Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ruh dalam Alquran

3 Pendapat 03.7 / 5

Al-Qur’an memandang bahwa ruh manusia itu ada. Pandangan qur’anik ini tidak mungkin dapat diragukan. Ruh adalah hakikat yang dinisbatkan kepada Allah swt.  lantaran begitu mulia dan agungnya. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia, Al-Qur’an menyatakan:
Dan ia meniupkan   ke dalamnya dari ruh-Nya.” (Qs. As-Sajdah: 9).
Hal ini tidaklah berarti –wal’iyadzu billah– bahwa ada sesuatu yang terpisah dari dzat Allah lalu berpindah ke dalam tubuh manusia.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai penciptaan Adam, Allah berfirman:
Dan aku tiupkan ke dalamnya dari ruh-Ku.” (Qs. al-Hijir:29, Ash-Shad:72)
Begitu pula, dari  bebarapa ayat lainnya kita dapat memahami bahwa ruh itu bukanlah tubuh, bukan pula sebagai sifat-sifat dasar dan ciri-ciri khasnya, dan sesunguhnya ruh itu -tanpa raga- memiliki potensi untuk tetap kekal. Di antara ayat-ayat tersebut adalah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Qur’an berdasarkan ucapan orang-orang kafir:
“Apakah kalau kami sesat di muka bumi ini kami akan diciptakan kembali?” (Qs. As-Sajdah: 10).
Yakni, manakala bagian-bagian tubuh kami melebur di dalam tanah. Al-Qur’an menjawab:
“Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diberikan tugas untuk itu pada kalian kemudian setelah itu kalian dikembalikan pada Tuhan kalian”  (Qs. As-Sajdah: 11).
Dengan demikian, standar hakikat manusia itu adalah ruhnya yang dicabut oleh Malaikat Maut dan senantiasa kekal, bukan bagian-bagian tubuh yang mengalami kehancuran dan melebur di dalam tanah.
Di  tempat lain, Allah swt. berfirman:
“Allah memegang jiwa seseorang ketika matinya dan memegang jiwa seseorang yang belum mati diwaktu tidurnya, maka Ia menahan jiwa orang yang telah Ia tetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sa-mpai pada waktu yang ditentukan.”  (Qs. Az-Zumar: 42).
Sehubungan dengan kematian orang-orang yang zalim, Allah swt. berfirman:
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata: ‘Keluarkanlah nyawamu'” (Qs. Al-An’am: 93).
Dari ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain, kita dapat memahami bahwa jiwa setiap manusia itu identik dengan suatu hakikat yang dicabut oleh Malaikat Maut atau malaikat-malaikat yang diberikan kekuasaan untuk mencabut ruh, dan  ketiadaan tubuh itu tidak ada pengaruhnya terhadap kekalnya ruh dan satunya jiwa manusia.
Yang dapat disimpulkan dari  penjelasan di atas adalah:
Pertama, di dalam diri manusia terdapat suatu hakikat yang dinamakan ruh.
Kedua, sesungguhnya ruh manusia itu dapat kekal dan mandiri dari tubuhnya. Ruh bukan layaknya aksiden dan forma dari materi, yang akan sirna ketika subjek yang menampungnya itu hancur.
Ketiga, sesungguhnya hakikat setiap orang itu terletak pada ruhnya. Dengan ungkapan yang lain, hakikat setiap manusia itu adalah ruhnya. Adapun tubuh manusia hanya berperan sebagai alat bagi ruh.