Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Amar Makruf Nahi Munkar(2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Batasan dan Syarat-syarat Amar Makruf Nahi Munkar

Batasan Amar Makruf Nahi Munkar

Amar makruf dan nahi munkar tidak terbatas hanya pada kelompok dan suku bangsa tertentu, melainkan meliputi seluruh kelompok dan suku bangsa yang telah memenuhi persyaratan, bahkan wajib atas para wanita dan anak untuk melakukan amar makruf – nahi munkar ketika menyaksikan ayah, ibu atau suami meninggalkan perbuatan yang terpuji (makruf) atau melakukan hal-hal yang haram, tentunya ketika seluruh syarat-syaratnya telah terpenuhi.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1069)

Perhatian:

Ketika obyek serta persyaratan telah terpenuhi, maka melakukan tindakan amar makruf – nahi munkar akan menjadi taklif syar’i, kewajiban sosial, dan kemanusiaan bagi seluruh mukallaf, dan masalah ini tidak ada hubungannya dengan status mukallaf yang masih lajang ataukah telah berkeluarga. Dengan demikian, kewajiban ini tidak akan bisa gugur hanya dengan alasan karena mukallaf masih lajang.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1060)

Syarat-Syarat

Syarat-syarat amar makruf – nahi munkar terdiri dari empat hal, yaitu: orang yang melakukan amar makruf – nahi munkar harus mempunyai pengetahuan tentang makruf dan munkar, terdapat kemungkinan tindakannya akan berpengaruh bagi orang yang dituju, orang yang dituju mempunyai minat melakukan dosa, dan terakhir, tidak ada keburukan pada tindakan yang dilakukannya.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1057)

Penjelasan

Adanya pengetahuan tentang makruf dan munkar

Syarat pertama dari tindakan amar makruf – nahi munkar adalah adanya pengetahuan tentang makruf dan munkar, yaitu pelaku amar dan nahi harus mengenal makruf dan munkar, dan jika tidak demikian, berarti tidak ada kewajiban bahkan tidak ada kebolehan baginya untuk melakukannya, karena bisa jadi dengan kejahilan dan kebodohannya dia malah akan memberikan perintah untuk berbuat munkar dan melarang perbuatan makruf.

Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bahkan tidak ada kebolehan bagi kita untuk bernahi munkar kepada orang yang tidak kita ketahui perbuatan yang dilakukannya adalah haram ataukah tidak (misalnya tidak jelas bagi kita apakah musik yang dia dengar tergolong musik yang haram ataukah halal).

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1057, 1059, dan 1067)

Adanya kemungkinan berpengaruh

Syarat kedua dari amar makruf – nahi munkar adalah terdapat kemungkinan akan berpengaruh, yaitu pelaku amar dan nahi harus berasumsi bahwa tindakannya akan memberikan pengaruh, meskipun pada masa mendatang.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1057)

Perhatian:

Jika telah terbukti secara pasti bagi para pejabat bahwa sebagian dari pegawainya mengabaikan shalat atau bahkan sama sekali tidak melakukannya dan nasehat serta bimbingan pun tidak lagi berpengaruh, mereka tetap wajib untuk tidak lalai dalam memberikan pengaruh dengan amar makruf – nahi munkar dengan tetap memperhatikan persyaratannya. Sementara itu, jika tidak ada lagi harapan akan adanya pengaruh dari tindakan ini, sedangkan berdasarkan ketentuan hukum menghilangkan sebagian dari keistimewaan-keistimewaan kerja mereka ini diperbolehkan, maka hal ini harus dilaksanakan, disamping itu juga harus diberi peringatan bahwa hilangnya keistimewaan-keistimewaan tersebut dikarenakan kelemahan dan ketiadaan perhatian mereka dalam melaksanakan kewajiban Ilahi.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1076)

Berminat dalam melakukan dosa

Syarat ketiga dari amar makruf – nahi munkar adalah harus terdapat kontinuitas dan minat dari pendosa dalam melakukan dosanya, dan jika diketahui dengan jelas bahwa pelanggar bisa meninggalkan kesalahannya tanpa amar dan nahi, yaitu dia akan berbuat makruf dan meninggalkan munkar dengan sendirinya, maka baginya, amar dan nahi tidak lagi menjadi suatu kewajiban.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1057)

Tidak ada keburukan

Syarat keempat adalah ketiadaan keburukan di dalamnya, yaitu tindakan amar makruf – nahi munkar harus tidak memiliki pengaruh buruk, dengan demikian apabila amar makruf – nahi munkar akan menyebabkan keburukan bagi pelaku amar dan nahi atau membawa dampak buruk bagi para Muslim lainnya seperti akan membahayakan jiwa, harga diri atau harta, maka di sini, amar makruf – nahi munkar tidak lagi menjadi wajib. Tentunya mukallaf berkewajiban untuk memperhatikan mana yang lebih penting, yaitu dalam seluruh makruf dan munkar-munkarnya dia harus membandingkan antara keburukan ketika melakukan amar dan nahi, dan keburukan ketika meninggalkannya, setelah itu baru mengamalkan yang lebih penting.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1057)

Perhatian:

Seseorang yang khawatir ketika melakukan amar makruf – nahi munkar pada orang yang mempunyai kedudukan atau pengaruh di kalangan masyarakat akan membahayakan dirinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk melakukannya, namun dengan syarat, kekhawatirannya tersebut beralasan dan rasional. Akan tetapi tidak selayaknya ia tidak memperingatkan dan menasehati sudara Mukmin lainnya dan meninggalkan kewajiban amar makruf – nahi munkar hanya karena mempertimbangkan kedudukan pelanggar makruf dan pelaku munkar atau hanya karena dugaan akan merugikannya. Bagaimanapun, wajib baginya untuk mendahulukan yang lebih penting dari yang penting.

(Ajwibah al-Istifta’at, no. 1059 dan 1061)