Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Pemahaman Jihad dalam Perspektif Islam di Indonesia*

1 Pendapat 05.0 / 5

Kata jihad cukup populer di dunia Islam temasuk di

Indonesia, bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa

jihad merupakan salah satu prinsip dasar ajaran Islam.

Sayang, kata ini sering kali dikerdilkan maknanya atau

dan digunakan bukan pada tempatnya.

Kata jihad terambil dari Bahasa Arab: jahd, yang pada

mulanya berarti kesulitan/kesukaran atau juhud, yakni

kemampuan. Kedua makna tersebut mengisyaratkan bahwa

jihad yang sebenarnya tidaklah mudah, tetapi dapat

menjadikan sang mujahid berhadapan dengan aneka

kesulitan dan kesukaran. Sang Mujahid juga dituntut

untuk tidak berhenti sebelum kemampuannya berakhir atau

cita-citanya terpenuhi. Itu sebabnya dalam perjuangan

merebut kemerdekaan, para mujahid/pejuang bangsa kita

berpekik, “Merdeka atau mati.”

Merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam―al-Qur’an dan

Sunnah Nabi saw.―ditemukan aneka ragam jihad bermula

dari jihad dengan hati untuk melahirkan/mengukuhkan

tekad, dengan lidah untuk menjelaskan dan membuktikan

kebenaran, dengan tenaga, dengan harta, sampai dengan

nyawa, demi tegaknya nilai-nilai ajaran Islam:

من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله

“Siapa yang berjuang demi tegaknya kalimat Allah, maka

dia telah menelusuri sabilillah/jalan Allah.”

Demikian sabda Nabi saw. Jadi, tujuannya bukan

menumpahkan darah, apalagi membunuh, tetapi meninggikan

nilai-nilai agama Allah. Perlu dicatat bahwa salah satu

dari ajaran agama Allah adalah memberi kebebasan kepada

setiap penganut agama/kepercayaan untuk melaksanakan

tuntunan agama/kepercayaan mereka―walau tuntunan

tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Itu yang

ditegaskan oleh firman Allah yang pada mulanya

ditujukan kepada para kaum musyrik penyembah berhala,

“Lakum dînukum wa liya dîn.” Memang jika mereka

menghalangi kaum Muslimin untuk melaksanakan tuntunan

agama, maka sikap mereka harus dihadapi dengan cara apa

pun walau sampai tingkat pertempuran.

Atas dasar yang dikemukakan di atas adalah sangat

keliru membatasi makna jihad hanya pada peperangan

bersenjata. Bukankah Allah telah memerintahkan Nabi

Muhammad saw. untuk berjihad dengan menggunakan al-

Qur’an ketika beliau masih di Mekkah―dimana kekuatan

bersenjata ketika itu belum beliau miliki? Allah

berfirman:

فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًاكَبِيرًا

Janganlah patuh kepada orang-orang kafir dan

berjihadlah menghadapi mereka dengan al-Qur’an jihad

yang besar (QS. al-Furqân [25]: 52).

Jihad yang dimaksud di sini pasti bukan penggunaan

kekerasan, tetapi ia adalah berusaha dengan semua

kemampuan membulatkan tekad menghadapi kesulitan serta

upaya menjelaskan nilai-nilai agama kepada mereka yang

menentangnya.

Bukankah Allah memerintahkan Nabi saw. untuk berjihad

menghadapi orang-orang musyrik dan munafik?

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Wahai Muhammad, berjuanglah melawan orang-orang kafir

yang menyatakan kekafirannya dan orang-orang munafik

yang menyembunyikan hakikat mereka dengan segala

kekuatan dan bukti yang kamu miliki. Bersikap keraslah

dalam berjuang melawan kedua kelompok tersebut. Tempat

tinggal mereka adalah Jahannam. Seburuk-buruk tempat

kembali adalah tempat mereka. (QS. at-Tahrîm [66]: 9)

Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir

dan orang munafik dan bersikap tegaslah terhadap

mereka! Tempat mereka kelak di Jahannam dan itu adalah

seburuk-buruk tempat kembali (QS. at-Tahrîm [66]: 9 dan

at-Taubah [9]: 73).

Sejarah menjelaskan bahwa tidak seorang munafik pun

yang beliau hukum mati―walau pelanggaran beratnya telah

berulang kali seperti halnya pemimpin kaum munafik,

Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika Sayyidina Umar

mengusulkan kepada Nabi saw. agar yang bersangkutan

dihukum mati, beliau bersabda: “Nanti orang akan

berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.”

Jika demikian, arti jihad pada ayat di atas pun

bukanlah penggunaan senjata/pertempuran.

Bukankah sangat populer riwayat yang menyatakan bahwa

Nabi saw. bersabda ketika kembali dari Perang Tabuk

bahwa: “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju

jihad yang besar?” Di sisi lain diriwayatkan bahwa

istri Nabi saw., as-Sayyidah ‘Aisyah pernah bertanya

kepada Nabi saw., “Apakah wanita wajib juga berjihad?”

Nabi memberi salah satu contoh dari jihad perempuan

dengan bersabda: “Jihad mereka Haji dan Umrah.” “Apakah

ada jihad tanpa peperangan?” Nabi menegaskan: “Ya. Ada

jihad tanpa pertempuran.”

Hal lain yang menunjukkan bahwa jihad bukanlah

bertujuan dasar membunuh atau melakukan kekerasan

adalah bahwa Nabi saw. dalam aneka pertempuran selalu

menawarkan kepada lawan―sebelum bertempur tiga

alternatif: a) Memeluk Islam atau b) Tetap memeluk

agama/kepercayaan mereka, tapi menjadi penduduk yang

baik dengan membayar jizyah (pajak sebagai imbalan

pembelaan terhadap mereka serta penggunaan mereka

terhadap fasilitas umum), atau c) Ditindak/diperangi

jika mereka menolak kedua tawaran tersebut. Penindakan

itu pun tidak otomatis berarti pembunuhan.

Dalam al-Qur’an, kata jihad dalam berbagai bentuknya

terulang sebanyak 41 kali. Umumnya bermakna upaya

sungguh-sungguh menjelaskan nilai-nilai ajaran Islam

serta membelanya. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud oleh al-Qur’an dan Sunnah dengan jihad

adalah berjuang menggunakan segala kemampuan dan daya

yang dimiliki untuk menghadapi segala macam musuh Islam

dan musuh kemanusiaan dalam berbagai bidang, segala

macam keburukan atau yang mengantar kepada keburukan.

Setiap Muslim berkewajiban melawan nafsu setan,

kebodohan, penyakit, kemiskinan dan lain-lain. Ini

berarti bahwa setiap Muslim wajib berjihad sepanjang

hayatnya. Ini demikian karena manusia memiliki dalam

dirinya potensi negatif dan positif. Dunia adalah arena

pertarungan antara kebaikan dan keburukan sehingga

dengan demikian jihad harus dilakukan sepanjang hayat

dan jihad harus berlanjut sampai kiamat karena

keburukan selalu ada dan beraneka ragam.

 

Jihad dan Ijtihad

Pada masa kejayaan Islam, jihad dalam berbagai bidang

itu terlaksana dengan baik serta didukung oleh apa yang

dinamai ijtihad, yang secara umum dapat diartikan

sebagai upaya berpikir secara sungguh-sungguh guna

menemukan solusi keagamaan/hukum untuk aneka masalah

yang dihadapi umat/masyarakat. Tetapi ketika kelemahan

intelektual muncul dan kesimpang-siuran fatwa

merajalela sehingga membingungkan umat, lahirlah ide

menutup pintu ijtihad. Sehingga, ketika itu hampir

tidak ada lagi ide-ide baru yang sesuai dengan

perkembangan masyarakat. Nah, ketika itu terjadi,

kepincangan antara kekuatan fisik negara dengan akal,

antara pedang dan pena. Salah satu akibatnya adalah

mengerdilkan makna jihad menjadi kekuatan fisik dan

pertempuran semata-mata, tidak lagi dipahami sebagai

upaya sungguh-sungguh menghadapi aneka musuh agama dan

kemanusiaan.

Dampak dari kenyataan di atas terlihat, antara lain

pada bangkitnya upaya memurnikan agama dan

mempertahankan apa yang diamalkan oleh Rasul saw. dan

sahabat-sahabat beliau. Mereka menolak pembaharuan,

bahkan mengabaikan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh

ulama-ulama―masa lampau sekalipun―yang menyatakan bahwa

ketetapan hukum harus mempertimbangkan ‘illat/sebab

ditetapkannya sehingga jika ‘illat-nya tidak ada lagi,

maka hukum pun tidak berlaku lagi.

Sebagai contoh, patung-patung dilarang karena dahulu ia

disembah, sehingga kini jika tidak disembah lagi, maka

mestinya yang ada tidak harus dihancurkan. Inilah yang

dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw., antara lain

oleh mereka yang ke Mesir yang hingga kini patung-

patung tersebut terpelihara dengan baik. Menurut para

pemurni agama itu, “Agama telah sempurna. Semua telah

dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasul saw. sehingga

semua yang tidak beliau lakukan dan atau tidak

dilakukan oleh sahabat-sahabat beliau adalah bid’ah

yang harus dilarang. Mereka bermaksud mengembalikan

masyarakat Islam ke masa Nabi saw. dan sahabat-sahabat

beliau yang mereka nilai bahwa itulah masa keemasan

Islam yang diperjuangkan dengan jihad dalam maknanya

yang terbatas. Kekhalifahan harus dikembalikan tanpa

mempertimbangkan berkembang dan mantapnya paham

Nasionalisme di seluruh persada bumi. Menghormati

bendera adalah syirik, Pancasila adalah kekufuran,

patung-patung bersejarah harus dihancurkan, perempuan

harus sangat dibatasi kegiatannya dan bisa jadi ada

yang berkata: Poligami harus digalakkan karena Nabi

saw. berpoligami dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa

dasar-dasar kehidupan masyarakat yang diajarkan Islam

dan yang diterapkan untuk runtuh. Kebhinekaan dihapus,

candi-candi dan gereja-gereja dihancurkan. Sikap

semacam itu bukanlah isapan jempol, tetapi benar-benar

terbukti dalam kenyataan di wilayah-wilayah yang

dikuasai oleh ISIS Al-Qaedah di Timur Tengah dan Boko

Haram di Nigeria.

Persoalan tidak akan terlalu parah jika pandangan

mereka itu tidak disertai dengan semangat menggebu-gebu

untuk memperjuangkannya dengan berbagai cara kekerasan.

Gejala-gejala semacam itu mulai amat terasa dan

terlihat di Indonesia, antara lain dengan

bermunculannya aneka tulisan, lebih-lebih melalui dunia

maya yang menghidangkan kekerasan serta gencarnya

secara tuduhan dan fitnah terhadap sekian banyak tokoh

yang tidak sepaham dengan mereka. Padahal tokoh

tersebut tidak melakukan, kecuali mengajak umat

bersikap berpegang teguh dengan pandangan mayoritas

umat Islam sedunia, serta bersikap toleran dan

menghormati semua pendapat selama pendapat tersebut

bercirikan kedamaian. Tentu saja penghormatan itu tidak

otomatis berarti menerimanya.

 

 

Jihad dan Mujahadah

Mereka yang menyalahpahami pengertian jihad sebagaimana

yang diajarkan Islam, sering kali juga melupakan syarat

mutlak bagi tegaknya jihad dalam berbagai ragam dan

aspeknya, yakni apa yang diistilahkan dengan mujahadah.

Mujahadah adalah upaya menekan gejolak nafsu dan aneka

rayuan yang dapat mengalihkan seseorang dari tujuan

yang benar. Mujahadah dibutuhkan setiap saat, termasuk

ketika melaksanakan jihad, lebih-lebih dalam konteks

pertempuran. Ia dibutuhkan sebelum, pada saat, dan

sesudah pertempuran. Sebelum pertempuran, sang mujahid

dituntut memahami dan menghayati tujuan sambil

membentengi jiwanya dari aneka ambisi duniawi,

kepentingan pribadi atau kelompok. Saat pertempuran ia

harus selalu mengingat tujuan pertempuran sehingga ia

tidak terdorong untuk melakukannya akibat dendam

pribadi serta bersedia segera menghentikannya jika

tujuan telah tercapai atau jika tujuan telah menyimpang

dari apa yang dibenarkan agama. Sedang setelah usainya

pertempuran, ia masih dituntut untuk terus memelihara

hatinya agar jangan sampai kemenangan menjadikannya

angkuh atau berlaku sewenang-wenang terhadap pihak

lain.

 

 

Kesalahpahaman tentang Makna Jihad

Kesalahpahaman tentang makna jihad itu diperparah juga

melalui sekian banyak kitab, bahkan melalui terjemahan

beberapa ayat al-Qur’an. Misalnya kata qitâl tidak

jarang mereka pahami dalam arti pembunuhan, padahal

kata itu bermakna peperangan/kutukan, sikap tegas yang

tidak selalu mengakibatkan pembunuhan. Kata anfusikum

diartikan sebagai jiwa/nyawa, padahal ia berarti

seluruh totalitas manusia, yakni nyawa, atau fisik,

ilmu, tenaga, pikiran, bahkan waktu karena semua hal

tersebut tidak dapat dipisahkan dari totalitas manusia.

Para Radikalist itu memahami iman sebagai pembenaran

hati atas apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

disertai dengan pengamalannya sehingga menurut mereka

seseorang tidaklah dinilai beriman apabila tidak

melaksanakan ajaran Islam secara baik dan benar. Mereka

menilai bahwa kemusyrikan bukan sekadar keyakinan

tentang berbilangnya Tuhan, tetapi juga yang mengakui

keesaan-Nya tanpa mengamalkan syariat adalah seorang

yang boleh dibunuh. Tulisan menyangkut ide di atas

ditemukan, antara lain dalam buku yang tersebar di

sekian banyak sekolah di Indonesia, termasuk Jawa

Timur.

Mereka mengumandangkan bahwa “La hukma illâ lillâh”.

Semua pemerintahan yang tidak menetapkan hukum berdasar

ketentuan Allah adalah Thagût (melampaui batas ajaran

Islam) dan dinilai kafir, lagi harus diperangi.

Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,

Pemerintahannya pun mereka nilai Thagût/Tirani dan

kafir. Mereka merujuk pada firman Allah: “Siapa yang

tidak menetapkan sesuai dengan apa yang diturunkan

Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir) QS. al-

Mâ’idah [5]: 44). Kekeliruan mereka menurut para pakar

di bidang al-Qur’an dan Sunnah adalah memahami kata

kafir dalam arti sempit, padahal al-Qur’an menggunakan

kata itu untuk berbagai makna, seperti “tidak

bersyukur” (QS. Ibrâhîm [14]: 7) atau “berpecah belah”

(QS. Âli ‘Imrân [3]: 106). Memang kekufuran beraneka

ragam dan bertingkat-tingkat sehingga pada akhirnya

kekufuran dapat disimpulkan dalam arti melakukan

kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai/tujuan.

Puncaknya adalah mengingkari wujud/Keesaan Allah, dan

inilah yang menjadikan seseorang dinilai keluar dari

agama, itu pun tidak serta merta harus dibunuh.

Pemimpin Tertinggi Al-Azhar dewasa ini (sejak 2010 M),

Syaikh Ahmad ath-Thayyib, dalam makalahnya yang

disampaikan pada Muktamar Al-Azhar menghadapi

ekstremisme dan terorisme (Desember 2014 M), menyatakan

bahwa: “Kelompok Pengafiran modern pada mulanya lahir

di penjara-penjara dan tahanan-tahanan, didorong oleh

siasat penyiksaan yang diperlakukan terhadap pemuda-

pemuda yang bergabung dengan pergerakan-pergerakan

Islam. Mereka dituntut―ketika itu―(sebelum 1967 M)

untuk mengumumkan dukungan mereka terhadap penguasa.

Nah, ketika itu sebagian besar bersegera menandatangi

surat dukungan, tetapi sebagian kecil menolak dan

menilai sikap mereka yang mendukung itu adalah sikap

lemah dan menghindari pembelaan agama. Mereka bertahan

dalam pendiriannya dan berkeras mempertahankan sikap

penolakan. Lalu berberapa waktu kemudian, mereka

menjauh dari teman-teman mereka yang mendukung itu dan

menyatakan bahwa teman-teman mereka itu telah kafir

karena mendukung penguasa kafir. Mereka juga menilai

masyarakat dengan semua anggotanya telah kafir karena

mendukung penguasa kafir. Tidak ada gunanya shalat,

tidak juga puasa bagi mereka yang mendukung penguasa.

Cara untuk keluar dari kekufuran adalah bergabung

dengan para “mujahidin”. Inilah awal dari kemunculan

kelompok Pengafiran setelah kelompok al-Khawarij (masa

lalu) terbenam ditelan sejarah. Demikianlah lahir

fenomena pengafiran baru melalui pemuda-pemuda yang

tidak memiliki kemampuan ilmiah dan budaya―kecuali

semangat―dan reaksi yang tidak tepat serta balas dendam

si lemah atas penyiksa yang sewenang-wenang. Mereka

melakukan pengafiran karena itulah cara yang tercepat

untuk melukiskan keadaan mereka yang pahit itu.”

Jadi, radikalisme dan pengafiran bukan atas dasar

pemikiran yang sehat, atau argumen keagamaan yang

sahih, tetapi semata-mata keinginan balas dendam. Itu

kemudian disambut dengan antusias oleh mereka yang

tidak paham agama dan tergiur oleh janji-janji

perolehan surga serta sambutan bidadari-bidadari.

Demikian sedikit yang dapat diuraikan menyangkut makna

jihad dan implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat.

Wa Allâh A’lam.

*Disampaikan dalam Sarasehan Formpimda dengan seluruh

elemen masyarakat daerah Jawa Timur oleh Kapolda Jatim di Surabaya.