Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Enam Catatan tentang Taklid

0 Pendapat 00.0 / 5
Taklid adalah suatu istilah fikih dalam Islam yang bermakna ikutnya seseorang kepada seorang mujtahid dalam hukum-hukum praktis (ahkam ‘amali) agama. Taklid dalam prinsip-prinsip agama (ushuluddin) tidak di bolehkan dan seseorang harus meyakini prinsip-prinsip agama dengan mengkaji dan menelitinya sendiri; namun dalam perkara hukum entah orang itu sendiri haruslah seorang mujtahid atau beramal berdasarkan ikhtiyat(kehati-hatian) ataukah Ia bertaklid kepada seorang yang spesialis dalam fkqih yang di sebut sebagai mujtahid jami al-syaraith(mujtahid yang memenuhi segala persyaratan). Seorang yang taklid kepada mujtahid di sebut dengan “mukallid”. Dalam teks-teks fikih, Taklid di terapkan pula kepada makna-makna yang lain.
Hukum taklid dalam pandangan populer fuqaha Syiah adalah wajib takhyiri, yaitu kemestian(wajib) salah satu di antara tiga perkara ijtihad, ikhtiyat atau taklid bagi mukallif; dengan makna ini bahwa seseorang guna mengetahui kewajibannya tentang hukum-hukum fiqih, entah Ia sendiri harus seorang mujtahid dan menarik kesimpulan(istinbath) hukum dari sumber-sumber fiqih, atau jika bukan mujtahid beramal ikhtiyat, dan atau merujuk kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi segala syarat(jami syaraith) serta beramal berdasarkan pandangannya.
Secara singkat enam hal penting dalam taklid dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut:
Bagi setiap mukalaf yang bukan mujtahid dan tidak tahu cara ihtiyath, wajib baginya bertaklid kepada seorang mujtahid Jâmi’ al-Syarâ’ith dalam masalah ahkam, baik ia seorang yang buta huruf ataupun bukan, baru balig atau seorang yang sempurna dan jika tidak bertaklid maka amalannya batil.[1]
Taklid dalam masalah ahkam, adalah mengamalkan apa-apa yang diperintahkan oleh mujtahid Jâmi’ al-Syarâ’ith.[2]
Taklid dalam masalah ahkam, tidak hanya khusus terkait perkara-perkara wajib dan haram melainkan juga hal-hal yang mustahab dan makruh dan juga tidak hanya mengenai masalah ibadah tetapi juga mencakup persoalan-persoalan ekonomi, sosial, budaya, kemiliteran dan lain-lain.[3]
Wajib bagi setiap orang atau mukalaf beramal sesuai dengan pendapat marja taklidnya,[4] kecuali pada hal-hal dimana marja taklidnya tidak punya fatwa tentangnya atau menurut pandangan sebagian marja taklid, berdasarkan hukum wilayat.[5]
Dalam beberapa persoalan, taklid tidak dibenarkan seperti: taklid dalam masalah ushûluddin (prinsip-prinsip agama), taklid dalam masalah dharûriyat dîn (seperti shalat atau puasa itu sendiri), taklid dalam (identifikasi) masalah-masalah dan juga taklid kepada mujtahid yang tidak memiliki kekhususan-kekhususan dan syarat-syarat marja taklid.
Untuk tetap bertaklid kepada marja yang sudah meninggal, harus berdasarkan pandangan mujtahid yang masih hidup.[6]
Taklid bukan merupakan syarat kebenaran amal melainkan suatu jalan guna memperoleh amal yang benar (shahih). Olehnya itu, apabila seseorang yang bukan mujtahid, dan tidak pula bertaklid kepada seorang mujtahid (atau tidak memilih marja taklidnya berdasarkan kriteria yang benar), apabila amalnya sesuai dengan fatwa-fatwa mujtahid yang memenuhi syarat, maka amalnya di anggap benar.
Berdasarkan hal ini, untuk mengetahui apakah amalnya pada masa lalu benar atau tidak, saat ini pula Ia mesti memilih seorang marja taklid di antara para mujtahid yang hidup berdasarkan kriteria yang benar. Kebanyakan di antara amal-amal seperti hukum-hukum global tentang salat dan puasa dan lain-lain adalah sama di dalam fatwa-fatwa semua marja dan jika amal-amal mereka di masa lalu di lakukan secara benar berdasarkan fatwa-fatwa mereka, maka tidak perlu di ulangi lagi. Dalam perbedaan-perbedaan yang sifatnya sangat partikular Ia harus merujuk kepada fatwa marja taklidnya yang sekarang.
Catatan Kaki:
[1]. Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal. 5; Taudhîh al-Masâ’il (beberapa marja) , masalah 1.
[2] . Taudhîh al-Masâ’il (beberapa marja) , jilid 1,  masalah 2.
[3] . Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal. 5.
[4] . Taudhîh al-Masâ’il (beberapa marja) , jilid 1,  masalah 7.
[5] . Farhangg-e Feqh, jilid 3, hal. 364; Vilâyat-e Faqîh, Ayatullah Javadi Amuli, hal. 469.
[6] . Taudhîh al-Masâ’il (beberapa marja) , jilid 1,  masalah 9.