Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bukti Cinta Nabi untuk Umat Manusia

1 Pendapat 05.0 / 5

Di sebuah peperangan, Nabi Muhammad saw. terluka parah hingga mengeluarkan darah. Beliau berusaha menahan darahnya yang terus keluar sambil berkata, “Aku khawatir jika setetes saja darah ini tertumpah di atas bumi, Allah akan menimpakan azab-Nya kepada mereka.” Beliau ingin menahan azab meskipun wajahnya dipukul; padahal itulah wajah yang paling mulia. Tidak ada yang lebih mulia dari Allah. Namun demikian, perhatikanlah reaksi beliau.

Setelah perang berakhir, beliau menyaksikan pemandangan yang paling menyakitkan hati beliau: luka di seluruh anggota tubuh dan hilangnya jantung paman beliau, Hamzah. Kemudian para sahabat mendatangi beliau dan berkata, “Doakan (keburukan) terhadap mereka, wahai Rasulullah.”

Beliau saw. berkata, “Sungguh aku diutus bukan sebagai pengutuk, bukan juga dengan lisan yang buruk; tetapi aku diutus bersama agama yang suci.” Setelah itu beliau mengangkat tangannya sambil berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena sungguh mereka tidak tahu.”

Pada masa yang sama di saat Perang Uhud, seorang lelaki mendatangi beliau dan mulai mencaci sekelompok kaum Quraisy yang telah berbuat jahat. Beliau saw. berkata, “Janganlah engkau mencaci kaum Quraisy.” Orang itu menjawab, “Aku hanya mencaci atas apa yang mereka perbuat.” Nabi Muhammad saw. berkata, “Engkau akan melihat di antara mereka orang-orang yang akan berbuat kebaikan.” Inilah bukti dari sebuah puncak kasih sayang, rahmat, kesederhanaan, dan hasrat untuk mengajak makhluk menuju kebenaran.

Sebuah nikmat agung untuk dapat mengikuti jejak manusia pilihan ini dan jalan yang ditempuhnya. Setiap langkah yang beliau injak membawa kebenaran bersama Allah dan kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya. Sebuah kesungguhan dalam mencari tetesan rahmat untuk mereka dari Tuhan yang Maha Agung. Beliau tidak pernah mengambil langkah yang tidak sungguh-sungguh. Kakinya yang mulia bermandikan darah oleh batu yang dilemparkan kepadanya di Thaif, sampai pada titik di mana beliau menghentikan langkahnya karena terlalu banyaknya batu yang dilemparkan.

Mereka memaksanya untuk bangkit hingga beliau mulai meneruskan langkahnya kembali. Tapi batu masih terus dilempari hingga beliau terpaksa berhenti lagi. Hal ini terus terjadi hingga tiga kali dan mereka tetap memaksanya untuk bangun ketika batu sedang dilemparkan dan darahnya terus mengalir. Sampai akhirnya beliau sampai di bawah pohon sebuah kebun dan mengeluh kepada Tuhan. “Aku mengeluh kepada-Mu karena kelemahanku dan kurangnya usaha dariku.”

Beliau tidak berkata, “Aku mengeluhkan penduduk Thaif kepada-Mu”, “Aku mengeluhkan penduduk Mekah kepada-Mu”, “Aku mengeluhkan batu-batu itu kepada-Mu” atau “Aku mengeluhkan orang-orang yang berlaku buruk kepadaku.” Tapi justru nabi saw. berkata, “Aku mengeluh kepada-Mu karena kelemahanku dan kurangnya upaya dariku.”

Sedemikian buruknya kondisi sampai akhirnya Jibril meminta izin untuk muncul di hadapannya dan memberi tahu bahwa Allah telah mengutus malaikat gunung untuknya. Setelah memberi salam, Jibril berkata, “Allah mengetahui penolakan umatmu dan ucapan mereka kepadamu. Perintahkan aku sesuai kehendakmu. Jika engkau ingin, aku akan hancurkan mereka di antara dua gunung ini.” Beliau berkata, “Tidak. Aku berharap Allah akan melahirkan dari sulbi mereka orang-orang yang akan bersungguh-sungguh pada persoalan (agama) ini.”

Kita tahu bahwa mungkin saja ada dua orang yang saling bersahabat lalu muncullah cinta di antara mereka. Tapi orang tersebut hanya memikirkan dirinya dan tidak memikirkan anak-anak sahabatnya. Kalau pun orang itu memikirkan anak-anak sahabatnya, maka dia akan memikirkan anak-anaknya yang hidup di saat ini saja. Tapi apakah dia akan memikirkan anak-anak sahabatnya yang bahkan belum lahir?

Ini sesuatu hal yang garib. Bagaimana Nabi Muhammad saw. memikirkan anak-anak yang bahkan belum juga lahir dari orang-orang yang bukan merupakan sahabatnya. Justru beliau memikirkan keturunan orang-orang yang memusuhi dan melemparinya dengan batu.