Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Akhlak Rasulullah Saw adalah Fiqih(2)

2 Pendapat 05.0 / 5

4. Hubungan Tasâwi (sama)


Hubungan Tasâwi (sama) adalah hubungan dua konsepsi universal yang keduanya sama dalam subjeknya, seperti konsepsi “manusia” dan “yang tertawa”[15]. Apakah Fiqih dan Akhlak mempunyai hubungan yang sama ?


Makârimal akhlâk (Akhlak yang mulia)
Salah satu permasalahan yang sering menjadi perdebatan dikalangan ulama Islam adalah apakah kebaikan dan keburukan atau Akhlak, itu bisa difahami akal atau tidak ? bahkan dalam pembahasan ushul Fiqih sebelum memulai meng-istimbath-kan hukum pun permasalahan ini harus jelas terlebih dahulu karena sangat berpengaruh terhadap hasil hukum yang didapatkan. Sejak awal mula kehidupan sampai sekarang orang sudah mengenal yang namanya Akhlak. Baik dan buruk bisa difahami manusia walaupun tanpa bantuan syariat. Sebelum datangnya para nabi manusia sudah mengetahui bahwa berdusta itu buruk dan jujur itu baik, bahkan sebagian ada yang ekstrim mengatakan bahwa dengan akal pun sudah cukup untuk mengetahui Akhlak yang mulia dan tidak perlu keterangan dari Nabi Saw untuk memahaminya.


Rasulullah Saw sebagai manifestasi wujud Tuhan di bumi membawa syariat dengan menjadikan diri beliau sebagai contoh. “Telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan bagi kamu”[16]. Segala perbuatan, tingkah laku dan ucapan bahkan segala sendi kehidupan beliau adalah syariat dan hujjah. Beliau adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dan semua apa yang dilakukannya dijadikan sebagai patokan hukum. Nabi Saw datang selain mengajarkan Akhlak juga mendidik manusia tata cara sholat, zakat, puasa, haji, jihad, pemerintahan, berbicara yang baik..dll yang tertera dalam kitab-kitab Fiqih yangmana sebelum beliau belum pernah para nabi terdahulu mengemban tugas seperti yang beliau emban.


Akhlak yang baik atau Akhlakul Karîmah adalah suatu perbuatan yang dilandasi oleh niat yang tulus sesuai yang diajarkan agama. Suatu perbuatan yang baik tanpa dilandasi oleh niat yang baik tidaklah dikatakan sebagai perbuatan yang murni Akhlaki, seperti orang yang bersedekah atau memuji seseorang tetapi didalam hatinya menyimpan suatu niat yang buruk. Bahkan hal itu bisa jadi dinamakan munafik. Begitupun sebaliknya niat yang baik tetapi dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan agama atau cara yang diizinkan agama maka niat tersebut dikatakan tidak sempurna, seperti orang yang berniat menolong orang lain tetapi tidak tahu bagaimana cara menolong, alih-alih menolong malah semakin memperparah derita orang yang ditolongnya. Niat yang baik atau Akhlak yang baik disebut juga Husnu Fa’ili. Dan perbuatan yang baik yang dilakukan anggota badan atau Fiqih disebut juga Husnu Fi’li (perbuatan yang baik). Husnu fi’li tanpa dilandasi Husnu Fa’ili tidaklah dinamakan perbuatan yang baik, begitupun sebaliknya. Jadi perbuatan manusia secara lahiriah baik bukanlah menjadi jaminan Akhlak yang baik selama tidak dilandasi Husnu Fa’ili (niat yang baik). Niat yang baik atau Akhlak tanpa dilandasi perbuatan yang baik (Fiqih) maka tertolak. Akhlak tanpa Fiqih bagaikan ruh tanpa jasad. Dan untuk itulah Rasulullah diutus yakni untuk menyempurnakan niat yang baik yang telah diketahui manusia sebagai Akhlak dengan Fiqih sebagai bentuk perbuatan baik yang keduanya menyatu membentuk Makârimal Akhlâk (Akhlak yang baik)


Ketika Akhlak dan Fiqih tidak bisa dipisahkan dan mengejawantah dalam diri seseorang sebagai eksistensi keberadaan dia maka kedua konsepsi universal itu menjadi sama. Dalam diri Rasulullah Saw yang seluruh eksistensi diri beliau adalah manifestasi wujud Tuhan, yang mencerap seluruh Ismul A’dzam (asma-asma kesempurnaan-Nya), yang pada diri beliaulah hadis “Takhallaqû bi Akhlâqillah” (berakhlaklah dengan Akhlak Allah) membumi disamping beliau adalah sumber Fiqih dan semua manifestasi beliau adalah Fiqih, maka Akhlak Rasulullah Saw itu adalah Fiqih. Akhlak Rasulullah Saw dan Akhlak para maksumin as adalah Fiqih yang dijadikan hujjah bagi seluruh umat islam karena seluruh eksistensi mereka adalah hujjah Tuhan di bumi.
 
Dahulukan Fiqih diatas Akhlak

Mereka yang memandang bahwa ketika harus memilih mana yang harus dikedepankan antara Akhlak dan Fiqih dan mereka memilih mengedepankan Akhlak, terkadang menguatkan pandangan mereka dengan mengambil contoh kasus dari hal-hal yang partikular kemudian menjadikan itu sebagai hukum universal. Banyak fenomena kasuistik yang bisa dijadikan contoh, seperti ketika orang berbeda dalam tata cara ibadah, beda dalam menentukan halal dan haram yang merupakan hal yang Dzanniyah (seperti perbedaan ijtihad maraji), halal dan haram dalam wilayah darurat dsb dan untuk meredam perbedaan itu mereka akhirnya memilih mengedepankan Akhlak daripada Fiqih yang menurut mereka lahir dari perbedaan. Kita bisa ber-Husnuz dzan (prasangka baik), mungkin hal itu disebabkan mereka Taqiyah, sementara mereka lupa bahwa Taqiyah juga adalah bagian dari Fiqih. Mungkin juga mereka memilih demikian dikarenakan bingung memilih antara mengikuti hukum fiqih atau mengikuti tuntutan sosial bahkan masalah nyawa, seperti menolong wanita yang tenggelam atau kebakaran, sementara mereka lupa Aham dan Muhim (memilih yang lebih penting dari yang penting) itu juga diatur oleh Fiqih, terlebih lagi sesuatu yang haram bisa menjadi halal jika keadaan (bukan ikhtiyari). Dan masih banyak contoh lain, yang semuanya diambil dari hal-hal yang partikular kemudian dijadikan sesuatu yang universal. Dalam kaedah logika bahwa menjadikan hal-hal yang partikular sebagai hukum universal akan rentan jatuh kepada Mughalatah (fallacy dan kerancuan berfikir) bahkan merupakan salah satu dari bentuk fallacy[17]. Karena mungkin saja ada kasus lain ketika orang harus memilih antara Akhlak dan Fiqih, seorang Mukallaf malah harus dan wajib mengedepankan Fiqih daripada Akhlak.
Pernah suatu ketika dalam suatu kegiatan kami ditugaskan di wilayah tertentu di kawasan Sulawesi Selatan yangmana penduduk daerah tersebut menganggap minum arak (baca: Ballo) sebagai barang yang biasa saja seperti halnya minum air putih, sejak bayi baru lahir pun sudah diberikan arak sebagai ganti ASI. Dalam sebuah pertemuan pengurus Teras daerah itu, kami disuguhkan arak yang haram. Dalam adat kebiasaan didaerah itu “menolak suguhan yang diberikan” adalah Tabu dan penghinaan bagi mereka. Apakah disaat seperti ini bagi orang yang beragama harus memilih mengedepankan Akhlak dengan meminum suguhan mereka, atau menolak suguhan mereka karena tuntutan Fiqih kemudian mengatakan alasan penolakan dengan cara yang santun ? bagi yang memilih pilihan yang pertama mungkin dengan alasan untuk tidak menyakiti hati mereka (aplikasi Akhlak) lantas meminum arak itu walaupun sedikit, lagipula darurat. Yakni mengambil hukum darurat yang nota bene Fiqih dengan mengatasnamakan Akhlak. Sementara pesan para Maksumin “tidak ada Taqiyah dalam minum minuman keras”. Dan tidak bisa tidak, dalam contoh kasus di atas seorang Mukallaf harus dan wajib mengedepankan Fiqih.
Dari satu contoh kasus di atas sudah bisa menafikan adagium “Mendahulukan Akhlak di atas Fiqih” sebagai kaedah universal karena tidak bisa diterapkan di semua keadaan.
                                                                                                                                       
Kritik atas berbagai pandangan tentang Akhlak dan Fiqih
Bagi mereka yang mengatakan bahwa Fiqih hanya menyangkut permasalahan dunia dan Akhlak mengurus persoalan ukhrawi, bahkan memasukkan Fiqih kedalam golongan ilmu dunia harus dikatakan kepada mereka bahwa kedua ilmu tersebut tidaklah bisa dipisahkan. Karena keduanya menyangkut perbuatan ikhtiari manusia dan keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni mencapai kebahagiaan ukhrawi. Ilmu Fiqih menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan akal sebagai landasan hukum demikian pula Akhlak menjadikan akal dan wahyu sebagai landasan dalam adab-adab Akhlak. Olehnya itu kedua disiplin ilmu ini memiliki kesamaan dari aspek subjek, tujuan dan metodologi dan tidak bisa dikatakan sebagai dua konsepsi yang berbeda tanpa ada titik temu. Selain itu banyak pula disaksikan di kitab-kitab Fiqih seperti dalam kitab makâsib memasukkan perkara Akhlak sebagai syarat sahnya pelaksanaannya, seperti dalam niat sholat, tidak boleh ghibah, namimah, mengejek orang lain dll.


Bagi mereka yang memandang bahwa hubungan antara Fiqih dan Akhlak adalah hubungan Âm wa khâs min wajh atau hubungan Âm wa khâs Mutlaq tetapi dalam aplikasi diantara keduanya boleh memilih sesuai kondisi dan lingkungan, dikatakan kepada mereka di kondisi seperti apakah orang bisa melakukan praktek Akhlak sementara dia tidak melakukan praktek Fiqih?  Karna Akhlak adalah menyangkut hati dan Fiqih menyangkut perbuatan secara fisik? adakah perbuatan seorang mukallaf yang tidak termasuk dalam hukum yang lima (wajib, mustahab, mubah, haram dan makruh) ? bahkan diamnya seseorang pun termasuk dalam praktek Fiqih, apatah lagi jika perbuatan yang dikatakan Akhlak itu adalah karena Taqiyah. Apakah Taqiyah termasuk dalam pembahasan Fiqih atau tidak ? jika seseorang melakukan sesuatu yang dilarang dalam aturan Fiqih karna keadaan darurat, bukankah membolehkan sesuatu yang haram karena kondisi darurat juga termasuk ruang pembahasan Fiqih ?
Fiqih adalah hukum mutlak di setiap keadaan dan zaman. Fiqih mengatur perbuatan seorang mukallaf mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dan tidak ada suatu perbuatan pun yang luput dari hukum yang lima. Banyak orang yang menganggap bahwa ketika melakukan praktek taqiyah mereka telah berakhlak padahal taqiyah adalah Fiqih itu sendiri.
 
Kesimpulan
Fiqih dan Akhlak dalam tataran konsepsi teoritis bisa dimasukkkan ke dalam semua hubungan Nisâb ‘Arba’ah (empat hubungan universal) dengan memperhatikan dari aspek mana kedua kata itu ditinjau. Tapi ketika ditelusuri pada tataran praktis kedua hal itu menjadi berbeda. Fiqih dan Akhlak ketika subjek yang menerapkannya adalah Rasulullah Saw atau para Maksumin as dan para wali Allah Swt maka hubungan antara keduanya adalah hubungan Tasâwi (sama) tetapi ketika diterapkan oleh selain maksum maka hubungan antara Fiqih dan Akhlak adalah hubungan Tabâyun Mitslain (perbedaan persamaan) yang saling mendukung, sampai akhirnya mencapai derajat malakah dan menyatu menjadi eksistensi seorang manusia. Fiqih dan Akhlak bukanlah dua hal yang kontradiksi sehingga ketika dihadapkan pada suatu kasus harus memilih mengedepankan Akhlak daripada Fiqih, bahkan keduanya bukanlah sebuah pilihan karena praktek Fiqih pada intinya adalah Akhlak itu sendiri.
 
Daftar Pustaka
1. Al Qur’an Karim
2. Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, Muassasah Al Wafa, Beirut Lebanon,
3. Anshâri, Syeikh, Makasib Muharramât, Muassasah Mathbuat Diny, Qom
4. Amiri, Askari Sulaiman, Mi’yâr Andisyeh, Muassasah Âmuzesy Wa Fazuhesy Imam Khomeini, Cetakan Ke Empat, Zemestân 1384, Qom
5. Falâh Zadeh, Muhammad Husein, Âmuzesy Fiqh, Intisyarât Al Hâdi, Cetakan Ke Tiga Puluh Empat, 1387 H, Qom
6. Isfahani, Raghib, Mufradat Alfâzil Qur’ân, Talîati Nur, Cetakan Ke Empat,1429, Qom
7. Kasyâni, Feydh Muhammad Bin Syah Murtadha, Mahajjatul Baidha’, Jamiatul  Mudarrisin Qom, Muassasah Nasyr Islami. Cetakan Ke Empat, 1417 Q, Qom
8. Kasyâni, Feydh Muhammad Bin Syah Murtadha, Râhe Rosyan, Fazuhesy Hâ-Ye Islâmi Quds Razawi, Cetakan Pertama, 1372 Sq, Masyhad
9. Kasyâni, Feydh Muhammad Bin Syah Murtadha, Ilmul Yaqin, Intisyarât Bidar, Cetakan Pertama, 418 Q, Qom
10. Muzaffar, Muhammad Reza, Mantiq, Intisyarât Mansyurât Feiroz Âbâdi, Cetakan Pertama, 1421, Qom
11. Syirwani, Ali,Syarah Bidayatul Hikmah, Intisyarât Az Zahra, Cetakan Ke Tujuh, Tâbestan 1383, Qom
12. Ibnu Miskawaih, Tahzibul Akhlâq Wa Tathirul A’râq, Mawqi’ul Waraq
 
CATATAN : 
[1] Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, jld.16, hlm. 210
[2] QS. As-Syu’ara: 137
[3] QS. Al-Qalam: 4
[4] Raghib Isfahani, Mufradat Alfâzil Qur’ân, hlm. 297
[5] Ibid
[6] Tahzibul Akhlâq, hlm. 51
[7] Syeikh Anshâri, Makasib Muharramât, Bab Muharramât.
[8] Ali syirwani, Syarah Bidayatul Hikmah,, hlm 15.
[9] Muhammad Reza Muzaffar , Mantiq,  hlm.62.
[10] Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali dikenal dengan Al Ghazali (450 -505 H)
[11] Feyz Kasyani , Râhe Rosyan, jld. 1, hlm. 132.
[12] Muhammad Husein Falâh Zadeh, Âmuzesy Fiqh, hlm. 19.
[13]  Mulla Muhsin bin Syah Murtadha bin Syah Mahmud lebih dikenal dengan Feyz Kasyâni, murid dari Mulla Shadra(1007-1091 H)
[14] Ibid.
[15] Ibid, hlm. 145.
[16] QS. Al-Ahzab: 21.
[17] ‘Askari Sulaiman Amiri, Mi’yâr Andisyeh, hlm 149.