Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Konsep Kafir dalam Alquran : Antara Keimanan dan Etika (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Kafirr Dalam komunikasi kita sehari-hari
Istilah kafir (kufr) begitu akrab dipakai degan pelbagai ragam makna. Amerika, oleh sebagian kelompok Muslim di Indonesia diklaim sebagai negara kafir, dengan alasan di samping mereka dipimpinn oleh orang-orang non Muslim, juga visi politiknya (diaggap) selalu merugikan umat Islam. Kasus peyerangan ke Afghanistan, klaim teroris kepada kelompok Islam militan, adalah beberapa contoh untuk mengukuhkan klaim kafir di atas.

Bukan hanya Amerika, Indonesia yang dipimpin orang Islam dengan mayoritas masyarakatnya beragam Islam, dan banyak mengadopsi prinsip-prinsip Islam dalam bernegara, tetapi karena secara formal menerapkan demokrasi Pancasila, juga dipandang sebagai negara atau sistem kafir oleh sekelompok kaum Muslim Indonesia. Hal ini bukan suatu yang baru, sebab di tahun 1920-an pertentangan antara umat Islam sendiri, karena persoalan furu’iyyah (cabang-cabang keagamaan), juga telah memunculkan tuduhan yag meggunakan terma kafir. Fenomena ini bisa dilihat misalnya dari perseteruan kelompkok Majlis Ahli Sunnah dan Persis di Bandung dengan Al-Ittihadul Islamiyyah, yang terjadi pada tahun 1927 (Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 2003, hal. 300)

Terminologi Kufr atau kafir ini, lalu sarat dengan beban makna yang sangat beragam dan berbeda-beda—cenderung ideologis dan politis. Pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana Alquran membangun makna kafir ini?

Toshihiko Izutsu melakukan analisis semantik terhadap konsep-konsep etika dalam Alquran, termasuk kufr. Menurutnya, kufr tidak hanya membentuk poros yag sangat bulat yang meliputi semua sifat-sifat negatif lainnya, tapi ia juga mengisi tempat-tempat yang sangat penting dalam sistem etika Alquran secara keseluruhan yang bahwa suatu pemahaman yang jelas tentang bagaimana ia terstruktur secara semantik yang jarang menjadi prasyarat bagi suatu penilaian yag tepat terhadap sebagian besar  sifat-sifat yag positif. Bahkan pembacaan dengan sepintas lalu terhadap al-Kitab akan menyadarkan kita bahwa peranan yang dimainkan oleh kosep kufr tersebut adalah juga memberikan pengaruh istimewa yang membuat kehadirannya terasa hampir di setiap bagian dalam kalimat-kalimat menyangkut perilaku dan karakter manusia.

Kemudian Izutsu meyimpulkan lima konsep kafir dalam Alquran sebagai berikut :

    Arti dasar dari akar kata kafara, sejauh pegetahua filologi yang paling mungkin adalah “menyembunyikan”. Dalam konteks yang paling utama, berkenaan dengan pemberian dan penerimaan kebajikan, kata tadi biasanya bisa berarti “menutupi”, yakni “mengabaikan dengan sengaja kebaikan yang seharusnya diterima oleh seseorang”, dan kemudian, “menjadi tidak bersyukur.”
    Alquran memberi tekanan sangat kuat kepada Kemahakuasaan Tuhan untuk melimpahkan rahmat dan kebajikan kepada makhluk-Nya. Ini berarti bahwa hanya kepada-Nyalah manusia wajib bersyukur atas segala kebaikan-Nya yang telah menuntunnya setiap saat dalam kehidupannya. Kafir adalah orang yang, setelah menerima kebajikan Tuhan, tidak memperlihatkan rasa terima kasih dalam perilakunya, atau bahkan justru bersikap menentang akan rahmat yang diberikan-Nya.
    Sikap tak berterima kasih yang mendasar akan rahmat dan kebajikan Tuhan ini diungkapkan dengan cara yang sangat radikal dan positif oleh takdzib, yakni “menciptakan kebohongan” terhadap Tuhan, nabi-nabi-Nya, dan terhadap wahyu yang dikirimkan kepadanya.
    Dengan demikian kata kufr sangat sering digunakan sebagai lawan kata dari iman, “percaya”. Dalam Alquran, yang paling mewakili menjadi lawan kata dari Mukminatau Muslim, tak pelak lagi adalah kafir. Akan kelihatan bahwa kufr, terus menerus kehilangan pengertiannya yang asli yaitu “rasa tak berterima kasih”, dan terus menerus menerimaarti “tidak percaya,” sehingga akhirnya menjadi lazim digunakan dalam pengertian ini, sekalipun di sana hampir tidak ada persoalan apa pun dengan rasa syukur.
    Kufr sebagai penolakan manusia terhadap Al-Khaliq, mewujudkan dirinya dengan cara yang sangat khas dan dalam berbagai tindakan kesombongan, kecongkakan, kepongahan (Istakbara dan istaghni). Bentuk-bentuk kufr dalam hal ini, lawa kata yang sangat tepat dari sikap rendah hati (tadarru), dan bertentangan secara langsung dengan gagasan takwa, yang merupakan unsur pokok konsepsi Islam tentang keagamaan.(Izutsu, Konsep Etika dalam Alquran, 1993, hal. 187-189)

Melihat poin-poin di atas, maka dapat dilihat bahwa bagi Izutsu, konsep asli kufr dalam Alquran cenderungbersifat etika daripada keimanan. Tetapi dalam keseharian, kita cenderung memahami kufr sebagai kosepsi keimanan atau keberlainan agama (non-Muslim). Kalau kita mau menariknya secara menyeluruh maka konsep kafir bisa dipahami sebagai orang yang dalam seluruh tindakannya tidak menunjukkan tanda berterima kasih atau bersyukur kepada Tuhan.