Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

SURAH AL-TAKWIR

0 Pendapat 00.0 / 5


بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah ini dimulai dengan membicarakan dimensi alam semesta, lalu bergerak ke dimensi manusia, kemudian memfokuskan pada kehidupan batin. la mulai dengan alam semesta, kembali kepada manusia, dan kemudian membicarakan manifestasi terbuka dari semua hal tersembunyi dalam rangka menampakkan kita secara lahir dan batin agar kita menemukan kesatuan dalam diri kita.

إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ

1. Tatkala matahari digulung,

Kawwara artinya 'menjadikan bulat, memadatkan, melipat sesuatu, menggulung'. Kurah adalah bola. Takwir adalah gerakan sesuatu yang melipat dirinya sendiri menjadi bulat.

Pengetahuan bahwa matahari bersifat eksplosif dan ekspansif jelas-jelas sudah ada pada saat diturunkannya ayat ini. Ayat ini merupakan keterangan mengenai proses berbaliknya ekspansi penciptaan. Adapun matahari, ia terus-menerus meledak. Proses serupa terjadi pada bom hidrogen, yakni, melebur atau meledak sendiri secara terus-menerus. Kalau penciptaan yang meledak sendiri itu sampai pada akhirnya, maka matahari benar-benar akan melipat dirinya sendiri.

وَإِذَا النُّجُومُ انكَدَرَتْ

2. Dan tatkala bintang-bintang menjadi gelap,

Inkadarat berasal dari akar kata kerja kadura, yang berarti 'berlumpur, berawan, keruh, kehitam-hitaman'. Menurut beberapa sumber, inkadara artinya 'menembak jatuh atau menukik ke bawah'. Manusia bersifat ekspansif: ia merefleksikan keekspansifan seluruh alam semesta. Sebagai buku pedoman kehidupan, Alquran memperhatikan peran dan keadaan manusia dalam penciptaan. Realitas batin Nabi Muhammad menggetar dalam kata-kata sebagai wahyu untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, jika Alquran tidak digunakan sebagai buku pedoman hidup, sebagai sesuatu yang dapat kita pahami dalam keadaan kita sekarang atau dalam keadaan lainnya di mana kita mungkin berada, berarti kita belum menggali dan menjadikannya berguna bagi kita. Kita harus menggemakan realitas Qurani dalam kehidupan sehari-hari kita dan kita harus mengambil manfaat darinya sebanyak mungkin. Pada se-tiap tahap kehidupan, Alquran mampu menghilangkan noda yang telah menutupi sumber pengetahuan dalam diri kita. Sumber pengetahuan itu berada dalam diri kita, dan kegunaan Alquran adalah untuk membawa kita ke dalam penyadaran.

Secara naluriah manusia tidak menyukai kegagalan sebab ia merefleksikan ekspansi alam semesta. Kita mencintai Sifat-sifat Allah, dan Sifat Allah dalam penciptaan adalah ekspansif. Tak seorang pun di antara kita ingin rugi; kita hanya ingin berhasil, dan makna keberhasilan zaman sekarang adalah ekspansi. Namun, kadang-kadang keberhasilan terletak pada penyusutan. Ketika bentuk lahiriah manusia menyusut, aspek batinnya kemungkinan meluas. Kehidupan dan realitas manusia berlanjut sehingga ia tidak memperhatikan kematian pribadinya sendiri. Karena yang hakiki hidup selamanya, maka, mengapa ia harus takut? Yang ia butuhkan hanyalah sikap yang lurus.

Ayat ini berkenaan dengan jatuhnya bintang-bintang. Bintang-bintang disatukan oleh kekuatan sentrifugal, elektromagnetis, dan gravitasi, dan mereka membentuk satu entitas sempurna yang berada dalam keadaan ekspansif. Bila kekuatan ekspansif ini diintervensi—disebabkan oleh munculnya suatu fase tertentu dalam proses jalannya penciptaan secara keseluruhan—maka mereka akan jatuh. Setiap yang diciptakan mesti berakhir pada waktunya, apa pun itu. Surah ini memberikan suatu gambaran tentang bagaimana babak akhir ini akan terjadi pada skala kosmik, mulai dengan yang paling ekspansif dan menyeluruh kemudian menyusut ke skala individu.

Kita juga dapat melihat makna dari dua ayat ini dari sudut pandang mikrokosmik. Sejauh mengenai individu, maka matahari adalah rohnya, dan najm (bintang) adalah nafs (diri)-nya. Ketika matahari, atau roh, berhenti memberikan makanan kepada nafs, yakni bintang, maka bintang kemudian menyusut atau melipat dirinya. Nafs akan menyerah karena pada saat itu ia akan dipadamkan, ditutupi dan dilenyapkan.

وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ

3. Dan tatkala gunung-gunung digerakkan,

Suyyirat adalah kata kerja pasif sayyara, yang berarti 'menggerakkan, menghidupkan, mengedarkan'. Sayyarah artinya 'kendaraan'. Ketika gunung-gunung mulai bergerak, mereka tidak akan bergerak dengan satu sentakan, tapi bergerak dalam gerakan yang terus-menerus. Bagaimana mungkin gunung bergerak dengan cara ini, kalau proses pembentukkan dan peluncuran bumi tidak berhenti? Karena kita sedang mengitari angkasa dengan kecepatan ribuan mil per jam, ketika saat akhirnya tiba dan bumi tercengkam lalu berhenti mendadak, gunung-gunung pun, niscaya, akan tercerabut dari tempatnya dan hancur. Untuk merasakan proses ini coba saja kita berhenti mendadak dalam kendaraan yang sedang bergerak. Pencabutan ini merupakan satu aspek dari babak akhir drama keci! kita di atas planet yang mungil ini.

وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ

4. Dan tatkala unta-unta hamil ditinggalkan,

Gunung-gunung yang terlepas dan binatang-binatang yang dibiarkan tidak terpelihara adalah kejadian yang luar biasa. Semua kesan ini melukiskan suatu keadaan berlawanan yang menyatu seketika itu juga. 'Isyâr adalah seekor unta yang hamil sepuluh bulan. Bagi bangsa Arab gurun pasir pada waktu itu, unta melambangkan harta yang paling diinginkan. Jika unta-unta tak dipelihara, itu berarti bahwa irama yang nonnal dari berbagai peristiwa yang biasanya menyatukan kehidupan padang pasir tidak lagi berjalan. Akar kata 'uththilat artinya 'mengabaikan, meninggalkan tanpa peduli, memutuskan, menghentikan'. 'Uthlah berarti 'liburan atau tidak bekerja', yakni, istirahat dari rutinitas normai seseorang. Ketika proses-proses penciptaan yang alamiah terganggu, maka akan teqadi kemacetan total dalam proses kehidupan. Ketika dunia sam-pai pada akhirnya, maka tidak ada orang waras yang akan merawat unta!

وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ

5. Dan tatkala binatang-binatang buas dikumpulkan,

Semua margasatwa akan berkerumun saling mendekat. Hasyara artinya 'berkerumun, berhimpun, berkumpul'. Lagi-lagi ini mencerminkan sifat dasar penciptaan. Segala sesuatu pada dasamya bersifat ekspansif. Meskipun semua margasatwa cenderung bergerak bersama-sama dalam beberapa kawanan atau kelompok, namun binatang-binatang tidak berkumpul terlalu rapat; mereka mempertahankan individualitasnya, mempertahankan jaraknya masing-masing . Pada hari ketika semua sistem kehidupan sampai pada ujungnya, mereka akan bergerak dengan cara yang berlawanan dengan sifat dasarnya. Rasa takut menyebabkan mereka tidak berpencar tapi berkumpul bersama, karena tidak akan ada tempat bagi mereka untuk melarikan diri mencari keselamatan.

وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ

6. Dan tatkala lautan dipanaskan,

Sajjara, akar dari sujjirat, berarti 'bergelombang, meluap', dan bentuk pertamanya, sajara, berarti 'menyalakan, membakar, mendidihkan'. Seringkali bila sesuatu berakhir, secara sepintas kita melihat seperti apa permulaannya. Dengan kata lain, ayat ini mungkin berarti bahwa api akan benar-benar keluar dari tanah pada akhir penciptaan persis seperti ketika bumi pertama kali diciptakan. Ketika itu bumi mulai sebagai sebuah bola api yang kemudian mendingin begitu proses penciptaan dibentangkan.

Kiasan 'lautan memanas' mungkin menunjuk kepada gunung-gunung berapi yang meletus dari lautan, atau bahkan kepada neraka yang membara di lautan akibat tumpahan minyak yang terbakar besar-besaran. Apa pun makna persisnya, perujukkan kepada lautan yang bernyala menunjukkan bahwa hal yang biasa digantikan oleh hal yang luar biasa.

Air melambangkan kesejukan dan ketenangan, tapi di sini kita diberitahukan bahwa akan tiba suatu saat di mana bagian bumi yang berair akan mendidih. Hal-hal yang kita anggap semestinya berbeda dan terpisah dihubungkan dengan kebalikan-kebalikannya. Semua kejadian ini merupakan peristiwa yang berlangsung pada saat proses kehidupan yang terus berkembang berhenti.

وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ

7. Dan tatkala roh-roh dipertemukan,

Nafs di sini artinya roh. Zuwwijat (bersatu) berasal dari akar kata zawwaja, yang artinya 'berpasangan, bergandengan, bersatu'. Ayat ini bisa berarti bahwa roh akan dipersatukan dengan roh pasangan atau kawannya ketika di dunia atau dengan roh yang dikenalnya, atau bahwa roh itu akan dipasangkan dengan masa lalu duniawinya. Di alam kosmos, perpasangan terjadi secara konstan di mana hal-hal yang berlawanan bertemu. Manusia terdiri dari dua aspek: aspek jasmaniah yang merupakan bagian dari apa yang dinamakan 'aku' dan aspek yang tak dapat dilihat yang disebut rohaniah. Kita bisa membayangkan eksistensi roh dengan bertanya, 'Di mana aku berada saat tertidur lelap? Di mana aku berada ketika mimpi?' Kita mengatakan, 'Aku bermimpi mendaki lereng gunung yang curam,' tapi kenyataannya tubuh kita tidak bergerak. Dengan kata lain, roh adalah aspek lain dari manusia yang memiliki pengalamannya sendiri. Memahami penyatuan dari dua hal yang berlawanan ini—jasmani dan rohani—adalah satu cara untuk memahami makna ayat ini.

Cara lain untuk memahaminya adalah bahwa kita tidak berada dalam keadaan penyatuan karena bermacam-macam keadaan yang muncul dari nafs kita. Berbagai harapan, keinginan dan kebutuhan kita harus dipenuhi jika kita ingin ternetralisir dan mengalami penyatuan. Itulah sebabnya kebanyakan kita dapat direhabilitasi melalui penyatuan 'perkawinan'. Perkawinan merupakan sarana pemenuhan, terutama bila kedua belah pihak saling respek, dan menyadari bahwa manusia datang ke dunia ini sendirian dan akan pergi dari dunia sendirian pula. Jika mereka saling membantu untuk mencapai pemenuhan diri selama persinggahan di dunia ini, mereka akan mencapai sesuatu.

Dengan demikian, ada dua cara yang mungkin untuk memahami ayat ini. Ketika nafs seseorang hancur, ia menyatu dengan lawannya. Segala sesuatu dalam kehidupan berada pada tingkat dualitas; ada baik dan ada juga buruk. Segala sesuatu yang dapat dibayangkan, disentuh, dirasakan atau sedikit banyaknya diamati, muncul dengan salah satu dari dualitas itu. Namun kita semua sedang mencari Yang Satu, karena kita takkan pemah dapat terpuaskan oleh dualitas.

Implikasi dari ayat ini adalah bahwa dualitas akan berakhir. Dalam kehidupan ini, dualitas akan berakhir bila manusia mencapai kebebasan diri yang sempurna, dan bila sudah tidak ada yang dapat memenuhinya karena ia sudah terpenuhi. Hal ini juga akan terjadi ketika manusia memahami sifat realitas yang sejati pada saat mati. Dalam realitasnya yang ada hanyalah Tuhan, yang ada sebelumnya hanyalah Tuhan, dan yang akan ada hanyalah Tuhan. Pengetahuan ini datang melalui batin—realisasi pengalaman—dan tidak perlu dipelajari.

Jika seseorang ingin mencapai esensi Alquran, maka yang dapat ia lakukan hanyalah persiapan untuk menanggalkan segala sesuatu—dan itu berarti mati. Ia harus berada dalam keadaan fana. Ia harus mendekatinya dengan hati yang bersih, tanpa ada asumsi atau prasangka apa pun. Jika tidak, ia tetap terperangkap dalam penderitaan dualitas dan dunia kearifan yang, paling banter, hanya bersifat lahiriah dan eksistensial belaka. Sebaliknya, ia hanya akan berinteraksi dengan kulitnya—ajaran lahiriah— ketimbang berubah dengan mendengarkan kebenaran. Pencari yang tulus akan mendengar Alquran seakan langsung dari bibir Nabi. Pencari yang tersadarkan mendengar Alquran seakan digemakan dari luar waktu oleh Allah.

Ketika seseorang memahami Alquran, berarti ia menemukan keluasannya. Namun, esensi manusia itu sendiri adalah luas. Pemahaman tergantung pada seberapa kuat dan lurusnya hati seseorang. Alquran mengatakan, "Bacalah apa yang mudah dari Alquran" (Q.S.73:20). Membaca apa? Apa maksudnya? Kita membaca apa yang sudah ditulis, apa yang ditulis pada kita. Pernyataan ini dibuat untuk mempertajam pandangan kita, untuk membuka apa yang sudah ada dalam diri kita.

Dalam ayat ini kita membaca, 'Dan tatkala roh-roh dipertemukan', artinya pada saat kita dipertemukan Dengan lawan kita atau pada saat kita dinetralisir. Sekarang ini hasrat kita tidak pernah terpuaskan. Kita selalu mengidamkan sesuatu, terus beralih dari satu aspek dualitas ke aspek dualitas lainnya dengan mengubah keadaan luar kita. Namun, kecenderungan ini akhirnya tidak akan berguna sebab yang mesti berubah adalah diri kita sendiri.

Kita hidup dalam dualitas, karena itu kita berusaha menetralisir. Bagaimana kita menetralisir? Kita menetralisir nafs kita dalam keheningan, secara sungguh-sungguh dan positif. Dalam keheningan itu kita memiliki pengetahuan langsung tentang makna Hajar Aswad (Batu Hitam) yang terpasang di sudut Ka'bah di Mekkah.

Tidak banyak kaum muslim yang mengetahui makna Hajar Aswad, meskipun mereka melakukan tbawaf (lari-lari kecil mengitari Ka'bah) dan menciumnya pada waktu ibadah haji setiap tahun. Hitam mengandung semua warna—ia melambangkan kematian, dari mana muncul kehidupan. Kehidupan tidak dapat dipahami kecuali jika kita siap mati. Makna jihad (secara harfiah, upaya keras, dan perang membela diri melawan kaum kafir) tidak hanya tentang darah dan kematian fisik; ia adalah kesiapan untuk mempertahankan kehidupan tanpa kenal takut, kehidupan rohani. Nabi tidak menginginkan perang dan kematian yang diakibatkannya. Beliau menggunakan nalar untuk menghindarinya. Ia tak gentar untuk bersikap rasional, karena ia menggunakan akalnya dan telah menyimpang dari warisan politeisme sukunya.

Hasan ibn Ali menggunakan nalar ketika ia melepaskan khilafah. Imam Hasan memiliki ribuan prajurit tapi ia tahu bahwa mereka tak mungkin mampu bertahan dan gigih. Oleh karena itu ia beranggapan tidaklah bijaksana menggidng mereka ke dalam peperangan sementara mereka tidak akan mampu bertahan, karena mereka tidak memiliki keyakinain yang dalam.

Kejahilan terjadi bila kita tidak mensyukuri penciptaan. Kejahilan ada dalam substansi manusia, karena segala sesuatu mengandung kebalikannya. Bagian dari manusia yang ingin hidup juga mengandung kehancurannya yang terakhir. Kita semua akan mati dan akan melihat indahnya kesempurnaan dalam kenyataan ini. Meskipun kita mungkin masih menggemakan rasa cinta terhadap al-Baqi (Yang Abadi), namun kesempurnaan kehidupan dan kematian manusia terletak dalam pengetahuan bahwa hidup dan mati hanyalah suatu siklus yang melahirkan kesadaran.

Kita akan mengetahui siapa kita sebenarnya kala kita sampai pada keadaan penyatuan yang sejati. Kita memahami mengapa kita semua—dalam realitasnya—mencari tauhid. Pengalaman pertama kita adalah pengalaman keterpisahan, dengan jalan mana kita dapat mengatakan bahwa esensi adalah satu. Yang ada hanyalah Keesaan, hanya Allah, tapi untuk mencapai realisasi ini kita harus berjalan melalui beberapa tahap. Tahap pertama kita meyakini keesaan. Tahap selanjutnya kita mampu mengatakan 'Aku mulai mengerti!' Namun, sepanjang ada 'Aku' kita berada dalam syirik (menyekutukan Allah dengan selain Allah). Ketika si 'Aku' tumbang, maka yang kita lihat hanyalah Aliah, hanyalah Sifat-sifat-Nya, dan itulah kedamaian terakhir yang melahirkan perbuatan. Kedamaian ini bersifat dinamis, tidak statis atau mati, juga tidak ada sandiwara dan penderitaan di dalamnya. Orang luar bisa saja melihat penderitaan, tapi sang muwahhid (pemersatu) tidak melihat penderitaan; yang dilihatnya tak lain hanyalah cinta. Pada saat itu segala sesuatu akan dapat dimengerti dan dilihat sebagai kesempurnaan. Gambaran eksistensi duniawi mungkin tidak diinginkan bila manusia sudah memahaminya, tapi itulah kesempurnaan. Mungkin saja kita tidak ingin minum obat yang pahit rasanya, tapi kesempurnaannya terletak dalam kemanjuran obat tersebut dalam mengembalikan kita ke keadaan sehat. Namun, tahap ini sangat halus dan hanya akan diungkapkan kepada teman yang paling intim.

Dengan demikian, makna dari ayat ini adalah bahwa esensi manusia adalah satu, dan hanya ada satu esensi. la mulai dengan syirik, dengan mengatakan, 'Esensiku adalah satu', dan kemudian 'Yang ada hanya esensi, tak ada yang lain di samping Allah.'

وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ

8. Dan tatkala gadis kecil yang dikubur hidup-hidup ditanya,

بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ

9. Karena dosa apakah ia dibunuh.

Orang Arab pada zaman Nabi begitu arogan dan bangga akan kegagahan lahiriahnya sehingga lahimya seorang anak perempuan selalu tidak disukai. Mereka lupa bahwa laki-laki sendiri berasal dari perempuan! Mereka kuatir kaum perempuan akan mencemarkan mereka karena dosanya. Ketika menoleh ke belakang pada kebudayaan itu, kita melihat bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang hal terburuk yang kita derita: ketakutan akan hal yang tak dikenal. Segala sesuatu yang menguras energi kita adalah ketakutan terhadap hal yang tak dikenal. Segala kecemas-an kita tertumpu pada hal yang satu itu. Jika kita bisa sungguh-sungguh mengatakan tawakkaltu 'ala Allah (Aku bertawakal kepada Allah), dan kemudian menerima kondisi kita sebagai hamba Tuhan, maka segala kecemasan kita akan lenyap.

Maw'ûdah adalah gadis muda atau bayi perempuan yang telah dikubur hidup-hidup. Wa'ada artinya 'mengubur gadis kecil hidup-hidup'. Dalam bahasa Arab kuno wa'ada juga berarti 'memancarkan suara dinding yang ambruk'. Suara dinding yang runtuh menunjukkan bahwa pembunuhan seorang bayi merupakan kejahatan yang sangat sadis. Ini menunjukkan bahwa dunia sedang menjelang akhir: kehidupan diakhiri tanpa dibolehkan untuk memenuhi hak takdirnya. Dengan kata lain, di akhir zaman, sifat sebenarnya dari segala sesuatu akan diungkapkan. Roh tidak lagi menggunakan hak duniawinya untuk memancarkan cahaya spiritual. Roh, yang memancarkan cahaya batin, dipadamkan oleh kejahatan manusia, oleh ketakutannya, pengingkarannya terhadap Tuhan (kufr), tidak percaya kepada Allah dan kemurahan-Nya. Kini roh sedang ditanya, dan bertanya kepada dirinya sendiri, ten-tang kejahatan apa yang telah dilakukannya. Dengan melakukan demikian, roh mengumumkan bahwa ia tidak melakukan kejahatan, bahwa tidak ada alasan untuk memadamkan dirinya. Kekufuran manusialah yang menyebabkan kehidupannya terputus. Gadis kecil yang dikubur yang mempertanyakan alasan atas kematiannya adalah sebuah mitsal (kiasan) tentang tidak ada kemungkinan dalam kehidupan ini atau yang akan datang untuk menindas sesuatu dan melupakannya selamanya. Kita tidak dapat mendiamkan sesuatu hanya karena ia tidak bisa bereaksi dalam dunia ini. Segala sesuatu segera akan terbuka sepenuhnya, dan roh akan dijadikan sebagai saksi.

Dari sudut pandang syariat, orang Arab tidak berhak membunuhi keturunan mereka. Menurut tradisi, dalam kultur kesukuan gurun pasir, seorang bayi perempuan dianggap sebagai suatu kekurangan karena ia tidak bisa menjadi pejuang dan hanya merupakan mulut lain yang harus diberi makan. Laki-laki bertanggung jawab atas segala tindakannya; ia tidak dapat melepaskan diri. Jika ia membunuh seseorang secara salah, maka tamatlah, tak peduli apa pun tujuan perbuatannya itu, karena ia telah membunuh simbol penciptaan secara keseluruhan.

Secara lahiriah, kita bertangguh jawab kepada syariat, dan di alam kehidupan ini, hukum lahir (syariat) berpengaruh terhadap realitas (hakikat) batin. Yang dilihat oleh sejumlah orang atau yang merupakan konsensus masyarakat—asalkan mereka tidak secara bersama-sama berhalusinasi—adalah yang dianggap sebagai benar.

Jika setiap orang menyepakati identitas si pembunuh, maka keputusan itu dianggap sah. Adapun menurut syariat, keputusan (hukum) itu menentukan perbuatan, dan perbuatan tersebut harus dianggap pembunuhan. Selanjutnya adalah urusan antara si pembunuh dengan Allah. Jika ia membunuh seseorang seperseratus persen di jalan Allah (fi sabilillah), maka sekalipun orang-orang akan menghukum dengan membunuhnya, ia akan senang. Ia akan mengatakan, "Semakin cepat aku membebaskan diri dari kaum ini dan bertemu dengan Tuhanku, semakin baik!"

Pada kehidupan yang akan datang, hakikat batin akan mempengaruhi hukum lahir (syariat); yang halus akan mempengaruhi yang kasar. Dalam kehidupan ini, seperti kita lihat, yang kasar mempengaruhi yang halus, dan kita mulai dengan yang kasar dalam rangka mencapai yang halus. Kita memulai dengan benar, dengan menerapkan hukum lahir, dengan memberi makan dan merawat diri kita secara baik. Jika kita tidak melakukannya, maka kita gila. Jika kita mengatakan bahwa kita tidak peduli dengan dunia, itu hanyalah upaya kita untuk lari dari tanggung jawab. Pada awal perjalanan kita sungguh-sungguh peduli. Kita ingin memiliki pakaian yang pantas dan makanan yang layak. Ini adalah sikap yang positif. Jika dari sejak awal kita tidak peduli dengan kebutuhan fisik, kita menunjukkan bahwa kita tidak dapat memenuhinya, bahwa kita tidak memahaminya, atau bahwa kita tidak melihat kegunaannya. Dengan bersikap seperti ini, kita sedang menolak ciptaan Allah. Oleh karena itu, bagaimana kita dapat memahami makna penolakan Realitas batin, atau menutupi Realitas (kufur) jika kita berada dalam keadaan kufur lahiriah dari sejak awal?

وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ

10. Dan tatkala catatan-catatan dibuka,

Shuhuf adalah jamak dari shahifah, yang berarti 'gulungan catatan, halaman', sesuatu yang dapat dibuat rata dan di atasnya dituliskan sesuatu. Juga berarti 'surat kabar', karena keadaannya rata. Mushaf artinya salinan Alquran. Halaman-halarnan ini menunjuk kepada halaman kabar atau pada halaman hati manusia yang di dalamnya tertulis segala niat manusia.

Tidak ada tempat untuk menyembunyikan niat-niat kita. Semakin kita menyembunyikan, akhirnya kita semakin dituntut untuk menghilangkannya agar dapat mernbebaskan diri kita. Itulah sebabnya mengapa ada yang lari ke hal-hal seperti minuman keras, obat-obat terlarang, dan berbagai obat perangsang lainnya untuk melegakan diri. Alam manusia berkenaan dengan kelegaan; karena itu, kehidupan tak lain adalah mencari kebebasan dari berbagai belenggu beban diri.

Atribut pokok manusia adalah kebebasan batin. Kebebasan batin dapat dicapai melalui disiplin lahir, tapi disiplin lahir ini harus secara ikhlas dihidupkan. Ia tidak dapat dipaksa. Karena alasan itulah maka kaum muslim harus berada di lingkungan orang yang berorientasi benar, berkawan secara patut. Orang-orang tersebut ingin mengetahui kebenaran. Jika seseorang berkawan dengan para pencuri selama empat puluh hari, meskipun dia sendiri baik dan jujur, maka akhirnya dia akan terpengaruh mereka karena dia tidak ingin tersingkir dari mereka. Insan, kata untuk 'orang, manusia', berasal dari kata kerja anisa, 'peramah, bersahabat, suka bergaul, bersosialisasi'. Uns, dari akar kata yang sama artinya 'kekariban, keakraban'. Manusia ingin berhubungan; ia adalah muwahhid (pemersatu), dan mencari kesatuan (tauhid) baik ia menyadarinya atau tidak.

Dalam realitasnya tidak ada lahir maupun batin, hanya Allah yang memanifestasikan Diri-Nya sebagai lahir maupun batin. Pada waktu itu, kita bingung karena kita hidup dalam dualitas dan melihat berbagai hal hanya dari perspektif tersebut. Ali ibn Abi Thalib berkata, "Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan." Sebaik-baiknya tempat adalah yang di pertengahan. Kebanyakan orang tidak sanggup bertahan di ujung-ujung. Kaum muslim harus, menggabungkan hukum lahiriah (syariat) dengan hakikat batin, karena kita tidak bisa memiliki salah satu tanpa salah satunya lagi. Sebagian besar umat muslim di dunia ini tidak mengerti dari meronta karena tidak menggabungkan antara aspek lahir dan aspek batin dalam kehidupan sehari-hari. Kita berbicara tentang Islam, tapi kita tidak menghidupkannya, dan karena alasan inilah para pemuda kita tidak mengerti dan menolak nilai-nilai tradisional. Kita harus berada di pertengahan karena dari tempat yang strategis ini kita dapat melihat kedua ujung cakrawala. Hukum lahiriah (syariat) yang sangat banyak tanpa realitas (hakikat) batin bagaikan sebuah kapal raksasa yang bermuatan barang berat sekali tapi tanpa layar untuk menahan angin; ia berayun dan menggelepar di lautan. Syariat hadir untuk membuat perbedaan, untuk memisahkan. Urusan syariat adalah membedakan berbagai hal dan membuat kita dapat memilih dengan benar di antara berbagai alternatif yang kita hadapi dalam kehidupan. Syariat memungkinkan kita untuk membedakan antara hal yang benar dan salah. Perbedaan itu harus jelas. Syariat bersifat membeda-bedakan karena ia berbicara tentang hukum, yang berarti keadilan dan kebijakan. Keadilan berarti bahwa satu bentuk tindakan adalah benar sedangkan bentuk tindakan lainnya salah.

Dengan cara yang sama, hakikat batin tanpa hukum lahiriah (syariat) bagaikan sebuah kapal dengan layar yang tinggi tapi tanpa ada barang di dalamnya. la akan terbalik. Jika seorang muslim berkata, "aku hanya tertarik dengan urusan batin", ia berbohong. Muslim sejati adalah orang yang pertengahan, yang berada di ruang antara (barzakh), mata rantai perantara yang secara simultan menghubungkan urusan lahir dan batin.

وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ

11. Dan tatkala langit dibuka tutupnya

Kasyatha artinya 'menghilangkan, membuka' tutup. Pengertiannya adalah bahwa segala sesuatu yang wujud hanyalah merupakan tutup lahiriah saja. Dari sudut pandang kita, seluruh penciptaan ini diciptakan untuk kita; jika tidak, maka tidak akan ada artinya. Yang memiliki arti penting adalah manusia. Namun, eksistensi manusia hanya berarti jika ia memenuhi tujuannya, yakni untuk mengenal penyebab keberadaannya. Seluruh penciptaan berasal dari Allah, dan melalui penciptaan ini diharapkan agar manusia mengenal Allah. Lelangit yang nampak jelas dan terus-menerus meledak dan mengembang, menurut pandangan Sang Pencipta, hanyalah merupakan fantasi: dalam perhitungan-Nya, milyaran bimasakti semuanya tidak setara dengan sebutir pasir sekalipun. Ketika tutup langit dibukakan, maka kita akan melihat ketidakberartiannya. Lelangit hanyalah kulit, permukaan, penampakkan, yang akhirnya akan terkelupas.

وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ

12. Dan tatkala api neraka dinyalakan,

Segala sesuatu yang ada asalnya diciptakan dari satu massa padat lalu memuai karena panas. Dari massa padat yang memuai itu kemudian muncullah semua bintang dan planet dan seluruh penciptaan dalam jangka waktu milyaran tahun. Permulaan yang padat itu sama dengan kekuatan absolut (qudrah). Massa tersebut tidak bisa benar-benar disebut padat karena ia melampaui kepadatan dan karena orang bisa membayangkan bahwa Allah Sendiri adalah padat; semoga Allah melindungi kita dari pandangan seperti itu. Hal itu adalah masalah kekuasaan yang bersifat total dan mutlak, tidak bersangkutan dengan hal lain.

Ayat ini mendeskripsikan suatu situasi baru yang tidak dapat dicapai oleh pemahaman sadar kita karena pemahaman sadar tidak dapat memahami Kekuatan Absolut. Kekuatan besar dapat dipahami, tapi Kekuatan Absolut tidak dapat dipahami. Ada hubungan intermediasi, suatu ruang antara (barzakh), antara kekuatan absolut dan kekuatan yang sangat tinggi. Suhu nol absolut tidak dapat dimasuki karena kalau bisa maka semua hukum termodinamika akan terganggu. Yang dapat kita lakukan hanyalah mendekatinya, dan, mulai dari titik terbatas itu seterusnya, kita bisa mendapatkan pemahaman atau pengalaman yang subyektif tentang suhu nol absolut.

Sama halnya, kita hanya dapat mendekati pengetahuan tentang Realitas, di luar itu maka pengetahuan tentang realitas yang kita peroleh ‘bukanlah hasil ketekunan dan upaya keras kita, tapi merupakan suatu pemberian dari Yang Maha Pemurah, Pemberi Yang Maha Pengasih kepada hamba-hambanya'. Upaya keras diperlukan sampai suatu titik yang bila dilewati maka akan menjadi kontra-produktif.

Pengetahuan ini pun dipancarkan kembali oleh orang-orang yang mengikuti langkah seorang manusia sempuma dan rnereka meneladaninya semampu mereka secara lahiriah. Kedekatan ini dapat juga dicapai oleh mereka yang memikul tanggung jawab sebagai shalihun (orang-orang yang mengatur segala sesuatu dengan benar melalui perbuatannya), yang menempatkan diri mereka dalam sepatu kaum shalihun, dan yang melakukan ishlah (penegakkan kedamaian, kebahagiaan dan ketertiban). Mereka mengamalkannya semampu mereka dan hidup seolah-olah Nabi senantiasa hadir beserta mereka. Mereka berada dalam stasiun kemuliaan (maqam al-ihsan). Mereka hidup Dengan kesadaran bahwa mereka terus-menerus diawasi: mereka tidak melihat Allah, tapi mereka mengetahui bahwa Allah melihat mereka.

Stasiun kemuliaan sebagian besar dapat dicapai seseorang melalui upayanya sendiri. Keadaan di luar stasiun ini adalah 'pemberian dari Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih' dan kalau tidak tercapai dalam kehidupan ini tentu akan datang pada saat kematian. Kita dapat dan mesti berbuat yang terbaik. Setelah itu kita akan menjadi seperti saluran yang terbuka, dan kita akan selaras dengan makna Islam yang sebenarnya, yakni makna batin dari ketundukkan. Kita akan benar-benar memerankan takdir kita, dan tidak akan ada lagi pertentangan antara diri kita dengan ketetapan Allah. Sepanjang memungkinkan secara manusiawi, kita harus berada dalam ketundukkan yang sempurna karena keadaan tersebut adalah satu-satunya keadaan di mana kita dapat mengalami Keadaan Yang Sempurna. Jika kita tidak berada dalam kepasrahan batin yang sempurna, maka hal lain apa pun yang kita bicarakan akan menjadi religiusitas semata.

وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ

13. Dan tatkala taman surga didekatkan,

Orang yang mencintai Allah telah mempunyai kunci untuk menuju surga (jannah) dalam hati mereka. Mereka mencintai kehidupan akhirat karena di sana hanya ada kebenaran yang akan mereka terima. Sebenamya, taman tersebut sekarang pun ada bagi kita. Alquran jelas mengenai hal ini; Alquran tidak mengatakan bahwa surga hanya akan ada nanti, setelah kematian, karena ia mendeskripsikan penghuni surga sebagai mereka yang berkata, "Kami ingat semua ini! Ini mirip dengan yang pemah kami alami!". Dengan demikian, kita punya akses ke kondisi itu di sini dan saat ini dengan cara menghindari apa-apa yang membawa kita ke keadaan sebaliknya. Ini merupakan cara satu-satunya, tidak ada cara lain.

Warisan kita, yang sedang kita semua cari, adalah surga. Kita semua mendambakan surga, suasana yang diberikan surga kepada kita, kesentosaan, keberlirnpahan, perlindungan, keamanan dan kenikmatan dari semua hal baik dalam kehidupan. Surga yang teriihat secara fisik di atas bumi ini membantu kita memasuki suasana hati yang tenang, pemurah dan suka menolong. Taman Kebahagiaan adalah warisan kita yang nyata dan alami, dan akan ditemukan dengan cara mengikuti hati kita. Kita harus jujur tentang hati kita dan mengetahui isinya. Tak ada yang lebih dekat kepada kita selain kebenaran, dan esensi kita adalah kebenaran. Esensi kita bukanlah kehidupan ataupun kematian, melainkan sumber keduanya, yakni Sang Pencipta.

Ayat ini berkenaan dengan awal penyerahan diri. Sebenarnya, yang ada hanyalah surga dan Alquran mengatakan bahwa luasnya surga adalah seluas langit dan bumi. Lantas, mengapa kita menderita di sini? Tak pelak lagi, kita sengsara di dunia ini karena kita tidak mau menerima stasiun penyerahan diri. Kita hanya dapat menerima apa yang mau kita teriina. Bila kita kemudian mau menerima Keabadian Hidup, maka takkan ada hal lain yang akan kita terima, dan kita akan benar-benar hidup dari waktu ke waktu. Ketika akhir zaman mendekat, sudah pasti kita akan merasa lebih mudah untuk menjalani penyerahan diri seutuhnya.

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ

14. Tiap-tiap jiwa akan tahu apa yang telah ia bawa.

Kita mungkin tidak bisa menyaksikan akhir zaman dalam kita hidup, tapi sepanjang menyangkut kita, ketika saat akhir kita tiba, maka saat akhir kita adalah akhir dari kosmos. Kita tidak peduli dengan banyak atau sedikitnya bintang di atas sana. Manusia yang berakal mengerti bahwa ia memahami penciptaan menurut interpretasinya sendiri: ia adalah pusat penciptaan. Dari sudut pandang yang rasional, ia juga mengetahui bahwa akhir ini tidak berarti akhir dari kosmos secara keseluruhan. Tapi itu tetap merupakan akhir dari kosmosnya, akhir dari apa yang ia jalani.

Bila kita ingat bahwa akhir zaman bisa datang setiap saat dan bahwa kita tergantung di udara (satu kata yang sekaitan dengan nafs [diri] adalah nafas [napas]) maka kita akan menjadi lebih manusiawi. Nabi berkata, "Manusia sedang dalam keadaan tidur; ketika mereka mati maka barulah bangun." Pencari sejati mencari kematian dikala sedang bangun—kesunyian batin total. Semua praktik para wali Allah dari zaman dahulu menggiring manusia, si pencari, ke kematian batin selagi masih hidup. Jika, selagi masih sadar, paham dan gemerlap dengan kehidupan, kita dapat memasuki keadaan penyerahan diri, maka kita akan mengerti apa itu kematian batin. Jika kita tidak dapat mencapai keadaan ini, maka kita akan tetap berada dalam kebingungan sa'i, yakni, lari kesana-kemari, seperti disimbolkan dengan lari antara Safa dan Marwah, suatu ritus haji yang dilaksanakan di Mekah. Pada hakikatnya tidak ada yang salah dengan gerakan kesana-kemari ini karena kita dibuat seperti itu; manusia dilahirkan dalam kabad (kesukaran, penderitaan). Jika ia menyadari realitas ini, maka kabad tersebut akan menjadi seperti sebuah permainan, dan akan sangat bermanfaat. Kata kabd, dari akar kata yang sama, artinya 'hati', yakni organ manusia paling penting yang merupakan pembersih darah. Hati memeriksa setiap potensi kesukaran yang bisa dialami oleh tubuh akibat penambahan toksin.

Ketika seseorang tertimpa suatu bencana, hendaklah ia mengucapkan al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah). Orang semacam itu sudah berada dalam taman: ia sedang tertawa sebagaimana orang yang berpengetahuan. Manusia hanya memenuhi syarat untuk tertawa setelah ia menangis; ia hanya memenuhi syarat untuk hidup setelah ia mati. Sebelum ia dilahirkan, ia mati, dan yang dinamakan 'aku' tidak memiliki kehidupan. Manusia berasal dari kematian; maka, agar supaya mengetahui esensi dirinya, ia harus mati pancaindera dan mengungkapkan makna dari seluruh pengalaman penciptaan yang memancar dari kesunyian (kematian) tersebut.

Belakangan ini, berbagai kajian dilakukan mengenai orang-orang mati yang kemudian bangkit lagi. Konon, saat menjelang mati, mereka dapat melihat seluruh kehidupan mereka secara cepat. Segala sesuatu yang pemah mereka lakukan dengan serta-merta muncul di hadapan mereka. Ketika memasuki gerbang kematian, kita membawa serta apa yang telah diperoleh dalam kehidupan ini oleh entitas yang disebut nafs (diri). Segala sesuatu selalu sesuai Dengan keadaan akhirnya, itulah sebabnya mengapa Alquran selalu membicarakan alam akhirat. Karena alasan itu pulalah maka kita ingin mendidik para pemuda kita untuk melakukan hal-hal yang memberikan dampak postitif di alam akhirat. Dari segi material, kita ingin mereka berinvestasi dalam sesuatu yang menguntungkan. Dari segi hubungan, kita menasihatkan mereka agar menjaga persahabatan dengan orang-orang yang bersikap baik kepada mereka, dan sebaliknya. Dengan kata lain, mereka hendaknya berinvestasi pada sesuatu yang berguna.

Kita semua merindukan hari akhir karena kita menginginkan kehidupan yang lebih baik pada hari akhir, dan demi kehidupan yang lebih baik ini kita siap untuk bersabar menghadapi segala ketidaksenangan. Alquran mengatakan bahwa setiap diri tahu apa yang dibawanya dalam kematian karena kita sendiri tahu apa yang kita bawa yang ada di dalam hati dan jiwa kita. Bahkan sekarang pun kita sedang mempersiapkan diri untuk menyongsong hari akhir.

Hanya bila kematian menimpa nafs-lah maka 'setiap diri akan tahu apa yang telah dibawanya'. Jika matahari, sang 'aku', dipadamkan, dan kita dibinasakan (fano), maka kita akan benar-benar tahu ketiadaapa-apaan kita sekarang. Kita akan tahu bahwa apa pun yang kita perbuat adalah berasal dari kebodohan kita, dan bahwa, yang paling baik adalah, kita telah berperilaku sebagai manusia yang sopan dan berhati-hati. Begitu kita melepaskan kekuasaan untuk bertindak barulah kita memenuhi syarat untuk melakukan tindakan itu.

فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ

15. Tapi tidak! Aku bersumpah demi bintang.

الْجَوَارِ الْكُنَّسِ

16. Yang beredar dan terbenam.

Surah ini sekarang memasuki fase lain. Uqsimu artinya 'Aku bersumpah demi (sesuatu)'. La di sini sebenarnya artikel negatif yang menekankan dan, secara positif, menegaskan kata yang mengikutinya. Yang ditegaskan di sini adalah bukti tentang khunnas (bintang secara umum). Para pakar Alquran juga mengartikan khunnas sebagai lima planet yang paling dekat ke bumi. Jawar adalah jamak dari jariyah, artinya 'kapal, bahtera', dan dahulu diartikan 'berjalan, mengalir', akar kata kerjanya adalah jara, yang berarti 'mengalir, lari, terjadi', dan di sini berarti bintang-bintang yang mengitari orbitnya.

Kunnas adalah nama yang diberikan kepada bintang-bintang, khususnya kepada planet-planet yang kadang-kadang menyembunyikan diri dalam sinar matahari, karena mereka begitu dekat ke matahari. Akar kata kerja kunnas adalah kanasa (bersembunyi menunggu). Hubungan antara khunnas dan kunnas terjadi karena semua planet bergerak mundur dan langsung. Maksudnya di sini adalah bahwa bintang-bintang atau planet-planet ini tersembunyi dalam kegelapan. Planet yang paling dekat kepada kita kebanyakan tidak terlihat tapi mereka ada di sana (di tempatnya). Ayat ini secara tidak langsung menyuruh kita untuk berpandangan terbuka dan sedikit lebih imajinatif; karena kita dapat melihat planet-planet ini sewaktu-waktu, maka berarti kita tahu bahwa mereka ada di tempatnya pada saat kita tidak dapat melihatnya. Dengan demikian mereka dalam keadaan gaib (tidak terlihat).

وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ

17. Dan malam tatkala ia mengelam.

وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ

18. Dan pagi tatkala ia bersinar.

Kemudian ketika malam tiba, dengan kegelapan dan kesunyiannya yang sangat, kita tidak dapat melihat apa pun. Malam menunjukkan kesunyian dan pengeraman, kegelapan dan hibernasi (tidur panjang). Kemudian dikatakan, 'Dan tatkala pagi bersinar’, karena setelah hibernasi kita mulai 'memasukkan' (kehidupan—peny.) dengan cara menarik napas. Yang dimaksud di sini adalah siklus yang dimulai dari keheningan yang sepi ke kehidupan dan aktivitas. Penjajaran dua ayat ini menunjukkan dualitas eksistensi: kelembaman (inersia) dan gerakan.

Untuk mencapai makna batin dari ayat ini kita juga bisa membandingkan dengan keterangan terdahulu mengenai matahari dan bintang yang menyatakan, "Tapi tidak! Aku bersumpah demi bintang'. Keterangan ini berkenaan dengan beberapa aspek dalam diri kita, yakni gemintang dalam diri kita, yang tiba-tiba muncul setelah tersembunyi. Kilauan dalam diri kita, kemurahan hati, belas kasih, dan sifat sepi ing pamrih yang tidak terlihat sebelumnya, tiba-tiba muncul, bagaikan gemintang yang menyala terbakar panas matahari, yakni roh. Malam bagaikan kegelapan yang menyelimuti kita, dan siang bagaikan melepas selimut itu, sehingga kita pun dalam keadaan terang dan gembira. Alam makrokosmos, yang diterangkan dalam Alquran, terefleksi dalam alam mikrokosmos, yakni diri kita sendiri.

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

19. Sesungguhnya itu adalah sabda seorang utusan yang mulia.

ذِي قُوَّةٍ عِندَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ

20. Yang mempunyai kekuatan, yang tegak di sisi Tuhan Yang mempunyai Singgasana.

مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ

21. Seorang [yang harus] ditaati, dan dipercaya.

Yang dimaksud ayat ini adalah ucapan Rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan besar, dan kekuatan tersebut berasal dari Pemilik Kekuatan, Dia Yang dalam Kemahakuasaan-Nya kokoh berdiam di atas 'arsy (singgasana, fondasi, sanggaan). Namun kemudian Nabi tidak ditaati, dan kita bisa bertanya apakah sekarang pun beliau ditaati. Maksud ayat ini adalah bahwa apa yang diucapkan Nabi adalah kebenaran mutlak. Ia ditaati karena kebenaran, karena hakikat kebenaran itu sendiri. Ia disatukan dengan takdir, dengan ketetapan mutlak. la ditaati oleh orkestra dari seluruh eksistensi. Jika kita tidak selaras dengan orkestra ini dan hanya mendengarkan suara hiruk-pikuk batin kita sendiri, maka berarti kita tidak taat.

Pada saat surah-surah ini diturunkan, Nabi hanya mempunyai beberapa gelintir pengikut. Alquran menyatakan hal ini: 'Sejumlah besar dari golongan permulaan dan sejumlah kecil dari golongan kemudian' (Q.S.56:13-14). Alquran selalu berbicara tentang yang sejumlah kecil itu. Ia berbicara tentang kualitas bukan kuantitas. Ini adalah hukum alam. Dari sudut syar'i (hukum lahiriah), dari sudut penciptaan, inilah kebenaran.

وَمَا صَاحِبُكُم بِمَجْنُونٍ

22. Dan kawan kamu tidaklah gila.

Ma bi-majnun artinya, 'Ia tidak kesurupan. Pikirannya tidak tertutupi'. Allah berfirman, "Itu tiada lain hanyalah peringatan dan bacaan yang terang' (Q.S.36:69). Tidak ada aspek intelek Nabi yang tersembunyi. Majnun (dari janna, menutupi, menyelubungi, menyembunyikan) dalam bahasa Arab berarti 'orang gila', tapi alasan diartikan 'orang gila' adalah karena berkenaan dengan seseorang yang inteleknya disembunyikan, dimana kualitas yang membedakannya tidak dikembangkan tapi ditutupi dan diselubungi dan tidak mengungkapkan diri secara lahiriah dalam bentuk laql (rasionalitas, intelek). Majnun juga berarti orang yang dirasuki, karena korban yang kerasukan (kesurupan) menunjukkan gejala-gejala yang sama dengan orang gila (etimologi dari jinn, entitas yang tidak dapat dilihat, roh); jadi majnun adalah seseorang yang dirasuki oleh jin.

Ayat ini meyakinkan kita bahwa Nabi tidaklah gila. Kita butuh penegasan kembali karena kita telah menanamkan hal ini dalam sistem pemahaman kita, dan bila ada orang mengatakan kepada kita bahwa kita tidak memiliki apa pun, bahwa kita tidak ada apa-apanya, bahwa kita tidak berasal dari mana pun dan akan kembali entah ke mana, dan bahwa kita harus melepaskan segala sesuatu, maka tentu saja kita akan menyatakan orang ini tidak waras.

وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ

23. Dan sesungguhnya, ia melihat dirinya ada di cakrawala yang terang.

وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ

24. Dan ia tidak kikir terhadap yang gaib.

Makna lahir dari ayat 23 adalah berkenaan dengan Nabi melihat malaikat Jibril di Gunung Hira. Nabi melihat kebenaran, melihat pesan yang datang kepadanya, bagaikan cakrawala yang mendatangi manusia dari kejauhan, dari sisi lain hatinya, sebagaimana dilukiskan dalam surah Ya Sin: "Dan dari bagian kota yang jauh, datanglah seorang pria (yakni, nabi) sambil berlari" (Q.S.36:20). Ini karena jika kebenaran telah dekat, maka kebenaran itu juga akan jelas sejak permulaan. Implikasinya adalah bahwa ketika pesan datang, maka ia pasti datang dari jauh sekali. Kerahiman Tuhan menunjukkan Jibril kepada Nabi dalam bentuk yang dapat dilihat sehingga ia tidak akan dibingungkan dengan 'suara batin' dan 'penglihatan batin', yang dapat membawa kepada berbagai ekses dan keniskalaan. Nabi selalu mendapat tanda-tanda lahir yang langsung—dalam bentuk seorang laki-laki, Jibril—yang muncul kepadanya, karena ia berada dalam keadaan kesatuan (tauhid).

وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ

25. Dan itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk.

فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ

26. Lalu kemanakah kamu akan pergi?

Kata syaithan (setan) berasal dari kata kerja syathana, yang berarti 'keras kepala, suka menentang, berbelok jalan, menjauh'. Rajim artinya 'dilempari batu, dihujani batu, diusir dengan lemparan batu', dan 'celaka, terkutuk'. Kemudian ayat ini menanyakan, 'Kemanakah kamu akan pergi?' Karena berasal dari kandungan dan berangkat menuju kuburan, maka kita tercegat dalam interval waktu antara kandungan dan kuburan ini. Kita hanyalah seutas benang yang bergetar di antara awal dan akhir tersebut; tiada tempat untuk dituju selain mengakui adanya Allah di balik semua wujud.

Inilah makna penyerahan—makna Islam—yakni berserah diri kepada realitas yang ada dalam hati kita. Kita hanya bisa berusaha semampu kita, sedia setiap saat, setiap detik, dan siap menaburi wajah kita dengan debu tanah yang merupakan asal kita dan ke situ pula kita akan kembali.

Andaikan kita mencapai keadaan berserah diri, maka kita akan semakin merasakan nikmatnya nyanyian Alquran, dan semuanya akan lebih jelas kepada kita. Namun, kita dapat menyentuh [kedalaman] Alquran hanya jika kita bersih, maksudnya bersih hati, tidak punya pamrih (pengharapan). Penderitaan dan kesengsaraan kita adalah akibat dari pamrih-pamrih kita. Kita percaya bahwa hal-hal tertentu akan terjadi, dan bila tidak, kita pun menderita lalu menyalahkan orang lain. Tak ada yang harus disalahkan selain diri kita sendiri karena kita telah menomorsatukan pamrih-pamrih itu. Jika kita datang tanpa pamrih, maka seluruh drama kehidupan akan menjadi sepenggal sandiwara yang indah. Kita menikmatinya, berbuat semampu kita, dan memainkan peran kita. Kita tidak dapat mengalami keindahan seperti itu kecuali dalam keadaan bersih, karena itu kita harus mulai membersihkan diri secara lahir maupun batin, dan lahiriah merupakan tempat yang lebih mudah untuk kita memulai.

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ

27. Itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam.

Tujuan penciptaan adalah untuk menemukan Sang Pencipta. Pada tahap awal penyingkapan rohani kita mulai melihat makna di balik berbagai peristiwa. Latihan ingatan kita bergerak dari yang kasar ke yang halus. Bila ingatan sudah terlampaui, Realitas yang sangat agung dari kekuatan dan kehadiran Sang Pencipta akan menggeser seluruh ingatan terhadap urusan duniawi. Inilah transformasi yang dapat dihasilkan oleh ketundukkan dan peringatan Alquran bagi orang-orang yang benar, tulus, dan lurus (mustaqim, lihat ayat selanjutnya). Bersikap mustaqim menunjukkan keikhlasan dan kejujuran dan memerlukan kesabaran sena keteguhan hati.

لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ

28. Bagi siapa di antara kamu yang hendak berjalan di jalan yang lurus.

Mustaqim berarti 'benar, tulus, lurus', dari istaqama (bertindak jujur). Akar dari bentuk kata kerjanya adalah qâma yang berarti 'berdiri teguh atau kokoh'. Beberapa kata penting berasal dari akar kata ini seperti al-qiyâmah, yang berarti 'Kebangkitan'. Qum, juga dari akar kata yang sama, berarti 'berdiri, bersiap-siap', dan merupakan nama yang sekarang dikenal sebagai kota ulama di Iran. Kata yang sekaitan dengan qama berarti stabilitas; jika kita stabil, maka kita akan siap-siaga. Kesiap-siagaan tidak akan datang bila kepala kita berat, tumpul dan kosong, tapi lebih baik kalau kita berdiri lurus dengan kepala tegak, memiliki loyalitas, kesabaran dan kepastian. Karena alasan itulah maka ketika kita berzikir punggung kita harus lurus dan kepala kita harus tetap dalam posisi paling tegak.

وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

29. Dan kamu tidak menerima apa yang Allah kehendaki, Tuhan semesta alam.

Manusia tidak dapat mengharapkan sesuatu selain dari apa yang telah dikehendaki oleh Sang Pencipta. Hukum Sang Pencipta menyatakan bahwa manusia mempunyai suatu pilihan: " Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan kepadanya; ia boleh berterimakasih atau tidak berterimakasih" (Q.S.76:3). Jika manusia dalam keadaan bersyukur maka ia puas dan bahagia, dan jika bahagia maka ia berdayaguna dan penuh energi, siap, mabuk dengan kesenangan batin. Inilah ibadat manusia bebas yang bebas karena menjadi hamba yang sejati. Kita tidak bisa memiliki satu hal tanpa hal lainnya. Akar kebebasan terletak pada penghambaan.

Tapi barangsiapa dalam keadaan kufur (menutup hati, ingkar, tidak bersyukur) maka sadar dan bertobatlah karena tidak beramal sekarang. Ia tidak menyadari bahwa setiap detik itu bertuah dan setiap tarikan napas adalah berkah. Jika kita menganggap setiap tarikan napas sebagai tarikan terakhir, maka semua utang akan dilunasi, kita akan berkelakuan dengan benar, kita tidak akan sangsi, dan kita akan bermurah hati. Kita senantiasa akan menyenangkan orang lain. Jika kita tidak punya pamrih, kita tidak akan berbicara kepada orang yang tidak ingin mendengarkan. Kita akan seperti burung yang hanya bemyanyi untuk lagunya. Burung yang bebas tidak punya pamrih; ia bemyanyi baik kita beri makan ataupun tidak karena begitulah sifatnya, misinya, realitasnya.

Rabb adalah entitas yang mengangkat setiap sistem sampai mencapai potensi penuhnya. Rabb adalah 'Tuhan'. Dia memberi kepada mahluk haknya agar tumbuh dan berkembang penuh. Ketika kita sembahyang, maka kita berserah diri kepada entitas itu, kepada daya atau kekuatan yang membesarkan siapa pun hingga potensi penuhnya, dan potensi penuh itu adalah jiwar al-Rabb (kedekatan dengan Tuhan).

Allah berfirman dalam Alquran, "Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya" (Q.S.50:l6). Lantas di mana kita? Apakah kita dalam jiwar (kedekatan, kekariban), atau apakah kita telah memisahkan diri dari-Nya? Allah ada dimana-mana; tidak ada sesuatu selain Allah. Karena hal ini adalah benar, mengapa kita tidak diliputi dan diambil-alih oleh Realitas itu? Jawabnya adalah karena kita telah mengidentifikasi diri dengan apa yang disebut 'Aku'. Alquran hadir hanya untuk mengingatkan kita bah-wa yang disebut 'Aku' hanya datang untuk mati dan bahwa kita harus menyerahkannya dengan sengaja dan masuk ke dalam kenikmatan Ketuhanan. Melalui pengagungan Tuhan (tasbih), manusia masuk ke dalam kebenaran yang meliputi semua, dan tanzih (beribadat tanpa menyekutukan dengan makhluk atau benda antropomorfis) adalah sesuatu yang murni di luar imajinasi, sama sekali tak bernoda. Manusia harus membawa dirinya ke keadaan itu dan bertahan di dalamnya, dan itulah makna dari kedekatan. Dengan menjalani kehidupan duniawi sepenuhnya menurut kaidah perilaku (syariat), jujur dengan perkataannya, maka ia akan mencapai realitas (hakikat) batin.[]