Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mendidik dengan Humor, Nasruddin

0 Pendapat 00.0 / 5

Karena aku khawatir kantong sahabatku serat, susah menelan, dan haus, maka aku beri minum secukupnya.

 

 

 

Pada suatu hari Nasruddin menghadiri sebuah pesta pernikahan bersama sahabatnya. Usai bersalaman dengan si empunya hajat, mereka pun bergegas menuju tempat hidangan tersaji.

 

Namun, ada hal aneh yang membuat Nasruddin mengerutkan dahi. Sang sahabat yang biasa dilihatnya begitu sederhana dalam menyantap makanan, kali ini terlihat begitu berbeda. Ia makan sebanyak-banyaknya, tanpa henti. Bahkan, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan.

 

Melihat hal demikian, Nasruddin kemudian mengambil sebuah teko berisi air di sampingnya. Tanpa berkata apapun, diam-diam Nasruddin mengisi kantong baju sahabatnya itu dengan air. Tentu saja, sang sahabat terkejut dan berteriak, seraya berkata,

 

“Nasrudin, apakah kamu sudah gila? Masa kantong bajuku kau tuangi air!”

 

“Maaf, tadi aku lihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu. Karena aku khawatir kantong sahabatku serat, susah menelan, dan haus, maka aku beri minum secukupnya,” jawab Nasruddin.

 

Menyadari sikapnya yang berlebihan dalam hal makanan, sang sahabat pun tersenyum seraya berkata, "Maaf, sahabat. Aku lupa ketika sedang berada di tengah-tengah kenikmatan dunia, hingga melupakan kenikmatan akhirat," ujar sang sahabat yang kadung malu dengan ketamakan dan kerakusan yang baru saja ia lakukan.

 

-----

 

Begitulah Nasruddin. Seorang guru sufi yang berusaha menasihati orang-orang di sekitarnya dengan cara-cara humor. Tanpa kata-kata bernada filosofis, tanpa mengutip ayat-ayat suci-Nya, tanpa pula memaksa untuk mengikuti sunnah hadis Rasul Saw., namun mampu mengubah yang buruk menjadi baik.

 

Dengan kebijaksanaannya, ia berhasil mengemas hal-hal yang sejatinya sangat berat dan sulit, dapat ia selesaikan dengan cara sederhana, lagi santun.

 

Bayangkan, menasihati orang yang sedang asyik menyantap makanan sembari mengumpulkannya dalam kantong baju—yang dikiranya tak dilihat siapa pun, pasti bukanlah suatu hal yang mudah. Terlebih, orang yang kita nasihati merupakan sahabat sendiri (orang terdekat yang kadang membuat kita sulit untuk menyatakan dengan jujur bahwa ia “salah”).

 

Namun, dengan humornya, Nasruddin bisa memberikan nasihat itu tanpa harus melukai atau membuatnya tersinggung. Mungkin cara ini juga bisa menjadi salah satu cara untuk menasihati para koruptor. Bukankah nasihat yang halus, tapi juga berbobot ini sejatinya bisa lebih mengena ketimbang nasihat yang keras lagi kaku?

 

Nasruddin Hoja hidup sekitar abad ke-13 di Turki.