Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat?

1 Pendapat 05.0 / 5

Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”

Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi

saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala

hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw

pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan

pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu

Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah

aqidah  yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar

Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan

didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan

mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww

pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan

melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang

tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu

ciri dari ghulu.[1]

Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah  :

وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام

رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر،

وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو

نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.

Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari

Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as

bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah

saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam

keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww

bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah)

sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan

shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul

saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah

rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang

mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu

terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi

saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina

karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau

lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa

telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]

Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan

antara sahw (lupa) denganIsha (Melupakan-butuh objek),

karena kalau  sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang

yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang

terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian

tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’)

nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh

lalai atau pengaruh syaetan karena إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ  

(Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-

orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-

orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3] dan nabi

tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis

sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa

kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww

pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan

risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi

kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai,

tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi

karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain

hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang

musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu,

tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan

mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh

kepada ummat.

 

 

Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra

Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq

mengenai isha’ nabi sawwtsubutan (alam kemungkinan)

bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak

sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha’ karena bertolak

belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi

secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam

risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan

bahwa isha’ pun tidak mungkin terjadi, yang mana

Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah

hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi

permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa

hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama

dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi

saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam

shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan

juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah

kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah

Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau

terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang

sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli

itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.

Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan

Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya,

sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh

Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya

yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi

Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada

keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau

yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi

maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh

sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam

riwayat man la yahdhuruhu alfaqih tidak bisa dijadikan

pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat

tersebut.

Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra

Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang

dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal

tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-

Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam

kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka

kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu

dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn

Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât

menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam

fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6] Walapun sebenarnya

hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud

sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak

jumlahnya.

Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh

didalam Al-kafi sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ

اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا

صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ‏ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …

Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww

pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena

lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-

Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada

yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab :

memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata

sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian

Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah

kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka

berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan

shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ

اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ

يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …

Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as

bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua

rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai

rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam

shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?,

mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul

saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain,

yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata

betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan

menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat,

kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah

yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]

Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa

lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan

sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam

didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad

sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak

ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang

dengan riwayat sahih lainnya.

 

 

Ta’arudh Hadits

Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai

kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada

nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan

banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam

tahdzib:

عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-‌

سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ

‌قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا

ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ

Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn

Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn

Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far

as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua

sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as

menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih

(orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.

Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana

berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak

sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa

kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang

sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami

menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku

didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari

sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi

pernah lupa) [9]

Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah

imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan

hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena

riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa

dan melakukan sujud sahwi,  adapun mengenai sifat nabi

saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui

khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi

bertanya kepadadzulyadain atau lainnya mengenai

sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya.

Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih

semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :

 عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من

مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين

جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک

و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن

الله قلبه للايمان …

Dari “beberapa sahabat kami” dari Ahmad ibn Muhammad

dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata :

ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya

sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda :

jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya,

kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh

petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah

menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh

lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan

tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula

lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin

(kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw

(lupa),  hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah

terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut

kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau

mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan

keimanan…[10]

Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min

ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar

ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn

Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah,

Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn

Muhammad Albarqi.[11]

Isi dari hadits tersebut  secara jelas menerangkan

bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari

lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak

mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).

Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang

menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya

atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa

sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.

Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi

pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak

pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita

menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan

keluarnya?

 

 

Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang

saling bertolak belakang)

Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya

dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari

minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau

sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah,

sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad

sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak

belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab

itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya

hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita

melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi

dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan

mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.

Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara

isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh,

atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-

Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua

al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi

baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya

adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang

mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara

dua kubu riwayat (dalil) diatas.

Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara

dua dalil tersebut ada yangmustaqir ada yang ghair

mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh

alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-

dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl

al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk

dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu

dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang

sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir

tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara

mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya.

Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan

cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf

bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah

satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang

dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang

khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi

kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah

lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua

kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara

al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas

masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang

harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah

ta’arudh mustaqir?

Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau

mengalami ta’arudh mustaqirmaka yang terjadi adalah

tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil

tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra

bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan

tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut

kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut

diantaranya:

إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما

في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.

Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua

hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya

pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan

kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka

tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam

kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits

(mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka

tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]

Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran,

sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan

ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil  

makna ithlaq  dari makna maksum yang meliputi juga

maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat

tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya

dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita

merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada

hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan

bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah

lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab

Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat

yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat

yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan

riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat

dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang

bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa

nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.

Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh

Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak

termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang

menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi

saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi

tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram

didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul

saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari

ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama

syiah sekalipun.

 

CATATAN :

[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-

1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet.

Islami

[2] Idem, hadits ke-1031.

[3] An-Nahl:100

[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23,

Maktabah Syamilah

[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli,

hal.100

[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal

236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,

[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man

takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.

[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man

takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits

[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2,

hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-

Islami

[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab

al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits

[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-

tsâlitsah.

[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah

ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi,

1430

[13] Idem, hal.452

[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah

ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi,

1430

[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl,

al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr

Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail

jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits

ke-29