Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [5]

0 Pendapat 00.0 / 5


Hidup, Azali dan Abadi

Sifat Hidup Tuhan

Salah satu sifat Tuhan menurut para teolog adalah sifat hidup. Penafsiran tentang sifat hidup bagi Tuhan, terjadi perbedaan pendapat di antara para teolog dalam penjelasan makna dan persoalan bahwa apakah sifat ini adalah positif atau negatif.

Berpijak pada sifat hidup yang terdapat pada sebagian makhluk Tuhan, di antaranya pada makhluk-makhluk natural seperti manusia dan hewan, maka pada tahapan awal, kita akan melihat hakikat hidup yang ada pada makhluk-makhluk ini, setelah itu kita akan melangkah pada pemaknaan sifat hidup Tuhan.



Kehidupan Maujud-Maujud Natural

Ketika kita mengamati kondisi makhluk-makhluk hidup, maka kita akan menemukan adanya keistimewaan yang menyebabkan sifat hidup ini bisa dinisbahkan kepada mereka. Menurut para teolog, keistimewaan-keistimewaan ini akan kembali pada dua sifat asli yaitu "perbuatan yang memiliki kehendak"[1] dan "ilmu". Dari sini dikatakan, makhluk hidup adalah sebuah makhluk yang memiliki tahapan aktifitas yang berkehendak dan berilmu; oleh karena itu, benda-benda tertentu disebut “tidak hidup” karena secara lahiriah tidak berilmu dan tidak aktif (tidak berkehendak), seperti batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan.

Tentu saja dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, apakah batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan memiliki kehidupan ataukah tidak, selisih pendapat ini bersumber dari adanya kemungkinan bahwa batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan berada pada tahapan terendah dari ilmu, kehendak, dan perbuatan. Wal hasil, dengan memperhatikan definisi hidup yang diungkapkan oleh para teolog, minimalnya, hewan dan manusia digolongkan ke dalam makhluk hidup. Di sini harus kita perhatikan dua poin penting berikut ini:

1. Hidup pada makhluk-makhluk natural seperti hewan dan manusia senantiasa diiringi dengan pertumbuhan, makan, regenerasi, pergerakan, perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan sebagainya; sebagian ini merupakan tanda-tanda kehidupan bagi mereka, tapi jangan disimpulkan bahwa tanda-tanda tersebut sebagai tanda dari kehidupan mutlak, demikian juga jangan menganggap bahwa hidup, secara mutlak dan pada setiap tempat, senantiasa mengharuskan kondisi dan keadaan semacam itu. Pada hakikatnya, hal-hal di atas hanya sebagai kelaziman makhluk hidup di alam natural. Pensifatan hidup pada makhluk-makhluk di alam metafisika tak meniscayakan sifat-sifat tersebut, seperti pertumbuhan, makan, regenerasi.
2. Merujukkan sifat hidup kepada dua sifat asli yakni ilmu dan kehendak bukan berarti bahwa hidup adalah suatu sifat yang terkomposisi dari dua sifat asli tersebut, karena ini berarti bahwa hidup hanya sebagai kata dan makna yang nisbi dan di alam luar tak terwujud sesuatupun selain ilmu dan kehendak. Hidup adalah kesempurnaan eksistensial yang jika sebuah maujud memilikinya maka pasti bisa meraih ilmu, kodrat, kehendak, dan perbuatan. Maka dari itu, hidup yang didefinisikan secara umum sebagai ilmu dan perbuatan pada prinsipnya adalah pendefinisian yang didasarkan pada kemestian makna hidup itu sendiri.

Setelah kita mengetahui makna umum hidup menurut para teolog, tiba saatnya menjelaskan tentang makna hidup Tuhan.



Makna Hidup Tuhan

Sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya, para teolog Islam berselisih pendapat tentang makna dan kedudukan sifat hidup bagi Tuhan. Aliran teologi Asy'ariyah, berpandangan adanya sifat tetap yang tertambah pada dzat Tuhan dan menyepakati bahwa hidup merupakan sifat tetap yang berada di luar dzat Tuhan, dengan berpijak pada pandangan ini maka dzat Tuhan disifatkan dengan ilmu dan kodrat bukan dengan sifat hidup.

Mereka yang memungkiri perubahan sifat dan dzat Ilahi, mendefinisikan lain sifat hidup Ilahi ini dan mengatakan bahwa maksud dari Hidup Tuhan adalah Kekuasaan dan Keilmuan-Nya tidaklah mustahil.[2]

Dengan tidak memperhatikan adanya perbedaan pandangan dalam sifat hidup ini, bisa dikatakan bahwa hidup merupakan salah satu sifat tetap bagi dzat yang menyatu dengan dzat Ilahi. Makna Hidup Tuhan adalah bahwa wujud-Nya mengharuskan memiliki kesempurnaan khusus, yang dengannya kemudian disifati dengan ilmu, kodrat dan perbuatan. Tentunya, esensi Tuhan jauh dari segala bentuk persyaratan hidup sebagaimana yang terdapat pada maujud-maujud natural, seperti pertumbuhan, makan, dan sebagainya, karena persyaratan ini bukan persyaratan mutlak bagi kehidupan.

Dengan memperhatikan bahwa ilmu dan kodrat merupakan sifat Tuhan dan hubungan keduanya dengan sifat hidup, maka jelas bahwa hidup Tuhan juga merupakan sifat dzati dan esensial, dan ini berlawanan dengan sifat hidup bagi makhluk-makhluk natural yang bersifat aksidental dan berada di luar dzat mereka.



Argumen Tentang Hidup Tuhan

Selain argumen umum tentang pensifatan Tuhan dan seluruh sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya, para teolog memaparkan juga argumen untuk membuktikan sifat Hidup Tuhan. Argumen sederhana yang bisa dirujuk adalah argumentasi yang berpijak pada ilmu, kodrat, dan perbuatan Tuhan.

Sebagaimana telah kami katakan bahwa ilmu, kodrat dan aktifitas merupakan persyaratan dan petunjuk kehidupan, dan dengan menilik pada pembahasan sebelumnya dimana ilmu dan kodrat Tuhan telah dibuktikan, maka pensifatan esensi-Nya dengan hidup menjadi terbukti. Syeikh Thusi memberikan ungkapan yang indah untuk menjelaskan argumen ini, berkata, "Dan setiap realitas yang memiliki kodrat dan berilmu, pasti hidup."



Hidup Tuhan Menurut Al-Qur’an dan Hadis

Al-Qur'an pada sebagian ayatnya mensifati Tuhan dengan sifat al-hayy. Surah al-Baqarah (2) ayat 255 dan al-Imran (3) ayat 2, Allah Swt berfirman, "Allah, tiada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal". Dalam surah Ghafir (20) ayat 65, berfirman, "Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia, maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam."

Dengan menilik ayat sebelumnya, terlihat bahwa ayat ini menunjukkan adanya perkecualian sifat hidup bagi Tuhan dan menjelaskan bahwa hidup yang hakiki hanyalah milik-Nya. Dengan mempertimbangkan adanya tahapan yang rendah dari kehidupan makhluk, al-Qur'an menyebut Tuhan sebagai Pemberi Kehidupan, jadi secara lahiriah maksud dari pengecualian sifat tersebut adalah bahwa hanya Tuhan yang mempunyai kehidupan yang esensial, abadi, kekal dan tak mengalami perubahan, hal ini ditegaskan pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman, "Dan bertawakkallah pada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati." (Qs. al-Furqan [25]: 58)

Al-Qur'an pada ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan Maha Hidup dan tidak akan mengalami kefanaan dan kematian, karena sifat hidup merupakan substansi dan esensi Tuhan. Dari sinilah manusia layak pasrah kepada-Nya, karena kepasrahan manusia kepada Sesuatu yang tidak akan pernah berubah dan tidak mengalami degradasi akan menyebabkan mereka tidak sedikitpun memiliki rasa takut dan ngeri.

Poin lain yang bisa disimpulkan dari ayat-ayat di atas adalah penyebutan hayyu dan qayyum yang disebutkan secara beriringan, ini sepertinya menunjukkan bahwa komposisi dua sifat ini adalah sifat-sifat sempurna-Nya, karena pensifatan hayyu selain menunjukkan pada kehidupan esensial juga menunjukkan ilmu dan kodrat-Nya yang tak terbatas, yang hal ini merupakan salah satu sifat esensial terpenting yang dimiliki-Nya, demikian juga pensifatan qayyum (yang artinya adalah seluruh eksistensi selain-Nya membutuhkan dan bersandar pada-Nya) merupakan dasar dari seluruh sifat aktual Tuhan. Maka dari itu, pengucapan zikir "Ya hayyu, Ya qayyum" merupakan salah satu zikir universal.

Amirul Mukminin Ali As, dalam salah satu khutbah mulianya, menegaskan bahwa tujuan makrifat manusia adalah mengagungkan Tuhan yang dilandasi atas makrifat terhadap dua sifat hayyu dan qayyum-Nya, dengan sabda, "Kita tidak mengetahui hakikat keagungan-Mu kecuali kita memahami bahwa Engkau lah hayyu dan qayyum yang tidak pernah lengah dan tidur.[3]

Pada sebagian hadis juga tersirat tentang hakikat hidup Tuhan dan perbedaannya dengan kehidupan semua makhluk, di sini kami akan menyajikan salah satu hadis yang bermakna sangat dalam dari Imam Kadzhim As, bersabda, "Allah adalah Hidup, dan hidup-Nya tidak terwujud kemudian dan tidak mempunyai wujud mandiri yang mencakup semua sifat, hidup-Nya tidak terbatas dan tidak bertempat sehingga bisa disinggahi atau di tinggali, akan tetapi hidup-Nya bersifat esensial."[4]

Tidak diragukan, perkataan Imam As dalam hadis tersebut mengandung hal-hal yang sangat mendetail dan mendalam hingga tidak bisa kita ungkap secara sempurna.

Dari riwayat tersebut bisa disimpulkan sebagai berikut:

a. Berlawanan dengan hidupnya semua makhluk, hidup Tuhan, bukan hidup kontingen atau temporal melainkan hidup yang mengikuti keabadian dzat Tuhan, karena hidup-Nya menyatu dengan dzat itu sendiri, maka hidup Tuhan adalah eternal (qadim) dan abadi.

b. Hidup Tuhan tidak mempunyai wujud mandiri yang terpisah dari dzat sehingga bisa disifati dengan sebuah sifat (karena wujud mandiri bisa disifatkan), oleh karena itu, secara lahiriah ibarat wa lâ kaunun mausufun (bukan sesuatu yang mandiri yang tersifati) menyiratkan pada penolakan pendapat (Asy'ariyah) tentang perbedaan sifat-sifat dzat dengan dzat Tuhan.

c. Hidup Tuhan tidak berada di bawah kategori kualitas (salah satu kategori aksiden) sehingga menjadi terbatas, karena kualitas khusus akan menyebabkan terbatasnya sesuatu, demikian juga Hidup Ilahi ini tidak mempunyai relasi khusus dengan tempat dan tidak pula menetap pada satu tempat.

d. Dengan demikian jelaslah bahwa hidup Tuhan adalah hidup yang esensial (bukan aksidental) dan eternal (qadim, pre-existent) sehingga tidak sedikitpun mempunyai keserupaan dengan kehidupan semua makhluk materi dan non materi.



Keazalian dan Keabadian Tuhan

Sifat lain yang tetap dan sempurna yang dimiliki Tuhan adalah sifat azali dan abadi. Pandangan umum para teolog bahwa Tuhan merupakan sebuah realitas yang azali dengan arti bahwa Dia telah ada "sejak awal" dan tidak ada suatu "masa" sebelumnya dimana Tuhan tidak berwujud. Pada sisi lain, Tuhan juga merupakan realitas yang abadi yaitu pada "masa mendatang" Dia tidak akan pernah tiada atau punah.

Dengan kata lain, baik pada "masa lampau" maupun "masa mendatang" Tuhan tidak akan pernah tiada yaitu senantiasa berwujud. Hal ini secara detail akan disajikan pada pembahasan mendatang.

Bisa dikatakan, selain penggunaan kata azali dan abadi, biasa juga digunakan kata qadim (eternal) dan bâqi (the continuant, kekal). Selain empat kosa kata tersebut, digunakan juga istilah sarmadi (eternal, sempiternal) yang para teolog mengartikannya sebagai sifat yang terkomposisi dari dua sifat azali dan abadi; dan berdasarkan hal ini, realitas eternal adalah suatu realitas yang senantiasa ada pada setiap "masa" baik "masa lampau", "masa kini" maupun "masa mendatang".



Interpretasi Keazalian dan Keabadian Ilahi

Para teolog Islam memiliki dua perbedaan pandangan dan interpretasi tentang keazalian dan keabadian Tuhan. Pada interpretasi awal dikatakan bahwa Tuhan ada pada setiap masa. Dia ada pada masa lampau, sekarang dan masa mendatang. Interpretasi ini memiliki makna bahwa Tuhan adalah suatu realitas yang berada pada zaman dan terbatas pada zaman. Sementara interpretasi kedua dikatakan bahwa Tuhan lebih luas dari zaman, Dia meliputi dan mencipta zaman. Berdasarkan pandangan kedua ini, maka pernyataan bahwa Tuhan senantiasa ada pada masa lampau atau masa mendatang merupakan sebuah ungkapan yang batil.

Meskipun masyarakat umum dan bahkan sebagian para teolog Islam sendiri menganut interpretasi pertama tentang keazalian dan keabadian Tuhan, tetapi interpretasi kedualah yang benar, karena kemutlakan wujud Tuhan bermakna bahwa dzat Tuhan sama sekali tidak terbatasi oleh syarat, kondisi, dan zaman. Pada prinsipnya, zaman merupakan sebagian dari kekhususan dan syarat bagi maujud-maujud materi dan sesuatu bergerak, sedangkan dzat Tuhan suci dari gerak dan materi.

Oleh karena itu, pandangan tentang keabadian Tuhan harus kita maknakan bahwa dzat Tuhan di atas zaman, meliputi realitas zaman, dan senantiasa berwujud. Tentu saja selama kita masih dikekang oleh zaman yang ada di alam tabiat ini maka sangat sulit bagi kita untuk menggambarkan adanya sebuah realitas trans zaman dan sebuah realitas yang tidak dipengaruhi oleh masa lampau, masa kini dan masa mendatang.



Argumen Keazalian dan Keabadian Tuhan

Salah satu argumen sederhana berkaitan dengan masalah ini adalah argumen yang bersandar pada keniscayaan wujud Tuhan (wajib al-wujud-nya Tuhan). Pembahasan sebelumnya telah jelas bahwa Tuhan adalah Wajib al-Wujud dimana keberadaan bagi-Nya adalah niscaya dan ketiadaan bagi dzat-Nya adalah mustahil, oleh karena itu, kemestian wujud dzat Ilahi mengharuskan kemustahilan ketiadaan wujud-Nya dalam segala bentuk asumsi. Hal ini bermakna bahwa dzat Tuhan tidak didahului dengan ketiadaan dan ketiadaan tidak pula menyentuh-Nya, dan ini tidak lain adalah keazalian dan keabadian Tuhan itu sendiri. Khawjah Nashiruddin Thusi menyiratkan argumentasi ini dengan ungkapan yang pendek, "Dan Wajib al-Wujud menunjukkan akan keabadian Nya."[5]

Poin lain yang bisa disimpulkan dari argumentasi ini adalah bahwa keazalian dan keabadian dengan makna di atas merupakan dua makna yang saling meniscayakan, apabila suatu wujud adalah azali maka niscaya wujud tersebut juga abadi.

Selain argumen di atas, para teolog juga memaparkan argumen lain yang tidak di bahas pada kesempatan ini.[6]



Keazalian dan Keabadian Tuhan dalam Al-Qu’ran dan Hadis

Al-Qur’an tidak menggunakan kedua istilah di atas yaitu azali dan abadi Tuhan, melainkan memakai istilah yang lain. Sebagai contoh, al-Qur'an terkadang menyebut Tuhan dengan Yang Awal dan Yang Akhir.

Para mufassir dalam menafsirkan dua sifat awal dan akhir ini memaparkan beberapa asumsi, akan tetapi secara lahiriah maksud dari kedua sifat tersebut identik dengan apa yang dimaksudkan dalam makna azali dan abadi, makna tersebut ditegaskan pula dalam beberapa riwayat, sebagai contoh, Imam Ali As dalam khutbahnya bersabda, "Tuhan adalah Yang Awal yang tidak didahului oleh sesuatu sebelum-Nya, dan Dia adalah Yang Akhir yang tidak diakhiri oleh sesuatu setelah-Nya."[7]

Dalam hadis lain kita temukan pula perkataan Imam Sadiq As yang bersabda, "Dia adalah Yang Awal tanpa ada sesuatu sebelum-Nya dan Dia Yang Akhir tanpa Dia sendiri berakhir, Dia senantiasa hadir tanpa berawal dan berakhir."[8]

Dengan memperhatikan hadis-hadis di atas, jelas bahwa maksud dari Yang Awal dan Yang Akhir pada wujud Tuhan bukan hanya mengartikan bahwa Tuhan merupakan realitas yang pertama dan terakhir, karena makna ini tidak akan mengarah pada keazalian dan keabadian Tuhan, gagasan semacam ini bisa menggambarkan bahwa Tuhan terwujud sebelum semua realitas ada dan Dia akan tiada setelah semua realitas berakhir. Akan tetapi maksud dari Awal dan Akhir-nya Tuhan adalah bahwa tidak ada sesuatu sebelum dan sesudah-Nya yang bisa digambarkan, tidak ada yang mendahului maupun yang mengakhiri-Nya dan wujud-Nya tidak didahului oleh sesuatu sebelum-Nya dan tidak akan meniada.

Sebagian dari ayat al-Qur’an menegaskan pula akan keabadian dan ketidakfanaan Tuhan. Dalam surah ar-Rahman (55) ayat 26-27, Allah berfirman, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan akan tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan". Demikian juga dalam surah al-Qashash ayat 88, berfirman, "Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah."

Menurut para mufassir, maksud kalimat "wajhahu" (wajah Tuhan) pada ayat ini tak lain adalah dzat Ilahi, dan berdasarkan hal ini, ayat-ayat di atas masing-masing menegaskan keabadian dan kekekalan Tuhan.



[1] . Terkadang "aktifitas" disebut juga dengan sifat "kodrat", dimana pada hakikatnya merupakan sumber dari aktifitas, dari dasar ini dikatakan bahwa "makhluk hidup adalah makhluk yang berilmu dan berkuasa".

[2] .Irshâd at-Thâlibiin, hal. 201.

[3] . Nahjul Balâghah, khutbah 160.

[4] . Syeikh Shaduq, Kitab at-Tauhid, bab 11, hadis 6.

[5] . Nashiruddin Thusi, Kasyf al Murâd, hal. 315.

[6] . Rujuk: 'Allamah Hilly, Minhâj al-Yaqiin, hal. 179.

[7] . Nahjul Balâghah, khutbah ke 91.

[8] . Ushul Kâfi, jilid 1, bab ma'âni al-asma, hadits 6.