Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, "Awal agama adalah mengenal-NYa.

1 Pendapat 05.0 / 5

Dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat

hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana

mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa

sudah mengenal Zat Maha sempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk

kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita

tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.

…Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak

mengetahui?” (Q.S. Az-Zumar: 9).

Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada

kualitas ma’rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka. Kesempurnaan tersebut tidak

mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi.Islam

adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang

pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai

rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,:

“Tafakur sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun.”

Sedemikian tinggi nilai ma’rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling

mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan

tanpa didasari ilmu dan ma’rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.

Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk

meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, ” ….dan mengajarkan kepada mereka

kitab dan hikmah ….” (Q.S. Jum’ah : 2).

Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma’rifat si

pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma’rifat,

perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu

tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma’rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat

ma’rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu

secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat “Tidurnya orang

alim adalah ibadah.”

Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya

sangat mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk:“… supaya Dia menguji

kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya… “

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang

terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma’rifat.

Imam Ja’far a.s. bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah (pengikut)

kita akan sesuai dengan kadar ma’rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam “Kitab

Ali” (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar

ma’rifat-nya” (Ma’ani al-Akhbar).

Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, “…

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling

bertakwa diantara kamu …” (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi

kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri

tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai

tanpa landasannya, yaitu ma’rifat.

Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma’rifat. Di samping

itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber

ketakwaannya tersebut; yaitu ma’rifat.

Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma’rifat,

sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: “Aku ibarat

harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan

makhluk agar diriku diketahui” (Bihar al-Anwar).

Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai

potensi, adalah untuk ber-ma’rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan.

Imam Ja’far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin

a.s. menafsirkan kata “al-Ibadah” yang tercantum dalam ayat “Tidaklah Kucipta-kan jin dan

manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, “Wahai para

manusia! Sesung-guhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal

(ber-ma’rifat) kepada-Nya” (Biharul Anwar).

Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat

hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana

mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa

sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk

kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita

tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.

Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, “Awal agama

adalah mengenal-Nya.” Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma’rifat

adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan

mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.

Lawan ma’rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan

argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan

meniscayakan keyakinan.

Sehubungan dengan ma’rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt,

setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi

ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen.

Oleh karena itu, Islam melarang taqlid dalam masalah ini.

Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma’rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu

ma’rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena,

bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat

yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai

makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, “Wahai Tu-hanku,

diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya.”

Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban[1] mengenalnya[2], Imam Ali a.s. pernah

menegaskan, “Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun

tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-Nya” (Nahjul Balaghah).

Setiap ilmu dan ma’rifat, khususnya ma’rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu

ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka

sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan

mereka yang menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa

kehidupan manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh,

anggapan yang bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah

(kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan

dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap

orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.

Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi

dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala

bentuk kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari

oleh setiap orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu

yang lebih sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan

terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai

atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip

materialisme dan hedonisme.

Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid[3]

muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia

di balik penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman

Allah SWT, “Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan

kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. Al-Mu’minun :

115)

Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia

lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt

Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan

suatu alam selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan

manusia selama masa hidupnya di dunia.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari

berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam

fana ini, maka itu merupakan bentuk manifestasi (penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.

Yang dimaksud dengan “manusia sempurna” adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu

mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan

diri dari berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang

selalu dianjurkan oleh Rasul dalam sabda beliau: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.“

Dalam konteks ibadah[4] sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu

mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan

diri dengan sifat-sifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi

sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia

semakin dekat dengan ma’syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu

minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.

Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai

sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada

kekasihnya seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan

seterusnya. Begitu juga jika ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan

dan menjauhkan diri dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta

Ilahi.

Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak

materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut,

karena kesempurnaan Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam

keterbatasan. Oleh sebab itu, perjalanan untuk liqa’ (bertemu) dengan Allah swt[5] pun

tidak berbatas.

Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan,

berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan

yang dia rindukan. itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat

teoritis ataupun aplikatif nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang

hamba tidak akan bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan

diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s. bersabda, “Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan

pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak,

tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari

tujuan).” (Ushul al-Kafi)

Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal

pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah

baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang

tercemar oleh syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan

khayalan, sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus

dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih

sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai,

bahkan dibenci oleh sang kekasih.

Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan

memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah

ayat 23, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai

Tuhannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah

(petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang

berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal

mereka dengan pengetahuannya.

Allamah Thabatha’i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan

bahwa pertemuan ilmu –tentang jalan yang harus ditempuh– dengan kesesatan bukan suatu

kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman

dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya” (an-Naml:14)..

Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan

tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu

komitmen dengan ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia

berilmu.

Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat

universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat[7] semu di depan

matanya dibanding
maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia

menggunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti

hawa nafsunya, “Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya

sebagai Tuhannya…” (Q.S. Al-furqan : 43).

Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain

diperlukannya ma’rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran

disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya rasul, “…Yang

membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya ….” (Q.S.

Al-jum’ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya bangunan kesem-purnaan

jiwa manusia.

Semoga Allah swt selalu memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dengan perantara

Rasul dan keluarga suci beliau. Amin.

CATATAN :

[1]. Wajib mengenal Allah telah ditetapkan oleh argumen akal ataupun nash Islami ( Al Quran

dan hadis) sebagaimana tercantum dalam pembahasan akidah. Bagi ikhwan yang ingin menelaah

argumen-argumen tersebut bisa merujuk pada buku-buku dan bahasan-bahasan tentang akidah.
[2]. Ada satu kaidah yang berbunyi, “Apa yang tidak bisa diketahui semuanya jangan

ditinggal semuanya.”
[3]. Khususnya dalam pembahasan “tauhid fil hakimiyah” (salah satu topik dalam akidah).
[4]. Ibadah yang dimaksud di sini lebih umum dari bentuk peribadatan seperti salat, puasa,

haji dan seterusnya, tapi mencakup perilaku kita sehari-hari.
[5]. Yang dimaksud “bertemu dengan Allah” ialah dikarenakan Dia hadir dalam setiap

tingkatan (maqam) kesempurnaan yang dilalui oleh setiap musafir Ilahi dan dalam setiap

maqam itulah sang musafir mendapati penampakkan (tajalliat) perwujudan Ilahi. Tentu

dengan kadar dan tingkatan yang berbeda-beda. Jadi yang dimaksud dengan bertemu dengan

Allah bukanlah sampainya tujuan akhir bagi sang musafir, karena Allah Zat yang tidak

berawal dan berakhir.
[6]. Hal tersebut karena ia telah diperbudak nafsu dan setan : “Dan sebagian besar dari

mereka tidak beriman kepada Allah swt melainkan dalam keadaan musyrik.” (Q.S. Yusuf :

106)
[7]. Pada hakekatnya bukan maslahat tapi mafsadah yang telah dihiasi oleh setan seakan-akan

adalah maslahat.

 

Daftar pustaka:

1. Asykewari. Mabani-e nazari wa amali-e ahlaq.
2. Jawad Amuli. Tafsir-e maudhu’i.
3. Allamah Thaba’thaba’i. Tafsir Al-mizan.
4. Syuja’i. Maqolaat.