Orangtua yang Durhaka
Orangtua yang Durhaka
Pada suatu hari Rasulullah Saw bersama sekelompok
sahabatnya melewati sebuah tempat, lalu beliau
menyaksikan sekumpulan anak sedang bermain. Beliau
menghentikan langkah. Sambil memperhatikan anak-anak
yang sedang asyik bermain, Nabi bersabda, "Celakalah
anak-anak akhir zaman lantaran ulah ayah-ayah mereka."
"Apakah karena ayah-ayah mereka musyrik?" sahabat-
sahabat bertanya.
"Tidak. Mereka ayah-ayah yang mukmin, namun tidak
sedikitpun mengajarkan kewajiban-kewajiban kepada
mereka. Apabila anak-anak mereka mempelajarinya, maka
mereka melarangnya. Dan mereka lebih senang dengan
harta benda dunia yang hanya sedikit."
Kemudian Rasulullah Saw menampakkan kebencian dan
ketidakrelaannya terhadap ayah-ayah semacam itu. Beliau
bersabda, "Aku berlepas diri dari mereka, dan merekapun
berlepas diri dariku."(1)
Riwayat diatas berisi nubuat nabi tentang kondisi
anak-anak di akhir zaman. Mayoritas ulama menyebutkan,
masa kita sekarang ini termasuk akhir zaman. Jadi yang
diceritakan nabi, adalah kondisi anak-anak kita.
Riwayat diatas mengajak kita sebagai ayah untuk
intropeksi diri dan banyak bercermin. Nabi menyebut
anak-anak kita celaka, lantaran ulah kita sendiri.
Kita vonis anak kita nakal, malah bisa jadi kita justru
melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sebut anak
kita bandel dan pembangkang, padahal bisa jadi memang
kita tidak punya kelayakan untuk dipatuhi dan didengar.
Kita tuntut anak-anak untuk memahami kita, tanpa
berupaya untuk memahami anak lebih dulu. Sebelum
mengeluhkan anak-anak kita, mari bertanya dulu, apakah
sebagai ayah (maupun ibu), kita telah memenuhi hak-hak
mereka sebagai anak?.
Kita beri mereka pendidikan, tapi justru fokus pada
kepuasan diri kita sendiri. Tanpa mau tahu apa kemauan
anak, kita stir mereka sesuai kehendak kita. Hobi,
kesukaan dan minat mereka kita yang atur. Untuk disebut
orangtua agamis dan saleh, kita tuntut anak kita bisa
hafal Al-Qur'an, sementara diri kita sendiri jauh dari
Al-Qur'an. Kita tuntut mereka berjama'ah di masjid,
kita sendiri masih terlalu asyik untuk meninggalkan
kesibukan kerja.
Dengan perintah-perintah dan larangan yang kita buat,
kita seolah telah melaksanakan kewajiban. Padahal yang
dituntut adalah bagaimana memahamkan anak, sehingga
melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dengan penuh
kesadaran. Malah, kita kadang begitu terburu-buru
hendak memasukkannya ke lembaga pendidikan formal,
hanya agar bisa sedikit bernapas lega dari kesumpekan
melayani dan bermain dengan mereka. Dulu hanya ada TK
(pra SD), sekarang sudah ada pra TK, Play group, tempat
penitipan anak atau apapun namanya. Padahal memiliki
anak bukan hanya berurusan bagaimana membesarkannya,
namun yang lebih penting adalah bagaimana
mempertanggungjawabkannya.
Anak adalah amanah, ujian sekaligus sebagai lumbung
pahala bagi orangtuanya. Nabi bersabda, "Orangtua yang
menyenangkan hati anak-anaknya, akan disenangkan
hatinya oleh Allah di akhirat nanti." Sayang,
kebanyakan kita malah menganggap anak itu adalah beban,
bahkan sebelum mereka lahir. Tidak sedikit yang bilang,
"Punya dua anak yang masih kecil-kecil, duh tidak
kebayang repotnya. Hadapi sikecil yang sendiri saja
repotnya bukan main. Sulit diatur…"
Banyak orang disebut orang tua hanya karena dia sudah
punya anak, bukan lagi berbicara mengenai kematangan
dan kedewasaan berpikir. Bukan lagi berbicara mengenai
luapan kasih sayang, perhatian dan baluran
pengharapan-pengharapan yang bijak. Kita menghindari
memiliki banyak anak karena takut dililit dengan
persoalan ekonomi yang makin sulit. Iran pun tidak
terkecuali dalam hal ini. Slogan masyarakat yang
populer, "Farzande kamtar, Zendeghi behtar", semakin
sedikit anak, kehidupan semakin lebih baik, ditantang
banyak ulama.
Dalam ceramah-ceramah agama mereka, tidak luput mereka
memesankan masalah ini. Bahwa khawatir miskin akan
keberadaan anak adalah ciri-ciri masyarakat jahiliyah.
Kalau masa jahiliyah dulu, mereka membunuh anak-anak
mereka setelah lahir karena khawatir miskin, sekarang,
anak-anak itu sudah dibunuh sebelum terlahir kedunia.
Ayatullah Ibrahim Amini, ulama besar Iran, ahli irfan
dan tasawuf, sampai harus turun tangan. Beliau yang
ulama besar, karena menganggap masalah ini sedemikian
penting sampai harus pula menjadi ahli parenting dan
konsultan masalah anak. Beliau tidak lagi hanya
melayani konsultasi bagaimana menjadi ahli suluk, namun
melayani pertanyaan bagaimana menghadapi anak.
Ceramah-ceramahnya bukan lagi melulu menjelaskan
istilah-istilah irfan dan tasawuf yang rumit dan pelik
namun menjelaskan bagaimana agar tidak salah mendidik
anak. Buku-buku parentingnya telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, disampul buku terjemahan itu kadang
hanya ditulis Ibrahim Amini, kadang DR. Ibrahim Amini.
Padahal beliau ulama besar yang termasuk dalam Majelis
Khubregan, Dewan Ahli yang bertugas menjaga Wilayah
Faqih dan juga penasehat ahli Lembaga Internasional
Ahlul Bait yang beranggotakan 500 cendekiawan Islam
yang tersebar di banyak negara. Beliau penulis buku
Islam and Western Civilization yang didiskusikan dan
dikaji di universitas-universitas Barat.
Mengapa sekarang kesibukannya malah lebih banyak
tersita melayani konsultasi pendidikan anak?. Karena
besarnya masalah ini. Karena semakin banyaknya orangtua
yang melalaikan pendidikan anaknya. Sebagaimana nubuat
Nabi, banyak anak menjadi celaka karena orangtuanya.
Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali as, "Wahai Ali,
Allah melaknat orangtua yang mengakibatkan anak mereka
tidak taat pada mereka berdua dengan melaknat
mereka."(2)
Orangtua kita dulu, memeluk kita sambil memikirkan
bagaimana kelak setelah dewasa dan mereka telah tiada,
apakah kita masih menjalankan agama dengan baik,
sekarang, kita juga mendekap anak kita, namun dengan
kekhawatiran yang berbeda. Kita diliputi kecemasan
jangan sampai karir kita terhambat karena kesibukan
mengurusi mereka.
Kalau dulu, orangtua kita berdo'a demi kesuksesan kita
dunia akherat, kita setelah menjadi orangtua, meminta
anak agar mendo'akan kemulusan karier kita.
Sungguh celakanya kita menjadi orang tua…
Wallahu 'alam bishshawwab
Catatan :
(1) [Jami'ul Akhbar, hal. 124]
(2) [Wasa'il Syiah, jilid 21, hal. 290]