Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mencari Tasawuf Rasional

0 Pendapat 00.0 / 5

Di antara salah satu kritik orang pada tasawuf adalah bahwa aliran ini cenderung bersikap antirasional. Salah satu manifestasinya adalah sikap sementara sufi yang terkesan antifilsafat atau aliran pemikiran apa saja yang mengandalkan rasio (reason). Jalaluddin Rumi, misal­nya, diketahui luas dengan bait-bait puisinya yang (se­olah-olah) menentang akal.

Kaki para rasionalis terbuat dari kayu: padahal kaki dari kayu amat lemah, dan tak dapat dipercaya.

Para filosof berbicara hanya menurut ilmu nalar belaka, tetapi karena rasio itu lemah, mereka tak dapat melintasi pintu gerbang.

Tapi, ilustrasi mengenai kesan antirasional tasawuf ini paling baik kita ambil dari uraian Imam Al-Ghazali. Pada suatu kesempatan dia menyatakan bahwa hu­bungan antara hati dan rasio itu seperti telaga. Telaga mendapatkan air dari dua sumber. Sumber pertama adalah mata air, dan sumber kedua adalah sungai. Ba­­gaimana caranya supaya kita mendapatkan air yang jernih dan berlimpah? Caranya adalah dengan memo­tong aliran sungai itu. Dengan membendung aliran sungai akan terjadi dua hal: (1) mata air ini akan me­mancarkan air lebih banyak, karena tidak ada tekanan dari sungai; (2) airnya dijamin akan lebih jernih, ka­rena—tak seperti air dari mata air yang sangat jernih—air yang datang dari sungai tercampur bermacam-ma­cam kotoran. Kalau aliran sungai dibendung, akan di­dapatkan air yang berlimpah dan lebih jernih. Kata Imam Al-Ghazali, mata air ini menyimbolkan hati dan sungai adalah saluran akal (rasio). Kalau kita ingin men­­­dapatkan hati yang lebih bening, maka rasio harus kita tutup. Meski barangkali Al-Ghazali memaksudkan penutupan rasio ini dilakukan pada tahap lanjut proses berpikir—yang pada awalnya diyakini tetap membu­tuh­kan prosedur rasional—ungkapan-ungkapan seperti ini bisa menimbulkan kesalahpahaman yang meng­ambil bentuk kesan antirasional tasawuf.

Da­lam autobiografi-intelektualnya yang berjudul Al-Munqidz min Al-Dhalâl (Pembebas dari Kesesatan), dia juga menyatakan ketidakmungkinan pengung­kapan peng­a­laman tasawuf (secara rasional). Katanya, ber­usaha meng­­ungkapkan pengalaman tasawuf secara rasional adalah bagaikan berusaha mengungkapkan rasa apel kepada orang yang belum pernah memakan­nya. Atau, masih dalam metafora yang diajukannya, seperti meng­­ungkapkan pengalaman (kenikmatan) hu­bungan seks kepada bujang atau lelaki yang impoten. Dengan kata lain, tidak mungkin.

Sebelum membahas tentang filsafat Hikmah, ada gunanya untuk melihat sikap Al-Quran—yang diklaim sebagai sumberutama seluruh aliran pemikiran dan gerakan dalam Islam, tak terkecuali tasawuf—tentang masalah ini. Di dalam Al-Quran, menurut saya, tidak bisa diperoleh pemahaman yang menghadapkan akal dan hati secara berlawan-lawanan. Dalam Al-Quran, “kebetulan” istilah “akal” dalam bentuk kata benda verbal (mash­dar) tidak bisa ditemukan. Yang ada adalah ben­tukan kata-kerjanya, yakni ya‘qilûn (proses berpikir de­ngan menggunakan akal). Ketika Al-Quran menye­but alat yang dipakai untukya‘qilûn, maka yang di­rujuk­nya bukanlah akal (‘aql ) melainkan qalb (hati). Khususnya dalam bentuk fu‘âd, hati yang telah men­capai tingkat kestabilan. Jadi, dalam Al-Quran, dalam konsep Islam, akal itu ada­lah hati, dan hati itu adalah akal.

Nah, dalam Islam kita mengenal apa yang disebut sebagai ‘irfân (teosofi) atau gnostisisme Islam yang sedi­kit-banyak bernuansa filosofis. Namun, dalam khaza­nah spiritualisme Islam,  rasionalitas dan intelektua­litas tak pernah mendapat­kan apresiasi yang sedemikian besar seperti dalam alir­an Hikmah. Tokoh utamanya adalah Shadr Al-Din Al-Syirazi atau Mulla Shadra, se­orang filosof Persia yang hidup pada abad ke-11 H.

Aliran Teosofi Transenden (al-hikmah al-muta‘âliyah atau biasa diringkas dengan Hikmah saja) adalah pemi­kiran yang berusaha menggabungkan pendekatan ra­sio­nal (‘aqli) dan intuitif-eksperiensial (qalbi-dzauqi) untuk men­da­patkan kebenaran. Jelasnya, aliran ini percaya bah­wa betapa­pun juga pengetahuan kebenaran hanya bisa diperoleh secara eksperiensial (dialami, dirasakan). Ia mengambil bentuk semacam ilham, yang tentu saja hanya bisa diraih lewat hati yang bersih setelah melewati berbagai upaya mujâhadah dan riyâdhah sebagaimana dipujikan dalam tasawuf. Meski­pun demikian, penge­tahuan yang diperoleh lewat cara ini bukan hanya bisa, melainkan perlu, diungkap­kan secara rasional. Hanya dengan cara ini pengetahuan bisa dikomunikasikan dan sekaligus diverifikasi (diuji) kebenarannya. Tanpa peng­ungkapan dan pengujian se­cara rasional seperti ini, orang akan kehilangan alat untuk me­meriksa apakah penge­tahu­an itu merupakan se­buah kebenaran yang berasal dari sumber yang benar atau­kah sekadar penyesatan dan penyelewengan pikir­an—halusinasi, sejenis “kegilaan”, atau bahkan pikiran sesat. Dengan jalan ini pulalah bisa dibedakan antara wali Allah atau sufi (mutashawwif ) dengan wali setan atau orang yang berpura-pura sok sufi (mustashwifîn ).

Dalam konteks ini, aliran Hikmah memperkenalkan sejenis ilmu yang disebut sebagai ilmu presensial atau al-‘ilm al-hudhûrî(ilmu yang hadir dengan sendirinya dalam pikiran, tidak dalam bentuk rasional-analitik), di samping ilmu capaian atau hushûlî(yang diupaya­kan melalui prosedur berpikir rasional-logis). Pe­nge­tahuan seperti ini bersifat representasional—yakni, mem­­butuhkan representasi objek yang di­ketahui di dalam pikiran subjek yang mengetahui. Contoh sederhana: jika kita melihat batu, maka kita memerlukan r­ep­resentasi (forma, shûrah) atau “gambar” batu itu dalam pikir­an kita. Demikian pula halnya dengan konsep-konsep, se­per­ti kecantikan, atau se­­bagian besar konsep-konsep intelektual atau ima­j­­inatif. Me­nurut aliran ini, sebagian ilmu bersifat hushûlî, se­ba­gian lain bersifat hudhûrî, dan sebagiannya lagi merupakan kombinasi dari kedua­nya—tepatnya hudhûrî yang di­dahului dengan hushûlî. Atau sebaliknya, hushûlî yang didahului oleh yang hudhûrî . Pengetahuan mengenai kebe­naran-kebenaran awal (primary truth) yang ber­sifat aksiomatis merupakan bentuk ilmu hudhûrîmurni, se­mentara umumnya pe­mi­kiran merupakan ilmu hudhûrî yang didahului de­ngan hushûlî. Yang bersifat hudhûrî murni adalah pe­nge­­tahuan-pengetahuan tentang diri (“aku”) sendiri, ten­tang keadaan-keadaan kejiwaan kita sendiri, se­­perti ketakutan, cinta, dan sebagainya; ten­tang daya-daya perseptif dan motor kita seperti ketika kita, misal­nya, merasa­kan nyeri di salah satu bagian tu­buh kita, “Penge­tahuan” (tepatnya, perasaan atau pengalaman) kita tentang rasa nyeri itu terjadi tanpa ada terlebih dulu repre­sentasi mental (pikiran) ten­tang rasa sakit itu; dan juga pengetahuan kita ten­tang repre­sentasi mental itu sendiri. Kesemua penge­tahuan itu bersifat lang­sung, tanpa ada represen­tasinya dalam pi­­kir­an subjek yang menge­tahui. Karena, jika represen­tasi itu butuh repre­sentasi, maka yang akan terjadi adalah regresi (peng­urutan ke belakang) tanpa ujung. Demikian juga halnya dengan ke­­be­­naran-kebenar­­an primer. Tanpa pengetahu­an langsung tentang penge­tahuan-pengetahuan seperti ini, lagi-lagi akan ter­jadi regresi tanpa ujung. Suatu saat, kebenaran-kebe­naran primer yang akan men­jadi lan­das­an atau premis dalam prosedur berpikir logis pasti dibutuhkan. Demikian pula pengetahuan kita tentang diri kita (“aku”) sendiri. Ketika kita berpikir ten­tang diri kita, maka pada saat itu penge­tahuan tentang diri kita harus sudah ada dalam diri kita terlebih dulu. Tanpa itu lagi-lagi akan terjadi regresi tanpa ujung. Penge­tahuan-penge­tahuan jenis inilah yang disebut sebagai penge­tahuan hudhûrî, yang bersifat langsung dan intuitif.

Dengan berbagai sifatnya ini, kiranya aliran Hikmah, bersama aliran ‘irfân yang mendahuluinya, bisa di­pro­­­­mosi­kan sebagai alternatif—atau perkembangan lebih jauh—dari tasawuf yang terkesan tidak begitu meng­ap­resiasi rasio, kalau tak malah antirasional.