Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Perjuangan Mustadh'afin

1 Pendapat 05.0 / 5

Al-Quran tak pernah menyebut kata kemerdekaan. Istilah

itu memang punya makna spesifik dalam sejarah manusia.

Ketika masyarakat terdiri dari dua macam anggota -orang

merdeka dan budak- merdeka berarti bebas dari

perbudakan. Al-Quran menyebut kata budak dan tuan, abd

dan mawla.

Ketika dunia terdiri dari bangsa yang menjajah dan

bangsa yang terjajah, merdeka berarti melepaskan diri

dari penjajahan bangsa lain. Kemerdekaan menjadi sebuah

konsep dalam hubungan internasional. Indonesia disebut

merdeka karena ia melepaskan diri dari kekuasaan

Belanda. Kata bangsa juga didefinisikan sebagai satu

kelompok besar manusia-apa pun ras dan etniknya-yang

mempunyai penjajah yang sama.

Al-Quran tak menyebut bangsa penjajah dan bangsa

terjajah. Tetapi Al-Quran berkisah tentang kelompok-

kelompok manusia -boleh jadi terdiri dari satu bangsa

atau bangsa-bangsa lain yang berlainan- yang

berhubungan satu sama lain dengan sistem yang tidak

adil. Alih-alih menyebut penjajah dan yang dijajah,

Al-Quran menyebut alladzinastakbaru dan

alladzinastudh’ifu. Ada kelompok yang arogan dan

penindas serta ada kelompok yang dilemahkan atau

ditindas. Karena bertahan hidup dalam sistem yang tidak

adil, keduanya disebut sebagai orang-orang zalim.

Penduduk negeri mana pun, yang mempertahankan sistem

yang zalim, akan dihempaskan dalam pengadilan Tuhan.

Keduanya nanti akan saling menyalahkan.

Sekiranya kamu melihat peristiwa dahsyat ketika orang-

orang zalim dihadapkan pada Tuhan mereka sambil mereka

saling melemparkan omongan satu sama lain. Berkata

orang-orang yang tertindas kepada mereka yang arogan:

Sekiranya tidak karena kamu, tentulah kami termasuk

orang-orang yang beriman. Berkata para penguasa arogan

kepada orang-orang tertindas: Betulkah kami yang

menyimpangkan kamu dari petunjuk setelah petunjuk itu

datang kepada kamu? Justru kamu sendiri yang berdosa.

Berkata orang-orang yang tertindas kepada penguasa yang

arogan: Tidak, bukankah kamu yang membuat rekayasa

siang dan malam ketika kalian menguasai kami dengan

memerintahkan kami ingkar kepada Tuhan dan mengangkat

saingan-saingan Tuhan.

Kedua belah pihak merasakan penyesalan ketika mereka

melihat azab dan kami jadikan belenggu di atas kuduk

orang-orang kafir. Mereka tidak dibalas kecuali dengan

apa yang mereka kerjakan.

Di depan Tuhan, orang-orang tertindas mengadu kepada

Tuhan. Mereka mempersalahkan para penguasa arogan untuk

dosa-dosa mereka. Sebaliknya, para penindas menolak

tuduhan itu dengan mengatakan bahwa kebenaran sudah

datang kepada mereka. Di sini Al-Quran tidak

menjelaskan penindasan dengan cara Marxian, yakni

menimpakan semua kesalahan kepada pihak penindas.

Al-Quran tidak membangkitkan kesadaran kelas. Baik

penindas maupun orang tertindas, bertanggung jawab atas

sistem yang tidak adil. Penindas bersalah karena

arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Orang

tertindas bersalah karena menerima penindasan itu

dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu,

penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan

orang-orang yang ditindas tidak bangkit menumbangkan

sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang,

merekayasa, mendesain berbagai peristiwa untuk menipu

orang-orang tertindas. Pada gilirannya, kaum

mustadh’afin tak pernah mau berpikir kritis, sehingga

dengan mudah digiring ke dalam rekayasa para penindas.

Inilah penjelasan Al-Quran untuk negara-negara yang

hidup dalam sistem yang zalim. Karena kasih sayangnya,

Tuhan selalu mengirimkan para pembaharu, para pemberi

peringatan. Sayangnya, kaum mustakbirin menolak mereka

dengan membanggakan kekayaan dan para pengikutnya; kaum

mustadhafin mencurigai mereka karena rekayasa kaum

mustakbirin.

Al-Quran juga menyebutkan, “Dan kami tidak mendatangkan

kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan kecuali

orang-orang yuang hidup mewah di negeri itu akan

berkata kepadanya: Sesungguhnya kami menolak misi kamu.

Seraya mereka berkata: Kami lebih banyak kekayaan dan

anak buah dari kamu dan kami tidak akan disiksa.

Katakan sesungguhnya Tuhanku meluaskan dan menyempitkan

rezeki kepada siapa yang dikehendakinya. Tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Para pemberi peringatan itu dahulu adalah para nabi,

yang salah satu tugasnya ialah “...membuang beban-beban

yang menghimpit mereka dan melepaskan belenggu-belenggu

yang memasung mereka.” (QS. Al-A’raf: 157). Perjuangan

kemerdekaan bukan hanya mengusir penjajah asing, atau

menghancurkan orang-orang kaya, atau menggantikan satu

rezim dengan rezim yang lain. Perjuangan kemerdekaan

adalah penciptaan suatu kondisi ketika orang-orang yang

kaya dan berkuasa bekerja sama dengan orang miskin dan

lemah membangun tatanan sosial yang adil. Kedua pihak

berjuang -dalam istilah Al-Quran- “dalam jalan Allah

dan jalan mustadhafin.” Dengan begitu, mereka menjadi

kelompok yang mengemban misi Ilahi: melindungi dan

menyelamatkan bangsa dari sistem yang menindas.

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan di

jalan kaum mustadh’afin -yakni laki-laki, perempuan,

dan anak-anak yang tertindas- yang berkata: Tuhan kami,

keluarkan kami dari negeri yang penduduknya orang

zalim. Jadikan bagi kami dari sisi-Mu pelindung dan

berilah kami dari sisi-Mu pembela.” (QS. Al-Nisa: 75)

Mereka yang menjerit memohonkan kehadiran kaum pembela

itu bukan hanya orang-orang tua kita di zaman Belanda,

tetapi juga penduduk Indonesia pada zaman Orla ketika

mereka ramai-ramai memuja Soekarno dan menahan lapar

demi revolusi; juga bangsa Indonesia pada zaman Orba

ketika tanah mereka digusur, anak-anak mereka diculik,

dan keamanan hidup mereka diancam; saya takut, juga

bangsa Indonesia kini yang memperingati kemerdekaan

dengan perut yang lapar, jiwa yang frustasi, dan hati

yang mencemaskan hari esok. Pemerintahan berulang kali

berganti, tetapi kita masih juga termasuk kaum

mustadh’afin. (*)