Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kenapa Iman Manusia Selalu Naik Turun? (Bag 1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Sering terbersit di benak kita suatu pertanyaan yang

dialami semua orang. Terkadang kita rajin beramal, dan

suatu saat menurun. Terkadang semangat ingin

mendekatkan diri pada Allah, lalu down kembali. Iman

ini selalu naik turun dan tidak stabil. Saat mendengar

ceramah dari guru, seakan ingin membuang kecintaan

kepada dunia dan fokus menuju Allah. Namun setelah

keluar dari pengajian, semangat itu pudar.

Bagi anda yang mengalami masalah ini, jangan pernah

putus asa. Karena masalah ini dialami oleh semua

orang. Pernah seorang sahabat datang kepada Rasulullah

saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, saat kami sedang

duduk bersamamu, kami seakan tidak ingin lagi

berhubungan dengan apapun kecuali mendekatkan diri

kepada Allah. Namun ketika pulang, kami meluakan hal

itu.”

Rasulullah menjawab, “Jika kalian tetap seperti saat

duduk denganku dan mendengar ucapanku, pasti kalian

akan mampu berjabat tangan dengan malaikat.”

Kisah ini membuat hati kita tenang, karena bukan hanya

kita yang mempunyai masalah tentang naik turunnya

semangat dalam beribadah. Orang-orang yang duduk

bersama nabi pun mengalami hal itu. Lalu bagaimana

cara agar kita bisa selalu semangat mendekatkan diri

kepada Allah? Bagaimana cara untuk menstabilkan iman

agar tak pernah lalai dari perintah dan larangan-Nya?

Sebelum kita bertanya tentang hal ini, kita harus tau

terlebih dahulu tentang apa yang mendorong seseorang

untuk melakukan sesuatu? Apa yang membuatnya semangat

dan rajin untuk beramal?

Manusia melakukan sesuatu karena dua hal. Apakah dia

ingin mendapat keuntungan atau ingin terhindar dari

bencana. Tak lebih dari itu. Jika kita tau ada

keuntungan yang besar, pasti kita akan rajin untuk

berusaha meraihnya. Jika kita tau cara untuk menolak

bencana, pasti kita akan berupaya keras untuk

melakukannya.

Karena itu, kita harus mencari tau apa keuntungan

terbesar dan apa bencana terbesar bagi kita. Jangan

sampai kita menghabiskan waktu hanya untuk keuntungan

yang kecil dan melupakan keuntungan yang besar. Jangan

sampai umur kita habis sementara kita belum terbebas

dari bencana terbesar.

Puncak keberuntungan seorang manusia adalah ketika dia

memasuki surga. Karena dia akan hidup kekal abadi

didalamnya. Dan dibalik surga itu ada kerelaan Allah

swt yang lebih besar dari semua keuntungan apapun.

Sementara bencana terbesar adalah saat manusia harus

hidup selamanya dalam siksaan neraka. Adakah yang

lebih besar dari ini? Imam Ali pernah berpesan,

    “Setiap kenikmatan tanpa surga adalah hina, dan

setiap bencana tanpa neraka adalah keselamatan”

Segala keberuntungan yang tidak menyampaikan kita pada

surga, sebenarnya itu adalah hal yang semu dan hina.

Dan seluruh bencana yang tidak mengantarkan kita pada

api neraka bukanlah bencana. Semua itu tidak bisa

dibandingkan dengan bencana api neraka.

Sekedar pengetahuan tidaklah cukup untuk membuat kita

rajin beramal. Sekedar rasa percaya pun tidaklah cukup

untuk menjadikan diri selalu semangat mendekat pada

tuhan. Ada faktor lain yang menjadi bahan bakar kita

dalam melakukan sesuatu. Apakah faktor itu?

Jika ada seorang yang terpercaya menjanjikan uang 50

juta jika kita datang ker rumahnya hari ini, pasti

kita tidak akan tidur karena takut akan terlambat. Hal

itu karena kita yakin kepada seorang yang berbicara.

Kadar amal kita sebanding dengan kadar keyakinan kita.

Semakin kita yakin maka kita akan semakin rajin untuk

beramal.

Ya, faktor yang membuat kita mau melakukan sesuatu

adalah keyakinan. Pengetahuan kadang tak cukup untuk

membuat kita melakukan sesuatu. Coba perhatikan, Allah

swt tidak mengutus para nabi kecuali dengan Mukjizat.

Allah memberikan mukjizat itu agar manusia yakin

kepada apa yang dibawa oleh para nabi. Karena tanpa

keyakinan, mustahil mereka akan mengikuti para nabi.
وَجِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَطِيعُونِ -٥٠-

“Dan aku datang kepadamu membawa suatu tanda

(mukjizat) dari Tuhan-mu. Karena itu, bertakwalah

kepada Allah dan taatlah kepadaku.”
(Ali Imran 50)

Para nabi menampilkan mukjizat terlebih dahulu,

barulah mereka menyeru kepada kebenaran.

Bayangkan jika ada seorang yang dikenal sering

bergurau, dia berkata bahwa dibelakang ada api.

Mungkin kita akan tertawa dan tidak mempercayainya.

Kata-katanya tidak membuat orang lain bergerak untuk

lari. Tapi ketika yang berbicara adalah orang yang

berwibawa dan tidak pernah berbohong, spontan kita

akan lari terbirit-birit walau kita tidak melihat api

itu.

Begitulah kerja keyakinan. Seberapa yakin kita pada

sang pembawa berita, sebesar itulah kadar amal kita.

Seberapa yakin kita terhadap Rasulullah saw, sebesar

itupula kadar amalan yang kita lakukan.

Karenanya, Allah swt berfirman,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ -٢-

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya;

petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
(Al-Baqarah 2)

Allah mengawali al-Qur’an dengan menafikan segala

bentuk keraguan didalamnya. Tidak ada lagi yang bisa

diragukan dari Al-Qur’an. Mengapa Allah mengawalinya

dengan sifat ini? Karena seseorang tidak akan

mengamalkan ajaran Al-Qur’an jika dia belum yakin pada

kebenaran Kitab ini.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ -٥٠-

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum)

siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi

orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
(Al-Ma’idah 50)

Semuanya kembali pada keyakinan. Surga dan neraka

tidaklah menarik bagi mereka yang tidak yakin kepada

Rasulullah saw.

Keyakinan adalah pengetahuan yang tidak bisa

digoyahkan. Kepercayaan yang tidak lagi mampu

dilunturkan. Lihatlah bagaimana Al-Qur’an berbicara

tentang orang yang ragu terhadap keputusan Rasulullah

saw.
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ -٤٥-

“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu

(Muhammad), hanyalah orang-orang yang tidak beriman

kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu,

karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.”
(At-Taubah 45)

Coba perhatikan, Allah swt menggandengkan sifat ragu

itu dengan tidak beriman. Karena tidak ada keyakinan

terhadap Rasulullah dalam hati mereka. Keraguan selalu

menyelimut hati mereka.

Jika tidak percaya kepada Rasulullah saw, lalu akan

mempercayai siapa? Jika tidak pada Sang Pencipta,

siapa lagi yang akan dipercaya?
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّهِ حَدِيثاً -٨٧-

“Siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada

Allah?”
(An-Nisa’ 87)

Seorang yang selalu ragu tidak akan pernah memiliki

sikap yang pasti dalam hidupnya. Selalu maju mundur.

Berada dalam kebingungan yang tak menentu. Dan orang

seperti ini tidak akan memiliki ketenangan dalam

hidupnya.

Coba lihat bagaimana keyakinan seorang Ali bin Abi

tholib, ketika berbicara tentang keyakinan, beliau

hanya berkomentar,

    “Andai seluruh hijab ini disingkap dariku, maka

tak bertambah sedikitpun keyakinanku”

Komentar ini menunjukkan puncak keyakinan Imam Ali bin

Abi tholib. Apapun hijab langit dan bumi jika

disingkap hakekat aslinya, tidak akan menambah

keyakinan beliau karena keyakinan itu telah berada

dipuncaknya. Karena beliau telah mengetahui hakekat

alam semesta.

    “Demi Allah, Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku

melihat Allah sebelum dan setelahnya”

    Yakin = Mati

Terkadang, kata Yakin dalam Al-Qur’an memiliki arti

kematian. Karena tidak ada yang lebih pasti dari

kematian. Dan ketika detik-detik menuju kematian,

semua akan dibuka dihadapan matanya. Dia akan melihat

kilas balik di masa hidupnya. Dan dia akan melihat

hakekat yang tidak dilihat oleh orang disekitarnya.

Bukankah orang-orang durjana baru akan yakin ketika

mereka menghadap Allah swt. Dan baru kemudian mereka

meminta untuk diberi kesempatan kembali ke dunia untuk

beramal baik.
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُؤُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحاً إِنَّا مُوقِنُونَ -١٢-

Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat

orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di

hadapan Tuhan-nya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami,

kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah

kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan

kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang

yakin.”
(As-Sajdah 12)

Artinya, keyakinanlah yang mendorong manusia untuk

beramal. Jika kita bisa yakin saat masih di dunia,

mengapa harus menunggu di alam akherat untuk yakin?

Sementara saat itu tidak ada lagi kesempatan kita

untuk beramal baik.

Apapun yang disampaikan Rasulullah saw tidak boleh

ditawar lagi. Karena beliau telah melihat segalanya

dengan Ainul Yaqin. Akan tetapi mereka mengabaikan

perintahnya. Karena belum mengerti siapa Rasulullah

saw. Siapa orang yang membawa kabar langit ini.

Keyakinan kita pada seseorang menentukan keyakinan

kita pada apa yang dibawanya. Sudah yakinkah kita pada

Rasulullah saw?

Apa sebenarnya yakin itu?

Apakah keyakinan itu memiliki tingkatan?

Apa tanda-tanda orang yang telah yakin?

Apa efek positif jika seseorang telah yakin?

Temukan Jawabannya dalam Kenapa Iman Manusia Selalu

Naik Turun? (Bag 2)