Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

KONSEP KENABIAN (2)

0 Pendapat 00.0 / 5


Antara Mukjizat dan Sains Modern

Dalam ayat pertama, surat Al-Qamar [54] kita membaca, “Telah dekat [datangnya] saat itu dan telah terbelah bulan.”

Ayat suci ini berkisah tentang mukjizat agung Syaq al-Qamar (membelah bulan).

Menurut riwayat yang masyhur -sebagian ulama juga mengklaimnya sebagai riwayat yang mencapai derajat tawâtur- kaum musyrikin datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Sekiranya engkau berkata benar dan engkau adalah seorang utusan Allah, belahlah bulan di hadapan kami.” Rasulullah saw. bersabda, “Jika aku melakukannya apakah Kamu akan beriman kepadaku?” “Iya!”, jawab mereka. Dan pada malam itu, tepatnya malam keempat belas, Rasulullah saw. memohon kepada Allah swt. supaya mengabulkan permintaan mereka. Tiba-tiba bulan terbelah dua, dan Rasul memanggil mereka satu per satu seraya bersabda, “Lihatlah!”

Tentang bagaimana mungkin benda besar langit dapat terbelah dan seluk-beluk kejadian seperti ini, apa akibat yang ditimbulkan atas planet bumi dan tata surya, bagaimana dua bagian bulan itu setelah terbelah, dan bagaimana mungkin kejadian seperti ini dapat terjadi, sementara sejarah alam semesta tidak pernah berkisah tentang kejadian ini? Dengan memperhatikan pelbagai temuan dan telaah para astronom, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah begitu pelik. Lantaran temuan menyatakan, “Kejadian seperti ini bukan hanya tidak mustahil, melainkan contoh kejadian seperti ini telah disaksikan berulang kali, meskipun masing-masing kejadian ini memiliki faktor khusus.”

Dengan kata lain, seringkali terjadi ledakan dan belahan-belahan pada tata surya dan planet-planet lainnya. Di sini kami akan sebutkan beberapa contoh sebagai berikut:

a. Penemuan Tata Surya (Solar System)

Pendapat ini diterima oleh segenap ilmuwan bahwa seluruh planet yang berada dalam tata surya -pada mulanya- termasuk di dalam matahari, kemudian mereka berpisah. Dan setiap saat ia berputar pada orbitnya. Namun, berkenaan dengan faktor penyebab terjadinya hal ini terdapat teori yang berbeda.

Laplace (1749-1827) berkeyakinan bahwa faktor penyebab terjadinya perpisahan ini adalah “kekuatan lari dari poros” yang dahulu merupakan bagian ekuator matahari, (dan kini juga demikian adanya). Berputar mengelilingi matahari, dan kecepatan perputaran pada daerah ekuator menjadi penyebab bagian-bagiannya terpisah dari matahari, lalu bercerai-berai di ruang angkasa dan berputar mengelilingi poros aslinya, yaitu matahari.

Akan tetapi, penelitian-penelitian yang diadakan kemudian oleh para ilmuwan selepas Laplace berujung kepada teori lain. Mereka berpendapat bahwa berpisahnya ekuator ini terjadi karena pasang-surut yang luar biasa dalam tingkatan matahari beradasarkan melintasnya satu bintang raksasa dari dekat ekuator tersebut.

Para pendukung teori ini tidak memandang cukup bahwa gerakan orbit matahari pada saat itu merupakan penjelas berpisahnya bagian-bagian ekuator tersebut. Mereka pun bersandar kepada asumsi yang lain. Kata mereka: “Gerakan pasang-surut ini menghasilkan gelombang raksasa pada permukaan matahari, persis seperti jatuhnya sebongkah batu raksasa di sebuah samudra. Dan efeknya, penggalan matahari, satu per satu, terlempar keluar, dan berputar pada poros matahari.”

Secara umum, apa pun faktor pemisahnya, seluruh ilmuwan ini berkeyakinan bahwa tata surya terjadi melalui proses pembelahan dan pemisahan.

b. Asteroid

Asteroid-asteroid merupakan batu-batu raksasa yang berada di langit yang berputar mengelilingi tata surya. Terkadang ia disebut sebagai planet kecil dan serupa dengan bintang. Yang besar dari asteroid ini, kucurannya mencapai 25 kilometer. Akan tetapi, biasanya ia berukuran lebih kecil dari kucuran 25 kilometer.

Para ilmuwan ruang angkasa berkeyakinan bahwa asteroid-asteroid ini merupakan bintang-bintang raksasa lainnya yang bergerak di antara orbit planet Mars dan Jupiter. lalu, lantaran faktor-faktor yang tidak diketahui, asteroid-asteroid ini meledak dan pecah.

Hingga kini, lebih dari lima ribu asteroid yang telah ditemukan. Di antara asteroid ini, ada yang lebih besar dilihat dari sisi volume, ukuran, dan durasi gerakannya mengelilingi matahari. Sebagian ilmuwan itu memberikan signifikansi terhadap asteroid ini, dan terkadang berpendapat bahwa asteroid ini dapat digunakan oleh para pelancong ruang angkasa sebagai posko.

Hal ini merupakan contoh yang lain dari terpecahnya celestial body[1] di langit.

c. Meteor

Meteor merupakan batu-batu kecil yang berada di langit. Acapkali ukuran komet-komet ini tidak melebihi satu biji kemiri. Ia mengitari orbit khas lingkaran matahari dengan laju yang sangat cepat. Dan terkadang jalannya mengalami interseksi dengan orbit planet bumi, dan tertarik ke arah bumi.

Lantaran benturan keras dengan udara yang menguasai planet bumi, batu-batu kecil ini akan menjadi panas dan membara, serta menyala karena kecepatannya yang luar biasa bak kilat. Kita melihatnya dalam bentuk garis bersinar indah pada kisi-kisi (atmosfer) langit. Dan kita menyebutnya anak panah meteor.

Kerap kita membayangkannya sebagai bintang jatuh. Meteor yang kecil dalam jarak yang sangat pendek akan terbakar, dan kemudian menjadi debu.

Poros rotasi meteor bersambung dengan poros bumi dengan dua poin. Atas dasar ini, pada bulan Murdâd dan A^bân (keduanya adalah nama bulan Iran yang hampir bertepatan dengan bulan Juli dan Agustus [Murdâd], Oktober dan November [A^bân] —AK.) terlihat banyak meteor yang berbentuk dua garis yang saling memotong dua poros.

Para ilmuwan berkata, “Meteor ini adalah sisa-sisa komet-komet yang disebabkan oleh kejadian yang tidak diketahui, meledak dan saling bertabrakan.”

Semua ini adalah contoh dari adanya insyiqâq (terbelah) di planet langit.

Bagaimana pun, masalah ledakan dan pembelahan yang terjadi di planet-planet langit bukanlah sebuah kejadian yang baru. Dan hal itu tidak mustahil dari sudut pandang sains, bahkan dalam persfektif mukjizat.

Kembali kepada masalah insyiqâq. Dalam keadaan normal, berdasarkan kekuatan gravitasi yang berada di antara kedua garis tersebut, sangat memungkinkan peristiwa ini dapat terjadi.

Ilmu perbintangan kuno -yang masih berbasis pada pandangan Ptolemius dan objek selestial sembilan (planet-planet)nya yang mirip irisan bawang yang satu dengan lainnya bersambung menjadi satu sehingga peristiwa kharq dan iltiyâm- mustahil terjadi bagi kebanyakan orang. Selain mengingkari Mikraj jasmani, ia juga mengingkari terbelahnya bulan. Karena, kedua hal ini menjadi penyebab kharq dan iltiyâm pada obyek selestial. Akan tetapi, dewasa ini asumsi objek selestial Ptolemius telah musnah dan hanya menjadi sebuah legenda dan ilustrasi semu. Dengan demikian, tidak ada ruang lagi bagi kita untuk membahasnya.

Barangkali, perlu diingatkan di sini bahwa terbelahnya bulan tidak terjadi di bawah satu faktor natural yang biasa, melainkan memiliki dimensi mukjizat. Karena mukjizat tidak termasuk sesuatu yang mustahil, maka masalah ini juga bukan termasuk hal yang mustahil.[2]

Perbedaan antara Ilmu Gaib Para Nabi dan Ramalan Para Dukun dan Petapa

Dengan memperhatikan satu poin, pertanyaan ini akan menjadi jelas. Poin itu adalah ramalan-ramalan para petapa dan kabar-kabar gaib para astrolog (ahli nujum) tidak dapat dianggap sebagai informasi yang meyakinkan dan lepas dari kesalahan. Ramalan mereka terkadang benar, terkadang juga keliru. masing-masing memiliki contoh yang banyak. Oleh karena itu, informasi mereka sekali-kali tidak dapat dianggap sebagai ilmu gaib. Kemudian, kerap mereka sendiri mengakui bahwa informasi yang mereka miliki bersumber dari setan, dan mereka tidak selamanya berkata benar kepada kita.

Dengan ungkapan lain, informasi yang mereka peroleh itu berdasarkan pelatihan yang mereka tempuh selama ini. Mereka melihat phantom (momok) dari kejauhan di ufuk benak mereka. Dan mereka menafsirkan phantom ini. Terkadang tafsir ini benar, terkadang juga keliru. Ibarat orang yang bermimpi, terkadang penakwilannya terhadap mimpi tersebut benar, terkadang juga keliru.

Informasi yang bersumber kepada kesangsian dan sumber yang tidak paten sekali-kali tidak akan disebut sebagai ilmu gaib.[3]

Bagaimana Mengkompromikan Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menafikan Keberasalan Ilmu Gaib dari Tuhan dengan Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menetapkannya?

Di sini terdapat cara yang beragam untuk itu:

1. Cara yang paling masyhur adalah ilmu gaib yang khusus pada Tuhan merupakan ilmu Dzati dan independen. Dengan demikian, tidak seorang pun yang mendapatkan informasi tentang gaib secara mandiri. Apa pun yang dimilikinya bersumber dari anugrah Tuhan, dan berdimensi natural.

Bukti dari kompromi ini adalah surat Al-Jin [72], ayat 26 dan 27, “[Ia adalah Tuhan] Yang Maha Mengetahui yang gaib. Maka Ia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya ....”

Juga dalam Nahju Balâghah terdapat indikasi yang sama, tatkala Imam Ali a.s. memberikan berita tentang kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang (dan meramalkan serangan Mongol ke berbagai negeri Islam). Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Apakah Anda memiliki ilmu gaib?” Amirul Mukminin tersenyum simpul dan menjawab, “Ini bukan ilmu gaib. Ilmu ini aku terima dari pemilik ilmu, Nabi saw!”[4]

Kompromi demikian ini banyak diterima oleh para ilmuwan dan peniliti.

2. ada dua bagian ilmu gaib: bagian khusus untuk Tuhan dan tidak seorang pun yang tahu kecuali Diri-Nya, seperti datangnya Hari Kiamat dan masalah-masalah yang serupa dengannya. Bagian ilmu ini juga telah diajarkan kepada para nabi dan para imam maksum as.

Disebutkan di dalam Nahjul Balâghah pada khutbah yang sama yang telah kami sebutkan di atas, “Ilmu gaib hanya berlaku pada ilmu tentang Kiamat dan apa yang difirmankan oleh Tuhan dalam ayat, ‘Ketahuilah bahwa Kiamat adalah khusus urusan Tuhan dan Ia-lah yang menurunkan hujan dan apa yang terkandung dalam rahim ibu, dan tidak seorang pun yang tahu apa yang dilakukannya esok atau di bumi mana ia akan mati.’”

Lalu, dalam mengomentari ayat ini, beliau menambahkan, “Allah Swt. mengetahui apa yang terkandung dalam rahim seorang ibu; pria atau wanita, baik atau buruk, pemurah atau pelit, orang yang bahagia atau sengsara, dan ahli firdaus atau neraka? .… Semua ini merupakan ilmu gaib. Tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Swt. Selain itu, Dia telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Nabi saw. dan beliau mengajarkannya kepadaku.”[5]

Barangkali sebagian orang mendapatkan ilmu ijmâli (global) tentang keadaan janin atau turunnya hujan. Akan tetapi, ilmu tafshîlî (detail) dan pengetahuan tentang partikular-partikular hal ini khusus bagi Allah Swt., seperti ilmu tentang Hari Kiamat. Kita hanya memiliki ilmu global tentang hal itu, dan tidak memiliki pengetahuan tentang rincian perkara tersebut. Dan sekiranya terdapat dalam riwayat yang menyebutkan bahwa para nabi atau imam mengetahui sebagian kondisi seseorang atau akhir usianya, ilmu itu hanya bersifat global.

3. Cara lain untuk mengompromikan kedua kelompok ayat dan riwayat ini adalah, bahwa rahasia gaib tercatat di dua tempat: pertama, pada al-Lauh al-Mahfûzh yang tidak ada perubahan di dalamnya dan tak seorang pun yang mengetahuinya, dan kedua, di Lauh al-Mahw wa al-Itsbât yang merupakan ilmu tentang kelaziman-kelaziman (iqtidhâ`), bukan sebab memadai (‘illah tâmmah). Dengan alasan ini, ia dapat berubah. Dan apa yang tidak diketahui oleh orang lain bertalian dengan bagian ini.

Oleh karena itu, terdapat dalam sebuah hadis yang berasal dari Imam Ash-Shadiq a.s., “Allah Swt. memiliki ilmu yang tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Diri-Nya, dan Ia mengajarkannya kepada para malaikat dan nabi. Kami mengetahui apa yang diberikan kepada para malaikat dan para nabi.”[6]

Imam Ali bin Husain a.s. berkata, “Apabila tidak ada ayat dalam Al-Qur’an, aku akan memberitahukan apa yang terjadi pada masa lalu dan peristiwa yang berlaku hingga Hari Kiamat.” Seseorang bertanya, “Ayat yang mana?” Beliau menjawab, “Allah Swt. berfirman, ‘Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki. Dan di sisi-Nya ada Ummul Kitab (al-Lauh al-Mahfûzh).’”[7]

Penganugrahan ilmu -menurut kompromi ini- berdasarkan keniscayaan dan ketidakniscayaan ilmu tersebut, sedangkan pada kompromi sebelumnya berdasarkan derajat pengetahuan. (Perhatikan baik-baik!).

4. Cara kompromi lain adalah, bahwa Allah secara aktual mengetahui segala rahasia yang gaib. Akan tetapi, para nabi dan wali boleh jadi secara aktual tidak memiliki banyak pengetahuan tentang rahasia-rahasia gaib. Akan tetapi, ketika mereka menghendaki, Allah Swt. mengajarkannya kepada mereka. Dan tentu saja kehendak ini dapat terlaksana sesuai dengan izin -Nya.

Dengan demikian, ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang mempaparkan bahwa mereka tidak mengetahui hal-hal yang gaib, menyiratkan bahwa mereka tidak memilikinya secara aktual, dan ayat-ayat dan riwayat yang menyatakan bahwa mereka mengetahuinya hendak menekankan bahwa mereka punya kemampuan untuk mengetahuinya.

Hal ini persis seperti seseorang yang menyerahkan surat kepada temannya untuk disampaikan kepada si penerima. Di sini, si pembawa surat ini tidak mengetahui isi surat tersebut, sementara ia dapat membuka surat itu untuk mengetahui isinya. Terkadang pemilik surat memberikan izin kepada si pembawa surat untuk menelaah isi surat tersebut. Dengan demikian, ia dapat mengetahui isi surat tersebut. Dan terkadang si pemilik surat tidak memberikan izin kepadanya.

Bukti atas kompromi ini adalah kumpulan riwayat yang terdapat pada kitab al-Kâfî pada bab “Para imam setiap saat hendaki untuk mengetahui sesuatu, mereka diajarkan ilmu tersebut”. Contoh, hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s., “Tatkala seorang imam berkehendak untuk mengetahui sesuatu, Allah Swt. mengajarkan kepadanya”.[8]

Kompromi ini dapat memecahkan banyak permasalahan berkenaan dengan ilmu Nabi saw. dan imam a.s. Di antaranya, bagaimana mereka minum minuman atau makan makanan yang beracun, padahal tidak boleh hukumnya seseorang melakukan pekerjaan yang membahayakan jiwanya? Di sini Nabi saw. atau imam tidak memiliki izin untuk berkehendak mengetahui rahasia-rahasia gaib sehingga hal itu menjadi terang bagi mereka.

Mungkin alasan kemaslahatan membuat Nabi saw. dan Imam a.s. tidak mengetahuinya, atau hal itu sebagai ujian bagi mereka sehingga menjadi faktor kesempurnaan mereka, sebagaimana hal itu terjadi dalam kisah Lailatul Mabit, ketika Imam Ali a.s. tidur di atas pembaringan Nabi saw.

Menurut sebuah nukilan, beliau tidak mengetahui apakah akan terbunuh atau selamat pada waktu musyrikin Quraisy menyerang pembaringan tersebut di pagi harinya. Merupakan sebuah kebanggaan ketika Imam Ali tidak mengetahui akhir dari pekerjaan ini, sehingga ujian Ilahi itu dapat terlaksana. Sekiranya beliau mengetahui bahwa tidur di atas pembaringan Nabi saw. untuk tujuan tersebut dan di pagi harinya beliau akan terbangun dalam keadaan selamat, maka pengorbanan beliau ini tidak menjadi sebuah kebanggaan. Dan sepertinya, kandungan yang tersirat dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat ihwal signifikasi sikap pengorbanan tidak membenarkan bila Imam Ali a.s. mengetahui apa yang akan terjadi.

Ya! Konsep ilmu irâdî (yang dikehendaki) merupakan jawaban atas seluruh masalah yang ada.

5. Cara kompromi yang lain, terdapat pada riwayat yang beragam ihwal ilmu gaib, (betapa pun cara ini hanya berlaku benar pada sebagian riwayat ini). Riwayat itu adalah, bahwa para pendengar (mukhâtab) yang dimaksudkan oleh riwayat ini beragam. Mereka yang memiliki potensi dan kesiapan untuk menerima ilmu gaib yang dimiliki oleh para imam, ilmu itu akan disampaikan kepada mereka secara keseluruhan dan selayaknya. Akan tetapi, orang-orang selain mereka, baik berpotensi lemah atau kurang, akan diberikan ilmu gaib seukuran dengan pemahaman mereka.

Misal, dalam sebuah hadis kita membaca bahwa Abu Bashir dan beberapa orang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. berada dalam suatu majelis. Imam a.s. memasuki majelis dalam keadaan marah. Setelah duduk beliau berkata, “Sungguh aneh orang yang menyangka kami memiliki ilmu gaib. Tidak seorang pun yang mengetahui ilmu gaib selain Allah swt. Sekarang aku ingin mendidik budakku yang lari dari tanganku, dan aku tidak tahu di kamar mana ia berada.”[9]

Perawi hadis ini berkata, “Tatkala Imam Ash-Shadiq a.s. berdiri, aku dan sebagian sahabat beliau masuk ke dalam rumah dan kami berkata, “Semoga kami menjadi tebusan Anda, wahai Imam! Anda telah menyebutkan budak Anda. Kami tahu bahwa Anda memiliki banyak ilmu dan kami tidak menyebut itu sebagai ilmu gaib.”

Imam a.s. memberikan penjelasan bahwa maksud beliau adalah pengetahuan beliau tentang ilmu gaib.

Jelas bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis tersebut tidak memiliki potensi dan persiapan yang diperlukan untuk dapat memahami makna ilmu gaib ini dan makrifat tentang kedudukan seorang imam.

Harus diperhatikan bahwa kelima cara di atas ini selaras satu dengan yang lainnya dan segenap cara ini dapat diterima. (Perhatikan baik-baik!).

Cara Lain untuk Membuktikan Ilmu Gaib Para Imam

Di sini, terdapat dua cara lain untuk membuktikan bahwa para nabi a.s. dan para imam maksum a.s. secara global mengetahui perihal ilmu gaib.

Pertama, kita ketahui bahwa lingkup penugasan mereka terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Akan tetapi, risalah Nabi saw dan imâmah para imam a.s. bersifat universial dan abadi. Bagaimana mungkin orang yang memiliki tugas seluas ini, tidak memiliki pengetahuan kecuali pengetahuan tentang masa dan wilayahnya yang terbatas? Apakah mungkin seseorang, seperti gubernur, dapat mengurus sebuah wilayah besar dengan baik, sementara ia tidak mengetahui wilayah tersebut?

Dengan ungkapan lain, Nabi saw. dan imam a.s. pada masa hidupnya sedemikian mereka menjelaskan dan menjalankan hukum-hukum Tuhan sehingga mereka dapat menjadi jawaban atas segenap kebutuhan seluruh manusia pada setiap zaman dan tempat. Dan hal ini tidak mungkin terwujud kecuali setidak-tidaknya mereka mengetahui sebagian dari rahasia-rahasia ilmu gaib.

Kedua, tiga ayat Al-Qur’an yang sekiranya kita dudukkan sejajar dengan masalah ilmu gaib Nabi saw. dan para Imam a.s., maka perkaranya akan menjadi jelas. Ayat pertama bercerita tentang seseorang yang hendak membawa singgasana Ratu Saba’ dalam sekejap mata ke hadapan Nabi Sulaiman a.s.

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku ....” (QS. An-Naml [27]: 40)

Dalam ayat yang lain Ia berfirman, “... katakanlah, ‘Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan [begitu juga] antara orang-orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab.’” (QS. ar-Ra'ad [13]: 43)

Di sisi lain, terdapat hadis yang berjumlah sangat banyak yang terdapat di buku-buku referensi Ahli Sunnah dan Syi’ah. Abu Said Al-Khudzri pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang makna ayat “Alladzîna ‘indahû ‘ilmun minal kitab”. Rasul bersabda, “Ia adalah washî saudaraku, Sulaiman bin Dawud.” Ia bertanya lagi, “Siapakah yang di dalam dirinya terdapat ilmu seluruh al-Kitab?” Beliau bersabda, “Ia adalah saudaraku, Ali bin Abi Thalib".[10]

Ungkapan ‘ilmun minal Kitâb yang berkisah tentang ‘Asif menunjuk kepada ilmu juzî (partikular) dan ungkapan ‘ilmul Kitâb yang bercerita tentang Ali a.s. merujuk kepada ilmu kullî (universal). Dengan memperhatikan kedua ungkapan tersebut perbedaan antara kedudukan ilmu ‘Asif dan Ali a.s. akan menjadi jelas.

Dari sisi yang ketiga, di dalam surat An-Nahl [16], ayat 89 disebutkan, “... dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab [Al-Qur’an] untuk menjelaskan segala sesuatu ....”.

Mengenai seseorang yang memiliki ilmu tentang rahasia-rahasia Kitab semacam ini, ia pasti mengetahui rahasia-rahasia gaib. Dan hal ini merupakan dalil yang jelas bahwa boleh para wali Allah mengetahui rahasia-rahasia gaib sesuai dengan kehendak-Nya.[11]

Ruhul Kudus

Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 78 disebutkan, “Dan Kami menguatkannya [Isa bin Maryam] dengan Ruhul Kudus.”

Berangkat dari ayat ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah Ruhul Kudus tersebut?

Para penafsir ulung memiliki penafsiran yang beragam ihwal Ruhul Kudus ini.

a. Sebagian mengatakan bahwa Ruhul Kudus itu adalah Jibril. Oleh karena itu, makna ayat yang sedang dibahas adalah Tuhan menolong dan menguatkan kenabian Nabi Isa melalui Malaikat Jibril.

Bukti dari pendapat ini adalah surat An-Naml [27], ayat 102 yang berfirman, “Katakanlah bahwa Ruhul Kudus itu adalah kebenaran yang turun dari Tuhanmu.”

Akan tetapi, mengapa Malaikat Jibril disebut sebagai Ruhul Kudus? Lantaran wujud ruh para malaikat merupakan masalah yang jelas dan penggunaan kata ruh pada mereka adalah sangat tepat. Dan penambahan kalimat al-kudus setelah kalimat itu adalah tanda kesucian dan kekudusan luar biasa malaikat ini.

b. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa Ruhul Kudus adalah kekuatan gaib yang menguatkan Nabi Isa a.s. Dengan kekuatan misterius Ilahi tersebut, Nabi Isa -atas perintah Ilahi- dapat menghidupkan orang-orang yang sudah mati.

Tentu saja, kekuatan gaib ini dapat ditemukan dalam diri seorang mukmin dalam bentuknya yang lemah disebabkan adanya perbedaan derajat iman. Dan pertolongan-pertolongan Tuhan tersebut yang membantu manusia dalam menunaikan ketaatan dan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan atasnya dan mencegahnya dari melakukan apa yang dilarangnya.

Dalam sebagian hadis tentang sebagian para penyair yang menyanjung Ahlul Bait, kita membaca bahwa setelah mereka membaca syair-syair untuk seorang imam, beliau berkata kepada mereka, “Ruhul Kudus telah berhembus di lisanmu dan apa yang Kamu lantunkan tersebut berkat pertolongannya”.[12]

c. Sebagian mufassir lainnya menafsirkan bahwa Ruhul Kudus bermakna Injil.[13]

Namun, kedua tafsir yang pertama tampaknya lebih mendekati kebenaran.[14]

Mengapa Para Nabi Muncul dari Kawasan-kawasan Tertentu?

Pertanyaan ini muncul karena melihat realita bahwa para Nabi Ulul ‘Azmi yang memiliki syariat dan kitab samawi -sesuai dengan masa mereka- hanya diutus untuk kawasan Timur Tengah. Nabi Nuh a.s. bangkit dari tanah Irak[15] dan pusat dakwah Nabi Ibrahim adalah Irak dan Syam (Syiria), serta beliau juga melakukan perjalanan ke Mesir dan tanah Hijaz. Nabi Musa a.s. bangkit dari negeri Mesir, kemudian datang ke Palestina. Pusat kelahiran, kebangkitan dan dakwah Nabi Isa as juga Palestina dan Syam. Dan Nabi saw. bangkit dari tanah Hijaz. Pada umumnya, Nabi-nabi yang lain juga hidup di daerah-daerah ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Timur Tengah adalah kawasan bangkitnya para nabi.

Apakah ada dalil bahwa mereka secara keseluruhan bangkit dari kawasan ini? Dan apakah kawasan-kawasan lain tidak memerlukan nabi atau mereka tidak memiliki persiapan untuk menyambut nabi tersebut?

Dengan memperhatikan secara cermat sejarah ditemukannya umat manusia dan lahirnya peradaban mereka, masalah ini tidak lagi menyisakan keheranan. Sebab, para sejarawan besar dunia menjelaskan bahwa tanah Timur, (khususnya Timur Tengah) adalah tempat kelahiran peradaban dan sebuah kawasan yang bernama Hilâl Khasib (bulan sabit [awal bulan] yang penuh dengan keberkahan, dan hal ini adalah isyarat kepada sebuah kawasan yang bermula dari sungai Nil hingga Dajlah dan Eufrat. Dan letak geografis kawasan-kawasan tersebut berbentuk sebuah bulan besar yang terrefleksi di atas peta geografis), tempat lahirnya peradaban besar seluruh dunia.

Peradaban Mesir Kuno terkenal sebagai peradaban yang paling kuno, peradaban Babylon di Irak, peradaban Yaman di sebelah selatan Hijaz, dan demikian juga peradaban Iran dan Syiria, semuanya merupakan model peradaban-peradaban yang dikenal oleh manusia.

Karya-karya sejarah yang penting di kawasan ini masih tersimpan. Dan adanya batu-batu prasasti adalah bukti nyata atas klaim ini.

Kunonya peradaban manusia di kawasan-kawasan ini dapat dilacak kembali ke tujuh ribu tahun silam. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, hubungan dekat di antara peradaban manusia dan munculnya nabi-nabi besar, lantaran manusia yang berperadaban lebih memerlukan ajaran-ajaran Ilahi, sehingga selain menjamin terlaksananya hukum-hukum dam hak-hak sosial, mengantisipasi keonaran dan kerusakan, juga menyemaikan fitrah Ilahi pada diri manusia. Atas alasan ini, hajat manusia dewasa ini -khususnya negara-negara yang berasal dari peradaban industri- kepada ajaran-ajaran Ilahi lebih besar ketimbang pada zaman-zaman sebelumnya.

Kaum-kaum yang brutal atau setengah brutal tidak memiliki kesiapan yang cukup untuk menerima agama-agama. Dan sekiranya mereka menerima agama, mereka tidak memiliki kekuatan untuk menyebarkannya.

Akan tetapi, tatkala agama muncul di pusat peradaban, dengan segera ia akan menyebar ke kawasan-kawasan lainnya. Sebab, Lantaran masyarakat di tempat-tempat lain, untuk memecahkan masalah-masalah mereka, selalu mengadakan perjalanan bolak-balik ke kawasan ini. Belum lagi sarana penyebaran di kawasan ini lebih banyak.

Barangkali kita bertanya, lalu mengapa Islam sebagai ajaran terbesar Ilahi muncul di kawasan yang terbelakang?

Apabila kita melihat dengan benar peta geografi, daerah yang tertinggal ini (Makkah) sebenarnya pusat di antara kawasan-kawasan sekitarnya. Pada waktu itu, terdapat lima perdaban besar yang tersisa, dan Makkah merupakan sentral bagi kawasan-kawasan seperti ini.

Di belahan timur, terdapat peradaban Romawi dan Syamat, peradaban Iran, Kulde dan Asyur terletak di bagian selatan, peradaban Yaman di sebelah barat, dan peradaban Mesir Kuno. Tatkala Islam menyebar dalam kondisi geografis demikian, seluruh peradaban ini berada di bawah supremasi Islam dan melebur di dalamnya. Islam mengadopsi unsur positif dari peradaban ini, dan membuang unsur negatifnya, serta menambahkan nilai-nilai akidah dan praktikal kepadanya. Maka, peradaban Islam yang cemerrlang menyinari segenap peradaban ini.

Ringkasnya, dengan memperhatikan uraian di atas, jelas bahwa mengapa Allah swt. mengutus para nabi besarnya di kawasan Timur Tengah dan mengapa belahan timur bumi hingga kini menjadi tempat munculnya agama-agama besar Ilahi.[16]

Apakah Nabi Ayyub a.s. Menderita Penyakit yang Menjijikkan?

Wajah suci Nabi besar ini menjadi manifestasi (mazhhar) kesabaran dan ketabahan, sehingga ketabahan Nabi Ayyub a.s. menjadi pepatah di kalangan seluruh umat. Di dalam Al-Qur’an, terdapat surat Ash-Shaf. Dari permulaan hingga akhir kisah Nabi Ayyub as, Allah Swt mengekspresikan sebaik-baik pujian kepada beliau.

Akan tetapi, sayangnya nasib Nabi besar ini tidak terjaga dari pelecehan orang-orang dungu atau musuh-musuh yang berpengetahuan. Mereka memunculkan khurafat ihwal Nabi Ayyub a.s. sehingga kekudusan dan kesuciannya ternodai. Misal, mereka mengekspresikan bahwa ketika Nabi Ayyub menderita penyakit yang menimpa badannya, tubuhnya sedemikian bau dan busuk sehingga penduduk membuangnya dari kota.

Tanpa syak lagi, riwayat seperti ini adalah karangan belaka, betapapun banyaknya riwayat itu. sebab, risalah para nabi menjawab bahwa masyarakat pada setiap masa dapat berinteraksi dengan mereka setiap dikehendaki. Dan apa yang menjadi sumber kejijikan dan kebencian masyarakat dan terciptanya kesenjangan orang-orang dengan mereka, entah tertimpa penyakit-penyakit yang menjijikan, cacat jasmani, atau kekasaran moral, tidak akan ada pada mereka, karena filsafat risalah bertentangan dengan semua ini.

Al-Qur’an bertutur ihwal Nabi saw., “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka akan menjauh dari sekelilingmu.” (QS.Ali ‘Imran [3]: 159)

Ayat ini merupakan dalil bahwa nabi tidak boleh berlaku demikian sehingga orang-orang di sekitarnya tidak menjauh darinya.[17]

Filsafat Banyaknya Istri Nabi saw.

Pernikahan Nabi saw. dengan beberapa orang wanita adalah untuk memecahkan rangkaian persoalan sosial dan politik dalam kehidupan beliau. Karena kita ketahui bahwa tatkala Nabi saw. menyerukan dakwah Islam, beliau hanyalah seorang diri. Hingga beberapa lama, selain beberapa orang yang beriman kepadanya, beliau bangkit melawan segenap kepercayaan sesat yang telah merajalela di lingkungannya. Dan beliau mengumumkan perang (ideologi) kepada semua pihak. Wajarlah kiranya jika seluruh kaum dan kabilah di lingkungan tersebut memobilisasi massa untuk melawan Sang Nabi.

Seluruh sarana yang dapat digunakan untuk mematahkan persekongkolan musuh yang kotor ini, harus diberdayakan. Salah satu strategi dan sarana tersebut adalah menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan melalui jalan pernikahan dengan kabilah-kabilah yang beragam. Karena, pernikahan dan hubungan kekerabatan adalah jalinan yang termasuk paling kokoh dan kuat pada masyarakat Arab jahiliyah. Dan mereka berpandangan bahwa menantu kabilah merupakan bagian dari mereka, membelanya adalah wajib, dan meninggalkannya terlantar termasuk perbuatan tercela.

Terdapat indikasi-indikasi banyak di hadapan kita yang menunjukkan bahwa pernikahan Nabi saw. setidak-tidaknya lebih bernuansa politis.

Dan sebagian pernikahan beliau, seperti pernikahannya dengan Zainab, didasari tujuan untuk mematahkan tradisi jahiliyah sebagaimana tertuang dalam surat Al-Ahzab [33], ayat 37. Sebagian lainnya adalah untuk mengurangi jumlah musuh, menjalin persahabatan dan menarik kecintaan orang-orang atau kaum yang fanatik dan keras kepala.

Jelas bahwa seseorang yang berusia dua puluh lima tahun, masa prime time, menikah dengan wanita janda yang berusia empat puluh tahun dan merasa puas diri dengan seorang janda hingga usia tiga puluh lima tahun, kemudian ia melakukan pernikahan dengan berbagai wanita, tentu saja beliau memiliki alasan dan filsafat di balik pernikahan-pernikahan ini.

Sama sekali tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa beliau menikah semata-mata karena motivasi atau dorongan seksual, sebab pernikahan bagi bangsa Arab pada masa itu sangat sederhana dan biasa, dan bahkan terkadang istri pertama yang melakukan lamaran untuk istri kedua bagi suaminya, dan mereka tidak percaya pada pembatasan jumlah istri. Bagi Nabi saw., pernikahan-pernikahan yang dilakukan beliau pada masa mudanya, selain tidak ada kendala sosial, atau tidak dikenakan syarat-syarat berat agar memiliki kekayaan yang banyak, juga tidak dinilai sebagai aib dan cela.

Menariknya, menurut catatan sejarah disebutkan bahwa Nabi saw. hanya sekali menikah dengan seorang wanita perawan, yaitu ‘Aisyah. Selebihnya, istri-istri beliau adalah wanita-wanita janda, yang tentu saja tidak dapat dilihat dari sisi adanya motivasi seksual di balik pernikahan ini.[18]

Bahkan, kita membaca di sebagian catatan sejarah bahwa Nabi saw. menikah dengan beberapa wanita dan tidak melaksanakan acara walimah, dan Nabi saw. tidak pernah bersenggama dengan mereka, bahkan beliau cukup merasa puas dengan lamaran beberapa wanita dan beberapa kabilah.[19] Sebatas itu mereka sudah merasa gembira dan bangga bahwa wanita dari kabilah mereka disebut sebagai istri Nabi saw., dan ini merupakan kehormatan bagi mereka. Dengan demikian, hubungan dan jalinan sosial mereka dengan Sang Nabi semakin kokoh dan solid, serta semakin bertekad dalam membela beliau.

Dari sisi lain, jelas bahwa Nabi saw. bukanlah seorang mandul dan kenyataannya, beliau hanya memiliki beberapa anak sebagai buah hatinya. Sekiranya pernikahan-pernikahan ini disebabkan oleh daya tarik seksual, tentu saja beliau akan memiliki banyak anak dari wanita-wanita yang dinikahinya.

Juga harus diingat bahwa sebagian dari wanita-wanita ini, seperti ‘Aisyah, menjadi istri Nabi saw. pada usia yang sangat belia. Oleh karena itu, setelah sekian tahun berlalu, baru ia dapat menjadi istri Nabi saw. yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dengan putri belia seperti ini memiliki motivasi-motivasi yang lain, dan tujuan utamanya adalah seperti yang telah kami singgung di atas.

Meski musuh-musuh Islam hendak berdalih dengan melecehkan pernikahan-pernikahan Nabi saw., dan membuat sebuah dongeng palsu dari pernikahan-pernikahan tersebut, akan tetapi usia tua Nabi saw. ketika melakukan pernikahan-pernikahan ini dari satu sisi, dan beragamnya usia dan kabilah wanita-wanita ini dari sisi lain, serta berbagai indikasi lainnya sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, menjadi realitas yang dapat menerangi dan menepis tuduhan dan konspirasi keji yang dialamatkan kepada Nabi mulia saw. ini.[20]

[1] Segala objek yang secara terus-menerus hadir di langit. Contoh, bintang dan planet—AK.

[2] Tafsir Nemûneh, jilid 23, hal. 9 dan jilid 23, hal. 13.

[3] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 7, hal. 234.

[4] Nahjul Balâghah, Khutbah ke-128.

[5] Idem.

[6] Bihâr al-Anwâr, jilid 26, hal. 160, hadis ke-5.

[7] Nûr ats-Tsaqalaîn, jilid 2, hal. 512, hadis ke-160.

[8] Al-Kâfi, bab “innal a`immah idzâ Syâ`û an(y) ya'lamu ‘ullimû”, hadis ke-3. Terdapat juga riwayat lain pada bab yang sama juga dengan redaksi yang sama.

[9] Ushûl al-Kâfî, jilid 1, bab an-nâdir fi dzikr al-ghaib, hadis ke-3.

[10] Silakan rujuk Ihqâq al-Haqq, jilid 3, hal. 280–281; Nûr ats-Tsaqalain, jilid 2, hal. 523.

[11] Tafsir Nemûneh, jilid 25, hal. 146.

[12] Pujangga yang terkenal pada masa Rasulullah saw. adalah Hassan bin Tsabit. Kita membaca bahwa Rasulullah saw berkata tentangnya, “Sepanjang engkau membela kami dengan syair-syairmu, Ruhul Kudus pasti bersamamu.”

[13] Tafsir al-Manâr.

[14] Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 338.

[15] Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan bahwa Kufah dan masjid-masjid terdapat di zaman Nabi Nuh a.s. Dan kediaman Nabi Nuh a.s. terdapat pada sebuah tanah yang makmur di tepi Sungai Eufrat yang berada di sebelah barat Kufah. Lihat Tafsir ‘Ayyâsyî, surat Hud, hadis ke-19.

[16] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 7, hal. 367.

[17] Tafsir Nemûneh, jilid, 19, hal. 303.

[18] Bihâr al-Anwâr, jilid 22, hal. 191-192.

[19] Idem.

[20] Tafsir Nemûneh, jilid 17, hal. 381.