini ke Madinah dan serahkan kepada putraku, Ali. Ia adalah washi yang menduduki kedudukan (qaim maqom) dan putra terbaikku."*
Muhammad bin Zaid al-Hasyimi menuturkan, "Kini para Syiah berkewajiban menjadikan Ali bin Musa sebagai imam mereka." Lalu ditanyakan, "Mengapa?"
"Karena Abu Hasan bin Ja'far as telah menetapkannya sebagai washi-nya," jawabnya.*
Haidar bin Ayyub mengatakan, "Aku berada di Madinah, di sebuah tempat bernama Qaba. Muhammad bin Zaid bin Ali pun hadir di tempat itu tetapi terlambat datang. Aku bertanya, "Kukorbankan jiwaku untukmu, mengapa engkau terlambat datang?" Ia menjawab, "Abu Ibrahim memanggilku dan sejumlah putra-putra keturunan Ali dan Fatimah yang seluruhnya berjumlah tujuh belas orang. Saat itu, beliau berkata kepada kami, "Jadilah kalian sebagai saksi bahwa putraku, Ali, adalah washi dan wakilku, yang telah kutetapkan pada masa kehidupanku dan setelah kematianku sebagaimana kepemimpinan (amr)-nya akan berlaku."
Setelah itu, Muhammad bin Zaid menambahkan, "Demi Allah! Setelah Musa bin Ja'far, mereka akan memilih putranya, Ali as, sebagai imam." Haidar berkata, "Semoga Allah memanjangkan umur Musa bin Ja'far. Namun, mengapa engkau dapat mengatakan hal itu?" Ia menjawab, "Hai Haidar! Ketika telah menetapkan Ali sebagai washi-nya, Musa bin Ja'far telah menyerahkan imamah kepadanya." Ali bin Hakam mengatakan, "Meski telah mendengar semua itu, ketika meninggal dunia, Haidar masih ragu terhadap imamah Ali as."*
Abdurrahman bin Hajjaj berkata, "Abu Hasan Musa as berwasiat kepada putranya, Ali as. Dalam kaitan dengan hal ini, ia menulis surat dan menjadikan enam puluh orang tokoh Madinah sebagai saksi."*
Hasan bin Ali bin Khazzaz menuturkan, "Kami berangkat ziarah ke Mekkah. Ali bin Abu Hamzah turut serta bersama kami dan membawa uang serta barang-barang. Aku menanyainya, "Kemana uang-uang ini akan kaubawa?" Uang-uang ini terkait dengan Abdus Shalih (Musa) as. Ia memerintahkan kami untuk menyerahkannya kepada putranya, Ali as. Ia telah menetapkannya (Ali) sebagai washi-nya."*
Ja'far bin Khalaf menuturkan, "Aku mendengar Abu Hasan Musa bin Ja'far as berkata, "Orang yang paling berbahagia adalah yang menyaksikan penggantiku sebelum kematian menjemputnya. Allah swt telah memberi petunjuk kepadaku (tentang) putraku, Ali ar-Ridha as, sebagai washi."*
Musa bin Bakr berkata, "Aku berada di sisi Abu Ibrahim as yang mengatakan, "Ja'far Shadiq as berkata, "Orang yang paling berbahagia adalah orang yang sebelum ajal menjemput(nya) menyaksikan imamnya." Saat itu, ia menunjuk putranya, Ali as, dan berkata, "Allah swt menunjukkannya kepadaku sebagai khalifah (pengganti)."*
Ibn Faddhal menuturkan, "Aku mendengar Ali bin Ja'far as berkata, "Aku berada di sisi saudaraku, Musa bin Ja'far as. Ia bersumpah demi Allah bahwa ia adalah hujjah Allah di muka bumi setelah ayahnya. Ketika itu, putranya, Ali as, datang. Musa bin Ja'far as mengatakan kepadaku, "Wahai Ali bin Ja'far! Ia adalah pemilik otoritas (shahib)-mu. Kedudukannya di sisiku seperti kedudukanku di sisi ayahku. Semoga Allah mengukuhkanmu dalam agamamu!"
Kemudian aku menangis dan berkata dalam hatiku, "Saudaraku Musa sedang memberitakan kematiannya." Lalu Imam Musa berkata, "Wahai Ali, takdir Ilahi akan terjadi. Rasulullah, Amirul Mukminin, Fatimah, Hasan, dan Husain adalah suri teladanku."
Ucapan tersebut dilontarkan oleh Musa bin Ja'far as tiga hari sebelum ia ditangkap untuk kedua kalinya atas perintah Harun al-Rasyid.*
Dalam kaitan dengan imamah Ali bin Musa ar-Ridha as, kami juga memiliki hadis-hadis lain yang termaktub dalam kitab-kitab hadis tetapi untuk lebih ringkasnya, kami menghindari penyebutan semuanya.
Di samping itu, terdapat berbagai mukjizat yang terkait dengan Imam Ali ar-Ridha as dan tercatat dalam kitab-kitab hadis yang dapat bermanfaat untuk membuktikan imamah-nya.
Keutamaan dan Kepribadian Sosial Imam Ridha as, seperti juga ayahnya, memiliki semua keutamaan dan kesempurnaan insani serta merupakan pribadi yang tersohor dan istimewa di tengah-tengah masyarakat pada zamannya.
Syaikh Mufid menulis, "Setelah Musa bin Ja'far as, putranya, Ali bin Musa ar-Ridha as, meraih imamah sebab ia lebih unggul daripada semua saudara dan Ahlulbaitnya. Keilmuan, ketabahan, ketakwaan, dan kesungguhannya jelas di mata semua orang. Orang-orang khusus dan awam mengakui keutamaan dan kesempurnaannya dan ayahnya pun menerangkan imamah-nya."*
Di tempat lain, Mufid menulis, "Ali bin Musa ar-Ridha as adalah manusia yang paling utama, paling berakal, paling mulia, serta paling berilmu dari seluruh saudaranya."*
Ibrahim bin Abbas menuturkan, "Sama sekali aku tidak pernah melihat Imam Ridha as berkata keras dengan seseorang atau memotong pembicaraan seseorang atau menolak orang yang membutuhkannya jika mampu memenuhi hajat orang itu. Aku tidak pernah menyaksikan kakinya diulurkan di hadapan orang lain, bersandar pada saat kedatangan orang lain, memaki para hamba sahayanya, atau tertawa terbahak-bahak, bahkan tertawanya pun berupa senyuman. Tatkala duduk di hadapan hidangan, ia pun menyuruh duduk semua hamba sahaya, pembantu, dan penjaga rumahnya di hadapan hidangan yang sama. Ia sedikit tidur dan banyak terjaga di malam hari. Kebanyakan malamnya ia lalui dalam keadaan terjaga hingga saat subuh. Ia sangat banyak berpuasa. Ia tidak pernah meninggalkan puasa tiga hari dalam sebulan dan ia berkata, "Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan memiliki pahala puasa dahr (setiap hari hingga akhir hayat, pent). Perbuatan ihsan dan sedekahnya dilakukan secara diam-diam dan pada malam hari. Jika ada orang yang mengira telah melihat lebih baik daripadanya, janganlah kalian percayai!"*
Ibnu Sibagh al-Maliki menulis, "Setiap orang yang mencermati ihwal Ali bin Musa akan mengerti bahwa beliau telah mewarisi kakeknya, Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Husain as. Ia memiliki iman yang kukuh dan kedudukan yang tinggi. Begitu banyak pendukungnya dan argumentasi-argumentasinya jelas sehingga Khalifah al-Makmun pun menempatkan beliau di hatinya dan mengikutsertakannya dalam urusan kenegaraan. Ia (al-Makmun) menyerahkan perkara khilafah setelah dirinya kepada beliau dan menikahkan putrinya dengannya di hadapan khalayak umum. Ia memiliki keutamaan-keutamaan (manaqib) yang tinggi dan sifat-sifat yang mulia. Dalam kemuliaan diri, ia adalah seorang Hasyimi dan mempunyai akar kenabian."*
Ziyad bin Marwan menuturkan, "Aku berada di sisi Musa al-Kazhim. Abu Hasan ar-Ridha pun berada di sana. Imam Musa berujar kepadaku, "Ini adalah putraku, Ali as. Tulisannya adalah tulisanku, perkataannya adalah perkataanku, dan utusannya adalah utusanku. Setiap yang ia katakan adalah benar."*
Al-Makmun, dalam sebuah surat yang berisi pengangkatan putra mahkota (penerus khilafah) yang dikirim kepada Ali bin Musa ar-Ridha as menulis, "Sejak permulaan khilafah, saya senantiasa berusaha menemukan orang terbaik sebagai penerus kekuasaan saya. Setelah melalui pencarian, saya tidak menemukan seseorang yang lebih layak menduduki posisi ini daripada Abu Hasan Ali bin Musa ar-Ridha as karena saya telah menyaksikan keutamaan, keilmuan, dan ketakwaannya yang lebih unggul daripada semua manusia. Ia berpaling dari dunia dan dari para penyembah dunia serta mengutamakan akhirat daripada dunia. Saya yakin terhadap hal ini dan ini merupakan hal yang disepakati. Oleh karena itu, saya mengangkatnya sebagai putra mahkota (penerus kekuasaan) saya."*
Abu Shalt mengatakan, "Al-Makmun berkata kepada Ali bin Musa as, "Wahai putra Rasulullah! Karena keutamaan, keilmuan, kezuhudan, dan ibadahmu telah terbukti bagiku, aku menilai dirimu lebih layak menggantikan diriku."*
Ilmu dan Pengetahuan Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dan dibuktikan melalui dalil-dalil rasional (aqliy) dan tekstual (naqliy), salah satu syarat terpenting seorang imam adalah mengetahui keseluruhan masalah yang berkaitan dengan agama dan tanggung jawab terbesar imam adalah menjaga, menyebarkan, dan menerapkan hukum serta undang-undang agama. Pada prinsipnya, falsafah imamah mesti didapati pada pelaksanaan tanggung jawab penting ini. Semua imam adalah demikian dan Imam Ridha pun demikian pada zamannya.
Pada periode dua puluh tahun imamah-nya, ia melakukan upaya penyebaran hukum-hukum agama dan mendidik para murid terpelajar dengan tulus. Berkat upaya beliau, para murid, dan perawinya yang tulus, tersebarlah sejumlah besar hadis yang contoh-contohnya dapat ditelaah dalam kitab-kitab hadis.
Terdapat hadis-hadis dari beliau as yang sampai kepada kita dalam semua persoalan yang berkaitan dengan agama, seperti makrifatullah (mengenal Allah), tauhid, sifat-sifat kesempurnaan dan kesucian Allah swt, penciptaan alam semesta dan falsafahnya, keadilan Ilahi, jabr (determinasi) dan ikhtiar (free will), qadha dan qadar, kenabian dan falsafahnya, kemaksuman, ilmu dan imamah serta syarat-syarat imam dan falsafah imamah, akhlak mulia dan akhlak tercela, aneka ragam hal yang diharamkan dan dosa serta balasannya dan berbagai bab fikih.
Jika merujuk kitab-kitab hadis, akan kita saksikan hadis-hadis yang berkaitan dengan tema-tema tersebut dan puluhan lainnya yang semacam itu. Di samping hadis-hadis itu, terdapat pula sejumlah dialog dan kajian ilmiah dengan para penguasa saat itu, ulama, serta tokoh-tokoh dari berbagai agama yang tercatat dalam buku-buku sejarah dan hadis.
Melalui telaah dan kajian terperinci tentang hadis dan dialog ilmiah beliau, kita dapat mengetahui kedudukan keilmuannya.*
24
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KESEMBILAN: MUHAMMAD JAWAD AS Imam Muhammad Taqi as lahir pada tanggal 15 atau 19 bulan suci Ramadhan tahun 190 Hijriah di Madinah. Namanya Muhammad dan nama ayahnya Ali bin Musa ar-Ridha dan nama ibunya Subaikah atau Khaizran. Kunyah 'julukannya' adalah Abu Ja'far Tsani dan laqab 'gelarnya' adalah Qani', Murtadho, Jawad, dan Taqi.*
Ayahnya yang mulia meninggal manakala usianya menginjak tujuh tahun delapan bulan. Periode imamah-nya adalah tujuh belas tahun.*
Mu'tashim, Khalifah Abbasiah, telah memanggil beliau dan istri beliau Ummul-Fadzl (putri Ma'mun) ke Baghdad dan pada tanggal 28 bulan Muharram, tahun 220, ia tiba di Baghdad. Pada bulan Dzulqa'dah tahun yang sama, ia wafat di Baghdad dan dimakamkan di pemakaman Quraisy di sisi makam kakeknya, Musa bin Ja'far. Di saat itu, usia beliau telah menginjak dua puluh lima tahun dan beberapa bulan.*
Nash-Nash Imamah Syaikh Mufid menulis di antara orang yang meriwayatkan ucapan Abu Hasan Ridha mengenai imamah putranya, Ja'far, adalah berikut ini: Ali bin Ja'far bin Muhammad Shadiq, Shafwan bin Yahya, Muammar bin Khallad, Husain bin Yasar, Ibn Abi Nasher Bazanthi, Ibn Qiyaman Washiti, Hasan bin Jahem, Abu Yahya Shan'ani, Khairani, dan Yahya bin Habib Zayyat.
Ali bin Ja'far bin Muhammad berkata, "Aku mengambil tangan Abu Ja'far Muhammad bin Ali Ridha dan aku menyatakan, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah imam di sisi Allah."
Imam Ridha menangis dan berkata, "Paman! Apakah engkau tidak mendengar dari ayahku yang berkata, "Rasulullah saw bersabda, "Jiwa Ayahku kukorbankan untuk anak budak wanita yang terbaik, Nuwaibah Tayyibah, yang dari keturunannya akan lahir seorang imam yang berada jauh dari tanah airnya dan akan mengambil balas darah kakeknya. Ia gaib panjang sehingga dikatakan mati atau binasa dan pergi entah ke lembah mana?" Aku menegaskan, "Engkau berkata benar, jiwaku kukorbankan untukmu."*
Shafwan bin Yahya mengatakan, "Aku berkata kepada Imam Ridha as, "Sebelum Allah swt memberikan Abu Ja'far kepadamu, aku bertanya kepadamu dan engkau berkata, "Allah swt tidak lama lagi akan menganugerahkan seorang anak lelaki kepadaku." Kini Allah telah memberikan putra kepadamu dan mata kami terang karenanya. Jika -semoga tidak, terjadi musibah, kepada siapa kami harus merujuk?" Imam Ridha menunjuk Abu Ja'far yang berdiri di hadapannya. Aku berkata, " Jiwaku kukorbankan untukmu! Ini adalah seorang anak berusia tiga tahun!" Beliau berkata, "Usianya yang masih kecil tidak bertentangan dengan kepemimpinannya. Isa as adalah nabi dan juga hujjah Allah meskipun usianya kurang dari tiga tahun."*
Muammar bin Khallad mengatakan, "Kami mendengar dari Imam Ridha as yang setelah menyebutkan beberapa persoalan mengenai tanda-tanda imamah, Imam berkata, "Apa yang kamu perlukan dengan tanda-tanda ini? Aku menjadikan putraku, Abu Ja'far, sebagai pengganti dan khalifahku."
Selanjutnya, Imam Ridha berkata, "Kami adalah Ahlulbait yang anak-anak kami sama dengan orang dewasa kami."*
Husain bin Yasar berkata, "Ibn Qiyaman dalam sebuah surat kepada Abu Hasan Ridha menulis, "Bagaimana engkau bisa menjadi imam sedangkan engkau tidak memiliki imam yang akan menjadi penggantimu?"
Dalam jawabannya, Abu Hasan menulis, "Bagaimana engkau tahu bahwa aku tidak akan memiliki anak lelaki? Demi Allah! Beberapa hari lagi, Allah akan memberiku anak lelaki yang akan memisahkan kebenaran dari kebatilan." *
Ibn Abi Nasher Bazanthi mengatakan, "Suatu hari Ibn Najasyi berkata kepadaku, "Setelah temanmu, Imam Ridha, siapakah yang akan menjadi imam? Tanyakan persoalan ini dan berikan beritanya kepadaku." Lalu, aku menemui Imam Ridha dan menanyakan pertanyaan Najasyi. Imam Ridha berkata, "Imam setelahku adalah putraku." Kemudian Imam Ridha kembali berkata, "Siapakah yang berani mengatakan, "Anakku," padahal ia tidak memiliki anak?" Di masa itu, Abu Ja'far belum lahir tetapi beberapa lama kemudian, Abu Ja'far lahir."*
Ibn Qiyaman Washiti yang berasal dari suku Waqifi berkata, "Aku menjumpai Ali bin Musa ar-Ridha dan berkata, "Apakah pada satu masa, dua orang dapat menjadi imam?" Beliau berkata, "Tidak, kecuali salah seorang dari mereka diam." Aku berkata, "Kini, engkau tidak memiliki imam yang diam?" Beliau berkata, "Demi Allah! Allah akan menganugerahkan kepadaku seorang anak yang membela ahlul haq dan kebenaran serta akan berupaya untuk menghapus kebatilan." Ucapan ini disampaikan Imam Ridha dalam keadaannya yang belum memiliki anak. Namun setelah setahun, putranya, Abu Ja'far, lahir."*
Hasan bin Jahem berkata, "Aku duduk di sisi Abu Hasan. Beliau memanggil putranya yang masih kecil dan mendudukkannya di pangkuanku. Lalu, Abu Hasan berkata, "Lepaskanlah pakaiannya!" Aku melepaskan pakaian anak itu dan Imam Ridha berkata, "Lihatlah di antara dua cabang!" Aku melihat sesuatu yang menyerupai sebuah cap yang telah terpatri. Lantas Imam Ridha mengatakan, "Apakah engkau melihat ini. Ayahku juga memiliki alamat atau tanda seperti ini." *
Abu Yahya Shan'ani berkata, "Aku saat itu berada di sisi Abu Hasan Ridha. Kemudian putranya, Abu Ja'far, yang masih kecil dibawanya ke sisinya dan ia pun berkata, "Ini adalah bayi yang mendatangkan banyak berkah untuk Syiahku dan belum ada seperti dia yang dilahirkan."*
Khairani menukil dari ayahnya yang berkata, "Di Khurasan, aku berada di sisi Imam Ridha. Seorang lelaki bertanya, "Apabila suatu kejadian terjadi kepada Anda, kepada siapakah kami merujuk?" Imam Ridha berkata, "Merujuklah kepada Abu Ja'far. Karena lelaki itu tampak memandang usia Abu Ja'far masih kecil, Imam Ridha lantas berkata, "Allah swt mengutus Nabi Isa as sebagai nabi dan rasul sedangkan usianya lebih muda daripada Abu Ja'far."
Muhammad bin Abi Ubad (Penulis Imam Ridha) berkata, "Imam Ridha selalu memanggil putranya dengan kunyah dan berkata, "Abu Ja'far berkata dan aku menulis kepada Abu Ja'far." Imam Ridha begitu menghormati putranya padahal sang putra masih kanak-kanak. Surat-surat Abu Ja'far sampai dari Madinah kepada ayahnya, Abu Hasan, di Khurasan dengan puncak kefasihan. Aku mendengar Imam Ridha berkata, "Abu Ja'far adalah washi dan khalifahku." *
Musafir berkata, "Abu Hasan Ridha berada di Khurasan dan berkata kepadaku, "Pergilah ke sisi Abu Ja'far. Dia adalah imam dan temanmu."*
Ibrahim bin Abi Mahmud berkata, "Di Thus, aku berada di sisi Imam Ridha. Kemudian seorang lelaki berkata kepadanya, "Apabila terjadi sebuah peristiwa terhadapmu, kepada siapa kami merujuk?" Imam Ridha berkata, "Kepada anakku, Muhammad." Karena si penanya menganggap usia Abu Ja'far masih kanak kanak, Ali bin Musa ar-Ridha berkata, "Allah swt mengutus Isa bin Maryan sebagai nabi untuk mendirikan syariat sedangkan usianya lebih muda daripada Abu Ja'far." *
Ibn Buzai' berkata, "Abu Hasan Ridha ditanya, "Apakah jabatan imamah itu akan sampai juga kepada paman?" Beliau mengatakan, "Tidak!" lalu, ditanyakan lagi, "Apakah akan sampai ke saudara?" Dijawab tidak. Lalu, ditanyakan lagi, "Kepada siapa akan sampai?" Beliau mengatakan, "Kepada anakku." Ucapan ini disampaikannya pada saat Imam Ridha belum memiliki anak lelaki."*
Keutamaan dan Kemuliaan Akhlak Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya dan terbuktikan, bahwa imam adalah seorang manusia yang sempurna serta memiliki semua kesempurnaan insani dan tidak memiliki sedikit pun kekurangan. Ini merupakan di antara kesan dan kelaziman ishmah. Setelah imamah seseorang terbuktikan atas dasar argumen, kesempurnaan zatiah (esensial)-nya juga akan terbuktikan. Oleh karena itulah, ilmu, keutamaan, takwa, ibadah, dan akhlak yang baik dan tersucikan dari dosa serta perbuatan tercela adalah di antara kelaziman zatiah setiap imam sehingga, karena itulah, tidak ada perbedaan antara para imam. Semua imam adalah sempurna dan memiliki semua kesempurnaan. Anak kecil, remaja, dan orang tua tidak ada bedanya dalam hal ini. Apabila berita sebagian imam yang sampai kepada kita tidak begitu banyak dalam sumber sejarah dan riwayat, baik mengenai ibadah, keutamaan, maupun kemuliaan mereka, hal itu bukanlah lantaran mereka lebih rendah daripada imam yang lain, melainkan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kondisi politik dan sosial serta usia dan persyaratan waktu serta tempat.
Hal ini terjadi pada Imam Muhammad Taqi (Jawad). Meskipun banyak sekali riwayat tentangnya dan terdapat dalam kitab-kitab hadis, tidaklah sebanyak riwayat mengenai ayah-ayahnya. Dalam hal mengenai ibadah, munajat, infak dan ihsan kepada kaum fakir-miskin, serta kemuliaan-kemuliaan akhlak lainnya yang dimiliki Imam Jawad, kami tidak memiliki sumber yang sebanyak ayah-ayahnya.
Dalam mencari sebab perkara ini, kita dapat menyinggung dua persoalan: pertama, umur pendek Imam Jawad. Beliau hanya hidup tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Oleh karena itulah, sudah wajar jika Imam Jawad tidak memiliki waktu yang banyak untuk menyebarluaskan hadis dan kemuliaannya; kedua, usia pendek Imam Jawad membuatnya sudah diangkat sebagai imam pada usia tujuh tahun beberapa bulan. Dalam usia kanak kanak itu, meskipun memiliki pengetahuan ilmu yang cukup, kemuliaan, dan kesempurnaan, peringkat ilmu dan kesempurnaan zatiah Imam Jawad tersembunyi bagi kebanyakan manusia, bahkan bagi kalangan Syiah.
Sudah sewajarnya untuk mencari ilmu, tidak banyak yang merujuk kepada Imam Jawad. Oleh sebab itulah, Imam Jawad tidak begitu mendapat perhatian para cerdik pandai. Bahkan setelah periode bulugh-nya 'akil baligh', kondisi ini terus berlanjut. Hanya saja, peringkat ilmu dan kesempurnaan insaninya secara lambat laun semakin tampak sehingga hari demi hari jumlah yang mencintainya semakin bertambah. Namun sayangnya, kematian Imam Jawad mendadak sehingga sangat sedikit Muslim yang memperoleh ilmu dan pengetahuannya. Oleh karena itu, berbagai persoalan yang dapat berfaedah bagi umat masih tersisa dari Imam Jawad.
Syaikh Mufid menulis, "Tatkala keutamaan, ilmu, hikmah, adab, serta kesempurnaan akal Abu Ja'far dalam usianya yang muda terbukti bagi Makmun sehingga Makmun menemukannya lebih utama daripada para Syaikh di zamannya, Makmun menyukainya dan menikahkan putrinya yang bernama Ummul Fadzl kepadanya. Kemudian Makmun mengirim Imam Jawad ke Madinah. Makmun pun selalu menghormatinya dan memuliakannya."*
Abu Faraj Abdurrahman bin Jauzi menulis, "Muhammad bin Ali Musa bersikap seperti ayahnya dalam ilmu, takwa, zuhud, dan kedermawanan. Sepeninggal ayahnya, yakni Ali bin Musa, Makmun mengundangnya dari Madinah ke Baghdad dan memuliakannya serta memberikan kepadanya apa yang diberikan kepada ayahnya. Bahkan, Makmun menikahkan putrinya yang bernama Ummul Fadzl kepadanya." *
Rayyan bin Syubaib mengatakan, "Tatkala Makmun berkehendak untuk menikahkan putrinya, Ummul Fadzl, dengan Abu Ja'far Muhammad bin Ali, kabar ini sampai ke sejumlah pemuka Bani Abbas. Kehendak tersebut terasa berat bagi mereka. Mereka mencemaskan perkara ini akan berujung dengan diangkatnya Abu Ja'far menjadi putra mahkota, sebagaimana yang terjadi sebelumnya pada Ali bin Musa ar-Ridha. Sekelompok keluarga Makmun berpikir tentang hal ini dan pergi kepadanya seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Demi Allah! Batalkan niatanmu untuk menikahkan putrimu dengan Ibn ar-Ridha sebab kami khawatir khilafah yang ada di tangan kita akan musnah. Engkau mengetahui perselisihan sejak dahulu antara kami dengan Bani Hasyim dan sikap para khalifah sebelummu terhadap mereka. Karena perbuatan engkau sebelum ini terhadap Ali bin Musa ar-Ridha yang engkau pilih sebagai putra mahkota, kami dihadapkan pada kesulitan yang Allah swt bantu kami untuk menyelesaikannya. Demi Allah! Gagalkan niatmu menikahkan putrimu dengan Ibn Ridha dan janganlah engkau memposisikan kami dalam kesulitan!"
Sebagai jawabannya, Makmun berkata, "Adapun tentang perbedaan pendapat yang sejak dahulu terjadi di antara kalian dengan keluarga Abu Thalib, maka penyebabnya adalah kalian sendiri. Apabila kalian objektif, anak-anak Abu Thalib adalah jauh lebih layak untuk menduduki kursi khilafah ketimbang kalian.
Adapun tentang perangai buruk yang dilakukan para khalifah sebelumnya terhadap mereka, maka para khalifah itu telah memutuskan tali silaturrahim dan aku berlindung kepada Allah dari memutuskan tali silaturrahim. Demi Allah! Aku tidak pernah menyesal memilih Ridha sebagai putra mahkotaku. Pada awalnya aku menawarkan kursi khilafah kepada Ridha tetapi ia menolak. Meskipun telah ditetapkan, Ridha meninggal sebelumku sehingga tidak sampai ke kursi khilafah.
Adapun Abu Ja'far Muhammad bin Ali aku pilih karena, meskipun usianya masih muda, dari segi ilmu dan keutamaan adalah lebih tinggi daripada semua ahli keutamaan dan ilmu. Oleh karena itulah, Ibn Ridha adalah sangat langka. Aku berharap keutamaannya menjadi tampak di mata masyarakat sehingga mereka mengetahui bahwa akidahku mengenainya adalah benar."
Mereka berkata, "Meskipun perangai anak kecil ini telah membuatmu takjub, ia tetaplah anak kecil dan tidak banyak mengtahui ilmu dan pengetahuan serta fikih. Berilah kesempatan dan waktu sehingga ia dapat belajar adab dan fikih. Setelah itu, lakukan apa saja yang engkau inginkan!"
Makmun menjawab, "Celaka kalian! Aku lebih mengenali pemuda ini daripada kalian. Pemuda ini adalah salah satu Ahlulbait yang ilmu mereka berasal dari Allah. Ayah-ayahnya senantiasa tidak pernah belajar kepada orang lain dari segi ilmu, agama, dan adab. Apabila berminat, kalian dapat mengujinya."
Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Itu adalah gagasan yang baik dan kami akan mengujinya. Tetapkanlah waktu sehingga salah satu dari yang hadir di depan kalian dapat bertanya kepadanya tentang fikih syariat. Apabila ia menjawab dengan benar, kami tidak akan menolak lagi." Makmun berkata, " Tidak ada masalah. Datanglah kapan saja kalian mau!"
Mereka keluar dari majelis dan memutuskan untuk mengundang Yahya bin Akstam yang merupakan qadhi al-qudhat 'hakim dari para hakim' untuk melakukan pengujian. Yahya berkata kepada mereka, "Siapkanlah pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Ibn Ridha di depan Makmun untuk mengalahkannya. Bahkan mereka menjanjikan uang yang banyak apabila Yahya berhasil mengalahkan Ali ar-Ridha.
Pada hari yang dijanjikan, bersama dengan Yahya bin Akstam, mereka datang ke hadapan Makmun. Makmun memerintahkan agar pada sebagian rumahnya dihamparkan permadani dan diletakkan dua sandaran. Di saat itu, Abu Ja'far yang berusia 19 tahun dan beberapa bulan memasuki majelis dan duduk di antara dua sandaran. Yahya bin Akstam juga duduk di depan Abu Ja'far dan masyarakat berdiri sesuai dengan derajat mereka sedangkan Makmun duduk di dekat Abu Ja'far.
Yahya bin Akstam bertanya kepada Makmun, "Wahai Amirul Mukminin! Apakah engkau mengijinkan kami menanyakan beberapa persoalan kepada Abu Ja'far?" Makmun berkata, "Mintalah ijin kepada Abu Ja'far langsung!" Yahya, setelah memperoleh ijin dari Imam, berkata, "Orang yang berburu dalam keadaan ihram apakah hukumnya dan apa kewajibannya?"
Abu Ja'far berkata, "Apakah dia berburu di haram atau di luar haram, dalam keadaan muhrim, dan apakah dia itu alim atau jahil? Apakah dia membunuh binatang dengan sengaja atau tidak? Apakah dia muhrim yang bebas atau budak? Kecil atau besar? Apakah hasil buruannya merupakan yang pertama atau telah mengulanginya beberapa kali? Apakah buruannya itu adalah burung atau bukan? Kecil atau besar? Apakah dia menyesali pekerjaannya atau tidak? Berburunya pada malam hari atau siang? Muhrim sedang melakukan ihram umrah atau haji?"
Yahya mendengar serangkaian pertanyaan itu menjadi bingung sehingga tampak terkesan putus asa dan hadirin mengetahuinya dengan baik. Di saat itu, Makmun berkata, "Aku bersyukur kepada Allah atas nikmat dan taufik ini. Setelah itu, ia melihat kepada keluarganya sendiri dan berkata, "Kalian melihat apa yang kukatakan tentang Abu Ja'far adalah benar?"
Kemudian, Abu Ja'far berkata, "Apabila Anda melihat maslahat, sampaikanlah jawaban dari furu' 'cabang' fikih ini sehingga dapat dimanfaatkan." Imam berkata, "Apabila binatang buruan itu dibunuhnya di luar haram dan dari jenis burung besar, maka kafarah 'tebusannya' adalah seekor kambing tetapi apabila terjadi di dalam haram, maka kafarah-nya adalah dua ekor kambing. Apabila buruannya adalah anak burung dan di luar haram, maka kafarah-nya adalah anak kambing yang baru saja disapih dari air susu ibunya. Jika anak burung itu dibunuh di dalam haram, maka kafarah-nya adalah seekor anak kambing seharga anak burung. Jika keledai liar yang dibunuh, maka kafarah-nya adalah seekor sapi. Bila berupa burung unta, maka kafarah-nya adalah menyembelih seekor unta dan apabila kijang, maka kafarah-nya adalah seekor kambing. Sekiranya salah satu dari itu dan terjadi di dalam haram, maka kafarah-nya adalah dua kali (ganda) dan disembelih di sisi Ka'bah. Apabila dengan ihram haji membawa serta binatang qurbannya, muhrim menyembelihnya di Mina.
Kafarah berburu dalam keadaan ihram adalah sama, baik terhadap jahil maupun alim. Akan tetapi, dalam keadaan disengaja, maka ia berdosa sedangkan apabila lantaran khilaf dan tidak disengaja, maka ia tidak berdosa. Kafarah terhadap orang yang merdeka (bukan budak) adalah ia sendiri yang berkewajiban membayar kafarah-nya. Namun, bila ia seorang budak, maka kafarah-nya adalah jatuh di atas pundak tuannya.
Apabila yang berburu belum baligh, maka ia tidak wajib membayar kafarah.
Apabila pemburu yang dalam keadaan ihram bertobat dari perbuatannya, ia tidak dikenai hukuman akhirat. Namun, apabila tidak bertaubat dan terus-menerus melakukan dosanya itu, ia akan dikenai juga hukuman di akhirat."
Pada saat itulah, Makmun berkata, "Ahsan, wahai Abu Ja'far! Semoga Allah melimpahkan kepadamu balasan kebaikan. Apabila dipandang perlu, engkau dapat juga bertanya kepada Yahya."
Abu Ja'far berkata kepada Yahya ibn Akstam, "Adakah engkau mengijinkan aku bertanya sebuah persoalan kepadamu?" Yahya berkata, "Silakan. Apabila tahu, aku akan memberikan jawaban dan apabila tidak tahu, aku akan memanfaatkan Anda."
Imam bertanya, "Siapakah lelaki yang di awal pagi, ketika melihat seorang wanita, pandangannya adalah haram tetapi menjelang siang pandangannya kepada wanita itu menjadi halal. Di awal zhuhur, memandang wanita itu kembali menjadi haram tetapi ketika shalat ashar, melihat wanita itu menjadi halal. Setelah tenggelamnya matahari, kembali haram tetapi sewaktu shalat isya, kembali halal. Di pertengahan malam, kembali haram tetapi setelah terbit fajar, kembali halal? Wanita apa itu dan kehalalan serta keharaman ini bagaimana datang kepadanya?"
Yahya bin Akstam berkata, "Aku tidak mengerti jawaban pertanyaan ini. Bagaimanakah jawabannya agar kami juga dapat mengerti dan mengambil faedah darinya?" Abu Ja'far berkata, "Wanita itu ialah seorang budak di pagi hari sehingga pandangan seorang lelaki asing yang melihatnya haram. Ketika menjelang siang, lelaki itu membeli si wanita dari tuannya sehingga pandangan si lelaki kepadanya menjadi halal. Awal zhuhur, budak itu dibebaskan si lelaki sehingga memandang budak wanita itu adalah haram. Ketika ashar, si lelaki menikahinya sehingga pandangannya menjadi halal. Ketika maghrib, si lelaki bercerai dengannya dalam bentuk cerai dzahar sehingga memandangnya adalah haram. Ketika isya, si lelaki membayar kafarah dzahar sehingga si wanita kembali menjadi halal. Di pertengahan malam, wanita itu dicerainya sehingga menjadi haram. Ketika terbit fajar, si lelaki kembali kepada si wanita sehingga menjadi halal."
Di saat itu, Makmun berkata kepada hadirin, "Siapakah di antara kalian yang menguasai persoalan fikih seperti ini?" Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Tidak seorang pun dari kami yang memiliki kemampuan seperti itu." Makmun berkata, " Keutamaan dan kesempurnaan ilmu pengetahuan yang kalian saksikan adalah di antara kekhususan Ahlulbait dan mudanya usia tidak membuat mereka jauh dari kesempurnaan ini."
Setelah keutamaan dan kesempurnaan Imam Jawad menjadi jelas, Makmun menikahkan putrinya, Ummul Fadzl dengan Imam Jawad lalu dibacakan khutbah akad nikah dan dibagikan hadiah-hadiah kepada hadirin. *
Dinukilkan dari 'Uyunul Mukjizat bahwa ketika Imam Ridha meninggal dunia, Abu Ja'far berusia sekitar tujuh tahun. Di tengah masyarakat Syiah Baghdad dan kota-kota lainnya, terjadi perselisihan pendapat tentang siapakah yang akan menggantikan Imam Ridha. Rayan bin Shalet, Shafwan bin Yahya, Muhammad bin Hakim, Abdurrahman bin Hajjaj, Yunus bin Abdurrahman dan sekelompok lainnya dari masyarakat Syiah yang terpercaya berkumpul di rumah Abdurrahman Hajjaj seraya menangisi musibah meninggalnya Imam Ridha. Pada saat itu, Yunus bin Abdurrahman berdiri dan berkata, "Sebaiknya janganlah kalian menangis dan hendaknya kita bermusyawarah kepada siapakah kita merujuk dalam persoalan agama hingga putra Imam Ridha, Abu Ja'far, dewasa." Di saat itu, Rayan bin Shalet berdiri dan berkata, "Yunus! Sepertinya engkau mengaku beriman secara zahir 'jelas' tetapi di batinmu engkau masih ragu. Apabila imamah adalah dari Allah, maka anak bayi usia sehari pun akan sama kedudukannya dengan seorang lelaki tua yang alim. Apabila tidak dari Allah, seandainya usianya seribu tahun, ia tetap seperti manusia biasa. Pemikiran kita haruslah seperti itu."
Saat itu adalah musim haji. Delapan puluh orang ahli fikih dan ulama Baghdad berkumpul dan berangkat untuk berhaji. Mereka pergi ke Madinah untuk bertemu dengan Abu Ja'far. Mereka memasuki rumah Imam Ja'far Shadiq dan mendapatkan rumah tersebut kosong.
Abdullah bin Musa menemui mereka. Di saat itu, seorang lelaki berdiri dan berkata, "Ini adalah putra Rasulullah saw. Barangsiapa yang memiliki persoalan dapat bertanya kepadanya." Abdullah menjawabnya, "Namun semua jawaban akan bertentangan dengan kebenaran." Dari situlah, para ahli fikih dan ulama serta umat Syiah sedih dan bimbang. Mereka berdiri dan berniat bubar. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri, "Sekiranya Abu Ja'far dapat memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan dengan benar, kami tidak akan terpaksa mendengarkan jawaban-jawaban yang salah dari Abdullah."
Tiba-tiba dari tengah majelis, pintu terbuka dan Muwaffaq masuk seraya berkata "Ini adalah Abu Ja'far." Hadirin bangun dan menyambut kedatangannya serta mengucapkan salam. Kemudian, Abu Ja'far dalam keadaan mengenakan serban dan pakaian ulama, duduk di satu sudut. Kemudian secara bergantian orang yang mempunyai permasalahan berdiri dan mengetengahkan pertanyaannya. Mereka mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Abu Ja'far. Semua jawabannya sesuai dengan haq dan ketetapan syariat. Mereka bahagia dan mendoakan Abu Ja'far seraya berkata, "Pamanmu Abdullah memberikan jawaban yang lain daripada yang engkau berikan." Imam berkata, "Mengapa seperti ini! Paman! Betapa celaka bila nanti di hari kiamat, engkau ditahan dan mereka berkata, "Mengapa engkau memberi fatwa terhadap sesuatu yang engkau tidak ketahui padahal yang lebih alim daripadamu ada di antara manusia." *
Meskipun terdapat rintangan berupa waktu yang sedikit, usia yang pendek, makar musuh, serta kelalaian sebagian orang Syiah, masih banyak hadis yang tersisa dari Imam Jawad dan tercatat dalam kitab hadis yang apabila dipelajari akan mendatangkan banyak manfaat dan sebagai bukti keluasan ilmu Imam. Selain itu, Imam Jawad juga banyak mendidik dan membimbing murid-murid dan para perawi. Berikut ini adalah para sahabat Imam yang terpercaya: Ayyub bin Nuh, Ja'far bin Muhammad Yunus, Husain Muslim bin Hasan Mukhtar bin Zayan Abdi, Muhammad bin Husain bin Abi Khitab, Syadan bin Khalil Nisyaburi, Nuh bin Syu'aib Baghdadi, Muhammad bin Ahmad Mahmudi, Abu Yahya Jarjani, Abu Qasim Idris Qummi, Ali bin Muhammad bin Harun, Ishaq bin Ismail Nisyaburi, Ahmad bin Ibrahim Muraghi, Abu Ali bin Bilal, Abdullah bin Muhammad Hudhaini, Muhammad bin Hasan Syam'un. *
Ibadah dan akhlak Meskipun berusia pendek, Imam Jawad sebagaimana ayah-ayahnya memiliki pengetahuan yang sangat dalam tentang keesaan Allah dan memahami pengetahuan yang berkaitan dengan mabda' dan ma'ad. Dalam batin zatnya, Imam menyaksikan hakikat alam semesta dan keimanan serta keyakinannya adalah lebih tinggi daripada sekedar lafaz dan konsep-konsep pemikiran. Ini merupakan pengaruh dan kelaziman imamah. Oleh karena itulah, dapat dikatakan bahwa Imam Jawad, seperti juga ayahnya, khusyuk dalam ibadah, shalat, dan doa serta berakhlak dengan akhlak yang baik dan menunaikan perbuatan-perbuatan yang baik. Ia begitu serius walaupun usianya muda. Meskipun Imam Jawad lebih sedikit mendapat perhatian masyarakat dan lebih sedikit dibicarakan, bukan berarti tidak ada sama sekali pembicaraan mengenainya.
Syaikh Mufid menulis, "Abu Ja'far bersama dengan istrinya, Ummul Fadzl, meninggalkan Baghdad dan berangkat menuju Madinah. Ketika tiba di Kufah, masyarakat menyambut mereka berdua. Menjelang Maghrib, Imam tiba di rumah Musayyib. Ia pergi ke masjid. Di halaman masjid, terdapat satu pohon yang tidak pernah berbuah. Beliau meminta air dan berwudhu di bawah pohon itu. Beliau menunaikan shalat maghrib dengan masyarakat secara jamaah. Pada rakaat pertama, Imam Jawad membaca hamdalah dan surah : " dan pada rakaat kedua, membaca hamdalah dan surah tauhid. Sebelum rukuk kedua, Imam membaca qunut. Imam membaca, pada rakaat ketiga, tasyahud dan bersalam. Tak lama kemudian, Imam duduk dan membaca zikir. Setelah itu, Imam bangun dan melakukan empat rakaat nafilah maghrib. Selanjutnya, Imam membaca ta'qib dan melakukan dua sujud syukur lalu keluar dari masjid. Ketika orang-orang mendekati pohon itu, mereka mendapati pohon itu telah berbuah berkat air wudhu Abu Ja'far. Mereka memakan buah-buah dari pohon itu yang sangat manis dan segar tetapi tidak berbiji."*
Di antara munajat yang dinukil dari Imam Jawad adalah munajat berikut ini:
"Ya Allah, sesunguhnya kedzaliman hamba-Mu telah mengakar kuat di bumi (negeri)-Mu hingga keadilan mati, jalan-jalan telah disendat, kebenaran tertimbun, kejujuran dibatilkan, kebenaran disembunyikan, dan kejehatan dimunculkan (tampak), ketaqwaan dibekukan, petunjuk diselewengkan, perbuatan baik lemparkan ke dalam jurang yang terjal dan perbuatan buruk diangkat ke permukaan, kerusakkan dininabobokan dan pembangkangan semakin diperkuat, kelaliman diketengahkan dan sikap melampaui batas.
Ya Allah! Ya Tuhan! Dia tidak akan menyingkapkan hal tersbeut kecuali dengan kekuasaan-Mu dan dia tidak akan lari menjauh dari mereka kecuali dengan karunia-Mu. Ya Allah! Tuhan yang melemahkan (melesukan) kejahatan, yang memutuskan jaring-jaring (tambang-tambang) kelaliman, yang menutup semaraknya pasar kemungkaran, yang memuliakan siapa saja yang menentangnya, yang mengunci mati bibir para pelaku kejahatan dan memakaikan mereka pakaian kejahatan setelah lingkaran (balutan) serban (itu dililitkan di kepalanya). Ya Allah segerakanlah tempat tinggal (kediaman) kepada mereka dan timpakanlah hukuman berat atas mereka dan lenyapkanlah identitas kejahatan-kejahatannya (di muka bumi ini) yang ditakuti (akan kemunculannya kembali) dan tukarlah dengan hal-hal yang disenangi wahai Dia yang mengenyangkan yang lapar, yang melindungi yang kehilangan (perlindungan), yang menyelamatkan yang terbuang (terasingkan), yang mengembalikan yang diusir (dari negeri asalnya), yang membuat kaya yang papa, yang menghukum orang yang bertindak lalim, yang menghormati yang besar dan menyayangi yang kecil, yang memuliakan yang terzalimi, dan menghinakan yang berlaku zalim (semena-mena), yang membuka yang tertutup kabut hitam dan penutupnya akan dilapangkan, yang menenteramkan kelompok besar manusia, mematikan perbedaan pendapat, yang meninggikan ilmu pengetahuan, yang menebarkan keselamatan, yang menyatukan perbedaan, yang menguatkan Iman, dan yang akan membaca al-Quran karena Engkaulah yang berkuasa pemberi karunia."
Seorang lelaki anak Hanifah dari warga Bast dan Sajistan mengatakan, "Di tahun ketika Abu Ja'far pergi haji pada awal kekhilafahan Mu'tashim Abbasi, di atas sufrah makan, aku mengatakan kepadanya, "Walikota kami begitu mencintai Ahlulbait sedangkan aku memiliki hutang yang tidak mampu kubayar. Apabila engkau melihat suatu kebaikan, anjurkan kepadanya agar ia berbuat baik dan ihsan kepadaku." Imam berkata, " Aku tidak mengenalnya." Aku mengatakan kepadanya, "Dia adalah di antara pecintamu sehingga tulisanmu akan bermanfaat."
Imam meminta kertas dan menulis, "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sesungguhnya yang menyampaikan surat ini menyebutmu bermazhab indah dan sesungguhnya perbuatan ihsan-mu akan kaubawa mati. Maka, berbuatlah ihsan kepada saudara-saudaramu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah swt akan menanyakan perbuatanmu walaupun sekecil biji atom."
Lelaki ini kemudian berkata, "Ketika aku masuk ke Sajistan, manakala berita surat ini sampai ke telinga Abdullah Nisyaburi (Walikota itu), ia menyambutku dari sejauh dua belas kilometer. Aku memberikan surat Imam kepadanya dan ia mencium surat itu lalu meletakkannya di matanya seraya berkata, "Apakah keperluanmu?" Aku berkata, "Aku memiliki hutang pajak di kantormu yang tidak sanggup kubayar." Walikota memerintahkan untuk tidak mengambil uang pajak dariku dan berkata, "Selagi duduk di kursi kekuasaan, aku tidak akan mengambil pajak darimu." Kemudian Walikota bertanya tentang keadaan ekonomi keluargaku dan aku menjawab seadanya. Kemudian Walikota memerintahkan agar memberikan kepadaku apa yang aku dan keluargaku butuhkan dan mengatakan bahwa selagi ia menjadi wali, aku tidak lagi membayar pajak dan selama ia hidup, ihsan-nya tidak pernah terputus untukku." *
Abu Hasyim mengatakan, "Abu Ja'far memberikan uang sebanyak tiga ratus dinar di sebuah kantung dan berkata, "Berikan kepada anak pamanmu!" Lalu ia berkata, "Putra pamanmu akan mengatakan kepadamu, "Kenalkan kepadaku seseorang yang berbelanja untukku!" Secara kebetulan, manakala aku memberikan uang kepadanya, putra pamanku berkata, "Sebutkan seseorang yang berbelanja barang untukku!" *
Bazanthi berkata, "Abu Hasan Ridha dalam sebuah surat untuk putranya, Abu Ja'far, menulis, "Wahai Abu Ja'far! Aku mendengar para pembantumu membawamu keluar dari pintu kecil sebab mereka pelit dan hendak mencegahmu berbuat baik kepada orang lain! Anakku! Aku bersumpah demi Allah bahwa janganlah engkau masuk dan keluar kecuali dari pintu besar. Setiap kali engkau keluar dari rumah maka pastikan engkau membawa uang. Siapa saja yang meminta bantuan kepadamu maka berilah dia. Apabila paman-paman dan anak-anak pamanmu meminta sesuatu darimu, jangan diberi kurang dari 50 dinar dan selebihnya adalah terserahmu, apakah engkau akan memberi atau tidak. Apabila bibi-bibimu meminta, jangan engkau memberi mereka kurang dari 25 dinar dan selebihnya adalah terserahmu. Aku ingin agar Allah meninggikan maqom-mu. Berilah dan jangan takut terhadap kemiskinan dan kesempitan." *
25
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KESEPULUH: IMAM HADI AS Imam Ali Naqi lahir di Shirya (dekat Madinah) pada pertengahan bulan Dzulhijjah, tahun 212 Hijriah. Ayahnya bernama Imam Jawad dan nama ibunya adalah Sumanah. Kunyah-nya adalah Abu Hasan dan laqab-laqab-nya adalah Naqi, Hadim, Alim, Faqih, Amin, Muttamin, Thayyib, Mutawakkil, Askari, dan Najib. Imam Hadi juga dipanggil dengan Abu Hasan Tsalis.
Menurut beberapa perkataan, Imam Hadi meninggal pada tanggal 3 bulan Rajab, tahun 254 Hijriah di kota Samira dan dimakamkan di kota yang sama. Ia meninggal dalam usia empat puluh dua tahun. Setidaknya ia hidup bersama ayahnya selama delapan tahun dan masa imamah-nya adalah tiga puluh tiga tahun.*
Nash-Nash Imamah Sebelumnya telah disebutkan bahwa untuk membuktikan imamah setiap imam, dapatlah digunakan berbagai burhan dan dalil yang salah satunya adalah nash yang dikeluarkan oleh imam sebelumnya bagi imam berikutnya. Kami, di sini, merasa cukup dengan menyebutkan sebagian dari nash tersebut.
Ismail bin Mihran berkata, "Pada tahap pertama, ketika Abu Ja'far dipanggil ke Baghdad, aku berkata kepadanya, "Aku korbankan diriku bagimu! Kami mencemaskan perjalananmu ini? Siapakah imam setelahmu?" Imam Jawad memperhatikanku dan berkata, "Apa yang engkau takutkan tidak akan terjadi pada tahun ini."
Saat Mu'tashim memanggil Imam Jawad ke Baghdad, aku menjumpai Imam dan berkata, "Anda akan dibawa ke Baghdad.
Siapakah imam setelahmu nanti?" Imam menangis sehingga jenggotnya basah dan berkata, "Di masa ini, kecemasan akan hilang. Urusan imamah sepeninggalku akan berpindah kepada putraku." *
Khairani menukil dari ayahnya yang berkata, "Untuk menjalankan tugas yang kumiliki, aku senantiasa berada di pintu Abu Ja'far. Ahmad bin Muhammad bin Isa Asyari datang setiap sahur untuk mengetahui kondisi sakitnya Abu Ja'far. Rencananya ialah ketika utusan Abu Ja'far datang ke sisi ayahku, Ahmad bin Isa berdiri sehingga dua orang itu berbicara empat mata."
Khairani berkata lagi, "Pada salah satu malam ketika utusan Abu Ja'far menemui ayahku, aku dan Ahmad bin Muhammad keluar dan ayahku berbicara empat mata dengan utusan Abu Ja'far. Ahmad berputar di situ dan mendengarkan pembicaraan mereka. Utusan Imam berkata kepada ayahku, "Maula-mu menyampaikan salam dan berkata, "Kematianku telah dekat dan urusan imamah akan berpindah kepada putraku, Ali. Kewajiban yang kalian miliki terhadapku, sepeninggalku nanti, agar dilaksanakan terhadap putraku."
Utusan Imam Jawad setelah menyampaikan pesan ini keluar. Ahmad bin Isa kembali dan berkata kepada ayahku, "Apakah yang disampaikan oleh utusan Imam?" Ahmad berkata, "Kebaikan." Ahmad berkata, "Aku telah mendengar semuanya." Lalu ia menjelaskan apa yang telah didengarnya. Ayahku berkata, "Engkau telah melakukan hal yang haram! Tidakkah engkau tahu bahwa Allah swt di dalam al-Quran telah berfirman, Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.[1] Kini, engkau telah mendengar pesan Imam. Maka, hafalkanlah dengan baik karena suatu hari mungkin kami akan memerlukannya. Namun, hingga hari itu, jangan engkau buka kepada orang lain!"
Khairani berkata, "Pagi hari itu, ayahku menulis pesan Abu Ja'far di dalam sepuluh halaman dan mengamanatkan setiap lembarnya kepada para sahabatnya. Ia berkata, "Jika kematianku telah tiba, bukalah surat ini dan laksanakan sesuai dengan yang tertulis di sini!"
Ayahku berkata, "Ketika Abu Ja'far meninggal dunia, aku tidak keluar dari rumahku sehingga aku mendengar para pembesar thaifah 'kabilah' berkumpul di sisi Muhammad bin Faraj untuk membahas tentang imamah. Muhammad bin Faraj memberitahukan persoalan ini kepadaku dan memintaku agar segera pergi menemuinya. Aku menaiki kendaraan dan pergi ke sisi Faraj. Aku melihat sekelompok pembesar duduk di sampingnya dan mendiskusikan sarana untuk menjalin hubungan dengan Imam. Sebagian besar dari mereka meragukan tentang imamah dan aku mengatakan kepada orang yang pernah dititipi buku pesan Imam, "Datangkanlah surat-surat itu!" Mereka membawa surat-surat tersebut dan aku mengatakan kepada hadirin, "Ini adalah pesan yang Abu Ja'far perintahkan kepadaku untuk menyampaikannya kepada kalian." Sebagian dari mereka berkata, "Alangkah baiknya seandainya ada satu orang lagi yang menyaksikan perkara ini." Aku mengatakan, "Alhamdulillah Allah swt telah menyediakan sarana untuk itu. Abu Ja'far Asy'ari juga mendengar pesan ini dan bersaksi untuk ini. Tanyakanlah kepadanya!" Hadirin lantas bertanya kepada Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad dalam hal ini. Namun, ia tidak bersedia memberikan kesaksian. Maka, aku pun mengajaknya ber-mubahalah sehingga ia pun takut dan berkata, "Iya memang. Aku juga mendengar pesan ini. Namun, persoalan ini memiliki kemuliaan dan nilai yang tinggi bagi seorang lelaki Arab. Karena ditantang mubahalah, aku melihat tidak baik untuk menyembunyikannya." Setelah ia memberikan kesaksian, hadirin berpasrah kepada Abu Hasan."
Setelah menukil persoalan ini, Syaikh Mufid menulis, "Banyak sekali riwayat tentang bab ini. Apabila aku menyebutkan semuanya, kitabnya akan panjang. Ijma' para sahabat tentang imamah Abu Hasan ditambah dengan tidak adanya orang lain yang mengklaim diri sebagai imam di masa itu membuat kami tidak perlu lagi menyebutkan riwayat-riwayat dan nash-nash tentang imamah-nya." *
Shaqar bin Abi Dalaf mengatakan, "Aku mendengar dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali yang berkata, "Imam setelahku adalah putraku, Ali. Urusannya adalah urusanku dan ucapannya adalah ucapanku serta ketaatan kepadanya adalah ketaatan kepadaku. Imamah setelahnya akan sampai kepada putranya, Hasan." * Muhammad bin Usman Kufi berkata, "Aku mengatakan kepada Abu Ja'far, "Apabila (semoga Allah menjauhkannya) terjadi sesuatu terhadap Anda, kepada siapa kami merujuk?" Beliau berkata, "Merujuklah kepada putraku, Abu Hasan." Lantas ia berkata, "Tidak lama lagi akan terjadi waktu jeda." Aku berkata, "Di masa itu, kemana kami harus pergi?" Beliau berkata, "Ke Madinah." Aku mengatakan, "Madinah yang mana?" Beliau menjelaskan, "Madinah ar-Rasul." *
Umayyah bin Ali Qaisi berkata, "Aku berkata kepada Abu Ja'far Tsani, "Siapakah pengganti Anda?" Ia berkata, "Putraku, Ali." Kemudian ia berkata, "Tidak lama lagi akan tiba masa kebingungan." *
Muhammad bin Isamil bin Buzai' berkata, "Abu Ja'far berkata, "Urusan imamah akan sampai kepada putraku, Abu Hasan, sementara ia berusia tujuh tahun." Kemudian beliau berkata, "Ya! Lebih kurang tujuh tahun, sebagaimana Isa as juga seperti itu." *
Harun bin Fadzl berkata, "Aku menjumpai Abu Hasan pada hari ketika ayahnya meninggal dunia. Ia berkata, " انا لله و انا اليه ر اجعون ayahku Abu Ja'far meninggal dunia." Ditanyakan, "Dari mana engkau tahu bahwa ayahmu telah wafat?" Beliau berkata, "Telah kurasakan keadaan khudu' di dalam jiwaku terhadap Allah swt yang tiada terjadi sebelumnya seperti ini." *
Sekelompok orang Isfahan termasuk Abu Abbas Ahmad bin Nadher dan Abu Ja'far Muhammad bin Alawiyah mengatakan, "Di Isfahan, seorang lelaki Syiah yang bernama Abdurrahman ditanya, "Dengan alasan apa engkau menerima imamah Ali Naqi di antara semua manusia?" Ia berkata, "Aku melihat sesuatu dari Abu Hasan yang menyebabkan keimananku. Aku adalah lelaki miskin tetapi berani berbicara. Penduduk Isfahan pada suatu tahun bersama dengan sejumlah orang lainnya mengutusku menjumpai Khalifah Mutawakkil untuk menuntut keadilan. Suatu hari, aku berada di rumah Mutawakkil yang memerintahkan agar menghadirkan Ali bin Muhammad bin Ridha. Aku bertanya kepada salah seorang hadirin, "Siapakah orang yang oleh Mutawwakil dipanggil itu?" Aku membayangkan bahwa pastilah Mutawakkil berniat untuk membunuhnya. Ia berkata, "Lelaki ini adalah Alawi dan rafidah yang masyarakat meyakini imamah-nya." Aku berkata dalam diriku sendiri, "Aku akan tinggal di sini sampai aku mengetahui siapakah lelaki yang dipanggil itu."
Tak lama kemudian, Ali Naqi yang menaiki kuda datang. Masyarakat membuka jalan untuknya dan memperhatikannya dengan saksama. Ketika aku melihatnya, kecintaan kepadanya tertanam dalam diriku dan aku berdoa semoga Allah menjauhkan keburukan Mutawakkil darinya. Ketika tiba di depanku, ia melihatku dan berkata, "Doamu dikabulkan dan umurmu panjang sehingga engkau akan memiliki banyak harta dan anak." Tubuhku gemetar karena mendengar berita yang tidak terduga ini tetapi aku tidak mengatakan sesuatu apa pun kepada orang-orang yang bersama denganku.
Setelah itu, aku pergi ke Isfahan. Banyak sekali harta yang kuperoleh. Di rumahku, aku memiliki beribu-ribu dirham. Selain dari harta yang kumiliki di luar rumah, Allah swt memberikanku sepuluh anak. Kini, usiaku sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Aku meyakini imamah seorang lelaki yang mengetahui isi hatiku dan doanya untukku telah terkabulkan." *
Kemuliaan dan Keutamaan Syaikh Mufid menulis, "Setelah Abu Ja'far, putranya yang bernama Abu Hasan Ali bin Muhammad menjadi imam karena semua sifat imam berkumpul pada dirinya dan keutamaannya adalah lebih unggul daripada yang lainnya. Selain dia, tidak ada orang lain yang layak menduduki kursi imamah. Ia ditunjuk sebagai imam oleh ayahnya." *
Ibn Syaher Osyub, dalam menyifati Imam Hadi, menulis, "Wajahnya lebih menarik daripada semua orang dan ucapannya lebih jujur daripada yang lainnya. Kesempurnaan dan ketampanannya mengungguli yang lainnya. Ketika ia berdiam diri, kewibawaan dan keagungannya semakin tinggi. Ketika ia berbicara, cahaya wajahnya semakin bertambah. Dia berasal dari keluarga risalah, imamah, sumber khilafah dan washi. Dialah cabang dari pohon keagungan nubuwah yang masa pemberdayaannya dari masa pengambilannya tidak berselang lama. Buah dari buah risalah yang masa pemetikannya dengan masa pemilihannya telah dekat." *
Abu Musa mengatakan, "Aku berkata kepada Imam Hadi, "Ajarkanlah kepadaku doa khusus yang akan kubaca untuk menyelesaikan masalahku." Beliau berkata, "Seringkali aku membaca doa ini dan aku meminta kepada Allah agar pembaca doa tidak kembali dalam keadaan putus asa dari hadirat Allah.
"Wahai bekal (persiapan)ku di hari perhitungan, wahai harapan dan peganganku, wahai tempat perlindunga dan tumpuanku, wahai yang Mahatunggal, wahai yang Maha Esa, wahai katakanlah bahwa Dialah Allah yang Maha Esa dan perjalananku menuju pada-Mu ya Allah! Dengan kebenaran orang yang telah Engkau ciptakan dari ciptaan-Mu dan Engkau belum menjadikan seorang pun dalam ciptaan Mu yang sepadan dengan mereka yang Engkau curahkan shalawat atas mereka dan aku ridha Engkau memperlakukan aku begini dan begitu. "
Sa'id Hajib berkata, "Atas perintah Mutawakkil dan bersama dengan sejumlah petugas pada malam hari, kami melakukan serangan terhadap Abu Hasan dengan masuk melalui dinding. Ketika itu, Imam yang mengenakan topi di kepalanya dan pakaian wol sedang mendirikan shalat dan tampak tiada ketakutan ketika ia melihat kami masuk." *
Ibn Hajar berkata, "Abu Hasan mewarisi ilmu dan kedermawanan ayahnya."* Ibn Shabbagh Maliki menukil dari sejumlah ahli ilmu yang berkata, "Keutamaan Abu Hasan bin Muhammad Hadi telah mendirikan kemahnya di atas bumi kemuliaan dan menggantungkan tali-tali kemah itu ke bintang-bintang di langit. Setiap keutamaan yang disebutkan tentang diri Imam menjadi penghias dan pada setiap kemuliaan yang disebutkan, dialah yang menjadi keutamaannya. Pada setiap pujian yang diutarakan, perincian dan ringkasannya berada di sisinya dan setiap keagungan yang disebutkan tampak pada kepribadiannya. Kelayakannya dari segi kekhususan kebaikan dan keagungan serta kemuliaan telah tertanam di dalam wujud mutiara dirinya. Allah swt menjaganya dari segala jenis kekurangan sebagaimana penggembala unta memelihara anak-anaknya dari berbagai peristiwa yang berbahaya. Jiwa beliau suci dan terdidik serta akhlak beliau baik dan perilakunya terpuji sedangkan sifatnya penuh dengan keutamaan." *
Sulaiman bin Ibrahim Qanduzi Hanafi menukil dari kitab Fashlul Khitab bahwa Muhammad Khajah Parsai menulis, "Abu Hasan Ali Hadi merupakan seorang lelaki ahli ibadah dan fikih serta seorang imam."
Telah dikatakan kepada Mutawakkil bahwa di rumah Abu Hasan telah disimpan senjata dan ia memiliki niat untuk menjadi khalifah. Kemudian Mutawakkil memerintahkan sejumlah orang untuk menyerang rumah Abu Hasan pada malam hari dan mereka pun masuk ke rumah Imam tanpa pemberitahuan. Mereka mendapatinya sedang mendirikan shalat dengan pakaian dari wol (kulit kambing) dan topi dari kambing gibas dalam keadaan menghadap kiblat dan duduk di atas tanah. Permadaninya terdiri dari kerikil dan pasir. Lalu ia membaca al-Quran dengan meresapi maknanya yang terdiri dari berita gembira tentang surga dan ancaman neraka. Petugas Mutawakkil membawa Imam dalam keadaan seperti itu ke hadapan Mutawakkil. Ketika melihat Imam seperti itu, Mutawakkil menampakkan hormat kepadanya dan mendudukkanya di sisinya. Imam berbicara dengannya dan Mutawakkil menangis sambil berkata, "Wahai Abu Hasan! Apakah engkau mempunyai hutang?" Imam berkata, "Ya! Aku berhutang 400 dinar." Mutawakkil memerintahkan agar hutang beliau ditunaikan dan dengan penghormatan Imam diantarkan ke rumahnya kembali.
Muhammad bin Ahmad menukil dari paman ayahnya yang berkata, "Suatu hari, aku menjumpai Imam Hadi dan berkata, "Mutawakkil telah memutus uang tunjanganku karena memahami bahwa aku adalah pecintamu. Alangkah baik kalau Anda mengingatkannya tentang hal ini." Imam berkata, "Insya Allah, urusannya akan beres."
Pada malam hari, ketika aku berada di rumah, utusan Mutawakkil mengetuk pintu rumahku dan berkata, "Mutawakkil memanggilmu." Ketika aku pergi menghadap Mutawakkil, ia berkata, "Wahai Abu Musa! Kesibukan telah membuatku melupakanmu. Berapa banyak uang tunjanganmu!" Aku menjawab, "Sebagaimana yang biasa engkau berikan kepadaku." Lalu aku menjelaskannya secara terperinci. Maka, Mutawakkil memerintahkan agar tunjanganku diberikan."
Aku bertanya kepada Fatah bin Khaqan, "Apakah Ali bin Muhammad datang ke sini atau ia menulis surat untuk Mutawakkil?" Ia berkata, "Tidak! Kemudian aku menghadap Imam dan beliau berkata, "Wahai Abu Musa! Apakah jumlah ini membuatmu puas?" Aku berkata, "Berkat wujudmu wahai tuanku! Namun, mereka berkata bahwa Anda tidak pergi meminta kepada Mutawakkil."
Imam berkata, "Allah swt mengetahui bahwa kami, dalam menyelesaikan masalah, hanyalah berlindung kepada-Nya. Allah swt membiasakan kami dengan ini sehingga setiap kali kami berdoa, Dia akan mengabulkan doa kami. Aku khawatir bila kami berpaling dari kebiasaan kami ini, Allah swt akan berpaling juga dari karunia-Nya terhadap kami." *
Ilmu Imam Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ilmu dan makrifah serta semua pengetahuan menyangkut agama adalah di antara persyaratan penting dan prinsip imamah. Filsafat mengenai keharusan adanya imam dan tanggung jawabnya adalah untuk menjaga dan menyebarluaskan ahkam atau 'hukum agama'.
Dalam kaitan ini, tidak ada perbedaan di antara para imam. Sumber agama berada di tangan mereka dan mereka sangat bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban agama. Jika terdapat perbedaan dalam sumber hadis dari sebagian mereka, yakni dari sebagian mereka hanya terdapat sedikit hadis dibanding yang lainnya, maka hal itu dikarenakan perbedaan kondisi zaman dan tempat serta penghalang atau rintangan yang dilahirkan oleh para penguasa zalim dan musuh-musuh Ahlulbait.
Imam Hadi as, seperti juga ayah-ayah beliau, adalah seorang manusia sempurna dan memiliki semua kesempurnaan insani. Sumber agama berada di genggamannya. Ia begitu bersungguh-sungguh dalam menyebarkan syiar agama. Namun disayangkan, ia hidup dalam kondisi zaman yang sulit dengan berbagai tantangan sehingga tidak dapat menunaikan tugas sesuai dengan keinginan hatinya.
Imam Hadi hidup di dunia selama empat puluh dua tahun dan pada usia sekitar delapan tahun, beliau menjadi imam. Masa imamah-nya adalah tiga puluh tiga tahun. Di awal imamah-nya, beliau hidup selama dua puluh dua tahun di Madinah. Menurut kesaksian sejarah, para penguasa Baghdad dengan pasukannya selalu mengawasi gerak-gerik Imam. Sudah barang tentu pengawasan ini membuat gerak-gerik Imam dan juga para Syiah yang hendak menimba ilmu dan makrifah dari Imam menghadapi banyak pembatasan dan rintangan. Mutawakkil, Khalifah Abbasiah, tidak merasa cukup dengan meneropong Imam dari kejauhan. Lebih dari itu, ia memaksa Imam agar pindah dari Madinah ke Baghdad meski, secara formalitasnya, diiringi dengan penghormatan yang luar biasa.
Mutawakkil memberi Imam tempat di Samira, di tempat pusat militer, yang merupakan tempat tinggal para tentara Mutawakkil. Dari sejak itu (tahun 243 Hijriah), Imam secara resmi mendapat penjagaan super ketat dari pasukan rahasia dan tentara. Hubungan Imam dengan masyarakat Syiah terputus total atau berkurang drastis. Dalam kondisi seperti itu, siapakah yang akan berani untuk memberikan uang kepada Imam atau menimba ilmu darinya? Dari situlah, hadis-hadis yang dinukil dari Imam Hadi tidaklah banyak. Namun demikian, telah banyak juga hadis yang diriwayatkan dari Imam tentang pokok agama dan akidah, akhlak dan nasihat, serta berbagai bab fikih yang tercatat dalam buku-buku hadis. Dengan mempelajarinya, kita dapat mengetahui kedudukan ilmu pengetahuannya. Imam mendidik banyak sekali murid yang nama-nama mereka terekam dalam kitab-kitab hadis, sejarah, serta rijal. Penulis kitab Manaqib menyebutkan nama-nama sahabat beliau seperti berikut ini.
Dawud bin Zaid Abu Sulaim Zanggan, Husain bin Muhammad Madaini, Ahmad bin Ismail bin Yaqthin Basyar bin Basyar Nisyaburi, Sulaiman bin Ja'far Maruzi, Fateh bin Yazid Jurjani, Muhammad bin Sa'id bin Kaltsum (yang merupakan seorang mutakallim), Muawiyah bin Hakim Kufi, Ali bin Muhammad bin Muhammad Baghdadi, dan Abu Hasan bin Raja Abartai.*
Catatan Kaki: [1] QS. Al-Hujurat: 12
26
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KESEBELAS: IMAM HASAN ASKARI AS Imam Hasan Askari lahir pada tanggal 8 bulan Rabiuts Tsani tahun 232 Hijriah di Madinah. Namanya Hasan, nama ayahnya Ali bin Muhammad, dan nama ibunya Hadis atau Susan. Kunyah-nya adalah Abu Muhammad dan laqab-nya adalah Shamit, Hadi, Rafiq, Zaki, Naqi, Khalish, dan Askari. Beliau meninggal pada tanggal 8 Rabiuts Tsani tahun 260 Hijriah di Sarro Man Ra'a dan jasadnya yang suci dimakamkan di sisi makam ayahnya. Saat itu, kira-kira usianya telah berlalu 28 tahun dan masa imamah-nya adalah enam tahun.*
Nash-Nash Imamah Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalil-dalil dan burhan imamah terbagi menjadi dua: pertama, dalil-dalil umum yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah. Jenis dalil ini secara terperinci telah dibahas; kedua, dalil-dalil khusus yang dibuat untuk membuktikan imamah tiap-tiap imam secara khusus, seperti nash-nash yang dikeluarkan oleh setiap imam untuk imam selanjutnya. Kami di sini hanya menyebutkan nash-nash yang kedua.
Abduladzim bin Abdullah Hasani berkata, "Suatu hari, aku menjumpai Ali bin Muhammad. Beliau berkata, "Marhaban wahai Abu Qasim! Engkau adalah sahabat sejati kami." Kemudian aku berkata, Wahai putra Rasulullah! Aku ingin mengutarakan agamaku kepadamu. Jika disukai olehmu, aku akan tetap dengan agama itu hingga mati." Kemudian Imam berkata kepadaku, "Katakan wahai Abu Qasim!" Aku berkata, "Aku meyakini Tuhan yang satu dan tidak ada yang menyerupai-Nya." Kemudian aku mengatakan, "Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah serta penutup para nabi. Sepeninggalnya hingga hari kiamat, tidak akan ada nabi yang diutus. Imam dan khalifah serta wali amr setelah Nabi saw adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan setelahnya, adalah Hasan dan setelah itu, Husain, dan setelah itu, Ali bin Husain, dan setelah itu, Muhammad bin Ali, dan setelah itu, Ja'far bin Muhammad dan setelah itu, Musa bin Ja'far, dan setelah itu, Ali bin Musa, dan setelah itu, Muhammad bin Ali dan setelah itu, engkau adalah imam."
Ali bin Muhammad berkata, "Dan setelahku, adalah putraku, Hasan, sebagai imam. Maka, bagaimana umat nanti berkaitan dengan kepemimpinannya?" Aku berkata, "Wahai tuanku beritahukan kepadaku bagaimana keadaannya?" Beliau berkata, "Ia tidak akan terlihat dan penyebutan namanya akan diharamkan hingga ia keluar dan memenuhi bumi dengan keadilan dan kesejahteraan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman."
Setelah itu, Imam Ali bin Muhammad berkata, "Wahai Abu Qasim! Demi Allah, Islam adalah agama Allah yang dipilih-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Teguhkan hatimu pada agamamu itu! Semoga Allah meneguhkanmu di dunia dan akhirat pada akidah ini." *
Abu Hasyim Dawud bin Qasim Ja'fari mengatakan, "Aku mendengar dari Abu Hasan Shahib Askar yang berkata, "Penggantiku adalah putraku, Hasan. Lalu, bagaimana kalian berhubungan dengan pengganti setelah putraku?" Aku berkata, "Nyawaku kukorbankan untukmu! Mengapa?" Beliau berkata, "Sebab tiada seorang pun yang melihatnya dan kalian juga dilarang menyebut namanya." Aku berkata, "Lalu bagaimana kita menyebut namanya?" Beliau menjawab, "Katakan hujjah putra hujjah!"*
Shaqar bin Abi Dalaf berkata, " Setelah Mutawakkil menarik Abu Hasan ke Baghdad, aku pergi untuk memperoleh berita darinya. Mutawakkil memandangku dan berkata, "Duduklah!" Berbagai jenis pikiran menghujamku dan aku berkata kepada diriku sendiri, "Betapa salahnya aku datang kemari!" Mutawakkil mengisyaratkan kepadaku agar aku keluar. Kemudian ia berkata kepadaku, "Dengan tujuan apa engkau datang kemari?" Aku berkata, "Aku memiliki maksud baik." Ia berkata, "Mungkin engkau datang untuk melihat tuanmu?" Aku berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Siapakah maula-ku?" Ia berkata, "Diamlah! Maula-mu benar! Janganlah takut! Aku juga berada di atas agamamu." Aku berkata, "Alhamdulillah." Ia berkata, "Apakah engkau ingin bertemu dengan maula-ku?" Aku berkata, "Ya." Ia berkata, "Duduklah sampai pengantar surat keluar!"
Ketika keluar, ia berkata kepada ghulam-nya 'budak', "Ambillah tangan Shaqar dan bawalah dia ke kamar tempat seorang Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib) dipenjarakan dan biarkanlah mereka berdua!"
Shaqar berkata, "Budak itu membawaku ke sebuah kamar dan kemudian keluar. Aku melihat Abu Hasan sedang duduk di atas tikar dan di hadapannya, ada sebuah lubang kubur yang telah digali. Aku bersalaman dengannya dan duduk. Beliau berkata, "Wahai Shaqar! Mengapa engkau datang kemari?" Aku berkata, "Aku datang untuk mengetahui keadaanmu." Selanjutnya, aku memandang ke lubang kubur dan menangis. Imam memandangku dan berkata, "Wahai Shaqar! Janganlah bersedih! Engkau tidak akan mengalami marabahaya." Aku berkata, "Alhamdulillah." Selanjutnya aku berkata, "Maula-ku! Telah diriwayatkan sebuah hadis yang aku tidak memahami maknanya bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Janganlah engkau memusuhi hari-hari karena nanti hari-hari akan berbalik memusuhimu." Apakah makna hadis ini?" Beliau mengatakan, "Langit dan bumi berdiri berkat wujud kami. Sabt 'sabtu' adalah nama Rasulullah saw dan ahad adalah Amirul Mukminin dan itsnain adalah Hasan dan Husain sedangkan tsulatsa adalah Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, dan Ja'far bin Muhammad. Arbia' adalah Musa bin Ja'far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, dan aku sendiri. Khumais adalah putraku Hasan dan Jumu'ah adalah putra Hasan. Di sekitarnyalah, akan berkumpul kelompok penuntut kebenaran dan dialah yang memenuhi bumi dengan keadilan dan kesejahteraan setelah bumi, sebelumnya, dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan. Inilah makna hari-hari. Maka, janganlah kalian memusuhi hari-hari sebab pada hari kiamat nanti, mereka akan menjadi musuhmu." Setelah itu, beliau berkata kepadaku, "Wahai Shaqar! Ucapkanlah selamat tinggal kepadaku dan pergilah karena engkau tidak dalam keadaan aman di sini!"*
Shaqar bin Abi Dulaf berkata, "Aku mendengar dari Ali bin Muhammad bin Ali yang berkata, "Setelahku, Hasan, putraku, adalah imam dan setelah Hasan, putranya adalah qaim yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan."*
Yahya bin Yasar berkata, "Abu Hasan Ali bin Muhammad pada empat bulan sebelum wafatnya berwasiat kepada putranya, Hasan, dan mengisyaratkan bahwa sang putra adalah imam setelahnya dan sekelompok lainnya dari orang-orang dekatnya dijadikannya sebagai saksi."*
Ali bin Umar Nufali berkata, "Aku berada di rumah Abu Hasan. Kemudian putranya, Muhammad, lewat di sisi kami. Aku berkata, "Kukorbankan diriku untukmu! Apakah Muhammad adalah imam kami sepeninggalmu nanti?" Beliau menjawab, "Tidak. Imam kalian setelahku adalah Hasan."*
Abdullah bin Muhammad Isfahani berkata, "Abu Hasan berkata kepadaku, "Imam kalian setelahku adalah orang yang nanti mendirikan shalat jenazahku." Hal ini diucapkan beliau manakala Abu Muhammad belum dikenal dan diketahui. Setelah Abu Hasan wafat, putranya, Abu Muhammad, mendirikan shalat jenazahnya."*
Ali bin Ja'far berkata, "Waktu itu aku berada di sisi Abu Hasan. Kemudian putranya, Muhammad, meninggal dunia. Imam berkata kepada putranya, Hasan, "Putraku! Bersyukurlah kepada Allah karena Dia menetapkan perkara imamah kepada dirimu."*
Ahmad bin Muhammad bin Abdillah bin Marwan berkata, "Tatkala Abu Ja'far Muhammad bin Ali meninggal, aku hadir. Abu Hasan datang dan disediakan kursi untuk tempat duduknya. Kemudian beliau duduk sedangkan Ahlulbaitnya berada di sekelilingnya. Putra Abu Hasan, Abu Muhammad, juga berdiri di salah satu sudut ruangan. Setelah mengafani dan mengebumikan Abu Ja'far, Abu Hasan memandang putranya, Abu Muhammad, dan berkata, "Anakku! Bersyukurlah kepada Allah sebab Dia telah menetapkanmu sebagai imam."*
Ali bin Mahziyar berkata, "Aku berkata kepada Abu Hasan, "Apabila -semoga dijauhkan oleh Allah- terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri Anda, kepada siapakah kami akan merujuk?" Beliau berkata, "Imamah akan jatuh ke pundak putraku yang paling besar, Hasan."*
Ali bin Amer Athar berkata, "Aku tiba di sisi Abu Hasan dalam keadaan putranya, Abu Ja'far, masih hidup dan kami berpikir bahwa Abu Ja'far-lah yang menjadi pengganti ayahnya nanti. Aku bertanya, "Kepada putramu yang manakah nanti kami akan merujuk sepeninggalmu?" Beliau menjawab, "Untuk sementara ini, janganlah berpikir untuk itu dahulu hingga datang petunjuk dari Allah." Ali bin Amer berkata, "Beberapa lama setelah itu, aku menulis surat kepada beliau, "Kepada siapakah jabatan imamah akan jatuh?" Sebagai jawaban terhadap suratku itu, beliau menulis, "Kepada anakku yang paling besar dan Abu Muhammad adalah lebih besar daripada Abu Ja'far."*
Sa'ad bin Abdillah menukil dari sekelompok Bani Hasyim, di antaranya adalah Hasan bin Husain Afthas, bahwa sepeninggal Muhammad bin Ali bin Muhammad, "Kami hadir di rumah Abu Hasan. Sebuah permadani terhampar di ruangan rumah Imam dan hadirin duduk di sekeliling beliau. Kami memperkirakan jamaah yang hadir dari Bani Abbas dan Bani Ali bin Abi Thalib sekitar seratus lima puluh orang, terkecuali para budak dan masyarakat lainnya.
Di saat itu, Hasan bin Ali, yang dalam keadaan dikelilingi banyak orang, tiba di majelis dan duduk di sebelah kanan ayahnya. Abu Hasan memperhatikannya dan berkata, "Anakku! Bersyukurlah kepada Allah karena Dia menetapkan perkara imamah pada dirimu."*
Kemudian Hasan menangis dan mengucapkan kalimar istirja' (inna lillahi wainna ilaihi rajiun). Ia berkata, Kami bertanya, "Siapakah dia?" Dijawab, "Putranya, Hasan. Sepertinya ia berusia dua puluh tahun. Di sinilah, kami pertama kali mengenalinya dan memahami bahwa Abu Hasan melantiknya sebagai imam sepeninggalnya nanti."*
Muhammad bin Yahya mengatakan, "Sepeninggal Abu Ja'far, aku berjumpa dengan Hadrat Abu Hasan dan aku mengucapkan belasungkawa atas kematian putranya. Dalam keadaan ketika Abu Muhammad duduk di sisinya dan menangis, Abu Hasan memperhatikannya dan berkata, "Allah swt menjadikanmu sebagai penggantinya. Maka, bersyukurlah kepada Allah."*
Syahuwiyah bin Abdullah berkata, "Abu Hasan menulis kepadaku, "Engkau ingin bertanya tentang siapakah penggantiku setelah Abu Ja'far dan engkau khawatir. Namun, jangan engkau bimbang karena Allah swt tidak akan menyesatkan orang yang diberi-Nya petunjuk. Imammu adalah Abu Muhammad. Semua ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia berada di sisinya. Allah swt akan mendahulukan dan mengakhirkan siapa saja yang dikehendakinya , Ayat mana saja yang Kami hapuskan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. [1]
Keutamaan dan Kemuliaan Syaikh Mufid menulis, "Setelah Abu Hasan, Ali bin Muhammad menunjuk putranya, Abu Muhammad Hasan bin Ali sebagai imam karena semua keutamaan berkumpul padanya. Dalam kaitan dengan apa yang menyebabkan kelayakan menjadi imam dan pemimpin, seperti ilmu, zuhud, kesempurnaan, akal, ishmah, keberanian, kedermawanan, banyaknya ibadah, Abu Muhammad lebih unggul daripada masyarakat di zamannya. Selain dari itu, ia telah ditunjuk oleh ayahnya yang mulia sebagai imam."*
Husain bin Muhammad Asy'ari dan Muhammad bin Yahya serta juga ada selain dari mereka mengatakan, "Ahmad bin Ubaidillah bin Khaqan di Qum ditugaskan untuk menjaga harta pemerintahan dan mengambil pajak. Dia sangat memusuhi Ahlulbait. Pada suatu hari, di hadapannya, mencuat pembicaraan mengenai alawiyyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) dan mazhab mereka. Dia mengatakan, "Di wilayah Sarro Man Ra'a, aku tidak mengenal dan melihat seorang pun dari Bani Alawiyin yang dalam perilaku, waqar dan iffah, kedermawanan, serta kewibawaan di sisi Ahlulbait dan Bani Hasyim yang menyerupai Hasan bin Ali bin Muhammad, bahkan orang-orang tua sekalipun, para komandan tentara, dan para menteri lebih mendahulukannya daripada diri mereka sendiri."
Ahmad bin Ubaidillah mengatakan, "Pada suatu hari, ayahku mengadakan suatu pertemuan umum dan aku berdiri. Tiba-tiba beberapa pegawai istana masuk dan bertanya, "Apakah Abu Muhammad bin Ridha ada di rumah." Ayahku dengan suara keras berkata, "Ijinkanlah mereka masuk!" Aku heran menyaksikan pegawai istana begitu berani memanggil ayahku dengan kunyah karena hanya khalifah dan putra mahkota yang berhak menyebut dengan panggilan kunyah. Di saat itu, seorang pemuda yang masih sangat remaja dengan badannya yang tinggi serta rupanya yang tampan datang dengan begitu berwibawa. Ketika melihatnya, ayahku bangun dan maju beberapa langkah untuk menyambutnya. Aku tidak pernah melihat ayahku melakukan hal seperti itu untuk orang lain sebelumnya. Lalu ayahku memeluknya dan mencium wajahnya dan lantas mendudukkannya di tempatnya. Ayahku pun duduk di hadapannya dan sibuk berbicara. Di tengah hangatnya pembicaraan, berkali-kali ayahku mengatakan, "Aku korbankan diriku untukmu."
Aku begitu takjub dengan perilaku ayahku. Di saat itulah, penjaga pintu istana datang dan berkata, "Muwaffiq Ahmad bin Mutawakkil Abbasi meminta ijin untuk masuk." Adalah menjadi kebiasaan ayahku setiap kali Muwaffiq meminta ijin masuk, maka para penjaga pintu dan kepala tentara berdiri membentuk dua barisan hingga ia masuk dan keluar. Namun untuk saat itu, ayahku berkata kepada hadirin, "Bawalah Abu Muhammad ke barisan belakang sehingga Muwaffiq tidak melihatnya!"
Muwaffiq masuk dan kemudian ayahku memeluknya lalu keluar. Aku berkata kepada para penjaga pintu ayahku, "Siapakah orang yang begitu ayahku dan kalian hormati itu?" Mereka menjawab, "Seorang lelaki alawi yang namanya adalah Hasan bin Ali. Ia populer dengan nama Ibn Ridha."
Dari ucapan ini, keherananku semakin bertambah. Ketika ayahku selesai melaksanakan shalat isya' dan duduk sendirian untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kantor, aku menghampirinya. Ayahku berkata, "Ahmad! Apakah engkau ada keperluan?" Aku berkata, "Ya, Ayahku! Apabila engkau mengijinkan, siapakah lelaki yang pagi tadi datang dan sangat engkau hormati?" Ayahku mengatakan, "Lelaki itu adalah Imam kaum rafidzi (Syiah), Hasan bin Ali yang termashur dengan nama Ibn Ridha." Setelah beberapa lama diam, ia berkata, "Anakku! Apabila khilafah ini diambil dari Bani Abbas, maka di antara Bani Hasyim, tiada yang layak mendudukinya selain dia karena, dalam keutamaan dan iffah, keterhindaran dari hawa nafsu, kezuhudan, ibadah, serta akhlak yang baik, tiada yang dapat menandinginya. Apabila melihat ayahnya, engkau akan menjumpainya sebagai orang yang sangat dermawan dan mulia."
Ahmad berkata, "Aku marah terhadap perilaku ayahku dan aku memutuskan untuk mengkaji tentang Ibn Ridha. Dalam kaitan ini, aku berbicara dengan Bani Hasyim, para komandan tentara, pegawai birokrasi, hakim, para ahli fikih, serta lapisan masyarakat lainnya. Semuanya menaruh hormat kepadanya dan berbicara dengan baik serta melebihkannya daripada orang lain. Dengan cara ini, aku menyadari kebesaran dan keagungannya."*
Muhammad bin Ismail Alawi berkata, "Abu Muhammad dipenjara di sisi Ali bin Autamas yang merupakan musuh Ahlulbait dan Ali bin Abi Thalib. Dikatakan kepada Ibn Autamas, "Berbuatlah kepada Abu Muhammad seperti ini dan seperti itu!" Beberapa hari setelah itu, Ali ibn Autamas berubah menjadi pecinta Ahlulbait dan sangat menghormati Abu Muhammad sehingga selalu menyebut-nyebutnya dengan kebaikan."*
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Musa bin Ja'far berkata, "Sekelompok Bani Abbas pergi menemui Shalih bin Washif, penjaga penjara tempat Abu Muhammad ditahan dan mereka berkata, "Di penjara, jangan biarkan Abu Muhammad menjalin hari-harinya dengan nyaman. Namun, persulitlah dia!" Penjaga itu bertanya, "Apa yang harus kulakukan. Dua orang penjahat kutempatkan di selnya. Namun, keajaiban datang. beberapa hari kemudian, dua penjahat itu menjadi Ahli ibadah dan puasa bahkan mencapai tingkatan yang tinggi."
Dua penjahat itu dipanggil dan mereka dibentak, "Celaka kalian! Mengapa kalian tidak mempersulit lelaki yang dipenjara ini?" keduanya berkata, "Apa yang harus kami katakan tentang lelaki yang setiap harinya berpuasa dan malamnya bertahajud dan beribadah? Tiada pernah ia berbicara dengan siapa pun dan ia tidak memiliki kesibukan kecuali beribadah. Ketika ia melihat kami, tubuh kami gemetar dan terciptalah suatu keadaan sehingga kami merasa tidak lagi memiliki diri kami ini." Ketika mendengar ucapan ini, mereka berputus asa."*
Abu Hasyim Ja'fari menegaskan, "Aku menulis sebuah surat kepada Abu Muhammad dan mengadu tentang sempitnya penjara dan betapa tersiksanya diriku dengan rantai dan gembok ini. Dalam jawabannya, ia menulis, "Hari ini, engkau akan shalat ashar di rumahmu sendiri." Secara kebetulan, pada hari itu, aku telah dibebaskan dari penjara dan aku shalat zhuhur di rumahku sendiri. Dari segi kehidupan, aku benar-benar dalam kondisi sulit dan aku berniat untuk menjelaskannya di surat untuk Imam. Namun, aku merasa malu. Akan tetapi, ketika aku tiba di rumahku, Imam mengirim untukku seratus dinar dan menulis, " Setiap kali memiliki keperluan, janganlah engkau malu dan mintalah kepadaku karena Insya Allah keperluanmu akan kupenuhi."*
Muhammad bin Abi Zakfaran menukilkan dari ibu Abu Muhammad yang berkata, " Pada suatu hari, Abu Muhammad berkata kepadaku, "Pada tahun 260, aku akan ditimpa sebuah kesulitan yang luar biasa." Aku khawatir musibah besar itu benar-benar akan memukulku sehingga aku sangat sedih dan menangis. Kemudian Imam berkata, "Tidak ada jalan lain. Musibah itu akan terjadi dan janganlah ibu kehilangan kesabaran lalu mengeluh!"
Pada bulan Shafar tahun 260 Hijriah, ibu Abu Muhammad merasakan kecemasan yang luar biasa dan seringkali meninggalkan Madinah untuk mencari berita. Pada suatu hari, ibu Imam diberitahu bahwa Khalifah Muktamid telah menangkap Imam dan saudaranya, Ja'far. Muktamid secara terus menerus mencari tahu keadaan Imam dari para penjaga penjara dan dalam jawabannya, penjaga penjara mengatakan, "Ia selalu beribadah. Pada siang hari berpuasa dan di malam hari mendirikan shalat."
Pada suatu hari, penjaga penjara kembali ditanya oleh Khalifah Muktamid tentang keadaan Imam dan penjaga penjara kembali menjelaskan keadaan yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Khalifah Muktamid berkata, "Pergilah dan bebaskan dia. Sampaikan salamku kepadanya dan katakan agar ia pulang ke rumahnya!"
Penjaga penjara berkata, "Manakala tiba di pintu penjara, aku menyaksikan sebuah keledai yang telah disiapkan untuk kendaraan Imam. Aku masuk ke dalam penjara dan melihat Imam yang mengenakan sepatu dan pakaian khususnya telah siap untuk keluar. Ketika melihatku, ia berdiri dan aku menyampaikan vonis pembebasannya. Ia keluar dari penjara dan menaiki kuda. Namun, ia tidak bergerak. Aku mengatakan, "Selagi saudaraku, Ja'far, belum bebas, aku tidak akan pergi. Pergilah dan katakan kepada Muktamid bahwa aku dan Ja'far keluar bersama. Apabila kami tidak pulang bersama, banyak sekali kesulitan yang akan terjadi. Penjaga penjara menyampaikan pesan Imam kepada Muktamid. Muktamid dalam jawabannya mengatakan, "Aku membebaskan Ja'far karena Anda.
Walaupun aku memenjarakannya karena kejahatan yang dilakukan terhadap dirinya dan juga engkau." Ja'far akhirnya dibebaskan dan mereka berdua pulang ke rumah bersama."*
Telah dinukilkan bahwa Bahlul melihat Imam Hasan Askari pada masa kecilnya menangis ketika sedang memperhatikan permainan anak-anak sebayanya. Bahlul mengira bahwa Imam tidak memiliki mainan untuk bermain dan karena itulah, ia menangis. Bahlul menghampiri Imam dan berkata, "Jangan engkau menangis! Aku akan membelikan untukmu mainan." Imam berkata, "Wahai orang yang kurang akal! Kami tidak diciptakan untuk bermain." Bahlul berkata, "Lalu untuk apa kita diciptakan." Beliau menjawab, "Untuk ilmu dan ibadah." Bahlul berkata, "Apa dalilnya?" Imam berkata, "Dalam al-Quran Allah berfirman, Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.[2]
Lalu Bahlul meminta nasehat beliau. Imam membacakan syair dan kemudian pingsan. Ketika siuman, Bahlul berkata, "Engkau kan masih kecil dan belum sampai usia taklif. Maka, apa yang engkau takutkan?" Imam berkata, "Aku melihat ibuku membakar kayu-kayu besar dengan ranting-ranting kecil. Aku takut kalau menjadi ranting kecil neraka."*
Muhammad bin Ali bin Ibrahim bin Musa bin Ja'far mengatakan, "Kehidupan kami sulit. Maka, ayahku berkata, "Marilah kita bersama-sama menemui Abu Muhammad karena kedermawanan dan pemberiannya begitu termashur." Aku berkata kepada ayahku, "Apakah engkau mengenalnya?" Ayahku menjawab, "Aku belum mengenalnya dan belum pernah melihatnya."
Kami bergerak menuju Imam bersama ayahku. Di tengah perjalanan, ayahku berkata, "Aku membutuhkan lima ratus dirham: dua ratus dirham untuk pakaian, dua ratus dirham untuk menunaikan hutang, dan seratus dirham untuk biaya kehidupan." Aku di dalam diriku mengatakan, "Seandainya aku juga diberi tiga ratus dirham: seratus dirham untuk membeli keledai, seratus dirham untuk keperluan kehidupan, dan seratus dirham untuk membeli pakaian. Lalu aku akan pergi ke Jabal.
Muhammad berkata, "Ketika kami tiba di rumah Imam bersama ayahku, seorang budak keluar dan berkata, "Ali bin Ibrahim dan putranya, Muhammad, agar masuk ke rumah."
Ketika kami menjumpai Imam dan bersalaman dengannya, Imam berkata, "Wahai Ali! Mengapa engkau baru saja kemari?" Ayahku berkata, "Kami malu datang kemari dalam keadaan seperti ini."
Tatkala keluar, budak beliau memberikan sebuah kantung kepada ayahku dan berkata, "Ada lima ratus dirham di kantung ini: dua ratus dirham untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membayar hutang, dan seratus dirham untuk keperluan hidup. Setelah itu, sebuah kantung juga diberikan kepadaku dan dikatakan, "Ada tiga ratus dirham di kantung itu: seratus dirham untuk membeli keledai dan dua ratus dirham untuk keperluan hidup. Janganlah engkau pergi ke Jabal tetapi pergilah ke Saura'!"
Muhammad membatalkan niatnya untuk pergi ke Jabal tetapi ke Saura' dan menikah di sana. Setelah beberapa lama, dikirimlah seratus dinar dari pihak Imam Hasan untuknya."*
Ilmu Pengetahuan Imam Imam Hasan Askari seperti juga ayah-ayahnya yang mulia mengetahui semua ilmu, hukum, serta peraturan yang berkaitan dengan agama. Sumber ilmu agama dan imamah berada di tangan Imam. Imam memiliki potensi ishmah dan dukungan penjagaan Ilahi. Penyebaran dan pemeliharaan ilmu agama merupakan tanggung jawab Imam. Imam sama sekali tidak pernah merasa enggan untuk melaksanakan kewajiban sucinya itu.
Hanya saja para imam itu tidaklah hidup dalam kondisi dan situasi yang sama. Setiap imam menjalankan kewajibannya, seperti menyebarluaskan pengetahuan agama dan makrifah syariat sesuai dengan fasilitas yang dimiliki masing-masing, yang tentunya berkaitan dengan kondisi dan keadaan yang berbeda. Ilmu dan makrifah yang dinukil oleh Imam Hasan Askari, sayangnya, tidaklah sebanyak yang dinukil oleh ayah-ayahnya, khususnya Imam Baqir dan Imam Ja'far Shadiq. Mengapa demikian. Untuk menjawabnya, perlulah diperhatikan dua hal berikut ini.
Pertama, periode imamah beliau relatif singkat, yakni tidak lebih dari enam tahun. Kedua, Imam melewati priode enam tahun itu di Sarro Man Ra'a, sebuah wilayah hunian para tentara. Oleh sebab itu, kehidupan Imam diteropong oleh para petugas mata-mata, baik secara terang-terangan maupun rahasia. Pada dasarnya, ucapan dan perilaku Imam serta orang-orang yang berkunjung kepadanya benar-benar terbatas dan terawasi. Oleh karena itulah -dan juga oleh sebab-sebab lainnya, hadis-hadis yang diriwayatkan dari Imam tidaklah sebanyak yang diriwayatkan dari ayah-ayahnya.
Walaupun demikian, tidak sedikit hadis yang dinukil dari Imam Hasan Askari dalam berbagai bab, seperti tauhid, nubuwah, ma'ad, imamah, akhlak, nasehat, dan berbagai bab fikih serta yang ada dalam kitab hadis. Namun demikian, kami memberikan kemungkinan bahwa banyak sekali hadis yang dikeluarkan dari Imam Hasan Askari dan imam-imam lainnya telah hilang di sepanjang sejarah sehingga tidak sampai kepada kita. Di dalam masa yang pendek, yakni enam tahun, dengan semua pembatasan yang ada, Imam telah mendidik banyak murid dan perawi yang nama-nama mereka telah terekam dalam kitab-kitab yang terkait.*
Catatan Kaki: [2] QS. al-Mukminun: 115.
27
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
IMAM KEDUABELAS: IMAM MAHDI AS Hujjah bin Hasan lahir di Samira pada malam pertengahan Sya'ban, tahun 255 Hijriah. Namanya, seperti nama Rasulullah, adalah Muhammad dan nama panggilan atau kunyah-nya adalah nama panggilan Rasulullah dan Abu Qasim.
Ayahnya adalah Imam Hasan Askari dan nama ibunya adalah Narjis. Tatkala ayahnya wafat, Imam Mahdi berusia lima tahun. dalam usianya yang muda itu, Imam Mahdi memiliki ilmu dan hikmah yang luas sehingga mencapai maqom imamah, sebagaimana Nabi Yahya di masa kecilnya telah menduduki maqom imam dan Nabi Isa as bin Maryam telah menjadi nabi sejak berada dalam buaian.*
Laqab-nya adalah Hujjah, Qaim, Mahdi, Khalaf, Shalih, Shahibuz Zaman, Shahib.*
Orang-Orang yang Melihatnya di Masa Kecil Sejumlah orang dari sahabat khusus Imam Hasan Askari pernah melihat putranya di masa kecil atau mendengar tentang beritanya, di antaranya adalah berikut ini.
Hakimah Khatun, bibi Imam Hasan Askari, berkata, "Pada malam kelahiran Qaim (Imam Mahdi), aku berada di rumah Imam Hasan dan bahkan berada di situ saat Imam Mahdi dilahirkan. Di masa itu, aku melihatnya langsung dan setelah itu, aku melihatnya beberapa kali."*
Fatah Maula Zurari mengatakan, "Aku mendengar dari Abu Ali bin Muthahhar yang berkata, "Aku melihat putra Imam Hasan Askari. Imam Hasan juga menyifati seberapa tinggi tubuh putranya." *
Amer Ahwazi mengatakan, "Abu Muhammad menunjukkan putranya kepadaku dan berkata, "Ini adalah shahib kalian."*
Ibrahim bin Muhammad menukil dari Abu Nasher Tharif yang berkata, "Aku menyaksikan putra Imam Hasan as." *
Nasim, pembantu Imam Hasan, berkata, "Aku melihatnya dua malam setelah kelahiran Shahibuz Zaman. Ketika aku bersin, Imam Mahdi mendoakan, dan aku sangat gembira mendengar itu."*
Abu Ja'far Umari menceritakan, "Tatkala Imam Mahdi lahir, Abu Muhammad memanggilku agar menemuinya. Ketika aku datang, beliau berkata, "Putraku ini adalah Shahib kalian setelahku dan khalifahku untuk kalian. Dialah qaim yang masyarakat dunia menantikan kemunculannya untuk memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman."*
Muhammad bin Hasan Karkhi menceritakan, "Aku mendengar dari Abu Harun yang berkata, "Aku melihat Shahibuz Zaman. Kelahirannya adalah pada hari Jumat, tahun 256."*
Muhammad bin Ibrahim Kufi berkata, "Abu Muhammad menyembelih kambing untuk salah seorang sahabat dan berkata, "Ini adalah aqiqah putraku, Muhammad."*
Hasan bin Mundzir berkata, "Pada suatu hari, Hamzah bin Abu Fatah datang dan berkata, "Kabar gembira! Semalam, telah lahir seorang bayi, putra Abu Muhammad, dan ia meminta kami untuk merahasiakannya." Aku bertanya, "Siapakah namanya?" Beliau berkata, "Namanya adalah Muhammad dan nama panggilannya adalah Ja'far."*
Hasan bin Husain Alawi berkata, "Aku menjumpai Abu Muhammad Hasan bin Ali di Sarro Man Ra'a dan aku mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, al-Qaim."*
Ibrahim, sahabat Abu Muhammad, berkata, "Tuanku Abu Hasan mengirim empat kambing untukku beserta sebuah surat yang bertuliskan, "Gunakanlah empat kambing ini untuk aqiqah putraku, Mahdi! Ambillah juga untuk dirimu sendiri dari daging kambing itu dan berikan juga kepada orang-orang Syiah!"*
Nash-Nash Imamah Dalam kaitan ini, Syaikh Mufid menulis, "Sebelumnya, kami telah menyinggung nash-nash yang dikeluarkan Rasulullah, Imam Ali bin Abi Thalib, setiap imam secara bergiliran, dan akhirnya dari ayahnya, Imam Hasan Askari, dalam riwayat tentang imamah Imam Mahdi as. Imam Hasan Askari menunjuk dan memperkenalkan putranya sebagai imam di sisi tsiqat dari para sahabat dan Syiah-Syiah khususnya."*
Semua menulis, "Di antara dalil terhadap imamah al-Qaim Muhammad bin Hasan adalah hukum akal mengenai keharusan wujud imam suci di setiap zaman yang terpelihara dari dosa dan kesalahan serta tidak memerlukan ilmu manusia pada zamannya. Hal ini karena masa tidak boleh kosong dari penguasa yang menyeru manusia kepada kemaslahatan, menjauhkan mereka dari kerusakan, menghukum para penjahat, memberikan petunjuk kepada yang jahil (bodoh), menjalankan hudud Ilahi (hukuman), menunjuk para komandan, memelihara negara Islam dari agresi musuh, serta mendirikan shalat Jumat dan Idul Fitri.
Dari berbagai dalil, telah terbuktikan bahwa manusia semacam ini haruslah suci dan telah terbuktikan bahwa imam-imam sebelumnya harus memperkenalkan imam setelah dirinya atau membuktikan imamah-nya bagi masyarakat dengan cara menunjukkan sebuah mukjizat.
Sepeninggal Imam Hasan Askari, seorang lelaki yang memiliki kelebihan sepertinya tiada lain adalah putranya sendiri, Imam Mahdi as. Oleh karena itulah, imamah-nya terbuktikan dan tidak memerlukan penyebutan nash lagi.*
Ishaq bin Sa'ad Asy'ari mengatakan, "Aku menjumpai Abu Muhammad Hasan bin Ali Askari dan berkata, "Wahai putra Rasulullah! Siapakah khalifah dan imam setelahmu?" Imam berdiri dan dengan begitu cepat masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dalam keadaan menggendong seorang anak di pundaknya. Anak itu seperti bulan purnama. Usianya kira-kira tiga tahun. Kemudian Imam berkata, "Wahai Ahmad bin Ishaq! Sekiranya engkau tidak mulia di sisi Allah dan para imam suci, maka aku tidak akan menunjukkan putraku ini kepadamu. Inilah putraku yang namanya dan nama panggilannya sama dengan Rasulullah saw. Dialah yang akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman. Wahai Ahmad! Putraku ini seperti Khidhir dan Dzulqarnain. Demi Allah! Dia akan gaib dan selama gaibnya itu, semua orang akan binasa kecuali mereka yang mengukuhkannya dengan imamah dan mendoakan percepatan kemunculannya." Ahmad bin Ishaq bertanya mengenai apakah ada tanda-tanda yang dapat membuat hatinya yakin dengan itu? Dalam keadaan itu, anak tersebut dengan bahasa Arab yang fasih berkata, "Akulah baqiyyatullah di bumi-Nya dan yang melakukan pembalasan terhadap musuh-musuh-Nya."
Ahmad berkata, "Aku sangat senang mendengar berita ini dan lalu keluar. Di hari lainnya, aku kembali dan berkata, "Wahai putra Rasulullah! Aku gembira dengan beritamu ini. Engkau telah banyak berbuat baik kepadaku. Apakah maksudmu dari sunnah Khidzir dan Dzulqarnain?" Imam Hasan Askari mengatakan, "Kegaiban." Aku berkata, "Wahai putra Rasulullah! Apakah kegaibannya akan terjadi begitu lama?" Beliau berkata, "Kegaibannya akan berlangsung begitu lama hingga banyak orang yang meyakini imamah-nya akan kehilangan keyakinannya itu, kecuali orang-orang yang telah menanamkan wilayah kami di hati mereka dan keimanan telah merasuk ke dalam kalbu mereka. Wahai Ahmad bin Ishaq! Kegaibannya adalah atas perintah Allah dan sebuah rahasia dari rahasia Ilahi.
Apa yang kukatakan ini, jagalah dengan baik dan simpanlah dari orang-orang yang bukan muhrim! Berterimakasihlah kepada Allah hingga engkau bersama dengan kami sampai hari kiamat!"*
Muhammad bin Ali bin Bilal berkata, "Abu Muhammad Hasan bin Ali, dua tahun sebelum wafatnya, memberitahuku tentang siapakah calon penggantinya. Tiga hari sebelum wafatnya, beliau telah memberitahuku siapakah nama penggantinya." *
Amer Ahwazi berkata, "Abu Muhammad menunjukkan putranya kepadaku dan berkata, "Putraku ini akan menjadi shahib kalian sepeninggalku nanti."*
Muhammad bin Usman Umari berkata, "Abu Muhammad menunjukkan putranya kepada kami di rumahnya ketika jumlah kami waktu itu empat puluh orang.
Beliau berkata, "Putraku ini akan menjadi imam dan khalifah kalian setelahku nanti. Patuhilah dia dan janganlah kalian berselisih karena kalian akan binasa pada agama kalian! Ketahuilah! Setelah ini, kalian tidak akan melihatnya lagi." Mereka berkata, "Beberapa hari kemudian, Abu Muhammad meninggal dunia."*
Musa bin Ja'far bin Wahab Baghdadi berkata, "Aku mendengar dari Abu Muhammad Hasan bin Ali yang berkata, "Seolah-olah aku melihat kalian berselisih soal penggantiku. Ketahuilah! Barangsiapa yang menerima para imam pasca-Rasulullah saw tetapi menolak imamah putraku bagaikan orang yang menerima kenabian para nabi tetapi menolak kenabian Muhammad karena kepatuhan terhadap yang paling akhir dari kami adalah seperti orang yang mematuhi orang yang pertama dari kami, dan orang yang memungkiri orang yang paling akhir dari kami adalah seperti orang yang memungkiri orang pertama dari kami.
Ketahuilah bahwa putraku akan gaib hingga masyarakat akan meragukan keberadaannya, kecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah."*
Muhammad bin Usman Umari berkata, "Aku mendengar dari ayahku yang berkata, "Abu Muhammad Hasan bin Ali telah ditanya mengenai hadis ini, bahwasanya telah sampai dari ayah-ayahnya yang berkata, "Bumi hingga hari kiamat tidak akan kosong dari hujjah. Barangsiapa yang mati sedangkan ia belum mengetahui imamnya mati secara jahiliah." Kemudian dikatakan kepada beliau, "Siapakah hujjah dan imam setelah kalian?" Beliau mengatakan, "Putraku, Muhammad, setelahku adalah imam dan hujjah. Barangsiapa yang mati dan tidak mengenalnya mati dalam keadaan jahiliah. Sadarilah bahwa putraku akan gaib hingga orang-orang bodoh akan mengalami kebingungan dan ahli kebatilan akan binasa! Orang-orang yang menetapkan waktu untuk kemunculannya telah berdusta. Dia akan bangkit seolah-olah aku sedang menyaksikan bendera-bendera putih sedang berkibar di atas kepalanya di Najaf."*
Sejumlah sahabat menukil bahwa tatkala budak Abu Muhammad hamil, budak itu berkata kepada Abu Muhammad, "Tidak lama lagi seorang anak lelaki dari keturunanmu akan lahir. Namanya Muhammad. Dia adalah Qaim sepeninggalku."*
Shaqar bin Abi Dulaf berkata, "Aku mendengar dari Ali bin Muhammad Ali yang berkata, "Imam setelahku adalah Hasan, putraku, dan setelah Hasan, putranya Qaim yang akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman."*
Dalil-Dalil Lainnya Selain dari nash-nash yang disebutkan tadi, kami juga memiliki banyak sekali hadis yang dapat digunakan untuk membuktikan wujud Imam kedua belas. Hadis-hadis tersebut dapat dibagi menjadi beberapa golongan.
Golongan pertama adalah hadis-hadis yang datangnya dari Rasulullah saw yang di dalamnya Rasulullah bersabda bahwa para khalifah dan umara' setelahnya berjumlah dua belas orang. Rasulullah bersabda, "Semuanya dari Quraisy dan dengan keberadaan mereka, agama Islam akan kekal dan tetap tegak."
Amir bin Sa'ad bin Waqqash berkata, "Aku menulis kepada Jabir bin Samrah, "Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang kaudengar dari Rasulullah saw! Dalam jawabannya, ia menulis, "Pada hari Jumat, ketika Aslami pada malam harinya dirajam, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Agama Islam akan terus tegak hingga hari kiamat selama dua belas orang khalifah yang semuanya dari Quraisy akan menjadi pemimpin umat." *
Dari hadis semacam ini, dapatlah disimpulkan bahwa: pertama, agama Islam akan terus kekal hingga hari kiamat; kedua, di dalam masa ini, dua belas orang akan datang sebagai khalifah Rasulullah saw yang semuanya adalah dari Quraisy.
Dalam menentukan substansi dua belas orang ini, telah diberikan beberapa kemungkinan yang tidak satu pun darinya memiliki sanad dan alasan yang dapat dibenarkan. Yang dapat diterima hanyalah akidah Imamiyah yang memandang bahwa para imam dan khalifah pasca-Rasulullah berjumlah dua belas orang dan semuanya adalah dari Quraisy dan Bani Hasyim sementara yang kedua belas adalah Muhammad bin Hasan Askari yang hidup namun gaib dalam pandangan manusia. Ia akan muncul pada masa yang sesuai dan akan melakukan kebangkitan serta memenuhi dunia dengan keadilan.
Golongan kedua adalah hadis-hadis yang menyebutkan bahwa para imam berjumlah dua belas orang dan yang terakhirnya bernama Qaim atau Mahdi.
Salman Farisi mengatakan, "Aku menjumpai Rasulullah saw dalam keadaan Husain duduk di atas pahanya. Rasulullah mencium mata Husain dan mengecup bibirnya seraya bersabda, "Engkau adalah sayyid, putra sayyid, dan ayah para sayyid. Engkau adalah imam, putra imam, dan ayah para imam. Engkau adalah hujjah, putra hujjah, dan ayah sembilan hujjah yang kesembilannya ialah Qaim."*
Golongan ketiga adalah hadis hadis yang menyebutkan jumlah imam dua belas dengan disertai nama-nama setiap imam.
Jabir bin Abdilllah Anshari bertanya kepada Rasulullah saw, "Siapakah nama-nama para imam dari anak-anak Ali bin Abi Thalib?" Rasulullah menjawab, "Hasan dan Husain, kedua pemuda surga, setelah itu, Ali Zainal Abidin, dan kemudian, Muhammad Baqir, dan, wahai Jabir, engkau akan bertemu dengannya. Untuk itu sampaikan salamku kepadanya. Setelahnya, Ja'far Shadiq dan setelah itu, Musa Kazhim, dan setelah itu, Ali Ridha bin Musa, dan kemudian, Muhammad Taqi bin Ali, dan kemudian, Ali Naqi bin Muhammad, dan setelah itu, Hasan bin Ali Askari, dan ditutup dengan putranya, Qaim bihaq, Mahdi as, yang akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kezaliman."*
Sahal bin Sa'ad Anshari berkata, "Aku bertanya kepada Fatimah, putri Rasulullah saw, "Siapakah para imam suci itu?" Fatimah berkata, "Rasulullah saw memberitahu Ali, "Wahai Ali! Setelahku, engkau adalah imam dan khalifah, dan engkau lebih berhak terhadap mukminin daripada diri mereka sendiri. Ketika engkau meninggal, putramu Hasan akan menggantikanmu, dan apabila Hasan meninggal, Husain yang paling layak sebagai imam. Ketika Husain meninggal, putranya Ali bin Husain yang paling layak. Ketika Ali bin Husain wafat, putranya, Muhammad, yang paling layak. Ketika Muhammad meninggal dunia, putranya, Ja'far, dan ketika Ja'far meninggal, putranya, Musa, dan ketika Musa meninggal, putranya, Ali, yang paling layak. Ketika Ali meninggal, putranya, Muhammad, yang paling layak, dan apabila Muhammad meninggal, putranya, Ali, yang paling berhak menjadi imam, dan ketika Ali meninggal, putranya, Hasan, dan ketika
Hasan meninggal, putranya, Mahdi, yang paling layak. Di tangannyalah, bagian Timur dan Barat bumi akan dipenuhi dengan keadilan."*
Golongan empat adalah hadis-hadis yang menyatakan bahwa para imam ada dua belas orang dan semuanya suci.
Abu Thufail menukil dari Imam Ali bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadaku, "Engkau adalah washi-ku terhadap orang-orang yang mati dalam Ahlulbaitku dan penggantiku terhadap umatku. Memerangimu adalah memerangiku dan berdamai denganmu adalah berdamai denganku. Engkau adalah imam dan ayah para imam. Sebelas imam dari keturunanmu akan datang dan semuanya suci dan terpelihara. Salah seorang dari mereka, Mahdi, akan memenuhi bumi dengan keadilan. Celakalah bagi orang yang memerangi mereka."*
Golongan lima adalah hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Ahlulbait akan tetap ada hingga hari kiamat.
Rasulullah saw bersabda, "Bintang-bintang adalah keamanan bagi ahli langit. Apabila semua bintang musnah, penduduk bumi juga akan musnah. Ahlulbaitku adalah keamanan ahli bumi. Apabila Ahlulbait musnah, penduduk bumi juga akan musnah."*
Abdullah bin Sulaiman Amiri menukil dari Imam Ja'far Shadiq yang bersabda, "Bumi tidak akan pernah kosong dari hujjah yang mengenalkan manusia kepada yang halal dan haram serta menunjukkan mereka kepada jalan Allah."*
Abu Hamzah berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq, "Apakah bumi akan kekal tanpa imam?" Imam menjawab, "Tidak! Apabila tanpa imam, bumi akan tenggelam."*
Wassya' berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ridha, "Apakah bumi akan tetap ada tanpa imam? Imam berkata, "Tidak." Aku bertanya, "Dalam kaitan ini, telah diriwayatkan kepada kami, bahwa bumi tidak akan ada tanpa imam dan bila tiada imam, Allah akan murka kepada hamba-hamba-Nya?" Imam berkata, "Tidak! Bumi tidak akan ada tanpa adanya imam dan kalau tiada imam, bumi akan tenggelam."*
Dari hadis-hadis seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa wujud imam yang merupakan seorang manusia suci serta sempurna dan menjadi tujuan penciptaaan manusia adalah suatu keharusan bagi kekekalan bumi dan para penduduknya. Bumi tidak akan pernah kekal bila tanpa adanya imam suci. Oleh karena tulah, dapat dikatakan, bahwa masa tidak pernah kosong dari wujud seorang imam meskipun gaib dan tidak terlihat oleh manusia.
Ini juga menjadi pendukung akidah Imamiyah bahwa Imam Mahdi adalah anak langsung Imam Hasan Askari yang lahir pada tahun 255 Hijriah dan kini tersembunyi dari mata kita. Ia menunaikan kewajibannya hingga landasan bagi kemunculannya tersedia dan bangkit untuk memperbaiki dunia.
Berita-Berita yang Bersusulan tentang Wujud Imam Mahdi dan Qaim Semenjak zaman Rasulullah saw hingga masa Imam Hasan Askari, berita tentang wujud Imam Mahdi telah diberitakan. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis yang terdapat dalam kitab hadis, misalnya kami akan menyinggung beberapa darinya.
Jabir bin Abdillah Anshari menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Mahdi adalah dari anakku, namanya adalah namaku, dan nama panggilannya adalah nama panggilanku. Ia paling menyerupaiku dalam akhlak dan fisik dibanding manusia lainnya. Ia akan gaib sehingga manusia akan mengalami kebingungan dan kesesatan. Kemudian ia akan muncul laksana meteor dan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman."*
Imam Husain as meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, "Qaim (penyelamat) umat ini adalah orang kesembilan dari keturunanku. Ia akan gaib dan warisannya akan dibagikan di masa hidupnya."*
Sa'id bin Jubair berkata, "Aku mendengar dari Zainal Abidin Ali bin Husain as yang berkata, "Dalam Qaim terdapat salah satu sunnah Nabi Nuh as, yaitu panjang umur."*
Muhammad bin Muslim Tsaqafi berkata, "Aku mendengar dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali yang berkata, "Al-Qaim akan mendapatkan pertolongan dan dukungan dari Allah sehingga para musuhnya merasa ketakutan dan bumi pun akan terlipat karenanya sementara harta karunnya akan menampakkan diri dan kekuasaannya akan meliputi Timur dan Barat."
Allah swt akan memenangkan agama Islam di tangan Imam Mahdi terhadap agama-agama lainya meskipun kaum musyrikin memusuhi dan membencinya. Dia akan memakmurkan semua bumi. Nabi Isa as akan turun dan mendirikan shalat bersamanya. *
Shafwan mengatakan, "Aku mendengar dari Imam Ja'far Shadiq yang berkata, "Barangsiapa yang menerima semua imam tetapi menolak Imam Mahdi seperti orang yang menerima semua nabi tetapi mengingkari Muhammad. Telah ditanyakan kepada Rasulullah saw, "Anak siapakah Mahdi as itu?" Rasulullah bersabda, "Mahdi adalah anak yang kelima dari imam ketujuh. Dia gaib dari kalian dan penyebutan namanya diharamkan bagi kalian."*
Yunus bin Abdurrahman berkata, "Aku bertanya kepada Musa bin Ja'far, "Apakah engkau adalah al-Qaim?" Beliau menjawab, "Aku adalah qaim kebenaran tetapi qaim yang membersihkan bumi dari musuh dan memenuhinya dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kezaliman adalah anak kelima dari keturunanku. Ia gaib begitu lama karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Sekelompok orang akan kehilangan kepercayaan kepadanya dan sebagiannya lagi tetap meyakini keberadaannya." Lalu, beliau menambahkan, "Betapa beruntungnya para Syiah kami yang di masa gaibnya masih tetap berpegangan dengan kami dan tetap teguh dengan kecintaan kepada kami dan berlepas diri dari musuh-musuh kami! Mereka dari kami dan kami dari mereka.
Mereka ridha dengan imamah kami dan kami juga senang dengan kesyiahan mereka. Betapa beruntungnya mereka! Betapa beruntungnya mereka! Demi Allah! Pada hari kiamat nanti, mereka akan bersama kami."*
Rayyan bin Shalt berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ridha, "Adakah engkau shahibul amer?" Beliau menjawab, "Aku adalah shahibul amer tetapi dia (Imam Mahdi) adalah shahibul amer yang memenuhi bumi dengan keadilan dan kesejahteraan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Dengan kelemahan badanku ini, bagaimana aku dapat menjadi dia? Al-Qaim adalah orang yang dalam usia tuanya keluar dalam wajah muda yang tangguh dan kuat sehingga mampu mencabut pohon yang terbesar dari akar-akarnya. Bila ia berteriak di antara gunung, batu-batu akan berguguran. Tonggak Musa dan cincin Sulaiman ada di tangannya. Dia adalah putra keempat dari keturunanku. Allah swt menggaibkannya dari pandangan lalu ia akan muncul dan memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman."*
Abdul Adzim Hasani berkata, "Aku menemui Muhammad bin Ali bin Musa as dan berniat untuk bertanya mengenai al-Qaim apakah dia al-Qaim ataukah orang selain dia. Lalu beliau berkata kepadaku, "Wahai Abu Qasim! Al-Qaim adalah Mahdi yang di masa gaibnya haruslah dinantikan kemunculannnya dan saat muncul, harus dipatuhi. Demi Tuhan yang telah mengutus Muhammad sebagai nabi dan menjadikan kami sebagai imam, dia adalah putra ketiga dari keturunanku! Apabila usia dunia ini tidak tersisa kecuali sehari saja, maka Allah akan memanjangkannya hingga muncul al-Mahdi yang akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman. Allah akan mengatur urusan al-Mahdi dalam semalam, sebagaimana urusan Musa diperbaiki hanya dalam semalam. Musa pergi untuk membawa api tetapi kembali sebagai nabi." Kemudian, beliau menegaskan, "Amalan umat Syiah yang paling utama adalah menantikan munculnya Imam Mahdi."*
Shaqar bin Abu Dalaf berkata, "Aku telah mendengar dari Imam Ali bin Muhmmad bin Ali yang berkata, "Imam setelahku adalah Hasan, putraku, dan setelah Hasan adalah putranya, yakni al-Qaim yang akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah diwarnai dengan kabut kezaliman." *
Ahmad bin Ishaq Asy'ari berkata, "Aku menemui Abu Muhammad Hasan bin Ali dan berencana untuk menanyakan siapakah penggantinya. Beliau menjawab, "Wahai Ahmad bin Ishaq! Allah swt tidak akan membiarkan bumi kosong dari hujjah hingga hari kiamat. Berkat keberadaan hujjah, malapetaka dan bencana dijauhkan dari penduduk bumi serta hujan turun dan berkah bumi pun keluar." Aku bertanya lagi, "Wahai putra Rasulullah! Siapakah imam dan khalifah sepeninggalmu nanti?" Imam segera masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian keluar dalam keadaan memanggul seorang anak yang mukanya seperti bulan di malam yang keempat belas (purnama) dan usianya kira-kira tiga tahun. Beliau berkata, "Wahai Ahmad! Jika engkau tidak mulia di sisi kami, kami tiada akan pernah menunjukkan putraku ini kepadamu. Dia memiliki nama dan panggilan yang sama dengan Rasulullah saw. Dialah orang yang akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman." *
Dari hadis tersebut dan puluhan hadis yang serupa dengan itu, disimpulkan bahwa Rasulullah saw dan para imam suci secara berkesinambungan mengabarkan tentang wujud Imam yang kedua belas atau al-Mahdi atau al-Qaim. Dengan cara ini, mereka menyiapkan opini umum untuk menerimanya. Rasulullah saw telah memulai pemberitahuan ini dan kemudian dilanjutkan oleh para imam suci.
Ramalan tentang Kegaibannya Sebagaimana yang kalian perhatikan dalam hadis-hadis sebelumnya, masalah kegaiban Imam kedua belas telah dikemukakan di tengah umat Syiah di sepanjang sejarah sejak zaman Rasulullah saw hingga Imam kesebelas. Kegaiban merupakan salah satu kekhususan Mahdi as. Selain dari hadis yang telah disebutkan, dalam hadis yang lainnya juga dijelaskan tentang kegaiban beliau.
Rasulullah saw bersabda, "Demi Allah yang telah mengutusku untuk memberikan kabar gembira! Al-Qaim dari keturunanku akan gaib dari pandangan sebagaimana yang telah ditetapkan sehingga sebagian besar manusia akan berkata, "Allah swt tidak lagi memerlukan keluarga Muhammad." Sementara itu, kelompok lainnya meragukan apakah dia benar-benar dilahirkan atau tidak. Maka, barangsiapa yang menyaksikan masa gaib harus berupaya menjaga agamanya dan tidak memberikan jalan kepada setan untuk menggodanya. Jangan sampai ia tergelincir dari agama Islam dan keluar dari agama suci ini, sebagaimana sebelumnya, ayah dan ibu kalian telah dikeluarkan oleh setan dari surga. Allah swt menjadikan setan sebagai wali dan penguasa bagi orang-orang kafir."*
Thabarsi menulis, "Berita tentang kegaiban wali ashr telah diberitahukan sebelum kelahirannya dan juga berita tentang ayahnya dan kakeknya. Para muhadis Syiah merekamnya di dalam ushul dan kitab-kitab yang telah ditulis pada masa Imam Baqir dan Ja'far Shadiq. Salah satu muhadis dan penulis yang dapat dipercaya adalah Hasan bin Zarrad. Seratus tahun sebelum datangnya masa gaib, ia telah mencatat dan merekam hadis-hadis yang berkaitan dengan kegaibannya di kitabnya, Mashikhah. Dalam kenyataannya, sebagaimana yang diprediksikan dalam hadis, kegaiban ini benar-benar terjadi."
Muhammad bin Ibrahim bin Ja'far Na'mai yang dilahirkan di masa gaib sughra 'kecil' dan yang menulis kitab al-Ghaibah saat berusia delapan puluh tahun menulis, "Para imam suci telah memberitahukan kegaiban Imam Zaman jauh hari sebelum masa kegaiban itu terjadi. Sekiranya kegaiban Imam Mahdi tidak terjadi, hal ini akan menunjukkan kebatilan akidah Imamiyah. Namun, Allah swt telah menampakkan kebenaran berita para imam itu dengan terjadinya kegaiban ini." *
Selain dari Hasan bin Mahbub, sejumlah orang lainnya dari para sahabat imam suci menulis berbagai buku tentang gaibnya Imam Mahdi as sebelum kelahiran Imam Mahdi. Di antara mereka, kami akan menyinggung sebagiannya.
1. Ali bin Hasan bin Muhammad Thai Thathari, yang merupakan salah seorang sahabat Musa bin Ja'far, telah menulis sebuah buku tentang gaibnya seorang lelaki fakih dan terpercaya.*
2. Ali bin Umar A'waj Kufi dari sahabat Musa bin Ja'far menulis sebuah kitab tentang kegaiban Imam Mahdi as. *
3. Ibrahim bin Shalih Anmathi dari sahabat Musa bin Ja'far menulis sebuah buku tentang gaibnya Imam Mahdi as.*
4. Hasan bin Ali bin Abi Hamzah, yang hidup di era Imam Ridha, memiliki sebuah kitab tentang kegaiban Imam Mahdi as.*
5. Abbas bin Hisyam Nasyiri Asadi dari sahabat Imam Ridha as menulis sebuah buku tentang gaibnya Imam Mahdi as.*
6. Ali bin Hasan bin Fadzal dari sahabat Imam Hadi as dan Imam Hasan Askari menulis sebuah buku yang sama.*
7. Fadzal bin Syadan Nisyaburi salah seorang sahabat Imam Hadi as dan Imam Hasan Askari menulis sebuah buku tentang al-Qaim Ali Muhammad dan kegaibannya.*
Menimbang apa yang telah disebutkan tadi dan ditambah lagi dengan tiga persoalan lainnya, maka wujud Imam kedua belas yang gaib merupakan suatu perkara yang pasti dan tidak dapat diingkari.
Pertama: berdasarkan burhan aqliyah 'argumentasi rasional' dan hadis-hadis yang tidak sedikit jumlahnya, yang bersumber dari para imam suci, telah terbuktikan bahwa keberadaan seorang imam dan hujjah merupakan suatu keharusan bagi kelanggengan keturunan manusia dan bumi tidak akan pernah sepi dari wujud seorang hujjah.
Kedua: dalam banyak hadis yang mencapai batas mutawatir, disebutkan bahwa jumlah para imam suci adalah dua belas.
Ketiga: berdasarkan hadis-hadis dan penyaksian sejarah, telah datang sebelas imam yang tak lama kemudian meninggal dunia. Maka dari itu, haruslah dikatakan bahwa Imam kedua belas, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis, adalah putra langsung dari Imam Hasan Askari dan hidup dalam keadaan gaib.
Kemuliaan dan Kesempurnaan Imam Mahdi as Sayangnya, Imam Mahdi sejak kecil hidup dalam keadaan gaib dan tidak sempat berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat tidak sempat melihat kesempurnaan esensial, kemuliaan akhlak, ilmu pengetahuan, shair dan suluk spiritual beliau. Ia pun tidak sempat menukilkannya kepada kita. Namun dengan memperhatikan tentang syarat-syarat untuk menjadi imam, haruslah kita katakan, bahwa Imam Mahdi as juga memiliki berbagai kesempurnaan yang terdapat di dalam diri para imam lainnya. Dia juga maksum (suci) dari dosa dan kesalahan serta memiliki semua pengetahuan yang merupakan suatu keharusan bagi seorang imam. Sumber ilmunya juga sama dengan sumber-sumber ilmu para imam suci lainnya.
Perilaku dan perbuatan Imam Mahdi dari berbagai aspek, seperti ibadah, sosial, dan moral adalah sama dengan Rasulullah saw dan para imam suci. Meskipun detailnya tidak dijelaskan kepada kita, di masa kemunculannya nanti, semua kesempurnaan itu akan tampak. Di sejumlah hadis pun telah disebutkan:
Imam Muhammad Baqir berkata, "Ilmu terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw ada di hati Mahdi kami dan tumbuh seperti tumbuhan tumbuh dengan subur di tanah yang sesuai. Apabila di antara kalian ada yang menyaksikan masa kemunculannya, katakanlah salam untuk kalian wahai Ahlullbait, rahmat, nubuwah, tambang ilmu, dan risalah Islam! Salam untukmu wahai Baqiyyatullah di bumi ini."*
Kembali Imam Baqir berkata, "Ketika bangkit, al-Qaim akan meletakkan tangannya di atas kepala manusia dan mengonsentrasikan serta menyempurnakan pikiran mereka."*
Imam Ja'far Shadiq berkata, "Ilmu terbagi menjadi dua puluh tujuh bagian. Semua apa yang dibawa oleh para nabi dan diketahui oleh manusia tidak lebih dari dua bagiannya saja. Ketika bangkit, al-Qaim akan menampakkan dua puluh lima bagian lainnya dan membagikannya kepada manusia, selain dari dua bagian yang telah dibawa oleh para nabi yang semuanya menjadi dua puluh tujuh bagian."*
Hanya saja, dari hadis-hadis yang semacam ini, tidak boleh diasumsikan bahwa ilmu dan kesempurnaan Imam Mahdi as adalah lebih utama daripada ilmu dan kesempurnaan Rasulullah saw dan para imam lainnya! Tidak! Bukanlah seperti itu, melainkan semua imam adalah sama dari segi ilmu. Mereka juga memiliki kelebihan-kelebihan itu. Namun, kondisi, situasi, pemahaman, dan akal masarakat pada zamannya tidaklah memiliki kesiapan untuk memahami ilmu itu.
28
Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.
Gaib Shugra dan Kubra Menurut keyakinan Imamiyah, Imam kedua belas mengalami gaib dua kali. Gaib shugra 'pendek' dan gaib kubra 'lama'. Gaib shugra dimulai sejak kelahiran beliau (tahun 255 H) dan berlanjut hingga tahun 329 H. Sepanjang masa ini, meskipun gaib di mata manusia, ia melalui sejumlah orang khusus menjalin hubungan dengan orang-orang Syiah dan mengurusi keperluan-keperluan mereka serta menjawab persoalan-persoalan agama. Para mediator itu berasal dari orang-orang kepercayaan yang dinamakan naib 'wakil'. Para naib beliau adalah empat orang yang dijadikan secara berurutan.
Pertama, Usman bin Sa'id. Dia adalah sahabat Imam Hadi dan Imam Hasan Askari yang terpercaya. Dia adalah salah satu orang yang diperlihatkan baginya Imam Mahdi oleh Imam Hasan Askari yang berkata, "Setelah ini, kalian tidak akan melihatnya lagi dan di masa gaib, kalian harus patuh kepada Usman bin Sa'id karena dialah pengganti Imam kalian."*
Kedua, Muhammad bin Usman. Dia ditunjuk sebagai naib dari pihak yang suci setelah ayahnya. Usman bin Sa'id menjelang wafatnya mengatakan, "Setelahku, putraku, Muhammad, akan menjadi penggantiku dan naib Imam kalian. Niyabah-nya 'kewakilannya' telah didukung dan dibenarkan oleh Imam Mahdi as."*
Ketiga, Husain bin Ruh. Muhammad bin Usman menjelang wafatnya mengenalkan Husain sebagai penggantinya dan Husain pun mendapat wikalah dari Imam Mahdi. Kepada sahabatnya, Muhammad bin Usman mengatakan, "Aku telah diberi tugas oleh Imam Mahdi as untuk menunjuk Husain bin Ruh sebagai wakil dan merujuklah kepadanya dalam berbagai urusan agama!"*
Keempat, Ali bin Muhammad Samari. Dia adalah salah seorang tokoh ternama dan terpercaya di kalangan Syiah. Husain bin Ruh, sebelum wafat, menunjuknya sebagai wakil dari pihak yang suci.*
Ali bin Muhammad Samari merupakan naib khusus Imam Mahdi as yang terakhir. Pada tahun 329 Hijriah, Ali bin Muhammad Samari wafat. Sebelumnya, dia membacakan surat yang datang dari tempat yang suci untuk manusia. Di dalam surat tersebut tertulis, "Enam hari lagi, ajalmu akan tiba. Urusi dan selesaikan semua pekerjaanmu! Namun, jangan engkau menunjuk wakil atau penggantimu! Sejak sekarang, kegaiban akan benar-benar sepenuhnya terjadi. Aku sendiri tidak akan muncul dan keluar dari kegaibanku. Selagi hati manusia belum beku dan bumi belum dipenuhi dengan kezaliman, Allah swt tidak akan mengijinkanku muncul. Sebelum syarat-syarat itu ada, siapa saja yang mengaku melihatku telah berdusta dan janganlah kalian percaya kepadanya!"*
Periode gaib sughra dan niyabah 'perwakilan' wakil-wakil khusus terus berlanjut hingga 74 tahun. Di masa ini, orang-orang Syiah mengadakan hubungan dengan Imam Mahdi melalui para wakil-wakil. Mereka menanyakan problem agama mereka dan memperoleh jawabannya melalui surat-surat yang diberi tanda tangan. Adakalanya, pada mulanya, dikeluarkan tanda tangan dari sumber yang suci dan mereka menerima perintah.
Karomah dan mukjizat juga telah diceritakan dalam hal ini. Untuk mengkajinya diperlukan waktu yang lebih banyak. Maksud dari terjadinya gaib shugra adalah agar orang-orang Syiah menemukan kesiapan yang lebih untuk menerima kegaiban kubra.
Gaib kubra dimulai dari tahun meninggalnya naib Ali bin Muhammad Samari (329 H) dan terus berlanjut hingga munculnya Imam Mahdi. Rasulullah saw dan para imam suci telah memberitahu terjadinya dua kegaiban ini.
Ishaq bin Ammar mengatakan, "Dari Imam Ja'far Shadiq, aku mendengarnya menyatakan, "Al-Qaim mengalami dua kegaiban: gaib yang lama dan lainnya singkat. Pada gaib shugra, hanya orang-orang tertentu dari Syiah dan yang berwilayah yang mengetahui keberadaan Imam Mahdi saat itu. Selain itu, tiada yang mengetahuinya."*
Tempat Imam Mahdi hidup tidak jelas dan ada kemungkinan Imam hidup di tengah masyarakat tetapi secara samar. Artinya , Imam berada di antara mereka.
Filsafat Kegaiban Mungkin saja ada yang mengatakan, "Mengapa Imam Mahdi tidak tampak oleh pandangan? Mengapa Imam tidak dapat hidup di salah satu bagian dunia ini, sebagaimana manusia pada umumnya dan berupaya untuk menyebarluaskan hukum dan ketetapan agama serta memimpin umat? Apakah tidak memungkinkan bila Imam hidup seperti itu hingga kondisi bagi kebangkitan dunia telah tersedia dan mengijinkannya untuk bangkit dan menggulingkan pemerintahan-pemerintahan yang zalim serta mendirikan pemerintahan Islam yang adil dan sejahtera.
Sebagai jawabannya, dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan anggapan atau asumsi yang baik. Namun sayangnya, hal itu tidak dapat dilaksanakan. Untuk lebih jelasnya persoalan ini dan mengapa tidak memungkinkan untuk dijalankan, haruslah diperhatikan beberapa hal di bawah ini.
1. Program Imam Mahdi as tidak sama dengan program para imam lainnya. Para imam lainnya tidak memiliki kewajiban untuk melakukan perang bersenjata untuk mendirikan pemerintahan Islam, melaksanakan hukum serta undang-undang agama, memerangi kezaliman, dan membela orang-orang tertindas serta kaum lemah. Akan tetapi, Imam Mahdi as akan mengemban tugas yang berat ini dan ini terhitung sebagai kekhususannya. Rasulullah saw dan para imam suci mengenalkan Imam Mahdi seperti tersebut.
2. Pemerintahan Imam Mahdi as bersifat internasional, maktabi, serta Islami. Pemerintahan itu tidak terbatas pada sebuah negara atau teritorial tertentu, kaum atau bahasa tertentu, dan sudah barang tentu untuk mendirikan pemerintahan global seperti itu bukanlah perkara yang mudah sehingga memerlukan kesiapan internasional dari dua sisi. Pertama, kesiapan militer, yakni pasukan Imam Mahdi harus lebih unggul daripada pasukan militer lainnya. Kedua, kesiapan opini umum sehingga sebagian besar masyarakat dunia akan menerima pemerintahan seperti itu dan berjihad serta berkorban di jalan kebenaran.
3. Dari segi akal dan naqli (al-Quran dan hadis) telah terbuktikan bahwa wujud imam dan hujjah adalah suatu keharusan bagi kelanjutan generasi manusia dan bumi tidak akan pernah kosong dari wujud seorang hujjah.
4. Menurut hadis-hadis yang banyak jumlahnya dan bersifat mutawatir, jumlah para imam setelah Rasulullah saw adalah dua belas. Sebelas dari mereka telah datang dan tak lama kemudian meninggal dunia. Imam yang kedua belas, yakni al-Qaim bil haq atau Mahdi yang dijanjikan, harus hidup dan bertahan hingga hari kiamat.
5. Rasulullah saw dan para imam suci di masa kehidupannya berkali kali telah memberitahu persoalan Mahdi as dan kebangkitannya. Mereka, antara lain, berkata, "Saat kezaliman sudah merajalela dan menguasai dunia, Mahdi akan bangkit dan melalui jihad serta pengorbanan para sahabat dan mereka yang sepemikiran dengannya, Imam Mahdi as akan memerangi kezaliman dan mencabutnya hingga ke akar-akarnya lalu mendirikan sebuah pemerintahan yang adil dan Islami.
Kini dengan mempertimbangkan hal-hal yang disebutkan tadi, haruslah dilihat bahwa apakah Imam Mahdi dapat hidup sebagaimana manusia pada umumnya di salah satu sudut dunia ini seraya menunaikan kewajiban dan tugas pada batasan yang memungkinkan untuknya? Dengan menerima premis atau anggapan seperti ini, maka apa yang akan terjadi di dunia ini?
Dengan anggapan seperti ini, Imam Mahdi senantiasa berhadapan dengan dua kelompok dari masyarakat. Golongan yang pertama adalah orang-orang yang tertindas dan yang terzalimi. Golongan ini senantiasa ada di sepanjang sejarah. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling banyak ada di tengah masyarakat dan menantikan pertolongan. Kelompok ini yang ketika menyaksikan Mahdi -yang dijanjikan berada di tengah mereka dan sebelumnya mereka telah menunggu kemunculan sang juru penyelamat yang akan memperbaiki keadaan dunia yang gelap oleh kezaliman-akan mendukung Imam Mahdi as dan menghendaki kebangkitan internasional.
Dengan anggapan seperti ini, apabila memberikan jawaban yang positif terhadap keinginan mereka lalu memasuki kancah perang, Imam Mahdi as tidak akan mendatangkan kesuksesan karena belum terciptanya landasan bagi kebangkitan internasional sehingga, mau tidak mau, Imam akan terbunuh dan akhirnya bumi kosong dari hujjah dan imam.
Apabila Imam tidak mengabulkan keinginan orang-orang yang tertindas ini dan tidak bangkit, orang-orang tertindas akan berputus asa dan bercerai berai. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain, kecuali gaib untuk sekian lama hingga keadaan bagi perjuangan internasional memungkinkan.
Kelompok kedua adalah pemerintahan-pemerintahan tiran dan arogan di dunia yang sepanjang sejarah dan di berbagai belahan dunia tidak segan melakukan berbagai macam kejahatan untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaan mereka. Mereka menghilangkan segala macam kemungkinan yang mengancam kekuasaan mereka.
Kelompok ini, karena mendengar bahwa Mahdi yang dijanjikan akan melindungi dan membantu orang-orang yang tertindas serta berjuang melawan kezaliman, akan merasakan bahaya dan berupaya untuk meneror dan membunuh Imam Mahdi as. Akhirnya, dunia akan kosong dari hujjah.
Oleh karena itulah, kegaiban Imam Mahdi as merupakan suatu keharusan untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang semacam itu.
Pengaruh dan Keuntungan Kegaiban Imam Mahdi as Dalam membahas keharusan wujud imam, maka perlu kiranya disinggung mengenai beberapa tanggung jawab penting imam. Kewajiban atau tugas tersebut adalah sebagai berikut.
menjaga dan memelihara ilmu, pengetahuan, serta undang-undang yang berkaitan dengan agama. menyebarluaskan dan memasyarakatkan ilmu, pengetahuan, serta undang-undang yang berkaitan dengan agama di tengah umat Islam. mendirikan dan mengelola pemerintahan Islam serta melaksanakan hukum-hukum yudikatif, politik, sosial, ekonomi, budaya serta urusan lain yang berhubungan dengan pengelolaan negara Islam dan menyesaikan urusan umat Islam.
Kini mungkin saja ada yang bertanya, "memperhatikan semua keperluan tadi -sehingga kita menganggap keberadaan imam merupakan suatu keharusan- sedangkan tidak satu pun dari perkara di atas dapat dilaksanakan oleh Imam yang gaib, maka apa gunanya Imam yang gaib tersebut?"
Maka sebagai jawabannya, saya mengatakan bahwa berkaitan dengan fungsi Imam yang pertama, yakni menjaga dan memelihara ilmu serta pengetahuan agama, Imam gaib tidak berbeda dengan para imam lainnya. Imam gaib juga memelihara dan menjaga undang-undang agama sehingga dapat dikatakan, setelah Rasulullah saw dan sepanjang sejarah, ilmu dan makrifah agama masih terpelihara dengan seutuhnya tanpa dikurangi dan ditambahi di sisi para imam suci.
Adapun tentang pengejewantahan perkara kedua dan ketiga, meskipun masyarakat di masa gaibnya Imam tidak dapat memanfaatkan wujud Imam, yang harus dipersalahkan bukanlah Imam melainkan masyarakatlah yang bersalah karena tidak mempersiapkan landasan bagi munculnya pemerintahan dan kekuasaan Imam. Oleh sebab itulah, Imam terpaksa hidup gaib untuk mempersiapkan pendahuluan-pendahuluan bagi kemunculannya.
Selain dari itu, kita tidak memiliki argumen yang jelas dan tegas bahwa Imam Mahdi as, di masa gaibnya, sama sekali tidak terlibat dalam persoalan-persoalan ilmu dan budaya yang berkaitan dengan agama serta penyelesaian problema politik dan sosial yang berkaitan dengan umat Islam. Akan tetapi, dapat diperkirakan bahwa di sebagian waktu yang menjadi keharusan, Imam menjelaskan persoalan ilmiah, baik secara langsung ataupun tidak langsung, kepada sejumlah orang atau kelompok. Selain itu, pada masa krisis, Imam mungkin bersegera membantu umat Islam dengan memberikan petunjuk-petunjuk yang diperlukan secara samar kepada para pejabat terkait. Kemungkinan hal-hal seperti itu tidak bisa dipungkiri keberadaannya.
Selain dua faedah kegaiban tadi, dua faedah lainnya juga akan kami sebutkan di sini.
Pertama, untuk membuktikan kelangsungan dan kelanggengan generasi manusia serta pembangunan dan kemakmuran dunia, dapatlah dibawakan dua dalil (argumen) yang salah satunya adalah dalil naqliyah dan yang lain adalah dalil aqliyah.
Dalil-Dalil Naqliyah Banyak sekali hadis yang menjelaskan bahwa wujud hujjah atau imam adalah suatu keharusan bagi kelanggengan generasi manusia. Maka, ketiadaannya akan menyebabkan rusaknya bumi dan musnahnya generasi manusia. Sebelumnya, telah disinggung sebagian hadis seperti itu. Oleh karena itu, pengulangannya tidak diperlukan di sini.
Dalil-Dalil Aqliyah Dalam kitab kalam, akidah, dan filsafat, telah disampaikan sebuah dalil mengenai keharusan adanya manusia sempurna di semua zaman. Dalil ini mendukung keharusan wujud hujjah dan imam. Penjelasan dalil ini memerlukan disebutkannya pendahuluan-pendahuluan yang telah terbuktikan dalam kitab-kitab terkait sehingga beberapa halaman berikut ini tidak akan dapat mewakilinya. Oleh sebab itu, kami di sini hanya akan menyebutkan ringkasan dari sebagian hasil yang telah terbuktikan dan diperlukan.
1. Manusia terdiri dari jasad fisik dan ruh yang metafisik (mujarrad) atau malakuti. Dua senyawa ini membentuk sebuah maujud yang bernama manusia. Manusia memiliki dua peringkat wujud. Peringkatnya yang tertinggi adalah jauhar al-mujarradah yang bersifat malakuti dan kekal sedangkan peringkatnya yang terendah adalah fisik dan jasad. Oleh karena itulah, gerakan dan proses menuju kesempurnaan adalah hal yang memungkinkan bagi manusia.
2. Manusia di dalam batin zatnya dapat bergerak di salah satu dari dua jalur: pertama, shirat mustaqim 'jalan lurus' kemanusiaan dan pengembangan sifat-sifat kesempurnaan manusia serta perjalanan naik kepada Allah; yang lainnya, kesesatan dan penyelewengan dari shirat mustaqim kemanusiaan yang diakibatkan oleh pengembangan sifat-sifat hewani sehingga manusia jatuh ke lembah kehewanan yang menyeramkan. Di tangan manusialah, terletak keputusan untuk memilih salah satu dari dua jalur tersebut.
3. Penciptaan manusia dan dunia bukanlah sia-sia melainkan memiliki tujuannya, yaitu untuk mencapai kesempurnaan jiwa manusia, melakukan perjalanan menuju Allah, dan mencapai kesempurnaan spiritual serta akhirat.
4. Manusia tidaklah mandiri dan merdeka dalam menemukan shirat mustaqim kemanusiaan dan gerakan batin yang menuju kesempurnaan serta kebahagiaan abadi. Akan tetapi dalam hal ini, manusia memerlukan Sang Pencipta manusia, petunjuk-Nya, dan bantuan para nabi-Nya. Oleh sebab itulah, dikatakan bahwa untuk menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat manusia, karunia Ilahi menuntut adanya program-program yang diperlukan melalui para nabi dan utusan pilihan. Hukum dan undang-undang agama diturunkan untuk tujuan ini. Inilah shirat mustaqim kemanusiaan dan jalan sair serta suluk kepada Allah. Akidah yang benar, akhlak yang terpuji, amal yang saleh merupakan sebab-sebab penyempurnaan jiwa manusia yang akan menciptakan kebahagiaan akhirat bagi manusia.
Sebaliknya, akidah yang batil, akhlak yang buruk, serta pelaksanaan dosa dan perbuatan-perbuatan yang buruk akan menyebabkan jatuh dan binasanya manusia.
5. Perjalanan gerak manusia tidaklah bersifat majazi 'tidak hakiki' tetapi merupakan sebuah perjalanan yang sesungguhnya. Esensi jiwa manusia bergerak pada satu perjalanan yang sesungguhnya, yakni boleh jadi menuju ke sumber kesempurnaan sehingga menjadi lebih sempurna atau semakin jauh dari kemanusiaan dan menuju ke lembah kehewanan yang gelap.
Dari apa yang telah berlalu, dapat dimengerti bahwa tujuan penciptaan manusia adalah perjalanan menuju Allah dan kesempurnaan jiwa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di antara manusia, selalu ada manusia sempurna yang bergerak pada teks agama dan shirat mustaqim. Semua akidah yang benar, akhlak yang terpuji, dan perbuatan-perbuatan yang baik teraktualisasikan dalam diri manusia sempurna tadi sehingga tujuan penciptaan manusia telah teraplikasikan pada dirinya. Manusia istimewa seperti ini bergerak menuju kesempurnaan yang multak dan senantiasa mendapatkan karunia serta rahmat Ilahi. Ia mengangkat manusia-manusia lain untuk bergerak di jalan yang sama menuju kedudukan tinggi spiritual dengan magnet batiniahnya. Para imam suci tersebut memberikan petunjuk kepada para pengikutnya dengan karunia-karunia ilahi yang selalu turun kepada ruh malakuti dan kedudukan tinggi imamah.
Manusia istimewa seperti itu adalah puncak penciptaan manusia. Ia adalah imam dan pemuka kafilah kemanusiaan serta hujjah Allah di muka bumi.
Keberadaannya menyebabkan kelangsungan dan kelanggengan generasi manusia sementara ketiadaannya akan menyebabkan musnahnya generasi manusia dan rusaknya bumi.
Oleh karena itulah, dapat dikatakan bahwa faedah yang paling penting dari wujud imam adalah kelanggengan generasi manusia. Oleh sebab itu, dalam keberkesanan pengaruh penting ini, tidak ada beda antara zuhur atau gaibnya imam.
Dalam sejumlah hadis, Imam yang gaib diumpamakan sebagai matahari yang bersembunyi di balik awan.
Sulaiman mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq, "Bagaimana manusia dapat meneguk manfaat dari Imam yang gaib?" Imam Ja'far berkata, "Sebagaimana halnya mereka meneguk keuntungan dari matahari di balik awan."* Untuk menjelaskan hadis tersebut, dapatlah dikatakan bahwa sebagaimana telah terbukti dalam ilmu alam dan perbintangan, matahari adalah sentral atau poros tatasurya. Daya tariknya telah menjaga bumi dari kejatuhan dan membuat bumi mengitarinya serta mewujudkan berbagai musim, siang, dan malam. Cahayanya menerangi bumi dan panasnya menyebabkan kehidupan manusia, binatang, dan tumbuhan. Keberkesanan pengaruh ini tidak berbeda antara kemunculannya di siang hari dan kegaibannya di malam hari atau di saat mendung.
Manfaat kedua adalah menguatkan ruh harapan dalam menantikan kemenangan serta mempersiapkan diri untuk menjalani program-program yang besar dan perbaikan internasional Imam Mahdi as. Program perbaikan Imam Mahdi yang dijanjikan adalah sebagai berikut: menggulingkan pemerintahan tiran dan mencabut kezaliman untuk selama-lamanya; mendirikan pemerintahan yang satu di dunia Islam dan menyebarluaskan keadilan serta kesejahteraan; menyebarluaskan Islam di dunia dan mengalahkan agama-agama lain; menghapus sepenuhnya kesyirikan dan kekufuran; melaksanakan secara sempurna hukum dan peraturan Islam dan mencabut akar kemiskinan serta ketertindasan.
Dengan sedikit ketelitian, jelaslah sudah bahwa perealisasian perkara ini tidak akan memungkinkan tanpa adanya kesiapan semua pihak, khususnya dengan menimbang bahwa kemenangan yang agung akan diraih dengan perang dan jihad, bukan mukjizat. Selain itu, dengan mempertimbangkan kondisi sekarang, yakni bahwa para tiran di dunia memiliki kemajuan yang menakjubkan dalam ilmu dan industri -khususnya industri militer dan pembantaian massal, orang-orang yang benar-benar meyakini kedatangan Mahdi dan menghendaki kebangkitan serta perbaikan dunia yang akan dilakukannya haruslah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi perang besar ini. Pertama, mereka hendaknya mencetak diri mereka sebagaimana yang dikehendaki Imam Mahdi terhadap seluruh manusia.
Kedua, opini umum haruslah dipersiapkan untuk menerima Islam dan pemerintahan satu dunia. Ketiga, mereka hendaknya berupaya untuk mengejar ketertinggalan mereka dalam ilmu pengetahuan dan industri, khususnya industri militer, dan mempersiapkan pasukan tempur, bahkan harus lebih baik daripada yang lain. Inilah makna menantikan al-Mahdi yang disebutkan dalam banyak hadis. Hal ini boleh disebut sebagai salah satu faedah beriman kepada wujud Imam gaib.
Hadis-Hadis yang Berkaitan dengan Imam Mahdi dalam Kitab Ahlusunah Hadis-hadis yang berkaitan dengan Mahdi yang dijanjikan tidaklah khusus milik kitab-kitab Syiah. Akan tetapi, banyak ulama Ahlus Sunnah yang juga menuliskan hadis-hadis yang sama dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya akan kami singgung berikut ini.
Ali bin Abi Thalib menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Apabila masa hanya tersisa sehari, Allah swt akan mengutus seorang lelaki dari Ahlulbait untuk memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kezaliman."*
Ummu Salamah berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Mahdi adalah dari itrah-ku 'keluargaku' dan anak keturunan Fatimah."* Ali bin Abi Thalib menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, "Mahdi adalah dari Ahlulbaitku dan Allah swt menyiapkan sebab-sebab bagi kebangkitannya dalam semalam."*
Selain itu, ada puluhan hadis lain yang menyerupai hadis-hadis tersebut.
Dari hadis semacam ini, dapat disimpulkan bahwa keyakinan kepada Mahdi yang dijanjikan bukanlah khusus milik orang-orang Syiah tetapi merupakan sebuah akidah Islam yang besumber dari Rasulullah saw. Ahlus Sunnah juga meyakini hal ini. Dengan perbedaan bahwa di dalam keyakinan orang Syiah, Imam Mahdi merupakan pribadi yang telah dikenali dari anak-anak Rasulullah saw, Fatimah, serta Imam Husain as dan merupakan putra langsung Imam Hasan Askari yang dilahirkan pada tahun 255 Hijriah dan kini masih hidup dalam keadaan gaib dan kebangkitannya terjadi di akhir zaman, ketika dunia telah siap menerimanya.
Namun, Mahdi yang dijanjikan di sisi Ahlus Sunnah merupakan sosok yang tidaklah dikenal dan belum ada tetapi hanya disebutkan sebatas bahwa dia berasal dari keturunan Rasulullah saw dan Fatimah yang akan bangkit di akhir zaman dan memenuhi bumi dengan keadilan.
Oleh karena itu, mereka, yakni Ahlus Sunnah, meyakini bahwa Mahdi akan dilahirkan di akhir zaman dan bangkit untuk memperbaiki dunia.
Akidah atau keyakinan itu bersumber dari hadis-hadis yang ada di kitab-kitab mereka. Di sana, tidak disebutkan bahwa Imam Mahdi telah dilahirkan dan bahwa dia adalah putra langsung Imam Hasan Askari yang mengalami gaib shugra dan kubra. Karena tiada penafian, keyakinan mereka tidaklah bertentangan dengan keyakinan orang-orang Syiah.
Di bagian akhir dan penutup, perlu kiranya kami sebutkan bahwa meskipun kelahiran dan kegaiban Imam Mahdi as tidaklah disebutkan dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah, sekelompok dari mereka mengakui tentang kelahiran putra Imam Hasan Askari lalu meriwayatkannya dalam kitab mereka.
Muhammad bin Thalhah Syafi'i dalam kitab Mathalibus Su'ul, Muhammad bin Yusuf dalam Kifayah Thalib, Ibn Shabagh Maliki dalam Fushul Muhimmah, Yusuf bin Qazaughali dalam kitab Tadzkirah Khawashul Ummah, Syabalanji dalam Nurul Abshar, Ibn Hajar dalam ash-Shawaiq al-Muhriqah, Muhammad Amin Baghdadi dalam Sabaikudz Dzahab, Ibn Khalkan dalam Wafiyatul A'yan , Sya'rani dalam al-Yawaqit wal Jawahir, Khajah Parsa dalam Fashul Khitab, Abu Falah Hanbali dalam Syadaratudz Dzahab, Muhammad bin Ali Hamuwi dalam Sejarah Manshuri adalah di antara mereka.
Imam Mahdi dan Panjang Usianya Salah satu dari persoalan penting yang berkaitan dengan Mahdi yang dijanjikan adalah usianya yang panjang. Usia Imam dimulai dari tahun kelahirannya (255 H) dan berlanjut hingga masa ini. Ia terus akan hidup hingga muncul pada waktu yang tidak jelas dan terus berlanjut hingga wafat. Hasilnya, usia Imam amatlah panjang dan tidak biasa. Hal ini tiada bandingannya di zaman sekarang. Mungkin meyakini adanya usia sepanjang ini bukanlah suatu perkara yang mudah bagi sejumlah orang. Oleh karena itu, hal ini memerlukan pembahasan dan pengkajian yang sayangnya bukan merupakan keahlian saya.
Penyingkapan sebab dan faktor panjangnya usia Imam memerlukan serangkaian kajian yang mendalam dan luas, yang harus dilaksanakan oleh tim cendekiawan dan para pakar ilmu terkait seperti ilmu biologi, kedokteran, nutrisi, kesehatan dan pengobatan, antropologi, sosiologi, dan ilmu-ilmu lain yang ada hubungannya. Dengan kerjasama dan keseriusan para cendekiawan itu, dapat disingkap tentang rahasia di balik panjangnya usia manusia dan dari mereka akan diperoleh informasi sehingga banyak manusia yang memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk tetap sehat, panjang umur, serta awet muda.
Penyingkapan rahasia panjang umur bukan hanya bermanfaat bagi mereka yang meyakini Mahdi tetapi juga mendatangkan manfaat bagi kemanusiaan secara umum. Di sini, akan kami sebutkan beberapa hal penting.
1. Batas pertengahan usia manusia di sepanjang sejarah di berbagai negara adalah tidak sama tetapi berbeda dan selalu berubah. Perbedaan ini disebabkan jenis dan cara makan, pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit-penyakit menular, lingkungan kehidupan, dan kemajuan ilmu kedokteran.
2 Sejumlah manusia hidup lebih lama dibanding manusia lainnya, bahkan mereka bertahan hingga usia seratus tahun. Sebagai pengecualian, ada saja orang yang hidup sampai usia seratus tahun atau bahkan seratus lima puluh tahun. Menurut beberapa kesaksian, terdapat orang-orang langka yang hidup hingga usia dua ratus tahun atau bahkan sedikit lebih banyak. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa hingga kini tidak satu pun cendekiawan yang dapat menentukan batasan tertentu bagi usia manusia, untuk dapat dikatakan bahwa manusia tidak mungkin melebihi batasan itu walaupun dalam bentuk langka dan jauh sekali.
3 Meskipun Allah swt melaksanakan pekerjaan-Nya melalui sebab-sebab dan faktor-faktor alamiah, kekuasaan-Nya tidak terbatas oleh batasan khusus atau tertentu dan tidaklah terbatas oleh sebab-sebab. Akan tetapi, Allah dapat menjalankan urusan-Nya melalui sebab-sebab yang tidak diketahui, sebagaimana Allah swt menunjukkannya dalam mukjizat. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa apabila wujud manusia khusus diperlukan hingga waktu yang panjang, Allah swt berkuasa untuk menciptakan sebab-sebab alamiah atau bahkan non-alamiah. Maka, usia manusia yang mencapai ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun, secara pengecualian, tidak dapat dipungkiri.
4 Sebab-sebab ketuaan dan kematian tidaklah jelas bagi manusia. Kita tidak memiliki alasan atau dalil bahwa semua manusia sudah pasti, tanpa terkecuali, di usia tertentu akan menjadi tua dan kehilangan kekuatan jasmaninya.
5 Dalam sejarah, telah disinggung beberapa orang yang memiliki usia ratusan tahun dan bahkan seribu tahun atau lebih. Hanya saja untuk membuktikan usia panjang seperti ini, memerlukan dalil yang pasti. Namun, inti kemungkinannya juga tidak dapat diragukan.
6 Salah seorang yang usianya terpanjang dalam sejarah adalah Nabi Nuh as. Di dalam al-Quran, disebutkan bahwa Nabi Nuh berdakwah kepada umatnya untuk bertauhid dan menyembah Tuhan yang Esa selama 950 tahun. Namun, ia senantiasa mendapat penentangan dari kebanyakan manusia sehingga angin taufan yang besar datang dan semua orang kafir binasa. Selain Nuh dan para pengikut khususnya yang menaiki perahu, semua binasa. Hanya mereka yang menaiki perahu selamat.*
Dari ayat yang disebutkan tadi, dapat diketahui bahwa Nabi Nuh as menyeru umat selama 950 tahun. Hanya saja tidak jelas dalam usia berapa, Nuh ditunjuk sebaga rasul. Juga belum jelas, setelah peristiwa taufan, Nuh hidup beberapa lama. Namun secara ringkas, dapat simpulkan bahwa usia Nuh melebihi seribu tahun.
Al-Quran merupakan sebuah data yang pasti dan tidak dapat dipungkiri. Adanya usia yang melebihi seribu tahun telah dibenarkan oleh al-Quran. Jika usia setua itu dapat diterima, keberadaan usia yang lebih sekalipun tidak dapat dipungkiri.
Waktu Zuhur 'Kemunculan' Adalah tidak ditentukan waktu atau zaman tertentu bagi kemunculan Imam Mahdi dan kebangkitannya yang bersifat mendunia. Para imam suci dalam beberapa hadis bahkan mendustakan mereka yang menentukan waktu kemunculan al-Mahdi.
Fudzail mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Muhammad Baqir, "Apakah perkara kemunculan Imam Mahdi terjadi pada masa yang tertentu?" Imam sebanyak tiga kali mengatakan, "Mereka yang menentukan waktunya adalah telah berbohong."*
Muhammad bin Muslim mengatakan, "Imam Ja'far Shadiq mengatakan, "Apabila ada yang menentukan waktu munculnya Imam Mahdi as, janganlah engkau gentar untuk mendustakannya karena kami tidak memastikan waktu bagi kemunculannya."*
Dari hadis-hadis seperti itu, dapatlah disimpukan bahwa Rasulullah saw dan juga para imam suci tidak memberitahukan kapan Imam Mahdi akan muncul.
Dengan demikian, mereka telah menutup segala jalan untuk penyalahgunaan. Oleh karena itu, apabila ada yang menisbatkan kepada imam atau selain imam yang berkaitan dengan kepastian waktu kemunculan Mahdi yang dijanjikan, kita berkewajiban untuk mendustakannya.
Tanda-Tanda dan Syarat-Syarat Kemunculan (zuhur) Mahdi Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan dekatnya waktu zuhur 'kemunculan' Imam Mahdi as yang tercatat dalam hadis. Namun, sebagian besarnya adalah lemah serta tidak memiliki sanad yang muktabar dan dapat dipercaya. Selain itu, ada kemungkinan pemalsuan di dalamnya. Untuk mengkaji hal tersebut, diperlukan waktu yang lebih banyak.
Tampaknya, syarat kemunculan Imam Mahdi as yang paling penting adalah adanya kesiapan yang bersifat mendunia. Apabila syarat ini telah terwujud, kita boleh berharap bahwa waktu kemunculannya sudah dekat dan untuk memperjelas duduk persoalannya, kita harus memperhatikan beberapa hal walaupun secara ringkas.
Program dan Kekhususan Pemerintahan Imam Mahdi as Pemerintahan Imam Mahdi as bukanlah suatu hal yang biasa melainkan -sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadis, sangat berbeda dan memiliki banyak kekhususan.
1. Pemerintahannya adalah sebuah pemerintahan yang sepenuhnya agamis dan Islami. Di masa itu, Islam berkuasa secara utuh. Hukum serta undang-undang samawi dilaksanakan secara total dan digunakan dalam semua urusan sosial.
2. Pemerintahan Imam Mahdi as bersifat internasional. Di masa itu, perbatasan-perbatasan buatan yang menciptakan fitnah, seperti geografis, negara dan etnik, serta bahasa, semuanya tenggelam dan dunia hanya diatur oleh satu pemerintahan. Semua masyarakat dunia bekerjasama dalam mengelola dunia.
3. Kesyirikan dan kekufuran tercabut dari muka bumi dan Islam mengalahkan semua agama serta menemukan kekuasaannya. Para pemilik agama samawi hidup dengan penuh kedamaian dan ketulusan.
4. Pemerintahan-pemerintahan tiran yang arogan akan berjatuhan. Kezaliman akan tercabut dari dunia untuk selamanya dan keadilan serta kesejahteraan terhampar luas di seluruh penjuru dunia.
Kondisi Dunia saat ini Di masa sekarang, banyak sekali masyarakat dunia yang musyrik atau kafir dan yang berkuasa adalah para tiran serta pemerintahan-pemerintahan boneka kaum musyrik dan kafir. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi militer yang sangat destruktif serta berbahaya berada di bawah penguasaan mereka. Ringkasnya, kaum mustakbirin dan imperialis menguasai masyarakat dunia dan dengan seluruh kekuatannya, mereka menumpas semua gerakan yang menuntut kemerdekaan dan kebebasan.
Syarat Penting bagi Kemenangan Salah satu syarat penting bagi kemenangan gerakan dan revolusi adalah adanya semua sebab dan penunjang yang dengan ketiadaannya, kemenangan mustahil diraih. Gerakan dan revolusi mendunia Imam Mahdi juga tidak terpisahkan dari undang-undang universal dan alamiah ini. Memperhatikan hal penting ini juga sangat diperlukan meskipun Imam Mahdi dan para sahabatnya, dalam revolusi dunia, mendapatkan dukungan Ilahi. Namun, sebagaimana yang dipahami dari berbagai hadis, kemenangan Imam Mahdi dan para sahabatnya diraih dengan perang dan pertumpahan darah, bukan dengan mukjizat.
Basyir mengatakan, "Hari itu, aku menemui Abu Ja'far. Hadirin bertanya kepada beliau, "Tatkala al-Mahdi bangkit, apakah semua urusan secara alamiah akan lancar di hadapannya, dan bahkan tiada setetes pun darah yang tertumpah?" Imam berkata, "Demi Allah, keadaannya tidaklah demikian! Sekiranya urusan seperti itu mungkin, maka hal itu juga akan berlaku bagi Rasulullah saw. Gigi Rasulullah saw patah di medan tempur, darahnya mengucur, serta keningnya yang suci terluka. Demi Allah! Kebangkitan dan gerakan Shahibul amr juga tidak akan mencapai kemenangan, kecuali di medan tempur dengan menumpahkan keringat dan darah-darah." Ketika itu, Imam menyeka kening beliau yang suci."*
Memandang program besar serta luar biasa Imam Mahdi as, kondisi kontemporal serta masa depan dunia dari sisi industri perang yang menakjubkan, dominasi serta kekuasaaan kaum imperialis dunia terhadap industri itu, dan juga dengan melihat gerakan, kebangkitan Imam Mahdi, serta kemenangannya yang berlangsung dengan perang dan jihad, maka kami sampai kepada kesimpulan bahwa untuk mewujudkan kemenangan besar ini, kita memerlukan persiapan yang luas pada semua sisi dalam skala internasional. Tanpa itu semua, Imam Mahdi tidak akan muncul dan kemenangan tidak akan memungkinkan baginya.
Tanggung jawab untuk mempersiapkan kondisi dan keadaan dunia bagi kemunculan Imam Mahdi dan kebangkitannya berada di pundak Muslimin, orang-orang yang meyakini keberadaan Imam Mahdi as, dan mereka yang menantikan kemunculannya. Mereka memiliki sejumlah kewajiban untuk merealisasikan perkara-perkara penting sebagai berikut:
1. Mereka hendaknya menyucikan dan mendidik jiwa, membina akhlak yang baik dan menjauhi dosa-dosa, khususnya kezaliman, menjaga objektifitas dan konsistensi dari segi amaliah terhadap hukum-hukum dan undang-undang Islam, serta berupaya membela orang-orang tertindas dan menyebarluaskan keadilan. Mereka harus mencetak diri mereka sebagaimana yang diinginkan oleh Imam Mahdi as karena Imam bangkit untuk itu.
2. Mereka harus mengemukakan kelebihan-kelebihan nilai-nilai hukum dan undang-undang Islam dalam berbagai dimensi, seperti akidah, ritual, akhlak, politik, sosial, budaya, dan ekonomi terhadap masyarakat dunia dengan menggunakan berbagai sarana media yang canggih dan propaganda serta mempersiapkan pemikiran masyarakat untuk menerima Islam.
3. Mereka harus bersungguh-sungguh mencari ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai industri, khususnya militer, sehingga dapat mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dan menerjunkan diri mereka ke barisan kafilah ilmu dan industri yang telah mengalami banyak kemajuan dan bahkan telah mendahului mereka.
4. Hendaknya mereka memperkuat pasukan militer dan mempersenjatai pasukan dengan berbagai senjata mutakhir. Dengan ini, mereka dapat membuktikan kekuatan militernya kepada masyarakat dunia dan membuat takut pihak musuh sehingga tidak berani menyerang Islam dan umat Islam.
5. Mereka hendaknya berupaya mendirikan atau mewujudkan sebuah pemerintahan yang seratus persen Islam sebagai model dan dengan menerapkan secara seutuhnya hukum dan undang-undang Islam di berbagai sektor, mereka mendirikan negara yang kukuh dan maju. Mereka harus pula berupaya menyesaikan problema ekonomi, politik, sosial, dan budaya serta memerangi kemiskinan, kezaliman, dan diskriminasi. Mereka juga harus menyebarluaskan keadilan dan kesejahteraan sehingga secara praktik, dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa dunia ini dapat dikelola secara sangat baik dengan menerapkan secara seutuhnya hukum dan undang-undang Islam.
Inilah makna dari penantian faraj (kemenangan) yang dalam hadis disebutkan sebagai kewajiban pada masa kegaiban Imam Mahdi as sehingga begitu ditekankan. Apabila umat Islam yang meyakini kemunculan Imam Mahdi as dan kebangkitan internasionalnya bersikap seperti itu, secara lambat laun akan tercipta landasan bagi kemunculan Imam Mahdi as dan hal itu dapat dikategorikan sebagai alamat atau tanda semakin dekatnya kemunculan Imam Mahdi.