Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Subjektivitas dalam Tasawuf: Konsepsi Ibn ‘Arabi tentang Tuhan, Kosmos dan Penemuan Diri

0 Pendapat 00.0 / 5

Bagi Ibn ‘Arabi, pemisahan antara Khalik dan makhluk merupakan fenomena imajinatif kosmos di samping aktivitas pembayangan manusia. Pengenalan Wujud kepada entitas-entitas permanen berlangsung tidak sebagaimana pengenalan Diri-Nya terhadap Diri-Nya, melainkan sesuai dengan kapasitas persiapan entitas-entitas permanen dalam menerima penyingkapan atau pengenalan Wujud. Untuk mengetahui watak sebenarnya dari kosmos tentu saja kita harus “melenyapkan” pemahaman yang memisahkan antara al-Haqq dan ciptaan. Masing-masing individu memperoleh penyingkapan-diri Tuhan yang khas. Kesadaran inilah yang membuat para gnostik untuk tidak membuat-buat istilah teknis yang dapat menghasilkan pengetahuan positif tentang bentuk penyingkapan-Nya.

+++
SECARA singkat dapat dikatakan bahwa tasawuf memiliki suatu pandangan dunia (weltanschauung) yang melihat bahwa realitas terdiri dari hierarki ontologis di mana dunia terestrial hanyalah salah satu dan yang terbawah dari urutan hierarki tersebut. Dalam pandangan dunia ini, tentu saja, Tuhan pada Diri-Nya sendiri diidentifikasi sebagai Sumber Tertinggi dan Prinsip dari segala realitas yang berada di bawah-Nya, sedangkan segala sesuatu selain Tuhan didefinisikan sebagai makhluk-Nya atau kosmos. Namun demikian, pemisahan antara Tuhan dengan kosmos, atau Khalik dengan makhluk, nampaknya tidak bersifat ontologis, melainkan lebih sebagai kenyataan kemasuk-akalan (ma’quliyat, rasional).1 Dikatakan demikian karena kedua istilah dalam setiap pasangan ungkapan tersebut — semisal, Khalik-makhluk, ilah-ma‘luh, Rabb-hamba, dan seterusnya — merupakan relasi rasional yang masing-masing mengandaikan keberadaan satu sama lain. Eksistensi makhluk, misalnya, tidak dapat dipahami tanpa eksistensi Khalik, dan demikian seterusnya. Pemisahan tersebut dikatakan non-ontologis karena wujud relasi tersebut tidak dapat ditemukan dalam keberadaan (eksistensi). Walaupun begitu, ke-non-ontologis-an relasi bukan berarti suatu ketiadaan (kemustahilan) sama sekali, sebab jejak-jejak dan propertinya dapat dialami dan dirasakan. Aktivitas-aktivitas ritual, persembahan, harapan, rasa takut, kagum, misalnya, menunjuk kepada jejak-jejak yang terdapat pada diri seorang hamba yang merasa hina dan papa, serta menunjuk pada properti (kekuatan kontrol, hukm) Rabb yang menuntut kemunculan jejak-jejak tersebut. Melalui jejak-jejak dan properti tersebut kita dapat memahami keberadaan relasi korelatif antara Rabb-hamba.

Relasi Rasional dan Penciptaan
Bagi Ibn ‘Arabi, pemisahan antara Khalik dan makhluk tersebut merupakan fenomena imajinatif (khayyal) kosmos — di mana kosmos seolah-olah memiliki entitas wujudnya sendiri yang terlepas dari Wujud Ilahiyah2 — di samping aktivitas pembayangan (tawahhum) manusia. Dengan fenomena imajinatif ini, tentu saja Ibn ‘Arabi tidak bermaksud menghilangkan signifikansi eksistensi kosmos, sebab kehadiran imajinasilah yang pada kenyataannya memungkinkan kita menyaksikan kehadiran wujud (eksistensi).3 Tanpa pemisahan Rabb-hamba, dan karenanya tanpa tawahhum dan imajinasi (khayyal), maka apa yang dapat kita bayangkan adalah suatu Wujud Tunggal yang tidak dapat teridentifikasi sebagai ilah (tuhan) atau bukan-tuhan, sebab memang dalam kondisi tersebut tidak ada ma‘luh (hamba) yang akan mengakui-Nya sebagai ilah. Wujud ini diidentifikasi Ibn ‘Arabi sebagai Wujud yang tidak memiliki hubungan apa pun dan tersentuh dengan kosmos, yang independen.4
Dalam kondisi ketunggalan-Nya, Wujud mengetahui dan menemukan Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri, sebab memang tidak ada hal lain selain Diri-Nya. Dari sudut pandang ini, apa yang sekarang kita sebut kosmos pada dasarnya bukanlah Wujud itu sendiri, atau merupakan bagian dari-Nya. Sementara itu apa pun dan siapa pun yang menemukan entitas dirinya dan entitas satu sama lainnya — yang kesemuanya tidak lain merupakan bagian-bagian yang membentuk kosmos — merupakan entitas-entitas permanen (‘ayn al-tsabitah) yang tidak atau belum, tetapi potensial untuk, menemukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, entitas-entitas permanen berperan sebagai lokus manifestasi Wujud di mana Dia diketahui dan ditemukan oleh Diri-Nya sendiri.
Konsepsi bahwa entitas permanen pertama kali berada dalam kondisi ketiada-beradaan — dalam arti mereka belum menemukan dirinya — nampaknya mesti dipahami dalam hubungannya dengan konsepsi tentang Wujud Tunggal yang telah eksis sebelum terjadinya pemisahan antara Khalik dan makhluk tersebut. Sementara konsepsi bahwa entitas permanen berpotensi untuk mengetahui dan menemukan dirinya mesti dipahami dalam hubungannya dengan kenyataan bahwa kosmos telah eksis, dan karenanya telah terjadi “pemisahan” antara Khalik dan makhluk.
Dari sini entitas permanen dikatakan sebagai entitas-entitas kemungkinan atau “segala hal yang-mungkin” (mumkinat) karena di satu sisi mereka merupakan entitas-entitas yang tidak memiliki keberadaan (non-existence), akan tetapi di sisi lain mereka juga tidak dapat dikatakan sebagai ketiadaan mutlak (nothingness) karena mereka berpotensi untuk memasuki, dan menemukan keberadaannya. Dengan demikian entitas permanen berada di antara Wujud Tunggal (necessary being/wajib al-wujûd) dan kemustahilan (ketiadaan mutlak).5
Keberadaan entitas permanen dan kosmos saling mengandaikan satu sama lainnya. Ketika ia dikonsepsikan untuk berpotensi memasuki keberadaan, maka kosmos pun berpotensi untuk menjadi selain-Tuhan. Jika ia tidak terkonsepsi keberadaannya, maka tentunya kosmos akan selamanya merupakan bukan selain-Tuhan dan tidak akan pernah kita temukan. Dan kenyataan bahwa entitas kosmos dapat kita temukan keberadaannya mengimplikasikan bahwa entitas permanen pun dapat kita konsepsikan keberadaannya. Sebaliknya, jika kosmos kita pandang sebagai bukan selain-Tuhan, maka entitas yang kita konsepsikan bukanlah entitas-entitas permanen tersebut melainkan Entitas Tunggal, Wujud itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa eksistensi (kosmos) hanya memiliki keniscayaan dalam kepermanenan (entitas-entitas), sementara Wujud (Tuhan) memiliki Keniscayaan dalam Wujud dan Kepermanenan.6
Kemunculan kosmos adalah pengenalan Wujud kepada entitas-entitas permanen, yang merupakan keniscayaan. Sebab jika Dia tidak memperkenalkan Diri-Nya maka Dia tidak pernah akan ditemukan, dan karenanya bukan Wujud lagi namanya. Dalam kerangka perkenalan inilah, Dia memasuki tingkatan uluhiyah, di mana Dia mengambil posisi sebagai ilah, Rabb, dan nama-nama ilahiah lainnya. Di sisi lain, kemunculan kosmos merupakan realisasi dari tuntutan entitas-entitas permanen untuk menjalin relasi dengan Wujud dan membiarkan diri mereka mengetahui dan menemukan dirinya, setelahnya mereka hanya diketahui Wujud sendirian, yang akan mengambil posisi sebagai ma‘luh, marbub, dan nama-nama semisalnya.
Dengan demikian, keberadaan kosmos adalah realisasi Wujud yang turun dari ke-tak-terjangkauan-Nya ke tingkatan Uluhiyah untuk menjadi Ilah bagi entitas-entitas permanen. Dari sinilah relasi Rabb-hamba, Khalik-makhluk, ilah-ma‘luh, ar-Rahman dan objek-Nya, Syadid al-‘iqab dan objek-Nya terealisasi. Pengenalan Wujud kepada entitas-entitas permanen berlangsung tidak sebagaimana pengenalan Diri-Nya terhadap Diri-Nya — sebab hal ini sama artinya dengan kondisi ketunggalan Wujud — melainkan sesuai dengan kapasitas persiapan entitas-entitas permanen dalam menerima penyingkapan atau pengenalan Wujud, yang merujuk pada kondisi ketika mereka belum menemukan dirinya atau ketika hanya diketahui Wujud. [[]]Segala sesuatu yang memasuki kosmos adalah persis seperti segala sesuatu yang berada dalam liputan pengetahuan Wujud sebelum mereka memasuki keberadaan. Pengenalan atau penyingkapan-diri Wujud Tuhan identik dengan pembawaan entitas-entitas permanen dari kondisi ketiada-beradaannya (ketika mereka belum menemukan dirinya) ke keberadaan. Dan inilah nampaknya maksud dari pernyataan bahwa penyingkapan-diri Tuhan kepada ciptaannya (kosmos) sesuai dengan persiapan entitas-entitas permanen — nama entitas permanen itu sendiri merujuk pada situasi ketidak-berubahan entitas tersebut dalam pengetahuan Tuhan baik sebelum atau sesudah memasuki keberadaan.
Apa yang memasuki keberadaan (kosmos) tersebut bukanlah entitas-entitas permanen sendiri melainkan jejak-jejak dan propertinya. Mesti diingat bahwa sebagai hamba, “keberadaan” entitas-entitas permanen harus dipahami dalam hubungannya dengan nama-nama yang terdapat dalam tingkatan Uluhiyah, yakni sebagai relasi rasional yang entitas wujudnya tidak ditemukan (non-ontologis). Dalam hubungannya dengan jejak-jejak dan properti tersebut, entitas-entitas permanen merupakan realitas dan akar bagi mereka. Dengan kata lain, hakikat sesuatu tidak terletak pada dimensi lahirnya (jejak-jejak dan properti) melainkan dalam dimensi batinnya (entitas-entitas permanen dalam relasinya dengan nama-nama ilahiyah). “Realitas” pengetahuan manusia, misalnya, adalah nama Yang Maha Mengetahui sedangkan realitas kehidupan kosmik adalah nama Yang Mahahidup, dan demikian seterusnya. Dalam hubungannya dengan entitas-entitas permanen, nama-nama ilahiyah merupakan partikularisasi Wujud, bentuk atau keadaan, fenomena kosmos.
Jika realitas dari entitas-entitas yang eksis (jejak-jejak dan properti) dalam kosmos kembali kepada entitas-entitas permanen dan nama-nama, yang mana kosmos telah dikonsepsikan eksistensinya, maka realitas seluruh nama akan kembali pada Wujud Esensi Ilahiyah sendiri sebagai Dzat al-Asma (pemilik nama-nama). Di sini kosmos masih sebagai bukan selain Tuhan dan belum terkonsepsikan keberadaannya. Berkenaan dengan Wujud ini kita tidak dapat berdiskusi apa pun selain mengatakan bahwa pengetahuan tentang-Nya adalah bahwa Dia tidak dapat diketahui.
Jika hubungan antara satu nama dengan entitas permanen tertentu kita konsepsi sebagai merujuk pada realitas partikular maka hubungan keseluruhan nama dengan entitas-entitas permanen dapat kita konsepsikan sebagai merujuk pada Realitas Universal atau Realitas segala realitas. Di dalam Realitas tersebut termuat seluruh relasi nama dan entitas-entitas permanen. Sebagai himpunan relasi-relasi, Realitas Universal juga memiliki karakter ma`qul dan karenanya dapat terkonsepsi kendatipun ia tidak bereksistensi.7
Pada dirinya sendiri, Realitas Universal tidak dapat diidentifikasi sebagai eksis atau tidak-eksis, baru atau abadi. Di satu sisi, Realitas ini tidak dapat memasuki keberadaan kecuali jika objek-objek yang dideskripsikannya juga memasuki keberadaan. Di sisi lain, tidak ada objek pengetahuan (objek deskripsi), apakah baru atau abadi, kecuali jika realitas ini diketahui (dideskripsikan). Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui Realitas Universal sebagai terpisah dari bentuk yang dideskripsikanya, baik melalui demonstrasi rasional ataupun melalui bukti-bukti.
Realitas ini juga tidak dapat dideskripsikan sebagai berada sebelum kosmos, tidak juga dapat dikatakan bahwa kosmos muncul setelahnya. Akan tetapi ia adalah akar segala sesuatu yang eksis, sfera kehidupan, ia adalah al-Haqq Yang Melalui-Nya Ciptaan Tercipta (al-haqq al-makhluq bihi). Ia menjadi berkualitas sebagai baru jika menjadi atribut sesuatu yang baru, yakni sesuatu yang keberadaannya didahului ketiada-beradaan, yaitu makhluk. Akan tetapi ia juga dapat menjadi berkualitas sebagai abadi jika menjadi atribut sesuatu yang abadi, yakni Dzat yang keberadaan-Nya tidak didahului ketiada-beradaan (non-eksistensi), yaitu al-Haqq. Pengetahuan, misalnya, ketika ia diatributkan pada makhluk maka ia tampil sebagai baru; jika diatributkan pada Tuhan ia tampil sebagai abadi. Akan tetapi pengetahuan pada dirinya sendiri tidak baru ataupun abadi.
Realitas Universal juga dapat menjadi plural melalui pluralitas individu-individu (yang dikenai deskripsinya). Ia juga dapat menjadi kualitas yang tidak memiliki tandingan melalui ketak-terbandingan Tuhan (yang dikenai deskripsinya).8 Misalnya, pengetahuan dimiliki bersama oleh A, B, C, dan seterusnya, akan tetapi Pengetahuan Tuhan tidak tertandingi oleh siapa dan apa pun. Eksistensi entitas-entitas yang muncul secara temporal dan Wujud Abadi (wujûd al-qadîm) terikat satu sama lain melalui korelasi dan properti, bukan melalui eksistensi entitas (wujûd al-‘ayn).9
Karena Tuhan memiliki eksistensi yang mendahului eksistensi makhluk-Nya, maka dari segi atribut-Nya pun Dia memiliki prioritas (kemendahuluan) ketimbang atribut makhluk-Nya yang muncul setelah-Nya (posterior). Berkenaan dengan al-Haqq kita katakan bahwa Dia adalah Esensi yang Mahahidup, Mengetahui, Berkehendak, Berbicara, Mendengar, Melihat, sementara berkenaan dengan manusia, misalnya, kita katakan yang hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat.10 Proses eksistensiasi (îjâd) kosmos dengan demikian terjadi melalui properti (ahkam), relasi (nisâb), dan atribusi (idhâfah).11

Keniscayaan Tuhan dan Kemungkinan Manusia (1)
Dalam permasalahan ini, pertanyaan “kapan Tuhan menciptakan kosmos?” adalah tidak tepat, sebab “kapan” merupakan ungkapan yang mempersoalkan masalah waktu, sementara waktu hanya terkonsepsi dalam dunia relasi (yaitu, setelah adanya kosmos itu sendiri).12 Waktu dipahami Ibn ‘Arabi sebagai relasi yang entitas atau objek yang dinamainya tidak ditemukan dalam wujud kendatipun propertinya dapat terpahami secara rasional;13 misalnya kapan Zayd merupakan ayah bagi ‘Amr? Maka jawabannya adalah “ketika” ‘Amr merupakan anak bagi Zayd. Karenanya, waktu ke-ayah-an Zayd adalah waktu ke-anak-an ‘Amr, dan ke-anak-an ‘Amr adalah waktu ke-ayah-an Zayd. Waktu ayah adalah anak dan waktu anak adalah ayah. Demikian pula dengan waktu Rabb adalah hamba (marbûb) dan sebaliknya, mengingat properti masing-masing tidak dapat diberlakukan tanpa keberadaan satu sama lain.14
Kemunculan waktu berkaitan dengan munculnya segala hal secara baru. Munculnya berbagai hal secara baru berlangsung secara sinambung (dawam), dalam arti berlangsung dalam kesinambungan waktu keadaan yang hadir (present/hal) secara terus menerus. Karenanya waktu juga merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kesinambungan (perpetuality). Keadaan yang hadir (hal) atau yang juga disebut sebagai “saat sekarang” (instant, al-an) adalah seperti suatu titik yang kita andaikan dalam suatu keliling lingkaran; di manapun kita mengandaikan titik tersebut maka awal dan akhir menjadi tergambar untuk keliling tersebut. Melalui karakter kesinambungan sang waktu, “saat sekarang” merupakan batasan untuk waktu yang menjadi masa lampau dan waktu yang menjadi masa depan. Entitas wujud yang menjadi wadah semua ini ditemukan hanya dalam imajinasi, dan bukan dalam nalar atau pun penginderaan; dan melalui imajinasi pula wadah ini sendiri, pada gilirannya, dapat dipandang sebagai isi dari suatu wadah tak terbatas yang dapat terimajinasikan, dan seterusnya.15 Dengan demikian, apa yang kemudian dipahami dari waktu adalah suatu rentangan imajinasi (mutawahham)16 yang tidak berujung pada kedua sisi/ujungnya. Keabadian tanpa permulaan (azal) dan keabadian tanpa akhir (abad) merupakan deskripsi tentang ketiadaan dua sisi atau ujung waktu tersebut. Ia tidak memiliki awal dan akhir, sebab hanya kesinambunganlah yang terdapat dalam imajinasi.17
Itulah sebabnya mengapa pertanyaan tentang “Kapan kosmos diciptakaan?” atau dengan kata lain “Kapan berawalnya kosmos?” atau juga “Kapan relasi antara Pencipta dan ciptaan mulai terjadi?” adalah absurd. Kosmos tidak memasuki keberadaan (exist) “setelah” wujud al-Haqq, sebab tidak ada ke-setelah-an; tidak juga bahwa Tuhan eksis “sebelum” kosmos, sebab “sebelum” merupakan salah satu modalitas waktu, sementara dalam hal ini tidak ada waktu (sebelum adanya kosmos atau sebelum adanya relasi); tidak juga bahwa kosmos eksis “bersama” wujud al-Haqq, sebab al-Haqq merupakan Agen dan Perencana kosmos ketika ia bukan sebagai sesuatu yang ada. Karenanya, tepatlah jika dikatakan bahwa al-Haqq eksis melalui Esensi-Nya sendiri, sementara kosmos eksis melalui-Nya 18
Hingga di sini kita melihat hubungan jelas antara waktu-waktu (zaman) dan nama-nama. Kemunculan suatu relasi waktu seiring dengan kemunculan relasi nama-nama dengan beragam corak atau bentuk properti dan jejak-jejaknya di dalam kosmos. Ciptaan-ciptaan baru yang bermunculan secara konstan ke dalam kosmos terjadi dalam (atau seiring dengan munculnya) saat tak-terbagi yang identik dengan hitungan waktu terpendek yang biasa disebut sebagai waktu-tersendiri (zaman al-fard) atau “Hari Tugas” (yawm al-sya‘n) sebagaimana dirujuk oleh salah satu ayat al-Quran.19 Hari-hari tersebut menjadi terentifikasi oleh properti nama-nama Tuhan di dalam kosmos. Masing-masing nama ilahiyah memiliki suatu hari20 yang merupakan properti-propertinya, atau merupakan waktu dari properti nama-nama tersebut.21
Manakala waktu (zaman) diimajinasikan dengan ketiada-mulaan dan ketiada-akhiran secara total maka yang demikian inilah yang disebut sebagai al-dahr, yakni Hari tunggal Tuhan yang tidak-mula dan tidak-akhir dan tanpa pembagian siang dan malam hari. Dan hari-hari yang memanifestasi dalam kosmos merupakan pendiferensiasian properti al-dahr ini yang dimungkinkan oleh properti nama-nama dan atribut-Nya.22 Dalam al-dahr berlangsung pemanifestasian keteraturan, prioritas (kemendahuluan) sebagian hal-hal yang-mungkin yang bermunculan secara baru ke dalam eksistensi (keberadaan) dan posterioritas (keterkemudianan) sebagian hal lainnya.23 Demikian pula prioritas dan posterioritas juga berlangsung dalam bentuk-bentuk di mana hal-hal yang-mungkin tersebut memasuki keberadaan.24 Waktu kelenyapan dan kemunculan corak suatu properti dari suatu entitas merupakan waktu manifestasinya bentuk lainnya dalam saat yang tidak terbagi.
Melalui nama al-dahr, fluktuasi dan transmutasi bentuk-bentuk terjadi secara konstan.25 Dalam eksistensi, segala sesuatu yang nampak seolah-olah tetap dan diam, transmutasi selalu terjadi dalam setiap saat, kendatipun mata dan indera tidak dapat mempersepsinya.26 Tuhan membawa keserupaan-keserupaan (amtsal) secara terus menerus sehingga terjadi transmutasi dalam setiap saat yang tidak terbagi.27 Keserupaan tidak berarti keidentikan,28 kendatipun faktor-faktor yang memisahkan antara keserupaan tersebut tidak mudah untuk dipersepsi.29 Penyingkapan-diri Tuhan berlangsung dalam bentuk-bentuk yang tidak pernah berakhir, tidak pernah berulang dalam dua saat, dan tidak pernah sama untuk dua individu yang berbeda.30 Semua ini adalah karakter imajinatif realitas, yakni gambaran realitas yang senantiasa mengalami transmutasi dari suatu keadaan ke keadaan lainnya, dari suatu bentuk ke bentuk lainnya. Transmutasi ini berlaku baik di dunia, di akhirat, di antara keduanya, dan juga berlaku pada ruh, jiwa dan segala sesuatu selain Tuhan.31 Dan karena kosmos tidak lain adalah hari-hari, properti dan jejak-jejak yang dimiliki Tuhan sendiri, maka apa yang sebenarnya kita imajinasikan, pahami, dan inderai tidak lain kecuali Wujud al-Haqq yang menopang kita dalam “wujud” kita.32 Kehadiran “wujud” tidak lain merupakan Kehadiran Imajinasi.33
Dari sini apa yang dipandang sebagai baru (Kalam Ilahi atau kosmos) oleh segala sesuatu yang muncul secara baru atau temporal (termasuk manusia) dikarenakan kebaru-mengetahuiannya akan hal-baru yang sebelumnya tidak diketahuinya, maka bagi Tuhan hal-baru itu adalah abadi sebab, yang selalu dalam liputan pengetahuan-Nya.34 Itulah sebabnya mereka disebut “entitas-entitas permanen” (‘ayn al-tsabitah), permanen dalam pengetahuan Tuhan.
Dari sudut pandang entitas-entitas permanen, kenyataan kedapatterpahamiannya properti dan jejak-jejak serta hari-hari atau waktu merupakan milik mereka, sesuai dengan persiapan-persiapan yang mereka miliki masing-masing. Di sinilah tepatnya karakter ambiguitas eksistensi (keberadaan). Dalam satu kesempatan, Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa entitas-entitas kemungkinan merupakan lokus bagi manifestasi jejak-jejak dan properti nama-nama-Nya. Pada kesempatan lain, dia mengatakan bahwa Tuhan menjadi lokus manifestasi properti entitas-entitas sesuai dengan persiapan masing-masingnya.35
Namun demikian, satu hal yang jelas dalam ambiguitas ini adalah bahwa Tuhan berposisi sebagai Entitas Wujud yang Niscaya melalui Diri-Nya, sementara entitas-entitas kemungkinan hanya wujud niscaya melalui yang lainnya, yakni Wujud Tuhan itu sendiri.36 Inilah mungkin apa yang dimaksudkan Sachiko Murata37 ketika mengatakan bahwa rumusan ontologis yang biasa dipegang dalam pandangan Islam, termasuk oleh Ibn ’Arabi, merupakan suatu ontologi yang secara tegas membedakan antara Yang-Nyata dan yang tidak-nyata, antara Yang Mutlak dan yang relatif.

Makna dan Ilustrasi Kesatuan Tuhan-Manusia
Realitas inderawi yang kita tangkap melalui penglihatan-mata pada kenyataannya adalah hal-hal imajinal (mutakhayyal), yang memperdaya (matsal manshubah);40 seolah-seolah adalah realitas mandiri dan lepas dari al-Haqq.41
Untuk mengetahui watak sebenarnya dari kosmos tentu saja kita harus “melenyapkan” tawahhum yang notabene bertanggung jawab atas terealisasinya pemisahan antara al-Haqq dan ciptaan, antara Khalik dan makhluk, Tuhan dan hamba dan seterusnya. Ibn ‘Arabi menganalogikan pemisahan antara Khalik dan makhluk oleh wahm dan pelenyapannya ini dengan sebuah lingkaran yang terbagi menjadi dua lengkungan busur oleh diameter yang diidentifikasi sebagai garis yang ter-wahm-kan, sebagai sesuatu yang tampak ada akan tetapi sebenarnya tidak memiliki wujud dalam entitasnya.
Ketika garis yang ter-wahm-kan lenyap, maka yang tinggal hanyalah sebuah lingkaran sementara kedua lengkungan tadi tidak lagi terentifikasi. Pelenyapan ini dirujuk dalam QS. an-Najm [53]: 9, “Maka jadilah dia dekat (sejarak) dua busur, atau lebih dekat (lagi).” Kedekatan ini merupakan “maqam-munazalat” yang memungkinkan pertemuan antara titik pusat dengan keliling lingkaran. Ketika pusat dan lingkaran bertemu, maka lenyaplah apa yang ada di antaranya. Ini merupakan pelenyapan kosmos di dalam Wujud al-Haqq. Pelenyapan ini meniadakan pembedaan antara pusat dengan lingkaran sebab keduanyapun menjadi hilang. Yang tinggal hanyalah suatu entitas wujud yang membuat propertinya sendiri lenyap sebagaimana lenyapnya properti kosmos. Inilah pelenyapan universal yang meliputi entitas maupun properti. Dari sini jelas bahwa sejak semula Ke-Dia-an Tuhan identik dengan lingkaran yang tidak lain dari dua lengkungan itu sendiri. Karenanya dari segi Ke-Dia-an, lengkungan yang satu identik dengan lengkungan lainnya, dan kita adalah garis wahm yang memisahkan keduanya.42
Sementara itu dalam hubungannya dengan kita (selain Diri-Nya), kembalinya urusan ke kondisi semula (utuhnya kembali lingkaran setelah pemisahan) tidak berarti serupa dengan kondisi awal (keutuhan lingkaran) sebelum terjadinya pemisahan. Hal ini disebabkan karena properti yang ditegaskan diameter tidaklah lenyap, bahkan kendatipun garisnya lenyap, jejak-jejaknya tetap ada. Di sini Tuhan menegaskan entitas-entitas kita melalui pendeskripsian ke-Dia-an Diri-Nya sebagai pendengaran, penglihatan, kaki, tangan dan semua fakultas kita.
Kita menjadi tahu, setelah sebelumnya tidak mengetahui, bahwa lingkaran dapat terbagi, sehingga tak henti-hentinya kita tahu, kendatipun setelahnya lingkaran tersebut bergabung, bahwa ia memiliki dua porsi, apa pun bagian-bagiannya yang kita bayangkan di dalamnya, dan menerima pembagian, apa pun batasan yang kita bayangkan di dalamnya — yakni, pembagian antara ketuhanan dan kehambaan. Ini misalnya melalui berita-berita ilahiyah yang memberikan petunjuk-petunjuk tentang terkualifikasinya al-Haqq oleh atribut-atribut ciptaan, dan terkualifikasinya ciptaan oleh atribut-atribut al-Haqq.43
Pelenyapan garis wahm tersebut dapat juga dijelaskan dengan gagasan terbakarnya segala sesuatu yang terpersepsi penglihatan-mata oleh kemegahan (subbuhat) wajah Tuhan manakala selubung kosmos yang menyebabkan manusia terselubung dari Tuhan dan Tuhan terselubung dari manusia, atau yang menyebabkan keterpisahan makhluk dari Tuhannya, terangkat. Ini didasarkan pada hadis Nabi, “Ketika selubung-selubung tersebut terangkat maka kemegahan (subbuhat) wajah-Nya akan membakar seluruh segala sesuatu yang terpersepsi penglihatan-mata (bashar) makhluk-makhluk-Nya.”
“Pembakaran” merujuk pada ketercakupan cahaya yang lebih rendah yang menjadi tempat beradanya segala sesuatu dalam cahaya yang lebih tinggi, seperti tercakupnya cahaya bintang-bintang dalam cahaya matahari. Cahaya bintang dikatakan terbakar manakala ia berada dalam liputan cahaya matahari, kendatipun cahayanya tetap eksis dalam esensinya, kendatipun kita tidak dapat mempersepsinya akibat lemahnya persepsi.44 Dalam hal ini tidak ada entitas-entitas yang hilang, akan tetapi juga tidak ada satupun entitas yang memanifestasi. Jadi mereka terlihat dan tidak-terlihat, sebab mereka berada dibalik selubung Cahaya Yang Mahabesar, yang memiliki properti pengaturan atas urusan yang termanifestasi. Sementara cahaya bintang memiliki properti pengaturan di dalam urusan non-manifestasi yang tercakup di dalam Cahaya Yang Mahabesar.45
Pengangkatan selubung bagi sebagian pengetahuan Tuhan dapat membawa dirinya pada suatu titik di mana ia melihat dirinya sebagai identik dengan-Nya, dan melihat esensi dirinya sebagai satu esensi. Sehingga dalam kondisi inilah bahwa seseorang mengatakan “Akulah Tuhan” (ana‘l haqq, Al-Hallaj) “Mahamegah-lah Aku” (Subhani, Abu Yazid al-Busthami), dan lain-lain.46

Tempat “Penyatuan”
Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, penyingkapan selubung terjadi dalam apa yang disebut Ibn ‘Arabi sebagai maqam-munazzalat, yaitu tempat pertemuan antara penurunan Tuhan kepada seseorang hamba — tawajjuhnya suatu nama ilahiyah — dan kenaikan hamba kepada-Nya dengan himmah yang Tuhan berikan kepadanya.47 Dalam maqam-jalan bersama inilah visi terhadap al-Haqq terjadi.48 Dalam pertemuan ini kebaikan yang dicari hamba dari nama dan kebaikan yang dicari nama dari hamba teraktualkan. Nama kembali kepada Yang-Dinamai dan hamba kembali ke tempat ia muncul. Atau nama tersebut menyuruh dan menyertai hamba kembali ke tempat ia muncul. Atau si hamba membawa serta nama ilahiyah tersebut dan menaik kepada Yang-Dinamainya.49
Ketika seseorang naik ke maqam-khithab bersama, yaitu antara dia dan al-Haqq, ia tidak menyaksikan sesuatupun kecuali bentuk-bentuk yang berperan sebagai selubung sekaligus penanda atas Tuhan. Baginya bentuk-bentuk merupakan juru bicara tentang realitas dan rahasia-rahasia. Dan semua ini berlangsung dalam bahasa fahwaniyah (bahasa yang elok/jernih),50 yang didefinisikan Ibn ‘Arabi sebagai pembicaraan (khithab) al-Haqq, melalui pertemuan langsung, di dunia imajinasi.51 Maqam-munazalat adalah situasi di mana Tuhan berbicara kepada hamba “secara langsung” akan tetapi dari belakang selubung imajinasi.52 Di sinilah tepatnya berlaku firman Tuhan “Dan tidak ada bagi seorang basyar pun bahwa Allah berbicara dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang hijab, atau dengan mengutus seorang Rasul lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki” (QS. Asy-Syura [42]: 51). Kendati terjadi pertemuan dan pembicaraan langsung antara Tuhan dan manusia, hal ini tidak berarti lenyapnya bentuk-bentuk (imajinal atau yang terimajinasikan). Bagaimanapun juga, Tuhan tidak mungkin melakukan komunikasi dengan makhluk-Nya kecuali melalui bentuk-bentuk. Namun demikian, fakultas ilahiyah yang telah Tuhan anugerahkan kepada seorang ‘arif mampu menembus makna-makna atau maksud ilahiyah yang terselubung dalam bentuk-bentuk tersebut.53
Manakala selubung basyar tersingkap dari mata hati, maka hati mempersepsi semua bentuk pengada yang tengah berbicara dan mendengar kepada satu sama lainnya. Di sini aktivitas berbicara, mendengar, memegang, berlari, merasa, berimajinasi, memberi-bentuk, mengingat dan semua fakultas yang yang diatributkan kepada basyar menjadi terpadu-satu (unified). Seseorang tidak lagi mendengar pembicaraan Tuhan kecuali melalui pendengaran-Nya, tidak juga mendengar pembicaraan suatu bentuk kecuali melalui pendengaran bentuk tersebut. Sementara Pendengar berada di belakang pendengaran, Pembicara berada di balik pembicaraan dan seterusnya. “Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka” (QS. Al-Buruj [85]: 20).54
Visi terhadap al-Haqq yang terjadi di dalam dunia atau Kehadiran Imajinasi ini disebut sebagai ru`yah (visi-mimpi), yang dapat berlangsung baik saat tertidur ataupun terjaga. Bentuk-bentuk yang terlihat secara imajinal boleh jadi terletak di dalam atau diluar fakultas imajinasi, atau juga boleh jadi bentuk-bentuk tersebut hadir dari luar melalui imajisasi makhluk spiritual atau penyingkapan-diri (Tuhan) dalam bentuk manusia.55

Epilog: Subjektivitas Teomorfik
Di satu sisi, jejak-jejak dan properti atau bentuk-bentuk penyingkapan-diri Tuhan adalah identik dengan Tuhan sendiri. Tidak ada sesuatu pun yang terlihat kecuali Tuhan. Adalah Dia sendiri yang terlihat dalam keragaman bentuk-bentuk. Secara absolut pada Diri-Nya sendiri, Tuhan merupakan Wujud Yang Tak Terbatas (tanzih). Akan tetapi secara paradoks hal ini berarti bahwa Ketidak-terbatasan Tuhan tidak menghalangi-Nya untuk memasuki setiap bentuk keterbatasan dengan tanpa menjadi terbatasi oleh bentuk keterbatasan apa pun (tasybih).56 Di sisi lain keragaman bentuk atau keyakinan — keyakinan adalah sama dengan bentuk — yang dilihat dan dirasakan seorang individu tidak dilihat sebagai identik dengan-Nya, melainkan kembali kepada proyeksi keyakinannya sendiri tentang Tuhan. Dalam hal ini individu tersebut boleh jadi dapat mengenali Tuhan dalam segala bentuk keyakinan dan bentuk-bentuk proyeksi dirinya, seperti dalam kasus seorang gnostik. Atau hanya mengenali-Nya secara terbatas dalam bentuk keyakinan persepsinya tentang Tuhan, dan tidak mengenali-Nya apabila Dia tersingkap dalam bentuk yang berbeda dari bentuk keyakinannya, seperti dalam kasus selain gnostik.57
Seorang gnostik tidak dapat mengungkapkan akar fundamental keyakinannya tentang Tuhan, yang diperolehnya berdasarkan pengecapan (dzauq). Pengecapan tentang rahasia-rahasia (asrar) berbeda dengan pengecapan yang dialami dalam hal-hal objek dan kesenangan inderawi atau konsideratif. Karena Dia tidak memiliki keserupaan atau kemiripan, maka mustahil bagi mereka yang berkesempatan mengecap-Nya untuk menciptakan istilah-istilah teknis tentang-Nya, sebab apa yang disaksikan tentang-Nya oleh seseorang tidaklah sama dengan yang disaksikan orang lain. Cara-pandang inilah yang menjadi pegangan para gnostik sehingga mereka tidak mampu menyampaikan apa yang ia saksikan tentang Rabbnya dengan terminologi teknis.
Keberbedaan atau ketiada-serupaan penyingkapan bentuk-bentuk ini pada gilirannya menandai aspek ketakterbatasan Tuhan, kendatipun situasi aktualnya tidak dapat dideskripsikan sebagai terbatas atau tidak-terbatas. Ketakterbatasan Tuhan justru berarti bahwa Tuhan dapat memasuki segala bentuk keterbatasan tanpa perlu terikat oleh suatu bentuk yang terbatas (baca; Wujud Yang Maha Meliputi, wujûd ‘amm). Sehingga Dia adalah identik dengan segala sesuatu, akan tetapi segala sesuatu tidak identik dengan-Nya. Barang siapa yang menyatakan Dia sebagai tak-terbatas maka ia berarti tidak mengetahui-Nya. Demikian pula, barang siapa yang menyatakan-Nya sebagai terbatas berarti ia tidak mengetahui-Nya.58 “Jika kamu mengatakan tanzih (tak-terbatas), kamu membatasi[-Nya]. Jika mengatakan dengan tasybih [serupa, terbatas], kamu juga membatasi-Nya. Jika kamu mengatakan keduanya kamu benar.”59

Catatan Kaki:
1. Muhyiddin Ibn ’Arabi, al Futuhât al-Makiyyah, 4volume, t.th, Dar as-Sadir, II 516.34., III, 362.5 (Selanjutnya karya ini disebut Futuhât).
2. Futuhât, III, 525.23, Fushûsh, 103,104.
3. Ibid, III, 525.25.
4. Ibid. III, 46.27., 29, .47.31.
5. Ibid. III, 46.27.,29, . 47.31.
6. Ibid, III, 314.7.
7. William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn ‘Arabi`s Metaphisic of Imagination, 1989, Albany: State University of New york, hal 135-36.
8. Futuhât, I, 119.3.
9. Ibid, III 363.32; I, 119.3.
10. Ibid, II, 432.35.
11. Ibid, IV, 294.11.
12. Ibid, I, 90.13.
13. Ibid, III, 546.24.
14. Ibid, III, 547.31.
15. Hitungan waktu yang biasa dinamakan ‘hari’ merujuk pada gerakan yang terdapat dalam sfera yang paling besar. Gerakan matahari yang memunculkan pembedaan antara siang dan malam hari serta pembedaan yang memunculkan hitungan waktu yang biasa kita sebut ‘hari,’ merupakan salah satu dari Wujud hal-hal yang bergerak yang mengisi wujud yang terentifikasi—dan pada kenyatataannya tidak ada selain gerakan-gerakan tersebut yang mengisinya—yang pada dirinya sendiri tidak dapat diidentikkan dengan waktu. Walhasil waktu merupakan persoalan imajiner yang tidak ditemukan realitasnya. Dan hari yang terdapat dalam imajinasi dan pemahaman ini kemudian menjelma seolah-olah sebagai waktu yang benar-benar ada (existent time), sehingga melaluinya hitungan minggu, bulan, tahun dan al-dahr menjadi maujud. Dalam hubungannya dengan hitungan waktu-waktu ini, hari merupakan hitungan waktu terpendek. Ibid, I, 291.35.
16. Makna mutawahham juga dimengerti sebagai khayyal (imajinasi), sehingga keduanya nampaknya dapat digunakan secara bergantian. Lihat Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, hal. 103.
17. Futuhât, III, 546.24.
18. Ibid, I, 90.13.
19. Ibid, I, 292.16; II, 82.6; III, 434.3 (SPK 392) (IV 425.7).
20. Ibid, II, 441.34 (SPK 392).
21. Ibid, III, 201.12 (SPK 393).
22. Ibid, III, 201.12; 202.4.
23. Ibid, III, 280.26.
24. Ibid, IV, 62.2
25. Ibid, III, 198.33; III, 315.11, 16.
26. Ibid, III, 198.26.
27. Ibid, III, 452.24.
28. Ibid, II, 432.12.
29. Ibid, II, 500.6.
30. Ibid, IV, 19.22,34, II, 313.17.
31. Ibid, II, 313. 17.
32. Ibid, III, 547.5.
33. Ibid, III, 525.25.
34. Ibid, II, 63.2, II, 666.34.
35. Ibid, IV, 211.7.
36. Suatu urusan, dari sudut pandang dirinya sendiri, nampak (appear) sebagai suatu kemungkinan, akan tetapi tidak demikian halnya dari sudut pandang Tuhan yang mengetahui mana dari kemungkinan-kemungkinan suatu urusan tersebut yang akan terjadi dan dari sudut pandang-Nya yang Kehendak-Nya adalah satu mengikuti objek pengetahuan-Nya. Jika Kehendak-Nya berhubungan dengan sesuatu maka sesuatu itu tidak bisa tidak terjadi dan karenanya ia tidak lagi terkualifikasi “kemungkinan.” Itulah sebabnya mengapa seseorang yang melihat situasi tersebut tidak lagi menyebut suatu urusan sebagai “sesuatu yang mungkin” melainkan “urusan yang eksis secara niscaya melalui selain-Nya”. Ibid, II 334.24
37. Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, 1999, Bandung : Mizan, hal. 415.
38. Futuhât, II 334.24.
39. Ibid, II, 56. 16.
40. Ibid, III, 525.23.
41. Fushûsh, 103,104.
42. Futuhât, IV, 39.24
43. Ibid, III, 543.19
44. Ibid, IV, 72.20.
45. Ibid, II, 184.26.
46. Ibid, IV, 72.20.
47. Ibid, II, 577.32.
48. Ibid, III, 117.3.
49. Ibid, II, 578.1.
50. Ibid, III, 523.18; 524.15.
51. Dikutip William C. Chittick dalam The Self-Disclosure of God : Principles of Ibn al-‘Arabi`s Cosmology, 1998, Albany : State University of New York Press, hal. 115.
52. Ibid, hal. 115.
53. Futuhât, II, 529.22.
54. Ibid, III, 524.17. Dengan pencapaian seperti ini seseorang dapat terbebas dari cacat spiritual yang berwajah-dua: mencintai (menyembah) objek tanpa transendensi atau menyalah-pahami transendensi dengan melepaskannya dari objek tercinta (sembahan) yang memungkinkan termanifestasinya transendensi itu. Bdk. Henry Corbin, Creative Imagination In the Sufism of Ibn ‘Arabi, 1969, Princeton: Princeton University Press, hal. 133-34.
55. Futuhât, III, 38.23. Dalam keadaan terjaga sebagian orang (ahli kasyaf) dapat melihat apa yang dilihat orang pada saat tertidur (IV 99.8). Ibn ‘Arabi membedakan antara imajinasi yang berhubungan dengan subjek dan yang tidak berhubungan dengan subjek. Bagi imajinasi pertama visi terjadi dalam fakultas imajinasi itu sendiri, mimpi misalnya. Sementara bagi yang kedua, visi terjadi di luar fakultas tersebut, misalnya visi terhadap malaikat yang mengimajinalisasikan dirinya sebagai Dahya al-Qalbi.
56. Ibid, III, 162.23.
57. Ibid, III, 132.15,24.
58. Ibid, III, 384.18.
59. Fushûsh, hal. 70. Futuhât, I, 290.5.