Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Maqtal / kronologi syahidnya Imam Husain as (1)

4 Pendapat 04.0 / 5

Saat Rasul menjelang wafat, Kita lihat bagaimana

detik-detik perpisahan Rasul bersama Alhusain, Rasul

yang dikitari orang-orang yang sangat dicintainya,

Rasul pandangi satu persatu dari mulai Fatimah, Ali,

Hasan lalu pandangan Rasul saat melihat AlHusain,

berhenti sejenak. Tatapan mata Rasul memperlihatkan

kesedihan yang sangat mendalam, hingga Rasul memeluk Al

Husain erat-erat, AlHusain saat itu masih kecil.dalam

derita penyakit yang makin berat, nabi saw menahan

jeritan pilu seraya berkata : biarkan aku berhadapan

dengan Yazid. Semoga Allah tidak memberkahi Yazid, Ya

Allah, aku serahkan Yazid kepada-Mu. Belum selesai nabi

berbicara, ia tak sadarkan diri lagi. Nabi pingsan lama

sekali, ketika siuman, ia merebut lagi tubuh Husain dan

memeluknya erat-erat. Air matanya membasahi wajah

Husain sambil berkata : Biarkan aku dan pembunuhmu

berhadapan di hadapan Allah azza wa jalla. Ketika Hasan

dan Husain merapatkan tubuh mereka yang kecil pada

tubuh nabi yang agung, mereka tidak henti-hentinya

menangis. AlHasan dan AlHusain merasakan dengan

kedalaman hatinya yang sangat dalam bahwa mereka

sebentar lagi akan berpisah dengan datuknya.

Amirilmukminin melihat pemandangan seperti itu ingin

memisahkan mereka supaya tidak mengganggu NAbi saw yang

sedang sakit. Tapi dengarlah bibir suci nabi ini

bergerak lagi : Biarkan mereka bersenang-senang

denganku, dan aku bersenang-senang dengan mereka,

karena keduanya nanti akan ditimpa bencana

sepeninggalku.

Sekarang, mari kita lihat perpisahan AlHusain dengan

kuburan datuknya di Madinah, sebelum AlHusain brangkat

ke Karbala. AlHusain selalu habiskan malam-malam

terakhir di kota datuknya itu untuk mendatangi dan

berziarah serta mengadukan kepada Rasulullah saw

permasalahan yang sedang beliau hadapi. Sehingga suatu

malam ketika beliau berziarah ke kuburan datuknya,

beliau melihat sinar yang memancar dari kuburan suci

datuknya. Al-Husain mengucapkan salam :

Salam bagimu wahai Rasulullah, aku adalah al-Husain bin

Fatimah putramu dan putra dari putrimu yang kau

tinggalkan aku pada umatmu. Saksikanlah atas mereka

wahai nabi Allah! Sesungguhnya mereka membiarkanku dan

tidak menjagaku. Inilah pengaduanku kepadamu sehingga

aku bertemu denganmu kelak.Kemudian al-Husain

melaksanakan ruku dan sujud di atas pusara datuknya

.Beliau juga mengadukannya kepada Allah Swt…

Ya Allah, sesungguhnya ini adalah kuburan Nabi-Mu

Muhammad saww, dan aku adalah putra dari putrid Nabi-

Mu, sungguh telah datang kepadaku sebuah kewajiban yang

aku ketahui.Ya Allah, aku memohon kepda-Mu wahai Dzat

yang memiliki keagungan dan kemuliaan, dengan haq

kuburan ini dan yang ada di dalamnya, agar Engkau

memilihku apa-apa yang Engkau Ridloi dan Rasul-Mu

meridloinya. Kemudian Al-Husain menangis, ketika

menjelang subuh, al-Husain meletakkan kepala sucinya di

atas pusara datuknya, kemudian tertidur. Dalam

tidurnya, Al-Husain melihat Rasulullah saww yang

dikitari oleh para malaikat, lalu didekapnya Al-Husain

ke dada Rasulullah, kemudian Rasulullah menciumi kedua

mata Al-Husain, sambil berkata :

Kasihku Ya Husain, seakan-akan aku melihatmu dari dekat

berlumuran dengan darah,disembelih di bumi Karbala oleh

kesukuan umatku, sedangkan engkau dalm keadaan haus,

tidak ada seorangpun  yang memberi minum. Lalu mereka

berharap akan syafaatku?!Demi Allah, syafatku tidak

akan sampai kepada mereka di hari kiamat nanti. Kasihku

ya Husain, sesungguhnya ayahmu, ibumu dan saudaramu

telah berkumpul bersamaku, mereka semua rindu kepadamu.

Kemudian al-Husain menangis dan berharap kepada

datuknya agar ia membawanya ke dalam kubur. Akan tetapi

Rasulullah meninggalkannya sendirian dalam keadaan

sedih, Rasul berkata : wahai Husain, engkau harus

mendapatklan kesyadidan agar mendapatkan kedudukan yang

agung di sisi Allah. Sesungguhnya engkau, pamanmu, dan

paman ayahmu akan dikumpulkan di akhirat kelak dalam

satu tempat sampai dimasukkan ke dalam surga. kemudian

al-Husain terbangun dari tidurnya.

Itulah perpisahan AlHusain dengan pusara datuknya,

beliau begitu berat meninggalkan kota yg di dalamnya

terdapat kuburan manusia suci yang dicintainya. Yang

pada akhirnya beliaupun berangkat dengan membawa

kerabat-kerabatnya dan para sahabtanya yang setia.

Beliau tempuh perjalanan berhari-hari bahkan berbulan-

bulan mengarungi dusun dan kota yang begitu melelahkan,

hingga tibalah al-Husain beserta rombongan di padang

Karbala, kamis 2 Muharrom 61 H. Ketika beliau tiba di

padang ini, kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba

berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati

beliau sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar

beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba

menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda

kedua itu juga tak menggerakkan kakinya. Karena itu,

Imam Husain as nampak mulai curiga sehingga bertanya:

“Apakah nama daerah ini?” Al-Ghadiriyyah.  Jawab salah

seorang sahabtnya. Ada nama lain? Tanyanya lagi.

Nainawa. Mereka menjawab. Ada nama lain? Tanya  al-

Husain lagi, Nainawa, jawab mereka. Imam Husain

tertegun sambil meneteskan air mata dan menatap sang

surya yang terik panasnya menyengat setiap rombongannya

yang telah kehausan, beliau berkata :  kami berlindung

kepada Allah dari duka dan nestapa, inilah tempat duka

dan nestapa, turunlah kalian semua. Disinilah tempat

pemberhentian kita, disinilah tempat tertumpahnya darah

kita, dan disini pula tempat kuburan-kuburan kita.

Inilah tempat yang diceritakan datukku Rasulullah saww,

Karbun wa Bala (duka dan nestapa).

Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapatkan

laporan, bahwa Imam Husain as beserta rombongannya

sudah berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada

beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid.

Ubaidillah mengancam Imam Husain as dengan kematian

jika tetap menolak memberikan baiat.

Imam Husain as membaca surat itu kemudian

melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir

Ubaidillah, bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh

beliau. Ubaidillah murka setelah  mendengar laporan

sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya

Umar bin Sa’ad, orang yang sangat mendambakan jabatan

sebagai gubernur di kota Rey agar membunuh AlHusain.

Lasykar-lasykar Umar bin Sa’adpun mulai digerakkan dan

mulai mengepung serta menghadang setiap penjuru,

termasuk sungai Furat yang melintang di sekitar sahara

Karbala.

Imam Husain as melihat situasi seperti itu, akhirnya

beliau menyampaikan pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa

beliau ingin bertemu dengannya. Umar setuju. Maka,

diadakanlah sebuah pertemuan antara keduanya. Umar bin

Sa’ad ditemani 20 orang dari pasukannya sebagaimana

Imam Husainpun ditemani oleh 20 pengikutnya. Namun, di

tengah pertemuan ini keduanya memerintahkan semua

pengikutnya itu untuk keluar dari ruang pertemuan

kecuali dua orang dari mereka masing-masing. Dari pihak

Imam Husain yang dizinkan untuk terus terlibat dalam

pertemuan adalah Abbas dan Ali Akbar as, sedangkan dari

pihak Umar bin Sa’ad yang diperbolehkan tinggal adalah

puteranya, Hafs, dan seorang budaknya.

Dalam pertemuan 6 orang ini, terjadilah dialog :

Imam Husain as: “Hai putera Sa’ad, adakah kamu tidak

takut kepada Allah, Tuhan yang semua orang akan kembali

kepada-Nya. Kamu berniat memerangiku walaupun kamu tahu

aku adalah cucu Rasulullah, putera Fatimah Azzahra, dan

Ali. Hai putera Sa’ad, tinggalkanlah mereka (Yazid dan

pengikutnya) itu, dan kamu lebih baik bergabung

denganku karena ini akan mendekatkanmu dengan Allah.”

Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka menghancurkan tempat

tinggalku.”

Imam Husain as: “Aku akan membangunnya kalau mereka

merusaknya.”

Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka merampas kebunku.”

Imam Husain as: “Kalau mereka merampasnya, aku akan

menggantinya dengan yang lebih baik.”

Umar bin Sa’ad: “Aku punya keluarga dan sanak famili,

aku takut mereka disakiti.”

Imam Husain as terdiam dan tak mau menyambung jawaban

lagi. Sambil bangkit untuk keluar meninggalkan ruang

pertemuan, beliau berucap: “Allah akan membinasakanmu

di tempat tidurmu. Aku berharap kamu tidak akan dapat

memakan gandum di Ray kecuali sedikit.”

Dengan nada mengejek, Umar bin Sa’ad menjawab: “Kalau

aku tidak dapat menyantap gandumnya, barley-nya sudah

cukup bagiku.” Imam Husain as kemudian pergi

meninggalkan Umar bin Sa’ad tanpa membawa hasil apapun

dari pertemuan tersebut.  Umar bin Sa’ad memang dikenal

sebagai pria pandir, pengkhianat, dan pendusta.

Hari keenam di sahara Karbala, lasykar demi lasykar

terus dikerahkan oleh Ubaidillah bin Ziyad hingga

jumlah seluruh pasukan yang terkumpul mencapai dua

puluh ribu orang. Pasukan besar ini semakin mempersulit

keadaan AlHusain hingga persediaan air minum beliau

habis dan dahaga mulai mencekik leher beliau serta  

rombongan yang bersamanya. Terik mentari semakin panas,

membakar setiap orang yang ada di dalam tenda. Suara

tangis anak-anak dan bayi dari dalam tenda sudah mulai

terdengar, detik-demi detik terus bergulir, hingga

mentari masuk di ufuk barat, siang diganti malam,

suasana malam dengan angin kencang yang membuat orang

yang ada di dalam tenda kedinginan. Esok harinya,

hari ketujuh di sahara Karbala salah seorang sahabat

AlHusain melihat keadaan terus seperti itu, tidak kuat

untuk melihatnya. yang pada akhirnya ia yang bernama

Nafi bin Hilal Al-Jamali meminta izin kepada sang Imam

untuk mengambilkan air dari Furat, ia adalah pahlawan

kesatria Karbala yang dikenal sebagai perawi hadist,

qori dan sahabat dekat Imam Ali as. Kesetiaannya kepada

Ahlil Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal,

Shiffin dan Nahrawan di bawah panji Ali bin Abi Thalib.

Ia pun meneruskan kesetiaannya kepada Ahlul Bait di

padang Karbala bersama Al-Husain. Nafi bin Hilal al-

Jamali mendatangi pasukan musuh yang sedang menjaga

sungai Furat sambil membawa bendera. Ia dapat menembus

benteng penjaga sungai Furat. Kemudian berteriaklah

salah seorang dari pasukan musuh Allah bernama Umar bin

Hajjad : siapa lelaki itu? Dijawabnya : kami datang

untuk meminum air yang kalian larang kami meminumnya.

Umar bin Hajjd berkata lagi : minumlah sekenyangmu,

tetapi jangan kau berikan kepada Husain setetespun.

Nafi berkata : tidak! Demi Allah, aku tidak akan

meminumnya setetespun sedang al-Husain beserta

keluarganya dan para sahabatnya kehausan. Akhirnya Nafi

menerobos pasukan musuh dan berhasil mengisi kantung

air dari sungai Furat, setelah pedangnya diayunkan ke

kanan dan ke kiri. Ketika Nafi hendak meminumnya,

tampaklah dalam diri Nafi wajah cucu Rasulullah yang

kehausan, wajah wanita dan anak-anak yang tak

berdosa.lalu ia mengurungkan  niatnya dan melemparkan

air yang ada di tangannya. Bergeraklah Nafi menuju

kemah al-Husain sambil membawa kantung yang berisi air.

Beberapa pasukan musuh dapat dirobohkan, kini

tinggallah Nafi untuk keluar dari barisan pengepungan

dengan membawa sekantung air, pedang musuh mengenai

tangan kanan dan kirinya, dengan kudanya ia tekan

kantung air sambil menggigit pelana kudanya. Tiba-tiba

kantung air itu terkena anak panah, dan dibiarkan Nafi

menuju ke kemah Al-Husain dalam keadaan tak berdaya

dengan kantung yang lubang oleh anak panah. Dihadapan

Imam Husain, Nafi yang tak berdaya berucap : Wahai

imam, sudahkan kutunaikan tugasku?! Imam Husain

menciuminya dan Nafi Syahid dipangkuan Imam.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….berbahagialah

engkau wahai Nafi, bisa syahid dipangkuan al-Husain…..

Hari Tasyu’a (kesembilan) Detik-detik masa di padang

Karbala terus bergulir. Kamis 9 Muharram, Matahari

semakin menyengat setiap orang-orang yang berada di

dalam kemah pasukan Alhusain. Sementara itu, Umar bin

Sa’ad mendatangi pasukannya dan berseru: “Wahai lasykar

Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian! Semoga surga

membahagiakan kalian.”

Pasukan Umar segera mengendarai kuda dan bergerak ke

arah daerah perkemahan Imam Husain as. Saat itu, Imam

Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan

kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi

adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar

suara ribut ringkik dan derap kaki kuda, berkata kepada

abangnya:“Kakanda, adakah engkau tidak mendengar suara

bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju

kita?!”

Imam Husain as menjawab: “Adikku, aku baru saja

bermimpi melihat kakekku Rasalullah, ayahku Ali,

ibundaku Fatimah, dan kakakku Hasan. Mereka berkata

kepadaku: ‘Hai Husain, sesungguhnya kamu akan menyusul

kami.’[2]  Rasulullah juga berkata kepadaku: ‘Hai

puteraku, kamu adalah syahid keluarga Mustafa, dan

semua penghuni langit bergembira menyambut

kedatanganmu. Cepatlah datang kemari karena besok malam

kamu harus berbuka puasa bersamaku, dan sekarang para

malaikat turun dari langit untuk menyimpan darahmu

dalam botol hijau ini.’”

Mendengar kata-kata Imam Husain ini, Zainab hanyut

dalam suasana haru yang amat dalam. Suara rintih dan

tangis keluar dari tenggorokannya yang kering. Kedua

telapak tangannya menampar-nampar wajahnya. Imam Husain

as mencoba menghibur adiknya.

“Tenanglah adikku, kamu tidak celaka. Rahmat Allah

pasti bersamamu.” Ujar Imam Husain as.

Beliau kemudian berkata kepada adik lelakinya, Abbas:

“Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk

apa mereka kemari?”

Abbaspun pergi ke arah musuh dan menyampaikan

pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh

menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian

patuh kepada perintahnya. Jika tidak, maka kami akan

berperang dengan kalian.”

Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as

dan menceritakan apa yang dikatakan musuh. Imam berkata

lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela

berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan

mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam

untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar.

Dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai

solat, membaca AlQuran, berdoa, dan beristighfar.”

Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk

menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar

permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-

orang dekatnya. Umar bin Sa’ad berpikir sejenak,

kemudian memenuhi permintaan AlHusain.

Menjelang sore dihari kesembilan, ketika al-Husain

melihat situasi yang semakin sulit, kemudian beliau

mengumpulkan seluruh sahabatnya, dan berkata : Sungguh

Rasululah telah menyampaikan berita kepadaku, bahwa aku

akan digiring ke Iraq dan singgah di bumi yang

dikatakan Karbala. Kini, telah kusaksikan dan dekat

dengan janji-Nya. Ketahuilah!tidak ada hari lagi bagi

kita setelah hari ini, aku telah memberi izin pada

kalian untuk kembali dan tiada ikatan lagi atas kalian.

Malam ini adalah kesempatan bagi kalian untuk pulang

dan keluar, setiap laki-laki dari kalian, bawalah

laki-laki dari kami Ahlil Bait, semoga Allah membalas

untuk kalian semua, berpisahlah di tempat kalian.

Sesungguhnya mereka menghendaki aku, dan bukan pada

selainku..

Mendengar hal itu, saudara-saudara Al-Husain, anak-

anaknya, kemenakannya serta anak-anak Abdullah bin

Ja’far, Abbas bin Ali, berkata yang diikuti oleh bani

Hasyim lainnya : kenapa kita harus demikian wahai

Imam?kami akan tetap bersamamu.

Kemudian Al-Husain melihat kepada putra-putra Aqil bin

Abi Thalib sambil berkata : cukup bagi kalian dengan

terbunuhnya Muslim, pergilah kalian! aku telah izinkan

kalian. Lalu mereka berkata : kalau begitu, apa yang

akan dikatakan manusia dan apa yang harus kami katakan

kepada mereka? kami telah meninggalkan pemimpn kami dan

putra dari sebaik-baiknya paman, kami  tidak menyertai

mereka dalam perang… Demi Allah!tidak! kami tidak akan

melakukan hal itu, kami akan korbankan padamu wahai Aba

Abdillah dengan jiwa, harta dan keluarga kami. Kami

akan berperang bersamamu.

Muslim bin Ausajah juga menunjukkan kesetiaannya,: demi

Allah, aku tidak akan berpisah denganmu, sehinga aku

melukai dada mereka dengan anak panahku serta pukulan

pedangku. Jika sendainya aku tanpa senjata, maka aku

akan bunuh mereka dengan lemparan batu hingga aku mati

bersamamu.

Said bin Abdullah Al-Hanafi berkata : demi Allah!kami

tidak akan melepaskanmu sehingga Allah mengeatahui

bahwa kami telah menjaga keturunan Rasul-Nya, demi

Allah! Seadainya aku terbunuh kemudian dihidupkan

kembali, kemudian aku dibakar hingga 70 kali, aku tidak

akan berpisah darimu wahai imam. Begitulah kesetiaan

para keluarga dan sahabat al-Husain. Mendengar semua

itu Al-Husain berkata kepada mereka :  Sungguh tidak

kudapati kesetiaan dan kebaikan lebih dari sahabat-

sahabatku ini dan tidak kudapati keluarga yang lebih

utama dan penyambung silaturahim lebih dari Ahlil

Biatku, semoga Allah membalas kebaikan kalian atasku.

Itulah kesetiaan keluarga dan pengikut AlHusain

Karena Imam Husain as dan rombongannya diberi waktu

satu malam, maka pasukan dari masing-masing pihak

kembali ke perkemahannya dengan tenang. Pada malam

Asyura itu, adegan-adegan yang semakin memilukan

terjadi. Malam itu AlHusain dan para sahabatnya larut

dalam dengungan Rabbani, dengungan suara mereka tak

ubahnya laksana suara kawanan lebah, mereka tenggelam

dalam ruku, sujud, berdiri menghadap Kiblat dan duduk

bermunajat. Rintih tangis, munajat, doa, pembicaraan

yang berbau hikmah, dan puisi-puisi duka dan perjuangan

Ahlul Bait mengiringi putaran detik-detik gulita malam

sahara Karbala. Tentang ini, Imam  Ali Zainal Abidin as

putera Imam Husain as antara lain berkisah: Ayahku

berkata :

“Demi Allah, setelah semua kejadian ini kita alami,

masa akan terus berjalan hingga kita semua keluar

(hidup lagi) bersama Al-Qaim kita untuk membalas kaum

yang zalim. Kami dan kalian akan menyaksikan rantai,

belenggu, dan siksaan-siksaan lain yang membantai musuh

kita.”

Seseorang bertanya: “Siapakah AlQaim itu?”Imam Husain

as menjawab:

“Dari kami (Ahlul Bait) terdapat dua belas orang Mahdi,

dimana yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi

Thalib dan yang terakhir adalah orang yang (merupakan

generasi) kesembilan dari anak keturunanku dan dialah

Imam Al-Qaim Bilhaq. Dengannyalah Allah akan

menghidupkan bumi ini setelah kematiannya, dengannyalah

Allah akan menjayakan agama kebenaran ini atas seluruh

agama lain, walaupun orang-orang musyrik membencinya.

Dia  (AlQaim) akan mengalami masa kegaiban dimana

sepanjang masa ini sebagian kaum ada yang murtad

sementara yang lain tetap teguh pada agama dan

mencintai (AlQaim), dan mereka akan ditanya: ‘Kapankah

janji (kebangkitan) ini (akan terpenuhi) jika kalian

memang orang-orang yang jujur?’ Akan tetapi orang yang

sabar pada masa  kegaibannya akan mengalami banyak

gangguan dan didustakan. Kedudukan orang itu sama

dengan pejuang yang mengangkat pedang bersama

Rasulullah.”[3]

Ikhwan  dan akhwat…

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di alam maknawi

Allah SWT menampakkan dosa-dosa makhluk-Nya. Kemudian,

untuk menghapus dosa-dosa ini, Allah bertanya kepada

ruh para nabi dan wali-Nya: “Siapakah diantara kalian

yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan keluarnya

agar dosa-dosa ini terampuni?”Sang pahlawan terkemuka

Karbala menjawab: “Aku siap berkorban dengan semua

itu?”Allah berfirman: “Wahai Husain, apakah kamu siap

untuk gugur sebagai syahid dalam keadaan haus dan

lapar?”Imam Husain as menjawab: “Aku rela untuk

itu?”Allah berfirman: “Kepalamu akan ditancapkan

diujung tombak lalu dipertontonkan di kota-kota, di

padang sahara, dan di dalam beberapa pertemuan.”Imam

Husain as menjawab: “Aku rela.”Allah berfirman:

“Jasadmu akan dicincang dan dicampakkan ke tanah tanpa

pakaian.”Imam Husain menjawab: “Aku rela.”Allah

berfirman: “Para sahabatmu juga harus terbunuh.”Imam

Husain menjawab: “Aku pasrah.”Allah berfirman: “Hamba-

hambaku (saat itu) adalah para pemuda, dan pemudamu

yang berusia 18 tahun akan terbunuh di depan

matamu.”Imam Husain tetap pasrah. Allah berfirman: “Di

tengah mereka terdapat kaum wanita, dan keluargamu akan

menjadi tawanan yang terbelenggu dan dipertontonkan

dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari lorong ke

lorong.”Imam Husain pasrah. Allah berfirman: “Puteramu

dalam keadaan sakit akan terbelenggu dan dipertontonkan

di atas unta dalam keadaan tanpa baju dari lembah ke

lembah, dari rumah ke rumah.”Imam Husain pasrah.  

Itulah perjanjian AlHusain dengan Allah Swt.

7. Perundingan Pertengahan Malam Asyura

Dikisahkan pula oleh adinda AlHusain, Sayyidah Zainab

as: “Pertengahan malam Asyura aku mendatangi tenda

adikku, Abu Fadhl Abbas. Aku menyaksikan para pemuda

Bani Hasyim berkumpul mengelilinginya. Abu Fadhl

berkata mereka:

‘Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah

dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke

medan pertempuran adalah kalian sendiri, agar

masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah

meminta pertolongan orang lain, tetapi mereka (Bani

Hasyim) ternyata lebih mementingkan kehidupan mereka

sendiri ketimbang kematian orang lain….’

“Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: ‘Kami taat

kepada perintahmu.'”

Sayyidah Zainab juga berkisah: “Dari kemah itu kemudian

aku mendatangi tenda Habib bin Madhahir.[1] Aku

mendapatinya sedang berunding dengan beberapa orang

non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada

mereka:

‘Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang

harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan

sampai kalian didahului oleh satupun orang dari Bani

Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan

kita semua…’ ”

“Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: ‘Kata-katamu

benar, dan kami akan setia mentaatinya.’ ”

Sementara itu di tenda-tenda yang lainnya, terdapat

beberapa pahlawan yang dikenal sebagai orang yang

sangat zuhud dan ahli ibadah, diantaranya bernama

Burair bin Khudair. Warga Kufah amat menghormatinya dan

menyebutnya sebagi guru besar Al-Quran. Ketinggian iman

Burair nampak pada malam Asyuro. Burair yang biasanya

jarang bercanda, malam itu bercanda dengan Abdurahman

Al-Anshari salah seorang sahabat Imam Husain as. Kepada

Burair Abdurahman berkata : Wahai Burair, malam ini

tidak sewajarnya engkau bergurau,kenapa engkau

tertawa?sekarang ini bukan waktunya untuk bercanda dan

bermain!. Burair menjawab : Sahabatku, tahukah engkau

bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam

ini aku sangat bahagia dan gembira sekali menyaksikan

jalan yang kita lalui ini. Sebab jarak antara kita

dengan surga hanya tinggal beberapa saat. Demi Allah,

Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk

menyambut pedang-pedang musuh yang akan mencabik-

cabikkan tubuh kita, lalu kita akan segera jatuh ke

dalam pelukan bidadari surga.

Malam Asyura, seakan diharapkan segera berlalu untuk

menyongsong pagi dan siang yang akan mementaskan adegan

keberanian para pahlawan Karbala yang bersenjatakan

keperkasaan iman dan semangat pengorbanan yang besar,

semangat Husainiyyah yang kelak terpahat dalam prasasti

keabadian sejarah.Namun demikian, keberanian  para

pejuang Islam, tentu saja mempersembahkan adegan haru

biru yang merenyuhkan simpati, dan hati nurani setiap

insan sejati.

Imam Husain as dan para pengikutnya kemudian

menghabiskan saat-saat malam Asyura itu dengan ibadah

dan munajat kepada Allah Swt. Rintihan dan doa mereka

terdengar seperti riuh rendah suara lebah. Masing-

masing melarutkan diri dalam suasana kekhusu’an sujud,

dan tengadah tangan doa di depan Allah  SWT.

Malam Asyura adalah malam perpisahan keluarga suci

Rasulullah saaw di alam fana. Saat itu adalah malam

pembaharuan janji dan sumpah setia yang pernah

dinyatakan di alam zarrah untuk kemudian dibuktikan

pada hari Asyura.

Imam Husain as sendiri sangatlah mendambakan

terlaksananya janji itu. Malam itu Allah mengutus

malaikat Jibril as untuk membawakan catatan ikrar yang

pernah dinyatakan Imam Husain as agar cucu Rasul ini

memperbaharui janjinya itu. Saat tiba di depan Imam

Husain as, Jibril as berkata:

“Hai Husain, Allah SWT telah berfirman: ‘Jika kamu

menyesali janjimu itu, maka boleh menggagalkannya, dan

Aku akan memaafkanmu.’ “Imam Husain as menjawab:

“Tidak, aku tidak menyesalinya.”

Malaikat Jibril as kemudian kembali ke langit, dan

tatkala fajar menerangi cakrawala untuk menyongsong

pagi, Imam Husain as dan rombongannya yang sudah

kehabisan bekal air, terpaksa bertayammum untuk

menunaikan solat Subuh berjamaah. Seusai tasyahud dan

salam, Imam Husain as berdoa kepada Al-Khalik:

“Wahai Engkau Sang Maha Penolong orang-orang suci,

Wahai Sang Maha Pengampun di hari pembalasan,  

sesungguhnya ini adalah hari yang telah Engkau

janjikan, dan hari dimana kakekku, ayahku, ibuku, dan

kakakku ikut menyaksikan.””Tatkala peristiwa besar

(hari kiamat) terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat

mendustakan kejadiannya.”[2]

Malaikat Jibril as berkata: “Hai Husain, hari ini

engkau harus terjun ke medan laga, dengan jiwa yang

penuh kerinduan sebagaimana kerinduan setiap orang

kepada kekasihnya.”

Imam Husain as menjawab: “Hai Jibril, sekarang

lihatlah! mereka yang terdiri dari orang-orang tua dan

muda, kaya dan miskin, serta para wanita yang rambutnya

sudah lusuh, para hamba sahaya, dan para anggota rumah

tangga ini, telah aku bina sedemikian rupa, sehingga

untuk menjadi tawananpun mereka siap. Mereka inilah Ali

Akbar, Abbas, Qasim, ‘Aun, Fadhl, Ja’far, serta para

pemuda yang sudah dewasa, dan inilah mereka sekumpulan

kaum wanita dan anak-anak, mereka semua telah aku bawa,

aku korbankan sebelum kemudian akupun akan menyerahkan

nyawaku.”

Jibril as menjawab: “Hujjahmu sudah sempurna, maka

sekarang bersiaplah untuk menyambut cobaan besaaar..”

Jibril as kemudian terbang ke langit sambil berseru:

“Wahai para pasukan Allah, segeralah mengendarai kuda!”

Mendengar suara ini, segenap pasukan Imam Husain as

bergegas mengendarai kuda, kemudian membentuk barisan

kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.

Saat pasukan Umar bin Sa’ad juga sudah mengendarai kuda

dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya,

Imam Husain as memerintahkan Burair bin Khudair untuk

mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun,

apalah artinya kata-kata Burair untuk musuh yang sudah

menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang

dikatakan Burair sama sekali tidak menyentuh jiwa dan

perasaan mereka.

Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan

untuk tidak memulai pertempuran. Sebaliknya, beliau

masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar

bin Sa’ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan

Imam Husain as dengan menggali parit dan menyulut

kobaran-kobaran api.

Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan

berteriak keras memanggil Imam Husain as.

“Hai Husain!” Pekik Shimir, “Adakah kamu tergesa-gesa

untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat

nanti?!”

Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir,

Imam Husain as membalas: “Hai anak pengembala sapi,

kamulah yang pantas menghuni neraka.”

Melihat kebejatan Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim

bin Ausajah mencoba melepaskan anak panahnya ke tubuh

Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.

“Jangan!” Seru Imam Husain as. “Sesungguhnya aku tidak

ingin memulai peperangan

9. Istighotsah Imam Husain as dan Taubat Hur

Imam Husain as kemudian berdoa:

“Ya Allah, janganlah Engkau turunkan air hujan dari

langit untuk kaum ini. Azablah mereka dengan kekeringan

dan kelaparan seperti pada zaman nabi Yusuf. Kuasakan

atas mereka nanti Astsaqafi, agar mereka merasakan

kegetiran, karena mereka telah mendustakan kami,

menisbatkan kebohongan kepada kami, dan menyia-nyiakan

kami.Ilahi, kami bertawakkal kepada-Mu. Kepada-Mul-ah

kami dan segala sesuatu pasti akan kembali.”[1]

Imam Husain as kemudian mendekati para pengikutnya dan

berkata: “Bersabarlah, sesungguhnya Allah telah

mengizinkan kalian untuk berperang hingga titik

penghabisan. Sesungguhnya kalian semua akan terbunuh

kecuali Ali bin Husain.

Kemudian AlHusain menghadap kepada musuh-musuh Allah

sambil, berkata :

“Apakah masih ada lagi seseorang yang akan menolongku

demi mendapatkan keridhaan Allah? Adakah lagi seseorang

yang siap membela kehormatan Rasulullah?”

Tiba-tiba setelah ucapan AlHusain ini, dari barisan

musuh melesat seekor kuda dengan penunggangnya menuju

barisan AlHusain, yang tidak lain adalah AlHur

Arriyahi. Begitu sampai di hadapan beliau, Hur

meletakkan telapak tangan di kepalanya sambil

berseru:“Ya Allah, aku kembali kepada-Mu. Ya allah,

ampunilah aku yang telah membuat para pecinta dan

putera-puteri rasul-Mu menderita dan ketakutan.”

Saat melihat Hur mendekati Imam Husain, sebagian orang

menduganya akan memulai peperangan. Namun, mereka baru

sadar dugaan itu salah, setelah melihat Hur membalikkan

perisainya. Saat itu Hur datang menyapa Imam Husain as

dimulai dengan ucapan salam takzim dan hormat, lalu

menyusulnya dengan kata-kata:

“Hai putera Rasul, aku siap berkorban untukmu. Aku

adalah orang yang beberapa waktu lalu telah mencegat

perjalananmu, mencegahmu pulang, lalu menggiringmu ke

tanah yang penuh dengan petaka ini, tanpa aku tahu

sebelumnya bahwa orang-orang ini akan menolak kata-

katamu dan memperlakukan dirimu sedemikian rupa. Demi

Allah, seandainya aku tahu inilah yang akan terjadi,

tidak mungkin akan berbuat seperti itu kepadamu.

Sekarang aku menyesal, tetapi apakah mungkin Allah akan

menerima taubatku?”

Imam Husain as menjawab: “Allah pasti akan menerima

taubatmu.” Beliau meminta Hur supaya beristirahat,

namun Hur malah meminta restu beliau untuk segera

memulai perjuangan di depan musuh. Imam pun berkata:

“Semoga Allah merahmatimu. Aku mengizinkanmu berjuang.”

Hur kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi

mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah

menjadi musuhnya. Di depan mereka, Hur memberondongkan

kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hur

tuntas, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan

anak panah ke arah Hur. Hur bergegas pergi menghadap

Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.

Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada

budaknya: “Hai Darid, cepat maju!” Umar mengambil

sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil

berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa

akulah orang pertama yang membidikkan anak panah ke

arah pasukan Husain.” Anak panah itupun melesat.

Dengan melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad, segera

disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah

pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan

instruksi untuk melakukan perlawanan.

10. Dimulainya Perang Tak Seimbang

Genderang pertarunganpun antara kedua pasukan yang tak

seimbang dimulai. Dari pihak Imam Husain as, nampak

wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar

lagi untuk berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap

terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam keabadian

di sisi Al-Khalik, dengan kepakan sayap-sayap imannya

yang lebar. Dengan jiwa yang membaja, para kesatria

Karbala siap mengarungi lautan darah, membela

kehormatan dan cita-cita mulia bintang kejora dari

keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri

dalam semangat Husainiyyah, telah siap menyongsong

kematian yang suci.

Alhur mampu memporakporandakan pasukan musuh, dari

pihak musuh bernama Sofwan menghunuskan pedang dan

mengayunkannya ke arah tubuh Hur. Namun dengan

tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah

itu. Belum sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan

tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan

balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat

Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang dihunjamkan Hur.

Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.

Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau

diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin Sa’ad

segera memekikkan suara: “Hujani dia dengan panah.

Jangan biarkan dia lolos!”

Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar Alhur. Dia

tak kuasa menghalau serangan selicik itu. Tubuhnya

menjadi sarang beberapa anak panah beracun. Sebelum

tubuhnya roboh,  para sahabat Imam Husain as maju

menerjang musuh dan sebagian lain membopong  Hur yang

dalam keadaan sekarat, membawanya ke  hadapan Imam

Husain as.  Imam kemudian mengusap wajah Hur sambil

berucap:

“Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan

ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di akhirat.”[4]

innalillahi……..

Dengan gugurnya al-Hur, berikutnya satu demi satu

sahabat  setia al-Husain menawarkan diri untuk maju ke

medan pertempuran. Diantara para sahabat setia itu

adalah Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang

berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan musuh.

Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan

kata-kata indah kepada junjungannya, Imam Husain as:

“Wahai Putera Rasul!” Ucap Muslim. “Aku akan pergi

untuk memberikan berita gembira kepada kakek dan ayahmu

tentang ketibaanmu.” Ruh  Muslim bin Ausajah terbang

meninggalkan jasadnya yang fana setelah ucapan itu

tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan

anaknya. Darah sang anak mendidih menyaksikan kematian

ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera

menunggangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh

dan melancarkan serangan. Namun, gerakan itu dicegah

oleh Imam Husain as. “Hai pemuda!” Panggil beliau. “

Ayahmu telah gugur. Jika kamu juga gugur, siapakah

nanti yang akan melindungi ibumu?”

Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba

ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri. “Wahai

anakku, Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di

dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera Rasul?

Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu.”

Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah

segera menarik tali kendali dan memacu kudanya ke medan

pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari

belakang: “Bergembiralah anakku, tak lama lagi kamu

akan meneguk air telaga Al-Kautsar!” Suara ibunya ini

benar-benar menambah semangat putera Muslim, sehingga  

tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak

kurang dari 30 tentara musuh. Pemuda itu kemudian

tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya

dipenggal dan dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera

mendekap dan menciumi kepala putranya sambil berkata :

Wahai putraku, engkau sekarang telah memutihkan wajah

ibumu.. Innalillahi……

 

( BERLANJUT !!!!.... )