Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, "Awal agama adalah mengenal-NYa.
Dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat
hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana
mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa
sudah mengenal Zat Maha sempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk
kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita
tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.
…Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (Q.S. Az-Zumar: 9).
Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada
kualitas ma’rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka. Kesempurnaan tersebut tidak
mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi.Islam
adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang
pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai
rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,:
“Tafakur sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun.”
Sedemikian tinggi nilai ma’rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling
mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan
tanpa didasari ilmu dan ma’rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.
Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk
meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, ” ….dan mengajarkan kepada mereka
kitab dan hikmah ….” (Q.S. Jum’ah : 2).
Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma’rifat si
pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma’rifat,
perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu
tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma’rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat
ma’rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu
secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat “Tidurnya orang
alim adalah ibadah.”
Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya
sangat mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk:“… supaya Dia menguji
kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya… “
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang
terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma’rifat.
Imam Ja’far a.s. bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah (pengikut)
kita akan sesuai dengan kadar ma’rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam “Kitab
Ali” (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar
ma’rifat-nya” (Ma’ani al-Akhbar).
Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, “…
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa diantara kamu …” (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi
kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri
tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai
tanpa landasannya, yaitu ma’rifat.
Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma’rifat. Di samping
itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber
ketakwaannya tersebut; yaitu ma’rifat.
Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma’rifat,
sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: “Aku ibarat
harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan
makhluk agar diriku diketahui” (Bihar al-Anwar).
Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai
potensi, adalah untuk ber-ma’rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan.
Imam Ja’far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin
a.s. menafsirkan kata “al-Ibadah” yang tercantum dalam ayat “Tidaklah Kucipta-kan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, “Wahai para
manusia! Sesung-guhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal
(ber-ma’rifat) kepada-Nya” (Biharul Anwar).
Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat
hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana
mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa
sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk
kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita
tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, “Awal agama
adalah mengenal-Nya.” Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma’rifat
adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan
mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.
Lawan ma’rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan
argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan
meniscayakan keyakinan.
Sehubungan dengan ma’rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt,
setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi
ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen.
Oleh karena itu, Islam melarang taqlid dalam masalah ini.
Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma’rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu
ma’rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena,
bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat
yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai
makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, “Wahai Tu-hanku,
diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya.”
Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban[1] mengenalnya[2], Imam Ali a.s. pernah
menegaskan, “Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun
tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-Nya” (Nahjul Balaghah).
Setiap ilmu dan ma’rifat, khususnya ma’rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu
ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan
mereka yang menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa
kehidupan manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh,
anggapan yang bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah
(kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan
dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap
orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.
Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi
dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala
bentuk kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari
oleh setiap orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu
yang lebih sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan
terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai
atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip
materialisme dan hedonisme.
Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid[3]
muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia
di balik penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman
Allah SWT, “Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan
kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. Al-Mu’minun :
115)
Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia
lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt
Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan
suatu alam selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan
manusia selama masa hidupnya di dunia.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari
berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam
fana ini, maka itu merupakan bentuk manifestasi (penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.
Yang dimaksud dengan “manusia sempurna” adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu
mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan
diri dari berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang
selalu dianjurkan oleh Rasul dalam sabda beliau: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.“
Dalam konteks ibadah[4] sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu
mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan
diri dengan sifat-sifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi
sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia
semakin dekat dengan ma’syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu
minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.
Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai
sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada
kekasihnya seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan
seterusnya. Begitu juga jika ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan
dan menjauhkan diri dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta
Ilahi.
Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak
materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut,
karena kesempurnaan Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam
keterbatasan. Oleh sebab itu, perjalanan untuk liqa’ (bertemu) dengan Allah swt[5] pun
tidak berbatas.
Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan,
berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan
yang dia rindukan. itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat
teoritis ataupun aplikatif nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang
hamba tidak akan bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan
diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s. bersabda, “Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan
pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak,
tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari
tujuan).” (Ushul al-Kafi)
Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal
pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah
baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang
tercemar oleh syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan
khayalan, sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus
dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih
sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai,
bahkan dibenci oleh sang kekasih.
Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan
memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah
ayat 23, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah
(petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang
berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal
mereka dengan pengetahuannya.
Allamah Thabatha’i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan
bahwa pertemuan ilmu –tentang jalan yang harus ditempuh– dengan kesesatan bukan suatu
kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman
dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya” (an-Naml:14)..
Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan
tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu
komitmen dengan ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia
berilmu.
Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat
universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat[7] semu di depan
matanya dibanding
maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia
menggunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti
hawa nafsunya, “Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya…” (Q.S. Al-furqan : 43).
Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain
diperlukannya ma’rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran
disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya rasul, “…Yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya ….” (Q.S.
Al-jum’ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya bangunan kesem-purnaan
jiwa manusia.
Semoga Allah swt selalu memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dengan perantara
Rasul dan keluarga suci beliau. Amin.
CATATAN :
[1]. Wajib mengenal Allah telah ditetapkan oleh argumen akal ataupun nash Islami ( Al Quran
dan hadis) sebagaimana tercantum dalam pembahasan akidah. Bagi ikhwan yang ingin menelaah
argumen-argumen tersebut bisa merujuk pada buku-buku dan bahasan-bahasan tentang akidah.
[2]. Ada satu kaidah yang berbunyi, “Apa yang tidak bisa diketahui semuanya jangan
ditinggal semuanya.”
[3]. Khususnya dalam pembahasan “tauhid fil hakimiyah” (salah satu topik dalam akidah).
[4]. Ibadah yang dimaksud di sini lebih umum dari bentuk peribadatan seperti salat, puasa,
haji dan seterusnya, tapi mencakup perilaku kita sehari-hari.
[5]. Yang dimaksud “bertemu dengan Allah” ialah dikarenakan Dia hadir dalam setiap
tingkatan (maqam) kesempurnaan yang dilalui oleh setiap musafir Ilahi dan dalam setiap
maqam itulah sang musafir mendapati penampakkan (tajalliat) perwujudan Ilahi. Tentu
dengan kadar dan tingkatan yang berbeda-beda. Jadi yang dimaksud dengan bertemu dengan
Allah bukanlah sampainya tujuan akhir bagi sang musafir, karena Allah Zat yang tidak
berawal dan berakhir.
[6]. Hal tersebut karena ia telah diperbudak nafsu dan setan : “Dan sebagian besar dari
mereka tidak beriman kepada Allah swt melainkan dalam keadaan musyrik.” (Q.S. Yusuf :
106)
[7]. Pada hakekatnya bukan maslahat tapi mafsadah yang telah dihiasi oleh setan seakan-akan
adalah maslahat.
Daftar pustaka:
1. Asykewari. Mabani-e nazari wa amali-e ahlaq.
2. Jawad Amuli. Tafsir-e maudhu’i.
3. Allamah Thaba’thaba’i. Tafsir Al-mizan.
4. Syuja’i. Maqolaat.