Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Shalat, Pembentuk Pilar Keluarga Sakinah

1 Pendapat 05.0 / 5

Mengenai tujuan terbentuknya keluarga, Al-Qur'an

memaparkan setidaknya ada dua tujuan terpenting. Pertama,

membentuk anggota keluarga yang saleh, kedua menjadikan

keluarga sebagai salah satu faktor pembentuk masyarakat

yang diridhai Allah Swt. Selanjutnya, Al-Qur'an tidak

meninggalkan kita begitu saja. Setelah memaparkan tujuan

terbentuknya keluarga, Al-Qur'an tidak luput untuk

mengajari kita bagaimana cara untuk mencapai tujuan

tersebut.


Diantaranya, Al-Qur'an menguraikan kisah-kisah teladan

dari para Nabi tentang bagaimana mereka membentuk

keluarganya. Simak mengenai kisah Nabi Ismail As yang

disampaikan Al-Qur'an berikut, "Dan ceritakanlah (hai

Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di

dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar

janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia

menyuruh ahlinya (keluarganya) untuk shalat dan

menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di

sisi Tuhannya." (Qs. Maryam: 54-55). Ayat ini

menceritakan bahwa nabi Ismail As menyuruh keluarganya

untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

Lihat pula apa yang dilakukan nabi Ibrahim As ketika

harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil di

padang pasir yang terpencil. Beliau tidak berdo'a agar

Allah Swt memberikan makanan kepada istri dan anak yang

akan diasingkannya tersebut, tidak pula meminta agar

Allah Swt memberikan jaminan tempat tinggal yang layak

bagi keduanya, melainkan melantunkan do'a, "Ya Tuhan

kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian

keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman

di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya

Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan

shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung

kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan,

mudah-mudahan mereka bersyukur." (Qs. Ibrahim: 37).

Permohonan pertama Nabi Ibrahim As adalah agar keduanya

tetap dijadikan orang-orang yang senantiasa mendirikan

shalat, sementara mengenai rezeki dan makanan, Nabi

Ibrahim As  menempatkannya pada permohonan yang ketiga.

Pada ayat-ayat selanjutnya pada surah yang sama, Nabi

Ibrahim As lebih mempertegas lagi permohonannya, "Ya

Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang

tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah

doaku." (Qs. Ibrahim: 40). Lihat pula pesan orangtua yang

saleh Luqman al Hakim kepada anaknya, "Hai anakku,

dirikanlah shalat…" (Qs. Luqman: 17). Ataupun wasiat

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As kepada putranya

yang tertulis dalam surat ke 31 Nahjul Balaghah yang

menempatkan pesan untuk tetap mendirikan shalat diurutan

teratas.

Tampak sederhana, bahwa untuk membentuk keluarga yang

sakinah, langkah pertamanya, hanya menyuruh anggota

keluarga yang lain untuk shalat. Tetapi apa memang

sesederhana itu?. Shalat bukanlah amalan yang dikerjakan

sekali, setelah itu selesai. Shalat membutuhkan

kontinuitas, butuh kekuatan untuk tetap konsisten dalam

menjalankannya, bukan setahun dua tahun, melainkan

sepanjang umur. Karena itulah dalam mendirikan shalat,

butuh bekal iman yang tidak sedikit. Butuh keyakinan yang

kuat tentang Tuhan dan hari akhirat yang tetap terus

dijaga.  Iman bisa terkikis bahkan terhapus sama sekali,

digerus oleh kepentingan-kepentingan duniawi.

Untuk menjaga iman agar tetap bersemayam di dada,

dibutuhkan suasana lingkungan yang Islami. Lingkungan

dimana Tuhan dan nilai-nilai agama diperbincangkan

sedemikian penting dan sesering mungkin. Lingkungan yang

didalamnya ajaran-ajaran agama diamalkan dalam laku

perbuatan. Karena itu, cukup dengan shalat, semuanya

insya Allah bisa tetap terjaga sesuai koridor dan alur

semestinya. Sebagaimana pesan Al-Qur'an,  shalat yang

benar dapat mencegah seseorang dari perbuatan yang keji

dan mungkar. Suami yang ahli shalat tidak akan melakukan

penyelewengan, istri yang ahli shalat tidak akan menodai

kesetiaan dan anak-anak yang ahli shalat tidak akan

bertindak durhaka dan kurang ajar kepada kedua

orangtuanya. Semuanya berjalan sesuai dengan titah agama.

Dalam keluarga yang demikianlah insya Allah ditemui

ketentraman dan ketenangan jiwa.

Untuk lebih meyakinkan mari kita simak apa yang

disampaikan Imam Ja'far Shadiq as kepada seseorang yang

bertanya kepada beliau, "Ya putra Rasulullah Saw, saya

memiliki keluarga yang mendengarkan dan patuh atas semua

perkataan saya. Beritahukan kepadaku apa yang mesti saya

wasiatkan kepada mereka?". Imam Ja'far Shadiq membaca

ayat, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu

dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah

manusia dan batu.." (Qs. At Tahrim: 6) kemudian beliau

berkata, "Pertama, nasehatkan kepada keluargamu untuk

menghindari perbuatan-perbuatan buruk. Kedua, ajak mereka

pada ketaatan kepada Allah Swt dengan memerintahkan

shalat dan puasa. Ketiga, ajari mereka untuk membiasakan

etika dan adab sopan santun. Misalnya memberikan uang

kepada orang fakir, saling memberi hadiah dan ucapan

selamat di hari-hari perayaan serta bagaimana menyambut

dan memuliakan tamu."  (Bihar al Anwar jilid 71 hal. 86).

Dikisahkan pula, Ayatullah Murtadha Muthahari (salah

seorang ulama Iran) sebelum azan subuh berkumandang telah

terjaga dari tidurnya. Ia dengan begitu berhati-hati dan

pelan mendirikan shalat malam. Beliau tidak ingin

aktivitasnya itu menganggu atau membangunkan anggota

keluarganya yang lain, bahkan pada saat mengambil wudhu,

ia begitu menjaga agar tetesan air wudhunya tidak

terdengar. Namun sesaat menjelang azan, beliau

membangunkan seluruh anggota keluarga, istri dan anak-

anaknya untuk menunaikan shalat subuh secara berjama'ah.

Namun sayang sekali, perhatian untuk menjaga shalat sudah

mulai ditinggalkan oleh keluarga-keluarga modern. Pesan

untuk shalat sudah terkesan kuno dan ketinggalan zaman.

Tidak jarang, orangtua lebih senang membangunkan anaknya

untuk menonton pertandingan sepak bola di televisi dari

pada membangunkannya untuk shalat subuh. Anak lebih

sering dinasehatkan untuk rajin belajar, supaya pintar

yang dengan itu bisa masuk di sekolah yang bonafid, dan

bisa diterima dilapangan kerja.

Orientasi belajar dan menuntut ilmu bukan lagi diarahkan

untuk lebih mengenal diri dan Tuhan, melainkan supaya

bisa mendapat kursi ditempat-tempat kerja. Kedua orangtua

pun sibuk mencari nafkah dalam upayanya mencari biaya

sekolah buat sang anak. Paradigma mendidik anak bergeser

drastis. Mendidik anak bukan lagi berbicara mengenai

petuah dan nasehat kebajikan, melainkan bahasa asing apa

lagi yang belum dikuasai anak agar tidak ketinggalan

dalam bergaul. Bukan lagi berbicara mengenai keteladanan

orangtua, tetapi seberapa banyak uang saku yang bisa

orangtua berikan.

Mendidik anak cenderung disama artikan dengan

menyekolahkan anak. Semakin anak disekolahkan setinggi-

tingginya  terlebih lagi di sekolah yang mahal dan elit,

maka semakin terpandang pula kedudukan orangtua di

tengah-tengah masyarakat sebagai orangtua  yang berhasil

dalam mendidik anak. Tentu tidak salah menyekolahkan anak

setinggi-tingginya, namun menjadi salah kalau sampai

seratus persen menyerahkan persoalan pendidikan anak

sepenuhnya kepada sekolah. Keluarga semestinya menjadi

lembaga pendidikan bagi anak yang pertama dan utama,

sementara masyarakat dan sekolah hanyalah sebagai faktor

penunjang. Keluarga yang bisa menjalankan perannya

sebagai lembaga pendidikan non formal bagi anak hanyalah

keluarga sakinah. Caranya, jadilah ahli shalat dan

tularkan pada anak.

Walllahu'alam Bishshawwab