Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Menelisik Sejenak Kandungan Surah Al-Ashr

2 Pendapat 05.0 / 5


بسم الله الرحمن الرحیم

 

Wal-Ashr (والعصر), demi masa: Demi waktu dan zaman kedatangan Rasulullah Saw, dimana waktu dan masa tersebut adalah masa terangnya kebenaran dalam mengalahkan gelapnya kebatilan, masa menyebarnya tauhid dan keadilan serta surutnya syirik jahiliah dan kezaliman.

Waktu dan zaman adalah dimensi realitas yang terjelma dari dimensi gerak, sedang gerak sendiri adalah dimensi yang inheren dengan alam tabiat dan materi itu sendiri. Dalam artian alam materi tidak tercipta terlebih dahulu tanpa gerak lantas gerak tercipta kemudian padanya. Dengan demikian zaman juga senantiasa menyertai alam tabiat ini seiring dengan gerak tidak pernah lepas dengan alam tabiat, karena zaman tidak lain adalah kuantitas daripada gerak.

Manusia sebagai maujud alam tabiat dan materi (disamping memiliki dimensi ruh dan batin) tidak luput dari pergerakan dan zaman, baik dalam bentuk individualnya maupun dalam bentuk sosialnya. Rasulullah Saw dalam alam tabiat memiliki kenyataan individu yang merupakan tersempurnanya wujud individu, dan karena beliau berada pada suatu zaman tabiat tertentu maka kesempurnaan diri individunya tersebut menjadi cahaya tersempurna hidayah Ilahi mulai dari kemunculannya hingga zaman dan waktu selanjutnya, dan pergerakan ini mengarah pada terwujudnya suatu tatanan tersempurna pada suatu zaman tertentu, yakni sesuai dengan keyakinan kaum Muslimin adalah zaman kebangkitan manusia tersempurna terakhir, yakni Imam Mahdi as.
 
Innal Insana lafi khusr (انّ الانسان لفی خسر): Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Khusr adalah bentuk kerugian yang dapat mengakibatkan seluruh modal yang melekat pada setiap diri manusia sirna tanpa tersisa. Ibaratnya seorang pedagang es menggelar barang dagangannya di bawah teriknya matahari, maka apa yang akan terjadi terhadap barang dagangannya yang menjadi modal hidupnya? Modal manusia adalah fitrahnya yang suci, fitrahnya kepada penciptanya, pada sifat kesempurnaan, dan pada keindahan serta kebaikan.

Manusia hanya punya sekali kesempatan dalam meningkatkan kesempurnaan fitrahnya. Itupun di alam tabiat bersama pergerakan dan perubahan tabiatnya, karena itu ia harus berhitung waktu dan zaman, jangan sampai zaman berlalunya lebih baik dari zaman akan datangnya, dan tertimpa kerugian demi kerugian, hingga zaman tabiatnya habis serta fitrahnya pun penuh dilumuri dengan kekufuran, kesalahan, dan kezaliman.

Amirul Mukminin Ali as berkata:
الفرصة تمرّ مرّ السحاب فانتهزوا فرص الخیر
“Kesempatan ibarat awan dari ufuk kehidupan yang berlalu, karena itu raihlah (gunakanlah semaksimal mungkin) kesempatan-kesempatan baik yang tersedia” (Nahjul Balagah)

Illalladzina amanu wa amilusshalihaat (الاّ الذین امنوا و عملوا الصلحت): Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh. Semua manusia merugi degan berlalunya waktu dan masa yang diperuntukkan baginya. Seruan hidayah umum Tuhan senantiasa menghentak fitrahnya pada keimanan tauhid dan akhlak karimah serta perbuatan baik.

Mahiyah dan esensi iman berbeda dengan esensi ilmu, meskipun keduanya adalah dimensi batin manusia. Betapa tidak, sangat banyak manusia yang secara pengetahuan telah sampai pada kebenaran tauhid tapi hatinya tertutup untuk mengimaninya, karena itu iman bukanlah perbuatan akal, tapi ia adalah perbuatan qalbu, meskipun tentunya iman benar tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan dan makrifat yang benar pula.

Tuhan mengecualikan kerugian pada diri manusia dengan dasar pertama adalah memiliki keimanan yang benar terhadap-Nya, terhadap Nabi-Nya dan Hari Akhirat.  Kedua, keimanan ini mesti dibarengi dengan amal saleh, karena dengan dua aspek inilah manusia bisa mengambil manfaat dari pergerakan waktu tabiatnya dengan melakukan peningkatan akhlak mulia, spiritual, transendental, dan maknawi, sehingga di akhir perjalanan waktunya ia dapat menggapai keberuntungan dan kebahagiaan ukhrawi.

Watawashau bilhaqq, watawashau bisshabr (وتواصوا بالحقّ وتواصوا بالصبر): Serta saling menasehati untuk hak dan kebenaran, dan saling menasehati tuntuk kesabaran. Tawashau dari segi lughah berada pada bab tafa’ul, yakni kerja dan perbuatan tidak hanya dari satu arah dan satu orang, tapi dari dua arah dan minimal dua orang. Sebagaimana kita ketahui manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari interaksi satu dan lainnya, dan dengan jalan demikian mereka memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Salah satu kebutuhan esensial dan fundamental manusia adalah kebutuhan dalam bentuk maknawiah dan spiritual, sebagaimana wujudnya yang juga memiliki dimensi batin dan non-materi.

Saling menasehati untuk kebenaran adalah suatu bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perkara batin ini, baik itu dalam bentuk ta’lim dan ta’allum untuk memperoleh makrifat yang benar, maupun dalam bentuk mauizah (nasehat dan pelajaran baik) untuk mempertahankan keyakinan benar dalam dada, serta dalam bentuk saling memotivasi untuk menegakkan kebenaran dan merealisasikannya.

Tentang saling menasehati kepada kesabaran dalam hal ini lebih umum dari kesabaran pada ketaatan, kesabaran dalam meninggalkan maksiat, dan kesabaran dalam menghadapi musibah.

Tidak diragukan kondisi jiwa kebanyakan manusia dalam menghadapi berbagai perkara dan peristiwa adalah berubah-ubah dan naik-turun intensitasnya.  Pada galibnya manusia tidak konstan dalam ketaatan, menahan diri dari maksiat, menghadapi musibah besar dan kecil, semangat menuntut ilmu, mencari rezki halal, menghadapi keluarga, dan berbagai hal serta peristiwa lainnya. Oleh karena itu untuk memelihara kondisi stabil keimanan, kebaikan, dan maknawiah yang didapatkan dari saling menasehati untuk kebenaran, diperlukan juga kondisi kehidupan bermasyarakat  yang terbangun di dalamnya semangat saling menasehati untuk kesabaran, karena dengan jalan inilah setiap diri kita bisa senantiasa bertahan di jalan pengabdian pada agama Tuhan.

Penutup: Hidup dalam perjalanan waktu dan zaman di dalam alam tabiat adalah modal dasar dalam meraup kebaikan dan kesempurnaan yang akhirnya adalah kebahagiaan abadi. Syarat dasarnya adalah keimanan yang benar dan amal saleh yang tidak hanya terbatas individual, sebab manusia sebagai makhluk sosial hanya dengan bersosial bisa mendapatkan kebaikan melimpah dan banyak. Adapun salah satu jalannya dalam medan ini adalah saling menasehati pada kebenaran dan saling menasehati pada kesabaran. Wallahu A’lam