Mengapa Al-Qur’an mewajibkan puasa?
Di dalam al-Quran, penjelasan mengenai hukum puasa Ramadhan terangkum dalam beberapa ayat dalam surah al-Baqarah, adapun ayat-ayat dalam surah lainnya semata menjelaskan mengenai pembagian puasa yang telah disyariatkan dalam Islam.
Ayat-ayat yang menunjukkan akan puasa Ramadhan seluruhnya terdapat dalam surah al-Baqarah, setidaknya ada tiga ayat yang berbicara mengenai ibadah agung ini yang letaknya saling berdampingan. Dalam tulisan singkat ini, kami mencoba menyoroti ketiga ayat tersebut:
Ayat pertama:
یا ایها الذین آمنوا کتب علیکم الصیام کما کتب علی الذین من قبلکم لعلکم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)
Menurut pandangan para ahli tafsir dan ululmul qur’an, ayat-ayat yang permulaannya menggunakan frasa “Wahai orang-orang yang beriman” diturunkan di kota Madinah dan surahnya dikatagorikan sebagai surah Madaniah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kewajiban puasa —sebagaimana kewajiban zakat dan berjihad—disyariatkan pada tahun kedua Hijriah.
Ayat di atas dengan jelas menyampaikan kepada kaum beriman akan kewajiban lain yang harus mereka tunaikan yang termaksud salah satu ibadah terpenting dalam agama Islam, kewajiban tersebut tidak lain ialah puasa di bulan Ramadhan. Ayat ini diawali dengan seruan “Wahai orang-orang yang beriman” yang bertujuan melunakkan hati kaum muslimin sehingga mereka dengan mudah dapat menerima syariat baru tersebut. Dalam hal ini Imam Jakfar as-Shadiq as mengatakan bahwa indahnya seruan ini telah menghilangkan kesukaran dalam menjalankan perintah puasa.
Selanjutnya ayat di atas menyebutkan bahwa ibadah puasa bukan hanya diwajibkan bagi umat masa ini, akan tetapi ia juga telah diwajibkan bagi umat-umat terdahulu, hal ini disampaikan salahsatunya juga dalam rangka menghilangkan kesukaran dalam hati kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah puasa,
Berdasarkan penelitian, terbukti bahwa ritual puasa telah ada dalam tradisi umat-umat terdahulu bahkan pada umat penyembah berhala sekalipun, mereka melakukan puasa guna mendekatkan diri kepada berhala-berhala, dan hingga saat ini pun, ritual tersebut masih dapat kita saksikan dalam ritual orang-orang Hindu yang melakukan puasa pada waktu-waktu tertentu.
Ritual puasa juga terdapat dalam syariat umat Yahudi, Nashrani dan Shabiin, hal ini dapat kita saksikan dan Injil yang ada saat ini yang mendeskripsikan puasa sebagai amalan yang terpuji seraya mengabarkan akan puasa yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Isa as. Adapun dalam al-Quran, kita dapat temukan ayat yang menceritakan akan nadzar sayyidah Maryam yang dilakukannya dengan berpuasa.“Jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.” (Q.S. Maryam: 26)
Tentunya puasa yang dilakukan Maryam as adalah berdiam diri atau puasa dari berbicara dengan orang lain, dimana amalan ini merupakan salah satu dari bentuk puasa. Adapun puasa yang dilakukan oleh nabi Musa dan Isa as adalah puasa sebagaimana yang umumnya difahami, yaitu menahan dari dari makan, minum dan sesuatu yang membatalkan.
Di akhir ayat, dengan isyarah pendek Allah Swt menjelaskan falsafah disyariatkannya puasa, yaitu guna meraih ketakwaan. Yaitu dengan menahan dari dari sebagain kenikmatan jasmani demi melaksanakan perintah Ilahi, seorang telah melatih dirinya untuk munundukkan hawa nafsunya. Latihan ini dilakukan selama satu bulan sehingga berpotensi menumbuhkan ketakwaan dalam dirinya yang akan menjadikannya mampu dengan mudah meninggalkan perbuatan dosa, memakan dan melanggar hak orang lain kendati perbuatan itu sejalan dengan kepentingannya. Dengannya ia memiliki power guna mengotrol hawa nafsunya sehingga tunduk di bawah kendalinya dan bergerak sesuai perintah Allah Swt
Ayat kedua:
«ایاما معدودات فمن کان منکم مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر و علی الذین یطیقونه فدیه طعام مسکین فمن تطوع خیرا فهو خیر له و ان تصوموا خیر لکم ان کنتم تعلمون.
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 184)
Setelah menjelaskan mengenai hukum dan falsafah puasa, pada bagian selanjutnya, Allah Swt menyampaikan beberapa aturan ibadah puasa yang dengannya dapat meringankan beban umat dalam menjalankan ibadah tersebut, di antaranya ialah:
1. Puasa yang diwajiban bagi kaum muslimin bukanlah puasa sepanjang tahun, akan tetapi puasa itu hanya diwajibkan dalam beberapa hari.
2. Puasa tidak diwajibkan bagi mereka yang sakit atau dalam perjalanan (musafir), bagi mereka yang berhalangan, hendaknya mengqadha puasa mereka pada hari-hari lainnya di luar bulan Ramadhan.
3. Bagi mereka yang tidak mampu melakukan puasa, baik mereka yang sakit, orang tua, ibu hamil dan menyusui, maka mereka tidak lagi diwajibkan berpuasa, dan sebagai gantinya mereka harus membayar fidyah atau kafarah. Kadar satu fidyah ialah memberi makan seorang fakir miskin hingga ia merasa kenyang untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan, namun jika seorang hendak membayar fidyah lebih dari kadar yang ditentukan, maka akan menjadi lebih baik.
Pada bagian akhir ayat, Allah kembali mengingatkan bahwa ibadah puasa banyak mengandung manfaat dan kebaikan bagi manusia, sehingga seandainya seorang mengetahuinya, maka ia tidak akan meninggalkan atau merasa berat melakukannya, bahkan sebaliknya ia akan menjalankannya dengan antusias dan penuh ketulusan.
Ayat ketiga:
شهر رمضان الذی انزل فیه القرآن هدی للناس و بینات من الهدی و الفرقان فمن شهد منکم الشهر فلیصمه و من کان مریضا او علی سفر فعده من ایام اخر یدید الله بکم الیسر و لا یرید بکم العسر و لتکلموا العده و لتکبرو الله علی ما هدکم و لعلکم تشکرون.
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. al-Baqarah: 185)
Ayat ini memberikan batasan bahwa beberapa hari yang diwajibkan puasa adalah hari-hari pada bulan Ramadhan, bulan yang mulia dan penuh berkah karena di bulan ini lah kitab suci al-Quran telah diturunkan, kitab yang menjadi sumber hidayah bagi seluruh umat manusia. Dengannya, manusia dapat berjalan di jalan yang lurus hingga mampu menggapai hakikat dan kebahagiaan. Sungguh bulan ini memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.
Di akhir ayat ini, Allah Swt kembali menegaskan bahwa disyariatkannya puasa bukanlah untuk memberatkan manusia, namun dikarenakan manfaat besar yang terkandung di dalamnnya, sesunguhnya Allah menginginkan kemudahan bagi mereka. Oleh karenanya ada tiga hal yang hendaknya dilakukan seorang mukmin:
1. Hendaknya ia menyempurnakan hari-hari Ramadhan dengan puasa, namun jika ia sakit atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia berbuka dan mengqadha puasanya di hari-hari lain.
2. Dikarenakan petunjuk yang telah diberikan Allah Swt kepadanya, maka hendaknya seorang mukmin mengumandangkan takbir kepada-Nya.
Kemungkinan yang dimaksud takbir di sini adalah takbir yang diucapkan saat shalat Iedul Fitri atau saat shalat sunnah yang dilakukan setelah shalat-shalat wajib di hari raya tersebut.
3. Seorang mukmin hendaknya selalu bersyukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya, khususnya nikmat disyariatkannya puasa Ramadhan yang sarat dengan kemuliaan dan keagungan.