Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [6]

0 Pendapat 00.0 / 5


Kehendak dan Iradah Tuhan


Iradah dan kehendak, merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Tuhan yang mendapatkan perhatian lebih khusus dari sifat-sifat lainnya. Meskipun para teolog Islam secara umum bersepakat dalam pensifatan Tuhan dengan kehendak, tetapi terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam penjabaran sifat ini dan pada sebagian hukum-hukumnya. Sebagian pertanyaan-pertanyaan penting yang berkaitan dengan masalah ini antara lain:

1. Apa definisi yang tepat untuk kehendak Ilahi?
2. Apakah kehendak merupakan sifat dzat ataukah sifat perbuatan Tuhan?
3. Apakah kehendak Tuhan eternal (qadîm) ataukah temporal (hâdits, creatable)?
4. Apa perbedaan pengertian kehendak (irâdah) dengan ikhtiar atau kemauan (masyiyat)?

Selain teolog, para filosof Islami pun melakukan kajian tentang hakikat iradah Ilahi ini. Di sini, pandangan filosof tidak diuraikan karena bisa menambah keraguan dan kerumitan pembahasan kita ini. Kami hanya akan menganalisa iradah Ilahi sesuai dengan tingkat pembahasan pada tulisan ini, dan kami akan berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.



Hakikat Iradah Manusia

Manusia ketika melakukan aktifitas yang ikhtiari akan menemukan sebuah keadaan yang internal pada dirinya, keadaan ini disebut dengan iradah. Kondisi internal ini merupakan sebuah keadaan jiwa yang serupa dengan seluruh keadaan internal lainnya, hal ini bisa difahami dengan ilmu hudhuri. Akan tetapi, kehadiran ilmu ini terhadap kondisi internal ini tidak bermakna bahwa pembuktiannya dalam tataran pemahaman pikiran (ilmu husuli) adalah perkara yang mudah, dan hal inilah yang menyebabkan perbedaan definisi pada iradah manusia.

Sebagian orang mengatakan bahwa iradah identik dengan keyakinan terhadap keuntungan sebuah aktifitas. Sebelum kita melakukan sebuah aktifitas, pasti terlebih dahulu membenarkan manfaatnya, dan hal tersebut tak lain merupakan iradah kita untuk melaksanakan aktifitas tersebut. Kadang kala pembenaran ini disebut dengan motivasi. Oleh karena itu, berdasarkan interpretasi di atas iradah tak lain adalah motivasi kita melakukan aktifitas.

Sementara kelompok lain berpendapat bahwa iradah bukan motivasi dan hanya dengan keyakinan terhadap manfaat aktifitas, bukanlah indikasi iradah melakukan aktifitas tersebut. Dalam hal ini juga terdapat perbedaan pendapat. Berdasarkan satu pandangan, selain terdapat keyakinan terhadap manfaat aktifitas, terdapat pula hasrat dan keinginan jiwa untuk melakukan aktifitas tersebut, dan hasrat ini tak lain adalah iradah itu sendiri. Terkadang iradah disebut juga sebagai kecenderungan kita melakukan aktifitas, dan sikap menghindar yang merupakan lawan dari iradah merupakan kecenderungan kita meninggalkan perbuatan. Menurut pandangan lainnya, iradah berbeda dengan hasrat dan kecenderungan melakukan aktifitas. Iradah merupakan sebuah keadaan jiwa yang dihasilkan setelah adanya ilmu tentang manfaat aktifitas sebelum melakukannya, yang hal ini menyebabkannya memilih untuk melakukan aktifitas tersebut daripada meninggalkannya.

Masing-masing pandangan di atas memiliki argumen, dan di sini kita tidak membahasnya[1]. Poin penting dalam hal ini adalah bahwa kita tidak bisa menisbahkan makna iradah untuk manusia ini kepada Tuhan, tanpa menghapus dimensi kelemahan, keterbatasan, dan karakter-karakter makhluk. Sebagai contoh, iradah manusia adalah bersifat aksiden pada jiwa manusia. Jelaslah bahwa sifat yang demikian ini tidak pantas bila dinisbahkan kepada Tuhan, karena dzat Tuhan suci dari segala perubahan dan aksiden.



Pendapat Teolog tentang Hakikat Iradah Tuhan

Sebagaimana disinggung bahwa terdapat keragaman pendapat dari para teolog dan filosof tentang Iradah Ilahi. Di bawah ini akan disajikan secara ringkas sebagian pendapat mereka:



1. Makna iradah Ilahi adalah Tuhan melakukan perbuatan-Nya tanpa paksaan dan ancaman. Oleh karena itu, maksud dari kehendak Tuhan adalah tidak adanya paksaan dan ancaman dalam perbuatan-Nya.[2]

2. Iradah Ilahi merupakan aktualisasi dari kodrat Tuhan.[3]

3. Iradah Ilahi sebagai sifat dzat merupakan kecintaan Tuhan terhadap dzat dan kesempurnaan-Nya sendiri; dan sebagai sifat perbuatan, iradah Tuhan adalah keridhaan-Nya terhadap lahirnya sebuah perbuatan.

4. Iradah Tuhan identik dengan ilmu-Nya terhadap sistem yang terbaik.

Filosof mendefinisikan iradah Tuhan sebagai salah satu sifat dzat Tuhan, iradah-Nya identik dengan ilmu Tuhan terhadap sistem terbaik bagi seluruh alam. Ilmu Tuhan ini merupakan mata rantai awal dari silsilah sebab-akibat perwujudan alam dan juga sebagai dasar penciptaan semua makhluk.

5. Iradah Tuhan adalah merupakan kemandirian dan kebebasan dzati-Nya.Tuhan secara esensial adalah Pelaku yang bebas dan iradah-Nya tak lain adalah kebebasan-Nya sendiri. Meskipun ikhtiar-Nya bisa ditafsirkan sebagai ketakterpaksaan, tidak akan mengubah posisi sifat iradah (yang setara dengan kebebasan esensial-Nya) tersebut, sebagaimana ilmu yang didefinisikan sebagai ketidakjahilan tidak mengubah hakikat sifat ilmu.[4]



Iradah Dzat dan Iradah Perbuatan

Apakah iradah merupakan sifat dzat Tuhan ataukah sifat perbuatan-Nya? Menjawab persoalan ini akan menjadi penting ketika kita melihat definisi di atas, dimana sebagiannya hanya memberikan sudut pandang pada iradah dzat (definisi keempat), sebagian lain pada iradah perbuatan (definisi kedua), dan sebagiannya lagi memandang bahwa iradah meliputi dzat dan perbuatan (definisi ketiga). Oleh karena itu, sebelum kita menganalisa definisi-definisi tersebut secara mendetail, ada baiknya terlebih dahulu kita menentukan bahwa apakah iradah Ilahi ini tergolong ke dalam sifat dzat ataukah sifat perbuatan.

Banyak teolog dan filosof Islam menganggap bahwa iradah dzat setara dengan ilmu Tuhan terhadap sistem yang terbaik. Penjelasannya bahwa Tuhan memiliki ilmu terhadap kekhususan-kekhususan sistem terbaik bagi alam, yaitu Dia mempunyai ilmu terhadap kondisi dan keadaan yang paling sempurna untuk alam; dan ilmu inilah yang menjadi iradah dzat Tuhan. Menerima pendapat ini tidak berarti telah terlepas dari problematika. Dengan menilik makna iradah dan merujuk pada pengertian leksikalnya, kita menemukan bahwa makna iradah tidak bisa disamakan dengan makna ilmu.[5] Pada sisi lain, sebagaimana yang akan kita lihat, dalam sebagian riwayat ditegaskan adanya pemisahan antara ilmu dan iradah.

Jika kita tidak menerima adanya penyetaraan antara iradah (sebagai sifat dzat) dan ilmu Tuhan terhadap sistem terbaik alam, maka penggambaran iradah Ilahi sebagai sifat dzat-Nya akan menjadi rumit, kecuali kalau kita memilih definisi kelima yaitu iradah Tuhan identik dengan kebebasan dzat-Nya, yaitu dzat Tuhan memiliki kesempurnaan eksistensial yang dengannya tak sesuatupun dapat menghalangi-Nya dan segala perbuatan-Nya lahir tanpa ancaman dan paksaan dari selain-Nya.

Dalam kaitannya dengan iradah sebagai sifat perbuatan bisa dirujukkan kepada sifat seperti cinta dan ridha. Berdasarkan hal ini, iradah Tuhan terhadap lahirnya sebuah aktifitas khusus adalah sebuah relasi antara kecintaan dan keridhaan Tuhan terhadap perwujudan aktifitas tersebut. Akan tetapi di sini mungkin terdapat masalah karena berdasarkan apa yang kita temukan di dalam diri kita, makna iradah bukanlah kecintaan dan keridhaan.

Kemungkinan lain yang bisa kita katakan adalah sifat iradah, sebagai sifat perbuatan, bersumber dari tingkatan perbuatan Tuhan yaitu penciptaan maujud-maujud itu sendiri. Penjelasan yang bisa diterima akal adalah bahwa setiap makhluk pada setiap masa, tempat, dan kualitasnya yang tertentu, senantiasa berkaitan dengan ilmu dan kecintaan Tuhan dan Tuhan menciptakan maujud-maujud tersebut dengan kehendak-Nya sendiri tanpa paksaan dari selain-Nya. Dengan demikian, sifat iradah bersumber dari relasi khusus antara Tuhan dan makhluk-Nya.

Terdapat pendapat lain yang mengatakan, sifat iradah (sebagai sifat perbuatan) berasal dari hubungan antara Tuhan dan perbuatan-Nya yang memiliki sebab (‘illah) sempurna. Dengan demikian, setiap kali terdapat relasi perbuatan yang mempunyai sebab sempurna dengan dzat Tuhan, maka pasti berhubungan dengan sifat iradah, dan kita katakan bahwa Tuhan menghendaki terjadinya perbuatan tersebut.



Iradah Tuhan: Temporal (Huduts) atau Eternal (Qidam)

Menurut Asy’ariyah, iradah merupakan sifat tambahan pada dzat Tuhan dan sifat ini eternal sebagaimana dzat-Nya. Sementara kelompok lain, berpandangan bahwa sifat iradah Tuhan adalah temporal dan tercipta, akan tetapi di antara mereka juga berbeda pendapat seputar masalah ketemporalan sifat itu.[6]

Dengan memperhatikan penjelasan tentang iradah dzat dan perbuatan, bisa dikatakan bahwa iradah dzat identik dengan dzat Tuhan, oleh karena itu, sebagaimana sifat dzat yang mengikuti keeternalan dzat, sifat iradah adalah eternal. Akan tetapi apabila pembahasan berfokus pada iradah perbuatan, karena ia muncul dari relasi antara dzat Tuhan dan perbuatan-Nya, dimana perbuatan-Nya bersifat temporal maka sifat iradah pun merupakan hal yang temporal. Tentu saja sebagaimana yang telah kami katakan dalam pembahasan perbedaan antara sifat-sifat dzat dan perbuatan, sumber kemunculan sifat perbuatan bukanlah dari dzat Tuhan melainkan bersumber dari perbuatan itu sendiri.



Iradah, Ikhtiar, dan Keinginan (Masyiyat)

Selain sifat iradah, Tuhan juga disifati dengan sifat berkeinginan dan ikhtiar. Setarakah ketiga sifat ini ataukah masing-masing mempunyai makna mandiri dan berbeda? Dikatakan bahwa tentang tidak ada perbedaan antara iradah dan keinginan, yaitu bahwa keduanya mempunyai makna yang sama. Akan tetapi, menurut sebagian teolog terdapat perbedaan antara keduanya. Sebagai contoh, orang yang mengatakan bahwa iradah sebagai ilmu tentang kemaslahatan atau ketakmaslahatan suatu pekerjaan dan keinginan sebagai kemauan untuk melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan"; suatu kemauan yang bersandar pada ilmu terhadap kemaslahatan dan ketakmaslahatan[7]. Demikian pula dikatakan bahwa yang berhubungan dengan keinginan adalah kuiditas akibat (ma’lul) sedangkan iradah berhubungan dengan wujud akibat.[8]

Dari sebagian tafsir iradah (sebagai sifat dzat), dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara iradah dan ikhtiar, dan hakikat iradah adalah ikhtiar Tuhan itu sendiri. Berdasarkan pendapat yang lain, definisi ikhtiar adalah melakukan suatu pekerjaan dengan dasar ilmu, kehendak, iradah, dan kodrat; dan sifat ikhtiar muncul dari hubungan antara pelaku dan perbuatan.



Argumen Para Teolog atas Iradah Tuhan

Konklusi salah satu argumentasi termasyhur para teolog atas iradah Tuhan adalah sebagian dari perbuatan Tuhan akan terwujud pada waktu tertentu, misalnya kita melihat sebuah eksistensi yang tercipta pada masa tertentu dan sebelum masa itu eksistensi tersebut tiada. Pada sisi yang lain, pengkhususan aktifitas semacam ini pada masa-masa tertentu membutuhkan pengada. Maksud dari pengada di sini adalah pelaku yang menjadi penyebab munculnya perbuatan tertentu pada masa tertentu (tidak lebih cepat dan tidak terlambat). Dengan mengamati persoalan kodrat dan ilmu Tuhan menjadi jelas bahwa sesuatu tersebut tidak memiliki kelayakan sebagai pengada. Misalnya, keterkaitan kodrat dengan keseluruhan masa adalah sama dan mustahil Tuhan pada masa tertentu mampu melakukan perbuatan dan pada masa lainnya tidak mampu melakukannya. Hal inipun berlaku pada Ilmu Tuhan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengada lain selain kodrat dan ilmu, dan pengada itu tidak lain adalah iradah.



Iradah Takwini dan Tasyri'i

Iradah yang telah dibincangkan merupakan iradah takwini Tuhan. Selain jenis iradah ini, para teolog menyepakati adanya iradah tasyri'i Tuhan, yang hal ini berpijak pada perbuatan khas manusia. Hubungan iradah tasyri'i (yang berlawanan dengan iradah takwini) dengan sebagian perbuatan menjadi sumber lahirnya hukum wajib, dan kaitan iradah tasyri'i dengan perbuatan lainnya menjadi faktor munculnya hukum makruh dan haram. Oleh karena itu, iradah perbuatan dan takwini Tuhan merupakan sumber perwujudan segala eksistensi, dengan kata lain, iradah takwini bersumber dari relasi khusus Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya, sementara sumber iradah tasyri'i dari hubungan khas antara Tuhan dengan sebagian perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia.



Iradah Tuhan Menurut Al-Qur'an dan Riwayat

Iradah berasal dari akar kata raud yang dalam makna aslinya adalah datang dan pergi dengan sikap lembut dalam pencarian sesuatu. Makna kata ini tersusun dari tiga unsur: keinginan terhadap sesuatu yang diikuti dengan kecintaan, harapan akan keberhasilannya dan motivasi dalam melakukannya baik dari diri sendiri atau dari selainnya. Kehendak pun menurut sebagian besar kamus semakna iradah, akan tetapi dalam pandangan sebagian mereka[9], kehendak merupakan sebuah kecenderungan yang lahir setelah penggambaran dan pembenaran, dan setelah itu muncul keinginan kuat dan iradah.

Meskipun dalam al-Qur'an dua sifat iradah dan kehendak ini tidak dinisbahkan kepada Tuhan dalam bentuk kata pelaku, akan tetapi dalam beberapa ayat yang kaitannya dengan masalah Tuhan digunakan bentuk kata kerja dari dua kata dasar ini.

Pada sebagian ayat al-Qur'an dijelaskan bahwa iradah dan kehendak takwini Tuhan berpengaruh di semua aspek dan suatu perbuatan yang berkaitan dengan iradah-Nya pasti terwujud tanpa syarat dan batasan, Allah berfirman, "Ketika Kami menghendaki sesuatu, Kami hanya akan mengatakan kepadanya kun (jadilah), maka jadilah ia."(Qs. An-Nahl: 40)[10]

Tentunya, yang dimaksud dengan Tuhan mengatakan "kun (jadilah)" pada sesuatu, bukanlah perkataan lisan (sebagaimana perkataan lisan manusia yang terkadang berbeda dengan kenyataan luar dan perbuatannya), melainkan ungkapan yang berarti bahwa mustahil iradah Tuhan tidak terwujud, walau berjarak sedetikpun.

Pada sebagian ayat dikatakan pula tentang keuniversalan dan ketakterbatasan kehendak Tuhan: "Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. An-Nuur: 45).

Demikian juga, al-Qur'an al-Karim menegaskan bahwa tidak ada satupun maujud yang mampu menentang iradah takwini Tuhan dan menghalangi perwujudannya, hal ini merupakan ungkapan lain atas ketakterbatasan iradah Ilahi, Tuhan berfirman, "Katakanlah: "Maka siapakah yang mampu menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al-Fath: 11)

Tentu saja sebagaimana akan dibahas dalam hikmah Ilahi, keuniversalan iradah dan kehendak Ilahi bukanlah bermakna bahwa iradah berhubungan dengan semua perbuatan termasuk hal-hal yang buruk, tercela dan sia-sia; Hikmah-Nya mengharuskan Tuhan berkehendak hanya pada perbuatan yang mengandung hikmah dan kemaslahatan bagi makhluk-makhluk-Nya.

Sebagian ayat-ayat al-Qur'an mengisyaratkan pula tentang iradah tasyri'i Tuhan, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 185 difirmankan, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu."

Setelah pada awal ayat ini Tuhan menjelaskan tentang hukum puasa Ramadhan dan menegaskan bahwa mereka yang dalam perjalanan atau sedang sakit akan memperoleh pengecualian hukum, dilanjutkan bahwa iradah tasyri'i Tuhan berkaitan dengan penetapan sebuah hukum yang menjamin kemudahan bagi manusia dan bukan menyebabkan kesulitan mereka.

Demikian juga, setelah mengungkapkan sebagian hukum-hukum Ilahi, dalam surah al-Maidah ayat 1, Tuhan berfirman, "Allah menetapkan hukum-hukum sesuai dengan yang dikehendaki Nya."

Selain al-Qur'an, terdapat riwayat Ahlulbait yang menjelaskan iradah Ilahi ini. Yang perlu diperhatikan di sini adalah kebanyakan riwayat ini memperlihatkan iradah perbuatan Tuhan; Dan sebagiannya menolak iradah sebagai sifat eternal yang tertambah pada dzat-Nya. Misalnya, terdapat hadis dimana perawi bertanya kepada Imam As, "Apakah Allah memiliki iradah sejak awal?" Imam As bersabda, "Sesungguhnya yang beriradah tidak ada kecuali apa yang dikehendaki ada bersamanya. Sejak awal Tuhan Berilmu dan memiliki kodrat, setelah itu Dia berkehendak."[11]

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam As di dalam hadis itu bahwa iradah perbuatan Tuhan tidak azali dan eternal. Mungkin maksud perkataan Imam As ini adalah bahwa sifat-sifat perbuatan, sebagaimana iradah, merupakan hubungan antara Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya, atau dengan kata lain, iradah ini berasal dari perbuatan Tuhan dan karena perbuatan-Nya adalah aksiden, maka mustahil sifat-sifat perbuatan-Nya adalah eternal.

Hadis lain yang dinukil dari Imam Ridha As, selain hadis ini menjelaskan tentang hakikat iradah perbuatan Tuhan, di dalamnya dijelaskan pula tentang perbedaan iradah Tuhan dengan iradah manusia serta kesucian iradah-Nya dari keterbatasan sebagaimana iradah manusia. Imam bersabda, "Iradah makhluk merupakan keputusan jiwa yang disertai dengan perbuatan, akan tetapi iradah Tuhan hanya bermakna penciptaan". Tuhan tidak berfikir terlebih dahulu dan tidak pula mengambil keputusan, sifat semacam ini ternafikan dari-Nya, karena semua itu merupakan sifat-sifat makhluk. Jadi, iradah Tuhan adalah perbuatan Tuhan itu sendiri. Tuhan berfirman "Kun (jadilah)" maka apa yang dikehendaki-Nya niscaya terwujud tanpa membutuhkan kata-kata, lisan, keputusan, dan pertimbangan; dan tidak ada kategori kualitas dalam firman-Nya, sebagaimana tidak ada kategori kualitas dalam dzat-Nya".[12]

Pada hadis lain ditegaskan tentang keaksidenan kehendak Ilahi ini, sebagai contoh diriwayatkan dari Imam Sadiq As yang bersabda, "Tuhan menciptakan kehendak untuk diri-Nya (tanpa memerlukan kehendak dari selain-Nya) dan Dia menciptakan segala sesuatu dengan kehendak-Nya."[13]

Poin menarik yang bisa disimpulkan dari hadis para Imam As adalah adanya perbedaan antara ilmu dan iradah. Imam Shadiq As kepada salah satu sahabatnya yang bertanya tentang perbedaan antara ilmu dan iradah, bersabda, "Ilmu Tuhan bukanlah kehendak-Nya. Apakah kamu tidak memperhatikan ketika kamu mengatakan: "Aku pasti melakukan suatu pekerjaan jika Tuhan menghendaki", akan tetapi kamu tidak mengatakan: "Apabila Tuhan mengetahui pekerjaan itu, maka aku pasti melakukannya", jadi perkataanmu yang mengatakan "Apabila Tuhan menghendaki" merupakan dalil bahwa hingga saat ini Dia tak menghendaki, oleh karena itu, kalau Dia berkehendak, maka apa yang Dia kehendaki pasti terwujud dan ilmu Tuhan ada sebelum Dia berkehendak".


[1] . Sebagai contoh, orang yang haus melihat dua gelas air, pasti memilih salah satunya untuk diminum, iradahnya berkaitan dengan keinginannya untuk meminum air tersebut, sedangkan ilmunya terhadap manfaat meminum air dari kedua gelas itu adalah sama. Dari sini bisa diketahui bahwa iradah bukanlah ilmu terhadap manfaat sebuah aktifitas. Rujuk pula: Manahij al-Yaqiin fii Ushuliddin, hal. 171; dan al-Mathalib al-'Aliyah, J. 3, hal. 177.

[2] .Pernyataan ini dinisbatkan kepada Najar. Kashful Murad, hal. 314 dan Irshad at-Thalibiin, hal. 205.

[3] . Al-Muhadharat (penjabaran pelajaran Ushul Ayatullah Khui), J. 2, hal. 36 dan 72.

[4] . Ja’far Subhani, Muhadharah fil Ilahiyyat, hal. 148.

[5] . 'Alamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, bab 12, pasal 13.

[6] Menurut pendapat aliran Karramiyyah, sifat iradah merupakan aksiden pada dzat Tuhan, akan tetapi menurut pendapat Abu Hisyam Jabbaai dan sebagian kalangan Mu'tazilah menganggap bahwa sifat aksiden iradah Tuhan tanpa tempat.

[7] . Abdul ar-Razaq Lahijy, Sarmo-ye Iman, hal. 48.

[8] . Asfar, J. 6, hal. 313, Ta'liqah Hakim Shirazy.

[9] .Dinukil dari Peyâm-e Qur’an, jld. 4, hal. 144 dan 145.

[10] .Lihat pula Qs. Yasin: 82.

[11]. Ushul kafi, jld. 1, hal. 109, bab iradah, hadis 1.

[12] . Ibid, hal. 109 dan 110, hadits 3.

[13] . Ibid, hal. 110, hadits 7.