Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Epistemologi dalam Filsafat Barat Modern

1 Pendapat 05.0 / 5

Filsafat modern dimulai pada zaman Rene Descartes

(1596-1650 M) dan Francis Bacon (1561-1626 M). Akan

tetapi, peran dominan Descartes lebih tampak karena

berupaya mengembangkan aspek-aspek epistemologi dalam

era baru filsafat Barat.

Ruang pemikiran dimana Descartes hidup sangat berperan

dalam mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Di bawah ini

akan disebutkan beberapa aspek yang mempengaruhi

pikiran-pikirannya:

   1. Lahirnya penemuan-penemuan baru ilmiah yang

dimotori oleh Copernicus, Johannes Kepler, dan Galileo;
   2. Penciptaan teleskop yang berefek pada penolakan

beberapa asumsi-asumsi yang tidak benar pada masa lalu;
   3. Penemuan benua Amerika dan perubahan teori

terhadap bentuk bumi;
   4. Direbutnya ibukota Yunani dan dikenalnya budaya

ilmiah kaum muslimin oleh Eropa;
   5. Dibentuknya mazhab baru Protestan oleh Martin

Luther (1483 – 1546 M) dan berkurangnya kekuasaan

gereja;
   6. Lahirnya teolog baru seperti Francis Bacon dan

bangkitnya aliran baru melawan pemikir-pemikir lama

yang diiringi oleh penolakan filsafat Aristoteles;
   7. Munculnya beberapa pandangan yang menolak secara

mutlak pemikiran filsafat yang kemudian berujung pada

Skeptisisme yang dipelopori oleh Francisco Sanches

(1551-1623 M).[1]


Walhasil, faktor-faktor yang disebutkan di atas dan

beberapa faktor lain yang tidak disebutkan, saling

berpengaruh satu sama lain yang kemudian mengerucut

pada kemunculan dimensi-dimensi keraguan terhadap

agama, etika, dan keyakinan yang ekstrim atas ilmu-ilmu

empirik. Semua kenyataan ini, menjadikan epistemologi

sebagai pokok pembahasan tersendiri dalam era baru

filsafat Barat.

1. Rene Descartes (1596-1650 M)[2]

Persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes

untuk membangun filsafat baru antara lain:

   1. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang

benar?
   2. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan

pertama?
   3. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan

selanjutnya?
   4. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?[3]


Descartes menjadikan hal yang tergamblang,

penggabungan, analisa, dan keraguan segala sesuatu

dalam mencapai pengetahuan pertama sebagai metode

sempurna dalam menggapai pengetahuan-pengetahuan

selanjutnya.

Dalam tingkatan keraguan, pertama-tama meragukan segala

yang diperoleh oleh panca indra, menganggap bahwa kita

dalam kondisi tidur atau mengkhayal, dan tertipu oleh

setan. Intinya, kita mesti meragukan apa yang diyakini

dan harus sampai pada puncak keraguan. Setelah mencapai

puncak keraguan, langkah selanjutnya adalah menemukan

pengetahuan pertama, dan terus mencari ilmu secara

bertahap dengan pengetahuan pertama tersebut.[4][5]

Tahapan kedua, perjalanan dari ragu ke yakin. Pada

tahapan ini, Descartes berkata, “Saya ragu pada setiap

sesuatu, namu saya tidak bisa meragukan keraguan saya

itu, saya yakin pada keraguan saya sendiri dan

dikarenakan keberadaan keraguan ini, saya sampai pada

suatu keyakinan terhadap eksistensi peragu.[6]

Menurut Descartes, tolok ukur hakikat itu ialah

kegamblangan dan keterpisahan, yakni setiap perkara

seperti keraguan, sedemikian gamblang dan terpisah satu

dengan lainnya sehingga tidak bisa diragukan lagi,

inilah pengetahuan hakiki.[7]

Keyakinan terhadap persepsi fitrah juga merupakan

gagasan penting dalam filsafat Descartes. Konsep-konsep

fitrah seperti, Tuhan, waktu, jiwa, dan benda, yakni

perkara-perkara yang secara potensial terdapat dalam

jiwa yang kemudian mengaktual secara evolutif. Iasangat

menekankan aspek-aspek epistemologi dan meyakini

kesesuaian gambaran pikiran dan realitas eksternal.[8]

2. Benedict de Spinoza (1632-1677 M)

Spinoza sepakat terhadap tolok ukur “kegamblangan” dan

“keterpisahan” yang diajukan oleh Descartes itu dan

memandang bahwa pikiran dan realitas eksternal adalah

satu. Tentang persoalan hakikat, iamengajukan adanya

keharmonisan dan keberaturan, yakni suatu hukum hanya

akan benar jika seirama dan harmonis dengan sistem

keteraturan yang meliputi seluruh realitas eksternal.
Ia kemudian membagi pengetahuan-pengetahuan itu ke

dalam pengetahuan indriawi dan intuitif (syuhud).

Pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan

tertinggi, dan pengetahuan mesti dimulai dari Tuhan.[9]

3. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M)

Leibniz beranggapan bahwa dalam setiap hukum yang

benar, predikatnya terdapat dalam subyek. Ia merupakan

orang pertama yang membedakan antara pengetahuan yang

pasti dengan pengetahuan eksternal. Dan memandang bahwa

pengetahuan yang pasti berpijak pada kaidah non-

kontradiksi, yakni penolakan atas kaidah ini akan

berujung pada kontadiksi itu sendiri. Sebagaimana

Descartes, iapercaya pada konsep-konsep fitrah.[10]

4. Para Filosof Empiris Inggris

Kaum empiris menolak konsep-konsep fitrah yang diyakini

oleh kaum rasionalis seperti Descartes. Kaum ini lebih

menekankan konsep-konsep yang bersumber dari indra

lahiriah dan empirisitas.
Filosof empirik memiliki kecenderungan yang berbeda,

karena keragaman persepsi-persepsi dan indra-indra.

Berkaitan dengan dimensi persepsi, sebagian mereka

menekankan empirisitas pada konsepsi dan keyakinan, dan

sebagian lain hanya pada konsepsi. Sementara yang

berhubungan dengan indra, sebagian hanya meyakini indra

lahiriah, dan yang lainnya berpegang pada kedua indra,

yaitu indra lahiriah dan indra batiniah. Hasil-hasil

pemikiran dari kelompok ini niscaya akan berbeda satu

sama lain.

5. John Locke (1632-1704 M)

John Locke beranggapan bahwa sebelum memulai kajian dan

pembahasan lainnya, sangat penting membahas tentang

kodrat dan kemampuan akal untuk sampai pada

pengetahuan, penetapan batas-batas akal, dan sumber-

sumber makrifat dan keyakinan,. Iamenekankan analisa

dan pengujian atas sejarah, dan empirisitas dalam

pandangannya meliputi hal-hal yang lahiriah dan

batiniah.[11]

John Locke tidak mengingkari potensi manusia yang

berkaitan dengan semua pengetahuan, namun menolak

keberadaan konsep-konsep aktual yang terdapat dalam

jiwa dan pikiran.[12]

Menurutnya, indra lahiriah dan batiniah merupakan

sumber semua pengetahuan dan menolak sumber pengetahuan

lainnya, seperti intuisi rasional. Iaberkeyakinan bahwa

seluruh bahan persepsi dan pemikiran diperoleh dari

hal-hal indriawi dan observasi empiris dengan

perantaraan panca indra lahiriah di alam luar serta di

alam batin dengan menggunakan indra batin. Konsep-

konsep ialah perantara antara pikiran dan realitas

eksternal, dan sebagian dari konsep-konsep berhubungan

dengan perasaan manusia.[13]

John Locke membagi konsep-konsep itu menjadi tunggal

dan jamak, universal dan partikular, satu indra dan

banyak indra, substansi, hubungan, dan keadaan. Iajuga

menerima keberadaan substansi untuk menerima aksiden-

aksiden.[14]

Ia menerima konsep-konsep universal dan abstrak, konsep

ini bebas dari pengaruh waktu, tempat, dan partikular.

Walaupun pemikiran-pemikirannya ini memiliki banyak

penafsiran.[15] Baginya, pengenalan itu terbagi atas

intuisi, argumentasi akal, dan indriawi. Pengenalan

intuisi lebih tinggi dari akal dan akal lebih tinggi

dari indra lahiriah. Pengetahuan terhdap diri sendiri

ialah bersifat intuisi, ilmu terhadap Tuhan dicapai

lewat argumentasi akal, dan ilmu tentang alam eksternal

dicapai lewat panca indra lahiriah.[16]

Dalam pembahasan kausalitas, ia lantas membedakan

antara konsep “sebab” dan konsep “akibat” dengan

prinsip “kausalitas” (setiap akibat bergantung pada

sebab). Konsep tentang sebab dan akibat itu dihasilkan

lewat pengamatan internal dan perhatian atas kinerja

iradah, dan “pembenaran (penghukuman)” itu diperoleh

dari pengaruh timbal balik antara maujud-maujud, yakni

pikiran meraih konsep “sebab” dan “akibat” dari

pengamatan internal hubungan antara jiwa dan iradah,

maka hubungan konsep-konsep itu satu sama lain akan

tercipta setelah mereka diletakkan secara sejajar dalam

pikiran kita, dan karena gamblangnya masalah itu, akal

kemudian menghukumi dan membenarkan hubungan tersebut.

[17]

John locke nampaknya seorang empiris yang moderat,

karena iatidak menolak akal dan ilmu-ilmu hudhûrî.

Dengan alasan ini, banyak aspek positif dalam

pemikirannya, walaupun solusi yang ditawarkan dan

penjelasannya masih belum sempurna.

6. George Berkeley (1685-1753 M)

Berkeley beranggapan bahwa penerimaan konsep-konsep

universal itu membuat suatu kerumitan dalam filsafat.

Menurutnya, keberadaan konsep-konsep yang lepas dari

segala bentuk sifat dan karakteristik adalah mustahil.

Sebagai contoh, konsep yang abstrak mengenai gerak yang

lepas dari benda bergerak dimana gerak itu tidak cepat,

tidak lambat, tidak berotasi, dan tidak lurus adalah

hal yang mustahil, begitu pula mengkonsep segitiga yang

tak bersudut.

Menurut Berkeley, kita harus membedakan antara khayal,

gambaran partikular, dan konsep-konsep universal, yakni

adalah sangat jelas bahwa mustahil mengambil gambaran

segitiga selain dari segitiga sama sisi, sama kaki,

atau siku-siku. Konsep dan makna universal segitiga

bukanlah gambaran segitiga tersebut. Dan menurutnya,

yang ada itu hanyalah objek-objek eksternal, konsep-

konsep partikular, dan kata-kata umum yang tidak

menunjuk pada sifat-sifat khusus sesuatu.[18]

Apabila kita bisa untuk tidak memandang karakteristik-

karakteristik itu, maka pasti kita bisa mencerap konsep

itu. Jadi tak mustahil kita bisa mencerap suatu konsep

yang terlepas dari segala karakteristik dan

partikularitas.

Gagasan lain Berkeley adalah keraguan terhadap

eksistensi maujud-maujud materi, dan beranggapan bahwa

apa yang kita miliki dari benda-benda hanyalah gambaran

benda-benda tersebut. Apabila dikatakan, “benda

tertentu berwujud”, maka yang dimaksud ialah, “saya

memiliki gambaran atas benda itu atau saya mempersepsi  

benda itu”. Dalam hal ini, iamengungkapkan dalil-dalil,

diantaranya bahwa iatidak membedakan antara kualitas

pertama (baca: benda eksternal) dan kedua (baca:

gambaran benda dalam pikiran), kedua kualitas ini

semuanya berpijak pada perasaan manusia, yakni setiap

persepsi tidak lain adalah sama dan sesuai dengan

persepsi lain. Menurutnya, hal ini, ialah gamblang.[19]

Dalam pandangan Berkeley, penyebab kehadiran konsep-

konsep yang nyata itu ialah suatu maujud yang non-

materi, yakni iamenerima adanya prinsip kausalitas dan

memandang bahwa konsep-konsep itu tidak lain adalah

suatu akibat (ma’lul) dan penyebabnya (‘illat) adalah

suatu maujud non-materi. Dengan dasar inilah, tidak

membutuhkan lagi keberadaan maujud-maujud materi

sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep tersebut.[20]

Akan tetapi, dengan menafikan konsep-konsep universal,

tak ada alasan lagi menerima prinsip kausalitas. Pada

hakikatnya,  Berkeley hanya sebatas meragukan alam

materi dan bukan menolaknya. Partikular, perubahan, dan

kehadiran baru konsep-konsep indriawi dan imajinasi,

dikarenakan kaidah kesesuaian sebab dan akibat, maka

iajuga menuntut sebab-sebab yang sesuai dan setara

dengannya, yakni kemestian keberadaan sebab-sebab yang

juga senantiasa berubah dan baru tercipta seperti

materi itu.

Walhasil, George Berkeley menafikan dan meragukan

adanya konsep-konsep universal dan maujud-maujud

materi, namun iamenerima eksistensi  jiwa manusia dan

Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah penyebab kehadiran

konsep-konsep indriawi, sementara jiwa manusia

dipandang sebagai penyebab hadirnya konsep-konsep

khayali.

7. David Hume (1711-1776 M)

David Hume beranggapan pentingnya pembahasan mengenai

proses pemahaman manusia. Ia membagi persepsi itu

menjadi  “konsepsi” (pemahaman, pengertian, at-

tashawwur) dan “impresi” (kesan, al-inthibâ’). Impresi

ialah efek, kesan, atau pengaruh yang sangat dalam

terhadap pikiran yang hadir secara visual (melalui

mata). Sementara, konsepsi adalah persepsi yang sangat

lemah yang hadir di alam pikiran ketika berpikir

tentang suatu perkara.[21]

Ia juga sebagaimana John Locke yang memandang sumber

segala pengetahuan manusia itu adalah empiris dan

impresif. Dan ia menegaskan bahwa apabila setiap konsep

itu berpijak dan bersesuaian dengan impresi, maka

konsep itu dikatakan bermakna, dan jika tidak demikian,

maka ia tidaklah menjadi bermakna.

Ia memandang bahwa pijakan pemikiran itu ialah hubungan

antara maujud-maujud dan perkara-perkara hakiki,

sementara matematika itu adalah hubungan antara

konsepsi-konsepsi, maka dari itu, digolongkan sebagai

hal-hal yang pasti dan niscaya. Dan menolak hal ini

akan berujung pada kontradiksi. Namun, berbeda dengan

hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara hakiki yang

tidak memiliki dua kemestian dan kepastian tersebut.

[22]

Menurutnya, argumentasi tentang perkara-perkara

eksternal dan hakiki dengan metode hubungan kausalitas,

oleh karena itu, ia berupaya mengkaji dan menganalisa

hubungan kausalitas itu. Akan tetapi, kausalitas itu ia

pandang sebagai suatu “kebiasaan” dan “tradisi”

pikiran, puncak analisanya ini adalah menafikan

hubungan kausalitas itu dan tak ada jalan mengenal alam

eksternal. Dengan demikian, segala sesuatu yang di luar

pikiran dan jiwa manusia adalah hal yang mesti

diragukan keberadaannya.[23] Sesungguhnya, kemestian

berpegang secara ekstrim kepada panca indra lahiriah

(Sensisme) pada wilayah konsepsi dan pembenaran (at-

tashdiq) adalah akan berpuncak pada keraguan dan

skeptisisme.

Persoalan prinsipil Hume mengenai konsep-konsep sebab

dan akibat ialah bahwa panca indra lahiriah tak bisa

mencerapnya.[24]

Apabila Hume memperhatikan poin penting dalam pandangan

John Locke, maka mustahil ia menekankan analisanya yang

keliru tentang kausalitas itu, karena sebagaimana yang

dungkapkan oleh Locke dengan mudah akan dipahami

hakikat ‘sebab’ dan ‘akibat’ itu dalam diri kita

sendiri, yakni konsep ‘sebab’ dan ‘akibat’ tersebut

terabstraksi dari kondisi internal manusia (konsep ini

berasal dari hubungan kausalitas antara jiwa dan iradah

dimana jiwa sebagai ‘sebab’ iradah dan iradah ‘akibat’

dari jiwa).

David Hume sebagaimana Berkeley, menolak konsep-konsep

universal itu dengan mengungkapkan beberapa argumen.

Salah satu argumennya adalah dimensi partikularitas

setiap sesuatu dan keberadaan impresi di alam pikiran.

[25] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hume tidak

menganalisa persoalan kausalitas itu dengan cermat dan

teliti, dan bahkan ia cenderung mencampurnya dengan

persoalan-persoalan khayali (tak nyata). Iatak memahami

dua dimensi yang terdapat dalam konsep-konsep universal

yaitu dimensi (yakni keberadaan aktual dan

partikularitas sesuatu) dan dimensi lain (yakni penghikayatan dan percerminan) dimana berdasarkan dimensi kedua ini, konsep universal itu bisa mencakup dan meliputi banyak individu luar (seperti konsep universal manusia yang meliputi individu-individu luar yang tak terbatas).

Hume juga menolak atau meragukan keberadaan substansi- substansi bendawi, hal ini karena kita tidak merasakan dan memahami sesuatu yang lain (yang berada di luar dari diri kita) kecuali konsepsi dan persepsi itu sendiri (karena berada dalam pikiran kita), disamping itu, tidak ada argumentasi rasional akan eksistensi substansi-substansi, serta ketiadaan perbedaan antara kualitas pertama (baca: benda luar) dan kualitas kedua (baca: gambaran benda luar dalam pikiran).[26]

Konklusi pemikiran Hume seperti di atas tidak lain karena ia menolak prinsip kausalitas, dengan demikian, tak ada jalan baginya untuk membuktikan alam eksternal dan maujud hakiki lainnya.
Tentang substansi jiwa, ia beranggapan bahwa manusia itu tidak memandang selain persepsinya sendiri. Selain persepsi dan emosi manusia, tidak ada suatu maujud lain yang tunggal dan kekal yang dinamai “aku” yang bisa dicerap dan diketahuinya.[27]

Namun, dengan memperhatikan penyandaran segala persepsi terhadap “aku” dan perbandingan serta hubungan antara proposisi-proposisi dan hukum tentangnya, begitu pula keadaan dan kondisi jiwa yang bersifat aksidental itu, bisa dikatakan bahwa penerimaan eksistensi “jiwa” sebagai penyatu semua perkara ini dan subyek bagi seluruh kondisi jiwa merupakan hal yang niscaya dan jelas.

 

Referensi:


[1] . Descartes,Taammulât, hal. 4-5.
[2] . Descartes adalah seorang matematikawan yang berupaya membangun filsafat sebagaimana konstruksi matematika, oleh karena itu, ia memulainya dengan suatu keraguan mutlak dan melanjutkannya dengan metode matematika. Dengan ini, terbentuklah suatu filsafat baru. Ia memulai dengan langkah seorang Skeptis dan keluar dari keraguan sebagaimana yang dilakukan oleh Augustine.
[3] . Metode ideal yang ditawarkan oleh Descartes untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain:

    1.Setiap persoalan sebisa mungkin dianalisa dan dibagi dalam bagian-bagian yang terkecil;
    2.Hanya menerima suatu hakikat yang gamblang dan badihi;
    3.Mengatur semua pemikiran kita sendiri dan menggabungkan hal-hal yang paling sederhana;
    4.Dalam proses pengaturan pemikiran ini, jangan sampai ada yang terlewatkan.

Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal.167-172.
[4] . Rene Descartes,Taammulât, hal. 35-48.
[5] . Bentuk keraguan Descartes bisa dijabarkan sebagai

berikut:

    1.Panca indra manusia sangat rentan tertipu;
    2.Untuk hal-hal yang sangat jauh dan paling kecil, sangat mungkin panca indra tertipu, tetapi tidak ada keraguan untuk hal-hal yang dekat seperti tangan, badan, dan kaki;
    3.Bisa jadi semua yang dialami ini terjadi dalam kondisi tidur;
    4.Kita bisa meragukan semuanya, namun kita tidak bisa meragukan matematika;
    5.Adalah sangat logis apabila kita meragukan segala sesuatu.

[6] . Ibid, hal. 46-47.
[7] . Ibid, hal. 51-53.
[8] . Ibid, hal, 124-125.
[9] . Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa,hal. 36-38.
[10] . Ibid, hal. 102-106.
[11] . Buzurg Mehr, Falosefe-ye Tajribi Ingleston, hal.18.
[12] . Ibid, hal. 32.
[13] . Ibid, hal. 26.
[14] . Ibid, hal. 28.
[15] . Ibid, hal. 65.
[16] . Ibid, hal. 90-94.
[17] . Ibid, hal. 55 dan 56.
[18] . George Berkeley, Risalah dar ‘Ilm-e Insani, hal.12.
[19] . Ibid, hal. 22-24.
[20] . Ibid, hal. 31-38.
[21] . David Hume, Tahqiq dabore-ye fahm-e basyar, hal.123.
[22] . Ibid, hal. 134-137.
[23] . Ibid, hal. 151-152.
[24] . Ibid, hal. 169-174.
[25] . Frederick Copleston, Filusufon-e Inggliston,hal. 290-291.
[26] . Ibid, hal. 310-313.
[27] . Ibid, hal. 316-321.