Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Monotheisme dalam Islam (2)

0 Pendapat 00.0 / 5



Dalam pembahasan sebelumnya kami telah disinggung bahwa tauhid dibagi secara umum atas dua bagian; tauhid nazhari dan tauhid 'amali serta masing-masing dari dua bagian tersebut juga mempunyai bagian-bagian cabang.

Berdasarkan salah satu pembagian yang berkembang, tauhid nazhari dibagi atas tiga bagian:

1. Tauhid dzati atau tauhid pada dzat;
2. Tauhid sifat atau tauhid pada sifat;
3. Tauhid af'ali atau tauhid pada af'al (perbuatan).

Kami akan memulai pembahasan pada tauhid dzat dan kemudian membahas bagian-bagian lain tauhid nazhari, serta selanjutnya pada tauhid 'amali.

2. 1. Makna Tauhid Dzat serta Dimensi-dimensinya

Tauhid dzat, dalam istilah berkembang bermakna dzat Tuhan adalah satu, tidak satupun "mitsl" (serupa), sekutu, dan serupa-Nya.

Tetapi tauhid kadang digunakan dalam makna yang lebih luas dan di samping makna yang disebutkan di atas, juga meliputi "Basâthat" (kesederhanaan) dzat Tuhan dan penegasian rangkapan dari dzat Tuhan.

Dalam pandangan umum ini, tauhid dzat meliputi dua permasalahan:

1. Dzat Tuhan dari segala dimensi adalah sederhana, dan tidak ada sama sekali jalan rangkapan pada-Nya. Tauhid dzati dalam dimensi ini pada dasarnya adalah sama dengan menegasikan segala bentuk multiplisitas pada internal dzat Tuhan.
2. Dzat Tuhan tidak mempunyai setara, sekutu, dan serupa. Tauhid dzati dalam dimensi ini bermakna menegasikan multiplisitas pada eksternal dzat; yakni disamping dzat Tuhan, tidak ada dzat lain yang juga adalah Tuhan.

Sebagaimana yang dilihat, dapat diketahui bahwa dimensi tauhid dzat yang pertama adalah penafian rangkapan, sedangkan dimensi kedua adalah penafian kejamakan dari dzat Tuhan. Sebagian dari teolog dengan bersandarkan pada ayat dan riwayat, mereka menamakan dimensi pertama adalah tauhid "ahâdi" dan dimensi kedua adalah tauhid "wâhidi".[1]

Akan tetapi makna yang paling tepat dari tauhid dzat adalah dzat Tuhan tidak hanya tidak rangkap dan jamak, tetapi secara asas dan prinsip mustahil adanya rangkapan dan kejamakan pada dzat Tuhan.

Sebelum meninjau dimensi-dimensi tauhid dzat dan menjelaskan argumen para teolog, adalah pada tempatnya kita memberi penekanan pada poin ini bahwa tauhid dzat sebagaimana yang dipaparkan di dalam al-Qur'an dan riwayat-riwayat para maksum, memiliki kandungan yang sangat dalam, dan kisi-kisi serta batin yang bermacam-macam.

Sudah jelas untuk memahami kisi-kisi prinsip akidah ini secara lebih dalam, tidak mungkin tanpa mempunyai mukaddimah-mukaddimah yang dibutuhkan secara niscaya; oleh karena itu senantiasa harus kita ingat bahwa perenungan dan pemikiran yang dalam pada ayat-ayat al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang mempunyai kandungan tauhid, dapat mengarahkan kita pada kisi-kisi yang lebih dalam dari prinsip akidah ini.

2.2. Kesederhanaan Dzat Tuhan

Kami sudah utarakan bahwa dalam satu pandangan keyakinan terhadap kesedehanaan dzat Tuhan dan penafian rangkapan, adalah bahagian dari tauhid dzat. Akan tetapi sebahagian dari teolog melebihkan pembahasan ini tidak dalam kandungan pembahasan tauhid dzat, tetapi mengutarakannya dalam bahagian sifat-sifat "salbi" (negasi) Tuhan; sebab penegasian rangkapan dapat dipandang sebagai salah satu dari sifat salbi Tuhan.[2]

Apapun penafsirannya, untuk memahami dimensi-dimensi tauhid ini sebaiknya pertama kita meninjau pembagian rangkapan terlebih dahulu. Berdasarkan satu penggolongan, rangkapan memiliki tiga jenis:

1. Rangkapan akal: Rangkapan ini berada pada suatu kondisi dimana sesuatu (objek) memiliki bagian-bagian sesuai dengan analisa akal dan dalam wadah akal (tidak di luar akal). Komposisi sesuatu dari wujud dan adam,[3] komposisi quiditas-quiditas "imkani" (kontingen) dari quiditas dan wujud dan komposisi quiditas yang tidak sederhana dari jins (genus) dan fashl (differentia, pembeda), merupakan bentuk-bentuk dari rangkapan akal.
2. Rangkapan luar: Yang dimaksud dari rangkapan luar ini adalah sesuatu (objek) yang rangkap yang mempunyai bagian-bagian di luar. Komposisi benda (jism) dari materi (maddah) dan form (shurah) dan komposisi benda-benda materi dari unsur-unsur pertama, merupakan rangkapan luar.
3. Rangkapan kuantitas: Rangkapan ini terjadi pada sesuatu (objek) yang mempunyai ukuran kuantitas (panjang, lebar, dan volume), dan dikarenakan mempunyai kuantitas maka ia dapat menerima pembagian. Akan tetapi bagian-bagian ini tidak dalam bentuk aktual, tetapi dalam bentuk potensi, dan sesudah sesuatu tersebut terurai baru ia akan mendapatkan bentuk actual.[4] Perlu diungkapkan bahwa suatu golongan dari ahli kalam memandang rangkapan kuantitas termasuk salah satu dari bagian rangkapan luar; sebab wadah wujud dari bagian-bagian kuantitas adanya di luar akal.[5] Berdasarkan kondisi ini dikarenakan dalil perbedaan rangkapan kuantitas dengan pembagian rangkapan luar lainnya dari sisi aktual dan ketiadaan aktual bagian-bagian, maka kedua jenis rangkapan ini masing-masing menempati posisi secara berdampingan.

2. 3. Model Argumen Tauhid

Setelah dijelaskan bagian-bagian rangkapan yang bermacam-macam, saatnya giliran dijelaskan argument para ahli kalam dalam menafikan dimensi-dimensi rangkapan dari dzat Tuhan. Tetapi sebelumnya alangkah baiknya kami isyaratkan satu poin berkenan model argument tauhid.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pembahasan makrifat Tuhan dan tauhid, disamping dalam ilmu Kalam, dalam ilmu-ilmu seperti Filsafat dan Irfan juga menjadi topik pembahasan dan penelitian; sebab itu disamping ahli kalam, para filosof dan urafa islam juga mengutarakan pandangan-pandangan dalam terhadap masalah ini. Dan pada bagian-bagian yang membutuhkan istidlal, masing-masing dari aliran pemikiran ini mengutarakan konstruksi argument berasaskan prinsip-prinsip dan metode-metode spesifik mereka.

Natijah dari usaha yang luas tersebut, zaman ini kita mendapati suatu pembahasan seperti tauhid dengan model argumen yang melimpah.[6] Dan dengan memperhatikan tujuan buku yang hadir ini, tidak ada jalan lain kita harus memilih sebagian dari argumen-argumen itu. Oleh sebab itu seperti pembahasan sebelumnya, kita akan berusaha menyebutkan argument yang mempunyai warna kalam lebih banyak terlebih dahulu, dan berikutnya dengan kemantapan dan kekokohan yang layak mereka miliki, kami cukupkan sampai disitu.

2. 4. Argumen Ketiadaan Komposisi pada Dzat Tuhan

Untuk menetapkan kesederhanaan mutlak dzat Tuhan harus dibuktikan bahwa tidak ada jalan sedikitpun dari bagian-bagian rangkapan pada dzat Tuhan. Dengan memperhatikan kejamakan dan keragaman bagian-bagian rangkapan, secara lahir tidak ada satu dalil di tangan yang dengan berpegang padanya dapat menetapkan kemustahilan semua bagian-bgian rangkapan tersebut pada Tuhan dalam satu posisi; sebab itu tidak ada jalan lain kecuali kita mendapatkan konstruksi dalil-dalil yang beragam untuk tujuan di atas:

1. Penegasian rangkapan luar

Salah satu dalil dalam menegasikan rangkapan luar pada dzat Tuhan, dengan uraian sebagai berikut: Setiap kali kita perhatikan sesuatu yang rangkap di sisi bagian-bagiannya, kita akan mendapatkan bahwa wujud sesuatu tersebut (yakni wujud keseluruhan) berada dalam suatu kondisi bergantung terhadap wujud bagian-bagiannya, dan berada dalam suatu bentuk dimana dengan menafikan salah satu dari bagian-bagian, maka "kull" (wujud keseluruhan) juga akan menjadi tiada. Dengan ungkapan lain akal menghukumi bahwa setiap bagian, dalam wujudnya, dahulu atas kull (keseluruhan).[7]

Oleh karena itu wujud setiap sesuatu yang rangkap didahului oleh bagian-bagiannya dan bergantung pada bagian-bagiannya. Tetapi wujud Tuhan tidak mungkin didahului oleh wujud lain selain_Nya atau wujud Tuhan bergantung padanya; sebab hal ini tidak sesuai dengan keniscayaan wujud wâjibul wujud.

Sebagai natijah dari asumsi adanya rangkapan pada dzat Tuhan, keniscayaan dzat wajib sebagai wujud mumkin; padahal Tuhan adalah wâjibul wujud secara dzati. Dengan ini menjadi jelas kalau dzat Tuhan tidak mungkin mempunyai bagian-bagian luar.

2. Penegasian rangkapan akal

Salah satu argumen yang paling ringkas dalam menafikan rangkapan akal dari dzat Tuhan seperti berikut ini:

Rangkapan jins (genus) dan fashl (differensia, pembeda) serta rangkapan wujud dan quiditas (mahiyyah) merupakan kekhususan dari quiditas-quiditas. Dengan kata lain akal hanya dalam domain quiditas-quiditas, dimana dengan memisahkan sisi yang sama quiditas dari sisi khusus quiditas, ia (akal) memperoleh mafhum jins (genus) dan fashl (differensia) dan menyusun keduanya satu sama lain.

Dari sisi lain sudah jelas bahwa rangkapan antara wujud dan mahiyyah hanya dapat dikonsepsi jika terdapat jejak quiditas di situ. Oleh sebab itu rangkapan antara genus dan differensia serta rangkapan wujud dan quiditas hanya berlaku pada quiditas; sekarang sebagaimana dipembahasannya sendiri sudah ditetapkan,[8] bahwa dzat suci Tuhan adalah wujud murni dan tidak mempunyai quiditas.

Sebagai konklusi, dikarenakan dzat Tuhan tidak mempunyai quiditas, maka dzat Tuhan bersih dan suci dari rangkapan-rangkapan tersebut (rangkapan genus dan differensia serta rangkapan wujud dan quiditas).

Kita mesti ingat bahwa untuk rangkapan akal juga dapat dikonsepsi bentuk yang lain; yakni rangkapan antara wujud dan adam. Dalil dalam menegasikan jenis rangkapan ini adalah bahwasanya dzat Tuhan dikarenakan wâjibul wujud, maka (ia) memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan wujud; sebab seluruh kesempurnaan-kesempurnaan wujud adalah mumkinul wujud dan "ma'lul" (akibat-akibat) Tuhan dan tidak mungkin Tuhan sebagai sebab dari segala kesempurnaan-kesempurnaan, Dia sendiri adalah "fâqid" (tidak punya) kesempurnaan-kesempurnaan tersebut[9]; oleh sebab itu sama sekali tidak dapat dinegasikan kesempurnaan dari dzat Tuhan; sebab itu rangkapan antara wujud dan 'adam (dengan makna yang disebutkan; yakni ketiadaan kesempurnaan wujud) tidak ada jalan bagi Tuhan.

3. Penegasian rangkapan kuantitas

Salah satu dalil yang sangat pendek yang sudah dibangun untuk menegasikan rangkapan kuantitas , dengan penjelasan sebagai berikut:

Jika dalam dzat Tuhan diasumsikan terdapat bagian kuantitas, maka bagian tersebut ataukah ia mumkinul wujud atau wâjibul wujud. Jika ia mumkinul wujud, meniscayakan "juz" (sebagian) dengan "kull" (keseluruhan) berebada dari segi "imkan" dan "wujub"; sebab meniscayakan bahwa dzat Tuhan (sebagai kull) adalah wâjibul wujud sementara bagiannya adalah mumkinul wujud, dan ini adalah mustahil; sebab tidak mungkin dari susunan mumkinul wujud berpotensi menjadi wâjibul wujud.

Adapun bentuk kedua (Yaitu bagian kuantitas yang diasumsikan adalah wâjibul wujud) juga tidak mungkin; sebab sebagaimana kami katakan, bagian-bagian kuantitas adalah wujud potensi dan mustahil suatu wâjibul wujud adalah wujud potensi.

Dalil lain yang dapat mendukung stetmen di atas adalah bahwasanya rangkapan kuantitas terhitung sebagai spesifikasi jism, sedangkan benda (jism) juga mempunyai mahiyyah kebendaan; padahal dzat suci Tuhan tidak memiliki mahiyyah.

Dengan memperhatikan dalil-dalil yang disebutkan tersebut, maka menjadi terbukti bahwa dzat Tuhan dari segala sisi adalah sederhana dan tidak ada sama sekali jalan untuk terjadinya rangkapan pada-Nya. Dengan demikian dapat dibuktikan secara akal sisi pertama dari tauhid dzat, yakni tauhid "ahadi".

2. 5. Menetapkan Ketunggalan Tuhan dan Menafikan Kejamakan

Setelah menetapkan kesederhanaan dzat Tuhan, selanjutnya kita akan menetapkan tauhid dzat "wâhidi"; yakni menetapkan bahwa dzat Tuhan adalah Esa dan tidak mungkin ada wujud yang serupa dan sederajat dengan-Nya. Pada bahagian ini juga terdapat banyak argument yang dikonstruksi, namun kami mencukupkan dengan menyebutkan beberapa dalil saja:

1. Dalil pertama (kesempurnaan mutlak dan ketakterbatasan Tuhan) : Premis asli dalil ini adalah bahwasanya dzat Tuhan tidak terbatas, sempurna, dan mutlak dan tidak dapat sama sekali dikonsepsi keterbatasan pada-Nya; sebab wâjibul wujud meniscayakan bahwa dzat Tuhan tidak memiliki ketaksempurnaan; sebab ketaksempurnaan sama dengan kekurangan dan butuh, sedangkan butuh tidak sesuai dengan wâjibul wujud.

Sekarang jika kita asumsikan dua Tuhan (wâjibul wujud)[10], maka niscaya di antara keduanya berbeda; sebab dengan menegasikan semua bentuk perbedaan, maka asumsi dua wâjibul wujud juga akan ternegasikan. Dalam bentuk ini, kita menuju pada dua kemungkinan (kemungkinan ketiga tidak mungkin lagi dikonsepsi):

Kemungkinan pertama bahwa salah satu dari dua Tuhan yang diasumsikan adalah sempurna mutlak dan tidak terbatas serta memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan, sedangkan satunya lagi adalah kurang dan terbatas serta tidak memiliki sebahagian kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan pertama. Dalam bentuk ini sudah diketahui bahwa Tuhan hakiki adalah yang partama dan yang kedua disebabkan kekurangan dan ketebatasan tidak bisa ia adalah Tuhan. Dengan demikian kemungkinan pertama ini, dari asumsi kejamakan, justru berakhir pada tauhid (keesaan Tuhan).

Adapun kemungkinan kedua bahwa masing-masing dari dua Tuhan yang diasumsikan mempunyai kesempurnaan yang mana yang lainnya tidak miliki. Natijah dari kemungkinan ini yakni tidak satupun dari keduanya itu adalah Tuhan dan ini adalah menyalahi asumsi. Dalil dari bahasan ini yaitu berdasarkan kemungkinan kedua, dua Tuhan diasumsikan, terangkap dari wujud dan adam (ketiadaan sebahagian kesempurnaan-kesempurnaan wujud); padahal sebelumnya telah dibahas secara jelas jika dzat Tuhan bersih dari setiap bentuk rangkapan.

Dengan demikian asumsi kejamakan (berbilang) wâjibul wujud, dalam bentuk pertama berakhir pada tauhid dan dalam bentuk kedua meniscayakan suatu perkara mustahil (terangkapnya dzat Tuhan). Dan konklusinya asumsi kejamakan Tuhan adalah suatu asumsi yang tidak rasional.

Mungkin juga dikatakan terdapat kemungkinan ketiga dimana luput dari perhatian dalil-dalil di atas, dan kemungkinan itu adalah dua Tuhan yang diasumsikan memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan eksistensi. Dalam menjawab kritik tersebut kami ingatkan bahwa sebagaimana pada awal penalaran (istidlâl) sudah dikatakan, asumsi kejamakan meniscayakan suatu bentuk perbedaan; oleh sebab itu jika dua wâjibul wujud yang diasumsikan, keduanya memliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan, maka tidak akan terdapat lagi perbedaan diantara keduanya, dan ini tidak sesuai dengan asumsi pertama kita (yakni asumsi adanya dua Tuhan).

2. Dalil kedua (menafikan rangkapan) : Jika diasumsikan dua Tuhan (wâjibul wujud), maka dalam prinsip keniscayaan wujud keduanya adalah sama. Dari sisi lain sesuai dengan dalil yang diisyaratkan sebelumnya, asumsi kejamakan meniscayakan suatu bentuk perbedaan diantara keduanya. Sebagai contoh ketika dibicarakan tentang adanya dua buku, harus keduanya disamping memiliki kesamaan dalam hal kebukuan, juga paling minimal dari satu sisi (misalnya dari sisi warna, tempat, ketebalan, kandungan, dan…) keduanya mempunyai perbedaan. Oleh sebab itu asumsi adanya kejamakan Tuhan mempunyai pengertian bahwa dua Tuhan yang diasumsikan, dalam prinsip Ke-Tuhanan (keniscayaan wujud) keduanya adalah sama dan dari sisi bahwa dua Tuhan, maka terdapat perbedaan diantara keduanya.

Natijah dari asumsi di atas, masing-masing dari dua Tuhan yang diasumsikan mempunyai sesuatu yang dengannya mereka sama (sisi kesamaan) dan mempunyai sesuatu yang dengannya mereka berbeda (sisi perbedaan); oleh karena itu meniscayakan masing-masing dzat mereka terangkap dari dua bagian:

a. Bagian yang sama dengan Tuhan lain yang diasumsikan (sesuatu yang dengannya mereka sama);

b. bagian yang terkhususkan (sesuatu yang dengannya mereka berbeda); dan ini adalah makna terangkapnya dzat mereka; padahal kami sudah buktikan bahwa dzat Tuhan bersih dari berbagai bentuk rangkapan.[11]

Dengan demikian secara singkat dari dalil tersebut adalah asumsi kejamakan wâjibul wujud meniscayakan terangkapnya wâjibul wujud, dan sebab terangkapnya wâjibul wujud adalah mustahil, maka kejamakan wâjibul wujud juga adalah mustahil (merupakan keniscayaan dari itu).

3. Dalil ketiga (Burhan Tamanu'): Salah satu dalil yang paling terkenal tentang Tauhid adalah dalil yang dikenal dengan nama "burhân tamanu". Tentang dalil ini terdapat paparan rumusan dan riwayat yang bermacam-macam, dimana kami hanya mengisyaratkan satu rumusan berikut ini :[12]

Setiap kali diasumsikan dua Tuhan, maka kita akan menghadapi tiga kemungkinan :

Kemungkinan pertama : Hanya satu dari keduanya mampu mencegah terjadinya iradah yang lain; tapi yang lain tidak mampu melakukan hal ini. Dalam bentuk ini adalah jelas bahwa Tuhan hakiki adalah yang pertama dan yang kedua dikarenakan iradahnya terkalahkan, maka ia tidak mungkin adalah Tuhan.

Kemungkinan kedua : Masing-masing keduanya mampu mencegah terjadinya iradah yang lain.

Kemungkinan ketiga : Tidak satupun dari keduanya mampu mencegah terjadinya iradah yang lain.

Dua kemungkinan terakhir juga adalah suatu bentuk yang tidak sesuai dengan asumsi pertama kita, yakni asumsi adanya dua Tuhan; sebab kemungkinan kedua meniscayakan terkalahkannya iradah Tuhan-Tuhan yang diasumsikan dan kemungkinan ketiga mengharuskan kelemahan dan ketidakmampuan mereka dari keunggulan atas satu sama lain dan dua makna ini, yakni terkalahkannya iradah dan ketidakmampuan dari keunggulan yang lain adalah menyalahi wâjibul wujud.

Oleh sebab itu kemungkinan kedua dan ketiga juga tidak rasional, dan sebab tidak ada kemungkinan yang lain lagi diantara kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka asumsi kejamakan Tuhan adalah batil.

2. 6. Kesatuan Hakiki dan Kesatuan Angka

Di akhir pembahasan Tauhid dzati ini adalah sangat tepat kami utarakan beberapa catatan penting:

Ketunggalan dan keesaan Tuhan dalam pandangan kebanyakan masyarakat dikonsepsi dalam suatu bentuk kesatuan angka; yakni makna satunya Tuhan adalah sebagaimana makna yang digunakan untuk ibarat satu matahari dan atau satu bumi. Akan tetapi dengan perenungan rasional yang dalam dari satu sisi dan pengajaran Al-qur'an yang dalam serta sunnah islam dari sisi lain, makna lebih dalam dari tauhid dzati diberikan pada ikhtiyar kita yang biasanya disebut dengan tauhid hakiki.

Kesatuan angka dalam hal-hal dimana sesuatu berada dibawah konsepsi universal, dalam suatu bentuk yang memungkinkan keberadaan ekstensi-ekstensi yang banyak (berbilang) untuk konsepsi tersebut; oleh karena itu, disamping obyek (sesuatu) yang satu yang memiliki kesatuan bilangan, dapat juga obyek yang kedua dan ketiga atau…diasumsikan yang sama dengan itu, dalam suatu bentuk jika kita letakkan mereka saling berdampingan, kita akan sampai pada angka dua, tiga atau… Adapun dalam satu hakiki, kita tidak akan menghadapi sama sekali dengan konsepsi universal yang dapat mencakupi ekstensi-ekstensi beragam; akan tetapi di sini, sesuatu yang satu ada dalam suatu bentuk dimana secara asas asumsi dua, tiga atau… adalah mustahil untuknya.

Dengan perenungan yang dalam tentang hakikat dzat Tuhan menjadi jelaslah bahwa kesatuan Tuhan tidak seperti kesatuan angka; sebab tidak mungkin dihitung keberadaan satu atau beberapa Tuhan lain disamping Tuhan satu; bahkan Tuhan adalah esa, wujud murni dan tak terbatas serta kosong dari segala bentuk stipulasi dan syarat, dan asumsi adanya wujud lain disamping wujud ini adalah sesuatu yang mustahil dan tidak rasional.

2. 7. Tauhid Dzat dalam Al-Qur'an

Dalam pembahasan sebelumnya yang telah lewat dimana membahas bagian pertama dari pembagian tauhid nazhari yakni tauhid dzati, yang ia sendiri mempunyai dua sisi:

1. Keyakinan terhadap kesederhanaan dzat yang kadang disebut juga dengan "tauhid ahadi";

2. Keyakinan terhadap keesaan dzat Tuhan dan menafikan sekutu serta keserupaan dari-Nya yang kadang disebut dengan "tauhid wâhidi". Dengan memperhatikan penyebaran nisbi keyakinan kesyirikan seperti keyakinan terhadap dua atau beberapa Tuhan (seperti keyakinan pada dualitas dan trinitas) maka Al-qur'an karim memberi penekanan lebih banyak pada sisi kedua dari bagian tauhid dzati; kendati demikian sebagian dari ayat-ayat dapat juga digunakan pada prinsip tauhid "ahadi" dan kesederhanaan dzat Tuhan.

Al-Qur'an dalam surah As-Syuuraa dalam menjelaskan tauhid "wâhidi" dengan sangat jelas menyampaikan tentang ketunggalan dan ketakserupaan Tuhan: "Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia maha mendengar dan maha melihat" (Qs. As-Syuuraa [42] : 11).

Dengan memperhatikan kaidah bahasa arab, ayat ini menafikan keberadaan semua bentuk keserupaan dan kemisalan bagi Tuhan.[13]

Akan tetapi tentang makna yang dalam dari "kata" kalimat permulaan ayat ini apa, terdapat perbedaan pandangan diantara para mufassir. Sumber perbedaan ini adalah huruf "kaf" dalam kalimat "kamitslihi" yang merupakan huruf "tasybiih" (penyerupaan) dan bermakna misal dan seperti; oleh karena itu, seolah-olah di sini kata "seperti" terulang dua kali dan makna "lafzi" ayat adalah: "Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya". Di sini, masing-masing mufassir berusaha menjelaskan suatu bentuk hikmah dari pengulangan ini. Segolongan berkata secara asas huruf "kaf" di sini adalah huruf tambahan dan digunakan untuk lebih menegaskan kandungan dari ayat. Sebahagian lagi berkeyakinan bahwa kata "mitsl" dalam ayat bermakna "dzat", oleh karena itu maknanya adalah "Tidak ada sesuatu yang seperti (serupa) dzat-Nya".

Dari perbedan yang telah disebutkan, kita lewatkan saja, yang pasti makna ayat secara umum adalah jelas. Dzat Tuhan dari segala sisi adalah tidak terbatas dan maujud-maujud yang lain, semuanya adalah terbatas dan adalah alami bahwa dzat yang tidak terbatas tidak mungkin dibandingkan dengan maujud-maujud terbatas serta tidak ada tempat mempersoalkan jarak antara terbatas dan tidak terbatas. Dengan demikian, ayat yang menjadi topic bahasan dengan jelas menegaskan tentang ketakserupaan dzat Tuhan.

Ayat-ayat lain yang menjelaskan dan mempunyai makrifat tinggi tentang keesaan Tuhan adalah ayat-ayat surah At-Tauhid : "Katakanlah Tuhan adalah satu. Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada sesuatupun yang menyetarai-Nya" (Qs. At-Tauhid [112]: 1-4).

Dalam ayat pertama, Tuhan memerintahkan pada nabi-Nya mengumumkan secara jelas bahwa Allah adalah satu. Sebagian dari mufassir berkeyakinan bahwa dua sifat "ahad" dan "wâhid" ketika dimutlakkan pada Tuhan, maka satu sama lain adalah berbeda dan "ahad " menunjukkan atas kesederhanaan dzat sedangkan " wâhid " menunjukkan atas keesaan-Nya. Dalam bentuk ini, maka ayat pertama surah Tauhid menjelaskan kesederhanaan dzat dan menafikan segala bentuk rangkapan dari dzat Tuhan.[14]

Dari sisi lain, pada ayat akhir surah ini, secara gamblang dijelaskan bahwa Tuhan sama sekali tidak mempunyai "kufu" (setara). "Kufu" bermakna kesetaraan dan keserupaan; oleh karena itu, paedah ayat ini menafikan segala bentuk sekutu dan kesetaraan untuk Tuhan serta menetapkan keesaan-Nya. Akan tetapi mungkin kita akan berkata bahwa maksud dari "kufu" adalah suatu maujud yang dalam dzat atau perbuatan setara dengan Tuhan. Dalam bentuk ini, ayat yang menjadi topik bahasan, disamping tauhid dzat, menetapkan juga tauhid perbuatan seperti tauhid dalam kepengaturan dan kepenciptaan.[15]

Poin yang perlu diperhatikan juga dari al-Qur'an adalah didalam banyak ayat-yat sesudah menyifatkan Tuhan dengan ketunggalan dan keesaan, segera kemudian menegaskan sipat "qahhâr" (keperkasaan) Nya: "Maha suci Dia; Tuhan yang Esa lagi maha perkasa". (Qs. As-Zumar [39]: 4)[16]

Menurut keyakinan sebahagian mufassir, rahasia kebersamaan dua sipat "ketunggalan" dan "keperkasaan" adalah bahwa jika suatu maujud terbatas dan terhingga, pada dasarnya, maujud tersebut dikuasai dan dibawah pengaruh kait dan batasan yang membuatnya terbatas. Berasaskan ini, maka keperkasaan mutlak Tuhan bermakna bahwa tidak ada satupun kait, syarat dan batasan yang menghukuminya; bahkan Ia adalah wujud mutlak yang meliputi seluruh maujud-maujud.

Dengan demikian, kebersamaan yang menjadi topic bahasan pada dasarnya menjelaskan bahwa ketunggalan Tuhan bukan suatu bentuk ketunggalan dari angka; sebab sesuatu yang tunggal secara angka, dari satu sisi dibatasi kemungkinkan dikonsepsinya sesuatu yang semisal dengannya; dengan dalil bahwa dalam wilayah dan batasan, dimana diasumsikan sesuatu yang setara dengannya tidak mempunyai kehadiran di situ dan ketidak hadiran ini adalah suatu bentuk keterbatasan sehingga dengan demikian maka sesuatu yang pertama adalah dikuasai dan dikalahkan kait dan keterbatasan-keterbatasan.

Konklusi dari itu bahwa ayat-ayat yang menyertakan sipat keperkasaan dengan sifat ketunggalan, pada dasarnya menjelaskan bahwa Tuhan tidak hanya tidak mempunyai kesetaraan, bahkan secara asas keberadaan sesuatu yang setara dengannya adalah tidak rasional dan mustahil dan ini adalah makna dari "wahdah hakiki" (kesatuan hakiki) yang berhadapan dengan "wahdah adadi" (kesatuan angka).[17]

2. 8. Tauhid Dzat dalam Riwayat

Di ntara riwayat-riwayat dari para Maksum As, terungkap juga ucapan agung dan tinggi tentang masalah tauhid dzat. Sebagai contoh, Nabi Muhammad Saw dalam menjelaskan tentang apa makrifat……Tuhan, bersabda : "Hendaklah kamu mengetahui bahwa Dia tidak mempunyai mitsal dan serupa dan hendaklah kamu mengetahui Dia adalah Tuhan yang Esa, pencipta, kuasa, awal, akhir, zahir, dan batin, tidak ada yang sekufu dengan-NYa dan tidak ada yang semitsal dengan-Nya; ini adalah makrifat Tuhan yang layak bagi-NYa"[18]

Nabi Saw dalam hadits mulia ini, pertama menegaskan ketakserupaan (ketaksetaraan) Tuhan dan kemudian setelah menyebutkan sebagian dari sipat-sipat afirmatif-Nya, untuk yang kedua kalinya kembali kepada masalah tauhid dengan menjelaskan Tuhan suci dan bersih dari kesetaraan dan keserupaan.

Amirul Mukminin Ali As juga ketika dalam peperangan jamal ditanya oleh seseorang tentang tauhid, beliau mengisyaratkan empat makna untuk tauhid dan melihat hanya dua makna yang layak untuk derajat ketuhanan: "Adapun dua bagian dari tauhid yang (pemutlakannya) tidak boleh bagi Tuhan, (salah satunya adalah) bahwa seseorang berkata: Tuhan adalah satu dan maksudnya adalah satu angka. Jenis satu ini adalah tidak layak bagi Tuhan; sebab apa yang tidak mempunyai yang kedua, Dia tidak masuk dalam angka… dan (yang lain adalah) bahwa seseorang berkata: Tuhan adalah satu dari masyarakat dan maksudnya adalah sejenis dari genus. Jenis satu ini juga tidak layak bagi Tuhan kita; sebab meniscayakan keserupaan. Adapun dua bagian yang tetap untuk Tuhan adalah seseorang berkata: Dia adalah satu dan diantara sesuatu Ia tidak mempunyai keserupaan. Ya, Tuhan kita seperti demikian. (Dan yang keduanya adalah) seseorang berkata: Tuhan adalah "ahadiyyul makna" dan maksudnya adalah Dia tidak menerima pembagian dalam wujud, akal dan imajinasi. Ya, demikianlah Tuhan kita".[19]

Sebagimana yang kita lihat, imam as. tidak memandang dua bagian dari pembagian "ke-satu-an" layak untuk maqam ketuhanan dan tidak membenarkan perelasian dua macam kesatuan tersebut pada dzat Tuhan :

Bagian pertama, kesatuan angka. Dan dalil penafiannya adalah bahwa satu angka, memiliki angka dua, angka tiga serta… dan atau paling minimal memungkinkan keberadaan kedua untuknya; padahal tidak ada kemungkinan dikonsepsi sesuatu yang kedua untuk Tuhan.

Bagian kedua, adalah kesatuan yang mana sesuatu disipati dengannya dalam perbandingan dengan kebersamaannya dalam specis atau genus. Dalam hal ini, kita mempunyai pemahaman specis atau genus tertentu yang dimutlakkan disamping atas obyek yang menjadi tinjauan, juga dimutlakkan untuk obyek-obyek lain (seperti Zaid yang dipandang sebagi seorang manusia atau sebagai hewan). Jenis kesatuan ini juga ternegasikan terhadap Tuhan; sebab keniscayaannya adalah kita juga meninjau bagi-Nya keserupaan dengan obyek-obyek yang bersekutu dengan-Nya dalam specis atau genus dan sesuatu ini tidak lain kecuali adalah penyerupaan Tuhan dengan selain-Nya.[20]

Selanjutnya, Imam As mengungkap dua jenis kesatuan yang boleh dimutlakkan untuk Tuhan. Dengan merenungi kalimat Imam As maka menjadi jelas bahwa dua jenis kesatuan ini, adalah meninjau pada dua sisi yang telah kami sebutkan dalam tauhid dzat; yakni ketaksetaraan dzat Tuhan dan kesederhanaan dzat Tuhan.

Kalimat: "Tidak ada baginya keserupaan dalam sesuatu", adalah meninjau pada sisi pertama; yakni bahwasanya Tuhan tidak memiliki keserupaan dan ke-mitsal-an; dan kalimat: "Sesungguhnya Tuhan adalah ahadiyyul makna…", adalah menjelaskan sisi yang kedua, yakni kesederhanaan dzat-Nya. Yang mengagumkan adalah bahwa Imam As dengan suatu metode mengisyaratkan pada bagian-bagian rangkapan: Secara lahir maksud dari pembagian dalam wujud adalah pembagian dalam rangkapan luar dan maksud dari pembagian dalam akal juga adalah rangkapan akal (seperti terangkapnya sesuatu dari wujud dan mahiyyah). Pembagian imajinatif juga masuk pada proporsi dimana sesuatu tidak mempunyai bagian-bagian secara actual, dengan bantuan potensi imajinasi kita dapat membagi sesuatu itu (seperti pembagian zaman dengan bagian-bagian yang diasumsikan).

Apapun bentuk penafsiran, Imam As memandang bahwa tauhid dzat bermakna menegasikan setiap bentuk sekutu dan serupa dan juga menafikan setiap bentuk rangkapan dari dzat Tuhan, oleh karena itu beliau memandang bahwa makna demikian ini adalah layak bagi Tuhan.

Amirul Mukminin di tempat lain secara jelas mengingkari kesatuan angka bagi Tuhan: "(Tuhan) adalah tunggal yang ketunggalan-Nya bukan angka dan Dia adalah abadi yang wujud-Nya tidak mempunyai akhir".[21]

Dari Imam Shadiq As juga diriwayatkan bahwa seorang sahabat beliau bertanya tentang makna "Allâhu akbar". Orang itu berkata: "Tuhan lebih besar dari segala sesuatu". Imam As berkata:"Apakah disamping Tuhan ada sesuatu sehingga Tuhan lebih besar darinya?" Ketika itu Imam As sendiri yang menjelaskan makna "Allâhu akbar" seperti ini: "Tuhan lebih besar dari apa yang disifatkan (pada-Nya)."

Tidak diragukan, Imam As dalam ungkapan ini mengisyaratkan salah satu dari paling dalamnya tingkatan-tingkatan tauhid: Adalah dengan makna tauhid murni dimana kesatuan hakiki, wujud mutlak dan ketidakterbatasan Tuhan secara asas tidak menyisakan tempat untuk membandingkan Dia dengan makhluk-makhluk-Nya; sebab setiap bentuk perbandingan mengandung penyerupaan Tuhan dengan selain-Nya. Ya, tauhid murni memestikan bahwa Tuhan suci dan bersih dari setiap bentuk penyifatan, sebab penyifatan itu sendiri adalah meniscayakan penyerupaan.

Referensi

[1] . Sebagai contoh merujuk pada : al-Ilahiyyât 'alaa Hudaa al-Kitâb wa…,jil.1, hal.11.

[2] . Merujuk pada: Kasyful Murâd, hal.317 dan Manâhijul Yaqiin fii Ushuluddin, hal.201.

[3] . Yang dimaksud dengan rangkapan wujud dan adam bukanlah bahwa kewujudan sesuatu dan ketiadaan sesuatu adalah berkumpul; sebab wujud dan adam adalah saling kontradiksi dan berkumpulnya sesuatu yang kontradiksi adalah mustahil. Tetapi yang dimaksud dengan itu adalah bahwa pada suatu obyek (benda), berkumpul keberadaan sebagian kesempurnaan-kesempurnaan dengan ketiadaan kesempurnaan-kesempurnaan lain, dalam bentuk bahwa dapat diambil dari dzat sesuatu tersebut, ketiadaan kesempurnaan-kesempurnaan "mafqûd" (yang ia tidak miliki).

[4] . Sebagai contoh, tali yang panjangnya satu meter dapat diputus dua menjadi dua bagian tali setengah meter. Tapi sebelum diurai, dua bagian tersebut (dua potongan tali setengah meter) ia maujud hanya dalam bentuk potensi.

[5] . Sebagai contoh, Allamah Hilli dalam Kasyful Murâd, menghitung rangkapan kuantitas sebagai bagian dari rangkapan luar, Kasyful Murâd, hal.317.

[6] . Mullah Abdullah Mudarris Zanuzi dalam kitab Luma'atul Ilahiyyah hal. 195-124, mengkonstruksi 11 argumen atas tauhid dzat.

[7] . Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan akal dan filsafat, preseden ini adalah preseden "thaba'i"(natural); bukan preseden secara zaman.

[8] . Stetmen ini sudah terbuktikan dengan beberapa dalil; di antaranya adalah diutarakan: setiap quiditas, dikarenakan relasinya sama terhadap wujud dan 'adam, maka adalah mumkinul wujud. Kemudian dengan berpegang dengan kaidah "aks naqiidh muwaafiq" ditetapkan bahwa setiap apa yang bukan mumkinul wujud (yakni wâjibul wujud) maka tidak mempunyai mahiyyah.

[9] . Berdasarkan satu kaidah filsafat yang mengatakan: Pemberi sesuatu (sebab kewujudan sesuatu) tidak mungkin ia sendiri adalah tidak memiliki sesuatu itu (mu'thii syaii laa yakuunu faaqid lahu)

[10] . Dalam dalil yang akan kami bawakan, untuk kemudahan pembahasan, adalah pembicaraan tentang keberadaan dua Tuhan; akan tetapi paedah dari argumentasi secara lebih utama juga menolak asumsi keberadaan beberapa Tuhan.

[11] . Disebagian rumusan-rumusan dari dalil ini terdapat suatu penyempurnaan; sebab rangkapan dalam dzat dalam bentuk ia niscaya adalah bahwa bagian tertentu (apa yang dengannya berbeda) berada dalam dzat dua Tuhan yang diasumsikan. Sekarang mungkin ada statmen bahwa apa yang dengannya berbeda berada di luar dari dzat kedua Tuhan tersebut dan mengaksiden pada dzat. Dalam bentuk ini dalil di atas bisa disempurnakan dalam bentuk ini : Berdasarkan suatu kaidah akal, setiap perkara aksidensi adalah akibat dan oleh karena itu apa yang dengannya berbeda dari dua wajib, merupakan perkara akibat. Sekarang jika sebab dar apa yang dengannya berbeda, adalah dzat wâjibul wujud sendiri, maka memestikan bahwa dzat, dengan keniscayaan kedahuluan sebab atas akibat, adalah dahulu atas perbedaannya sendiri, akan tetapi kedahuluan sesuatu atas perbedaannya sendiri adalah mustahil; sebab sesuatu sebelum perbedaannya tidak mempunyai realitas. Dan jika sebab apa yang dengannya berbeda adalah di luar dari dzat, memestikan bahwa dzat wâjibul wujud dalam berbedanya sendiri butuh pada yang lain dan makna ini tidak sesuai dengan wâjibul wujud.

[12] . Menurut pandangan kami sebagian dari rumusan-rumusan burhan "tamanu", dari sisi bahwa ia mengambil bentuk hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya (kepenciptaan Tuhan), adalah lebih cocok dalam kedudukan menunjukkan dalil atas tauhid dan kepenciptaan (yang merupakan bagian dari tauhid perbuatan dan akan diutarakan pada bahasan yang akan datang).

[13] . Berasaskan kaidah bahasa arab, keberadaan isim nakirah dalam konteks kalimat negative, menunjukkan atas keumuman; berdasarkan ini maka ayat yang menjadi bahasan, keberadaan nomina non artikel (isim nakirah) "syai" sesudah fi'il nafi (yakni laisa) menyampaikan pada keumuman nafi (negasi).

[14] . Lihat al-Mizân, tafsir surah Tauhid, jld.20, hal.387-389.

[15] . Ibid.

[16] . Kandungan ini juga digunakan dalam surah Yusuf (12) :39, ar-Ra'd (13):16, Ibrahim (14) :48, Shad (38):65 dan al-Gaafir (40):16.

[17] . Untuk penelahan lebih detail bahasan ini merujuk pada: al-Mizân, surah al-Maidah (5): 86, jld.6, hal.86-91.

[18] . Bihârul Anwâr, jld.3,hal.14.

[19] . At-Tauhid, bab 3, hadits 3.

[20] . Adalah layak untuk diutarakan bahwa kesatuan spesies atau genus, ia sendiri adalah terhitung sebagai kesatuan angka. Dalam konteks ini, Imam As pertama-tama menafikan kesatuan angka secara global dan kemudian dalam bentuk khusus, membatilkan kesatuan spesies dan kesekutuan Tuhan dengan obyek-obyek lain dalam komprehensi-komprehensi spesies atau genus.

[21] . Nahjul Balâghah, khutbah 185.