Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kenalilah Tuhanmu

1 Pendapat 05.0 / 5

 Salah satu prinsip yang memiliki akar terpenting dalam

pandangan dunia (word view), pengenalan manusia,

ideologi, dan wacana filsafat adalah pengenalan

terhadap Sumber Eksistensi dan Sang Pencipta.

Karena pengetahuan tentang Sang Pencipta sebagai

pengetahuan tertinggi maka pandangan dunia yang tidak

didasarkan padanya merupakan sebuah pandangan yang

tidak rasional dan rendah. Korelasi-korelasi yang

terdapat pada bagian-bagian partikular dari sistem

mekanisme universal alam semesta yang dipandang terjadi

secara kebetulan dan tanpa tujuan adalah bersumber dari

suatu pandangan bahwa maujud-maujud alam tidak memiliki

tujuan penciptaan, hal ini berkonsekuensi pada

pengingkaran Sang Pencipta. Walaupun ada sebagian

pemikir yang memandang bahwa Tuhan pernah ada secara

azali dan Dia lah yang menciptkan alam semesta ini

beserta sistemnya yang maha sempurna, namun ragu akan

keberadaan Tuhan yang bersifat abadi. Nah, kelompok

pemikir seperti ini tetap kita golongkan sebagai

pengingkar Tuhan.

Manusia yang meyakini keberadaan Sang Pencipta dengan

orang yang tidak meyakininya adalah dua hakikat yang

berbeda secara fundamental. Dari sinilah sehingga

pengenalan terhadap Sang Pencipta memiliki peran yang

sangat signifikan dalam pengenalan dan pertumbuhan

kesempurnaan manusia. Pengenalan kepada Sang Pencipta

adalah inti dan substansi pembentukan hakikat manusia.
Demikian juga, pembahasan tentang ketuhanan memiliki

saham yang sangat besar dalam pembahasan epistemologi.

Gagasan-gagasan para pemikir dan filosof Ilahi dalam

pembahasan epistemologi sangat berbeda dengan

pendapat-pendapat kaum ateis, bahkan kadangkala sangat

kontradiktif.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan secara

cermat dan mendetail terhadap berbagai pikiran dan

pendapat tentang ketuhanan serta menghindarkan diri

dari segala fanatisme dan taklid-buta serta sebisa

mungkin melakukan observasi atasnya, karena menganggap

remeh persoalan ini akan berujung pada kelemahan

keimanan, merusak pilar keagungan manusia, dan

menghancurkan kemuliaan akhlak manusia.

Disamping pengkajian filosofis tentang ketuhanan adalah

sesuatu yang sangat urgen dan fundamental, seluruh

agama Ilahi secara nyata memberikan perhatiannya

terhadap persoalan pengenalan kepada Tuhan dan

mengarahkan perhatian manusia kepada realitas bahwa

Tuhan merupakan sumber dari segala eksistensi, penyebab

seluruh kebaikan, dan seluruh yang terjadi di alam ini

merupakan kehendak-Nya. Agama Ilahi hadir untuk

membangunkan fitrah-fitrah manusia, menekankan

argumentasi-argumentasi akal atas fenomena ontologi,

epistemologi, kosmologi, dan eskatologi, serta

memberikan nasehat-nasehat kepada umat manusia untuk

lebih mendekatkan diri kepada Sumber Hakikat.

Prinsip utama agama adalah keyakinan kepada eksistensi

Tuhan yang menciptakan segala realitas. Perbedaan

mendasar antara pandangan dunia Ilahi dan pandangan

dunia Materialisme terletak pada ada atau tidaknya

keyakinan kepada Tuhan. Maka dari itu, langkah pertama

yang harus dilakukan oleh seorang pencari kebenaran

menegaskan eksistensi Tuhan.

Untuk menegaskan eksistensi Tuhan itu, langkah umum

yang harus dilakukan adalah dengan pendekatan akal dan

argumen-argumen rasional, karena jalan ini diterima

oleh semua manusia. Semua manusia memiliki akal dan

menggunakannya dalam rutinitas kehidupannya. Tidak satu

pun manusia yang mengingkari akal dan fungsinya.

Untuk mengenal Tuhan, terdapat dua bentuk pengetahuan

yaitu pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli.

Pengetahuan hudhuri adalah mengenal Tuhan dengan hati,

yakni tanpa perantara pemahaman yang bersifat

konseptual di pikiran. Orang yang memiliki pengetahuan

hudhuri mengenai Allah, tidak membutuhkan argumentasi

rasional.

Namun, pengetahuan hudhuri tidak dialami oleh semua

manusia tanpa sebelumnya  membentuk jiwanya melalui

perjalanan spiritual yang islami. Adapun tingkatan

terendah dari pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai

oleh semua orang,  namun karena tidak dilandasi oleh

kesadaran rasional maka tidaklah cukup untuk membentuk

pandangan dunia yang universal.

Mengenal Tuhan melalui pengetahuan hushuli adalah

berkaitan dengan konsep-konsep universal yang terbentuk

dalam pikiran manusia. Semua pengetahuan yang

didapatkan manusia dari kajian rasional dan argumentasi

filosofis tergolong ke dalam pengetahuan hushuli ini.

Pengetahuan ini pada hakikatnya merupakan dasar bagi

lahirnya pengetahuan hudhuri.

Disamping dua bentuk pengetahuan di atas, terdapat

pengetahuan lain yang umum digunakan dalam pembahasan

teologis, yakni pengetahuan fitriah. Untuk mengetahui

bentuk pengetahuan ini, pertama-tama kita mesti

mengenal kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab

yang berarti  “sebuah bentuk  penciptaan”. Sesuatu itu

dikatakan bersifat fitrah  ketika hakikat penciptaan

suatu realitas menuntut akan hal itu.

Tiga sifat pada perkara-perkara fitriah:

 1.   Perkara-perkara fitriah bagi makhluk-makhluk satu

spesis adalah sama, walaupun kualitasnya berbeda, ada

yang lemah dan kuat;
2.    Perkara-perkara fitriah bersifat tetap dalam diri

manusia dan tidak mengalami perubahan dalam rentangan

zaman;
3.    Perkara-perkara fitriah itu adalah bagian dari

penciptaan makhluk, karena itu itidak diperoleh melalui

proses pembelajaran, namun diperlukan bimbingan untuk

memperkuat dan mengembangkannya.


Perkara-perkara fitriah yang ada pada manusia terbagi

dua macam:  

1.    Pengetahuan-pengetahuan fitriah yang dimiliki oleh

setiap orang yang tanpa memerlukan proses belajar;
2.    Kecenderungan-kecenderungan fitriah.

Mayoritas pemikir agama memandang pengetahuan tentang

Tuhan (ma’rifatullah) sebagai pengetahuan fitriah. Dan

kecenderungan kepada Tuhan, menghamba kepada-Nya dan

kesadaran beragama yang ada pada setiap manusia sebagai

kecenderungan fitriah.

Perlu diperhatikan bahwa pada setiap individu terdapat

derajat pengenalan fitriah kepada Tuhan. Oleh karena

itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah

hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar

secara sederhana. Kemudian ia meningkatkan dan

memperkokoh pengenalan kepada-Nya sampai pada tingkat

tersingkap mata batin dan musyahadah. Namun, potensi-

potensi fitriah pada orang biasa tidak sebegitu kuat

disadari. Maka dari itu, mereka memerlukan argumentasi

rasional dan pembahasan rasional untuk dapat mengenal

Tuhan secara pasti dan sadar. Disamping itu,

argumentasi rasional sangat urgen bagi orang-orang yang

sudah tertutup mata hatinya ataukah orang-orang yang

sudah terjebak dalam pemikiran materialisme atau isme-

isme lain yang anti ketuhanan.

Tentang Pandangan Dunia
Pandangan dunia manusia terbagi empat:

1.    Pandangan dunia empiris, yaitu pandangan yang  

hanya berpijak pada  data inderawi, fisikal, dan

empiris;
2.    Pandangan dunia filosofis, yaitu pandangan yang

bersandar pada analisis rasional dan penalaran akal;
3.    Pandangan dunia religius, yaitu pandangan yang

diperoleh lewat kepercayaan kepada para pemimpin agama

dan pada ucapan-ucapan mereka;
4.    Pandangan dunia irfani (gnostik),yaitu pandangan

yang dicapai melalui alur  kasyf (penyingkapan batin)

dan syuhudi (penyaksian batin).


Wilayah pengetahuan empirik hanya terbatas pada

fenomena-fenomena alam materi, maka dari itu tidak

mungkin bisa mengetahui secara menyeruluh dasar-dasar

penciptaan alam semesta dan menyelesaikan berbagai

persoalan yang bersangkutannya. Persoalan-persoalan

fundamentasl alam semesta di luar jangkauan ilmu-ilmu

empiris, karenanya, ilmu empiris  manapun tidak bisa

menolaknya atau menegaskannya. Misalnya, kita tidak

mungkin dapat membuktikan keberadaan Tuhan melalui

observasi di laboratorium. Indra lahiriah tidak dapat

menilai ada tiadanya sesuatu di luar alam materi.

Pada sisi yang lain, berbagai perkara-perkara hudhuri

dan syuhudi yang ingin dijabarkan dengan kata-kata  dan

konsep mesti memerlukan kemampuan nalar tertentu yang

tidak dapat dicapai kecuali dengan dasar-dasar analisis

rasional dan filosofis.

Lagi pula, sering terjadi kekeliruan men-syuhud atau

“menyaksikan”, gambaran-gambaran khayalan dipandang

sebagai hakikat realitas .

Seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin

kecuali setelah melakukan sair–suluk irfani (menapaki

jalan spiritual) bertahun-tahun lamanya. Sementara

persoalan-persoalan tentang Sang Pencipta dan

keberadaan alam semesta ini adalah hal yang urgen dan

harus segera ditegaskan demi menetapkan langkah awal

dalam proses keberimanan seseorang. Dari satu sisi,

sair suluk irfani itu adalah sesuatu yang bersifat

praktis bukan teoritis, yakni sebelum memasuki sair

suluk itu semestinya seseorang harus meyakini secara

teoritis tujuan sair suluk-nya, yakni wujud Tuhan itu

sendiri dan pengetahuan tentang-Nya. Nah, penetapan

teoritis wujud Tuhan hanya dapat dilakukan secara

maksimal dengan analisis rasional dan observasi akal.

Kesimpulannya, satu-satunya cara bagi seseorang yang

berupaya mencari solusi terhadap masalah-masalah

substansial pandangan dunia dan pengetahuan yang benar

tentang Sang Pencipta adalah jalur logika dan metode

rasional. Maka dari itu, pandangan dunia yang hakiki

adalah pandangan dunia filosofis.

Mustahil Mengenal Hakikat Tuhan
Hakikat zat Tuhan tidak bisa dikenali. Tak

terjangkaunya masalah ini oleh pikiran manusia bisa

digambarkan sebagai berikut: karena Tuhan merupakan

sebuah hakikat tak terbatas yang dalam

ketakterbatasan-Nya pun tak terbatas. Dia adalah Esa,

tanpa ada yang serupa dengan-Nya, dan tanpa ada yang

mampu menandingi-Nya, maka:

1.    Hakikat zat yang tak terbatas ini sama sekali tidak

akan bisa ditangkap oleh pikiran manusia yang terbatas

dan tak akan bisa berada dalam lingkup pikiran

seseorang, karena apa yang ada dalam lingkup pikiran

dan bisa dikuasai oleh akal adalah terbatas; dan segala

sesuatu yang digapai – yang selain Tuhan – adalah

terbatas;
2.    Dalil ini bisa dipaparkan sebagai berikut bahwa tak

bisa diragukan lagi bahwa manusia adalah makhluk dan

akibat Tuhan, dan suatu akibat tidak akan pernah bisa

melingkupi sebabnya;
3.    Demikian juga bisa dipaparkan dengan metode ketiga,

yaitu tidak ada sebuah maujudpun di alam ini yang mampu

mengetahui hakikat zat Tuhan, melainkan seluruh

pengenalan yang dimiliki oleh manusia hanya terbatas

pada aksiden-aksiden dan sifat-sifat benda. Apabila

kita mendefinisikan air, maka kita akan mengatakan

bahwa air adalah sebuah benda cair tak berwarna dan tak

berasa yang memiliki massa tertentu. Pada prinsipnya,

seluruh yang kita utarakan berkaitan dengan benda

adalah penjelasan mengenai sifat-sifatnya, akan tetapi

tentang apa substansi dan hakikat air itu sendiri

hingga sekarang ini belum terlontarkan. Demikian juga

apabila kita menjelaskan air sebagai sesuatu benda cair

yang terbentuk dari dua unsur tertentu (yaitu oksigen

dan hidrogen), maka permasalahan yang sama akan kita

temukan pada kedua unsur tersebut dimana kitapun harus

mendefinisikan tentang kekhususan, aksiden, dan sifat-

sifat yang dimiliki oleh kedua unsur tersebut.


Meskipun makna dan pengertian ‘wujud’, ‘keberadaan’,

dan ‘eksistensi’ adalah sangatlah jelas dan pemahaman

tentang ‘wujud’ itu sendiri tidak membutuhkan satupun

penjelasan semantik, akan tetapi mengenai hakikat zat

Tuhan tidaklah demikian, karena zat Tuhan benar-benar

berada di luar jangkauan akal-pikiran manusia. Ilmu

manusia terhadap “hakikat-hakikat” alam adalah tidak

pasti. Jadi, apabila hakikat maujud-maujud alam ini

tidak bisa ditangkap oleh pikiran dan tidak berada

dalam kewenangan akal, lantas bagaimana hakikat

Pencipta alam ini apakah bisa dipahami oleh akal dan

diketahui?

Perlu ditegaskan bahwa pengenalan akal dan filsafat

kepada Sang Pencipta dan maujud-maujud alam semesta

adalah bersifat universal dan tidak menyentuh wilayah

hakikat zat. Walaupun akal tidak dapat menjangkau

hakikat zat segala sesuatu, namun pengenalannya yang

bersifat universal itu sangatlah berarti dan merupakan

langkah awal bagi manusia untuk melakukan perjalanan

spiritual dan menggapai puncak kesempurnaannya. Tanpa

pengenalan awal ini mustahil manusia mampu meniti jalan

spiritual secara pasti dan berkelanjutan. Agamapun

tidak berada dalam koridor memberikan pengenalan hakiki

tentang zat Tuhan, walaupun agama menjelaskan tentang

sifat-sifat Ilahi pada batas-batas tertentu secara

partikular, namun manusia tetap tidak dapat menjangkau

dan meliputinya secara hakiki. Karena pada dasarnya,

pengenalan hakiki adalah meliputi zat dan sifat sesuatu

secara utuh dan menyeluruh dengan tidak meninggalkan

sedikitpun keraguan tentangnya.

Argumen Rasional Keberadaan Tuhan
Argumentasi terbentuk dari dua premis yang memiliki

korelasi khusus dan melahirkan sebuah konklusi. Apabila

kita mengatakan “Socrates adalah manusia” dan “Setiap

manusia pasti akan mati”, maka kesimpulannya pasti

adalah, “Socrates pasti akan mati”. Sekarang apabila

kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Pencipta manusia,

sementara dalam hal ini manusia dan kedua premis

argumentasi beserta korelasi antara keduanya dan

kesimpulan yang dihasilkannya pada dasarnya adalah

“akibat-akibat” dari Tuhan itu sendiri. Dengan

demikian, hakikat argumentasi yang tidak lain adalah

‘hubungan’ itu sendiri kepada Tuhan, tidak akan mampu

secara mandiri menjadi bukti dan dalil sempurna atas

hakikat zat Tuhan. Hasil maksimal yang dicapai dari

bentuk argumen seperti ini adalah keberadaan Tuhan

secara global.

Pengenalan hakiki tentang zat Tuhan adalah sebagaimana

seseorang yang berada di dalam matahari dan kemudian

melihat terangnya alam, baginya, zat matahari adalah

dalil bagi munculnya sinar yang terang itu, bukan

sebaliknya, terangnya alam yang menjadi dalil atas

keberadaan matahari.
Nah, pengenalan dalam wilayah hakiki ini memang tidak

berada dalam tanggung jawab filsafat dan wewenang akal,

tapi berhubungan dengan wilayah pengetahuan irfani.

Mula Sadra berkata, “Dia tidak membutuhkan dalil,

melainkan Dia adalah dalil atas segala sesuatu”.[1]

Apa yang diungkapkan oleh para filosof dan teolog dalam

bentuk argumentasi atas pembuktian wujud Tuhan, pada

hakikatnya sebagai bentuk peringatan atas kelalaian-

kelalaian manusia dan untuk membangunkan manusia dari

“tidur”nya.

Argumentasi-argumentasi filosofis dan teologis

disamping hanya sebagai bentuk peringatan bagi manusia

juga untuk menjawab berbagai keraguan-keraguan

filosofis dan kritikan-kritikan akal yang diajukan oleh

manusia tentang eksistensi Tuhan, misalnya berbagai

sanggahan yang diajukan oleh kaum Ateisme seputar

masalah-masalah ontologi. Dalam hal ini, argumentasi

rasional dan filosofis tentang ketuhanan tetap

bermanfaat bagi kehidupan keberagamaan manusia,

meskipun masing-masing argumentasi yang ada itu

memiliki kelemahan dan kekuatan yang berbeda.

Dari seluruh argumentasi yang ada, argumentasi yang

paling sempurna adalah yang berangkat dari pengenalan

“sebab” kepada “akibat”nya dan kalimat yang

menghubungkan (middle term) dua premis argumen (minor

dan mayor) adalah sebab hakiki bagi premis mayor,

sebagaimana ketika kita mengatakan, “Darah orang ini

terinfeksi, dan setiap orang yang memiliki darah

terinfeksi akan memiliki suhu badan yang sangat tinggi,

jadi orang ini memiliki suhu badan yang sangat tinggi”,

dimana middle term-nya adalah “darahnya terinfeksi”

yang juga merupakan sebab hakiki untuk premis mayor

yakni “memiliki suhu badan tinggi”. Argumentasi semacam

ini dinamakan a priori demonstration (burhan limmy,

argumentasi dari sebab ke akibat). Akan tetapi,

argumentasi yang berangkat dari “akibat” ke “sebab”

yang disebut dengan posterior demonstration (burhan

inny) menduduki tingkatan yang lebih rendah,

sebagaimana kalau kita ingin membuktikan orang yang

pernah melewati suatu jalan dengan melihat bekas tapak

kaki yang ditinggalkannya.

Sebenarnya bisa dikatakan bahwa kita belum sampai pada

argumentasi yang sempurna, karena ketika melihat suatu

akibat dan menyifatinya sebagai bentuk keakibatan

lantas hal itu ditempatkan sebagai dalil, sementara

belum dibuktikan bahwa hal itu benar-benar suatu akibat

dari sebab tertentu, dan secara langsung ditetapkan

keberadaan sebab dari akibat tersebut. Bagaimana hal

ini bisa diyakini bahwa akibat itu secara hakiki adalah

akibat dari sebab tertentu? Dengan demikian, sekedar

penyipatannya sebagai suatu akibat tidak bisa dijadikan

dalil untuk membuktikan suatu sebab tertentu.

Selama kita tidak menemukan sebab hakikinya mustahil

diketahui akibatnya.
Tentunya posterior demonstration ini memiliki bagian

lain yang mirip dengan a priori demonstration[2], yakni

berangkat dari satu keniscayaan mengarah pada

keniscayaan yang lain, seperti ketika kita mengatakan,

“Alam adalah realitas yang mengalami perubahan (dari

potensi ke aktual), dan setiap realitas yang berubag

adalah baru-tercipta (hadits, yakni pernah tiada

kemudian mengada). Jadi, “alam adalah baru-tercipta

(hadits)”. Dalam argumentasi ini, perubahan dan

keterciptaan pada dasarnya merupakan dua hal yang

saling meniscayakan, yakni perubahan berkonsekuensi

atau meniscayakan suatu keterciptaan. Argumentasi ini,

meskipun tidak sekuat a priori demonstration, akan

tetapi dalam filsafat, ilmu logika, fisika, kimia, dan

ilmu matematika sangatlah penting dan bermanfaat.

Tentunya sebagian dari argumentasi yang telah diuraikan

untuk membuktikan eksisitensi Tuhan adalah argumentasi

yang mirip dengan a priori demonstration, sebagaimana

argumentasi wujub dan imkan yang sangat penting dan

mempunyai peran khas dalam mengkontruksi asas-asas

makrifat, akan tetapi dalam argumentasi shiddiqin akan

mengantarkan kita dari suatu ‘keberadaan’ kepada

‘keberadaan murni’. Dalam argumentasi ini, yang ada

hanyalah kemutlakan wujud. Terutama penjabarannya

Allamah Thabathabai yang serupa dengan syair yang

berbunyi: Matahari adalah dalil bagi wujud matahari itu

sendiri.
Referensi:
[1] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6.
[2] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6, hal. 177.