Ibadah karena terbiasa, atau karena Tuhan?
Nilai ibadah ada pada niat dan ketulusan pelakunya, yang mana amal ibadah itu dilakukan untuk mencari keridhaan Tuhan. Pelaku ibadah ini adalah hamba tertinggi di mata Tuhan.
Imam Ali as berkata bahwa hamba Allah ada tiga macam: hamba yang bagaikan budak, bagai pedagang, dan hamba yang bebas. Hamba yang seperti budak, menyembah Tuhan karena takut siksaan-Nya; hamba yang bagai pedagang, menyembah karena mengharap ganjaran dan balasan yang menguntungkannya; hamba yang bebas menyembah Tuhan karena Tuhan layak dan patut disembah.
Tidak ada salahnya jika kita menghamba seperti budak atau pedagang. Namun jika kita telusuri, menghamba sebagai orang yang bebas adalah makna hakiki penghambaan. Sedangkan hamba-hamba yang seperti budak atau pedagang, meskipun tak menutup kemungkinan ibadah mereka benar dan diterima, mereka tidak sepenuhnya beribadah. Karena mereka tidak beribadah sepenuhnya untuk mengharap keridhaan Allah swt semata, akan tetapi karena faktor-faktor yang non-Ilahi lainnya.
Faktor-faktor non-Ilahi tersebut yang dapat kita lihat dengan mudah, seperti yang telah disinggung, misalnya: takut api neraka, mengharapkan surga, dan lain sebagainya.
Sedangkan ada faktor-faktor lain yang cukup susah dilihat, yaitu faktor “kebiasaan”. Lihatlah contoh berikut ini:
Seseorang mulanya menekuni shalat berjama’ah di awal waktu. Ia benar-benar menikmati nilai spiritual dalam amal ibadah tersebut. Setiap kali ia menemukan halangan untuk shalat berjamaah di awal waktu, ia selalu berusaha menerjang halangan tersebut untuk tetap bisa shalat seperti biasanya. Lambat laun, ia mulai kehilangan arti amal ibadah yang ia lakukan. Sedikit demi sedikit, ia kurang bisa memaknai shalat jamaa’ah di awal waktu; namun ritual tersebut terus dijalankan. Suatu saat, ia berhalangan untuk melakukan “kebiasaan” tersebut, ia mulai gelisah seakan bakal ada masalah yang sangat besar jika sekalipun ia meninggalkan kebiasaannya. Ia bergegas menuju shalat berjamaah di awal waktu. Ia tidak bisa meninggalkannya.
Jika ingin dinilai, benar secara fisik amal perbuatannya, yakni shalat jamaah di awal waktu, benar dan sah, dan bahkan itu lah yang dianjurkan oleh Islam. Namun dari sisi psikis, ia menderita kegelisahan. Kegelisahan yang dihasilkan oleh hilangnya arti perbuatan yang terbiasa dilakukannya, entah apapun itu faktornya. Ia gelisah jika amal itu tidak sempat dilakukan sekali saja. Jika ternyata suatu saat amal itu tertinggalkan dengan tidak sengaja, begitu dahsyat ia merasa berdosa. Namun perlu diingat, kegelisahan yang ia rasakan tidak berkaitan dengan Tuhan, namun berkaitan dengan dirinya sendiri, dosa terhadap dirinya sendiri.
Seorang hamba yang sepenuhnya beribadah untuk Tuhan, kegelisahan dan penderitaan jiwa yang ia rasakan dikarenakan perasaannya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan dirinya sendiri dan kebiasaannya.
Dengan demikian, dalam contoh di atas, orang tersebut bukan termasuk orang yang menghamba hanya untuk Allah semata (kecuali jika ia tidak kehilangan makna ibadahnya). Namun “diri” nya yang telah menjadi faktor non-Ilahi yang ikut campur dalam ibadahnya.
“Kebiasaan” ini hanyalah satu dari sekian banyak faktor lain yang mungkin dapat ikut serta dalam niat kita beribadah. Kita dapat merenungi faktor-faktor lain tersebut, mengenalinya, dan menyikapi dengan benar. Oleh karena hal ini Islam begitu mementingkan “tafakur”, yakni berhening, merenung, berfikir; bukan hanya memfokuskan diri pada ritual-ritual amal ibadah. Sebagaimana hadits yang berbunyi: “Berfikir sesaat (bertafakur) lebih baik dari beribadah satu tahun.”