Maqtal / kronologi syahidnya Imam Husain as (1)
Saat Rasul menjelang wafat, Kita lihat bagaimana
detik-detik perpisahan Rasul bersama Alhusain, Rasul
yang dikitari orang-orang yang sangat dicintainya,
Rasul pandangi satu persatu dari mulai Fatimah, Ali,
Hasan lalu pandangan Rasul saat melihat AlHusain,
berhenti sejenak. Tatapan mata Rasul memperlihatkan
kesedihan yang sangat mendalam, hingga Rasul memeluk Al
Husain erat-erat, AlHusain saat itu masih kecil.dalam
derita penyakit yang makin berat, nabi saw menahan
jeritan pilu seraya berkata : biarkan aku berhadapan
dengan Yazid. Semoga Allah tidak memberkahi Yazid, Ya
Allah, aku serahkan Yazid kepada-Mu. Belum selesai nabi
berbicara, ia tak sadarkan diri lagi. Nabi pingsan lama
sekali, ketika siuman, ia merebut lagi tubuh Husain dan
memeluknya erat-erat. Air matanya membasahi wajah
Husain sambil berkata : Biarkan aku dan pembunuhmu
berhadapan di hadapan Allah azza wa jalla. Ketika Hasan
dan Husain merapatkan tubuh mereka yang kecil pada
tubuh nabi yang agung, mereka tidak henti-hentinya
menangis. AlHasan dan AlHusain merasakan dengan
kedalaman hatinya yang sangat dalam bahwa mereka
sebentar lagi akan berpisah dengan datuknya.
Amirilmukminin melihat pemandangan seperti itu ingin
memisahkan mereka supaya tidak mengganggu NAbi saw yang
sedang sakit. Tapi dengarlah bibir suci nabi ini
bergerak lagi : Biarkan mereka bersenang-senang
denganku, dan aku bersenang-senang dengan mereka,
karena keduanya nanti akan ditimpa bencana
sepeninggalku.
Sekarang, mari kita lihat perpisahan AlHusain dengan
kuburan datuknya di Madinah, sebelum AlHusain brangkat
ke Karbala. AlHusain selalu habiskan malam-malam
terakhir di kota datuknya itu untuk mendatangi dan
berziarah serta mengadukan kepada Rasulullah saw
permasalahan yang sedang beliau hadapi. Sehingga suatu
malam ketika beliau berziarah ke kuburan datuknya,
beliau melihat sinar yang memancar dari kuburan suci
datuknya. Al-Husain mengucapkan salam :
Salam bagimu wahai Rasulullah, aku adalah al-Husain bin
Fatimah putramu dan putra dari putrimu yang kau
tinggalkan aku pada umatmu. Saksikanlah atas mereka
wahai nabi Allah! Sesungguhnya mereka membiarkanku dan
tidak menjagaku. Inilah pengaduanku kepadamu sehingga
aku bertemu denganmu kelak.Kemudian al-Husain
melaksanakan ruku dan sujud di atas pusara datuknya
.Beliau juga mengadukannya kepada Allah Swt…
Ya Allah, sesungguhnya ini adalah kuburan Nabi-Mu
Muhammad saww, dan aku adalah putra dari putrid Nabi-
Mu, sungguh telah datang kepadaku sebuah kewajiban yang
aku ketahui.Ya Allah, aku memohon kepda-Mu wahai Dzat
yang memiliki keagungan dan kemuliaan, dengan haq
kuburan ini dan yang ada di dalamnya, agar Engkau
memilihku apa-apa yang Engkau Ridloi dan Rasul-Mu
meridloinya. Kemudian Al-Husain menangis, ketika
menjelang subuh, al-Husain meletakkan kepala sucinya di
atas pusara datuknya, kemudian tertidur. Dalam
tidurnya, Al-Husain melihat Rasulullah saww yang
dikitari oleh para malaikat, lalu didekapnya Al-Husain
ke dada Rasulullah, kemudian Rasulullah menciumi kedua
mata Al-Husain, sambil berkata :
Kasihku Ya Husain, seakan-akan aku melihatmu dari dekat
berlumuran dengan darah,disembelih di bumi Karbala oleh
kesukuan umatku, sedangkan engkau dalm keadaan haus,
tidak ada seorangpun yang memberi minum. Lalu mereka
berharap akan syafaatku?!Demi Allah, syafatku tidak
akan sampai kepada mereka di hari kiamat nanti. Kasihku
ya Husain, sesungguhnya ayahmu, ibumu dan saudaramu
telah berkumpul bersamaku, mereka semua rindu kepadamu.
Kemudian al-Husain menangis dan berharap kepada
datuknya agar ia membawanya ke dalam kubur. Akan tetapi
Rasulullah meninggalkannya sendirian dalam keadaan
sedih, Rasul berkata : wahai Husain, engkau harus
mendapatklan kesyadidan agar mendapatkan kedudukan yang
agung di sisi Allah. Sesungguhnya engkau, pamanmu, dan
paman ayahmu akan dikumpulkan di akhirat kelak dalam
satu tempat sampai dimasukkan ke dalam surga. kemudian
al-Husain terbangun dari tidurnya.
Itulah perpisahan AlHusain dengan pusara datuknya,
beliau begitu berat meninggalkan kota yg di dalamnya
terdapat kuburan manusia suci yang dicintainya. Yang
pada akhirnya beliaupun berangkat dengan membawa
kerabat-kerabatnya dan para sahabtanya yang setia.
Beliau tempuh perjalanan berhari-hari bahkan berbulan-
bulan mengarungi dusun dan kota yang begitu melelahkan,
hingga tibalah al-Husain beserta rombongan di padang
Karbala, kamis 2 Muharrom 61 H. Ketika beliau tiba di
padang ini, kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba
berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati
beliau sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar
beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba
menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda
kedua itu juga tak menggerakkan kakinya. Karena itu,
Imam Husain as nampak mulai curiga sehingga bertanya:
“Apakah nama daerah ini?” Al-Ghadiriyyah. Jawab salah
seorang sahabtnya. Ada nama lain? Tanyanya lagi.
Nainawa. Mereka menjawab. Ada nama lain? Tanya al-
Husain lagi, Nainawa, jawab mereka. Imam Husain
tertegun sambil meneteskan air mata dan menatap sang
surya yang terik panasnya menyengat setiap rombongannya
yang telah kehausan, beliau berkata : kami berlindung
kepada Allah dari duka dan nestapa, inilah tempat duka
dan nestapa, turunlah kalian semua. Disinilah tempat
pemberhentian kita, disinilah tempat tertumpahnya darah
kita, dan disini pula tempat kuburan-kuburan kita.
Inilah tempat yang diceritakan datukku Rasulullah saww,
Karbun wa Bala (duka dan nestapa).
Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapatkan
laporan, bahwa Imam Husain as beserta rombongannya
sudah berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada
beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid.
Ubaidillah mengancam Imam Husain as dengan kematian
jika tetap menolak memberikan baiat.
Imam Husain as membaca surat itu kemudian
melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir
Ubaidillah, bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh
beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar laporan
sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya
Umar bin Sa’ad, orang yang sangat mendambakan jabatan
sebagai gubernur di kota Rey agar membunuh AlHusain.
Lasykar-lasykar Umar bin Sa’adpun mulai digerakkan dan
mulai mengepung serta menghadang setiap penjuru,
termasuk sungai Furat yang melintang di sekitar sahara
Karbala.
Imam Husain as melihat situasi seperti itu, akhirnya
beliau menyampaikan pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa
beliau ingin bertemu dengannya. Umar setuju. Maka,
diadakanlah sebuah pertemuan antara keduanya. Umar bin
Sa’ad ditemani 20 orang dari pasukannya sebagaimana
Imam Husainpun ditemani oleh 20 pengikutnya. Namun, di
tengah pertemuan ini keduanya memerintahkan semua
pengikutnya itu untuk keluar dari ruang pertemuan
kecuali dua orang dari mereka masing-masing. Dari pihak
Imam Husain yang dizinkan untuk terus terlibat dalam
pertemuan adalah Abbas dan Ali Akbar as, sedangkan dari
pihak Umar bin Sa’ad yang diperbolehkan tinggal adalah
puteranya, Hafs, dan seorang budaknya.
Dalam pertemuan 6 orang ini, terjadilah dialog :
Imam Husain as: “Hai putera Sa’ad, adakah kamu tidak
takut kepada Allah, Tuhan yang semua orang akan kembali
kepada-Nya. Kamu berniat memerangiku walaupun kamu tahu
aku adalah cucu Rasulullah, putera Fatimah Azzahra, dan
Ali. Hai putera Sa’ad, tinggalkanlah mereka (Yazid dan
pengikutnya) itu, dan kamu lebih baik bergabung
denganku karena ini akan mendekatkanmu dengan Allah.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka menghancurkan tempat
tinggalku.”
Imam Husain as: “Aku akan membangunnya kalau mereka
merusaknya.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka merampas kebunku.”
Imam Husain as: “Kalau mereka merampasnya, aku akan
menggantinya dengan yang lebih baik.”
Umar bin Sa’ad: “Aku punya keluarga dan sanak famili,
aku takut mereka disakiti.”
Imam Husain as terdiam dan tak mau menyambung jawaban
lagi. Sambil bangkit untuk keluar meninggalkan ruang
pertemuan, beliau berucap: “Allah akan membinasakanmu
di tempat tidurmu. Aku berharap kamu tidak akan dapat
memakan gandum di Ray kecuali sedikit.”
Dengan nada mengejek, Umar bin Sa’ad menjawab: “Kalau
aku tidak dapat menyantap gandumnya, barley-nya sudah
cukup bagiku.” Imam Husain as kemudian pergi
meninggalkan Umar bin Sa’ad tanpa membawa hasil apapun
dari pertemuan tersebut. Umar bin Sa’ad memang dikenal
sebagai pria pandir, pengkhianat, dan pendusta.
Hari keenam di sahara Karbala, lasykar demi lasykar
terus dikerahkan oleh Ubaidillah bin Ziyad hingga
jumlah seluruh pasukan yang terkumpul mencapai dua
puluh ribu orang. Pasukan besar ini semakin mempersulit
keadaan AlHusain hingga persediaan air minum beliau
habis dan dahaga mulai mencekik leher beliau serta
rombongan yang bersamanya. Terik mentari semakin panas,
membakar setiap orang yang ada di dalam tenda. Suara
tangis anak-anak dan bayi dari dalam tenda sudah mulai
terdengar, detik-demi detik terus bergulir, hingga
mentari masuk di ufuk barat, siang diganti malam,
suasana malam dengan angin kencang yang membuat orang
yang ada di dalam tenda kedinginan. Esok harinya,
hari ketujuh di sahara Karbala salah seorang sahabat
AlHusain melihat keadaan terus seperti itu, tidak kuat
untuk melihatnya. yang pada akhirnya ia yang bernama
Nafi bin Hilal Al-Jamali meminta izin kepada sang Imam
untuk mengambilkan air dari Furat, ia adalah pahlawan
kesatria Karbala yang dikenal sebagai perawi hadist,
qori dan sahabat dekat Imam Ali as. Kesetiaannya kepada
Ahlil Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal,
Shiffin dan Nahrawan di bawah panji Ali bin Abi Thalib.
Ia pun meneruskan kesetiaannya kepada Ahlul Bait di
padang Karbala bersama Al-Husain. Nafi bin Hilal al-
Jamali mendatangi pasukan musuh yang sedang menjaga
sungai Furat sambil membawa bendera. Ia dapat menembus
benteng penjaga sungai Furat. Kemudian berteriaklah
salah seorang dari pasukan musuh Allah bernama Umar bin
Hajjad : siapa lelaki itu? Dijawabnya : kami datang
untuk meminum air yang kalian larang kami meminumnya.
Umar bin Hajjd berkata lagi : minumlah sekenyangmu,
tetapi jangan kau berikan kepada Husain setetespun.
Nafi berkata : tidak! Demi Allah, aku tidak akan
meminumnya setetespun sedang al-Husain beserta
keluarganya dan para sahabatnya kehausan. Akhirnya Nafi
menerobos pasukan musuh dan berhasil mengisi kantung
air dari sungai Furat, setelah pedangnya diayunkan ke
kanan dan ke kiri. Ketika Nafi hendak meminumnya,
tampaklah dalam diri Nafi wajah cucu Rasulullah yang
kehausan, wajah wanita dan anak-anak yang tak
berdosa.lalu ia mengurungkan niatnya dan melemparkan
air yang ada di tangannya. Bergeraklah Nafi menuju
kemah al-Husain sambil membawa kantung yang berisi air.
Beberapa pasukan musuh dapat dirobohkan, kini
tinggallah Nafi untuk keluar dari barisan pengepungan
dengan membawa sekantung air, pedang musuh mengenai
tangan kanan dan kirinya, dengan kudanya ia tekan
kantung air sambil menggigit pelana kudanya. Tiba-tiba
kantung air itu terkena anak panah, dan dibiarkan Nafi
menuju ke kemah Al-Husain dalam keadaan tak berdaya
dengan kantung yang lubang oleh anak panah. Dihadapan
Imam Husain, Nafi yang tak berdaya berucap : Wahai
imam, sudahkan kutunaikan tugasku?! Imam Husain
menciuminya dan Nafi Syahid dipangkuan Imam.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….berbahagialah
engkau wahai Nafi, bisa syahid dipangkuan al-Husain…..
Hari Tasyu’a (kesembilan) Detik-detik masa di padang
Karbala terus bergulir. Kamis 9 Muharram, Matahari
semakin menyengat setiap orang-orang yang berada di
dalam kemah pasukan Alhusain. Sementara itu, Umar bin
Sa’ad mendatangi pasukannya dan berseru: “Wahai lasykar
Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian! Semoga surga
membahagiakan kalian.”
Pasukan Umar segera mengendarai kuda dan bergerak ke
arah daerah perkemahan Imam Husain as. Saat itu, Imam
Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan
kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi
adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar
suara ribut ringkik dan derap kaki kuda, berkata kepada
abangnya:“Kakanda, adakah engkau tidak mendengar suara
bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju
kita?!”
Imam Husain as menjawab: “Adikku, aku baru saja
bermimpi melihat kakekku Rasalullah, ayahku Ali,
ibundaku Fatimah, dan kakakku Hasan. Mereka berkata
kepadaku: ‘Hai Husain, sesungguhnya kamu akan menyusul
kami.’[2] Rasulullah juga berkata kepadaku: ‘Hai
puteraku, kamu adalah syahid keluarga Mustafa, dan
semua penghuni langit bergembira menyambut
kedatanganmu. Cepatlah datang kemari karena besok malam
kamu harus berbuka puasa bersamaku, dan sekarang para
malaikat turun dari langit untuk menyimpan darahmu
dalam botol hijau ini.’”
Mendengar kata-kata Imam Husain ini, Zainab hanyut
dalam suasana haru yang amat dalam. Suara rintih dan
tangis keluar dari tenggorokannya yang kering. Kedua
telapak tangannya menampar-nampar wajahnya. Imam Husain
as mencoba menghibur adiknya.
“Tenanglah adikku, kamu tidak celaka. Rahmat Allah
pasti bersamamu.” Ujar Imam Husain as.
Beliau kemudian berkata kepada adik lelakinya, Abbas:
“Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk
apa mereka kemari?”
Abbaspun pergi ke arah musuh dan menyampaikan
pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh
menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian
patuh kepada perintahnya. Jika tidak, maka kami akan
berperang dengan kalian.”
Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as
dan menceritakan apa yang dikatakan musuh. Imam berkata
lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela
berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan
mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam
untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar.
Dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai
solat, membaca AlQuran, berdoa, dan beristighfar.”
Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk
menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar
permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-
orang dekatnya. Umar bin Sa’ad berpikir sejenak,
kemudian memenuhi permintaan AlHusain.
Menjelang sore dihari kesembilan, ketika al-Husain
melihat situasi yang semakin sulit, kemudian beliau
mengumpulkan seluruh sahabatnya, dan berkata : Sungguh
Rasululah telah menyampaikan berita kepadaku, bahwa aku
akan digiring ke Iraq dan singgah di bumi yang
dikatakan Karbala. Kini, telah kusaksikan dan dekat
dengan janji-Nya. Ketahuilah!tidak ada hari lagi bagi
kita setelah hari ini, aku telah memberi izin pada
kalian untuk kembali dan tiada ikatan lagi atas kalian.
Malam ini adalah kesempatan bagi kalian untuk pulang
dan keluar, setiap laki-laki dari kalian, bawalah
laki-laki dari kami Ahlil Bait, semoga Allah membalas
untuk kalian semua, berpisahlah di tempat kalian.
Sesungguhnya mereka menghendaki aku, dan bukan pada
selainku..
Mendengar hal itu, saudara-saudara Al-Husain, anak-
anaknya, kemenakannya serta anak-anak Abdullah bin
Ja’far, Abbas bin Ali, berkata yang diikuti oleh bani
Hasyim lainnya : kenapa kita harus demikian wahai
Imam?kami akan tetap bersamamu.
Kemudian Al-Husain melihat kepada putra-putra Aqil bin
Abi Thalib sambil berkata : cukup bagi kalian dengan
terbunuhnya Muslim, pergilah kalian! aku telah izinkan
kalian. Lalu mereka berkata : kalau begitu, apa yang
akan dikatakan manusia dan apa yang harus kami katakan
kepada mereka? kami telah meninggalkan pemimpn kami dan
putra dari sebaik-baiknya paman, kami tidak menyertai
mereka dalam perang… Demi Allah!tidak! kami tidak akan
melakukan hal itu, kami akan korbankan padamu wahai Aba
Abdillah dengan jiwa, harta dan keluarga kami. Kami
akan berperang bersamamu.
Muslim bin Ausajah juga menunjukkan kesetiaannya,: demi
Allah, aku tidak akan berpisah denganmu, sehinga aku
melukai dada mereka dengan anak panahku serta pukulan
pedangku. Jika sendainya aku tanpa senjata, maka aku
akan bunuh mereka dengan lemparan batu hingga aku mati
bersamamu.
Said bin Abdullah Al-Hanafi berkata : demi Allah!kami
tidak akan melepaskanmu sehingga Allah mengeatahui
bahwa kami telah menjaga keturunan Rasul-Nya, demi
Allah! Seadainya aku terbunuh kemudian dihidupkan
kembali, kemudian aku dibakar hingga 70 kali, aku tidak
akan berpisah darimu wahai imam. Begitulah kesetiaan
para keluarga dan sahabat al-Husain. Mendengar semua
itu Al-Husain berkata kepada mereka : Sungguh tidak
kudapati kesetiaan dan kebaikan lebih dari sahabat-
sahabatku ini dan tidak kudapati keluarga yang lebih
utama dan penyambung silaturahim lebih dari Ahlil
Biatku, semoga Allah membalas kebaikan kalian atasku.
Itulah kesetiaan keluarga dan pengikut AlHusain
Karena Imam Husain as dan rombongannya diberi waktu
satu malam, maka pasukan dari masing-masing pihak
kembali ke perkemahannya dengan tenang. Pada malam
Asyura itu, adegan-adegan yang semakin memilukan
terjadi. Malam itu AlHusain dan para sahabatnya larut
dalam dengungan Rabbani, dengungan suara mereka tak
ubahnya laksana suara kawanan lebah, mereka tenggelam
dalam ruku, sujud, berdiri menghadap Kiblat dan duduk
bermunajat. Rintih tangis, munajat, doa, pembicaraan
yang berbau hikmah, dan puisi-puisi duka dan perjuangan
Ahlul Bait mengiringi putaran detik-detik gulita malam
sahara Karbala. Tentang ini, Imam Ali Zainal Abidin as
putera Imam Husain as antara lain berkisah: Ayahku
berkata :
“Demi Allah, setelah semua kejadian ini kita alami,
masa akan terus berjalan hingga kita semua keluar
(hidup lagi) bersama Al-Qaim kita untuk membalas kaum
yang zalim. Kami dan kalian akan menyaksikan rantai,
belenggu, dan siksaan-siksaan lain yang membantai musuh
kita.”
Seseorang bertanya: “Siapakah AlQaim itu?”Imam Husain
as menjawab:
“Dari kami (Ahlul Bait) terdapat dua belas orang Mahdi,
dimana yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib dan yang terakhir adalah orang yang (merupakan
generasi) kesembilan dari anak keturunanku dan dialah
Imam Al-Qaim Bilhaq. Dengannyalah Allah akan
menghidupkan bumi ini setelah kematiannya, dengannyalah
Allah akan menjayakan agama kebenaran ini atas seluruh
agama lain, walaupun orang-orang musyrik membencinya.
Dia (AlQaim) akan mengalami masa kegaiban dimana
sepanjang masa ini sebagian kaum ada yang murtad
sementara yang lain tetap teguh pada agama dan
mencintai (AlQaim), dan mereka akan ditanya: ‘Kapankah
janji (kebangkitan) ini (akan terpenuhi) jika kalian
memang orang-orang yang jujur?’ Akan tetapi orang yang
sabar pada masa kegaibannya akan mengalami banyak
gangguan dan didustakan. Kedudukan orang itu sama
dengan pejuang yang mengangkat pedang bersama
Rasulullah.”[3]
Ikhwan dan akhwat…
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di alam maknawi
Allah SWT menampakkan dosa-dosa makhluk-Nya. Kemudian,
untuk menghapus dosa-dosa ini, Allah bertanya kepada
ruh para nabi dan wali-Nya: “Siapakah diantara kalian
yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan keluarnya
agar dosa-dosa ini terampuni?”Sang pahlawan terkemuka
Karbala menjawab: “Aku siap berkorban dengan semua
itu?”Allah berfirman: “Wahai Husain, apakah kamu siap
untuk gugur sebagai syahid dalam keadaan haus dan
lapar?”Imam Husain as menjawab: “Aku rela untuk
itu?”Allah berfirman: “Kepalamu akan ditancapkan
diujung tombak lalu dipertontonkan di kota-kota, di
padang sahara, dan di dalam beberapa pertemuan.”Imam
Husain as menjawab: “Aku rela.”Allah berfirman:
“Jasadmu akan dicincang dan dicampakkan ke tanah tanpa
pakaian.”Imam Husain menjawab: “Aku rela.”Allah
berfirman: “Para sahabatmu juga harus terbunuh.”Imam
Husain menjawab: “Aku pasrah.”Allah berfirman: “Hamba-
hambaku (saat itu) adalah para pemuda, dan pemudamu
yang berusia 18 tahun akan terbunuh di depan
matamu.”Imam Husain tetap pasrah. Allah berfirman: “Di
tengah mereka terdapat kaum wanita, dan keluargamu akan
menjadi tawanan yang terbelenggu dan dipertontonkan
dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari lorong ke
lorong.”Imam Husain pasrah. Allah berfirman: “Puteramu
dalam keadaan sakit akan terbelenggu dan dipertontonkan
di atas unta dalam keadaan tanpa baju dari lembah ke
lembah, dari rumah ke rumah.”Imam Husain pasrah.
Itulah perjanjian AlHusain dengan Allah Swt.
7. Perundingan Pertengahan Malam Asyura
Dikisahkan pula oleh adinda AlHusain, Sayyidah Zainab
as: “Pertengahan malam Asyura aku mendatangi tenda
adikku, Abu Fadhl Abbas. Aku menyaksikan para pemuda
Bani Hasyim berkumpul mengelilinginya. Abu Fadhl
berkata mereka:
‘Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah
dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke
medan pertempuran adalah kalian sendiri, agar
masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah
meminta pertolongan orang lain, tetapi mereka (Bani
Hasyim) ternyata lebih mementingkan kehidupan mereka
sendiri ketimbang kematian orang lain….’
“Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: ‘Kami taat
kepada perintahmu.'”
Sayyidah Zainab juga berkisah: “Dari kemah itu kemudian
aku mendatangi tenda Habib bin Madhahir.[1] Aku
mendapatinya sedang berunding dengan beberapa orang
non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada
mereka:
‘Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang
harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan
sampai kalian didahului oleh satupun orang dari Bani
Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan
kita semua…’ ”
“Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: ‘Kata-katamu
benar, dan kami akan setia mentaatinya.’ ”
Sementara itu di tenda-tenda yang lainnya, terdapat
beberapa pahlawan yang dikenal sebagai orang yang
sangat zuhud dan ahli ibadah, diantaranya bernama
Burair bin Khudair. Warga Kufah amat menghormatinya dan
menyebutnya sebagi guru besar Al-Quran. Ketinggian iman
Burair nampak pada malam Asyuro. Burair yang biasanya
jarang bercanda, malam itu bercanda dengan Abdurahman
Al-Anshari salah seorang sahabat Imam Husain as. Kepada
Burair Abdurahman berkata : Wahai Burair, malam ini
tidak sewajarnya engkau bergurau,kenapa engkau
tertawa?sekarang ini bukan waktunya untuk bercanda dan
bermain!. Burair menjawab : Sahabatku, tahukah engkau
bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam
ini aku sangat bahagia dan gembira sekali menyaksikan
jalan yang kita lalui ini. Sebab jarak antara kita
dengan surga hanya tinggal beberapa saat. Demi Allah,
Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk
menyambut pedang-pedang musuh yang akan mencabik-
cabikkan tubuh kita, lalu kita akan segera jatuh ke
dalam pelukan bidadari surga.
Malam Asyura, seakan diharapkan segera berlalu untuk
menyongsong pagi dan siang yang akan mementaskan adegan
keberanian para pahlawan Karbala yang bersenjatakan
keperkasaan iman dan semangat pengorbanan yang besar,
semangat Husainiyyah yang kelak terpahat dalam prasasti
keabadian sejarah.Namun demikian, keberanian para
pejuang Islam, tentu saja mempersembahkan adegan haru
biru yang merenyuhkan simpati, dan hati nurani setiap
insan sejati.
Imam Husain as dan para pengikutnya kemudian
menghabiskan saat-saat malam Asyura itu dengan ibadah
dan munajat kepada Allah Swt. Rintihan dan doa mereka
terdengar seperti riuh rendah suara lebah. Masing-
masing melarutkan diri dalam suasana kekhusu’an sujud,
dan tengadah tangan doa di depan Allah SWT.
Malam Asyura adalah malam perpisahan keluarga suci
Rasulullah saaw di alam fana. Saat itu adalah malam
pembaharuan janji dan sumpah setia yang pernah
dinyatakan di alam zarrah untuk kemudian dibuktikan
pada hari Asyura.
Imam Husain as sendiri sangatlah mendambakan
terlaksananya janji itu. Malam itu Allah mengutus
malaikat Jibril as untuk membawakan catatan ikrar yang
pernah dinyatakan Imam Husain as agar cucu Rasul ini
memperbaharui janjinya itu. Saat tiba di depan Imam
Husain as, Jibril as berkata:
“Hai Husain, Allah SWT telah berfirman: ‘Jika kamu
menyesali janjimu itu, maka boleh menggagalkannya, dan
Aku akan memaafkanmu.’ “Imam Husain as menjawab:
“Tidak, aku tidak menyesalinya.”
Malaikat Jibril as kemudian kembali ke langit, dan
tatkala fajar menerangi cakrawala untuk menyongsong
pagi, Imam Husain as dan rombongannya yang sudah
kehabisan bekal air, terpaksa bertayammum untuk
menunaikan solat Subuh berjamaah. Seusai tasyahud dan
salam, Imam Husain as berdoa kepada Al-Khalik:
“Wahai Engkau Sang Maha Penolong orang-orang suci,
Wahai Sang Maha Pengampun di hari pembalasan,
sesungguhnya ini adalah hari yang telah Engkau
janjikan, dan hari dimana kakekku, ayahku, ibuku, dan
kakakku ikut menyaksikan.””Tatkala peristiwa besar
(hari kiamat) terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat
mendustakan kejadiannya.”[2]
Malaikat Jibril as berkata: “Hai Husain, hari ini
engkau harus terjun ke medan laga, dengan jiwa yang
penuh kerinduan sebagaimana kerinduan setiap orang
kepada kekasihnya.”
Imam Husain as menjawab: “Hai Jibril, sekarang
lihatlah! mereka yang terdiri dari orang-orang tua dan
muda, kaya dan miskin, serta para wanita yang rambutnya
sudah lusuh, para hamba sahaya, dan para anggota rumah
tangga ini, telah aku bina sedemikian rupa, sehingga
untuk menjadi tawananpun mereka siap. Mereka inilah Ali
Akbar, Abbas, Qasim, ‘Aun, Fadhl, Ja’far, serta para
pemuda yang sudah dewasa, dan inilah mereka sekumpulan
kaum wanita dan anak-anak, mereka semua telah aku bawa,
aku korbankan sebelum kemudian akupun akan menyerahkan
nyawaku.”
Jibril as menjawab: “Hujjahmu sudah sempurna, maka
sekarang bersiaplah untuk menyambut cobaan besaaar..”
Jibril as kemudian terbang ke langit sambil berseru:
“Wahai para pasukan Allah, segeralah mengendarai kuda!”
Mendengar suara ini, segenap pasukan Imam Husain as
bergegas mengendarai kuda, kemudian membentuk barisan
kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.
Saat pasukan Umar bin Sa’ad juga sudah mengendarai kuda
dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya,
Imam Husain as memerintahkan Burair bin Khudair untuk
mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun,
apalah artinya kata-kata Burair untuk musuh yang sudah
menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang
dikatakan Burair sama sekali tidak menyentuh jiwa dan
perasaan mereka.
Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan
untuk tidak memulai pertempuran. Sebaliknya, beliau
masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar
bin Sa’ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan
Imam Husain as dengan menggali parit dan menyulut
kobaran-kobaran api.
Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan
berteriak keras memanggil Imam Husain as.
“Hai Husain!” Pekik Shimir, “Adakah kamu tergesa-gesa
untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat
nanti?!”
Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir,
Imam Husain as membalas: “Hai anak pengembala sapi,
kamulah yang pantas menghuni neraka.”
Melihat kebejatan Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim
bin Ausajah mencoba melepaskan anak panahnya ke tubuh
Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.
“Jangan!” Seru Imam Husain as. “Sesungguhnya aku tidak
ingin memulai peperangan
9. Istighotsah Imam Husain as dan Taubat Hur
Imam Husain as kemudian berdoa:
“Ya Allah, janganlah Engkau turunkan air hujan dari
langit untuk kaum ini. Azablah mereka dengan kekeringan
dan kelaparan seperti pada zaman nabi Yusuf. Kuasakan
atas mereka nanti Astsaqafi, agar mereka merasakan
kegetiran, karena mereka telah mendustakan kami,
menisbatkan kebohongan kepada kami, dan menyia-nyiakan
kami.Ilahi, kami bertawakkal kepada-Mu. Kepada-Mul-ah
kami dan segala sesuatu pasti akan kembali.”[1]
Imam Husain as kemudian mendekati para pengikutnya dan
berkata: “Bersabarlah, sesungguhnya Allah telah
mengizinkan kalian untuk berperang hingga titik
penghabisan. Sesungguhnya kalian semua akan terbunuh
kecuali Ali bin Husain.
Kemudian AlHusain menghadap kepada musuh-musuh Allah
sambil, berkata :
“Apakah masih ada lagi seseorang yang akan menolongku
demi mendapatkan keridhaan Allah? Adakah lagi seseorang
yang siap membela kehormatan Rasulullah?”
Tiba-tiba setelah ucapan AlHusain ini, dari barisan
musuh melesat seekor kuda dengan penunggangnya menuju
barisan AlHusain, yang tidak lain adalah AlHur
Arriyahi. Begitu sampai di hadapan beliau, Hur
meletakkan telapak tangan di kepalanya sambil
berseru:“Ya Allah, aku kembali kepada-Mu. Ya allah,
ampunilah aku yang telah membuat para pecinta dan
putera-puteri rasul-Mu menderita dan ketakutan.”
Saat melihat Hur mendekati Imam Husain, sebagian orang
menduganya akan memulai peperangan. Namun, mereka baru
sadar dugaan itu salah, setelah melihat Hur membalikkan
perisainya. Saat itu Hur datang menyapa Imam Husain as
dimulai dengan ucapan salam takzim dan hormat, lalu
menyusulnya dengan kata-kata:
“Hai putera Rasul, aku siap berkorban untukmu. Aku
adalah orang yang beberapa waktu lalu telah mencegat
perjalananmu, mencegahmu pulang, lalu menggiringmu ke
tanah yang penuh dengan petaka ini, tanpa aku tahu
sebelumnya bahwa orang-orang ini akan menolak kata-
katamu dan memperlakukan dirimu sedemikian rupa. Demi
Allah, seandainya aku tahu inilah yang akan terjadi,
tidak mungkin akan berbuat seperti itu kepadamu.
Sekarang aku menyesal, tetapi apakah mungkin Allah akan
menerima taubatku?”
Imam Husain as menjawab: “Allah pasti akan menerima
taubatmu.” Beliau meminta Hur supaya beristirahat,
namun Hur malah meminta restu beliau untuk segera
memulai perjuangan di depan musuh. Imam pun berkata:
“Semoga Allah merahmatimu. Aku mengizinkanmu berjuang.”
Hur kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi
mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah
menjadi musuhnya. Di depan mereka, Hur memberondongkan
kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hur
tuntas, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan
anak panah ke arah Hur. Hur bergegas pergi menghadap
Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.
Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada
budaknya: “Hai Darid, cepat maju!” Umar mengambil
sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil
berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa
akulah orang pertama yang membidikkan anak panah ke
arah pasukan Husain.” Anak panah itupun melesat.
Dengan melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad, segera
disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah
pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan
instruksi untuk melakukan perlawanan.
10. Dimulainya Perang Tak Seimbang
Genderang pertarunganpun antara kedua pasukan yang tak
seimbang dimulai. Dari pihak Imam Husain as, nampak
wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar
lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap
terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam keabadian
di sisi Al-Khalik, dengan kepakan sayap-sayap imannya
yang lebar. Dengan jiwa yang membaja, para kesatria
Karbala siap mengarungi lautan darah, membela
kehormatan dan cita-cita mulia bintang kejora dari
keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri
dalam semangat Husainiyyah, telah siap menyongsong
kematian yang suci.
Alhur mampu memporakporandakan pasukan musuh, dari
pihak musuh bernama Sofwan menghunuskan pedang dan
mengayunkannya ke arah tubuh Hur. Namun dengan
tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah
itu. Belum sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan
tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan
balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat
Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur.
Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.
Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau
diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin Sa’ad
segera memekikkan suara: “Hujani dia dengan panah.
Jangan biarkan dia lolos!”
Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar Alhur. Dia
tak kuasa menghalau serangan selicik itu. Tubuhnya
menjadi sarang beberapa anak panah beracun. Sebelum
tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju
menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang
dalam keadaan sekarat, membawanya ke hadapan Imam
Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil
berucap:
“Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan
ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di akhirat.”[4]
innalillahi……..
Dengan gugurnya al-Hur, berikutnya satu demi satu
sahabat setia al-Husain menawarkan diri untuk maju ke
medan pertempuran. Diantara para sahabat setia itu
adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang
berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh.
Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan
kata-kata indah kepada junjungannya, Imam Husain as:
“Wahai Putera Rasul!” Ucap Muslim. “Aku akan pergi
untuk memberikan berita gembira kepada kakek dan ayahmu
tentang ketibaanmu.” Ruh Muslim bin Ausajah terbang
meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu
tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan
anaknya. Darah sang anak mendidih menyaksikan kematian
ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera
menunggangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh
dan melancarkan serangan. Namun, gerakan itu dicegah
oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!” Panggil beliau. “
Ayahmu telah gugur. Jika kamu juga gugur, siapakah
nanti yang akan melindungi ibumu?”
Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba
ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Wahai
anakku, Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di
dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera Rasul?
Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.”
Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah
segera menarik tali kendali dan memacu kudanya ke medan
pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari
belakang: “Bergembiralah anakku, tak lama lagi kamu
akan meneguk air telaga Al-Kautsar!” Suara ibunya ini
benar-benar menambah semangat putera Muslim, sehingga
tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak
kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian
tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya
dipenggal dan dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera
mendekap dan menciumi kepala putranya sambil berkata :
Wahai putraku, engkau sekarang telah memutihkan wajah
ibumu.. Innalillahi……
( BERLANJUT !!!!.... )