Al-Quran Sunni-Syiah Satu, Tiada Perobahan dalam Al- Quran
Semakin banyak tulisan yang menyebutkan bahwa kaum
Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda, hal ini menjadi
salah satu alasan kafirnya Syiah dari sekian banyak
tuduhan yang tidak berdasar. Tuduhan yang mengatakan
bahwa kaum Syiah mempunyai Al-Quran yang berbeda
sangatlah tidak adil.
Kaum Syiah meyakini tidak terjadinya tahrif di dalam
Al-Quran dari zaman kapan pun sampai zaman kapan pun.
Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al-
Hijr ayat 9, “Sungguh Kamilah yang menurunkan Al-Quran
dan sungguh Kamilah yang menjaganya.”
Tidak dapat disangkal bahwa di dalam kitab hadis Syiah
terdapat riwayat yang menyebutkan hal tersebut, namun
perlu diingat bahwa kitab tersebut, Al-Kafi, bukanlah
kitab hadis yang shahih, sebagaimana Shahih Bukhari
atau Muslim.
Seorang ulama Syiah, Sayid Hasyim Ma’ruf Al-Hasani,
pernah melakukan penelitian dan menyatakan bahwa Al-
Kafi berisi 16.199 hadis; diantaranya 5.072 dianggap
shahih, 144 hasan, 1128 nuwatstsa’, 302 qawiy, dan
9.480 hadis dhaif. Pengklasifikasian itu pun baru
berdasarkan keabsahan sanad, belum isinya (matan).
Penolakan Tahrif (Perobahan) Al-Quran oleh Ulama Syiah
Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Husain ibn Babawaih
Al-Qummiy (Ash-Shaduq): “Keyakinan kita tentang Al-
Quran yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW yaitu ada di antara dua sisi kitab yang
berada di tangan kaum Muslim dan tidak lebih dari itu.
Maka barang siapa yang mengatakan bahwa kami meyakini
yang lebih dari itu, pastilah orang tersebut berbuat
dusta.”
Syaikh Thaifah Abu Ja’far Muhammad ibn Hasan Ath-
Thusiy: “Pembicaraan tentang adanya penambahan dan
pengurangan pada Al-Quran adalah sesuatu yang tidak
pantas… Dan itulah yang sesuai dengan kebenaran dari
mazhab kita. Itulah yang dibela Al-Murtadha (Imam Ali
ibn Abi Thalib AS), yang tampak dari banyak riwayat…”
Abu Ali Thabarsi: “…Adapun tentang adanya penambahan
pada Al-Quran maka hal tersebut disepakati sebagai
sesuatu yang batil…”
Sayid Ibnu Thawus: “Imamiyah yakin tidak ada tahrif
dalam Al-Quran.”
Syaikh Muhammad ibn Hasan Al-Hurr Al-Amiliy: “Barang
siapa mau meneliti tarikh, riwayat-riwayat dan atsar,
maka dia tahu dengan pasti bahwa Al-Quran telah
ditetapkan pada tingkat ke-mutawatir-an yang sangat
kuat, dan dengan penukilan ribuan sahabat, dan bahwa
Al-Quran telah tersusun dan terkumpul rapi pada masa
Rasulallah SAW.”
Syaikh Abu Zuhrah: “Sejumlah ulama besar Imamiyah yang
diketuai Al-Murtadha, Syaikh Thusi, dan lain-lain
menolak…”
Ayatullah Sayid Burujerdi: “Merupakan suatu kemestian
logis untuk menolak (tahrif) dan kabar-kabar yang
menolak kemurnian ayat Al-Quran amat sangat lemah dan
bertentang dengan hadis yang pasti (qath’i) dan mesti
(dharurah), malah bertentangan dengan tujuan
kenabian.Kemudian, sungguh sangat mengherankan adanya
sebagian orang-orang yang mempertahankan kabar angin
ini, lisan maupun tulisan yang tersimpan selama lebih
dari tiga belas abad, yang menyatakan bahwa ada
penghapusan ayat-ayat dalam Al-Quran Al-Majid.”
Allamah Syahsyahani: “Hadis-hadis ini tidak pantas
diperhatikan bila ditinjau dari segi sanadnya. Tidak
ada seorang pun yang menyatakan bahwa ada satu ayat
saja dari hadis itu yang shahih… Hadis-hadis ini
bertentangan dengan hadis-hadis mutawatir yang lebih
kuat, dan sesuai dengan Al-Quran, sunnah, akal sehat,
dan kesepakatan.”
Imam Khomaini: “Lemah, tidak pantas berdalil
dengannya.”
Dan masih banyak ulama-ulama Syiah yang menolak
perubahan Al-Quran, seperti Zainuddin Al-Bayadli, Al-
Muqaddas Al-Baghdadi, Kasyful-Ghitha, Sayid Muhammad
Jawad Al-Balaghiy, Sayid Muhammad Thabathaba’i Bahrul-
Ulum, Ayatullah Kuh Kamariy, Sayid Muhsin Al-Amin Al-
Amiliy, Sayid Muhammad Mahdi Syirazy, dll. Oleh karena
di dalam kitab Al-Kafi terdapat hadis yang lemah, maka
juga terdapat periwayat (rawi) yang lemah. Seperti Abi
Al-Jarud Ziyad ibn Mundzir As-Sarhub (pemimpin sekte
Jarudiyah/Sarhubiyah), Ahmad ibn Muhammad As-Sayyari,
Mankhal ibn Jamil Al-Kufi, Muhammad ibn Hasan ibn
Jumhur, dll.
Itulah akidah Syiah Imamiyah terhadap Al-Quran yang
tidak mengalami pengurangan atau penambahan hingga
akhir zaman. Jadi apabila masih ada yang mengatakan
bahwa Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda, itu
merupakan hal dusta, dan lebih konyol lagi ada yang
mengatakan bahwa Jibril AS salah menyampaikan wahyu
yang seharusnya diturunkan kepada Imam Ali AS. Pastilah
kaum Syiah akan menertawakannya.
Al-Quran yang ada di Iran pun (yang notabene mayoritas
Syiah) tidak sedikit yang didatangkan/dicetak dari
Beirut (Lebanon) dan Kairo (Mesir). Iran pun mengadakan
MTQ Internasional yang dihadiri negara-negara Timur
Tengah, bahkan kalau tidak salah Indonesia pernah
mengirim wakilnya. Entah bagaimana jadinya jika Quran
yang dibaca wakil Iran berbeda? Pastilah juri akan
pusing menilainya…
Pernah di kampus ada seminar tentang “Dikotomi Sunni
Syiah” dan tema Al-Quran Syiah pun sempat ditanyakan.
Pak Miftah (sebagai pembicara dari Syiah nya)
menjelaskan, “Jadi perbedaan antara Al-Quran Syiah dan
(Ahlus) Sunnah hanya terletak pada jenis kertas saja.
Di Iran dicetak dengan jenis kertas yang paling mahal
dan di dalamnya terdapat keindahan, karena Al-Quran
merupakan kalamullah.” Jadi kaum Syiah di Indonesia
tidak perlu impor Quran dari Iran, karena Quran nya
sama.
Hadis Perubahan Al-Quran dalam Kitab Ahlus Sunnah
Seperti yang sudah disebutkan bahwa Al-Kafi bukanlah
kitab shahih, yang hadisnya pun sampai sekarang masih
diteliti, makanya tidak bernama “Shahih Al-Kafi”.
Lucunya (atau tidak lucunya) di dalam kitab Ahlus
Sunnah, yang bernama Shahih Bukhari atau Shahih Muslim,
juga terdapat hadis tentang perubahan Al-Quran.
Bedanya, ini kitab shahih! Tentu saja shahih menurut
penulisnya. Jadi di dalam Shahih Bukhari atau Muslim
tidak perlu pengklasifikasian hadis, karena semuanya
shahih (menurut saudara Ahlus Sunnah).
Tentang Surah Al-Lail
Dari Qabshah ibn Uqbah yang berasal dari Ibrahim ibn
Al-Qamah. Ia berkata kepada kami: “Saya bersama
pengikut Abdullah ibn Ubay datang ke Syam. Abu Darda’
yang mendengar kedatangan kami segera datang dan
bertanya: ‘Adakah di antara kalian yang membaca Al-
Quran?’ Orang-orang menunjuk saya. Kemudian ia berkata:
‘Bacalah!’ Maka saya pun membaca: Wal-Laili idzaa
yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wadzdzakraa wal-
untsaa… Mendengar itu dia bertanya: ‘Apakah engkau
mendengar dari mulut temanmu Abdullah ibn Ubay?’ Saya
menjawab: ‘Ya.’ Ia melanjutkan: ‘Saya sendiri
mendengarnya dari mulut Nabi SAW. Dan mereka menolak
untuk menerimanya’.” (Shahih Bukhari, Kitab At-Tafsir,
bab Surah wal-Laili idzaa yaghsyaa; pada catatan kaki
As-Sanadiy, jilid III, hlm. 139; jilid VI, hlm. 21;
jilid V, hlm. 35; Musnad Ahmad, jilid VI, hlm. 449,
451; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 358 dari Said
ibn Manshur, Ahmad Abd ibn Hamid, Bukhari, Muslim,
Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu
Marduwaih, Ibn Al-Qamah, dll.) Padahal yang tertulis
dalam Al-Quran sekarang adalah Wal-Laili idzaa
yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wamaa
khalaqadzdzakraa wal-untsaa…
Ayat Rajam
Umar ibn Khaththab berkata: “Bila bukan karena orang
akan mengatakan bahwa Umar menambah (ayat) ke dalam
Kitab Allah, akan kutulis ayat rajam dengan tanganku
sendiri.” (Shahih Bukhari, bab Asy-Syahadah ‘indal-
Hakim fi Wilayatil-Qadha; Al-Itqan, jilid II, hlm. 25-
26; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid I, hlm. 230; jilid V,
hlm. 179 dari Imam Malik, Bukhari, Muslim, dan Ibnu
Dhurais, dan hlm. 180 berasal dari Nasa’i, Ahmad, Ibnu
Auf; Musnad Ahmad, jilid I, hlm. 23, 29, 36, 40, 43,
47, 50, 55; jilid V, hlm. 132, 183; Hayat Ash-Shahabah,
jilid II, hlm. 12; jilid III, hlm. 449) Jadi, Umar
meyakini Ayat Rajam itu ada dalam Al-Quran, tapi
kenyataannya tidak ada. Tapi Umar tidak menulisnya
karena takut ucapan orang-orang bahwa Umar menambah
ayat. Seperti itulah yang dijelaskan As-Suyuthi dalam
Al-Itqan jilid II, hlm. 26, mengutip tulisan Az-
Zarkasyi: “Tampaknya penulisan ayat tersebut boleh
saja. Hanya ucapan oranglah yang mencegah (Umar
melakukan) hal itu… Seharusnya ayat itu dimasukkan ke
dalam Al-Quran, ayat itu semestinya ditulis.” Ayat
rajam ini juga pernah disebut-sebut waktu saya (pertama
kali) belajar Ulumul-Quran di kampus :)
An-Naas dan Al-Falaq
Dinukil dari Ibnu Mas’ud, bahwa dia membuang Surah
Mu’awidzdzatain (An-Naas dan Al-Falaq) dari mushhafnya
dan mengatakan keduanya tidak termasuk Al-Quran. (Ad-
Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 146; Ruhul-Ma’ani,
jilid I, hlm. 24; Al-Itqan, jilid I, hlm. 79; Fathul-
Bari, jilid VIII, hlm. 581)
195 Ayat Surah Al-Ahzab Hilang
Demikian riwayat dari Abdurrazaq yang berasal dari
Tsauri, dari Zirr ibn Hubaisy yang berkata: “Ubay ibn
Kaab telah bertanya kepada saya: ‘Berapa jumlah ayat
yang kalian baca dalam surah Al-Ahzab?’ Saya menjawab:
’73 atau 74 ayat.’ Dia bertanya: ‘Hanya sebanyak itu?
Pada mulanya surah tersebut sama panjangnya dengan Al-
Baqarah atau lebih. Dan di dalamnya terdapat surah
(ayat) rajam.’ Saya bertanya: ‘Wahai Abu Mundzir,
bagaimana bunyinya?’ Dia menjawab: ‘Ayat tersebut
berbunyi: Idzaa zanayaa asysyaikhu wasy-syaikhah
farjamuu…’.” (Al-Itqan, jilid II, hlm. 25; Mushhanaf
Abdurrazaq, jilid VII, hlm. 320; Muntakhab Kanzul-Ummal
pada catatan kaki Musnad Ahmad, jilid II, hlm. 1)
Ternyata ayat rajam tersebut tidak ada dalam Al-Quran,
dan tampaknya sama seperti apa yang diucapkan oleh
khalifah kedua bahwa ada ayat rajam.
Ada Surah seperti At-Taubah yang Hilang
Abu Harb ibn Abi Aswad meriwayatkan dari ayahnya yang
berkata: “Abu Musa Al-Asyari berkunjung ke Basrah untuk
menemui para qari di sana. Dia bertemu dengan 300 qari
dan berkata kepada mereka: ‘Kalian adalah sebaik-
baiknya penduduk Basrah dan qari mereka.’ Maka mereka
membaca surah panjang seperti Al-Bara’ah (At-Taubah).
Saya lupa surah tersebut. Akan tetapi beberapa ayatnya
masih saya hapal, yaitu: …Law kaani li ibni Adam…
Demikian pula kami pernah membaca surah mirip dengan
satu surah yang diawali shabaha lillaahi. Saya telah
lupa surah itu. Hanya beberapa ayatnya masih saya
ingat. Di antaranya: Yaa ayyuhalladziina aamanuu limaa
taquuluu… (Shahih Muslim, jilid II, hlm. 100; Al-Itqan,
jilid II, hlm. 25; Al-Burhan fii Ulumil-Quran, jilid
II, hlm. 43)
Ayat Radha’ah yang Hilang
Dari Ummul-Mu’minin Aisyah yang berkata: “Di antara
ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan adalah: “‘Asyru
radha’aat ma’luumaat yuharramna… (Shahih Muslim, jilid
IV, hlm. 167-168; Al-Bidayatul-Mujtahid, jilid II, hlm.
36; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid II, hlm. 135)
Awal Surah At-Taubah Hilang dengan Basmalah
Dari Imam Malik: “Ketika awal surah Al-Bara’ah (At-
Taubah) hilang, maka basmalah
(bismillahirrahmaanirrahiim) pun hilang bersamanya.
Padahal sudah pasti sebelumnya surah tersebut sama
panjangnya dengan surah Al-Baqarah (Al-Itqan, jilid I,
hlm. 65) Sebagaimana diketahui bersama bahwa At-Taubah
merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan
basmalah. Dan terlihat riwayat ini sesuai dengan
riwayat sebelumnya bahwa 195 ayat surah At-Taubah
hilang, sehingga panjangnya sama seperti Al-Baqarah.
Ayat Ali Mawla Mu’minin
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang
berkata: “Pada masa Rasulallah kami membaca ayat yang
berbunyi: Yaa ayyuharrasuul ballagh maa anzal ilayka
min rabbika anna Aliyan mawlal-mu’minin wa in lam…
(Ad-Durr Al-Mantsur, jilid II, hlm. 298; At-Tahmid fi
Ulumil-Quran, jilid I, hlm. 261) Padahal dalam surah
Al-Maidah ayat 67 tidak ada kata-kata Ali, dan kaum
Syiah pun menolak adanya kalimat tersebut dalam Al-
Quran.
Itulah sebagian riwayat tahrif Al-Quran yang ada dalam
kitab Ahlus Sunnah. Jadi baik Syiah maupun Ahlus Sunnah
ada riwayat tahrif, bedanya yang satu shahih yang satu
lagi tidak shahih (menurut masing-masing). Jadi jangan
mengatakan bahwa Syiah mempunyai Quran yang berbeda,
sementara di sisi lain ada juga riwayat tahrif dalam
kitab shahih. Sudah saatnya berhenti bertikai. Justru
kita harus mengamalkan apa yang ada di Al-Quran Al-
Karim, insya Allah. Mohon maaf apabila ada kata-kata
kurang berkenan.