Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kearifan dan Keadilan Ilahi

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang

dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas beberapa masalah

tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah

dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal

segala sesuatu yang ada ini. Juga dibahas masalah-

masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat

keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat dikatakan

di sini bahwa masalah-masalah kearifan dan keadilan

ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada

masalah keadilan Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa

sistem dunia yang ada ini merupakan sistem yang paling

arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan,

kesadaran dan kehendak. Sistem ini juga merupakan

sistem yang paling baik dan sehat. Tak mungkin ada

sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia

yang ada ini merupakan yang paling sempurna.


Di sini muncul pertanyaan terkait. Kita tahu bahwa

dunia ini memiliki banyak fenomena seperti tidak

sempurna, buruk, atau tak berguna. Kearifan Ilahiah

menuntut agar yang dominan adalah kesempurnaan dan

bukannya ketidaksempurnaan, kebajikan dan keindahan

bukannya keburukan, kebergunaan bukannya kesia-siaan.

Ketidaksempurnaan gen dan bentuk tubuh manusia dan

binatang yang cacat, bencana alam dan kemalangan, serta

pemandangan yang menjijikkan, semuanya itu tampaknya

tidak sesuai dengan kearifan Ilahiah. Suatu sistem

dapat disebut adil kalau di dalam sistem itu tak ada

kesedihan, penderitaan dan diskriminasi yang tak

semestinya terjadi. Juga jika tak ada bencana dan

kemalangan. Dalam sistem yang adil, tak ada tempat bagi

kehancuran, karena tidaklah adil kalau makhluk

dihalangi dari mencapai kondisi yang sempuma setelah

makhluk itu ada. Kalau sistem dunia ini memang adil,

kenapa ada diskriminasi dan kesulitan seperti ini?

Kenapa yang ini putih dan yang itu hitam, yang ini

buruk dan yang itu cantik; yang ini sehat dan yang itu

sakit? Kenapa yang ini diciptakan sebagai manusia dan

yang itu diciptakan sebagai domba, kalajengking atau

cacing tanah? Kenapa yang ini diciptakan sebagai setan

dan yang itu sebagai malaikat? Kenapa semuanya tidak

diciptakan sama, atau tidak seperti adanya sekarang?

Misal, kenapa orang yang berkulit putih, rupawan atau

sehat tidak diciptakan berkulit hitam, buruk muka atau

sakit-sakitan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini,

mengenai dunia ini, tampaknya menimbulkan teka-teki.

Konsepsi tauhid yang memandang dunia sebagai karya

Allah Maha Arif lagi Maha Adil harus menjawab

pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kalau diingat bahwa menjawab secara terperinci

pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan buku

berjilidjilid, lagi pula pokok masalah ini sudah kami

bahas dalam buku kami “al-‘Adl al-Ilahi” (sudah terbit

dalam edisi Indonesia dengan judul “Keadilan Ilahi”—

pen.), yang beberapa edisinya sudah terbit, di sini

kami cukup menyebutkan beberapa prinsip pokok, dan

kalau prinsip-prinsip ini dipahami maka solusi untuk

problem ini akan mudah didapat. Setelah memahami

prinsip-prinsip ini, pembaca akan mampu membuat

kesimpulan sendiri.

Prinsip Bahwa Allah Ada Sendiri dan Sempurna
Karena Allah mutlak ada sendiri dan memiliki kemampuan,

maka Dia tidak melakukan apa pun untuk mencapai

tujuan-Nya atau untuk meniadakan kekurangan pada Diri-

Nya (karena pada diri-Nya tak ada kekurangan—pen.).

Kearifan-Nya tidak berarti bahwa Dia memilih tujuan

terbaik dan menggunakan sarana terbaik untuk mencapai

tujuan tersebut. Pengertian kearifan seperti ini hanya

berlaku untuk manusia, dan tidak berlaku untuk Allah.

Arti kearifan-Nya adalah bahwa Dia berbuat untuk

memberdayakan segala yang ada agar dapat mencapai

tujuan keberadaannya. Dia membuat apa-apa yang

sebelumnya tak ada menjadi ada, dan membawanya ke

kesempurnaan yang sudah menjadi sifatnya. Berbagai

pertanyaan dan keberatan yang muncul dalam hal ini,

sebagian akibat membandingkan Allah dengan manusia.

Orang yang bertanya tentang kearifan dan manfaat

makhluk tertentu beranggapan bahwa Allah seperti

manusia berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan-Nya.

Sebagian besar pertanyaan akan dengan sendirinya

terjawab, kalau sejak permulaan dia ingat bahwa apa

yang dilakukan Allah tak syak lagi ada tujuannya, namun

Allah sendiri tak memiliki tujuan-Nya sendiri. Tujuan

setiap makhluk melekat pada fitrah makhluk itu sendiri.

Dan Allah membawa setiap makhluk menuju fitrah ini.

Prinsip Sekuens
Eksistensi merupakan rahmat Allah untuk segenap alam

semesta. Tatanannya istimewa. Hubungan antar segala

yang ada adalah hubungan “dahulu” dan “kemudian” serta

“sebab” dan “akibat”. Tak ada yang dapat beranjak dari

posisi yang telah ditentukan untuknya. Juga, tak ada

yang dapat menempati tempat sesuatu yang lain. Tingkat

eksistensinya beragam. Satu dengan yang lain bedanya

jauh, bila dilihat dari segi tidak sempurna dan

sempurna, kuat dan lemah. Perbedaan ini merupakan

bagian penting dari tingkat-tingkat eksistensi. Ini

bukan diskriminasi, dan juga tak dapat dianggap

bertentangan dengan keadilan atau kearifan. Baru bisa

disebut diskriminasi kalau dua wujud yang kemampuannya

sama, kepada yang satu diberikan karunia, sedangkan

kepada yang satunya lagi tidak diberikan karunia. Akan

tetapi, kalau perbedaan itu terjadi akibat sifat

makhluk yang memang tidak sempurna, maka tak ada

pertanyaan diskriminasi.

Prinsip Generalitas
Juga ada kesalahpahaman lagi, yang terjadi akibat

membandingkan Allah dengan manusia. Manusia, kalau

mengambil keputusan, itu dilakukan pada waktu tertentu,

di tempat tertentu, dan dalam kondisi tertentu. Misal,

seseorang memutuskan akan membangun sebuah rumah. Agar

dapat membangunnya, dia kumpulkan, padukan dan tata

sejumlah batu bata, semen, baja, dan material lainnya.

Material-material ini tak memiliki hubungan yang

inheren (yang sudah menjadi sifatnya) satu sama lain.

Hasil akhirnya berupa berdirinya sebuah rumah.

Apakah Allah juga seperti itu? Apakah ciptaan Allah itu

ter-wujud dengan cara memadukan beberapa hal yang satu

sama lain tak ada hubungannya? Membuat hubungan-

hubungan tidak natural seperti itu merupakan pekerjaan

makhluk seperti manusia. Karena manusia merupakan

bagian dari sistem dunia. Dan dalam ruang lingkup

terbatas saja manusia dapat memanfaatkan kekuatan dan

kualitas wujud-wujud. Manusia tidak menciptakan

sesuatu. Dia hanya memproduksi gerak pada sesuatu yang

sudah ada. Bahkan gerak yang diproduksinya tidak

alamiah, melairikan dibuat-buat. Sedangkan Allah

menciptakan segala sesuatu beserta segenap kekuatan dan

kualitas segala sesuatu itu.

Manusia memanfaatkan api dan listrik. Api dan listrik

ini sudah ada. Dia membuat persiapan sedemikian,

sehingga dia dapat memanfaatkan api dan listrik bila

dibutuhkan. Dan untuk menyelamatkan diri dari akibatnya

yang merugikan, manusia dapat memadamkannya bila sudah

tidak dibutuhkan lagi. Sedangkan Allah menciptakan api,

listrik beserta segenap dampak dan kemampuannya. Adanya

api dan listrik itu saja sudah berarti bahwa keduanya

dapat menimbulkan panas, gerak dan dapat membakar.

Allah tidak menciptakan api dan listrik untuk orang

teltentu atau untuk kesempatan tertentu. Api dapat

memanaskan gubuk si miskin, sekaligus dapat membakar

pakaian si miskin bila terjilat, karena Allah telah

menciptakan api memiliki sifat membakar. Kalau kita

melihat api dalam konteks keseluruhan sistem dunia ini,

tentu kita dapati api itu bermanfaat dan dibutuhkan.

Tidak penting apakah bagi orang tertentu atau untuk

kejadian tertentu api itu bermanfaat atau tidak.

Dengan kata lain, untuk kearifan Ilahiah, tujuan

akhirnya ber-kaitan dengan perbuatannya, bukan dengan

pelakunya. Allah itu arif, dalam pengertian bahwa Dia

telah menciptakan sebaik-baik sistem untuk

memberdayakan wujud-wujud agar dapat mencapai tujuan

diciptakannya wujud-wujud itu. Arti kearifan-Nya

bukanlah bahwa Dia telah mempersiapkan sebaik-baik

sarana untuk meniadakan kekurangan-Nya sendiri, untuk

mewujudkan dalam bentuk konkret kemampuan potensial-Nya

atau untuk mencapai tujuan evolusioner-Nya sendiri.

Kita juga harus ingat bahwa tujuan tindakan Allah

adalah mencapai tujuan umum dan bukan tujuan tertentu.

Api telah diciptakan untuk pada umumnya membakar. Tidak

diciptakan untuk membakar benda tertentu pada ke­

sempatan tertentu pula. Karena itu, dari sudut pandang

kearifan Ilahiah, tidaklah penting apakah api itu

bermanfaat atau merugikan untuk kasus per kasus.

Prinsip Kemampuan Menerima Karunia
Bahwa Allah Mahakuasa lagi Maha Pemurah belumlah cukup

bagi terwujudnya suatu realitas. Agar realitas itu ada,

maka realitas itu harus memiliki kemampuan untuk

menerima karunia-Nya. Dalam banyak kasus,

ketidakrnampuan sebagian wujud menyebabkan wujud-wujud

tersebut kehilangan beberapa keuntungan. Dari sudut

pandang sistem umum ini dan hubungannya dengan Wujud

Yang Ada Sendiri, rahasia munculnya kekurangan-

kekurangan tertentu seperti bodoh dan tidak mampu,

terletak pada ketidak-mampuan wujud-wujud yang memiliki

kekurangan-kekurangan seperti itu.

Prinsip Wajib Ada
Karena Zat Allah itu wajib ada, maka segenap sifat-Nya

juga wajib ada. Karena itu, mustahil kalau sesuatu yang

patut ada, lalu Allah tidak memberikan eksistensi

kepada sesuatu itu.

Prinsip Relatif
Buruk artinya adalah tak adanya suatu kualitas,

contohnya adalah kebodohan, ketidakmampuan dan

kemiskinan, atau artinya juga adalah buruk karena

menyebabkan kehancuran, contohnya adalah gempa bumi,

kuman pembawa penyakit, banjir, hujan es disertai angin

ribut dan seterusnya. Segala yang menyebabkan

kehancuran, sifat buruknya itu relatif dan hanya

berkenaan dengan hal-hal lain. Sesuatu yang buruk,

sesungguhnya ia itu sendiri tidak buruk. Buruknya

adalah untuk sesuatu yang lain. Eksistensi sejati

setiap sesuatu adalah eksistensinya sendiri. Eksistensi

relatifnya hanyalah konseptual dan derivatif, sekalipun

itu bagian integral dari eksistensi riilnya.

Prinsip Saling Bergantung
Baik dan buruk bukanlah dua kualitas yang masing-masing

mandiri. Buruk merupakan suatu kualitas integral dari

baik. Buruk, yang mengindikasikan tak adanya suatu

kualitas, menunjukkan ketidakmampuan sesuatu yang

secara potensial mampu. Begitu sesuatu itu praktis

mampu, maka karunia Allah kepada sesuatu itu tak

terelakkan. Adapun keburukan yang tidak membentuk

kualitas negatif, maka akarnya selalu ada di kebaikan.

Prinsip Tak Ada Keburukan Murni
Tak ada keburukan murni. Non-eksistensi merupakan

pendahuluan untuk eksistensi dan kesempurnaan.

Keburukan merupakan satu tahap dari evolusi. Memang,

setiap awan hitam ada lapisannya yang berwarna perak.

Prinsip Hukum dan Norma
Dunia ini diatur dengan sebuah sistem sebab-akibat.

Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, sistem ini

berbasis hukum dan norma universal. Al-Qur’an dengan

tegas membenarkan fakta ini.

Prinsip Satu Unit Tak Terbagi
Di samping sistemnya yang sudah tak dapat disangsikan

lagi, dunia itu sendiri merupakan satu unit yang tak

terbagi dan satu struktur fisis yang tunggal. Karena

itu, keburukan tak dapat dipisahkan dari apa yang baik.

Keburukan dan non-eksistensi bukan saja tak dapat

dipisahkan dari kebaikan dan eksistensi, namun juga

merupakan satu “manifestasi” yang tunggal.

Berdasarkan sepuluh prinsip ini, maka hanya ada dua

kemungkinan: Pertama, dunia ini ada dengan sistem

khasnya. Kedua, dunia ini sama sekali tak ada. Tidaklah

mungkin kalau dunia ini ada tanpa sistem khasnya atau

dengan sistem lainnya seperti, misalnya, sebab

menempati posisi akibat dan akibat menempati posisi

sebab. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah,

maka yang mungkin adalah dunia ini ada dengan sistemnya

yang ada sekarang, atau, kalau tidak, dunia ini tak ada

sama sekali. Jelaslah, karena kearifan, maka yang

dipilih adalah eksistensi, bukan non-eksistensi.
Karena sesuatu tak mungkin ada kecuali ia memiliki

kualitas-kualitas yang esensial dan tak terpisahkan

dari dirinya, maka tak dapat dibayangkan bila

berpikiran bahwa kebaikan dapat dipisah­kan dari

keburukan atau bahwa non-eksistensi dapat dipisahkan

dari eksistensi. Dari sudut pandang ini pula, kearifan

Ilahiah dapat menuntut eksistensi keburukan dan

sekaligus kebaikan, atau kalau tidak, non-eksistensi

keburukan dan sekaligus kebaikan. Kearifan Ilahiah tak

dapat menuntut eksistensi kebaikan dan non-eksistensi

keburukan.

Juga, yang mungkin ada adalah alam semesta ini dalam

bentuk satu unit. Eksistensi satu bagiannya dan non-

eksistensi bagian lainnya tidaklah mungkin. Karena itu,

dari sudut pandang kearifan Ilahiah, masalah yang dapat

dipertimbangkan adalah eksistensi atau non-eksistensi

alam semesta ini, bukan eksistensi atau non-eksistensi

bagian alam semesta ini.

Prinsip-prinsip di atas, jika diselami isinya dengan

saksama, cukup untuk menghilangkan segenap keraguan dan

kesulitan berkenaan dengan kearifan dan keadilan

Ilahiah. Lagi, silakan pembaca merujuk ke buku kami

“al-‘Adl al-Ilâhî” (Keadilan Ilahi). Dan mohon

toleransinya kalau kami menganggap perlu mengangkat di

sini soal-soal yang lebih tinggi tingkatannya

dibandingkan tingkat buku ini. Akhirnya, mengingat

fakta bahwa masalah keadilan Ilahiah memiliki sejarah

khusus, dan oleh kaum Syiah keadilan Ilahiah dianggap

sebagai salah satu rukun iman mereka, maka tak ada

salahnya kalau membahas juga sejarahnya secara singkat.


Sejarah Prinsip Keadilan dalam Budaya Islam
Kaum Syiah menganggap doktrin keadilan sebagai rukun

iman. Dalam prakata untuk buku kami “al-‘Adl al-Ilâhi”

(Keadilan Ilahi), kami katakan bahwa doktrin keadilan

memiliki dua segi: Keadilan Ilahiah dan keadilan

manusiawi. Lagi, keadilan Ilahiah dibagi menjadi dua

bagian: (1) keadilan kreasional dan (2) keadilan

manusiawi legislatif. Keadilan manusiawi legislatif

juga memiliki dua fase: (a) keadilan individual dan (b)

keadilan sosial. Keadilan yang dipandang sebagai ciri

khas doktrin atau prinsip Syiah dan oleh kaum Syiah

diyakini sebagai rukun iman adalah keadilan Ilahiah.

Keadilan Ilahiah merupakan bagian integral dari

konsepsi Islam tentang alam semesta.

Arti keadilan Ilahiah adalah bahwa Allah adil, dan

dalam sistem penciptaan dan sistem pembuatan Undang-

undang-Nya Allah bertindak sesuai dengan kebenaran dan

keadilan. Kenapa prinsip keadilan menjadi rukun iman

bagi kaum Syiah, alasannya adalah karena sebagian kaum

Muslim sedikit banyak telah menafikannya, dan penafian

ini sungguh bertentangan dengan kemerdekaan manusia.

Mereka menafikan bekerjanya prinsip sebab-akibat dalam

sistem alam semesta maupun dalam urusan manusia. Mereka

berpendapat bahwa takdir ilahi bekerja langsung, tidak

menggunakan perantara sebab-akibat. Menurut mereka, api

tidak membakar, namun Allah lah yang membakarnya.

Begitu pula, magnet tak punya peran dalam menarik besi

ke arahnya, namun Allah lah yang menarik besi itu ke

arah magnet. Manusia tidak berbuat baik dan juga tidak

berbuat buruk, namun Allah lah yang berbuat seperti itu

secara langsung melalui perantara manusia.

Di sini muncul pertanyaan penting: jika sistem sebab-

akibat tidak ada, dan manusia tak memiliki daya untuk

memilih, kenapa seseorang diberi pahala atau hukuman

untuk perbuatan baik atau dosa yang dilakukannya?

Kenapa Allah memberikan pahala kepada sebagian orang

dan memasukkan mereka ke dalam surga, dan kenapa Allah

menghukum sebagian lainnya dan mencampakkan mereka ke

dalam neraka, bila Allah sendiri yang melakukan semua

perbuatan baik dan buruk? Jika manusia tak memiliki

kemerdekaan dan tak punya pilihan, maka tidaklah adil

dan bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah bila

menghukum manusia karena perbuatan yang berada di luar

kemampuannya.
Sebagian besar orang Syiah dan sebagian orang Sunni

(kaum Mu’tazilah) menolak teori yang menyebutkan bahwa

manusia dipaksa (tak punya pilihan—pen.) dan bahwa

takdir Ilahiah bekerja langsung di dunia ini. Menurut

mereka, teori atau pandangan ini bertentangan dengan

prinsip keadilan. Di samping mengemukakan argumen-

argumen berbasis nalar, mereka juga mengutip ayat Al-

Qur’an Suci dan hadis untuk mendukung keyakinan mereka.

Itulah sebabnya mereka dikenal dengan sebutan ‘Adliyah

(kaum pendukung keadilan).

Dan uraian di atas, jelaslah selain fakta bahwa prinsip

keadilan merupakan prinsip Ilahiah dan berkaitan dengan

salah satu sifat Allah, prinsip keadilan juga merupakan

prinsip manusiawi, karena prinsip keadilan juga

menyangkut kemerdekaan manusia dan kemampuan manusia

untuk memilih. Karena itu, bagi kaum Syiah dan kaum

Mu’tazilah, arti mengimani prinsip keadilan adalah

percaya bahwa manusia itu merdeka, bahwa manusia itu

ber-tanggung jawab, dan bahwa manusia itu punya peran

membangun.

Pertanyaan yang sering kali mengusik benak kita dalam

kaitannya dengan keadilan Ilahiah, khususnya di zaman

modern ini, menyangkut kasus-kasus tertentu perbedaan

sosial. Mengapa sebagian orang buruk rupa, sementara

sebagian lainnya rupawan; kenapa sebagian orang sehat,

sementara sebagian lainnya sakit-sakitan, kenapa

sebagian orang kaya dan berpengaruh, sementara sebagian

lainnya miskin dan tak punya pengaruh?

Bukankah perbedaan ini bertentangan dengan prinsip

keadilan Ilahiah? Bukankah keadilan Ilahiah menghendaki

kesamaan bagi semua orang dalam hal kekayaan, usia,

jumlah anak, posisi sosial, popularitas dan

kemasyhuran, dan tidak menghendaki adanya perbedaan

dalam hal-hal ini? Apakah perbedaan dalam hal-hal ini

dapat dijelaskan dengan cara lain selain mengimani

takdir Ilahiah?
Pertanyaan ini timbul akibat tidak memperhatikan

bagaimana kerjanya takdir Ilahiah. Rupanya si penanya

beranggapan bahwa takdir Ilahiah bekerja langsung,

bukan melalui perantara sebab-akibat. Nampaknya juga si

penanya berpikiran bahwa kesehatan, rupawan, kekuasaan,

posisi, popularitas dan karunia-karunia lain Allah

dibagikan langsung kepada manusia oleh tangan gaib yang

mengambil karunia-karunia tersebut langsung dari tempat

penyimpanan karunia.

Fakta bahwa karunia, entah yang material atau yang

spiritual, tidak dibagikan langsung, kurang mendapat

perhatian yang memadai. Takdir Ilahiah telah membangun

sistem dan sejumlah hukum serta norma. Siapa pun yang

menghendaki sesuatu, dia harus berupaya mendapatkan

sesuatu itu melalui sistem itu, dan dengan mengikuti

hukum dan norma itu.

Terjadinya kesalahpahaman juga akibat kurang

memperhatikan posisi manusia sebagai makhluk yang

bertanggung jawab yang berupaya memperbaiki dan

meningkatkan kondisi hidupnya, yang melawan rintangan-

rintangan alam dan yang berupaya keras melawan

keburukan sosial dan tirani.
Kalau terjadi perbedaan dalam masyarakat manusia, dan

bila ada orang yang punya segalanya serta ada orang

yang nasibnya cuma harus selalu berjuang keras untuk

mendapatkan sesuap nasi, maka yang bertanggung jawab

atas keadaan seperti ini bukanlah takdir Ilahiah.

Manusialah yang bertanggung jawab atas terjadinya

perbedaan itu, karena manusia itu sendiri merdeka.