Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan [8]

0 Pendapat 00.0 / 5


Sifat Benar dan Hikmah

Seiring dengan pembahasan kalam Ilahi, muncul pertanyaan tentang apakah Tuhan senantiasa benar dalam setiap perkataan-Nya ataukah ada asumsi akan kebohongan dan ketakbenaran di dalamnya? Kaum muslimin sepakat bahwa di dalam kalam Ilahi tidak terdapat ketakbenaran maupun kebohongan, dengan kata lain, perkataan bohong merupakan sebuah hal yang terlarang dan mustahil bagi Tuhan. Dengan berpijak pada hal ini, seluruh aliran-aliran Islam berpendapat bahwa shidq (benar) yang bermakna: kesesuaian antara kalam dan kenyataan. Ini merupakan salah satu sifat sempurna Tuhan.

Dengan memperhatikan sifat shidq dan kemestiannya, terlihat adanya kepentingan dan manfaat yang sangat jelas di dalamnya. Sifat ini pada hakikatnya sebagai landasan utama bagi kepercayaan manusia kepada ajakan para Nabi, karena jika ada asumsi kebohongan dan kepalsuan dalam kalam Ilahi, maka wahyu Tuhan akan kehilangan keabsahan dan manusia tidak lagi mempercayai janji-janji Tuhan dan tidak mungkin terdapat sejarah masa lampau maupun masa akan datang dalam wahyu. Dengan adanya keraguan terhadap sifat shidq atau pengingkaran terhadapnya, maka tidak ada validitas seluruh makrifat, ilmu, dan hakikat kebenaran yang bersumber dari wahyu Ilahi dan kitab-kitab suci.[1]



Shidq, Sifat Dzat atau Perbuatan?

Jawaban pertanyaan ini bergantung pada definisi kita tentang sifat kalam, bisa dikatakan bahwa dua sifat ini setara dalam dzat dan perbuatan. Oleh karena itu, kelompok Asy'ariyah yang meyakini kalam nafsi dan menganggapnya sebagai sifat dzat, pasti akan menganggap sifat shidq ini sebagai sifat dzat pula. Tentu saja sebagaimana yang sebelumnya kami ungkapkan bahwa gambaran jelas tentang kalam nafsi tidak akan tercapai jika tak dikembalikan kepada ilmu dan iradah, pada kondisi ini, jika kalam diartikan sesuai dengan yang dimaksud Asy'ariyah yaitu disamakan dengan ilmu Ilahi, maka makna shidq menjadi: kesesuaian ilmu Tuhan dengan realitas luar (segala ciptaan-Nya); dan apabila sifat ini kita kembalikan kepada iradah Ilahi, maka sifat shidq tidak akan bermakna sama sekali, karena secara rasional kebenaran iradah tidak terwujud (yakni iradah tidak memiliki kesesuaian dengan kenyataan eksternal).

Akan tetapi, apabila kalam Ilahi kita anggap sebagai sifat perbuatan, maka sifat shidq juga akan merupakan sifat perbuatan. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai pendapat yang benar bahwa kalam merupakan salah satu sifat perbuatan, kesimpulannya, shidq pun merupakan salah satu sifat perbuatan.



Argumen Teolog atas Kebenaran Tuhan

Tidak diragukan lagi bahwa membuktikan sifat shidq dengan merujuk kepada argumen naqli[2] akan mengakibatkan daur, karena validitas dalil-dalil naqli itu bergantung kepada kebenaran Tuhan, maka dari itu, pembuktian shidq Ilahi mustahil dirujukkan pada argumen naqli. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang bisa kita lakukan pada pembahasan ini hanyalah menggunakan argumentasi rasional dan akal.

Para teolog berbeda pendapat dalam metode argumentasi akal terhadap sifat shidq Tuhan, dan ikhtilaf ini bersumber dari penerimaan atau penolakan atas kebaikan dan keburukan akal (husn wa qubh aqli). Sebagian memandang bahwa akal manusia secara mandiri (tanpa membutuhkan wahyu atau syariat) mampu memahami kebaikan dan keburukan sebagian perbuatan, dan mustahil Tuhan melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut akal manusia merupakan perbuatan tercela.[3] Sebagaimana yang akan kami katakan pada pembahasan mendatang, para teolog dari kalangan Imamiah dan Mu'tazilah mendukung pendapat ini, sementara Asy’ariyah menolaknya.

Menurut pendukung pendapat kebaikan dan keburukan akal, argumentasi paling tepat atas kebenaran Tuhan bisa dievaluasi dalam bentuk sebagai berikut:

Berkata bohong secara akal merupakan perbuatan yang tercela (premis pertama) dan perbuatan yang tercela mustahil dilakukan Tuhan (premis kedua), oleh karena itu, mustahil Tuhan berkata bohong (silogisme).

Dengan melihat adanya pertentangan antara bohong dan jujur, maka silogisme argumen di atas menjadi: niscaya Tuhan berkata benar.

Syeikh Thusy juga menggunakan argumentasi di atas untuk membuktikan kebenaran Tuhan, ia berkata, "Penafian perbuatan tercela Tuhan menunjukkan kebenaran-Nya."[4]

Karena Asy'ariyah menolak kebaikan dan keburukan akal, maka argumentasi tersebut adalah tak valid. Oleh karena itu, sebagian teolog berusaha meramu argumentasi lain yang tidak berpijak pada kebaikan dan keburukan akal. Sebagai contoh, dikatakan: Tak jujur dan bohong adalah aib, dan mustahil terdapat aib pada Tuhan, oleh karena itu, tak jujur dan bohong mustahil dilakukan Tuhan.



Kebenaran Ilahi Menurut Al-Qur'an

Al-Qur'an al-Karim dalam beberapa ayat menegaskan tentang Kebenaran Tuhan, pada surah al-Hijr ayat 64, berfirman, "Dan Kami datang kepada kamu dengan membawa kebenaran dan sesungguhnya Kami betul-betul orang-orang yang benar."

Pada ayat lain dikatakan bahwa kalam Ilahi merupakan perkataan yang paling benar, dalam surah an-Nisa ayat 87, Allah Swt berfirman, "Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah". Demikian juga pada surah yang sama ayat 122, berfirman, "Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?"

Mungkin yang dimaksud dengan kemahabenaran Tuhan adalah perkataan-Nya, jika dibandingkan dengan perkataan-perkataan benar selain-Nya, mampu menjelaskan hakikat-hakikat secara lebih gamblang, rinci, dan dalam bentuk yang sempurna.

Masalah ini ditegaskan pula pada ayat-ayat lain, dikatakan bahwa Tuhan senantiasa jujur dan benar atas janji-janji-Nya, sebagai contoh, terwujudnya janji Tuhan dalam membantu kaum muslimin pada perang Uhud, Surah 'Ali Imran ayat 152, berfirman, "Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-janji Nya kepada kamu."

Ayat-ayat berikut ini menunjukkan kebenaran mutlak Tuhan atas seluruh janji-janji-Nya, surah 'Ali Imran ayat 9 dan surah ar-Ra'd ayat 31, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji."

Setelah mengevaluasi sifat shidq, kita akan membahas sifat hikmah yang merupakan sifat perbuatan lain yang dimiliki Tuhan.



Keragaman Makna Hikmah

Hikmah memiliki makna yang banyak, kita akan melakukan evaluasi sepintas terhadap makna-makna tersebut:

1. Salah satu makna hikmah atau bijaksana adalah makrifat dan mengenal hakikat segala sesuatu. Dengan memperhatikan ilmu mutlak Tuhan, makna ini benar untuk Tuhan akan tetapi sifat itu akan kembali kepada sifat ilmu, dengan kata lain, hikmah dengan makna ini merupakan cabang dari ilmu Ilahi.
2. Makna lain dari hikmah adalah segala perbuatan dan aktifitas pelaku berdasarkan tujuan yang rasional dan layak diterima. Penggunaan makna hikmah ini bagi Tuhan terdapat ikhtilaf dan kelompok Asy'ari menentang hal ini. Akan diuraikan masalah ini tersendiri pada pembahasan yang akan datang.
3. Makna ketiga dari hikmah adalah aktifitas dan perbuatan pelaku memiliki tujuan kuat dan sempurna. Pada makna ini Tuhan adalah hakîm; dan untuk membuktikannya, selain dalil fenomena-fenomena yang teratur dan alam natural yang menakjubkan serta kesempurnaan dan keindahan yang tak terkira makhluk-makhluk Ilahi, kita juga bisa merujuk pada argumen akal. Di bawah ini akan dijabarkan dua argumentasi:

Argumentasi pertama

Ketidaksempurnaan perbuatan bisa bersumber dari kebodohan pelaku pada perbuatan itu, karena ketakmampuan pelaku atau karena pelaku sengaja melakukan perbuatan tak bermakna dan sia-sia. Semua faktor-faktor tersebut mustahil terjadi pada Tuhan, karena Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuat dan sebagaimana yang akan kami bahas selanjutnya, melakukan perbuatan sia-sia mustahil bagi-Nya. Dengan demikian, seluruh faktor yang disebutkan yang menyebabkan ketidaksempurnan perbuatan-Nya telah ternafikan. Konklusi, semua perbuatan-Nya memiliki tujuan yang sempurna.



Argumentasi kedua

Antara setiap pelaku dan perbuatannya ada kesesuaian, karena perbuatan pelaku pada hakikatnya merupakan manifestasi pelaku, oleh karena itu pelaku yang sempurna dari segala dimensi (baca: Tuhan) niscaya perbuatannya akan sempurna dari segala dimensi.

Hikmah Ilahi dengan makna di atas telah ditegaskan pula oleh beberapa ayat dan hadis, sebagai contoh kami akan mengetengahkan awal surah Hud, yang berfirman, "Alîf lâm râ, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu."

Imam Ali As tentang hikmah Ilahi bersabda, "Segala yang diciptakan-Nya terukur dengan sangat teliti setelah itu dikuatkan dan disempurnakan."[5] Dan bersabda, "Tuhan dengan ilmu-Nya menciptakan seluruh makhluk dan dengan hikmah-Nya mewujudkannya tanpa mengikuti, meniru atau belajar (dari siapapun), Dia adalah Pencipta yang Maha Mengetahui."[6]

Konklusi dari hikmah Ilahi adalah kita mengetahui bahwa keteraturan alam merupakan keteraturan yang paling sempurna dari keteraturan yang mungkin ada, karena alam dengan seluruh keluasannya yang tak terhingga merupakan hasil perbuatan Tuhan dan hikmah Ilahi mengharuskan bahwa perbuatan-Nya mesti merupakan perbuatan yang terbaik dan paling sempurna.

4. Makna hikmah yang keempat adalah menghindari perbuatan tercela, hina, dan tak pantas. Dengan demikian hakim adalah seseorang yang tidak melakukan perbuatan tercela dan tak terpuji.[7] Dengan menyimak makna ini, sifat adil dengan makna menghindari perbuatan zalim dan pemaksaan, pada dasarnya merupakan salah satu cabang hikmah (dengan makna keempat). Dengan kata lain, hikmah (dengan makna terakhir) mempunyai makna yang luas dimana sifat adil termasuk di dalamnya, karena maknanya adalah Tuhan tidak melakukan perbuatan tercela seperti bohong, mengingkari janji, berbuat zalim, dan sebagainya.

Perlu diketahui bahwa aliran-aliran pemikiran Islam berbeda pendapat terkait dengan makna-makna hikmah Tuhan di atas. Karena hikmah Ilahi (dengan makna terakhir) berpijak pada prinsip "kebaikan dan keburukan perspektif akal (husn wa qubh akli)" dimana kelompok Asy'ariah menolak prinsip ini, tetapi Mu'tazilah dan Imamiah yang terkenal dengan 'Adliyah mendukung prinsip ini dan sepakat bahwa Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang menurut akal manusia adalah perbuatan tercela. Dengan demikian, meskipun Tuhan memiliki kemampuan melakukan perbuatan tercela, tetapi kesempurnaan wujud-Nya menghalangi kehendak-Nya untuk melakukan perbuatan tak terpuji, dengan kata lain dzat-Nya yang tak terbatas hanya melahirkan perbuatan terpuji.

Pembahasan hikmah dengan makna terakhir secara terperinci akan disajikan pada pembahasan "Keadilan Ilahi".



[1] . Dengan kata lain, sifat ketuhanan yang ada pada wahyu merupakan bukti atas sifat shidq ini.

[2] . Argumen yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan Ahlulbait as, argumen ini lawan dari argumen aqli (rasional).

[3]. Pembahasan lebih luas tentang " kebaikan dan keburukan " akan kami uraikan pada pembahasan mendatang.

[4] . Kasyful Murad, hal. 315.

[5]. Nahjul Balaghah, khotbah 89

[6]. Ibid, khotbah 191.

[7]. Kadangkala dari makna ini dita'birkan: Hakim adalah seseorang yang tidak melakukan perbuatan tercela dan dia akan melakukan apa yang seharusnya dengan seksama.