Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kebangkitan Imam Husein as dan Tujuannya (2)

1 Pendapat 05.0 / 5


Imam Husein as dan Bai’at dengan Yazid

Dengan mempertimbangkan kedudukan imamah dan kepemimpinan yang dimilikinya, Imam Husein as enggan berbai’at dengan Yazid dan mengambil keputusan yang dapat meluluh-lantahkan agama ini. (Dengan demikian), beliau tidak memiliki tugas kecuali menolak bai’at (terhadap Yazîd), dan Allah tidak menginginkan dari beliau hal  itu.

Akibat Menolak Bai’at

Dari satu sisi, menolak bai’at tersebut akan memiliki efek yang sangat pahit dan menyakitkan. Karena, penguasa yang tak tertandingi kekuatannya kala itu dengan segala kekuatan yang dimilikinya menginginkan bai’at (dari Imam as) dan ia tidak akan puas dengan selain itu. Atas dasar ini, syahadah Imam Husein as jika beliau menolak bai’at adalah satu hal yang pasti dan tak dapat dihindari.
Menimbang maslahat dan kepentingan Islam dan Muslimin, Imam Husein as mengambil keputusan untuk menolak bai’at dan rela terbunuh. Tanpa sedikit keraguan, beliau lebih memilih mati daripada hidup, dan satu-satunya taktlif syar’i beliau kala itu adalah menolak bai’at dan menerima kematian. Dan ini adalah arti sebagian hadis yang mengindikaskan bahwa Rasulullah SAWW bersabda kepada beliau di alam mimpi, “Allah ingin  melihatmu dalam keadaan terbunuh”. Begitu pula ketika sebagian sahabat ingin mencegah beliau untuk berangkat ke medan laga, beliau berkata kepada mereka, “Allah ingin melihat aku dalam keadaan terbunuh”. Ala kulli hal, yang dimaksud adalah kehendak tasyri’i, bukan kehendak takwini. Karena—sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya—kehendak takwini Allah sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap kehendak dan pekerjaan (seseorang).

Memilih Mati dari pada Hidup

Ya! Imam Husein as mengambil keputusan untuk menolak bai’at dan sebagai efeknya, beliau akan terbunuh, serta lebih mementingkan “mati” daripada hidup. Dan kronologi peristiwa membuktikan kebenaran pilihan beliau. Karena, syahadah beliau dengan kondisi yang menyayat hati itu telah berhasil membuktikan kemazdluman (ketertindasan) dan kebenaran Ahlulbait as, dan pasca syahadah beliau, kebangkitan dan perlawanan (terhadap penguasa) terus berlangsung hingga dua belas tahun lamanya. Setelah itu, rumah yang pada masa beliau hidup tidak dikenal orang itu, dengan sedikit kestabilan kondisi pada masa Imam al-Baqir as, para pengikut Ahlulbait as bak banjir mendatangi rumah itu dari berbagai penjuru negeri. Semenjak saat itu, hari demi hari angka para pengikut Ahlulbait as semakin bertambah dan kebenaran mereka terus bercahaya gemilau di setiap penjuru pemerintahan Islam. Pondasi semua itu adalah kebenaran Ahlulbait as yang disertai dengan ketertindasan, dan pemrakarsa semua itu adalah Imam Husein as.
Membandingkan kondisi Ahlulbait as dan sambutan masyarakat terhadap mereka pada masa beliau hidup dengan kondisi mereka setelah beliau syahid setelah empat belas abad berlalu dan tahun demi tahun terus bertambah dalam dan semakin baru akan membuktikan kebenaran pilihan beliau itu. Dan sya’ir yang beliau lantunkan ini —menurut sebagian hadis— mengindikaskan hal tersebut. “... Kami bukan pengecut, akan tetapi, ajal kamilah yang telah datang menjemput.
Dan karena mempertimbangkan hal tersebut Mu’awiyah berwasiat kepada Yazid jika Husein bin Ali menolak untuk berbai’at, hendaknya jangan sampai mengusiknya. Mu’awiyah berwasiat demikian bukan atas dasar ketulusan hati dan kecintaan (kepada beliau), bahkan ia mengetahui bahwa Husein bin Ali bukan potongan orang yang gampang diambil bai’at, dan jika ia terbunuh oleh tangan Yazid, Ahlulbait as akan mendapatkan stempel “tertindas”. Dan hal ini akan sangat berbahaya bagi dinasti Bani Umaiyah, sedangkan bagi Ahlulbait as merupakan jalan terideal untuk tabligh dan kemajuan (misi).

Imam Husein as dan Tugas Ilahi

Imam Husien as mengetahui tugas Ilahi (yang harus beliau emban), yaitu menolak bai’at. Beliau melebihi orang lain mengenal kekuatan Bani Umaiyah yang tak tertandingi dan jati diri Yazid. Beliau menyadari bahwa efek yang tak dapat dihindari dari menolak bai’at adalah keterbunuhan dan melaksanakan tugas Ilahi ini akan meminta syahadah. Tugas ini telah beliau ungkapkan dalam beberapa kesempatan dengan ungkapan yang berbeda-beda.
Ketika berada di istana penguasa Madinah yang meminta bai’at dari beliau, beliau menegaskan, “Orang seperti aku tidak akan pernah berbai’at kepada orang seperti Yazîd”.
Ketika keluar dari kota Madinah pada malam hari, beliau menukil sabda Rasulullah SAW kepada beliau dalam mimpi, “Allah menginginkan engkau terbunuh”.
Dalam khotbah yang beliau lontarkan ketika hendak meninggalkan Makkah dan ketika  menjawab sebagian sahabat yang ingin mencegah beliau berangkat menuju Irak, beliau mengulangi sabda Rasulullah SAWW tersebut.
Ketika menjawab sebagian tokoh Arab yang memaksa beliau untuk mengurungkan niatnya berangkat ke Kufah, karena beliau akan terbunuh, beliau menjawab, “Hal ini telah kuketahui. Akan tetapi, mereka tidak akan pernah membiarkanku. Ke mana pun aku pergi dan di mana pun aku berada, mereka pasti akan membunuhku”.
Sebagian hadis tersebut meskipun bertentangan dengan hadis yang lain atau lemah dari segi sanad, akan tetapi, memilik kondisi masa itu dan mencermati permasalahan yang terjadi akan menguatkan hadis-hadis di atas.

Metode Imam Husein as yang Berbeda-beda

Bukan yang kami maksud dengan statmen bahwa tujuan kebangkitan Imam Husein as adalah syahadah dan Allah menginginkan kesyahidan beliau adalah Allah menginginkan supaya beliau menolak bai’at dan kemudian berdiam diri seraya meminta dari bala tentara Yazid untuk datang membunuh beliau. Lalu, dengan cara yang menggelikan ini beliau telah dianggap melaksanakan tugasnya dan hal itu layak disebut kebangkitan! Bukan! Akan tetapi, yang kami maksud adalah bangkit melawan pemerintahan Yazid, menolak berbai’at kepadanya, dan penolakannya yang akan menyebabkan beliau syahid itu harus diaplikasikan melalui setiap cara yang mungkin.
Dari sini kita menyaksikan, selama masa kebangkitan metode Imam Husein as berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku.
Pada permulaan kebangkitan ketika berada di bawah penekanan penguasa Madinah, beliau meninggalkan Madinah menuju Makkah sebagai kota haram dan pusat agama pada malam hari dan selama beberapa bulan beliau hidup di sana dengan suaka politik.
Di Makkah, beliau berada di bawah pengawasan rahasia para intelijen pemerintah  hingga diputuskan melalui perantara sekelompok orang-orang bayaran beliau harus dibunuh pada musim haji atau ditangkap dan dikirm ke Syam (Syiria). Dan dari satu sisi, banjir ribuan surat dari Irak telah tertuju kepada beliau yang menjanjikan bantuan dan mengundang beliau untuk datang ke sana. Surat terakhir yang secara terang-terangan dikirimkan sebagai penyempurna hujjah (demi kedatangan beliau ke Irak)—seperti dijelaskan oleh sebagian ahli sejarah—berasal dari penduduk Kufah. Setelah itu, beliau mengambil keputusan untuk berangkat dan mengadakan perlawanan berdarah. Pertama kali, sebagai penyempurna hujjah (atas ketulusan mereka para pengirim surat), beliau mengutus Muslim bin Aqil ke Kufah sebagai wakil beliau. Tidak lama kemudian, surat Muslim bin Aqil sampai ke tangan beliau yang memberitahukan bahwa kondisi untuk mengadakan perlawanan sangat membantu.
Dengan memiliki kedua faktor di atas, yaitu (pertama,) menyusupnya orang-orang bayaran Syam (ke Makkah) untuk membunuh atau menangkap beliau dan (kedua,) menjaga kehormatan Baitullah dan kesiapan Irak untuk mengadakan perlawanan, beliau berangkat menujuh Kufah. Kemudian, di pertengahan jalan ketika mendengar pembantaian Muslim dan Hani yang mengenaskan, beliau merubah metode perlawanan dan mengganti perang aktif (tahâjumî) dengan perang pasif (difâ’î) serta menyeleksi anggota pasukan beliau. Dengan bersama para sahabat yang siap membantu beliau hingga titik darah penghabisan, beliau berangkat menuju medan laga.