Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

KONSEP KENABIAN (1)

0 Pendapat 00.0 / 5


Akhir Kenabian dan Kesempurnaan Manusia

Tidakkah mungkin aktifitas masyarakat akan berhenti? Tidakkah jalan kesempurnaan itu memiliki batas? Tidakkah kita melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa manusia sekarang ini telah mencapai ilmu pengatahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan manusia masa lalu?

Oleh karena itu, bagaimana mungkin kantor kenabian secara keseluruhan tutup dan manusia dalam meniti jalan kesempurnaannya akan kehilangan kepemimpinan nabi-nabi baru?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi jelas bila kita perhatikan bahwa acapkali manusia mencapai tingkatan kedewasaan berpikir dan berbudaya, ia dapat melanjutkan perjalanannya menuju kesempurnaan dengan senantiasa memanfaatkan prinsip dan ajaran yang secara umum telah diberikan oleh nabi pamungkas, tanpa perlu lagi kepada syariat baru.

Ketika seseorang telah mencapai suatu jenjang pendidikan, ia masih memerlukan seorang pengajar dan arahan baru sehingga ia dapat menempuh jenjang berikutnya. Namun, tatkala ia mencapai jenjang doktoral, mujtahid dan spesialis di suatu bidang ilmu, ia tidak lagi menjalani pendidikannya di bawah bimbingan dosen atau guru baru, tetapi bersandar pada apa yang telah didapatkannya dari para dosennya yang terakhir. Ia meluangkan waktunya untuk kembali melakukan penelitian dan pengkajian ilmu yang telah diraihnya selama ini.

Dengan kata lain, ia memecahkan persoalan-persoalannya berdasarkan kaidah-kaidah umum yang telah diperolehnya dari dosen-dosen terakhir. Oleh karena itu, dengan berlalunya waktu, ia tidak memerlukan lagi agama dan ajaran baru. (Perhatikan baik-baik).

Setiap nabi terdahulu telah memberikan kepada manusia peta dari setiap bagian perjalanan ini sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan. Sangat jelas bahwa dengan mendapatkan peta perjalanan secara umum, ia tidak lagi memerlukan peta baru. Uraian ini merupakan penjelasan atas redaksi riwayat tentang berakhirnya silsilah para nabi. Dan Nabi saw. adalah peletak batu terakhir istana menawan dan kokoh risalah Ilahi ini.

Semua ini adalah pembahasan ihwal tidak perlu adanya ajaran dan agama baru. Akan tetapi, masalah kepemimpinan dan imâmah yang merupakan konsep universal untuk mengimplementasikan fondasi dan hukum-hukum serta menolong orang-orang yang lemah di tengah perjalanan, adalah masalah lain. Manusia sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri dari keperluan ini. Atas dasar inilah, berakhirnya silsilah konsep kenabian tidak berarti berakhirnya silsilah konsep imâmah, sebab penjelasan konsep kenabian dan implementasi praktisnya tanpa keberadaan seorang pemimpin maksum Ilahi mustahil dapat terwujud.[1]

Ajaran yang Dimiliki oleh Nabi saw. sebelum Diutus sebagai Nabi

Tidak syak lagi bahwa sebelum diutus menjadi nabi (bi’tsah), Nabi saw. tidak pernah sujud kepada berhala dan menyimpang dari garis tauhid. Dan sejarah kehidupannya dengan baik merefleksikan makna ini. Akan tetapi, ajaran manakah yang menjadi ikutan Nabi saw. sebelum periode pengutusan? Hal ini masih menjadi bahan dialog di antara ulama.

Sebagaian berpendapat bahwa Nabi saw. mengikuti ajaran Nabi Isa a.s., lantaran sebelum periode bi'tsah, ajaran yang resmi dan belum dihapus oleh ajaran lain adalah ajaran Nabi Isa a.s.

Sebagaian yang lain berpendapat bahwa Nabi saw. adalah pengikut ajaran Nabi Ibrahim a.s., karena Nabi Ibrahim a.s. merupakan Syaikh Al-Anbiyâ’; bapak para nabi. Sebagian ayat pun menerangkan Islam sebagai ajaran Nabi Ibrahim a.s., “... agama orang tuamu Ibrahim ....” (QS. Al-Hajj [22]: 78)

Sebagian lagi mengungkapkan ketidaktahuan mereka dan berkata, “Kita tahu bahwa Nabi saw. memiliki ajaran. Namun, ajaran apa? Hal ini tidak jelas bagi kita.”

Meski masing-masing pendapat itu memiliki alasan, tetapi tidak satu pun yang dapat dipastikan. Namun, yang lebih mendekati kebenaran di antara ketiga pendapat di atas adalah pendapat yang keempat; bahwa Nabi saw. secara pribadi memiliki program khusus dari sisi Allah Swt. dan beramal berdasarkan program tersebut. Program khusus ini adalah ajaran khusus Nabi saw. hingga masa Islam diturunkan untuknya.

Dalil pendapat ini bertolak dari sebuah hadis yang terdapat di dalam Nahjul Balâghah: “Sejak masa Rasul saw. disapih, Allah menugaskan malaikatnya yang terbesar guna membinanya sesuai jalan-jalan kemuliaan dan budi pekerti, siang dan malam.” Penugasan malaikat ini adalah dalil atas adanya program khusus bagi Nabi saw.

Dalil lain adalah tidak satu pun sejarah yang melaporkan bahwa Nabi saw. sibuk beribadah di dalam sinagog (peribadatan agama Yahudi) dan gereja. Beliau tidak pernah berada di samping seorang kafir, dan juga tidak di sisi Ahli Kitab untuk beribadah di tempat-tempat ibadah mereka. Sementara itu, beliau harus melanjutkan tongkat estafet dari nabi-nabi sebelumnya di atas jalan tauhid. Dan Nabi saw. konsisten pada prinsip akhlak mulia dan penyembahan kepada Tuhan.

Di samping itu, terdapat riwayat yang mutawatir sebagaimana yang dinukil oleh Allamah al-Majlisi dalam Bihâr al-Anwâr, bahwa Nabi saw. sejak usia belia ditopang oleh Ruhul Kudus. Berkat penopangan ini, beliau hidup berdasarkan ilham dari Ruhul Kudus.

Allamah Al-Majlisi secara pribadi meyakini bahwa Nabi saw. sebelum memegang kedudukan risalah telah menjadi seorang nabi. Terkadang para malaikat bercakap dengannya dan beliau juga mendengarkan suara mereka. Dan terkadang beliau memperoleh ilham dari Allah Swt. dalam mimpi. Setelah genap berusia empat puluh tahun, beliau mencapai kedudukan pengemban risalah, dan Al-Qur’an serta Islam secara resmi diturunkan kepada beliau. Allamah Al-Majlisi mengajukan enam dalil atas pendapat yang terakhir ini. Sebagian dalil-dalil tersebut sesuai dengan apa yang telah kami uraikan di atas.[2]

Perbedaan antara Kenabian (nubuwah), Kepemimpinan (imâmah) dan Kerasulan (risâlah)

Berdasarkan arahan-arahan Al-Qur’an dan beberapa hadis yang menjelaskan orang-orang yang ditugaskan oleh Allah Swt., mereka memiliki kedudukan yang berbeda-beda:

a. Kedudukan Kenabian (Nubuwah)

Kedudukan kenabian adalah sebuah kedudukan penerimaan wahyu dari Allah Swt.. Oleh karena itu, nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu dan menyampaikannya kepada orang-orang yang menghendakinya.

b. Kedudukan Kerasulan (Risâlah)

Kedudukan kerasulan adalah kedudukan yang mengemban tugas penyampaian wahyu, penyebaran hukum-hukum Tuhan, dan pembinaan jiwa-jiwa manusia melalui pengajaran ilmu dan menyucian diri. Oleh karena itu, rasul adalah orang yang bertugas untuk mengajak manusia kepada Tuhan dengan segenap upaya serta memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Ia berusaha untuk mengusung sebuah revolusi budaya, pemikiran dan ideologi.

c. Kedudukan Kepemimpinan (Imâmah)

Imâmah adalah kepemimpinan umat. Sejatinya, imam adalah seorang yang -dengan membentuk sebuah pemerintahan Ilahi dan memperoleh kekuasaan yang diperlukan- berupaya untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi. Dan sekiranya tidak mampu secara resmi mendirikan pemerintahan, ia tetap harus berupaya semaksimal kemampuan yang dimilikinya.

Dengan kata lain, tugas-tugas imam adalah menjalankan ketentuan Ilahi, sementara tugas-tugas rasul adalah menyampaikan ketentuan-ketentuan ini. Atau, rasul “menunjukkan jalan”, dan imam “mengantarkan sampai ke tujuan”.

Jelas bahwa kebanyakan para nabi, seperti Nabi saw., memiliki ketiga kedudukan di atas. Nabi saw., di samping memperoleh wahyu dan menyampaikannya, juga bertugas dan berupaya membentuk sebuah pemerintahan dalam rangka penerapan hukum-hukum Ilahi, dan menggelontorkanya melalui jalan batin dalam pembinaan jiwa.

Singkatnya, imâmah merupakan kepemimpinan yang berdimensi bendawi dan maknawi, jasmani dan ruhani, lahir dan batin. Imam adalah kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, pemimpin agama, pembina akhlak, pemimpin lahir dan batin.

Dari satu sisi, imam memimpin orang-orang yang memiliki kelayakan menempuh jalan kesempurnaan dengan kekuatan spiritual. Dengan kekuatannya, ia mengajarkan orang-orang yang buta aksara dan dengan kekuasaan pemerintahannya atau kekuatan hukum lainnya, ia menerapkan asas keadilan.[3]

Bagaimana Mungkin Kenabian dan Imâmah Diperoleh pada Usia Belia?

Di dalam surat Maryam [19], ayat 12 kita membaca, “Hai Yahya, ambillah al-Kitab [Taurat itu] dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.”

Berangkat dari ayat ini, soal yang kemudian mengemuka adalah bagaimana mungkin seorang manusia pada masa kecilnya telah mencapai kedudukan kenabian dan kerasulan?

Benar bahwa masa berseminya akal manusia biasanya memiliki batasan dan ukuran khusus. Akan tetapi, kita ketahui bahwa pada segenap manusia, terdapat orang-orang yang memiliki keistimewaan. Apa halangan bagi Allah Swt. -dengan alasan maslahat- menyingkat waktu sebagian hamba-hamba-Nya? Biasanya seseorang memerlukan waktu satu atau dua tahun untuk dapat berbicara. Sementara kita ketahui bahwa Nabi Isa a.s. telah dapat berbicara pada hari pertama kelahirannya ke dunia, itu pun dengan ucapan yang sarat makna yang -menurut kebiasaan umum- sebobot ucapan orang-orang dewasa.

Dari sini akan menjadi jelas bagi sebagian orang yang mempermasalahkan para Imam Syi’ah, yakni mengapa sebagian para imam maksum mencapai kedudukan kepemimpinan (imâmah) pada usia yang masih belia?

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salah seorang sahabat Imam Al-Jawad bin Ali An-Naqi a.s. yang bernama Ali bin Asbath berkata, “Aku datang menghadap kepada Imam Al-Jawad a.s. (dan pada waktu itu beliau masih belia). Aku tegap berdiri di hadapannya dan memandangnya dengan seksama sehingga aku dapat mencamkan dalam benakku untuk kuceritakan segala apa yang telah terjadi kepada para sahabat sewaktu aku kembali ke Mesir (bahwa Imam al-Jawad a.s. masih belia). Pada saat aku berpikiran demikian, Imam Al-Jawad duduk (seakan-akan beliau dapat membaca seluruh pikiranku). Pandangannya mengarah kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Ali bin Asbath! Apa yang telah dilakukan oleh Allah Swt. mengenai imâmah persis dengan apa yang telah dilakukan oleh-Nya mengenai kenabian. Kadang-kadang Ia berfirman, ‘... Kami berikan kepada Yahya ....’ dan kadang pula Dia berfirman tentang manusia, ‘... Tatkala manusia mencapai usia empat puluh tahun (masa baligh sempurna)....’ Oleh karena itu, sebagaimana Allah Swt. mampu memberikan "hikmah" kepada manusia pada masa belianya, demikian juga Ia mampu untuk memberikan "hikmah" kepada manusia pada usia empat puluh tahun.’”[4]

Sementara itu, ayat ini juga merupakan jawaban tegas bagi para pengkritik yang berpendapat bahwa Ali bukanlah pria pertama yang beriman kepada Rasulullah saw., lantaran ketika itu ia adalah seorang bocah kecil yang berusia sepuluh tahun, dan iman bocah sepuluh tahunan tidak dapat diterima.

Poin ini juga layak disebutkan di sini. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. kita membaca, “Sekelompok anak kecil datang kepada Nabi Yahya a.s. (yang masih kecil) seraya berkata, ‘Ayo kita main bersama!’ Yahya a.s. menjawab: ‘Kita tidak diciptakan untuk bermain.’ Di sini Allah Swt. berfirman, ‘... Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.’”[5]

Tentu saja, maksud dari bermain di sini adalah menghabiskan waktu senggang tanpa alasan dan manfaat. Dengan ungkapan lain, sebuah kekonyolan. Karena, terkadang permainan digunakan untuk mencapai sebuah tujuan logis dan rasional. Sangat jelas bahwa permainan seperti ini termasuk pengecualian dalam masalah ini.[6]

Hakikat Wahyu yang Serbamisteri

Tidak syak lagi, kita tidak dapat menemukan data yang banyak tentang wahyu dan hakikatnya. Lantaran wahyu adalah salah satu jenis pengetahuan di luar jangkauan pengetahuan kita. Di samping itu, wahyu merupakan salah satu bentuk hubungan yang berada di luar hubungan-hubungan yang telah kita ketahui. Ranah wahyu bagi kita adalah sebuah ranah yang asing dan berada di luar pengetahuan kita.

Sebenarnya, bagaimana seorang manusia bumi dapat menjalin hubungan dengan Sumber Awal alam semesta? Bagaimana Tuhan Yang Azali dan Abadi serta Nir-batas dari segala dimensi dapat menjalin hubungan dengan makhluk yang serba terbatas dan mumkin al-wujud? Dan pada detik-detik turunnya wahyu, bagaimana Nabi saw. mendapatkan keyakinan bahwa hubungan ini bersumber dari-Nya?

Segenap soal yang diuraikan di atas merupakan pertanyaan-pertanyaan yang pelik bagi kita untuk menjawabnya. Dan bersikeras untuk memahaminya adalah sangat tidak beralasan.

Satu-satunya pembahasan yang rasional dan dapat diuraikan bagi kita adalah wujudnya atau kemungkinan adanya hubungan seperti ini bersifat misterius.

Kita berasumsi bahwa tidak satu pun dalil rasional yang dapat menafikan masalah seperti ini. Akan tetapi, sebaliknya, kita melihat dalam kosmos diri kita sendiri terdapat hubungan-hubungan batin yang tidak dapat kita interpretasikan. Hubungan-hubungan ini menunjukkan bahwa apa yang ada di atas rasa dan hubungan-hubungan kita juga memiliki cerapan dan pandangan-pandangan yang lain.

Tidak ada salahnya kita menjelaskan masalah ini dengan menyebutkan perumpamaan.

Anggaplah kita hidup di kota orang-orang buta -tentu saja orang-orang buta semenjak lahir- dengan dua mata yang mampu melihat. Segenap penduduk kota bercatur indra (seperti yang kita ketahui bahwa keseluruhan indra lahiriah manusia berjumlah lima) dan hanya kitalah orang yang berpanca indra. Dengan mata, kita melihat banyak kejadian yang terjadi di kota itu dan mewartakan kepada penduduk kota tersebut. Namun, mereka semuanya akan merasa takjub, apakah kelima indra misterius ini memiliki aktifitas yang sedemikian luas dan lapang? Semampu apa pun kita membahas indra penglihatan ini berikut aplikasinya, tidaklah berguna, kecuali kebingungan yang tersisa di benak mereka. Dari satu sisi, mereka tidak dapat mengingkari keberadaan panca indra ini, lantaran mereka mendapatkan efek beragam darinya dan merasakannya. Di sisi lain, mereka tidak dapat mendapatkan hakikat penglihatan tersebut, sebab mereka tidak pernah melihat seumur hidup mereka.

Kita tidak berasumsi bahwa wahyu merupakan indra keenam. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa wahyu ini merupakan satu jenis pengetahuan dan hubungan dengan alam gaib dan Dzat Kudus Ilahi. Karena kita tidak memiliki pengetahuan dan hubungan tersebut, kita tidak dapat mengetahui hakikatnya. Betapa pun kita beriman kepada keberadaannya melalui efeknya.

Maka sebatas ini, yang dapat kita lihat adalah adanya seorang manusia agung yang datang kepada umat manusia dengan membawa dakwah yang muatannya berada di luar pikiran mereka. Ia mengajak mereka kepada Tuhan dan ajaran-Nya dengan bukti mukjizat dan kekuatan supra-natural yang berada di luar kemampuan umat manusia, sehingga ia dapat mengadakan hubungan dengan dunia gaib. Efeknya tampak, namun hakikatnya laten.

Apakah kita telah mampu menyingkap seluruh rahasia jagad ini sehingga ketika kita bisa bersinggungan dengan fenomena wahyu dan sulit memahami hakikatnya, lalu mengingkarinya?

Kita bahkan di dunia ini melihat fenomena misterius yang tidak dapat kita interpretasikan. Coba perhatikan burung-burung yang suka eksplorasi, yang dalam perjalanan jauhnya melintasi angkasa dengan jarak delapan belas ribu kilometer dalam setahun, terbang dari kutub utara menuju kutub selatan dan demikian juga sebaliknya. Apakah kehidupan burung-burung yang sarat misteri itu sudah jelas bagi kita?

Bagaimana burung-burung ini menentukan arah terbangnya dan mengenal dengan baik jalan lintasnya? Terkadang pada waktu malam gelap gulita atau siang hari, mereka melanjutkan perjalanan panjang. Sementara ketika kita -tanpa alat-alat teknis dan penunjuk jalan- hendak melintasi bahkan satu per seratus jarak perjalanan mereka, segera kita akan kesasar. Hal ini merupakan sesuatu yang belum dapat disingkap oleh ilmu dan sains.

Sekelompok ikan yang habitatnya berada di kedalaman laut, biasanya pada saat bertelur mereka kembali ke tempat bertelur aslinya yang barangkali berjarak ribuan kilometer darinya. Dari mana mereka tahu dengan mudah tempatnya bertelur itu?

Fenomena-fenomena misterius seperti ini di alam yang kita huni ini sangatlah banyak. Dan segenap fenomena inilah yang mencegah kita untuk mengingkari dan menafikannya. Dan kita teringat penjelasan Ibnu Sina yang berkata, “Apabila Anda mendengar sesuatu yang aneh, janganlah segera Anda ingkari. Berikanlah sedikit kemungkinan sepanjang dalil pasti belum tersedia. Maka hal itu tidak akan menjadi kendala bagi Anda.”

Kini lihatlah bagaimana upaya sia-sia kaum materialis dalam mengingkari masalah wahyu?

Logika Para Pengingkar Wahyu

Ketika masalah wahyu diuraikan, sebagian kaum materialis dengan tergesa-gesa seraya menyangkal: “Hal ini bertentangan dengan sains.”

Dan ketika kita bertanya di manakah letak pertentanganannya dengan sains? Begitu yakin dan arogannya mereka mereka menjawab: “sekedar sesuatu tidak dapat dibuktikan oleh ilmu sains, sudah cukup bagi kami untuk mengingkarinya. Prinsip kami adalah asumsi bahwa segala sesuatu itu terbukti dengan standar empiris!”

Terlepas dari masalah ini, dalam menelaah penelitian-penelitian ilmiah tentang jiwa dan raga manusia, kita tidak bersinggungan dengan indra misterius yang dapat menghubungkan kita dengan dunia supranatural. Para nabi itu sejenis kita. Bagaimana dapat diyakini bahwa mereka memiliki pengetahuan dan indra di atas pengetahuandan indra kita?

Isykalan Dawam dan Jawaban Dawam

Keterlibatan kaum materialis tidak terbatas pada masalah ini saja. Dalam segenap urusan yang berkenaan dengan dunia metafisika, mereka bersikap seperti ini. Dalam mengoreksi kesalahan mereka, perlu kita sampaikan: “Janganlah Anda lupakan ruang lingkup ilmu. (Tentu saja bila maksud mereka adalah ilmu empirik). Parameter dan alat-alat yang digunakan untuk penelitian ilmiah, laboratorium, teleskop, mikroskop, ruang anatomi, semuanya bekerja dalam keterbatasan ini. Ilmu-ilmu dengan alat-alat dan parameter-parameter ini secara mutlak tidak dapat memberikan komentar di luar penelitian ilmu empirik; tidak menafikannya juga tidak memastikannya. Mengapa? Jawabannya juga jelas, bahwa parameter dan alat ilmu-ilmu itu memiliki kemampuan dan ruang lingkup aplikasi yang terbatas.

Instrumen setiap ilmu-ilmu alam juga khusus dalam ruang lingkupnya sendiri. Lebih dari itu, ia tidak memiliki kemampuan dan aplikasi. Sebagai contoh, apabila kita tidak melihat mikroba sel yang kita letakkan di balik teleskop raksasa astronomi, kita tidak dapat mengingkari keberadaan mikroba tersebut. Demikian juga, kita tidak dapat mempersoalkan apabila kita tidak dapat melihat planet Pluto dengan menggunakan mikroskop kecil.

Instrumen penelitian pada setiap subjek sesuai dengan disiplin ilmunya sendiri. Dan instrumen untuk mengenal dunia metafisik tidak lain adalah menggunakan penalaran akal yang membuka jalan bagi kita untuk masuk ke dunia tersebut.

Mereka yang mengeluarkan ilmu dari ruang lingkupnya, sejatinya bukanlah seorang ilmuwan, juga bukan seorang filsuf. Melainkan seorang pendakwa yang berbuat kekeliruan dan menyimpang dari jalannya.

Sebatas ini, kita melihat bahwa orang-orang besar datang dan mengetengahkan kepada kita masalah yang berada di luar kekuatan manusia dan menjalin hubungan dengan dunia di luar dunia materi. Namun, bagaimana hubungan misterius ini? Tidak jelas bagi kita. Yang terpenting adalah bahwa kita mengetahui adanya hubungan demikian.

Benarkah Nabi saw. itu seorang yang ummi?

Ada tiga kemungkinan yang populer ihwal pengertian “ummi”: pertama, orang yang tidak belajar, kedua, orang yang lahir di bumi Makkah dan bangkit sebagai rasul (bi'tsah) dari Makkah, dan ketiga, orang yang bangkit dari tengah-tengah umat dan masyarakat (yang buta huruf). Pengertian yang paling akrab adalah kemungkinan yang pertama, karena lebih sesuai dengan penggunaan kalimat ini. Sebagaiman yang telah kami sebutkan, boleh jadi yang dimaksud adalah ketiga kemungkinan tersebut.

Realita bahwa Nabi saw. tidak pernah pergi ke suatu tempat belajar-mengajar dan tidak pernah menulis, dapat diterima oleh para sejarawan. Dan Al-Qur’an juga dengan tegas menyebutkan kondisi beliau sebelum bi’tsah.

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya [Al-Qur’an] sesuatu kitab pun dan kamu tidak [pernah] menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Sekiranya [kamu pernah membaca dan menulis], benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu. (QS. Al-‘Ankabut [29]: 48)

Pada dasarnya, di lingkungan Hijaz, orang-orang yang pandai sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dikenal. Termasuk di Makkah, ibu kota Hijaz, jumlah orang-orang yang mampu membaca dan menulis tidak lebih dari 17 orang dan hanya seorang wanita yang pandai membaca dan menulis.[7]

Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi saw. belajar membaca dan menulis pada seorang guru, beliau akan terkenal saat itu. Seandainya kita tidak menerima kenabiannya, bagaimana mungkin beliau dalam kitabnya menjelaskan keummian dirinya dengan tegas? Apakah masyarakat tidak akan protes kepadanya seraya barkata, “Kamu kan pernah belajar”? Hal ini merupakan indikasi yang jelas akan keummiannya.

Bagaimanapun, adanya sifat ummi ini pada diri Nabi saw. merupakan penegas kenabian beliau, sehingga seluruh kemungkinan selain hubungan dengan Tuhan dan dunia metafisik dalam ranah dakwahnya dapat ternafikan.

Kedua hal ini merupakan pembahasan sebelum masa kenabian. Demikian juga, setelah periode bi’tsah, tidak ada catatan sejarah bahwa beliau pernah mendapatkan pelajaran membaca dan menulis dari seseorang. Dengan demikian, keummian berlangsung hingga akhir hayat beliau.

Akan tetapi, kesalahan besar yang harus dihindari di sini adalah, bahwa tidak belajar bukan berarti tidak berpendidikan (tidak pandai). Dan orang yang menafsirkan bahwa ummi itu bermakna tidak berpendidikan, ia telah beranggapan bahwa kedua-duanya tidak berbeda.

Melalui pengajaran Ilahi, tidak satu pun kendala yang menghadang Nabi saw. untuk mampu membaca dan menulis, tanpa harus mendapatkannya dari orang lain, lantaran tak syak lagi bahwa kemampuan ini merupakan kesempurnaan insani dan penyempurna kenabian.

Argumentasinya adalah sebagaimana yang dinukil dalam riwayat dari para imam Ahlul Bait a.s., “Nabi saw. dapat membaca dan atau memiliki kemampuan untuk membaca, juga kemampuan untuk menulis.”[8] Namun, Nabi saw. tidak menggunakannya lantaran tidak ingin menyisakan secuil pun keraguan orang atas dakwahnya kepadanya.

Adapun klaim sebagian orang bahwa kemampuan membaca dan menulis tidaklah termasuk kesempurnaan seseorang, melainkan kedua hal ini merupakan kunci untuk mencapai kesempurnaan ilmu, bukan ilmu sejati dan kesempurnaan hakiki, pada hakikatnya jawaban atasnya tersisip di dalam klaim itu sendiri, karena mengetahui sesuatu merupakan salah satu perantara mencapai kesempurnaan. Beliau sendiri adalah kesempurnaan yang nyata.

Atau klaim sebagian orang bahwa ayat, “Membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah....” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2) dan ayat-ayat lain dengan redaksi yang sama merupakan dalil bahwa Nabi saw. membacakan Al-Qur’an kepada masyarakat melalui tulisan. Klaim ini merupakan kesalahan besar. Karena, kosa kata tilâwah (membacakan, yang terdapat dalam ayat tersebut) dapat diartikan dengan membaca melalui tulisan dan membaca melalui hafalan. Mereka yang membaca Al-Qur’an, syair-syair, atau doa-doa melalui hafalan, dapat dikatakan bahwa mereka sedang melakukan tilâwah. Dan penggunaan semacam ini umum sekali.[9]

Tujuan dari Mikraj

Sudah jelas bagi kita bahwa Mikraj Rasulullah saw. tidaklah bermaksud untuk melihat Tuhan di atas langit sebagaimana anggapan orang-orang awam. Sayangnya, sebagian cendekiawan Barat, lantaran ketidaktahuannya atau ingin menggoncang Islam, menyoroti sedemikian rupa akan perjumpaan dengan Tuhan ini. Di antara mereka, Georgia dalam buku, Muhammad Payambariy keh az Nou Bayad Shenâkht berkata, “Dalam perjalanan Mikraj, Muhammad sampai di suatu tempat sehingga ia dapat mendengar suara pena Tuhan dan memahami bahwa Tuhan sedang sibuk menjaga hisâb (perhitungan) umat manusia. Akan tetapi, meskipun ia mendengar pena Tuhan, ia tidak melihat-Nya! Karena tidak seorang pun yang dapat melihat Tuhan meskipun ia adalah seorang nabi.”[10]

Hal ini menunjukkan bahwa jenis pena adalah pena kayu. Ketika bergerak di atas kertas pena itu bergerak kasar dan menimbulkan suara. Inilah salah satu contoh dari sekian khurafat dan takahayul.

Sebenarnya, tujuan Mikraj adalah agar ruh Nabi saw. menyaksikan rahasia keagungan Tuhan di jagad raya, khususnya menyaksikan alam atas yang merupakan kumpulan tanda-tanda keagungan-Nya. Selain itu, supaya beliau kembali menemukan pemahaman dan wawasan baru dalam memberikan petunjuk dan memimpin umat manusia.

Tujuan ini secara jelas tertuang di dalam surat Al-Isra’ [17], ayat 1 dan surat An-Najm [53], ayat 18.

Terdapat juga riwayat yang menarik mengenai tema ini yang bersumber dari Imam Ash-Shadiq a.s. dalam menjawab pertanyaan sebab Mikraj Rasul saw. Beliau berkata, “Allah Swt. sama sekali tidak memiliki ruang, dan tidak berada dalam lintasan waktu. Akan tetapi, Ia menghendaki para malaikat dan para penghuni langit menghormati Nabi saw. yang melintas di antara mereka. Dan juga ingin menunjukkan kepada Nabi-Nya akan keagungan-Nya yang serba menakjubkan, sehingga Nabi saw. menerangkannya kepada masyarakat setelah kembali.”[11]

Apakah Mi’raj Sejalan dengan Perkembangan Sains Dewasa ini?

Dahulu, sebagian filsuf meyakini objek selestial (planet-planet) sembilan pandangan Ptolemius yang berada di balik garis yang menyerupai irisan bawang.[12] Mereka beranggapan bahwa penghalang utama Mikraj ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan adalah adanya objek selestial ini dan kemestian Kharq wa Ilitiyâm (conglutination).[13]

Namun, dengan runtuhnya fondasi pandangan astronomi Ptolemius, masalah Kharq dan Ilitiyâm telah dilupakan. Akan tetapi, dengan kemajuan yang dicapai oleh ilmu astronomi, permasalahan baru muncul sekaitan dengan tema Mikraj dan tertuang dalam bentuk statemen-statemen sebagai berikut:

a. Untuk melakukan perjalanan ke angkasa, kendala pertama yang harus dihadapi adalah adanya kekuatan gravitasi bumi. Dan untuk mengalahkan kekuatan gravitasi ini, kita harus menggunakan peralatan super canggih (sophisticated). Sebab, untuk lari dari “domain gravitasi bumi” diperlukan kecepatan minimal sama dengan empat puluh ribu kilometer setiap jam.

b. Kendala yang lain, hampa udara di luar ruang bumi yang tanpa itu manusia tidak dapat hidup.

c. Kendala ketiga, panas terik matahari dan dingin yang membekukan pada bagian matahari bersinar secara langsung dan bagian yang tidak terkena sinar matahari.

d. Kendala keempat, sinar-sinar yang berbahaya yang berada di luar atmosfer, seperti sinar-sinar kosmos, sinar ultra violet, dan sinar X (X-Ray). Jika sinar ini berukuran kecil dan mengenai badan manusia, ia tidak akan membahayakan organisme badan manusia. Namun, di luar atmosfer bumi sinar ini sangat luar biasa banyaknya dan pembawa maut. Akan tetapi, dengan adanya lapisan ozon, kita penghuni bumi terlindung dari pendarannya.

e. Problema kondisi tanpa beban. Meskipun manusia secara gradual dapat membiasakan diri dengan kondisi tanpa beban, akan tetapi bagi kita penduduk bumi apabila pindah ke atmosfir lain tanpa adanya pendahuluan dan berhadapan dengan kondisi tanpa beban, sangat sulit -kalau tidak mustahil- bagi kita untuk dapat bertahan.

f. Dan pada akhirnya, kesulitan waktu adalah halangan keenam dan merupakan halangan utama bagi manusia untuk dapat menembus atmosfir. Lantaran sains dewasa ini mengklaim bahwa tidak ada kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya. Dan apabila seseorang hendak melancong ke seantero langit, kecepatan yang dimilikinya haruslah melebihi kecepatan cahaya.

Dalam menanggapi statemen-statemen seperti ini perlu kiranya kita memperhatikan beberapa poin di bawah ini:

a. Kita mengetahui bahwa dengan segenap kesulitan yang ada dalam perjalanan ruang angkasa, pada akhirnya manusia dapat memecahkan kesulitan ini dengan kekuatan sains yang dimilikinya. Dan selain kesulitan waktu, segenap kesulitan lainnya telah terpecahkan, dan kesulitan waktu juga berkaitan dengan perjalanan ke tempat-tempat jauh.

b. Tanpa syak lagi bahwa masalah Mikraj tidak berdimensi biasa, melainkan terjadi berkat kekuatan dan kekuasaan nir-batas Tuhan. Dan seluruh mukjizat para nabi terjadi dengan cara seperti ini. Dengan ungkapan lain, hal itu dapat terjadi secara rasional dan terselesaikan dengan kekuatan Tuhan.

Tatkala manusia dengan kemajuan sains memiliki kemampuan untuk menciptakan peralatan-peralatan super cepat, sedemikian cepat sehingga keluar dari domain gravitasi bumi; manusia menciptakan beraneka macam pesawat sehingga sinar laser pembawa maut di luar lapisan ozon dapat terkendali, ia mengenakan pakaian-pakaian yang dapat menjaganya dari panas dan dingin yang luar biasa, dengan latihan ia dapat membiasakan dirinya dalam kondisi tanpa beban. Ringkasnya, manusia dengan memanfaatkan kekuataannya yang terbatas dapat mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Lalu, mengapa dengan kekuatan nir-batas Ilahi, kesulitan-kesulitan ini tidak dapat terpecahkan?!

Kita percaya bahwa Allah Swt. telah menganugerahkan kepada Nabi saw. kendaraan super cepat yang layak untuk meniti perjalanan ruang angkasa ini dan melindungi beliau dari bahaya-bahaya yang ada selama dalam perjalanan. Bagaimana kendaraan ini dan apa namanya? Buraq? Rafraf? Atau kendaraan yang lain? Pokoknya, kendaraan yang dikendarai oleh Nabi saw. adalah kendaraan misterius dan asing di telinga kita.

Terlepas dari semua itu, asumsi kecepatan maksimal yang telah disebutkan di atas telah mengguncang kalangan para ilmuwan, meskipun seorang Einstein dengan asumsinya yang kesohor dengan susah payah mempercayai asumsi tersebut.

Para ilmuwan hari ini berpendapat bahwa gelombang gravitasi tidak memerlukan waktu, berpindah dari satu sudut dunia ke sudut dunia lainnya dan menyisakan efek, dan bahkan, ada kemungkinan bahwa gerakan gravitasi ini berhubungan dengan luasnya jagad raya. (Kita ketahui bahwa jagad raya ini mengalami perkembangan, bintang dan sistem tata surya [kosmos] dengan cepat saling menjauh satu sama lainnya). Dan terdapat sistem tata surya (kosmos) yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya menjauh dari pusat alam semesta. (Perhatikan baik-baik).

Singkatnya, kesulitan-kesulitan yang telah disebutkan di atas tidak satu pun yang menyebabkan akal menganggap Mikraj sebagai kejadian yang mustahil. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat terpecahkan dengan menggunakan peralatan dan kekuatan yang ada.

Di atas segalanya, masalah Mikraj tidak hanya tidak mustahil secara rasional, juga tidak mustahil secara empirik dan sains dewasa ini. Semua dapat menerima ihwal supranaturalnya Mikraj ini. Dengan demikian, meskipun masalah ini dibuktikan melalui dalil naratif (naqli) yang definitif, tentu kita harus menerimanya dengan lapang dada.[14]

Apakah Kemaksuman Para Nabi Berdimensi Jabr (Determinasi)?

Tatkala menelaah pembahasan ihwal ‘‘ishmah", sebagian besar orang akan segera bertanya kepada diri mereka sendiri bahwa kedudukan ‘ishmah merupakan sebuah anugerah Ilahi yang secara mesti diberikan kepada para nabi dan para imam. Dan seseorang yang menerima anugerah ini mendapat jaminan terjaga dari dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, kemaksuman mereka tidak termasuk sebagai keutamaan dan kehormatan bagi mereka. Siapa saja telah terliputi anugerah ini, ia akan terjaga dari segala dosa dan kesalahan, dan hal ini merupakan kemestian dari Allah swt.

Dengan demikian, berkat kedudukan ‘ishmah, mustahil bagi mereka untuk dapat melakukan dosa dan kesalahan. Dan jelas bahwa meninggalkan kemustahilan tidak termasuk sebagai sebuah keutamaan. Umpamanya, sekiranya kita tidak berbuat aniaya terhadap orang-orang yang datang dalam kurun waktu seratus tahun yang akan datang atau seratus tahun sebelumnya, hal itu tidak akan menjadi kebanggaan bagi kita, lantaran tidak mungkin bagi kita untuk melakukan perbuatan ini.

Meskipun pembahasan ini tidak terfokus pada masalah pokok ‘ishmah para nabi, akan tetapi mereka mempertanyakan keutamaan para nabi tersebut. Kini dengan memperhatikan beberapa poin di bawah ini, pertanyaan ini dapat terjawab dengan jelas:

a. Mereka yang menguraikan masalah ini tidak memperhatikan akar-akar ‘ishmah para nabi. Mereka beranggapan bahwa kedudukan ‘ishmah, misalnya, ‘ishmah (kekebalan) terhadap sebagian penyakit yang bisa melalui jalan suntik dan bisa juga melalui jalan imunisasi. Dan barangsiapa telah diberikan suntikan, ia tidak akan pernah menderita penyakit, suka atau tidak suka.

Akan tetapi, kekebalan para maksum dari dosa bersumber dari derajat pengetahuan dan ketakwaan mereka. Persis seperti menghindar dari dosa-dosa yang dilakukan oleh setiap orang di antara kita berkat ilmu dan iman yang kita miliki. Ibarat seekor kancil dengan badan telanjang tidak akan melangkahkan kakinya di lorong dan di jalan. Demikian juga orang yang memiliki informasi cukup ihwal unsur-unsur destruktif obat-obat terlarang (psikotropika) bahwa pengaruh obat-obatan ini akan menyebabkan kematian secara perlahan. Maka, ia tidak akan pernah mau menjamahnya. Tentu saja, meninggalkan obat-obat terlarang ini merupakan sebuah keutamaan baginya yang bersumber dari ilmu yang dimilikinya. Dan pengetahuan ini -meskipun sedikit- tidak menimbulkan unsur pamaksaan, karena ia masih memiliki kemampuan untuk mengkonsumsi obat-obat terlarang tersebut.

Atas alasan ini, kita berupaya meningkatkan derajat ilmu kita melalui pendidikan dan pengajaran, sehingga sekurang-kurangnya ilmu ini dapat melindungi diri dari dosa-dosa besar, perbuatan-perbuatan buruk dan tercela.

Apakah mereka yang meninggalkan perbuatan dosa lantaran pendidikan dan pengajaran ini bukanlah sebuah keutamaan dan kebanggaan?

Dengan ungkapan lain, meninggalkan dosa bagi para nabi adalah mustahil secara praktis (muhâl ‘âdî), bukan mustahil secara rasional (muhâl aqlî). Dan kita ketahui bahwa kemustahilan praktis selaras dengan kebebasan (ikhtiyar). Contoh, seorang alim dan mukmin membawa minuman keras ke masjid dan meminumnya di tengah-tengah barisan jamaah. Perbuatan ini tentu saja secara praktis mustahil, tidak secara rasional.

Singkatnya, ketinggian derajat ilmu dan iman para nabi sebagai sebuah kebanggaan dan keutamaan mereka, menjadi sebab utama sebuah kebangaan dan keutamaan lain, yaitu kedudukan ‘ishmah. (Perhatikan baik-baik!).

Dan sekiranya seseorang bertanya; dari manakah mereka mendapatkan ilmu dan iman demikian itu? kita akan menjawab bahwa mereka mendapatkannya melalui inayah Allah Swt. Akan tetapi, dengan catatan (qaid) bahwa inayah-inayah Allah itu bukannya tanpa alasan. Mereka mendapatkan inayah Ilahi ini karena mereka memiliki kelayakan untuk itu. Sebagaimana Al-Qur’an menegaskan perihal Nabi Ibrahim, “Dan [ingatlah], tatkala Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat [perintah dan larangan], lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia ....’”. (QS. Al-Baqarah [2]: 124)

Ihwal Nabi Yusuf a.s., Al-Qur’an menuturkan, “Dan tatkala ia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf [12]: 22)

Redaksi “Kadzâlika Nujzil Muhsinin (demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik) merupakan bukti atas apa yang kita maksudkan; bahwa mereka mendapatkan itu karena kelayakan tersebut. Nabi Yusuf telah menyiapkan dirinya sehingga layak menerima anugerah agung Ilahi.

Tentang Nabi Musa a.s., terdapat redaksi yang menjelaskan realitas ini. Al-Qur’an menyebutkan, “...Kami telah menguji dengan beberapa ujian; maka tinggallah engkau selama beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian engkau datang menurut waktu yang ditetapkan, wahai Musa.” (QS. Thaha [20]: 40)[15]

Jelas bahwa dalam diri para nabi ini terdapat berbagai kelayakan dan potensi. Namun, mengaktualkan potensi dan kelayakan ini bukan karena determinasi (ijbâr), tetapi berdasarkan kehendak bebas mereka sendiri sehingga dapat melintasi jalan ini. Dan betapa banyak orang yang memiliki berbagai kelayakan, tetapi ia tidak mengaktualkannya dan tidak mengoptimalkannya. Ini dari satu sisi.

Dari sisi lain, para nabi mendapatkan anugerah mulia ini lantaran mereka memikul tanggung jawab yang berat di pundak mereka. Dengan kata lain, Allah Swt. memberikan kekuatan dan kemampuan kepada mereka sesuai dengan kadar tanggung jawab yang mereka emban, dan hendak menguji mereka dengan tanggun jawab ini.

b. Jawaban yang lain yang dapat diberikan atas pertanyaan di atas adalah, meskipun dengan dukungan inayah Ilahi (‘ishmah) tersebut para nabi telah kebal dari perbuatan dosa dan kesalahan sehingga mereka dapat menarik kepercayaan umat dan menjadi pelita hidayah bagi mereka, namun pada saat yang sama, pintu “tark al-aulâ” (meninggalkan yang lebih utama); yaitu sebuah pekerjaan yang tidak termasuk sebagai perbuatan dosa dan bukan kelas mereka untuk melakukannya, masih terbuka di hadapan mereka.

Kebanggaan mereka terletak pada upaya meninggalkan tark al-aulâ, dan upaya ini merupakan ikhtiar penuh mereka. Apabila tark al-aulâ datang menyapa kehidupan mereka, tak ayal lagi mereka akan mendapatkan celaan (‘itâb) Ilahi secara setimpal. Dan terkadang mereka tersandung dari pelbagai deprivasi. Keutamaan apakah yang lebih besar dari realita bahwa lantaran menaati perintah Ilahi mereka meninggalkanidak melakukan tark al-aulâ?

Oleh karena itu, kebanggaan para nabi terletak pada penerimaan tanggung jawab sesuai dengan kadar anugerah dari Tuhan. Dan bahkan terletak pada keengganan mereka untuk menjamah ladang tark al-aulâ. Dan sekiranya tark al-aulâ mendatangi mereka, mereka dengan segera harus menebusnya.[16]

Perbedaan antara Mukjizat dan Kekuatan Supranatural Para Penyihir serta Petapa

a. Mukjizat bersandar pada kekuatan Ilahi, sementara sihir dan kekuatan supranatural para penyihir dan petapa (murtâdhan)[17] bersumber dari kekuatan manusia. Dengan demikian, mukjizat bersifat nir-batas dan begitu agung, sedangkan kekuatan sihir dan supranatural para petapa (asketik) bersifat terbatas.

Dengan kata lain, mereka hanya dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan lantaran telah melakukan latihan. Dan untuk mewujudkan kekuatan tersebut mereka telah memiliki persiapan. Mereka sekali-kali tidak dapat melakukan perbuatan yang diusulkan kepadanya. Hingga kini, belum dijumpai seorang petapa dan penyihir berkata, “Aku siap memenuhi apa pun yang Kamu inginkan.” Sebab, mereka dapat melakukan perbuatan sihir dan supranatural itu hanya berdasarkan pelatihan yang dijalaninya.

Benar bahwa para nabi secara pribadi menunjukkan mukjizat dan sebelum adanya tuntutan dari manusia, seperti Al-Qur’an bagi Nabi saw., mukjizat tongkat dan tangan bercahaya bagi Nabi Musa a.s., menghidupkan para mayit bagi Nabi Isa a.s. Namun, ketika umat meminta sesuatu yang baru, seperti, membelah bulan, mengenyahkan segala musibah yang dipaksakan oleh Fir'aun, turunnnya makanan dari langit untuk para Hawariyyun, dan semisalnya, mereka sekali-kali tidak menolaknya. (Tentu saja dengan catatan, bahwa permintaan itu untuk mendapatkan kebenaran, bukan karena keras kepala dan angkuh).

Oleh karena itu, kita melihat dalam kisah Nabi Musa a.s., bagaimana Fir’aun meminta kesempatan yang panjang dari beliau sehingga ia dapat mengumpulkan para tukang sihirnya dan mempersiapkan segala sesuatunya. “Maka himpunkanlah segala daya [sihir] kamu sekalian, kemudian datanglah dengan berbaris ....” (QS. Thaha [20]: 64) Mereka memusatkan seluruh kekuatan dan mendemonstrasikannya. Sementara Nabi Musa a.s. tidak memerlukan persiapan-persiapan pendahuluan ini. Dan setelah menyaksikan sihir para penyihir tersebut, beliau tidak meminta waktu untuk bertempur dengan mereka, karena beliau bersandar kepada kekuatan Ilahi, sedangkan para penyihir bersandar kepada kekuatan terbatas manusia.

Atas dasar ini, dalil kekuatan supranatural manusia dapat tertandingi dan diserupai, dimana orang lain pun dapat melakukan hal yang sama. Atas dasar ini pula, pembawa kekuatan ini sama sekali tidak pernah berani menantang orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dan orang yang memiliki kekuatan ini juga tidak pernah mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat melakukan seperti apa yang telah dilakukannya. Sedangkan, mukjizat -lantaran tidak dapat dilakukan oleh manusia (dengan kekuatannya)- selalu disertai dengan tantangan. Nabi saw. bersabda, “Sekiranya seluruh bangsa jin dan manusia berkumpul untuk mendatangkan Al-Qur’an, mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu.”

Masih atas dasar ini, ketika kekuatan supranatural manusia berhadapan dengan mukjizat, kekuatan itu segera tumbang, dan sihir tidak akan pernah dapat menandingi mukjizat, persis seperti tidak adanya manusia yang mampu menandingi kekuatan Allah swt.

Contoh permasalahan ini dapat terlihat dengan baik pada kisah Nabi Musa a.s. dan Fir'aun. Fir'aun mengumpulkan tukang-tukang sihir dari berbagai penjuru negeri Mesir, dan dalam beberapa waktu mereka melakukan persiapan untuk mendemonstrasikan sihir mereka. Pada akhirnya, kekuatan sihir mereka lenyap tatkala berhadapan dengan kekuatan mukjizat Nabi Musa a.s. dalam sekejap mata.

b. Karena berasal dari sisi Allah Swt., mukjizat tidak memerlukan pendidikan dan pengajaran yang berkelanjutan. Sedangkan sihir, apabila murid tidak belajar dengan baik dari gurunya, ia tidak akan dapat mendemonstrasikannya dengan baik di hadapan khalayak, dan akan mengalami rasa malu di hadapan publik.

Dengan ungkapan lain, mukjizat dapat terjadi pada setiap detik tanpa adanya pengalaman sebelumnya, sedangkan kekuatan supranatural bersifat gradual dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan kemahiran dan kepandaian, dan tidak akan pernah terlaksana secara seketika dan tak terduga-duga.

Masalah ini juga telah diisyaratkan dalam kisah Fir'aun dan Nabi Musa. Fir'aun menuding tukang sihir sebagai guru mereka dan Musa mengajarkan kepada mereka rahasia-rahasia sihir kepada Kamu.

... sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian .... (QS. Thaha [20]: 71)

Dengan alasan ini, para tukang sihir itu senantiasa mengajarkan sihir kepada murid-muridnya dan berlatih dengan mereka selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

c. Kondisi orang yang mendemonstrasikan mukjizat merupakan bukti atas kebenaran mereka.

Cara lain untuk membedakan kekuatan mukjizat dan kekuatan supranatural manusia adalah membandingkan pembawa kedua kekuatan ini. Pembawa mukjizat memiliki tugas dari sisi Allah swt. untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Ia memilki sifat-sifat yang pantas dengan tugasnya. Sedangkan para tukang sihir, peramal, dan petapa tidak memiliki tugas seperti ini, juga tidak mengupayakan tujuan-tujuan seperti ini. Biasanya, tujuan mereka tidak keluar dari salah satu dari tiga hal berikut ini:

- Membuat orang-orang awam terpedaya.

- Mencari popularitas di tengah-tengah masyarakat.

- Memperoleh keuntungan materi dengan memberikan hiburan kepada mereka.

Tatkala kedua kelompok ini (para nabi dan tukang sihir dan semisalnya) berada dalam sebuah medan, untuk waktu yang lama mereka tidak akan dapat menyembunyikan niat dan tujuan-tujuan laten mereka, sebagaimana para penyihir Fir'aun. Sebelum memasuki medan, mereka meminta imbalan dan upah, dan Fir'aun juga menjanjikan upah penting bagi mereka,

Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir'aun seraya berkata, “[Apakah] sesungguhnya kami akan mendapatkan upah, jika kamilah yang menang?” Ahli sihir berkata, “Wahai Musa! Kamulah yang akan melemparkan lebih dahulu ataukah kami yang akan melemparkan?” (QS. Al-A'raf [7]: 113-114)

Sementara para nabi berulang kali berkata, “Aku tidak meminta sepeser pun upah dari Kamu.” (QS. Aasy-Syua'ara [26]: 109)

Pada dasarnya, realita bahwa para penyihir itu rela melayani Fir'aun yang lalim dan tiran, telah memadai bagi kita untuk dapat dijadikan bukti sebagai pembeda antara sihir dan mukjizat.

Sudah jelas bahwa manusia melalui perbuatan-perbuatannya, semakin mahir ia menutupi tujuan dan pikirannya, semakin jelas bentuk aslinya.

Singkatnya, dengan menelaah kehidupan masa lalu orang-orang ini dan bagaimana mereka menggunakan kekuatan supranatural ini, dan demikian juga, dengan memperhatikan kebersamaan mereka dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang beragam dalam masyarakat, perilaku dan perbuatan mereka ini merupakan pedoman yang baik untuk membedakan antara sihir dan mukjizat. Dan terlepas dari perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan di atas, cara menentukan perbedaan antara mukjizat, sihir dan kekuatan supranatural yang lain, dapat dilakukan dengan mudah melalui cara seperti ini.

Al-Qur’an dengan redaksi-redaksi akurat mengisyaratkan realitas ini. Di satu tempat ia berfirman, “... Musa berkata, ‘Apa yang Kamu lakukan itulah yang merupakan sihir. Sesungguhnya Allah akan menampakkan kebatilannya.’ Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus pekerjaan orang-orang yang berbuat kerusakan berlangsung.’” (QS.Yunus [10]: 81)

Benar! Para penyihir merupakan orang-orang yang rusak dan perbuatan mereka batil. Tentu saja perbuatan demikian tidak dapat memberikan hasil bagi perbaikan sebuah masyarakat.

Di tempat lain, Al-Qur’an menyebutkan, “Kami berkata, ‘Janganlah engkau takut, sesungguhnya engkaulah yang paling unggul.’” (QS. Thaha [20]: 68) Kemudian ia menambahkan, “Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu-daya tukang sihir [belaka]. Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja mereka datang.” (QS. Thaha [20]: 69)

Benar bahwa perbuatan sihir itu adalah licik, dan tentu saja moralitas penyihir senada dengan kelicikan tersebut. Mereka adalah orang-orang licik dan tidak jujur, dan akan segera dapat dikenali dari seluruh perbuatan dan sifat-sifatnya. Sedangkan keikhlasan, kekudusan dan kebenaran para nabi merupakan menyataan yang dibuktikan oleh mukjizat mereka dan memberikan penjelasan yang lebih gamblang.[18]

Tidakkah Kelahiran Nabi Isa a.s. hanya dari Seorang Ibu Bertentangan dengan Sains Mutakhir?

Tanpa syak lagi bahwa kelahiran ini terjadi melalui mukjizat. Sains modern tidak dapat menafikan kemungkinan terjadinya masalah ini. Malahan sebaliknya. Ia dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya masalah ini, khususnya masalah virginitas yang terlihat di antara kebanyakan hewan. Dengan memperhatikan masalah koagulasi sperma, tidak terkhusus kepada manusia saja, masalah ini secara umum mungkin dibuktikan.

Dokter Alexis Carell, seorang fisiolog dan biolog ternama berkebangsaan Prancis, dalam buku Insân Maujud-e Nâshenakhteh (Manusia Wujud Misterius) menuliskan: “Jika kita memikirkan equilibrium saham dari ibu dan bapak (bertemunya sperma dan ovum—AK.) dalam reproduksi, kita harus mengingat percobaan-percobaan laub dan batâyun yang ada pada seekor katak tanpa interfensi spermatozoid. Dengan menggunakan teknik khusus, ia dapat melahirkan katak yang lain.”

Dengan demikian, boleh jadi sebuah faktor kimia atau fisika menggantikan sel baru. Namun, bagaimanapun wujudnya, faktor materi senantiasa bersifat niscaya adanya.

Oleh karena itu, dalam pandangan sains, yang jelas di dalam proses melahirkan anak adalah adanya nutfah betina (ovum) dari pihak ibu. Kalau tidak, nutfah jantan (spermatozoa) merupakan faktor lain yang dapat menggantikan peran ovum tersebut. Dengan alasan ini, masalah virginitas merupakan sebuah realitas yang dapat diterima oleh dunia fisiologi dewasa ini, betapa pun hal ini sangat jarang terjadi.

Terlepas dari ini semua, hal itu terjadi di bawah hukum-hukum penciptaan dan kekuasaan Tuhan, sebagaimana Al-Qur’an berfirman, “Sesungguhnya perumpamaan [penciptaan] Isa di sisi Allah adalah ibarat [penciptaan] Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Jadilah [seorang manusia]!’ Maka, jadialah ia.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 59).

Maksudnya, kekuatan mukjizat penciptaan Adam tidak begitu penting dibanding kekuatan mukjizat penciptaan Isa.[19]

Apabila Ajaran Nabi Musa a.s. Sempurna, Apakah Nilai Ajaran Kristen dan Islam?

Setiap ajaran yang pernah ada hanya diperuntukkan untuk masa dan zamannya. Pada masanya ia merupakan ajaran yang sempurna dan lengkap, dan mustahil ajaran yang cacat turun dari sisi Allah Swt. Barangkali untuk masa-masa berikutnya, ajaran itu sudah tidak utuh dan memadai, sebagaimana suatu program lengkap dan sempurna untuk pendidikan tingkatan SD tidak sesuai dengan pendidikan tingkatan SMP. Dan rahasia pengutusan para nabi dengan kitab samawi yang beragam, termasuk Nabi saw. dan ajaran pamungkas juga demikian adanya.

Akan tetapi, tatkala umat manusia memiliki kesiapan untuk menyambut ajaran pamungkas, maka ajaran ini diturunkan kepada mereka. Mereka tidak lagi memerlukan kepada ajaran yang baru, ebagaimana orang-orang yang telah lulus beradasarkan pengetahuan yang dimilikinya, dapat terus melaju melalui telaah yang dilakukannya. Pengikut agama seperti ini tidak lagi memerlukan ajaran baru, dan dapat hidup sempurna melalui ajaran pamungkas ini.[20]

[1] Tafsir-e Nemûneh, jilid 17, hal. 345.

[2] Untuk penjelasan lebih lanjut, Anda dapat menelaahnya dalam kitab Bihâr al-Anwâr, jilid 18, hal. 277.

[3] Tafsir-e Nemûneh, 440/1.

[4] Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 325.

[5] Idem.

[6] Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 27.

[7] Futûh al-Buldân, Buladzuri, cet. Mesir, hal. 459.

[8] Tafsir al-Burhân, jilid 4, hal. 332, dalam penafsiran ayat pertama surat al-Jumu'ah.

[9] Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 400.

[10] Muhammad Payambariy keh az Nou Bayad Shenâkht, hal. 125.

[11] Tafsir al-Burhân, jilid 2, hal. 400; Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 16.

[12] Objek selestial (planet-planet) ini berjumlah sembilan. Antara lain, Mercurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto—AK.

[13] Kharq berarti membuka dan mengoyak, dan Iltiyam berarti bergabung bersama. (Kedua terma ini akrab digunakan dalam pembahasan ilmu kalam [teologi], bahwa ketika seseorang melintas menembus objek selestial yang ibarat garis bawang tersebut, maka garis tersebut akan terkuak, terenggut [kharq] dan setelah itu mengalami konsiliasi, tersambung kembali [ilitiyam]—AK.). Sebagian filsuf terdahulu percaya bahwa perkara ini (Mikraj) tidak mungkin terjadi pada objek selestial.

[14] Untuk penjelasan lebih jauh, silakan rujuk Hameh Mikhâkhand Bedânand (Semua Orang Pengen Tahu), ihwal masalah Mikraj, membelah bulan (syaq al-Qamar), ibadah pada dua kutub yang telah kami bahas. Silakan juga lihat Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 17.

[15] Redaksi, tsumma ji`ta 'alâ qadarin yâ Musa terkadang bermakna kelayakan untuk menerima wahyu, dan terkadang bermakna masa menerima perintah risalah.

[16] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 7, hal. 193.

[17] Dalam tradisi masyarakat India, ritus-ritus asketik ini dipraktikan melalui jalan-jalan haram, menyiksa jiwa dan raga dengan tujuan memperkuat ruh dan jiwa untuk memperoleh kesaktian. Padanan terma murtâdhan dalam Bahasa Inggris adalah asceticism atau petapa dalam Bahasa Indonesia—AK.

[18] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 7, hal. 288.

[19] Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 58.

[20] Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 41.