Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Aku Wahabi dan Kini Aku Masuk Syiah

2 Pendapat 02.0 / 5

Kami berjanji untuk berjumpa di Madrasah Alawi Ayatullah Gulpaigani yang terletak di Jl. Imam Khomeini, Qom, Iran. Kami mengetuk pintu kantor mudir. Seorang pemuda berpakaian serba hitam dan duduk di kursi terakhir menarik perhatian kami. Namanya adalah Abu Hasan Hilli (AH).

Ia sangat pendiam. Selama kami tidak bertanya, ia pun enggan membuka mulut. Berbeda dengan lahiriahnya yang tenang, ia ternyata memiliki banyak kenangan yang bisa menyulut pembahasan.

Ia lahir sebagai pengikut Ahli Sunah. Kemudian terpengaruh pemikiran Wahabiah. Tapi terakhir ia memeluk Mazhab Syiah.

Kami tidak yakin bahwa Abu Hasan yang duduk di hadapanku itu beberapa hari lalu pernah ingin melakukan bom bunuh diri di makam suci Imam Ridha as di kota Masyhad, Iran, di tengah-tengah para peziarah beliau.

Menurut penilaian Abu Hasan, di manapun ada rencana untuk membangkitkan kebencian Ahli Sunah terhadap Syiah, mereka cukup hanya menayangkan acara pesta untuk merayakan hari terbunuhnya Khalifah Umar. Dengan sendirinya, para penonton yang sedang marah akan mencari orang Syiah yang dimaksud dan lantas membasminya dengan cara yang paling keji.

Berikut kisah dan perjalanan Abu Hasan memeluk Mazhab Syiah. Selamat menikmati:

HN: Anda penduduk mana?

AH: Khuzestan (sebuah propinsi di Iran).

HN: Bagaimana pandangan Anda tentang Mazhab Syiah?

AH: Saya memiliki kebencian yang sangat terhadap Syiah. Sangat aneh sekali. Ahli Sunah tidak pernah memiliki keyakinan seperti ini. Selama beberapa waktu, saya sangat terpengaruh oleh pemikiran aliran Wahabiah.

HN: Bagaimana Anda bisa terpengaruh oleh pemikiran Wahabi?

AH: Melalui televisi parabola dan selebaran-selebaran yang mereka masukkan ke dalam rumah-rumah penduduk di malam hari.

HN: Mereka menyebarkan selebaran dan tak ada seorang pun yang mencegah mereka?

AH: Mereka menyebarkannya di pertengahan malam. Kadang-kadang mereka ditangkap oleh Sepah Pasdaran. Ketika pagi bangun tidur, kami menemukan selebaran itu di halaman rumah dan tertulis “yadullah fawqa aidihim” (tangan Allah di atas tangan mereka). Untuk itu, Allah memiliki tangan.

HN: Mereka juga menulis tentang kekafiran Syiah?

AH: Wah. Seluruh tindakan Wahabiah bertujuan memberangus Syiah dan memperkenalkan mazhab sebagai mazhab ateis.

HN: Bagaimana cara saluran-saluran televesi mereka menyulut kebencian terhadap Syiah?

AH: Tindakan terpenting mereka adalah memperkenalkan Syiah sebagai kelompok kafir. Akhir-akhir ini, mereka sedang mengekspos isu untuk menciptakan kebencian terhadap para marja’ Syiah. Mereka berkata bahwa para marja’ adalah pemakam uang haram, karena mereka memungut uang khumus dari rakyat dan masalah khumus ini tidak pernah ada dalam al-Quran.

HN: Sampai di manakah kebencian Anda terhadap Syiah?

AH: Sangat. Malah saya siap melakukan bom bunuh diri untuk membasmi orang-orang Syiah. Menurut keyakinan aliran Wahabi, membunuh 7 orang Syiah akan membawa kita masuk surga dan akan menyantap makan malam bersama Rasulullah saw. Mereka juga berpesan kepada kita supaya membawa sendok (ketika ingin melakukan aksi bom bunuh diri). Masalah ini bisa dilihat dengan jelas di negara-negara yang menjadi lahan bom bunuh diri. Setelah aksi bom bunuh diri ini terjadi, mereka pasti menemukan sendok-sendok berserakan.

HN: Mayoritas Ahli Sunah Iran sangat moderat. Bagaimana sikap keluarga Anda menanggapi sikap Anda ini?

AH: Keluarga saya tidak berpendidikan tinggi. Mereka juga sangat sederhana. Saya adalah marja’ mereka, karena saya belajar dan senang membaca buku. Keyakinan apapun yang saya miliki, keluargaku mengikuti jejak saya. Mereka selalu menanyakan masalah agama kepada saya. Tetapi, mereka tidak mengetahui aliran baru saya ini.

HN: Dari sejak kapan Anda tertarik kepada Syiah?

AH: Saya sama sekali tidak bermaksud untuk memeluk Syiah. Saya malah ingin membasmi Syiah.

HN: Membasmi?

AH: Lima tahun lalu, pada saat saya berusia 19 tahun, saya memperoleh informasi bahwa salah seorang pengikut Wahabi bermaksud memilih beberapa orang ahli ilmu dari kalangan para pemuda Ahli Sunah dan mengirim mereka ke Arab Saudi untuk menjadi narasumber di stasiun televisi parabola mereka guna menggugat Syiah. Dari sisi kesejahteraan, mereka siap menjamin segalanya. Mulai dari mobil termewah dan wanita tercantik yang siap dinikahi.

Saya mengambil keputusan untuk pergi Arab Saudi demi menggapai seluruh cita-cita. Buat apa saya diam di Iran? Bom bunuh diri? Saya pergi ke Arab Saudi untuk membuktikan kebenaran ajaran Wahabi. Khidmat ini lebih baik daripada sekadar melakukan aksi bom bunuh diri. Hasilnya, saya bisa lebih mencerca Syiah.

Saya berpikir sejenak. Jelas tidak masuk akal jika saya berbicara di depan kamera dan mengatakan bahwa Syiah melakukan hal-hal syirik. Supaya lebih argumentatif, saya ambil keputusan terlebih dahulu untuk menyaksikan sendiri. Jika ada orang yang bertanya, maka saya punya jawaban bahwa saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa Syiah mencium besi dan bertawasul kepada selain Allah. Menyaksikan langsung kesyirikan Syiah ini dapat menjadi bekal yang bagus.

Lalu saya bertanya harus pergi ke mana untuk menyaksikan kesyirikan Syiah ini? Jelas saya harus mencari sebuah tempat yang menurut Syiah sangat kultus dan suci? Pilihan saya jatuh ke makam Imam Ridha.

Saya menyiapkan bekal yang diperlukan dan berangkat ke Masyhad. Saya memasuki makam dan bertanya kepada para khadim di situ letak makam Imam Ridha. Mereka menunjukkan letak makam. Beberapa meter sebelum sampai ke makam, ada sebuah perkumpulan yang mengupas banyak masalah keagamaan bernama Halqeh-haye Ma’refat. Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang ulama yang penuh wibawa. Di sekelingnya telah berkumpul sebanyak 60 orang. Ia berkata, barang siapa memiliki pertanyaan, maka silakan ajukan. Ucapan ulama itu membuat saya berpikir.

HN: Apakah ada poin penting dalam ucapan ulama itu “barang siapa memiliki pertanyaan, maka silakan ajukan”?

AH: Ya. Sangat menakjubkan bagi saya sendiri. Para pengikut Wahabiah tidak boleh membaca buku-buku Syiah. Di madrasah, tak seorang berhak bertanya kepada ustadz. Mereka mengatakan, janganlah kita membaca buku-buku Syiah, karena buku-buku mereka penuh sihir dan bisa membuat kita mengkhianati para sahabat Rasulullah saw. Hal inilah yang menyebabkan kita tidak mengenal hak dan batil.

Syaikh Tijani pernah berkisah, pada suatu hari ayahku berkata, “Syiah adalah kafir dan musyrik.” Saya menanyakan alasannya. Ia berkata, “Syiah pergi ke Madinah untuk menabur air besar di makam Rasulullah dan para khalifah.” Saya bertanya, “Anda pernah melihat sendiri.” Ia menjawab, “Semua orang tahu dan mereka menukil kepada sesama mereka.”

Suatu kali, saya berada di kelas dan ustadz mengutarakan masalah tersebut. Saya mengacungkan tangan untuk bertanya, ustadz malah membentak seraya berkata, “Uskut (diam kamu).” Akhirnya saya pun menggerutu mengapa tidak boleh bertanya.

Setelah beberapa waktu berlalu, saya sendiri pergi ke Madinah. Saya mengambil keputusan untuk mengunjungi makam para khalifah guna menyaksikan sendiri apa yang mereka katakan itu. Saya melihat tembok tinggi yang mengelilingi makam-makam para khalifah. Pintu masuk makam juga dikunci dengan gembok sebesar buku. Setelah mendekati tembok, para penjaga mencegah saya mendekat. Saya berkata dalam diri saya, tuduhan apa yang tidak mereka lakukan terhadap Syiah. Saya yang pengikut Suni tidak bisa mendekati tembok. Mungkin para Syiah melubangi tanah untuk memasuk makam dan membuang air besar di situ.

Dalam kondisi seperti ini, coba Anda bayangkan, bagaimana saya mendengar seorang ulama Syiah mengucapkan ucapan tersebut.

HN: Lalu bagaimana kelanjutan perkumpulan itu?

AH: Ketika saya berdiri di depan pertemuan itu, saya berpikir untuk mengusulkan debat kepada ulama itu. Pasti ia tidak akan siap menerima. Dengan ini, saya bisa menyempurnakan bekal untuk pergi Arab Saudi. Dengan ini, saya bisa mengklaim bahwa orang-orang Syiah lemah. Sebelum mengusulkan debat ini, saya sudah merasa menang.
Saya berkata kepada salah seorang khadim bahwa saya adalah seorang Suni. Tolong sampaikan kepada syaikh yang duduk di atas kursi apakah ia siap melakukan debat atau tidak. Ia pasti siap, jawab khadim itu.

Saya pun terkejut. Mungkin ia hanya berpura-pura. Khadim itu mendekati syaikh tersebut dan berkata kepadanya dengan tidak didengar oleh hadirin.

Saya berpikir, mungkin syaikh itu akan mengumumkan kepada hadirin supaya mencincang saya yang Suni ini. Akhirnya saya mundur beberapa langkah dan berdiri di balik tangga sehingga bisa melarikan diri.

“Salamun alaikum, saudara Ahli Suni. Silakan.” Ucap sebuah suara dari arah belakang saya. Saya pun menampakkan diri dengan penuh hati-hati. Mendengar suara syaikh itu, seluruh hadirin menatapku.

Masih diliputi rasa khawatir, saya melangkah dengan penuh hati-hati. Berbeda dengan prasangkaku, seluruh hadirin membukakan jalan untuk saya dan akhirnya saya pun duduk di sisi syaikh itu.

Syaikh sangat hanya menyambut saya seakan ia telah lama mengenal diriku. “Anda siap berdebat?” tanyaku. “Iya,” jawabnya cekatan.

Melihat ia cekatan menjawab dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, saya pun merasa kalah. Saya berkata, “Saya punya syarat. Pertama, semua dalilmu harus berasal dari buku-buku Ahli Sunah yang muktbar. Kedua, jika kamu benar, maka saya akan menjadi Syiah. Tetapi jika kamu kalah, maka kamu dan seluruh hadirin ini harus menjadi Suni.” Ia pun menerima.

Saya berpikir, para ulama Wahabi tidak pernah siap berdebat tanpa koordinasi sebelumnya. Jika pun sudah dikoordinasi, mereka pasti menyebutkan syarat-syarat sehingga pihak lawan merasa terpojok. Seandainya pun mereka kalah, kemungkinan mereka akan mengingkari janji sangat banyak. Lebih penting lagi, para ulama Wahabi tidak pernah siap melakukan debat di depan khalayak ramai.

HN: Akhirnya, Anda memulai debat itu?

AH: Ya. Dari pukul 7 malam hingga setengah jam mendekati Subuh.

HN: Bagaimana debat ini berlagsung?

AH: Seluruh klaimku bahwa pelajar dan ulama Syiah buta huruf kandas. Saya merasa menang sebelum berperang. Tetapi, setelah memasuki medan perang, saya tak ubahnya seperti tentara yang melarikan diri dari satu gang ke gang yang lain.
Terakhir, saya hanya berusaha supaya tidak kalah di hadapan syaikh itu.

HN: Bisakah Anda sebutkan salah satu pertanyaan yang sempat dibahas dalam debat itu?

AH: Kami banyak mengupas hadis Ghadir Khum. Saya bersikeras bahwa Rasulullah saw tidak pernah menunjuk seorang pengganti.

Akhirnya, syaikh Syiah itu membuatku bertekuk lutut dengan pernyataan sederhana. Rasulullah saw memberikan perhatian terhadap masalah kecil seperti menyikat giri, lalu apakah beliau meninggalkan umat ini tanpa pemimpin?

Saya pun hanya bisa bungkam diam. Saya ingin mencari alasan untuk keluar dari perdebatan itu. Tapi saya masih berpikir, saya kan menerima Rasulullah. Jika saya melihat dan tidak menerimanya, maka apa yang bisa saya ajukan sebagai alasan kepada beliau? Apakah hanya lantaran fanatisme buta?

Pada saat itulah, saya pun mengumandangkan asyhadu anla ilaha illah, asyhadu anna muhammadan rasulullah, asyhadu ana mawlaya Amiral Mukminin wa awladahul ma’shumin hujajullah.

HN: Bagaimana tanggapan para peziarah yang hadir kala itu?

AH: Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Ada yang menangis. Saya berkata kepada salah seorang dari mereka, “Saya bukan siapa-siapa. Mengapa kalian menghormatiku demikian?” Ia menjawab, “Kamu adalah orang yang telah memperoleh petunjuk lantaran Ahlul Bait as?” [Bersambung]