Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Memaafkan Itu Menyembuhkan

1 Pendapat 05.0 / 5


“Ya Allah, bila ada seorang hamba menyerangku, padahal

Engkau larang; atau merampas hakku, padahal Engkau

cegah; dan ia sudah mati dengan kezalimannya kepadaku,

atau aku dapat mengadukannya ketika ia hidup; ampunilah

dia atas apa yang dilakukannya padaku; maafkanlah dia

atas pengkhianatannya padaku. Jangan Kau periksa dia

karena apa yang dikerjakannya padaku; jangan bukakan

keburukan dia karena perlakuannya padaku. Jadikan semua

maaf yang aku berikan kepadanya dan semua sedekah yang

aku sumbangkan kepadanya, sedekah yang paling suci dari

orang-orang yang bersedekah dan hadiah yang paling

agung dari orang-orang yang mendekatkan diri pada-Mu.

Gantilah maafku kepada mereka dengan ampunan-Mu.

Gantilah doaku untuk mereka dengan rahmat-Mu sehingga

kami semua bahagia dengan karunia-Mu dan semuanya

selamat dengan pemberian-Mu.”

Doa ini–yang diberi nama “Doa Memohonkan Ampunan dan

Kasih Allah”- disampaikan oleh Ali bin Husain, aka As-

Sajjad, seorang manusia suci dari keluarga Nabi saw.

Siapakah orang-orang yang ia doakan? Doa ini

dilantunkan bagi para katib yang mencaci-maki,

memfitnah, dan menghujat kakeknya, Ali bin Abi Thalib,

di mimbar-mimbar Jumat.

Doa ini juga bagi orang-orang yang mengeroyok ayahnya

di Karbala dan menumpahkan darah keluarga Nabi saw dan

para pengikutnya, serta bagi para prajurit yang dengan

kejam menyeretnya dan para perempuan dalam rangkaian

rantai besi dari Karbala, Kufah, sampai ke Damaskus.

Pasca-Karbala, tahun 61 Hijriah, As-Sajjad diseret

beserta keluarganya menempuh sahara panjang dalam

keadaan terbelenggu. Perjalanan panjang itu ditempuh

penuh penderitaan, kelaparan, dan kehausan. Tak jarang

para penjaga mempermainkan mereka, memberikan cawan air

lalu membuangnya.

Kira-kira lima tahun kemudian, Mukhtar Al-Tsaqafi

memimpin gerakan rakyat untuk menggulingkan para tiran.

Ia memburu pasukan yang dahulu terlibat dalam

pembantaian Karbala.

Dalam kepanikan mencari perlindungan terdekat, salah

seorang di antara mereka mengetuk pintu rumah As-

Sajjad. Ia membuka pintu dan segera mengenalinya.

Inilah orang yang dahulu menahan air darinya, menendang

cawan air dari hadapannya.

Ia mempersilakannya masuk. Tidak seperti sikap mereka

ketika ia meminta air minum karena kehausan yang

mencekiknya, As-Sajjad melayaninya dengan baik. Orang

itu tidak mengenali tuan rumah karena sorban menutup

mukanya. Ia bertanya, “Siapakah engkau? Begitu baik

melayaniku!”

Ali menjawab, “Lupakah engkau kepadaku.” Ia singkapkan

lengan bajunya dan menampakkan bekas belenggu di

pergelangan tangannya, “Akulah Ali bin Husain.”

Kekuatan Memaafkan

Saya ceritakan lagi kisah Ali As-Sajjad pada Lebaran

tahun ini. Dalam tradisi kita, Lebaran adalah hari

bermaaf-maafan, anak dengan orang tuanya, tetangga

dengan tetangganya, pegawai dengan atasannya, rakyat

dengan pemimpinnya, tak peduli agama, ras, atau

golongan. Namun kali ini, Lebaran menjenguk kita

setelah peristiwa politik yang mencerai-beraikan.

Belum pernah bangsa ini dicabik-cabik secara masif

seperti pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Media

sosial diramaikan dengan saling menghujat, saling

mencemooh, dan saling memaki. Hati Ibu Pertiwi

terkoyak-koyak dengan luka dalam yang ditorehkan para

putranya.

Satu-satunya cara menjahit lagi luka itu adalah

memaafkan. Memaafkan itu menyembuhkan. Apa yang akan

terjadi kalau kita memaafkan?

Dr Fred Luskin, direktur Stanford Forgiveness Project,

dengan menggunakan metode eksperimental meneliti dampak

dari latihan memaafkan. Secara singkat, hasilnya

adalahforgiveness improves physical and emotional

well-being; memaafkan itu meningkatkan kesejahteraan

fisik dan emosional.

Orang yang ikut latihan memaafkan lebih sehat secara

fisik dan mental karena ia lebih bahagia. Penelitian

mutakhir menunjukkan, orang pemaaf memiliki kesehatan

yang lebih baik, mendapat dukungan sosial yang lebih

kuat (artinya lebih banyak punya teman yang setia);

lebih kecil kemungkinannya kecanduan miras atau

merokok; lebih sedikit menderita depresi, stres, dan

kecemasan; serta lebih kurang mengalami masalah dalam

hubungan interpersonal.

Menurut Fincham, Hall, dan Beach, pasangan yang pemaaf

menikmati kehidupan keluarga bahagia, berkomunikasi

lebih baik, dan bergaul lebih mesra dan lebih empatis.

Memaafkan juga mengurangi kekecewaan, kemarahan,

dendam, dan pertengkaran dalam pernikahan.

Dr Dan Colbert, dalam buku bestseller-nya, Deadly

Emotion, menceritakan seorang pasien cantik berusia

tiga puluh tahunan yang semula didiagnosis rematik.

Setelah dirawat oleh rematolog, penyakitnya makin

parah. Ia menderita sakit di sekujur tubuhnya. Tidak

lama kemudian, ia meninggal dalam keadaan yang

mengenaskan.

Dr Colbert menyesal karena ia tidak memperhatikan

keluhan pasiennya dalam anamnesis yang pertama.

Perempuan itu meledakkan kemarahannya karena suaminya

punya perempuan idaman lain. Keinginannya membalas

dendam telah merusak seluruh sistem imunnya.

Seharusnya, dokter tersebut memberikan resep yang

mujarab, memaafkan!

“Keuntungan lain dari memaafkan, Anda bukan saja

mengalami kedamaian dan kebahagiaan, tetapi juga

peningkatan kemesraan dalam keluarga,” tutur Philip H

Friedman dalam bukunyaThe Forgiveness Solution.

Memaafkan adalah solusi, sedangkan memupuk dendam

adalah delusi. Memaafkan membawa Anda kepada

kebahagiaan. Tidak memaafkan menarik Anda kepada

kegilaan. Dalam bahasa tasawuf, memaafkan menyucikan

dan mencerahkan; melepaskan dendam yang mencemari dan

menggelapkan.

Puasa sudah berlalu. Dalam puasa, diperintahkan Tuhan

agar kalian menjadi orang-orang yang takwa. Tanda-tanda

orang takwa adalah mengendalikan amarah, memaafkan

orang, dan berbuat baik (Alquran 3:134).

Seorang budak bermaksud mencurahkan air untuk membantu

Ali bin Husain berwudu. Tiba-tiba, cereknya jatuh dan

melukai muka Ali. Darah mengalir. Budak itu secara

spontan mengucapkan ayat, “Dan orang-orang yang

mengendalikan amarahnya.”

As-Sajjad berkata, “Aku kendalikan marahku.”

Budak itu melanjutkan, “Dan memaafkan orang lain.”

Ia berkata, “Semoga Allah memaafkan kamu.”

Budak itu melanjutkan ayat takwa, “Dan Allah mencintai

orang-orang yang berbuat baik.”

Imam As-Sajjad berkata, “Aku merdekakan kamu karena

Allah!”