Mengapa Surah At-Taubah Tanpa Basmalah?
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat
- Sumber:
- majulah- ijabi.org
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali
Muhammad
Dari Imam Hasan al-Askari as:
“Barangsiapa yang tidak memulai
urusan dengan ‘basmalah’, Allah akan
uji dia dengan sesuatu yang tak
disukainya.”
Keutamaan membaca nama Allah sebelum
melakukan sesuatu tersebar di
berbagai riwayat. Buka saja kitab
tafsir apa pun, kemudian pada bagian
pertama membahas Al-Fatihah, selalu
ada penggalan riwayat tentang
keutamaan membaca basmalah; keutamaan
mengawali kegiatan dengan nama Allah
Swt; atau keberkahan dalam nama-nama
Tuhan itu.
Ada yang menceritakan bahwa pada
basmalah ada dua nama Allah:
jalaaliyyah dan jamaaliyyah. Lafaz
jalalah “Allah” yang menunjukkan
keagungan, kekuasaan, dan kebesaran
Allah Swt. Dan ada “ar-rahman” dan
“ar-rahim” yang menunjukkan keluasan
kasih sayang Allah Swt. Ada juga
pendekatan irfani yang mengisahkan
pengandaian: bahwa semua isi Al-
Qur’an dapat terkandung dalam Al-
Fatihah. Dan semua isi Al-Fatihah
terkandung dalam kalimat basmalah.
Dan—yang paling ekstrim—semua
basmalah terkandung dalam “nuqtah
tahta al-baa`” titik di bawah huruf
“ba”. Wallahu a’lam.
Tulisan ini singkat. Tidak hendak
membahas yang berat-berat. Apalagi
tentang penafsiran batiniah titik di
bawah ba itu. Tulisan ini hanya ingin
menjawab pertanyaan: dengan sejumlah
keutamaan basmalah itu, mengapa Surat
Al-Taubah tidak diawali dengannya?
Tentulah jawaban sederhana: “Dari
Tuhannya sudah begitu. Kalau mau
tanya, tanya sama Tuhan.” Bila kita
cukup puas dengan jawaban itu,
niscaya semua hal tidak perlu lagi
dipertanyakan. Mengapa Al-Qur’an
turun dalam Bahasa Arab? Mengapa ia
mudah dihapal dan dilafal orang?
Mengapa dalam Al-Qur’an kata malaikat
dan setan disebut dengan jumlah yang
sama: 88 kali? Mengapa kata “daratan”
dan “lautan” semisal perumpamaan
daratan dan lautan di muka bumi?
Mengapa kata-kata “Imam, yang
terpilih, bintang, washi, khalifah,
yang disucikan, saksi, raja, wakil
dan seterusnya...” semua berjumlah
dan masing-masing (dengan seluruh
derivasinya) disebut sebanyak 12
kali? Mengapa dan mengapa?
Jawaban kita: “Dari Tuhannya sudah
begitu. Kalau mau tanya, tanya sama
Tuhan.”
Mengapa dalam penulisan Arab, jumlah
huruf dalam “Laa ilaaha illa Allah”,
ada 12 buah? Mengapa huruf dalam
“Muhammad Rasulullah” juga ada 12
buah? Mengapa, mengapa dan mengapa?
Di antara mengapa itulah, Surat Al-
Taubah yang tanpa basmalah. Biasanya,
inilah domain kajian-kajian dalam
‘Ulumul Quran: menguak misteri dan
rahasia begitu banyak ‘mengapa’ dalam
Al-Qur’an.
Cukuplah bagi kita Surat Muhammad
ayat 24: “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Quran, ataukah hati
mereka terkunci?”
Kata memperhatikan yang digaris
bawahi diterjemahkan dari bahasa
‘Arab: tadabbur, yang artinya:
refleksi, meditasi, perenungan, dan
pencarian jawaban dari setiap
permasalahan kita. Dalam bahasa yang
lain: inilah proses mempertanyakan
begitu banyak ‘mengapa’ dalam Al-
Qur’an.
Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa
basmalah?
Tentang Basmalah. Ada 114 surat dalam
Al-Quran. Semuanya diawali dengan
basmalah. Kecuali Surat Al-Taubah.
Meski demikian, keseluruhan lafaz
basmalah tetap berjumlah 114 dalam
Al-Qur’an: 113 pada awal surat, dan
satu kali disebut di Surat Al-Naml
ayat 30. Di tengah kaum Muslimin,
terdapat dua pendapat tentang
basmalah di awal surat. Ada yang
menyebutkannya bagian ayat. Seperti
basmalah menjadi ayat yang pertama
dalam Al-Fatihah. Bukankah Al-Fatihah
berisi tujuh ayat? Bukankah ia
disebut sab’ul matsani (tujuh yang
berpasangan)? Basmalah adalah ayat
yang pertama. Pada selain Al-Fatihah,
ada yang menyebut basmalah ayat
pertama, ada juga yang merangkainya
dengan kalimat selanjutnya sebagai
yang pertama: misalnya
“Bismillahirrahmanirrahim. Alif laam
raa (1)” dan seterusnya. Karena
itulah, bisa terjadi perbedaan
penjumlahan ayat Al-Quran bergantung
pada pendekatan memahami atau
meletakkan basmalah sebagai ayat.
Dalam Al-Fatihah—bagaimana pun—semua
umat sepakat bahwa basmalah adalah
ayat yang pertama. Uniknya, ada
sebagian di antara Kaum Muslimin yang
tidak menjaharkan bacaaan basmalahnya
ketika shalat. Setelah iftitahiyyah,
mereka mengeraskan bacaan Al-Fatihah
dari ayat kedua: alhamdulillahi
rabbil ‘aalamin...dan seterusnya.
Mudah-mudahan sah. Itu bagian kajian
para ahli fikih. Karena, berdasarkan
hadis “Tidak sah shalat orang yang
tidak membaca Fatihat al-Kitaab.”
Maka, bila Al-Fatihah tidak dibaca,
tidaklah sah shalat kita? Masihkah
sah, bila Al-Fatihah yang kita baca
tidak lengkap? Atau jika ia kurang
satu ayat? Misalnya, kita baca tanpa
basmalah, atau tanpa ayat yang
terakhir?
Asbabun Nuzul Al-Taubah. Surat Al-
Taubah menjadi istimewa, karena ia
hadir tanpa basmalah. Pada tahun
kesembilan setelah hijrah Nabi Saw,
ayat-ayat pertama surat ini
diturunkan. Ia turun di Madinah,
karenanya disebut madaniyyah. Tapi ia
dibaca pertama kali di Makkah.
Bagaimana bisa? Ketika turun ayat
ini, musim haji pasca perjanjian
Hudaybiyyah tengah berlangsung. Nabi
Saw tidak berangkat memimpin jamaah.
Diutuslah Abu Bakar untuk menemani
kafilah. Inilah tugas pertama Abu
Bakar sebagai pimpinan rombongan. Di
Dzat al-Salasil, ia ikut di bawah
komanda Amr bin ‘Ash. Demikianlah
sejarah mencatatnya. Nabi Saw sendiri
tinggal di Madinah tahun itu dan baru
berhaji setahun kemudian. Setahun
sebelumnya, Makkah sudah ditaklukkan.
Ka’bah sudah dibersihkan dari ratusan
berhala yang mengitarinya. Adalah Ali
yang naik di atas punggung Nabi untuk
menghancurkan berhala terbesar kala
itu. Bila bukan karena titah Nabi,
manalah berani menapak pundak yang
suci itu.
Ketika jemaah tengah berangkat ke
Makkah itulah turun ayat-ayat pertama
Surat al-Taubah: (Inilah pernyataan)
pemutusan hubungan dari Allah dan
Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada
orang-orang musyrikin yng kamu (kaum
Muslimin) telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka). Maka berjalanlah
kamu (kaum musyrikin) di muka bumi
selama empat bulan dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
dapat melemahkan Allah, dan
sesungguhnya Allah menghinakan
orang-orang kafir.
Nabi Saw kemudian memerintahkan Ali
untuk menyusul rombongan. Ali memacu
kudanya dengan cepat. Dan berhasil
bergabung bersama jamaah tepat
sebelum mereka sampai di Makkah.
Sempat ada sedikit dialog antara Ali
dan Abu Bakar. Perihal siapa yang
diperintahkan membacakan ayat-ayat
Tuhan itu. Menurut Ibnu Ishaq dan
Muhammad Haykal, Nabi Saw bersabda:
“Bacakan ayat-ayat pertama Al-Taubah
ini pada hari pengurbanan di Mina.”
Segera setelah ayat-ayat awal itu
dibacakan, Ali kemudian berkata:
“Sesungguhnya aku adalah utusannya
Utusan Tuhan Semesta Alam (ana
rasuulu rasuuli Rabbil ‘Aalamin). Aku
telah diperintahkan untuk
menyampaikan kepadamu bahwa tidak ada
penyembah berhala yang akan masuk
surga. Tidak ada orang kafir dan
musyrik yang boleh datang dan
berhaji. Tidak boleh ada yang tawaf
dalam keadaan telajang. Siapa pun
yang punya perjanjian dengan Sang
Nabi, akan ditepati hingga waktunya.
Empat bulan masa bagi setiap kabilah
untuk kembali ke kampungnya dengan
aman. Setelah itu, kewajiban Sang
Nabi pada kalian telah usai.”
Ali membacakan ayat-ayat itu kepada
orang-orang kafir. Sejak saat itu,
rumah Tuhan disucikan dari orang yang
tak beriman.
Setahun sebelumnya, Ali membersihkan
rumah Tuhan dari berhala-berhala yang
sudah ada sejak masa sebelumnya.
Kini, Ali membersihkan rumah Tuhan
dari berhala-berhala yang akan datang
kemudian.
Menurut Sayyid Ali Asghar Rizvy, Ali
telah mengemban misi Sang Nabi.
Menurut ayat-ayat Al-Qur’an, misi
seorang Nabi adalah: membacakan ayat
Tuhan untuk manusia, membimbing
mereka dengan hikmah, mensucikan
mereka, dan memberikan pada mereka
pengetahuan (rujuk ayat-ayat QS.
2:151; 3:164; dan 62:2). Dalam banyak
ayat lainnya, membacakan ayat Tuhan
untuk manusia tidak pernah
terpisahkan dari tugas kenabian.
Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa
basmalah?
Beberapa pendapat. Untuk menjawab
pertanyaan itu, kita harus melihat
Surat sebelumnya di dalam penyusunan
ayat-ayat Al-Qur’an sekarang ini.
Yaitu surat Al-Anfal. Berikut dua
pendapat berkenaan dengan tiadanya
“basmalah” dikaitkan dengan posisi
surat. Menurut Ubay bin Ka’ab, surat
Al-Taubah tanpa basmalah karena ia
didekatkan dengan surat Al-Anfal.
Yang satu berkisah tentang orang-
orang yang menepati janji dan kisah
tentang perjanjian-perjanjian,
sedangkan yang kedua bercerita
tentang orang-orang yang melanggar
janji. Pendapat kedua yang tidak
sepenuhnya berbeda dari Utsman yang
mengisahkan kemiripan cerita di
antara kedua surat itu. Yang pertama
orang yang terikat janji. Dan yang
kedua (surat Al-Taubah) tentang
orang-orang yang dilepaskan atas
mereka janji.
Ada juga pendapat yang mengatakan,
bahwa ayat itu turun untuk
menunjukkan “lepasnya” perlindungan
Allah dan Rasulnya dari orang-orang
kafir dan musyrik. Dengan tiadanya
perlindungan itu, maka dilarang bagi
selain orang yang beriman untuk tawaf
dan berputar di sekitar rumah Allah
Swt.
Tapi ada juga yang mengartikan lain.
Yaitu berdasarkan riwayat dari
beberapa sahabat. Hudzaifah di
antaranya. Ia berkata: “Bagaimana
mungkin ia disebut surat Al-Taubah?
Ia lebih tepat disebut Surat azab.”
Dari Said bin Jubair, ia berkata: aku
bertanya pada Ibnu Abbas tentang
surat Al-Taubah. Ibnu Abbas menjawab:
“Itu surat yang menyingkap rahasia-
rahasia. Tidak henti-hentinya ia
turun, kecuali ada di antara rahasia
kami yang diungkapnya. Sampai kami
takut bahwa tiada (rahasia) yang
tersisa dari seorang pun di antara
kami. (semua keterangan di atas
dinukil dari Tafsir Al-Tibyan, Syaikh
Thusi, juz lima bagian surat Al-
Taubah).
Berdasarkan keterangan-keterangan
dari para sahabat itu, Surat Al-
Taubah adalah Surat yang sangat
‘keras’. Ditujukan pada orang-orang
kafir, tapi juga ditujukan pada
sahabat-sahabat Nabi Saw. Konon,
karena ‘keras’nya ayat-ayat di
dalamnya, maka ia tidak diawali
dengan nama Allah yang maha kasih
maha sayang.
Kata bara’ah di awal surat juga
menunjukkan sebuah aksi melepaskan
diri dari perilaku orang-orang
musyrik dan zalim. Karena ia
dibacakan Sayyidina Ali bin Abi
Thalib kw di musim haji, jamaah Iran
menyertakannya dalam ritual haji
mereka. Menurut fatwa para marja’nya,
dalam ibadah haji—yang merupakan
puncak ibadah kaum Muslimin—selalu
harus ada pelepasan diri dari
perilaku aniaya, dan mengecam
kezaliman yang berlaku di muka bumi.
Pada ibadah haji harus ada perlawanan
terhadap kezaliman, penentangan
terhadap kemusyrikan, dan pelepasan
diri dari segala sesuatu yang jauh
dari perlindungan dan petunjuk Allah
dan Rasul-Nya. Tahun 1987 pernah
menjadi tahun tragedi ketika para
jemaah haji Iran yang hendak
meneriakkan yel-yel anti kezaliman
(berdasarkan semangat surat ini)
diberondong timah panas oleh para
tentara karena dianggap melakukan
kerusuhan.
Penutup. Meski Surat Al-Taubah tidak
diawali dengan basmalah (dan kita
hanya mampu menangkap sedikit saja
kemungkinan rahasianya), tetapi surat
ini diakhiri dengan sangat indah.
Setelah di awal berisi pelepasan, di
tengah tersebar berbagai kecaman, di
akhir surat itu dengan indah ditutup
oleh sebuah ayat kebahagiaan. Ayat
kasih sayang, ayat kerinduan.
Inilah dua ayat yang menutup Surat
yang keras itu. Surat yang
mengguncangkan para sahabat. Surat
yang menghempaskan orang-orang kafir
dan musyrik. Surat itu ditutup dengan
ayat-ayat berikut ini: “Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari
kaummu sendiri. Berat terasa olehnya
penderitaanmu. Ia sangat menginginkan
kamu bahagia. Amat belas kasihan lagi
penyayang kepada orang-orang yang
beriman. Bil mu’miniina raa`ufur
rahiim”
“Jika mereka berpaling maka
katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku;
tiada Tuhan selain Dia. Hanya
kepadaNya aku bertawakkal, dan Dialah
Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang
agung.”
Maha benar Allah yang Maha agung.
Ya Allah, di ujung ayat-ayat yang
menggoncangkan itu, di akhir surat
yang disebut Hudzaifah dengan Surat
Azab, yang diingatkan oleh Ibnu Abbas
dengan kesedihan dan kekuatiran, Ya
Allah Engkau kisahkan tentang seorang
Nabi dari tengah-tengah kami, yang
begitu besar belas kasihnya. Begitu
ingin kami bahagia. Begitu berat bila
kami menderita.
Boleh jadi surat itu tidak diawali
dengan nama Allah yang Mahakasih
Mahasayang, tapi ia diakhiri dengan
nama kekasih hati yang penuh rindu
penuh sayang. Ia tidak diawali dengan
“Al-Rahman dan Al-Rahim” tapi ia
diakhiri dengan “Al-Ra`uf dan al-
Rahim”
Salam dan rindu kami bagimu Ya
Rasulallah, dan bagi utusanmu pembaca
Surat Al-Taubah, dan bagi setiap
umatmu yang menyertakan namamu,
setelah basmalah dalam setiap urusan
mereka.