Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bersama Kafilah Ramadhan (27)

1 Pendapat 05.0 / 5

Salah satu amalan yang diajarkan pemuka agama di hari-

hari terakhir bulan Ramadhan adalah itikaf. Itikaf pada

mulanya berarti menahan diri dan untuk waktu yang lama

di samping sesuatu yang lain. Menurut syar’i, itikaf

berarti menetap di masjid untuk beribadah. Oleh karena

itu, Ahlul Bait mewasiatkan kepada umat manusia untuk

beritikaf di bulan Ramadhan dan mereka sendiri

mempraktekannya dengan beritikaf di masjid. Imam Sadiq

as berkata, “Bukan termasuk itikaf kecuali berdiam diri

selama 10 hari di akhir bulan Ramadhan.” (al-

Istibsar/jilid 4)

 

Rasulullah Swt di bulan Ramadhan juga melakukan ritual

itikaf. Itikaf di bulan Ramadhan sangat penting di mana

jika itikaf di bulan Ramadhan dapat diqadha (diganti di

waktu lain) maka Nabi akan melakukannya. Hal ini pernah

terjadi ketika beliau tidak dapat menunaikan ibadah

itikaf karena bertepatan dengan perang Badr. Beliau

senantiasa beritikaf di akhir bulan Ramadhan selama dua

dekade, namun satu dekadenya beliau niatkan untuk

mengganti itikaf yang telah lewat. Diriwayatkan dari

Imam Sadiq as bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Itikaf

selama sepuluh hari di bulan Ramadhan sama halnya

dengan pahala dua kali haji dan umrah.” (Man Laa

Yahduruhul Faqih/ jilid 2)

 

Itikaf merupakan peluang tepat bagi manusia untuk

mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melepas sekat-

sekat hawa nafsu dan menjauhi hal-hal yang melupakan

pada sang Pencipta. Melalu itikaf, manusia membersihkan

hati-hati mereka dan berkhalwat (menyendiri) dengan

Tuhan. Di khalwat ini, orang yang beritikaf menjadi

tamu dan Tuhan sebagai tuan rumah. Sang tamu meyakini

bahwa jika dirinya tidak menjadi tamu yang baik, maka

tuan rumah tidak akan ramah terhadap dirinya. Di

itikaf, orang yang itikaf telah lepas dari sekat-sekat

ibadah dan mencapai kedalaman sisi ibadah.

 

Oleh karena itu, Allah Swt menyeru hamba-Nya untuk

berkhalwat, sehingga mencapai derajat keakraban dengan

Tuhan. Seperti yang disabdakan oleh Imam Sadiq as, “Di

Taurat, dinukil bahwa Allah berkata kepada manusia,

Wahai manusia! Luangkanlah waktumu untuk beribadah

kepada-Ku, supaya Aku menutupi kebutuhanmu dan tanpa

kamu meminta, Aku akan memenuhi segala keperluanmu

serta Aku penuhi hati kalian dengan rasa takut kepada-

Ku. Namun jika kalian tidak memberi waktu luang kepada

hamba-Ku, maka Aku akan menjadikan kalian sibuk dengan

dunia dan Aku tidak akan memenuhi kebutuhan kalian. Aku

akan tinggalkan kalian dengan usaha kalian sendiri.”

(Al-Kafi/ jilid 2)

 

Perhatian terhadap waktu dan disiplin di setiap

pekerjaan, termasuk manifestasi peradaban Islam dan

faktor penting kemajuan. Agama Islam sebagai agama

global dan paling sempurna, sangat mementingkan

manajemen waktu di dalam kehidupan dan menyeru

pengikutnya untuk memperhitungkan seluruh pekerjaannya

dan mengerjakannya dengan disiplin. Islam meminta

pengikutnya untuk menghindari kehidupan yang tidak

terprogram.

 

Syariat Islam yang meliputi kewajiban, hal-hal sunnah,

haram dan makruh (hal yang harus

dihindari)...diturunkan untuk membuat kehidupan manusia

terprogram dan disiplin. Agama Islam memandang disiplin

terhadap waktu dan hidup sangat penting. Hal ini dapat

kita saksikan di wasiat Imam Ali bin Abi Thalib yang

ditujukan kepada semuan umat mukmin. Beliau berkata,

“Kalian dan seluruh anak-anak serta kerabat dan siapa

saja yang membaca wasiatku ini, aku wasiatkan supaya

bertakwa dan disiplin di setiap pekerjaan.”

 

Imam Ali as kepada Malik al-Ashtar, gubernur Mesir

ketika memintanya untuk menjaga disiplin berkata,

“Berhati-hatilah terhadap ketergesa-gesaan pekerjaan

yang kamu tidak cukup waktu untuk mengerjakannya, atau

lemah dalam pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan,

keras kepala dalam hal-hal yang tak jelas atau lemah

dalam pekerjaan yang nyata. Lakukan pekerjaan sesuai

dengan tempatnya dan lakukan pekerjaan di waktunya.”

 

Mencermati kewajiban di agama Islam, akan ditemukan

perhatian besar agama samawi ini terhadap disiplin.

Mengerjakan shalat lima waktu di waktu-waktu khususnya,

memiliki keutamaan khusus. Pembagian waktu shalat,

keteraturan shaf shalat jamaah, keteraturan dalam

sujud, berdiri maupun ruku’, dilarang mengerjakan

shalat di luar waktunya, seluruhnya menunjukkan

kedisiplinan.

 

Puasa di bulan Ramadhan pun dimulai dengan terlihatnya

hilal dan diakhiri dengan terlihatnya hilal di bulan

Syawal. Sementara waktu puasa pun di mulai dari azan

Subuh hingga azan Maghrib. Jika seseorang terus makan

hingga azan Subuh atau setelahnya dan makan sebelum

azan Maghrib, maka puasanya batal. Disiplin dan

pengaturan waktu yang ditentukan Allah Swt bagi ibadah

manusia mukmin, dengan sendirinya merupakan pelajaran

sehingga umat Islam juga memprogram dan disiplin di

kehidupan mereka.

 

Bulan Ramadhan adalah kesempatan terbaik untuk melatih

disiplin sepanjang tahun, supaya manusia selain

memiliki rasa disiplin di bidang ibadah, seperti shalat

di awal waktu, juga disiplin di hal-hal yang bersifat

individu dan sosial serta dapat menerima curahan berkah

dan dampaknya. Imam Khomeini, pendiri Republik Islam

Iran, selama hidupnya senantiasa disiplin dan

memprogram urusan individu dan sosialnya. Orang-orang

yang dekat dengan beliau pun, menyaksikan keteraturan

dan kedisiplinan Imam Khomeini.

 

Salah satu sahabat Imam Khomeini terkait komitmen

beliau soal kedisplinan berkata, “Di salah satu

perjalanan ke Irak, kami duduk di komplek makam Imam

Ali as dan berbicara dengan sejumlah santri. Ketika

pembicaraan selesai, orang-orang yang hadir ingin

mengundurkan diri. Ketika mereka melihat jam, ternyata

ada perbedaan waktu di antara mereka. Sementara itu,

jam yang ada di komplek makam Imam Ali ternyata juga

berbeda dengan jam kita. Ketika itu, salah satu guru di

kota Najaf yang juga turut hadir berkata, samakan jam

kalian! Kini jam 03:00 dini hari. Dengan perasaan heran

kami berkata kepadanya, Bagaimana kamu mengetahuinya?

Lantas ia berkata, Saudara ini yang tengah berjalan ke

Haram Imam Ali as (Isyarat kepada kedatangan Imam

Khomeini), pasti datang ke tempat suci ini pukul tiga

dini hari.”

 

Lingkungan hidup kita sejatinya arena perang dan jihad

melawan hawa nafsu dan berulang kali di siang dan

malam, salah satu dari kita menang di peperangan ini.

Kita harus bertawakkal kepada Tuhan untuk mengalahkan

hawa nafsu dan menjadi pahlawan negara kita, seperti

yang disabdakan Imam Ali as, “Yang terkuat di antara

kalian adalah mereka yang menang melawan hawa

nafsunya.”

 

Kisah mengenai Pourya-ye Vali, pahlawan Iran yang tidak

ada tandingannya disebutkan, “Setelah Pourya-ye Vali

mengalahkan jago-jago dari berbagai wilayah, ia ingin

pergi ke ibukota untuk mengalahkan pahlawannya. Dengan

tekad bulat, ia menuju ibukota. Ketika berita

perjalanan Pourya-ye Vali ke ibukota tersebar dan

sampai ke telinga pahlawan ibukota, muka sang pahlawan

langsung pucat. Ibu pahlawan yang menyaksikan muka

anaknya pucat, kemudian berdoa kepada Tuhan bagi

kemenangan anaknya. Setiap hari ibu yang sudah tua ini

memasak manisan dan bubur serta membagikannya kepada

orang-orang miskin dan orang-orang yang lelah di pintu

masuk kota...

 

...Ketika Pourya-ye Vali tiba di pintu masuk ibukota,

ia saksikan seorang wanita tua duduk dan didepannya ada

tumpukan manisan dan bubur. Ia kemudian mendekat dan

ingin membelinya. Wanita tersebut berkata, Wahai

lelaki! Bubur dan manisan ini tidak dijual, ini adalah

nazar. Pourya bertanya, untuk apa nazar ini? Perempuan

berkata, “Anakku adalah pahlawan di kota ini, dan kini

ada jagoan yang terkenal ingin menantangnya berkelahi.

Jika anakku kalah, maka harta dan kewibawaan kami akan

musnah.

 

...Menyaksikan hal ini Pourya berkata kepada dirinya,

jika ia berhasil mengalahkan pemuda tersebut, maka ia

akan menjadi pahlawan ibukota, namun jika ia berhasil

mengalahkan hawa nafsunya maka ia akan menjadi pahlawan

negara. Ia berkata, Aku tidak akan mengecewakan harapan

wanita tua ini karena mengharap keridhaan Tuhan.

Kemudian ia berkata kepada wanita tersebut, Ibu!

Nazarmu telah diterima. Kemudian ia membagi bubur

tersebut kepada pengikutnya dan memasuki kota.

 

Ketika waktu pertandingan tiba, dan pahlawan ibukota

memasuki arena dengan muka pucat, pengikut Pourya

meminta ijin untuk dimulai pertandingan dan mereka

bersikeras melakukannya. Pourya tidak menerima hal

tersebut dan berkata, Ini adalah pekerjaanku, bukan

orang lain. Ketika pahlawan ibukota memasuki arena,

Pourya telah membulatkan tekadnya untuk mengalahkan

hawa nafsunya. Dengan demikian ia menampakkan dirinya

sangat lemah.

 

Ketika pahlawan ibukota menyaksikan musuhnya lemah,

maka ia mendapatkan kepercayaan diri dan kekuatan.

Dengan sekali gerakan ia mengangkat Pourya dan

membantingnya ke tanah serta duduk di atas dada lawan.

Ketika kulit pahlawan yang tak terkalahkan ini

menyentuh bumi, ia menyadari anugerah Tuhan dan hakikat

alam semesta. Meski Pourya berhasil dibanting oleh

pemuda ibukota, namun Tuhan menempatkannya di puncak

ketinggian.