Maqtal / kronologi syahidnya Imam Husain as (2)
Berikutnya adalah Habib bin Madhohir maju ke medan
laga, ia hantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan
musuh yang mengakibatkan sejumlah orang dari mereka
tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan
menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari
tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya.
Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan
lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun,
berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang
Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat
setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi
mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang lagi
dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari
jasadnya.
Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak
kuasa menahan haru. Wajah beliau tampak sangat berduka
menyaksikan gugurnya pemegang tiang bendera sayap kiri
pasukan beliau. Kepergian Habib ke alam baka diiring
kata-kata beliau: “Wahai Habib, Pahala Allah untukmu,
Engkau adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu
malam engkau mengkhatamkan AlQuran.”
Alhusain kembali melantunkan beberapa kalimat dari
lisannya untuk para sahabatnya:
“Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah,
buah-buahannya telah matang, istana-istananya sudah
berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah
berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang gugur
bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan
kedatangan kalian. Mereka mengucapkan selamat kepada
kalian. Mereka merindukan kalian…..
Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak,
serta kobaran semangat sekaligus rasa haru mendengar
kata-kata dari sang pemimpinnya. Mereka menangis
tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris….
Jhaun adalah salah satunya., lelaki berkulit hitam. Dia
adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah
termasuk orang yang meminta sendiri kepada Imam untuk
turut serta dalam rombongan beliau dengan resiko
apapun, termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab
permintaan Jhaun, Imam Husain as berkata: “Dulu selagi
sehat, kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah
kamu kemanapun kamu hendak pergi.”
Jaun berkata: “Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di
saat keadaan sedang baik dan menggembirakan. Kini,
apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam
kesulitan?! Demi Allah, bau tubuhku tidak sedap, aku
lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulitku
hitam. Namun, apakah engkau tidak rela jika aku menjadi
penghuni surga sehingga aroma tubuhku harum semerbak,
jasmaniku tampak mulia, dan wajahku menjadi putih?!
demi Allah, aku tidak ingin berpisah denganmu sampai
darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu.”
Dengan restu Imam Husain as di Karbala, Jhaun ikut
berjuang melawan musuh. Seperti rekan-rekannya yang
lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang
dari balatentara musuh sebelum tubuhnya yang hitam itu
akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala.
Dia berhasil menggapai impiannya membela keluarga
Rasul untuk kemudian bergabung dengan mereka sebagai
para ‘bangsawan’ di alam surga.
Ditengah sengitnya pertarungan, ada seorang anak yang
masih berumur 11 tahun bernama Amer bin Junadah,
ayahnya baru saja syahid. Amer menghadap Imam sambil
berkata : wahai imam, izinkan aku untuk membelamu agar
dapat menyusul ayahku yang syahid. Imam menjawab :
engkau masih teramat kecil wahai Amer, lalu bagaimana
dengan ibumu nanti? Dengan tegas dia menjawab : wahai
cucu Rasulullah, sungguh!! ibuku sendiri yang
memakaikan baju perang ini kepadaku. Namun imam tetap
melarangnya. Amer bin Junadah menangis merintih dan
menemui ibunya sambil berkata pada ibunya : duhai ibu,
imam melarangku mati syahid menyusul ayahku. Sang ibu
yang baru kehilangan suaminya, mendatangi al-Husain dan
berkata : Wahai Imam, izinkan putraku ini untuk syahid
membelamu,agar wajahku kelak berseri-seri ketika
berjumpa ibumu Fatimah Az-Zahra.
Imampun kemudian mengizinkannya. Dengan gesit Amr
memasuki ke tengah-tengah pasukan musuh. Pembelaannya
tak berlangsung lama, tubuh kecil itu terhempas, darah
mengalir kesekujur tubuhnya, hingga syahid menyusul
ayahnya. Innalillahi…….. (ya Allah, jadikan anak-anak
kami seperti Amr bin Junadah, jadikan istri-istri kami
seperti ……)
Berikutnya seorang yang paling tua diantara sahabat
al-Husain, yang bernama Anas bin Harits Al-Kahili. Dia
adalah salah seorang sahabat setia Rasul yang pernah
ikut berperang dalam perang Badar dan Hunain. Dia
datang kepada imam untuk meminta izin berperang. Imam
menjawabnya : wahai Anas, engkau sudah tua
renta,punggungmu sudah bungkuk, rambutmu sudah putih
semua, sudah sepantasnya engkau mengurusi anak cucumu
di rumahmu, ini bukan tempat untukmu. Anas hanya mampu
mengeluarkan tetesan air mata, sambil berjalan ke
belakang kemah, lalu ia buka sorban pengikat kepalanya
dan ia ikatkan pada punggungnya supaya terlihat tegap.
Kembali Anas menghadap imam dan berkata dengan tegasnya
: Wahai putra Rasulullah, lihatlah punggungku sudah
tidak bungkuk lagi, aku masih tegap.aku masih mampu
menerjang musuh-musuh Allah, aku bersyukur di hari
tuaku yang sudah bungkuk ini,dapat memberikan tubuh
rentaku ini padamu, kapan lagi aku dapat kesempatan
untuk berjuang membelamu. Berderailah air mata al-
Husain mendengar kata-kata darinya. Imam berkat : Allah
berterimakasih kepadamu wahai Anas. Imam pun
mengizinkannya untuk berlaga di medan perang. Dengan
tangkas Anas memainkan pedangnya hingga 18 pasukan
musuh dapat dirobohkan, karena banyaknya musuh yang
mengerubunginya, akhirnya tenaga Anaspun berkurang dan
syahid membela Al-Husain. Innalillahi……
Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait
suci itu berguguran satu persatu. Darahnya telah
menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di
bumi Karbala (bumi duka nestapa). Jasad-jasad mereka
yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti
yang diharapkan musuh. Namun, jejak-jejak spiritual
mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna
untuk selamanya.
11. Banjir Darah Hari Asyura
Hari itu tanah Karbala sedang diguyur sengatan terik
mentari yang mengeringkan tenggorokan para pahlawan
Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati, satu
persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan
sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAWW.
Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini, manusia kelima
ashhabulkisa, akhirnya menatap pemandangan
sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci
Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani
itu, yang ada hanyalah onggokan jasad tanpa nyawa. Hari
Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait
Rasul, hari rintihan sunyi putera Fatimah, hari
keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit
tangis anak keturunan Nabi.
“Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah
sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang
pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?” Pinta
putera Ali bin Abi Thalib as itu kepada umat kakeknya,
Muhammad saww[2]
Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh
beberapa pemuda Bani Hasyim yang tidak lain mereka
adalah keluarga dan kaum kerabatnya. Diantara mereka
ada Ali Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar, remaja
yang rupawan, yang wajahnya mirip dengan wajah
Rasululah, meminta izin sang ayah untuk maju melawan
musuh. Sang ayah mendapati wajah anaknya itu dibinari
cahaya spiritual yang amat cemerlang, mengingatkan
beliau pada wajah Rasul. Wajah memohon itu direstui
tatapan bisu sang ayah. Hanya linangan air mata dan tak
sepatah katapun terucap sebagai kata perpisahan untuk
pemuda ksatria itu di alam fana. Demi tujuan sebuah
yang agung, Imam Husain as harus rela mengorbankan
jiwa dan raga putera yang sangat dikasihinya.
Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan
putera tercintanya, Ali Akbar, sebagai pejuang pertama
Bani Hasyim di Karbala. Dalam pertempurannya, Ali Akbar
selalu diperhatikan dengan seksama dan penuh ketabahan
oleh ayahnya. Dalam keadaan berlinang air mata, imam
Husain as berucap:
“Ya Allah, saksikanlah seorang remaja yang paras,
perangai, dan tutur katanya paling menyerupai rasul-Mu,
kini telah tampil berjuang melawan kaum itu. Kepada
wajah remaja inilah kami memandang jika kami sedang
merindukan Rasul-Mu.”
Ali Akbar bin Husain as sudah ada di medan laga. Tanpa
di duga pasukan musuh, mereka tercengang menyaksikan
kepiawaian Ali Akbar dalam berperang. Gerakan dan
ketangkasannya dalam bertempur mengingatkan mereka
kepada Haidar Al-Karrar alias Ali bin Abi Thalib as
yang tenar dengan julukan Singa Allah. Tak sedikit
pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sambaran pedang
Ali Akbar. Namun, saat tenaganya sudah terkuras dan
jumlah musuh seakan tak berkurang, Ali Akbar sempat
mendatangi sang ayah dan berkata: “Ayah, aku tercekik
kehausan sehingga (senjata) besipun kini
memberatkanku…”[3]
Imam Husain as menjawab: “Tabahkan dirimu, hai puteraku
tercinta. Sesungguhnya Rasulullah tak lama lagi akan
memberimu minum yang akan membuatmu tidak akan pernah
lagi merasa kehausan.”
Remaja berhati baja itu akhirnya kembali lagi ke medan
laga. Namun, keadaannya yang sudah nyaris tanpa daya
itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi
riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya disambut
dengan hantaman pedang tepat mengenai di bagian atas
kepala Ali Akbar. Darahnya yang mengucur segera disusul
dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara
bertubi-tubi. Dalam kondisi fisik yang mengenaskan itu,
bibir Ali Akbar mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan
kepada ayahnya:
“Sekarang aku sudah melihat kakekku yang sedang membawa
cawan yang beliau persiapkan untukmu.”[4]
Ali Akbar lalu tergolek di atas kudanya yang berputar-
putar ke sana kemari, setelah kehilangan kendali di
tengah riuhnya suasana perang. Tubuhnya yang sudah
mengenaskan itu, masih sempat dihantam senjata dan
dipanah lagi saat kuda yang tak terkendali itu bergerak
di sekitar pasukan musuh. Di saat-saat itulah, sambil
memanfaatkan sisa-sisa tenaga dan nafasnya, Ali Akbar
berucap lagi:
“salam atasmu wahai ayahku, sekarang aku sudah
menyaksikan kakekku Rasulullah. Beliau menyampaikan
salam kepadamu dan bersabda: ‘Cepatlah datang kepada
kami!'”[5]
Kata-kata yang didengar Imam Husain as ini segera
disambut dengan kata-kata lantang beliau: “Allah akan
membinasakan kaum yang telah membunuhmu!”[6]“Hai
orang-orang Kufah, aku berharap, mata kalian kelak akan
dipedihkan oleh tangisan, dada kalian akan dibebani
rintihan untuk selamanya, dan Allah tidak memberkati
kalian, dan Dia akan mencerai beraikan kumpulan
kalian.”
Setelah memekikkan kutukan ini, Imam Husain as maju
sendiri ke medan perang, menerobos dan membubarkan
barisan depan musuh. Beliau mendekati kuda Ali Akbar,
dan menggiringnya ke tempat yang aman, lalu menurunkan
tubuh penuh luka yang bermandikan darah puteranya itu
dari kuda. Tubuh suci direbahkan dalam pelukan hangat
beliau. Di situ dada Ali Akbar ternyata masih bergerak.
Setelah kelopak matanya terbuka perlahan, bibirnya
berucap:
“Ayahku yang mulia, aku sudah melihat pintu-pintu
langit terbuka, para bidadari di surga sedang berkumpul
sambil membawa cawan-cawan minuman dan memanggil-
manggil diriku. Sekarang aku akan pergi ke sana dan
membinarkan wajah mereka yang merindukan kedatanganku
…”
Ruh Ali Akbar melayang, setelah jasadnya menghembuskan
nafas terakhir. Kepergiannya ke alam keabadian, diantar
ayahandanya yang mulia dengan kata-kata:
“Adalah sesuatu yang berat bagi kakekmu, pamanmu, dan
ayahmu untuk tidak memenuhi permohonanmu.[7]
Imam Husain as membawa jasad putranya yang penuh luka
dan menjadi sarang anak panah itu ke arah perkemahan.
Sayyidah Zainab segera keluar dari dalam tenda, dan
menyambut jasad itu dengan jerit tangis dan ratapan.
Jasad itu dipeluknya dengan erat sambil meratap: “Oh
kemenakanku. Oh putera kesayangku.” Imam Husain as
mengantarkan adiknya itu ke dalam kemah para wanita,
lalu kembali memeluk jasad Ali Akbar sambil berucap:
“Puteraku, engkau sudah beristirahat dari kegundahan
dan kegetiran hidup di dunia. Kini tinggallah ayahmu
seorang diri.” “Innaa lillaahi wa innaa ilahi
raaji’uun.”
Musibah Qasim as
Setelah gugurnya Ali Alakbar, Qosim bin Hasan Almujtaba
juga memperlihatkan kesetiaannya kepada sang paman,
saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim
pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah
permohonan. “Paman, izinkan aku untuk ikut berperang.”
Pintanya. Imam menjawab: “Kamu bagiku adalah cindera
mata dari kakakku, bagaimana aku dapat merelakan
kematianmu?”
Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat
Qasim. Dia tetap memohon lagi agar beliau
mengizinkannya untuk bertempur melawan musuh. Namun
Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini
bersedih, lalu terduduk seorang diri sambil merenung
penuh duka cita. Di saat itu, tiba-tiba dia teringat
pada pesan ayahnya saat masih hidup, Imam Hasan as.,
kepada Qasim Imam Hasan pernah berpesan: “Jika nanti
suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah
catatan yang kamu ikatkan dilenganmu, lalu bacalah dan
amalkanlah.”[3]
Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah
sedemikian besar yang belum pernah dia alami
sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang
inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu. Surat itu
dibukanya dan disitu dia mendapatkan pesan ayahnya yang
mengatakan:
“Wahai Qasim, aku berpesan kepadamu, jika kamu
mendapati pamanmu Husain di Karbala dalam keadaan
terasing dan dikerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu
tinggalkan jihad, janganlah sampai kamu enggan
mengorbankan jiwamu demi pamanmu.”[4]
Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam
Husain as. Sang paman terharu, kemudian menangis begitu
menyaksikan ciri khas tulisan tangan kakak yang amat
dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim:
“Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka
saudaraku Hasan juga pernah berwasiat satu hal
kepadaku, sehingga akupun sekarang harus menikahkan
puteriku Fatimah denganmu.” Imam meraih tangan Qasim
dan membawanya ke dalam tenda. Beliau bertanya kepada
semua orang dan para pemuda yang ada di sekitarnya:
“Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan kepada Qasim?”
Semua orang menjawab tidak.
Lalu Imam meminta adiknya, Sayyidah Zainab, supaya
mengambilkan beberapa potong pakaian peninggalan Imam
Hasan as dari sebuah peti. Setelah pakaian diserahkan,
beliau mengenakan serban dan gamis Imam Hasan itu
kepada Qasim, lalu mengakadnikahkan Fatimah dengannya.
Begitu selesai, Imam berujar kepada Qasim: “Hai
puteraku, adakah sekarang kamu siap melangkah menuju
kematian?”[5]
Qasim menjawab: “Entahlah paman, bagaimana aku harus
pergi meninggalkanmu seorang diri tanpa pelindung dan
kawan, diantara sekian banyak musuh. Yang pasti, jiwaku
siap berkorban untuk jiwamu, diriku siap melindungi
dirimu.[6]”
Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat
sangat untuk berperang, Imam Husain as akhirnya rela
melepaskan Qasim berperang melawan musuh. Beliau
menyobek serbannya menjadi dua potong, satu untuk
beliau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau
kenakan dalam bentuk kain kafan. Setelah menyerahkan
sebilah pedang kepada Qasim, Imampun melepaskan
kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar menanti
korban-korban suci selanjutnya.
Meski usianya masih belia, Qasim akhirnya mementaskan
kehebatan ilmu perang yang dikuasainya di atas
gelanggang sejarah Karbala. Sejumlah musuh jatuh
bergelimpangan setelah menikmati kerasnya sabetan
pedang Qasim.
“Imam Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya
semangat, sementara pasukan musuh terus mengerubungi
sambil menganiayanya secara bertubi-tubi. Saat mereka
hendak memenggal kepalanya, remaja belia itu merintih
dan meminta diberi kesempatan untuk mengucapkan suatu
wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat
siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka,
ditujukan kepada kudanya dia berkata: “Katakanlah
kepada puteri pamanku, sesungguhnya aku terbunuh dalam
keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum
air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di
sini) kamu hendak mewarnai kukumu dengan sesuatu, maka
warnailah dengan darahku.”Innnalillahi……
Abul Fadl Abbas
Saat putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak
tersisa lagi kecuali Imam Husain as dan Abu Fadl Abbas,
tibalah giliran Abulfadl Abbas. Abbas sang pemegang
panji Karbala ini datang menghampiri kakaknya, Imam
Husain as dan berkata:”
“Terbunuhya para sahabat dan kerabatku, telah membuatku
tak kuasa lagi menahan rasa sabar. Maka izinkan aku
untuk membalas darah mereka.”
Abu Fadhl Abbas[1] as adalah pria yang berperawakan
tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya
putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik
Abbas, sehingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini
tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar bani
Hasyim).Keberaniann, kehebatan, dan kekuatannya saat
itu tak tertandingi oleh siapapun. hingga Imam Ali
Zainal Abidin Assajjad as berkata:
“Sesungguhnya Abbas di sisi Allah memiliki kedudukan
(sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada
cemburu menyaksikannya pada hari kiamat.”[2]
Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus
pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada
beliau adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan
aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Sang
Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata:
“Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang
pasukanku.” “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah
engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”[5]
Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya, sambil
membawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai
Elfrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat
ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai
itu, pasukan musuh segera mengepungnya sambil memasang
anak panah yang diarahkan kepada adik Imam Husain as
tersebut. Pemandangan seperti itu tak membuatnya
gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas
segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh.
Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa
sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas bergerak,
gerombolan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya,
penjagaan sungai ElFrat yang berlapis-lapis akhirnya
jebol diterjang pendekar Abbas.
Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya,
Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula dia
berusaha cepat mengisi girbahnya dengan air. Setelah
itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk
diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh
bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan
kerabatnya, yang sedang kehausan menantikan
kedatangannya. Air di telapak tangannya langsung dia
tumpahkan lagi sambil berucap:
“ Demi Allah! aku tidak akan meneguk air sementara
junjunganku Husain sedang kehausan.”[7]
Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh
jalur lain, melalui tanah yang ditumbuhi pepohonan
kurma, agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke
tangan Imam. Namun, perjalanan Abbas tetap dihadang
musuh. Dia tidak diperkenankan membawa air itu. Kali
ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas
dikepung lagi. Pasukan yang menghadang di depannya
adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan
sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuh
Abbas. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam
beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar
setiap musuh di depannya. Sejurus kemudian kepungan
musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik Abbas.
Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan
dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan yang
handal dalam berkuda diperintahkan untuk bekerjasama
menghabisi Abbas dengan cara menyelinap dan bersembunyi
di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan
musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang
juga bersembunyi di balik pohon, segera muncul sambil
menghantamkan pedangnya ke tangan Abbas. Tangan kanan
Abbas putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya
segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satu
tangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa
membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Abbas as
tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya
sudah lemah akibat banyaknya keluar darah. Dalam
kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama
Nufail Arzaq tiba-tiba muncul dari balik pohon sambil
mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak
sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang
diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan
Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam
keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba
meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Akan tetapi,
kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu
dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air
itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan
Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya
satu lagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan
itu, Hakim bin Tufail datang lagi sambil memukulkan
besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun terjatuh dari atas
kuda sambil berteriak kesakitan yang ditujukan kepada
kakaknya: “Wahai kakakku, temuilah aku!” Dengan
penggalan nafas yang masih tersisa, Abbas berucap lagi
untuk kakaknya: “Salam atasmu dariku, wahai Abu
Abdillah.”[9]
Suara dan panggilan Abbas ini terdengar oleh Imam
Husain as, sehingga beliaupun berangkat ke arah Abbas
sambil berteriak-teriak: “Dimanakah engkau?” AlHusain
tidak mendapatakan jawaban dari Abbas. AlHusain as
tiba-tiba dapat jawaban dari kuda yang tadi ditunggangi
Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. kuda
Abbas berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak
melihat ke tanah?”[10]
Imam lantas melihat ke tanah, tampaklah di depan mata
beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah.
Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya.
Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya
yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh
luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka.
Beliaupun menangis tersedu-sedu.
“Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah
menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.”
Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas. Di
tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas:
“Adikku Abbas, Semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan,. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan
sempurna.”[11]Jasad Abbas yang tak bertangan itu
ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar, bersuara
lirih: “Kakakku Husain, tolong! jangan engkau bawa aku
ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi
janjiku untuk membawakan air untuk anak-anak kecil itu,
aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-
orang di perkemahan sana tahu, bahwa aku telah
terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”Imam
Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya
yang bersimbah darah itu. Air mata Abbas yang mengalir
beliau usap. “Mengapa engkau menangis wahai Abbas?”
Tanya Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku.
Bagaimana aku tidak akan menangis, saat aku melihatmu
mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam
pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada
seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu,
tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu
dan tanah di wajahmu.” Kata-kata Abbas ini semakin
meluluhkan hati Imam Husain as, sehingga beliau semakin
terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di
sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari
yang membakar. Dengan hati yang pilu, Sang Imam
mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung
pasukannya yang sudah tak berdaya itu, lalu beranjak
pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur
tergeletak bermandikan darah, beralaskan debu, dan di
bawah guyuran cahaya panas mentari sahara
Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang
masih tak kuasa membendung derai air mata duka, segera
disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sukainah.
“Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia
telah berjanji kepadaku untuk membawakan air ? bukankah
pamanku tidak mungkin ingkar janji?”
Ali Ashgar
Setelah para pemuda dan para pengikutnya sudah
terbunuh, Imam Husain as akhirnya mempersiapkan diri
untuk mengorbankan jiwa dan raganya.Di saat-saat
terakhir itu, Imam Husain as mendatangi tenda satu
persatu. Beliau panggil anak-anak beliau. Beliau
meminta mereka untuk tabah dan sabar. “Hai para pelipur
hatiku sekalian, “Allah tidak akan berpisah dengan
kalian di dunia dan akhirat. Ketahuilah! dunia ini
tidaklah abadi. Akhiratlah tempat persinggahan yang
abadi.” Imam Husain as kemudian menumpahkan segala
rahasia kepemimpinan (imamah) kepada putera yang kelak
mewarisi kepemimpinannya, Ali Zainal Abidin Assajjad
as.
Imam Husain as antara lain berkata: “Pusaka-pusaka para
nabi, washi, dan kitab suci, aku serahkan kepada Ummu
Salamah, dan semuanya akan diserahkan (kepadamu)
sepulangmu dari Karbala.”
Imam lalu mendekati adiknya, Zainab AlKubra as dan
meminta supaya diambilkan gamisnya yang sudah lama dan
usang. Dengan wajah yang dipenuhi penderitaan dan duka
cita, Sayyidah Zainab mencarikannya kemudian
menyerahkannya kepada Imam. Beliau mengenakannya
setelah sebagian beliau sobek kemudian diikatkan kuat-
kuat sebagai tali yang mengikat gamis itu dengan
tubuhnya agar tak mudah lepas atau dibuka oleh orang
lain. Gerakan Sang Imam yang diiringi oleh ratapan dan
tangisan anggota kerabat yang ada di sekitarnya,
seiring dengan jerit tangis bayi mungil Ali al-Asghar,
putera beliau yang masih berusia enam bulan. Bayi itu
menjerit-jerit menahan dahaga setelah sekian lama tidak
mendapatkan tetesan air susu dari ibunya, yang juga
sudah lama tercekik kehausan.Tak tega mendengar
tangisan itu, Imam meminta puteranya yang masih bayi
itu supaya diberikan kepada beliau. Bayi itu diserahkan
kepada beliau oleh seorang wanita bernama Qandaqah.
Beliau meraih bayi itu lalu menciuminya sambil berucap:
“Alangkah celakanya kaum ini sejak mereka dimusuhi oleh
kakekmu.” Bayi bernama Ali Asghar itu beliau bawa ke
depan barisan pasukan musuh, dan memperlihatkannya
kepada mereka untuk menguji, adakah diantara mereka
yang masih menyisakan jiwa dan perasaan mereka sebagai
manusia.: “Ya Allah, hanya inilah yang tertinggal
dariku, dan jiwanyapun rela aku korbankan di jalan-Mu”
Beliau lalu menatap wajah-wajah manusia durjana di
depannya. Bayi itu beliau junjung ke atas sambil
berseru:
“Hai para pengikut keluarga Abu Sufyan, jika kalian
menganggapku sebagai pendosa, lantas dosa apakah yang
diperbuat oleh bayi ini sehingga setetes airpun tidak
kalian berikan untuknya yang sedang mengerang
kehausan.”
Tidak seorangpun diantara manusia iblis itu yang
tersentuh oleh kata-kata beliau. Yang terjadi justru
keganasan yang tak mengenal sama sekali rasa kasih
sayang. Seorang berhati srigala bernama Harmalah bin
Kahil Al-Asadi, diam-diam mencantumkan pangkal anak
panahnya ke tali busur, lalu menariknya kuat-kuat.
Tanpa ada komando, benda yang ujungnya runcing melesat
ke arah bayi Ali Asghar. Tidak sampai satu detik,
kemudian bayi malang itu, menggelepar di atas telapak
tangan Imam Husain as. Sang ayah yang tak menduga akan
mendapat serangan sesadis itu, sehingga tak sempat
berkelit atau melindunginya dengan cara apapun. Beliau
tak dapat berbuat sesuatu hingga bayi itu diam tak
berkutik. Ali Ashgar telah menemui ajalnya dalam
kondisi yang mengenaskan. Darah segar mengucur dari
lehernya hingga menggenangi telapak tangan ayahnya.
Dengan demikian, lengkaplah penderitaan Imam Husain as.
Dengan hati yang tersayat-sayat, beliau melangkah
kembali ke arah perkemahan. Beliau menggali lubang
kecil untuk tempat persemayaman jasad suci Ali Asghar.
Dari langit beliau mendengar suara bergema: “Biarkanlah
dia gugur, wahai Husain, sesungguhnya di surga sudah
menanti orang yang akan menyusuinya.”[2]
15. Perpisahan Terakhir
Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah
semakin berdetak keras. kepada kaum wanita, keluarga
dan kerabatnya, beliau yang siap menyongsong kesyahidan
itu berkata:
“Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah
menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa
Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan
menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan
kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab
musuh dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti
bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan
kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan
rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan
kalian.” [1]
Imam menatap wajah puterinya satu persatu sambil
berkata: “Sukainah, Fatimah, Zainab, Ummu Kaltsum,
salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan
akan segera tiba saatnya kalian dirundung nestapa.”[2]
Sang Imam kemudian bergerak untuk menjejakkan kakinya
seorang diri menuju gerombolan musuh yang sudah haus
akan darah beliau. Namun, gerakannya tertahan lagi oleh
sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga.
“Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku
korbankan.”
Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan:
“Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini kepadamu.
Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan
tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai
luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak
yatimku merindukan ayahnya, biarlah puteraku Ali yang
akan tampil sebagai ayah mereka.”
AlHusai kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang
sebelumnya ditunggangi oleh Abul adhl Abbas as. Anak-
anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan
ratapan duka lara. Gerakan Imam diiringi raung tangis
mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki kuda
imam.sambil memanggi-manggil: “Ayah! Ayah!” Panggil
puteri beliau yang masih berusia tiga tahun. “Aku haus,
aku haus! Mau kemana engkau ayah? Lihatlah aku, ayah.
Aku sedang kehausan.”
Hati Sang Imam kembali menjerit. Imam sempat tersedu
menahan tangis, tetapi kemudian tetap menarik kendali
kudanya menuju laskar iblis Bani Umayyah. terjadilah
duel satu lawan satu.. Akibatnya, satu persatu lawan-
lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban
hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad lantas berteriak
kepada pasukannya: “Tahukah kalian dengan siapakah
kalian hendak bertarung?!”
Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang
berhadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk
urusan ini. Dia adalah putera pendekar Islam, Imam Ali
bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang
dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang
Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar
yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan
pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang
mewarisi semua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak
mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh
siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab
itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-
cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau
yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap
merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-
habisan.
Hati musuh sama sekali sudah buta dan tak mengenal
belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu, tubuh
Imam Husain as terpaksa semakin bermandikan darah saat
tombak-tombak dan panah musuh ikut mengambil daya
pertahanan beliau.
Dari arah kemah para wanita, sayyidah Zainab tak kuasa
menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran
pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit
mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah, dan pamannya
yang sudah bersemayam di alam keabadian.
“Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Jakfar!” Ratap Zainab
tersedu-sedu. “Alangkah baiknya seandainya langit ini
runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya
gunung-gunung ini berhamburan menimpa sahara.”[6]
Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang
pembantaian kakaknya. Di saat yang sama, manusia biadab
Umar bin Sa’ad dan gerombolannya bergerak menuju
perkemahan keluarga dan rombongan Imam Husain as. Di
saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-
sengal menanti ajal, gerombolan manusia liar itu
mengobrak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul
tersebut. Mereka melakukan aksi pembakaran, merampasi
harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita
dan anak-anak kecil sebagai tawanan.
Sayyidah Zainab berteriak kepada Umar bin Sa’ad: “Hai
Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu
menyaksikannya sendiri?!” Entah mengapa, kata-kata
wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan
putera Sa’ad itu sehingga tak berani menjawabnya dengan
bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani
menjawab atau menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.
[7]
Zainab berteriak lagi: “Adakah seorang Muslim diantara
kalian?!” Tak seorangpun menjawabnya. Saat gerombolan
itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh
Imam Husain as yang masih bernafas, tiba-tiba bangkit
lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya
sehingga mereka mundur.
Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di
depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as mencoba
menjauh dari pasukan lawan untuk mengatur nafas. Namun,
tiba-tiba sebuah batu melayang dari arah musuh dan
mengena kepala beliau. Darahpun mengucur deras lagi.
Belum selesai beliau mengusap darahnya yang suci itu,
dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga.
Tertembus panah beracun itu, beliau berucap:
“Bismillahi wa billahi wa ‘ala millati
rasulillah.”Beliau menatap langit dan berdesah lagi:”
Ilahi, sesunggungnya Engkau mengetahui, mereka telah
membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah
putera Nabi.”[9]
Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau
mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah kembali
menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan
sebagian yang lain beliau usapkan ke wajahnya sambil
berucap: “Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu
dengan kakekku Rasulllah dalam keadaan berlumuran
darah, lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan
telah membunuhku.”[10]
Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat.
Untuk sementara waktu masih belum ada seorangpun yang
berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di
depan Allah SWT kelak. Diriwayatkan, bahwa saat itu
pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan wajah
kakek dan ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada
beliau: “Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sangat
merindukanmu di surga.”[12]
Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin
Sa’ad kembali buas dan memerintahkan anak buahnya untuk
segera menghabisi Imam Husain. Maka tampillah Shabats
sebagai orang pertama yang berani mendaratkan mata
pedangnya ke kepala Imam Husain as. Namun, saat mata
Imam menatap tajam wajah Shabats, tubuh pria ini tiba-
tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga pedang
yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat
pria itu berkata kepada Umar bin Sa’ad: “Hai Putera
Sa’ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar
nanti akulah yang akan dibalas. Tidak. Aku tidak mau
bertanggujawab atas darah Husain.”
Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan
bin Anas. “Kenapa kamu tidak jadi membunuhnya?!” Tanya
Samnan ketus.
Syabats menjawab: “Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua
matanya menyerupai mata Rasulullah. Sungguh, aku segan
membunuh seseorang yang mirip dengan Rasul.”
Sannan dengan congkaknya berkata: “Berikan kepadaku
pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut untuk
membunuhnya.” Begitu pedang itu pindah ke tangannya,
Sannan segera menenggerkannya di atas kepala beliau.
Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah
orang yang berniat menghabisinya itu. Seperti yang
dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba
juga menggigil ketakutan setelah ditatap Imam dengan
tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap:
“Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan
dengan-Nya dalam keadaan berlumuran darah Husain.”
Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang
menutupi wajah, dan hanya menyisakan celah untuk
matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat.
“Semoga ibumu meratapi kematianmu, kenapa urung
membunuhnya!?” Maki Syimir.
Sambil menyeringai Syimir berseru: “Berikan pedang itu
kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih
layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan
menghabisinya, walaupun dia mirip Al-Mustafa ataupun
Al-Murtadha.”
Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak:
“Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!” Tanpa
basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam
Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus kemudian yang
lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga
tak ada anggota tubuh suci cucu Rasul itu yang luput
dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-
batupun bahkan ikut meremukkan tubuh beliau.
Syimir bersumbar lagi sambil tertawa terbahak-bahak :
“tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh
Husain”. Dia bergerak mendekati Imam Husain yang
terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as
yang masih bergerak turun naik. Imam mencoba membuka
kedua kelompak matanya dan menatap wajah Syimir yang
menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau
kali ini tak meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat
membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang
tertutup kain itu malah keluar kata-kata:
“Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat
untuk membunuhmu. Demi Allah, akulah yang akan
menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu
kamu adalah orang yang paling mulia karena kakek, ayah,
dan ibumu itu.”
“Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang
sering diciumi oleh Rasul ini?”
“Aku Syimir bin Dzil Jausyan!”
“Apakah kamu tahu siapa aku?”
“Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu
Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-Mustafa, dan
nenekmu Khadijah Al-Kubra.”
“Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi
mengapa akan membunuhku dengan cara seperti ini?”
“Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin
Muawiah.”
“Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada
syafaat kakekku?”
“Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid.”
“Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali
membunuhku, maka berilah aku seteguk air.”
“Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa
meneguknya sebelum kamu meneguk kematian.”
Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup
muka yang hanya menyisakan celah untuk kedua matanya
yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syimir
yang buruk, kasar, belang, dan ditumbuhi bulu-bulu
keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti
penutup mulut anjing supaya tak menggigit. Melihat
wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:
“Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah.”
“Apa yang dikatakan kakekmu itu?!” Tanya Syimir angkuh.
“Kakekku pernah berkata kepada ayahku, Ali:
‘Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang
yang berkulit belang, bermata juling, bertutup mulut
seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.”
“Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah,
aku Pisahkan kepalamu dari lehermu.”
Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis mengayunkan
pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera
Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas, kepala manusia mulia
terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci
itu disusul dengan suara takbir tiga kali dari liang
mulut balatentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala
yang dulu sering diciumi oleh Rasulullah SAWW itu
ditancapkan ke ujung tombak.
Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu.
“Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas
putera pemuka para washi, salam atas putera Fatimah
Azzahra, salam atas putera Khadijah Al-Kubra, salam
atas putera Sidaratul Muntaha, salam atas putera surga
Al-Ma’wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas
dia yang telah bermlumuran darah bercampur debu, salam
atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam
atas orang kelima penghuni Al-Kisa’, salam atas dia,
orang yang paling terasing, salam atas pemuka para
syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para
malaikat di langit, salam atas manusia yang selalu
didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas
bibir-bibir yang kekeringan, salam atas jasad-jasad
yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang
terpenggal, salam atas wanita-wanita yang tertawan,
salam atas hujjah Allah.”
Salam kepad jasad yang berlumuran darah. Salam kepada
jasad yang dihiasi anak panah. Salam kepada jasad tanpa
kepala. Salm kepada jasad yang diinjak-injak ribuan
kaki kuda. Salam kepada kepala yang membaca ayat-ayat-
Nya. Salam kepada manusia ashhabulkisa. Salam kepada
Aba Abdillah Al-Husain. Salam kepada Ali putra Al-
Husain. Salam kepada putra-putra Al-Husain. Salam
kepada sahabat-sahabat Al-Husain.