Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bada’ Menurut Ulama Syiah dan Ahlussunnah

4 Pendapat 04.0 / 5
1. Keyakinan terhadap Bada’ menurut Mazhab-mazhab Islam.
 Sebelumnya telah di katakan bada’ dilihat dari kandungan akidah dan teologis, bisa terjadi pada setiap kaum Muslimin, akan tetapi dalam mazhab Ahlulbait hal ini lebih dipertegaskan lagi. Kalau ditinjau dari sisi makna bahasa, bada’ tidak dapat terjadi pada Allah Swt, hal itulah yang menyebabkan perselisihan di sebagian umumnya para ulama, padahal dalam mazhab Syiah makna bada’ yang secara bahasa jika disandarkan kepada Allah Swt tidak akan pernah diterima.

 Oleh karena itu, walaupun keyakinan terhadap bada’ itu lebih khusus diyakini Syiah saja, akan tetapi kandungannya mencakup setiap kaum Muslimin, dan bukan sesuatu yang pantas dimana kaum Muslimin paham terhadap al-Quran dan hadis Nabi Saw kemudian mengingkari hal tersebut.
 
2.  Makna Bada’
Bada’ secara bahasa ialah muncul setelah tersembunyi, jika seseorang tidak mengetahui sesuatu, kemudian setelah itu sesuatu tersebut jelas baginya maka pandangan serta pendapat yang sebelumnya akan berubah, mereka mengatakan telah terjadi bada’ padanya.
 Menurut pendapat Syiah penggunaan makna yang seperti ini tidak dapat dan tidak tepat digunakan untuk Allah Swt, karena akan terjadi perubahan kehendak dan ilmu Allah itu sendiri, padahal adanya perubahan dalam” bentuk apapun pada zat Allah Swt merupakan hal yang mustahil.

 Dalam hadis-hadis para Imam Maksum As sendiri makna bada’ seperti ini yang disandarkan kepada Allah Swt sangat ditolak. Imam Shadiq As bersabda: “Tidak akan pernah terjadi pada Allah Swt mengetahui sesuatu setelah ketidaktahuannya.”[1]

 Dengan kata lain, Allah Swt megetahui segala sesuatu baik itu yang sudah terjadi, sekarang ataupun yang akan datang dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya. Dengan pengetahuan seperti  ini Allah Swt pasti akan mengatasi ketidaktahuan yang sebelumnya.
 Akan tetapi seharusnya bada’ diartikan dengan, penjagaan Allah terhadap urusan penciptaan, setiap hari dalam urusan baru, semua urusan alam semesta dan penciptaan ada di tangan-Nya, serta pengaturan alam semesta sesuai dengan kehendak Allah Swt akan terus berlanjut.

 Oleh itu, keyakinan terhadap bada’ bukanlah bermakna berubahnya pengetahuan Allah yang sebelumnya, akan tetapi keyakinan terhadap didahulukan dan diakhirkannya sesuatu atau juga dihapus dan ditetapkannya sesuatu yang mana hal ini terdapat dalam ilmu penciptaan (takwin) Allah Swt.

 Dengan penafsiran ini, sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya maka keyakinan bada’ dari segi kandungan bisa saja terjadi pada setiap kaum Muslim. Akan tetapi telah terjadi kerancuan dari segi makna secara bahasa sehignga seolah ulama Syiah seperti membolehkan memaknai dan menerima bada’ ini secara bahasa tersebut bagi Tuhan, sehingga ulama Sunni menenentangnya sementara dalam literatur-literatur Syiah makna bada secara bahasa seperti ini tidak akan pernah dapat diterima.
 Oleh itu, dengan merujuk kepada kitab-kitab teologi dan riwayat, kami melihat bahwa Ahlusunnah secara jelas menerima kandungan tentang bada’ , adapun dalam mazhab Syiah keyakinan tentang bada’ lebih ditegaskan lagi, dan masih banyak dalil dalam hal ini.
 
3. Bukti-bukti dari hal ini:
A. Bada’ menurut ulama-ulama Syiah
 Syaikh Thusi dalam masalah ini berkata: “Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu berubahnya sesuatu karena terdapat mashlahat di dalamnya, dimana masalah tersebut bagi Allah Swt sudah jelas, maka sebenarnya kami tidak berkata seperti itu (Allah sebelumnya tidak mengetahui) dan tidak juga membolehkannya, Allah Swt lebih tinggi dan lebih besar dari semua itu.”[2]

 Syeikh Shaduq juga berkata: “Bagi Syiah jika seseorang mengatakan hari ini telah jelas sesuatu yang di hari kemarin tidak diketahui Allah, jika demikian maka orang tersebut telah kafir dan wajib berlepas diri darinya.”[3]

 Beliau juga berkata: “Bada’ tidak seperti yang orang-orang kira, yang mana mereka mengartikannya dengan Allah melakukan sesuatu kemudian Dia menyesal atas hal yang telah di lakukannya itu… sebagaimana orang Yahudi berkata, dimana mereka mengatakan Tuhan telah melakukan segala sesuatu (dan tidak pernah akan terjadi perubahan). Sebaliknya kami mengatakan: Allah Swt setiap hari menentukan segala sesuatu, seperti mematikan dan menghidupkan mahkluk-Nya, juga memberikan rizki, dan apapun yang di kehendakinya Dia akan melakukannya.”[4] Bada’ bukanlah bermakna penyesalan akan tetapi bermakna tampak atau munculnya sesuatu. Orang Arab mengatakan: “Dalam perjalanan, jalan seseorang tampak di hadapanku.” Allah Swt juga berfirman: Dan bagi mereka dari sisi Allah Swt sesuatu itu telah tampak atau jelas, yang mana sebelumnya mereka tidak mengira akan hal itu, dan setiap saat jika seorang hamba melakukan silaturahmi maka Allah akan menambahkan umurnya, dan juga sebaliknya bagi hamba yang memutuskan silaturahmi maka Allah akan mengurangi umurnya, dan bagi hamba yang melakukan dosa dan maksiat maka Allah juga akan mengurangi umur dan rizkinya, dan bagi hamba yang menjauhkan diri dari perbuatan zina serta senantiasa meminta ampun maka Allah akan menambahkan umur dan rezekinya.
 
B. Bada’ menurut sumber-sumber Ahlusunnah
 Dalam kitab-kitab dan riwayat Ahlusunnah bada’ juga dipahami dan dijelaskan sebagai mana yang terdapat dalam kitab-kitab Syiah dan juga dalam perkataan-perkataan ulama-ulama Syiah yang telah kami nukilkan.

 Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah dan Dia dari Rasulullah Saw meriwayatkan: “3 orang dari kaum Bani Israel masing-masing terkena penyakit khusus, yaitu penyakit kulit, tuli, dan buta, dan bagi Allah Swt telah terjadi bada’ yang mana penyakit yang menimpa mereka hanya sebagai ujian, kemudian Allah Swt mengutus seorang malaikat kepada mereka, dan malaikat itu bertanya pada seseorang yang terkena penyakit kulit tersebut: “Apa yang paling kamu sukai dari segalanya?” Orang itu menjawab: “Kulit dan warna yang indah, karena dengan keadaanku yang seperti ini orang-orang telah menjauhiku.” Maka malaikat tersebut mengusap kulitnya dan kemudian meninggalkannya, dan seketika itu juga kulit dan warnanya menjadi indah…”[5]

 Dengan merujuk pada kitab syarah dari kitab Bukhari, kita melihat Ahlusunnah pada riwayat di atas menafsirkan bada’ yang sama sebagaimana yang Syiah yakini.
 Ibnu Hajar mengatakan: “Pada Allah Swt telah terjadi bada’, maksudnya ialah Allah Swt telah mengetahuinya dari awal, kemudian menampakan hal itu kepada kita, jadi yang dimaksud bukannya sesuatu yang sebelumnya tersembunyi bagi Allah dan setelah itu sesuatu tersebut tampak atau jelas, karena hal yang demikian mustahil terjadi pada Allah Swt.”[6]

 Ibnu Abi Hatim dalam menafsirkan ayat “Allahu yatawaffa alanfusa” (Allah mematikan jiwa-jiwa) sebuah riwayat dinukil dari Ibnu Abbas, ia berkata: Allah Swt mematikan manusia: “Jika terjadi bada’ pada Allah dimana Dia mengambil ruh, kemudian orang itu meninggal, atau memberikan kesempatan pada orang itu, hingga akhirnya Allah mengembalikan ruh tersebut ke tempat semula.”[7]

 Haitsami dalam kitab Majma al-Zawaid pada bab “Tulu’u as-Syamsi min maghribiha” dari ‘Abdullah bin Umar ia meriwayatkan “Setiap kali matahari tenggelam, ketika sampai di bawah ‘arsy ia bersujud dan meminta izin untuk kembali dari Allah, kemudian ia diizinkan sampai waktunya terjadi bada pada ketetapan Allah, dimana matahari terbit dari arah Barat, pada waktu tersebut matahari seperti hari biasanya terbit dan kemudian menghadap di bawah ‘arsy, kemudian ia meminta izin untuk kembali, akan tetapi ia tidak di berikan izin akan hal itu…”[8]

 Oleh itu, ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam riwayat ini perlu di perlu di perhatikan, dimana hal itu sesuai dengan ungkapan yang digunakan dalam literatur-literatur Syiah. Dan dalam kandungan bada itu sendiri antara dua ulama mazhab (Syiah dan Ahlusunnah) tidak ada perbedaan sama sekali. []
 
 

 
CATATAN :
[1]. Kulaini, Al-Kâfi, jil. 1, hal. 148.
 
[2]. Syaikh Thusi, Ghaibah, hal. 431, Muasasah Ma’arif Islami, Qum.
 
“والوجه فی هذه الأخبار [أی أخبار البداء] ما قدمنا ذكره من تغییر المصلحة فیه واقتضائها تأخیر الأمر إلى وقت آخر على ما بیناه، دون ظهور الأمر له تعالى، فإنا لا نقول به ولا نجوزه، تعالى الله عن ذلك علواً كبیراً”
 
[3]. Syaikh Shaduq, Kamâl al-Din wa Tamâm al-Ni’mah, hal. 69.
 
وعندنا من زعم أن الله عز وجل یبدو له الیوم فی شیء لم یعلمه أمس فهو كافر والبراءة منه واجبة”
 
[4]. Syaikh Shaduq, Al-Tauhid, hal. 335.
 
: “لیس البداء كما یظنه جهال الناس بأنه بداء ندامة تعالى الله عن ذلك … والبداء هو رد على الیهود لأنهم قالوا: إن الله قد فرغ من الأمر فقلنا: إن الله كل یوم فی شأن، یحیى ویمیت ویرزق ویفعل ما یشاء. والبداء لیس من ندامة، و هو ظهور أمر، یقول العرب: بدا لی شخص فی طریقی أی ظهر ، قال الله عز وجل: وبدا لهم من الله ما لم یكونوا یحتسبون. أی ظهر لهم، ومتى ظهر لله تعالى ذكره من عبد صلة لرحمه زاد فی عمره، ومتى ظهر له منه قطیعة لرحمه نقص من عمره، ومتى ظهر له من عبد إتیان الزنا نقص من رزقه وعمره، ومتى ظهر له منه التعفف عن الزنا زاد فی رزقه وعمره.”
 
[5]. Shahih Bukhâri, jil. 2, hal. 384.
 
“إِنَّ ثَلاَثَةً فِى بَنِى إِسْرَائِیلَ أَبْرَصَ وَأَقْرَعَ وَأَعْمَى بَدَا لِلَّهِ أَنْ یبْتَلِیهُمْ ، فَبَعَثَ إِلَیهِمْ مَلَكًا ، فَأَتَى الأَبْرَصَ . فَقَالَ أَىُّ شَىْءٍ أَحَبُّ إِلَیكَ قَالَ لَوْنٌ حَسَنٌ وَجِلْدٌ حَسَنٌ ، قَدْ قَذِرَنِى النَّاسُ. قَالَ فَمَسَحَهُ، فَذَهَبَ عَنْهُ، فَأُعْطِىَ لَوْنًا حَسَنًا وَجِلْدًا حَسَنًا…إلى آخر الحدیث”
 
 
 
[6]. Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, jil. 6, hal. 364.
 
“قوله: (بدا لله) بتخفیف الدال المهملة بغیر همز، أی سبق فی علم الله فأراد إظهاره، ولیس المراد أنه ظهر له بعد أن كان خافیاً؛ لأن ذلك محال فی حق الله تعالى”
 
[7]. Tafsir Ibnu Abi Hatim, jil. 10, hal. 3252.
 
«فإن بدا لله أن یقبضه قبض الروح، فمات، أو اُخر أجله رد النفس إلى مكانها من جوفه ”
 
[8]. Haitsami, Majma’ Zawaid, jil. 8, hal. 8.
 
“أنها [الشمس] كلما غربت أتت تحت العرش فسجدت واستأذنت فی الرجوع فأذن لها فی الرجوع حتى إذا بدا لله أن تطلع من مغربها فعلت كما كانت تفعل أتت تحت العرش فسجدت واستأذنت فی الرجوع فلم یرد علیها شیء، ثم تستأذن فی الرجوع فلا یرد علیها شیء …  الحدیث