Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bersama Kafilah Ramadhan (22)

1 Pendapat 05.0 / 5

Malam Lailatul Qadar adalah malam diturunkannya al-Quran

dan malam yang lebih baik dari seribu bulan.Para pemuka

agama mengajarkan banyak amalan untuk sepanjang bulan

Ramadhan khususnya malam Lailatul Qadar, dan salah

satunya adalah menghidupkan malam yang agung ini.

Menghidupkan malam Lailatul Qadar memberikan banyak

manfaat bagi manusia, seperti yang disebut dalam sabda

Nabi Saw, “Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul

Qadar, maka hatinya tidak mati pada hari (Hari Kiamat)

ketika semua hati mati.” (Iqbal al-Amal)

 

Para pemuka agama senantiasa menjalankan tradisi mulia

ini dan mereka berebut berkah malam Lailatul Qadar.

Rasulullah Saw tidak hanya pada malam Lailatul Qadar,

tapi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan beliau

menyibukkan diri dengan ibadah dan melipat tempat

tidurnya. Dalam riwayat disebutkan, Rasul Saw pada malam

ke-23 Ramadhan, membangunkan anggota keluarganya dan

memercikkan air di wajah mereka agar terjaga dan tidak

kehilangan malam Lailatul Qadar. Fatimah az-Zahra as juga

meminta seluruh anggota keluarganya untuk tidur siang dan

mengurangi makan di malam hari sehingga mereka tidak

ngantuk pada malam ke-23, dan berkata, "Manusia yang

kehilangan ialah orang yang tidak memperoleh kebaikan dan

keutamaan malam ini."

 

Mengenai malam Lailatul Qadar, cendekiawan Muslim Syahid

Murtadha Muthahhari mengatakan, “Puncak spiritual bulan

Ramadhan adalah malam Lailatul Qadar. Kita selama

menjalani ibadah puasa paling tidak sudah berbuat sesuatu

hingga bisa hadir sebagai seorang tamu di malam Lailatul

Qadar. Berpuasa, mengekang hawa nafsu, berzikir kepada

Allah, memperbanyak doa, dan memperbanyak membaca al-

Quran, semua ini merupakan persiapan sehingga pada malam

Lailatul Qadar kita bisa menghadirinya sebagai seorang

tamu dalam jamuan rahmat Allah. Selama perjamuan itu,

kita harus bertaubat, bertekad untuk kembali, dan

beristighfar, kita harus memohon rahmat dari Allah,

meminta kebahagiaan untuk diri kita, untuk saudara-

saudara seiman, untuk kaum Muslim, (dan hal yang lebih

penting) kita harus memohon perbaikan diri.”

 

Menghidupkan malam Lailatul Qadar akan bermakna ketika

manusia benar-benar tersadar di malam itu, yakni memiliki

kehidupan spiritual dengan cara mengingat Allah Swt.

Manusia dianggap hidup ketika hati mereka senantiasa

mengingat Allah dalam berbagai kondisi. Malam Lailatul

Qadar merupakan sebuah kesempatan untuk mengingat Allah

sepanjang malam, menyatakan taubat, dan memohon ampunan.

 

Ramadhan adalah bulan dengan sejuta kebaikan dan berkah,

bulan turunnya rahmat, dan bulan perjamuan Ilahi, sebuah

perjamuan di mana Sang Pencipta bertindak sebagai tuan

rumah, para nabi sebagai penyambut tamu, dan para

malaikat sebagai pelayan hidangan.Di bulan ini, kaum

Mukmin berlomba-lomba untuk mencari keridhaan Allah Swt.

Keridhaan ini tentu saja tidak akan diraih kecuali dengan

keimanan, amal saleh, dan cinta pada perbuatan baik.

Semua anugerah ini juga ada di tangan Allah. “Dan tidak

ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.”

(Surat Hud, ayat 88)

 

Sebuah kisah menyebutkan bahwa aku memiliki seorang

pembantu yang tinggal bersamaku di rumah. Suatu malam aku

terjaga dari tidur dan aku tidak melihatnya di tempat

tidurnya. Aku lalu pergi mencarinya dan menyaksikan ia

sedang bersujud sambil berdoa. Dalam doanya ia berkata,

“Ya Tuhanku! Ampunilah dosa-dosaku karena kecintaan-Mu

kepadaku.” Aku kemudian berkata kepadanya, “Jangan

berseru seperti itu, tapi katakanlah; ‘Ya Tuhanku!

Ampunilah dosa-dosaku karena kecintaanku kepada-Mu.’”

Pembantunya lalu menjawab, “Tuhan mencintaiku, Dia

mengeluarkanku dari kufur menuju Islam dan membangunkanku

di tengah malam untuk beribadah, sementara banyak dari

hamba-hamba-Nya nyenyak dalam tidur.”

 

Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman

kepada kekasih-Nya, Muhammad al-Mustafa, “Sampaikanlah

pesan ini kepada hamba-hamba-Kuyang Mukmin, jika kalian

benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku sehingga

Allah mengasihi kalian.” (Surat Ali Imran, ayat 31). Oleh

karena itu, parameter kejujuran pengakuan tentang cinta

dan kesetiaan terletak pada ketaatan dan ibadah. Ketaatan

yang besar akan membangkitkan kecintaan yang besar pula

dan mereka akan terlihat lebih jujur dalam pengakuannya.

 

Ketika seorang hamba mencapai sebuah derajat makrifat dan

jika ia tahu bahwa Allah Swt rela dengan amal

perbuatannya, maka keridhaan itu lebih berharga baginya

daripada surga dan nikmat-nikmat abadinya. Al-Quran

menyebut keridhaan Allah dengan kata Ridhwan, yaitu Maha

Meridhai. Ulama tafsir kontemporer Allamah Thabathabai

ketika menafsirkan makna keridhaan Allah menulis,

“Pengetahuan manusia tidak mampu memahami keridhaan Allah

dan batasannya, karena keridhaan-Nya tidak terbatas dan

tidak terukur sehingga manusia bisa memahaminya. Dan

mungkin untuk memberi pemahaman tentang poin ini bahwa

derajatkeridhaan Tuhan yang paling rendah betapa pun ia

kecil, tapi tetap lebih besar dari surga; yaitu

kebahagiaan dan keberuntungan terbesar bagi seorang

pencinta Tuhan adalah meraih keridhaan dan kerelaan Sang

Kekasih,tanpa mencari kepuasan diri.”

 

Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa seorang alim dari

Bani Israil selama bertahun-tahun menyibukkan dirinya

dengan ibadah. Dalam sebuahmimpi ia mendengar bisikan

yang berkata, “Perempuan itu akan jadi temanmu di surga

kelak.”Keesokan harinya, ia mulai mencari perempuan yang

dimaksud dan menemukannya. Si alim menjamu perempuan itu

selama tiga hariuntuk mengetahui apa yang dikerjakannya

hingga bisa bersanding dengannya di surga. Namun, si alim

terkejut menyaksikan kalau ia hanya seorang perempuan

biasa.Saat seorang ahli ibadah terjaga di malam hari, ia

justru tertidur pulas, saat seorang ahli ibadah berpuasa

di siang hari, ia malah makan seperti biasa.Ia juga tidak

terlihat melakukan pekerjaan khusus.

 

Setelah menyaksikan itu semua, si alim kemudian bertanya,

“Apakah engkau melakukan pekerjaan lain selain yang aku

saksikan di sini?”Perempuan itu menjawab, “Tidak, demi

Tuhan pekerjaanku hanya ini seperti yang engkau lihat.”

Orang alim itu meminta agar ia mengingat-ingat semua

perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Namun, perempuan

itu berkata, “Aku tidak berbuat sesuatu yang istimewa,

tapi aku selalu rela dengan keridhaan Tuhan, jika sedang

dalam kondisi sulit, aku tidak memimpikan kemudahan, jika

aku sedang sakit, aku tidak mengharapkan kesembuhan, dan

jika aku dalam masalah, aku tidak meminta kelapangan.”Si

alim kini mengerti dan berkata, “Aku bersumpah demi

Allah! Sifat ini adalah sebuah sifat yang besar dan

banyak orang tidak memilikinya.”

 

Pada bulan Ramadhan, pintu rahmat Allah Swt terbuka

lebar-lebar untuk manusia. Salah satu karunia Ilahi yang

sangat agung adalah menjamu para hamba-Nya di bulan ini.

Dia membawa manusia ke gerbang penyucian jiwa dan setiap

individu memperoleh keuntungan dari Ramadhan sesuai

dengan kadar pengetahuannya.

 

Dikisahkan, pada suatu hari seorang pelanggan datang ke

tempat tukang cukur untuk merapikan rambut dan mencukur

kumisnya. Si tukang cukur mulai bekerja dan seperti biasa

memulai pembicaraan sehingga suasana menghangat. Mereka

berbicara tentang berbagai topik, sehingga sampailah

diskusi tentang Tuhan.Si tukang cukur berkata, “Saya

tidak percaya Tuhan itu ada.”Si pelanggan berkata,

“Kenapa engkau berkata seperti itu?” Si tukang cukur

menjawab, “Coba engkau perhatikan keadaan di jalanan di

depan sana, itu sudah cukup membuktikan bahwa Tuhan itu

tidak ada. Jika Dia itu memang ada, tentu tidak ada orang

yang sakit, tidak ada anak yang terlantar, dan tidak akan

ada kemiskinan atau kesusahan.”

 

Si pelanggan terdiam dan tidak menanggapi bantahan

tersebut, pikirnya tidak ada gunanya berdebat bila tidak

ada dalil dan bukti yang kuat. Si tukang cukur

menyelesaikan pekerjaannya. Setelah pelanggan membayar

dan beranjak meninggalkan tempat itu, tepat di balik

pintu keluar si pelanggan melihat seseorang dengan rambut

panjang acak-acakan, kotor, dan janggut tidak terawat.

Orang itu terlihat kotor dan jorok.

 

Si pelanggan menghampiri tukang cukur itu lalu berkata,

“Maaf tuan, menurut saya, tukang cukur itu juga tidak

ada!”Si tukang cukur membalas, “Bagaimana engkau bisa

berkata seperti itu, sedangkan saya di sini dan baru saja

selesai mencukur rambutmu?”Si pelanggan menyahut, “Tukang

cukur itu tidak ada! Kalau tukang cukur itu memang

benar-benar ada, tentu tidak akan ada orang dengan rambut

panjang yang kotor dan janggut acak-acakan seperti pria

di luar sana.”

 

Tukang cukur menoleh ke arah jalan dan menyaksikan orang

yang dimaksud kemudian berkata, “Tukang cukur tetap saja

ada! Jika engkau melihat orang seperti itu, itu adalah

salah mereka sendiri. Kenapa mereka tidak datang ke saya?

Tidak minta dicukur?.”Si pelanggan menjawab, “Itulah yang

saya maksud, saya setuju dengan tuan. Sesungguhnya Allah

itu ada, akan tetapi kebanyakan orang tidak mau

mendatangi-Nya, tidak mau mencari-Nya, tidak mau meminta

tolong kepada-Nya. Oleh karena itu, banyak yang sakit dan

tertimpa kesusahan di dunia ini.”