Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keserasian Zikrullah dengan Hamasah (1)

2 Pendapat 05.0 / 5

Mungkin seseorang atau umat tertentu memiliki jiwa arif sekaligus berjiwa pejuang? Yakni, Apakah jiwa seorang pejuang itu bukanlah jiwa seorang ahli munajat? Pada pembahasan lalu, kiranya cukup jelas bahwa jiwa juang (hamasi) Iman Husein adalah jiwa Doa Arafah beliau. Ya, jiwa adiluhung nan lembut inilah yang menggubah Doa Arafah dan menorehkan sejarah hamasah (perjuangan) karbala.


Rahasianya adalah bahwa meskipun kasih sayang berlawanan dengan kemurkaan, tetapi agama Islam adalah agama akal, bukan agama perasaan. Sebab, kasih sayang dan kemarahan berada dibawah kendali akal dan terkadang akal mengeluarkan kebijakan murka dan terkadang memerintahkan kasih sayang. Oleh karena itu, boleh jadi suatu umat adalah umat yang ahli makrifah dan hikmah, tunduk dan patuh dihadapan Allah, umat yang memiliki  jiwa lembut nan ramah, pada saat yang sama, mereka menentang dan anti kezaliman.


Adakalanya, kelembutan bertentangan dengan peperangan. Dua sifat yang lahir dari dua kekuatan ini adalah berlawanan. Namun, apabila keduanya dibawah petunjuk akal, maka masing-masing dapat diposisikan pada tempatnya. Dan, dalam kondisi seperti itu, keduanya tidak lagi bertentangan, malah bisa saling bersinergi. Al-Quran menyinggung keterkaitan dua hal ini, yaitu masalah keramahan dan kemarahan (dengan berperang) untuk mempertahankan hak, dengan mengatakan:


          Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah : 2)


Ya, saling tolong-menolonglah kalian dan saling maafkanlah kesalahan orang lain. Dalam kehidupan keluarga antar sesama, kita harus saling mencintai dan mengasihi:


          Dan kami jadikan di antara kalian cinta dan kasih sayang. (QS. Ar-Rum : 21)


Kehidupan keluarga dan hubungan suami–istri yang saling mecintai dan mengasihi akan melahirkan keluarga dan anak yang terdidik dengan cinta dan kasih sayang, ini mengenai keluarga. Adapun tentang (kehidupan) sosial, Allah berfirman:


          Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara maka damaikanlah


          antara saudara-saudara kalian. (QS. Al-Hujurat : 10)


Namun, ketika berbicara mengenai hukum Allah, lain lagi masalahnya. Apabila seseorang menentang agama dan membahayakan masyarakat umum, maka keadilan Allah-lah yang menghukuminya. Dan dalam melaksanakan hukum Allah, mesti ada sebagaian hamba yang bertindak sesuai dengan hukum tersebut:


          Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
         kamu untuk (menjalankan) agama Allah. (QS. An-Nur : 2)


Di satu sisi, ayat ini mengatakan: laksanakanlah hukum Allah, dan di sisi lain mengatakan: janganlah merasa iba di hadapan keadilan Allah, di mana belas kasih (dalam kasus ini) adalah kebohongan dan kasih sayang adalah dusta.


Oleh karena itu, Islam yang menganjurkan cinta dan kasih, mengajarkan kepada kita agar jangan ada maaf dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Di sini tidak ada dispensasi. Selain dalam masalah ini, kita juga dianjurkan untuk tiada memberikan maaf terhadap perampas kehormatan pribadi dan publik, seperti dalam bidang ekonomi, keamanan, dan politik. Sebab, agama ini adalah agama akal, bukan agama perasaan.


Oleh karena itu, Islam terkadang menganjurkan perasaan (kasih sayang) dan terkadang memerintahkan kemarahan. Ayat yang mengatakan: Dan jangalah belas kasihan keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah. (QS. An-Nur : 2), adalah sebuah larangan. Artinya, Anda tidak berhak mengasihi, menolong, dan yang serupa lainnya.


Seorang arif terkenal, Muhyiddin ibn Arabi, mengatakan, “Zikir kepada Allah lebih utama dari peperangan.” (Fushus Yunusi dari Fushus al-Hikam hal. 383 dan Syarah Fushus Qaishari dan Futuhat al Makiyah, juz IV, hal. 462)


Lantaran peperangan memiliki dua wajah, maka ungkapan ini perlu dijelaskan. Wajah pertama, kembali pada syahadah, dan wajah kedua, merupakan penyebab bagi kehancuran generasi penerus. Maksud ungkapan tersebut  tidaklah berarti bahwa “Zikrullah (mengingat Allah) lebih utama dari pada syahadah”. Sebab, jihad, difa’, perlawanan, dan syahadah itu sendiri merupakan zikrullah. Jadi, tidak dapat dibenarkan bila zikrullah lebih utama dari peperangan di jalan Allah. Sebab, perang, jihad, dan difa’ di jalan Allah sendiri merupakan zikrullah.


Kurang tepat apabila dikatakan, “zikrullah lebih tinggi ketimbang difa’ di jalan Allah. “sebab, difa’ itu sendiri merupakan zikrullah dan melaksanakan seruan-Nya. Allah SWT memerintahkan perang melawan musuh-musuh-Nya, dengan mengatakan, “Lakukanlah.” Nah, melaksanakan seruan Allah adalah zikrullah, dalan surah Al-Anfal, setelah memerintahkan difa’ dan perang, Allah berfirman:


          Hai orang-orang yang  beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, apabila Rasul     menyuruh kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. (QS. Al-Anfal : 24)


Konotasi ayat ini  mengarah kepada pemberlakuan perang. Walaupun semua hal dalam Islam melahirkan kehidupan; dan shalat, puasa,serta haji mencerahkan umat, namun perintah dalam ayat tersebut bukanlah shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Itu adalah perintah perang. Dikatakan di situ, “Perang akan menghidupkan diri kalian. Bukankah Anda menginginkan kemuliaan? Bukankah kemuliaan itu hanya (mungkin) bila di bawah undang-undang Allah? Apabila musuh mengalahkan Anda, bukankah akan terjadi: mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan (QS. Al-Baqarah : 49)?”]


Pada masa di mana negara Islam ini (Iran) dulunya adalah kerajaan, nama besar Nabi SAW tenggelam dalam lingkungan tangan orang-orang lalai. Mereka dengan terang-terangan mengatakan, “Lupakan nama Nabi! Cantumkan di awal surat undangan kalian nama raja!” Namun, kita sebagai hamba yang bertauhid berkata, “Kalimat paling awal dalam menulis surat adalah nama Allah!” Pada saat yang sama, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan para pecundang mengakui bahwa diri mereka berada di bawah kekuasaan Firaun.


Ya, apabila seseorang ingin hidup mulia, tiada jalan lain yang harus ditempuh kecuali difa’ di jalan Allah. Karena itu, pada saat yang sama, shalat, puasa, dan amal ibadah lainnya adalah faktor kehidupan. Namun, ayat yang berkonotasi difa’ dan perang dalam surah Al-Anfal: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, apabila rasul menyuruh kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, seolah-olah mengatakan, “Hai orang-orang mukmin, manakala Allah dan Rasul-Nya memerintahkan perang bagi kalian, maka laksanakanlah! Sebab, itu akan menghidupkan kalian.”


Oleh karena itu, ketika agama adalah agama akal, bukan perasaan, maka akal sehat memerintahkan, “tunduklah dan patuhlah di hadapan Allah! Dan Janganlah menaruh hati ketika melawan kebatilan!” Allah SWT, dalam memuji manusia-manusia ilahiah berfirman: Mereka yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut oleh celaan orang yang mencela. Di satu sisi, ayat ini seakan berkata, “Jangalah menaruh hati dalam masalah (menegakkan) agama Allah.” Dan, di sisi lain, “Orang-orang yang mematuhi larangan-Nya, dalam melaksanakan perintah-Nya, tidak akan berbelas kasihan secara palsu.”


Apabila sistem dikendalikan oleh akal, maka semua kecenderungan alami, akan distabilkan olehnya. Dan, akal itu sendiri menerima celupan (shibghah) cinta. Berdasarkan kecenderungan alami, manusia memiliki harapan dan berdasarkan ketidakcenderungannya, ia memiliki rasa takut. Nah, harapan dan khauf (takut) ini pada semua orang. Namun, harapan dan khauf insan muwahhid (yang bertauhid) berlandaskan pada tauhid.


Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Barang siapa mencintai Allah, maka dengan kecintannya itu ia menjadi takut kepada Allah, (sehingga) khauf dan harapannya menjadi terarah.” Beliau juga berpesan, “Apabila Anda bisa mengukuhkan khauf Anda kepada Allah dan bersangka baik (husnuzhan) kepada-Nya, maka gabungkanlah keduanya. “(Nahj Al-Balaghah, khutbah ke-27)


Ya, orang yang banyak harapannya kepada Allah adalah orang yang banyak takutnya kepada-Nya.Yakni, sandaran bagi harapannya tiada lain hanyalah kepada Allah SWT dan sandaran bagi takutnya juga tiada lain hanyalah Allah. Lantaran hanya kepada Allah ia takut dan tiada takut kepada selain-Nya, ia akan berjuang keras dalam membela agama-Nya. Adapun orang yang tiada berjuang dan selalu berpangku tangan, akan mencari-cari alasan, “takut”nya tidak selayak ketakutan seorang muwahhid.


Para mufassir (ahli tafsir), dalam upaya memahami ayat-ayat Al-Quran dengan pemikiran sendiri, sebelum bertanggungjawab atas pandangan mereka terhadap Al-Quran, mereka tidak akan menemukan sesuatu. Al-Quran mengatakan, “Pikirkanlah maslahat diri kalian!” dalam ayat :


          Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu ; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu  telah mendapat petunjuk. (QS. Al-Maidah : 105)


Artinya, “Hai orang-orang mukmin, pikirkanlah tahzib al-nafs (penyucian jiwa) kalian! Jika sebagian orang tersesat, maka kesesatan mereka tidak akan mempengaruhi kalian. Manakala kalian memperoleh petunjuk, maka kesesatan orang-orang buruk itu tidak akan menyesatkan kalian.”


Para mufassir yang takut (kepada selain Allah), bukanlah kaum muwahhid (yang bertauhid kepada Allah). Berdasarkan ayat tersebut, mereka menyimpulkan setiap orang harus melaksanakan pekerjaannya dan tidak mencampuri urusan orang lain. Mereka, berdasarkan ayat itu, mengatakan bahwa amar makruf nahi mungkar dan difa’ agama dilaksanakan nanti saja pada masa hadirnya Imam Mahdi.


Apakah amar makruf merupakan bagian dari undang-undang resmi Islam, ataukah bukan? Apakah difa’ dan jihad merupakan bagian dari undang-undang Al-Quran yang pasti, ataukah bukan? Apakah seseorang (mungkin) memperoleh hidayah tanpa melaksanakan undang-undang tersebut, sehingga kita bisa mengatakan bahwa orang itu mendapatkan hidayah dan tidak tersesat? Atau, haruskah kita mengatakan bahwa apabila seseorang melakukan difa’, jihad dan berperang di jalan Allah,serta menegakkan keadilan, ia tidak mendapatkan hidayah? Karena tidak mendapatkan hidayah, maka berarti ia berada dalam kesesatan.


Adapun orang-orang yang takut kepada Allah, dalam memahami ayat di atas, ia akan berlandaskan pada ajaran tauhid. Sedangkan orang-orang yang takut dalam watsani (keberhalan) dan tsanawi (dualisme) – takut kepada Allah dan takut kepada selain-Nya – memiliki pandangan lain terhadap ayat Al-Quran


Tentang orang yang berharap kepada Allah atas (dasar) takut kepada-Nya dan tentang sifat orang bertakwa , Imam Ali mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang, “Tidak melihat sesuatu yang lebih diharapkan di atas apa yang mereka harapkan dan lebih ditakuti di atas apa yang mereka takuti.” (Nahj al-Balaghah, Qishar al-Hikam, no. 432)


Manusia, ketika mencapai tingkatan malaikat, juga memiliki khauf dan harapan. Malaikat, meskipun sarat dengan kebaikan, namun kebaikan-kebaikan yang dilakukannya tidaklah merubah kapasitas harapannya kepada Allah. Sebab, jika berubah, maka kapasitas harapannya akan bertambah besar. Ketika itu terjadi, maka otomatis kapasitas takutnya  kepada Allah akan berkurang. Dengan begitu, terkikislah rasa takutnya kepada Allah (Nahj al-Balaghah, khutbah ke-91).


Dengan demikian, terdapat tiga poin dalam ucapan Imam Ali di atas: Pertama, beliau menganjurkan, bila Anda mampu menggabungkan harapan dan ketakutan, maka berusahalah menggabungkan keduanya. Jadi, keduanya bisa dipadukan. Kedua, beliau menjelaskan bahwa orang yang menggabungkan kedua hal tersebut memiliki keutamaan. Orang yang bertakwa adalah yang harapan satu-satunya adalah Allah SWT dan tiada yang lebih diharapkannya selain  Allah. Dan, tiada yang lebih ditakutinya di atas Allah dan tiada takut sedikitpun kepada selain-Nya. Ketiga, saat itu, ia lebih tinggi tingkatannya dari insan yang bertakwa. Dalam pandangan Imam Ali, “Apabila harapan malaikat bertambah, maka takutnya akan berkurang.”  Dan makhluk tetaplah makhluk; besarnya harapan kepada Allah haruslah selaras dengan besarnya rasa takut kepada-Nya. Inilah jiwa yang tergabungkan di dalamnya irfan dan hamasah.


Salam atas kalian, wahai Ahlul Bait Nabi SAW, Salam atasmu, wahai Qatil al-‘Abarat; salam atasmu wahai al-Husain; salam atas Ali bin al-Husain dan putera-putera al-Husain serta sahabat-sahabat al-Husain.
(Bersambung……)