Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sifat-sifat Dzatiyah [2]

0 Pendapat 00.0 / 5


Mukadimah

Telah kami jelaskan pada uraian yang lalu, bahwa Tuhan Pencipta merupakan “Sebab dan Illat Pengada” bagi makhluk manusia dan alam semesta ini, dimana seluruh kesempurnaan wujud terdapat hanya pada dzat-Nya, dan berbagai kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap maujud dan seluruh makhluk ciptaan-Nya itu bersumber dari-Nya. Sementara kesempurnaan zat-Nya tidak berkurang sedikit pun ketika Dia menganugerahkan kesempurnaan tersebut kepada makhluk-makhluk-Nya.

Untuk lebih jelasnya, kami akan bawakan contoh yang kerap terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Misalnya tatkala seorang guru mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, apakah ilmu yang dimiliki si guru tersebut akan berkurang? Jawabnya tentu saja tidak, sama sekali. Demikian pula mengenai anugerah Wujud Tuhan. Sudah pasti bahwa anugerah wujud dan segenap kesempurnaan Wujud dari Tuhan Pencipta itu jauh lebih unggul dan mulia daripada contoh tersebut. Lebih dari itu semua, bahwa kesempurnaan Tuhan Pencipta itu bersifat mutlak dan tidak terbatas. Oleh karena itu, setiap ungkapan, pujian, konsep ataupun mafhum yang mengungkapkan kesempurnaan yang tidak meniscayakan kekurangan dan batasan apapun, dapat diterapkan pada dzat Tuhan.

Adapun sifat-sifat Tuhan Pencipta yang disebutkan di dalam kitab-kitab Filsafat dan Teologi, memang sangat terbatas. Sifat-sifat tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sifat-sifat dzatiyah (sifat-sifat esensial) dan sifat-sifat fi'liyah (sifat-sifat perbuatan). Pertama-tama, kami akan menjelaskan dua bagian tersebut. Setelah itu, kami akan menjelaskan beberapa sifat yang paling penting di antara sifat-sifat tersebut, kemudian menetapkannya dan membawakan argumentasinya.



Sifat-sifat Dzatiyah dan Fi'liyah

Sifat-sifat dzatiyah (esensial) artinya sifat-sifat Tuhan yang dapat diambil dan dipahami dari esensi dzat-Nya. Dengan kata lain, bahwa sifat-sifat dzatiyah ialah sifat-sifat kesempurnaan yang dinisbatkan kepada Tuhan Pencipta yang berupa konsep-konsep atau gambaran di benak yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat-Nya, seperti; sifat hidup (al-Hayah), ilmu (al-'Ilm), dan kuasa (al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya. Adapun sifat-sifat fi’liyah (perbuatan) artinya sifat-sifat Tuhan yang diambil dan dipahami dari perbuatan-Nya. Dengan kata lain, bahwa sifat-sifat fi’liyah ialah sifat-sifat kesempurnaan yang berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya, seperti; penciptaan (Al-Khâliqiyyah) dan pemberian rizki (Ar-Râzikiyyah).

Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat dzatiyah merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Tuhan. Adapun sifat-sifat fi’liyah merupakan relasi atau nisbah antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Artinya bahwa dzat Tuhan dan dzat makhluk-Nya, merupakan dua sisi relasi. Misalnya Al-Khâliqiyyah, sifat ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Tuhan sebagai pencipta. Dalam hal ini, Tuhan dan seluruh makhluk-Nya merupakan dua sisi hubungan tersebut. Tetapi dalam realitasnya, tidak terdapat apa pun selain dzat Tuhan dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-Khâliqiyyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata. Melainkan ia merupakan cerapan dan pahaman yang diambil dari dua sisi hubungan tersebut.

Pada tataran dzat, sudah jelas bahwa Tuhan memiliki sifat al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idhâfi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran perbuatan dan tindakan Tuhan. Oleh karena itu, maka al-Khâliq (pencipta) termasuk sifat fi'liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan al-Khâliq (pencipta) dengan al-Qâdir 'alal khalq (kuasa untuk mencipta), maka dalam hal ini, ia kembali kepada sifat dzatiyah, yakni al-Qudrah.

Sifat-sifat dzatiyah Tuhan Pencipta yang penting ialah al-Hayah (hidup), al-'Ilm (tahu), dan al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar (as-Sami') dan melihat (al-Bashir), apabila kedua sifat ini ditafsirkan bahwa Tuhan mengetahui apa saja yang Dia dengar dan apa saja yang Dia lihat, atau Dia kuasa untuk mendengar dan melihat, maka sebenarnya kedua sifat tersebut menginduk kepada al-'Alim dan al-Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara fi'li (aktual) yang dicerap dan diambil oleh akal melalui hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut termasuk atau digolongkan ke dalam sifat fi'liyah. Sebagimana sifat ilmu, terkadang digunakan dengan pengertian seperti itu pula, yang dinamakan sebagai ilmu fi'li. Sebagian Teolog menggolongkan sifat “berkata” (al-Kalam) dan “berkehendak” (irâdah) ke dalam sifat dzatiyah, dan hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.



Sifat-sifat Dzatiyah Manusia

Sebagaimana telah kami jelaskan di atas bahwa Tuhan Pencipta memiliki sifat-sifat dzatiyah seperti hidup (al-hayah), kuasa (al-Qudrah) dan tahu (al-‘Ilm). Jika kita perhatikan sifat-sifat tersebut pada makhluk-Nya, maka sudah jelas bahwa sifat-sifat tersebut terdapat pada manusia. Artinya bahwa manusia dapat hidup, memiliki kemampuan dan pengetahuan. Satu hal yang penting diperhatikan adalah perbedaan sifat-sifat tersebut pada manusia dan pada Tuhan. Sebagaimana sifat-sifat tersebut merupakan kesempurnaan bagi Tuhan Pencipta, maka ketika sifat-sifat tersebut berlaku pada makhluk-makhluk-Nya, merupakan kesempurnaan pula bagi mereka. Perbedaannya adalah sifat-sifat itu terdapat pada Tuhan Pencipta -sebagai Sebab Pengada- dalam bentuk yang lebih tinggi dan lebih sempurna, bahkan tidak terbatas. Karena, setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya, bersumber dari Sebab Pengada (creative cause), sebagaimana telah dijelskan pada kajian yang telah lalu. Dan sifat-sifat tersebut mesti dimiliki oleh-Nya, sehingga Dia dapat menganugerahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin, apabila Dia sebagai Pencipta kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memiliki sifat-sifat dzatiyah terebut. Dan juga tidak mungkin Dia menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, apabila Dia sendiri memiliki sifat-sifat kebalikannya, yaitu jahil dan lemah. Karena -sesuai dengan kaidah logika- setiap yang tidak memiliki sesuatu, pasti tidak akan dapat memberikan sesuatu itu kepada selainnya (Fâqidu As-Syai La Yu'thihi). Artinya apabila Tuhan Pencipta itu tidak memiliki sifat hidup (al-Hayah) sebagai sifat dzatiyah, maka tidak mungkin Dia akan menganugerahkan sifat tersebut kepada makhluk-Nya, yaitu dengan cara menghidupkannya. Adapun sifat hidup (al-Hayah) yang disandang oleh manusia, dan juga sifat-sifat lainnya, bukan merupakan sifat dzatiyah baginya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat memberikan sifat tersebut kepada selainnya secara mandiri. Karena sifat-sifat tersebut merupakan anugerah Tuhan kepadanya yang tidak abadi dan tidak pula azali.

Dengan memperhatikan keberadaan sifat-sifat kesempurnaan tersebut pada sebagian makhluk-Nya, maka hal itu dapat dijadikan sebagai dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Tuhan sebagai Penciptanya, dengan tanpa berkurang, dan bahkan tidak terbatas. Artinya, bahwa Tuhan Pencipta itu memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas.



Hidup (Al-Hayat)

Telah kami jelaskan mengenai sifat hidup (al-Hayat) ini di atas. Tetapi agar materi ini dapat dipahami lebih baik lagi, maka alangkah baiknya jika kami uraikan lebih dalam.

Jika sifat hidup (al-Hayat) ini kita perhatikan dengan seksama pada selain Tuhan Pencipta, maka akan kita dapati bahwa pengertian hidup (al-Hayat) itu digunakan untuk dua golongan makhluk-Nya. Golongan pertama adalah tumbuhan, di mana dia mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Dan kelompok kedua adalah hewan dan manusia, dimana mereka ini mempunyai perasaan dan kehendak. Tetapi makna pertama dari pengertian hidup tersebut meniscayakan adanya kekurangan dan kebutuhan. Karena, kodrat tumbuh dan berkembang pada tumbuhan meniscayakan bahwa sesuatu yang tumbuh itu pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan. Tetapi, karena adanya sebagian faktor dan efek luar, maka terjadilah perubahan dan perkembangan, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan yang baru secara berangsur-angsur. Kelaziman semacam ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Tuhan Pencipta, sebagaimana telah kami bahas pada tema sifat-sifat salbiyyah (negatif). Karena zat Tuhan itu mandiri dan tidak butuh kepada selain-Nya.

Adapun makna kedua dari hidup tersebut, merupakan mafhum kamali (pahaman sempurna). Dengan kata lain bahwa makna al-Hayah yang kedua ini tidak mengharuskan kekurangan dan kebutuhan, tetapi merupakan pengertian yang sempurna, walaupun pada sebagian realitas yang bersifat “mungkin” masih diliputi oleh sejumlah kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, kita dapat memahami makna hidup yang kedua ini adanya peringkat yang tidak terbatas; tidak terdapat kekurangan, batasan ataupun kebutuhan. Hal ini sebagaimana makna dan mafhum Al-Wujud dan Al-Kamal. Singkatnya adalah bahwa makna dan mafhum (pahaman) al-Wujud (ada) dan al-Kamal (sempurna) merupakan pahaman atau mafhum yang -jika kita menggambarkannya- terdapat peringkat yang tidak terbatas dan tidak terdapat kekurangan, kebutuhan dan batasan di dalamnya. Demikian pula jika kita coba menggambarkan makna dan mafhum al-Hayah pada makna yang kedua.

Adapun sifat hidup (al-Hayah) dengan maknanya yang meniscayakan pengetahuan dan pelaku yang berkehendak, maka hal itu termasuk keniscayaan wujud non-materi. Hal itu karena, meskipun Al-Hayah itu dinisbahkan kepada makhluk-makhluk hidup fisikal, tetapi sebenarnya sifat hidup ini merupakan sifat bagi ruhnya, dan bukan sifat bagi badan fisiknya. Kalaupun badan itu disifati dengan sifat hidup, lantaran ia bergantung dan mempunyai hubungan yang erat dengan ruhnya. Dengan kata lain, bahwa imtidâd (ekstensi, tumbuh dan berkembang) merupakan keniscayaan bagi wujud materi. Sementara al-hayah merupakan keniscayaan bagi wujud mujarrad (ruh, non-materi). Demikian demikian, maka sifat hidup itu (Al-Hayah) merupakan keniscayaan bagi wujud mujarrad (non-materi), dan bukan keniscayaan bagi wujud fisikal dan materi.

Dari sinilah, terbetik argumen lain atas sifat hidup Tuhan Pencipta, yaitu bahwa Tuhan Pencipta itu bersifat non-materi dan tidak berbentuk, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu. Dan bahwa setiap yang non-materi itu memiliki sifat al-Hayah secara esensial (dzati). Dengan demikian bahwa Tuhan Pencipta itu memiliki sifat hidup secara esensial.



Tahu (al-‘Ilm)

“Tahu” atau “mengetahui” (al-‘Ilm) adalah salah satu kata yang makna dan pengertiannya sangat jelas dan gamblang bagi semua orang. Setiap manusia yang berakal sehat pasti memahami dan bahkan merasakan dalam lubuk hatinya mengenai makna dan pengertian kata “tahu”. Mafhum kata “tahu” (al-‘Ilm) dapat diterapkan dan dinisbahkan kepada Tuhan Pencipta dan juga kepada manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Tetapi, apabila kata tersebut diterapkan pada makhluk-makhluk-Nya, maka ia menjadi pengertian yang terbatas dan tidak sempurna. Setinggi apapun ilmu dan pengetahuan manusia terhadap sesuatu, tentu ada batas dan kekurangannya. Sifat “tahu” atau “mengetahui” yang merupakan sifat makhluk tersebut, sekalipun banyak dan tinggi pengetahuannya, tidak mungkin berlaku pada Tuhan Pencipta.

Mafhum al-‘Ilm (tahu, mengetahui) tidak berbeda dengan mafhum al-Hayah, al-Wujud dan al-Kamal yang telah kami jelaskan di atas, yaitu kita dapat menggambarkan pahaman kata al-‘Ilm tersebut -dengan akal pikiran kita- dan menerapkannya pada mishdaq-nya (obyek luar) yang tidak terbatas dan bersifat sempurna secara mutlak. Ketika itu, maka al-‘Ilm (ilmu, tahu) identik dengan dzat al-‘Alim (yang mengetahui) itu sendiri. Inilah ilmu dzati (pengetahuan esensial) yang ada pada Tuhan Pencipta.

Untuk membuktikan sifat tahu pada Tuhan Pencipta, kita dapat menggunakan beberapa cara. Pertama, menggunakan cara yang telah kita gunakan untuk menetapkan seluruh sifat-sifat dzati bagi-Nya. Artinya, mengingat bahwa tahu itu terdapat pada makhluk-makhluk Tuhan, sudah pasti sifat itu pun terdapat pada-Nya dengan bentuk yang lebih mulia dan sempurna, bahkan tidak terbatas.

Kedua, menggunakan argumen keteraturan (argument from design, burhân nidhâm), yaitu bahwa setiap fenomena atau ciptaan -seperti rumah, mobil, dan lain sebagainya- yang memiliki keteraturan, keindahan dan kekokohan lebih banyak, maka berarti hal itu menunjukkan bahwa penciptanya memiliki ilmu pengetahuan lebih banyak pula. Contoh semacam ini dapat kita temukan pada karya ilmiah atau bait qasidah yang indah, atau karya seni yang menunjukkan sejauhmana penciptanya memiliki pengetahuan, cita-rasa dan pengalaman. Tidak mungkin seorang yang berakal sehat menganggap dan menilai bahwa sebuah buku ilmiah atau kitab Filsafat ditulis oleh orang yang bodoh dan tidak berpendidikan. Atas dasar itu, bagaimana mungkin alam semesta beserta isinya yang penuh dengan berbagai rahasia dan keunikan ini diciptakan oleh dzat yang bodoh dan tidak tahu atau memilki pengetahuan yang terbatas.

Ketiga, menggunakan premis-premis Filsafat Teoritis yang ghairu badihiyah (perlu pembuktian). Misalnya, kaidah Filsafat yang berbunyi: "Setiap maujud non-materi yang mandiri adalah ‘Alim (mengetahui)" sebagaimana hal ini dibuktikan dalam kitab-kitab yang khusus membahas masalah ini.



Kuasa (al-Qudrah)

Sifat esensial yang perlu dibuktikan keberadannya pada dzat Tuhan pencipta lainnya adalah al-Qudrah (kuasa). Sebagaimana sifat al-‘Ilm, al-Qudrah-pun merupakan satu sifat yang jelas makna dan pengertiannya serta mudah tergambar dalam benak dan akal pikiran sehat setiap insan. Al-Qudrah, kuasa atau mampu biasanya dinisbahkan kepada setiap pelaku yang melakukan tindakan dan perbuatannya atas dasar kehendak dan pilihannya. Ketika itu dikatakan bahwa ia memiliki kemampuan atas tindakan tersebut. Dengan demikian, al-Qudrah (kuasa, mampu) merupakan kekuatan dan dasar bagi seorang pelaku -yang memiliki kehendak dan pilihan- dalam melakukan suatu perbuatan yang mungkin dilakukannya. Kuasa dan kemampuan setiap orang -tentunya- berbeda-beda, dan banyak faktor yang menjadikan kekuasaan dan kemampuan setiap orang itu bergradasi. Sebagaimana Al-Qudrah, al-Wujud pun memiliki gradasi yang banyak. Begitu pula dengan sifat-sifat yang lainnya.Yang jelas bahwa semakin banyak dan tinggi kesempurnaan si pelaku -dari sisi derajat wujudnya- maka semakin banyak pula kekuasaan dan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, maka -sudah pasti- dzat yang memiliki kesempurnaan yang tidak terbatas, memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tak terbatas pula. Dengan kata lain bahwa mengingat wujud Tuhan Pencipta itu bersifat sempurna secara mutlak dan tidak terbatas (sebagaimana telah kita buktikan pada kajian yang telah lalu), maka al-Qudrah, kekuasaan dan kemampuan-Nya-pun bersifat mutlak dan tidak terbatas pula.

Sehubungan dengan uraian di atas, agar kajian ini menjadi lebih jelas dan mudah dipahami, kiranya perlu kami tekankan beberapa poin berikut ini:

Pertama: Al-Qudrah itu tidak mesti berkaitan dengan seluruh tindakan dan perbuatan. Artinya ada sebagian tindakan dan pekerjaan yang berkaitan erat dengan al-Qudrah dan sebagain lainnya tidak berkaitan dengannya. Setiap tindakan dan pekerjaan dimana al-Qudrah itu berkaitan erat dengannya, maka ia bersifat mumkin tahaqquq (dapat terealisasi). Dengan kata lain apabila al-Qudrah itu berkaitan erat dengan suatu tindakan dan perbuatan, maka tindakan dan perbautan tersebut dapat diharapkan terealisasi. Atas dasar itu, maka sesuatu yang bersifat muhal (mustahil, tidak terwujud) secara substansial, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan (muhal), maka al-Qudrah itu tidak berkaitan dengannya. Ketika al-Qudrah tersebut tidak berkaitan dengannya, maka tidak mungkin tindakan dan perbuatan tersebut dapat terealisasi.

Dari uraian di atas dapat dipahami, jika dikatakan bahwa Tuhan Pencipta itu Mahakuasa atas segala sesuatu, yaitu Dia mampu menciptakan apa saja yang Dia kehendaki, maka hal itu -tentunya- ketika al-Qudrah-Nya itu berhubungan dan ada kaitannya dengan sesuatu tersebut. Jika tidak, maka tidak mungkin akan terwujud. Misalnya, jika Tuhan itu Mahakuasa, apakah Dia mampu menciptakan Tuhan? Apakah Dia juga kuasa menjadikan angka dua (sebagai angka dua) lebih besar dari angka tiga? Apakah Dia mampu menciptakan seorang anak sebelum ayahnya? Dan sebagainya. Tentu jawabnya tidak. Karena Tuhan itu tidak diciptakan. Jika Tuhan itu diciptakan, maka berarti ia bukan lagi Tuhan namanya. Angka dua pasti lebih kecil dibanding angka tiga, karena urutannya jatuh sebelum angka tiga. Mustahil Tuhan menjadikan angka dua itu lebih besar, sementara ia tetap pada urutannya. Begitu pula dengan wujud seorang anak sebelum ayahnya, hal ini tidak mungkin terjadi, karena menyalahi sunnah-Nya. Dan setiap orang yang terlahir sebelum seorang ayah, ia pasti sebagai ayahnya dan bukan lagi sebagai anaknya. Dan begitulah seterusnya.

Kedua: Sesungguhnya mampu dan kuasa atas segala tindakan dan perbuatan, tidak memestikan bahwa al-Qâdir (yang memiliki kemampuan) itu harus melakukan segala perbuatan yang ia sanggupi. Dengan kata lain, bahwa seseorang yang memiliki kemampuan dan kekuasaan tidak berarti bahwa kekuasaan dan kemampuannya itu senantiasa memaksanya untuk melakukan apa saja. Tetapi, ia hanya akan melakukan sesuatu itu jika ia berminat dan bekehendak. Tuhan Pencipta itu, di samping Mahakuasa, Dia pun Mahabijak. Atas dasar itu, maka Dia tidak akan melakkukan perbuatan dan tindakan apapun, kecuali dengan penuh kebijakan-Nya. Dan tidak akan keluar tindakan apapun darinya kecuali yang baik dan mengandung mashlahat bagi hamba-hamba dan segala ciptaan-Nya. Dia tidak akan merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak bijak, meskipun Dia Mahakuasa dan Mampu untuk melakukan tindakan yang buruk dan munkar. Hal ini akan kita bahas pada pelajaran Hikmah Ilahiyah.

Ketiga: Sesungguhnya makna dan pengertian al-Qudrah (bagi Tuhan Pencipta) yang telah kami jelaskan itu mengandung makna ikhtiar (free-will, bebas memilih). Berbeda halnya dengan kuasa pada manusia. Terkadang manusia itu memiliki kemampuan dan kekuasaan, tetapi ia merasa terpaksa dalam melakukan perbuatan dan tindakannya tersebut. Artinya perbuatannya itu tidak atas dasar ikhtiyar, pilihan dan kebebasan kehendaknya. Adapun Tuhan Pencipta, di samping memiliki derajat kekuasaan dan kemampuan yang paling tinggi, Dia pun memiliki ikhtiar dan kebebasan memilih yang paling tinggi dan sempurna. Artinya, tidak mungkin ada faktor apa pun yang memaksa-Nya untuk melakukan suatu tindakan atau mencabut ikhtiar dari-Nya. Karena, wujud dan kemampuan segala sesuatu itu bersumber dari-Nya. Dengan demikian, maka tidak mungkin Dia dapat dipaksa dan dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang Dia berikan kepada makhluk-makhluk-Nya.