Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [3]

0 Pendapat 00.0 / 5

Ilmu Tuhan

Salah satu sifat tsubut yang dimiliki oleh Tuhan adalah ilmu. Dalam pandangan Islam, Tuhan mengetahui seluruh persoalan dan masalah yang terdapat di semua alam dan realitas. Sebagaimana yang akan kami bahas selanjutnya, ilmu selain merupakan sifat dzat Tuhan juga merupakan sifat perbuatan-Nya. Dengan ungkapan lain, ilmu Ilahi memiliki beberapa tingkatan dimana sebagiannya merupakan sifat dzat dan yang lain merupakan sifat perbuatan.



Definisi Ilmu

Secara umum ilmu mempunyai makna yang sangat jelas dan gamblang, karena setiap manusia menemukan hal ini sebagaimana keadaan-keadaan kualitas jiwa yang lain. Masing-masing kita sering mengalami keadaan jiwa ini dalam kehidupan dimana pada awalnya tidak mengetahui sesuatu (jahil) lalu berubah menjadi keadaan mengetahui sesuatu yang disebut dengan pengetahuan dan ilmu.

Tentunya jangan dilupakan bahwa ilmu manusia dalam berbagai tingkatannya memiliki keterbatasan dan tidak sempurna serta tidak bisa dibandingkan dengan ilmu Tuhan, karena ilmu Tuhan sempurna dan terlepas dari seluruh hukum materi. Ilmu manusia diperoleh melalui perangkat internal dan eksternal. Sebagai contoh, dalam memahami hal-hal yang sensori kita memanfaatkan anggota badan (seperti mata, telinga, dan lainnya) dan terkadang dengan bantuan peralatan eksternal. Demikian pula bahwa seluruh ilmu manusia bersifat temporer yaitu ilmu yang muncul setelah tidak mengetahui dan jahil, karenanya ilmu manusia bisa tidak abadi. Selain itu, keseluruhan ilmu kita adalah sangat terbatas dan tak sempurna, segala yang diketahui bila dibandingkan dengan yang tidak diketahui, sangatlah sedikit.

Akan tetapi ilmu Tuhan sempurna, mutlak, tak terbatas, azali, dan abadi yang tidak memerlukan perangkat dan perantara, dan dzat Tuhan tidak terpengaruh oleh sesuatu dari luar diri-Nya.



Ilmu Hushuli dan Ilmu Hudhuri

Berdasarkan pembagian umum, ilmu terbagi menjadi ilmu hushuli dan ilmu hudhuri. Obyek ilmu (ma'lum) dalam ilmu hudhuri adalah benda (sesuatu) itu sendiri, sedangkan ma'lum dalam ilmu hushuli adalah gambaran benda (sesuatu) dalam pikiran yang dengan gambaran ini sesuatu dipahami. Ilmu kita terhadap dzat kita sendiri dan juga ilmu kita terhadap keadaan-keadaan jiwa kita seperti takut, marah, senang, cinta, dan lain-lain merupakan ilmu hudhuri, sedangkan ilmu kita terhadap sesuatu yang sensori dan rasional berada dalam cakupan ilmu hushuli.

Dengan memperhatikan pembagian di atas, akan disajikan definisi umum tentang ilmu hudhuri dan hushuli, yaitu hadirnya ma'lum pada 'alim (subyek ilmu).

Keuniversalan definisi ini karena dalam ilmu hushuli, gambaran sesuatu (ma'lum) dalam pikiran hadir pada 'alim, sedangkan dalam ilmu hudhuri sesuatu itu sendiri (ma'lum) - dalam semua keadaan - hadir pada 'alim, dan berdasarkan kehadiran ma'lum ini, 'alim memiliki ilmu atas ma'lum.

Apabila definisi di atas lepas dari kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ilmu makhluk dan tidak terwarnai dengan ketaksempurnaan dan keterbatasan, maka bisa digunakan dihubungkan dengan ilmu Ilahi. Oleh karena itu, ketika pembicaraan berkisar pada ilmu Tuhan akan bermakna bahwa seluruh realitas eksistensi hadir pada Tuhan dan kehadiran ini merupakan tolok ukur ilmu Tuhan atas dzat-Nya sendiri dan terhadap seluruh maujud.

Tentunya menurut sebagian filosof dan teolog Islam bahwa ilmu Tuhan terbatas pada ilmu hudhuri. Dasar pandangan ini adalah karena ilmu hushuli diperoleh melalui gambaran pikiran ma'lum, maka konsekuensinya adalah bahwa 'alim merupakan tempat aksiden gambaran-gambaran pikiran ma'lum dan pada akhirnya 'alim akan terefek olehnya, sementara dzat Tuhan suci atas hal-hal seperti ini.



Tingkatan Ilmu Tuhan

Setelah jelas tentang makna ilmu Tuhan, di bawah ini akan disebutkan pembagian dan tingkatan ilmu Ilahi ini.[1] Ilmu Ilahi pada tahapan pertama terbagi dua bagian yaitu ilmu terhadap dzat dan ilmu terhadap selain dzat. Maksud dari ilmu terhadat dzat adalah ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri dan maksud dari ilmu terhadap selain dzat adalah ilmu Tuhan terhadap seluruh makhluk. Karena seluruh realitas eksistensi merupakan makhluk Tuhan dan Dia-lah yang menciptakannya, maka bagian kedua ini terbagi menjadi dua bagian yaitu ilmu Tuhan terhadap seluruh makhluk pra penciptaan dan ilmu terhadap semua makhluk pasca penciptaan.

Dengan demikian pembagian di atas bisa disimpulkan bahwa ilmu Tuhan memiliki tiga tingkatan:

1.Ilmu atas dzat-Nya sendiri;

2.Ilmu atas makhluk pra penciptaan;

3.Ilmu atas makhluk pasca penciptaan.

Di bawah ini akan dikaji dan dibahas tiap-tiap bagian tersebut secara terpisah.



Ilmu Tuhan atas Dzat-Nya Sendiri

Berdasarkan definisi tentang ilmu, maksud dari ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri adalah bahwa dzat Ilahi hadir pada diri-Nya sendiri dan kehadiran ini merupakan tolok ukur pengetahuan Tuhan akan dzat-Nya sendiri.[2] Sebelum membuktikan tahapan ini dari tahapan-tahapan ilmu Ilahi lainnya, penting diingatkan bahwa hakikat ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri merupakan sesuatu yang mustahil diketahui (sebagaimana terhadap sebagian sifat-sifat Ilahi). Pengenalan ilmu ini hanya lewat pemahaman hushuli yang bersifat universal.



Argumentasi Ilmu Tuhan atas Dzat-Nya Sendiri

Selain argumentasi umum tentang keberadaan sifat-sifat sempurna pada Tuhan, terdapat pula argumentasi khusus atas klaim yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki pengetahuan dzat-Nya sendiri. Di bawah ini akan disebutkan satu argumen tentangnya yang bersandar pada kaidah-kaidah filsafat. Argumentasi ini terbentuk dari dua premis:



a. Setiap maujud non-materi (mujarrad) hadir pada dirinya sendiri, oleh karena itu dia memiliki ilmu terhadap dzatnya sendiri. Premis ini telah terbukti dalam filsafat. Berdasarkan prinsip ini, maujud-maujud materi karena memiliki bagian-bagian dan dimensi-dimensi serta senantiasa dalam perubahan maka tidak memiliki kehadiran, dan karena itulah dia tidak mampu hadir bahkan untuk dirinya sendiri. Walhasil, benda-benda materi adalah tidak mengetahui dzatnya sendiri. Akan tetapi maujud non-materi, karena bersifat basith[3] dan tajarrud[4] maka menyebabkan mereka mampu hadir bagi dirinya sendiri dan bahkan untuk maujud-maujud non-materi lainnya. Dan karena tolok ukur ilmu adalah kehadiran maka setiap maujud non-materi memiliki ilmu atas dzatnya sendiri.

b. Premis kedua, Tuhan adalah maujud non-materi dan suci dari seluruh hukum materi. Premis ini telah terbukti dalam pembahasan sifat negasi Tuhan bahwa Tuhan bukan wujud jasmani dan non-materi. Berdasarkan dua premis tersebut disimpulkan bahwa, karena Dia merupakan wujud non-materi, dan setiap wujud non-materi mengetahui dzatnya sendiri maka terbukti bahwa Tuhan mengetahui dzat-Nya sendiri.



Ilmu Tuhan atas Semua Makhluk Pra Penciptaan

Setelah membahas ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri, sekarang akan dianalisa ilmu Tuhan terhadap semua makhluk pra penciptaan. Berkaitan dengan ini, muncul pertanyaan ditujukan kepada para filosof dan teolog, yaitu apakah ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Tuhan dan apakah ilmu Ilahi ini bersifat universal (ijmali) ataukah bersifat partikular (tafshili)?

Maksud dari ilmu ijmali dalam pembahasan ini adalah bahwa Tuhan sebelum menciptakan semua makhluk, Dia tidak memiliki ilmu tentang satu persatu dari mereka secara terpisah, melainkan ilmu-Nya merupakan ilmu tunggal dan basith yang bisa menjadi ilmu tafshili. Untuk memahami lebih baik tentang ilmu ijmali, kita memisalkan ilmu seorang ahli matematika. Ilmu seorang ahli matematika terhadap semua aturan matematika bersifat ijmali, dan pada saat yang sama dia memiliki ilmu untuk menyelesaikan seluruh persoalan matematika, akan tetapi hingga dia belum menyelesaikan semua persoalan matematika, ilmunya tergolong ilmu ijmali. Akan tetapi kepartikularan ilmu Tuhan terhadap semua maujud pra penciptaan mempunyai makna bahwa Tuhan sebelum menciptakan maujud-maujud tersebut memiliki ilmu terhadap satu persatu dari mereka secara terpisah dan mandiri.

Bagaimanapun juga, karena jawaban pertanyaan di atas memerlukan pendahuluan dan pembahasan yang kompleks dan mendalam, supaya tidak keluar dari lingkup bahasan saat ini maka sementara ini tidak dibahas. Di bawah ini akan diketengahkan dua argumentasi atas keberadaan ilmu ini pada Tuhan.



Argumentasi pertama

Argumen ini bersandar pada salah satu kaidah filsafat yang mengatakan bahwa ilmu terhadap sebab sempurna bagi sesuatu (misalnya A) meniscayakan ilmu terhadap A sebagai akibat-nya.[5] Ilmu terhadap sebab mengharuskan ilmu atas akibat. Oleh karena itu, apabila sebab sempurna menjadi diketahui, maka akibat-akibat dari sebab itu niscaya akan diketahui juga.

Premis lain dari argumentasi ini adalah bahwa dzat Tuhan merupakan sebab sempurna dari seluruh maujud, dan premis ketiga yang telah terbukti pada pembahasan sebelumnya adalah Tuhan memiliki ilmu terhadap dzat-Nya sendiri.

Berdasarkan ketiga premis di atas disimpulkan bahwa Tuhan memiliki ilmu terhadap dzat-Nya dan dzat-Nya adalah sebab sempurna bagi seluruh eksistensi, dan ilmu terhadap sebab sempurna akan meniscayakan ilmu terhadap akibat, dan karena ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya dan juga dzat Ilahi ini sebagai sebab untuk semua makhluk telah ada sejak azali, maka terbukti bahwa Tuhan telah mengetahui sejak azali dan sebelum menciptakan semua eksistensi melalui ilmu terhadap dzat-Nya sendiri.



Argumentasi kedua

Argumentasi ini lebih bersifat teologis bukan filosofis dan lebih menyerupai argumentasi keteraturan (burhan nazm) yang telah dibahas dalam argumentasi-argumentasi pembuktian eksistensi Tuhan pada bab-bab sebelumnya:[6]

Dengan mencermati alam sekitar, kita akan menemukan bahwa elemen-elemen alam ini berjalan di atas keteraturan dan mekanisme yang menakjubkan, semuanya bergerak menuju satu tujuan. Pada sisi lain, karena seluruh fenomena keberadaan merupakan makhluk-makhluk Tuhan dan sebagaimana prinsip mengatakan bahwa keberadaan makhluk (akibat) merupakan petunjuk adanya Khâlik (Sebab), maka segala kekhususan dan karakteristik makhluk (akibat) akan menunjukkan karakteristik Penciptanya (Sebab).

Dengan demikian, keteraturan dan kebertujuan alam menjadi saksi bahwa sebelum menciptakan alam, Pencipta alam ini telah mengetahui seluruh fenomena, karakteristik, kejadian, dan keterkaitan makhluk satu sama lain. Akal menghukumi bahwa mustahil Sang Pencipta segala eksistensi yang memiliki keteraturan dan tujuan menciptakan mereka tanpa didasari oleh ilmu dan pengetahuan.

Mayoritas teolog Islam menggunakan argumentasi ini untuk membuktikan ilmu Tuhan pra penciptaan. Misalnya Syeikh Thusi dalam kitab Tajrid al I'tiqâd mengatakan, "Kebijaksanaan, hikmah, dan keteraturan segala eksistensi di alam ini merupakan dalil keberadaan ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu."



Ilmu Tuhan atas Semua Makhluk Pasca Penciptaan

Tahapan ketiga dari ilmu Tuhan adalah ilmu tafshili Tuhan terhadap segala eksistensi setelah penciptaan. Untuk membuktikan tahapan ini secara rasional, digunakan argumentasi di bawah ini. Premis dari argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sebagaimana telah dijelaskan dalam filsafat bahwa keberadaan akibat pasti bergantung kepada wujud sebab, dan wujud akibat sama sekali tidak memiliki kemandirian eksistensial.

b. Kemestian kebergantungan wujud akibat kepada wujud sebab karena wujud akibat bersumber dari wujud sebabnya sendiri dan hadir di sisi sebabnya, ketidakhadiran akibat di sisi sebabnya sendiri akan berarti bahwa akibat memiliki kemandirian dalam wujud, sementara menurut premis kedua, hal ini adalah mustahil. Dan karena hakikat ilmu tidak lain adalah kehadiran ma'lum di sisi 'alim itu sendiri maka setiap sebab memiliki ilmu terhadap akibatnya.

Konklusi dari premis-premis di atas adalah bahwa seluruh eksistensi dan fenomena keberadaan merupakan ma'lum dan obyek ilmu Tuhan, karena semuanya merupakan akibat-Nya, dan setiap akibat merupakan ma'lum bagi sebabnya sendiri.



Ilmu Dzat dan Ilmu Perbuatan

Pada permulaan pembahasan ini telah disinggung bahwa sebagian ilmu Tuhan merupakan sifat dzat dan sebagian lainnya merupakan sifat perbuatan. Setelah kita membicarakan ketiga tingkatan ilmu Tuhan, akan ditentukan mana di antara ketiga ilmu ini yang merupakan sifat dzat dan sifat perbuatan.

Dengan mengamati tiga tingkatan ilmu Ilahi di atas, menjadi jelas bahwa tingkatan pertama dan kedua merupakan sifat dzat dan tingkatan ketiga merupakan sifat perbuatan.



Ilmu Tuhan tentang Hal-Hal Partikular

Salah satu persoalan menarik dalam pembahasan ilmu Tuhan adalah apakah Tuhan memiliki ilmu atas segala realitas secara partikular (tafshili), ataukah ilmu-Nya hanya bersifat universal (ijmali)? Dengan kata lain, apakah benda atau sesuatu tertentu yang terdapat pada zaman dan tempat tertentu, atau peristiwa secara partikular yang terjadi pada zaman dan tempat tertentu bisa diketahui oleh Tuhan? Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya dalam ilmu pasca penciptaan, dipastikan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara partikular. Akan tetapi sebagian teolog mengingkari ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular, dan memandang Tuhan hanya memiliki pengetahuan terhadap hal-hal partikular melalui kuiditas-kuiditas universal dan kategori yang mencakup partikular-partikular tersebut. Untuk membuktikan pendapatnya, kelompok ini mengetengahkan argumentasi yang akan dianalisa di bawah ini:



1. Perubahan terus menerus pada hal-hal partikular

Salah satu alasan mereka menolak ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular adalah bahwa partikular-partikular ini senantiasa mengalami perubahan. Oleh karena itu, apabila Tuhan memiliki pengetahuan terhadap hal-hal partikular, dan karena hal-hal tersebut harus senantiasa sesuai dengan ilmu-Nya, maka dengan terjadinya perubahan pada ma'lum (hal-hal partikular) berarti ilmu Tuhan pun mengalami perubahan, dan konsekuensinya adalah bahwa dzat Tuhan yang menyatu dengan ilmu ini akan pula mengalami perubahan. Bukankah dzat Tuhan suci dari segala bentuk perubahan? Oleh karena itu, mustahil Tuhan memiliki ilmu yang berkaitan dengan hal-hal partikular.

Secara lahiriah, dasar dari argumentasi ini adalah apabila Tuhan memiliki ilmu terhadap hal-hal partikular, berarti ilmu-Nya bersifat hushuli dan dihasilkan melalui masuknya gambaran-gambaran hal-hal partikular dalam dzat-Nya. Berdasarkan ini, perubahan ma'lum (hal-hal partikular) menyebabkan perubahan gambaran hal-hal partikular, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pada dzat Tuhan (sebagai tempat terjadinya perubahan gambaran hal-hal partikular).

Sebagaimana yang telah dikatakan, ilmu Tuhan merupakan sebuah ilmu hudhuri, oleh karena itu, ilmu-Nya terhadap hal-hal partikular tak lain merupakan kehadiran dan keberadaan hal-hal partikular-partikular tersebut di sisi-Nya. Dalam keadaan ini pun, perubahan hal-hal partikular akan menyebabkan perubahan ilmu, tetapi perubahan ilmu ini, sejauh berhubungan dengan perbuatan Ilahi tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada dzat-Nya. Pada prinsipnya, salah satu karakteristik sifat perbuatan adalah mengalami perubahan karena mengikuti perubahan pada makhluk-makhluk Tuhan dimana merupakan perbuatan Tuhan itu sendiri, tapi perubahan pada sifat perbuatan tidak menyebabkan hadirnya perubahan pada dzat Tuhan.

Walhasil, maksud dari ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular tak lain adalah kehadiran mereka di sisi Tuhan dan perubahan hal-hal partikular juga menyentuh wilayah perbuatan dan sifat Tuhan, dan hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan dzat Ilahi.



2. Ilmu atas hal-hal partikular memerlukan perangkat

Argumentasi lain yang dikemukakan untuk menolak ilmu Tuhan terhadap hal-hal partikular adalah karena perolehan ilmu ini membutuhkan alat dan perangkat materi, sementara kedudukan Tuhan suci dari hal seperti ini.

Dalam menjawab argumentasi ini bisa dikatakan bahwa penggunaan perangkat dan alat materi untuk menghasilkan ilmu terhadap hal-hal partikular bukan merupakan persyaratan utama dan pokok dari ilmu ini. Pencapaian ilmu dengan syarat semacam itu hanya berlaku bagi maujud di alam materi, seperti manusia yang bergantung pada indera, penggunaan anggota badan dan alat-alat materi. Tapi mengenai Tuhan sebagai realitas metafisika dan non-materi, ilmu-Nya bersifat hudhuri yang meliputi seluruh alam keberadaan dan tidak bergantung kepada perangkat materi.



Ilmu Tuhan dan Ikhtiar Manusia

Salah satu karakteristik ilmu Tuhan, sebagaimana sifat-sifat lain-Nya adalah bersifat mutlak, maknanya bahwa ilmu-Nya meliputi seluruh peristiwa, baik yang lampau, saat ini, ataupun yang akan datang. Berdasarkan hal ini, berarti Tuhan mengetahui seluruh persoalan yang akan terjadi pada masa mendatang dari awal hingga akhir, di antaranya Dia mengetahui apa yang akan dilakukan oleh manusia pada masa-masa yang akan datang. Dalam hal ini terdapat persoalan mengenai apakah ilmu Tuhan terhadap perbuatan manusia pada masa yang akan datang tidak bertentangan dengan ikhtiar manusia?

Kami akan membahas masalah ini secara terperinci dalam pembahasan "Kebebasan (ikhtiar) dan Keterpaksaan (jabr)".



Ilmu Tuhan dalam Al-Qur'an

Terdapat banyak ayat al-Qur'an membahas tentang ilmu Tuhan. Misalnya menggunakan kata 'ilm, 'alima, ya'lamu, atau 'alîm, dan begitu pula kata-kata lain seperti samî' (mendengar) dan bashîr (melihat) yang berpuluh-puluh kali digunakan dalam al-Qur'an sebagai bagian dari sifat-sifat Tuhan. Selain itu, pada sebagian ayat, kita bisa melihat sifat yang lebih khusus seperti "'âlim al-ghaib", "'allâm al-ghuyub". Untuk menganalisa seluruh ayat-ayat ini, meskipun secara umum, membutuhkan pembahasan tersendiri karena keluasaannya. Di sinipun kami mencukupkan diri dengan menyajikan sepintas pandangan al-Qur'an dalam masalah ini.



Pembuktian Ilmu Tuhan

Al-Qur'an dalam membuktikan sifat ilmu, mencukupkan diri dengan menyebutkan ayat-ayat yang merupakan penjelas seluruh sifat-sifat sempurna Tuhan. Meskipun terdapat ayat-ayat lain dalam bentuk argumen. Sebagai contoh, dalam surah al-Mulk Tuhan berfirman, Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui? (Qs. al-Mulk: 14)

Ayat ini muncul dalam bentuk pertanyaan negatif bagi lawan bicaranya, apakah mungkin Tuhan sebagai Pencipta tidak memiliki ilmu dan tidak mengetahui? Al-Qur'an menganggap hal ini sebagai persoalan yang jelas dan gamblang, yaitu terdapatnya kemestian antara Pencipta dan ilmu atas apa yang diciptakannya merupakan hal yang rasional. Pencipta sesuatu, sebelum menciptakannya niscaya telah mengetahui kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh ciptaannya, dan karena penciptaan Tuhan berlangsung terus-menerus, ayat di atas juga membuktikan bahwa Tuhan memiliki ilmu pra penciptaan dan pasca penciptaan dan menjelaskan bahwa Tuhan dalam setiap saat mengetahui seluruh makhluk-Nya.



Kemutlakan dan Ketakterbatasan Ilmu Tuhan

Al-Qur'an di samping menyifati Tuhan dengan ilmu, juga menegaskan ketakterbatasan ilmu-Nya. Pengetahuan mengenai kemutlakan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan, selain merupakan pondasi hakiki agama dalam masalah sifat-sifat Tuhan, juga memegang peran penting dalam menyempurnakan makrifat terhadap Tuhan, serta hal inipun memiliki efek positif dalam pendidikan agama. Iman terhadap kemutlakan pengetahuan Tuhan terhadap seluruh persoalan akan memberikan pengaruh yang mendalam dalam menguatkan aspek tawakkal manusia, dan dengan percaya bahwa Tuhan mengetahui seluruh perbuatan manusia baik yang dilakukan secara terang-terangan ataupun tersembunyi dan bahkan niat-niat yang tersembunyi akan berpengaruh bagi manusia untuk menghindari dosa.

Al-Qur'an menyampaikan ketakterbatasan ilmu Tuhan dengan sangat tegas: " … dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Qs. al-Baqarah [2]: 282, at-Taghabun [64]: 11)

Pada sebagian ayat disampaikan pula tentang pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal khusus yang terjadi di alam dimana seluruh ayat ini menceritakan tentang keluasan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan, sebagai contoh, " …Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya, dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Qs. al-Hadid [57]: 4)

Ungkapan-ungkapan yang digunakan pada awal ayat memiliki banyak contohnya[7] yang hal ini menegaskan keluasan ilmu Tuhan. Dan kalimat yang mengatakan, "Dia bersama kamu, dimana saja kamu berada" menunjukkan bahwa Tuhan karena senantiasa bersama dengan manusia menyebabkan Dia mengetahui dan melihat seluruh perbuatan mereka, artinya bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia hadir di hadapan-Nya.

Pengetahuan Tuhan terhadap semua perbuatan dan niat manusia diutarakan pada ayat-ayat lain dalam beragam bentuk, di antaranya, "Katakanlah: "Jika kamu mnyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. Ali Imran: 29)[8]



Ilmu Gaib Tuhan

Pada sebagian ayat diketengahkan pula tentang ilmu Tuhan terhadap hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia, seperti pada ayat berikut ini, "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs. Luqman [31]: 34)

Dalam ayat di atas disinggung tentang beberapa hal yang tercakup dalam ilmu gaib Tuhan, antara lain:

1. Pengetahuan-Nya akan hari kiamat;
2. Pengetahuan-Nya akan turunnya hujan;
3. Ilmu-Nya terhadap janin yang berada di dalam rahim ibunya;
4. Ilmu-Nya tentang masa depan manusia dan tempat serta waktu kematiannya.

Pada sebagian riwayat, hal-hal di atas digolongkan sebagai ilmu gaib dan ilmu khusus yang dimiliki oleh Tuhan.[9]

Tentunya perlu diperhatikan bahwa makna gaib (tersembunyi) bersifat relatif yang terkait dengan maujud-maujud yang memiliki ilmu terbatas. Bagi Tuhan segala sesuatu itu nampak, tidak gaib, dan tidak tersembunyi, karena ilmu-Nya yang tak terbatas. Oleh karena itu, maksud dari ilmu Tuhan terhadap hal-hal gaib adalah pengetahuan-Nya atas hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya.



Ilmu Tuhan dalam Hadis

Dalam riwayat Ahlubait Nabi Alaihimussalam, persoalan ilmu Tuhan diketengahkan pula dari sudut yang beragam. Pada sebagian riwayat, disinggung tentang ilmu dzat Tuhan dan ketakterbatasan ilmu tersebut atas maujud-maujud. Imam Ali As bersabda, "Tuhan mengetahui sebelum terciptanya maujud-maujud."[10]

Pada sebagian riwayat disinggung pula tentang ilmu Tuhan pra dan pasca penciptaan makhluk. Dalam hal ini Imam Shadiq As bersabda, "Tuhan ada sejak azali, ilmu-Nya menyatu dengan dzat-Nya pada saat maujud (ma'lum) belum tercipta dan sebagainya ketika Dia mewujudkan makhluk maka hadirlah ma'lum, ilmu-Nya atas ma'lum menjadi riil."[11]

Pada banyak riwayat ditegaskan pula mengenai keluasan dan ketakterbatasan ilmu Tuhan. Imam Ali As dalam menjelaskan tentang keluasan ilmu Tuhan bersabda, "Suara yang berasal dari kerak bumi maupun sahara, dosa yang dilakukan oleh manusia di tempat tersembunyi, kedatangan dan kepergian ikan-ikan di lautan, fenomena ombak karena badai, semuanya diketahui oleh Tuhan."[12]

Demikian juga diriwayatkan dari Imam Shadiq As menjawab perkataan sahabatnya yang berkata, "Segala puji bagi Tuhan seukuran ilmu-Nya", beliau bersabda, "Jangan berkata demikian, karena ilmu Tuhan tak berbatas dan tak berhingga."[13]



Ilmu Khusus dan Ilmu Umum Tuhan

Dalam sebagian riwayat, ilmu Tuhan dibagi menjadi ilmu khusus yang teruntuk untuk dzat-Nya dan ilmu umum yang dimiliki oleh Dia dan sebagian makhluk-Nya (seperti para nabi, imam dan malaikat). Dalam sebuah hadis, Imam Baqir As bersabda, "Sesungguhnya Tuhan memiliki ilmu yang tidak diketahui oleh selain-Nya dan juga memiliki ilmu sebagaimana yang dimiliki oleh para malaikat-Nya yang terdekat, para Nabi dan Rasul, dan kami (para Imam-imam Ahlulbait As)."[14]

Pada berbagai riwayat mengenai dua sifat "Mendengar" dan "Melihat" yang merupakan cabang dari ilmu Ilahi. Tapi sebagian menolak dan menyatakan bahwa ilmu Tuhan tidak bersumber dari pendengaran dan penglihatan yang menggunakan perangkat dan alat bantu, mengenai hal ini Imam Ali As bersabda, "Tuhan Maha Mendengar, tetapi tidak melalui alat pendengaran, dan Dia Maha Melihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala."[15]



[1] . Pembahasan yang diketengahkan di sini lebih banyak lewat pendekatan filosofis. Meskipun demikian untuk mendapatkan gambaran yang universal dari ilmu Ilahi, penting untuk menyiratkan pandangan para filosof.

[2] . Dalam pandangan sebagian teolog, ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya merupakan ilmu hushuli. Rujuk: Assiwari, Irshâd ath-Thâlibin, hal. 20.

[3] . Basith adalah sesuatu yang tidak memiliki bagian-bagian dan dimensi-dimensi, basit merupakan lawan dari murakkab (memiliki bagian-bagian dan dimensi-dimensi).

[4] . Tajarrud adalah tidak berhubungan dengan materi dan hukum-hukumnya, seperti jiwa dan akal yang bukan materi dan tidak terpengaruh oleh hukm-hukum materi.

[5] .Rujuk: Ibrahim Dinani Ghulam Husein; Qawâid Kulli Falsafi dar Falsafe-ye Islam, jilid 3, hal. 345-351.

[6]. Perbedaan dari dua hal ini adalah konklusi argumen keteraturan dimana pembuktian bahwa Khalik Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, akan tetapi di sini sifat kemakhlukan alam dan kepenciptaan Tuhan berada dalam cakupan pembuktian sifat ilmu untuk-Nya.

[7] . Termasuk tetesan-tetesan hujan, akar-akar pepohonan, harta karun, dan barang tambang, hewan-hewan bawah tanah, sumber air panas yang memancar dari dalam bumi, para malaikat yang turun-naik, awan, para burung, cahaya langit, dan ratusan hal-hal lainnya.

[8] . Rujuk pula: Qs. al-An'am (6): 3 dan At-Taubah (9): 78.

[9] . Riwayat-riwayat ini terdapat pada tafsir-tafsir riwayat, seperti Nur ats-Tsaqalain, dan tafsir Burhân. Rujuk pula: Suyuti, ad-Darul Mantsur fii at-Tafsir bi al-Ma'tsur, jilid 5, hal 169 dan seterusnya; dan al-Huwaizi, Nur ats-Tsaqalain, jilid 4, hal. 218 dan seterusnya.

[10] . Nahjul Balâghah, khutbah 152.

[11] . Ushul Kâi, jilid 1, hal. 107.

[12] . Nahjul Balâghh, khutbah 197.

[13] . Syeikh Shaduq, At-Tauhid, bab kesepuluh, hadits pertama.

[14] . Ibid, bab kesepuluh, hadits ke 15. Istilah "Ilmu Khusus" digunakan pula pada riwayat sebelumnya, yaitu hadits ke 14 dari bab yang sama.

[15] . Nahjul Balaghah, khutbah 152.