Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keharusan Adanya Imam

1 Pendapat 05.0 / 5

1.    Dalil Hikmah

Sesungguhnya manusia bertolak dari fitrahnya yang lurus

senantiasa mencari kesempurnaan yang merupakan tujuan

akhir penciptaan.

Akan tetapi, jalan kesempurnaan yang berusaha dilalui

oleh manusia ini sering kali dihalangi oleh berbagai

rintangan dan bahaya. Sehingga, untuk menemukan jalan

kesempurnaan itu tanpa bimbingan orang lain adalah

suatu perkara yang mustahil diraih.

Dari sini, wajib ada jalan yang menjarnin

terrealisasinya tujuan ini agar tujuan akhir penciptaan

manusia dapat tercapai.

Masalah ini gampang dipecahkan pada masa Nabi saw,

hanya saja tantangan terus berlangsung sepeninggal Nabi

saw. Sebab, masalah ini tidak hanya terbatas pada zaman

tertentu.

Oleh karena itu, adanya seorang yang sempurna yang

menjadi petunjuk dalam perjalanan manusia adalah suatu

keharusan.

Manusia yang sempurna ini adalah “imam”, yakni seorang

yang maksum yang menegakkan bendera tauhid, yang

memenuhi semua karakter seorang imam sebagai manusia

yang sempurna.

Dia (imam) laksana matahari yang menyinari manusia dan

memberi petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan

mencari jalan sehingga menemukanjalannya.

Dia adalah manusia yang merefleksikan sinar dari langit

dan perantara antara alam gaib dan alam nyata. Dia

adalah seorang manusia yang menclapat perlindungan dari

langit dan penjagaan dari kesalahan, dosa, dan

kekurangan.

Sangatlah mustahil bahwasanya Allah Swt menentukan

tujuan akhir penciptaan berupa kesempumaan ideal,

tetapi kemudian Dia tidak menjadikan hal itu terpancar

dalam diri seseorang yang menjadi petunjuk dan penerang

untuk memungkinkan tercapainya tujuan yang ideal itu.

2.    Dalil Luthf (Kelembutan) Allah

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla Maha Lembut terhadap

hamba-hamba-Nya dan telah melimpahkan rahmat-Nya

kepacla mereka. Seandainya saja manusia mau merenungkan

apa yang telah dianugerah Allah Swt berupa nikmat-

nikmat-Nya yang telah dicurahkan kepadanya, niscaya dia

akan mengetahui hakikat terbesar. Yaitu, bahwasanya

Allah adalah Rahmat dan Kelembutan Yang Mutlak.

Mata, misalnya, adalah anggota tubuh yang dengannya

kita dapat melihat apa yang ada di sekitar kita,

seperti keindahan. Allah telah menjaga mata kita ini

dari kemasukan debu dengan memberi bulu mata, dan

melindungi dari keringat dengan memberi alis.

lni hanya sedikit contoh nikmat-nikmat Allah Swt yang

berlimpah, yang semuanya menyuarakan hakikat ini.

Di antara kelembutan Allah Swt, Dia menjadikan untuk

kita seorang pemberi petunjuk dan pemimpin yang

mengarahkan kita pada jalan kebahagiaan dan menuntun

kita menuju kesempumaan. Sebab, pemimpin termasuk

kebutuhan manusia yang urgen yang tersimpan dalam

fitrah kemanusiaan. Dan mustahil Allah akan membiarkan

hamba-hamba-Nya itu dalam keadaan kehausan atau

mencegah mereka dari nikmat-Nya ini.

Sesungguhnya Allah Swt meletakkan dalam diri kita rasa

haus, dan Dia pula yang menciptakan air agar kita dapat

meminumnya sampai puas. Dia meletakkan dalam diri kita

keinginan untuk mencari kesempumaan, maka Dia

mengangkat bagi kita seseorang yang dapat membantu kita

dalam merealisasikan tujuan yang agung ini.

3.    Dalil Naqli

Di samping dalil akal tentang imamah yang telah kita

sebutkan di atas, terdapat juga dalil-dalil naqli, yang

bersumber dari al-Quran al-Karim dan riwayat hadis Nabi

saw dan para imam Ahlul Bait. Di antaranya aclalah

berikut ini.

a.    Ayat Imamah

Allah Swt berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim

diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan

larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh

manusia. “Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari

keturunanku.” Allah berfirman, “janji-Ku (ini) tidak

mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah [2]:

124.)

Pertama, informasi ayat di atas adalah jelas, yakni

bahwasanya kedudukan imamah berbeda dengan kedudukan

kenabian.

Kedua, kedudukan imamah lebih tinggi daripada kenabian.

Dalilnya adalah bahwasanya Allah ‘Azza wa jalla

memberikan kabar gembira kepada Ibrahim as dengan

imamah padahal sebelumnya beliau adalah seorang nabi.

Ketiga, sesungguhnya imamah adalah janji Tuhan (yang

dianugerahkan kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya)

yang tidak ada campur tangan manusia. Jadi, imamah

adalah pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia.

Empat, sesungguhnya imam itu maksum sepanjang hidupnya.

Sebab, kesalahan itu suatu kezaliman, sedangkan imamah

tidak akan mengenai orang yang zalim, sebagaimana juga

imam tersucikan dari kemusyrikan karena syirik kepada

Allah itu adalah kezaliman yang besar.

Kelima, sesungguhnya ayat imamah tersebut menetapkan

imamah bagi Ibrahim dan sebagian keturunannya. Oleh

karena itu, Sayyidina Muhammad saw adalah imam semenjak

pemulaan risalah beliau.

Keenam, sesungguhnya diadakannya imam itu demi

kepentingan manusia, yakni bahwasanya umat ini

membutuhkan seorang imam.

b.    Ayat Ulil Amri

AI-Quran AI-Karim mengatakan, “Hai orang-orang yang

beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan

ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan

pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada

Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.

Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya.” (QS An Nisa’ [4]: 59)

Ayat tersebut menginformasikan kepada kita hal-hal

berikut ini:

Pertama, sesungguhnya ayat tersebut memerintahkan

orang-orang yang beriman untuk menaati tiga kelompok,

yaitu: Allah ‘Azza wa Jalla, Rasulullah saw, dan ulul

amri.

Kedua, sesungguhnya ketaatan kepada Allah -ketaatan

yang wajib secara rasional- berbeda dengan ketaatan

kepada Nabi saw dan ulul amri.

Berdasarkan hal ini, di samping adanya perintah-

perintah Allah yang disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran

dan riwayat, maka ketaatan kepada Nabi saw dan ulil

amri-dalam pengaturan masyarakat-adalah wajib. Sebab,

menaati Rasulullah saw termasuk bentuk ketaatan kepada

Allah Swt.

AI-Quran AI-Karim mengatakan, “Barang siapa yang

menaati Rasul itu, sesungguhnya dia telah menaati

Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan

itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi

pemelihara bagi mereka.” (QS. an-Nisa’ [4]: 80)

Ketiga, Nabi saw dan ulul amri haruslah maksum. Jika

tidak demikian, maka akan terjadi pertentangan antara

perintah Allah dan perintah mereka (Nabi saw dan ulil

amri).

Hal ini terlihat jelas pada seorang penguasa (ulil

amri) yang fasik, yang terkadang dia meminum khamar dan

menyuruh orang lain untuk meminumnya. Maka, bagaimana

sikap seorang Muslim terhadap perintah semacam ini?

Bagaimana sikapnya antara wajib taat (kepada penguasa)

dan haramnya perbuatan itu?

Keempat, sesungguhnya semua perintah ulil amri hams

sejalan dengan perintah Nabi saw, inilah yang

digambarkan oleh ayat tersebut dalam kesederajatan

ketaatan kepada mereka. Ayat itu mengatakan “Taatilah”,

termasuk ketaatan kepada Rasulullah saw dan ulil amri

secara bersamaan.

Kelima, penggunaan kata amr disebutkan dalam al-Quran

dengan tiga pengertian: dengan arti amr (perintah) dan

bentuk pluralnya awamir. Kedua, dengan pengertian

perbuatan (‘amal) dan terkadang dimaksudkan untuk hal

abstrak sebagai lawan dari kata inderawi. Namun yang

jelas, bahwa yang dimaksud adalah pengertian yang

pertama dan yang kedua. Dengan demikian, maka

pengertian ulil amri adalah para penguasa dan

administratur masyarakat.

Keenam, siapakah ulil amri itu? Nyatanya ayat tersebut

secara jelas menyebutkan tentang kewajiban menaati ulir

amri dan mereka itu adalah orang-orang yang maksum.

Di sisi lain, kita melihat bahwa orang-orang yang

menjadi penguasa kaum Muslim, dengan ijmak kaum Muslim

-dengan pengecualian Ali as- bukanlah orang-orang yang

maksum.

Sejarah telah mencatat bahwa banyak hukum yang

dikeluarkan oleh mereka (para penguasa) yang

bertentangan dengan perintah-perintah Allah. Dan Ali

bin Abi Thalib as seringkali mengingatkan kesalahan-

kesalahan tersebut sehingga Umar pernah mengatakan,

“Sekiranya tidak ada Ali, binasalah Umar.”[1]

Berdasarkan hal tersebut, maka sesungguhnya individu-

individu yang tidak maksum (terpelihara dari kesalahan

dan dosa) tidak mungkin untuk menjadi ulul amri. Selain

itu, banyak pula riwayat yang menyebutkan nama-nama

ulul amri yang sebenamya.

Di antara riwayat tersebut adalah hadis yang

diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari

bahwasanya dia pemah bertanya kepada Rasulullah saw

tentang ulil amri setelah turunnya ayat ulul amri

tersebut. Jabir bertanya, “Siapakah mereka itu (wahai

Rasulullah)?”

Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah khalifah-

khalifahku, wahai Jabir, dan imam-imam orang-orang

Islam serpeninggalku. yang pertama di antara mereka

adalah Ali bin Thalib, kemudian Al-Hasan dan Al-Husain,

kemudian Ali bin Al-Husain, kemudian Muhammad bin Ali

yang terkenal dalam Taurat dengan Al-Baqir dan engkau

akan menjumpainya wahai Jabir; maka jika engkau telah

menemuinya, sampaikanlah salam dariku, kemudian Ash-

Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far,

kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali,

kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Al-Hasan bin Ali,

kemudian (anaknya) yang bernama sama denganku,

Muhammad, dan gelarnya Hujjatullahi fi ardhihi wa

baqiyyatuhu fi ‘ibadih (Hujah Allah di bumi-Nya dan

pilihan-Nya di antara hamba-hamba-Nya), dia adalah

putra Al-Hasan bin Ali yang Allah akan menaklukkan

untuknya Timur dan Baral. Dia/ah yang gaib dari

Syi’ahnya dan para pengikutnya suatu kegaiban sehingga

tidak akan ada yang tetap teguh dengan keimamannya

kecuali orang yang hatinya telah diuji oleh Allah.”[2]

Imam Muhammad Al-Baqir as berkata, “Imam-imam itu

berasal dari keturunan Ali dan Fathimah sampai tibanya

hari kiamat.”[3]

c.    Ayat Al-Wilayah

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya wali (pemimpin)

kamu hanyalah Allah, Rasul- Nya, dan orang-orang yang

beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat

seraya mereka rukuk.” (QS. al-Ma’idah [5]: 55)

Dalam ayat yang mulia ini, kita mendapatkan pembatasan

makna melalui kata “imama” (sesungguhnya) al-wilayah

(kepemimpinan) bagi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang

yang beriman (yakni Ali bin Abi Thalib as yang

memberikan sedekah berupa cincin kepada seorang

peminta-minta di dalam masjid, sedangkan dia saat itu

dalam keadaan rukuk- penerj.) sebagaimana yang

disebutkan oleh ayat tersebut. Ayat ini juga meniadakan

kepemimpinan bagi selain yang tiga ini (yakni Allah,

Rasul- Nya, dan orang-orang-orang yang beriman).

d.    Ayat Tabligh

Allah Swt berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang

diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu

kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu

tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu

dari (gangguan) manusia.” (QS. al-Ma’idah [5]: 67)

Para perawi hadis dari kalangan Syi’ah dan segolongan

besar dari kalangan mufasir Ahlus Sunnah bersepakat

bahwa ayat yang mulia ini diturunkan di Ghadir khum

dalam Haji Wada’ dan dalam masa-masa terakhir kehidupan

Nabi saw.

Atmosfir ayat ini penuh dengan suasana yang tiada

bandingannya; di dalamnya terdapat ancaman dengan

menggunakan kata-kata yang keras dan memuat suatu

perintah yang sangat penting. Yakni, ketika risalah

yang telah diemban oleh Rasulullah saw dan beliau telah

menyampaikannya kepada umat manusia selama dua puluh

tiga tahun, tiba-tiba bergantung pada sebuah perintah

yang harus beliau sampaikan kepada umatnya.

Ayat ini diturunkan pada hari-hari terakhir kehidupan

yang mulia Rasulullah saw, atau kurang lebih sebelum

tujuh puluh hari dari kewafatan beliau.

Perjalanan hidup Rasulullah saw dengan segala liku-

likunya yang tajam dan berbahaya benar-benar

mengungkapkan keberanian beliau yang luar biasa. Beliau

sedikit pun tidak pernah merasakan gentar atau takut

dalam menghadapi setiap kekuatan yang memusuhi beliau.

Beliau maju bergerak menyampaikan kalimat Allah

sehingga berhasil membersihkan semenanjung Arab dari

penyembahan berhala dan mulai dengan kejayaan Islam

yang gemilang. Dalam kondisi seperti ini, dan pada saat

orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama

Islam, ternyata bahaya masih tetap mengancam masa depan

dan persatuan kaum Muslim.

Oleh karena itu, kita mendapatkan bahwa Rasulullah saw

tampak, dalam batasan tertentu, masih ragu-ragu

mengumumkan perintah Tuhan yang terakhir.

Yang pasti, Nabi saw sama sekali tidak khawatir

terhadap bahaya yang mengancam keselamatan pribadinya.

Rasulullah saw, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ali

as, adalah apabila peperangan berkecamuk hebat atau

sedang sengit-sengitnya, maka orang-orang Islam mencari

perlindungan kepada beliau.

Jadi, sesungguhnya pengumuman dari langit ini adalah

berkenaan dengan penunjukan khalifah sepeninggal

Rasulullah saw. lnilah yang akan dapat mengguncangkan

keimanan sebagian orang yang ruh kesukuan dan pandangan

jahiliah masih bercokol dalam dana mereka. Bisa jadi

mereka akan mengatakan bahwa Rasulullah saw berusaha

untuk mendirikan kerajaan yang besar bagi keluarganya

dan sukunya (Bani Hasyim).

Oleh karena itu, turunlah ayat yang menenangkan hati

beliau, yaitu bahwasanya “Allah memelihara kamu dari

(gangguan) manusia”.

Walhasil, tidak ada jalan lain bagi Rasulullah saw

kecuali beliau memerintahkan orang-orang Islam (para

sahabat beliau) untuk berhenti di sebuah lembah yang

dikenal dengan “Ghadir Khum”. Kemudian beliau

mengumumkan di hadapan jamaah haji yang sangat besar

bahwasanya Ali adalah pemimpin kaum Muslim sepeninggal

beliau.

Nabi saw memulai pengumumannya yang bersejarah itu

dengan terlebih dahulu mengagungkan Allah dan memuji

kepada-Nya.

Nabi saw bersabda, “Wahai sekalian manusia, hampir tiba

saatnya aku dipanggil (menghadap Allah), maka aku pun

akan memenuhi panggilan itu. Sesungguhnya aku akan

dimintai pertanggungan jawab, dan kalian pun akan

dimintai pertang-gungan jawab. Maka, apakah yang hendak

kalian katakan?”

Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa sesungguhnya

engkau telah menyampaikan (risalah Allah), berjihad,

dan memberikan nasihat. Maka, semoga Allah membalasmu

dengan kebaikan.”

Nabi saw bersabda, “Bukankah kalian menyaksikan

bahwasanya tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwasanya

Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya; surga-Nya

adalah hak (benar), neraka-Nya adalah hak, kematian

adalah hak, kebangkitan sesudah kematian adalah hak,

han kiamat pasti akan datang, tiada keraguan di

dalamnya, dan bahwasanya Allah akan membangkitkan yang

di dalam kubur?”

Mereka menjawab, “Tentu, kami menyaksikan semua itu.”

Nabi saw bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku akan

menanyakan kepada kalian ketika kalian didatangkan

kepadaku tentang Tsaqalain (dua peninggalan yang sangat

berharga), bagaimana kalian memperlakukan keduanya.

Peninggalan yang terbesar adalah Kitabullah ‘Azza wa

Jalla, ujung talinya yang satu ada di tangan Allah

Ta’ala, sedangkan ujung tali yang satunya lagi berada

di tangan kalian. Maka, berpegang eratlah dengannya,

niscaya kalian tidak akan tersesat dan jangan pula

kalian menggantikannya dengan yang lain. Dan

(peninggalan yang satunya lagi adalah) keturunanku Ahli

Baitku. Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Halus lagi Maha

Mengetahui telah memberitahukan kepadaku bahwasanya

keduanya (Al-Qur’an dan Ahli Bait beliau) tidak akan

berpisah sehingga menemuiku di Haudh.”

Kemudian Nabi saw memanggil Ali as, lalu beliau

memegang tangannya seraya mengangkatnya agar beliau

dapat memperke-nalkannya kepada orang banyak Lalu

beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, siapakah yang

lebih utama bagi diri kalian daripada diri kalian

sendiri?”

Mereka menjawab, ” Allah dan Rasul-Nya lebih

mengetahui.”

Beliau bersabda, “Barang siapa menganggap aku sebagai

maulanya (pemimpinnya), maka ini Ali adalah maulanya

juga. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya,

musuhilah orang yang memusuhinya, bantulah orang yang

membantunya, telantarkanlah orang yang

menelantarkannya, dan jadikanlah kebenaran itu selalu

bersamanya di mana saja dia berada.” [4]

Kemudian belum sempat para kafilah haji berpencar dalam

perjalanan pulang ke negerinya masing-masing, turunlah

firman Allah ta’ala:

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,

telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai

Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Ma’idah [5]: 3)

Lalu datanglah para pembesar sahabat Rasulullah saw

seraya memberikan ucapan selamat kepada Ali dan Penyair

Rasulullah saw pun (Hassan bin Tsabit) tak ketinggalan

secara spontan melantunkan syairnya yang terkenal untuk

mengabadikan peristiwa agung yang bersejarah ini.


CATATAN :

[1] Yanabi’ul Mawaddah, hal 211, Al-Ghadir, 6/110, dan

Thabaqat lbn Sa’d, 2/103.

[2] ltsbatul Huda, 3/123.

[3] Itsbatul Huda, 3/131.

[4] Shahih Ath-Thirmidzi, 2/297, Mustadrak Al-Hakim:

1092, dan Asbabun Nuzul: 150.