Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengapa Surah At-Taubah Tanpa Basmalah?

0 Pendapat 00.0 / 5

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali

Muhammad

Dari Imam Hasan al-Askari as:

“Barangsiapa yang tidak memulai

urusan dengan ‘basmalah’, Allah akan

uji dia dengan sesuatu yang tak

disukainya.”

Keutamaan membaca nama Allah sebelum

melakukan sesuatu tersebar di

berbagai riwayat. Buka saja kitab

tafsir apa pun, kemudian pada bagian

pertama membahas Al-Fatihah, selalu

ada penggalan riwayat tentang

keutamaan membaca basmalah; keutamaan

mengawali kegiatan dengan nama Allah

Swt; atau keberkahan dalam nama-nama

Tuhan itu.

Ada yang menceritakan bahwa pada

basmalah ada dua nama Allah:

jalaaliyyah dan jamaaliyyah. Lafaz

jalalah “Allah” yang menunjukkan

keagungan, kekuasaan, dan kebesaran

Allah Swt. Dan ada “ar-rahman” dan

“ar-rahim” yang menunjukkan keluasan

kasih sayang Allah Swt. Ada juga

pendekatan irfani yang mengisahkan

pengandaian: bahwa semua isi Al-

Qur’an dapat terkandung dalam Al-

Fatihah. Dan semua isi Al-Fatihah

terkandung dalam kalimat basmalah.

Dan—yang paling ekstrim—semua

basmalah terkandung dalam “nuqtah

tahta al-baa`” titik di bawah huruf

“ba”. Wallahu a’lam.

Tulisan ini singkat. Tidak hendak

membahas yang berat-berat.  Apalagi

tentang penafsiran batiniah titik di

bawah ba itu. Tulisan ini hanya ingin

menjawab pertanyaan: dengan sejumlah

keutamaan basmalah itu, mengapa Surat

Al-Taubah tidak diawali dengannya?

Tentulah jawaban sederhana: “Dari

Tuhannya sudah begitu. Kalau mau

tanya, tanya sama Tuhan.” Bila kita

cukup puas dengan jawaban itu,

niscaya semua hal tidak perlu lagi

dipertanyakan. Mengapa Al-Qur’an

turun dalam Bahasa Arab? Mengapa ia

mudah dihapal dan dilafal orang?

Mengapa dalam Al-Qur’an kata malaikat

dan setan disebut dengan jumlah yang

sama: 88 kali? Mengapa kata “daratan”

dan “lautan” semisal perumpamaan

daratan dan lautan di muka bumi?

Mengapa kata-kata “Imam, yang

terpilih, bintang, washi, khalifah,

yang disucikan, saksi, raja, wakil

dan seterusnya...” semua berjumlah

dan masing-masing (dengan seluruh

derivasinya) disebut sebanyak 12

kali? Mengapa dan mengapa?

Jawaban kita: “Dari Tuhannya sudah

begitu. Kalau mau tanya, tanya sama

Tuhan.”

Mengapa dalam penulisan Arab, jumlah

huruf dalam “Laa ilaaha illa Allah”,

ada 12 buah? Mengapa huruf dalam

“Muhammad Rasulullah” juga ada 12

buah? Mengapa, mengapa dan mengapa?

Di antara mengapa itulah, Surat Al-

Taubah yang tanpa basmalah. Biasanya,

inilah domain kajian-kajian dalam

‘Ulumul Quran: menguak misteri dan

rahasia begitu banyak ‘mengapa’ dalam

Al-Qur’an.

Cukuplah bagi kita Surat Muhammad

ayat 24: “Maka apakah mereka tidak

memperhatikan Al-Quran, ataukah hati

mereka terkunci?”

Kata memperhatikan yang digaris

bawahi diterjemahkan dari bahasa

‘Arab: tadabbur, yang artinya:

refleksi, meditasi, perenungan, dan

pencarian jawaban dari setiap

permasalahan kita. Dalam bahasa yang

lain: inilah proses mempertanyakan

begitu banyak ‘mengapa’ dalam Al-

Qur’an.

Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa

basmalah?

Tentang Basmalah. Ada 114 surat dalam

Al-Quran.  Semuanya diawali dengan

basmalah. Kecuali Surat Al-Taubah.

Meski demikian, keseluruhan lafaz

basmalah tetap berjumlah 114 dalam

Al-Qur’an: 113 pada awal surat, dan

satu kali disebut di Surat Al-Naml

ayat 30. Di tengah kaum Muslimin,

terdapat dua pendapat tentang

basmalah di awal surat. Ada yang

menyebutkannya bagian ayat. Seperti

basmalah menjadi ayat yang pertama

dalam Al-Fatihah. Bukankah Al-Fatihah

berisi tujuh ayat? Bukankah ia

disebut sab’ul matsani (tujuh yang

berpasangan)? Basmalah adalah ayat

yang pertama. Pada selain Al-Fatihah,

ada yang menyebut basmalah ayat

pertama, ada juga yang merangkainya

dengan kalimat selanjutnya sebagai

yang pertama: misalnya

“Bismillahirrahmanirrahim. Alif laam

raa (1)” dan seterusnya. Karena

itulah, bisa terjadi perbedaan

penjumlahan ayat Al-Quran bergantung

pada pendekatan memahami atau

meletakkan basmalah sebagai ayat.

Dalam Al-Fatihah—bagaimana pun—semua

umat sepakat bahwa basmalah adalah

ayat yang pertama. Uniknya, ada

sebagian di antara Kaum Muslimin yang

tidak menjaharkan bacaaan basmalahnya

ketika shalat. Setelah iftitahiyyah,

mereka mengeraskan bacaan Al-Fatihah

dari ayat kedua: alhamdulillahi

rabbil ‘aalamin...dan seterusnya.

Mudah-mudahan sah. Itu bagian kajian

para ahli fikih. Karena, berdasarkan

hadis “Tidak sah shalat orang yang

tidak membaca Fatihat al-Kitaab.”

Maka, bila Al-Fatihah tidak dibaca,

tidaklah sah shalat kita? Masihkah

sah, bila Al-Fatihah yang kita baca

tidak lengkap? Atau jika ia kurang

satu ayat? Misalnya, kita baca tanpa

basmalah, atau tanpa ayat yang

terakhir?

Asbabun Nuzul Al-Taubah. Surat Al-

Taubah menjadi istimewa, karena ia

hadir tanpa basmalah. Pada tahun

kesembilan setelah hijrah Nabi Saw,

ayat-ayat pertama surat ini

diturunkan. Ia turun di Madinah,

karenanya disebut madaniyyah. Tapi ia

dibaca pertama kali di Makkah.

Bagaimana bisa? Ketika turun ayat

ini, musim haji pasca perjanjian

Hudaybiyyah tengah berlangsung. Nabi

Saw tidak berangkat memimpin jamaah.

Diutuslah Abu Bakar untuk menemani

kafilah. Inilah tugas pertama Abu

Bakar sebagai pimpinan rombongan. Di

Dzat al-Salasil, ia ikut di bawah

komanda Amr bin ‘Ash. Demikianlah

sejarah mencatatnya. Nabi Saw sendiri

tinggal di Madinah tahun itu dan baru

berhaji setahun kemudian.  Setahun

sebelumnya, Makkah sudah ditaklukkan.

Ka’bah sudah dibersihkan dari ratusan

berhala yang mengitarinya. Adalah Ali

yang naik di atas punggung Nabi untuk

menghancurkan berhala terbesar kala

itu. Bila bukan karena titah Nabi,

manalah berani menapak pundak yang

suci itu.

Ketika jemaah tengah berangkat ke

Makkah itulah turun ayat-ayat pertama

Surat al-Taubah: (Inilah pernyataan)

pemutusan hubungan dari Allah dan

Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada

orang-orang musyrikin yng kamu (kaum

Muslimin) telah mengadakan perjanjian

(dengan mereka). Maka berjalanlah

kamu (kaum musyrikin) di muka bumi

selama empat bulan dan ketahuilah

bahwa sesungguhnya kamu tidak akan

dapat melemahkan Allah, dan

sesungguhnya Allah menghinakan

orang-orang kafir.

Nabi Saw kemudian memerintahkan Ali

untuk menyusul rombongan. Ali memacu

kudanya dengan cepat. Dan berhasil

bergabung bersama jamaah tepat

sebelum mereka sampai di Makkah.

Sempat ada sedikit dialog antara Ali

dan Abu Bakar. Perihal siapa yang

diperintahkan membacakan ayat-ayat

Tuhan itu. Menurut Ibnu Ishaq dan

Muhammad Haykal, Nabi Saw bersabda:

“Bacakan ayat-ayat pertama Al-Taubah

ini pada hari pengurbanan di Mina.”

Segera setelah ayat-ayat awal itu

dibacakan, Ali kemudian berkata:

“Sesungguhnya aku adalah utusannya

Utusan Tuhan Semesta Alam (ana

rasuulu rasuuli Rabbil ‘Aalamin). Aku

telah diperintahkan untuk

menyampaikan kepadamu bahwa tidak ada

penyembah berhala yang akan masuk

surga. Tidak ada orang kafir dan

musyrik yang boleh datang dan

berhaji. Tidak boleh ada yang tawaf

dalam keadaan telajang. Siapa pun

yang punya perjanjian dengan Sang

Nabi, akan ditepati hingga waktunya.

Empat bulan masa bagi setiap kabilah

untuk kembali ke kampungnya dengan

aman. Setelah itu, kewajiban Sang

Nabi pada kalian telah usai.”

Ali membacakan ayat-ayat itu kepada

orang-orang kafir. Sejak saat itu,

rumah Tuhan disucikan dari orang yang

tak beriman.

Setahun sebelumnya, Ali membersihkan

rumah Tuhan dari berhala-berhala yang

sudah ada sejak masa sebelumnya.

Kini, Ali membersihkan rumah Tuhan

dari berhala-berhala yang akan datang

kemudian.

Menurut Sayyid Ali Asghar Rizvy, Ali

telah mengemban misi Sang Nabi.

Menurut ayat-ayat Al-Qur’an, misi

seorang Nabi adalah: membacakan ayat

Tuhan untuk manusia, membimbing

mereka dengan hikmah, mensucikan

mereka, dan memberikan pada mereka

pengetahuan (rujuk ayat-ayat QS.

2:151; 3:164; dan 62:2). Dalam banyak

ayat lainnya, membacakan ayat Tuhan

untuk manusia tidak pernah

terpisahkan dari tugas kenabian.

Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa

basmalah?

Beberapa pendapat. Untuk menjawab

pertanyaan itu, kita harus melihat

Surat sebelumnya di dalam penyusunan

ayat-ayat Al-Qur’an sekarang ini.

Yaitu surat Al-Anfal. Berikut dua

pendapat berkenaan dengan tiadanya

“basmalah” dikaitkan dengan posisi

surat. Menurut Ubay bin Ka’ab, surat

Al-Taubah tanpa basmalah karena ia

didekatkan dengan surat Al-Anfal.

Yang satu berkisah tentang orang-

orang yang menepati janji dan kisah

tentang perjanjian-perjanjian,

sedangkan yang kedua bercerita

tentang orang-orang yang melanggar

janji. Pendapat kedua yang tidak

sepenuhnya berbeda dari Utsman yang

mengisahkan kemiripan cerita di

antara kedua surat itu. Yang pertama

orang yang terikat janji. Dan yang

kedua (surat Al-Taubah) tentang

orang-orang yang dilepaskan atas

mereka janji.

Ada juga pendapat yang mengatakan,

bahwa ayat itu turun untuk

menunjukkan “lepasnya” perlindungan

Allah dan Rasulnya dari orang-orang

kafir dan musyrik. Dengan tiadanya

perlindungan itu, maka dilarang bagi

selain orang yang beriman untuk tawaf

dan berputar di sekitar rumah Allah

Swt.

Tapi ada juga yang mengartikan lain.

Yaitu berdasarkan riwayat dari

beberapa sahabat. Hudzaifah di

antaranya. Ia berkata: “Bagaimana

mungkin ia disebut surat Al-Taubah?

Ia lebih tepat disebut Surat azab.”

Dari Said bin Jubair, ia berkata: aku

bertanya pada Ibnu Abbas tentang

surat Al-Taubah. Ibnu Abbas menjawab:

“Itu surat yang menyingkap rahasia-

rahasia. Tidak henti-hentinya ia

turun, kecuali ada di antara rahasia

kami yang diungkapnya. Sampai kami

takut bahwa tiada (rahasia) yang

tersisa dari seorang pun di antara

kami. (semua keterangan di atas

dinukil dari Tafsir Al-Tibyan, Syaikh

Thusi, juz lima bagian surat Al-

Taubah).

Berdasarkan keterangan-keterangan

dari para sahabat itu, Surat Al-

Taubah adalah Surat yang sangat

‘keras’. Ditujukan pada orang-orang

kafir, tapi juga ditujukan pada

sahabat-sahabat Nabi Saw. Konon,

karena ‘keras’nya ayat-ayat di

dalamnya, maka ia tidak diawali

dengan nama Allah yang maha kasih

maha sayang.

Kata bara’ah di awal surat juga

menunjukkan sebuah aksi melepaskan

diri dari perilaku orang-orang

musyrik dan zalim. Karena ia

dibacakan Sayyidina Ali bin Abi

Thalib kw di musim haji, jamaah Iran

menyertakannya dalam ritual haji

mereka. Menurut fatwa para marja’nya,

dalam ibadah haji—yang merupakan

puncak ibadah kaum Muslimin—selalu

harus ada pelepasan diri dari

perilaku aniaya, dan mengecam

kezaliman yang berlaku di muka bumi.

Pada ibadah haji harus ada perlawanan

terhadap kezaliman, penentangan

terhadap kemusyrikan, dan pelepasan

diri dari segala sesuatu yang jauh

dari perlindungan dan petunjuk Allah

dan Rasul-Nya. Tahun 1987 pernah

menjadi tahun tragedi ketika para

jemaah haji Iran yang hendak

meneriakkan yel-yel anti kezaliman

(berdasarkan semangat surat ini)

diberondong timah panas oleh para

tentara karena dianggap melakukan

kerusuhan.

Penutup. Meski Surat Al-Taubah tidak

diawali dengan basmalah (dan kita

hanya mampu menangkap sedikit saja

kemungkinan rahasianya), tetapi surat

ini diakhiri dengan sangat indah.

Setelah di awal berisi pelepasan, di

tengah tersebar berbagai kecaman, di

akhir surat itu dengan indah ditutup

oleh sebuah ayat kebahagiaan. Ayat

kasih sayang, ayat kerinduan.

Inilah dua ayat yang menutup Surat

yang keras itu. Surat yang

mengguncangkan para sahabat. Surat

yang menghempaskan orang-orang kafir

dan musyrik. Surat itu ditutup dengan

ayat-ayat berikut ini: “Sungguh telah

datang kepadamu seorang Rasul dari

kaummu sendiri. Berat terasa olehnya

penderitaanmu. Ia sangat menginginkan

kamu bahagia. Amat belas kasihan lagi

penyayang kepada orang-orang yang

beriman. Bil mu’miniina raa`ufur

rahiim”

“Jika mereka berpaling maka

katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku;

tiada Tuhan selain Dia. Hanya

kepadaNya aku bertawakkal, dan Dialah

Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang

agung.”

Maha benar Allah yang Maha agung.

Ya Allah, di ujung ayat-ayat yang

menggoncangkan itu, di akhir surat

yang disebut Hudzaifah dengan Surat

Azab, yang diingatkan oleh Ibnu Abbas

dengan kesedihan dan kekuatiran, Ya

Allah Engkau kisahkan tentang seorang

Nabi dari tengah-tengah kami, yang

begitu besar belas kasihnya. Begitu

ingin kami bahagia. Begitu berat bila

kami menderita.

Boleh jadi surat itu tidak diawali

dengan nama Allah yang Mahakasih

Mahasayang, tapi ia diakhiri dengan

nama kekasih hati yang penuh rindu

penuh sayang. Ia tidak diawali dengan

“Al-Rahman dan Al-Rahim”  tapi ia

diakhiri dengan “Al-Ra`uf dan al-

Rahim”  

Salam dan rindu kami bagimu Ya

Rasulallah, dan bagi utusanmu pembaca

Surat Al-Taubah, dan bagi setiap

umatmu yang menyertakan namamu,

setelah basmalah dalam setiap urusan

mereka.