MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2

MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 20%

MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2 pengarang:
Kategori: Tokoh-tokoh Islam
Halaman: 19

MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2

pengarang: AL-SHIA
Kategori:

Halaman: 19
Pengunjung: 5034
Download: 569

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 19 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 5034 / Download: 569
Ukuran Ukuran Ukuran
MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2

MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2

pengarang:
Indonesia
MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2 MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2




OLEH: AL-SHIA

1
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Daftar Isi
MENGENAL TOKOH-TOKOH SYI'AH 2

Daftar Isi

Sayid Radhi (359 – 406 H.)

Syaikh Mufid (338 – 413 H.)

Sayid Murtadha Alamulhuda

Syeikh Abu Shalah Al-Halabi

Ahmad bin Ali An-Najasyi (372 – 450 H.)

Syaikh Abu Ja‘far Ath-Thusi, Pendiri Hauzah Najaf (385 – 460 H.)

Ibn Syadzan Al-Qomi (Wafat 460 H.)

Hamzah Bin Abdul Aziz Ad-Dailami (Sallar Ad-Dailami) (Paruh Kedua Abad Ke-4 – 463 H.)

Al-Qadhi Abdul Aziz Al-Halabi (Ibn Al-Barraj) (401 – 481 H.)

Hakim Al-Haskani (Wafat 490 H.)

Muhammad Bin Hasan Al-Fattal An-Nisyaburi (Syahadah Tahun 508 H.)

Abdul Wahid bin Muhammad At-Tamimi Al-AMudi (510 – 550 H.)

Sayid Fadhlullah Ar-Rawandi (Wafat 570 H.)

Abul Hasan Sa‘id bin Hibatullah (Quthbuddin Ar-Rawandi) (Wafat 573 H.)

Ibn Hamzah ‘Imaduddin Ath-Thusi (Belahan Pertama Abad Ke-6 – 585 H.)

Sayid Abul Makarim Ibn Zuhrah (511 – 585 H.)

Ibn Syahr Asyub (489 – 588 H.)

2
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Sayid Radhi (359 – 406 H.)

Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Musa al-Musawi al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 359 Hijriah di kota Baghdad. Ia berasal dari sebuah keluarga yang mulia dan memiliki hubungan nasab dengan para imam ma‘shum as. Dari jalur ayah, silsilah keturunannya sampai kepada Imam Musa al-Kazhim as dan dari jalur ibu, nasabnya sampai kepada Imam Zainal Abidin as-Sajjad as.

Ayahnya, Abu Ahmad Husain dijuluki “Thahir” (orang suci) dan “Dzul Manqabatain”. Ia termasuk salah seorang tokoh terkemuka dan mendapatkan perhatian istimewa dari penguasa. Di samping itu, ia juga memiliki tugas menangani pengaduan-pengaduan masyarakat dan penuntun jamaah haji. Ibunya, Fathimah adalah putri Abu Muhammad Husain bin Ahmad bin Muhammad Nashir al-Kabir. Ia adalah seorang ilmuwan wanita yang bertakwa. Syaikh Mufid menulis buku “Ahkâm an-Nisâ’” atas permintaannya.


Pendidikan
Sayikh Mufid ra pernah bermimpi melihat Sayidah Fathimah az-Zahra as menuntun tangan Hasan dan Husain as yang masih kecil. Ketika sampai di hadapannya, beliau berkata, “Wahai Syaikh, ajarkalah ilmu fiqih kepada kedua anak ini.” Ia terbangun dari tidurnya dan merasa terpesona dengan mimpinya itu. Pagi keesokan harinya, Fathimah menuntun Sayid Radhi dan Sayid Murtadha untuk menjumpainya. Setelah sampai di hadapannya, ia berkata kepada Syaikh Mufid, “Wahai Syaikh, ajarkanlah ilmu fiqih kepada kedua anak ini.” Lantaran peristiwa itu, Syaikh Mufid terkesima dan menangis. Ia menceritakan mimpi yang telah dialaminya semalam kepada mereka. Selanjutnya, ia bersedia bertanggungjawab untuk mendidik dan mengajar kedua keturunan Rasulullah saw tersebut.

Sayid Radhi adalah seorang figur ulama yang memiliki kecerdasan dan pemahaman yang sangat luar biasa. Ia pernah mendirikan sebuah sekolah di Baghdad dengan tujuan mendidik para pelajar dalam bidang ilmu agama. Ia juga melengkapi sekolah tersebut dengan sebuah perpustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh para muridnya untuk menggali ilmu-ilmu keislaman.

Pada tahun 388 Hijriah, Bahaud Daulah mengakat Syaid Radhi sebagai penggantinya dan menghadiahkan berbagai jenis pakaian mewah kepadanya. Bahaud Daulah juga pernah mengangkatnya sebagai kepala pengurus dalam menangangi urusan para keturunan Rasulullah saw, penganggungjawab dalam menangani setiap pengaduan masyarakat, dan kepala urusan jamaah haji.

Pada tahun 397 Hijriah, Bahaul Mulk juga menetapkan seluruh kedudukan dan tanggungjawab itu atas dirinya.

Pada tahun 388 Hijriah, Bahaud Daulah memberikan julukan “Sayid Agung” (asy-Syarîf al-Jalîl) kepadanya dan pada tahun 398 Hijriah, ia juga mendapatkan julukan “Dzil Manqabatain” darinya. Pada tahun yang sama, Bahaud Daulah juga memberikan julukan “ar-Radhi Dzul Hasabain” kepadanya. Pada tahun 401 Hijriah, Qiwamuddin menghadiahkan julukan “Sayid Teragung” (asy-Syarîf al-Ajall) kepadanya.


Para Guru
Di antara figur dan ulama terkemuka yang pernah berjasa besar dalam mendidik Sayid Radhi adalah sebagai berikut:

a. Sayikh Mufid Muhammad bin Muhammad bin Nu‘man.

b. Abu Bakar Muhammad bin Musa Khwarazmi.

c. Abul Hasan Ali bin Isa ar-Rub‘i.

d. Abul Fath Utsman bin Jinni al-Mushili.

e. Abu Sa’id Hasan bin Abdullah as-Sairafi.


Karya Tulis
Sayid Radhi memiliki banyak karya tulis yang sangat berharga, di antaranya:

a. Nahjul Balaghah. Buku ini dikumpulkan dan ditulis oleh Sayid Radhi sendiri.

b. Khashâ’ish al-Aimmah as.

c. Talkhîsh al-Bayân ‘an Majâz Al-Qur’an.

d. Al-Majâzât an-Nabawiyah.

e. Haqâ’id at-Ta’wîl fî Mutasyâbih at-Tanzîl.


Wafat
Setelah bertahun-tahun menghaturkan pengorbanan untuk dunia Islam dan mazhab Syi‘ah, akhirnya Sayid Radhi meninggal dunia pada tahun 406 Hijriah dalam usia empat puluh tujuh tahun. Ia dikuburkan di Kazhimain di sisi Imam Musa al-Kazhim dan Imam al-Jawad as.

3
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Syaikh Mufid (338 – 413 H.)

Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Nu‘man yang lebih dikenal dengan julukan Syaikh Mufid. Ia dilahirkan di tengah berkecamuknya krisis akidah dan politik pada tahun 338 Hijriah di pinggiran kota Baghdad.


Pendidikan
Ia menamatkan pendidikan permulaan di bawah bimbingan keluarganya sendiri. Karena keluarganya adalah pengikut mazhab Syi‘ah yang militan dan memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap Ahlulbait as, ia berpindah ke kota Baghdad dengan tujuan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih mendalam. Ia menimba ilmu dari para ulama dan ilmuwan tersohor di Baghdad sehingga ia menjadi orang nomor satu dalam bidang ilmu Kalam, Ushul, dan Fiqih. Di samping mutakallim, ia juga adalah seorang faqih pada masanya yang memiliki nama tersohor di seantero dunia Islam.


Kondisi Masa Ia Hidup
Dari sejak kegagalan perlawanan Mukhtar bin Abi ‘Ubaidah ats-Tsaqafî hingga selanjutnya, seluruh pemberontakan kaum tertindas yang anti para penindas memulai pemberontakan mereka dengan mengangkat nama besar Ahlulbait Rasulullah saw. Dengan artian, memberontak atas penguasa yang sedang berkuasa pada masa itu yang dilakukan oleh seluruh aliran yang mencintai Ahlulbait as, baik mazhab Imamiah, Zaidiah, Kaisaniah, Rawandiah, dan aliran-aliran yang lain, memiliki satu tujuan dan misi yang sama, yaitu memberangus pemerintahan rasial dinasti Bani Umaiyah dan menggantikannya dengan sebuah pemerintahan yang berazaskan Al-Qur’an. Dalam pemerintahan ini, bangsa Arab dan non-Arab memiliki kedudukan dan keistimewaan yang sama rata.

Daerah basis pemberontakan yang paling penting pada saat itu adalah Khurasan. Masyarakat Khurasan berkumpul di bawah naungan bendera mazhab Syi‘ah dan ingin mengembalikan kekuasaan dari Bani Umaiyah kepada Bani Ali as. Ketika Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas mengutus para propagandisnya ke Khurasan, ia berpesan supaya mereka tidak menyebut nama tertentu. Yang penting, mereka mengajak masyarakat untuk membela ar-Ridha min Ali Muhammad (figur agung dari keturunan Muhammad saw).

Hasil dari kebangkitan tersebut adalah Bani Abbas berhasil menduduki takhta kerajaan dan keluarga Imam Hasan dan Imam Husain as tercampakkan. Akan tetapi, tindakan politis yang diambil oleh Bani Abbas setelah mereka berhasil menduduki takhta kerajaan atau setelah beberapa saat kerajaannya stabil tidak seperti yang diharapkan oleh kaum tertindas itu. Realita yang terjadi setelah pemberontakan itu berhasil hanyalah terbentuknya sebuah pemerintahan rasial baru dimana Bani Abbas menggantikan posisi Bani Umaiyah. Perbedaan yang ada terletak pada unsur kekuatan Iran yang memiliki andil besar dalam pemberontakan tersebut dan setelah pemberontakan berhasil, mereka memiliki kedudukan penting dalam jajaran kekuatan eksekutif kerajaan. Atas dasar ini, sangat beralasan jika Mu’izud Daulah pada tahun 352 H. menyeru para wanita Syi‘ah supaya mewarnai wajah mereka dengan warna hitam dan memerintahkan mereka untuk keluar ke pasar Baghdad. Para fuqaha Ahlusunah menamakan tahun itu sebagai Tahun Bid‘ah.

Setelah seluruh ujian pahit dan masa kelam itu terjadi, para pemikir dan ulama Syi‘ah mulai sadar dan mengambil sebuah inisiatif—sebagai langkah pertama—untuk mengajarkan ilmu dan akidah Syi‘ah kepada masyarakat luas dan lebih memperkenalkan mereka dengan teori keadilan, kesamaan, dan hukum-hukum Islam. Dari abad ke-2 Hijriah dan selanjutnya, para mutakallim Syi‘ah dan murid universitas Imam al-Baqir dan Imam Ja‘far ash-Shadiq as berusaha keras untuk membangun pondasi-pondasi akidah Syi‘ah dengan dasar logika rasional dan teologis. Dari sejak masa itu hingga tahun 447 Hijriah, yaitu tahun masuknya Thugrul as-Saljuqi ke Baghdad dan penggulingan khalifah terakhir dinasti Syi‘ah Alibuyeh yang bernama al-Malikur Rahim, para pemikir dan ulama Syi‘ah berhasil mencetuskan sebuah teori pemikiran insani dan Islami yang paling unggul selama abad sejarah dengan bersandarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Ahlulbait as. Tindakan ini belum pernah terjadi sebelumnya di dunia Islam. Mereka telah berhasil memperkuat doktrin-doktrin filosofis dan teologis mazhab ini sehingga doktrin-doktrin tersebut tidak hanya bisa bertahan hidup di sepanjang sejarah, bahkan selalu mengalami perkembangan pesat dan berfungsi sebagai solusi bagi setiap problema sosial masyarakat dunia. Dari satu sisi, mereka memasukkan konsep keadilan ke dalam salah satu doktrin akidah mazhab Syi‘ah dan dari sisi lain, mereka memperkenalkan akal sebagai salah satu sumber hukum dalam upaya menelorkan hukum Islam. Dengan kata lain, dalam kedua bidang keyakinan dan amal, mereka menganggap akal sebagai suatu alat yang legal dan dapat berfungsi secara aktif.

Masa kemunculan Syaikh Mufid dan ulama lain yang semasa dengannya terwujud pada saat genting seperti ini. Gerakan berbau agama yang dipelopori oleh para fuqaha dan ulama ini tidak berhenti sampai di situ saja. Gerakan itu terus-menerus diperbaharui dan direnovasi oleh para ulama kenamaan lainnya, seperti Ibn Idris, Allamah al-Hilli, Muhaqqiq al-Hilli, Syaikh Ali al-Karaki, Syaikh Abdul ‘Al, Syaikh Ali Minsyar, Syaikh Baha’i, dan puluhan ulama yang lain sehingga berhasil menembus cakrawala ilmu Fiqih. Mereka juga berhasil menyempurnakan ilmu Fiqih yang telah dicetuskan oleh Syaikh Shaduq, Syaikh al-Kulaini, Syaikh Mufid, dan Syaikh ath-Thusi dari uang lingkup ibadah dan transaksi menuju ruang lingkup yang lebih sempurna.

Betul bahwa setelah penyerangan kaum Mongol ke pusat-pusat ilmiah Islam, hauzah-hauzah ilmiah Syi‘ah mengalami sedikit stagnansi. Akan tetapi, setelah masa kevakuman pasca penyerangan kaum Mongol itu, para fuqaha dan ulama setelah generasi mereka, seperti Syahid Awal, Syahid Tsani, Muqaddas Ardabilli, Allamah Wahid al-Bahbahani, Syaikh Ja‘far Al Kasyiful Githa’, Syaikh Hasan yang lebih dikenal dengan sebutan Shâhib al-Jawâhir, Mirza Syirazi Yang Agung, dan Syaikh Murtadha al-Anshari, berhasil menghidupkan ilmu Fiqih mazhab Syi‘ah kembali dan dapat bertahan hidup hingga masa kita sekarang ini.


Para Guru
Di dalam penutup kitab Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, Syaikh Nuri menyebutkan lima puluh orang guru Syaikh Mufid. Akan tetapi, yang jelas, jumlah gurunya melampaui jumlah tersebut. Guru-gurunya yang paling tersohor adalah sebagai berikut:

a. Ibn Qawlawaeh al-Qomi.

b. Syaikh Shaduq.

c. Ibn Walid al-Qomi.

d. Abu Ghalib.

e. Ibn Junaid al-Iskafi.

f. Abu Ali ash-Shauli al-Bashrî.

g. Abu Abdillah ash-Shafwani.

h. Ibn Abi ‘Aqil.


Para Murid
Banyak sekali para ulama yang telah menimba ilmu dari lautan ilmu Syaikh Mufid. Yang paling terkenal adalah berikut ini:

a. Sayid Murtadha Alamul Huda, sudara Sayid Radhi.

b. Syaikh ath-Thusi.

c. An-Najasyi.

f. Abul Fath al-Karachiki.

g. Abu Ya’la Ja‘far bin Salar.

h. Abdul Ghani.


Karya Tulis
An-Najasyi menyebutkan seratus sebelas karya Syaikh Mufid di dalam bukunya. Sebagian dari hasil karya tulis tersebut adalah sebagai berikut:

a. Dalam bidang ilmu Fiqih: al-Muqni‘ah, al-Farâ’idh asy-Syar‘iah, dan Ahkâm an-Nisâ’.

b. Dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an: al-Kalâm fî Dalâ’il Al-Qur’an, Wujûh I‘jâz Al-Qur’an, an-Nushrah fî Fadhl Al-Qur’an, dan al-Bayân fî Tafsir Al-Qur’an.

c. Dalam bidang ilmu Kalam dan Akidah: Awa’il al-Maqâlât, Naqdh Fadhîlah al-Mu‘tazilah, al-Ifshâh, al-I^dhâh, dan al-Arkân.


Komentar Para Ulama
a. An-Najasyi, murid tersohor dan kepercayaannya berkomentar, “Keutamaan guru kami ra dalam bidang ilmu Fiqih dan Hadis, dan ke-tsiqah-annya lebih tersohor dari setiap usaha untuk menjelaskannya. Ia memiliki banyak karya tulis, di antaranya al-Muqni‘ah, al-Arkân fî Da‘âim ad-Dîn, al-I^dhâh dan al-Ifshâh dalam bab konsep imamah, al-Irsyâd, al-‘Uyûn, dan al-Mahâsin.”

b. Syaikh ath-Thusi di dalam “al-Fihrist” berkomentar, “Muhammad bin Muhammad bin Nu‘man yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Mu‘allim adalah salah seorang mutakallim mazhab Imamiah pada masa hidupnya. Kepemimpinan dan marja’iah mazhab Syi‘ah berada di tangannya. Dalam bidang ilmu Fiqih dan Kalam selalu diunggulkan atas orang lain. Ia memiliki hafalan yang baik dan otak yang jenius. Dalam menjawab setiap pertanyaan, ia selalu memiliki jawaban yang siap diberikan. Ia memiliki karya tulis besar dan kecil lebih dari dua ratus buku.”

c. Abu Ya‘la al-Ja‘fari, menantu dan pengganti posisinya, pernah berkomentar, “Ia hanya tidur sedikit di waktu malam. Selebihnya, selama siang dan malam, ia mengerajakan shalat, menelaah buku, mengajar, atau membaca Al-Qur’an.”


Komentar Para Ulama Ahlusunah
Di samping para ulama Syi‘ah di atas, para ulama Ahlusunah juga memuji keutamaannya dalam bidang ilmu dan ketakwaan.

a. Ibn Hajar al-‘Asqallani berkomentar, “Ia adalah seorang ahli ibadah, zuhud, khusyuk, dan selalu melakukan shalat tahajud. Ia juga selalu menekuni bidang keilmuan secara kontinyu. Banyak para ulama yang telah menimba ilmu darinya. Ia memiliki hak yang sangat besar atas seluruh pengikut mazhab Syi‘ah. Ayahnya hidup di daerah Wasith. Ia memiliki profesi mengajar dan terbunuh di daerah ‘Ukburi. Menurut sebuah cerita, ‘Adhudud Daulah sering menemuinya dan ketika ia sakit, Raja selalu membezuknya.”

b. ‘Imad a-Hanbali menukil pernyataan buku Târîkh Ibn Abi Thay al-Halabî tentang Syaikh Mufid, “Ia adalah salah seorang tokoh pembesar mazhab Imamiah dan panutan dalam bidang ilmu Fiqih dan Kalam, dan seni berdialog. Ia selalu mengadakan dialog dan diskusi dengan para pengikut seluruh aliran. Di dalam jajaran pemerintahan dinasti Alibuyeh, ia memiliki kedudukan yang sangat penting. Ia selalu memberikan sedekah yang tak terhingga, ahli tahajud, khusyuk, selalu mengerjakan shalat, dan berpuasa. Pakaiannya pun selalu rapi. ‘Adhudu Daulah selalu menemuinya. Ia berperawakan kurus dan berkulit kuning langsat. Ia berusia tujuh puluh enam tahun dan memiliki lebih dari dua ratus karya tulis. Kisah pengantaran jenazahnya sudah dikenal oleh masyarakat ramai. Lebih dari delapan puluh ribu orang pengikut mazhab Syi‘ah ikut mengantarkan jenazahnya ke liang lahat. Ia meninggal dunia pada bulan Ramadhan. Semoga Allah merahmatinya.”

c. Pada pembahasan peristiwa tahun 413 Hijriah, al-Yafi‘i menulis, “Pada tahun ini, seorang ulama Syi‘ah meninggal dunia. Ia memiliki banyak karya tulis dan panutan yang agung dalam mazhab Syi‘ah Imamiah. Ia dikenal dengan sebutan Mufid dan Ibn al-Mu‘allim. Ia memiliki kepiawaian dalam bidang ilmu Kalam, Fiqih, dan seni berdebat. Ia selalu mengadakan perdebatan dengan penganut setiap akidah dan keyakinan. Ia hidup dengan penuh penghormatan di kalangan jajaran penjabat dinasti Alibuyeh.”


Wafat
Akhirnya, setelah tujuh puluh lima tahun menghaturkan berbagai pengorbanan dan khidmat berharga, Syaikh yang agung ini harus meninggalkan dunai yang fana. Ia meninggal dunia pada tahun tahun 413 Hijriah. Ia mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari para ulama. Menurut versi riwayat Syaikh ath-Thusi, muridnya yang ikut hadir mengantarkan jenazah gurunya, hari wafatnya—dilihat dari sisi banyaknya sahabat dan musuh yang mengerjakan shalat dan menangisinya—tiada duanya. Delapan puluh ribu pengikut mazhab Syi‘ah ikut mengantarkan jenazahnya. Sayid Murtadha ‘Alamul Huda memimpin shalat jenazah atasnya. Ia dikuburkan di bawah bagian kaki makam suci Imam al-Jawad, di dekat gurunya, Ibn Qawlawaeh.

4
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Sayid Murtadha Alamulhuda
Nama lengkapnya adalah Abul Qasim Ali bin Husein bin Musa yang lebih dikenal dengan nama Sayid Murtadha Alamulhuda. Ia lahir pada tahun 355 H. di sebuah keluarga mulia yang silsilah nasab mereka sampai kepada Imam Musa Al-Kazhim a.s. hanya dengan lima perantara. Yaitu Ali bin Husein At-Thahir bin Musa bin Muhammad bin Musa bin Ibrahim bin Musa Al-Kazhim a.s. bin Ja’far Ash-Shadiq a.s.

Ia adalah salah satu ulama kaliber Syi’ah yang menguasai semua jeni ilmu rasional dan tradisional, seperti tafsir, teologi dan satra Arab. Karena penguasaannya yang sangat dalam terhadap ilmu-ilmu keislaman, pada abad ke-4 H. ia disebut sebagai modernis mazhab Syi’ah.

Ketenarannya tidak hanya terbatas di kalangan ulama Syi’ah, bahkan ketenaran itu juga mewarnai dunia Ahlussunnah. Ibnu Khalakan, salah seorang sejarawan, Ibnu Atsir dalam Kâmilut Tawârîkhnya, AL-Yafi’i dalam Mirâtul Jinânnya, As-Suyuthi dalam At-Thabaqâtnya, AL-Khatib Al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdadnya dan Ibnu Atsir As-Syami mengenang dan menyebut Sayid Murtadha dengan ungkapan-ungkapan yang terindah.

Seorang sastrawan Mesir pernah berkata: “Saya melihat pembahasan-pembahasan yang dimuat di dalam buku Al-Ghurar wad Durar karya Sayid Murtadha yang tidak kudapatkan di buku-buku ahli Nahwu lainnya”.

Ada satu cerita menarik berkenaan dengan permulaan belajarnya. Syeikh Mufid adalah salah seorang guru Sayid Murtadha. Pada suatu malam ia bermimpi didatangi oleh Sayidah Fathimah a.s. dengan menuntun Imam Hasan dan Imam Husein a.s. Setelah datang di hadapannya, ia langsung berkata: “Wahai Syeikh, ajarkan fiqih kepada kedua anak ini”.

Syeikh Mufid bingung melihat mimpi aneh tersebut. Keesokan harinya, Fathimah, ibu Sayid Murtadha datang menghadapnya dengan membawa kedua putranya yang masih kecil. Mereka adalah Sayid Murtadha dan Sayid Radhi. Setelah sampai di hadapan Syeikh Mufid, ia mengucapkan kata-kata yang diucapkan oleh Sayidah Fathimah Az-Zahra` a.s.: “Wahai Syeikh, ajarkanlah fiqih kepada kedua anak ini!” Dengan peristiwa itu, Syeikh Mufid mengetahui ta’bir mimpinya. Karena melihat sesuatu yang luar biasa dalam diri kedua anak kecil tersebut, Syeikh Mufid sangat memperhatikan pendidikan mereka.

Satu cerita menarik lainnya berkenaan dengan julukannya Alamulhuda. Para sejarawan menulis bahwa Abu Sa’id Muhammad bin Husein, salah seorang mentri Al-Qadir Billah yang berkuasa pada tahun 381-422 H., ditimpa sebuah penyakit parah pada tahun 420 H. Di suatu malam ia bermimpi berjumpa dengan Amirul Mukminin Ali bin Thalib a.s. Imam Ali a.s. berkata kepada sang Mentri: “Mintalah doa dari Alamulhuda jika engkau mau sembuh”.

“Siapa yang Anda maksud dengan Alamulhuda, wahai Amirul Mukminin?”, tanyanya.

“Ali bin Husein Al-Musawi”, jawab Imam a.s.

Keesokan harinya, ia menulis surat kepada Sayid Murtadha supaya mendoakannya demi kesembuhan penyakitnya dan di dalam surat itu ia memanggilnya dengan Alamulhuda. Sayid Murtadha merasa keberatan dengan julukan agung tersebut dan meminta darinya untuk tidak menyebutnya lagi dengan julukan itu. Sang Mentri menjawab: “Demi Allah, Amirul Mukminin memerintahkanku untuk menyebutmu demikian”.

Setelah Mentri tersebut sembuh karena doa Sayid Murtadha, ia menceritakan semua yang terjadi atas dirinya dan keengganan Sayid Murtadha untuk menerima julukan tersebut kepada Khalifah. Mendengar hal itu, Khalifah Al-Qadir Billah menulis surat kepada Sayid Murtadha yang isinya adalah sebagai berikut:

“Tidak pantas jika Anda menolak julukan yang telah diberikan oleh kakek Anda”.

Sejak itu, semua surat-surat resmi negara yang ditujukan kepada Sayid Murtadha dimulai dengan sebutan Alamulhuda. Dan masyarakat pun memanggilnya dengan julukan tersebut.


Hauzahnya
Hauzah yang dibangunnya dipenuhi oleh para murid yang mempelajari berbagai disiplin ilmu darinya. Di samping itu, ia juga menentukan bayaran khusus bulanan kepada setiap murid yang belajar di situ sesuai dengan kadar keilmuan masing-masing. Misalnya, Syeikh Thusi menerima sebanyak 12 Dinar emas dan Qadhi Ibnul Barraj menerima 8 Dinar emas setiap bulan.


Guru-gurunya
Ia pernah belajar dari guru-guru kaliber yang telah berhasil mendidiknya menjadi seorang ulama kenamaan, di antaranya Syeikh Mufid, Ibnu Nabatah, seorang satrawan dan Syeikh Hasan Babawaeh.


Murid-muridnya
Ia juga memiliki murid-murid yang sangat memiliki peran penting di dalam arena ilmu pengetahuan. Seperti Syeikh Thusi, Qadhi Ibnul Barraj, Abu Shalah Al-Halabi, Abul Fath Al-Karajiki dan Sallar bin Abdul Azizi Ad-Dailami.


Karya-karyanya
Almarhum Mudarris, pengarang buku Raihânatul Adab menyebutkan ± 72 jilid buku hasil karyanya. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Al-Intishâr.

2. Jamâlul ‘Ilm wal ‘Amal.

3. Adz-Dzarî’ah fi Ushûlis Syarî’ah (dalam bidang Ushul Fiqih).

4. Al-Muhkam wal Mutasyâbih.

5. Mâ Tafarradat bihil Imâmiah minal Masâ`ilil Fiqhiyah.

6. Al-Mukhtashar.

7. Al-Mishbâh.

8. An-Nâshiriyât.


Wafatnya
Setelah tiga puluh tahun beraktifitas, akhirnya ia harus meninggalkan dunia fana ini di Baghdad pada tahun 436 H. Ia dikuburkan di rumahnya. Akan tetapi, belum lama ini, jenazahnya dipindahkan ke Karbala` dan dikuburkan di samping Imam Husein a.s.


Bibiliografi :
1. Raihânatul Adab, jilid 4 hal. 183-190.

2. Ar-Raudhât.

3. Adabul Murtadha, karya Dr. Abdur Razzak.

4. Mu’jamul Mu`allifîn, Umar Ridha Al-Kahhalah, jilid 7.

5
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Syeikh Abu Shalah Al-Halabi
Halab adalah sebuah kota besar yang terletak di Syam (Syiria sekarang) dan termasuk kota makmur yang dihuni oleh banyak penduduk kala itu. Dan hingga sekarang pun kota itu masih banyak dihuni oleh penduduk karena memang termasuk daerah yang berhawa sejuk dan rindang. Di dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. sering menggembala domba-dombanya di daerah itu dan ketika hari Jumat tiba, ia memerah air susunya lalu disedekahkan kepada fakir dan miskin. Daerah ini layak untuk dijadikan daerah pertanian yang makmur dan tempat tumpuan kehidupan masyarakat setempat. Di samping itu, sejak zaman dahulu banyak juga ditemukan perpustakaan-perpustakaan besar dan toko-toko buku yang berkeleran di situ. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut juga dikenal dengan daerah ilmu dan pengetahuan. Banyak ulama yang berasal dari daerah ini dan namanya dikenal di medan ilmu dan pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Abu Shalah Al-Halabi adalah salah seorang dari mereka. Salah satu rekan sedaerahnya yang tidak kalah tenar dalam bidang fiqih dan ilmu-ilmu keislaman adalah Syeikh Hamzah bin Ali Al-Halabi yang lebih dikenal dengan Abu Zuhrah.


Biografi Singkat Abu Shalah
Nama lengkapnya adalah Taqiuddin bin Najmuddin bin Ubaidillah. Sebagaimana biografi kebanyakan orang-orang besar, tahun kelahiran Abu Shalah tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi, jika memperhatikan tahun wafatnya (447 H.) dan usianya yang hanya 100 tahun, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ia lahir pada tahun 347 H. Dengan demikian, ia pernah hidup pada pertengahan abad ke-4 H. hingga abad pertengahan abad ke-5 H. Di samping seorang faqih yang pandangan-pandangannya banyak memiliki andil di dalam dunia fiqih, ia juga seorang muhaddis dan mufassir. Ia tergolong tokoh kaliber Syi'ah pada abad ke-5 H.


Guru-gurunya
Syeikh Abu Shalah Al-Halabi pernah menimba ilmu dari para tokoh kaliber yang pernah memegang tampuk kepemimpinan dalam dunia Syi'ah. Mereka antara lain:

1. Sayid Murtadha Alamulhuda (wafat tahun 436 H.).

2. Syeikhuth Thâ`ifah, Syeikh Thusi (wafat 460 H.).

3. Syeikh Abdul Aziz Sallar.

Pada masa Sayid Murtadha, ia pernah menjadi wakilnya di Syam dan Halab untuk menyebarkan Islam dan membimbing masyarakat di sana, dan pada masa Syeikh Thusi, ia tetap memilihnya sebagai wakilnya untuk kedua daerah strategi tersebut. Dengan ini, ia dikenal dengan julukan khalîfatul Murtadhâ dan khaîfatusy Syeikh. Adanya sistem perwakilan pada waktu itu mengindikasikan bahwa Syi'ah memiliki sebuah kemampuan yang tidak dapat diremehkan dan ulama masih memiliki pendapat menentukan seperti sekarang ini. Di samping itu, para wakil tersebut akan dengan cepat menyelesaikan problema yang muncul di tengah masyarakat sehingga mereka tidak terabaikan karena itu.


Karya-karyanya
Abu Shalah Al-Halabi memiliki banyak karya tulis yang pada umumnya dalam bidang fiqih dan ilmu teologi. Berikut ini adalah sebagian karya-karya tulisnya:

1. Al-Bidâyah (fiqih).

2. Taqrîbul Ma’ârif.

3. Daf’u Syubahil Malâhidah.

4. Syarhudz Dzakhîrah. Adz-Dzkhîrah adalah karya gurunya, Sayid Murtadha Alamulhuda.

5. Asy-Syâfiyah.

6. Al-‘Uddah (fiqih).

7. Al-Kâfî (fiqih).

8. Al-Lawâmi’ (fiqih).

9. Al-Mursyid fi Tharîqil Muta’abbid (fiqih).


Wafatnya
Setelah ia memanfaatkan seluruh umurnya di dalam mengembangkan Islam dan membimbing masyarakat Syi’ah di daerahnya, ia harus meninggalkan dunia fana ini pada tahun 447 H.


Bibiliografi
1. Dîdâr az Halab dar Sâl-e 1357 (1978 M.).

2. Riyâdhul ‘Ulama, jilid 5 hal. 464.

3. Raihânatul Adab, jilid 7 hal. 161.

4. Raudhâtul Jannât, jilid 2 hal 117.

5. Mu’jam Rijâlil Hadîts, jilid 3 hal. 377.

6
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Ahmad bin Ali An-Najasyi (372 – 450 H.)

Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abbas bin Muhammad bin Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah An-Najasyi. Ia dilahirkan pada tahun 372 Hijriah di kota Kufah. Ayahnya adalah seorang muhaddits dan pembesar mazhab Syi'ah. Garis keturunannya—seperti yang ia tegaskan sendiri—sampai kepada Adnan.

Julukannya adalah Abul Husain, meskipun sebagian ulama menyatakan—dengan keliru—bahwa julukannya adalah Abul Abbas.

Kakeknya, Abdullah An-Najasyi pernah menjabat sebagai gubernur Ahvaz. Ia pernah menulis surat kepada Imam Ash-Shadiq as dan beliau menjawab suratnya itu. Surat ini—akhirnya—dikenal dengan nama "Risalah Ahwaziyah".

Najasyi berdomisili di Kufah. Keluarganya, Al Abi Samal adalah sebuah keluarga pembesar kota Kufah yang selalu mendapatkan penghormatan dari sejak zaman dahulu.

Ahmad bin Ali An-Najasyi lebih banyak melalui hari-harinya di kota Baghdad, dan sangat sedikit sekali ia melakukan perjalanan. Perjalanannya ini kebanyakan untuk berziarah ke makam-makam suci para imam as. Di antara perjalanan yang pernah dilakukannya adalah perjalanan ke Najaf Asyraf yang ia lakukan pada tahun 400 Hijriah. Ia pun menginap beberapa lama di haribaan Amirul Mukminin as. Ia juga pernah melakukan perjalanan menuju Samarra' untuk menziarahi makam suci Imam Al-Hadi dan Imam Al-'Askari as.

Meskipun demikian, ia beberapa kali pernah mengunjungi tempat kelahirannya, Kufah dan mempelajari hadis di situ. Lebih dari itu, ia sempat mengambil ijazah periwayatan hadis dari para ulama hadis dan juga memberikan ijazah periwayatan kepada orang lain.

Di antara hal-hal yang layak mendapat perhatian berkenaan dengan kehidupan Najasyi ini adalah ia hanya menukil hadis dari orang-orang yang terpecaya (tsiqah) dan mu'tabar. Meskipun ia memiliki banyak hadis yang berasal dari perawi-perawi yang lemah dan tertuduh, ia tidak pernah meriwayatkan hadis tersebut.

Dalam beberapa kesempatan ia sering menegaskan, "Dalam masalah ini, saya memiliki banyak hadis yang berasal dari para perawi yang lemah atau dari kitab yang lemah dan kurang terpercaya. Oleh karena itu, saya tidak menukilnya." Kehati-hatiannya dalam menukil hadis sangatlah kuat sehingga ia juga enggan mendengar hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah. Poin ini membuat nilai nukilan-nukilan hadis yang dilakukan oleh pembesar Syi'ah, seperti Najasyi ini memiliki nilai positif dua kali lipat dan memantapkan hati kita terhadap hadis-hadis tersebut. Khususnya, lantaran mereka hidup berdekatan dengan masa risalah dan lebih banyak mengetahui tentang kesahihan dan kelemahan sebuah hadis.

Jasa terpenting yang pernah dilakukan oleh Najasyi untuk mazhab Syi'ah—khususnya—dan muslimin—umumnya—adalah penulisan buku yang berisikan biografi para perawi hadis. Buku ini dikenal dengan nama "Rijal An-Najasyi". Setelah berlalu ratusan tahun dan ratusan buku ilmu Rijal ditulis oleh para pakar dan ulama Islam, buku Najasyi masih termasuk buku referensi ilmu Rijal paling penting untuk mengetahui ke-tsiqah-an atau kenon-tsiqah-an seorang perawi hadis.

Menurut pengakuan para ulama dan pembesar ilmu Rijal, fuqaha, dan ahli hadis, buku Rijal An-Najasyi masih menempati rengking pertama dan ketika terjadi pertentangan antara pernyataan para ahli ilmu Rijal, pernyataan Najasyi masih didahulukan. Buku-buku ilmu Rijal yang lain tidak mampu untuk "melawan" buku Rijal An-Najasyi.


Para Guru
Najasyi ra pernah menimba ilmu dari beberapa pembesar dan ulama kaliber dan meriwayatkan hadis dari mereka. Di antaranya adalah:

1. Ayahnya, Ali bin Ahmad An-Najasyi.

2. Syaikh Mufid.

3. Ahmad bin Abdul Wahid Al-Bazzaz yang lebih dikenal dengan Ibn Hasyir.

4. Ahmad bin Ali As-Sairafi.

5. Ibn Al-Ghadha'iri Husain bin 'Ubaidillah dan anaknya, Ahmad bin Husain.

6. Harun bin Musa Tal'ukburi dan anaknya, Abu Ja'far bin Harun.

7. Ahmad bin Muhammad bin 'Imran yang lebih dikenal dengan Ibn Ma'ruf.


Para Murid
Di antara sekian murid Najasyi adalah:

1. Syaikh Thusi.

2. Syaikh Abul Hasan Shahrasyti.

3. Sayid 'Imaduddin bin Ma'bah Al-Hasani Al-Mirwazi.


Karya Tulis
Di antara karya-karya tulis Najasyi yang masih dapat ditemukan adalah:

1. Al-Jumu'ah wa Mâ Warada fîhi min Al-A'mâl.

2. Al-Kufah wa Mâ fîhâ min Al-Atsâs wa Al-Fadhâ'il.

3. Ansâb Bani Nashr bin Qa'in.

4. Mukhtashar Al-Anwâ' wa An-Nujûm.

5. Ar-Rijâl atau Fihrist Asmâ' Mushannifî Asy-Syi'ah.


Wafat
Ahmad bin Ali An-Najasyi meninggal dunia pada tahun 450 Hijriah dalam usia tujuh puluh tahun di daerah Mathir-abad yang terletak di pinggiran kota Samarra'. Orang pertama yang menyebutkan tanggal kewafatannya adalah Allamah Al-Hilli dalam Al-Khulâshahnya. Sebelum masa Allamah, tak seorang pun ulama, baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahlusunah yang menyinggung tanggal kewafatan ulama kaliber ini.

7
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Syaikh Abu Ja‘far Ath-Thusi, Pendiri Hauzah Najaf (385 – 460 H.)

Kelahiran
Ia adalah seorang faqih besar, muhaddis kenamaan, dan ilmuwan tersohor. Ia mendapat julukan Syaikhut Tha’ifah (Pembesar Mazhab Syi‘ah). Nama lengkapnya adalah Abu Ja‘far Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 385 H. di kota Thus, Khurasan, salah satu kota besar di Iran.


Karier Ilmiah
Ia berhasil menamatkan tingkat permulaan pendidikan di tempat kelahirannya sendiri. Pada tahun 408 Hijriah, ketika usianya masih dua puluh delapan tahun, ia berhijrah ke Baghdad dan berdomisili di Irak hingga ia tutup usia. Setelah gurunya, Sayid Murtadha Alamulhuda meninggal dunia, tampuk kepemimpinan ilmiah dan fatwa mazhab Syi‘ah berpindah ke tangannya.

Ketenaran ilmu pengetahuan, kezuhudan, takwa Syaikh Thusi melampaui garis perbatasan Irak dan sampai ke seluruh penjuru dunia kala itu. Bahkan, ketenaran ini mampu menembus tembok-tembok kokoh istana kekhalifahan dinasti Bani Abbasiah. Hal ini menyebabkan Al-Qa’im bi Amrillah, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Abbasiah—bekerja sama dengan dinasti Al Buyeh—sepenuhnya menyerahkan kursi pengajaran ilmu Teologi kepadanya. Pengajaran ilmu teologi ini—biasanya—dilaksanakan di pusat kekhalifahan pada masa itu.

Mereka sangat mengagungkan kursi yang satu ini, dan menyerahkan kursi tersebut kepada seorang ilmuwan negara yang paling agung dan tersohor. Penyerahan kursi tersebut kepada Syaikh Thusi mengindikasikan bahwa tidak ada ilmuwan lagi di seluruh penjuru Baghdad dan negara Islam yang memiliki kelayakan untuk mendudukinya.


Para Guru
Selama lima tahun, Syaikh Thusi menimba ilmu dari Syaikh Mufid. Karena kecerdasannya yang luar biasa, ia mendapatkan perhatian yang luar biasa dari gurunya itu. Atas dasar ini, ia selalu hidup bersamanya sehingga Syaikh Mufid meninggal dunia pada tahun 413 Hijriah.

Setelah Syaikh Mufid meninggal dunia, Sayid Murtadha, salah seorang murid kenamaannya betanggung jawab atas pendidikan Syaikh Thusi dan Syaikh Thusi pun menimba ilmu darinya selama waktu yang amat panjang. Karena Sayid Murtadha melihat kecerdasan dan kelayakan yang sempurna pada dirinya, ia memberikan perhatian yang sangat istimewa kepadanya dan memaksanya untuk memberikan kuliah di Baghdad. Sebagai imbalan, Sayid Murtadha memberikan tunjangan 12 Dinar per bulan, sebuah angka yang cukup besar pada masa itu. Setelah dua puluh tiga tahun Syaikh Mufid hidup bersama Sayid Murtadha, Sayid Murtadha harus berpisah dengannya lantaran ia wafat pada bulan Rabiulawal 436 H. di usia delapan puluh satu tahun.

Pada masa itu juga, Syaikh Mufid juga pernah menimba ilmu dari beberapa ulama besar, seperti Husain bin ‘Ubaidillah Al-Ghadha’iri, Ibn Junaid Al-Iskafi, dan Ahmad bin Musa yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Shalt Al-Ahwazi.


Para Murid
Seperti telah disinggung di atas, setelah Sayid Murtadha meninggal dunia, kepemimpinan mazhab Syi‘ah berpindah ke tangan Syaikh Thusi. Dengan demikian, rumahnya yang terletak di daerah Karkh, Baghdad menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan dan selalu didatangi oleh ulama dan ilmuwan yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia Islam pada masa itu.

Para murid Syaikh Thusi berjumlah tiga ratus orang, dan ratusan ulama dari pengikut mazhab Ahlusunah juga pernah menimba ilmu darinya.


Masa Kehidupan
Setelah dinasti Al Buyeh runtuh dan dinasti Saljuqi memerintah, kondisi kehidupan sosial masyarakat berubah secara drastis. Gangguan dan pembunuhan massal terhadap para pengikut mazhab Syi‘ah dimulai kembali. Karena tuntutan kondisi ini dan demi menjaga jiwa dan mazhab, mereka terpaksa harus menjalani kehidupan sehari-hari dengan bertaqiyah. Dengan penyerangan yang dilakukan oleh kaum fanatik terhadap kerajaan dan pemuda-pemuda brandalan terhadap barisan pengikut Syi‘ah yang sedang mengadakan acara aza’ atas syahadah Imam Husain as, pengadaan acara aza’ yang biasanya dilakukan oleh mereka berhenti total.

Dalam sebuah penyerangan yang terjadi di bawah komando Menteri Abdul Malik, sangat banyak pengikut mazhab Syi‘ah yang terbantai dan tidak sedikit rumah penduduk, toko, pusat-pusat kajian ilmiah, dan perpustakaan-perpustakaan Syi‘ah yang dibakar dan—akhirnya—dirampok.

Syaikh Thusi pun tidak aman dari penggarongan dan pembakaran tersebut. Karena—seperti telah disebutkan di atas, Syaikh Thusi telah diserahi kursi pengajaran ilmu Teologi, dan sebagian ulama yang menamakan dirinya sebagai pengikut mazhab Ahlusunah merasa iri dengan kedudukan tersebut. Mereka sudah beberapa kali berusaha untuk menggulingkan Syaikh dari kursi tersebut. Tetapi, mereka tidak behasil. Kedengkian ini—pada akhirnya—berhasil mencapai tujuannya, dan beberapa orang brandalan menyerang rumah kediaman Syaikh dan merampok segala isi yang ada di dalamnya. Kursi pengajaran ilmu Teologi itu juga dibakar. Tidak ketinggalan pula, perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh Syaikh ikut termakan oleh jilatan si jago merah. Padahal, perpustakaan itu adalah sebuah perpustakaan yang terbesar dan terkemuka pada masa itu dan memuat berbagai buku asli hasil tulisan tangan para ulama dan naskah Al-Qur’an yang telah ditulis dengan tinta emas murni.

Setelah pembakaran perpustakaan tersebut, orang-orang brandalan itu memasuki rumah Sayikh Thusi dengan tujuan untuk membunuhnya. Akan tetapi, karena mereka tidak berhasil menemukannya, seluruh buku dan bendera-bendera yang biasa digunakan dalam acara-acara aza’ yang masih tersisa dibawa ke tengah-tengah pasar dan—kemudian—dibakar di hadapan khalayak ramai.

Setelah peristiwa menyakitkan ini terjadi, Syaikh Thusi melarikan diri dari Baghdad dan menuju ke Najaf Asyraf secara sembunyi-sembunyi. Pada masa itu, Najaf Asyraf adalah sebuah kota yang hanya didiami oleh beberapa gelintir orang yang sangat mencintai Amirul Mukminin Ali as. Setelah amarah para penyerang itu mulai reda, Syaikh mendirikan sebuah hauzah ilmiah di Najaf Asyraf, dan setelah itu, hauzah ini menjadi sebuah hauzah terbesar di kalangan para pengikut mazhab Syi‘ah.


Karya Tulis
Syaikh Thusi memiliki banyak karya tulis. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. An-Nihâyah.

2. Al-Mabsûth.

3. Al-Kilâf.

4. Al-Mufshih fî Al-Imâmah.

5. Lâ Yasa‘ Al-Mukallaf Al-Ikhlâl bihi (dalam bidang ilmu Ushul Fiqih).

6. ‘Uddah Al-Ushûl (dalam bidang ilmu Ushul Fiqih).

7. Ar-Rijâl.

8. Al-Fihrist.

9. Muqaddimah fî ‘Ilm Al-Kalâm.

10. I^jâz fî Farâ’idh Ar-Risâlah.

11. Mas’alah fî ‘Amal bi Khabar Al-Wâhid.

12. Risâlah Mâ Yu‘mal wa Mâ Lâ Yu‘mal.

13. Riyâdh Al-‘Uqûl.

14. Tamhîd Al-Ushûl.

15. At-Tibyân fî Tafsir Al-Qur’an.

16. Risâlah fî Tahrîm al-Fuqâ‘.

17. Al-Masâ’il Ad-Dimasyqiyah.

18. Al-Masâ’il Al-Halabiyah.

19. Al-Masâ’il Al-Hâ’iriyah.

20. Al-Masâ’il Al-Yâsiyah.

21. Al-Masâ’il Al-Jîlâniyah.

22. Masâ’il fî Al-Farq baina An-Nabi wa Al-Imam.

23. Risâlah Naqdh Ibn Syadzan.

24. Risâlah Al-Mukhtashar.

25.Risâlah Masâ’il Ibn Al-Barraj.

26. Mukhtashar Mishbâh Al-Mutahajjid.

27. Uns At-Tauhid.

28. Al-Iqtishâr fîmâ Yajibu ‘alâ Al-‘Ibâd.

29. Mukhtashar Al-Mishbâh.

30. Akhbâr Mukhtar bin Abi ‘Ubaidah Ats-Tsaqafi.

31. Maqtal Al-Husain as.

32. Ikhtiyâr Rijâl Al-Kasyi.

33. Majâlis (dalam bidang hadis dan riwayat).

34. Hidâyah Al-Mustarsyid wa Bashîrah Al-Muta‘abbid.

35. Sebuah buku dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Akidah, dan Kalam.

36. Masâ’il Râziyah fî Al-Wa‘îd.

37. Al-Masâ’il Al-Fârisiyah.

38. Al-Ghaibah.


Komentar Para Ulama
Najasyi, seorang ulama yang hidup sezaman dengan Syaikh Thusi berkomentar, “Abu Ja‘far Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi adalah salah seorang ulama yang agung, tsiqah, dan murid guru kami, Abu Abdillah Al-Mufid yang tersohor.”

Allamah Sayid Bahrul ‘Ulûm, salah seorang tokoh mazhab Ja‘fariyah dan seorang ulama yang paling bertakwa di dunia Islam berkata, “Muhammad bin Hasan Ath-Thusi adalah tokoh mazhab Imamiah yang tersohor, pemegang bendera syariat Islam, dan imam mazhab Syi‘ah setelah periode para imam ma‘shum as. Berkenaan dengan segala pengetahuan yang berhubungan dengan masalah agama, ia adalah orang yang dapat dipercaya. Ia adalah ahli yang ulung dalam bidang Ushuluddin dan Furu‘uddin dan peneliti yang handal dalam bidang ilmu rasional dan tekstual. Lebih dari itu, ia adalah Syaikhut Tha’ifah kita dan pemimpin mazhab Syi‘ah secara mutlak.”


Keistimewaan-keistimewaan
Di antara keistimewaan-keistimewaan yang pernah dimiliki oleh Syaikh Thusi adalah selama kurun waktu yang cukup panjang, seluruh fuqaha mazhab Syi‘ah berada dalam pengaruh keagungannya sehingga tak seorang pun dari mereka yang “berani” untuk mengutarakan teori-teori fiqih yang berhasil mereka pecahkan di hadapan teori fiqih yang diutarakan olehnya. Sebagai konsekuensinya, kondisi ini menyebabkan ilmu Fiqih mazhab Syi‘ah mengalami stagnansi dan kemandegan. Akan tetapi, dengan munculnya beberapa orang faqih yang berasal dari keturunan faqih besar ini dan membawa teori-teori fiqih baru, tembok penghalang ini berhasil dipecahkan dan teori-teori fiqih baru berhasil menembus kehidupan muslimin.

Peristiwa historis ini menggambarkan kepada kita seberapa agungnya kedudukan Syaikh Thusi di mata masyarakat Syi‘ah sehingga tak seorang pun dari para ulama yang pernah hidup semasa dengannya mampu mempengaruhi kedudukan tinggi Syaikh di mata masyarakat. Hingga kemunculan dua tokoh tersohor mazhab Syi‘ah yang muncul setelah masa Syaikh Thusi; yaitu Khwajah Nashiruddin Ath-Thusi dan Allamah Hasan bin Yusuf bin Muthahhar Al-Hilli, tak seorang ulama pun yang mampu menandingi teori teologis Syaikh Thusi dalam bidang ilmu kalam, filsafat, rasional, dan tekstual.

Dalam bidang ilmu tafsir Al-Qur’an, hingga masa periode Tafsir Majma‘ Al-Bayân, tak ada satu buku tafsir pun yang dapat menandingi buku tafsir At-Tibyân. Majma‘ Al-Bayân sendiri—seperti ditegaskan oleh penulisnya, Syaikh Aminul Islam Ath-Thabarsî—adalah sebuah derivasi dari buku tafsir At-Tibyân tersebut.

Dalam bidang ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, seluruh fuqaha yang hidup setelah periode Syaikh hanya menukil fatwa-fatwanya dan—lantaran menghormati keilmuannya—mereka tidak pernah melontarkan pendapat mereka sendiri. Kondisi ini berlanjut hingga seorang ulama Syi‘ah baru muncul. Ia adalah Muhammad bin Idris Al-Hilli. Ia berhasil mencairkan kondisi stagnan yang sedang menimpa dunia Fiqih mazhab Syi‘ah kala itu dan memberi kehidupan baru kepadanya.


Wafat
Syaikh Thusi meninggal dunia pada malam Senin, 22 Muharam 460 Hijriah dan dikuburkan di Najaf Asyraf di rumahnya sendiri.

8
HUSNIYAH: SUATU POLEMIK PEMIKIRAN ISLAM

Ibn Syadzan Al-Qomi (Wafat 460 H.)

Kelahiran
Namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin Ali Al-Qomi dan lebih dikenal dengan nama Ibn Syadzan Al-Qomi. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, dengan memperhatikan guru-guru dan muridnya, serta tanggal yang telah diketahui untuk menukil riwayat dan hadis dari beberapa Masyayikhul Hadis, dapat dipastikan bahwa ia hidup pada tahun 374 – 460 Hijriah. Atas dasar ini, ia termasuk dalam golongan ulama mazhab Syi‘ah yang hidup pada periode abad ke-4 dan ke-5 Hijriah. Kota pertama yang disebutkan oleh para ulama sebagai tempat domisilinya adalah kota Kufah. Ia mempelajari hadis di kota ini kepada Husain bin Ahmad pada tahun 374 H.

Sebagian ulama dan tokoh agama Islam menyebutkan Ibn Syadzan sebagai salah seorang tokoh dan pembesar mazhab Ahlusunah. Yang benar adalah Ibn Syadzan termasuk salah seorang ulama dan pembesar mazhab Syi‘ah yang ke-tsiqah-an dan keutamaannya tidak perlu diragukan lagi. Mereka berpendapat demikian lantaran keliru menentukan orang yang bernama Ibn Syadzan. Hal ini lantaran Ibn Syadzan adalah sebuah nama yang dimiliki dua orang: (1) Muhammad bin Ahmad bin Syadzan Al-Qomi yang sekarang menjadi pembahasan kita dan (2) Abul Fadhl Ali bin Hasan bin Syadzan, salah seorang ulama dan pembesar mazhab Ahlusunah dan juga memiliki beberapa karya tulis.


Para Guru
Ibn Syadzan adalah salah seorang pembesar yang menukil hadis dan riwayat dari banyak Masyayikhul Hadis. Di samping pernah belajar kepada para ulama Syi‘ah, ia juga pernah menukil hadis dari beberapa pembesar dan tokoh mazhab Ahlusunah. Seluruh gurunya berjumlah enam puluh tujuh orang yang sebagian dari mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat tersohor, di antaranya adalah:

1. Ahmad bin Ali, ayahnya. Ia adalah salah seorang ulama dan penulis handal dari kalangan mazhab Syi‘ah. Ibn Ri’ab menukil kitab “Fadhâ’il Amirul Mukiminin as” darinya.

2. Abul Qasim Ibn Qawlawaeh, penulis kita “Kâmil Az-Ziyârât”. Ia adalah paman Ibn Syadzan dari jalur ibu.

3. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaeh Al-Qomi.

4. Harun bin Musa Tal‘ukburi.


Para Murid
Di antara murid-murid Ibn Syadzan adalah sebagai berikut:

1. Syaikh Thusi.

2. Najasyi.

3. Karajiki, penulis buku “Kanz al-‘Ummâl Al-Fawâ’id.


Karya Tulis
Di antara karya-karya tulis Ibn Syadzan yang masih kita temukan adalah:

1. Mi’ah Manqabah.

2. Bustân Al-Kirâm. Buku ini adalah sebuah yang berukuran besar dan Syaikh ‘Imaduddin Ath-Thusi sering menukil riwayat darinya. Naskah asli kitab ini tidak ada. Akan tetapi, sebagian ulama, seperti Muqaddas Ardabili di dalam Hadîqah Asy-Syariah dan Muhaddis Al-Jaza’iri di dalam Qishash Al-Anbiyâ’ sering menukil riwayat darinya.

3. Al-Bayân fî Radd Asy-Syams li Amiril Mukminin as. Di dalam kitab ini, ia menukil saksi-saksi sejarah dan lima belas riwayat yang menjelaskan bahwa matahari tidak jadi terbenam dengan perintah Amirul Mukminin as.

4. Al-Manâqib. Tema buku ini sama dengan buku di atas. Tetapi, teori penyusunannya berbeda dengannya.

5. I^dhâh Dafâ’in An-Nawâshib. Buku ini pernah ada di dalam perpustakaan Allamah Mirza Yahya Al-Ishfahani. Ketika ia meninggal dunia pada tahun 1325 Hijriah, perpustakaan itu dijual dan kitab itu pun raib.

9
Tokoh-tokoh Syi'ah

Hamzah Bin Abdul Aziz Ad-Dailami (Sallar Ad-Dailami) (Paruh Kedua Abad Ke-4 – 463 H.)

Kelahiran
Tanggal kelahirannya—sebagaimana tanggal kelahiran kebanyakan tokoh Islam yang lain—tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, namanya adalah Hamzah bin Abdul Aziz Ad-Dailami Ath-Thabaristani. Nama panggilannya adalah Abu Ya'la dan gelarnya adalah As-Sallar. Ia adalah seorang faqih terkemuka dan guru hadis yang agung. Ia adalah salah satu tokoh dan fuqaha Syi'ah Imamiah yang tersohor.

Sallar adalah kosa kata Persia yang telah diarabkan. Kata asalnya adalah sâlâr yang berarti ketua dan pembesar sebuah kaum. Ia dilahirkan di Mazandaran, salah sebuah kota besar di Iran.


Pendidikan
Dengan tujuan untuk menyempurnakan pendidikan Islamnya, ia berhijrah ke pusat hawzah ilmiah kala itu. Pusat hawzah ilmiah ini terdapat di Baghdad yang—akhirnya—berpindah ke Najaf Asyraf.


Para Guru
Sallar pernah berguru kepada banyak ulama dan tokoh agama kenamaan. Di antara mereka adalah Syaikh Mufid dan Sayid Murtadha.


Para Murid
Banyak tokoh dan ulama tersohor yang pernah menimba ilmu dari Sallar Ad-Dailami ini. Di antara mereka adalah Abu Jinni, seorang satrawan dan ahli ilmu Nahwu.


Karya Tulis
Sallar meninggalkan banyak karya tulis dalam bidang ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan Teologi. Di antara karya-karya tulisnya adalah sebagai berikut:

a. Al-Abwab wa Al-Fushul (dalam bidang ilmu Fiqih).

b. At-Tadzkirah fi Haqiqah Al-Jawhar (dalam bidang ilmu Teologi).

c. At-Taqrib (dalam bidang ilmu Ushul Fiqih).

d. Ar-Radd 'ala Abil Hasan Al-Bashri fi Naqdh Asy-Syafi. Ketika Abul Hasan Al-Bashri menulis sebuah buku dengan tujuan untuk mengkritik buku Asy-Syafi, karya Sayid Murtadha, Sayid Murtadha memerintahkan Sallar untuk menulis sebuah buku untuk menjawab buku tersebut. Bukunya ini dikenal dengan Naqdhu Naqdhi Asy-Syafi (Kritik Atas Kritik Asy-Syafi).

e. Al-Marasim Al-'Alawiyah wa Al-Ahkam An-Nabawiyah (dalam bidang ilmu Fiqih). Buku ini ditulis bersama sepuluh buku lain yang terkumpul dalam sebuah ensiklopedia Fiqih yang berjudul Jawami' Al-Fiqh.

f. Al-Muqni' fi Al-Madzhab (dalam bidang ilmu Teologi).


Komentar Para Ulama
Di dalam kitab al-Mu'tabar, Muhaqqiq Al-Hilli menyatakan bahwa Sallar dan Abu Shalah Al-Halabi adalah pengikut tiga tokoh kenamaan. Ketiga tokoh kenamaan tersebut adalah Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, dan Syaikh Thusi ra.

Almarhum Mudarris, penulis kita Ar-Raihanah berkomentar, "Ia adalah salah seorang ulama kenamaan mazhab Syi'ah Itsna 'Asyariyah yang terdahulu. Pandangannya dalam bidang ilmu dan sastra selalu diutamakan atas pandangan-pandangan yang lain. Fatwa dan pendapat-pendapatnya termaktub dalam buku-buku Fiqih. Ia adalah salah seorang murid Syaikh Mufid dan Alamulhuda, serta guru Syaikh Abu Ali Ath-Thusi (putra Syaikh Thusi) dalam bidang ilmu Hadis. Ia kadang-kadang memberikan kuliah di Baghdad menggantikan Sayid Murtadha. Karena kefaqihan dan keagungan kedudukan ilmiahnya, Sayid Murtadha menobatkannya sebagai penguasa syariat dan penyelesai masalah-masalah agama di Halab."


Wafat
Sallar meninggal dunia pada tahun 448 atau 463 Hijriah di Khosrousyah (Khosrousyahr), Azerbaijan yang terletak beberapa kilometer dari kota Tabriz, Iran, dan dikebumikan di situ juga.

10
Tokoh-tokoh Syi'ah

Al-Qadhi Abdul Aziz Al-Halabi (Ibn Al-Barraj) (401 – 481 H.)

Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Syaikh Abul Qasim Abdul Aziz bin Nahrir bin Abdul Aziz bin Al-Barraj. Ia dilahirkan pada tahun 401 Hijriah di Mesir.


Karier Pendidikan
Ia memulai pendidikan mukadimah di tempat kelahirannya. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Baghdad sehingga ia menjadi salah seorang faqih kenamaan mazhab Syi'ah pada masanya. Ia memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu Fiqih dan ilmu-ilmu keislaman yang lain.


Para Guru
Ibn Al-Barraj Al-Halabi pernah menimba ilmu kepada Sayid Murtadha dan Syaikh Thusi.


Karya Tulis
Ibn Barraj meninggalkan banyak karya tulis yang sangat berharga dalam cabang ilmu Fiqih. Di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Jawahir Al-Fiqh. Buku ini dicetak dalam sebuah ensiklopedia Fiqih yang berjudul Jawami' Al-Fiqh dalam beberapa jilid.

b. Rawdhah An-Nafs (dalam hukum-hukum ibadah).

c. Syarah atas buku Sayid 'Alamulhuda yang berjudul Jumal Al-'Ilm wa Al-'Amal.

d. 'Imad Al-Muhtaj fi Manasik Al-Hajj.

e. Al-Kamil.

f. Al-Ma'alim.

g. Al-Mu'tamad.

h. Al-Minhaj.

i. Al-Mujaz.

j. Al-Muhadzdzab.

k. Al-Muqarrab.

l. Husn At-Taqrib.


Komentar Ulama
Tentang ulama yang satu ini, penulis buku Raihanah Al-Adab menulis, "Ia adalah Syaikh Abdul Aziz Asy-Syami Al-Halabi Ath-Tharablusi. Nama panggilannya adalah Abul Qasim dan julukannya adalah Al-Qadhi. Ia disifati dengan 'Izzuddin (Kemuliaan Agama) dan 'Izzul Mukminin (Kemuliaan Mukminin). Ia adalah salah seorang faqih kenamaan mazhab Imamiah pada abad ke-5 Hijriah. Ia termasuk salah seorang tokoh yang menjadi patokan dalam ilmu Fiqih dan juga salah seorang murid Sayid Murtadha 'Alamulhuda. Setiap bulannya, ia menerima tunjangan dari Sayid Murtadha sebesar delapan Dinar. Karena keakraban dan kedekatannya dengan Sayid Murtadha, ia dijuluki Khalifah Al-Murtadha.

Ibn Barraj meriwayatkan hadis dari guru-gurunya yang tersohor, seperti Sayid Murtadha dan Abul Fath Al-Karajiki. Di antara ulama yang meriwayatkan hadis darinya adalah Syaikh Abdul Jabbar Mufid Ar-Razi. Di daerah Rei, ia adalah seorang Faqih mazhab Imamiah. Segolongan dari ulama tersohor pada masa hidupnya juga pernah meriwayatkan hadis darinya. Ia pernah menjadi hakim tunggal di Tharablus selama dua puluh atau tiga puluh tahun. Atas dasar ini, ia dikenal dengan gelar Al-Qadhi."


Wafat
Setelah melakukan usaha dan perjuangan yang tanpa kenal lelah dalam bertablig dan menjalankan hukum-hukum Islam, ia meninggal dunia pada tanggal 9 Sya'ban 481 Hijriah diTharablus pada usia delapan puluh tahun. Ia dimakamkan dengan penghormatan yang layak.


11
Tokoh-tokoh Syi'ah

Hakim Al-Haskani (Wafat 490 H.)

Kelahiran
Ia adalah Al-Qadhi Abul Qasim 'Ubaidullah bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Haskan Al-Qurasyi Al-'Amiri An-Nisyaburi. Ia lebih dikenal dengan julukan Ibn Hadzdza' (Ibn Haddad). Ia adalah salah seorang ulama besar pada abad ke-5 Hijriah.

'Ubaidullah dilahirkan di Nisyabur (Iran) dalam sebuah keluarga ulama. Ia sudah memulai menimba ilmu pengetahuan dari ayah dan kakeknya dari sejak ia masih kecil. Dengan kata lain, ia telah mempersiapkan dirinya untuk menjadi salah seorang ulama terkenal di dunia Islam dari sejak masih muda.

Keluarganya adalah sebuah keluarga yang terkenal sebagai ahli ilmu. Salah seorang kakeknya yang bernama Amir Abdullah bin 'Amir bin Kariz berhasil menaklukkan kota Khurasan pada masa dinasti kekhalifahan Utsman dan membimbing masyarakat kota itu untuk memeluk agama Islam. Atas dasar ini, keluarganya dimuliakan dan dihormati secara khusus oleh mereka.

Kakeknya yang lain, yaitu Ahmad bin Muhammad bin Ahmad (320 – 423 H.) adalah salah seorang perawi hadis. Ia meriwayatkan hadis dari Abu Ishaq Al-Bazzazi, Abu 'Amr bin Mathar, dan Abul Hasan bin Bandar Ash-Shairafi.

Ayahnya sendiri, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad (363 – 450 H.) adalah salah seorang orator kenamaan. Pada setiap hari Minggu, ia memiliki program pidato di masjid Marba'ah, Khurasan. Kadang-kadang ia melakukan bisnis dan kadang-kadang juga menjadi pegawai penting pemerintah. Akan tetapi, setelah itu ia meninggalkan semua itu dan hidup menyendiri dari masyarakat dengan menyibukkan diri dengan ibadah.

Pamannya, Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad adalah seorang yang saleh, 'abid, dan zahid. Ia pernah meriwayatkan hadis dari para ulama Nisyabur, Irak, Hijaz, dan Syam.


Anak Keturunan
Tiga orang dari anak keturunan Hakim Al-Haskani adalah perawi hadis. Mereka adalah sebagai berikut:

a. Muhammad bin 'Ubaidullah bin Abdullah Al-Haskani, Al-Hakim Abu Ali Al-Hadzdza'. Ia adalah seorang tokoh yang bertakwa dan rendah hati, dan termasuk salah seorang ulama ahli hadis.

b. Sha'id bin 'Ubaidullah Al-Haskani, Abu Sa'id Al-Hadzdza'. Ia adalah salah seorang tokoh yang bertakwa dan ahli ilmu hadis.

c. Wahb bin 'Ubaidullah Al-Haskani, Abul Fadhl Al-Hadzdza' (450 – 524 H.). Ia juga adalah seorang ulama, ahli hadis, dan orator handal. Ia adalah anak laki-laki Hakim Al-Haskani yang terkecil dan mempelajari hadis yang sangat banyak dari ayahnya sendiri. Wahb pernah beribadah di dalam sebuah gereja dan menukil hadis untuk para muridnya di sana.


Kriteria Akhlak dan Etika
Hakim Al-Haskani adalah salah seorang ulama yang tersohor pada masa hidupnya. Sangat banyak sekali para perawi hadis yang menghadiri kuliahnya untuk meriwayatkan hadis darinya atau meminta ijazah periwayatan hadis. Ia juga adalah seorang syaikh yang utama dan memiliki majelis pidato (yang juga dihadiri oleh masyarakat umum). Ia sendiri pernah meriwayatakan hadis dari para ulama yang tak terhitung jumlahnya atau memiliki ijazah periwayatan hadis. Sebagian ulama menganggap ia sebagai salah seorang ulama mazhab Ahlusunah, dan sebagian yang lain meyakini bahwa ia adalah salah seorang ulama mazhab Syi'ah yang selalu melakukan taqiyah.

Ibn Thawus berkomentar, "Hakim Al-Haskani adalah salah satu ulama ahli Rijal dari kalangan Ahlusunah."

Di dalam Tadzkirah Al-Huffazh, Adz-Dzahabi berkata, "Saya menemukan sebuah kitabnya yang mengindikasikan bahwa ia adalah pengikut mazhab Syi'ah dan keahliannya dalam bidang ilmu Hadis. Kitab itu adalah Tashhih Khabar Radd Asy-Syams wa Targhim An-Nawashib Asy-Syumus."


Hijrah ke Marv
Ia pernah berhijrah ke kota Marv untuk menimba ilmu dari para ulama kota tersebut dan mempelajari hadis dari mereka. Di samping itu, ia sendiri membuka kuliah di sana dan banyak para pecinta ilmu pengetahuan yang menghadiri kuliahnya itu.


Ijazah Periwayatan Hadis
Hakim Al-Haskani pernah menerima ijazah periwayatan hadis dari para ulama yang hidup pada masanya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:

a. Abu Abdillah Al-Hakim An-Nisyaburi.

b. Abul Hasan Al-'Alawi.

c. Abdullah bin Yusuf Al-Ishfahani.

d. Abul Hasan bin 'Abdan.

e. Ibn Fat-hawiyah Ad-Dinuri.


Para Guru
Hakim Al-Haskani pernah berguru dan menimba ilmu kepada para ulama yang tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka adalah sebagai berikut ini:

a. Kakeknya sendiri, Ahmad bin Muhammad.

b. Ayahnya sendiri, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad.

c. Abu Thahir.

d. Al-Qadhi Abul 'Ala' Ash-Sha'id.

e. Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafizh.


Para Murid
Banyak sekali para ulama dan tokoh Islam kenamaan yang telah menimba ilmu pengetahuan dari Hakim Al-Haskani. Di antara mereka adalah:

a. Abdul Ghafir bin Ismail Al-Farisi (451 – 529 H.).

b. Mahdi bin Abi Harb.

c. Sayid Abu Muhammad Al-Husaini Al-Qa'ini.


Karya tulis
Di dalam kitab Tarikh Nisyabur, Abdul Ghafir bin Ismail, salah seorang murid Hakim Al-Haskani berkomentar, "Saya sendiri pernah melihat indeks seluruh karya tulis guruku yang ditulis dengan tangannya sendiri. Seluruh karya tulisnya berjumlah seratus judul buku. Di dalam buku-buku itu terdapat ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat berharga."

Di antara karya-karya tulis Hakim Al-Haskani adalah sebagai berikut:

a. Syawahid At-Tanzil li Qawa'id At-Tafdhil fi Al-Ayat An-Nazilah fi Ahlilbait as.

b. Fadha'il Syahr Rajab.

c. Khasha'ish Ali bin Abi Thalib as fi Al-Qur'an.

d. Tashhih Khabar Radd Asy-Syams wa Targhim An-Nawashib Asy-Syumus. (Syumus adalah bentuk plural dari kosa kata syamus yang berarti pembangkang dan penentang).


Wafat
Akhirnya, setelah berkhidmat kepada ilmu dan pengetahuan Nabi Muhammad dan keluarga beliau as selama hidupnya, Al-Qadhi Al-Muhaddits Abul Qasim 'Ubaidullah bin Abdullah Al-Haskani meninggal dunia pada tahun 490 Hijriah.

12
Tokoh-tokoh Syi'ah

Muhammad Bin Hasan Al-Fattal An-Nisyaburi (Syahadah Tahun 508 H.)

Kelahiran
Muhammad bin Hasan bin Ali bin Ahmad bin Ali Al-Fattal An-Nisyaburi—yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Fattal dan Ibn Farisi—adalah salah seorang ulama abad ke-5 dan ke-6 Hijriah. Tentang Ibn Fattal ini, terdapat dua titik suram yang harus dijelaskan. Kedua titik suram itu adalah sebagai berikut:

a. Sebagian ulama menyebutnya dengan nama Muhammad bin Hasan, sebagian yang dengan nama Muhammad bin Ali, dan kelompok ketiga dengan nama Muhammad bin Ahmad. Ibn Syahr Asyub sendiri dalam Al-Manaqib-nya memiliki dua ungkapan berkenaan dengan figur yang satu ini.

Solusi atas titik suram ini adalah, bahwa ia memiliki nama lengkap Muhammad bin Hasan bin Ali bin Ahmad. Karena ayah dan kedua kakeknya itu adalah ulama kenamaan, nasabnya dapat dihubungkan dengan siapa pun dari mereka secara langsung. Atas dasar ini, seluruh ungkapan itu memiliki satu muara, dan tidak ada satu kekeliruan pun yang telah terjadi.

b. Di dalam kitab al-Fihrist, Syaikh Muntajabuddin menyebutkan dua tokoh dengan nama Fattal An-Nisyaburi: salah satunya adalah penulis buku Rawdhah Al-Wa‘izhin dan yang lain adalah penulis sebuah buku tafsir. Ia berkata, “Saya menukil buku tafsirnya itu dari orang-orang terpercaya.”

Syaikh Aqa Bozorg Tehrani meyakini bahwa terdapat dua orang yang bernama Fattal dan para ulama keliru menganggapnya sebagai satu orang.

Lebih dari itu, para ulama ahli dalam bidang nasab menganggap dua orang itu sebagai satu orang. Mengingat hanya Syaikh Muntajabuddin yang menyebutkan seseorang bernama Fattal penulis buku tafsir dan kita tidak akan menemukan nama Fattal di tempat lain, kesatuan dua orang tersebut adalah sebuah pendapat yang lebih dekat dengan realita. Para ulama kenamaan, seperti Allamah Al-Majlisi, penulis kitab Rawdhat Al-Jannat dan Muhaddits Nuri juga memiliki pendapat yang sama dengan pendapat ini.

Ucapan Syaikh Muntajabuddin yang menegaskan, “Saya menukil buku tafsir itu melalui orang-orang yang terpercaya” tidak mengindikasikan perbedaan masa antara kehidupan Syaikh dengan Fattal. Lantaran, mungkin saja mereka hidup dalam satu masa dan Syaikh mendengar buku tafsirnya itu melalui perantara orang lain. Sebagai bukti, Ibn Syahr Asyub hidup semasa dengan Syaikh Muntajabuddin dan Ibn Syahr Asyub adalah salah seorang murid Fattal An-Nisyaburi.


Para Guru
Di antara para guru Muhammad bin Hasan Al-Fattal dapat kita temukan figur dan ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Ayahnya sendiri, Syaikh Hasan bin Ali Al-Fattal.

b. Syaikh At-Tha’ifah, Syaikh Thusi.

c. Sayid Murtadha ‘Alamulhuda.

d. Syaikh Abdul Jabbar bin Abdullah.

e. Murtadha Abul Hasan Muthahhar.


Para Murid
Di antara sekian murid Ibn Fattal, hanya nama dua orang yang sampai kepada kita. Mereka itu adalah:

a. Ibn Syahr Asyub Al-Mazandarani.

b. Ali bin Hasan An-Nisyaburi.


Karya tulis
Sangat disayangkan sekali, kita juga tidak memilik sebuah informasi yang akurat tentang karya-karya tulis Fattal An-Nisyaburi dan para ahli sejarah yang menulis sejarah hidup ulama yang satu ini hanya menyebutkan dua buah buku sebagai peninggalannya. Kedua buku itu adalah:

a. Rawdhah Al-Wa ‘izhin wa Bashirah Al-Mutta‘izhin. Buku ini adalah salah satu buku rujukan kitab Bihar Al-Anwar dan telah dicetak beberapa kali di Iran dan Irak.

b. At-Tanwir fi Ma‘ani At-Tafsir.


Syahadah
Faktor yang menyebabkan ia syahid tidak pernah diketahui dengan jelas. Akan tetapi, yang pasti adalah ia meneguk cawan syahadah atas perintah Abdur Razzaq Syihabul Islam yang pada waktu itu menjabat sebagai mentri Raja Sanjir As-Saljuqi setelah ia menggulingkan kemenakannya.

Pada mulanya, Abdur Razzaq adalah salah seorang ulama kota Nisyabur. Akan tetapi, setelah berhasil menjadi seorang mentri kerajaan, ia merubah haluan hidupnya dan menjadi mentri yang paling zalim pada masanya. Pada akhirnya, ia melepas seluruh pakaian agamanya dan tidak pernah merasa takut terhadap perbuatan dosa apapun.

Orang bejat dan keras hati ini telah mengantarkan Ibn Fattal An-Nisyaburi pada tahun 508 Hijriah ke ambang pintu syahadah, dan sekali lagi, salah satu orang terbaik telah dibunuh oleh orang paling terkutuk.

13
Tokoh-tokoh Syi'ah

Abdul Wahid bin Muhammad At-Tamimi Al-AMudi (510 – 550 H.)

Kelahiran
Ia dilahirkan di kota Amud pada tahun 510 Hijriah. Kota Amud adalah sebuah kota yang subur dan sangat indah. Kota ini terletak di pinggiran sungai Dajlah dan Eufrat. Daerah ini adalah salah satu daerah yang sangat subur dan hijau.


Kepribadian
Abdul Wahid bin Muhammad At-Tamimi Al-Amudi adalah salah seorang ulama besar Syi‘ah dan muhadis agung yang sangat dihormati dan diagungkan oleh pada ulama Syi‘ah yang lain. Ia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan dan sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman.


Para Murid
Salah seorang murid Al-Amudi yang terkenal adalah seorang ulama dan muhadis agung dunia Syi‘ah yang bernama Ibn Syahr Asyub. Ia telah berhasil mendapatkan izin meriwayatkan hadis dari Abdul Wahid bin Muhammad Al-Amudi, dan salah satu izin meriwayatkan hadis tersebut adalah izin meriwayatkan hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Ghurar Al-Hikam.


Karya Tulis
Karya-karya tulis yang telah ditinggalkan oleh seseorang adalah salah satu bukti terbaik untuk mengetahui pengetahuan yang dimilikinya tentang berbagai jenis ilmu pengetahuan yang pernah didalaminya. Syaikh Abdul Wahid meninggalkan dua buku yang sangat berharga. Kedua buku tersebut adalah:

a. Ghurar Al-Hikam wa Durar Al-Kalim. Buku yang memuat mutiara-mutiara pendek dan ringkas Amirul Mukminin Ali as ini adalah salah satu karya tulis Syaikh Abdul Wahid yang paling terkenal. Buku ini telah naik cetak beberapa kali dan sudah banyak terjemah dan syarah yang ditulis untuknya. Bahkan, hadis-hadis yang termuat dalam buku ini telah diringkas dan dicetak. Di samping itu, buku ini adalah salah satu buku rujukan Allamah Al-Majlisi dalam Bihar Al-Anwar-nya.

b. Al-Hikam wa Al-Ahkam min Kalam Sayid Al-Anam. Sebagian ulama menyebutkan bahwa nama buku ini adalah Jawahir Al-Kalam fi Syarh Al-Hikam wa Al-Ahkam.


Wafat
Setelah menghaturkan khidmat yang tulus kepada ilmu-ilmu pengetahuan Islam, Syaikh Abdul Wahid harus meninggalkan dunia fana ini pada tahun 550 Hijriah.

14
Tokoh-tokoh Syi'ah

Sayid Fadhlullah Ar-Rawandi (Wafat 570 H.)

Kelahiran
Sayid Abur Ridha Dhiya’uddin Fadhlullah bin Ali bin ‘Ubaidillah Al-Husaini Ar-Rawandi adalah salah seorang ulama dan tokoh kenamaan Syi‘ah pada abad ke-6 Hijriah. Ia dilahirkan di sebuah desa di pinggiran kota Kasyan yang bernama Rawand dan di dalam pelukan sebuah keluarga yang sangat mencintai Ahlulbait Nabi Muhamma saw. Dari sejak masa kecil, ia telah banyak mempelajari rasa cinta kepada Ahlulbait as dan haus akan mata air segar ilmu pengetahuan keluarga Nabi yang mas‘hum as.


Kondisi Keluarga
Keluarga Sayid Rawandi adalah keluarga ilmu dan ketakwaan yang telah banyak melahirkan tokoh dan ulama-ulama agung. Keturunannya juga banyak yang menjadi ulama dan tokoh mazhab Syi‘ah. Di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Sayid Abul Mahasin Ahmad bin Fadhlullah. Ia adalah seorang ‘alim dan hakim di kota Kasyan.

b. Sayid ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Fadhlullah Ar-Rawandi.

Di samping sebagai ulama dan tokoh mazhab Syi‘ah yang terpandang, Sayid Fadhlullah Ar-Rawandi adalah juga seorang sastrawan dan penyair yang handal. Ia memiliki peninggalan buku diwan syair. Ia adalah guru Ibn Syahr Asyub, Muntajabuddin bin Babawaeh, Syaikh Muhammad bin Hasan Ath-Thusi—ayah Syaikh Khawjah Nashiruddin Ath-Thusi, dan mayoritas ulama yang hidup pada masa itu. Nama ulama yang satu ini selalu disebutkan di dalam buku-buku Rijal dengan penuh penghormatan dan ia sendiri mendapatkan penghormatan yang sangat luar biasa dari para ulama Syi‘ah yang lain.


Komentar Ulama
Di dalam bukunya, As-Sam‘ani bercerita, “Pada suatu hari, aku pernah pergi ke kota Kasyan dan mengambil keputusan untuk menjenguk Abur Ridha Fadhlullah Ar-Rawandi. Ketika telah tiba di rumahnya, aku mengetuk pintu dan menunggu ia keluar. Pada saat penantian itu, aku lihat sepenggal ayat tertulis di atas pintu rumahnya yang berbunyi, ‘Sungguh Allah berkehendak menghilangkan segala jenis kotoran dari kamu sekalian Ahlulbait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.’ Ketika ia keluar, pandangan mataku tertumpu kepadanya dan aku lihat ia adalah lebih agung dari apa yang pernah kubayangkan. Pada perjumpaan itu, aku sempat menukil beberapa riwayat dan syair darinya.”

Tentang ulama yang satu ini, ‘Imad Al-Katib berkomentar, “Sayid Fadhlullah Ar-Rawandi adalah seorang figur yang tak tertandingi, memiliki silsilah keturunan yang mulia, dan akhlak yang agung. Ia termasuk salah seorang ulama yang terdahulu, ilmuwan yang utama, berwajah menarik dan karismatik, dan memiliki tutur kata yang sangat indah. Ia adalah seorang orator yang agung, tulisan tangannya sangat indah, memiliki karya tulis yang sangat banyak, sangat dihormati oleh masyarakat, dan memiliki rezeki yang sangat lapang. Pada tahun 533 Hijriah, aku dan adikku belajar di sekolah Majdiyah yang terletak di kota Kasyan. Pada waktu itu, aku sering melihat Sayid yang agung itu selalu datang ke sekolah tersebut dan memberikan pelajaran akhlak. Sangat banyak sekali masyarakat umum dan ulama yang mengikuti pelajaran akhlaknya. Setelah beberapa masa berlalu, aku menjadi sahabat putranya yang bernama Ahmad di Isfahan dan melalui perantara Ahmad ini, aku lebih banyak mengenal karya tulis dan kedudukan ilmiah ayahnya.”


Para Guru
Sayid Fadhlullah banyak menimba ilmu pengetahuan dari para guru dan ulama yang tak terhitung jumlahnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Imam Syahid Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani.

b. Sayid Abul Barakat Muhammad bin Ismail Al-Husaini Al-Masyhadi.

c. Sayid Mutadha bin Sayid Da‘i Al-Husaini.

d. Abul Harb Al-Muntaha bin Sayid Da‘i Al-Husani.

e. Sayid Ali bin Abu Thalib Al-Husaini.

f. Syaikh Husain bin Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Baghdadi.

g. Ali bin Ali bin Abdus Shamad dan saudaranya, Muhammad bin Ali.

h. Abu Abdillah Ja‘far bin Muhamma Dawristi.

i. Abu Ja‘far Muhammad bin Ali bin Husain Al-Maqarri An-Nisyaburi.


Para Murid
Banyak sekali ulama dan orang-orang besar mazhab Syi‘ah yang telah mengenyam pendidikan darinya. Di antara mereka adalah:

a. Ibn Syahr Asyub Al-Mazandarani.

b. Syaikh Muntajabuddin bin Babawaeh Al-Qomi.

c. Syaikh Muhammad bin Hasan Ath-Thusi, ayah Khawjah Nashiruddin Ath-Thusi.

d. Sayid Nashiruddin Abul Ma‘ali Muhammad bin Husain bin Muhammad Al-Hamdani.

e. Syaikh Qiwamuddin Muhammad bin Muhammad Al-Bahrani.

f. Syaikh Tajuddin Muhammad bin Muhammad Asy-Syu‘airi.


Karya Tulis
Sayid Fadhlullah Ar-Rawandi meninggalkan banyak karya tulis. Di antara karya-karya tulisnya adalah:

a. An-Nawadir.

b. Dhaw’ Asy-Syihab fi Syarh Asy-Syihab.

c. Al-Arba ‘in fi Al-Ahadits.

d. At-Tafsir.

e. Diwan syair.


Wafat
Akhirnya, setelah menghaturkan khidmat kepada Islam dan ilmu pengetahuan Ahlulbait as selama satu usia, ulama dan ilmuwan kenamaan ini meninggal dunia di kota Kasyan pada tahun 570 Hijriah.

15
Tokoh-tokoh Syi'ah

Abul Hasan Sa‘id bin Hibatullah (Quthbuddin Ar-Rawandi) (Wafat 573 H.)

Biografi Ringkas
Abul Hasan Sa‘id bin Hibatullah—yang lebih dikenal dengan gelar Quthbuddin Ar-Rawandi Al-Kasyani—adalah salah seorang ulama dan muhadis besar Syi‘ah pada abad ke-6 Hijriah. Ar-Rawandi adalah seorang guru yang sempurna, seorang ‘alim yang memiliki pengetahuan yang luas, seorang mufasir handal, seorang muhadis yang terpercaya, seorang filosof, dan faqih yang tak ada duanya. Seluruh ulama Syi‘ah dan para penulis buku-buku biografi para ulama menyebutkan namanya sebagai salah seorang pembesar dan faqih yang sangat terpercaya. Keyakinan yang serupa dengan penegasan ini juga dimiliki oleh para ulama Ahlusunah.

Quthbuddin Ar-Rawandi adalah salah seorang murid Mufid Kedua, Syaikh Thusi, Sayid Mujtaba Ar-Razi, Sayid Murtadha Ar-Razi, Abul Barakat, dan Abul Fat-h Al-Amudi, penulis buku Ghurar Al-Hikam wa Durar Al-Kalim, serta ia berhasil mendapatkan ijazah menukil hadis dari mereka.

Seluruh keluarga Quthbuddin Ar-Rawandi adalah ulama dan pembesar mazhab Syi‘ah, dan keturunan mereka juga mewarisi ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki oleh nenek moyang mereka itu. Di dalam buku Ma‘alim Al-‘Ulama’, Ibn Syahr Asyub, salah seorang allamah pada abad ke-6 Hijriah sangat mengagungkan Quthbuddin sebagai salah seorang gurunya dan menyebutnya sebagai salah satu ulama besar pada masanya.


Karya Tulis
Quthbuddin Ar-Rawandi meninggalkan banyak karya tulis yang sangat berharga. Di antaranya adalah berikut ini:

1.Khulashah At-Tafasir.

2.Al-Mughni fi Syarh An-Nihayah.

3.Al-Mustaqshi fi Syarh Adz-Dzari‘ah, karya Sayid Murtadha.

4.Syarh Nahjul Balaghah.

5.Fiqh Al-Qur’an.

6.Qishash Al-Anbiya’.

7.Al-Khara’ij wa Al-Jara’ih.

8.Ihkam Al-Ahkam fi Syarh Ayat Al-Ahkam.

9. Jawahir Al-Ahkam.

10.Risalah Al-Fuqaha’.

11.Ar-Rabi‘ fi Ahkam Asy-Syara’i‘.

12.Tahafut Al-Falasifah.

13. Hall Al-‘Uqud.

14.Zuhar Al-Mubahatsah.

15.Dhiya’ Asy-Syihab fi Syarh Syihab Al-Akhbar.

16. Al-Injaz fi Syarh Al-Ijaz.

17.Al-Ighrab fi Al-I‘rab.


Wafat
Seperti telah disebutkan di atas, tahun kelahiran Quthbuddin Ar-Rawandi tidak diketahui secara pasti. Tetapi, ia meninggal dunia pada tahun 573 Hijriah dan dikuburkan di arena pemakaman suci Sayidah Ma‘shumah as. Menurut riwayat sebagian penulis sejarah, beberapa tahun yang lalu, para pengurus pemakaman suci ini ingin memperbaharui lantai halaman besar pemakaman suci tersebut, dan kebetulan atap makam Quthb Ar-Rawandi juga telah rusak. Setelah makam itu digali, tubuhnya—yang telah dikubur setelah beberapa abad itu—nampak keluar dan tidak memiliki aib sedikit pun. Tubuh itu masih utuh bak tubuh yang baru saja dimakamkan.

16
Tokoh-tokoh Syi'ah

Ibn Hamzah ‘Imaduddin Ath-Thusi (Belahan Pertama Abad Ke-6 – 585 H.)

Biografi Ringkas
Muhammad bin Ali bin Hamzah Ath-Thusi adalah salah seorang pembesar dan ulama Syi‘ah pada abad ke-6 Hijriah. Ia berasal dari Khurasan, Iran. Julukannya adalah Abu Ja‘far dan gelarnya adalah Ath-Thusi. Karena ia memiliki sebuah buku yang berjudul Al-Wasilah, ia juga dikenal dengan sebutan Shahib Al-Wasilah. Dan lantaran ia hidup semasa atau pasca periode Syaikh Thusi dan karena kefakihannya yang mumpuni, ia juga dijuluki Abu Ja‘far Ats-Tsani atau Abu Ja‘far Al-Muta’akhir. Malah, sebagian ulama menegaskan bahwa ia adalah salah seorang murid Syaikh Thusi.


Karya Tulis
Ibn Hamzah memiliki banyak karya tulis. Menurut penulis buku Raihanah Al-Adab, di antara buku-buku yang pernah ditulisnya adalah berikut ini:

1. Ats-Tsaqib fi Al-Manaqib fi Al-Mu‘jizat Al-Bahirat li An-Nabi wa Al-Aimmah Al-Mas‘humin Al-Hudah as.

2. Ar-Ra’i‘ fi Asy-Syara’i‘.

3. Al-Wasithah.

4. Al-Wasilah fi Nail Al-Fadhilah.

5. Nahj Al-‘Irfan ila Hidayah Al-Imam, seperti pendapat Shahib Ar-Riyadh.


Komentar Para Ulama
Berkenaan dengan Ibn Hamzah ini, Shahib Ar-Riyadh menegaskan dalam jilid kelima bukunya, “Syaikh Imam ‘Imaduddin Abu Ja‘far Muhammad bin Ali bin Hamzah Ath-Thusi Al-Masyhadi adalah seorang faqih agung dan orator yang sangat handal ... Ia lebih dikenal dengan julukan Abu Ja‘far Al-Muta’akhir ... Ats-Tsaqib fi Al-Manaqib-nya adalah sebuah buku yang sangat menarik dan teratur sangat rapi. Ia menyebutkan keutamaan, keramat, dan mukjizat Nabi saw, Fathimah Az-Zahra’ as, dan seluruh imam mas‘hum as dalam buku ini. Karena buku ini tidak sempat sampai ke tangan tiga ulama yang bernama Muhammad (Muhammad Faidh penulis kita Al-Wafi, Muhammad Taqi Al-Majlisi penulis kita Bihar Al-Anwar, dan Muhammad Hurr Al-‘Amili penulis kitab Wasa’il Asy-Syi‘ah), mereka tidak sempat menukil kandungan buku tersebut dalam kitab mereka masing-masing.”

Mirza Muhammad Baqir Al-Musawi Al-Khunsari memaparkan biografi Ibn Hamzah di dalam bukunya. Ia berkomentar, “Kedua buku Al-Wasilah dan Al-Wasithah sebagai buku dalam bidang ilmu Fiqih adalah hasil karya tulisnya, dan sungguh sangat beruntung kedua buku ini masih ada hingga sekarang dan masih dijadikan buku rujukan oleh para fuqaha kita.”


Wafat
Tahun kewafatan Ibn Hamzah tidak diketahui secara pasti. Menurut sebuah kemungkinan, ia wafat di Karbala pada tahun 585 Hijriah, dan makamnya terletak di pintu masuk kota Najaf, di sebuah tempat yang bernama Bustan.

17
Tokoh-tokoh Syi'ah

Sayid Abul Makarim Ibn Zuhrah (511 – 585 H.)

Biografi Ringkas
Abul Makarim ‘Izzuddin Hamzah bin Ali bin Zuhrah Al-Husaini Al-Halabi—yang lebih dikenal dengan julukan Abul Makarim Ibn Zuhrah—adalah salah seorang faqih kenamaan, teolog handal pada abad ke-6 Hijriah, dan ilmuwan kota bersejarah Halab. Ia lahir pada bulan Ramadhan 521 Hijriah.

Ia mulai mengenyam pendidikan di kota kelahirannya sendiri, dan setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Najaf, Irak. Setelah beberapa masa berlalu, ia berhasil menggapai jenjang keilmuan yang sangat tinggi.


Para Guru
Abul Makarim menimba ilmu pengetahuan dari guru-guru yang tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka adalah berikut ini:

1. Sayid Abu Manshur Muhammad bin Hasan An-Naqqasy.

2. Syaikh Abu Ali Ath-Thusi.

3. Hasan bin Hasan, yang lebih dikenal dengan nama Hajib Al-Halabi.

4. Husain bin Thahir Ash-Shafari.

5. Sayid Ali bin Zuhrah Al-Hasani.


Para Murid
Banyak sekali para ulama yang pernah menimba ilmu pengetahuan dari Sayib Abul Makarim ini. Di antara mereka adalah berikut ini:

a. Ibn Idris Al-Hilli.

b. Syadzan bin Jibril Al-Masyhadi, penulis buku Al-Mazar.


Karya Tulis
Di antara karya-karya tulisnya adalah berikut ini:

1. Al-Ghunyah.

2. Ibahah Al-Mut‘ah.

3. Ghunyah An-Nuzu‘ ila ‘Ilm Al-Ushul wa Al-Furu‘.

4. Qabas Al-Anwar fi Nushrah Al-‘Itrah Al-Athhar.

5. An-Nukat fi An-Nahw.


Komentar Para Ulama
Mulla Abdullah Efendi Al-Isfahani, penulis buku Ar-Riyadh berkata, “Faqih kenamaan, ‘alim agung, seorang Ushuli agung yang lebih dikenal dengan nama Ibn Zuhrah dan penulis kitab Al-Ghunyah dalam bidang ilmu Ushul Fiqih dan seluruh cabangnya adalah seorang faqih yang agung dan ulama mazhab Syi‘ah. Ia hidup semasa dengan Ibn Syahr Asyub dan pernah menjadi muridnya.”

Di dalam Al-Bihar, Allamah Al-Majlisi menegaskan, “Penulis kitab Al-Ghunyah, Ibn Zuhrah tidak perlu untuk diperkenalkan. Ia adalah salah seorang faqih yang sangat agung. Buku-bukunya sangat dikenal oleh seluruh masyarakat.”

Almarhum Mudarris, penulis buku Raihanah Al-Adab menulis, “Ibn Zuhrah. Julukannya adalah Abul Makarim dan gelarnya adalah ‘Izzuddin. Ia lebih dikenal dengan nama Ibn Zuhrah atau Sayid Ibn Zuhrah. Ia adalah seorang ‘alim yang utama dan agung. Ia termasuk salah seorang tokoh mazhab Imamiah, mutakalim besar, dan faqih mazhab Syi‘ah. Nasabnya sampai kepada Ishaq bin Imam Ja‘far Ash-Shadiq as melalui enam perantara. Lantaran hal ini, keluarga Zuhrah juga dikenal dengan nama Ishaqiyun (Bani Ishaq). Jika disebut Ibn Zuhrah tanpa qarinah, maksudnya adalah Ibn Zuhrah yang satu ini.”


Keluarga Ibn Zuhrah
Abul Mahasin Zuhrah bin Ali adalah kakek Abul Makarim dan Ali bin Zuhrah adalah ayahnya. Nasabnya sampai kepada Ishaq bin Imam Ja‘far Ash-Shadiq as melalui enam perantara. Lantaran hal ini, keluarga Zuhrah juga dikenal dengan nama Ishaqiyun (Bani Ishaq). Akan tetapi, setelah beberapa masa berlalu, Abul Makarim dan ayahnya, serta seluruh ulama yang berasal dari keturunan keluarga ini dikenal dengan sebutan Bani Zuhrah. Dari sejak keluarga ini berdomisili di Halab, cahaya ilmu, keutamaan, dan ketakwaan senantiasa menyinari masyarakat Halab dan sekitarnya. Banyak sekali buku dan karya tulis yang mereka tinggalkan untuk mereka.


Wafat
Abul Makarim meninggal dunia pada tahun 585 Hijriah di Halab. Usianya pada waktu itu adalah tujuh puluh empat tahun. Ia dikuburkan di atas gunung Jausyan, di dekat makam Muhsin bin Husain as.

18
Tokoh-tokoh Syi'ah

Ibn Syahr Asyub (489 – 588 H.)

Biografi Ringkas
Faqih kenamaan ini lahir pada tahun 488—dan menurut sebuah riwayat, 489 Hijriah—di dalam pelukan keluarga ilmu dan keutamaan. Pada usia delapan tahun, ia telah berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an dan mempelajari materi-materi pelajaran tingkat pemula dan sastra. Setelah itu, ia mulai mempelajari ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Hadis, Rijal, Kalam, dan Tafsir.

Tidak diketahui secara pasti kapan ia memulai jenjang pendidikan tingkat tingginya. Ia pernah mengenyam pendidikan di hawzah-hawzah Iran selama bertahun-tahun. Setelah menimba ilmu pengetahun dari para ulama dan mengadakan tour-tour ilmiah di berbagai daerah di Iran, ia berpindah ke Baghdad pada tahun 547 Hijriah dengan membawa bekal ilmu pengetahuan yang cukup. Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota Bani Abbasiyah dan pusat ilmu pengetahuan Islam yang sangat tersohor. Banyak sekali para ilmuwan yang berdomisili di kota ini. Ibn Syahr Asyub memilih berdomisili di Baghdad dan mulai mengajarkan berbagai cabang ilmu pengetahuan.


Para Guru
Ibn Syahr Asyub telah menimba ilmu pengetahuan dari para ulama yang tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka adalah berikut ini:

1. Kakeknya sendiri, Syaikh Syahr Asyub.

2. Ayahnya sendiri, Syaikh Ali.

3. Wa‘izh An-Nisyaburi.

4. Syaikh Abu Ali Fadhl bin Hasan Ath-Thabarsi.

5. Abu Manshur Ath-Thabarsi.

6. Qadhi Syaikh Nashihuddin Al-Amudi.

7. Abul Futuh Ar-Razi.

8. Abdul Jalil Ar-Razi Al-Qazwini.

9. Sayid Dhiya’uddin Fadhlullah Ar-Rawandi Al-Kasyani.

10. Quthbuddin Ar-Rawandi.

11. Abul Hasan Ali bin Abul Qasim Al-Baihaqi.

Di samping mereka, Ibn Syahr Asyub juga pernah menimba ilmu pengetahuan dari ulama Ahlusunah. Mereka adalah:

1. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad An-Nathri.

2. Jarullah Az-Zamakhsyari Al-Mu‘tazili.


Mangajar
Sangat menarik sekali, selama berada di Iran dan Irak, Ibn Syahr Asyub juga mengajar di samping ia masih belajar. Ia mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya dengan baik.

Dengan demikian, banyak sekali ulama besar yang pernah menimba ilmu pengetahuan darinya. Di antara mereka adalah berikut ini:

1. Allamah Sayid Muhammad bn Zuhrah Al-Halabi.

2. Syaikh Jamaluddin Abul Hasan Ali bin Sya‘rah Al-Hilli.

3. Syaikh Tajuddin Hasan bin Ali Ad-Durabi.

4. Syaikh Yahya bin Muhammad As-Surawi.

5. Yahya bin Abi Thay Al-Halabi.

6. Sayid Kamaluddin Haidar Al-Husaini.


Karya Tulis
Di antara karya-karya tulis yang masih tersisa darinya adalah berikut ini:

1. Mutasyabih Al-Qur’an wa Mukhtalifuh.

2. Manaqib Al Abi Thalib as.

3. Ma‘alim Al-‘Ulama’.

4. Matsalib An-Nawashib.

5. Al-Makhzun Al-Maknun fi ‘Uyun Al-Funun.

6. Ath-Thara’iq fi Al-Hudud wa Al-Haqa’iq.

7. Ma’idah Al-Fa’idah.

8. Amtsal fi Al-Amtsal.

9. Al-Asbab wa An-Nuzul ‘ala Madzhab Al Ar-Rasul.

10. Al-Hawi.

11. Al-Awshaf.

12. Al-Minhaj.

13. Al-Fushul fi An-Nahw.

14. Al-Jadidah.

15. Ansab Al Abi Thalib as.

16. Al-Arba ‘in Haditsan fi Manaqib Az-Zahra’ as.

17. Nukhab Al-Akhbar.

18. Al-Khasha’ish Al-Fathimiyah.

19. Bayan At-Tanzil.

20. Al-Mawalid.


Komentar Para Ulama
Allamah Mir Musthafa Al-Husaini At-Tafrisi berkata, “Rasyiduddin Muhammad Syahr Asyub adalah pemimpin mazhab Syi‘ah dan faqih mereka. Ia juga adalah seorang penyair yang handal dan penulis.”

Syaikh Abu Ali Al-Ha’iri menulis, “Ibn Syahr Asyub adalah Syaikh mazhab (Imamiah). Keutamaan tidak perlu dipertanyakan lagi.”

Syaikh Hurr Al-‘Amili berkomentar, “Ibn Syahr Asyub adalah figur yang menguasai ilmu Rijal dan Hadis, penyair, sastrawan, dan pemilik seluruh kebaikan.”

Allamah Mirza Husain An-Nuri menulis, “Kebanggaan Syi‘ah, mahkota syariah, ulama terdahulu yang paling utama, lautan dalam yang tak bertepi, penghidup manaqib dan keutamaan, Rasyidul Millah wad Din, matahari Islam dan muslimin, Ibn Syahr Asyub adalah seorang faqih, muhadis, mufasir, dan periset.”

Mulla Ali Qarajih, seorang ahli ilmu Rijal berkomentar, “Ibn Syahr Asyub Al-Mazandarani adalah pemimpin mazhab Syi‘ah dan penulis (handal).”

Shalahuddin Ash-Shafdi, seorang ulama besar Ahlusunah menulis, “Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub adalah salah seorang tokoh kenamaan mazhab Syi‘ah. Ia telah hafal Al-Qur’an pada usia delapan tahun. Ia telah menguasai ilmu Ushul Fiqih Syi‘ah secara sempurna. Pada saat Muktafi Al-Abbasi berkuasa, ia mengungguli ulama yang lain dalam bidang Ulumul Qur’an, hadis yang sulit, bahasa, ilmu Nahwu, dan orasi di atas mimbar.”


Wafat
Ibn Syahr Asyub telah menghaturkan khidmat kepada mazhab Syi‘ah, mengajar, dan menghidupkan hukum Islam selama tujuh puluh tahun. Di samping itu, ia juga telah berusaha keras untuk menyelesaikan banyak problema masyarakat waktu itu dan mengokohkan pondasi-pondasi hawzah-hawzah ilmiah. Akhirnya, ia meninggal dunia pada tahun 588 Hijriah di kota Halab. Jenazahnya dikuburkan di gunung Jausyan, di dekat makam Muhsin bin Abi Abdillah Husain as.

19