Imam Ali Menjemput Kesyahidan
Kerinduan Imam Ali terhadap kesyahidan bersumber dari
keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Allah swt. Pada
prinsipnya, manusia mulia seperti Imam Ali senantiasa
menjalani kehidupannya di dunia dengan memperhatikan
masalah akhirat. Beliau bukan hanya tidak takut kepada
kematian. Tapi lebih dari itu, kerinduannya yang besar
kepada Yang Maha Kuasa membuatnya ingin segera menjemput
kesyahidan.
Di malam hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah,
Imam Ali bin Abi Thalib menggantikan beliau di tempat
tidurnya.Tentu saja, tindakan seperti ini butuh
keberanian tinggi, karena berhadapan dengan ancaman
kematian. Tapi Ali bin Abi Thalib tidak takut. Yang ada
di pikirannya hanya pengorbanan demi Rasulullah Saw dan
ridha Allah swt. Terkait peristiwa ini, Allah swt dalam
al-Quran menjelaskan pengorbanan Ali bin Abi Thalib.
Dalam surat al-Baqarah ayat 207, Allah swt berfirman,
"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan
dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba-Nya."
Tidak hanya itu, Ali bin Abi Thalib hadir membela Nabi
Muhammad Saw dalam perang Uhud. Pada perang yang
menimbulkan kekalahan akibat kelengahan sebagian Muslim
itu, banyak mujahid yang gugur syahid di medan perang
termasuk paman Nabi Hamzah. Ali bin Abi Thalib bersama
sedikit Muslim mengorbankan dirinya demi membela Nabi
Muhammad Saw dari serangan musuh. Ketika itu, malaikat
Jibril berkata, "Tidak ada lelaki seperti Ali dan tidak
ada pedang laksana Zulfiqar".
Setelah perang tersebut, Imam Ali menyaksikan sekitar 70
orang Muslim syahid. Beliau pun terluka parah. Ali bin
Abi Thalib kecewa, karena tidak syahid bersama mujahid
lainnya. Rasulullah Saw yang mengetahui kondisi tersebut
bersabda, "Aku kabarkan berita besar untukmu, engkau akan
syahid nanti".
Sekian lama Ali bin Abi Thalib menantikan kematian di
jalan Allah swt. Beliau selalu teringat sabda Rasulullah
saw tentang datangnya kesyahidan menjemputnya. Rasulullah
berkata kepada Ali, "Ya, itu pasti akan terjadi, tapi
bagaimana dengan kesabaranmu ?" Ali menjawab, "Ketika itu
bukan masalah kesabaran, tapi kabar gembira". Dua hari
sebelum kesyahidannya, setelah pedang Ibnu Muljam menebas
tubuh Imam Ali yang sedang menunaikan shalat, beliau
berkata, "Demi Tuhan Kabah aku bahagia". Ya, Amirul
Mukminin syahid di jalan Allah swt, dan tidak ada
sedikitpun ketakutan dalam hatinya ketika menjemput
kematian.
Hanya satu yang dipikirkan Ali, apakah ketika beliau
meninggal dunia dalam kondisi menegakkan agama Islam atau
tidak. Sebab, sejumlah sahabat Rasulullah yang mukmin,
setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw memilih jalan lain.
Tapi Rasulullah Saw sangat percaya dan meyakini keimanan
Ali bin Abi Thalib. Bahkan berulangkali Rasulullah
menunjukkan keutamaan Ali.
Suatu hari ketika Rasulullah Saw menyampaikan khutbah
mengenai keutamaan di bulan suci Ramadhan, Ali bertanya,
"Wahai Rasulullah Saw, apa perbuatan terbaik di bulan ini
?". Rasulullah saw menjawab. "Bertakwalah dan jauhi
maksiat". Tapi seketika Rasulullah terlihat bersedih,
ketika melihat wajah Ali bin Abi Thalib. Lalu Ali
menanyakan sebab kesedihan mertuanya itu. Rasulullah
bersabda, "Wahai Ali! Kesedihanku karena penistaan dan
kezaliman yang dilakukan orang lain terhadapmu yang
terjadi di bulan [Ramadhan] ini. Aku seperti melihatmu
enggkau sedang menunaikan shalat, lalu orang yang
dilaknat masa lalu dan masa mendatang, yang tidak lain
dari saudara pembunuh unta Tsamud menebaskan pedangnya
mengenai kepalamu hingga mihrab dipenuhi darah".
Mendengar sabda Rasulullah Saw, Ali bertanya, "Apakah
ketika itu agamaku selamat dan terjaga?" Rasulullah Saw
bersabda, "Ya, ketika itu agamamu selamat." Lalu,
Rasulullah Saw mengungkapkan kalimat indah bahwa Ali
adalah penerusnya.
Berita gembira mengenai kesyahidan Imam Ali membuat
beliau senantiasa menantikan kedatangan ajal di jalan
Allah swt menjemputnya. Bahkan, dalam beberapa hari di
akhir hayatnya beliau seperti mengetahui penantian
panjangnya akan berakhir. Meskipun mengetahui akan
kesyahidannya langsung dari Nabi Muhammad Saw, tapi
beliau tetap menjalankan tugasnya mengabdi dan melayani
sesama demi meraih ridha Allah swt. Terkait hal ini, Ali
berkata, "Merugilah orang yang malas dan tidak
memperdulikan kehidupan dunianya. Sebab orang yang tidak
memperhatikan dunianya, dalam masalah akhiratpun lebih
malas dan tidak perduli".
Imam Ali adalah pekerja keras. Beliau dengan tangannya
sendiri menggali banyak sumur. Ulama terkemuka Sunni, Ibn
Abil Hadid menjelaskan tentang keutamaan Imam Ali, "Ia
bekerja dengan tangannya sendiri. Menggali tanah dan
menyiraminya. Menanam kurma dan setelah berbuah
mewakafkan kebun itu untuk orang-orang miskin". Tidak
sedikit sumur yang digali Imam Ali diwakafkan untuk orang
lain yang membutuhkan demi mencari ridha Allah swt.
Puncak penghambaan dan ketaatan Imam Ali bin Abi Thalib
terhadap perintah Allah swt terjadi selama lima tahun
kekhilafahannya. Beliau menjadi khalifah umat Islam demi
menjalankan perintah ilahi serta mewujudkan hak orang-
orang yang tertindas dan menegakkan keadilan. Tujuan suci
yang diwujudkan Imam Ali menimbulkan kekecewaan sejumlah
orang yang merasa terancam kepentingannya.
Akhirnya, mereka memberontak dan menghalangi terwujudkan
keadilan yang sedang ditegakkan oleh Imam Ali. Tapi
dengan keberaniaannya, Imam Ali tetap menjalankan
tanggungjawabnya melaksanakan perintah Allah dan memenuhi
hak sesama manusia. Selain menghadapi orang yang haus
kuasa dan gila harta, Imam Ali berhadapan dengan orang-
orang jahil dan beliau syahid di tangan mereka di mihrab
masjid Kufah.
Hingga kini begitu banyak pernyataan para ilmuwan Muslim
dan non-Muslim mengenai kedudukan tinggi dan keutamaan
Imam Ali bin Abi Thalib. Setelah Imam Ali dimakamkan,
Imam Hassan naik ke atas mimbar, dan dalam keadaan
bersedih berkata, "Tadi malam, seorang lelaki
meninggalkan dunia ini. Di antara orang yang menjadi
pemuka Islam tidak ada menyamainya selain Rasulullah Saw.
Beliau berjihad bersama Rasulullah Saw dan memanggul
bendera risalah di pundaknya sementara malaikat Jibril
dan Mikail mendukungnya. Di malam yang dinugerahi rahmat
Allah, ketika Al-Quran turun malam itu kepada Rasulullah
dan Nabi Isa putra Maryam diangkat ke langit, serta Yusya
bin Nun syahid.... Ayahku tidak mewariskan harta dan
kekayaan duniawi bagi kami, kecuali 700 dirham untuk
keluarga...."